Top Banner
HAK ASASI MANUSIA DAN KONSEP NEGARA HUKUM (SUATU TINJAUAN HISTORIS) KAREL WOWOR, SH., MH BAB I PENDAHULUN A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN Pada zaman purbakala, filsuf-filsuf kenamaan pada zaman ini (pra-Socrates) seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Phitagoras, dan lain-lain, mencoba maencari inti alam semesta. Thales yang hidup pada tahun 624-548 berpendapat bahwa inti alam semesta itu adalah air. Anaximandros mengatakan teapeiron yang menjadi inti alam, yaitu suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya. Sedangkan Anaximenes (590- 528) menyebutkan udara. Yang sangat berbeda sekali pendapatnya ialah Phitagoras. Menurutnya, yang menjadi dasar dari segala sesuatunya adalah bilangan. 1 Anaximenes, Heraklitos dan Parmenides, mengakui adanya suatu “keharusan alamiah”. Manusia sebagai bagian dari alam semesta harus menyesuaikan diri dengan keharusan yang bersifat alamiah itu agar terwujud keadilan. Anggapan ini oleh para penulis sejarah filsafat hukum dinilai sebagai awal mula diakuinya berlakunya hukum alam dan hukum positif. Mereka menganggap baik hukum alam maupun hukum positif merupakan bagian dari aturan ketuhanan. 2 1 DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal 16-19. 2 H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 93. 1
42

Ham Dan Negara Hukum

Aug 13, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Ham Dan Negara Hukum

HAK ASASI MANUSIA DAN KONSEP NEGARA HUKUM (SUATU TINJAUAN HISTORIS)

KAREL WOWOR, SH., MH

BAB IPENDAHULUN

A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Pada zaman purbakala, filsuf-filsuf kenamaan pada zaman ini (pra-Socrates) seperti

Thales, Anaximandros, Anaximenes, Phitagoras, dan lain-lain, mencoba maencari inti

alam semesta. Thales yang hidup pada tahun 624-548 berpendapat bahwa inti alam

semesta itu adalah air. Anaximandros mengatakan teapeiron yang menjadi inti alam,

yaitu suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya. Sedangkan Anaximenes (590-528)

menyebutkan udara. Yang sangat berbeda sekali pendapatnya ialah Phitagoras.

Menurutnya, yang menjadi dasar dari segala sesuatunya adalah bilangan.1

Anaximenes, Heraklitos dan Parmenides, mengakui adanya suatu “keharusan alamiah”.

Manusia sebagai bagian dari alam semesta harus menyesuaikan diri dengan keharusan

yang bersifat alamiah itu agar terwujud keadilan. Anggapan ini oleh para penulis sejarah

filsafat hukum dinilai sebagai awal mula diakuinya berlakunya hukum alam dan hukum

positif. Mereka menganggap baik hukum alam maupun hukum positif merupakan bagian

dari aturan ketuhanan.2

Hukum alam, kata Marcus G. Singer merupakan satu konsep dari prinsip-prinsip umum

moral sistem keadilan, dan berlaku untuk seluruh umat manusia dan umumnya

diakui/diyakini oleh umat manusia sendiri. Karena itu hukum alam berbeda dan

mempunyai ukuran yang lain dari hukum positif yang berlaku pada suatu masyarakat.

Diangkat dari konsep hukum alam secara teoritik, individu mempunyai hak alam yang

dapat dipindahkan, sebagaimana termuat dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.

Konsep hukum alam mempunyai beberapa bentuk, yang ide awal bermula dari konsepsi

Yunani kuno yang intinya alam semesta, Setiap geraknya diatur oleh hukum abadi yang

tidak berubah-ubah dan di dalam perbedaannya berkaitan dengan adil menurut hukum

1 DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal 16-19.2 H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 93.

1

Page 2: Ham Dan Negara Hukum

alam dan adil menurut kebiasaan. Mazhab Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari

Kition (336 – 264 SM), memberi gambaran yang cukup lengkap tentang hukum alam.

Menurut aliran Stoa (nama Stoa menunjuk pada serambi bertiang, tempat Zeno

memberikan pelajaran), alam semesta diatur oleh logika (logos/prinsip) dan umat manusia

memilikinya. Karenanya manusia akan menaati hukum alam tersebut. Di sini manusia

mempunyai kebebasan memilih dan tidak mungkin mereka melanggar hukum selama ia

melakukan tindakan-tindakan di bawah kontrol akalnya yang berarti mengikuti kehendak

alami.

