69 HASIL DAN PEMBAHASAN Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak Kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter-parameter: jenis tanah, tekstur tanah, curah hujan, topografi, kemiringan lahan, penggunaan lahan, jarak dari sungai, dan jarak dari pantai. Rata-rata wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur memiliki kelerengan <2 %, kecuali di Kecamatan Kaliorang, Sandaran, dan sebagian Kecamatan Sangkulirang, sehingga air pasang dari laut dapat masuk hingga beberapa kilometer ke darat melalui sungai-sungai yang landai. Agar usaha pertambakan dapat berjalan secara berkelanjutan, dikaitkan dengan tujuan perlindungan seperti tertuang dalam Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, dengan mempertimbangkan pasang surut (tidal range) antara 0,3-2,5 meter (tunggang pasang 2,2 m), maka kawasan pantai selebar 260 m (dibula tkan menjadi 300 m) dari garis pantai ke arah darat tidak dialokasikan sebagai kawasan pertambakan. Kawasan ini dijadikan sebagai kawasan sempadan pantai (green belt). Demikian juga dengan kawasan selebar 100 m di kiri dan kanan sungai dialokasikan sebagai kawasan sempadan sungai. Jenis tanah yang terdapat di wilayah penelitian adalah marin (marine group) dan kubah gambut (peat domes group). Tanah jenis marin merupakan dataran pasang surut di sepanjang pesisir, dengan kelerengan <3 % (landai), bervegetasi mangrove, dan bersedimen halus. Tanah marin di wilayah penelitian terdiri dari jenis tanah fluvaquents, tropaquepts, hydraquents, dan dystropepts. Tanah hydraquents, yang banyak terdapat di Kecamatan Sangatta dan Bengalon, merupakan jenis tanah yang masih mentah/ berlumpur, sehingga akan menyulitkan dalam pembuatan konstruksi tambak. Oleh karena itu tanah ini harus dikeringkan terlebih dahulu. Jika tanah tersebut mengandung bahan sulfidik, maka akan terjadi proses oksidasi berkepanjangan pada saat penggalian tambak sehingga membentuk pirit. Simpson dan Pedini (1985) diacu dalam Hardjowigeno (2001) mengemukakan bahwa penyebab utama rendahnya hasil udang dan ikan pada
51
Embed
HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · pasang yang melimpas suatu lahan tidak selalu berupa air asin atau payau tetapi dapat juga berupa air tawar yang berasal dari sungai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
69
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak
Kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter-parameter: jenis
tanah, tekstur tanah, curah hujan, topografi, kemiringan lahan, penggunaan lahan,
jarak dari sungai, dan jarak dari pantai.
Rata-rata wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur memiliki kelerengan
<2 %, kecuali di Kecamatan Kaliorang, Sandaran, dan sebagian Kecamatan
Sangkulirang, sehingga air pasang dari laut dapat masuk hingga beberapa
kilometer ke darat melalui sungai-sungai yang landai.
Agar usaha pertambakan dapat berjalan secara berkelanjutan, dikaitkan
dengan tujuan perlindungan seperti tertuang dalam Keppres No. 32 Tahun 1990
tentang pengelolaan kawasan lindung, dengan mempertimbangkan pasang surut
(tidal range) antara 0,3-2,5 meter (tunggang pasang 2,2 m), maka kawasan pantai
selebar 260 m (dibula tkan menjadi 300 m) dari garis pantai ke arah darat tidak
dialokasikan sebagai kawasan pertambakan. Kawasan ini dijadikan sebagai
kawasan sempadan pantai (green belt). Demikian juga dengan kawasan selebar
100 m di kiri dan kanan sungai dialokasikan sebagai kawasan sempadan sungai.
Jenis tanah yang terdapat di wilayah penelitian adalah marin (marine
group) dan kubah gambut (peat domes group). Tanah jenis marin merupakan
dataran pasang surut di sepanjang pesisir, dengan kelerengan <3 % (landai),
bervegetasi mangrove, dan bersedimen halus.
Tanah marin di wilayah penelitian terdiri dari jenis tanah fluvaquents,
tropaquepts, hydraquents, dan dystropepts. Tanah hydraquents, yang banyak
terdapat di Kecamatan Sangatta dan Bengalon, merupakan jenis tanah yang masih
mentah/ berlumpur, sehingga akan menyulitkan dalam pembuatan konstruksi
tambak. Oleh karena itu tanah ini harus dikeringkan terlebih dahulu. Jika tanah
tersebut mengandung bahan sulfidik, maka akan terjadi proses oksidasi
berkepanjangan pada saat penggalian tambak sehingga membentuk pirit.
Simpson dan Pedini (1985) diacu dalam Hardjowigeno (2001)
mengemukakan bahwa penyebab utama rendahnya hasil udang dan ikan pada
70
sejumlah lahan pantai adalah adanya pirit (FeS2). Senyawa ini bila dalam keadaan
kering akan teroksidasi menjadi asam sulfat yang sangat masam. Beberapa tambak
yang dibangun di tanah yang kaya pirit di Sulawesi Selatan menunjukkan
penurunan pH tanah dari 7 menjadi 4 dalam waktu kurang dari 12 jam (Poernomo,
1992 dalam Hardjowigeno, 2001).
