1 HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN DENGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN AKTIF KALA III DARI HASIL PELATIHAN APN Diajukan Oleh : ABDUL HAKIM NIM : S 5804001 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I OBSTETRI GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2009
27
Embed
HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN DENGAN …/Hubungan...hidup), sedangkan lainnya penyebabnya adalah ruptur uteri, hipertensi dalam kehamilan, eklampsia dan sepsis. Kasus perdarahan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN
DENGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN
AKTIF KALA III DARI HASIL PELATIHAN APN
Diajukan Oleh :
ABDUL HAKIM NIM : S 5804001
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I OBSTETRI GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2009
2
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kasus-kasus perdarahan di Indonesia cukup tinggi. Diperkirakan
terdapat 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya, paling
sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal (WHO,
1998). Begitu juga di Kabupaten Sukoharjo kematian akibat perdarahan post
partum paling tinggi dibanding preeklampsia dan infeksi (profil DINKESSOS
Kab Sukoharjo). Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam
setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul selama
kala III. Pemerintah mengadakan pelatihan APN yang salah satunya di
Kabupaten Sukoharjo. Pelatihan tersebut diikuti oleh bidan DI dan DIII. Bidan
DIII berasal dari SMA akan memperoleh kesempatan pendidikan lebih banyak
dari DI yang bersal dari SMP. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin baik kualitas pemahamanya ( Tirta Raharja, 2005). Bidan DIII akan
lebih baik pemahamanya dibandingkan dengan Bidan DI dalam mengikuti
pelatihan APN yang dilakukan dalam rentang waktu yang sama yaitu 2
minggu, padahal bidan DI lebih banyak jumlahnya yang ikut APN dari pada
DIII kemungkinan hal inilah yang berakibat tidak berhasilnya program
pemerintah untuk menangani permasalahan.
Di Indonesia perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian
ibu yang paling sering, sehingga masih menjadi masalah utama. Sampai saat
ini kematian ibu di Indonesia merupakan kematian tertinggi di Asia Tenggara
(Manuba, 1998). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada
tahun 1985 angka kematian ibu sebesar 450 per 100.000 kelahiran hidup
(Djadja & Suwandono,2001). Meskipun telah dilakukan upaya yang intensif
dengan dibarengi dengan menurunnya angka kematian ibu di setiap rumah
sakit, praktek bidan swasta dan di masyarakat, namun sampai saat ini
kematian ibu di Indonesia masih berkisar 307 per 100.000 kelahiran hidup
(SDKI, 2003). Angka ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka
kematian ibu di negara-negara Asia Tenggara pada tahun 1998 ( Depkes RI,
1998, Manuaba, 1998).
3
Perbandingan angka kematian ibu di Indonesia dan negara Asia
Tenggara dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Manuaba, 1998).
Tabel 1. Perbandingan angka kematian ibu di beberapa negara Asia
Tenggara tahun 1998.
Negara Kematian ibu/100.000 kelahiran hidup
Singapura 5
Malaysia 69
Thailand 100
Myanmar 120
Philipina 142
Indonesia 390
Waspodo, dkk (1999) mengemukakan ada tiga penyebab utama kematian ibu
di Indonesia yakni : perdarahan 40 persen, infeksi 30 persen, dan eklampsia
20 persen. Prendivile, dkk (2000) mengatakan bahwa penyebab kematian ibu
dari kasus obstetrik di Afrika Barat adalah perdarahan (3,05 per 100 kelahiran
hidup), sedangkan lainnya penyebabnya adalah ruptur uteri, hipertensi dalam
kehamilan, eklampsia dan sepsis. Kasus perdarahan umumnya terjadi karena
atonia uteri, retensio plasenta, kasus ini sebenarnya dapat dicegah dan
dihindari sedini mungkin.
Sampai saat ini ada berbagai upaya untuk mencegah perdarahan
Dari latar belakang penelitian ini bahwa upaya dari DINKESSOS
kabupaten Sukoharjo untuk melaksanakan APN yang didalamnya terdapat
manajement aktif kala III tidak memperoleh hasil yang bermakna. Hal ini
dikarenakan apanya perbedaan strata pada bidan yang mengikuti APN
sehingga akan mempengaruhi pemahaman tentang pengetahuan manajament
aktif kala III.
Dari hasil pelatihan seluruh bidan yang ikut APN sejumlah 162
orang yang memahami dengan baik yaitu 63 bidan (39%) yang kurang baik
adalah 99 bidan (61%). Bidan D III lebih banyak yang mendapat nilai diatas
mean (71,6%) dibanding dengan yang dibawah mean (28,4%). Sedangkan
bidan DI lebih banyak yang mendapat nilai dibawah mean (80,4%)
dibandingkan dengan yang mendapat nilai diatas mean (19,6%).
Dengan melihat hasil penelitian tersebut diatas berarti strata bidan
mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pengetahuan tentang
manajemen aktif kala III. Bidan yang pendidikannya belum D III cenderung
mempunyai pengetahuan tentang manajemen kala III yang kurang baik
dibandingkan dengan bidan yang pendidikannya lebih D III setelah
mendapatkan pelatihan APN.
Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan,
dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk
pendidikan formal maupun informal, percakapan harian, membaca,
mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman hidup (Simon-
Morton, 1995).
Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai
suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan, maka dapat
dikatakan ia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban verbal yang
diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge) (Notoatmodjo,
2003).
Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik
seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan strata intelektual atau
tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan
21
pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang lebih
banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk mengolah,
memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi pengetahuan
yang dimilikinya (Tirtaraharja., 2005).
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin
tinggi pula tingkat perkembangan dan kemampuan dalam mengetahui atau
memahami pengetahuan ( Simon-Morton 1995 ). Berdasarkan hasil penelitian
ini upaya – upaya untuk meningkatkan pengetahuan bidan perlu
mempertimbangkan faktor pendidikan.
Pendidikan mengandung pokok-pokok penting yang mengait proses
pembelajaran, proses sosial memanuasiakan manusia dan berusaha mengubah
atau mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif ( Sukanto
S, 1992 ). Faktor pendidikan adalah merupakan faktor yang terpenting untuk
memahami informasi, seorang yang berpendidikan tinggi akan memberikan
respon yang lebih rasional dari pada mereka yang berpendidikan kurang.
Selain itu mereka juga akan lebih terbuka dan dapat juga lebih menyesuaikan
diri terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan hal-hal atau
informasi yang baru ( Istiarti, 2000 ). Perbedaan tingkat pendidikan akan
menyebabkan perbedaan pengetahuan. Pendidikan adalah merupakan satu
kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri ( Mardiatmaja,
1996 ). Menurut Basov dan Sulen terdapat korelasi yang positif antara tingkat
pendidikan dan status/ pengetahuan kesehatan. Makin meningkat
pendidikanya maka pengetahuan / status kesehatan seseorang juga meningkat,
sebaliknya tingkat kesehatan seseorang adalah investasi yang cukup tinggi
untuk meningkatkan pendidikan. Menurut Hindun memaparkan persepsi yang
sama dalam penelitianya bahwa pendidikan mempunyai pengaruh yang
bermakna terhadap pengetahuan setelah mendapatkan pelatihan.
Banyak kendala yang akan menghalangi keberhasilan suatu
pelatihan atau penyuluhan, sebagai mana kita ketahui pelatihan yang diberikan
di kategorikan sebagai pelatihan di bidang kesehatan, tidaklah berbeda dengan
pelatihan-pelatihan dibidang yang lainya, yang penuh unsur pendidikan,
informasi dan penularan pengetahuan. Yang semuanya diperlukan waktu,
22
sistem yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk
menumbuhkan motivasi pada diri sendiri ( Widiawati S, 2003). Komunikasi
pada pelatihan kesehatan dapat dimasukkan dalam bentuk komunikasi pribadi
( Interpersonal Communication) yaitu komunikasi yang berlangsung dalam
situasi tatap muka dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun
pada kerumunan orang. Untuk melaksanakan komunikasi yang efektif baik
pemberi maupun penerima informasi harus memiliki ciri sebagai mana
berikut: Keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan
sedangkan penilaian akan keberhasilanya adalah terjadinya perubahan sikap
prilaku dari penerima informasi ( Wiryanto, 2006 ).
Sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan pelatihan
adalah kinerja pelatih, tempat dan suasana di tempat dilakukannya pertukaran
informasi. Tersediannya tempat yang aman dengan alat-alat medis yang
cukup, alat peraga audio visual yang cukup, ruangan yang bersih dan pelatih
yang ramah adalah modal utama dalam penyelenggaraan pelatihan agar selalu
dapat memahami pelatihan/pengetahuan yang diberikan pelatih.
Penyelenggaraan pelatihan yang penuh dengan informasi harus disampaikan
oleh pelatih dengan lugas dan dapat dimengerti/diterima oleh para Bidan.
Oleh karenanya penyampai harus dengan sabar dan tekun. Para pelatih harus
melakukan tugasnya secara efektif dan efisien sehingga transfer ilmu dapat
lancar dan mudah (Lubis H, 2008).