Para ahli filsafat Kristen menerima ajaran teori hukum alam Stoa dan hukum alam

diidentifikasi dengan hukum Tuhan. Thomas Aquino (1225-1274) hukum alam

merupakan bagian dari hukum keabadian Tuhan (The reason of devine wisdom), yang

dapat diketahui/dirasakan oleh manusia lewat kekuatan otaknya. Manusia atau hukum

positif merupakan aplikasi dari hukum alam pada masyarakat tertentu. Seperti kaum Stoa,

Aquino percaya bahwa hukum manusia (human law) yang tabrakan dengan hukum alam

bukan hukum yang benar. Thomas Aquino membagi hukum alam atas dua jenis:

a. Principia prima, asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak dapat

diasingkan daripadanya. Principia prima tidak dapat berubah menurut tempat dan

waktu.

b. Principia secundaria, asas yang bersumber dari principia prima, yang sebaliknya

tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktudan tempat. Seringkali asas

ini dikatakan sebagai penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap

principia prima, yang dapat berupa baik atau buruk. Suatu penafsiran dapat mengikat

umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan mengikat,

misalnya dalam bentuk undang-undang.3

Lewat sekularisasi masyarakat dari masa renaisance/kebangkitan pikiran dan refomasi,

teori hukum alam memperoleh landasan yang kokoh/landasan baru lewat akal manusia.

Pada abad XVII, ahli hukum Belanda Hugo de Groot atau Grotius (1583-1645) percaya

umat manusia secara alamiah tidak saja sebagai makhluk rasional tetapi juga makhluk

sosial. Aturan tersebut secara alamiah berlaku untuk manusia ditentukan oleh logika

manusia sendiri (terlepas dari keterkaitan Tuhan) memungkinkan manusia hidup harmonis

3 H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 99

2

Page 3: Ham Dan Negara Hukum

satu dengan lainnya. Dari sini Grotius mengembangkan teori hukum internasional secara

lebih konprehensif.

Seterusnya, ahli filsafat Inggris (1588-1679), Thomas Hobbes melakukan modifikasi

kebiasaan hukum alam, yang semula dalam alam terdapat harmonisasi/keadilan menjadi

tidak ada keadilan. Manusia karena wataknya yang rakus, agresif dan mementingkan diri

sendiri. Demi pembelaan diri, pengamanan dan tercapainya keinginan manusia sendiri,

manusia mengikatkan diri dalam satu ikatan sosial/perjanjian sosial (social contract).

Dalam perjanjian sosial, manusia menyerahkan bulat-bulat kemerdekaannya kepada

penguasa yang absolut.

Bagian ajaran utama Hobbes yang terutama menjadi masyur ialah pendapatnya dalam

bidang filsafat politik. Bukunya yang terpenting adalah Leviathan. Ia mengingkari bahwa

manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Satu-satunya kecondongan kodrati

pada manusia ialah mempertahankan adanya. Ia mengakibatkan suatu egoisme radikal:

”homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia). Tetapi dalam keadaan

demikian manusia justru tidak mampu untuk mempertahankan adanya. Itulah sebabnya

manusia mengadakan suatu perjanjian, yaitu bahwa mereka akan takluk pada suatu

kewibawaan. Dengan demikian negara timbul. Tetapi sekarang perjanjian itu tidak dapat

dicabut lagi, sehingga negara mempunyai kekuasaan absolut terhadap para warga negara.4

John Locke berpendapat bahwa, manusia dalam state of nature (hukum alam), merdeka

dan sederajat, sampai tidak aman/langgeng kemerdekaannya. Bila manusia masuk menjadi

anggota masyarakat, manusia hanya menyerahkan hak-haknya yang penting demi

keamanan dan kepentingan bersama. Masing-masing individu tetap memiliki hak

prerogatif fundamental yang diperoleh dari hukum alam yang terkait dengan integritas

kemanusiaan dan hak miliknya. Teori hukum alam memberikan dasar/basis filsafat dari

Revolusi Amerika dan Perancis.

Dalam abad XIX, teori hukum alam kehilangan pengaruh atas paham/aliran kemanfaatan

(utilitorianism). Tokoh-tokoh dari aliran ini ialah Jeremy Bentham (1748-1832)

disamping juga John Stuart Mill (1806-1973) dan Rudolf von Jhering (1818-1889,

aliran positif, materialisme, aliran sejarah hukum dalam mencapai kekuatannya dan cita-

citanya.

4 K. Berten, Ringkasan Sejarah Filsafat, cet. 15, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 51

3

Page 4: Ham Dan Negara Hukum

Seterusnya dalam abad XX hukum alam mendapat perhatian khusus, sebagian atas reaksi

paham absolut. Hal ini disebabkan isi dan implementasi hukum alam seluruhnya tidak

bersifat deterministik/mengatur, tetapi muncul dan dapat menarik dalam rangka

membantu penyelesaian konflik secara ideal.