Budidaya tambak tidak bisa dilepaskan dari pasokan air asin secara
kontinyu, oleh karena itu kedekatan lokasi pertambakan dari pantai akan menjadi
pertimbangan utama. Semakin dekat lokasi pertambakan dari pantai, akan
semakin mudah dalam pengambilan air laut, sehingga biaya yang dikeluarkan
untuk memasok air laut ke tambak menjadi lebih murah. Faktor kedekatan lokasi
dari sungai untuk menjamin pasokan air tawar, juga akan membantu kelancaran
budidaya pertambakan.
Amplitudo pasang surut merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk
pasokan air ke tambak. Yang penting diperhatikan bagi usaha pertambakan adalah
rata-rata tinggi air pasang dan rata-rata tinggi air surut. Kedua rata-rata tersebut
diperlukan untuk menetapkan apakah daerah yang dinilai masih berada dalam
batas-batas air pasang surut atau sudah berada di luarnya. Perlu dicatat bahwa air
pasang yang melimpas suatu lahan tidak selalu berupa air asin atau payau tetapi
dapat juga berupa air tawar yang berasal dari sungai yang tertahan oleh pasang air
laut (Hardjowigeno, 2001).
Fluktuasi pasang surut air laut yang dianggap memenuhi syarat pembuatan
tambak antara 2-3 m, atau paling tidak 1,5-2,5 m (Samun et al 1984 dalam Fadlan,
2003). Tambak yang terletak pada daerah dengan pasang surut yang besar,
membutuhkan pematang dan tanggul yang tinggi dengan biaya pembuatan yang
mahal. Sebaliknya, fluktuasi pasang surut <1 m, meyebabkan daya jangkau air
terlalu pendek sehingga proses pengisian dan pengeringan air tidak dapat
dilakukan dengan baik kecuali dengan batuan pompa. Tunggang pasang (tidal
range) air laut di pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah ± 2,2 meter, sehingga
masih dalam kisaran layak untuk budidaya tambak.
Topografi dan ketinggian tempat dari permukaan air laut (elevasi)
merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan pada pembuatan tambak. Tambak
memerlukan daerah datar dan masih dapat digenangi langsung oleh pasang surut
71
air asin atau payau. Ketinggian seluruh tempat itu tidak boleh melebihi tinggi
permukaan air pasang tertinggi, karena tambak akan sulit dialiri, dan juga tidak
boleh lebih rendah daripada tinggi permukaan air surut terrendah, sekalipun masih
dekat pantai, karena tambak akan mengalami banjir permanen (Hardjowigeno,
2001; Afrianto dan Liviawati, 1991).
Tanah yang bergelombang sebaiknya dihindarkan karena akan
memerlukan biaya tinggi untuk penggalian dan perataan tanah. Penggalian tanah
yang banyak dan dalam menyebabkan lapisan tanah yang subur akan terbuang
(Poernomo, 1992).
Iklim berkaitan dengan pengeringan dasar tambak secara berkala dengan
tujuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan
organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H2S, amoniak, serta
metan. Karena itu diperlukan adanya bulan-bulan kering tertentu pada setiap
tahun. Curah hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk
tambak. Hujan terus-menerus sepanjang hari selama beberapa minggu akan
menurunkan suhu air tambak. Sebaliknya, curah hujan yang terlalu rendah dan
bulan kering yang terlalu panjang juga kurang baik untuk daerah pertambakan.
Curah hujan antara 2.000-3.000 mm/th dengan bulan kering 2-3 bulan cukup baik
digunakan untuk tambak (Soeseno, 1988 dalam Hardjowigeno, 2001).
Pada saat ini wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur yang eksisting
digunakan untuk budidaya tambak adalah sekitar muara Sungai Sangatta, Teluk
Lombok, muara Sungai Kenyamukan, muara Sungai Sangkima, dan muara Sungai
Bengalon. Kondisi sesuai dengan hasil analisis spasial kesesuaian lahan tambak,
yang menunjukkan bahwa daerah tersebut memang sesuai untuk pengembangan
budidaya tambak.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak adalah sebagaimana
disajikan dalam Gambar 5.
Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan
budidaya tambak dapat dilihat pada Tabel 11.
72
Tabel 11. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (Ha)
1 Sangat Sesuai 2.572,220
2 Sesuai 7.154,573
Sumber: hasil analisis spasial
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
tambak adalah sebagai berikut:
(i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 2.572,220
ha, tersebar di pesisir Muara Sangkima, Teluk Lombok, Muara Sangatta, Muara
Bengalon, Tanjung Manis dan yang luas adalah daerah Sempayau, Rapak, Mandu,
dan Benua Baru di Teluk Sangkulirang.
(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.154,573 ha,
tersebar di sepanjang pesisir Kecamatan Sangatta, Bengalon, Kaliorang dan
Sangkulirang dengan jarak ke darat sejauh batas wilayah penelitian.
Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor
pembatas yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk tambak secara
berkelanjutan. Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak
akan menurun secara nyata. Dari 2.572,220 ha lahan tambak yang sangat sesuai
tersebut, yang sudah dibuka menjadi tambak baru sekitar 841 ha, dan hanya
sekitar 280 ha yang sudah produktif (Statistik Dinas Perikanan Kelautan, 2005).
