Top Banner
i HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA SKRIPSI Di ajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi) Agum Gumelar W. B07212035 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2019
92

HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

Jan 27, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

i

HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP TOLERANSI

BERAGAMA

SKRIPSI

Di ajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk

Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Agum Gumelar W.

B07212035

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2019

Page 2: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...
Page 3: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...
Page 4: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...
Page 5: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...
Page 6: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ix

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the emotional quotient and relationship

between religious tolerance. This research is a correlation research using data

collection techniques in the from of two scales namely, religious tolerance, and

emotional quotient. Research subjects of this study amounted to 50 people, through

sampling techniques no-probability sampling.

Keyword: religious tolerance, emotional quotient.

Page 7: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

x

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan emotional quotient dengan

sikap toleransi beragama. Penelitian ini merupakan analisis korelasi dengan

menggunakan teknik pengumplan data berupa dua skala yakni, toleransi beragama,

dan emotional quotient. Subjek penelitian ini berjumlah 50 orang, melalui teknik

pengambilan sampling non-probability sampling.

Kata kunci: Sikap toleransi beragama, emotional quotient.

Page 8: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…….………………………………..……………………...….i

HALAMAN PERNYATAAN..…………………………………………………….ii

HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………….………………...iii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………...iv

SURAT IJIN PUBLIKASI….…………………………………………..……….....v

KATA PENGANTAR….…………………………………………………………..vi

ABSTRACT..……………………………………………………………………….ix

INTISARI...…………………………………………………………………………x

DAFTAR ISI…...…………………………………………………………………..xi

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xiii

DAFTAR TABEL………………………………………………………………...xiv

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………....xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………......1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………….9

C. Tujuan Penelitian………………………………………………………..9

D. Manfaat Penelitian………………………………………………………9

E. Keaslian Penelitian…………………………...………………………..10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Toleransi…………..…....……….................................................................14

Pengertian Toleransi……………...………………………………………...14

1. Faktor-faktor Toleransi.…………...….………………………………...19

2. Toleransi Beragama…….………...…………………………………….20

3. Aspek-aspek Toleransi Beragama……………………………………....24

B. Kecerdasan Emosi....………………….…………………………………...27

1. Pengertian Kecerdasan Emosi…………………………………………..27

2. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi….…………………………………….35

3. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi……….……………………………………..37

Page 9: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xii

4. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi………………………………………..37

5. Dimensi Kecerdasan Emosi…………………………………………….39

6. Komponen Kecerdasan Emosi………………………………………….40

C. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Toleransi…………………………..41

D. Kerangka Teoritis………………..………………………………………...44

E. Hipotesis……………..………………………………………………….....46

BAB III METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional………....……...…………………..........47

B. Populasi, Sample dan Teknik Sampling.…………………………….……...48

C. Teknik Pengumpulan Data………………………………………………….49

D. Instrumen Penelitian.......…………………………………………………...50

E. Validitas dan Reliabilitas..….........…………………………………………53

F. Analisis Data……………...………………………………………………...61

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek…………………………………………………………....63

B. Pengujian Hipotesis……………………………………………...………....66

C. Pembahasan……………………………………………………..…………..70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………72

B. Saran……………....……………….………………………………………..72

DAFTAR PUSTAKA………………….….………………………………...……..73

Page 10: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kerukunan Umat Beragama…………..…………………………………6

Gambar 2 : Skema Toleransi………………………………………………………..14

Gambar 3 : Kerangka Teori………………………………………………………...45

Gambar 4 : Data Responden Berdasarkan Usia………………………………….....63

Gambar 5 : Data Responden Berdasarkan Gender………………………………….64

Gambar 6 : Deskripsi Statistik Data Berdasarkan Usia…………………………….66

Page 11: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Skor Alternatif Jawaban…………..…………………………………….50

Tabel 2 : Blueprint Skala Sikap Toleransi Beragama……..………………………51

Tabel 3 : Blueprint Skala Emotional Quotient………………………………….....52

Tabel 4 : Butiran Soal Sikap Toleransi Beragama…………………………….......55

Tabel 5 : Butiran Soal Sikap Emotional Quotient………………………………...57

Tabel 6 : Statistical Reliability Analysis Of Sikap Toleransi Beragama Scale…...60

Tabel 7 : Statistical Reliability Analysis Of Emotional Quotient Scale.…………..60

Tabel 8 : Deskripsi Statistik Data Subjek…………………………………………65

Tabel 9 : Normalitas……………………………………………………………….67

Tabel 10 : Liniearitas……………………………………………………………….68

Tabel 11 : Hipotesis………………………………………………………………...69

Page 12: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skala Tryout Emotional Quotient……..……….…………………....81

Lampiran 2 : Skala Tryout Sikap Toleransi Beragama...………..………………...85

Lampiran 3 : Hasil Uji Validitas Skala Emotional Quotient……….……………..89

Lampiran 4 : Hasil Uji Validitas Skala Sikap Toleransi Beragama………..……...90

Lampiran 5 : Hasil Uji Tryout Reliabilitas Skala Emotional Quotient………..…..91

Lampiran 6 : Hasil Uji Tryout Reliabilitas Skala Sikap Toleransi Beragama….....92

Lampiran 7 : Skala Penelitian Variabel Emotional Quotient…………………..….93

Lampiran 8 : Skala Penelitian Variabel Sikap Toleransi Beragama………..……..96

Lampiran 9 : Hasil Data Variabel Emotional Quotient……………………..……..99

Lampiran 10 : Hasil Data Variabel Sikap Toleransi Beragama……………….…..102

Lampiran 11 : Hasil Deskripsi Data……………………………………………….104

Lampiran 12 : Hasil Deskripsi Data Berdasarkan Usia………………………...…105

Lampiran 13 : Hasil Uji Normalitas……………………………………………….106

Lampiran 14 : Hasil Uji Liniearitas……………………………………………….107

Lampiran 15 : Hasil Uji Hipotesis……………………………………………...…108

Page 13: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Toleransi merupakan sikap yang positif apalagi di Indonesia. Negara yang

berdasarkan ke pada Pancasila. Setiap orang yang hidup pada masyarakat

majemuk perlu sikap toleransi guna daya tahan terhadap lingkungan. Oleh karena

itu, masyarakat yang toleran tidak merasa terganggu oleh perbedaan. Lingkungan

yang nyaman sebab nilai positif dari setiap individu. Bahwasanya, setiap orang

saling menghormati karena toleransi terhadap pluralisme.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XI mengenai agama pasal 29

ayat 2 dan 1 menjelaskan. Bahwasanya, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang

Maha Esa, dan negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk

agama masing-masing. Selain itu, semua umat dapat melaksanakan ibadah

menurut agama dan kepercayaan (Imron, 2017). Dengan demikian, penduduk

berhak memeluk agama sesuai keyakinan, dan beribadah menurut kepercayaan.

Selanjutnya, masyarakat hidup berdampingan dengan agama yang berbeda.

Sosialisasi dalam plurasime merupakan anjuran supaya hidup berdampingan

dengan damai.

Oleh karena itu, sebgai negara dengan pluralisme agama, Sukarja (1995)

mengatakan “Negara tidak identik dengan agama tertentu, tetapi Negara juga

tidak melepaskan agama dari urusan negara” (Fadeli, 2017). Bahwasanya,

Indonesia terdiri dari beberapa keyakinan berbeda seperti Islam, Kekristenan,

Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Kongfucu. Kehidupan

sosial beragama dari berbagai keyakinan tersebut menjadi hubungan yang

berpetak-petak. Dengan demikian, masyarakat secara psikologis sedikit demi

sedikit rawan terpengaruh oleh sentiment agama melalui berbagai macam cara

karena cukup runyam.

Page 14: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Dalam pluralisme memang nampak persoalan dari setiap umat agama. Seluruh

pemeluk muncul gejala jiwa yang terlihat melalui perilaku, dan tindakan.

Sesungguhnya, setiap agama dimaksudkan agar memiliki frame yang sama,

bahwa hakikat keyakinan tidak hanya menyangkut urusan bersosial tetapi juga

implikasi terhadap batiniah. Agama merupakan dua sisi yang harus berjalan tanpa

ada kesenjangan, seperti diskriminasi, anarkhi, intoleransi, dan lain-lain. (Lebih

lanjut dalam Mujtahid, 2014) Agama merupakan pelaksanaan konkret terhadap

penegakan hak, dan penunaian kewajiban. Setiap pemeluk agama memiliki

karakter, dan fitrah “Bawaan” yang kadarnya berbeda. Oleh sebab itu, luapan

atau gejolak kerap muncul.

Kehidupan masyarakat yang heterogen dalam agama, dan paham ajaran

mengakibatkan gesekan pada berbagai dimensi, seperti kepetingan sosial, tatanan

mengenai ekonomi, struktur dalam kekuasaan, serta ideologi tentang sosial-politik

yang terjadi karena sangat hegemonik. Oleh karena itu, masalah yang muncul

menjadi sangat komplek. Bahkan pada agama dengan tingkat heterogenitas, dan

pluralitas yang tinggi. Sesungguhnya, sangat potensial memunculkan konflik.

Kepentingan yang berlainan menjadi berpadu ke dalam (Mursyid, 2016).

Adapun dalam casual importance (makna kasual) dan kekhasan tentang

kelompok, bahwa perilaku sebagai transformasi yang kontekstual, seperti logam

yang terpengaruh oleh keberadaan magnet. Campbell (1956) menunjukkan

konsekuensi dari kategorisasi adalah memunculkan efek kontras dalam sebuah

penilaian sederhana. Bahwasanya, faset penting stereotype adalah penguatan

kontras antar kelompok. (Lebih lanjut dalam Brown, 2005) Anggota yang

berlainan kelompok terlihat lebih berbeda dari keadaan sebenarnya, sedangkan

anggota satu gugusan tampak serupa (Tajfel, 1959).

Oleh karena itu, interpretasi setiap umat yang berbeda menjadi tidak cocok.

Bahkan identitas sebagai anggota berpengaruh pada perspektif dari kelompok

yang berlainan. Penilaian bukannya objektif melainkan subjektif yang

terpengaruh oleh kategorisasi. Individu mengevaluasi perilaku bukannya karena

Page 15: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

motif melainkan berhubungan dengan kelompok. Pria yang merokok bukan

Muhammadiyah, dan wanita yang menggunakan cadar adalah Islam garis keras.

Dengan demikian, membentuk sifat curiga, dan akal yang buruk. Sesungguhnya,

ekspektasi atau pemikiran tidak sejalan dengan realitas.

Jadi, bisa dipahami bahwa, menjalani kehidupan dengan agama yang kontras

karena fitrah bawaan yang berbeda. Masyarakat membutuhkan jalan pemikiran

sebab agama bersifat sensitif, yakni fokus yang presisi pada ruang lingkup luas.

Sesungguhnya, fokus asumsi berbeda yang berada pada satu bidang. Penurunan

kejelasan citra pada kedua sisi di antara fokus bidang tersebut bersifat sedikit

demi sedikit. Dalam ruang lingkup yang luas ketidak jelasan citra dapat tidak

tampak pada kondisi asumsi normal, seperti tidak semua umat Islam

Muhammadiyah anti rokok, dan NU tidak semua anggotanya perokok.

Sebaliknya, pada keadaan tertentu berharap seluruh komponen dalam lingkungan

tampak jelas karena lingkup yang luas memiliki kedalaman ruangan tersendiri

bagi masyarakat, yakni beragama. Kemudian, pada kondisi yang lain mengenai

kedalaman dari ruang yang luas tersebut menjadi efektif untuk penekanan nilai

subjek pada foreground (latar depan atau representasi yang paling tampak) dari

seseorang, serta background (latar belakangnya).

Agama telah menjadi kajian yang luas dalam penelitian sosial. Norma baik

mengenai bersosial maupun agama, dua-duanya membawa nilai yang positif bagi

kehidupan, seperti saling menghormati, dan menyayangi. Bahkan agama

merupakan pilar perilaku terkait dengan implementasi nilai ke Tuhanan terhadap

umatnya. Sebaliknya, persoalan yang muncul dalam pluralisme agama, seperti

gejala jiwa terhadap setiap umat. Kecemasan bersosial muncul pada lingkungan

yang pluralisme. Masyarakat bisa menjadi stres karena saling bersinggungan.

Sebenarnya, kemajemukan menjadi sebuah keharusan dengan tujuan saling

memahami karena penyimpangan masih wajar, dan masyarakat bisa menerima.

Horney (1993) mendefinisikan kecemasan dasar sebagai “Keburukan hati

yang meningkat, meliputi keseluruhan perasaan kesepian, dan tidak berdaya di

Page 16: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

dunia yang fana.” Kecemasan dasar adalah pilar tempat neurosa terakhir

berkembang, dan ini tidak dapat terpisahkan dengan perasaan permusuhan.

Bahwasanya, mendasari seluruh hubungan yang telah atau akan terbentuk oleh

individu dengan orang lain. Horney menganalogikan dengan orang yang

menderita kecemasan dasar, dan negara yang mengalami pergolakan politik.

Kecemasan dan kerusuhan antar individu serupa dengan pergolakan bawah tanah.

Oleh karena itu, dalam memahami prespektif mengenai kondisi tersebut.

Peneliti mencoba melakukan wawancara untuk mengetahui respon dari seorang

Anggota GP Ansor. Berinisial F pada tanggal 1 April 2018. Dalam wawancara

yang berlangsung hampir dua jam bersama F ini mengungkapkan, bahwa beliau

sering melakukan syiar dalam kegiatan agama baik umum maupun sebagai

Anggota GP Ansor. F bercerita kalau beliau kerap menghadiri undangan dari

kelompok agama Islam yang berbeda dalam sebuah acara. Dengan demikian,

beliau selalu terlibat kontak dalam bersosial, dan menuntut si F untuk

menyesuaikan diri dengan menjaga sikap pada situasi yang sedang berlangsung

(perilaku, bahasa, tubuh, dan lain-lain). Walaupun lingkungan tempat F tinggal

terdapat kelompok yang berlainan, tapi beliau menanggapinya dengan wajar.

Bahwasanya, menurut beliau merasa bisa memaklumi karena paham mereka

mengenai ajaran Islam yang berbeda, dan tidak menimbulkan keresahan bagi

masyarakat sekitar. F memiliki alasannya tersendiri, yakni bilamana organisasi

tersebut mendapatkan izin dari negara, maka masih bisa ditolerir.

Berdasarkan hasil primary research di atas, bisa dipahami bahwa agama yang

kontras karena paham setiap kelompok berbeda. Penilaian terhadap perilaku umat

juga berbeda, bahwa ada penyesuaian dengan ajaran. Bahkan setiap kelompok

menghendaki lingkungan yang sesuai pada cita-cita. Dengan demikan,

menunjukkan ruang tertentu di dalam citra yang tampak relatif kejelasannya

karena ada perbedaan kenyataan secara gradual pada lingkungan. Masyarakat

melakukan perdebatan dalam diri guna memahami hal tersebut. Individu harus

melihat perbedaan dengan pandangan yang positif. Bilamana melihat perbedaan

Page 17: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

pada sudut yang negatif, seseorang memikirkan kebenaran sendiri. Individu

bukannya memahami perbedaan melainkan sentiment, serta egoisme yang

memunculkan perilaku agresif atau perselisihan. Sesungguhnya, masyarakat yang

hidup berdampingan dengan kemajemukan bertujuan untuk menghindari konflik

atau kekerasan.

Setiap manusia memiliki sifat genetik, mendasar, dan potensi yang baik.

Genetik yang baik itu juga memiliki jalur perkembangan yang sehat, serta

perkembangan yang dikehendaki, yakni aktualisasi dari sifat atau potensi

individu. Orang berkembang mencapai kemasakan yang sehat bila mengikuti

lintasan yang tersembunyi, teretutup, sepintas mengikuti hakekat alami, dan

berkembang dari dalam alih-alih dari luar (Rosyidi, 2013). Dengan demikian,

seorang umat mampu mendapatkan pengetahuan yang positif dari kondisi

tersebut.

Adapun toleransi beragama merupakan perubahan emosi menjadi cinta dan

harmoni dalam lingkungan. Orang yang beragama matang merasa tentram, dan

damai karena cinta mendasari seluruh hubungan interpersonal. Oleh sebab itu,

orang yang beragama matang bebas dari rasa benci, prejudice, permusuhan, dan

lain-lain. Akan tetapi, harmoni serta cinta sebagai dasar bagi kehidupan bersosial

atau interpersonal. Selain itu, semua orang ternyata tidak bisa mencapai puncak,

yaitu keberagamaan yang matang ini (Ismail, 2012). Sesungguhnya, baik faktor

eksternal atau internal dapat mempengaruhi.

Nilai toleransi beragama antar umat merupakan hal yang penting, karena

keberadaannya dapat menciptakan kerukunan dalam hidup. Toleransi menjadi

awal dari kerukunan, dan masyarakat sulit untuk akur kalau tanpa toleransi. Sikap

saling menerima, menghormati, mengasihi, dan gotong royong antar umat

beragama (Ummaikhah, 1995). Akan tetapi, pada masa sekarang ini sering salah

mengartikan toleransi dengan mengakui kebenaran semua agama. Sesungguhnya,

kebenaran tetap oleh keyakinan diri sendiri, dan bisa saling menrima. Berpikir

Page 18: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

dengan luas, terbuka, mengizinkan perbedaan, serta menjadikan bagian dalam

hidup.

Melihat kondisi tersebut, situs Kementrian Agama (KEMENAG) melansir

beberapa laporan tentang kerukunan umat beragama di Indonesia tahun 2017.

Dalam survey yang dilakukan oleh Badan Litbag pada tahun 2017. Mas’ud

mengungkapkan, angka indeks diperoleh dari hasil pengukuran tiga indikator.

Toleransi (70,91), kesetaraan (72,38), dan kerja sama (73,51) (Didah, 2018).

