Top Banner
HASIL KAJIAN Juli 2019 TATA RUANG, KEPASTIAN LAHAN DAN KONFLIK TUMBUKAN KLAIM LAHAN DI PULAU SUMATERA DAN KALIMANTAN: DI ANTARA TUNTUTAN PERTUMBUHAN EKONOMI, DINAMIKA KEBIJAKAN DAN LAJU INVESTASI BERBASIS LAHAN Bayu Wirawan, Susila Utama, Ika Rachmawati Suratno, Joihot Rizal Tambunan, Andhaman Muthadir, Wahyu Mulyana, Ivo Setiono, Arief Wicaksono, Suraya A. A.
28

HASIL KAJIAN TATA RUANG, KEPASTIAN LAHAN DAN … · yang berbeda yaitu kasus Pulau Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti dan kasus Blok C eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG)

Oct 19, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • HASIL KAJIAN

    Juli 2019

    TATA RUANG, KEPASTIAN LAHAN DAN KONFLIK TUMBUKAN KLAIM LAHAN DI PULAU SUMATERA DAN KALIMANTAN: DI ANTARA TUNTUTAN PERTUMBUHAN EKONOMI, DINAMIKA KEBIJAKAN DAN LAJU INVESTASI BERBASIS LAHAN

  • 2

    Penelitian Urban and Regional Development Institute (URDI) yang didukung oleh Conflict Resolution Unit - Indonesia Business Council for Sustainable Development (CRU-IBCSD) mencoba menyajikan gambaran bagaimana kebijakan tata ruang berkontribusi dalam proses terjadinya konflik, baik dengan memicu eskalasi konflik ataupun menumbuhkan benih-benih konflik yang dapat muncul di masa mendatang.

    Karena konflik berbasis lahan sangat kontekstual maka dipilih pendekatan studi kasus yang akan mempermudah pemahaman terhadap investasi berbasis lahan di suatu wilayah secara menyeluruh. Dua kasus dengan konteks konflik yang berbeda yaitu kasus Pulau Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti dan kasus Blok C eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kabupaten Pulang Pisau dipilih untuk ditelaah. Keterkaitan kebijakan tata ruang dan dinamika konflik lahan dan sumber daya alam ditelaah melalui analisa kronospasial. Penelaahan kedua kasus ini memberikan bukti empiris tentang keterkaitan antara pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit dengan proses penetapan aturan tata ruang dan potensi konflik yang disimpannya.

    Berikut adalah temuan-temuan dari penelaahan kedua kasus studi tersebut:

    • Proses penyelesaian rancangan RTRW yang berlarut-larut berpotensi menumbuhkan benih konflik terkait lahan karena menyebabkan kesimpangsiuran pedoman pemanfaatan lahan. Potensi konflik muncul karena proses pembangunan tidak dapat berhenti ketika proses penyusunan RTRW masih berlangsung. Hal ini ditemukan di Pulau Padang dimana perdebatan antara Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Pusat yang berlarut-larut menyebabkan dokumen RTRW tidak kunjung disepakati. Akhirnya peraturan RTRW yang lama digunakan sebagai pedoman berbagai pemanfaaatan lahan atas nama pembangunan. Pemanfaatan lahan tersebut berpotensi untuk berbeda dengan peruntukan lahan yang terdapat dalam RTRW yang baru.

    • Perubahan-perubahan pada RTRW memicu inkonsistensi peraturan terkait lahan, misalnya aturan pemberian izin HTI. Pada kasus studi Pulau Padang, inkonsistensi aturan perizinan HTI disebabkan karena perubahan ketentuan RTRW. Sebelum tahun 2013, RTRW merupakan dasar pemberian rekomendasi. Namun dalam aturan perizinan yang baru (setelah tahun 2013), RTRW dipertimbangkan sebagai dasar dalam pemberian rekomendasi namun keputusan akhir pemberian izin HTI berada pada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perubahan ini membuka kemungkinan inkonsistensi izin HTI yang dikeluarkan Menteri dengan arahan pemanfaatan lahan yang tertuang dalam RTRW. Kerumitan ditambah lagi dengan aturan bahwa Menteri tetap dapat memberikan izin HTI meskipun Pemerintah Daerah tidak memberikan rekomendasi. Sementara pada kasus lahan eks PLG Blok C penerapan aturan yang berpedoman pada RTRW baru skala provinsi berdampak pada kegiatan investasi penggunaan lahan skala besar yang sebelumnya mengacu pada RTRW provinsi yang lama.

    • Penyusunan RTRW secara top-down tanpa melalui proses paduserasi yang baik di tingkat lokal menyebabkan kebuntuan dalam proses penetapan RTRW. Pada kasus Blok C eks PLG, aspirasi pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak saling bertemu. Hal ini menyebabkan kepastian fungsi ruang menjadi semakin tidak menentu, sehingga pemanfaatan lahan skala besar yang tidak dapat ditinjau kesesuaiannya.

  • 3

    • Kebijakan tata batas daerah administratif yang belum terdefinisi hingga tuntas memperumit penerapan kebijakan tata ruang. Penetapan arahan pemanfaatan ruang akan terbentur sehingga berpotensi menimbulkan konflik, baik jangka pendek maupun panjang. Permasalahan tata batas yang bersinggungan dengan batas konsesi perusahaan memicu konflik antar desa di Pulau Padang. Sementara di kawasan blok C eks PLG, ketidak jelasan tata batas administrasi desa walaupun tidak sampai menimbulkan konflik namun menimbulkan kekecewaan pemerintah desa karena absennya kontribusi perusahaan ke desa.

    • Penyelesaian tata batas administratif desa secara partisipatif menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pemberian izin konsesi dilakukan. Dengan hal ini, aturan tata ruang dapat ditegakkan pada skala tapak. Penyelesaian tata batas administrasi desa juga secara tidak langsung menguatkan desa karena memiliki posisi tawar yang cukup terhadap perusahaan ketika terjadi konflik.

    Studi kasus ini menyediakan bukti empiris dari adanya potensi konflik yang muncul ketika proses penetapan tata ruang tidak tuntas. Pada kondisi demikian, muncul celah-celah kesempatan yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk melakukan koreksi maupun pembenaran akan tindakannya. Disinilah pentingnya suatu analisa pembacaan kasus konflik berbasis lahan yang memasukkan pandangan tata ruang untuk dapat membaca kasus secara menyeluruh dan karenanya dapat merancang penyelesaian kasus yang tuntas.

    Sementara itu tumbukan kebijakan perlu diselesaikan untuk menjamin penyelesaian konflik di tingkat tapak yang lebih langgeng. Penyelesaian konflik di tingkat tapak sering kali harus berkompromi dengan salah satu kebijakan namun tidak dapat diakomodasi oleh kebijakan lain, misalnya kebijakan tentang batas konsesi. Disini mediasi di tingkat kebijakan dapat dilakukan untuk menggerakkan para pemegang kebijakan dalam mencari solusi penyelesaian konflik yang lebih konstruktif.

    Untuk kembali menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, aturan tata ruang harus ditegakkan. Namun dalam penyusunannya dapat dipertimbangkan terobosan seperti penggunaan peta lahan yang menggambarkan keadaan nyata saat ini, termasuk mengakomodasi batas-batas definitif desa. Hal ini selain dapat mengurangi potensi konflik tata batas juga dapat menguatkan aturan tata ruang dan meningkatkan kewibawaan aturan tata ruang sebagai rujukan penggunaan lahan. Atas dasar yang sama pula, penting untuk memasukkan pengelolaan konflik dalam penyusunan RTRW.

    Kata kunci: konflik, resolusi konflik, pengelolaan konflik, mediasi, tata ruang, RTRW.

  • 4

  • 5

  • 6

    LATAR BELAKANGKonflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia merupakan puncak gunung es dari sejumlah masalah dan faktor penyebab lain yang tidak muncul di permukaan. Konflik lahan dan sumber daya alam khususnya terkait erat dengan permintaan lahan untuk perluasan industri berbasis lahan skala besar, seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang salah satunya mendukung industri kertas. Pada tahun 2016 saja terdapat 11,9 juta hektar lahan perkebunan sawit1 dan 4,9 juta hektar lahan yang diperuntukkan untuk HTI2. Perkembangan ini membuat Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia3

    dan menempati peringkat keenam dunia di industri kertas4. Kedua sektor ini kemudian menjadi penggerak utama roda pembangunan di Indonesia.

    Dukungan pemerintah melalui sektor perbankan diberikan dalam pengembangan investasi pada kedua sektor tersebut. Skema pengajuan kredit dipermudah terutama bagi pengusaha perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan hingga akhir 2016,8% pinjaman yang diberikan empat bank besar Indonesia senilai 12,5 juta dolar AS dikucurkan untuk mendukung sektor kelapa sawit5.

    Kebijakan negara dan daerah untuk mendukung para investor tampak jelas, misalnya melalui 16 jilid paket kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Paket kebijakan ini

    1 Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016, Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017: Kelapa Sawit. http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2017/Kelapa-Sawit-2015-2017.pdf

    2 http://industri.bisnis.com/read/20160203/99/515864/jokowi-kaget-hutan-industri-kalah-luas-dari-kebun-sawit. Jokowi Kaget Hutan Industri Kalah Luas dari Kebun Sawit (3 Februari 2016)

    3 https://kumparan.com/@kumparanbisnis/ri-masih-jadi-raja-sawit-dunia. RI Masih Jadi Raja Sawit Dunia (4 Februari 2017)

    4 http://bisnis.liputan6.com/read/2448844/menperin-industri-kertas-ri-duduki-peringkat-6-dunia. Menperin: Industri Kertas RI Duduki Peringkat 6 Dunia (1 Maret 2016)

    5 Aidenvironment, 2017, Nordic investments in banks financing Indonesian palm oil. https://fairfinanceguide.org/media/373743/2017-05-nordic-investments-in-banks-financing-indonesian-palm-oil-no.pdf

    menyederhanakan berbagai aturan yang mengurangi biaya operasional dengan tujuan untuk menguatkan iklim investasi dan menstimulasi masuknya investor-investor baru. Salah satunya dengan penyederhanaan perizinan dan memewajibkan daerah memiliki Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) guna mempermudah perizinan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun menggalang kerjasama dengan kementerian terkait untuk mensosialisasikan arahan ini.

    Dorongan pengembangan sektor industri kelapa sawit dan kertas kemudian mendorong permintaan lahan secara masif. Ekspansi pengembangan lahan perkebunan tidak dapat dihindari. Namun pada saat yang bersamaan, rezim tata ruang di Indonesia juga baru berkembang. Undang-undang tata ruang pertama baru terbit pada tahun 1992, yaitu UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini merupakan instrumen strategis pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan. Undang-undang ini mengamanatkan tersusunnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang.

    Secara hukum, kebijakan tata ruang Indonesia dapat mengatur pemanfaatan lahan. Namun proses penetapan RTRW terkadang memakan waktu cukup lama, terutama karena adanya proses penerjemahan RTRW tingkat nasional (RTRWN) ke RTRW tingkat provinsi (RTRWP) dan RTRW tingkat kabupaten (RTRWK) yang tidak mulus. Sering ditemui adanya benturan kepentingan dalam pembahasan pedoman tata ruang tersebut.

    Sementara itu, proses pembangunan harus tetap berjalan tanpa bisa menunggu penetapan pedoman tata ruang. Akibatnya, tingginya permintaan lahan untuk pengembangan industri berbasis lahan dengan skala besar tersebut

  • 7

    kerap tidak diimbangi oleh kepastian hukum dari penataan ruang. Pada keadaan ini, kebijakan tata ruang yang seharusnya menjadi salah satu pertimbangan dalam masalah perizinan menjadi kurang berwibawa.

    Adapun peraturan tata ruang yang ada masih bersifat normatif dan hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum sehingga hanya dapat berlaku pada ranah ideal. Penjabaran teknis berisi rencana rinci dan penjabaran taktis berisi aturan pengembangan khusus belum tersusun dengan baik. Karena sifatnya yang normatif maka aturan tata-ruang tersebut mengakibatkan adanya celah-celah pada rencana tata ruang yang kemudian dipahami secara subyektif oleh para pelaku yang menggunakannya. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan konflik karena perbedaan subyektif tersebut.

    Persoalan tata ruang di Indonesia juga sedikit banyak dipengaruhi oleh dasar penyusunan tata ruang. Pada saat ini, penyusunan tata ruang di Indonesia terutama hanya menggunakan data dan analisis tutupan lahan (land cover) yang bersumber dari data citra satelit yang tidak diikuti dengan proses pengecekan lapangan sehingga menjadi data penggunaan tanah (land use) pada berbagai level (tingkatan perencanaan). Itu semua terjadi karena tidak tersedianya peta penggunaan tanah dengan berbagai skala disertai dengan meningkatnya penggunaan citra satelit sebagai data input. Padahal hasil (makna) sangat berbeda6 antara peta penggunaan tanah dengan peta dari citra satelit. Sebagai contoh, tutupan lahan suatu kawasan adalah hutan akan tetapi penggunaannya bisa sebagai sebagai kawasan pariwisata, sehingga sangat jelas secara aktivitas dan dampak yang ditimbulkan juga akan berbeda. Akibatnya, RTRW tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Dampaknya terlihat jelas ketika terjadi peningkatan permintaan lahan untuk industri berbasis lahan skala besar.

    6 Wawancara tanggal 12 Maret 2018 dengan Roos Akbar, Guru Besar Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan – Institut Teknologi Bandung.

    Seringkali ditemui kasus dimana Pemerintah mengalokasikan izin investasi berbasis lahan kepada investor di wilayah yang sebenarnya telah dikelola oleh warga masyarakat.

    Penggunaan analisa tutupan lahan tanpa diikuti pengecekan lapangan juga mempengaruhi kecenderungan permintaan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan status Area Penggunaan Lain (APL) yang lebih luas dari porsi kawasan hutan di wilayahnya. Hal ini memicu kekisruhan proses penyusunan RTRW dan menjadi sumber ketegangan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, terutama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada sisi lain, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) belum dapat berperan optimal untuk menjembatani adanya kekisruhan ini karena ketiadaan kuasa Kementerian ATR untuk mengatur penetapan kawasan hutan. Kekisruhan akibat tumpang tindih antara penetapan fungsi dan pemanfaatan kawasan hutan menyebabkan lebih dari 350 ribu hektar hutan alam lenyap, disertai munculnya lebih dari 1000 konflik pada periode 2013-2017 di delapan provinsi di Indonesia7. Kekacauan tata kelola hutan dan lahan terbukti menjadi sumber konflik baru.

    Terlihat jelas bahwa terdapat hubungan cukup erat antara pengembangan investasi skala besar berbasis lahan dengan inkonsistensi pengaturan tata ruang dan potensi kejadian konflik lahan dan sumber daya alam pada berbagai skala. Berdasarkan situasi ini, Urban and Regional Development Institute (URDI) dengan dukungan Conflict Resolution Unit (CRU) – Indonesian Business Council for Sustainable Development (IBCSD) melakukan kajian tentang hubungan ekstensifikasi investasi berbasis lahan dengan ketidakpastian dan kesimpangsiuran kebijakan terkait penataan ruang yang berkontribusi terhadap terjadinya konflik.

    7 Forest Watch Indonesia, 2018, Silang Sengkarut Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia. http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2018/03/Dummy_15Maret2018_Silang_Sengkarut.pdf

  • Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1982 yang menjadi kebijakan awal kehutanan di Indonesia. Kebijakan ini kemudian menjadi salah satu pemicu kesimpangsiuran tata guna lahan pada kawasan hutan;

    Undang-UndangUndang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang menjadi titik awal evolusi kebijakan penataan ruang Indonesia menuju pengembangan wilayah yang mawas akan keberlanjutan lingkungan; dan

    PergeseranPergeseran politik nasional menuju era Reformasi tahun 1998, yang mengubah lanskap politik Indonesia dan mendorong terjadinya desentralisasi besar-besaran dan otonomi daerah disertai restrukturisasi perekonomian untuk mendorong mesin pertumbuhan ekonomi berbasis lahan.

  • 9

    TEMUAN STUDIStudi kasus Pulau PadangGambaran konflikKonflik terbuka di Pulau Padang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan pemegang konsesi HTI dan juga antara desa dengan perusahaan serta antar desa. Konflik ini bersumber dari tumbukan klaim atas batas-batas lahan yang dipertahankan oleh masing-masing pihak. Perusahaan mengklaim batas lahan berupa konsesi sesuai izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sementara itu, masyarakat dan desa yang lahannya masuk dalam areal konsesi mengklaim bahwa mereka sudah tinggal dan mengelola lahan tersebut sejak lama serta berpegang pada peta yang diterbitkan sebelum adanya konsesi.

    Aksi masyarakat dan organisasi masyarakat dalam menolak keberadaan perusahaan berlangsung lewat aksi-aksi moderat hingga ekstrem seperti demonstrasi, penghadangan, sabotase, stempel darah, jahit mulut, hingga ancaman bakar diri. Aksi tidak hanya dilakukan di Pulau Padang, tetapi juga di Selat Panjang, Pekanbaru, dan Jakarta.

    Penelusuran dokumen dan informasi di lapangan menemukan bahwa kasus di Pulau Padang bermula dari terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. SK.327/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 130/Kpts-II/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri pada 12 Juni 2009. Berdasarkan Kepmenhut tersebut, perusahaan pemegang konsesi HTI penambahan areal HTI dari semula seluas 235.140 hektar menjadi 350.167 hektar. Dari jumlah tersebut, 41.205 hektar berada di Pulau Padang. Berpedoman pada SK tersebut, perusahaan mulai melakukan berbagai kegiatan seperti mengundang perwakilan warga, melakukan sosialisasi, memasukkan alat berat, membangun dermaga, dan lainnya.

    Bersamaan dengan ini, penolakan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan mulai berlangsung bersama dengan Serikat Tani Riau (STR), dan organisasi masyarakat lainnya. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) kemudian melaporkan mantan Menhut ke KPK terkait izin perusahaan8. Aksi penolakan di lapangan makin sering dilakukan, masyarakat melangsungkan 64 aksi sejak 26 Agustus 2009 hingga 8 Januari 20129.

    8 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/lingkungan/09/12/10/94856-walhi-akan-laporkan-ms-kaban-ke-kpk (10 Desember 2009)

    9 https://madealikade.wordpress.com/2012/07/10/kronologis-kasus-pulau-padang-4/

  • 10

    Ketidaksesuaian peruntukkan ruang berdasarkan RTRW dengan kondisi tutupan lahanSementara itu terlepas dari dikeluarkannya perizinan oleh Kementerian Kehutanan, wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti termasuk di dalamnya wilayah Pulau Padang, masih dalam proses paduserasi RTRW. Hanya RTRWN yang saat itu telah disahkan peraturannya yaitu melalui PP No. 26 Tahun 2008 jo PP No. 13 tahun 2017 tentang RTRWN. Sementara itu RTRWP Riau dan RTRWK Kepulauan Meranti masih dalam proses penyusunan. Berlarutnya proses penyusunan disebabkan karena besarnya ketidaksesuaian peruntukkan ruang dalam RTRWN, baik terhadap usulan RTRWP Riau maupun terhadap usulan RTRWK Kepulauan Meranti. Kondisi ini juga diperumit pula dengan ketidaksesuaian peruntukan ruang dengan kondisi tutupan hutan Pulau Padang.

    Peruntukkan ruang pulau Padang menurut RTRWN adalah kawasan lindung sebanyak 94,7% dari luas seluruh Pulau Padang dan sisanya merupakan kawasan budidaya (5,3%) dikarenakan merupakan peruntukan kawasan gambut yang harus dilindungi. Namun pada draf RTRWP Riau tahun 2013, peruntukkan ruang di Pulau Padang adalah untuk hutan produksi terbatas sebesar 62,4%, hutan produksi

    konversi sebesar 5,4%, kawasan konservasi sebesar 4,6%, perkebunan rakyat sebesar 6,3% dan peruntukan lainnya sebesar 3,6%. Sementara itu draf RTRWK Kepulauan Meranti 2017 menunjukkan bahwa peruntukan ruang di Pulau Padang terdiri dari kawasan pertanian lahan basah, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan lindung gambut, kawasan suaka alam, hutan mangrove, permukiman, dan lainnya.

    Sementara itu peta tutupan lahan tahun 2015 menunjukkan bahwa tutupan lahan kawasan hutan di Pulau Padang tinggal tersisa sebesar 38,5% dari luas keseluruhannya (lihat gambar 1 dan 2). Sebagian besar wilayahnya telah berubah dari kawasan hutan menjadi belukar, perkebunan, pertanian dan permukiman. Dari sini, terlihat bahwa pemanfaatan ruang di Pulau Padang tidak sesuai, baik dengan arahan pengaturan pola ruang oleh Pemerintah dan keadaan tutupan lahan. Hal serupa juga ditemui ketika dilakukan padu serasi antara peta tutupan lahan dengan draf RTRWP Riau maupun draf RTRWK Kepulauan Meranti. Ditemui ketidaksesuaian dengan derajat yang berbeda-beda.

    Gambar1. Peta Tutupan Lahan Pulau Padang 1995 Gambar2. Peta Tutupan Lahan Pulau Padang 2015

  • 11

    Perizinan HTI tidak sesuai peruntukkan lahannyaTerkait dengan perizinan HTI di Pulau Padang, peruntukan ruang untuk konsesi HTI, yaitu hutan produksi tetap, hampir tidak terakomodasi di semua tingkatan RTRW. Jika peta Lampiran SK 327/Menhut-II/2009 ditumpangtindihkan dengan Peta Lampiran VII PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, konsesi HTI di Pulau Padang berada pada kawasan lindung dan budidaya. Sementara berdasarkan Perda Provinsi Riau No. 10 Tahun 1994 tentang RTRWP Riau, areal konsesi HTI di Pulau Padang berada pada arahan pemanfaatan kawasan hutan, arahan pemanfaatan kawasan perkebunan, dan kawasan lindung. Sementara itu, berdasarkan Perda Kabupaten Bengkalis No. 19 Tahun 2004 tentang RTRWK Bengkalis (Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan hasil pemekaran kabupaten Bengkalis), areal konsesi HTI di Pulau Padang berada di kawasan lindung dan budidaya. Areal konsesi HTI di Pulau Padang juga tidak konsisten dengan kawasan hutan (TGHK) 1986. Peruntukan kawasan berdasarkan TGHK tersebut yaitu untuk suaka alam, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi konversi.

    Upaya perbaikan keterlanjuran perizinan dilakukan dengan merevisi SK 327/Menhut-II/2009 dengan SK 180/Menhut-II/2013. Dalam SK ini, Desa Mengkirau, Desa Bagan Melibur, dan sebagian Desa Lukit dikeluarkan dari areal konsesi HTI sehingga luas areal yang baru menjadi sekitar 32.000 hektar. Meskipun demikian, penggunaan lahan untuk HTI di Pulau Padang masih tidak konsisten dengan RTRW. Berdasarkan RTRWN 2017 (PP No. 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN), konsesi HTI di Pulau Padang 100% berada di kawasan gambut.

    Inkonsistensi penggunaan lahan dengan RTRW terkait dengan potensi konflik.Inkonsistensi penggunaan lahan memicu tidak hanya konflik antara masyarakat dan perusahaan, namun juga konflik antar desa. Saat beroperasi, perusahaan juga berpedoman pada Surat Kesepakatan Bersama No. 001/PPD-KM/X/2011 tentang Pengelolaan HTI di Pulau Padang. Berdasarkan data perusahaan, areal konsesi yang tumpang tindih dengan lahan masyarakat per 31 Desember 2011 terdiri dari lahan atas 12 nama/kelompok tani dengan luas 10.014 hektar. Dari luas total tersebut, konflik atas lahan 8.995 hektar sudah diselesaikan dan 1.019 hektar masih dalam proses penyelesaian10. Namun demikian, terdapat juga lahan yang diklaim milik masyarakat namun tidak masuk dalam areal yang diklaim tumpang tindih oleh perusahaan.

    Konflik antara desa dengan perusahaan di Pulau Padang terjadi karena persoalan batas administrasi desa yang belum jelas. Hal ini dikarenakan pemetaan partisipatif yang dilakukan perusahaan pada tahun 2012 tidak dilakukan dengan benar. Beberapa kawasan yang tidak masuk dalam areal konsesi ternyata dimasuki oleh perusahaan, seperti yang terungkap ketika warga masyarakat melakukan pengecekan tapal batas antara Kelurahan Teluk Belitung dengan Desa Bagan Melibur dan Desa Lukit, dan menemukan bahwa hutan yang ada di Kelurahan Teluk Belitung sudah ditebang perusahaan11. Kelurahan Teluk Belitung tidak masuk dalam areal konsesi pada awalnya.

    Konflik antar desa tentang tapal batas juga terjadi di Pulau Padang. Konflik diawali saat Menhut merevisi SK 327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh Desa Mengkirau dan Desa Bagan Melibur serta sebagian Desa Lukit

    10 Tim Mediasi. 2012. Laporan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.

    11 Harian online Metroterkini, 18 Oktober 2014, Pemetaan Partisipatif Bermasalah, Perusahaan HTI Babat Hutan Teluk Belitung

  • 12

    dari areal konsesi melalui SK 180/Menhut-II/2013. Namun pada saat itu, peta yang dikeluarkan oleh Kemenhut dan menjadi pedoman oleh perusahaan berbeda dengan peta yang dijadikan acuan bagi masing-masing desa. Desa Lukit berpegang pada peta tahun 1980, sedangkan Desa Bagan Melibur berpegang pada peta tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Pemkab Bengkalis12. Meskipun masih ada ketidakjelasan tentang tapal batas desa, perusahaan tetap melakukan land clearing di wilayah yang diklaim oleh masing-masing desa tersebut13. Saat ini Desa Mengkirau sudah tidak ada konflik dengan perusahaan14, tetapi Desa Bagan Melibur dan Desa Lukit masih terlibat konflik dengan perusahaan dan konflik antar kedua desa itu sendiri.

    Berbagai pihak seperti dari Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti dan Badan Restorasi Gambut (BRG) sudah memfasilitasi penyelesaian tapal batas kedua desa, namun persoalan tersebut belum juga terselesaikan. Hal ini ditengarai terjadi karena adanya beberapa kepentingan atas wilayah yang disengketakan, seperti persepsi bahwa hal itu akan mengurangi bantuan perusahaan ke desa akibat luas desa berkurang15 dan adanya kelompok warga yang memang memanfaatkan situasi tersebut16.

    Dari konflik yang terjadi seperti dijelaskan di atas, terlihat bahwa kejelasan tapal batas administrasi desa mempunyai pengaruh yang signifikan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang terjadi.

    12 http://mediacenter.riau.go.id/read/4321/meranti-bentuk-tim-penyelesaian-tapal-batas-d.html

    13 Harian Online Selatpanjangpos.com, 11 September 2016, Audiensi Konflik dengan Perusahaan HTI, Masyarakat Desa Bagan Melibur Merasa Kecewa

    14 Wawancara tanggal 7 Desember 2017 dengan Kepala Desa Mengkirau.

    15 Wawancara tanggal 5 Desember 2017 dengan Sekjend JMGR.

    16 Wawancara tanggal 7 Februari 2018 dengan perwakilan LSM Hakiki.

    Analisa kronospasial dalam membaca dinamika aktor terlibat konflikAktor yang terlibat dalam konflik di Pulau Padang sangat dinamis. Posisi aktor dalam konflik dalam studi ini terbagi tiga kelompok, yaitu aktor yang pro, aktor kontra, dan aktor antara pro/kontra (netral/abu-abu) terhadap adanya konsesi HTI.Perubahan keberpihakan aktor dari pro menjadi kontra ataupun sebaliknya terjadi seiring dengan penerbitan kebijakan hingga pergantian kepemimpinan baik di daerah maupun pusat.

    Jika ditelaah lebih mendalam, aktor yang konsisten pro terhadap konsesi HTI umumnya adalah aktor pemerintah. Aktor tersebut berada di tingkat lokal, provinsi dan pusat. Keterlibatan aktor ini terutama terkait dengan perizinan yang memang menjadi kewenangannya. Aktor tersebut antara lain Menteri Kehutanan yang mengeluarkan SK 327/Menhut-II/2013 dan SK 180/Menhut-II/2013, Gubernur Riau dan Wakil Bupati Bengkalis yang memberikan rekomendasi izin HTI perusahaan di Pulau Padang.

    Sementara itu, aktor yang konsisten kontra terhadap adanya konsesi HTI di Pulau Padang umumnya berasal dari masyarakat, organisasi masyarakat (ormas), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keberadaan aktor tersebut hanya di tingkat lokal dan provinsi. Keterlibatan aktor masyarakat lebih berkenaan dengan upaya mempertahankan areal/wilayah yang menjadi tumpuan hidupnya. Sedangkan keterlibatan aktor dari ormas dan LSM terkait upaya-upaya kampanye penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Adapun aktor netral/abu-abu umumnya adalah politisi di tingkat lokal dan juga di pusat. Peran aktor yang abu-abu ini sulit dibuktikan namun pengaruhnya dalam konflik sangat besar. Aktor tersebut misalnya anggota DPR RI dan DPD RI. Perubahan keberpihakan yang mencolok terjadi pada STR (Serikat Tani Riau).

    Dinamika perubahan posisi aktor terkait konflik Pulau Padang dapat dilihat pada gambar berikut.