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan tambak secara berkelanjutan.
Pembatas tersebut akan mengurangai produksi dan keuntungan yang diperoleh
karena adanya penambahan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. Sebagai
pembatas pada kawasan ini adalah: (i) sebagian wilayah berada pada tanah yang
bersifat asam, sehingga diperlukan biaya untuk pengolahan tanah, (ii) lahan
terletak pada kebun, tegalan dan persawahan, sehingga akan menambah biaya
untuk pembebasan lahan bila dikonversi menjadi tambak, (iii) jarak yang cukup
jauh dari pantai dan sungai, sehingga memerlukan tambahan biaya untuk pasokan
air asin dan air tawar.
73
Gambar 5. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
74
Lahan tambak yang sesuai S1 maupun S2 di sekitar muara Sungai Sangatta
mempunyai ancaman yang cukup berat bagi keberlanjutan usaha budidaya tambak
tersebut, karena di sepanjang DAS Sungai Sangatta terdapat banyak industri dan
permukiman, baik industri yang berskala besar, seperti pertambangan PT KPC,
maupun industri yang berskala kecil, seperti usaha penggergajian kayu (sawmill),
moulding, bengkel, pasar, dan home industri lainnya. Industri dan rumah tangga ini,
seperti yang sudah umum terjadi di Kalimantan, membuang limbahnya ke sungai.
Sehingga ancaman pencemaran oleh limbah anthropogenik sangat mungkin terjadi.
Bahaya pencemaran ini dapat mengakibatkan serangan penyakit dan kegagalan
panen.
Demikian juga lahan-lahan tambak di sekitar Sungai Sangkima dan Teluk
Kabba perlu diperhatikan pembukaannya, agar tidak mengkonversi hutan mangrove
yang ada di sekitarnya. Hutan mangrove di wilayah ini termasuk dalam kawasan
Taman Nasional Kutai (TNK) yang mempunyai fungsi konservasi, sehingga
mengkonversi hutan mangrove ini dapat berpengaruh pada keberlanjutan usaha-usaha
lainnya yang memanfaatkan sumberdaya alam,
Salah satu alternatif dalam memanfaatkan kawasan di sekitar hutan mangrove
untuk tambak agar berkelanjutan adalah dengan menggunakan sistem mina hutan
(silvofishery). Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove
diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan
tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat.
Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai
lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan
perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi
kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi
pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Berdasarkan pengalaman ketentuan
yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan
dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% tambak.
Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan
antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan
75
produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan
pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan
kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi
tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang
tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan.
Untuk kondisi tanah tambak di Kabupaten Kutai Timur yang cenderung asam
dan dan salinitas air tambak yang tinggi karena tingginya evaporasi air tambak,
komoditas yang cukup baik dikembangkan adalah kepiting bakau (Scylla serrata).
Kepiting bakau sangat memungkinkan dikembangkan dengan model mina hutan
karena habitatnya secara alami adalah hutan bakau.
S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan
makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal (bernilai ekonomis tinggi). Dalam
pemenuhan kebutuhan pasar masih dilakukan dengan cara penangkapan di alam.
Harga kepiting bakau untuk keperluan ekspor relatif tinggi, sehingga mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan. Hasil statistik perikanan Indonesia tahun
1990/1999 menunjukkan, rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi setelah udang dan ikan. Nilai ekspor
kepiting/rajungan pada tahun 1999 mencapai 54 juta dollar AS.
Budidaya tambak dengan komoditas S. Serrata ini diharapkan lebih
menguntungkan bagi petani karena tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk input
teknologi, dan benih masih banyak tersedia di alam sehingga tidak perlu
mendatangkan dari luar daerah. Selain itu secara lokal, istri-istri nelayan di Desa
Sangkima juga sudah memanfaatkan daging kepiting untuk pembuatan kerupuk
kepiting
Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba Sistem Jaring Tancap (Fixed net cage)
Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba di wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter: keterlindungan perairan,
76
tinggi gelombang, kecepatan arus, kedalaman perairan, material dasar perairan, dan
tingginya tingkat pencemaran. Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan karamba
ini dilakukan pada musim angin peralihan (bulan Oktober-Desember), dimana
kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh karena itu potensi
kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian ini merupakan
potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim selatan dan utara)
kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena kondisi hidro-
oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan tersebut tidak
dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan musim utara.
Budidaya karamba yang sudah dilakukan di pesisir Kabupaten Kutai Timur
adalah budidaya karamba sistem Fixed net cage. Jaring tancap (Fixed net cage)
adalah sistem teknologi budidaya dalam wadah berupa jaring yang diikatkan pada
patok yang menancap ke dasar perairan (Effendi, 2004). Kepadatan organisme
budidaya dalam sistem ini relatif rendah, karena terletak pada perairan yang
dangkal sehingga kualitas lingkungan dalam sistem ini kurang baik dibanding
karamba jaring apung. Beberapa komoditas yang potensial dipelihara dalam
sistem ini adalah lobster, teripang dan ikan kerapu.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
yang sesuai untuk pengembangan budidaya karamba adalah sebagaimana disajikan
dalam Gambar 6. Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk
pengembangan budidaya karamba dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Karamba di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 804,259
2 Sesuai 3.155,090
Sumber: hasil analisis spasial
77
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
karamba adalah sebagai berikut: (i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 804,259 ha,
berada di Kecamatan Kaliorang dan Sangkulirang, yaitu perairan Pulau Miang
Besar dan Miang Kecil, Bual-bual, Teluk Kaliorang dan Sempayau.
(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 3.155,090 ha, tersebar di
sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Dusun Tepian Kelambu, Tanjung
Pagar, Teluk Nepa, pesisir Teluk Pandan, dan Teluk Lombok.
Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor pembatas
yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk karamba secara berkelanjutan.
Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak akan menurun secara
nyata. Kawasan yang sangat sesuai (S1) terluas terdapat pada perairan Bual-bual dan
Pulau Miang, karena secara umum kondisi perairan di kawasan tersebut cukup
terlindung dari arus yang kuat karena terlindung oleh terumbu karang di P. Miang dan
perairan cukup jernih karena sedikit muara sungai dan hutan mangrove.
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan karamba secara berkelanjutan.
Pembatas tersebut kebanyakan berupa kondisi fisik oseanografi yang ekstrim pada
musim-musim tertentu. Pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur mengalami kecepatan
arus dan gelombang yang tinggi pada musim selatan dan peralihan, yang berlangsung
antara bulan Juli-Desember. Pada kondisi ini karamba terkadang tidak mampu
menahan gelombang sehingga rusak bahkan hancur. Oleh karena itu perlu dicari
solusi teknik budidaya yang bersifat tidak permanen, misalnya karamba jaring apung
dengan menggunakan pelampung drum plastik, sehingga pada saat musim-musim
tersebut karamba dapat diangkat agar tidak rusak oleh gelombang. Faktor pembatas
lain adalah sedimentasi dan pencemaran yang berasal dari lingkungan eksternal dan
internal.
78
Gambar 6. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba sistem Fixed net cage di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
79
Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu usaha budidaya rumput laut. Untuk memperoleh hasil yang
memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai
dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut.
Faktor ekologi yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut, adalah:
1. Keterlindungan
Lokasi harus terlindung untuk menghindari kerusakan fisik rumput laut dari
terpaan angin dan gelombang yang besar (Anonim, 1979).
2. Dasar Perairan, Dasar perairan yang paling baik bagi pertumbuhan
(Eucheuma sp) adalah dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan
karang mati bercampur dengan pasir karang (Anonim,1979).
3. Kedalaman Air
Pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 50 cm,
supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar
matahari secara Iangsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi (Anonim,
1979).
4. Salinitas
Salinitas perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34‰ dengan nilai optimum
32‰ untuk itu hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika, 1985).
5. Suhu air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30°C (Zatnika,
1985).
6. Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1,5 m (Zatnika,
1985).
7. Keasaman (pH)
Kisaran pH antara 7-9. Nilai diharapkan pada kisaran 7,3 – 8,2 Karena
perubahan pH akan mempengaruhi keseimbangan kandungan karbon
dioksida (C02) yang secara umum dapat membahayakan kehidupan biota
laut dari tingkat produktivitas primer perairan (Anonim,1999).
8. Pergerakan air (Ombak dan Arus)
Lokasi budidaya harus terlindung dari arus (pergerakan air) dan hempasan
ombak yang terlalu kuat. Apabila hal ini terjadi, arus dan ombak akan
80
merusak dan menghanyutkan tanaman. Air harus mempunyai gerakan air
yang cukup. Kecepatan arus yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp 20 –
40 cm/detik. Dengan kondisi seperti ini, akan mempermudah penggantian
dan penyerapan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak
sampai merusak tanaman (Anggadiredja, 2006).
9. Aman dari predator dan kompetitor
Lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput
laut, seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya. Dengan demikian,
kerusakan tanaman dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya
pemeliharaan dan perlindungan terhadap hama tanaman (Anggadiredja,
2006).
10. Untuk keamanan dan keberlanjutan budidaya maka lokasi yang dipilih
bukan merupakan tempat yang menjadi jalur pelayaran (Anggadiredja,
2006).
Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan
budidaya rumput laut ini dilakukan pada musim angin pancaroba (bulan Oktober-
Desember), dimana kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh
karena itu potensi kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian
ini merupakan potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim
selatan dan utara) kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena
kondisi hidro-oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan
tersebut tidak dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan
musim utara.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut adalah
sebagaimana disajikan dalam Gambar 7.
Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan
budidaya rumpur laut dapat dilihat pada Tabel 13.
81
Tabel 13. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 3.790.540
2 Sesuai 7.492,305
Sumber: hasil analisis spasial
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
rumput laut adalah sebagai berikut:
(iii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 3.790,540 ha,
tersebar di pesisir Desa Sangkima, Desa Sekerat, Desa Kaliorang, Dusun
Labuhan Kelambu, sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Tanjung Pagar,
dan Teluk Nepa.
(iv) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.492,305 ha,
tersebar di sepanjang pesisir Kabupaten Kutai Timur .
