BAB I PENDAHULUAN Pasca anastesia merupakan periode kritis yang segera dimulai setelah pembedahan dan anestesia 1 . Periode ini akan berakhir ketika pasien pulih dari pengaruh anestesia. Periode ini dikatakan kritis karena pada tindakan anestesia dan pembedahan akan terjadi gangguan fisiologis tubuh yang berefek pada berbagai sistem organ pasien. Beberapa komplikasi pasca operasi yang sering terjadi adalah postoperative nausea and vomiting (PONV), hipoksia, hipotermia dan menggigil, serta ketidakstabilan kardiovaskular. Studi prospektif yang dilakukan pada 18.000 pasien di ruang pemulihan menyatakan bahwa sebesar 24% dari jumlah tersebut mengalami komplikasi pasca anestesia. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah PONV 9,8%, obstruksi saluran nafas 6,8%, dan hipotensi 2,7%. Walaupun presentase kejadian PONV cukup tinggi, tetapi komplikasi pasca anestesia yang dikatakan cukup serius salah satunya adalah ketidakstabilan hemodinamik 2 . Anestesia umum maupun regional dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik pada pasien, seperti hipotensi sistemik, hipertensi sistemik, takikardi, maupun bradikardi. Semua bentuk komplikasi tersebut 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Pasca anastesia merupakan periode kritis yang segera dimulai setelah pembedahan
dan anestesia1. Periode ini akan berakhir ketika pasien pulih dari pengaruh
anestesia. Periode ini dikatakan kritis karena pada tindakan anestesia dan
pembedahan akan terjadi gangguan fisiologis tubuh yang berefek pada berbagai
sistem organ pasien. Beberapa komplikasi pasca operasi yang sering terjadi adalah
postoperative nausea and vomiting (PONV), hipoksia, hipotermia dan menggigil,
serta ketidakstabilan kardiovaskular. Studi prospektif yang dilakukan pada 18.000
pasien di ruang pemulihan menyatakan bahwa sebesar 24% dari jumlah tersebut
mengalami komplikasi pasca anestesia. Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah PONV 9,8%, obstruksi saluran nafas 6,8%, dan hipotensi 2,7%. Walaupun
presentase kejadian PONV cukup tinggi, tetapi komplikasi pasca anestesia yang
dikatakan cukup serius salah satunya adalah ketidakstabilan hemodinamik2.
Anestesia umum maupun regional dapat menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik pada pasien, seperti hipotensi sistemik, hipertensi sistemik,
takikardi, maupun bradikardi. Semua bentuk komplikasi tersebut dapat terjadi
secara bersamaan maupun sendiri-sendiri2. Evaluasi dan penanganan awal dari
ketidakstabilan hemodinamik ini sangat penting karena dapat menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas pasien di ruang pemulihan. Untuk itulah seorang
anestesiologis harus mampu melakukan tindakan resusitasi pada berbagai situasi
kegawatdaruratan medis tersebut serta pada saat bersamaan mampu memberikan
obat-obatan anestesia yang dapat menstabilkan keadaan pasien3.
Hipotensi sering didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan sistolik
pasien berada di bawah 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sebesar 40% atau
lebih dari tekanan darah normal pasien sehari-hari3. Hipotensi yang terjadi pasca
operasi bisa disebabkan oleh 3 hal, yakni hipovolemia (penurunan preload),
distributif (penurunan afterload), atau kardiogenik (kegagalan pompa intrinsik)2.
1
Beberapa pasien memang rentan mengalami hipotensi pasca operasi, seperti
pasien-pasien dengan hipertensi kronis, penyakit aterosklerosis pada arteri koroner
atau karotis, penyempitan katup jantung, maupun pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial. Jika tidak ditangani dengan baik, hipoperfusi dari organ vital
pasien akibat hipotensi ini dapat menyebabkan iskemia maupun infark jaringan4.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Patofisiologi Hipotensi
Tekanan darah adalah daya yang dihasilkan oleh darah terhadap satuan
luas dinding pembuluh darah5. Tekanan darah normal pada manusia dapat
dicapai bila terjadi keseimbangan antara resistensi pembuluh darah perifer
dan curah jantung, dengan volume total darah mempengaruhi keduanya.