    Gambar3. Diagram kronospasial konflik lahan dan SDA dan dinamika aktor di Pulau Padang

  • Tahun Tahun perubahan politik nasionalPertukaran aktor

    Pro HTI Kontra HTI Antara pro dan kontra

    1896Kepmenhut 173/kpts-II/1986 TGHK Provinsi Riau [APL:2,07%]

    1994 Perda 10/1994 RUTR Provinsi Riau [APL: 5,82%]

    Surat Gubernur Riau 050/Bappeda/56.10 Usulan penambahan kawasan bukan hutan seluas 3,53 juta ha

    SK Menhut 7651/Menhut-VII/KUH/2011 Penetapan Kawasan Hutan Riau seluas 7,12 juta ha [APL: 21%]

    Rekomendasi pelepasan kawasan hutan oleh Timdu seluas 2,74 juta ha dari usulan provinsi seluas 3,53 juta ha [APL: 21,01%]

    SK Menhut 673/Menhut-II/2014 Akomodasi usulan Timdu seluas 1,64 juta ha

    Ombudsman merekomendasikan perubahan SK 673 dan SK 878 untuk mengakomodir permukiman dan fasum

    31 Maret Draft KLHS RTRW Provinsi diajukan ke KLHK 17 April Draft KLHS RTRW Provinsi telah divaliadasi oleh

    KLHK dan dievaluasi Kemendagri8 Mei Perda 10/2018 RTRW Provinsi Riau [APL: 40,17%]

    2001 Draft Revisi RUTR Prov. Riau [APL: 52,75%]

    2003 SE Menhut 404/Menhut-II/03 Kawasan Hutan harus mengacu TGHK [APL: 2,07]

    SK Menhut 410/Menhut-VII/2009 Pembentukan Timdu Kehutanan

    DPRD Riau mensahkan Raperda RTRW Riau [APL: 37,48%] dan [Outline: 4,49%]

    Menteri LHK menolak RTRW Provinsi Riau karena belum mengakomodasi PP Gambut serta belum memiliki KLHS

    SK Menhut 878/Menhut-II/2014 Kawasan Hutan Provinsi Riau [APL: 37,7%]

    SK Menteri LHK 314/MenLHK/SETJEN /PLA.2/4/2016 Pelepasan Kawasan Hutan tidak berkategori DPCLS seluas 65 ribu ha

    SK Menteri LHK 903/MenLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 Kawasan Hutan Provinsi Riau [APL: 40,17%]

    1994Surat Mendagri 474/1994 – RUTR perlu ditinjau ulang disertai proses padu Serasi

    1998 SK Gub. Riau 105.1/III/1998 tidak mengakui padu serasi dan tetap pada Perda RUTR 1994

    2012

    2018

    WargaP Padang

    STR

    2005• Badan perjuangan Meranti

    dibentuk• Pelantikan Bupati Bengkalis• Bupati Bengkalis

    rekomendasikan izin perluasan HTI

    2000-2003

    1980an

    2007• Gubernur Riau terbitkan izin

    lingkungan perlusasan HTI

    2009• Menhut terbitkan izin

    perluasan HTI• Pj. Bupati Meranti minta izin

    HTI ditinjau ulang• Aksi masyarakat & LSM mulai

    muncul

    2011• Menhut membentuk tim mediasi• Perusahaan memobilisiasi alat

    berat• Aksi masyarakat memuncak

    2013• Perusahaan kembali beroperasi• Aksi masyarakat menurun• Menhut revisi izin HTI

    2015• Perusahaan tanam perdana

    tanaman kehidupan• Aksi masyarakat kembali

    meningkat

    2017• Perusahaan gugat KHLK• KLHK Tolak RKU perusahaan• Aksi masyrarakat menurun

    2004• RTRW Bengkalis disahkan• Menhut terbitkan SK

    perubahan izin HTI tahun 1997

    • Gubernur Riau rekomendasikan izin perluasan HTI

    1990an

    2006• Gubernur Riau terbitkan

    izin lingkungan perlusasan HTI

    2008• Gubernur dan DPRD Riau

    setuju pembentukan Kab. Meranti

    • Kab. Kepulauan Meranti terbentuk

    • Pelantikan Bupati Meranti • Perusahaan persiapan

    operasi• Aksi masyarakat makin

    meningkat

    • Bupati rekomendasikan revisi izin HTI

    • Operasional perusahaan dihentikan

    • Aksi masyarakat tetap tinggi

    • Dirjen instruksikan penyelesaian konflik lahan

    • Perusahaan beroperasi• Aksi masyarakat kembali naik

    • Perusahaan ajukan pembatalan keputusan KLHK

    • Perusahaan dapat persetujuan RKU

    • Perusahaan halangi sidak BRG

    • KLHK hentikan sementara operasi perusahaan

    • Aksi masyarakat menurun

    Menhut

    Gubernur

    Kadishut

    WagubBengkalis

    Gubernur

    Gubernur

    KabaplanBappeda Riau

    Menhut

    Pj. Bupati Meranti

    Kadishut

    Walhi

    JikalahariKades diP Padang

    Camat

    Kades

    Gubernur

    Pj. Dishut Warga& Kades

    Walhi

    BupatiMeranti

    Anggota DPR RI

    Komisi A&BDPRD RiauDPRD Meranti

    MenhutJMGR Ketua DPR

    Warga P Padang

    STR

    Rumah Pohon

    Anggota DPRD

    Menhut

    Gubernur

    KadishutMeranti

    Camat

    Ketua Apindo

    Anggota DPR RIKoperasiJTS

    Warga

    Forum Kades

    KadishutMeranti

    MenhutWalhi

    Jikalahari

    LaskarAlam

    RumahPohon

    KadesBupati Meranti

    KLHK

    Warga

    JMGR

    Perusahaan HTI

    Kades

    KadishutMeranti

    Warga

    JMGR

    Ketua BRG

    SekjenKLHK

    Gubernur

    MenLHK

    Sekjen KLHK

    RAPP

    WargaP PadangJMGR

    Dirjen BUK

    Anggota DPRDDKNI

    MenLHKRAPP

    2010

    2014

    2016

  • 14

    Studi kasus Blok C Eks PLG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan TengahGambaran konflikSecara karakteristik, terdapat dua tipologi utama konflik di kawasan ini: pertama, konflik tentang kebijakan penetapan kawasan hutan; dan kedua, konflik antara perusahaan perkebunan besar kelapa sawit dengan desa-desa dimana kawasan perkebunan tersebut berada.

    Konflik kebijakan penetapan kawasan hutan terjadi antara perusahaan perkebunan, pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat (khususnya KLHK). Perubahan penetapan kawasan hutan oleh KLHK menyebabkan investasi perusahaan perkebunan yang disetujui oleh Pemda Kabupaten Pulang Pisau saling tumpang tindih di kawasan hutan produksi sejak tahun 2006. Dalam situasi ini, dinamika kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan dianggap sebagai faktor penghambat keberlangsungan usaha. Perubahan juga menyebabkan adanya fenomena keterlanjuran penerbitan izin investasi yang tidak sesuai dengan pola tata ruang.

    Pada konflik antara perusahaan dengan desa, ada dua hal yang muncul, yaitu ketidakjelasan batas wilayah dan dampak negatif keberadaan perusahaan terhadap kehidupan masyarakat. Warga masyarakat, termasuk beberapa aparat desa, yang ditemui tidak mengetahui luas wilayah konsesi perusahaan yang masuk dalam wilayah administrasi desa mereka. Hal ini juga berkaitan dengan belum selesainya penegasan tata batas desa oleh pemerintah17. Sementara itu dampak negatif keberadaan perusahaan

    17 Wawancara dengan Kepala Desa Cemantan, Kepala Desa Papuyu III Sei Pudak dan diskusi dengan warga Desa Sei Hambawang (Februari 2018)

    mulai dikeluhkan oleh masyarakat. Menurut warga masyarakat, keberadaan perusahaan perkebunan telah mengganggu sumber daya alam mereka, khususnya bagi warga masyarakat yang sumber hidupnya masih mengandalkan sumber daya alam (misalnya perikanan darat tradisional dan pertanian musiman). Warga masyarakat mengeluhkan proses ekspansi luas perkebunan dan bahwa penggunaan pupuk kimia oleh perusahaan telah merusak sistem tata air, mengancam kehidupan hewan liar, serta juga memunculkan hama yang menurunkan produktivitas ekonomi masyarakat desa.

    Selain dampak ekologis tersebut, beberapa anggota masyarakat yang bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit mulai mengeluhkan penurunan upah karena adanya perubahan sistem pembayaran oleh perusahaan. Pada saat awal perusahaan beroperasi, perhitungan upah didasarkan pada hari kerja namun pada saat ini didasarkan atas target jumlah tandan buah segar kelapa sawit yang dipanen.

    Di kawasan eks PLG blok C ini, konflik terbuka memang belum terjadi. Ruang hidup masyarakat yang terkonsentrasi di kawasan pesisir sungai dan pantai masih berjauhan dengan ruang operasi perusahaan kelapa sawit. Akan tetapi, ekspansi perusahaan pada suatu saat akan bersinggungan dengan ruang hidup masyarakat desa. Apabila hal ini tidak dikelola dengan baik sejak awal, ledakan konflik dikhawatirkan tidak terelakkan pada masa mendatang.

  • 15

    Tumpukan kebijakan pada kawasan Blok C eks PLGKarena nilai ekologis dan ekonominya, kawasan Blok C eks PLG terbebani oleh tumpang-tindih kebijakan, yaitu kebijakan TGHK 1982, RTRWP Kalimantan Tengah 2003, RTRWP Kalimantan Tengah 2015 dan draf RTRWK Kabupaten Pulang Pisau 2017. Dalam dinamika kebijakan ini, luasan Areal Penggunaan Lain (APL) di atas kawasan gambut menjadi salah satu sumber perdebatan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Inkonsistensi rencana pola ruang pada RTRW Provinsi Kalimantan Tengah menjadi faktor pendorong terjadinya konflik lahan di Kawasan Blok C eks PLG saat ini.

    TGHK 1982 menetapkan pola ruang kawasan Blok C eks PLG sebagai kawasan hutan yang secara spesifik terdiri atas hutan produksi (HP) dan hutan yang dapat dikonversi (HPK). Berdasarkan ketentuan ini, tidak terdapat penetapan areal penggunaan lain (APL) di Kawasan Blok C eks PLG.

    Pada penetapan RTRWP Kalimantan Tengah 2003, ditetapkan peruntukkan APL untuk areal transmigrasi dan Kawasan Pengembangan

    Produksi (KPP). Penetapan ini tidak mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat sehingga menyebabkan ketidakpastian tata ruang di wilayah tersebut.

    Pada tahun 2015, terbit RTRW Provinsi yang cenderung menguatkan peran sektor kehutanan dengan menetapkan peruntukkan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Namun RTRW Provinsi Kalimantan Tengah 2015 ini mulai mempertimbangkan keterlanjuran pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan pola tata ruang. Untuk menjembatani keterlanjuran tersebut, RTRW 2015 kemudian mengusulkan kawasan outline atau kawasan budidaya dalam kawasan hutan hingga ditetapkannya kebijakan baru. Beberapa keterlanjuran yang terpetakan dalam RTRW Provinsi 2015 di Kawasan Blok C eks PLG adalah adalah Ruang Kelola Masyarakat, Kawasan Pertanian, Kawasan Perkebunan, Kawasan IUPHHK, serta Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum).

    Inkonsistensi rencana pola ruang masing-masing RTRW provinsi inilah yang ditengarai menjadi faktor pendorong terjadinya konflik lahan di Kawasan Blok C eks PLG saat ini.

    Gambar4. Penetapan Pola Ruang Kawasan Blok C eks PLG berdasar TGHK 1982 (kiri), RTRWP 2003 (tengah) dan RTRWP 2015 (kanan).

  • 16

    Perbedaan kepentingan dalam penyusunan RTRWK Pulang PisauDi luar itu, RTRW Kabupaten Pulang Pisau yang telah disetujui pemerintah pusat pada tahun 2012 tidak kunjung disahkan dalam Peraturan Daerah hingga akhir 2017 karena masih ada perbedaan pendapat tentang penetapan kawasan hutan APL di kabupaten antara pemerintah kabupaten dengan DPRD kabupaten. Pemerintah kabupaten mengajukan APL seluas 17% disertai adanya outline untuk kawasan yang masih tumpang tindih, sementara DPRD kabupaten menginginkan adanya ketegasan APL (tanpa ada outline) dengan luasan sebesar 40% dari luas kabupaten18.

    Namun jika ditelisik, terdapat perbedaan notasi dalam outline kawasan budidaya dalam kawasan hutan antara draf RTRW Kabupaten dengan RTRW Provinsi Kalimantan Tengah 2015. RTRW kabupaten mengarahkan pengembangan kegiatan perkebunan dimana pada saat ini kawasan tersebut telah berkembang menjadi Perkebunan Besar Kelapa Sawit, sementara RTRW Provinsi menetapkan outline kawasan tersebut sebagai kawasan IUPHHK, yang berarti berfungsi untuk kegiatan budidaya di bidang kehutanan.

    Analisis Konsistensi Penggunaan Lahan dengan RTRWIzin konsesi perkebunan kelapa sawit pada dasarnya hanya dapat diberikan pada kawasan APL. Namun dalam penerapannya di lapangan, karena adanya benturan kepentingan, aturan ini tidak diindahkan. Berdasarkan aturan RTRWN dan RTRWP Kalimantan Tengah, izin konsesi perkebunan kelapa sawit tidak sesuai. Namun hal ini tertolak belakang dengan aturan berdasarkan RTRWK Pulang Pisau dimana terdapat arahan untuk perkebunan besar kelapa sawit.

    Terdapat dua blok konsesi dengan tujuh perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit di kawasan ini, yaitu konsesi di bagian selatan dan di bagian tengah. Konsesi di bagian selatan merupakan konsesi terbesar yang dimiliki oleh

    18 Wawancara dengan Kepala Seksi Tata Ruang, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Pulang Pisau (Desember 2017)

    sebuah grup yang mencakup empat perusahaan. Konsesi milik grup ini pada draf RTRWK Pulang Pisau 2017 dimasukkan dalam kawasan budidaya dalam kawasan kehutanan untuk perkebunan, namun peruntukan perkebunan ini tidak sesuai dengan penunjukan kawasan hutan dalam SK No. 529/Menhut-II/2012 yang kemudian diadopsi dalam RTRW Provinsi tahun 2015 yang menunjukkan kawasan tersebut adalah kawasan hutan produksi.

    Hasil analisa juga menemukan adanya lompatan perizinan yang dilakukan oleh grup ini dimana izin lokasi dikeluarkan setelah Izin Usaha Perkebunan (IUP). Berdasarkan Permen Pertanian No. 98 Tahun 2013, IUP seharusnya diberikan setelah diperolehnya izin lokasi. Bahkan persetujuan AMDAL sebagai izin lingkungan dari Gubernur Kalimantan Tengah ditengarai tidak dimiliki oleh perusahaan yang masuk dalam grup ini.19

    Pada Blok C Juga terdapat dua perusahaan lain yang memiliki konsesi selain empat perusahaan yang tergabung dalam satu grup sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, hanya saja kedua perusahaan ini tidak beroperasi karena masih belum dapat menyelesaikan proses pembebasan lahan ataupun faktor lainnya.

    Temuan lain pada penelusuran peta daring BPN per Maret 2018 menunjukkan tidak ada satu pun perusahaan di kawasan Blok C eks PLG memiliki izin HGU. Pada kasus blok konsesi yang berada di tengah, hal ini mungkin terjadi karena kedua perusahaan tersebut masih dalam tahap pengurusan HGU karena lokasinya berada di kawasan APL. Namun pada blok konsesi di bagian selatan yang ternaungi dalam satu grup besar, terdapat kemungkinan BPN tidak dapat memproses sertifikasi HGU bagi empat perusahaan di bawah satu grup besar ini karena lokasi mereka berada di kawasan hutan produksi (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 529/Menhut-II/2012 dan RTRWP 2015). Keluarnya moratorium perizinan pada lahan gambut juga faktor penguat bagi BPN untuk tidak dapat mengeluarkan sertifikat HGU.20

    19 https://www.telapak.org/wp-content/uploads/2013/10/menguji_hukum.pdf

    20 http://kalteng.prokal.co/read/news/33136-bpn-benarkan-7-pbs-di-kapuas-dan-pulang-pisau-tak-kantongi-hgu.html

  • 17

    Pada dasarnya, perkebunan kelapa sawit tidak boleh berada di dalam hutan produksi. Namun hal ini banyak ditemui di beberapa wilayah. Pemerintah kemudian mengusulkan jalan tengah atas terjadinya keterlanjuran ini dengan menerbitkan PP No. 60 Tahun 2012 pada 6 Juli 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Fungsi dan Kawasan Hutan. PP ini memberikan kesempatan pada perusahaan perkebunan sawit di kawasan hutan produksi untuk mengurus tukar guling lahan pengganti. Namun pada kasus di kabupaten Pulang Pisau dan bahkan Provinsi Kalimantan Tengah, hal ini tidak dapat dilakukan setelah ditetapkannya kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 529 Tahun 2012. Pengurusan pinjam pakai kawasan hutan juga menjadi masalah tersendiri karena klausul ini hanya diperbolehkan untuk pertanian yang berkepentingan dengan ketahanan energi sementara grup perusahaan yang berada di Blok C lebih berfokus pada industri non energi.

    Berdasarkan RTRW Provinsi, keberadaan usaha grup ini menjadi tidak sah. Ketika tawaran tukar guling lahan sulit dilakukan, hanya tersisa dua kemungkinan pilihan yaitu memberikan kesempatan untuk satu daur tanaman yang berarti modifikasi PP No. 60 Tahun 201221 atau menghentikan kegiatan perkebunan22. Penghentian kegiatan yang berdampak pada penggantian biaya yang tentu harus ditetapkan melalui pembicaraan antara pemerintah dan perusahaan terkait.

    Pada tingkat tapak, tim peneliti menemukan keberadaan konsesi grup di bagian selatan berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Bahkan grup ini tidak melaksanakan kewajiban pengembangan perkebunan plasma yang disyaratkan Permen Pertanian No. 98 Tahun 2013 dengan alasan bahwa ketika mulai berusaha mereka masih mengacu pada Kepmen Pertanian No.  357 Tahun 2002 (yang tidak mensyaratkan hal tersebut).

    21 Diskusi dengan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah

    22 Wawancara tanggal 29 Januari 2018 dengan Bapak Humala Pontas Pangaribuan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah

    Tapal batas yang tidak jelas berpotensi menyulut konflikSementara itu masyarakat juga berada pada posisi tawar yang rendah terhadap perusahaan karena belum jelasnya penetapan tata batas desa, termasuk yang berbatasan atau terkena dengan konsesi perusahaan. Sejumlah Kepala Desa23 menyebutkan bahwa tidak ada masalah pada tata batas antar desa secara umum, tapi tata batas desa dengan konsesi perkebunan belum jelas. Muncul kekeliruan pemahaman bahwa wilayah administrasi desa berbatasan dengan konsesi perkebunan, sementara pada kenyataannya konsesi perkebunan seharusnya masuk dalam wilayah administrasi desa.

    Ketidakjelasan tata batas administasi desa (yang seharusnya ditegaskan pemerintah) membuat hak dan kewajiban masyarakat dan perusahaan menjadi bias. Menilik pengalaman PT. Uni Primacom di Kabupaten Kotawaringin Timur, kejelasan tata batas administrasi desa sangat melindungi usaha perusahaan24. PT. Uni Primacom bahkan turut memfasilitasi pembuatan peta batas administrasi desa yang kemudian diakomodasi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur. Pemda sangat mengapresiasi upaya tersebut karena dapat meminimalisasi potensi konflik antara masyarakat dan perusahaan.25

    Hingga akhir 2017, proses penegasan tata batas administrasi desa di Kabupaten Pulang Pisau baru terlaksana di beberapa kecamatan. Proses tersebut merupakan inisiatif beberapa lembaga swadaya masyarakat, diantaranya Kelompok Kerja Sistem Hutan Kemasyarakatan (Pokker SHK) dan Yayasan Betang Borneo (YBB).

    23 Wawancara dengan Kepala Desa Cemantan dan Kepala Desa Bahaur Hilir tanggal 31 Januari 2018, Kepada Desa Papuyu III Sei Pudak tanggal 1 Februari 2018, mantan Kepala Desa dan Sekretaris Desa Paduran Sebangau tanggal 2 Februari 2018, dan diskusi dengan warga Desa Sei Hambawang tanggal 3 Februari 2018.

    24 Wawancara tanggal 27 Januari 2018 dengan Bapak M. Irfan Hafid, Kepala Bagian Kemitraan Masyarakat, PT. Uni Primacom

    25 Wawancara tanggal 27 Januari 2018 dengan Bapak Harry, Bagian Administrasi Pemerintah, Kabupaten Kotawaringin Timur

  • 18

    Dinamika aktor yang terlibat konflik di Blok C eks PLGAktor yang terlibat dalam konflik lahan dan sumber daya alam di Blok C eks PLG cukup beragam, hanya saja dalam kurun waktu dari awal mula pengembangan perkebunan kelapa sawit di kawasan Blok C eks PLG hingga saat ini belum terlihat adanya perubahan dinamika keberpihakan aktor yang terlibat. Dinamika aktor dalam konflik lahan dan SDA di Blok C eks PLG dapat dilihat pada Gambar 5.

    Hasil kajian dokumen dan temuan selama kunjungan lapangan memperlihatkan bahwa para aktor di dalam konflik di kawasan Blok C eks PLG relatif statis posisinya, baik yang pro pengembangan perkebunan besar kelapa sawit (terutama milik konsesi grup yang berada di bagian selatan), maupun yang kontra, serta aktor yang saat ini masih berdiri pada dua posisi itu.

    Keberpihakan pada perlindungan lingkungan ditunjukkan oleh pemerintah pusat sejak era Presiden Megawati yang secara de facto memberikan perintah penghentian kegiatan PLG. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melanjutkannya dengan menerbitkan Inpres tentang rehabilitasi kawasan PLG serta Inpres tentang moratorium perizinan baru di Kalimantan Tengah. Dukungan juga diberikan oleh KLHK, walaupun mengalami tiga kali pergantian jabatan Menteri (mulai dari M.Prakoso, M.S.Kaban dan dilanjutkan oleh Zulkifli Hasan) secara partial melalui penetapan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK), penetapan Hutan Desa, maupun penetapan Hutan Produksi.

    Keberpihakan kepada perlindungan kawasan hutan semakin tampak dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun

    2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang merupakan penyempurnaan PP Nomor 71 tahun 2014. PP ini menjadi dasar bagi komitmen untuk melindungi dan memulihkan ekosistem gambut, serta mencegah kebakaran kawasan gambut. Sejalan dengan kondisi fisik kawasan Blok C yang keseluruhannya merupakan kawasan gambut, keberadaan PP ini dianggap sebagai kebijakan utama dalam membatasi penggunaan lahan untuk investasi berbasis lahan skala besar di kawasan Blok C eks PLG. Kebijakan kehutanan ini juga didukung oleh masyarakat karena keberadaan kegiatan perkebunan besar kelapa sawit dianggap mengganggu keberlanjutan mata pencaharian tradisional mereka, serta diduga turut berkontribusi terhadap kebakaran lahan dan hutan di Blok C.

    Dilain pihak, perusahaan sebagai pihak yang berkepentingan dalam pengembangan PBS kelapa sawit terus berekspansi. Grup perusahaan di bagian selatan mengembangkan lahan hingga 80.000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Keberadaan perkebunan sawit ini didukung oleh Bupati Kabupaten Pulang Pisau Achmad Amur (masa jabatan 2003-2013) melalui penerbitan izin usaha perkebunan besar (IUPB) pada akhir tahun 2006. Izin tersebut diterbitkan berdasarkan RTRW Provinsi tahun 2003, walaupun pada saat yang bersamaan pemerintah pusat telah melakukan upaya untuk merehabilitasi kawasan eks PLG untuk kepentingan kehutanan. Bupati ini bahkan masih menerbitkan IUPB di tahun 2011 dan 2012 walaupun berdasarkan penelusuran tim, perusahaan yang mendapatkan ijin di tahun 2011 dan 2012 tersebut belum beroperasi hingga awal tahun 2018.

  • 19

    Pada tingkat provinsi, terlihat adanya kegamangan dalam menghadapi situasi tumpang tindih antara perkebunan sawit dengan fungsi hutan produksi. Pada awalnya, terlihat adanya dukungan dari Gubernur (Aswami Gani) dan Bappeda saat itu yang terwujudkan dalam RTRW tahun 2003 dimana kawasan eks PLG Blok C ditetapkan sebagai areal penggunaan lain (APL). Namun sikap tersebut berubah mengikuti pergantian kepemimpinan.

    Sejak terpilihnya Agustin Teras Narang sebagai gubernur pada tahun 2005, terlihat bahwa Gubernur berupaya untuk menjaga keseimbangan antara keinginan pemerintah pusat dalam hal rehabilitasi kawasan PLG dan kebutuhan daerah untuk pengembangan perkebunan, namun hingga akhir jabatannya Gubernur Teras Narang tidak mengambil tindakan apapun terhadap keterlanjuran keberadaan perusahaan besar kelapa sawit. Penetapan Perda No. 5 Tahun 2015 tentang RTRW Provinsi Kalimantan Tengah pun masih menyisakan bias karena walaupun mengikuti arahan penetapan kawasan hutan dari KLHK, dalam perda ini juga dicantumkan klausul kawasan outline (kawasan hutan yang akan digunakan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan). Hal yang sama diteruskan pada kepemimpinan Sugianto Sabran yang menggantikan Teras Narang. Pada beberapa pernyataan di media, Sugianto menyatakan bahwa ia akan membereskan perizinan perkebunan kelapa sawit skala besar yang bermasalah, hanya saja pernyataan tersebut hingga bulan Mei tahun 2018 masih belum diikuti tindakan yang nyata.

    Kegamangan juga ditemukan pada tingkat tapak khususnya dikalangan para pejabat pemerintah desa. Semua kepala desa yang diwawancarai menyatakan bahwa masyarakat desa mereka tidak mendapatkan keuntungan dari keberadaan perkebunan besar kelapa sawit, baik dalam hal pola plasma maupun bantuan dalam rangka tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa keberatan para kepala desa lebih disebabkan karena tidak jelasnya kontribusi ekonomis kepada masyarakat, dan bukan keberatan terhadap menurunnya kualitas lingkungan masyarakat.

    Dinamika perubahan posisi aktor terkait konflik Pulang Pisau dapat dilihat pada gambar berikut.

  • 20

    1982Kepmentan 759/1982 TGHK Provinsi Kalteng [APL: 0,5%]

    1993 Perda 5/1993 RUTR Provinsi Kalteng [APL: 27,4%]

    31 MeiSK Menhut 292/Menhut-II/2011, Kawasan hutan Kalteng [APL: 17,84%]

    Usulan revisi Perda 5/2015 disertai usulan tambahan kawasan outline [APL: 42%]

    2003 SK Baplan Kehutanan 778/VIII-KP/2000, KPP dan KPPL dalam RUTR pada prinsipnya adalah APL sehingga tidak perlu ada pelepasan kawasan hutan

    SK Menhut 314/Menhut-II/2008, pembentukan Timdu untuk penyelesaian masalah kehutanan

    SK Menhut 575/Menhut-II/2006, Pencabutan SK Baplan Kehutanan tahun 2000

    SK Menhut 529/Menhut-II/2012, Penetapan Kawasan Hutan di Kalteng mencabut SK Kementan tentang TGHK [APL: 17,55%]

    Perda 5/2015 RTRW Provinsi Kalteng [APL: 17,4%]

    1999Kep. Gubernur Kalteng 008/965/IV/Bapp Penetapan hasil paduserasi TGHK[APL: 33,79%]

    10 JuliSE Menhut 404/Menhut-II /03 Kawasan hutan mengacu ke TGHK [APL: 0,5%]

    20 SeptemberPerda RTRW Provinsi Kalteng [APL: 32,96%]

    Rancangan Revisi Perda RTRW Provinsi tahun 2003 disusun Pemda [APL: 45%]Terbitnya UU 26/2007

    Penataan Ruang membatalkan hasil revisi yang sudah dilakukan

    1999Tidak ada tindak lanjut penunjukan kawasan oleh Menteri Kehutanan

    Pernyataan APKASI Kalteng 08/APKASI/ KW-Kalteng/2011, Kebijakan pengembangan perkebunan sawit tetap mengacu Perda RTRW 2003 selama perda tersebut belum dicabut

    2011

    2017

    2004• Presiden menyatakan

    PLG gagal dan harus direhabilitasi

    • Menhut terbitkan SK terkait KHDTK

    2000an

    1980an

    2006• Menhut mencabut SK

    Baplan tahun 2000 Kebakaran hutan besar di Kalteng

    2008• Kemenhut susun

    Masterplan PLG• Kemenhut susun timdu

    kehutanan• Provinsi dibantu Belanda

    susun Masterplan PLG

    2010• Pembentukan

    Satgas REDD

    2012• Menhut kembali revisi

    TGHK• Menhut menerbitkan SK

    Hutan Desa di 4 Desa• Pelaporan pelanggaran

    perusahaan sawit• Persetujuan Substansi

    RTRW Pulang Pisau

    2014• BLH memeriksa Group

    perkebunan besar sawit di Blok C terkait dugaan karhutla

    2016• Gubernur ultimatum

    perusahaan untuk selesaikan perizinan

    • Group perkebunan besar sawit di Blok C belum memiliki HGU

    2003• Pelantikan Bupati Pulang Pisau• Perda RTRW Kalteng disahkan• Menhut meminta TGHK sbg

    acuan RTRW

    1990an

    2005• Pelantikan Gubernur

    Kalteng

    2007• Presiden terbitkan Inpres

    rehabilitasi PLG• Revisi RTRW Kalteng disusun• Perusahaan sawit beroperasi

    di lahan PLG• Bupati Pulpis terbitkan izin

    PKS• Mentan menerbitkan Permen

    Plasma• Kades Hambawang

    memperbolehkan PKS membeli lahan masyarakat

    • Indonesia komitmen mengurangi emisi

    • APKASI Kalteng tetap pada RTRW 2003

    • Menhut revisi TGHK• Warga menyegel PKS terkait

    ganti rugi lahan• Bupati kembali menerbitkan

    Izin Sawit• Usulan 4 Hutan Desa di

    Pulang Pisau

    • Protes warga terkait plasma dan perluasan kebun perusahaan

    • Belum ada tindak lanjut terkait ultimatum Gubernur tahun 2016

    • Kades Hambawang mempertanyakan keuntungan pabrik kelapa sawit bagi masyarakat

    • Walhi melaporkan jumlah konflik agraria di Kalteng

    • Perda RTRW Kalteng disahkan

    • Karhutla besar di Kalteng• Gubernur instruksi

    bupati/walikota memeriksa perusahaan sawit

    • KLHK menyegel perusahaan sawit terkait karhutla

    2009

    2013

    2015

    Presiden

    Menhut

    Menhut

    GubernurKalteng

    Presiden

    Menhut

    Kades GohongKetua LPHD BuntoiLSM Telapak

    Walhi Nasional

    Menhut

    GubernurKalteng

    Bupati

    Menhut

    Bappeda Kalteng

    Grup PerusahaanSawit

    Bupati

    Kades Hambawang

    Presiden

    APKASI

    Bupati

    Bupati

    Kades Hambawang

    Warda DesaPapuyuLSM PokerSHK

    Menhut

    Presiden

    GubernurKalteng

    Menteri Pertanian

    Grup perusahaanSawit

    Kepala BLHKalteng

    Grup perusahaanSawit

    BPNKalteng

    Gubernur Kalteng

    Menteri PU

    Grup Perusahaan Sawit

    Walhi KaltengGubernur KaltengPj. GubernurKalteng

    Grup Perusahaan Sawit

    Kades danWarga Kanamit

    Kades Hambawang

    Harian Kompas

    Grup Perusahaan Sawit

    Tahun Tahun perubahan politik nasionalPertukaran aktor

    Pro HTI Kontra HTI Antara pro dan kontra

  • 21

    Gambar5. Diagram kronospasial konflik lahan dan SDA dan dinamika aktor di Blok C eks PLG

    Pembelajaran dari KasusBerdasarkan hasil temuan dan pembahasan di atas, beberapa pokok pembelajaran yang dapat diambil tentang konflik yang berhubungan dengan tata ruang dan keterkaitannya dengan konflik pemanfaatan lahan dan sumber daya alam, adalah:

    • Proses penyelesaian rancangan RTRW yang berlarut-larut berpotensi menumbuhkan benih konflik terkait lahan karena menyebabkan kesimpangsiuran pedoman pemanfaatan lahan. Konflik muncul karena proses pembangunan tidak berhenti ketika proses penyusunan RTRW masih berlangsung. Hal ini ditemukan di Pulau Padang dimana perdebatan antara Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Pusat yang berlarut menyebabkan dokumen RTRW tidak kunjung disepakati. Sementara itu, tuntutan pembangunan berbasis lahan terus berjalan dan memerlukan arahan tata ruang. Akhirnya peraturan RTRW yang lama digunakan sebagai pedoman pemanfaaatan lahan sementara peruntukan lahannya berbeda dengan peruntukan lahan yang terdapat dalam RTRW yang baru. Hal serupa juga terjadi di kawasan Blok C eks PLG Pulang Pisau dimana pengembangan konsesi PBS kelapa sawit menggunakan pedoman RTRWP 2003.

    • Perubahan terus-menerus RTRW memicu inkonsistensi penerapan peraturan terkait lahan misalnya aturan pemberian izin HTI. Hal ini terjadi pada kasus studi Pulau Padang, dimana menurut aturan perizinan HTI sebelum tahun 2013, disebutkan bahwa RTRW merupakan dasar pemberian rekomendasi. Namun pada aturan perizinan yang baru (setelah tahun 2013), RTRW dipertimbangkan sebagai dasar dalam pemberian rekomendasi namun keputusan akhir pemberian izin HTI berada pada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal ini membuka kemungkinan inkonsistensi izin HTI yang dikeluarkan Menteri dengan arahan pemanfaatan lahan yang tertuang dalam RTRW. Kerumitan ditambah dengan aturan bahwa Menteri tetap dapat memberikan izin HTI meskipun Pemerintah Daerah tidak memberikan rekomendasi. Sementara pada kasus lahan eks PLG Blok C penerapan aturan yang berpedoman pada RTRW baru skala provinsi berdampak pada kegiatan investasi penggunaan lahan skala besar yang sebelumnya mengacu pada RTRW provinsi yang lama.

  • 22

    • Penyusunan RTRW secara top-down tanpa proses paduserasi yang baik di tingkat lokal menyebabkan kebuntuan dalam proses penetapan RTRW. Pada kasus Blok C eks PLG, aspirasi pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak saling menyambut. Kebijakan RTRW yang telah disepakati secara nasional tidak secara otomatis menjadi kesepakatan di tingkat lokal (kabupaten). Proses pendampingan dari Kementerian ATR untuk menjembatani adanya perbedaan kepentingan belum berjalan sehingga kebuntuan semakin berkepanjangan. Hal ini menyebabkan kepastian fungsi ruang menjadi semakin tidak menentu, sehingga mengakibatkan adanya pemanfaatan lahan skala besar yang tidak dapat ditinjau kesesuaiannya.

    • Penegakan hukum terhadap ketidakpatuhan aturan tata ruang seperti RTRW belum atau tidak dijalankan dengan optimal. Hal ini menyuburkan berbagai praktik yang menyimpang dalam penerapan aturan tata ruang baik yang dilakukan dengan tidak sengaja maupun disengaja oleh beberapa pihak. Ketika terdapat temuan penyimpangan, terdapat tanda tanya juga; siapa yang berhak untuk menegakkan aturan? Tidak jelasnya jawaban atas pertanyaan ini ditenggarai akan menumbuhkan benih-benik konflik di masa mendatang. Pada studi kasus Blok C eks PLG ditemukan bahwa dengan ditetapkannya RTRWP Kalimantan Tengah

    yang baru ditemukan berbagai penyimpangan dalam kegiatan investasi penggunaan lahan skala besar yang sebelumnya mengacu pada RTRW provinsi yang lama. Di sini proses pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar ternyata belum memiliki ijin hak guna usaha (HGU).

    • Kebijakan tata batas daerah administratif yang belum terdefinisi hingga tuntas memperumit penerapan kebijakan tata ruang. Penetapan arahan pemanfaatan ruang akan terbentur sehingga berpotensi menimbulkan konflik baik jangka pendek maupun panjang. Permasalahan tata batas yang bersinggungan dengan batas konsesi perusahaan memicu konflik antar desa di Pulau Padang. Sementara di kawasan blok C eks PLG, ketidakjelasan tata batas administrasi desa walaupun tidak sampai menimbulkan konflik namun menimbulkan kekecewaan bagi pemerintah desa terkait dengan absennya kontribusi perusahaan ke desa.

    • Penyelesaian tata batas administrasi desa secara partisipatif menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pemberian izin konsesi dilakukan. Dengan menjalankan hal ini, aturan tata ruang dapat ditegakkan pada skala tapak. Penyelesaian tata batas administrasi desa juga secara tidak langsung menguatkan desa karena memiliki posisi tawar yang cukup terhadap perusahaan ketika terjadi konflik.

  • 23

    RekomendasiIntensitas konflik yang cenderung meningkat di Indonesia sebagai akibat dan dampak dari upaya percepatan perekonomian dan perubahan besar-besaran desentralisasi pemerintahan harus disikapi dengan bijaksana. Selain konflik yang telah atau sedang terjadi, perlu juga dipahami bahwa benih-benih konflik telah tertanam sebagai akibat dari proses pemberian izin yang tidak mengikuti aturan dan tidak transparan, kesenjangan keberpihakan atas kepentingan masyarakat dengan perusahaan serta kesimpangsiuran kebijakan tata ruang.

    Sebagai salah satu upaya penyelesaian konflik yang tuntas, cara pembacaan konflik perlu diperkaya, salah satunya dengan analisis tata ruang. Pertimbangannya adalah bahwa dalam setiap konflik selain terdapat faktor penyebab (langsung maupun tidak langsung), kerap dijumpai faktor-faktor lain seperti ketidaksinkronan antara beberapa kebijakan nasional, dampak dari perjanjian internasional, dinamika ekonomi perdagangan domestik dan dunia, dan sebagainya. Artinya, konflik lahan dan sumber daya alam yang terjadi pada waktu tertentu di suatu daerah adalah puncak gunung es (tip of the iceberg) dari serangkaian masalah lain yang mengendap di bawah permukaan.

    Untuk kembali menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, aturan tata ruang harus ditegakkan. Meskipun penataan ruang bersifat top-down tetapi secara normatif membuka ruang dan saluran bagi aspirasi pembangunan daerah melalui mekanisme partisipasi masyarakat. Artinya, guna mengurangi potensi terjadinya berbagai sengketa penyusunan tata ruang perlu mencakup konsultasi publik dan proses-proses penyelesaian sengketa, baik sengketa yang laten maupun yang sudah mencuat.

    Terobosan penggunaan peta lahan existing dalam penyusunan RTRW, termasuk mengakomodasi batas-batas definitif desa, selain dapat mengurangi potensi konflik tata batas juga dapat menguatkan aturan tata ruang dan meningkatkan kewibawaan aturan tata ruang sebagai rujukan penggunaan lahan. Atas dasar yang sama pula, penting untuk memasukkan pengelolaan konflik sebagai salah satu kegiatan dalam proses penyusunan RTRW.

    Tumbukan kebijakan perlu diselesaikan untuk menjamin penyelesaian konflik di tingkat tapak yang lebih langgeng. Penyelesaian konflik di tingkat tapak sering kali berkompromi dengan salah satu kebijakan namun tidak dapat diakomodasi oleh kebijakan lain. Disini mediasi sengketa kebijakan dapat menggerakkan para pemegang kebijakan untuk mencari solusi penyelesaian konflik yang lebih konstruktif.

  • 24

  • 25

    DAFTAR PUSTAKAAndi Muttaqien, Nurhanuddin Ahmad, dan

    Wahyu Wagiman, 2012. UU Perkebunan: Wajah Baru Agrarian Wet. Jakarta: Elsam-Sawit Watch-Pilnet.

    Ar Rozy, Belvage dan Karyanto, 2018. ‘Konflik Tenurial di Pulau Padang dan Isolasi Ekonomi Lokal’. Jurnal Pemikiran Sosiologi 5.

    Bank Track. 2015. Bank Track Annual Report 2014.

    Charles Victor Barber and James Schweithelm. 2000. Trial by Fire: Forest Fires and Forestry Policy in Indonesi’s Era of Crisis and Reform. World Resources Institute.

    Darjono. 2003. Makalah: Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan dengan Kebakaran di Areal Perkebunan dan HTI Rawa Gambut.

    D.S. Nugraha dan Suteki, 2018. ‘Politik Hukum Penanganan Konflik Perkebunan oleh Pemerintah yang Berkeadilan Sosial’. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20(1).

    Euroconsult, 2008. Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks-Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.Pemerintah Kalimantan Tengah.

    Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono, 2000, Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. CIFOR: Bogor.

    Ikhwanuddin Mawardi, 2007, ‘Rehabilitasi dan Revitalisasi Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah’, Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 8(3).

    Oka Karyanto, dkk. 2011. Pengelolaan Lansekap di Pulau Padang: Kajian Awal dan Roadmap.

    Luca Tacconi, 2003. Kebakaran di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor.

    Luca Tacconi. 2001. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan Implikasi Kebijakan. CIFOR. Bogor.

    M. Nazir Salim,. 2017. Mereka yang Dikalahkan: Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang. Yogyakarta: STPN Press.

    Raflis. 2012. Penataan Ruang dan Korupsi: Studi Kasus Provinsi Riau.

    Teguh Yuwono, 2012. Konflik Izin IUPHHK-HTI di Pulau Padang: Potret Buram Penataan Ruang dan Kelola Hutan di Indonesia.

    Tim Mediasi. 2012. Laporan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. DKN

    TII Local Unit Riau. 2013. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengabaian Perizinan di Indonesia: Studi Kasus Riau.

    WRI, 2014, Keadaan Hutan: Indonesia. https://wri-indonesia.org/id/publication/kondisi-hutan diakses pada 7 April 2018

    Yayasan Puter Indonesia, 2016. Panduan Pencegahan Kebakaran Berbasis Masyarakat

  • 26

    Artikel dari sumber internet

    Aidenvironment. 2017, Nordic investments in banks financing Indonesian palm oil. https://fairfinanceguide.org/media/373743/2017-05-nordic-investments-in-banks-financing-indonesian-palm-oil-no.pdf diakses pada 3 Maret 2018.

    Made Ali. 2012. https://madealikade.wordpress.com/2012/08/23/sp3-illog-riau-dan-korupsi-kehutanan/ diakses pada 11 Mei 2018

    Antaranews. 2017. http://www.antaranews.com/print/262224/satgas-pmh-buka-kembali-14-kasus-perambah-liar-riau diakses pada 6 April 2018

    Bappenas. 2008. Perencanaan Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Eks Proyek PLG. https://www.bappenas.go.id/id/profil-bappenas/unit-kerja/deputi-bidang-kemiskinan-ketenagakerjaan-dan-ukm/direktorat-penanggulangan-kemiskinan/contents-direktorat-penanggulangan-kemiskinan/975-perencanaan-pengembangan-dan-pengelolaan-kawasan-eks-proyek-pengembangan-lahan-gambut-plg-/ diakses pada 24 April 2018

    Bappenas. 2015. Paket Kebijakan Ekonomi VIII: Satu Peta Nasional, Kilang Minyak dan Bea Masuk Suku Cadang Pesawat. https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/paket-kebijakan-ekonomi-viii-satu-peta-nasional-kilang-minyak-dan-bea-masuk-suku-cadang-pesawat/ diakses pada 15 Desember 2017

    BPS Kabupaten Pulang Pisau, 2017. Pulang Pisau dalam Angka 2017. http://www.bps.go.id/, diakses pada 16 Maret 2018.

    BPS Pulang Pisau, 2017. Statistik Daerah Kabupaten Pulang Pisau 2017.http://www.bps.go.id/, diakses pada 26 Maret 2018.

    Dinas Kehutanan Provinsi Riau. 2014. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2014. http://www.bps.go.id/, diakses pada 26 Maret 2018.

    Deny, Septian. 2016. Menperin: Industri Kertas RI Duduki Peringkat 6 Dunia. http://bisnis.liputan6.com/read/2448844/menperin-industri-kertas-ri-duduki-peringkat-6-dunia diakses pada 7 Maret 2018.

    Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016, Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017: Kelapa Sawit. http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2017/Kelapa-Sawit-2015-2017.pdf diakses pada 3 Maret 2018.

    Environmental Paper Network. 2017. In The Red, An Assessment of Bank Policies for Financing Pulp and Paper. http://www.environmentalpaper.eu/wp-content/uploads/2017/08/In-the-Red.pdf. diakses pada 27 April 2018.

    Fazar. 2014. Meranti Bentuk Tim Penyelesaian Tapal Batas Desa Bagan Melibur. http://mediacenter.riau.go.id/read/4321/meranti-bentuk-tim-penyelesaian-tapal-batas-d.html diakses pada 18 Januari 2018.

    Forest Watch Indonesia. 2018. Silang Sengkarut Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia. http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2018/03/Dummy_15Maret2018_Silang_Sengkarut.pdf diakses pada 1 Mei 2018.

    Puan Handry. 2016. Kerusakan Ekosistem Hutan Akibat Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia.https://terokaborneo.com/kerusakan-ekosistem-hutan-akibat-perkebunan-kelapa-sawit-di-indonesia/. diakses pada 11 Januari 2018

    R. Hicks. 2017. In Picture: APP’s Mega Pulp Mill. http://www.eco-business.com/news/in-pictures-apps-mega-pulp-mill/

    Jikalahari. 2017. http://jikalahari.or.id/kabar/laporan/kertas-posisi-rtrwp-riau-untuk-rakyat-bukan-untuk-segelintir-pemodal-dan-monopoli-korporasi/#_ftn20 diakses pada 11 Desember 2017

    Jikalahari.2017. http://jikalahari.or.id/kabar/rilis/aksi-koreksi-pemerintah-di-riau-ada-perbaikan-tapi-belum-berani-menghentikan-kejahatan-kehutanan/ diakses pada 11 April 2018

    Jikalahari dan ICW. 2011. Hasil Eksaminisasi Publik Terhadap Penghentian Penyidikan (SP3) Atas 14 Perusahaan IUPHHKHT di Provinsi Riau. https://antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Eksaminasi%20Publik/hasileksaminasipubliksp3kehutananriau.pdf diakses pada 9 Januari 2018.

  • 27

    Jikalahari. 2005. RTRWP dan Masa Depan Hutan Alam Riau: Sebuah Masukan dan Bahan Pertimbangan untuk Revisi Perda No.10 Tahun 1994 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau. http://jikalahari.or.id/wp-content/uploads/2016/03/Analisis-RTRWP.pdf diakses pada 20 Februari 2018.

    Kumparan. 2017.RI Masih Jadi Raja Sawit Dunia. https://kumparan.com/@kumparanbisnis/ri-masih-jadi-raja-sawit-dunia diakses pada 8 Februari 2018.

    Metroterkini. 2014. Pemetaan Partisipatif Bermasalah, Perusahaan HTI Babat Hutan Teluk Belitung, 18 Oktober.

    Mongabay. 2018. Berikut Target Pemerintah Realisasikan Kebijakan SAtu Peta http://www.mongabay.co.id/2016/04/05/berikut-target-pemerintah-realisasikan-kebijakan-satu-peta/ diakses pada 8 April 2018

    Mongabay. 2017. Penyusunan Satu Peta Masih Berjalan Lamban, Mengapa? https://www.mongabay.co.id/2017/11/03/penyusunan-satu-peta-masih-berjalan-lamban-mengapa/ diakses pada 3 Februari 2018

    Mongabay. 2015. Mengapa Sawit Berkembang Menjadi Komoditas Utama Indonesia? http://www.mongabay.co.id/2015/04/17/mengapa-sawit-berkembang-sebagai-komoditas-perkebunan-utama-diindonesia/ diakses pada 17 April 2018.

    Mongabay, 2017, Restorasi Gambut Kanal Primer Eks PLG-pun Ditutup Permanen. http://www.mongabay.co.id/2017/06/17/restorasi-gambut-kanal-primer-eks-plg-pun-ditutup-permanen/ diakses pada 7 Desember 2017

    Nate Rawlings, 2011. Indonesia Wildfire 2011-Top 10 Devastating Wildfires http://content.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,2076476_2076484_2076498,00.html diakses pada 20 Februari 2018.

    Pro Kalteng. 2016. BPN Benarkan 7 PBS di Kapuas dan Pulang Pisau Tak Kantongi HGU. http://kalteng.prokal.co/read/news/33136-bpn-benarkan-7-pbs-di-kapuas-dan-pulang-pisau-tak-kantongi-hgu.html diakses pada 4 April 2018

    Sawit Watch. 2013. Release Potret Petani Korban Perkebunan Monokultur. http://sawitwatch.or.id/2013/09/release-potret-petani-korban-perkebunan-monokultur/ diakses pada 20 April 2018.

    Saragih, Samdysara. 2016. Jokowi Kaget Hutan Industri Kalah Luas dari Kebun Sawit http://industri.bisnis.com/read/20160203/99/515864/jokowi-kaget-hutan-industri-kalah-luas-dari-kebun-sawit diakses pada 3 Desember 2017.

    Selatpanjangpos. 2016. Audiensi Konflik dengan Perusahaan HTI, Masyarakat Desa Bagan Melibur Merasa Kecewa. 11 September 2016

    Tirto. 2018. Nelangsa Buruh di Kebun Sawit. https://tirto.id/nelangsa-buruh-di-kebun-sawit-cJAR

    Tribun Pekanbaru. 2018. Sekda Sebut Perda RTRW Riau Sudah Diparaf. http://pekanbaru.tribunnews.com/2018/05/09/sekda-sebut-perda-rtrw-riau-sudah-diparaf diakses pada 11 Mei 2018

    Telapak. 2012. Menguji Hukum: Karbon, Tindak Kriminal dan Kekebalan Hukum di Sektor Perkebunan Indonesia.https://www.telapak.org/wp-content/uploads/2013/10/menguji_hukum.pdf diakses pada 3 Mei 2018.

    Wetlands. 2005. Provinsional report of the Central Kalimantan Peatland Project. https://www.wetlands.org/publications/provisional-report-of-the-central-kalimantan-peatland-project/ diakses pada 19 April 2018