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara
berkelanjutan. Sebagai pembatas pada kawasan ini adalah: (i) lokasi berada pada
lahan yang mempunyai kondisi pergerakan arus dan gelombang yang pada musim
tertentu (musim selatan) bersifat ekstrim, sehingga pada musim tersebut tidak
dapat dilakukan usaha budidaya rumput laut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak
cukup mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat,
(iii) lokasi yang cukup jauh dari sarana transportasi, sehingga memerlukan
tambahan biaya untuk pengangkutan.
82
Gambar 7. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
76
Identifikasi Keterlibatan dan Peran Stakeholder
Untuk menganalisis konflik pemanfaatan ruang dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan untuk merumuskan arahan pengembangan kegiatan
perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dilakukan dengan metode
participatory oleh stakeholder yang terkait agar diperoleh hasil yang partisipatif,
integratif, dan akomodatif.
Berdasarkan hasil identifikasi stakeholders, maka stakeholders yang terkait
dengan pengembangan kegiatan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur adalah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Stakeholder yang Terkait dengan Kegiatan Perikanan Budidaya di Pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Kelompok
Stakeholders Stakeholders
Pemerintah Daerah
1. DPRD KabupatenKutim 2. Dinas Kelautan dan Perikanan, 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, 4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 5. Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Timur, 6. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, dan 7. Taman Nasional Kutai Timur,
LSM 8. Yayasan BIKAL Swasta/ Masyarakat Pesisir
9. Masyarakat Pembudidaya, 10. Masyarakat Nelayan, 11. Masyarakat Wisatawan, 12. PT Kaltim Prima Coal, 13. PT Pertamina 14. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan 15. Koperasi Perikanan
Akademisi 16. Stiper Kutai Timur Sumber: Analisis Data Primer Lebih lanjut, stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut
dikelompokkan/dipetakan dalam suatu kriteria sesuai dengan tingkat kepentingan,
kapasitas, dan relevansinya atas pembangunan.
Dengan pemetaan stakeholder, maka akan didapat profil stakeholder yang
diperlukan. Sebagai suatu alternatif, secara lebih rinci pemetaan stakeholder bisa
dilakukan dengan memberi skor dengan melihat peran, pengaruh stakeholders
pada perencanaan daerah. Tabel 15 berikut ini menunjukkan matrik analisis
77
pengaruh stakeholders terhadap pengembangan perikanan di pesisir Kabupaten
Kutai Timur.
Tabel 15. Matriks Analisis Pengaruh Stakeholders Terhadap Pengembangan Kegiatan Perikanan di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Pengaruh Kegiatan Terhadap Kepentingan Stakeholders T= tidak dikenal 1 = tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci
Pengaruh Stakeholders Terhadap Keberhasilan Kegiatan T= tidak dikenal 1 = tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci
Sarana produksi dan infrastruktur penunjang perikanan budidaya pesisir
bisa dikatakan belum tersedia sama sekali di Kabupaten Kutai Timur, baik dari
sarana pembenihan, penyediaan sarana produksi seperti pakan, obat-obatan, dan
peralatan budidaya, maupun sarana pengolahan pascapanen. Untuk memenuhi
semua kebutuhan sarana produksi tersebut, pembudidaya harus mencarinya ke
luar daerah seperti Bontang, Samarinda, dan Balikpapan.
W2: Kurangnya Sarana Informasi Pasar
Pembudidaya rumput laut dan kerapu di Kabupaten Kutai Timur belum
mepunyai informasi pasar nasional dan internasional yang cukup memadai untuk
memasarkan hasil panennya. Selama ini pembudidaya hanya menjual hasil
panennya ke tengkulak dengan harga sesuai yang ditawarkan tengkulak, sehingga
harga yang diperoleh relatif rendah.
W3: Kurang Pengetahuan Teknologi Budidaya
Berdasarkan hasil pengamatan pada saat survei, beberapa unit karamba
kerapu yang diamati dalam keadaan kosong. Tersendatnya usaha budidaya
karamba kerapu ini terjadi karena pembudidaya tidak menguasai faktor teknologi
dan manajamen budidaya dengan baik, terutama faktor benih yang bermutu,
pengendalian hama dan penyakit, pakan ikan, serta pemilihan lokasi yang benar.
Demikian juga dengan budidaya rumput laut, unit yang kosong terjadi karena
pembudidaya kesulitan memperoleh benih rumput laut yang unggul, serta kondisi
oseanografi yang ekstrim pada musim angin selatan dan pancaroba.
Pada usaha budidaya tambak, kolam-kolam yang kosong terjadi karena
pembudidaya kesulitan memperoleh benih udang dan ikan bandeng yang bermutu.
Sedangkan benih alam yang ditangkap dari perairan disekitarnya dijual dengan
harga yang lebih mahal dibanding harga benih dari hatchery. Sebagai contohnya
adalah benur alam ukuran fingerling dibeli dengan harga Rp. 100,00/ekor
sementara bila dibeli dari hatchery harganya Rp. 40,00/ekor. Namun yang menjadi
masalah adalah di Kabupaten Kutai Timur tidak ada hatchery, hatchery yang
102
102
terdekat berada di Kota Balikpapan yang jaraknya sekitar 250 km atau sekitar 6
jam bila ditempuh melalui jalan darat.
