BAB I PENDAHULUAN Hemiparese adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada suatu sisi. Pada hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih ringan pada hemiplegi. Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu stroke akibat infark serebral atau perdarahan. Hemiparese yang terjadi memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi sepanjang traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah, kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi ataupun penekanan langsung dan tidak langsung oleh massa (hematoma, abses, tumor). Hal tersebut selanjutnya akan mengakibatkan adanya gangguan pada traktus kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak atas atau bawah. Lesi yang mengenai daerah kortek serebri, seperti pada tumor, infark, atau trauma menyebabkan kelemahan sebagian tubuh pada sisi kontralateral. Hemiparesis yang terlibat pada wajah dan tangan (hemiparese brakhiofasial) lebih sering terjadi dibandingkan di daerah lain karena bagian tubuh tersebut memiliki area representasi kortikal yang luas. Lesi setingkat pedinkulus serebri, seperti prosses vaskular, perdarahan atau tumor menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh elumpuhan nervus okulomotorius ipsilateral. Lesi pada pons yang melibatkan traktus piramidalis karena tumor, iskemia pada
penyebab hemiparesis dan penatalaksanaannya patomekanisme hemiparesis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Hemiparese adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada suatu sisi. Pada
hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih ringan pada hemiplegi.
Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu stroke akibat infark serebral atau
perdarahan. Hemiparese yang terjadi memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi
sepanjang traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah,
kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi ataupun penekanan langsung dan tidak langsung
oleh massa (hematoma, abses, tumor). Hal tersebut selanjutnya akan mengakibatkan adanya
gangguan pada traktus kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak
atas atau bawah.
Lesi yang mengenai daerah kortek serebri, seperti pada tumor, infark, atau trauma
menyebabkan kelemahan sebagian tubuh pada sisi kontralateral. Hemiparesis yang terlibat
pada wajah dan tangan (hemiparese brakhiofasial) lebih sering terjadi dibandingkan di daerah
lain karena bagian tubuh tersebut memiliki area representasi kortikal yang luas.
Lesi setingkat pedinkulus serebri, seperti prosses vaskular, perdarahan atau tumor
menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh elumpuhan nervus
okulomotorius ipsilateral. Lesi pada pons yang melibatkan traktus piramidalis karena tumor,
iskemia pada batang otak atau perdarahan dapat menyebabkan hemiparesis kontralateral atau
mungkin bilateral. Lesi pada pyramid medulla biasanya karena tumor dapat merusak serabut-
serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena serabut-serabut non piramidal terletak
lebih ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya dapat terjadi hemiparesis flasid kontralateral.
Kelemahan tidak bersifat total karena jaras desenden lain tidak terganggu.
BAB II
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS HEMIPARESE
1. STROKE
A. DEFINISI
Kata stroke berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu serangan mendadak
seperti disambar petir . Stroke adalah serangan otak yang terjadi secara tiba-tiba
dengan akibat kematian atau kelumpuhan bagian tubuh. Karena sifatnya yang
menyerang itu, sindrom ini diberi nama stroke yang artinya kurang lebih pukulan
telak dan mendadak. Stroke disebut juga sebagai CVA (cerebro-vaskuler accident).
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler.
Menurut WHO, penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah pembunuh
nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi akibat stroke pada
tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian. di Indonesia dari data
Departemen Kesehatan R.I. (2009), prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000
penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh
Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000
penduduk).
B. KLASIFIKASI
Banyak klasifikasi yang telah dibuat untuk memudahkan penggolongan stroke.
Menurut modifikasi marshall, stroke dapat diklasifikasikan
1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a. Stroke iskemik
Transient Ischemic Attack (TIA)
Trombosis serebri
Emboli serebri
b. Stroke hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subarakhnoid
2. Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu :
Transient Ischemic Attack (TIA)
Stroke in evolution
Completed stroke
3. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
Tipe karotis
Tipe vertebrobasiler
4. berdasarkan sindroma klinis yang berhubungan dengan lokasi lesi otak,
bamford dkk mengemukakan klasifikasi stoke menjadi 4 sub tipe :
Total anterior circulation infarct (TACI)
Partial Anterior circulation infarct (PACI)
Posterior Circulation Infarct (POCI)
Lacunar infarct ( LACI)
C. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau
potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well documented)
(Goldstein,2006).
1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Berat badan lahir rendah
d. Ras/etnis
e. genetik
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factors
Hipertensi
Paparan asap rokok
Diabetes
Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi
jantung tertentu
Dislipidemia
Stenosis arteri karotis
Sickle cell disease
Terapi hormonal pasca
menopause
Diet yang buruk
Inaktivitas fisik
Obesitas
b. Less well-documented and modifiable risk factors
Sindroma metabolik Penyalahgunaan alkohol
Penggunaan kontrasepsi oral
Sleep-disordered breathing
Nyeri kepala migren
Hiperhomosisteinemia
Peningkatan lipoprotein (a)
Peningkatan lipoprotein-
associated phospholipase
Hypercoagulability
Inflamasi
InfeksI
D. Patofisiologi 1. Stroke Iskemik
Proses patofisiologi pada cedera SSP akut sangat kompleks dan melibatkan permeabilitas patologis dari sawar darah otak, kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstraseluler, eksitotoksisitas dan toksisitas yang diperantarai oleh radikal bebas.
