AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015 HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU ZAID Sudarto Murtaufiq Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan E-mail : [email protected]Abstract : By examining the writings of Nasr Abu Zaid, this writing attempts to analyze his theory and method of interpreting the Qur’an in addition to criticizing his thought in the light of hermeneutics and modern approaches to the Qur’an. Abu Zaid views, there are two goals in his studies of the Qur’an. The first is to reconnect the Qur’anic studies with the literary theory and criticism (Al-Dirasa al-Adabiyya wa al-Naqdiyya). In this case, the Qur’an is a text, and more particularly a linguistic text, and is inseparable from culture and history. For that reason, it is a cultural and historical text and should be studied by using linguistic and literary approaches, including hermeneutics and semiotics. The second is to define the “objective” understanding of Islam that is devoid of any ideological interest. Abu Zaid believes that by defining an “objective” nature of the text, the ideological interpretation of the Qur’an can be reduced to a large extent. At this stand, the text should be studied and interpreted “objectively” by employing scientific methodologies and theories developed in current textual and linguistics studies, including both hermeneutics and semiotics. Keywords: hermeneutics, linguistic text, literary theory, ideological interpretation Pendahuluan Belakangan ini, ada sejumlah pemikir Muslim kontemporer yang ingin memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti ilmu tafsir Al- Qur’an. 1 Mereka mendasarkan pandangan ini karena menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan refleksi dari dan respon atas kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang masih primitif dan patriarkis. 2 Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi. Metodologi tafsir yang dikembangkan ulama masa lalu, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas. Tafsir klasik, dinilai tidak memiliki landasan teori yang solid, alih-alih mempunyai prinsip- prinsip yang teruji dan terseleksi. Paradigma tafsir klasik dianggap memaksakan prinsip- prinsip universal Al-Qur’an dalam konteks apapun ke dalam teks Al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis. Dengan demikian, menurut pandangan ini, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an adalah suatu keniscayaan. 3 Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini begitu marak. Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana Muslim kontemporer, baik di negara-negara Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia. Selain Abu Zaid, sejumlah sarjana Muslim lainnya juga gigih menyuarakan 1 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002). 2 Pandangan ini setidaknya bisa dilihat dari pandangan Abu Zaid yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks linguistik, teks histories dan teks manusiawi. Dan ketiganya terangkum dalam keberadaan Al-Qur’an sebagai teks susastra. Lihat Nasr Abu Zaid, Naqd al-Khitāb al-Dīny (Cairo: Sina Li al-Nasr, 1994), 126. 3 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir,
15
Embed
HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU …journal.unisla.ac.id/pdf/13912015/1. Sudarto Murtaufiq, hermeneutika...define the “objective” understanding of Islam that
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
HERMENEUTIKA AL-QURÁN: KRITIK ATAS PEMIKIRAN NASR ABU ZAID
Abstract : By examining the writings of Nasr Abu Zaid, this writing attempts to
analyze his theory and method of interpreting the Qur’an in addition to criticizing
his thought in the light of hermeneutics and modern approaches to the Qur’an.
Abu Zaid views, there are two goals in his studies of the Qur’an. The first is to
reconnect the Qur’anic studies with the literary theory and criticism (Al-Dirasa
al-Adabiyya wa al-Naqdiyya). In this case, the Qur’an is a text, and more
particularly a linguistic text, and is inseparable from culture and history. For that
reason, it is a cultural and historical text and should be studied by using linguistic
and literary approaches, including hermeneutics and semiotics. The second is to
define the “objective” understanding of Islam that is devoid of any ideological
interest. Abu Zaid believes that by defining an “objective” nature of the text, the
ideological interpretation of the Qur’an can be reduced to a large extent. At this
stand, the text should be studied and interpreted “objectively” by employing
scientific methodologies and theories developed in current textual and linguistics
studies, including both hermeneutics and semiotics.
Keywords: hermeneutics, linguistic text, literary theory, ideological interpretation
Pendahuluan
Belakangan ini, ada sejumlah pemikir Muslim kontemporer yang ingin
memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti ilmu tafsir Al-
Qur’an.1 Mereka mendasarkan pandangan ini karena menganggap bahwa Al-Qur’an
merupakan refleksi dari dan respon atas kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik
masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang masih primitif dan patriarkis.2 Ilmu-ilmu
Al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi. Metodologi
tafsir yang dikembangkan ulama masa lalu, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata
terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas.
Tafsir klasik, dinilai tidak memiliki landasan teori yang solid, alih-alih mempunyai prinsip-
prinsip yang teruji dan terseleksi. Paradigma tafsir klasik dianggap memaksakan prinsip-
prinsip universal Al-Qur’an dalam konteks apapun ke dalam teks Al-Qur’an. Akibatnya,
pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis. Dengan demikian, menurut
pandangan ini, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an adalah
suatu keniscayaan.3
Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini begitu
marak. Seruan itu serempak disuarakan oleh para sarjana Muslim kontemporer, baik di
negara-negara Timur Tengah maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di
Indonesia. Selain Abu Zaid, sejumlah sarjana Muslim lainnya juga gigih menyuarakan
1 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002). 2 Pandangan ini setidaknya bisa dilihat dari pandangan Abu Zaid yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah teks
linguistik, teks histories dan teks manusiawi. Dan ketiganya terangkum dalam keberadaan Al-Qur’an sebagai
teks susastra. Lihat Nasr Abu Zaid, Naqd al-Khitāb al-Dīny (Cairo: Sina Li al-Nasr, 1994), 126. 3 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir,
2
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
gagasan ini, antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Hasan Hanafi, Asghar Ali
Engineer, Riffat Hasan, Amina Wadud dan para tokoh yang lain.4
Kesadaran ingin membebaskan diri dari himpitan pembacaan tradisional itulah yang
mengantarkan Abu Zaid muncul ke permukaan diskursus wacana keagamaan secara
mengejutkan, terutama di Mesir, dan dalam pemikiran dunia Islam pada umumnya karena
gagasan-gagasannya yang kontroversial dan keberaniannya merombak pemikiran Islam yang
telah dianggap baku. Tulisan ini memaparkan alur pemikiran Abu Zaid dan beberapa idenya
yang cukup kontroversial.
Untuk memulai konsep ‘analisa wacana’-nya, Abu Zaid mengajukan sebuah pertanyaan,
bagaimana seharusnya memberlakukan warisan intelektual (tradisi) karena cara pandang dan
model hubungan yang tepat dengan warisan Islam klasik akan memberikan landasan penting
dan keterbukaan dunia intelektual Islam dalam berinteraksi dengan budaya-budaya lain.
Mungkinkah tradisi Islam yang mempunyai ”daya kritis” harus diperlakukan sebagai benda
mati yang “antik”?5
Kemandekan kemajuan pemikiran tersebut, menurutnya, disebabkan adanya hegemoni
teks yang secara tidak sadar telah diterima dan akhirnya membelenggu kelompok yang
mengatasnamakan dirinya sebagai penjaga tradisi intelektual Islam. Di sana sebuah teks yang
mestinya hanya mempunyai kuasa epistemologis telah diadopsi, diubah dan diselipi kerangka
ideologis, sehingga sebuah teks seakan-akan menguasai wacana pemikiran manusia. Inilah
yang kemudian menimbulkan tidak adanya dinamika ilmu yang lebih kreatif dalam Islam
karena kebenaran sudah ada dalam teks, di mana si pembaca hanya berhak untuk menjelaskan
isinya belaka tanpa dibarengi tinjauan ulang secara kritis.6
Sikap kritis Abu Zaid di atas, lebih didasarkan atas semangatnya yang besar untuk bisa
membaca kembali dan membuktikan bahwa warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks-
teks keagamaan” tidak lepas dari wacana tertentu yang bersifat “ideologis”. Menurutnya,
kajian epistemologis tidak hanya berhenti pada terpahaminya makna literal dari teks, namun
harus juga mampu melangkah keluar untuk menguak signifikansi sosial, ekonomi, dan
politiknya, sehingga bisa tergambar jelas ‘ideologi’ yang melatarbelakangi: yakni pandangan
yang memberikan norma-norma benar-salah, pahala-siksa, boleh-dilarang, dalam
pengertiannya yang sosiologis. Sedemikian, sehingga ini akan berguna untuk menguakkan
“jarak epistemologis” antara “pemahaman” dan ”keyakinan”, karena dalam kehidupan
beragama yang telah dianggap ”mapan” dan “sakral”—disadari atau tidak—selalu terjadi
percampuran misterius antara ”keyakinan” dan “pemahaman”.7
Untuk mendukung keberhasilan metode yang ditawarkan, Abu Zaid menggunakan dua
pendekatan sekaligus, semiotika dan hermeneutika. Pendekatan semiotika berusaha
memperlakukan teks keagamaan sebagai teks yang bermakna luas, mencakup seluruh sistem
tanda yang dapat memproduksi makna. Dalam cakupan ini, konsep teks tidak hanya terbatas
pada sistem tanda bahasa yang dapat memproduksi makna umum tetapi juga meliputi seluruh
hubungan yang bersifat non-lingustik; Pendekatan semiotika yang dilakukan oleh Abu Zaid
5A. Khudhori Sholeh,” Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid”, dalam
http://www.scribd.com/doc/22308204/Analisa-Wacana-Nasr-Hamid-Abu-Zaid (03 Juli 2014) 6 Ibid. Lihat pula Abu Zaid, “The Textuality of the Koran,” Islam and Europe in Past and Present (NIAS, 1997),
merupakan usahanya untuk menjelaskan teorinya tentang teks Al-Qur’an sebagai produk
budaya dan sekaligus produsen budaya.8
Teks yang sejati, menurutnya, adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks
semula di mana teks itu diproduksi, dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari
norma-norma yang berasal dari luar. Teks di satu sisi merupakan objek dan produk dari sistem
sosial budaya di mana ia tergabung di dalamnya, sekaligus pada sisi lain ia merupakan subjek
yang mengubah sistem sosial budaya yang bersangkutan.9
Sementara dengan hermeneutika berarti memahami teks keagamaan tidak bisa lepas dari
konteks sejarah di mana teks itu muncul, kepada siapa teks itu berdialog, mengapa teks dibuat
dan seterusnya, yang pasti tidak lepas dari ruang lingkup yang mengitarinya. Teks adalah
produk kebudayaan yang mengitarinya sehingga ia harus dipahami secara kritik historis. Di
sini, Abu Zaid memandang perlu untuk menggunakan pendekatan hermeneutika sebagai
tawaran konsep interpretasi baru dalam dunia pemikiran Islam dengan mengenalkan konsep
ini dalam tulisannya “al-Hirminiyūtika wa Mu’dilat Tafsīr al-Nāsh”. Ia kemudian mengkaji
penelusuran makna, khususnya dalam studi sastra, yang diawali sejak hermeneutika
romantisis dengan tokohnya Schleiermacher yang dikenal pula sebagai “Bapak
Hermeneutika” modern dan diteruskan oleh Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans-Georg
Gadamer, Jurgen Habermas dan Paul Ricoeur.10
Dengan demikian, gagasan Abu Zaid tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan
sarjana Islam. Sebagaimana dipaparkan di awal, dengan pendekatan semiotika dan
hermeneutika, Abu Zaid mengatakan bahwa teks keagamaan tidak terkecuali Al-Qur’an
adalah produk budaya atau al-Muntāj al-Thaqafī. Produk budaya dalam arti bahwa bahasa
yang tertuang dalam teks Al-Qur’an merupakan simbol atau kode manusia (human code)
dalam mengartikulasikan kesadaran dan perasaannya. Dengan demikian, dalam perspektif ini
Al-Qur’an adalah kode manusia yang digunakan Tuhan untuk menurunkan ajaran-Nya, agar
dapat dipahami manusia. Al-Qur’an adalah teks bahasa Arab yang muncul dalam konteks
sejarah melalui dialog intensif dalam setiap peristiwa sejarahnya.11
Menurut Abu Zaid, “Al-Qur’an yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang
Muhammad yang manusia. Bahwa Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus
penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari
masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam
suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan
demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak
membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya.
Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya”.12
8 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan (Yokyakarta: eLSAQ press, 2003); Lihat juga
Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of of His Method of
interpreting the Qur’an, PhD Thesis (Montreal:McGill University, 2001) 9 Ibid. Lihat pula M. Shohibuddin, Nashr Hamid Abu Zayd tentang Semiotika Al-Qur’an, sebuah makalah dalam
buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, 113-114. 10
Lihat Abu Zayd, Isykaliyyat al-Qira’at wa Aliyat al-Ta’wil, edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad
Manshur (Yogyakarta: LKiS, 2004), 4. 11
A. Khudhori Sholeh,” Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid”, dalam
http://www.scribd.com/doc/22308204/Analisa-Wacana-Nasr-Hamid-Abu-Zaid (03 Juli 2013) 12
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1997 M), 59.
Pendapat Abu Zaid ini merusak konsep dasar Al-Qur’an yang dianut dalam Islam,
bahwasanya Nabi Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu saja, Nabi tidak merubah
sedikitpun yang diterimanya dari Tuhan bahkan Nabi pun terjaga dari kesalahan (ma’tsūm).13
Latar Belakang Kehidupan Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zaid dilahirkan pada 10 Juli 1943 di Qahafah, sebuah desa dipinggiran
kota Tanta, ibukota propinsi al-Gharbiyah (Delta), Mesir. Sebagai anak desa, Abu Zaid
tumbuh sebagaimana anak-anak Mesir lainnya. Sepanjang pagi sampai tengah hari, waktunya
ia habiskan di bangku sekolah. Persentuhannya dengan ilmu-ilmu keagamaan ia lakukan lepas
tengah hari setelah pulang sekolah. Ia mengaji di sebuah kuttab, semacam sekolah madrasah,
yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yang dilakoninya secara informal. Namun dari
sanalah ia banyak menimba ilmu-ilmu keagamaan secara tradisional. Kegiatan ini ia jalani
sejak masih berusia sangat hijau, yaitu dalam usia empat tahun.14
Pada tahun 1957, menginjak usia empat belas tahun, Abu Zaid kehilangan ayahanda
tercintanya yang berpulang keharibaan-Nya. Beberapa bulan sebelumnya, ia telah
menyelesaikan sekolah di Madrasah Ibtida’iyah Negeri yang ditempuhnya di Tanta. Sesuai
keinginan ayahnya sebelum meninggal, ia disarankan untuk melanjutkan sekolah kejuruan
teknik, agar mudah mendapatkan pekerjaan. Padahal Abu Zayd sebelumnya sudah berencana
untuk menempuh sekolah menegah umum, dikarenakan ia berharap besar dapat masuk
perguruan tinggi. Tetapi tentu saja, keinginan ayahnya tidak bias ia abaikan, apalagi
sepeninggalnya, dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tiga tahun berselang,
gelar diploma teknik berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1961, ia sudah dapat bekerja sebagai
teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional Dinas Perhubungan di Kairo. Dalam
kesibukannya bekerja, Abu Zaid masih saja menyempatkan diri untuk menulis sealur dengan
minatnya terhadap kritik sastra.15
Dengan bermodalkan beasiswa dari Ford Foundation, Abu Zayd menempuh studi di
American University dari 1975-1977.16
Selang dua tahun gelar MA berhasil diraihnya dengan
predikat cumlaude, setelah tesisnya yang berjudul al-Ittijāh al-'Aqlī fi al-Tafsīr: Dirāsah fi
Qadiyyāt al-majāz fi al-Qur'ān 'inda Mu'tazilah berhasil dipertahankannya.17
Untuk melengkapi karir akademiknya, Abu Zaid menempuh program doktoral. Tahun
1981, ia berhasil meraih gelar PhD dengan predikat cumlaude, dalam disiplin studi Islam dan
bahasa Arab. Ia mengetengahkan disertasi dengan concern pada hermeneutika, yang masih
seturut dengan karir akademik sebelumnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk
13
Pendapat Abu Zaid ini tidak sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an yang artinya,“Dan Dia (Muhammad) tidak
menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3) 14
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan (Yokyakarta: eLSAQ press, 2003), 38-39. 15