W4: Kurang Pengetahuan Teknologi Pasca Panen
Teknologi pascapanen juga belum dikuasai dengan baik oleh
pembudidaya. Hasil panen dari budidaya tambak umumnya dijual dalam keadaan
segar, namun karena belum ada coldstorage pendinginan hanya dilakukan dengan
menggunakan es batu. Sedangkan pabrik es batu belum tersedia, sehingga es batu
dibuat dengan menggunakan refrigerator (lemari es), akibatnya harga es menjadi
mahal, dan menambah tinggi biaya produksi. Pabrik es batu yang pernah
dibangun dengan dana dari proyek PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir) pada tahun 2003 di Dusun Kenyamukan, Kecamatan Sangatta sudah tidak
dapat berproduksi 2 bulan setelah pabrik tersebut dibangun. Masalahnya karena
tidak cukup suplai air tawar untuk pembuatan es dan tidak ada teknisi yang dapat
melakukan perawatan mesin terhadap pabrik es tersebut.
Perlakuan pascapanen terhadap rumput laut adalah dengan pengeringan.
Belum ada usaha pengolahan terhadap rumput laut menjadi produk jadi seperti
manisan, dodol, atau serbuk agar-agar. Sementara itu sebagai pembanding, para
pembudidaya rumput laut di Kota Bontang telah mampu mengolah rumput laut
menjadi manisan dan dodol, dan dijual sebagai oleh-oleh khas daerah tersebut.
W5: Kualitas SDM Rendah
Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur masih
rendah, terutama masyarakat di desa pantai, karena umumnya desa-desa pantai di
Kabupaten Kutai Timur masih terisolir dan kurang fasilitas pendidikan.
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Kutai Timur tahun 2005, tingkat
pendidikan tertinggi yang dicapai oleh penduduk usia 10 tahun ke atas adalah:
tidak sekolah sebanyak 31.673 orang (25,60%), tamat Sekolah Dasar sebanyak
41.397 orang (33,46%), dan tamat Sekolah Lanjutan Pertama sebanyak 25.479
orang (20,59%), atau sekitar 79,65% penduduk Kabupaten Kutai Timur hanya
berpendidikan di bawah Sekolah Lanjutan Pertama. Rendahnya tingkat
pendidikan ini menyebabkan informasi teknologi budidaya lambat diserap oleh
masyarakat. Selain itu masyarakat juga kurang memahami pentingnya menjaga
103
103
kelestarian sumberdaya alam untuk mendukung keberlanjutan usaha perikanan
budidaya.
3) Peluang:
O1: Permintaan Pasar Tinggi
Peluang terbesar yang mendukung pengembangan perikanan budidaya
pesisir adalah permintaan terhadap produk perikanan yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Sebagian besar spesies budididaya laut seperti ikan napoleon,
ikan kerapu, udang lobster, teripang, abalone, kerang mutiara merupakan
komoditas ekspor yang sangat diminati oleh pasar internasional sehingga
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tidak hanya pasar internasional, di dalam
negeripun pemintaan produk budidaya laut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
(seafood) masyarakat terus meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan
masyarakat dan perubahan pola hidup masyarakat dari agraris menjadi industri
(Soebagio, 2004).
Hasil penelitian FAO (1993) yang diacu oleh Soebagio (2004),
mendapatkan adanya kecenderungan perubahan pola makan masyarakat agraris
yang sedang berubah menjadi masyarakat industri. Salah satu perubahan pola
makan tersebut adalah adanya kecenderungan peningkatan jumlah manusia yang
makan di luar rumah, seperti di kantin kantor, katering, restoran. Perubahan pola
makan tersebut menuntut adanya makanan dan bahan makanan yang gampang dan
cepat disajikan dan dimakan (ready to eat) atau dimasak (ready to cooked),
seseuai dengan pola hidup masyarakat industri yang serba cepat. Hasil penelitian
tersebut juga memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi
makanan dari laut (seafood).
Kebutuhan kerapu untuk pasar dunia total diperkirakan sebesar 24.200 ton
per tahun atau sebesar US$ 290 juta untuk harga rata-rata US$ 12 per kilogram
(BPPT, 2002). Sedangkan untuk pasar rumput laut jenis Euchema cottoni, pada
tahun 2006 kebutuhan dunia diperkirakan sebesar 202.300 ton kering dan sampai
tahun 2010 diperkirakan sekitar 274.100 ton kering (Anggadireja et al, 2006).
Harga ikan kerapu tikus dalam keadaan hidup ditingkat nelayan dapat
mencapai US$ 20 (Rp 200.000,-) untuk setiap kilogramnya. Ikan tersebut
104
104
diekspor terutama ke Hongkong dengan harga jual yang berlipat kali. Harga
rumput laut kering juga meningkat cukup tajam yaitu Rp. 2.450/kg pada tahun
2004 menjadi Rp. 4000/kg pada tahun 2006.
O2: Dukungan Permodalan dari Pemda dan Perusahaan Mitra
Peluang lain dalam pengembangan perikanan budidaya adalah adanya
dukungan modal dari pemerintah dan perusahaan mitra. Pada tahun 2006, Dirjen
budidaya DKP Pusat memberi batuan untuk pengembangan rumput laut dengan
penyaluran melalui Dana Penguatan Modal (DPM) bank BRI sebesar 140 juta.