Menurut Mardi Atmaja (1996), semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka akan semakin berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan
daya nalar dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi maka akan lebih terlatih pola pikir dan daya
nalarnya sehingga akan lebih mudah menerima informasi tentang suatu hal
dan menganalisanya. Frekuensi informasi yang sering diterima dan
berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat.
Dari penelitian ini terbukti bahwa bidan D III yang berasal dari
SMA lebih baik dalam penerimaan pengetahuan tentang manajemen aktif kala
III dari hasil pelatihan APN dibanding D I yang berasal dari SMP.
23
Di kabupaten Sukoharjo bidan yang pendidikannya belum D III
sejumlah 186 bidan (62%). Hal ini lebih banyak di banding dengan bidan
yang sudah D III sejumlah 114 orang (38%). Hal ini berarti bidan yang belum
berpendidikan diwajibkan mengikuti pendidikan lanjutan agar dapat mencapai
kompetensi maupun standar profesi. Setelah itu mereka diwajibkan untuk ikut
pelatihan APN.
Bidan yang belum pernah mengikuti pelatihan APN berjumlah 138
bidan (46%) dari 300 bidan yang ada di kabupaten Sukoharjo. Padahal
pelatihan ini sangatlah diperlukan bidan untuk meningkatkan pengetahuan
dalam pertolongan persalinan khususnya pelaksanaan manajemen aktif kala
III. Tetapi lebih baik pelatihan APN dilaksanakan setelah pendidikan D III
kebidanan agar mendapat hasil yang optimal.
24
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Dari uraian hasil penelitian yang telah disajikan sebelumnya dapat
ditarik kesimpulan, bahwa :
Bidan yang memahami dengan baik manajement aktif kala III
setelah mendapat pelatihan APN adalah 63 bidan (39%). Dari keseluran
biodan DIII yang ikut APN 71,6% yang mendapat nilai baik, sedangkan DI
sebanyak 19,6%. Hal ini menggambarkan adanya hubungan antara strata
pendidikan bidan dengan pemahaman pengetahuan manajement aktif kala III.
5.2 SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan saran
sebagai berikut :
1. Bidan yang mengikuti APN dianjurkan yang telah lulus D III agar
pengetahuan yang didapat lebih baik dan tidak terjadi kesalahan persepsi.
2. Menilai materi dan waktu pelatihan dan meninjau kembali tugas-tugas
dari para bidan.
25
DAFTAR PUSTAKA
AbouZahr, C., (1998). Antepartum And Postpartum Haemorrhage. In Murray, C., J., L., and Lopez, A., D., eds. Health Dimensions Of Sex And Reproduction. Boston : Harvard University Press. Page 17-21
Ahmadi A, 1991. Sosiologi Pendidikan, Edisi ke-2, Jakarta,Rineka cipta, hal : 162-9
Akins, S. (1994). Postpartum Haemorrhage : 90s Approach To An Age-Old Problem. Journal Nurse-Midwifery 39 (2), Supplement : 123S-134S, March/April 1994. page 102-106
Arikunto, S. (1998). Metodologi Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta. Hal 31-33
Azwar, S. (1995). Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya. Edisi 2, Liberty Yogyakarta. Hal 22 -27
Basov J, Suren P, 2002. Heterogenous Human Capital in Life, Cycle Invesment, Healthand Education, Australia Univesity of Melbourne, page 124-5
Departemen Kesehatan R.I, (2002), Kurikulum Pendidikan D-III Kebidanan Tahun 2002, Bakti Husada, Jakarta hal 27
Djaja, S., Suwandono, A. (2001). “The Determinat of maternal morbidity in Indonesian”, Regional Health Forum, hal 1-10.
Ernest & Young. (1993). The Manager’s Self Assesmant Kit. Pustaka Binawan Presisindo, Jakarta. Page 18 - 22
Ewies, L, dan Simnet, Ina, (1994), Promosi Kesehatan, Terjemahan Ova Emilia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Hal 45 – 49
Hindun, 2008, Upaya Meningkatkan Kinerja Bidan di Desa Dalam Pelayanan Antenatal Bedasarkan Prespektif Karakteistik Bidan dan Ibu Hamil di Kabupaten Bangkalan, Surabaya, Airlangga Uniiversity Library.
Istianti, 2000. Menanti Buah Hati Dalam Kaitan Antara Kemiskinan dan Kesehatan . Yogyakarta, Media Presindo, hal 79-83
Ikatan Bidan Indonesia (IBI). (1999). Standard Profesi Kebidanan. Yayasan Buah Delima, Jakarta. Hal 9 -12
James D, 1996., Organization of Prenatal Care and Identification of Risk in James DK, 1 st ed., London, WD Saundesr Company Ltd, page21 -23.