Sumber: Kementrian Dalam Negeri (dikutip dari Didah, 2018)

Gambar 1

Kerukunan Umat Beragama

Agama dapat mempersatukan dan menyelesaikan segala aktivitas manusia,

baik perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Bahwasanya, dalam

keimanan atau ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai makhluk

yang bersosial. Seseorang melaksanakan ajaran karena ingin memperoleh

keselamatan hidup di dunia, serta akhirat (Hasanah, 1998). Selain itu, mengenai

interpretasi dan implementasi yang terikat pada keseharian. Umat beragama

70,91

72,38

73,51

69,5

70

70,5

71

71,5

72

72,5

73

73,5

74

2017

Kerukunan Umat Beragama

Toleransi

Kesetaraan

Kerjasama

Page 19: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

mempunyai perasaan yang senasib. Semua pemeluk wajib untuk menerima

sebagai saudara yang sebangsa dalam Indonesia.

Agama merupakan elemen yang penting, signifikan, dan paling sensitif dalam

toleransi. Agama mempunyai legitimasi, kekuatan, dan emosi yang luar biasa

dalam membentuk sikap. Sesungguhnya, mengenai konflik antar suku, agama,

dan golongan telah menyadarkan kembali. Bahwasanya, proses nation di

Indonesia masih belum sempurna (Hamsyah, 2014).

Adapun observasi yang peneliti lakukan pada 5-7 April 2018. Dalam

lingkungan beragama yang plural di Kecamatan Balongbendo. Setiap desa

terdapat kelompok agama yang berbeda, dan seluruh lapisan masyarakatnya.

Seluruh umat bisa saling menerima, namun struktur yang demikian menunjukkan

sebuah gambar yang terkategori dari minoritas sampai dominan. Kondisi tersebut

berdampak dalam banyak hal, kemudian memunculkan persoalan baru. Gejala

baik secara langsung maupun tidak langsung terasa oleh masyarakat. Stres dalam

bersosial tidak bisa memungkiri kemunculannya dari beberapa individu, bahkan

merasa enggan untuk terlibat. Oleh karena itu, beberapa orang kemudian

menjalani hidup yang berorientasi pada diri sendiri sebagai tolak ukur

pencapaiannya dalam aspek masyarakat.

Individu memiliki kebutuhan yang harus dia penehui, dan menyikapi

kelompok sebagai kepemilikannya pada kesempatan terhadap beberapa hal.

Bahkan penglihatan seseorang terhadap individu yang lain. Dampak yang terlihat

di berbagai unsur dalam diri masyarakat sangat sulit untuk menyadarinya. Akan

tetapi, pengaruh yang kemudian muncul baik pada diri sendiri oleh orang lain

maupun lingkungan dari dirinya belum sepenuhnya menyadari. Bahwasanya,

dalam hal mengenai lingkungan beragama yang majemuk. Selanjutnya, esensial

dari masyarakat sebagai pemeluk yang beragama Islam menjadi kurang timbul.

Adapun penyesuaian bersosial yang baik dengan emotional quotient.

Lingkungan lebih bisa menerima apabila individu cerdas merasa. Bahwasanya,

sebuah perasaan yang positif. Emotional quotient memberi kesan yang baik

Page 20: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

mengenai dirinya dan orang lain, seperti rasa percaya diri. Selain itu, kemampuan

menciptakan keseimbangan diri, dan lingkungan. Individu dapat mengendalikan

perasaan, mengungkapkan emosi dengan baik, serta bereaksi sesuai dengan

kondisi yang ada. Interaksi pada lingkungan dapat berlangusng baik dan efektif.

Dengan demikian, individu lebih mudah untuk menyesuaikan dalam bersosial

(Rochman, 2014).

Jadi, dapat disimpulkan, bahwa emotional quotient menjadi penyebab sikap

toleransi dalam beragama atas kesadaran diri sendiri. Masyarakat telah bisa

menerima perbedaan oleh orang lain, mengevaluasi sekitarnya, serta

menyesuaikan dengan baik. Bandura (1993) menjelaskan, bahwa menempatkan

manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation),

mempengaruhi tingkah laku dengan mengatur lingkungan; menciptakan

dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah laku sendiri.

Oleh karena itu, kehidupan berbeda-beda agama. Individu tidak hanya

toleransi tetapi juga cerdas merasa. Emotional quotient merupakan pilar dari sikap

toleransi, bahwa individu yang cerdas merasa tidak hanya pada dirinya sendiri

tetapi juga peka terhadap sekitar, mengevaluasi, mengasumsikan, serta ketahanan

terhadap kecemasan bersosial. Selain itu, kebutuhan unutk self disclosure

individu harus bisa mengerti posisi diri, dan mengerti orang lain, kemampuan

mengungkapkan, dan jujur terhadap diri sendiri.

Adapun orang dengan disiplin emosi yang sangat baik menekan frustasi akibat

pengaruh dari luar dirinya. Individu menjadi pandai dalam menyesuaikan diri

dengan efektif, dan menekan pengaruh kontras pada lingkungan. Dengan

demikian, individu perlu melindungi diri dengan emotional quotient supaya bisa

saling memahami, dan memiliki sikap toleransi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumus mengenai masalah dalam

penelitian ini adalah; apakah ada hubungan antara emotional quotient dengan

sikap toleransi beragama?

Page 21: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, dan rumusan masalah di atas. Tujuan dalam

penelitian ini adalah; unntuk mengetahui apakah ada hubungan emotional

quotient dengan sikap toleransi beragam.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis untuk ilmu psikologi, yaitu mengharapkan

peneliritan ini bisa menambah wawasan, dan refrensi kepustakaan mengenai

pengetahuan pada psikologi. Bahwasanya, dalam psikologi sosial yang secara

khusus mengenai kaitan antara emotional quotient dengan sikap toleransi

beragama.

2. Manfaat Praktis

a. Mengharapkan peneliti yang selanjutnya dapat memberi masukan bagi

ilmuwan pada psikologi. Setelah itu, bilamana ingin meneliti pada bidang

yang serupa, penelitian ini bisa menjadi sebuah masukan untuk peneliti-

peneliti selanjutnya.

b. Adapun partisipan yang ikut maupun tidak mengikuti. Penelitian ini

berharap bisa memeberikan sumbangsih berupa informasi mengenai

hubungan emotional quotient dengan sikap toleransi beragama.

E. Keaslian Penelitian

Sebelum penelitian tentang emotional quotient dengan sikap toleransi

beragama ini, para peneliti telah banyak yang melakukan penelitian. Banyak

peneliti yang menggunakan EQ sebagai dasar dalam toleransi beragama untuk

menghadapi lingkungan yang majemuk.

Fadeli (2017) menganalisis hubungan antara prasangka sosial dengan toleransi

beragama pada mahasiswa yang mengikuti organisasi kemahasiswaan. Hasil

penelitian berdasarkan perhitungan secara teoritis menunjukkan, bahwa nilai rata-

rata teoritis 64, dan rata-rata empiric sebesar 70.11 pada variabel prasangka

Page 22: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

sosial. Dengan demikian, kecenderungan pada mahasiswa untuk berprasangka

tinggi. Selain itu, variable toleransi beragama mendapatkan nilai rata-rata teoritis

sebesar 70, dan rata-rata empiric 107,84. Dengan demikian, mahasiswa

mempunyai kecenderungan untuk berprasangka, dan toleransi terhadap

mahasiswa yang menganut agama berbeda.

Ismail (2012) mendalami konsep toleransi dalam psikologi agama yang

meninjau dari kematangan beragama. Hasil dari penelitian ini menunjukkan,

bahwa orang yang beragama matang memiliki kemungkinan kecil untuk

melakukan perbuatan, seperti menentang nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan

sosial. Akan tetapi, bilamana orang yang beragama secara rutin menjalankan

ritual keagamaan dengan sesuai, dan masih berbuat keburukan. Sesungguhnya,

keberagamaan orang tersebut tidak matang. Bilamana keberagamaan matang

cukup menyediakan ruang, pelaku bisa hidup dengan baik secara ketuhanan,

sosial, dan kemanusiaan. Bahwasanya, mendekati sikap yang toleran.

Komari (2017) menganalisis toleransi beragama yang meninjau dari konsep

diri, dan emotional quotient. Hasil penelitian ini mendapatkan hubungan yang

positif, dan signifikan. Bahwasanya, konsep diri dengan emotional quotient dalam

toleransi beragama memiliki hubungan. Selain itu, hasil efektif dari penelitian ini

menunjukkan, bahwa konsep diri maupun emotional quotient merupakan dua

faktor yang secara simultan berpengaruh besar terhadap toleransi beragama.

Dengan demikian, bilamana masalah mengenai toleransi beragama, konsep diri

dan emotional quotient merupakan predictor yang tidak dapat terabaikan begitu

saja.

Prawira (2010) mendalami hubungan antara makna hidup dengan toleransi

beragama pada Jamaah Salafy di Bekasi. Hasil penelitian dan interpretasi data

meneumkan, bahwa makna hidup ataupun toleransi beragama pada Jamaah

Salafy, hubungan dua-duanya signifikan. Selain itu, hasil penelitian menemukan

perbedaan yang berdasar pada jenis kelamin, pendidikan, dan usia. Jenis kelamin

yang berbeda memperoleh kesimpulan, bahwa laki-laki (ikhwan) memiliki makna

Page 23: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

hidup, dan toelransi beragama yang lebih tinggi. Selain itu, jika membandingkan

perempuan (akhwat) yang berdasarkan pada pendidikan SMP, dan tingkat S1.

Subjek dengan pendidikan SMP memiliki makna hidup, dan toleransi beragama

yang tertinggi. Sebaliknya, subjek pada tingkat S1 sebagai yang terendah. Selain

itu, dari usia yang berbeda memperoleh kesimpulan, bahwa jika membandingkan

dengan usia yang berlainan, subjek pada usia 17 tahun sebagai yang tertinggi

dalam memaknai hidup, dan toleransi beragama. Setelah itu, subjek pada usia 22

tahun dalam makna hidup, dan toleransi beragama sebagai yang terendah.

Ermawati (2016) mendalami hubungan antara emotional quotient dengan self

directed learning terhadap siswa pada kelas XI MA Bustanul Ulum Glagah

Lamongan. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa koefisien adalah 0,903

dengan signifikasi 0,00 karena taraf signifikasi < 0,05 maka menolak Ho.

Bahwasanya, terdapat hubungan yang positif antara emotional quotient dengan

self directed terhadap siswa/siswi pada MA Bustanul Ulum Glagah Lamongan.

Bilamana semakin besar X, maka semakin besar Y.

Istiqomah (2015) menganalisis hubungan emotional quotient dengan self

efficacy terhadap pemecahan masalah penyesuaian diri pada remaja. Hasil

penelitian memperoleh signifikansi emotional quotient terhadap pemcahan

masalah pada penyesuaian diri sebesar 0.136 dengan koefisien dalam korelasi

0.174. Dengan demikian, menolak hipotesis karena signifikansi > 0.05, bahwa

hubungan antara emotional quotient dengan pemecahan masalah terhadap

penyesuaian pada diri tidak ada. Selain itu, signifikansi self efficacy terhadap

pemecahan masalah penyesuaian pada diri sebesar 0.070 dengan koefisien dalam

korelasi sebesar 0.210, karena signifikansi > 0.05 maka menolak hipotesis.

Bahwasanya, hubungan antara self efficacy dengan pemecahan masalah terhadap

pnyesuaian pada diri tidak ada.

Rochman (2014) mendalami hubungan antara emotional quotinet dengan

penyesuaian sosial pada siswa kelas X di SMA NU 2 Gersik. Hasil penelitian

terdapat hubungan yang signifikan antara emotional quotient dengan penyesuaian

Page 24: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

sosial pada siswa kelas X di SMA NU 2 Gersik. Hubungan kedua variable (x dan

y) adalah berbanding lurus. Penyesuaian sosial mengikuti emotional quotient

yang semakin tinggi.

Sari (2014) mendalami, dan meninjau perbedaan emotional quotient pada

siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Melakukan penelitian

di SMA Wahid Hasyim Model Sumberwudi, Kec. Karanggeneng, Kab.

Lamongan, memberikan hasil, bahwa terdapat perbedaan emotional quotient pada

siswa jika meninjau dari jenis kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Berdasarkan uji

anova, memperoleh harga F hitung 78,078 dengan signifikansi sebesar 0,00 <

0,05, maka menolak Ho ditolak, dan menerima Ha. Dengan demikian, menerima

perbedaan emotional quotient pada siswa jika meninjau dari kegiatan ekstra di

sekolah.

Putro (2018) mendalami hubungan antara emotional quotient dengan

kematangan karir pada mahasiswa. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa

terdapat hubungan antara emotional quotient dengan kematangan karir.

Bahwasanya, secara empiris dengan harga pada koefisien sebesar 0.478 dan

tingkat dalam signifikansi sebesar 0,000. Koefisien pada korelasi menujukkan

nilai yang positif. Bahwasanya, kemampuan yang semakin tinggi pada mahasiswa

Fakultas Psikologi ataupun Kesehatan dalam mengolah, dan mengekspresikan

emosi. Dengan demikian, kematangan karir pada mahasiswa bisa meningkat,

bahwa menerima hipotesis pada penelitian ini. Menyatakan hubungan antara

emotional quotient dengan kematangan karir memang ada.

Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat perbedaan dan persamaan.

Perbedaan dalam menggunakan intrumen, jumlah responden, tempat, dan waktu.

Setelah itu, variabel yang berlainan, yakni prasangka sosial, self efficacy, konsep

diri, self directed learning, kematangan beragama, penyesuaian sosial,

ekstrakurikuler, kematangan karir, serta makna hidup. Akan tetapi, peneliti tidak

hanya memiliki perbedaan tetapi juga kesamaan, yaitu meneliti tentang kedua

variable yang serupa. Peneliti lebih tertarik pada emotional quotinet yang

Page 25: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

mempengaruhi sikap toleransi beragama. Variabel bebas tersebut terpilih karena

memerlukan emotional quotient dalam sikap toleansi beragama.

Jadi, bisa disimpulkan, bahwa penelitian saat ini berbeda dengan sebelumnya.

Baik objek maupun variable, dan lokasi dalam penelitian tidak serupa. Bilamana

terdapat penelitian terdahulu dengan kesamaan judul. Penelitian tersebut tetap

memiliki perbedaan pada lokasi dalam penelitian, subjek, jumlah sampel, dan

metode penelitian.

Page 26: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Toleransi Beragama

1. Pengertian toleransi

Toleransi apabila menyalin ke dalam bahasa inggris menjadi tolerance,

yaitu menahan atau memikul. Masyarakat memberikan ruang meskipun saling

berbeda pendapat. Sekalipun merasa tidak menyukai, masyarakat tetap

berkooperasi (Utama, 2015). Individu tidak hanya menerima kehadiran orang

lain tetapi juga menjalin hubungan. Hidup berdampingan, dan menciptkan

lingkungan yang damai.

Menurut Faizah dan Effendi (2006) toleransi dimaksudkan sebagai sikap

pengertian, dan beradaptasi dengan baik (saling menguntukngkan). Individu

bukan menyerupai mayoritas lingkungan melainkan diri sendiri. Toleransi

karena kesadaran diri untuk saling memahami, dan pengertian. Dengan

demikian, terjalin rasa persaudaraan dan kebersamaan.

Adapun Ali (2003) mennyampaikan, bahwa toleransi bertujuan

menanggapi keberagaman. Toleransi terdapat dua sikap yang ekstrim, yaitu

eksklusif dan pluralis. Selanjutnya, skema toleransi dibuat guna memperjelas,

seperti di bawah ini (Fadeli, 2017).

Sumber: Skema toleransi (dikutip dari Fadeli, 2017)

Gambar 2

Skema Toleransi

Berdasarkan skema di atas, bisa dijelaskan bahwa kategori toleran terbagi

menjadi tiga, yakni eksklusif di sebalah kiri, toleran di posisi tengah, dan

pluralis di bagian kanan. Eksklusif adalah sikap yang menutupi (seluruh atau

Page 27: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

sebagian) kebenaran. Setelah itu, toleran merupakan pemberian kebebasan

tetapi secara pasif. Bahwasanya, masyarakat tidak berusaha memahami, dan

berkooperasi. Selanjutnya, pluralis dimaksudkan sebagai meyakini kebenaran

diri sendiri. Akan tetapi, individu tidak hanya membenarkan diri sendiri tetapi

juga menghargai, menerima, dan mengakui agama yang berlainan. Bahkan

semua pihak saling berinteraksi, dan kooperatif.

Dalam sistem lingkungan yang majemuk tidak hanya sebagai penyatu

tetapi juga memberi ruang bagi setiap kelompok. Menurut Lowy (1942)

menjelaskan, bahwa toleransi mempunyai fungsi yang dinamis kemudian

menyebabkan pertentangan jiwa dalam kendali pikiran. Proses yang terus

terjadi adalah bilamana perbedaan kembali mucul oleh orang lain, maka

fungsi dari toleransi tetap terpelihara. Menyesuaikan pada kebutuhan dari

keadaan dengan mengurangi pengaruh-pengaruh yang ada.

Disamping mengenai pengertiannya, Alport dalam The Nature Of

Prejudice (1979) membagi menjadi 6 macam bentuk toleransi, yaitu:

a. Kesesuaian toleransi

Toleransi terjadi karena terdapat aturan, standar, dan kode etik yang

mengaturnya. Masyarakat menjadi toleran karena mengikuti peraturan,

bahwa setiap orang menyesuaikan pada kaidah yang berlaku.

Menurut Piaget (1981) mengungkapkan, bahwa penyesuaian

merupakan bagian dari perkembangan kognitif yang terjadi dalam suatu

proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif

seseorang ketika mengintegrasikan persepsi, konsep, dan pemahaman baru

ke dalam skema atau polah yang sudah ada dalam pikiran. Akomodasi

adalah membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan baru,

atau memodifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan rangsangan

itu.

Page 28: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

b. Pengkondisian karakter

Pengkondisian karakter adalah orang yang memahami arti toleransi.

Bahkan individu bisa meneladani dengan baik. Kemampuan melihat sisi

positif menandakan watak yang baik, seperti menghargai setiap orang.

Sesungguhnya, input nilai toleransi ke dalam diri, bahwa kesadaran

mengenai interpretasi dari toleransi kemudian penerapan dalam

lingkungan yang majemuk.

Toleransi dimaksudkan sebagai tingkat kepribadian, dan watak dalam

berperilaku di lingkungan yang majemuk. Orang yang toleran merupakan

sifat individu dalam implikasi struktur pada neuropsikis. Kepribadian

berkembang atau berubah melibatkan berbagai komponen secara psikofisis

dengan input nilai perbedaan yang sepadan. Menurut Allport (1937)

kepribadian adalah organisasi dinamik dalam individu atas sistem-sistem

psikofisis yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap

lingkungan.

c. Toleransi militant

Sekelompok orang yang menentang tindakan intoleransi. Dalam

kelompok antar anggota mengadakan kerja sama untuk mencapai

kepentingan bersama, yaitu mengajak setiap orang supaya ikut

bertoleransi. Individu berjuang dengan penuh semangat, dan meminta

untuk toleran jika ada pihak yang intoleran.

Menurut Skiner (1990) penguatan positif terjadi ketika respon

dirender (inkrases dalam frekuensi) karena kedatangan oleh stimulus

(yang mungkin) menyenangkan ikut menyertai. Penguatan positif

mempengaruhi pengembangan kepribadian secara langsung. Mengikuti

tanggapan yang memberikan hasil menyenangkan menjadi lebih kuat, dan

cenderung menjadi pola kebiasaan perilaku. Dorongan positif memotivasi

banyak perilaku pada kehidupan sehari-hari.

Page 29: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

d. Toleransi pasif

Seseorang menunjukkan toleransi dengan sikap menghargai

perbedaan. Akan tetapi, indivdiu tidak mengikuti yang dilakukan oleh

setiap orang, bahwa sekedar interpretasi mengenai toleransi terhadap

keanekaragaman, seperti saling menghormati, dan memberi kebebasan.

Individu memahami nilai, dan outcome dari toleransi yang positif.

Bahwasanya, toleransi pasif adalah orang yang menempuh jalan damai,

dan berusaha untuk mendamaikan semua pihak.

Identifikasi positif terdiri dari mental menempatkan diri ke tempat

orang lain, dan bereaksi lebih atau kurang intens terhadap rangsangan

yang benar-benar menimpa orang lain. (Lebih lanjut dalam Heider, 2013)

Berpikir perbedaan antara penularan emosi dan simpati adalah mendasar,

setidaknya ada satu kesamaan yang signifikan. Kemungkinan dalam kedua

jenis hubungan interpersonal. Sentiment memainkan peran paralel karena

penularan emosi, dan simpati lebih mungkin muncul dalam kaitannya

dengan rasa suka atau kekaguman pada seseorang. Sebaliknya, kepada

orang yang memliki perasaan negatif maka mengurangi rasa simpati.

Dalam penularan emosi fungsi dari lingkungan hanya menghasilkan

perasaan mengenai berbagai hal. Akan tetapi, unsur-unsur dalam kognitif

tidak harus terpakasa absen. Kita mungkin tahu betul bahwa sumber

kasual dari perasaan berasal dari sifat afektif pada lingkungan sekitar,

seperti mood orang lain.

e. Toleransi liberalisme

Menurut teori medan Lewin (1993) terdapat ciri-ciri sebagai berikut;

(1) tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu

tingkah laku itu terjadi, (2) analisis mulai dengan situasi sebagai

keseluruhan dari mana memisahkan bagian-bagian komponen, dan (3)

orang yang kongkret dalam situasi nyata dapat digambarkan secara

matematis.

Page 30: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

Lingkungan yang plural merupakan kebenaran dari beberapa

pemahaman karena memiliki interpretasi berbeda-beda, akibatnya bisa

muncul intoleransi atau sentiment. Status quo pada sistem lingkungan

yang majemuk mengharuskan setiap orang untuk bersifat toleran.

Masyarakat berpikir dengan luas, dan saling terbuka terhadap keragaman

yang ada. Keadaan intoleransi ke toleransi berubah dengan sangat cepat.

f. Toleransi radikalisme

Toleranis radikalisme merupakan intensitas seseorang sewaktu

menanggapi. Melakukan penolakan dengan penilaian yang mendetail.

Penerimaan kondisi secara aktif dengan tingkat kemampuan dalam

memahami, mencari, memanipulasi, memilih, dan merekonstruksi

informasi. Bahwasanya, toleransi sebagai deskripsi perubahan input

informasi. Pendapat yang mengemuka sangat kuat karena mengkritik

secara radikal (mendasar) pada kondisi yang intoleran. Akan tetapi,

walaupun penerimaan secara aktif dan pasif berbeda, keduanya juga

mampu memahami arti toleransi.

Menurut Newell, Shaw, dan Simon (1958) mengungkapkan, bahwa

manusia adalah pengolahan informasi yang aktif. Informasi dimaksudkan

sebagai mentransformasi apa, dan pola terstruktur dari transforman

merupakan apa yang ingin kita pahami. Secara kuratif, pemrosesan

informasi tidak pasif, tetapi lebih bersifat konstruktif.

Jadi, bisa disimpulkan, bahwa toleransi merupakan tingkat kemampuan

pemeluk agama untuk bersikap, berusaha, dan memfasilitasi terciptanya

kerukunan yang di ukur dengan skala menggunakan aspek dialog antar umat

beragama, kesabaran, penerimaan, kebebasan, penghargaan, dan kooperasi

masyarakat.

Fakta dari persaingan universal menjadi tanpa pertanggung jawaban atas

keterlibatannya pada kondisi yang real, dan mengganggu manifestasi dari

klaim sesama dalam arti yang sebenarnya. Bilamana menganggap faktor

Page 31: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

musuh dari dalam, maka subjek akan menjauh dari kedekatannya (Lowy,

1942). Toleransi berfungis secara berangsur-angsur sebagai penyatu, bahwa

generalisasi yang beroprasi tanpa menentang relasional database dengan fakta

objektif. Mengurangi rasah curiga antara dua kutub medan magnet yang saling

menolak, bahwa karena ada rasa tidak nyaman terhadap pembatasan sosial.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi toleransi

Adapun beberapa faktor yang menentukan toleransi. Alport (1954)

membagi menjadi 3 klasifikasi (Prawira, 2010), sebagai berikut:

a. Awal kehidupan

Seseorang apabila hidup dalam atmosfir yang positif. Meskipun

melakukan kesalahan, keluarga tetap menerima dan memaklumi. Individu

mempunyai keluwesan mental yang baik pada penolakan logika dua sisi

(abu-abu). Bahkan individu membiarkan hal yang kabur, tidak menuntut

kejelasan, dan strukturalisasi. Selain itu, individu tidak menyesuaikan

dengan urutan sewaktu melakukan pekerjaan atau tugas, bahwa seseorang

enggan menerapkan petunjuk sebelum berusaha sendiri. Individu tidak

menuntut kejelasan atau harus persis.

Adapun individu tetap tenang meskipun dalam keadaan terancam,

tidak mudah panik, cenderung menutupi konflik, dan tahan terhadap

frustasi. Sesungguhnya, meskipun sedang dalam tekanan, toleransi masih

bisa aktif, seperti daya tahan manusia terhadap setres. Pemahaman dalam

diri mengenai kebebasan individu dan orang lain merupakan tingkat

kemampuan yang bisa mendorong toleransi.

b. Pendidikan

Disonansi dalam pikiran timbul akibat pernyataan yang berlawanan,

kemudian memunculkan serangkaian intruksi untuk memproses

perbandingan dengan pendapat pribadi. Selain itu, keberadaan seseorang

menghadirkan informasi yang sulit bagi mental dalam proses untuk

mengerti. Menurut Lowy (1942) gejala tersebut menjadi beban yang berat

Page 32: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

bagi jiwa apabila kepribadian memiliki susunan yang tidak stabil pada

emosi.

Toleransi dimaksudkan sebagai bukti dari kecerdasan. Seseorang tidak

hanya sebagai pribadi yang baik tetapi juga pandai. Bahkan individu

mampu mengevaluasi, seperti kesadaran terhadap lingkungan sekitar.

Masyarakat dilihat seraya mengklasifikasikan. Sesungguhnya, toleransi

menjadikan lingkungan yang baik guna kemajuan hidup bersama.

c. Kemampuan empati

Kemampuan empati atau the ability to size up people diartikan sebagai

inteligensi sosial, dan kepekaan terhadap masyarakat. Kemampuan

menempatkan diri, dan menentukan kepribadian. Individu peka terhadap

prasangka ataupun pemikiran setiap orang. Seseorang bisa saling

berempati, menjalin hubungan dengan baik, dan bertoleransi.

Adapun hubungan antara simbol dengan jiwa yang lebih bersifat

universal. Jiwa yang mengalami pertentangan akibat dari membatasi

pertanyaan dengan segala kemungkinan, bahwa sangat sulit untuk mencari

titik tengah antara kedua posisi tersebut (lebih lanjut dalam Lowy, 1942).

Kehidupan bersosial yang lebih dalam mempengaruhi hal tersebut,

kemudian menghasilkan pemikiran umum bagi banyak orang. Jauh dalam

pikiran ada batin pada jiwa manusia yang bertanya, bahwa kecenderungan

untuk menarik ketidak sesuaian pada hidup ke dalam berbagai derajat, dan

keadaan secara psikoanalisis. Pikiran mengenai penolakan antar kutub

medan magnet menjadi aneh baginya. Setiap individu itu unik, dan banyak

hal yang umum bagi semua orang.

3. Pengertian toleransi beragama

Menurut Allport dalam The Nature Of Prejudice (1974), menyatakan

tentang paradok agama, dan intoleransi. Meskipun keyakinan membahas

aspek universal, agama bertanggung jawab terhadap prasangka yang muncul.

Perasaan in group timbul apabila ikatan agama terbentuk. Bahkan memberi

Page 33: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

perlakuan yang berbeda bagi orang luar karena beranggapan sebagai out

group, dan mencurigai hendak mengganggu ketahanan ikatan kelompok.

Oleh karena itu, toleransi merupakan sikap yang tepat, dan penting.

Toleransi bukannya menyamakan melainkan menerima perbedaan.

Manifestasi toleransi berupa kebersediaan untuk menyambut perbedaan

keyakinan, sehingga tahan terhadap kemajemukan. Menurut tim penyusun

ensklopedia (2018) toleransi beragama adalah sikap menghargai, dan

menghormati keyakinan yang berbeda, seperti; a. tidak memaksa untuk

mengikuti ajaran tertentu, b. tidak menghina agama dengan alasan apapun, c.

tidak mencegah ataupun mengganggu porses ibadah umat yang berlainan.

Adapun menurut Allport (1954) memberi batasan istilah toleransi, yaitu

“term to express the friendly and trust full attitude that one person may have

toward another. Regardless of the groups to which either belongs” (Lebih

lanjut dalam Prawira, 2010). Toleransi dimaksudkan sebagai sikap yang

ramah, dan penuh kepercayaan. Perasaan individu ke pada pihak yang

berlainan, yaitu perasaan terhadap orang yang acuh pada kelompok asal.

Bahwasanya, menghilangkan efek dari identitas yang kontras.

Adapun Faizah (2015) mengemukakan bahwa toleransi adalah sikap

pengertian, dan menyesuaikan diri dengan baik. Individu bukannya

menyamakan diri melainkan menyesuaikan. Hubungan dalam masyarakat

yang saling menguntungkan, dan bersikap kooperatif. Selain itu, dalam Al-

Qur’an menjelaskan tentang toleransi beragama, yaitu surat Al-Hujurat ayat

13:

م يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعىبا وقبائل لتعارفىا إن أك رم

عليم خبير أتقاكم إن للا ﴾۳۱﴿عند للا

Artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu bangsa-bangsa dan

Page 34: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang

paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa

diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

(QS: Al-Hujurat [49]: 13) (Selasa 10 April 2018, hlm. 518).

Berdasarkan penjelasan diatas, bisa disimpulkan bahwa agama

membolehkan hidup berdampingan untuk menghindari permusuhan. Setiap

umat beradaptasi dengan baik, dan saling menerima. Seluruh anggota dalam

masyarakat mempunyai komitmen untuk kemajuan bangsa, dan

meningkatakan kualitas hidup, yaitu dengan lingkungan yang kondusif. Setiap

gugusan mencoba untuk saling mengenal, kemudian menciptakan perubahan

dalam hidup ke arah yang lebih positif sebagai tingkat kemampuan

inteligensi.

Oleh karena itu, setiap umat saling bersangkut paut atau bersinggungan

tetapi tidak terjadi konflik, bahwa toleransi penting karena agama atau

pemahaman apapun bersifat sensitif. Akan tetapi, pendapat tentang toleransi

mungkin menjadi polah permikiran aneh yang mengemuka, dan bersifat

implisit. Bahkan kelompok merespon sebagai pertentangan pada elemen yang

sangat mendasar, amoral, dan intoleransi.

Disamping mengenai pengertian toleransi beragama, Reese (1999)

menyatakan bahwa toleransi beragama melalui dua fase, yaitu penyesuaian,

dan pertemuan agama berbeda. Setelah itu, tahap adaptasi ada tiga, yakni

territorialism, latitudinarianism, dan pax dissidentium (Bukhori, 2012). Kata

territorialism dimaksudkan sebagai wilayah teritorial. Setiap daerah mengakui

dan memaksakan satu keyakinan. Bahkan mengasingkan agama yang

berlainan. Setelah itu, tahap yang ke dua, yaitu latitudinarianism atau

comprehension. Satu agama yang berkuasa selama periode tersebut. Meskipun

jumlah pengikut sedikit, satu agama tetap berkuasa. Selanjutnya, pax

dissidentium, yaitu tahap kebebasan beragama terjamin seutuhnya, bahwa

sewaktu kebebeasan beragama ditanggung sepenuhnya oleh negara.

Page 35: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

Adapun Ahmad (2013) mengungkapkan dalam survei nasional kerukunan

umat beragama di Indonesia, bahwa terdapat hubungan antara variabel, dan

faktor penyebab konflik, yakni sebagai berikut:

a. Variable norma dan ajaran

Seorang umat tingkah lakunya dipengaruhi oleh ajaran dalam kitab.

Ajaran yang bersifat umum diberi pendapat atau pandangan yang teoritis,

kesan, serta internalisasi. Oleh karena itu, memunculkan interpretasi yang

bermacam-macam, dan agama berbeda disangka naif karena merasa paling

benar, seperti gerakan purifikasi. Bahkan setiap kelompok agama juga

memiliki interpretasi kehidupan yang ideal dalam masyarakat.

b. Variable pemahaman

Pemahaman merupakan kelanjutan penafsiran dari ajaran, dan bisa

berbeda-beda. Setiap umat ketika melangsungkan interaksi carah

menyikapi situasi juga berbeda-beda. Sesungguhnya, pengaruh dari ajaran

atau daerah yang berlainan. Bahkan satu agama terbagi kembali menjadi

kelompok yang tidak sama.

c. Variabel sikap

Sikap setiap umat menyesuaikan pada pemahaman terhadap kondisi

dalam bersosial, kecuali masalah kedirian agama. Setiap kelompok

muncul reaksi yang sejalan karena terikat oleh ajaran “Sebagai sesama

umat, terhadap mereka yang tidak adalah saudara”.

d. Variable persepsi

Seorang umat memiliki ilustrasi, dan persepsi terhadap masyarakat.

Setiap umat mengevaluasi fenomena yang terjadi pada masyarakat, bahwa

kenapa hubungan antara pemeluk agama memanas, dan terjadi konflik.

Setiap pemeluk agama perlu memahami secara mendalam, melihat dengan

sudut pandang yang positif, dan berpikiran dengan jernih.

Jadi, bisa disimpulkan, bahwa masyarakat menghadapi pluralisme

keyakinan. Setiap umat memerlukan jalan pemikiran dalam perbedaan.

Page 36: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Toleransi berdasarkan pemahaman yang ilmiah, serta kesadaran diri sendiri.

Disonansi dalam pemikiran mengenai penolakan dua kutub medan magnet

menjadi hilang dengan perbaikan eksternal atau lapisan luar, seperti tidak ada

pembatasan bersosial. Bahwasanya, mengurangi efek dari pengaruh kontras

karena ajaran atau norma, pemahaman, sikap, dan persepsi.

Oleh karena itu, pengalaman khusus individu memobilisasi muatan

dinamis, bahwa signifikansi memiliki proses moral ketimbang komplek

kompetitif. Memahami prasangka sebagai sistematisasi dari intoleransi tanpa

mengacu pada kesulitan dalam proses moral. Sesungguhnya, lingkungan yang

kondsuif bagi kemajemukan adalah menerima perbedaan sebagai bagian

dalam hidup setiap orang (lebih lanjut dalam Lowy, 1942). Fakta dari

kontribusi kompleks kompetitif dalam prasangka, dan peran sentral dari faktor

moral dalam pengembangan prasangka sangat sulit untuk menyangkalnya.

4. Aspek-aspek toleransi beragama

Adapun menurut Bukhori (2012) mengenai aspek-aspek sikap toleransi

beragama, yakni sebagai berikut:

a. Dialog antara umat beragama

Seluruh tokoh agama membahas secara mendalam, dan terbuka guna

menuju toleransi. Dialog yang menuju pada perdamaian, bahwa keyakinan

bisa menciptakan kerukunan, dan lingkungan yang tentram. Bahkan setiap

umat membuka diri terhadap pandangan yang berbeda.

Menurut Lowy (1942) setiap gugusan menunjukkan reaksi negatif

terhadap pernyataan dari kelompok lain. Mengenai intensitas kritik yang

menggambarkan kekecewaan atas harapan. Paham berbeda mungkin

terbukti tanpa harus ada pemisah. Mengandung unsur yang menyebabkan

rasa tidak nyaman bagi subjek karena merasa tidak dapat memahami.

Bilamana pernyataan tersebut memang benar, perasaan ikhlas menjadi

sulit bagi seseorang atau kelompok untuk merelakan demi kepentingan

semua orang.

Page 37: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

b. Kesabaran

Adapun aspek yang sabar dalam bertoleransi. Kesabaran berkaitan

dengan emotional quotient, bahwa keyakinan berkaitan pada makna

ajaran, dan akhlak seseorang yang bersifat sensitif. Individu yang sabar

mampu simpatik terhadap perbedaan, dan sikap setiap orang.

Kesadaran terhadap lingkungan, bahwa sesama masyarakat adalah

potensi orang lain sebagai pembatas dalam kehidupan. Fenomena

mengenai asosiasi simbolis menghadapkan seseroang pada proses

psikologis. Bilamana unsur mengandung hubungan simbol dan emosional

atas kedua bola. Mengakibatkan rangsangan pada lingkup tertentu, yaitu

ide (komplek) oleh pengkategorian elemen mental yang berbeda. Menjadi

faktor perubahan psikis individual yang signifikan dalam berbagai fase

kehidupan (Lowy, 1942).

c. Penerimaan

Setiap golongan menerima pendapat, dan nilai agama yang berlainan.

Masyarakat tidak memperhitungkan perbedaan karena bisa saling

menerima. Bahwasanya, setiap golongan memahami sudut pandang, dan

perilaku yang berbeda karena implementasi nilai ajaran agama.

Menurut Lowy (1942) seseorang dengan pemikiran toleransi berdaya

saing yang terakhir. Memunculkan pernyataan baru tanpa unsur pribadi

yang membuat pendengar mengalami iritasi. Agresifitas yang terkait

dengan kekecewaan persaingan bisa mengakibatkan reaksi secara

emosional. Bahwasanya, ide yang berbeda antara pembicara dan

pendengar bersifat sangat sensitif. Merangsang persaingan yang

kompleks, mendasar, dan signifikan.

d. Kebebasan

Kebebasan beragama mendapat jaminan secara penuh, dan tidak

mendiskriminasi. Seluruh masyarakat mendukung kebebasan untuk

berkeyakinan. Selain itu, negara memenuhi hak sabagai warga yang

Page 38: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

terkandung dalam UUD 1945. Setiap orang memiliki hak untuk memeluk

agama yang sesuai dengan keyakinan. Bahwasanya, kebutuhan individu

berhubungan dengan Tuhannya.

Disamping penerapan UUD 1945 mengenai kebebasan beragama,

bahwa dalam implementasinya terdapat masalah yang lain. Kesulitan yang

mendalam mengenai proses moral karena selera pada orang lain, seperti

penolakan antar kutub medan magnet. Menurut Lowy (1942) dapat

memicu persaingan komplek, bahwa mengharapkan lingkungan yang ideal

sesuai keinginan setiap kelompok. Memuat emosi yang bisa

membangkitkan antagonisme, dan kebencian karena memandang pada

sudut dangkal. Asumsi dari gagasan tersebut membangkitkan kesadaran,

bahwa sesama adalah penyusup dalam lingkup yang konkret.

Pembatas dalam orientasi yang materialistis, bahwa pemikiran

memiliki cukup realitas untuk pengoprasian secara nyata atau fisik.

Menganggap toleransi sebagai ancaman terhadap hak untuk

mempertimbangkan secara umum atau jadi amoral. Sebaliknya, menjaga

moral dengan harus intoleransi atau memberi batas dalam kehidupan

bersosial. Pandangan menjadi salah dan kesimpulan tentang hal tersebut

menjadi kegagalan partikular.

e. Penghargaan

Masyarakat saling mengapresiasi sebagai penghargaan terhadap umat

yang berlainan, seperti menghormati tempat, serta pelaksanaan ibadah.

Setiap pemeluk mempunyai komitmen untuk menjaga kerukunan, dan

menerima menjadi bagian dalam hidup. Seluruh pihak merasa sebangsa

bersaudara, dan Tuhan sebagai pencipta. Bahwasanya, kerukunan dan

persaudaraan terjalin apabila bisa saling menghargai.

Adapun penolakan antar dua kutub menjadi prinsip yang aneh,

kemudian secara asosiasi simbolis membangkitkan komplek kompetitif

dengan membatasi sesama manusia pada umumnya. Bagi mereka yang

Page 39: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

kurang toleran jika melihat sifat dengan jiwa universal menjadi sebuah

pengganggu pikiran, dan sebagai penyebut abstrak umum atau mekanisme

kerja mental dari semua orang. Bahkan mengira sebagai amoral dan

nyeleneh karena pemahaman memang bisa berbeda, bahwa sangat sulit

untuk mencari titik tengah atau temu pada dua posisi.

f. Kerja sama kemasyarakatan

Setiap orang saling menolong adalah hal yang umum. Bahwasanya,

dasar untuk mewujudkan toleransi apabila berlangsung dengan baik.

Masyarakat merasa terikat pada lingkungan, keakraban, persaudaraan,

serta saling hormat menghormati. Toleransi terhadap perbedaan keyakinan

bisa terwujud dalam masyarakat melalui rasa ketergantungan seperti

kebutuhan satu sama lain mengenai hal apapun.

B. Emotional Quotient

1. Pengertian emotional quotient

Setiap orang beranggapan, bahwa IQ sebagai penentu utama dalam

ksesuksesan hidup. Sesungguhnya, asumsi yang tidak benar karena

mengesampingkan peran dari EQ. Intelligence quotient dimaksudkan sebagai

kecerdasan manusia yang terukur melalui proses mental dengan mengelolah

tes dalam kategori tertentu. Sebaliknya, kemampuan emotional quotient

berhubungan dengan intrapersonal, dan interpersonal. Kemampuan

memanajemeni diri melalui disiplin emosi yang baik. Bahkan peka terhadap

lingkungan, serta mengoptimalkan kepribadian dengan nilai yang positif.

Disamping perbedaan antara emotional quotient dan intelligence quotient.

EQ dan IQ berkolaborasi secara dinamis dari wakut ke waktu. Pikiran emosi

serta rasional bekerja dalam keselarasan, dan saling melengkapi. Emotional

quotient membimbing keputusan secara berkala, dan bekerja dengan pikiran

rasional. Emosi memberi masukan informasi kepada pikiran rasional.

Selanjutnya, pikiran rasional memperbaiki, dan terkadang memveto masukan

informasi. Nalar sebagai eksekutif dalam emosi, kecuali ketika lepas kendali

Page 40: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

karena sedang marah. Oleh sebab itu, emosi menjadi tidak terkontrol jika

sedang marah (Goleman, 1996).

Perasaan dan akal bagaikan menjadi satu keseluruhan. Akan tetapi, baik

perasaan maupun akal memiliki pengertian, serta tugas yang berbeda. Oleh

karena itu, dibuat istilah EQ sebagai emotional quotient. Selanjutnya, istilah

IQ untuk intelligence quotient. Emotional quotient mengingatkan IQ pada

ukuran standar apabila berfungsi secara tidak optimal. EQ dan IQ merupakan

sumberdaya yang saling bersinergi. Jika salah satu ada yang nonaktif, maka

menjadi tidak sempurna. (Segal, 2000 dalam Rochman, 2014).

Amaryllia Puspasari (2009) menjelaskan, bahwa emotional quotinet terdiri

dari dua kata, yaitu quotient dan emotional. Quotient bermula pada kombinasi

antara kemampuan berpikir (kognitif), affection (pengendalian secara

emotional), serta unsur motivasi (conation). Kognitif berhubungan dengan

kecerdasan akal, seperti daya ingat, reasoning (mencari unsur sebab akibat),

judgment (proses pengembalian keputusan), dan pemahaman abstraksi (Putro,

2018).

Di samping mengenai pengertiannya, EQ juga berfungsi sebagai tali

kendali dan pendorong. Menurut Hills (1995), emotional quotient merupakan

kekuatan berpikir pada alam bawah sadar, dan sarana logis tidak ikut

menggerakkan. Hills menganjurkan supaya terbiasa mengendalikan dengan

membiasakan diri. (Lebih lanjut dalam Agustian, 2003) Menurut Cooper

(1998) EQ adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif

menerapkan daya kepekaan emosi. Selain itu, berfungsi sebagai sumber

energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Sebuah pikiran

murni manusia berasal dari alam bawah sadar. Orang terbiasa menyebut

sebagai fitrah atau kesucian manusia.

Adapun menurut Goleman (1997) yang mengungkapkan kemampuan EQ

meliputi pengendalian dir (self control), memiliki semangat, ketekunan (zeal

persistence), memotivasi diri (ability to motivate one self), ketahanan

Page 41: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

menghadapi frustasi, mengatur suasana hati (Mood), serta menunjukkan

empati (empathy), dan optimisme (Sari, 2014).

Oleh sebab itu, emotional quotient merupakan titik yang esensial karena

berhubungan tentang berbagai aspek. Bahkan mempunyai peran sangat

penting terhadap individu maupun lingkungan. Sesungguhnya, emotional

quotient sebagai landasan ketika berinteraksi dalam lingkungan sekitar.

Emotional quotient tidak hanya sebagai energi penggerak tetapi juga

memahami kondisi lingkungan.

a. Emotional quotient dalam membina hubungan

Baron (dalam Arbadiati, 2007) mengungkapkan emotional quotient

merupakan rangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non

kognitif. Indvidu yang sedang berinteraski dapat merasakan manfaat

emotional quotient. (Lebih lanjut dalam Sabiq dan Djalali, 2012) Menurut

Goleman (2006) individu lebih cerdas dalam merasakan, mampu

mengendalikan implus emosi, serta membina hubungan yang baik.

Kemampuan membaca perasaan seseorang, seperti sedih, senang,

terganggu, dan lain-lain. Sesungguhnya, emotional quotient bermanfaat

sebagai dasar untuk membina hubungan.

Oleh karena itu, emotional quotient berperan penting ketika menjalani

kegiatan sehari-hari. Menurut Goleman (2009) emosi merujuk pada

perasaan, dan pikiran yang khas karena keadaan psikologis ataupun

biologis, seperti merasa tidak enak badan karena sakit. Selanjutnya,

kondisi tersebut menjadi rangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Kemampuan menyelaraskan kondisi lingkungan dengan emosi pada diri,

bahwa emosi yang terasa berpengaruh sewaktu menyempurnakan adaptasi

(Istiqomah, 2015).

Emosi merupakan landasan yang paling kuat untuk menjaga

hubungan. Individu ketika berinteraksi dapat saling memahami kalau

memiliki emotional quotient. Bahkan kemampuan menjaga, dan menjalin

Page 42: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

hubungan yang baik. Papalia dan Feldman (2009) menjelaskan, bahwa

emotional quotient mengacu pada kemampuan untuk mengenali, dan

menghadapi perasaan setiap orang ataupun diri sendiri (Khotimah dkk,

2014).

Individu berusaha mencapai tingkat sehat intrafisik, dan intrapersonal

untuk pribadi apabila cerdas dalam merasa. Selanjutnya, kemampuan

menentukan dengan tepat kapan, dan sejauh mana perlu terlibat masalah

sosial. Bahkan individu dapat memberikan saran. Seseorang merasa bebas

menata diri, mengungkapkan perasaan dengan tepat, bertidak lugas,

spontan, memliki rasa humor, dan mampu mengatasi stres (Garlow dkk,

2012).

Patton (1998) memberikan definisi emotional quotient adalah

kemampuan menggunakan perasaan secara efektif, membangun hubungan

yang produktif, dan meraih keberhasilan. Individu dapat menjalin

hubungan dengan baik jika memiliki kepekaan emosi. Sesungguhnya,

emotional quotient sangat berkhasiat untuk menjalin hubungan. (Ifham

dan Helmi, 2015).

Disamping pengertian emotional quotient, dan kemampuan membina

hubungan. Sebelum itu, individu harus memiliki kesadaran terhadap diri

sendiri. Bilamana perasaan sedang terjadi, individu mampu memahami

suasana hati. Bahkan individu tidak hanya dapat mengenali tetapi juga

mengolah emosi, dan menjaga output perasaan selalu baik. Bahwasanya,

emotional quotient dan IQ bekerja bersama untuk memahami perasaan

pada diri.

b. Kecerdasan dalam mengenali emosi diri

Sumardi (2007) menjelaskan, emotional quotient merupakan

kemampuan mengolah emosi, dan rangsangan lailn dari luar. Emotional

quotient meliputi pengendalian diri terhadap relasi, dan berempati kepada

Page 43: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

setiap orang. Selanjutnya, kemampuan untuk mengolah rasa gembira,

sedih, semangat, serta ketekunan, dan memotivasi diri.

Adapun kecerdasan mengenali emosi diri menurut Salovey & Mayer

(dalam Goleman, 1999). Individu mampu mengerti emosi, menggunakan,

dan memanfaatkan dengan baik. Emotional quotient membantu pikiran

unutk mengenali perasaan. Individu dapat mengetahui emosi, dan

mengarahkan secara reflektif untuk menuju pengembangan emosi maupun

intelektual (Saptoto, 2010).

Menurut Goleman (2002) emotional quotient adalah kemampuan

mengatur kehidupan emosi dengan inteligensi. Individu dapat menjaga

keselarasan emosi, pengendalian diri, motivasi, empati, serta keterampilan

sosial. Selanjutnya, kemampuan mengungkapkan emosi melalui

keterampilan kesadaran diri (Jannah, 2013).

Jadi, bisa disimpulkan bahwa, setiap orang mempunyai emotional

quotient untuk memahami, dan pengembangan diri. Bahkan kemampuan

beradaptasi terhadap tekanan lingkungan, serta menyikapi masalah dengan

dewasa. Individu bisa melihat nilai positif dari peristiwa hidup yang

dialami. Bahkan melihat kehidupan setiap orang dengan berempati. Selain

itu, kemampuan memotivasi, dan menentukan langkah dengan bijak.

Individu mempunyai rasa gairah, dan bisa memutuskan dengan tepat.

c. Emotional quotient dalam memotivasi diri

EQ merupakan kemampuan mengatasi perasaan pada situasi yang

sulit. Individu menyatukan kekuatan dari perasaan sehat yang konstruktif.

Emotional quotient mampu memberikan energi yang positif pada diri.

Oleh karena itu, EQ menjadi sangat penting kerena memberikan banyak

manfaat (Manz, 2009).

Menurut Goleman (1999) emotional quotient adalah kemampuan

memotivasi diri, tahan menghadapi kegagalan, mengendalikan perasaan,

menunda kepuasan, dan mengatur keadaan jiwa. Individu bisa

Page 44: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32

menempatkan perasaan pada porsi yang tepat, bahwa mampu memilah

kepuasan, dan mengatur suasana diri. Emosi jika terorganisasi dengan

baik mampu mendukung keberhasilan dalam berbagai bidang, seperti

perasaan senang terhadap sebuah pekerjaan. (Lebih lanjut dalam Nisya

dan Sofiah, 2012) Baron (dalam Goleman, 2000) mengidentifikasi

emotional quotient sebagai rangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan

sosial. Bahkan emosi berpengaruh terhadap keberhasilan mengatasi

tuntutan, dan tekanan lingkungan.

Jadi, bisa disimpulkan, bahwa individu mampu memotivasi diri, dan

memiliki ketahanan terhadap frustasi. Kemampuan mengendalikan

dorongan emosi, yaitu keingingan untuk berusaha menjadi lebih baik, dan

tidak berlebihan dalam kesenangan. Individu mengatur suasana hati agar

setres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, dan berempati. Dengan

demikian, setiap orang dapat membimbing diri untuk mencapai kesuksean

hidup. Bahwasanya, reaksi individu terhadap masalah yang terjadi, serta

tekanan dari luar diri.

Berdasarkan penjelasan di atas, mengenai pengertian emotional quotient,

kemampuan memotivasi, membina hubungan, serta mengenali perasaan dalam

diri. Dapat disimpulkan, bahwa emotional quotient adalah kemampuan untuk

mengendalikan emosi dan rasional secara bersamaan dengan kondisi yang

tepat. Emotional quotient itu mengalami proses perkembangan setelah

melakukan pendefinisian awal terhadap kecerdasan intelektual (Puspasari,

2009).

Perasaan emosi timbul ketika mendapat rangsangan dari luar. Setelah itu,

mempengaruhi kondisi jiwa individu, dan menimbulkan gejolak dari dalam.

Disamping dorongan dari luar, gejala emosi juga timbul dari dalam diri.

Bahwasanya, suasana hati terpengaruh oleh kondisi piskologis, dan biologis.

Emosi yang muncul juga beraneka ragam, misalnya perasaan cemas akibat

kurang tidur. Individu merasa letih, dan gelisah apabila jam tidur berkurang.

Page 45: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

Bahkan kemampuan akal, dan konsentrasi menurun karena fungsi organ tubuh

tidak optimal.

Menurut Dement (1978) menjelaska, bahwa walaupun sekedar tidak

mampu tidur satu malam, atensi individu kemudian fleksibilitas mental, dan

kreativitas juga mengalami gangguan. Setelah itu, bilamana beberapa hari

berada dalam keadaan terjaga terus-menerus, individu biasanya mulai

mengalami halusinasi dan delusi (Wade dan Travis, 2008).

Oleh sebab itu, peran emotional quotient sangat esensial. Individu tidak

hanya pandai menempatkan diri pada lingkungan tetapi juga penyesuaian

dengan diri sendiri. Bahwasanya, indvidu peka pada perasaan yang terjadi

apabila mempunyai emotional quotient, dan memanfaatkan dengan tepat.

Selanjutnya, kemampuan memilah kepuasan, dan mengatur mood. Koordinasi

dengan perasaan merupakan inti dari harmoni dalam hidup.

Disamping mengenai kemampuan EQ, serta fungsi dalam khidupan

sehari-hari. Goleman (2002) meneumkan lebih banyak detail-detail fisiologis

tentang bagaimana masing-masing emosi mempersepsikan tubuh untuk jenis

reaksi yang sangat berbeda, sebagai berikut:

a. Amarah

Bila darah amarah mengalir ke tangan, mudahlah tangan menyambar

senjata atau menghantam lawan. Detak jantung meningkat dan banjir

hormon, seperti adrenalin membangkitkan gelombang energi yang cukup

kuat untuk bertindak dahsyat. Mendorong seseorang untuk melakukan

tindakan. Bahkan energi tersebut sangat kuat sehingga melemahkan akal.

b. Ketakutan

Bila darah ketakutan mengalir ke otot-otot rangka besar, seperti di kaki

maka menjadi lebih mudah mengajak untuk mengambil langka seribu.

Wajah menjadi pucat seakan-akan darah tersedot dari situ (menimbulkan

perasaan bahwa darah menjadi “Dingin”), dan pada waktu yang sama

tubuh membeku. Indivdiu mungkin mencari tempat persembunyian adalah

Page 46: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

34

reaksi yang lebih baik jika hanya sesaat. Sirkuit di pusat emosi akal

memicu terproduksinya hormon-hormon yang membuat tubuh waspada,

dan membuatnya awas untuk siap bertindak. Perhatian tertuju pada

ancaman yang dihadapi agar reaksi yang muncul semakin baik.

c. Kebahagiaan

Kebahagiaan yang timbul adalah meningkatnya kegiatan dalam pusat

akal yang menghambat perasaan negatif, dan meningkatkan energi yang

mengakibatkan perasaan tenang dari kerisauan. Akan tetapi, perubahan

dalam fisiologi tidak ada yang seistimewa ketenangan. Membuat tubuh

pulih lebih cepat dari rangsangan biologis emosi yang tidak mengenakkan.

Konfigurasi ini mengistirahatkan tubuh secara menyeluruh, kesiapan, dan

antusiasme menghadapi secara menyeluruh. Bahwasanya, kesiapan serta

antusiasme menghadapi tugas-tugas atau berjuang mencapai sasaran yang

lebih besar.

d. Cinta

Perasaan kasih sayang dan kepuasan seksual mencakup rangsangan

parasimpatik, bahwa secara fisiologis sebagai lawan mobilisasi

“Bertempur atau kabur” yang sama-sama termiliki oleh rasa takut maupun

amarah. Pola parasimpatik yang dimaksudkan merupakan “Respon

relaksasi” atau serangkaian reaksi di seluruh tubuh yang membangkitkan

keadaan menenangkan, dan puas. Oeh sebab itu, kedua pihak dapat

bekerja sama, dan bersama untuk selamanya.

e. Terkejut

Seseorang sewaktu terkejut alis mata menjadi naik, bahwa

memungkinkan untuk menerima bidang penglihatan yang lebih lebar,

serta cahaya yang masuk ke retina. Reaksi ini membuka kemungkinan

lebih banyak informasi tentang peristiwa tidak terduga, sehingga lebih

mudah memahami apa yang sebenarnya terjadi, dan menyusun rencana

rancangan tindakan yang terbaik.

Page 47: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

35

f. Jejap

Ungkapan jejap tampaknya sama, bahwa sesuatu yang menyengat baik

rasa maupun bau memberi pesan sesuai atau secara metaforis demikian.

Ungkapan wajah pada rasa jejap dengan bibir atas mengerut ke samping

sewaktu hidung sedikit berkerut, bahwa memperlihatkan usaha primordial.

Menutup lubang hidung terhadap bau menusuk atau untuk meludahkan

makanan beracun.

g. Rasa sedih

Rasa sedih dimaksudkan sebagai penyesuaian diri akibat kehilangan

yang menyedihkan, seperti kematian sahabat atau kekecewaan besar.

Kesedihan menurunkan energi dan semangat hidup untuk melakukan

kegiatan sehari-hari, terutama kegiatan perintang waktu dan kesenangan.

Kesedihan bisa memperlambat metabolisme tubuh jika semakin dalam,

dan mendekati depresi. Keputusan untuk introspektif menciptakan peluang

dalam merenungkan kehilangan atau harapan yang lenyap, dan memahami

akibat-akibatnya terhadap kehidupan seseorang, serta jika semangatnya

telah pulih merencanakan awal yang baru.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi emotional quotient

Menurut Goleman (2000) terdapat dua faktor yang mempengaruhi

emotional quotient, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

timbul dari dalam diri indivdiu yang terpengaruh oleh keadaan akal emosional

seseorang. Selain itu, akal emosi juga terpengaruh oleh amygadala,

neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontal dan hal-hal yang beberda pada

akal emosional. Selanjutnya, faktor eksternal datang dari luar individu, dan

mempengaruhi atau mengubah sikap. Pengaruh yang bersifat dari luar

individu dapat secara perorangan, kelompok, serta antara individu terpengaruh

kelompok atau sebaliknya. Pengaruh juga bisa bersifat tidak langsung yang

melalui perantara, seperti media massa baik cetak maupun elektronik dan

informasi yang cangginh lewat jasa satelit.

Page 48: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

36

Sedangkan menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi

emotional quotient (Darmadi, 2017), yaitu:

a. Faktor psikologis

Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri

indivdiu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola,

mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar

termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007)

emotional quotient erat kaitannya dengan keadaan akal emosi. Bagian akal

yang menangani emosi adalah sistem limbik yang terletak jauh dalam

hemisfer akal besar, dan terutama bergantung jawab atas pengaturan emosi

secara fisiologis, misalnya dengan melakukan puasa. Puasa tidak hanya

mengendalikan dorongan fisiologis manusia tetapi juga mampu

mengendalikan kekuasaan implus emosi. Puasa yang dimaksud salah

satunya yaitu puasa sunah senin kamis.

b. Faktor pelatihan emosi

Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan

kebiasaan rutin, kemudian menghasilkan pengalaman yang berujung pada

pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila terulang terus juga

berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul

begitu saja tanpa melatihnya, seperti melalui puasa sunah senin kamis.

Melatih dorongan, keinginan, dan reaksi emosional yang negatif agar

tidak terlampiaskan begitu saja mampu menjaga tujuan dari puasa itu

sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah senin kamis

menghadirkan suara perasaan yang jernih sebagai landasan penting bagi

pembangunan emotional quotient.

c. Faktor pendidikan

Pendidikan bisa menjadi salah satu sarana belajar seseorang untuk

mengembangkan emotional quotient. Indivdiu mulai kenal dengan bebagai

bentuk emosi, dan bagaimana mengolahnya melalui pendidikan.

Page 49: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

37

Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah tetapi juga dalam

lingkungan keluarga, dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak

boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja. Memisahkan

kehidupan dunia dan akhirat kemudian menjadikan ajaran agama sebagai

ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah senin kamis yang berulang-ulang bisa

membentuk pengalaman keagamaan yang memunuculkan emotional

quotient. Puasa sunah senin kamis mampu mendidik individu untuk

memiliki kejujuran, komitmen, visi, kerativitas, ketahanan mental,

kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, dan penguasaan diri atau sinergi

sebagai bagian dari pondasi emotional quotient.

3. Ciri-ciri emotional quotient yang tinggi

Adapun Daspari (2001) mengungkapkan beberapa ciri mengenai

emotional quotient yang tinggi. Bahwasanya, menandakan individu pandai

dalam merasa (Ifham dan Helmi, 2015), berikut untuk memperjelas ciri-ciri

emotional quotient:

a. Individu selalu positif, dan optimal dalam menangani situasi hidup.

b. Individu terampil dalam membina emosi, seperti kesadaran berekspresi,

mengenali emosi, dan perasaan terhadap orang asing.

c. Optimal pada kecakapan emosi, meliputi intensionalitas, kreativitas,

ketangguhan, hubungan antar pribadi, dan ketidakpuasan konstruktif.

d. Optimal terhadap nilai empati seperti intuisi, radius kepercayaan, daya

pribadi, serta integritas.

e. Optimal dalam kesehatan secara umum, yakni kualitas hidup, relationship

quotient, dan kinerja maksimal.

4. Aspek-aspek emotional quotient

Menurut Goleman (1996) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner

(1993) dalam definisi dasar tentang emotional quotient. Pemikiran yang

tercetuskan, dan sebagai pengembangan dalam memperluas aspek

kemampuan emosi menjadi lima kemampuan utama (Nurhadi, 2014), yaitu:

Page 50: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

38

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk

memonitor perasaan sewaktu gejala itu terjadi. Kemampuan ini

merupakan dasar dari emotional quotient. Para ahli Psikologi

menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadran seseorang

akan emosinya sendiri. Kesadaran diri memang belum menjamin

penguasaan perasaan, namun merupakan salah satu prasyarat penting

untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai

perasaan.

b. Mengolah emosi diri

Mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang dalam menangani

perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai

keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan

tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.

Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri,

melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan, dan akibat-

akibat yang ditimbulkan. Bahwasanya, seseorang mampu untuk bangkit

dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi diri sendiri

Mewujudkan perasaan melalui motivasi dalam diri individu, yang

berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan

mengendalikan dorongan hati. Mempunyai perasaan motivasi yang positif,

yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mngenali emosi orang lain (empati)

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.

Indivdiu yang memliki kemampuan empati lebih mampu menangkap

sinyal-sinyal yang tersembunyi, seperti isyarat mengenai apa-apa yang

dibutuhkan orang alin. Seseorang bisa menerima sudut pandang, peka

terhadap perasaan, dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Page 51: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

39

e. Membina hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu

keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan

keberhasilan antar pribadi. Keterampilan untuk mengungkapkan atau

berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan

membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang menjadi

diinginkan, sulit juga memahami keinginan, serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini

akan sukses dalam bidang apapun, seperti ramah tamah, baik hati, hormat,

dan disukai orang lain. Menjadi petunjuk yang positif bagaimana individu

mapmu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian

berkembang melihat dari banyak hubungan interpersonal yang

dilakukannya.

5. Dimensi emotional quotient

Disamping aspek dan faktor yang mempengaruhi emotional quotient.

Sealnjutnya, Goleman (1996) membagi pokok dimensi emotional quotient

menjadi 5 bagian, sebagai berikut:

a. Kesadaran diri

Individu selalu memonitor perasaan. Bahwasanya, melibatkan

perasaan sebagai pemandu ketika mengambil keputusan. Selain itu,

kemampuan dalam menilai diri. Indivdiu memiliki tolak ukur yang

realistis, dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri

Emosi berdampak positif apabila mengelolah dengan baik. Individu

peka terhadap kata hati, dan menunda kenikmatan sebelum target tercapai.

Selain itu, individu bisa pulih dari tekanan emosi apabila memiliki

kemampuan pengaturan diri.

Page 52: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

40

c. Motivasi

Individu memiliki dorongan untuk bergerak, dan menuntun pada

sasaran. Bahkan ketahanan menghadapi kegagalan, frustasi, mengambil

inisiatif, dan bertindak sangat efektif. Bahwasanya, inidivdu selalu

memiliki rasa optimis.

d. Empati

Empati merupakan kemampuan untuk mengetahui perasaan setiap

orang. Individu dapat mengetahui perasaan seseorang, dan memahami

prespektif mereka. Empati menumbuhkan hubungan saling percaya, dan

menyelaraskan diri dengan berbagai macam orang.

e. Keterampilan bersosial

Individu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan, cermat

membaca situasi, dan jaringan kenalannya. Inetraksi bisa berjalan dengan

lancar apabila terampil mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah,

menyelesaikan perselisihan, dan bekerjasama secara perorangan ataupun

kelompok.

6. Komponen emotional quotient

Daniel Goleman (2003) membagi kecerdasan dalam merasah menjadi lima

bagian yaitu tiga komponen berupa kompetensi emosi (intra-personal;

pengenalan diri, pengendalian diri, dan motivasi). Setelah itu, dua komponen

berupa kompetensi Sosial (inter-personal; empati dan keterampilan bersosial)

(wijanarko dan setiawati, 2017), antara lain:

a. Pengenalan diri

Pengenalan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui

perasaan dalam dirinya, dan menggunakan untuk membuat keputusan bagi

diri sendiri. Indivdiu memliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan,

dan kepercayaan diri yang kuat. Kehidupan seseorang menjadi tidak

maksimal jika tanpa mengenal diri sendiri, yakni bukannya cenderung

Page 53: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

41

perbaikan diri melainkan lebih ke eksternal atau pengaruh dari luar diri

seperti lingkungan.

b. Pengendalian diri

Pengendalian diri adalah kemampuan menangani emosi diri sehingga

berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati,

sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapai suatu sasaran, dan mampu

segera pulih dari tekanan emosi. Bahwasanya, kemampuan untuk

mengolah perasaan agar mampu melepaskan dorongan negatif.

c. Motivasi

Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat agar setiap saat

dapat membangkitkan semangat, dan tenaga untuk mencapai keadaan

yang lebih baik. Kemampuan mengambil inisiatif serta bertindak secara

efektif.

d. Empati

Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang

lain. Mampu memahami prespektif seseorang serta menimbulkan

hubungan saling percaya. Kemampuan menyelaraskan diri dengan

berbagai tipe individu.

e. Keterampilan bersosial

Keterampilan bersosial merupakan kemampuan manangani emosi

dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, seperti

mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan,

dan bekerjasama dalam tim.

C. Hubungan Emotional Quotient dengan Sikap Toleransi Beragama

Kehidupan yang majemuk dalam penyatuan dengan perbedaan pendapat.

Menimbulkan gejala penolakan antar kutub medan magnet karena mendapati,

bahwa tetap ada pemisah karena pemahaman yang lain. Disonansi pada pemikiran

kenapa hal tersebut menjadi biasa, bahkan mendapati diri merasa jengkel karena

harus berlainan. Dalam pikiran pada semua fase kehidupan seluruh aspek

Page 54: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

42

memang tidak bisa sama menonjol. Akan tetapi, penolakan antar kutub adalah

masalah penting yang jauh lebih besar lagi, seperti seseorang yang menaruh

kepentingan pribadi atas kelompok.

Dorongan simbolis sebagai kontributor yang signifikan. Konsep dalam

pemikiran yang konstan terhadap pertentangan pada fungsi dari moral

mendatangkan paradoks. Selanjutnya, mengira atau menempatkan sebagai simbol

kehidupan yang amoral. Menurut Lowy (1942) kesulitan fungsi dari moral

merupakan penyebab utama yang berpotensi dasar pada intoleransi. Walaupun

cenderung untuk pasif demi moralitas, secara pribadi yang menyatu tetap terasa

karena muatan dari tenaga penggerak, seperti menjaga kebebasan moral tetapi

tidak menghilangkan efeknya. Kepekaan menghadirkan ide yang lebih luas, dan

bersifat baru. Bahkan menurut mereka menjadi aneh karena pernyataan

bertentangan dengan pendapat atau pemikiran secara umum.

Penelitian sosial membahas agama dalam kajian yang meluas. James (1958)

berpendapat, bahwa keyakinan adalah dasar untuk menentukan sikap.

Bahwasanya, perilaku sebagai implementasi nilai ke Tuhanan. Setiap orang

merasa tentram dan damai apabila mecapai kematangan beragama. Hubungan

intrapersonal maupun interpersonal karena perasaan cinta, dan harmoni.

Masyarakat bebas dari rasa benci, prejudice, serta permusuhan (Ismail, 2012).

Disamping sebagai pilar terhadap perilaku umat. Keyakinan menjadi bagian

totalitas kepribadian, bahwa input norma agama sebagai modal awal. Individu

menginterpretasikan makna yang diajarkan. Bahkan seseorang selalu berbuat baik

karena motivasi yang positif. Sesunguhnya, setiap agama membawa kebaikan

dalam hidup.

Adapun nilai positif kemajemukan agama di Indonesia, yaitu tolernasi.

Bukhori (2012) menjelaskan pengertian, dan sikap toleran menghadapi perbedaan

keyakinan. Toleransi dimaksudkan sebagai ketersediaan menghormati, dan

mengizinkan beribadah sesuai dengan ajaran (Utama, 2015). Bahwasanya,

Page 55: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

43

masyarakat diberi kebebasan memeluk agama, dan berhak melakukan kewajiban

menurut kepercayaan.

Sikap toleransi merupakan ouput nilai kepribadian yang positif. Masyarakat

memandang dengan baik, dan mengetahui nilai positif dari perbedaan. Bahkan

setiap orang mengaplikasikan ke dalam lingkungan beragama yang plural. Setiap

orang memahami outcome positif dari perbedaan keyakinan. Bahwasanya, jalan

pemikiran terhadap lingkungan yang majemuk. Dengan demikian, perlu peran

dari emotional quotient sebagai penghasil kestabilan emosi, dan penilaian yang

jernih. Pemikiran yang negatif karena nilai emosi buruk, dan pemikiran positif

karena pengaruh emosi yang baik.

Sumardi (2007) mengungkapakan emotional quotient sebagai kemampuan

mengelolah perasaan. Bahwasanya, emotional quotient berhubungan dengan

seseorang atau lingkungan. Kemampuan untuk berempati, serta pengendalian diri

terhadap relasi. Individu mengolah rasa gembira, sedih, semangat, ketekunan, dan

memotivasi diri.

Berdasarkan penjelasan diatas, bisa dipahami bahwa emotional quotient

merupakan kemampuan mengenali perasaan, memahami dalam adaptasi terhadap

kondisi sekitarnya. Emotional quotient secara langsung terlibat, dan

mempengaruhi kehidupan sosial. Individu mengenali tiap orang dengan baik

apabila cerdas merasa. Bahkan saling toleran, dan mampu menyelesaikan konflik.

Dengan demikian, masyarakat toleransi apabila memahami outcome positif dalam

konstruksi lingkungan yang bervariasi. Penilaian individu bisa objektif karena

memiliki emosi yang bagus.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa, individu sulit beradaptasi jika emotional

quotient rendah. Sebaliknya, seseorang bisa menyesuaikan apabila memiliki

emotional quotient tinggi. Perlu disiplin yang baik untuk memanajemeni emosi

dalam kehidupan sehari-hari. Individu tidak hanya mengenali atau

mempertimbangkan hal yang berdampak buruk tetapi juga mengenali sisi baik

dari setiap kondisi.

Page 56: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

44

D. Kerangka Teoritis

Komplek dengan elemen tentang penolakan memang sebuah kekuatan yang

fundamental, dan sebagai sifat yang tidak adil atau berlebihan karena orang lain

memiliki ruang dalam banyak hal. Mental kepribadian memang membutuhkan

tujuan tertentu, dan kelompok memberikan peluang tak terbatas untuk individu

(Lowy, 1942). Akan tetapi, kecenderungan bersaing untuk menopang diri dengan

internalisasi pada pemahaman menjadi inkonsistensi disonansi kognitif, seperti

pengalihan hak atas fisik, akal, jiwa, dan batin. Sesungguhnya, seseorang bisa

meyakinkan diri sendiri sebagai tingkat kemampuan inteligensi sesuai pada

makna yang positif, dan kaidah yang berlaku.

Adapun toleransi merupakan sikap menerima keberagaman. Setiap pemeluk

agama melebur di satu ikatan dalam bersosial. Masyarakat saling menyatu karena

penyimpangan masih dapat diterima. Seseorang diberi kebebasan untuk

menunaikan kewajiban. Bahkan setiap umat saling menghormati, empati, dan

toleran. Kemajemukan dimaksudkan untuk menghindari perselisihan kemudian

saling menerima.

Disamping interpretasi peran dalam kehidupan yang majemuk, toleransi juga

membutuhkan emotional quotient. Indivdiu terampil berkomunikasi, membina

hubungan, dan menyesuaikan diri. Bahwasanya, emotional quotient sebagai

kemampuan untuk dapat bertoleransi. Bahkan individu menyikapi dengan baik,

dan tahan terhadap perebedaan.

Individu berusaha mencapai tingkat sehat intrafisik, dan intrapersonal dalam

pribadi apabila cerdas merasakan emosi. Setiap orang yang cerdas secara emosi

bisa menentukan dengan tepat kapan, dan sejauh mana perlu terlibat dalam

masalah sosial. Bahkan individu mampu memberikan saran. Seseroang merasa

bebas menyesuaikan diri, mengekspresikan emosi secara tepat, bertidak lugas,

spontan, memliki rasa humor, dan mampu mengatasi stres (Garlow dkk, 2012).

Emosi menjadi landasan yang kuat untuk sebuah hubungan. Setiap orang ketika

berinteraksi saling memahahmi apabila cerdas secara emosi.

Page 57: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

45

Berdasarkan penjelasan ahli, dapat digambarkan bahwa untuk membuat lebih

jelas hubungan emotional quotient terhadap sikap toleransi beragama, sebagai

berikut:

Gambar 3

Hubungan emotional quotient dengean sikap toleransi beragama

Gambar hubungan emotional quotient dengan sikap toleransi beragama

menunjukkan, bahwa kemampuan emotional quotient merupakan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi toleransi. Beberapa penelitian telah

membuktikan adanya hubungan antara emotional quotient dengan toleransi

beragama. Artinya, jika memiliki emotional quotient, maka seorang umat mampu

bertoleransi. Sebaliknya, jika seorang umat tidak memiliki EQ, maka toleransi

beragama jadi menurun.

Page 58: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

46

E. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap tujuan penelitian yang

diturunkan dari kerangka teori. Berdasarkan kerangka teori yang telah disusun

diatas maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini yaitu:

“Terdapat Hubungan Antara Emotional Quotient dengan Sikap Toleransi

Beragama”.

Page 59: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

47

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

Variabel adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang

ketetapannya oleh peneliti untuk mempelajari sehingga memperoleh informasi

tentang hal tersebut, dan kemudian menarik kesimpulan (Sugiyono, 1999).

Bahwasanya, variabel dimaksudkan sebagai simbol dengan berbagai macam

variasi objek yang peneliti coba pelajari. Ketetapan dari minat pada sebuah

penelitian guna memperoleh informasi. Perhatian dengan berpikir mengenai

sesuatu yang belum peneliti ketahui faktanya untuk pengkajian.

Adapun menurut pendapat Sekaran (2014) mengenai empat jenis

variabel utama, yaitu; 1) variabel terikat (dependent variable, dan menyebut

sebagai variabel kriteria atau criterion variable), 2) variabel bebas

(independent variable, dan menyebutnya sebagai variabel prediktor atau

prediction variable), 3) variabel moderat (moderating variable), serta 4)

variabel antara (intervening variable) (dalam Luthfiyah 2018). Selain itu,

penelitian kali ini menggunakan dua dari empat variabel tersebut, yakni :

a. Emotional quotient sebagai variabel terikat.

b. Toleransi beragama sebagai variabel bebas.

2. Definisi operasional

Definisi operasional bertujuan menghindari terjadi sebuah penafsiran

yang salah. Selain itu, ketentuan pelaksanaan atau tindakan dari variabel-

variabel penelitian ini, yaitu:

a. Emotional quotient

Tingkat kemampuan seseorang untuk mengendalikan, mendisiplinkan

perasaan yang diukur dengan skala menggunakan aspek mengenali emosi,

mengolah emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain

(empati), dan membina hubungan.

Page 60: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

48

b. Sikap toleransi beragama

Tingkat kemampuan pemeluk agama untuk bersikap, berusaha, dan

memfasilitasi terciptanya kerukunan yang diukur dengan skala

menggunakan aspek dialog antar umat beragama, kesabaran, penerimaan,

kebebasan, penghargaan, dan kooperasi masyarakat.

B. Populasi, Sample dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi terdiri atas objek atau subjek

yang mempunyai kualitas, dan karakteristik tertentu. Peneliti menetapkan

untuk mempelajari, kemudian menarik kesimpulan (Sugiono, 2010).

Bahwasanya, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Anggota GP Ansor.

Oleh karena itu, anggota GP Ansor terlibat sebagai subjek. Peneliti

mengambil subjek melalui pertimbangan, bahwa mengenai kedekatan

hubungan antara GP Ansor dengan kehidupan beragama yang plural. Bahkan

objek lebih merasakan karena berkaitan pada identitas sebagai anggota

kelompok. Emotional quotinet dimaksudkan untuk sikap toleransi

menghadapi kemajemukan, seperti dalam berbagai kelompok agama dengan

pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, peniliti dapat mengacu pada

latar belakang pengkajian ini.

2. Sampel

Disamping mengenai populasi dalam pengkajian ini, peneliti menentukan

jumlah anggota yang menjadi sampel, yaikni sebanyak 35 orang.

Sesungguhnya, jumlah tersebut telah memenuhi syarat sebagai sampel untuk

penelitian. Hendryadi dan Suryani (2015) menjelaskan, bahwa penentuan

jumlah sampel oleh Roscoe. Ukuran sampel yang layak dalam sebuah

penelitian berjumlah 30 sampai 500.

Adapun menurut Aikunto (2006) sampel adalah sebagian atau wakil

populasi penelitian. Sampel merupakan bagian dari populasi yang memiliki

ciri sama. Bahwasanya, sebagian yang peniliti tarik untuk mendapat hasil atau

Page 61: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

49

kesimpulan dari keseluruhan. Akan tetapi, bilamana jumlah sampel tersebut

semakin sedikit, maka kualitasnya kurang baik.

3. Teknik Sampling

Peneliti yang menggunakan teknik pengambilan probability sampling.

Dengan demikian, setiap unsur (anggota) dalam populasi memliki kesamaan

peluang untuk menjadi anggota sampel (Sugiono, 2011). Selain itu, teknik

probability sampling terbagi ke dalam 4 macam, yakni simple random

sampling, proportionate stratified random sampling, disproportionate

stratified random sampling, cluster sampling.

Peneliti dalam memperoleh sampel tersebut menmilih simpel random

sampling. Teknik yang terlaksana secara langsung pada unit sampling.

Dengan demikian, walupun sebagai unsur populasi yang terpencil, setiap unit

sampling memiliki kesetaraan peluang untuk menjadi sampel. Peneliti

mengambil secara acak tanpa memperhatikan tingkatan yang ada dalam

populasi.

C. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan desain statistik korelasional karena terdapat dua

variabel. Peneliti menyelidiki korelasi antara emotional quotient dengan toleransi

beragama. Menurut Abdul Muhid (2012) menjelaskan, bahwa penelitian

korelasional bertujuan untuk menyelediki hubungan antara dua variabel.

Bahwasanya, koefisien variabel memiliki korelasi yang kuat atau lemah. Setelah

itu, sesudah data pnelitian korelasional terkumpul. Peneliti mengolah data

kuantitatif dengan rumus statistik, baik menggunakan SPSS maupun manual.

Adapun peneliti mencari data dengan subjek yang sesuai, yaitu GP Ansor.

Selanjutnya, sampel melakukan pengisian kuesioner sebagai data penelitian.

Kuesioner adalah formulir yang berisi tentang seperangkat pertanyaan. Setelah

itu, responden bisa menjawab, dan menyerahkan ke pada peneliti (Levine, 2001).

Oleh karena itu, peneliti menggunakan desain analisis statistik korelasional.

Bahwasanya, terdapat dua variabel dalam penelitian, yaitu toleransi beragama dan

Page 62: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

50

emotional quotient. Peneliti mengukur toleransi beragama dengan beberapa

aspek, yakni dialog antar umat beragama, kesabaran, penerimaan, kebebasan,

penghargaan, dan kerja sama kemasyarakatan. Selanjutnya, peneliti mengukur

emotional quotient yang berhubungan dengan mengenali emosi diri, mengolah

emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi setiap orang, serta membina

hubungan.

D. Instrumen Penelitian

Disamping mengenai teknik sampling, dan metode pengumpulan data.

Instrumen penelitian juga menjadi hal yang penting. Hasil yang bagus apabila dua

penilaian utama bisa terpenuhi, yaitu kualitas instrument penelitian, dan teknik

pengumpulan data. Kualitas mengenai pengumpulan data dimaksudkan pada

ketelitian selagi mencari data. Bahwasanya, peneliti menempuh jalan untuk

memperoleh data. Tak hanya itu, kualitas terhadap instrumen dalam penelitian

berarti validitas, dan reliabilitas seperangkat alat tes sangat perlu. (Sugiono,

2011).

Adapun skala pengukuran likert peneliti gunakan untuk mengukur sikap

seseorang dengan menempatkan kedudukan sikapnya. Bahwasanya, kesatuan

pada perasaan yang terjadi secara berurutan atau kontinum dari sikap “sangat

positif” sampai sikap “sangat negatif” terhadap suatu objek psikologis. Secara

umum item-item yang terdapat dalam skala likert berkaitan dengan opini. Setelah

itu, teknik pemberian skor dimulai dari 5 untuk item pernyataan positif, dan mulai

dari 1 untuk item pernyataan negatif (Habiby, 2017). Dengan demikian, peneliti

juga memberikan 4 dari 5 pernyataan tersebut, sebagai berikut:

Tabel 1

Skor Alternatif Jawaban

Pilihan Kategori Skor Item Positif Skor Item Negatif

Sangat Setuju 4 1

Page 63: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

51

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3

Sangat tidak setuju 1 4

Berdasarkan tabel diatas, bisa didapati bahwa alternatif pilihan jawaban

adalah sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Peneliti tidak

memberikan pilihan ragu-ragu pada responden guna menghindari tidak ada jawaban.

Sesungguhnya, kecenderungan terhadap sebuah pernyataan mempengaruhi informasi

dalam data. Selain itu, penelitian bukan sebuah judgment melainkan kajian, maka

responden tidak harus merasa khawatir.

Adapun intrumen dalam penelitian yang tersusun dan kembangkan,

sebelumnya peneliti telah membuat blueprint skala dalam bentuk tabel. Indikator dari

variabel penelitian yang tersedia dapat memberikan gambaran mengenai isi, dan

dimensi kawasan ukur menjadi acuan dalam penelitian, sebagai berikut:

Tabel 2

Blueprint Skala Sikap Toleransi Beragama

Aspek Indikator

Nomor Item Jumlah

F UF

Dialog Kejujuran, terbuka, dan

kedekatan. 1, 2, 3, 4, 5 6 6

Kesabaran

Ketenangan, kedamaian,

dan harmonisasi dalam

lingkungan.

7, 8, 9 10 4

Penerimaan Konfirmasi, respon, dan

penyambutan. 11, 12 13 3

Kebebasan Mengizinkan, dan 14, 15, 16, 19, 20 7

Page 64: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

52

memberi jaminan. 17, 18

Penghargaan Menghormati, dan

mengapresiasi.

21, 22, 23,

24 25, 26 6

Kerjasama

kemasyarakatan

Mendukung, dan

menolong.

27, 28, 29,

30, 31 32 6

Jumlah 24 8 32

Spesifikasi dari skala sikap toleransi beragama memiliki aspek mengenai

dialog, kesabaran, penerimaan, kebebasan, penghargaan, dan kerjasama masyarakat.

Tak hanya itu, item dari indikator favorable sebanyak 24, dan 8 yang unfavorable

dengan jumlah keseluruhan 32.

Tabel 3

Blueprint Skala Emotional Quotinet

Aspek Indikator

Nomor Item Jumlah

F UF

Mengenali

emosi diri

Merasakan, dan

memahami perasaan. 1, 2, 3, 4, 5, 6 7 7

Mengolah

emosi

Mengendalikan,

memilah, dan

mengurangi dampak

perasaan yang negatif.

8, 9, 10, 11,

12, 13, 14 15, 16, 17 10

Memotivasi diri

sendiri

Minat, optimis, serta

memfokuskan diri.

18, 19, 20,

21, 22 23 6

Mengenali

emosi sesorang

Memahami,

mendengarkan, serta

menghargai perasaan

seseorang.

24, 25, 26, 27

28

5

Page 65: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

53

Membina

hubungan

Memelihara jalinan

persahabatan,

komunikasi, adaptasi,

mengenali, kooperatif,

dan pemecahan

masalah.

29, 30, 31 32 4

Jumlah 25 7 32

Berdasarkan table diatas, bisa diperoleh bahwa dalam skala blueprint

emotional quotient mempunyai aspek mengenali emosi, mengolah emosi,

memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan membina

hubungan. Item dari indikator favorable sebanyak 25, dan 7 untuk unfavorable

dengan jumlah keseluruhan dari keduanya 32.

E. Validitas dan Reliabilitas

Validitas dalam alat ukur bertujuan untuk memastikan sejauh mana data yang

akurat. Bahwasanya, menyesuaikan pada tujuan pengukuran. Alat ukur secara

teoritik bisa valid, asalkan penyusunan berdasar pada batas serta indentifikasi

kawasan. Akan tetapi, perlu bukti yang empiris terhadap validitas alat ukur

(Azwar, 1999).

Standar pengukuran yang digunakan untuk menentukan validitas item

berdasarkan pendapat Azwar (2007), bahwa bilamana memiliki indeks daya beda

baik ≥30 maka item valid. Selain itu, apabila jumlah item yang valid ternyata

masih tidak cukup, maka bisa menurunkan kriteria dari 0,30 menjadi 0,25 atau

0,20.

Adapun penelitian ini menggunakan standar minimal 0,20 dari yang tertinggi

dengan indeks daya beda baik ≥0,30, bahwa bilamana korelasi tiap faktor positif,

dan besarnya lebih dari 0,20. Faktor tersebut merupakan construct yang kuat.

Bahwasanya, instrumen memiliki validitas konstruksi yang cukup baik. Instrumen

Page 66: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

54

dengan butir tidak valid jika korelasi di bawah 0,20. Dengan demikian, peneliti

harus memperbaiki atau melepaskan item.

Jadi, bisa dismpulkan, bahwa pelaksanaan uji validitas bertujuan memastikan

konsep dengan mengukur skala. Selain itu, uji validitas bermanfaat untuk

mengetahui item kuesioner. Dengan demikian, penelitian bisa terungkap dengan

pasti. Bahwasanya, sewaktu alat berfungsi sebagai pengukuran, sampai sejauh

mana ketepatan, dan kecermatan instrumen. Kemampuan instrumen dalam

mengukur variabel penelitian. Menentukan perolehan data bisa relevan atau

sesuai pada tujuan pengukuran.

Disamping mengenai pengertian validitas item, reliabilitas dapat diartikan

sebagai sejauh mana pengukuran tersebut bisa memberikan hasil yang relatif

sama atau tidak berbeda bila melakukan pengukuran pada subjek yang serupa.

Oleh karena itu, bilamana perbedaan sangat jauh, maka hasil pengukuran ragu

untuk mempercayai, dan menjadi tidak reliabel (Azwar, 2008).

Reliabilitas intrumen yang baik bisa menghasilkan pengukuran sesuai realitas.

Dalam item kuesioner, apabila sesuai dengan status objek, maka butiran soal bisa

valid. Realitas dan data yang terkumpul memiliki korelasi. Sesungguhnya,

reliable dimaksudkan sebagai instrumen bisa melakukan pengukuran dengan

semestinya.

Daya beda suatu alat ukur dalam penelitian sangat perlu guna mengetahui

bahwa, sewaktu melakukan funsgi seberapa cermat. Penelitian ini melakukan

pengujian reliabilitas dengan menggunakan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach.

Menurut Sufren dan Natanael (2014) koefisien Cronbach’s Alpha yang umumnya

digunakan sebagai persyaratan sebuah alat ukur berkisar dari 0,6 sampai dengan

0,8.

Adapun tahap peneliti dalam menguji validitas dan reliabilitas, yakni selesai

terjemahan item. Peneliti melakukan expert judgment item ke pada dosen

mengenai segi bahasa. Selanjutnya, peneliti melakukan uji coba pada 30

Page 67: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

55

responden. Akan tetapi, responden tidak termasuk sebagai sampel penelitian

hanya sebagai uji coba.

1. Uji Validitas Try Out Skala Toleransi Beragama

Skala toleransi beragama merupakan buatan peneliti sendiri

berdasarkan pada definisi operasional. Penelilti melakukan uji coba karena

belum pernah menjadi sebuah alat tes. Instrumen sebagai pengumpul data

yang baik melalui seleksi butir-butir soal. Dengan demikian, bukan hanya

mendapat nilai validitas yang sesuai, melainkan bisa berfungsi sebagai

instrumen pada penelitian selanjutnya untuk memperoleh data. Try out skala

pada tanggal 24-25 Januari 2019 dengan jumlah responden sebanyak 30,

sebagaiberikut:

Tabel 4

Butiran Soal Sikap Toleransi Beragama

No. Item Correlation Keterangan

1 0,395 Valid

2 0,325 Valid

3 0,303 Valid

4 0,067 Invalid

5 -0,098 Invalid

6 0,276 Valid

7 0,272 Valid

8 -0,163 Invalid

9 0,207 Valid

Page 68: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

56

10 0,440 Valid

11 0,289 Valid

12 0,349 Valid

13 0,163 Invalid

14 0,271 Valid

15 0,172 Invalid

16 0,289 Valid

17 0,145 Invalid

18 0,286 Valid

19 0,418 Valid

20 0,286 Valid

21 0,030 Invalid

22 0,134 Invalid

23 0,388 Valid

24 0,034 Invalid

25 0,286 Valid

26 -0,294 Invalid

27 0,354 Valid

28 -0,108 Invalid

Page 69: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

57

29 0,286 Valid

30 0,286 Valid

31 0,449 Valid

32 -0,131 Invalid

Jadi, bisa dijelaskan, bahwa uji coba dari skala toleransi beragama

yang berjumlah 32 item. Sesungguhnya, item yang valid berjumlah 20, yaitu

nomor 1, 2, 3, 6 7, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 18, 19, 20, 23, 25, 27, 29, 30, dan 31.

Selain itu, memperoleh 12 item yang tidak valid, yakni nomor 4, 5, 8, 13, 15,

17, 21, 22, 24, 26, 28, serta 32 karena memiliki daya diskriminasi kurang dari

0,20.

2. Ujivaliditas Try Out Skala Emotional Quotient

Skala emotional quotient merupakan buatan peneliti sendiri

berdasarkan pada definisi operasional. Penelilti melakukan uji coba karena

belum pernah menjadi sebuah alat tes. Instrumen sebagai pengumpul data

yang baik melalui seleksi butir-butir soal. Dengan demikian, bukan hanya

mendapat nilai validitas yang sesuai, melainkan bisa berfungsi sebagai

instrumen pada penelitian selanjutnya untuk memperoleh data. Try out skala

pada tanggal 24-25 Januari 2019 dengan jumlah responden sebanyak 30,

sebagai berikut:

Tabel 5

Butiran Soal Emotional Quotient

No. Item Correlation Keterangan

1 -0,019 Inalid

2 0,314 Valid

Page 70: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

58

3 -0,211 Invalid

4 0,352 Valid

5 0,299 Valid

6 0,281 Valid

7 -0,425 Invalid

8 0,280 Valid

9 -0,154 Invalid

10 0,248 Valid

11 0,895 Valid

12 0,895 Valid

13 0,322 Valid

14 0,895 Valid

15 0,270 Valid

16 0,840 Valid

17 0,895 Valid

18 0,188 Invalid

19 0,895 Valid

20 0,895 Valid

21 0,895 Valid

Page 71: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

59

22 -0,187 Invalid

23 0,719 Valid

24 0,708 Valid

25 -0,163 Invalid

26 -0,163 Invalid

27 0,274 Valid

28 0,037 Invalid

29 0,022 Invalid

30 0,022 Invalid

31 0,188 Invalid

32 0,895 Valid

Berdasarkan gambar diatas, bisa dijelaskan bahwa uji coba dari skala

emotional quotient yang berjumlah 32 item. Sesungguhnya, item yang valid

berjumlah 20, yaitu nomor 2, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20,

21, 23, 24, 27, 32. Selain itu, memperoleh 12 item yang tidak valid, yakni

nomor 1, 3, 7, 9, 18, 22, 25, 26, 28, 29, 30, 31 karena memiliki daya

diskriminasi kurang dari 0,20.

3. Reliabilitas

Adapun peneliti melakukan uji reliabilitas terhadap tingkat kualitas

dari alat ukur. Data terpercaya bilamana standart telah terpenuhi, yakni

mengenai hasil yang peneliti peroleh. Sesungguhnya, meskipun peneliti

menggunakan alat berulang-ulang. Namun, pengukuran bisa tepat ketika

melaksanakan tugas terhadap objek yang serupa. Alat tetap andal karena

Page 72: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

60

selalu berfungsi baik. Penliti memperoleh hasil uji reliabilitas, sebagai

berikut:

Tabel 6

Statistical Reliability Analysis Of Sikap Toleransi Beragama Scale

Skala Cronbach’s Alpha Item Responden Butir Pernyataan

Sikap toleransi beragama 0,659 32 30 100%

Jadi, bisa dijelaskan, bahwa hasil try out skala sikap toleransi

beragama yang peneliti lakukan. Peneliti memperoleh nilai koefisien

reliabilitas sebesar 0,659 dari N of items atau jumlah soal, yaitu 32.

Sebenarnya, hasil tersebut terbilang cukup karena lebih dari ketentuan 0,60.

Menurut Sufren dan Natanael (2014) koefisien Cronbach’s Alpha

yang umumnya digunakan sebagai persyaratan sebuah alat ukur berkisar dari

0,6 sampai dengan 0,8. Dengan demikian, jika peneliti mengacu pada syarat

tersebut, maka reliabilitas keseluruhan butir-butir pernyataan pada skala sikap

toleransi beragama adalah baik.

Adapun peneliti juga melakukan uji reliabilitas terhadap alat ukur

emotional quotient. Peneliti berharap pengukuran bisa berfungsi dengan

semestinya, dan memperoleh hasil yang bagus. Bahwasanya, alat memiliki

kualitas pengukuran yang baik, sebagai berikut:

Tabel 7

Statistical Reliability Analysis Of Emotional Quotient Scale

Skala Cronbach’s Alpha Item Responden Butir Pernyataan

Emotional quotient 0,821 32 30 100%

Berdasarkan gambar diatas, bisa diperoleh bahwa hasil try out skala

emotional quotient yang peneliti lakukan. Peneliti memperoleh nilai koefisien

reliabilitas sebesar 0,821 dari N of items atau jumlah soal, yaitu 32. Selain itu,

Page 73: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

61

hasil tersebut juga terbilang cukup karena baik 0,60 ataupun 0,80 telah

terlampaui.

F. Analisis Data

Adapun peneliti menganalisis korelasi setelah memperoleh data. Bahwasanya,

peneliti mencari korelasi antar variabel dengan pearson’s product moment

correlation coefficient. Peneliti menghitung korelasi dengan pearson’s karena

memperoleh data berbentuk interfal, dan rasio. Dengan demikian, asumsi

pearson’s bisa terpenuhi. Selanjutnya, Peneliti menghitung korelasi pearson’s

dengan program SPSS 16.0. Sesunguhnya, apabila menggunakan teknik korelasi

pearson atau product moment correlation maka beberapa hal harus terpenuhi,

sebagai berikut:

1. Uji Asumsi

a. Uji normalitas

Menurut Sufren dan Natanel (2013) uji normalitas adalah usaha untuk

menentukan apakah data variabel yang kita miliki mendekati populasi

distribusi normal atau tidak. Bahwasanya, data kita terdistribusi normal

atau tidak. Asumsi berdasarkan angka signifikansi (p) >0,05, dan bilamana

kurang dari itu maka berdistribusi tidak normal.

b. Uji linearitas

Menurut Jubilee Enterprise (2014) uji linearitas dimaksudkan untuk

menilai apakah menggunakan spesifikasi model yang sudah benar atau

tidak. Bahwasanya, memanfaatkan uji linearitas ini, maka memperoleh

informasi tentang model empiris yang berbentuk linear, kuadran, atau

kubik. Pola hubungan linear dapat dilihat dari nilai F hitung dan nilai

signifikansi (p<0,05).

c. Uji hipotesis

Menurut Johar Arifin (2017) hipotesis untuk menguji kebenaran suatu

pernyataan, dan membuat kesimpulan antara menerima atau menolak

pernyataan tersebut. Hipotesis merupakan sebuah pernyataan yang

Page 74: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

62

berharap tentang hubungan antara dua variabel atau lebih yang bisa teruji

secara empiris. Pernyataan hipotesis terdiri dari hipotesis nol ( ), dan

hipotesis alternative dalam beberapa literature dituliskan atau ,

sebagai berikut:

1) Hipotesis nol ( ) mengandung pernyataan “sama dengan”, “tidak ada

pengaruh”, atau “tidak ada perbedaan” antara kedua kelompok.

2) Hipotesis alternative ( atau ), hipotesis yang menyatakan ada

pengaruh atau ada perbedaan kejadian antara dua kelompok, atau

hipotesis yang mengatakan ada hubungan antara satu variable dengan

variable lain.

Page 75: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

63

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek

Subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini merupakan anggota GP Ansor

yang semuanya laki-laki, berusia remaja, dan masih menempuh jenjang

pendidikan. Anggota yang berpartisipasi dalam peneltian ini sebanyak 50 orang.

Selanjutnya, peneliti akan membaginya berdasarkan atribut demografis.

1. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Peneliti mengelompokkan data responden berdasarkan usia untuk

mengetahui berapakah yang menjadi responden terbanyak pada penelitian ini.

Bahwasanya, hasil penyebaran dua skala terdapat 9 rentang usia responden

yang peneili peroleh, yakni mulai 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24, 25, dan 26 tahun.

Gambar penyebaran subjek seperti yang terlihat, sebagai berikut:

a. Responden berdasarkan usia

Gambar 4

Data Usia Responden

Berdasarkan tabel di atas, bisa dilihat bahwa jumlah frekuensi dan

presentase subjek penelitian. Responden yang berusia 26 tahun berjumlah

10 orang dengan presentase sebesar 20%. Selanjutnya, responden yang

16%

12%

8%

16% 4% 6%

12%

6%

20%

Deskripsi Statistik Usia

16 tahun

17 tahun

26 tahun

25 tahun

24 tahun

23 tahun

18 tahun

20 tahun 22 tahun

Page 76: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

64

berusia 25 tahun berjumlah 3 orang dengan presentase 6%. Subjek yang

berusia 24 tahun berjumlah 6 orang dengan presentase 12%. Responden

yang berusia 23 tahun berjumlah 3 orang dengan presentase 6%.

Responden yang berusia 22 tahun berjumlah 2 orang dengan presentase

4%. Subjek yang berusia 20 tahun berjumlah 8 orang dengan presentase

16%. Subjek yang berusia 18 tahun berjumlah 4 orang dengan presentase

8%. Responden yang berusia 17 tahun berjulah 6 orang dengan presentase

12%. Setelah itu, subjek yang berusia 16 tahun berjumlah 8 orang dengan

presentase 16%.

b. Responden berdasarkan gender

Gambar 5

Data responden berdasarkan gender

Berdasarkan table di atas, bisa diambil kesumpulan subjek yang

memiliki presentase terbesar yakni laki-laki dengan 100% atau berjumlah

50 orang, sedangkan perempuan dengan jumlah 0 atau 0%. Bahwasanya,

keseluruhan respondennya adalah seorang laki-laki.

Jadi, bis disimpulkan, bahwa dari 50 responden penelitian yang berusia

26 tahun paling banyak dengan jumlah 10 orang atau setara 20%. Selain itu,

peneliti bilamana mengkategorikan berdasarkan jenis kelamin atau gender.

Laki-laki 100%

Deksripsi Statistik Gender

Perempuan

Page 77: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

65

Bahwasanya, subjek tersebut semuanya laki-laki, dan di dalam anggotan GP

Ansor tidak terdapat anggota perempuan sama sekali.

2. Deskripsi Data Subjek

a. Deskripsi data

Analsisi deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui deskripsi suatu

data yang telah peneliti peroleh. Bahwasanya, peneliti melakukan

perhitungan rata-rata, standart deviasi, varians, dan lain-lain. Berdasarkan

analisis descriptive statistic dengan menggunakan program SPSS for

windows versi 6.0 guna mengetahui skor maksimum, sum statistik, rata-

rata, standar deviasi, serta varian dari jawaban subjek terhadap skala ukur,

sebagai berikut:

Tabel 8

Deskripsi Statistik Data Subjek

Jumlah Minimum Maksimum Mean Std. Deviation

Emotional quotient 50 43,00 67,00 55,52 5,76

Sikap toleransi beragama 50 36,00 60,00 48,16 4,60

Berdasarkan gambar diatas, bisa dijelaskan bahwa responden yang

berpartisipasi pada skala emotional quotient, serta sikap toleransi

beragama berjumlah 50 responden. Tak hanya itu, peneliti juga

memperoleh data nilai terendah 43,00 untuk emotional quotient, dan sikap

toleransi beragama 36,00. Nilai tertinggi EQ dengan 67,00, dan sikap

toleransi beragama 60,00. Selanjutnya, rata-rata emotional quotient

(mean) 55,52, dan 5,76 untuk standar deviasi. Sikap toleransi beragama

memiliki rata-rata (mean) 48,16, dan 4,60 untuk standar deviasinya.

b. Deskripsi data berdasarkan usia

Analsisi deskripsi usia dimaksudkan guna mengetahui deskripsi suatu

data yang telah peneliti peroleh. Bahwasanya, peneliti melakukan

Page 78: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

66

perhitungan rata-rata, standart deviasi, varians, dan lain-lain. Berdasarkan

analisis yang menggunakan usia responden sebagai ancuan

pengkategorian, yakni:

Gambar 6

Sumber: Output Descriptive Statistics SPSS 16.0

Deskripsi statistik data berdasarkan usia

Jadi, bisa dilihat, bahwa dari gambar tersebut variabel emotional

quotient memiliki nilai rata-rata tertinggi pada responden berusia 20

tahun dengan nilai 64,75 dengan subjek sebanyak 8 orang. Selanjutnya,

subjek berusia 16 tahun memiliki mean cukup tinggi 59,88, sebaliknya

resoponden 17 tahun mempunyai rata-rata paling rendah dengan 57,00.

Selain itu, variabel sikap toleransi beragama pada usia 18 tahun

memperoleh mean tertinggi 48,75, dan beriringan dengan usia 25 tahun

yang memperoleh niali cukup tinggi dengan 48,00. Setelah itu, responden

yang berusia 24 tahun terendah dengan mean 44,50.

B. Pengujian hipotesis

Jenis penelitian ini adalah korelasional, bahwa peneliti menganalisis hasil

penelitian menggunakan angka. Data terdeskripsi dengan menggunakan

kesimpulan yang berdasarkan pada angka yang peneliti olah dengan metode

59,88 57 56,25

64,75

54,5 50,67

59,67 58,67 59,3

46,88 45,17 48,75 50,12

45 46,67 44,5 48 45,5

0

10

20

30

40

50

60

70

16th 17th 18th 20th 22th 23th 24th 25th 26th

MEA

N

Dsekripsi Statistik Data Berdasarkan Usia

emotional quotient sikap toleransi beragama

Page 79: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

67

statistik. Proses tersebut bisa berjalan dengan bantuan statistik deskriptif dari data

yang sudah peneliti analisis umumnya mencakup jumlah subjek (N), mean skor

skala (M), deviasi standar (), serta statistik lain yang dirasa perlu (Azwar, 2008).

1. Uji Asumsi

a. Uji normalitas data

Menurut Sufren dan Natanel (2013) uji normalitas adalah usaha untuk

menentukan apakah data variabel yang kita miliki mendekati populasi

distribusi normal atau tidak. Bahwasanya, data kita terdistribusi normal

atau tidak. Asumsi berdasarkan angka signifikansi (p) >0,05, dan bilamana

kurang dari itu maka berdistribusi tidak normal.

Uji normalitas peneliti lakukan untuk mengetahui distribusi analisi

sebaran jawaban subjek pada suatu variabel normal atau tidak. Distribusi

sebaran yang normal menyatakan bahwa subjek penelitian dapat mewakili

populasi yang ada, sebaliknya bilaman sebaran tidak normal maka subek

terbilang tidak representatif. Dengan demikian, subjek tidak dapat

mewakili populasi.

Tabel 9

Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

N 50

Kolmogorov-Smirnov Z 0,811

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,527

Berdasarkan gambar diatas, bahwa nilai signifikansi Asymo. Sig. (2-

tailed) sebesar 0,527 lebih besar dari 0,05. Bahwasanya, sesuai keputusan

dasar dalam uji normalitas klomogrov-smirnov, maka data bisa

tersimpulkan berdistribusi normal. Asumsi atau persyaratan normalitas

Page 80: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

68

dalam model regresi sudah terpenuhi. Bahwasanya, data tersebut telah

memenuhi asumsi pengujian dalam model normalitas.

b. Uji liniearitas

Disamping uji normalitas dalam hipotesis, uji linearitas juga peneliti

lakukan guna mengetahui apakah hubungan antara kedua variabel

memiliki hubungan yang linier, yaitu emotional quotient, serta sikap

toleransi beragama. Menurut Jubilee Enterprise (2014) uji linearitas

dimaksudkan untuk menilai apakah menggunakan spesifikasi model yang

sudah benar atau tidak. Bahwasanya, memanfaatkan uji linearitas ini,

maka memperoleh informasi tentang model empiris yang berbentuk linear,

kuadran, atau kubik. Pola hubungan linear dapat dilihat dari nilai F hitung

dan nilai signifikansi (p<0,05).

Tabel 10

Liniearitas

Variabel Signifikansi F R Squared

Emotional quotient

0,10 2,586 0,242 Liniear

Sikap toleransi beragama

Berdasarkan gambar diatas, bahwa hasil uji linearitas data antara

kedua variabel peneliti memperoleh nilai signifikansi sebesar 0,10>0,05.

Dengan demikian, variabel antara emotional quotient, dan sikap toleransi

beragama mempunyai hubungan yang linier. Berdasarkan hasil uji asumsi

data yang peneliti lakukan melalui uji normalitas sebaran EQ, dan sikap

toleransi beragama semuanya dinyatakan normal. Selain itu, korelasinya

yang linier menunjukkan, bahwa keduanya memiliki syarat untuk peneliti

analisis menggunakan teknik korelasi Product Momment.

c. Uji hipotesis penelitian

Page 81: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

69

Hubungan emotional quotient, dan sikap toleransi beragama peneliti

dapat dengan menghitung koefisien korelasi. Teknik analisis data yang

peneliti gunakan adalah teknik analisis t parsial. Menurut Johar Arifin

(2017) hipotesis untuk menguji kebenaran suatu pernyataan, dan membuat

kesimpulan antara menerima atau menolak pernyataan tersebut. Hipotesis

merupakan sebuah pernyataan yang berharap tentang hubungan antara dua

variabel atau lebih yang bisa teruji secara empiris. Pernyataan hipotesis

terdiri dari hipotesis nol ( ), dan hipotesis alternative dalam beberapa

literature dituliskan atau .

Tabel 11

Hipotesis

Hipotesis Korelasi

Variabel

Coefficients 0,375

T hitung 3,909

Sig. 0,00

Jumlah subjek 50

Jadi, bisa disimpulkan, bahwa hipotesis yang peneliti ajukan

dalam penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara emotional

quotient, sikap toleransi beragama. Hasil analisis regresi peneliti

memperoleh nilai t hitung sebesar 3,909 dengan signifikansi 0,00 < (lebih

kecil) dari 0,05. Dengan demikian, kesimpulan variabel adalah saling

mempengaruhi, yakni menolak , dan menerima . Bahwasanya,

emotional quotient (memiliki hubungan yang signifikan terhadap sikap

toleransi beragama (y).

Page 82: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

70

C. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara emotional quotient

dengan sikap toleransi beragama dengan mengambil subjek GP Ansor yang

berada di kota sidoarjo bagian barat. Peneliti sebelum menentukan analisis data

melakukan uji prasyarat atau uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas dan uji

linearitas lebih dulu.

Berdasarkan data yang telah peneliti peroleh mendapatkan hubungan yang

baik antara emotional quotient dengan sikap toleransi beragama. Hal ini dapat

dilihat dari hasil uji koefisien korelasi 0,375 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara emotional quotient dengan sikap toleransi beragama.

Bahwasanya, koefisien korelasi menunjukan arah positif (0.375) artinya semakin

tinggi emotional quotient maka semakin tinggi sikap toleransi beragama, dan

berbanding lurus dengan teori.

Menurut Ismail (2012) sikap toleransi beragama merupakan perubahan emosi

menjadi cinta dan harmoni dalam lingkungan. Orang yang beragama matang

merasa tentram, dan damai karena cinta mendasari seluruh hubungan

interpersonal. Oleh sebab itu, orang yang beragama matang bebas dari rasa benci,

prejudice, permusuhan, dan lain-lain. Akan tetapi, harmoni serta cinta sebagai

dasar bagi kehidupan bersosial atau interpersonal.

Setiap manusia memiliki sifat genetik, mendasar, dan potensi yang baik.

Genetik yang baik itu juga memiliki jalur perkembangan yang sehat, serta

perkembangan yang dikehendaki, yakni aktualisasi dari sifat atau potensi

individu. Orang berkembang mencapai kemasakan yang sehat bila mengikuti

lintasan yang tersembunyi, teretutup, sepintas mengikuti hakekat alami, dan

berkembang dari dalam alih-alih dari luar (Rosyidi, 2013). Bahwasanya, proses

aktualisasi diri berdampak pada evaluasi terhadap seseorang. Penerimaan

seseorang, seperti mengenai penyimpangan bahwa perbedaan masih wajar dan

bisa menerima atau maklum.

Page 83: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

71

Berdasarkan penejlasan diatas, bisa disimpulkan bahwa toleransi merupakan

ouput nilai kepribadian yang positif. Masyarakat memandang dengan baik, dan

mengetahui nilai positif dari perbedaan. Bahkan setiap orang mengaplikasikan ke

dalam lingkungan beragama yang plural. Setiap orang memahami outcome positif

dari perbedaan keyakinan. Bahwasanya, jalan pemikiran terhadap lingkungan

yang majemuk. Dengan demikian, perlu peran dari emotional quotient sebagai

penghasil kestabilan emosi, dan penilaian yang jernih. Pemikiran yang negatif

karena nilai emosi buruk, dan pemikiran positif karena pengaruh emosi yang baik.

Adapun emotional quotient menjadi penyebab sikap toleransi dalam beragama

atas kesadaran diri sendiri, seperti mengenai kecemasan terhadap lingkungan,

stres dalam bersosial, dan lain-lain. Masyarakat telah bisa menerima perbedaan

oleh orang lain, mengevaluasi sekitarnya, dan menyesuaikan dengan baik.

Bandura (1993) menjelaskan, bahwa menempatkan manusia sebagai pribadi yang

dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan

mengatur lingkungan; menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi

bagi tingkah laku sendiri.

Nilai hubungan yang sedang berlangsung tampak pada jalinannya. Konstruksi

kehidupan di Indonesia yang bervariasi guna membangun kepuasan, dan menjadi

bagian penting berkaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu dapat terbebas

dari konflik atau kecemasan sosial jadi parameter utama yang perlu untuk

diperhatikan. Sumardi (2007) mengungkapakan emotional quotient sebagai

kemampuan mengelolah perasaan. Bahwasanya, emotional quotient berhubungan

dengan seseorang atau lingkungan. Kemampuan untuk berempati, serta

pengendalian diri terhadap relasi. Individu mengolah rasa gembira, sedih,

semangat, ketekunan, dan memotivasi diri.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa, individu sulit beradaptasi jika emotional

quotient rendah. Sebaliknya, seseorang bisa menyesuaikan apabila memiliki

emotional quotient yang tinggi. Perlu disiplin yang cukup baik untuk

memanajemeni emosi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan seseorang memiliki

Page 84: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

72

kontrol diri yang baik. Individu tidak hanya beradaptasi tetapi juga memhami

nilai positif dari setiap orang, serta berbagai kondisi. Kemampuan

mempertimbangkan dengan baik karena bisa memahami guna sesuatu yang

positif. Selain itu, mampu mengenali hal yang bernilai tidak baik atau membawa

dampak buruk.

Page 85: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dair hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang positif antara emotional quotient dengan sikap toleransi beragama. Hasil

korelasi bersifat positif artinya semakin tinggi EQ akan semakin tinggi sikap

toleransi beragama, dan bilama emotional quotient semakin rendah maka sikap

toleransi beragama juga semakin rendah.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, bahwa peneliti

menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, beberapa saran yang bisa

menjadi bahan pertimbangan terkait dengan penelitian yang serupa, yaitu:

1. Dalam kepentingan ilmiah untuk lebih luas lagi dalam pengambilan data

dengan metode observasi, dan wawancara sehingga mendapatakan gambaran

yang lebih menyeluruh dari partisipan penelitian serta menggali faktor-faktor

lain yang meungkin berperan dalam hal emotional quotient.

2. Hasil guna lebih presentatif sebaiknya menggunakan sampel, dan populasi

yang lebih banyak dengan rentang usia yang lebih beragam serta tambahan

karakteristik responden agar lebih bervariasi.

3. Penelitian tentang emotional quotient menggunakan metodelogi penelitian

kualitatif untuk menggali emotional quotient secara mendalam.

4. Menyusun penelitian dengan studi komparatif untuk membandingkan bentuk

EQ baik berdasarakan gender, usia, serta tumbuh kembang maupun tingkat

pendidikan.

Page 86: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

74

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, AG. 2003. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual.

ESQ Leadership Center : Jakarta.

Ahmad, H.A. 2013. Survei Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia. Kementrian

Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Pulistbang Kehidupan Keagamaan : Jakarta.

Allport, G.W. 1937. Personality : A Psychological Interpretation. Henry Holt : New

York City.

Allport, G.W. 1974. The Nature Of Prejudice. Addison-Wesley : Boston.

Allport, G.W. 1979. Thenature Of Prejudice, Edisi Duapuluh Lima. Addison-Wesley

: Boston.

Arifin, Johar. 2017. SPSS 24 Untuk Penelitian dan Skripsi (Dilengkapi Pembahasan;

a.Metodelogi Pembahasan; b. Google Formulir Untuk Survei Berbasis Internet; c.

Microsoft Word Untuk Membuat Laporan; d. Microsoft Excel Untuk Membuat Tabel

Data dan Tabel Statistik. Jakarta : PT Gramedia.

Arikunto dan Suharsimi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Azwar, S. 1999. Metode Penelitian. Pustaka Belajar : Yogyakarta.

Azwar, Saifuddin. 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Azwar, Saifuddin. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Bandura, A. 1993. Social Foundations Of Thought And Action: A Social Cognitive

Theory. Englewood Cilffs, NJ : Prentice Hall.

Brown, R. 2005. Prejudice: Menangani Prasangka Dari Prespektif Psikologi Sosial.

Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Page 87: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

75

Bukhori, B. 2012. Toleransi Terhadap Umat Kristiani Ditinjau Dari

Fundamentalisme Agama dan Kontrol Diri. Tidak diterbitkan. Institut Agama Islam

Negeri Walisongo Semarang : Semarang.

Darmadi, H. 2017. Pengembangan Metode Pembelajaran Dalam Dinamika Belajar

Siswa, Edisi Pertama. CV Budi Utama : Yogyakarta.

Didah, 2018. Indeks Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia Tahun 2017 Kategori

Baik. https://kemenag.go.id/berita/read/507241/indeks-kerukunan-umat-beragama-di-

indonesia-tahun-2017-kategori-baik. Diakses 14 Mei 2018.

Djalali, M.A, dan Sabiq, Z. 2012. Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual dan

Perilaku Prososial Santri Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan, Edisi

September 2012. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia.

Enterprise, Jubilee. 2014. SPSS Untuk Pemula. Jakarta : PT Gramedia.

Ermawati, S. 2016. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Self Directed

Learning Siswa Kelas XI MA Bustanul Ulum Glagah Lamongan. Tugas akhir. Tidak

diterbitkan. Fakultas Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Surabaya :

Surabaya.

Fadeli, M.I. 2017. Hubungan Antara Prasangka Sosial Dengan Toleransi Beragama

Pada Mahasiswa Yang Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan. Tugas akhir. Tidak

diterbitkan. Fakultas Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Surabaya :

Surabaya.

Faizah, dan Effendi, L.M. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta : Kencana.

Faizah, dan Effendi, L.M. 2015. Psikologi Dakwah, Edisi Pertama. Prenadamedia

Group : Jakarta.

Page 88: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

76

Fitrah, Muh, dan Luthfiyah. 2017. Metodelogi Penelitian (Penelitian

Kualitatif,Ttindakan Kelas & Studi Kasus). Cv Jejak : Jawa Barat.

Garlow, James, L. Partners In Ministry (Kansas City: Beacon Hill Press, 2012).

Goleman, D. 1996. Emotional Intelligence. Bantam Books : New York City.

Goleman, D. 2000. Working With Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk

Mencapai Puncak Prestasi. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Goleman, D. 2002. Healing Emotions (Penyembuhan Emosi). The Mind and Life

Institude : Batam.

Goleman, D. 2007. Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EQ

Lebih Penting Daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Habibiy, Wadhan Najib. 2017. Statistika Pendidikan. Jawa Tengah : Muhammadiyah

University Press.

Hamsyah, M.A. 2014. Nilai-Nilai Toleransi Beragama Dalam Buku Ajar Pendidikan

Agama Islam Kurikulum 2013. Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Surabaya : Surabaya.

Hasanah, U. 1998. Toleransi Kehidupan Beragama Di Kelurahan Dusun Balun

Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan. Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Surabaya : Surabaya.

Heider, F. 2013. The Psychology Of Interpersonal Relations. Wiley : New Jersey.

Hendryadi, dan Suryani. 2015. Metode Riset Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Pada

Penelitian Bidang Manajemen dan Ekonomi Islam, Edisi Pertama. Prenadamedia :

Jakarta.

Page 89: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

77

Horney, K. 1993. The Neurotic Personality Of Our Time. W.W. Norton & Company,

Inc : New York.

Ifham, A, dan Helmi, A.F. 2015. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan

Kewirausahaan Pada Mahasiswa, Edisi Kedua. Jurnal Psikologi.

Imron, M. 2017. Toleransi Masyarakat Islam Terhadap Keberadaan Gereja

Pantekosta Di Desa Telagabiru, Kec. Tanjunganbumi, Bangkalan. Tugas akhir.

Tidak diterbitkan. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri

Surabaya : Surabaya.

Ismail, R. 2012. Konsep Toleransi Dalam Psikologi Agama (Tinjau Kematangan

Beragama), Edisi VIII Januari 2012. Religi.

Istiqomah, L. 2015. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Self Efficacy

Dengan Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja. Tugas akhir. Tidak

diterbitkan. Fakultas Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Surabaya :

Surabaya.

Jannah, E.U. 2013. Hubungan Antara Self-Efficacy dan Kecerdasan Emosional

Dengan Kemandirian Pada Remaja, Edisi Kedua September 2013. Persona, Jurnal

Psikologi Indonesia.

Khotimah, K, Hardjono, dan Agustin, R.W. 2014. Hubngan Kecerdasan Emosi dan

Toleransi Terhadap Stres Dengan Penyesuaian Diri Pada Lansia Di Kelurahan

Jebres Surakarta, Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Komari. 2017. Toleransi Beragama Ditinjau Dari Konsep Diri dan Kecerdasan

Emosi. Tesis. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Katolik

Soegijapranata : Semarang.

Page 90: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

78

Levine, M.D. 2001. The Pediatric Assessment System For Learning Disorder.

(Question Naires and Neurodevelopmental Examinations.) M.A, Educators

Publishing Service : Cambridge.

Lewin, K. 1993. Field Theory In Social Science. Harper and Row : New York.

Lowy, S. 1942. Co-Operation, Tolerance, And Prejudice, Edisi Keenam. Rouletdge :

London.

Manz, C.C. 2009. Sekolah Emosi Petunjuk-Petunjuk Untuk Meraih Energi Positif

Dari Segala Jenis Perasaan (Emosi) Yang Terjadi Pada Jiwa Anda, Edisi Pertama.

Garailmu : Jogjakarta.

Muhid, A. 2012. Analisis Statistik 5 Langkah Praktis Analisis Statistik Dengan SPSS

For Windows. Zifatama : Sidoarjo.

Mujtahid. 2014. Merajut Toleransi Di Tengah Pluralisme Agama Prespektif Teologis,

Sosiologis dan Psikologis. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang : Malang.

Mursyid. 2016. Desain Pendidikan Toleransi Di Pesantren. Disertasi. Tidak

diterbitkan. Studi Ilmu Keislaman Universitas Islam Negeri Surabaya : Surabaya.

Newell, Shaw, dan Simon. 1958. Elements Of A Theory Of Human Problem Solving.

Edisi 65 (3) Mei 1958. Psychological Review.

Nisya, L.S, dan Sofiah, D. 2012. Religiusitas, Kecerdasan Emosional dan Kenakalan

Remaja. Edisi 7. Jurnal Psikologi.

Nurhadi, M. 2014. Pendidikan Kedewasaan Dalam Prespektif Psikologi Islami, Edisi

Pertama. CV Budi Utama : Yogyakarta.

Piaget, J. 1981. The Psychological Of Intelligence. Littlefield, Adams, & Co.

Page 91: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

79

Prawira, R. 2010. Hubungan Antara Makna Hidup Dengan Toleransi Beragama

Pada Jamaah Salafy Di Bekasi. Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah : Jakarta.

Puspasari, A. 2009. Emotional Intelligent Parenting: Mengukur Emotional

Intelligence Anak dan Membentuk Pola Asuh Berdasarkan Emotional Intelligent

Parenting. Elex Media Komputindo : Jakarta.

Putro, N.K. 2018. Hubungan Antara Kecenderungan Emosional Dengan

Kematangan Karir Pada Mahasiswa. Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas

Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Surabaya : Surabaya.

Rochman, M. 2014. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Penyesuaian

Sosial Siswa Kelas X Di SMA NU 2 Gersik. Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas

Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Surabaya : Surabaya.

Rosyidi, H. 2013. Psikologi Kepribadian (Paradigma Tratis, Kognitif, Behavioristik

dan Humanistik). Jaudar Press : Surabaya.

Saptoto, R. 2010. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping

Adaptif, Edisi 37 Juni 2010. Jurnal Psikologi Indonesia.

Sari, M.S.I. 2014. Perbedaan Kecerdasan Emosional Siswa Ditinjau Dari Kegiatan

Ekstrakulikuler Yang Diikuti Di sekolah. Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas

Psikologi dan Kesehatan Universitas Islam Negeri Surabaya : Surabaya.

Skinner, B.F. 1990. The Behavior Of Organisms. Copley Publishing Group :

California.

Sufren dan Natanael, Yonathan. 2013. Mahir Menggunakan SPSS Secara Otodidak.

Jakarta : PT Gramedia.

Page 92: HUBUNGAN EMOTIONAL QUOTIENT DENGAN SIKAP ...

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

80

Sufren dan Natanael, Yonathan. 2014. Belajar Otodidak SPSS Pasti Bisa. Jakarta :

PT Gramedia.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif

dan R & D). Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif

dan R & D). Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Afabeta :

Bandung.

Sumardi. 2007. Password Menuju Sukses: Rahasia Membangun Sukses Individu,

Lembaga, dan Perusahaan. Jakarta : Penerbit Eirlangga.

Umaikhah, E. 1995. Pandangan Islam Tentang Toleransi Antar Umat Beragama.

Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam

Negeri Surabaya : Surabaya.

Utama, A. 2015. Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dengan Toleransi Agama Di

Salatiga. Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya

Wacana : Salatiga.

Wade, C, dan Travis, C. 2008. Psikologi. Penerbit Erlangga : Jakarta.

Wales, J, dan Sanger, L. 2003. Toleransi Beragama. Diperoleh 18 Mei 2018, Dari

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Toleransi

Wijanarko, J, dan Setiawati, E. 2017. Maksimalkan Otak Anak Anda: Parenting Era

Digital Multiple Intelligences Brain Plasticity Tips Menjadikan Anak Cerdas.

Keluarga Indonesia Bahagia : Jakarta Selatan.