Bunga Angsuran yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu
pembayaran per 3 bulan. Sedangkan untuk karamba kerapu, Dirjen budidaya DKP
Pusat memberi bantuan sebesar 285 juta untuk 10 unit karamba. Bunga Angsuran
yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu pembayaran per tahun
untuk budidaya karamba kerapu. Untuk memperoleh pinjaman ini Kelompok
Pengelola Budidaya yang terdapat di kecamatan-kecamatan harus mengajukan
permohonan pinjaman Dana Penguatan Modal ke Bank BRI berdasarkan
rekomendasi dari UPP Perikanan budidaya.
Selain investasi yang berasal dari Dirjen Budidaya DKP Pusat, Dinas
Kelautan Perikanan Kabupaten Kutai Timur juga memberikan bantuan berupa
proyek demplot untuk budidaya rumput laut sebesar Rp. 275 juta pada tahun
2006.
O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung Perikanan Budidaya
Lembaga pendidikan yang mendukung pengembangan perikanan budidaya
di Kabupaten Kutai Timur adalah Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur
(STIPER Kutai Timur) dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kelautan
Sangatta (SMKN Kelautan Sangatta).
Salah satu Program Studi di STIPER Kutai Timur adalah Program Studi
Ilmu Kelautan. Program Studi ini mempunyai konsentrasi pada pengembangan
potensi pesisir dan laut di Kabupaten Kutai Timur. Out put dari program studi ini
adalah sarjana perikanan dengan kompetensi 40 % teori dan 60 % praktek.
Sedangkan SMKN Kelautan Sangatta menghasilkan lulusan dengan kompetensi
105
105
sebagai teknisi budidaya. Para lulusan ini merupakan SDM yang dapat
diberdayakan untuk pengembangan perikanan budidaya.
4) Ancaman:
T1: Tengkulak yang Mendominasi Pasar
Belum tersedianya lembaga pemasaran semacam koperasi yang mampu
menampung dan memasarkan hasil budidaya menyebabkan masyarakat terpaksa
menjual hasil panennya pada penampung/tengkulak, yang akan membawa hasil
panen tersebut ke eksportir di Balikpapan.
Belum berfungsinya lembaga pemasaran ini berimbas pada harga produk
yang fluktuatif di tingkat pembudidaya. Harga kerapu tikus yang diperoleh
pembudidaya dari tengkulak/penampung adalah sekitar Rp. 230.000,00 per
kilogram dalam keadaan hidup. Sedangkan bila dijual langsung ke eksportir di
Balikpapan harga yang diperoleh adalah Rp. 300.000,00. Selain kurang
berfungsinya lembaga pemasaran, terjadinya fluktuasi harga adalah karena
pembudidaya tidak mengetahui informasi pasar yang terkini, baik mengenai
harga, permintaan pasar, maupun siapa konsumen yang memerlukan produk
perikanan.
T2: Persaingan dengan Produk dari Luar Daerah
Ancaman lain dalam pemasaran hasil budidaya adalah adanya produk dari
daerah lain, misalnya Kota Bontang. Perikanan budidaya pesisir di Kota Bontang
lebih maju dibanding budidaya di Kabupaten Kutai Timur, karena sarana dan
prasarana serta akses ke Bontang sudah tersedia, sehingga pemasarannya lebih
luas. Produksi tambak seperti bandeng dan udang windu dari Bontang banyak
masuk ke pasar di Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur.
T3: Pencemaran Industri pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ancaman dari lingkungan terhadap pengembangan budidaya di
KabupatenKutai Timur adalah tingginya sedimentasi dan polutan yang terbawa
melalui sungai. Pemukiman di Pulau Kalimantan umumnya berada di sepanjang
sungai, karena dahulunya sungai merupakan sarana transportasi yang vital
sebelum dibangun jalan darat. Selain pemukiman, banyak kegiatan seperti
106
106
transportasi sungai, pasar, dan industri yang membuang limbah ke sungai. Dari
hasil pengamatan pada sungai-sungai yang berada di tengah kota seperti S.
Sangatta, polutan yang sering ditemukan adalah minyak dan sampah. Sementara
sungai yang jauh dari kota umumnya masih bersih dari sampah.
T4: Konflik Pemanfaatan Lahan
Ancaman dari aspek sosial adalah adanya konflik pemanfaatan lahan antar
stakeholders di pesisir Kabupaten Kutai Timur. Konflik yang pernah terjadi
adalah antara perusahaan pertambangan PT Kaltim Prima Coal dengan
pembudidaya karamba pada Januari 2005.
T5: Kondisi Oseanografi yang Ekstrim pada Musim Tertentu
Kualitas perairan di pesisir Kabupaten Kutai Timur cukup mendukung
usaha perikanan budidaya. Namun pada saat tertentu kondisi arus dan gelombang,
yang sangat dipengaruhi oleh musim angin, dapat menjadi ekstrim dan merupakan
ancaman bagi kelanjutan usaha budidaya. Oleh karena itu diperlukan adanya input
teknologi yang dapat mengatasi ancaman tersebut.
Strategi Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir
Strategi pengembangan perikanan budidaya pesisir di Kabupaten Kutai
Timur dianalisa dengan menggunakan analisis SWOT.