26
Khan. GQ., John, IS., Chan, T., Wani, S., Hughes, AO., Stirat, GM (1995). “ Abu Dhabi Third Stage Of Labour,” Eur J Obtet Gynecol Repro Bio; 58: 147-51.
Lubis H, 2008, Total Motivation , Yogyakarta, POR-YOU , hal 16 - 33
Manuaba, A. B. (1998). Ilmu Kebidanan dan KB Untuk Pendidikan Kebidanan. EGC, Jakarta. Hal 22 - 24
Mardiatmaja P., 1996. Tantangan Dunia Pendidikan, Jakarta, Kanisius, Hal: 21-5
Mario, R., Festin at. Al. (2003): WHO International Survey on Variations in Practice of the Management of the Thirtd Stage of Labour” Bulletin WHO, 2003, 81(4). Page 62 -65
Mayor Polak, 1979. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit Balai Buku “Ichtiar”, hal: 71-5
McDonald, SJ., Prendivelli, WJ., Blair, E. (1993). “Randomised Controlled Trial of Oxytocin Alone Vs Oxytocin and Ergometrine in Active Management of Third Stage of Labour,” BMJ; 307 :1167-71.
Muchlas, M. (1997). Perilaku Organisasi II. Program Pascasarjana. Magister Rumah Sakit, UGM, Yogyakarta. Hal : 29 - 33
Mukti, A. G (1998). Menjaga Mutu Pelayanan Bidan Desa. Penerapan Metode Belajar Berdasar Masalah. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 47 - 50
Notoadmojo S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta, hal : 46-55
Prendiville, WJ., Elboume, D., Mcdonal, S. (2000). Active Versus Expectant Management in The Third Stage of Labour. (Chochrane Review). In The Chochrane Library, 1, Oxford : Update Software. Page 124 - 128
Robbins. (1996). Perilaku Organisasi. PT Prenhallindo. Jakarta. Hal 64 - 66
Sarwono, S. (1997). Sosiologi Kesehatan. Gadjah Mada University Press. Hal 22 -24
Simon-Morton, B., Green, W. H., H. (1995). Introduction to Health Education and Health Promotion. Waveland Press, Inc, USA. Page 134 - 137
Spancer, P. (1962). “Controlled Cord Traction in the Managemant of Third Stage of Labour”. BMJ. 1962: 1728-1732.
27
Sugiono. (1999). Statistik Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung. Hal 47 -49
Suhadi, A., Hakimi, M. (2000). “ Evaluasi Penetalaksanaan Pelatihan Ketrampilan Kegawatdaruratan Obsteri dan Neonatal bagi bidan desa di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah”, Medika No. 3 tahun XXVI.
Sutrisno, Andriani, L. (1999). “Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten, Timor, Tengah”, Utara. Cermin Dunia Kedokteran, No: 125, 36-40.
Sumali, A. M. (2004). “Hubungan Strata Pengetahuan Bidan Desa Dengan Cakupan Penanganan Persalinan di Kabupaten Pemalang”, Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal 72 - 75
Syah, M., Prawitasari, J.E. (1998). “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan Antenatal di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/1998. Hal. 77-85.
Syah, M., Yohana, M. J. (1998). “Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan ANC di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/none 02/1998. Hal 13 -16
Soekanto S, 1992. Sosiolagi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawaliu, Hal 40-68
Tirtaraharja U., 2005. Pengantar pendidikan , Jakarta, Rineka Cipta, hal : 88 -9.
Wiryanto, 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakata, Grasindo, hal 32-43
Widayati S, 2003. Hubungan berapa Karakteistik Bidan, Kelengkapan Srana dan Kualitas Pelayanan Antenatal dengan Cakupan K4 di Kabupaten Bandung tahun 2002, Skripsi Biostatistik dan kependudukan UGM.
Waspodo, D., Joewono, H. T, Suwardi. (1999). “Perbandingan Aktif Pertolongan Kala III Antara Oksitosin IM Dengan Mesoprostol Perrectal”, Majalah Obstetrik Ginaekologi. Vol. 8. No. 2, hal 15-20.
Wood, J., Rogers, J. (1997). The Stage of Labour. in : Alexander J, Levy V, Roth C (eds) Midwifery Practice : Core Topic 2, London Macullian. Page 21 -25
Zapata, B. C., and Godue, C. J. M. (1997). “International Maternal and Health Child”, In Kotch, J. B. Maternal and Child Health Programs. Problems, Ang Policy in Public Health. Chapter 13. Apsen Publisher Inc., Guiherburg, Maryland, Page 245-248.