Dalam publikasi awalnya di jurnal Al- Adab, jurnal yang dipimpin oleh Amin Al- Khuli, Abu Zayd banyak
mengapresiasi hal-hal yang berkenaan dengan dunia sastra, lahirlah dua artikelnya di jurnal ini yang
dipublikasikan pada sekitar tahun 1964. Artikel pertama berjudul Hawl Adab al-‘Ummal wa al-Fallahin,
mengenai sastra buruh dan petani, dan yang kedua berjudul Azmah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah, yang
mengelaborasi seputar persoalan krisis lagu Mesir. Kegiatannya ini, sesungguhnya merefleksikan batinnya
yang memang masih memendam impian untuk dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sehingga ia
memutuskan untuk mengikuti ujian persamaan sekolah menegah umum, akhirnya ia berhasil dan lulus. Lihat
Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis Alquran, Teori hermenutika Nasr Abu Zayd (Bandung: Teraju,
2003) 16
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, 39. 17
Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of His Method of
interpreting the Qur’an, 6-7.
5
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
prasyarat tingkat Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran
terhadap pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri kepadanya.18
Setelah merengkuh gelar Doktor, Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor satu
tahun kemudian. Pada tahun yang sama ia juga meraih penghargaan ‘Abd Al-‘Aziz Al-
Ahwani Prize for Humanities’ karena konsernya selama ini dalam bidang humanitas dan
budaya Arab. Pada tahun-tahun berikutnya, antara 1985-1989, Abu Zaid menjadi professor
tamu di Osaka University of Foreign Studies Jepang. Selama di Jepang, ia banyak
menghasilkan karya tulis berupa artikel dan sebuah buku berjudul Mafhūm al-Nāsh: Dirāsah
fi ‘Ulūm al-Qur’ān (Konsep Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an), yang merupakan
pondasi bangunan idenya bagi penafsiran al-Qur’an yang objektif dan ilmiah. Pada tahun
1992, Abu Zaid menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor Bahasa Perancis dan
Sastra Perbandingan Universitas Kairo. Pernikahan tersebut diselenggarakan pada bulan
April, kira-kira kurang tiga bulan sebelum genap 50 tahun usia Abu Zaid. Setelah satu bulan
menikah, 9 Mei 1992, Abu Zayd mengajukan promosi untuk mendapatkan profesor penuh di
Universitas Kairo.19
Abu Zaid tergolong seorang ilmuwan yang sangat produktif. Ia telah menulis banyak
buku penting. Telah banyak buku dan karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, baik oleh dunia Barat maupun dalam bahasa Indonesia.20
Pengertian Tafsir, Takwil Dan Hermeneutika
Lanskap agama memang mengandung perempatan-perempatan dan perlimaan-
perlimaan, yakni persilangan pendapat akibat penafsiran yang berbeda-beda. Tapi, ia juga
mengandung jalan layang dan underpass. Yang ini terkait dengan apa yang dalam tradisi ilmu
18
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, 39. 19
Untuk keperluan tersebut, ia menyerahkan bukunya Naqd al-Khitab al-Dini, yang merupakan kumpulan
artikel yang ia tulis semasa tinggal di Jepang, dan buku al-Imam Al-Syafi’i, serta sebelas paper karya tulis
lainnya kepada panitia penguji. Namun, panitia akhirnya menolak promosi tersebut, dan berbuntut panjang
sehingga sempat memunculkan tragedi dan kasus besar yang dikenal dengan “Kasus Abu Zayd”. Barulah pada
1995, ia meraih professor penuh setelah promosinya dikabulkan oleh panitia pengukuhan yang sebenarnya
panitia baru. Antara 1995-1998, ditengah-tengah penyelesaian kasusnya, Abu Zayd menjadi profesor tamu di
Leiden University, Belanda. Ibid. Dalam hal ini, Penulis sendiri juga berkesempatan bertatap muka dan berdalog
langsung dengan Abu Zaid di Jakarta, tepatnya di Four Seasons Hotel, 8 September 2004. 20
Buku-buku yang ditulis Abu Zaid antara lain:
a. Al-Ittijāh al-‘Aqli Fi Tafsīr: Dirāsah Fi Qadiyyah al-Majāz Fi al-Qur’ān ‘Inda al-Mu’tazilah. (Beirut: Dar al-
Tanwir li al-Taba’ah wa al-Nasyr, 1983) (edisi ke-2).