Tabel 27. Hasil External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Faktor-faktor
Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Komentar
1 2 3 4 5 Peluang: O1: permintaan pasar tinggi O2: dukungan permodalan dari pemda dan mitra O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung
Perikanan Budidaya
0,20 0,15 0,10
4 4 2
0,80 0,60 0,20
Pemasaran Permodalan Teknologi
Ancaman: T1: tengkulak yang mendominasi pasar T2: persaingan dengan produk dari luar daerah T3: pencemaran industri pada DAS T4: konflik pemanfaatan lahan T5: kondisi oseanografi yang ekstrim
0,15 0,10 0,10 0,15 0,05
1 1 2 2 2
0,15 0,10 0,20 0,30 0,10
Pemasaran Pemasaran Teknologi Sosial Teknologi
TOTAL 1,00 2,45 Sumber: Analisis Data Primer
107
107
Tabel 28. Hasil Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS)
1 2 3 4 5 Kekuatan: S1: ketersediaan lahan masih luas S2: adanya investasi dari masyarakat S3: kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir S4: tersedia tenaga kerja lokal S5: etos kerja budidaya S6: tersedia sarana kelembagaan budidaya
0,1 0,1 0,1 0,1 0,05 0,05
4 3 3 2 1 1
0,4 0,3 0,3 0,2 0,05 0,05
Permodalan Permodalan Pendapatan Sosial Sosial Kelembagaan
Kelemahan: W1: terbatas sarana produksi/infrastuktur penunjangW2: kurangnya sarana informasi pasar W3: kurang pengetahuan tentang budidaya W4: kurang pengetahuan teknologi pasca panen W5: kualitas SDM rendah
0,15 0,1 0,1 0,1 0,05
1 1 2 2 3
0,15 0,1 0,2 0,2 0,15
Sarana Pemasaran Teknologi Teknologi Sosial
TOTAL 1,00 2,10 Sumber: Analisis Data Primer Dari hasil pembobotan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh diperoleh hasil bahwa faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) lebih besar pengaruhnya dibanding faktor internal (kekuatan dan kelemahan), terhadap pengembangan perikanan budidaya pesisir di pesisir kabupaten Kutai Timur, dengan rasio sebesar 2,45 : 2,10. Berdasarkan matriks EFAS dan IFAS tersebut di atas, maka dengan model matriks TOWS diperoleh strategi-strategi yang dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu:
i) Strategi SO, yaitu penggunaan unsur-unsur kekuatan wilayah pesisir untuk mendapatkan keuntungan dari peluang-peluang yang ada;
ii) Strategi WO, yaitu memperbaiki kelemahan yang ada di wilayah pesisir dengan memanfaatkan peluang yang tersedia,
iii) Strategi ST, yaitu penggunaan kekuatan yang ada untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal;
iv) Strategi WT, yaitu taktik pertahanan yang diarahkan pada pengurangan kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal (Vincentius, 2003)
108
108
Tabel 29. Matriks TOWS Strategi Pengembangan Kawasan Perikanan budidaya
MATRIKS TOWS
STRENGTH (S) S1: ketersediaan lahan masih luas S2: adanya investasi dari
masyarakat S3: kelayakan usaha perikanan
budidaya pesisir S4: tersedia tenaga kerja lokal S5: etos kerja budidaya S6: tersedia sarana kelembagaan
budidaya
WEAKNESSES (W) W1: terbatas sarana
produksi/ infrastuktur penunjang
W2: kurangnya informasi pasar
W3: kurang pengetahuan tentang budidaya
W4: kurang pengetahuan teknologi pasca panen
W5: kualitas SDM rendah OPPORTUNITIES (O)
O1: permintaan pasar tinggi O2: dukungan permodalan dari
pemda dan mitra O3: adanya lembaga pendidikan
yang mendukung perikanan budidaya
STRATEGI SO 1) peningkatan skala usaha
perikanan budidaya dengan memanfaatkan investasi dari mitra atau pemda;
2) pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai pekerjaan sampingan atau utama dalam perikanan budidaya;
STRATEGI WO 1) pengembangan sarana
dan infrastruktur budidaya laut;
2) peningkatan kapasitas SDM di pesisir;
3) pengembangan teknik budidaya dan pengolahan/pasca panen;
THREATH (T) T1: tengkulak yang mendominasi
pasar T2: persaingan dengan produk dari
luar daerah T3: pencemaran industri pada DAS T4: konflik pemanfaatan lahan T5: kondisi oseanografi ekstrim
STRATEGI ST 1) pengembangan sistem
pemasaran yang bisa menggerakkan perekonomian lokal;
2) pengembangan kawasan budidaya terpadu untuk mengoptimalkan pemanfaatan perairan pesisir;
STRATEGI WT 1) pengembangan akses
informasi budidaya melalui kelembagaan yang terkait;
Sumber: Analisis Data Primer
Strategi-strategi di atas selanjutnya diurutkan menurut rangking
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada
Tabel 30.
109
109
Tabel 30. Penentuan Prioritas Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
UNSUR SWOT KETERKAITAN SKOR RANK
Strategi 1
1) peningkatan skala usaha perikanan budidaya
dengan memanfaatkan investasi dari mitra
perusahaan atau pemda;
S1,S2,S3,O1,O2
2,40
1
Strategi 2 2) pengembangan teknik budidaya dan pasca