Curah jantung ini secara matematis didapatkan dari perkalian antara curah
isi sekuncup jantung dengan frekuensi denyut jantung6. Aliran darah yang
melalui pembuluh darah ditentukan oleh dua faktor: (1) Perbedaan tekanan
darah di antara kedua ujung pembuluh, kadang-kadang juga disebut
“gradien tekanan” di sepanjang pembuluh darah, yaitu daya yang
mendorong darah melalui pembuluh, dan (2) Rintangan bagi aliran darah
melalui pembuluh, yang disebut resistensi pembuluh darah5.
CO = HR x SV BP = CO x SVR
CO = Cardiac Output (Curah jantung)
HR = Heart Rate (Frekuensi denyut
jantung)
SV = Stroke Volume (Curah isi
sekuncup)
BP = Blood Pressure (Tekanan darah)
CO = Cardiac Output (Curah jantung)
SVR = Systemic Vascular Resistance
(Resistensi Pembuluh darah sistemik)
Tabel 1. Hubungan antara curah isi sekuncup, frekuensi denyut jantung,
curah jantung, dan resistensi pembuluh darah sistemik dengan tekanan
darah.5
Secara sederhana, aliran darah berarti jumlah darah yang mengalir melalui
suatu titik tertentu di sirkulasi dalam periode waktu tertentu. Biasanya
3
aliran darah dinyatakan dalam milimeter per menit atau liter per menit,
tetapi dapat juga dinyatakan dalam milimeter per detik atau setiap satuan
aliran lainnya. Secara keseluruhan aliran darah pada sirkulasi total orang
dewasa dalam keadaan istirahat adalah sekitar 5000 ml/menit. Aliran darah
ini disebut curah jantung karena merupakan jumlah darah yang dipompa
ke aorta oleh jantung setiap menitnya5.
Resistensi merupakan hambatan aliran darah dalam pembuluh. Resistensi
harus dihitung dari pengukuran aliran darah dan perbedaan tekanan antara
dua titik di dalam pembuluh darah. Bila perbedaan tekanan di antara dua
titik adalah 1 mmHg dan aliran adalah 1ml/detik, resistensinya dikatkan
sebesar satu satuan resistensi perifer, biasanya disingkat PRU (Peripheral
Resistence Unit)5. Resistensi pembuluh darah perifer dipengaruhi oleh
banyak mekanisme6.
Tabel 2. Penyebab Rendahnya Resistensi Pembuluh darah Sistemik4
Hipotensi terjadi ketika curah jantung dan resistensi pembuluh darah
perifer menurun. Vasokonstriksi saja tidak akan cukup untuk memperbaiki
hipotensi apabila volume total darah pasien tidak adekuat6. Mekanisme
kompensasi pada kondisi hipotensi ini terbagi menjadi dua fase pengaturan
tekanan arteri, yaitu pengaturan cepat dan pengaturan jangka panjang5.
Pengaturan cepat tekanan arteri ini didapatkan dari peran sistem saraf dan
4
refleks-refleks baroreseptor. Sedangkan pengaturan jangka panjang
diperankan oleh ginjal5.
Apabila terjadi penurunan tekanan darah, sinyal baroreseptor tidak akan
memasuki traktur solitarius medula sehingga menghambat pusat
parasimpatis vagus dan merangsang pusat vasokonstriktor di medula. Efek
akhirnya adalah vasokonstriksi vena dan arteriol di seluruh sistem sirkulasi
perifer dan bertambahnya frekuensi maupun kekuatan kontraksi jantung.
Sebaliknya tekanan yang tinggi memiliki efek yang berlawanan5,6. Selain
itu juga terdapat mediator-mediator kimia yang mengatur tekanan arteri,
baik melalui efeknya sebagai vasokontriktor maupun vasodilator6.
Pengaturan tekanan arteri jangka panjang diperankan oleh ginjal. Apabila
terjadi penurunan tekanan arteri, ginjal akan melakukan perannya melalui
beberapa mekanisme:
Menurunkan glomerular filtration rate (GFR) sehingga penyerapan
natrium di tubulus ginjal akan meningkat diikuti oleh penyerapan
air.
Meningkatkan penyerapan air di tubulus distal ginjal melalui peran
anti diuretic hormone (ADH).
Menghasilkan renin yang akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin-1 di hati. Angotensin-1 ini akan diubah lagi menjadi
angotensin-2 oleh angiotensin converting enzyme (ACE) di paru.
Angiotensin-2 inilah yang bersifat vasokonstriktor dan memicu
produksi aldosteron yang menyebabkan retensi natrium.
Menyebabkan pelepasan natriuretics peptides sehingga
pembuangan natrium dan air di ginjal akan menurun.
Akan tetapi, seluruh mekanisme kompensasi di atas akan terganggu pada
pasien pasca anestesia dan pembedahan sehingga dibutuhkan evaluasi dan
penatalaksanaan yang lebih ketat dan cepat.
5
2.2 Etiologi Hipotensi Pasca Operasi
Hipotensi yang terjadi pasca operasi bisa disebabkan oleh 3 hal, yakni
hipovolemia (penurunan preload), distributif (penurunan afterload), atau
kardiogenik (kegagalan pompa intrinsik)2.
2.2.1 Hipovolemia (Penurunan Preload)
Preload adalah derajat regangan otot jantung ketika otot
tersebut mulai berkontraksi. Jumlah aliran balik vena ke ventrikel
kiri dan tahanan pembuluh darah vena menentukan preload.
Penurunan preload jantung akan menyebabkan terjadinya
hipovolemia3. Hipovolemia merupakan penyebab tersering
hipotensi pasca operasi4,7. Hipovolemia terjadi apabila volume
cairan intravaskuler dan preload jantung menurun. Penyebab dari
penurunan volume cairan intravaskuler pasca operasi ini meliputi
perpindahan cairan intravaskuler ke ruang ketiga, perdarahan,
pergantiaan cairan intraoperatif yang tidak adekuat (khususnya
pada pasien yang menjalani operasi intrabdominal mayor), serta
penurunan tonus saraf simpatis akibat blok anestesia neuroaksial
(spinal ataupun epidural)2,4,7. Semua hal tersebut berdampak pada
penurunan aliran balik vena ke jantung sehingga curah jantung
akan ikut menurun7.
Jumlah perdarahan yang terjadi selama proses operasi pada
pasien yang mengalami hipotensi pasca operasi harus dihitung
kembali. Hal ini dilakukan karena bisa saja perhitungan kehilangan
darah intraoperatif tidak akurat sehingga pemberian cairan
pengganti kurang optimal. Jika pasien tidak stabil, pengukuran
kadar hemoglobin bisa dilakukan pada saat itu juga agar tidak
membuang waktu untuk menunggu keluarnya hasil laboratorium.
Satu hal penting yang harus diingat, takikardi tidak bisa menjadi
indikator yang dapat dipercaya pada pasien-pasien yang meminum
obat-obatan golongan beta blocker atau calcium channel blocker7.
6
Hipovolemia juga dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan
anestesia blok spinal ataupun epidural karena terbloknya sistem
saraf simpatis8,9. Jika sistem saraf simpatis terblok maka akan
terjadi vasodilatasi pembuluh darah arteri dan arteriol sehingga
resistensi pembuluh darah perifer akan menurun. Hal tersebut
tentunnya akan menyebabkan penurunan tekanan darah.