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap
an oxic depolarization - infarction
glutamat excitotoxicity
lactic asidosis - cytotoxic oedema
decrease in protein sintesis - selectif gene ekspresion
normal state
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Brain tisue responses to cerebral blood flow (CBF) decrease
Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 : a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
2. Stroke Hemoragik
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan
pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan
patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis
fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien,
peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating
arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek
penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh
ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena
darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular
atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
E. Manifestasi KlinisManifestasi yang muncul dapat berupa gangguan neurologis fokal maupun global yang akan di jelaskan berikut ini:
Gejala defisit neurologis fokal Gejala defisit neurologis globalGejala motorik kelemahan atau kekakuan tubuh satu sisi ganguan menelan gangguan keseimbangan tubuh
Gangguan Berbicara atau Berbahasa kesulitan pemahaman atau ekspresi berbahasa kesulitan membaca (dsylexia) atau menulis gangguan keseimbangan tubuh
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
ptosis - reaksi pupil lambat
gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
Gangguan fungsi otak semakin jelas.
Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Gejala:
Nadi dan pernapasan
irregular
demam tinggi
(hiperpireksia)
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun,
irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, koma.
otot ekstensor menjadi kaku dan
spasme, opistotonus.
pupil melebar dan tidak bereaksi
sama sekali. akhirnya, pasien
dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum
pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1
minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
D. KRITERIA DIAGNOSIS
namnesa
pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti
kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun.
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium
o Darah: anemia ringan, peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
o Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi
lumbal) :
Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung
lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut
dapat mencapai 1000 / mm3.
Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada
permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan
tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002).
Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis
adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman
Dari pemeriksaan radiologi:
Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Pemeriksaan EEG (electroencephalography)
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah
basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging)
E. PENGOBATAN
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan
pada terapi meningitis tuberkulosis:
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam
satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100
mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di
darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan
menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid
mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum
puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan
dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis
satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/
kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan
warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye
kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam.. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak).
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak
45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput
otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita
tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII
yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinismus) dan pusing.
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25
gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada
keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis
optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya.. Rekomendasi WHO
yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan
penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis
sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai
dengan lamanya pemberian regimen.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,
dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak,
nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada
mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan
keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.
Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada
kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan
kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin.
G. PROGNOSIS
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat
meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur
kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih
tua usianya.
4. TODD’S PARALISIS
Todd paralisis adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan periode singkat
kelumpuhan setelah kejang. Kelumpuhan yang mungkin sebagian atau lengkap
umumnya pada suaty sisi tubuh dan biasanya reda sepenuhnya dalam waktu 48 jam.
Todds paralise pada mulanya dapat terancukan dengan stroke. Hemipharese menyertai kejang-kejang setempat, namun tanda kelemahan dan neurologis hilang secara sempurna dalam 24 jam dari konvulsi. Meskipun penyebab todds paralisis belum diketahui secara pasti, hemiparese mungkin karena akibat dari penomena penghambat, mungkin terkait dengan disfungsi neurotransmiter.
Sebenarnya dengan riwayat hipertensi yang diderita kita bisa curiga ada gangguan vaskuler — membentuk epileptic area di otak yang mendasari terjadinya kejang pada pasien. Serangan sebelumnya menunjukkan kemungkinan pasien mengalami epilepsi parsial. Keadaan yang lemas pada saat dirawat hari-hari pertama menunjukkan Todd’s Paralysis yang biasa terjadi pada pasien post convulsion. Terapi dengan antiepilepsi dan suportif untuk kelemahan seluruh tubuh yang dialami.
Todd paralisis dapat memperngaaruhi kemampuan berbicara dan penglihatan.
Penyebab paralisis todd tidak diketahui. Teori lain menyebutkan kelainan dari korteks
motorik primer. Pemeriksaan dari seorang individu yang mengalani atau yang baru saja
mengalami kondisi ini dapat membantu dokter mengidentifikasi asal kejang. Hal ini
penting untuk membedakan kondisi dari suatu stroke yang membutuhkan perawatan
berbeda.
5. TRAUMA KAPITIS
Hematoma epidural : Perdarahan epidural terjadi diantara duramater dan tulang
tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena robekanya salah satu cabang arteria diploica.
Robekan ini sering akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai
adalah adanya suatu lucid interval ( masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran
menurun lagi), tensi yang semakin tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat,