Top Banner
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN STATUS GIZI PADA LANSIA DI KOTA BANDUNG IKA ROHMAH SEKARAYU DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
44

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

Feb 18, 2018

Download

Documents

trinhkhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI

DAN PROTEIN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN

STATUS GIZI PADA LANSIA DI KOTA BANDUNG

IKA ROHMAH SEKARAYU

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 2: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan
Page 3: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Hubungan antara

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi

pada Lansia di Kota Bandung” ialah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Ika Rohmah Sekarayu

NIM I14090112

________________________

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian dengan pihak luar IPB

harus didasarkan pada perjanjian yang terkait.

Page 4: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan
Page 5: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

ABSTRAK

IKA ROHMAH SEKARAYU. Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan

Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung.

Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan DADANG SUKANDAR.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara tingkat

kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia

di Kota Bandung. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini ialah penelitian

menggunakan data sekunder. Contoh berjumlah 334 orang lansia di Kota

Bandung. Rata-rata konsumsi energi dan protein lansia ialah sebesar 1090 kkal

dan 35.8 g. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein ialah berturut-turut

51.9% dan 68.9%. Sebanyak 42.5% lansia mengalami overweight. Hasil uji

korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

(p>0.05) antara TKE dan TKP dengan status kesehatan. Selain itu, adanya

hubungan yang negatif antara TKE dengan status gizi dan adanya hubungan yang

positif antara TKP dengan status gizi.

Kata kunci: konsumsi pangan, lansia, status gizi, status kesehatan

ABSTRACT

IKA ROHMAH SEKARAYU. Association between Energy and Protein

Sufficiency Level with Health Status and Nutritional Status of Elderly in Bandung

City. Supervised by ALI KHOMSAN and DADANG SUKANDAR.

The objective of this study is to analyze the association between energy and

protein sufficiency level in elderly in Bandung City. The study used secondary

data. The total number of sample in this study were 334 elderly in Bandung City.

The average consumption of energy and protein of elderly was 1090 kcal and 35.8

g. The average sufficiency levels of energy and protein was 51.9% and 68.9%

respectively. As many as 42.5% elderly had overweight nutritional status. The

Spearman correlation analysis showed that there was no significant correlation

(p>0.05) between energy and protein sufficiency level with health status. In

addition, there was negative correlation between energy sufficiency level with

nutritional status and positif correlation between protein sufficiency level with

nutritional status.

Keywords: elderly, food consumption, health status, nutritional status

Page 6: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan
Page 7: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi

pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI

DAN PROTEIN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN

STATUS GIZI PADA LANSIA DI KOTA BANDUNG

IKA ROHMAH SEKARAYU

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 8: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan
Page 9: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

Judul Skripsi : Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan

Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung

Nama : Ika Rohmah Sekarayu

NIM : I14090112

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS

Pembimbing I

Prof Dr Ir Dadang Sukandar M. Sc

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Page 10: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan
Page 11: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi berjudul “Hubungan antara Tingkat

Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan dan Status Gizi pada

Lansia di Kota Bandung” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana (S1)

Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut

Pertanian Bogor, dapat terselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari banyak

pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dan

Prof Dr Ir Dadang Sukandar M. Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan

penuh kesabaran senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan

bimbingan, arahan, dorongan, saran, dan semangat untuk menyelesaikan skripsi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS selaku dosen

pemandu seminar sekaligus dosen penguji sidang yang telah memberikan

semangat, masukan, kritik, dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan keluarga

besar yang selalu mendoakan penulis, memberikan semangat, motivasi, dan

dukungan baik moril maupun materi selama masa pendidikan. Di samping itu,

terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman sesama tim penelitian Liza

dan Babang, serta sahabat dan teman terdekat Tami, Hanum, Lativa, Evi, Weni,

Ibet, Michel, Risa, Ilya, Siti dan Fera serta teman-teman Gizi Masyarakat

angkatan 46 atas semua saran, motivasi, bantuan, dan dukungannya selama ini,

serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

Bogor, Maret 2014

Ika Rohmah Sekarayu

Page 12: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan
Page 13: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

DAFTAR ISI

PRAKATA i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Kegunaan Penelitian 2

Hipotesis 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 5

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian 5

Teknik Penarikan Contoh 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 6

DEFINISI OPERASIONAL 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Karakteristik Lansia 9

Konsumsi Pangan 11

Status Gizi 13

Status kesehatan 13

Hubungan antar Variabel 16

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 24

RIWAYAT HIDUP 30

Page 14: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

DAFTAR TABEL

1 Peubah dan cara pengumpulan data 5

2 Sebaran dan statistik lansia 10 3 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan

lansia 12 4 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein 12 5 Sebaran lansia menurut status gizi 13 6 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan 14 7 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami 14 8 Sebaran lansia menurut disabilitas fisik 15 9 Sebaran lansia menurut aktivitas sehari-hari 15 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat

pendapatan 16 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE 17 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 17 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE 18 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 18 15 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan status kesehatan 19 16 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status

kesehatan dan status gizi 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Penelitian 24 2 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat

pendapatan 28 3 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE 28 4 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP 28 5 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE 28

6 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKP 28 7 Sebaran lansia dan hasil uji korelasi Spearman berdasarkan status

gizi dan status kesehatan 29 8 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status

kesehatan dan status gizi 29

Page 15: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan kesejahteraan manusia bergantung dari kualitas Sumber Daya

Manusia (SDM). Peningkatan SDM berhubungan langsung dengan fenomena

terjadinya perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan ilmu

kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit

degeneratif, dan perbaikan status gizi. Status kesehatan yang baik berdampak pada

peningkatan masa hidup manusia dan banyaknya lansia di Indonesia. Pada

umumnya lansia diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yang di

Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun (Darmojo dan Boedhi 2006).

Akan tetapi, batasan lansia menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998

tentang Kesejahteraan Lansia ialah individu yang memiliki umur 60 tahun ke atas.

Menjadi tua ialah sebuah konsekuensi orang hidup dan tidak bisa dihindari.

Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan

normal yang akan dialami oleh setiap individu yang sudah mencapai usia lanjut

tersebut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihalangi (Stanley 2006).

Pada usia diatas 55 tahun terjadi proses penuaan secara alamiah yang nantinya

akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi dan psikologi (Nugroho

2000).

Pertambahan jumlah lansia di beberapa negara, salah satunya Indonesia,

telah mengubah profil kependudukan baik nasional maupun dunia. Data Badan

Pusat Statistik tahun 2010 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk lansia di

Indonesia ialah 18.57 juta jiwa, meningkat sekitar 7.93% dari tahun 2000 yang

sebanyak 14.44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan

terus bertambah sekitar 450000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun

2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 34.22 juta jiwa (BPS

2010).

Pertambahan jumlah lansia tersebut merupakan tantangan besar dalam

masalah kesehatan dan gizi. Lansia merupakan salah satu kelompok yang rawan

menderita gizi kurang dan diperburuk oleh adanya penyakit degeneratif. Lansia

yang menderita malnutrisi, respon kekebalan tubuhnya buruk dan lebih mudah

terserang infeksi. Di samping itu lansia dengan malnutrisi juga berisiko terhadap

beberapa komplikasi penyakit yang mempengaruhi kualitas hidup dan terhadap

meningkatnya risiko kematian. Saat ini angka kesakitan akibat penyakit

degeneratif meningkat jumlahnya di samping masih adanya kasus penyakit infeksi

dan kekurangan gizi. Selain masalah gizi lebih yang berdampak pada peningkatan

penyakit degeneratif pada lansia, masalah gizi lain yang sering diderita lansia

ialah masalah gizi kurang.

Pada umumnya masalah gizi kurang yang dialami lansia tersebut dapat

terjadi secara mendadak akibat adanya gangguan kesehatan pada lansia. Keadaan

ini membuat lansia cenderung digolongkan sebagai salah satu kelompok yang

rentan gizi. Timbulnya kerentanan terhadap masalah gizi pada lansia disebabkan

oleh penurunan kondisi fisik, baik anatomis maupun fungsionalnya. Penambahan

usia menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental.

Perubahan ini mempengaruhi kondisi seseorang baik aspek psikologis dan

Page 16: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

2

fisiologis. Selain itu, penurunan angka metabolisme basal tubuh dan gangguan

gigi dapat berpengaruh pada kemampuan mengunyah. Hal ini menyebabkan

perubahan asupan makanan, sehingga dapat terjadi defisiensi zat gizi

(Wirakusumah 2001).

Meningkatnya jumlah penduduk lansia dengan berbagai masalah gizi dan

kesehatan menyebabkan bertambah besarnya kebutuhan perawatan dan

pengawasan yang lebih intensif, khususnya perawatan dan pengawasan dari

keluarga lansia. Keluarga merupakan suatu kelompok yang bertanggung jawab

terhadap kesejahteraan lansia. Peran keluarga salah satunya ialah merawat lansia

baik makanan, pemeliharaan kesehatan, dan pakaian. Keluarga harus

memperhatikan makanan lansia, agar kebutuhan zat gizinya tercukupi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan

status kesehatan dan status gizi lansia di Kota Bandung.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini ialah mengetahui hubungan antara tingkat

kecukupan energi dan protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia

di Kota Bandung.

Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan:

1. Mengidentifikasi karakteristik lansia meliputi usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan pada lansia di Kota

Bandung.

2. Mengidentifikasi tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota

Bandung.

3. Mengidentifikasi status gizi pada lansia di Kota Bandung.

4. Mengidentifikasi status kesehatan meliputi persepsi kondisi kesehatan,

penyakit yang dialami, disabilitas fisik dan aktivitas sehari-hari pada lansia

di Kota Bandung.

5. Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat

pendapatan.

6. Menganalisis hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan

dengan tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota Bandung.

7. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan status kesehatan pada

lansia di Kota Bandung.

8. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein

dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat

kecukupan energi dan protein, status kesehatan dan status gizi lansia di Kota

Bandung serta hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan

Page 17: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

3

status kesehatan dan status gizi lansia di Kota Bandung. Penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan sebagai acuan mengenai pola

makan yang aman dan seimbang untuk mengatasi masalah gizi ganda pada lansia

agar derajat kesehatan meningkat. Selain itu hasil penelitian ini diharapakan dapat

sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini ialah :

1. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan pada

lansia di Kota Bandung.

2. Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dengan

tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia di Kota Bandung.

3. Terdapat hubungan antara status gizi dengan status kesehatan pada lansia di

Kota Bandung.

4. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status

kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung.

KERANGKA PEMIKIRAN

Status gizi pada lansia dipengaruhi oleh dua faktor ialah faktor langsung

dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi ialah

konsumsi pangan, status kesehatan, dan aktifitas fisik. Faktor tidak langsung yang

mempengaruhi status gizi ialah karakteristik sosial ekonomi pada lansia.

Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan karakteristik sosial

ekonomi lansia yang diteliti meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat

pendapatan.

Usia dan jenis kelamin berhubungan dengan konsumsi energi dan protein.

Setiap individu memiliki kebiasaan makan yang berbeda satu sama lain. Salah

satu faktor yang mempengaruhinya ialah usia. Kebiasaan makan biasanya terkait

dengan jumlah energi yang diperlukan oleh individu untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya. Jumlah energi yang diperlukan tubuh akan mengalami

penurunan pada saat usia lanjut.

Tingkat pendidikan berhubungan dengan pengetahuan gizi. Pengetahuan

gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Semakin

tinggi pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, maka semakin beragam pula jenis

makanan yang dikonsumsi sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan

mempertahankan kesehatan individu. Selain itu tingkat pendidikan akan

berhubungan dengan jenis pekerjaan individu. Tingkat pendidikan yang tinggi

akan memberikan peluang yang besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih

layak.

Suatu pekerjaan akan menghasilkan pendapatan. Tingkat pendapatan

merupakan salah satu faktor ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi pangan.

Kemampuan individu dalam penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan

Page 18: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

4

berkualitas dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan daya beli yang dimilikinya.

Karakteristik sosial ekonomi akan mempengaruhi konsumsi pangan pada lansia

serta status kesehatan pada lansia. Konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat

kecukupan zat gizi lansia yang kemudian akan berpengaruh juga pada status gizi

dan status kesehatan lansia. Status gizi akan mempengaruhi status kesehatan pada

lansia. Skema kerangka pemikiran hubungan antara tingkat kecukupan energi dan

protein dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Kota Bandung dapat

dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

Karakteritik lansia

- Usia

- Jenis kelamin

- Pekerjaan

Konsumsi pangan

Status kesehatan

- Kondisi kesehatan

- Penyakit yang dialami

- Disabilitas fisik

Tingkat kecukupan

energi dan protein

Status gizi

Aktivitas

sehari-hari

Tingkat

pendidikan lansia

Tingkat

pendapatan lansia

Page 19: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

5

METODE

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “A

Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychososial Aspects of

the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home” yang

dibiayai oleh Neys-van Hoogstaren Faoundation the Netherlands dan diketuai oleh

Rita Patriasih S. Pd, M. Si. Desain penelitian tersebut ialah cross sectional.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Penelitian yang dilakukan

oleh peneliti saat ini ialah penelitian menggunakan data sekunder. Penelitian yang

dilakukan oleh peneliti dari proses pengolahan, analisis dan interpretasi data

penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 sampai Februari 2014 di

Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, Jawa Barat.

Teknik Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah lansia. Lansia yang diambil ialah lansia

yang memenuhi kriteria inklusi, ialah lansia berusia ≥55 tahun, mampu makan

menggunakan mulut, tidak ada bagian tubuh yang diamputasi, dapat

berkomunikasi dengan baik, tidak mempunyai gangguan ingatan, tidak

mempunyai gangguan pendengaran, tinggal dengan keluarga dan bersedia

diwawancara sebagai responden. Jumlah lansia pada penelitian ini ialah 334 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder.

Berikut ini tabel peubah dan cara pengumpulan data yang terdiri atas: 1).

Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin; 2). Karakteristik sosial

ekonomi, meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan; 3). Konsumsi

pangan, yang meliputi jumlah dan jenis; 4). Status kesehatan, meliputi persepsi

status kesehatan, penyakit yang dialami dan disabilitas dan aktivitas sehari-hari; 5).

Status gizi, meliputi berat badan dan tinggi badan. Peubah, cara pengumpulan data

disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1 Peubah dan cara pengumpulan data

Peubah Cara pengumpulan

1. Karakteristik lansia

Usia Wawancara langsung dengan lansia

Jenis kelamin

2. Karakteristik sosial ekonomi

Wawancara langsung dengan lansia Tingkat pendidikan

Pekerjaan

Tingkat pendapatan

Page 20: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

6

Tabel 1 Peubah dan cara pengumpulan data (lanjutan)

Peubah Cara pengumpulan

3. Konsumsi pangan

Jumlah Wawancara langsung dengan lansia

Jenis

4. Status kesehatan

Persepsi kondisi kesehatan

Penyakit yang dialami Wawancara langsung dengan lansia

Disabilitas fisik

5. Aktivitas sehari-hari Wawancara langsung dengan lansia

6. Status gizi Pengukuran langsung

Berat badan (kg) Penimbangan dengan timbangan injak

Tinggi badan (cm) Pengukuran menggunakan meteran

Pengolahan dan Analisis Data

Tahapan pengolahan data dimulai dari proses editing, coding, entry,

cleaning dan selanjutnya dianalisis. Proses editing dilakukan untuk pengecekan

data. Selanjutnya, dilakukan coding untuk penggolongan sesuai dengan peubah

dan dilakukan entry data sesuai dengan coding yang telah ditentukan sebelumnya.

Setelah selesai, dilakukan cleaning yang bertujuan mengecek data untuk melihat

kesesuaian pada kode yang telah ditentukan dan melihat data yang tidak sesuai.

Untuk pengolahan dan analisis data, digunakan program Microsoft Excell 2007

dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16.0 for windows.

Karakteristik lansia meliputi usia dan jenis kelamin, sedangkan

karakteristik sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat

pendapatan diolah dengan memberikan pengelompokan atau skala pada setiap

peubah. Pengelompokkan usia lansia dikelompokkan menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, ialah kelompok usia lanjut dini (55–64 tahun),

kelompok usia lanjut (>65 tahun), dan usia lanjut (>70 tahun) (Notoatmodjo 2007).

Pengkategorian jenis kelamin lansia dibedakan menjadi dua, ialah laki-laki dan

perempuan. Tingkat pendidikan lansia dikategorikan menjadi dua, ialah rendah

(tidak sekolah (TS), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP)),

tinggi (sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT)). Pekerjaan

lansia dikategorikan menjadi delapan, ialah tidak bekerja, pedagang, PNS/ABRI,

swasta, pensiunan, buruh, petani, dan lain-lain. Tingkat pendapatan didapatkan

berdasarkan standar Bank Dunia sebesar 2 dolar/hari dan dibedakan menjadi dua

kategori, ialah miskin (<Rp540 000) dan tidak miskin (≥Rp540 000).

Data konsumsi pangan terdiri atas jenis dan jumlah pangan. Jumlah

makanan yang dikonsumsi oleh lansia dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke

ukuran berat dengan menggunakan ukuran yang ada di daftar komposisi bahan

makanan (DKBM) sehingga diperoleh konsumsinya sendiri (Supariasa et al.

2001). Setelah dikonversi, dihitung kandungan zat gizi seperti energi dan protein

dengan menggunakan DKBM.

Sebelum dilakukan perhitungan terhadap tingkat kecukupan zat gizi maka

terlebih dahulu dilakukan perhitungan konsumsi zat gizi terlebih dahulu. Berikut

ialah rumus yang digunakan dalam menghitung konsumsi zat gizi:

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

Page 21: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

7

Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j

Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan j

BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Setelah konsumsi energi dan protein di hitung, kemudian Angka

Kecukupan Zat Gizi (AKG) baik energi dan protein di hitung. Perhitungan AKG

aktual energi dan protein menggunakan koreksi berat badan lansia. Perhitungan

AKG aktual sebagai berikut:

Keterangan:

BBi : berat badan lansia (kg)

BBj : berat badan standar (kg)

Nilai AKG selanjutnya digunakan untuk menghitung Tingkat Kecukupan Gizi

(TKG). Rumus yang digunakan untuk menghitung TKG ialah:

Selanjutnya, Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein

(TKP) diklasifikasikan ke dalam lima tingkat, ialah defisit tingkat berat (<70%),

defisit tingkat sedang (70−79%), defisit ringan (80−89%), normal (90−119%) dan

lebih (≥120%) (Gibson 2005). Namun, lima kategori tersebut dikategorikan

menjadi tiga ialah defisit (<90%), normal (90−119%) dan lebih (≥120%).

Status gizi contoh di lihat dari Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT

didapatkan dari data berat badan dan tinggi badan, kemudian IMT di hitung

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Hasil IMT diklasifikasikan menurut WHO (2005) ialah sangat kurus

(<14.9 kg/m2), kurus (15−18.4 kg/m

2), normal (≥18.5−22.9 kg/m

2), overweight

(23−27.5 kg/m2), obesitas 1 (27.6−40.0 kg/m

2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m

2). Status

kesehatan meliputi persepsi kondisi kesehatan, penyakit yang dialami, disabilitas

dan aktivitas sehari-hari lansia. Penyakit yang dialami dikategorikan menjadi dua

ialah sehat (tidak ada penyakit yang dialami) dan sakit (ada penyakit yang

dialami) kemudian akan di analisis.

Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan uji statistik yang sesuai

jenis data. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui kecenderungan

hubungan antar peubah-peubah penelitian meliputi hubungan antara tingkat

pendidikan dengan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dengan TKE dan TKP,

status gizi dengan status kesehatan, TKE dan TKP dengan status kesehatan dan

status gizi. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara

tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP.

IMT = Berat Badan /Tinggi Badan (m)2

AKG=∑ [BBi/BBj x zat gizi yang dianjurkan

TKG (%) =∑ [konsumsi zat gizi/AKG aktual x 100

Page 22: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

8

DEFINISI OPERASIONAL

Contoh ialah lansia berusia ≥55 tahun ke atas yang tinggal dengan keluarga yang

memenuhi persyaratan mampu makan menggunakan mulut, tidak ada

bagian tubuh yang diamputasi, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak

mempunyai gangguan ingatan, tidak mempunyai gangguan pendengaran,

tinggal bersama keluarga dan bersedia diwawancara sebagai responden.

Lansia ialah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia

setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun.

Karakteristik contoh ialah ciri khusus yang dimiliki oleh lansia yang meliputi

usia dan jenis kelamin.

Karakteristik sosial ekonomi ialah ciri khusus terkait sosial ekonomi lansia

seperti tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan.

Tingkat pendidikan ialah tingkatan sekolah yang pernah dialami oleh lansia

dalam kegiatan belajar mengajar dan menuntut ilmu di pendidikan formal

berdasarkan kategori SD/sederjat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan

Perguruan Tinggi/sederajat.

Pekerjaan ialah ialah predikat yang dimiliki oleh lansia dalam usaha memperoleh

penghasilan berupa uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari berupa

kebutuhan pangan, transportasi, pendidikan, kesehatan, tabungan, dan

lainnya.

Tingkat pendapatan ialah materi yang didapatkan lansia dari pekerjaannya, yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik sandang,

pangan, dan papan.

Konsumsi pangan ialah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh lansia

berupa makanan dan minuman dalam setiap waktu makan dengan

menggunakan metode recall 24 jam.

Tingkat kecukupan gizi ialah angka perbandingan jumlah zat gizi pangan yang

dikonsumsi oleh lansia dengan angka kecukupan gizi berdasarkan usia,

jenis kelamin dan berat badan lansia.

Status gizi ialah ukuran mengenai kondisi tubuh lansia yang ditentukan dengan

pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk kemudian di hitung IMT

dan dikategorikan menjadi sangat kurus (<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4

kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m

2), overweight (23–27.5 kg/m

2), obesitas

1 (27.6–40.0 kg/m2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m

2).

Status Kesehatan ialah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari skor atau

jumlah penyakit yang dialami.

Persepsi status kesehatan ialah penilaian lansia terhadap kondisi kesehatan.

Aktivitas sehari-hari ialah kegiatan dasar yang umum dilakukan lansia sehari-

hari.

Page 23: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lansia

Jenis Kelamin Lansia yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini ialah semua

lansia yang tinggal dengan keluarga di Kota Bandung. Lansia dalam penelitian ini

terdiri atas lansia laki-laki dan perempuan. Lansia perempuan di Indonesia

mempunyai proporsi jumlah lebih banyak daripada lansia pria. Tabel 2

memperlihatkan bahwa proporsi jenis kelamin terbanyak ialah pada perempuan

sebanyak 80.5% dan sisanya laki-laki sebanyak 19.5%. Hasil penelitian ini sejalan

dengan hasil penelitian Marhamah (2005) yang menyatakan bahwa sebagian besar

(55.4%) lansia berjenis kelamin perempuan dan laki-laki sebanyak 44.5%. Selain

itu, penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jauhari (2003) yang menyatakan

bahwa sebaran responden di Panti Werdha Budi Mulia 4 Jakarta terdiri atas 75%

perempuan dan 25% laki-laki. Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah lansia

perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa usia

harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Usia Undang-Undang (UU) No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut

Usia dinyatakan bahwa lanjut usia ialah seseorang yang telah mencapai usia 60

tahun ke atas. Pada penelitian ini kisaran usia lansia antara 55 tahun dan 55 tahun

ke atas. Pengelompokkan usia dibagi menjadi tiga, ialah rentang usia 55−64 tahun,

>65 tahun dan >70 tahun (Notoatmodjo 2007). Usia lansia yang semakin tinggi

menunjukkan adanya peningkatan angka harapan hidup. Tabel 2 memperlihatkan

bahwa sebagian besar lansia berusia 55−64 tahun dengan persentase sebesar

53.3%. Rata-rata usia lansia ialah 65.6 ± 8.5 tahun.

Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

pengetahuan masyarakat. Lansia memerlukan pendidikan untuk meningkatkan

kesejahteraan sosialnya seperti yang tertuang pada UU No 13 Tahun 1998 Bab III

Pasal 5 Ayat 2d tentang hak dan kewajiban lansia. Tingkat pendidikan pada

penelitian ini dikelompokkan menjadi dua ialah rendah (tidak sekolah, SD, SMP)

dan tinggi (SMA dan PT). Pengelompokkan tingkat pendidikan berdasarkan

program pemerintah ialah wajib belajar selama 9 tahun. Tabel 2 memperlihatkan

bahwa proporsi lansia yang berpendidikan rendah lebih besar ialah sebanyak

71.6% sedangkan lansia yang berpendidikan tinggi sebanyak 28.4%. Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yenny dan Herwana (2006) yang

menyatakan bahwa pendidikan formal terakhir lansia laki-laki meliputi tidak

tamat SD (11.4%) dan tidak sekolah (6.8%) sedangkan lansia perempuan tidak

tamat SD (24.8%) dan tamat SD (20.2%). Rendahnya tingkat pendidikan lansia

memperlihatkan kualitas SDM lansia yang rendah. Selain itu, menurut Almatsier

(2011) bahwa tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan berpengaruh terhadap

cara memelihara diri dan kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang

sesuai. Dengan demikian, individu dengan tingkat pendidikan dan tingkat

Page 24: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

10

pendapatan rendah pada umumnya mempunyai usia harapan hidup yang lebih

rendah.

Tabel 2 Sebaran dan statistik lansia

Variabel N %

Jenis kelamin

Laki-laki 65 19.5

Perempuan 269 80.5

Total 334 100

Usia

55−64 tahun 178 53.3

>65 tahun 57 17.1

> 70 tahun 99 29.6

Total 334 100

x ± SD 65.6±8.5

Pendidikan

Rendah (tidak sekolah, SD dan SMP) 239 71.6

Tinggi (SMA dan PT) 95 28.4

Total 334 100

Pekerjaan

Tidak bekerja 267 79.9

Pedagang 36 10.8

PNS/ABRI 1 0.3

Swasta 3 0.9

Buruh 11 3.3

Petani 1 0.3

Lain-lain 15 4.5

Total 334 100

Tingkat pendapatan (Rp/Kapita/Bulan)

Miskin (<Rp540 000) 101 30.2

Tidak miskin (≥Rp540 000) 233 69.8

Total 334 100

x ± SD 1301189.4±1449878.0

Pekerjaan Tingkat pendidikan umumnya akan berhubungan dengan jenis pekerjaan

seseorang. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memberikan peluang

besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Pekerjaan lansia dalam

penelitian ini dibedakan menjadi delapan kategori ialah tidak bekerja, pedagang,

PNS/ABRI, swasta, pensiunan, buruh, petani, dan lain-lain. Tabel 2

memperlihatkan bahwa sebanyak 25.7% lansia sudah pensiun dari pekerjaannya

dan 54.2% lansia tidak bekerja. Namun masih ada lansia yang bekerja sebanyak

20.1%, pekerjaan tersebut diantaranya ialah pedagang, PNS/ABRI, swasta, buruh,

petani, lain-lain. Jenis pekerjaan yang banyak dilakukan ialah sebagai pedagang

(10.8%). Pekerjaan lainnya seperti wiraswasta, penjahit, dan service elektronik.

Tingginya angka tidak bekerja pada lansia dapat disebabkan oleh faktor usia

karena bertambahnya usia lansia berdampak pada menurunnya kondisi fisik dan

penurunan kemampuan untuk bekerja.

Page 25: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

11

Tingkat pendapatan Pendapatan merupakan indikator tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga

dalam bentuk uang yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). Pada penelitian ini

ada lansia potensial dan lansia yang tidak potensial, namun tetap saja lansia sangat

bergantung kepada keluarganya dalam masalah ekonomi. Hal ini disebabkan oleh

rendahnya pendapatan yang diterima atau tidak mempunyai pendapatan sama

sekali. Pada penelitian ini pendapatan dibedakan menjadi dua kategori ialah

miskin dan tidak miskin. Tingkat pendapatan lansia diperoleh dari total

penerimaan lansia dan anggota keluarga. Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian

besar lansia (69.8%) tergolong tidak miskin (≥Rp540 000) dan lansia yang

tergolong miskin (<Rp540 000) sebanyak 30.2%. Rata-rata tingkat pendapatan

lansia sebesar Rp1 301 189.4±Rp1 449 878.0. Hasil penelitian ini sejalan dengan

hasil penelitian Rolland et al. (2009) yang menyatakan bahwa lebih dari setengah

lansia perempuan (59.4%) di Perancis memiliki tingkat pendapatan yang tinggi

(>$900/bulan).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan ialah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang

dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan jumlah tertentu.

Konsumsi pangan erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan serta

perencanaan produksi pangan. Jenis dan jumlah pangan merupakan hal yang

penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi (Hardinsyah dan

Briawan 1994). Kebutuhan gizi pada lansia secara umum sedikit lebih rendah

dibandingkan kebutuhan gizi di usia dewasa. Kondisi ini merupakan konsekuensi

terjadinya penurunan tingkat aktivitas dan metabolisme basal tubuh lansia. Angka

kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan patokan bagi lansia yang sehat.

Akibatnya, kecukupan gizi tersebut bersifat fleksibel dan tidak mutlak

(Wirakusumah 2001).

Lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi

mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk mengimbangi penyusutan faali

yang cepat serta untuk mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Konsumsi pangan dalam jumlah yang kecil tercermin dari nilai energinya,

terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia

(Arisman 2009). Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan

terdiri atas jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka

panjang (food frequency questionnaire) (Fatmah 2010). Metode mengingat-ingat

(recall method) merupakan salah satu metode penilaian konsumsi pangan pada

tingkat individu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi individu (Gibson 2005).

Konsumsi harian lansia di peroleh dari hasil wawancara dengan

menggunakan metode food recall 2x24 jam. Data konsumsi pangan lansia

digunakan untuk mengetahui konsumsi gizi lansia. Angka kecukupan energi dan

protein diperoleh dengan memperhatikan koreksi berat badan, ialah perbandingan

berat badan aktual terhadap berat badan standar. Menu yang disajikan pada lansia

terkadang disajikan menu yang sama bergantung dari habis atau tidaknya menu

makanan yang disajikan. Lansia makan utama tiga kali dalam sehari. Makanan

utama yang diberikan berupa makanan pokok dan lauk pauk, seperti nasi, sayuran,

Page 26: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

12

protein hewani dan nabati. Sayuran yang umum di konsumsi lansia ialah buncis,

wortel dan labu siam, sedangkan protein hewani yang umum di konsumsi ialah

ayam, telur ayam, daging sapi dan ikan mas. Berikut ini disajikan tabel rata-rata

konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan lansia.

Tabel 3 Rata-rata konsumsi, angka kecukupan dan tingkat kecukupan lansia

Rata-rata Energi (kkal) Protein (g)

Konsumsi 1090 35.8

Angka kecukupan 2098 52.0

Tingkat kecukupan (%) 51.9 68.9

Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein

lansia ialah 1090 kkal dan 35.8 g. Rata-rata konsumsi energi pada penelitian ini

lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Nisa (2006) yang menyatakan

bahwa rata-rata konsumsi energi lansia di Panti Werdha Pemerintah DKI Jakarta

ialah 1595 kkal. Rata-rata konsumsi energi dan protein yang rendah diduga karena

adanya perubahan pola makan pada kelompok usia lanjut yang dipengaruhi oleh

faktor fisiologis atau fisik seperti berkurangnya kemampuan gigi dalam

mengunyah makanan, penurunan kemampuan mencium bau dan rasa makanan,

serta faktor psikologis yakni merasa diri kesepian, depressi, dan stress (Fatmah

2006). Rata-rata konsumsi protein pada penelitian ini tidak sejalan dengan hasil

penelitian Devine et al. (2005) yang menyatakan bahwa rata-rata konsumsi

protein lansia di Australia ialah 80.5 g/hari atau hampir dua kali angka protein

yang direkomendasikan untuk wanita usia >55 tahun di Australia, ialah 45 g/hari.

Bila jumlah kalori yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan

disimpan berupa lemak, sehingga akan timbul obesitas. Sebaliknya, bila terlalu

sedikit, maka cadangan energi tubuh akan digunakan, sehingga tubuh akan

menjadi kurus (Depkes 2003). Selain itu, menurut Gross et al. (2004) menyatakan

bahwa asupan energi yang berlebihan dan tertimbun di dalam tubuh, terutama

dalam jaringan adipose dalam bentuk lemak dapat menimbulkan obesitas yang

akhirnya akan menyababkan resistensi insulin dan sindrom metabolik. Chernoff

(2005) menyatakan bahwa kebutuhan protein lansia meningkat dengan adanya

peningkatan usia.

Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dari rata-rata

konsumsi energi dan protein dibandingkan dengan rata-rata angka kecukupannya,

maka diperoleh tingkat kecukupan energi dan protein ialah masing-masing sebesar

51.9% dan 68.9%. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein lansia berada

dalam kategori defisit, ialah <90%.

Tabel 4 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein

Kategori TKE TKP

n % n %

Defisit (<90%) 302 90.4 250 75.1

Normal (90-119%) 27 8.1 53 16.2

Lebih (≥120%) 5 1.5 31 8.7

Total 334 100.0 334 100.0

Tingkat kecukupan energi dan protein lansia dibedakan menjadi lima

kategori, ialah ialah defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70−79%),

defisit ringan (80−89%), normal (90−119%) dan lebih (≥120%) (Gibson 2005).

Page 27: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

13

Tabel 4 memperlihatkan bahwa hampir seluruh (90.4%) lansia tingkat kecukupan

energinya tergolong defisit dan sebanyak 75.1% TKP lansia juga tergolong defisit.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau

sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan

zat gizi (Riyadi 2003). Menurut Almatsier (2006) status gizi ialah keadaan tubuh

sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan

antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih. Status gizi lansia ditentukan

berdasarkan perhitungan IMT, ialah perbandingan berat badan aktual dengan

tinggi badan. Batas ambang nilai IMT menurut WHO (2005) ialah sangat kurus

(<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4 kg/m

2), normal (≥18.5–22.9 kg/m

2), overweight

(23–27.5 kg/m2), obesitas 1 (27.6–40.0 kg/m

2), dan obesitas 2 (≥40 kg/m

2).

Hasil pengelompokkan tersebut, dapat di lihat persentase lansia berdasar

status gizi seperti yang disajikan pada Tabel 5. Sebanyak 42.5% lansia yang

tergolong overweight, 26.0% yang tergolong obesitas 2 dan hanya 7.2% lansia

yang tergolong kurus. Fisher et al. (2007) menyatakan bahwa ukuran porsi

makanan berkontribusi terhadap kejadian obesitas. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Ambartana (2010) yang menyebutkan bahwa lansia dengan

IMT <18.5 (kurus) persentase tertinggi pada kelompok usia 70−75 tahun ialah

54.2% sedangkan lansia dengan IMT >25 (Overweight ) tertinggi pada kelompok

usia 60−64 tahun ialah 69.7%.

Tabel 5 Sebaran lansia menurut status gizi

Status gizi n %

Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 2 0.6

Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 24 7.2

Normal (18.5-22.9 kg/m2) 79 23.7

Overweight (23-27.5 kg/m2) 142 42.5

Obesitas 1 (27.6-40 kg/m2) 0 0.0

Obesitas 2 (>40 kg/m2) 87 26.0

Total 334 100

Status kesehatan

Persepsi kondisi kesehatan

Kesehatan ialah suatu permasalahan yang kompleks sehingga tidak

memungkinkan untuk dapat mengukur semua faktor yang mempengaruhinya baik

secara langsung maupun tidak langsung. Status kesehatan merupakan suatu

tingkatan kesehatan perseorangan, kelompok atau masyarakat yang ditentukan

berdasarkan mortalitas, morbiditas, status gizi dan usia harapan hidup (UHH)

(Depkes 2007). Pada penelitian ini status kesehatan dilihat dari persepsi kondisi

kesehatan saat ini, penyakit yang dialami, disabilitas lansia dan aktivitas sehari-

hari. Persepsi kondisi kesehatan di ukur dengan menggunakan instrument garis

lurus yang memiliki skala 10 cm. Garis paling kiri dengan angka 0 menunjukkan

Page 28: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

14

yang sangat buruk dan garis paling kanan dengan angka 10 menunjukkan

kesehatan yang baik. Lansia di minta untuk mengatakan skala angka untuk

menggambarkan kondisi kesehatannya saat ini dan menceritakan kondisi

kesehatannya. Pengukuran di atas angka 5.5 dinyatakan baik, nilai antara 5−5.5

dinyatakan sedang dan kurang dari 5 dinyatakan sangat buruk. Tabel 6

memperlihatkan bahwa lebih dari setengah (63.5%) kondisi kesehatan lansia

berada dalam kondisi baik, 28.1% dalam kondisi sedang dan 8.4% dalam kondisi

sangat buruk.

Tabel 6 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan

Kategori n %

Sangat buruk 28 8.4

Sedang 94 28.1

Baik 212 63.5

Total 334 100

Penyakit yang dialami lansia

Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap

serangan penyakit. Menurut Depkes (2003) gangguan kesehatan pada usia lanjut

umumnya berupa penyakit-penyakit kronik menahun dan degeneratif seperti

penyakit hipertensi, diabetes melitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung,

gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan

pengunyahan, dan lain-lain. Penyakit yang dialami lansia di lihat berdasarkan

penyakit lansia selama satu tahun terakhir. Tabel 7 memperlihatkan bahwa

penyakit yang paling banyak di derita ialah hipertensi (43.0%) dan arthritis

(43.0%). Penyakit lainnya yang juga dialami lansia ialah maag (28.7%), jantung

pembuluh darah (8.7%), diabetes (8.1%), pernapasan (4.8%), dislipidemia

(18.8%), batu ginjal (3.0%), dan katarak (5.7%). Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Lee et al. (2004) yang menyatakan bahwa banyaknya lansia

kulit putih dan kulit hitam di Pittsburgh dan Memphis Amerika Serikat yang

menderita hipertensi ialah sebanyak 38.4% lansia kulit putih dan kulit hitam

(53.8%).

Tabel 7 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami

Penyakit n %

Hipertensi 144 43.0

Arthritis 144 43.0

Maag 96 28.7

Jantung pembuluh darah 29 8.7

Diabetes 27 8.1

Pernapasan 16 4.8

Dislipidemia 63 18.8

Batu ginjal 10 3.0

Katarak 19 5.7

Lain-lain 15 4.5

Total 334 100

Disabilitas fisik

Rolland et al. (2004) mengatakan bahwa obesitas merupakan masalah

kesehatan utama pada orang tua karena terkait dengan disabilitas. Disabilitas fisik

pada lansia dibedakan menjadi penglihatan dan pendengaran. Pada penglihatan

Page 29: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

15

lansia terjadinya degenerasi struktur jaringan lensa mata, iris, pupil dan retina

menyebabkan kemampuan penglihatan pada lansia menurun dan menimbulkan

berbagai penyakit seperti katarak dan glaukoma. Bentuk bola mata lebih cekung

sedangkan bentuk kelopak mata menjadi cembung disebabkan oleh terjadinya

penyusutan lemak periorbital dan 65−70% lansia menunjukkan kemunduran

pendengaran secara fungsional (tuli fungsional) setelah berusia 80 tahun dan 5%

dari populasi usia di atas 65 tahun (Fatmah 2010). Masing-masing permasalahan

dibedakan menjadi dapat melihat/mendengar dengan baik, melihat/mendengar

dengan menggunakan kacamata/alat bantu dengar dan masalah

penglihatan/pendengaran yang serius.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa sebanyak 59.6% bisa melihat tanpa

kacamata, 37.7% bisa melihat dengan bantuan kacamata dan hanya 2.7% lansia

yang mengalami masalah penglihatan serius. Berbeda dengan masalah

pendengaran dari 334 orang lansia 93.1% bisa mendengar dengan baik, 6.3% bisa

mendengar dengan Alat Bantu Dengar (ABD) dan sisanya 0.6% lansia yang

mengalami masalah pendengaran serius. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Suryanto (2002) yang menyatakan bahwa proporsi lansia di Jakarta dan

Bogor yang tidak berkacamata lebih tinggi dibandingkan yang berkacamata ialah

sebanyak 67.1% dan kondisi pendengarannya masih normal sebanyak 78.5%.

Tabel 8 Sebaran lansia menurut disabilitas fisik

Disabilitas N %

Penglihatan

Bisa melihat tanpa kacamata 199 59.6

Bisa melihat dengan bantuan kacamata 126 37.7

Masalah penglihatan serius 9 2.7

Total 334 100

Pendengaran

Bisa mendengar dengan baik 311 93.1

Bisa mendengar dengan bantuan Alat Bantu Dengar (ABD) 21 6.3

Masalah pendengaran serius 2 0.6

Total 334 100

Aktivitas sehari-hari

Pada aktivitas sehari-hari lansia diminta menyebutkan kesan lansia dalam

melakukan aktivitas dasar harian. Kesan tersebut terbagi menjadi dua, ialah tidak

mengalami kesulitan dalam melakukan dan sulit dalam melakukan. Sebaran lansia

menurut aktivitas sehari-hari disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran lansia menurut aktivitas sehari-hari

Kegiatan Tidak sulit Sulit

n % n %

Memakai pakaian sendiri 327 97.9 7 2.1

Minum menggunakan gelas 329 98.5 5 1.5

Mandi 324 97.0 10 3.0

Menggantungkan baju 315 94.3 19 5.7

Berolahraga (jalan sehat, senam, dll) 271 81.1 63 18.9

Minum menggunakan gelas merupakan kegiatan yang paling banyak dapat

dilakukan oleh lansia. Sebanyak 98.5% lansia menyatakan bahwa tidak

mengalami kesulitan dalam minum menggunakan gelas. Lansia yang mengalami

kesulitan dalam minum menggunakan gelas sebanyak 1.5% dan lansia yang

Page 30: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

16

mengalami kesulitan dalm minum menyatakan bahwa lansia minum

menggunakan tangan kiri karena tangan kanannya sulit digerakkan. Selain minum

menggunakan gelas, kegiatan lainnya yang dapat dilakukan lansia tanpa kesulitan

ialah memakai pakaian (97.9%), mandi (97.0%) dan menggantungkan baju

(94.3%). Kegiatan yang sulit dilakukan oleh lansia ialah olahraga sebanyak

18.9%.

Hubungan antar Variabel

Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan

Tabel 10 memperlihatkan bahwa tingkat pendapatan yang tergolong

miskin lebih besar pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak

27.8% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah

sebanyak 2.4%. Pada tingkat pendapatan yang tergolong tidak miskin proporsi

tertinggi terdapat pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak

43.7% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah

sebanyak 26.0%.

Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan

Tingkat pendidikan

Tingkat pendapatan

Total Miskin

(<Rp540 000)

Tidak miskin

(≥Rp540 000)

n % n % n %

Rendah (TS, SD, SMP) 93 27.8 146 43.7 239 71.6

Tinggi (SMA dan PT) 8 2.4 87 26.0 95 28.4

Total 101 30.2 233 69.8 334 100.0

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif

antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan (r=0.564 dan p=0.000) yang

berarti semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat

pendapatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Atmaja (2012)

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat

pendidikan (p<0.01 dan r=0.379). Pendapatan seseorang identik dengan mutu

sumber daya manusia sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya

memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Suhardjo 1989).

Hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP

Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor ekonomi yang

mempengaruhi pola konsumsi pangan. Kemampuan seseorang dalam penyediaan

makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh tingkat

pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Drewnowski (2004) menyatakan

bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi dalam pemilihan makanan, kebiasaan

makan dan kualitas makanan. Sharkey (2002) menyatakan bahwa rendahnya

tingkat pendapatan menyebabkan tidak terpenuhinya intik zat gizi lansia. Tabel 11

memperlihatkan bahwa TKE yang defisit lebih besar pada lansia yang tingkat

pendapatannya tergolong tidak miskin ialah sebanyak 22.5% dibandingkan

dengan lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 6.9%.

Pada TKE yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat pendapatannya

tergolong tidak miskin sebanyak 9.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat

pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 8.7%.

Page 31: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

17

Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE

Tingkat pendapatan

TKE Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % n %

Miskin (<Rp540 000) 23 6.9 49 14.7 29 8.7 101 30.2

Tidak miskin (≥Rp540 000) 75 22.5 128 38.3 30 9.0 233 69.8

Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0

Tabel 12 memperlihatkan bahwa TKP yang defisit lebih besar pada lansia

yang tingkat pendapatannya tergolong tidak miskin ialah sebanyak 15.0%

dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah

sebanyak 11.7%. Pada TKP yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat

pendapatannya tergolong tidak miskin sebanyak 15.0% dibandingkan dengan

lansia yang tingkat pendapatannya tergolong miskin ialah sebanyak 3.6%.

Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP

Tingkat pendapatan

TKP Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % N %

Miskin (<Rp540 000) 39 11.7 50 15.0 12 3.6 101 30.2

Tidak miskin (≥Rp540 000) 50 15.0 133 39.8 50 15.0 233 69.8

Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang

signifikan (p>0.05) antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP. Hal ini

diduga karena TKE dan TKP diperoleh dari jumlah asupan lansia dalam dua hari

saat recall dan seseorang dengan tingkat pendapatan tinggi tidak menjamin dapat

mencukupi kecukupan energi dan proteinnya karena walaupun tingkat

pendapatannya tinggi tetapi kebutuhan dan konsumsinya tidak semakin tinggi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Horner et al. (2002) yang

menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan

TKE dan sejalan dengan hasil penelitian Zaddana (2011) yang menyatakan bahwa

tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKP.

Hubungan antara tingkat pendidikan dengan TKE dan TKP

Tingkat pendidikan umumnya akan berhubungan dengan tingkat

pengetahuan termasuk pengetahuan gizi seseorang. Pengetahuan gizi akan

berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan, semakin tinggi pengetahuan gizi

maka semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsinya sehingga dapat

memenuhi kecukupan gizinya. Tabel 13 memperlihatkan bahwa TKE yang defisit

lebih besar pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 19.5%

dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak

9.9%. Pada TKE yang lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat

pendidikannya rendah sebanyak 15.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat

pendidikannya tinggi ialah sebanyak 2.7%.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang negatif

antara tingkat pendidikan dengan TKE (r=-0.118 dan p=0.031) yang berarti

semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin rendah tingkat kecukupan

energinya. Hal ini diduga karena seseorang yang berpendidikan tinggi tidak

Page 32: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

18

menjamin dapat menerapkan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga seseorang

yang berpendidikan tinggi, tingkat kecukupan energinya rendah. Hasil ini berbeda

dengan pernyataan Suhardjo (1989) yang menyatakan bahwa orang yang

berpendidikan tinggi akan cenderung memilih makanan yang murah tetapi

kandungan gizinya tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia sehingga

kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Hasil penelitian ini tidak sejalan

dengan hasil penelitian Wijiastuti (2000) yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan TKE.

Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE

Tingkat pendidikan

TKE Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % N %

Rendah (TS, SD, SMP) 65 19.5 124 37.1 50 15.0 239 71.6

Tinggi (SMA dan PT) 33 9.9 53 15.9 9 2.7 95 28.4

Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0

Tabel 14 memperlihatkan bahwa TKP yang defisit lebih besar pada lansia

yang tingkat pendidikannya rendah ialah sebanyak 22.5% dibandingkan dengan

lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah sebanyak 4.2%. Pada TKP yang

lebih proporsi tertinggi pada lansia yang tingkat pendidikannya rendah sebanyak

12.0% dibandingkan dengan lansia yang tingkat pendidikannya tinggi ialah

sebanyak 6.6%. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat

hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pendidikan dengan TKP

(r=0.075 dan p=0.172). Hal ini diduga karena terjadinya penurunan nafsu makan

pada lansia. Pada lansia ujung-ujung indra pengecap di lidah mulai berkurang

jumlahnya sehingga indra pengecap kurang peka (Santoso dan Andar 2009). Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zaddana (2011) yang menyatakan

bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan TKP.

Tabel 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP

Tingkat pendidikan

TKP Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % N %

Rendah (TS, SD, SMP) 75 22.5 124 37.1 40 12.0 239 71.6

Tinggi (SMA dan PT) 14 4.2 59 17.7 22 6.6 95 28.4

Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0

Hubungan antara status gizi dengan status kesehatan (penyakit yang

dialami)

Status kesehatan lansia dilihat dari penyakit yang dialami oleh lansia yang

kemudian dikategorikan menjadi sehat (tidak ada penyakit yang dialami) dan sakit

(ada penyakit yang dialami). Tabel 15 memperlihatkan bahwa status kesehatan

yang sakit lebih besar pada lansia yang status gizinya overweight ialah sebanyak

32.9% dibandingkan dengan lansia yang status gizinya normal ialah sebanyak

18.0%. Pada status kesehatan yang sehat proporsi tertinggi pada lansia yang

overweight sebanyak 9.6% dibandingkan dengan lansia yang status gizinya

normal ialah sebanyak 5.7%. Proporsi lansia yang sakit sebanyak 79.0%.

Tingginya proporsi tersebut disebabkan oleh lansia kurang mampu menghasilkan

limfosit untuk sistem imun, walaupun jumlah limfosit tidak berubah banyak tetapi

berkurangnya reaksi limfosit melawan infeksi (Fatmah 2006).

Page 33: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

19

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif

antara status gizi dengan status kesehatan (r=0.112 dan p=0.034) yang berarti

semakin tinggi IMT maka akan semakin tinggi pula risiko penyakit yang akan

dialami seseorang atau sebaliknya. Supariasa et al. (2001) menyatakan bahwa

kebiasaan mengonsumsi makanan yang berlebihan dapat mempengaruhi status

gizi seseorang dan berpengaruh pada keadaan kesehatannya.

Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan status kesehatan

Status gizi

Status kesehatan Total

Sehat Sakit

n % n % N %

Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 0 0.0 2 0.6 2 0.6

Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 6 1.8 18 5.4 24 7.2

Normal (18.5-22.9 kg/m2) 19 5.7 60 18.0 79 23.7

Overweight (23-27.5 kg/m2) 32 9.6 110 32.9 142 42.5

Obesitas 2 (>40 kg/m2) 13 3.9 74 22.2 87 26.0

Total 70 21.0 264 79.0 334 100.0

Hubungan antara TKE dan TKP dengan status kesehatan (penyakit yang

dialami) dan status gizi

Nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun. Orang tua

rentan terhadap gangguan gizi buruk (undernutrition), disebabkan oleh faktor

fisiologi dan psikologi yang mempengaruhi keinginan makan dan kondisi fisik

serta ekonomi. Gizi kurang pada orang tua disebabkan oleh berkurangnya

kemampuan penyerapan zat gizi atau konsumsi makanan bergizi yang tidak

memadai. Berkurangnya asupan kalori diketahui dapat memperlambat proses

penuaan. Konsumsi protein yang tidak cukup mempengaruhi status imun karena

berhubungan dengan kerusakan jumlah dan fungsi imun serta penurunan respons

antibodi (Fatmah 2006).

Tabel 16 memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

(p>0.05) antara TKE dan TKP dengan status kesehatan. Hal ini diduga karena

tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dari jumlah asupan lansia dalam

dua hari saat recall sedangkan penyakit yang dialami oleh lansia ialah penyakit

yang telah lama diderita lansia.

Tabel 16 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan statu

kesehatan dan status gizi

Peubah TKE TKP

Status kesehatan r -0.063 -0.037

p 0.254 0.495

Status gizi r -0.347 0.133

p 0.000 0.015

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang negatif

antara TKE dengan status gizi yang berarti semakin tinggi TKE maka semakin

rendah status gizi seseorang. Pada saat pengambilan data, diduga lansia sedang

memiliki nafsu makan yang baik sehingga tingkat kecukupan energinya baik.

Namun untuk status gizi merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu,

sehingga TKE dalam recall 2x24 jam tidak bisa menggambarkan status gizi lansia

saat ini. Hasil penelitian Zulaihah (2006) menyatakan bahwa status gizi seseorang

terbentuk dari apa yang dikonsumsi dalam waktu yang cukup lama, sehingga

Page 34: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

20

asupan zat gizi yang di recall selama 3 hari belum bisa menggambarkan kebiasaan

makan contoh yang telah membentuk status gizinya sekarang. Hasil penelitian ini

tidak sejalan dengan hasil penelitian Paramita (2002) yang menyatakan bahwa

adanya hubungan yang positif antara TKE dengan status gizi.

Hasil uji korelasi Spearman antara TKP dengan status gizi menunjukkan

adanya hubungan yang positif yang berarti semakin tinggi TKP maka akan

semakin tinggi status gizi seseorang atau sebaliknya. Hasil penelitian ini juga

sejalan dengan hasil penelitian Puspitasari (2011) yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan positif antara TKP dengan status gizi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Contoh dalam penelitian ini ialah lansia yang berusia 55 tahun dan 55

tahun ke atas yang berjumlah 334 orang dengan banyaknya lansia yang berusia

60–74 tahun dengan rata-rata 65.6 tahun. Proporsi jenis kelamin paling banyak

ialah perempuan sebanyak 80.5% dan sisanya laki-laki. Lebih dari setengah lansia,

tingkat pendidikannya tergolong rendah dan tidak bekerja. Sebanyak 68.9%

tingkat pendapatan lansia tergolong tidak miskin (≥Rp540 000). Sayuran yang

umum di konsumsi lansia ialah buncis, wortel dan labu siam. Sedangkan protein

hewani yang umum di konsumsi ialah ayam, telur ayam, daging sapi dan ikan mas.

Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein tergolong dalam kategori defisit.

Sebanyak 42.5% status gizi lansia paling banyak lansia yang tergolong overweight.

Lebih dari setengah lansia persepsi kondisi kesehatan tergolong baik.

Penyakit yang paling banyak di derita ialah hipertensi (43.0%) dan arthritis

(43.0%). Disabilitas fisik lansia menunjukkan bahwa hampir seluruh lansia bisa

mendengar dengan baik dan sebanyak 59.6% lansia bisa melihat tanpa kacamata.

Hampir seluruh lansia menyatakan bahwa tidak mengalami kesulitan dalam

minum menggunakan gelas dan sebanyak 18.9% lansia yang menyatakan

mengalami kesulitan dalam berolahraga.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif

antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan, terdapat hubungan yang

negatif antara tingkat pendidikan dengan TKE, namun tidak terdapat hubungan

anatara tingkat pendidikan dengan TKP dan terdapat hubungan yang positif antara

status gizi dengan status kesehatan. Selain itu, terdapat hubungan yang negatif

antara TKE dengan status gizi dan terdapat hubungan yang positif antara TKP

dengan status gizi. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat

hubungan antara tingkat pendapatan dengan TKE dan TKP.

Saran

TKE dan TKP lansia banyak dalam kategori defisit dan berstatus gizi

overweight. Oleh karena itu, keluarga lansia harus memperhatikan konsumsi

pangan lansia agar kecukupan zat gizi dapat terpenuhi sesuai dengan

Page 35: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

21

kecukupannya. Penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti tentang pengaruh

antara tingkat kecukupan energi dan protein terhadap status kesehatan dan status

gizi lansia dengan cara pengambilan data konsumsi pangan menggunakan metode

Food Weighing. Metode Food Weighing diharapkan akan mendapatkan hasil yang

lebih menggambarkan konsumsi lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka

Utama.

__________.2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT

Gramedia Pustaka Utama.

Ambartana W. 2010. Hubungan Status Gizi dengan Kekuatan Otot Lanjut Usia di

Kelurahan Gianyar Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. J Ilmu Gizi.

1(1):67-74.

Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Palembang (ID): Universitas

Sriwijaya.

Atmaja Nining T T. 2012. Konsumsi Kalsium, Status Gizi, Tekanan Darah dan

Hubungannya terhadap Keluhan Sendi pada Lansia di Panti Werdha Kota

Bandung. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Laju Penduduk Indonesia 2010.

Jakarta (ID): BPS.

Chernoff R. 2005. Micronutrient requirements in older women. American

Journal of Clinical Nutrition 81:1240-1245.

Darmojo dan Boedhi R. 2006. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.

Jakarta (ID): FK-UI.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang.

Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

________________________________. 2007. Profil Kesehatan Indonesia.

Jakarta (ID): Depkes RI.

Devine et al. 2005. Protein consumption is an important predictor of lower limb

bone mass in elderly women. American Journal of Clinical Nutrition

8:1423-1428.

Drewnowski A dan Specter SE. 2004. Poverty and Obesity: The Role of Energy

Density and Energy Costs. American Journal of Clinical Nutrition 79:6-

16.

Fatmah. 2006. Persamaan (Equation) Tinggi Badan Manusia Usia Lanjut

(Manula) Berdasarkan dan Etnis pada 6 Panti Terpilih di DKI Jakarta

dan Tangerang Tahun 2005. Makara Kesehatan 10:7-16.

______. 2006. Respons Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.

Makara Kesehatan 10:47-53.

______. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta (ID): Erlangga.

Page 36: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

22

Fisher JO, Angels A, Leann LB, Barbara JR. 2007. Portion size effects on daily

energi intake in low-income Hispatic and African American children and

their mother. American Journal of Clinical Nutrition. 86:1709-1716.

Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Asessment. Second Edition. New York:

Oxford University Press.

Gross LS, Li Li, Ford ES, Liu S. 2004. Increased consumption of refined

carbohydrates and the epidemic of type 2 diabetes in the United States :

an ecologic assessment. Am J Clin Nutr. 79: 774–9.

Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.

Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Horner NK, Ruth EP, Marian LN, Johanna WL, Shirley AB, Ross LP. 2002.

Participant characteristics associated with errors in self-reportedenergy

intake from the womens health initiative food-frequency questionnaire.

American Journal of Clinical Nutrition. 76:766-773.

Jauhari M. 2003. Status gizi, kesehatan dan kondisi mental lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta [Tesis]. Bogor (ID): Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lee J, Robert J, Patricia C, Stephen B, Tamara B, Ronica R, Susam M, Anne B.

2004. Edentulism and Nutrional Status in a Biracial Sample of Well

Functioning Community-Dwelling Elderly the Health, Aging, and Body

Composition Study. American Journal of Clinical Nutrition 75:295-302.

Marhamah. 2005. Konsumsi Gizi dan Aktivitas Fisik Usia Lanjut di Kota Depok

Kaitannya dengan Status Kesehatan dan Kemampuan Kognitif [Skripsi].

Banten (ID): Universitas Terbuka Serang.

Nisa H. 2006. Faktor Determinan Status Gizi Lansia Penghuni Panti Werdha

Pemerintah DKI Jakarta Tahun 2004. Media Litbang Kesehatan

16(3):24-34.

Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta (ID): PT

Rineka Cipta.

Nugroho W. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta (ID): EGC.

Paramita L. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan dan

Status Gizi [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan

Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

Bogor.

Puspitasari A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi

dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta home care di Tegal Alur,

Jakarta Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Riyadi H. 2003. Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Bogor (ID): Fakultas

Pertanian, IPB.

Rolland Y, Valerie L, Marco P, Judith F, Helene G, Bruno V. 2004. Muscle

Strength in Obese Elderly Women: effect of Recreational Physical

Activity in a Cross-Sectional Study. American Journal of Clinical

Nutrition 79:552-557.

Rolland Y, Valeris L, Christelle C, Gabor A, Ian J, John E, Bruno V. 2009.

Difficulties with Phsycal Function Associated with Obesity, Sarcopenia,

Page 37: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

23

and Sarcopenic-Obesity in Community-Dwelling Elderly Women.

American Journal of Clinical Nutrition 89:1895-1900.

Santoso H dan Andar I. 2009. Memahami Krisis Lanjut Usia. Jakarta (ID):

Gunung Mulia.

Sharkey J. 2002. Inadequate Nutrition Intakes Among Homebound Elderly and

Their Correlation With Individual Characteristic and Health Related

Factors. American Journal of Clinical Nutrition 76(6):1435-1445.

Stanley M . 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta (ID): EGC.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian

Bogor.

Supariasa, Bakri, Fajar. 2001. Penialaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Suryanto A. 2002. Perilaku Makan, Status Gizi dan Kesehatan Wanita Usia Lanjut

di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta dan Kelurahan Baranangsiang,

Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan

Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia. 1998. Kesejahteraan Lanjut Usia.

http://www.google.co.id/UUNo13Tahun1998 [diakses 10 Oktober 2013].

[WHO] World Health Organization. 2005. Cut off point nutritional status.

http://www.euro.who.intnutrtion–20030507_1 [diakses 10 Oktober 2013].

Wijiastuti YN. 2000. Keragaan Konsumsi Pangan Keluarga menurut Tingkat

Pendidikan Kepala Keluarga di Kotamadya Bogor [Skripsi]. Bogor (ID):

Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Wirakusumah ES. 2001. Menu Sehat Untuk Lanjut Usia. Jakarta (ID): EGC.

Yenny dan Herwana E. 2006. Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup

pada Lanjut Usia di Jakarta Selatan. 25(4): 164-171.

Zaddana C. 2011. Keadaan Sosial Ekonomi, Pola Konsumsi Makan, Status Gizi,

Tingkat Stress dan Status KesehatanLansia Wanita Peserta

Pemberdayaan Lansia di Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Zulaihah, L dan Widajanti. 2006. Hubungan Kecukupan Asam Eikosapentanoat

(EPA), Asam Dokosaheksanoat (DHA) Ikan dan Status Gizi dengan

Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Gizi Indonesia. 1(2):15-25.

Page 38: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

24

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

STUDI STATUS GIZI, KARAKTERISTIK KESEHATAN DAN ASPEK

PSIKOSOSIAL LANSIA YANG TINGGAL DENGAN KELUARGA DAN

DI PANTI WREDHA

Sheet 1: CoLans

1. Enumerator A1 : 1. Wiwi 2. Okta 3. Iin 4. Nining 5. Nisa

2. Tanggal wawancara A2 : ______________2012

3. Nomor responden A3 : ______________

4. Nama responden A4 : __________________________________

5. Tinggal bersama dengan A5 : 1. Panti wredha, A5L nama: Panti_______

2. keluarga

3. tinggal sendiri/berdua, dekat keluarga

4. tinggal sendiri/berdua, jauh dari keluarga

Alamat rumah/panti

6. Rt A6 :

7. Rw A7 :

8. Desa A8 :

9. Kelurahan A9 :

10. Kecamatan A10 :

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Page 39: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

25

Sheet 2: Karaklans

B. KARAKTERISTIK LANSIA 1. Jenis Kelamin B1 1. Laki-laki 2. Perempuan 2. Umur B2 ____ Tahun 3. Pendidikan terakhir

(berdasarkan ijazah

terakhir)

B3 1. Tidak sekolah 2. SD 3. SMP

4. SMA 5. Perguruan tinggi

4. Pekerjaan B4 1. Tidak bekerja 2. Pedagang

3. PNS/ABRI 4. Swasta 5. Pensiunan 6. Buruh 7. Petani 8. Lain-lain, sebutkan B4L:_________

Sheet 3: Incomkelans

C. PENDAPATAN KELUARGA LANSIA

C1

C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9

Anggota Keluarga

Jenis

Pekerjaan

Pendapatan1)

: Rp per Jumlah

Hari Kerja2)

Har

i Mingg

u Bulan

2) Tahu

n

hari/

mgg mgg

/bln

bln

/th

n

1. Lansia

a. Pensiunan

b. Kiriman c. Hasil kerja sendiri

d. Lain-lain:

2.Anggota

lainnya 3

1. Pasangan

(suami/istri) a.

2. Anak a.

b.

3. Cucu a.

b.

4. Lainnya a.

b.

Keterangan :

1) Pilih salah satu (hari, minggu, bulan, tahun)

2) Kolom bulan digunakan untuk merekap kolom sebelumnya dan harusterisi

3) ditanyakan kepada lansia non panti wredha

Page 40: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

26

Sheet 4: Recallans

D. KONSUMSI PANGAN LANSIA

D1. Hari ke-1 D= 1

D1 D3

No. Kode1)

Pangan/bahan2)

URT gr/URT

Berat

bersih

(gr) satuan

0.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

D1. Hari ke-2 D= 2

D2 D3

No. Kode1)

Pangan/bahan2) URT

gr/URT Berat

bersih (gr) satuan

0.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Keterangan:

1) Berikan kode pangan/bahan pada saat editing sesuai kode pangan

2) Sebut nama bahan pangan bila pangan tersebut tidak tercantum pada DKBM

3) Berat bersih = (gr/URT) – (gr/URT sisa)

Sheet 5: Statgizlans

E. STATUS GIZI LANSIA

1. Berat Badan E1 = kg

2. Tinggi badan E2 = cm

Page 41: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

27

Sheet 6 : Statkeslans

F. STATUS KESEHATAN LANSIA

Estimasi Status Global Pasien 1. Bagaimana kondisi kesehatan yang Anda rasakan saat ini? Pilih salah satu

skala berikut ini F1:

2. Penyakit yang terdiagnosis (berdasarkan diagnosis

dokter): 2.1. Tekanan darah tinggi 2.2. Artritis (radang sendi/rematik) 2.3. Sindroma dyspepsia (sakit maag)

2.4. Penyakit jantung pembuluh darah 2.5. Diabetes 2.6. Penyakit pernafasan (asma/radang paru) 2.7. Dislipidemia (kolesterol) 2.8. Batu ginjal 2.9. Katarak 2.10 Lain-lain, sebutkan…………

F21 F22 F23 F24 F25 F26 F27 F28 F29

F210

1=Ya

2=Tidak

Problem fisik/disabilitas 3. Masalah penglihatan F3:

1. Bisa melihat tanpa kacamata 2. Bisa melihat dengan bantuan kacamata 3. Masalah penglihatan serius

4. Masalah pendengaran F4:

1. Bisa mendengar dengan baik. 2. Bisa mendengar dengan bantuan alat bantu dengar (ABD) 3. Masalah pendengaran serius

Aktifitas sehari-hari

5 Masalah mobilitas apakah Anda mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas

berikut ini F5

No. Melakukan Aktivitas sendiri Kode

Jawaban

Tidak

Sulit Agak

sulit Sangat

sulit

Tidak

dapat

melakukan 5.1 Memakai pakaian, termasuk

mengikat tali sepatu dan

memakai kancing F51 0 1 2 3

5.2 Minum menggunakan gelas F52 0 1 2 3 5.3 Mandi F53 0 1 2 3 5.4 Menggantungkan baju F54 0 1 2 3 5.5 Turun naik bis, mobil, atau

kereta F55 0 1 2 3

5.6 Berolahraga (jalan sehat,

senam dll) F56 0 1 2 3

SANGAT BURUK SEDANG 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5

BAIK 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0

Page 42: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

28

Lampiran 2 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan

Tingkat pendidikan

Tingkat pendapatan

Total Miskin

(<Rp 540 000)

Tidak miskin

(≥Rp 540 000)

n % n % n %

Rendah (TS, SD, SMP) 93 27.8 146 43.7 239 71.6

Tinggi (SMA dan PT) 8 2.4 87 26.0 95 28.4

Total 101 30.2 233 69.8 334 100.0

Uji korelasi Spearman r=0.564 p=0.000

Lampiran 3 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKE

Tingkat pendapatan

TKE Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % n %

Miskin (<Rp 540 000) 23 6.9 49 14.7 29 8.7 101 30.2

Tidak miskin (≥Rp 540 000) 75 22.5 128 38.3 30 9.0 233 69.8

Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0

Uji korelasi Pearson r=0.000 p=0.987

Lampiran 4 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendapatan dan TKP

Tingkat pendapatan

TKP Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % n %

Miskin (<Rp 540 000) 39 11.7 50 15.0 12 3.6 101 30.2

Tidak miskin (≥Rp 540 000) 50 15.0 133 39.8 50 15.0 233 69.8

Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0

Uji korelasi Pearson r=0.104 p=0.058

Lampiran 5 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKE

Tingkat pendidikan

TKE Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % n %

Rendah (TS, SD, SMP) 65 19.5 124 37.1 50 15.0 239 71.6

Tinggi (SMA dan PT) 33 9.9 53 15.9 9 2.7 95 28.4

Total 98 29.3 177 53.0 59 17.7 334 100.0

Uji korelasi Spearman r= -0.118 p=0.031

Lampiran 6 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan TKP

Tingkat pendidikan

TKP Total

Defisit Normal Lebih

n % n % n % n %

Rendah (TS, SD, SMP) 75 22.5 124 37.1 40 12.0 239 71.6

Tinggi (SMA dan PT) 14 4.2 59 17.7 22 6.6 95 28.4

Total 89 26.6 183 54.8 62 18.6 334 100.0

Uji korelasi Spearman r=0.075 p=0.172

Page 43: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

29

Lampiran 7 Sebaran lansia dan hasil uji korelasi Spearman berdasarkan status gizi

dan status kesehatan

Status gizi

Status kesehatan Total

Sehat Sakit

n % n % n %

Sangat kurus (<14.9 kg/m2) 0 0.0 2 0.6 2 0.6

Kurus (15.00-18.4 kg/m2) 6 1.8 18 5.4 24 7.2

Normal (18.5-22.9 kg/m2) 19 5.7 60 18.0 79 23.7

Overweight (23-27.5 kg/m2) 32 9.6 110 32.9 142 42.5

Obesitas 2 (>40 kg/m2) 13 3.9 74 22.2 87 26.0

Total 70 21.0 264 79.0 334 100.0

Uji korelasi Spearman r=0.112 p=0.034

Lampiran 8 Hasil uji korelasi Spearman antara TKE dan TKP dengan status

kesehatan dan status gizi

Peubah TKE TKP

Status kesehatan r -0.063 -0.037

p 0.254 0.495

Status gizi r -0.347 0.133

p 0.000 0.015

Page 44: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69175/I14irs.pdf · Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Kesehatan

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 15 Oktober 1991, dari seorang

Ayah yang bernama Sunarto dan seorang Ibu yang bernama Suwanti Asih (alm).

Penulis merupakan anak tunggal. Awal pendidikan penulis dimulai dari taman

kanak-kanak ialah di TK Mexindo Bogor pada tahaun 1996-1997, kemudian

melanjutkan sekolah dasar di SDN Ciheuleut 2 Bogor pada tahun 1997-2003.

Tahun 2003-2009 penulis menduduki pendidikan SMP ialah di SMPN 3 Bogor

dan SMA di SMA Plus YPHB Bogor. Pada tahun 2009, melalui jalur Seleksi

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN), penulis diterima sebagai mahasiswa

Institut Pertanian Bogor di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi

Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selama perkuliahan, penulis hanya mengikuti kegiatan kepanitiaan acara

departemen. Pada bulan Juli-Agustus 2012 penulis mengikuti Kuliah Kerja

Profesi (KKP) di Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriono, Kabupaten

Pekalongan, Jawa Tengah. Pada bulan Februari-Maret 2013 penulis melaksanakan

Internship Dietetic di Rumah Sakit Ciawi, Bogor.