b. Falsafat al-Ta’wīl: Dirāsah Fi Ta’wīl al-Qur’ān ‘Inda Muhy al-Din Ibn ‘Arabi. (Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-
‘Arabi, 1998) (edisi ke-4).
c. Mafhūm al-Nash: Dirāsah Fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Kairo: Al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab,
1993).
d. Isykāliyyat al-Qirā’ah wa Aliyyat al-Ta’wīl. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi. 1994) (edisi ke-3).
e. Al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sīs al-Idiyūlujiyya al-Wasatiyyah. (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992).
f. Naqd al-Khitāb al-Dīny. (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994) (edisi ke-2), diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh
Cherifa Magdi, Islam and Politik: Kritik des Religiosen Diskursus. Frankfurt: Dipa, 1996.
g. Al-Mar’ah Fi al-Khitāb al- Azmah. (Kairo: Dar Nusus li al-Nasyr, 1995).
h. Al-Takfīr Fi Zaman al-Takfir. (Kairo: Maktabah Madbuli. 1995).
i. Al-Nass, al-Sultah, al-Haqīqah. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1995).
j. Al-Qawl al-Mufīd Fi Qissat Abu Zayd. (Kairo: Maktabah Madbuli, 1995).
k. Al-Khilāfah wa Sultah al-Ummah. Kairo: 1995 (Sebagai editor).
l. Vernieuwing in het Islamitisch Denken. Diedit dan diterjemahkan oleh Fred Leemhuis. (Amsterdam:
BULAAQ, 1996).
m.) Dawā’ir al-Khawf: Qirā’ah fi Khitāb al-Mar’ah. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafial-‘Arabi. 1999)
6
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
agama disebut sebagai takwil. Meski ada yang menyamakan tafsir dan takwil, umunya kedua
konsep ini dibedakan. Jika penafsiran menunjukkan kekayaan kemungkinan pemahaman
Kitab Suci – dan mungkin hadis Nabi – lebih karena keterbatasan kemampuan satu orang atau
suatu kelompok untuk memahami suatu ajaran, maka takwil melahirkan kekayaan
pemahaman karena terbukanya akses kepada banyak lapis makna kitab suci. Dari lapis makna
yang sepenuhnya literal (harfiah), hingga makna batin yang paling dalam inilah yang
dimaksud oleh hadis: Sesungguhnya Al-Qur’an memiliki tujuh (banyak, tak terbatas) lapis
makna.”21
Pengertian Tafisr
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “ taf’īl”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r)
yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang
abstrak. Sedangkan tafsir secara istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapan lafaz-
lafaz Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta
hal-hal lain yang melengkapinya.22
Sedangkan tafsir menurut Al-Kilby adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya,
ataupun dengan tujuannya. Begitu juga menurut Al-Jurjani tafsir adalah membuka atau
melahirkan, menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya
diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara terang.23
Dari segi bentuknya, tafsir terdiri dari tiga macam. Pertama, Tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu
penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran dengan hadist Nabi SAW, yang menjelaskan makna
sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil
ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh
rentang zaman dari masa Nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna
ayat Al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang.24
Kitab-kitab tafsir yang memuat Tafsir bi al-Ma’tsūr antara lain Jāmi’ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān: Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), al-Kasyfu wa al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān:
Ahmad Ibn Ibrahim (427 H), Ma’ālimu al-Tanzīl: Imam al-Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi