PENDAHULUAN Ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dapat melalui penyelenggaran pendidikan yang berkualitas. Menurut Damanik (2006) pendidikan merupakan sarana dan jembatan atau fondasi menuju keterbaikan bangsa. Secara khusus tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan peserta didik dan mendampingi mereka agar menjadi pribadi yang baik, Ikhsan, 2006 (dalam Renny, 2007). Pendidikan merupakan salah satu persyaratan utama dalam meningkatkan martabat dan kualitas bangsa. Pencapaian tujuan pendidikan dapat diketahui melalui kegiatan pengukuran yang disebut evaluasi. Salah satu bentuk evaluasi yang dilakukan pemerintah adalah dengan menyelenggarakan Ujian Nasional (UN). Pemerintah mulai menyelenggarkan ujian nasional (UN) sekitar tahun ajaran 2002/2003. Mengacu pada pasal 66 ayat (1) bagian IV bab X Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standart Nasional Pendidikan dan pasal 2 permendiknas No. 78/2008 tentang ujian nasional SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan SMK tahun pelajaran 2008/2009, ujian nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 68 bagian IV bab X Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standart Nasional Pendidikan dan pasal 3 Pemendiknas No. 78/2008 tentang Ujian Nasional SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan SMK tahun pelajaran
34
Embed
Hubungan antara Persepsi Siswa terhadap Kompetensi ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENDAHULUAN
Ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dapat
melalui penyelenggaran pendidikan yang berkualitas. Menurut
Damanik (2006) pendidikan merupakan sarana dan jembatan atau
fondasi menuju keterbaikan bangsa. Secara khusus tujuan
pendidikan adalah untuk mencerdaskan peserta didik dan
mendampingi mereka agar menjadi pribadi yang baik, Ikhsan,
2006 (dalam Renny, 2007). Pendidikan merupakan salah satu
persyaratan utama dalam meningkatkan martabat dan kualitas
bangsa. Pencapaian tujuan pendidikan dapat diketahui melalui
kegiatan pengukuran yang disebut evaluasi. Salah satu bentuk
evaluasi yang dilakukan pemerintah adalah dengan
menyelenggarakan Ujian Nasional (UN).
Pemerintah mulai menyelenggarkan ujian nasional (UN)
sekitar tahun ajaran 2002/2003. Mengacu pada pasal 66 ayat (1)
bagian IV bab X Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang
Standart Nasional Pendidikan dan pasal 2 permendiknas No.
78/2008 tentang ujian nasional SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan
SMK tahun pelajaran 2008/2009, ujian nasional bertujuan menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pasal 68 bagian IV bab X Peraturan
Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standart Nasional Pendidikan
dan pasal 3 Pemendiknas No. 78/2008 tentang Ujian Nasional
SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan SMK tahun pelajaran
2008/2009, menjelaskan bahwa ujian nasional berfungsi sebagai
alat pemeta mutu program dan atau satuan pendidikan, dasar
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentu kelulusan
peserta didik dari satuan pendidikan, dan sebagai dasar
pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini
menunjukkan ujian nasional menjadi dasar penentu keberlanjutan
pendidikan siswa ke jenjang berikutnya. Standar ini di buat untuk
menyeragamkan standar kelulusan di seluruh tanah air. Hal ini
sangat penting, mengingat standar itu sangat dibutuhkan karena
berkaitan dengan nama baik dunia pendidikan di Indonesia
(Damanik, 2006).
Pelaksanaan ujian nasional sampai sekarang masih banyak
menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan dan pelaksanaan
Ujian Nasional juga dirasakan sebagai beban yang semakin
bertambah berat apalagi dengan adanya Standar Kompetensi
Lulusan Ujian Nasional (SKLUN) yang setiap tahun bisa terus
meningkat membuat orang tua, guru, serta yang paling utama
siswa. Tidak heran jika banyak orang tua yang berusaha keras
untuk memberikan berbagai macam kegiatan belajar anak seperti
mengikuti les tambahan atau mengikuti bimbingan belajar di luar
jam sekolah untuk mendalami materi (pelajaran) yang akan di
ujikan pada saat Ujian Nasional nanti agar berhasil dalam Ujian
Nasional dan mencapai nilai yang membanggakan. Selain itu juga
siswa harus mengikuti les tambahan di sekolahnya dan
melakukan berbagai persiapan mental serta pendekatan spiritual,
agar siap dan sukses dalam menghadapi Ujian Nasional sehingga
waktu mereka buat istirahat berkurang, hal ini membuat siswa
merasa cemas dan belum siap untuk menghadapi ujian nasional
nanti.
Menurut Branca, 1965 (dalam Dewi, 2006) mendefinisikan
kecemasan sebagai perasaan tidak nyaman yang terjadi pada saat
frustasi dan yang paling tidak pasti mengenai masa depan serta
harapan dari rasa sakit, kegagalan, atau ancaman kegagalan, atau
bisa juga dikatakan bahwa kecemasan adalah reaksi umum
terhadap peristiwa yang tidak mengenakkan atau melukai yang
mungkin terjadi di masa depan. Kecemasan tersebut memiliki
segi yang didasari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa
bersalah, dan terancam. Kecemasan juga memiliki segi di luar
kesadaran dan tidak jelas seperti takut tanpa mengetahui
sebabnya dan tidak bisa menghindari perasaan yang tidak
menyenangkan itu. Pada dasarnya kecemasan dalam tingkat
rendah dan sedang berpengaruh positif terhadap penampilan
belajar siswa, salah satunya dapat meningkatkan motivasi belajar.
Sebaliknya, akan memberikan pengaruh yang negatif apabila
kecemasan tersebut pada taraf yang tinggi (Elliot, dkk, 1996).
Mengamati banyak fenomena siswa SMA yang mengalami
kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional, tentunya ini
menjadi tugas penting bagi guru untuk membantu siswa yang
mengalami kecemasan, karena guru adalah orang yang paling
banyak melakukan interaksi edukatif dengan siswa di sekolah.
Guru juga harus mempersiapkan peserta didik yang mempunyai
perbedaan seperti tingkat kecerdasan, perbedaan latar belakang,
perbedaan sarana prasarana pendukung kegiatan belajar di rumah
(Purwantini & Purwanti, 2007).
Mengacu pada pasal 28 ayat (3) bagian I Bab VI Peraturan
Pemerintah RI No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
dan Pasal 3 ayat (2) Bagian I Bab II Peraturan Pemerintah No.
74/2008 tentang Guru dan Dosen, kompetensi guru terdiri dari
empat bentuk yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Dengan masih rendahnya tingkat kompetensi pegadogik yang
dimiliki oleh seorang guru terutama dalam hal untuk memahami
karakteristik peserta didik dari berbagai aspek yaitu aspek sosial,
moral, kultural, emosional, dan intelektual, maka peneliti hanya
akan mengambil satu dari keempat kompetensi yang dimiliki oleh
guru yaitu kompetensi pedagogik. Dikarenkan kompetensi
pedagogik merupakan salah satu dasar yang paling utama untuk
mencapai ke dalam kompetensi selanjutnya.
Baik guru maupun siswa tentu saja terjadi interaksi, baik di
luar maupun di dalam kelas, sehingga antara guru dan siswa
dapat saling memberikan penilaian. Persepsi siswa terhadap
gurunya dapat diartikan sebagai penerimaan, pengorganisasian,
dan penginterpretasi siswa terhadap kemampuan, pengetahuan,
ketrampilan, dan perilaku gurunya baik pada saat mengajar di
dalam kelas maupun di luar kelas. Melalui persepsi tersebut,
siswa dapat melihat jika gurunya tidak mempunyai kompetensi
yang diandalkan, maka dapat berdampak pada tumbuhnya
keraguan pada diri siswa. Hal tersebut akan mempengaruhi
bagaimana sikap siswa terhadap gurunya, yang nantinya juga
akan berpengaruh pada kelancaran proses belajar mengajar siswa
itu sendiri terutama dalam mempersiapkan ujian nasional. Setiap
siswa dituntut untuk mempunyai prestasi yang baik dalam
berbagai bidang mata pelajaran, salah satunya adalah matematika,
karena tidak dapat dipungkiri matematika sebagai salah satu ilmu
dasar. Mata pelajaran matematika sekarang ini masih dirasakan
interaksinya di berbagai bidang ilmu lain seperti ekonomi, dan
teknologi. Hal ini senada dengan pendapat Unpar, 2002 (dalam
Widayanti, 2007) yang mengemukakan bahwa ilmu matematika
sekarang ini makin banyak digunakan dalam berbagai bidang
kehidupan seperti bidang industri, asuransi, pertanian, dan banyak
bidang sosial maupun teknik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat jika guru beserta
kompetensinya terutama kompetensi pedagogik guru mata
pelajaran matematika merupakan salah satu faktor yang ikut
berperan dalam pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan
di sekolah, termasuk dalam mensukseskan Ujian Nasional dan
kecemasan menghadapi Ujian Nasional bukanlah hal yang bisa
dianggap remeh.
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan negatif
yang signifikan antara persepsi terhadap kompetensi pedagogik
guru matematika dengan kecemasan menghadapi Ujian Nasional
(UN)?”.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui mengenai “mengetahui hubungan yang signifikan
antara persepsi siswa terhadap kompetensi pedagogik guru
matematika dengan kecemasan menjelang Ujian Nasional (UN)”.
Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat yang bersifat
teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. Manfaat tersebut yakni:
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian
teoritis dalam bidang psikologi pendidikan dan psikologi
sosial.
2. Praktis
a) Guru dan Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi pihak guru dan sekolah
mengenai korelasi antara persepsi terhadap kompetensi
guru dengan kecemasan menghadapi Ujian Nasional,
sehingga diharapkan adanya peningkatan dan
pengembangan kompetensi guru dan dapat mensukseskan
Ujian Nasional untuk mewujudkan pendidikan yang
bermutu.
b) Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa
akan pentingnya mengolah persepsi terhadap kompetensi
guru dengan menjaga objektivitas penilaianterhadap
kompetensi guru, dalam membantu untuk meminimalisir
kecemasan siswa dalam menghadapi Ujian Nasional (UN).
TEORI
Pengertian Kecemasan
Menurut Alwi (2005) kecemasan berasal dari kata cemas
yang berarti khawatir, gelisah, dan takut. Kecemasan
menunjukkan suatu keadaan yang tidak bisa diungkapkan ,
gemetar, dan tidak beralasan. Selain itu kecemasan sebagai
perasaan takut dan kugundahan yang tidak jelas dan tidak
menyenangkan (Santrock, 2007). Kecemasan memiliki segi yang
disadari, seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa bersalah
maupun terancam. Selain itu juga kecemasan memiliki segi diluar
kesadaran, seperti takut tanpa mengetahui sebabnya dan tidak
bisa menghindari perasaan yang tidak menyenangkan.
Menurut pendapat Freud (dalam Julianti, 2005) kecemasan
merupakan suatu keadaan perasaan, dimana individu merasa
lemah sehingga tidak berani dan tidak mampu untuki bersikap
serta bertindak secara rasional sesuai dengan keharusannya.
Selain itu kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya
perasaan takut dan kehati-hatian (kewaspadaan) yang tidak jelas
dan tidak menyenangkan (Davidson, Neule dalam Julianti, 2001)
dimana gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada
masing-masing individu. Adalah normal, jika siswa kadang
merasa cemas atau khawatir saat menghadapi kesulitan di
sekolah, seperti saat akan mengerjakan ujian (Santrock, 2007)
Sejalan dengan pendapat diatas Elliot, dkk (1996),
mengungkapkan pada dasarnya kecemasan dalam tingkat rendah
dan sedang berpengaruh positif terhadap penampilan belajar
siswa, salah satunya dapat meningkatkan motivasi belajar.
Sebaliknya, dapat memberikan pengaruh yang buruk atau negatif
apabila kecemasan berada dalam tingkat tinggi. Searah dengan
pendapat tersebut, Sukmadinata (2003), mengungkapkan bahwa
kecemasan dan kekhawatiran memiliki nilai positif asal
intensinya tidak begitu kuat, sebab kecemasan dan kekhawatiran
yang ringan dapat menjadi motivasi. Kekhawatiran dan
kecemasan yang sangat kuat bersifat negatif, karena dapat
menimbulkan gangguan baik secara psikis maupun secara fisik.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
merupakan keadaan yang tidak beralasan dan tidak bisa
diungkapkan atau perasaan takut yang tidak jelas dan tidak
menyenangkan dimana individu atau siswa merasa lemah
sehingga tidak berani dan tidak mampu untuk bertindak sesuai
dengan keharusannya dalam hal ini persiapan siswa untuk
menghadapi Ujian Nasional.
Gejala Kecemasan
Menurut Williams (1997) bahwa sebagian besar individu
pernah mengalami kecemasan terutama jika menghadapi situasi
yang mengancam dan stres. Perasaan tersebut adalah reaksi
normal terhadap stres. Sedangkan menurut Hyman dan Pedrick
(2012) ada 3 tingkat kecemasan, yaitu fisik, mental, dan perilaku.
Menurut Kaplan, dkk (dalam Julianti, 1994) kecemasan
dalam taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa.
Misalnya seorang siswa yang cemas dalam tingkat rendah untuk
mengahadapi UN yang dianggap tingkat ketidaklulusannya cukup
tinggi dan soal-soal dalam UN sulit, membuat siswa harus belajar
keras dan mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian
(facilitating anxiety). Namun kecemasan yang berlebihan
terhadap UN dapat membuat siswa mengalami hambatan
(blocking) dan tidak bisa mengerjakan soal-soal dalam ujian
(debilitating anxiety). Berdasarkan aspek-aspek diatas, penulis
mengacu pada aspek tingkat kecemasan menurut Hyman dan
Pedrick (2012) yaitu fisik, mental, dan perilaku.
Pengertian Ujian Nasional (UN)
Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 20 tahun
2005 tentang ujian nasional (UN) tahun ajaran 2005/2006,
dijelaskan bahwa ujian nasional adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Sedangkan pada Pasal 68 bagian
IV bab X Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standart
Nasional Pendidikan dan pasal 3 Pemendiknas No. 78/2008
tentang Ujian Nasional SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan SMK
tahun pelajaran 2008/2009, menjelaskan bahwa ujian nasional
berfungsi sebagai alat pemeta mutu program dan atau satuan
pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya,
penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, dan
sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini
menunjukkan ujian nasional menjadi dasar penentu keberlanjutan
pendidikan siswa ke jenjang berikutnya. Pemberian standar
kelulusan Ujian Nasional (UN) dirintis sejak enam tahun terakhir
ini yang merupakan kebijakan baru di dunia pendidikan di
Indonesia. Standar ini di buat untuk menyeragamkan standar
kelulusan di seluruh tanah air. Hal ini sangat penting, mengingat
standar itu sangat dibutuhkan karena berkaitan dengan nama baik
dunia pendidikan di Indonesia (Damanik, 2006).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ujian
nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian atau
evaluasi peserta didik dari jenjang pendidikan dasar sampai ke
jenjang menengah. Ujian nasional (UN) juga berfungsi sebagai
alat pemeta mutu pendidikan dan pembinaan kepada satuan
pendidikan serta menjadi dasar untuk masuk ke jenjang
pendidikan berikutnya dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan di seluruh Indonesia.
Fungsi Ujian Nasional (UN)
Ujian Nasional (UN) memiliki 3 fungsi, diantaranya fungsi
Akademis, fungsi Politis, dan fungsi Pedagogis.
Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional (UN)
Menurut Freud (dalam Julianti, 2005) kecemasan
merupakan suatu keadaan perasaan, dimana individu merasa
lemah sehingga tidak berani dan tidak mampu untuk bersikap
serta bertindak secara rasional sesuai dengan semestinya. Adalah
normal, jika siswa kadang merasa cemas atau khawatir saat
menghadapi kesulitan di sekolah, seperti saat akan mengerjakan
ujian (Santrock, 2007). Sedangkan Ujian nasional (UN) adalah
sebagai penentu siswa untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Mengingat subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA kelas
XII, maka salah satu lingkungan sosial yang dihadapi siswa
adalah sekolah (Meichati, 1983), yang menurut pendapat
Sukmadinata (2003), salah satu komponen lingkungan sosial
sekolah adalah hubungan siswa dan guru.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan menghadapai ujian nasional (UN) adalah suatu
keadaan perasaan, dimana individu merasa lemah sehingga tidak
berani dan tidak mampu untuk bersikap serta bertindak secara
rasional sesuai dengan semestinya, dalam hal ini siswa
menghadapi ujian nasional.
Pengertian Persepsi
Branca, Woodworth, dan Marquis, 1965 (dalam Walgito,
1992) menyatakan persepsi merupakan suatu proses yang
didahului oleh penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus
oleh individu melalui alat indera. Stimulus yang diindera itu
kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan
sehingga individu menyadari, mengerti apa yang telah diindera
itu. Persepsi tidak hanya didasarkan kepada ingatan tentang masa
lalu dan kemampuan menghubungkan pengalaman sekarang
dengan pengalaman masa lalu (kognisi) saja, akan tetapi juga
melibatkan unsur perasaan (afeksi) (Schiffman, dalam Sukmana,
2003). Walgito (2002), menyatakan bahwa objek manusia disebut
sebagai person perception atau social perception dan objek non
manusia sering disebut sebagai nonsocial perception atau things
perception. Pada penelitian ini, objek yang dimaksud adalah
objek manusia atau person perception, yaitu guru berserta
kompetensi pedagogiknya.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa persepsi adalah proses yang didahului oleh penginderaan
atau bagaimana cara seseorang memandang terhadap stimulus
yang diterima yang akhirnya individu tersebut akan
memahaminya.
Faktor-faktor Persepsi
Beberapa faktor persepsi menurut Walgito (1992), yaitu objek
yang dipersepsi, alat indera atau reseptor, syaraf dan pusat
susunan syaraf, dan perhatian.
Kompetensi Pedagogik Guru Matematika
Kompetensi menurut Pasal 3 ayat (1) bagian I bab II
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 74/2008 tentang
Guru, dijelaskan bahwa kompetensi sebagai seperangkat
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dan
diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan. Selain itu, guru mempunyai standar kompetensi.
Standar kompetensi guru ialah suatu ukuran yang ditetapkan atau
dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan
perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk
menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi,
dan jenjang pendidikan. Kompetensi pedagogik pada dasarnya
adalah kemampuan yang harus dimiliki guru dalam mengajarkan
materi tertentu kepada siswanya. Menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi kedua, 1995) matematika adalah ilmu tentang
bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur
operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah
mengenai bilangan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kompetensi pedagogik guru matematika adalah kemampuan
seorang guru yang berpengalaman dalam mengajar tentang ilmu
bilangan dan penyelesaiannya terhadap peserta didik, serta
kemampuan pembelajaran peserta didik dalam penampilan kerja
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional untuk
mencapai tujuan dan suatu ukuran yang telah ditetapkan dalam
bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku sebagai seorang
guru agar layak untuk menduduki jabatan fungsional sesuai
dengan bidang, kualitas, dan jenjang pendidikan.
Persepsi Siswa terhadap Kompetensi Pedagogik Guru
Matematika
Walgito (1997) mendefinisikan persepsi sebagai
pengorganisasian, penginterpretasian, terhadap stimulus yang
diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan
merupakan respon yang integritas dalam diri individu. Persepsi
tersebut tidak hanya didasarkan kepada ingatan tentang masa lalu
dan kemampuan menghubungkan pengalaman sekarang dengan
pengalaman masa lalu (kognisi) saja, akan tetapi juga melibatkan
unsur perasaan (afeksi) (Schiffman, dalam Sukmana, 2003). Pada
penelitian ini, objek yang dimaksud adalah objek manusia atau
person perception, yaitu guru berserta kompetensinya. Nasution
(1987) mengemukakan bahwa siswa kelompok orang atau
individu yang dididik dalam proses pembelajaran. Adapun siswa
itu sendiri mempunyai karakteristik seperti siswa penurut, siswa
pendiam, siswa dapat berdiri sendiri, dan siswa menarik
perhatian.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
persepsi siswa terhadap kompetensi pedagogik guru matematika
didefinisikan sebagai suatu proses penerimaan, pengorganisasian
dan penginterpretasian baik yang didasarkan kepada ingatan masa
lalu dan kemampuan menghubungkan pengalaman sekarang
dengan masa lalu (kognisi) dan unsur perasaan (afeksi) siswa
yang melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
dimiliki gurunya dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
terutama dalam mata pelajaran matematika yaitu bagaimana guru
dapat memahami karakteristik peserta didik dari berbagai aspek
yaitu aspek sosial, moral, kultural, emosional, dan intelektual.
Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Kompetensi
Pedagogik Guru Matematika dengan Kecemasan
Menghadapi Ujian Nasional
Setiap siswa dituntut oleh guru untuk mempunyai persepsi
yang baik dalam berbagai bidang pelajaran dan seorang guru
harus tahu bagaimana situasi kelas yang dihadapinya. Menurut
Zainal (2002), pembelajaran adalah upaya mengorganisasikan
lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik.
Proses belajar merupakan rangkaian kegiatan yang lebih terfokus
pada keaktifan siswa dalam kegiatan belajar, dan pengajar lebih
bersifat sebagai fasilitator, mediator, dan motivator serta
menyiapkan dan menetapkan materi pembelajaran sesuai dengan
bidang mata pelajaran yang diampunya. Guru harus dapat
memahami bahwa belajar bagi siswa adalah ingin tahu, ingin
mengerti, melihat, mencari, dan dapat menemukan permasalahan
serta memecahkan masalah yang dihadapi serta guru memberikan
kesempatan siswanya untuk berinteraksi dengan temannya dalam
menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang dianggap sulit. Tapi bila
siswa mempunyai pandangan negatif tentang kemampuan
mengajar guru maka siswa akan menjadi malas untuk mengikuti
pelajaran, tidak ada motivasi dan malas untuk melakukan
pekerjaan atau kegiatan sekolahnya.
Kompetensi pedagogik guru matematika yang kurang baik
tidak akan mampu mengembangkan prestasi belajar siswanya.
Sebaliknya, bila kompetensi pedagogik guru matematika yang
ditampilkan melalui penguasaan dan mampu memberikan materi
dengan baik maka dapat meningkatkan prestasi belajar peserta
didiknya terutama dalam mata pelajaran matematika.
Hal ini menunjukkan bila siswa memiliki persepsi yang
positif tentang kompetensi pedagogik para guru terutama
matematika maka siswa merasa senang, nyaman, memiliki
kepercayaan, dan semakin tekun dalam belajar serta berusaha
meningkatkan prestasi belajarnya sehingga siswa memiliki
keyakinan diri dan siap untuk menghadapi ujian. Hal ini akan
membantu siswa untuk mengurangi kecemasan yang mereka
rasakan pada saat ujian nanti. Namun, jika semakin negatif
persepsi siswa tentang kompetensi pedagogik para guru
matematika maka siswa merasa tidak nyaman, tidak tekun dalam
belajar, tidak adanya motivasi mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan guru sehingga dapat mempengaruhi belajarnya. Hal
tersebut akan meningkatkan kecemasan siswa dalam menghadapi
ujian dan menghambat siswa dalam pencapaian nilai ujian secara
maksimal, karena konsentrasi belajar siswa teralih pada gejala
kecemasan yang dirasakannya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan didalam penelitian ini
adalah penelitian kuantitatif. Populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012).
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa dan
siswi SMA kelas XII. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan
berkarakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel
diambil dari populasi harus representatif atau mewakili
(Sugiyono, 2006) sampel inilah yang dalam penelitian diambil
datanya untuk membuat suatu kesimpulan. Dalam penelitian ini
yang menjadi sampel adalah sebagian siswa dan siswi SMA kelas
XII.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan
dengan mengunakan teknik snowball sampling yaitu teknik
penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian
sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan
sampel (Sugiyono, 2006).
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian
ini adalah skala. Skala merupakan suatu alat ukur berupa daftar
pernyataan mengungkap indikator dari aspek yang diukur, dan
jawaban yang diberikan tergantung pada interpretasi subjek
terhadap pernyataan tersebut (Azwar, 1999). Terdapat 2 skala
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala Persepsi Siswa
terhadap kompetensi Pedagogik Guru Matematika dan skala
Kecemasan Siswa Menghadapi Ujian yang diberikan kepada
siswa-siswi kelas XII SMA.
Persiapan Alat Ukur untuk Skala Persepsi Siswa terhadap
Kompetensi Pedagogik Guru Matematika dibuat berdasarkan UU
No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu kompetensi
pedagogik guru tentang memahami karakteristik peserta didik
dari berbagai aspek yaitu aspek sosial, moral, kultural, emosional,
dan intelektual. Pada skala ini terdapat 34 aitem terdiri dari 17
aitem favorable dan 17 aitem unfavorable. Sedangkan untuk
Skala kecemasan siswa menjelang ujian nasional dibuat
berdasarkan teori dari Hyman dan Pedrick (2012) yang terdapat
ada 3 gejala kecemasan yaitu mental, fisik, dan perilaku. Pada
skala ini terdapat 42 aitem terdiri dari 33 aitem favorable dan 9
aitem unfavorable.
Dalam penelitian ini try out dilakukan pada 30 orang untuk
skala perspesi siswa terhadap kompetensi pedagogik guru
matematika dan diperoleh dari hasil perhitungan korelasi item-
total dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows, terdapat
14 dari 34 item dinyatakan gugur karena memiliki koefisien
korelasi ≤ 0,30. Jumlah item yang lolos seleksi sebanyak 20 item.
Koefisien korelasi item-total pada skala ini bergerak dari angka
0,316 sampai dengan 0,702, dengan pengujian reliabilitas
sebanyak dua kali putaran maka diperoleh koefisien reliabilitas α
= 0,864 dari 20 aitem valid. Dalam penelitian try out dilakukan
pada 40 orang untuk skala kecemasan siswa menjelang ujian
nasional dan diperoleh hasil perhitungan korelasi item-total
dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows, terdapat 9 dari
42 item dinyatakan gugur karena memiliki koefisien korelasi ≤
0,20. Jumlah item yang lolos seleksi sebanyak 33 item. Koefisien
korelasi item-total pada skala ini bergerak dari angka 0,223
sampai dengan 0,708, dengan pengujian reliabilitas sebanyak dua
kali putaran maka diperoleh α = 0,886.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di Kota Salatiga pada siswa-siswi
kelas XII SMA di Kota Salatiga dengan teknik snowball
sampling dan mendapatkan 25 siswa-siswi kelas XII SMA yang
sedang beristirahat di luar sekolah atau pada saat jam makan
siang.
Uji Asumsi
Uji Normalitas
Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
uji kolmogorov smirnov dengan bantuan SPSS versi 17.0 for
windows. Di lihat hasil perhitungan uji normalitas One Sample
Kolmogorov-Smirnov Test diperoleh hasil skor skala kecemasan
siswa menjelang UN berdistribusi normal, yang dapat dilihat
dari besarnya nilai KS-Z = 0,600 dengan sig. sebesar 0,864 (p >
0,05). Sedangkan skor persepsi siswa terhadap kompetensi guru
berdistribusi normal, yang dapat dilihat dari besarnya nilai KS-
Z = 0,621 dengan sig.0,836 (p > 0,05).
Uji Linearitas
Dari hasil uji linieritas dari perhitungan uji linieritas pada
Anova Tabel diperoleh nilai F sebesar 1,076 dengan sig.= 0,532
( p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara skala persepsi
siswa terhadap kompetensi pedagogik guru matematika dengan
kecemasan siswa menjelang UN adalah tidak linear.
Norma Alat Ukur
Norma Persepsi Siswa terhadap Kompetensi Pedagogik Guru
Matematika
Peneliti menghitung norma alat ukur skala persepsi siswa
terhadap kompetensi pedagogik guru matematika dengan 20
yang disebarkan pada 25 siswa-siswi kelas XII sebagai
responden. Aitem valid yang memiliki pilihan jawaban
sebanyak 4, dengan skoring dari 1 sampai dengan 4. Dengan
demikian, peluang skor tertinggi adalah 4 x 20 = 80, peluang
skor terendah adalah 1 x 20 = 20, sehingga luas jarak
sebarannya adalah 80-20 = 60. Dengan demikian, setiap satuan
standar deviasi standarnya bernilai σ = 60/6 = 10, dan mean
teoritiknya adalah µ = 20 x 2,5 = 50. Dari keenam satuan
standar deviasi, peneliti hanya menggolongkan subjek ke dalam
4 kategori diagnosis persepsi siswa terhadap kompetensi
pedagogik guru matematika, yaitu : (µ + 0,75 σ) ≤ X = Sangat
Tinggi, µ ≤ X (µ + 0,75 σ) = Tinggi, (µ - 0,75 σ) ≤ X < µ =
Rendah, X < (µ - 0,75 σ) = Sangat Rendah. Sehingga dengan
harga σ = 10 diperoleh kategori-kategori skor jenjang persepsi
siswa terhadap kompetensi pedagogik guru matematika sebagai
berikut : [50 + 0,75 (10)] ≤ X = 57,5, 50 ≤ X [50 + 0,75 (10)] =
50 ≤ X < 57,5, [50 - 0,75 (10)] ≤ X < 50 = 42,5 ≤ X < 50, X <
[50 - 0,75 (10)] = 42,5.
Setelah ditetapkan norma kategorisasi di atas, maka siswa
yang mendapat skor 57,5 ≤ X = 12 siswa dalam skala tersebut
dapat dikatakan sebagai persepsi terhadap kompetensi
pedagogik guru matematika yang sangat tinggi dengan
persentase 48%, siswa yang mendapat skor 50 ≤ X < 57,5 = 10
siswa dalam skala tersebut dapat dikatakan sebagai persepsi
terhadap kompetensi pedagogik guru matematika yang tinggi
dengan persentase 40%, siswa yang mendapat skor 42,5 ≤ X <
50 = 2 dalam skala tersebut dapat dikatakan sebagai persepsi
terhadap kompetensi pedagogik guru matematika yang rendah
dengan persentase 8%, dan siswa yang mendapat skor X < 42,5
= 1 siswa dalam skala tersebut dapat dikatakan sebagai persepsi
terhadap kompetensi pedagogik guru matematika yang sangat
rendah dengan persentase 4%.
Norma Kecemasan Siswa menjelang Ujian Nasional
Setelah mendapatkan skor dari jawaban setiap responden,
maka peneliti menghitung norma alat ukur skala Kecemasan
Siswa menjelang Ujian Nasional dengan 33 aitem valid
memiliki pilihan jawaban sebanyak 4 dengan skoring dari 1
sampai dengan 4. Dengan demikian, peluang skor tertinggi
adalah 4 x 33 = 132, peluang skor terendah adalah 1 x 33 = 33,
sehingga luas jarak sebarannya adalah 132-33 = 99. Dengan
demikian, setiap satuan standar deviasi standarnya bernilai σ =
99/6 = 17 (dibulatkan), dan mean teoritiknya adalah µ = 33 x
2,5 = 83 (dibulatkan). Dari keenam satuan standar deviasi,
peneliti hanya menggolongkan subjek ke dalam 3 kategori
diagnosis kecemasan siswa menjelang ujian nasional, yaitu : (µ
+ 1,5 σ) ≤ X = Tinggi, (µ - 1,5 σ) ≤ X < (µ + 1,5 σ) = Sedang, X
< (µ - 1,5 σ) = Rendah.Sehingga dengan harga σ = 17 diperoleh
kategori-kategori skor jenjang persepsi siswa terhadap
kompetensi pedagogik guru matematika sebagai berikut : [83–
1,5 (17)] ≤ X = 108,5 ≤ X, [83–1,5 (17)] ≤ X < [83+1,5 (17)] =
57,5 ≤ X < 108,5, X < [83–1,5 (17)] = X < 57,5.
Setelah ditetapkan norma kategorisasi di atas, maka siswa
yang mendapat skor 108,5 ≤ X = 0 siswa dalam skala tersebut
dapat dikatakan sebagai kecemasan siswa menjelang ujian
nasional yang tinggi dengan persentase 0%, siswa yang
mendapat skor 57,5 ≤ X < 108,5 = 23 siswa dalam skala
tersebut dapat dikatakan sebagai kecemasan siswa menjelang
ujian nasional yang sedang dengan persentase 92%, dan siswa
yang mendapat skor X < 57,5 = 2 siswa dalam skala tersebut
dapat dikatakan sebagai kecemasan siswa menjelang ujian
nasional yang rendah dengan persentase 8%.
Hasil Analisis Data
Analisa Deskriptif
Analisis Deskriptif Skala Persepsi Siswa terhadap
Kompetensi Pedagogik Guru
Berdasarkan pada hasil statistik deskriptif tampak skor
empirik yang diperoleh pada skala Persepsi Siswa terhadap
Kompetensi Pedagogik Guru Matematika paling rendah
adalah 37, paling tinggi 75, rata-rata 58,68 dengan standar
deviasi 10,003. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari 20 item
skala Persepsi Siswa terhadap Kompetensi Pedagogik Guru
Matematika yang valid. Berdasarkan rata-rata sebesar 58,68
dapat dikatakan bahwa rata-rata siswa yang diteliti memilliki
skala Persepsi Siswa terhadap Kompetensi Pedagogik Guru