High sympathetic block
Increased venous capacitance (pooling of blood in extremities and pelvis)
Decreased venous return to heart (decreased preload) decreased cardiac output
Decreased blood pressure*
*May be compounded by:
Impaired compensatory tachycardia
Bradycardia from blockade and cardioaccelerator fiber (T1-T4)
Gambar 1. Fisiologi Insufisiensi Sirkulatori Setelah Blok Spinal atau Epidural9
Derajat penurunan resistensi pembuluh darah perifer ini bergantung
pada letak dan jumlah segmen vertebra yang teranestesi. Semakin
tinggi segmen yang diblok maka derajat hipotensinya semakin
berat, sedangkan semakin rendah segmen yang diblok maka
semakin rendah pula derajat hipotensinya. Hal ini disebabkan pada
blokade segmen rendah (lumbal atau sakral) akan tejadi
peningkatan tonus saraf simpatis pada segmen yang lebih tinggi
(torakal) yang tidak terblok. Sehingga hal ini akan
mempertahankan resistensi pembuluh darah perifer dalam batas
normal. Spinal anestesia dosis rendah yang dikombinasikan dengan
opioid golongan lipofilik juga dikatakan memiliki komplikasi
hipotensi yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan
7
penggunaan anestesi lokal dengan dosis standar untuk prosedur
yang sama8.
Blok saraf simpatis pada segmen atas vertebra juga dapat
mengganggu mekanisme kompensasi tubuh terhadap hipotensi,
yakni takikardia sehingga akan menyamarkan tanda awal dari
hipovolemia. Jika sebuah operasi memiliki risiko untuk mengalami
perdarahan yang tak nampak (occult bleeding), tenaga medis yang
bertugas di ruang pemulihan harus selalu waspada terhadap tanda-
tanda hipoperfusi jaringan yang samar, seperti pucat, penurunan
tekanan nadi, dan disorientasi9. Yang perlu digarisbawahi, semua
komplikasi anestesi regional yang menyebabkan hipotensi pasca
operasi ini karena bukan secara langsung disebabkan oleh
penurunan volume darah maka disebut sebagai hipovolemia relatif.
Hal-hal lain yang juga bisa menyebabkan hipovolemia relatif
adalah penggunaan venodilator dan obat-obatan golongan alpha
adrenergic blocker4.
2.2.2 Distributif (Penurunan Afterload)
Afterload adalah beban yang harus dilawan oleh kontraksi otot
jantung. Beban dalam hal ini merupakan jumlah darah yang
mengalir ke dalam ventrikel jantung. Afterload ventrikel adalah
tekanan di dalam arteri yang berasal dari ventrikel. Afterload ini
berhubungan dengan tekanan sistolik jantung5. Hipotensi pasca
operasi yang bersifat distributif disebabkan oleh penurunan
afterload. Peristiwa ini terjadi akibat terganggunya fungsi fisiologis
tubuh, yakni akibat iatrogenik simpatis, penyakit-penyakit kritis,
reaksi alergi, dan sepsis2.
Iatrogenik simpatis yang disebabkan oleh teknik regional anestesia
adalah penyebab yang sangat penting pada hipotensi pasca operasi
karena tidak hanya menyebabkan hipotensi akibat hipovolemia,
tetapi juga hipotensi akibat syok distributif. Blok saraf simpatis
8
segmen vertebra atas dapat menurunkan tekanan darah melalui
efeknya yang menyebabkan bradikardia akibat blok serat-serat
kardioakselerator simpatis, refleks Bezold-Jarisc, pada segmen T1-
T42,8,9. Jika tidak ditangani dengan baik dapat berujung pada henti
jantung (cardiac arrest).
Hipotensi sangat mudah terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit
kritis walaupun telah digunakan anestesia dengan dosis yang sangat
minimal, baik berupa anestesia hirup, opioid, ataupun sedatif-
hipnotik. Hal ini disebabkan karena pasien dengan kondisi ini
sangat bergantung pada tonus saraf simpatis untuk pengaturan
tekanan darah sistemik dan frekuensi denyut jantung2. Beberapa
contoh pasien-pasien dengan penyakit kritis adalah pasien dengan
penyakit jantung koroner, hipertensi tak terkontrol, penyakit
serebrovaskular, dan gangguan fungsi ginjal atau hati. Pasien-
pasien tersebut digolongkan sebagai pasien berisiko tinggi8.
Reaksi alergi (reaksi anafilaksis atau anafilaktoid) juga dapat
menjadi penyebab hipotensi pasca operasi di ruang pemulihan.
Peningkatan konsentrasi serum triptase di spesimen darah pasien
bisa dijadikan indikator. Namun, hal ini tidak bisa digunakan untuk
membedakan apakah reaksi alergi tersebut bersifat anafilaksis atau
anafilaktoid. Obat-obat anestesia yang paling sering menyebabkan
reaksi alergi ini adalah golongan pemblok neuromuskular. Pada
pasien yang menjalani operasi saluran kemih ataupun saluran
empedu, penyebab hipotensi sistemik tersering adalah sepsis2.
9
Tabel 3. Obat-Obatan yang Menyebabkan Anafilaksis Perioperatif2
2.2.3 Kardiogenik (Kegagalan Pompa Intrinsik)
Penurunan kontraksi otot jantung dapat terjadi pasca operasi di
ruang pemulihan akibat beberapa penyebab. Penyebab pertama
adalah masih tersisanya efek obat anestesia yang memiliki efek
depresan pada otot jantung. Penyebab kedua adalah pasien
memang memiliki penyakit jantung yang menyebabkan penurunan
kontraksi otot jantung. Pada akhirnya, semua penyebab tersebut
akan berujung pada myocardial ischemia ataupun myocardial
infarction akut7.
Pasien-pasien yang paling sering mengalami myocardial infarction
adalah mereka dengan hipertrofi ventrikel jantung, riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, ataupun penyakit jantung koroner.
Biasanya, hanya 25% dari pasien tersebut mengeluh mengalami
angina pektoris pada saat di ruang pemulihan. Sebagian besar dari
mereka tiba-tiba saja mengalami episode hipotensi yang tak bisa
dijelaskan, beberapa disertai kontraksi ventrikel jantung yang
prematur7.
10
2.3 Diagnosis Hipotensi pasca Operasi
Salah satu parameter yang harus dievaluasi untuk mendiagnosis hipotensi
pasca operasi adalah tekanan darah. Seseorang pasien dikatakan hipotensi
apabila tekanan sistoliknya berada di bawah 90 mmHg atau penurunan
tekanan darah sebesar 40% atau lebih dari tekanan darah normal pasien
sehari-hari3. Adreta menilai perubahan tekanan darah pasca anestesia
dengan kriteria sebagai berikut: 1
Perubahan sampai 20% dari nilai prabedah = 2
Perubahan antara 20-50% dari nilai prabedah = 1
Perubahan melebihi 50% dari nilai prabedah = 0
Selain untuk menilai hipotensi, penilaian ini juga berguna sebagai kriteria
standar untuk memindahkan pasien dari ruang pemulihan ke bangsal1.
Penegakan diagnosis dari keadaan hipotensi sebaiknya cepat ditegakkan.
Palpasi dari nadi karotis atau tekanan femoral dan auskultasi suara jantung
sangat berguna sebagai indikator kualitatif yang baik dari tekanan darah
sentral.
Parameter lain yang dapat diukur adalah denyut jantung. Denyut jantung
normal berkisar 55-120 kali per menit dengan irama yang teratur. Pada
pasien hipotensi pasca operasi yang disebabkan oleh hipovolemia, denyut
jantung pasien akan meningkat (takikardi)1. Namun, satu hal penting yang
harus diingat, takikardi tidak bisa menjadi indikator yang dapat dipercaya
pada pasien-pasien yang meminum obat-obatan golongan beta blocker
atau calcium channel blocker7. Selain itu, pada pasien-pasien yang
mengalami hipotensi akibat anestesia regional akan lebih sering ditemukan
penurunan denuyt jantung (bradikardi). Bradikardi menjadi sangat
bermakna ketika frekuensinya berada di bawah 50 kali per menit karena
ini menandakan penurunan curah jantung yang menyebabkan hipotensi8.
Produksi urin juga menjadi salah satu parameter yang harus diperhatikan.
Pada keadaan normal, produksi urin orang dewasa mencapai > 0,5
cc/kgBB/jam. Apabila terjadi oligouri atau anuri harus segera dicari
penyebabnya1,10. Oligouri ini merupakan indikator klinis yang sangat
11
berguna untuk mendiagnosis hipotensi pasca operasi akibat hipovolemia
atau penurunan curah jantung. Untuk membedakan yang mana penyebab
hipotensi dari kedua hal tersebut digunakan tes cairan. Pasien diberikan
cairan ringer laktat sebanyak 3-6 ml/kgBB secara intravena, kemudian
produksi urin dimonitor. Pada oligouri yang disebabkan oleh hipovolemia
akan terjadi peningkatan produksi urin. Di lain pihak, produksi urin
biasanya tidak akan meningkat pada oligouria yang disebabkan oleh
penurunan curah jantung7. Parameter lainnya yang juga harus dievaluasi
adalah, status mentalis pasien, perfusi pembuluh darah perifer, dan
perdarahan dari luka operasi.
Tabel 4. Evaluasi Tanda-Tanda Awal Hipotensi Pasca Operasi10
Hal lain yang mendapat perhatian pasca operasi adalah pedarahan dari
luka operasi. Adanya perembesan darah dari luka operasi atau
bertambahnya jumlah darah pada botol penampungan drainase luka
operasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan eksplorasi kembali1.
Pemeriksaan hemoglobin juga dapat dilakukan pada saat itu juga (bedside)
agar tidak membuang waktu untuk menunggu hasil laboratorium2. Tes
cairan menggunakan bolus cairan dengan komposisi 350-500 ml kristaloid
dan 100-200 ml koloid juga dapat dilakukan. Apabila terdapat peningkatan
tekanan darah setelah diberikan cairan, biasanya hipotensi dapat
dikonfirmasi3. Jika dicurigai penyebab hipotensi pasca operasi adalah
12
sepsis, harus dilakukan kultur darah. Terapi antibiotika secara empiris juga
harus dimulai sebelum pasien dipindahkan ke bangsal2.
Pada hipotensi pasca operasi yang disebabkan oleh sepsis yang perlu
diperhatikan adalah tanda-tanda terjadinya Systemic Inflamatory Response
Syndrome (SIRS).
Ditemukan Nilai
Suhu <36 °C (96.8 °F) or >38 °C (100.4 °F)
Nadi >90/min
Laju pernafasan >20/min or PaCO2<32 mmHg (4.3 kPa)
WBC <4x109/L (<4000/mm³), >12x109/L (>12,000/mm³), or 10%
Tabel 5. Kriteria SIRS12
Diagnosis banding dari hipotensi pasca operasi meliputi:
1. Penurunan volume intravaskuler
a. Hilangnya cairan yang persisten
b. Berpindahnya cairan ke ruang ketiga
c. Pendarahan akibat pembedahan
2. Peningkatan permeabilitas kapiler
a. Akibat sepsis
b. Akibat luka bakar
3. Penurunan dari cardiac output
a. Infark miokard
b. Kardiomiopati
c. Cardiac Tamponade
d. Emboli pada paru
e. Tension Pneumothorax
f. Disebabkan oleh obat-obatan seperti β-blockers, calcium channel