Kritik-kritik yang muncul akibat tidak tegasnya hukum alam, merupakan kelemahan,

karenanya, para pendukung hukum alam menekankan untuk lebih fleksibel dan hati-hati.

Problem tersebut mendorong para pendukung hukum alam berseru tentang “hukum alam

dengan perubahan isi” dan mengajak berpikir bahwa hukum alam merupakan ide yang

pasti tentang keadilan yang dapat diterapkan dalam segala cara pada situasi yang berbeda-

beda (Grolier Academic Ency, 1983: 49).

Dari tulisan tersebut menunjukkan bahwa, hukum alam cenderung berkembang terus

dengan muatan sesuai dengan perkembangan masyarakat internasional itu sendiri.

Nilai-nilai asasi hukum alam pada etika (moral) diharapkan tetap dipertahankan dan

mewarnai semua aspek hubungan kemasyarakatan yang ada. Persoalannya kemudian

muncul, moral mana yang cocok dengan hukum alam?

Dalam perkembangannya, pengertian hukum alam selain terlalu umum, juga berbeda-beda

isi dan tafsirannya. Hal ini, menurut Prof. Ritchie, dalam bukunya Natural Rights,

mengemukakan sejarah hukum alam itu sesungguhnya tidak lain daripada sejarah gagasan

hukum alam di dalam hukum dan politik.5 (A.P.d’Entreves, 1963: 9). Dengan demikian,

ungkapan yang sudah sering kita dengar manusia adalah zoon politicon dari Aristoteles

maupun manusia menurut kodratnya sama dan bebas, mengandung makna/tafsiran yang

bervariasi. Hal ini, sesuai dengan “kandungan” hukum alam yang berkait dengan norma

tentang benar salah dan selaras dengan alam. Karena itu, dalam masyarakat yang semakin

modern, keberadaan dan kemampuan hukum alam dipertanyakan orang. Hukum alam

memang terkait dengan tingkah laku manusia sepanjang masa, sehingga Sir Frederick

Pollock menyatakan ”Hukum alam mempunyai sejarah yang berlangsung terus menerus

secara sempurna”.

5 A.P. d’Entreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, 1963, hal. 9

4

Page 5: Ham Dan Negara Hukum

Sehubungan dengan itu, bagaimana tingkah laku manusia dalam kaitannya hidup

bermasyarakat tetap harmonis, membangkitkan pikiran manusia untuk membicarakan

tentang keadilan tertinggi dari Tuhan dan akal manusia.

Hukum alam, pada dasar merupakan satu sistem hukum yang universal yang disusun oleh

para pemikir Yunani. Pikiran-pikiran tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh bangsa

Romawi dalam buku Corpus Iuris Civilis yang sampai sekarang dapat diketahui asas-

asasnya yang masih hidup.

Bagaimana mengatur siasat manusia bermasyarakat, agar tercipta keadilan, kebaikan dan

kesejahteraan, dibutuhkan ilmu dan kiat yang berhubungan dengan keberadaan hukum

sendiri.

Sebagai ilmu pengetahuan, hukum adalah pengetahuan tentang manusia dan tentang hal-

hal yang bersifat kudus ( devinarum atque humanarum rerum notitia), suatu teori tentang

benar dan salah (iusti atque iniusti scientia). Sebagai seni hukum merupakan kelanjutan

dari apa hal-hal yang baik dan adil (ars boni et acqui). Demikian tingginya tugas ahli

hukum sehingga dapat dibandingkan dengan tugas agamawan (merio quis nos

sacerdatos). Ia betul, seorang agamawan dan penyeru keadilan, oleh karena keadilan dan

hukum bersifat korelatif (iustitia est constans et perpetua volunta ius suum cuique

tribuere) 6

Diakui bahwa akibat proses perkembangan masyarakat, diversifikasi dan tugas hukum

semakin berkembang sesuai dengan strata, bidang, ruang lingkup, sasaran dan kelompok

masyarakat yang membutuhkan. Dalam mempersiapkan semuanya, kiranya hukum alam

(ius naturale), sebagai apa yang senantiasa baik dan benar (bonum et aequum) tetap

berperan karena pada hakekatnya hukum yang hakiki sesuai dengan akal yang benar dan

sesuai dengan alam.

Salah satu tokoh hukum alam, Grotius mengemukakan suatu hipotesis tentang

keberadaan/kewajaran hukum alam yang terlepas dari Tuhan. Pandangan Grotius

merupakan satu tesis/dalil yang intinya jika hukum alam terdiri dari rangkaian peraturan

yang mutlak, maka pembahasannya didasarkan kepada suatu koherensi dan keperluan

intern. Untuk menjadi ilmu pengetahuan, hukum tidak harus tergantung dari pengalaman

melainkan definisi, bukan kenyataan tetapi deduksi-deduksi logis. Oleh karena itu hanya

asas hukum yang dapat membentuk ilmu pengetahuan semacam itu, dan harus disusun

6 A.P. d’Entreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, 1963, hal. 19.

5

Page 6: Ham Dan Negara Hukum

dengan mengenyampingkan semua hal yang dapat berubah dan berbeda dari tempat yang

satu ke tempat yang lain7.

Dengan demikian hakikatnya bagi hukum rasional, hukum alam tidak perlu diperkuat

karena memang demikian. Di dalam hukum berisi ukuran-ukuran/kualifikasi yang ada

kaitannya dengan kenyataan yang dihadapi. Dari sari ajaran hukum alam tersebut di atas

dapat disimpulkan bahwa hukum alam tersebut kekal dan tidak akan mati karena sesuai

dengan nurani manusia. Malah dikatakan oleh O. Von Gierke ”....(hukum alam jika tidak

diperkenankan masuk ke dalam hukum positif maka ia akan terbang kian kemari di dalam

kamar seperti hantu dan mengancam akan merubah menjadi kelelawar yang menghisap

darah dari tubuh hukum positif .8

Kalau dikaitkan misalnya dengan Declaration of Human Rights terbukti mempunyai nilai

yang relatif sama, khususnya dari segi efektivitasnya sama-sama berisi sederet keinginan.

Hal ini membuktikan, kata penganut teori hukum alam bahwa hukum positif pun suatu

saat pernah menghadapi ganjalan, tantangan dan ketidakberdayaan sama seperti hukum

alam. Adanya kesepakatan lahir batin pemerintah dan anggota masyarakat mutlak

diperlukan.

Karena itulah hukum positif dikesankan seperti ’mengubah’ istilah yang emosional ke

dalam istilah yang lebih riil dan rasional misalnya kebenaran moral menjadi kepastian

hukum, walau dalam makna kepastian tersebut harus mematikan akal karena kita terpaksa

menaati hanya ditetapkan pasti (oleh hukum positif).

B. PERMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam tulisan ini

adalah : Bagaimanakah Hak Asasi Manusia dan Konsep Negara Hukum (suatu

tinjauan historis).

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penulisan ini adalah:

7 ------------- hal. 60.8 A.P. d’Entreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata,

1963, hal. 130.

6

Page 7: Ham Dan Negara Hukum

1. Untuk mengetahui sekilas sejarah Hak Asasi Manusia

2. Untuk mengetahui konsep dari negara hukum.

D. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi data itu.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.

BAB IIHAK ASASI MANUSIA DENGAN NEGARA HUKUM

A. HUKUM ALAM DAN HAK ASASI MANUSIA

7

Page 8: Ham Dan Negara Hukum

Persolan antara justice/gerecht/adil, dengan truth/rechtig/benar dalam hukum akan

dibicarakan terus sepanjang masa, karena hal ini menyangkut hakikat kemanusiaan dan

harkat manusia dalam masyarakat.

Seperti diketahui Aristoteles menganggap hukum alam merupakan produk rasio manusia

semata-mata demi terciptanya keadilan abadi, sehingga keadilan menurut Aristoteles

mempunyai dua makna, yakni:

a. Adil dalam undang-undang bersifat temporer/berubah-ubah sesuai dengan waktu dan

tempat, sehingga sifatnya tidak tetap dan keadilannyapun tidak tetap.

b. Adil menurut alam berlaku umum, sah dan abadi sehingga terlepas dari kehendak

manusia sendiri.

Keadilan alam merupakan himpunan norma-norma hukum alam dan memuat prinsip-

prinsip umum yang bersumber dari alam budi manusia. Warga negara Yunani Kuno telah

memiliki hak yang disebut isogaria (hak bicara) dan isonomia (persamaan di muka

hukum).

Hukum alam (natural law) salah satu muatannya adanya hak-hak pemberian dari alam

(natural rights), karena dalam hukum alam ada sistem keadilan yang berlaku universal.

Adanya hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak

kepada kemanusiaan. Lepas dari perdebatan hubungan antara hak, kewajiban dan

tanggungjawab dalam diri hukum itu sendiri yang masih terus berlangsung. Namun satu

hal yang pasti, hak mempunyai kedudukan/derajat utama dan pertama dalam konteks

hukum dan hak asasi manusia.

Dalam rangka tercapainya keharmonisan hubungan anggota masyarakat, hubungan antara

hak, kewajiban dan tanggungjawab secara proporsional akan mewujudkan hubungan ideal

antar anggota masyarakat. Selama ini hak asasi manusia sering disebut hak kodrat, hak

dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut natural rights, human rights

dan fundamental rights. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal Grond Rechten,

Mensen Rechten, Rechten van den mens. Istilah-istilah tersebut menunjuk, sebagaimana

disebut di muka, yang titik beratnya pengakuan adanya hak manusia. Dalam kehidupan

manusia bermasyarakat lebih lanjut ’bergandeng tangan’ dengan kewajiban asasi dan

tanggungjawab asasi.

8

Page 9: Ham Dan Negara Hukum

Hak dalam dirinya ada suatu wewenang/tuntutan (claim), karena merupakan

wewenangnya sehingga tuntutan tersebut bagian integral dari hak itu sendiri. Artinya,

manakala hak-hak kemanusiaan dinjak-injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan,

dilanggar sampai dihapus atau dibuang akan timbul tuntutan pemulihannya.

Louis Henkin, dalam tulisannya The Rights of Man To Day, yang dikutip oleh Philipus

Hadjon, “ …. Human Rights are claims asserted recognized ‘as of rights’ not claims

upon love, or grace or brotherhood, or charity one does not have to earn or deserve then.

They are not merely aspirations or moral assertions but increasingly legal claims under

some applicable law” .9 Istilah natural rights berkembang menjadi human rights pada

abad XVII oleh para sarjana Perancis/Inggris (Thomas Hobbes, John Locke,

Montesquieau, J.J. Rousseau) mengandung makna persamaan di depan hukum.

Dalam perkembangan lebih lanjut untuk hak asasi manusia dikenal pula istilah

fundamental rights, meliputi legal rights dan moral rights. Hak tertentu dikatakan

fundamental bukan karena hak-hak tersebut konstitusional sifatnya.10

Perkembangan konsep hak asasi seirama dengan perkembangan hukum alam, karena itu

penelusurannya dilihat dari segi sejarah terdapat kebersamaannya.

Philipus M. Hadjon mengatakan lebih lanjut tentang konsep hak asasi manusia pada

abad XX merupakan sintesis dari tesis abad XVIII dan antitesis abad XIX.

Tesis abad XVIII, hak asasi manusia tidaklah ditahbiskan secara ilahi (divinely ordained),

juga tidak dipahami secara ilahi (divinely conceived); adalah ciptaan Allah. Hak-hak itu

sifatnya kodrat (natural) dalam arti:

- Kodratlah yang menciptakan dan mengilhami akal budi dan pengetahuan manusia,

- Setiap manusia dilahirkan dengan hak-hak tersebut,

- Hak-hak itu dimiliki manusia dalam keadaan alamiah (state of natural) dan kemudian

dibawanya dalam hidup bermasyarakat. Adanya pemerintah, individu itu tetap otonom

9 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal. 50

10 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 51.

9

Page 10: Ham Dan Negara Hukum

dan berdaulat, karenanya berdaulat di bawah setiap pemerintah. Oleh sebab itu,

kedaulatan tidak dapat dipindahkan (inalienable) dan adanya pemerintah hanya atas

persetujuan dari yang diperintah.

Antitesis abad XIX; pertama, masuknya dukungan etik dan utilitarian, kedua pengaruh

sosialisme yang lebih mengutamakan masyarakat atau kelompok daripada individu,

bahwa keselamatan individu hanya dimungkinkan dalam keselamatan kelompok atau

masyarakat.

Sintesis abad XX; pertama, abad XX menjembatani hukum kodrat dan hukum positif

yaitu dengan menjadikan hak-hak kodrat sebagai hak-hak positif (positive legal rights),

kedua, mengawinkan penekanan pada individu (yang sifatnya otonom dan memiliki

kebebasan) dengan penekanan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi untuk semuanya,

mengawinkan pandangan terhadap pemerintah sebagai ancaman bagi kebebasan dengan

padangan terhadap pemerintah sebagai alat yang dibutuhkan untuk memajukan

kesejahteraan bersama.11

Sebaliknya abad-abad sebelumnya yaitu abad XV/XVI dengan sistem pemerintah yang

otoriter, segi-segi kewajiban manusia yang ditonjolkan, dalam arti melaksanakan

kewajiban untuk negara.

Dengan demikian, bila abad XVIII mulai mengedepankan kemerdekaan dan kebebasan

individu sebagai ’arus balik’ sistem pemerintahan diktator/otoriter sebelumnya dan

mengalami revolusi Amerika/Perancis, maka abad XIX menekankan aspek persamaan di

depan hukum dalam arti individu sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat hidup

sendiri-sendiri, tetapi harus hidup dalam suatu masyarakat karena mempunyai persamaan

tujuan, persamaan kepentingan sehingga hak-hak individu mempunyai fungsi sosial.

Karena itu hak individu yang semula sifatnya mutlak seperti hak milik ’bergeser’ dan

mengandung unsur-unsur sosial. Sedangkan abad XX, kedua hak tersebut merupakan satu

paket yang tidak terpisahkan sebagai hak dasar (basic rights) dengan jalan memasukkan

ke dalam satu deklarasi internasional tentang hak asasi manusia, lewat Deklarasi Hak

Asasi Manusia 10 Desember 1948. Hal ini menunjukkan bahwa hak asasi tidak terbatas

11 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal. 53.

10

Page 11: Ham Dan Negara Hukum

pada hak politik/sipil, tetapi hak ekonomi, sosial dan kultural dan dapat berkembang terus

merupakan bagian integral dari ’isi’ hak asasi manusia.

Khusus penekanan konsep kewajiban, disamping kebebasan ataupun persamaan secara

terpisah dapat dilihat atau dikembalikan kepada sistem pemerintah/negara (sistem politik

yang berlaku pada saat itu) ditambah kecenderungan kemajuan berpikir, keberanian para

pemikir dan anggota masyarakat dalam mengemukakan ide/gagasannya. Di dalam makna

kewajiban terkandung adanya beban/tugas yang harus ’dijaga’.

Dari uraian di atas, harus diakui bahwa hubungan antara hukum alam dan hak asasi

bersifat integratif dalam arti antara hukum alam dan hak asasi manusia tidak dapat

dipisahkan. Bicara soal hukum alam tidak dapat tidak, harus bicara dengan hak asasi

manusia. Inti hukum alam tidak dapat lepas dengan ide/konsep moral/etika, keadilan

dalam masyarakat/negara, justru hukum alam mendambakan keadilan seluruh alam.

Keadilan universal merupakan keadilan potensial, menjadi berkembang dengan tafsir yang

beragam manakala berhadapan dengan politik dan negara. Namun yang pasti, penafsiran

dan sampai pelaksanaannya yang jauh dari ide dasar hukum alam dan kemanusiaan hanya

akan bersifat kesementaraan.

Human Rights is fairly new name for what were formerly called ‘the rights of man’ … the

Rights of man at an earlier date had itself replaced the original term ’natural rights’,

demikian ungkapan Eleonar Roosevelt pada tahun 1940 dalam rangkan mengembangkan

PBB.12

Golongan Stoi berpendapat bahwa antara jurist dengan filosof mempunyai ide yang sama,

Sebagaimana dikatakan Cicero, “there is a true law, rights reason, in accordance with

nature, it is unalterable and eternal” .13

Dalam “perjalanan” para penganjur Hak Asasi dalam arti memperjuangkannya

memerlukan waktu yang cukup panjang, para sarjana membagi dalam tiga golongan yang

tidak dapat dilepaskan dengan budaya dan sistim politik suatu negara/kawasan yang

bersangkutan, walaupun, hakikatnya, hak asazi manusia sedunia sama. Dengan demikian,

12 Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 1. 13 Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 1.

11

Page 12: Ham Dan Negara Hukum

HAM adalah konsepsi tentang diri manusia sendiri atau bicara tentang diri kita sendiri.

Karena kalau kita mau jujur, konsepsi HAM adalah milik manusia untuk selama hidup

dan merupakan konsepsi universal yang tidak dapat dihindari/diingkari.

Peningkatan/pembatalan HAM dari bicara soal HAM hanya bersifat kesementaraan saja.

1. Konsep Hak Asasi Manusia Paham Liberal

Hak asasi menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam deklarasi

kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776.

“... we hold these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are

endowed by their Creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of

happiness”.14

Nampak bahwa, pikiran Jhon Locke mewarnai proklamasi tersebut. Selanjutnya

Lafayette, orang Perancis yang aktif dalam perang kemerdekaan Amerika

mengembangkan lebih lanjut deklarasi Amerika tersebut ke dalam Declaration des Droit

de l’homme et du citoyen pada tahun 1789 di Paris:

“… men are born and remain free and equal in rights; indeed, that the purpose

of all political associations is the concervation of the natural and inalienable rights

of man; these rights are liberty, property, security and resistance to oppression;

Liberty is defined as “being unrestrained in doing anything that does not interfere

with another’s rights”, and is held to include the right to free speech, a free press,

religion freedom, and freedom from arbitrary arrest”.

Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa mengedapankan hak asasi manusia merupakan

reaksi keras terhadap sistem pemerintah, politik, sosial sebelumnya yang bersifat absolut,

yang seharusnya keberadaan negara (sebagai lembaga politik) untuk menjamin hak asasi

manusia. Dengan demikian, hak-hak tersebut bersifat mutlak harus dijunjung tinggi oleh

negara, pemerintah dan organisasi-organisasi yang ada. Penghormatan hak-hak individu

(kemerdekaan dan pemilikan), ada yang berpendapat merupakan satu kelemahan konsep

barat yang individualistic.

Individualisme berat, dilihat dari konteks sejarah, adanya hak-hak tersebut adalah”wajar”.

Mengapa kemandirian(zelfstandigheid) sesorang dohormati dan tidak gampang “larut”

dalam masyarakat yang puralistik. Bicara soal individu, ada yang berpendapat bahwa

14 Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 3.

12

Page 13: Ham Dan Negara Hukum

individualisme dalam konteks individualisasi dan mandiri sangat positif, sebaliknya

individualisme dalam arti tingkah laku yang ddidorong demi keuntungan/kepentingan diri

sendiri) negatif, sehingga harus dihadiri dan dijauhi.

Pada hakikatnya ”pemberian” kepercayaan kepada individu/pribadi tidak dapat dilepaskan

dari kenyataan dan ”tanbtangan” lingkungan yang cukup berat serta pengalaman hidup

dibawah pemerintahan otoriter, sentraslistik dan diktator, sehingga membentuk kutur yang

individualistik. Konsep mengedepankan kemandirian individu dalam hidup bermasyarakat

perlu mendapat pemikiran bersama.

Perkembangan/tumbuhnya paham egoisme”diredam” dikurangi kalau perlu (bila

mungkin) dihilangkan. Untuk itu, perlu didorong peningkatan rasa kebersamaan dalam

bernasyarakat dan bernegara. Kebersamaan dalam berbagai sektor kehidupan kiranya

dapat dikembangkan meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, kultur dan lain-lain

sebagaimana yang telah diakui oleh PBB.

T.H. Marshall menjelaskan ”Property rights are part of the civil rights that are essential

to individual freedom, and in the form of the freedom of contrac, they constitute the

governing principle of a free market economy. Social rights, on the other hand, entitle the

individual to some share of the social product based on membership in the economy

rather than on property or labor” .15

Selanjutnya dijelaskan, the core of modern social rights has always been represented by

the income protection and service that constitute the social security system. In the broad

sense in which I intend to use social security, it includes the statutory employment related

benefit of old age, disability, unemployment, and health insurance, as well as family

allowances and public assistance” .16

Sehubungan dengan itu, persoalan hak asasi manusia hendaknya didekati secara

konprehensif, dalam arti merupakan tanggung jawab bersama, baik penguasa pemegang

uang, pemikir, agamawan dan siapa saja yang merasa/mau terlibat dalam masalah

kemanusiaan. Hal ini penting, karena masih banyak kelompok manusia yang kurang

beruntung, baik karena berada pada posisi ”bawah, golongan tak berpunya” yang kurang

15 Gaston V. Rimlinger, Capitalism And Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 531.16 Gaston V. Rimlinger, Capitalism And Human Rights, Deadalus, 1983, hal. 53.

13

Page 14: Ham Dan Negara Hukum

mendapatkan hak-haknya. Disinilah perlu, pendekatan kontektual dalam melaksanakan

hak asasinya.17

Dalam suatu pemerintah dengan sistem politik sentralistrik, dictator, dengan segala

macam batasan dan ketertutupan, serta perintah tunggal dari penguasSa, dalam proses

waktu, sebagaimana dilihat dalam sejarah yang panjang, dapat berkembang menjadi

masyarakat feudal. Dalam masyarakat tersebut hak-hak individu tetap dibatasi, namun

mulai tumbuh hak-hak sosial dalam bentuk proteksi ekonmi dalam pengawasa/tugas-tugas

paternalistic dan diatur dalam kelompok-kelompok ekonomi. Reaksi dari site mini

munculnya paham kapitalisme yang mengembangkan mekanisme pasar bebas, sehingga

pengembangan hak milik individu dan kebebasan individu tidak terpisahkan.

2. Konsep Hak Asasi Manusia Paham Sosialis

Konsep sosialis mulai dari Karl Marx, menurut L. Henkin, makna hak asasi tidak

menekankan pada hak terhadap masyarakat, justru menekankan kewajiban terhadap

masyarakat. Dari ajaran tersebut, konsep sosialisme Marx bermaksud mendahulukan

kemajuan ekonomi daripada hak politik dan hak-hak sipil, mendahulukan kesejahteraan

daripada kebebasan.18

Hak asasi bukan bersumber hukum alam, tapi pemberian dari penguasa (pemerintah,

negara), sehingga kadar dan bobotnya tergantung kepada negara. Ide hak asasi bagian dari

ideologi komunis. Dengan demikian, hak asasi dari gerakan komunis tidak setua dengan

hukum alam, ia lahir bersama dengan lahirnya gerakan dan paham komunis.

Bagi seorang marxist, ”… Concept of liberty and idea of human rights, as defined by

Enlightenment thinkers and ideologists of the French Revolution, are the specific

expressions of a bourgeois society that is on the verge of collapse”19.

Dalam suatu masyarakat, menurut Leszek lebih lanjut, yang cenderung dan motivasi

tinggi memberi hak-hak kepada individu, menurut Marx, akan selalu “berhadapan”

dengan individu lain, sehingga anggota masyarakat egoistic, sifat tersebut bukan hasil dari

17 A. Masyhur Effendi, Wajah Hak Asasi Manusia, Pendekatan Secara Kontekstual, Jawa Pos, 10-12-1990.18 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-

Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 63.

19 Kolakowski Leszek, Marxism and Human Rights, Deadalus, 1983, hal 84.

14

Page 15: Ham Dan Negara Hukum

pengurangan hak-hak manusia berdasarkan hukum alam, sehingga perlu ditekankan dan

“diselamatkan” lewat sistem ekonomi yang mengurangi konflik.

Ajaran komunis yang menjanjikan penghapusan kelas dan perjuangan kelas bermaksud

menghilangkan akar konflik sosial, karena itu hak asasi manusia yang diangng-agungkan

ajaran liberalis menjadi tidak penting. Hak asasi menjadi perlu dalam masyarakat

kapasitalisme. Dalam masyarakat komunis, katanya, yang penting konflik tidak akan ada

dan juga tidak ada kelas. Dalam masyarakat komunis dapat menimati hak asasi di bidang

ekonomi yang dibutuhkan oleh semua anggota masyarakat, dan diatur di bawah negara,

kemandirian menjadi tabu. Dengan demikian, kehancuran ideologi komunis, sebagaimana

terlihat dewasa ini, dari sudut ini dapat dimengerti, karena paham komunis meniadakan

hak-hak individu, sehingga bertentangan dan menetang hukum alam (tidak memberi

kesempatan kepada orang per orang untuk memiliki hak selama hidup yang diberi oleh

Tuhan). Penekanan hak dalam hak asasi, justru karena sejak lahirnya manusia sudah

memiliki hak tersebut. Dengan demikian, dalam ideologi komunis mentabukan adanya

kelompok yang berbeda pendapat (oposisi), oposisi adalah lawan yang harus dihapuskan.

Menarik sekali pandangan bangsa Tanzania dalam seminar dengan mengundang lembaga

yang cukup bergengsi, semisal The Internasional Cimmission of Jurist, Beberapa

pemikiran yang berkembang didalam seminar beberapa tahun yang lalu tentang sistem

kepartaian negara Tanzania.

Pandangan beranjak dari satu asumsi dasar, bahwa ini hak asasi manusia berbicara tentang

hak perseorangan, karena itu, kata Daudi Mwakawago (ex Menteri Penerangan

Tanzania), tugas partai, baik yang bersistem tunggal ataupun banyak, salah satunya

melakukan kontrol sosial (terhadap pemerintah), disamping mengawasi

jalannya/pelaksanaan hukum yang telah disepakai bersama. Pengawasan tersebut dalam

rangka menegakkan Rule of Law 20

Tampaknya yang perlu diperhatikan ialah, bagaimana suatu aturan hukum tersebut

berjalan dalam satu negara. Apakah hukum yang berlaku benar-benar Just lau (Hukum

yang adil) dalam arti hukum yang menyalurkan aspirasi masyarakat ataukah unjust law

(Hukum atas dasar kemauan pemerintah). Ini soalnya!

20 Mansyur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 21.

15

Page 16: Ham Dan Negara Hukum

Memang negara-negara Afrika yang baru merdeka sedang “mencari´identitas. Tentu

didalam pencarian tersebut, adat, dasar, watak, dan kepribadiannya akan mendapat tempat

utama. Hal ini penting, selain untuk menghadapi persoalan intern antarsuku, juga melihat

pengaruh dan pendapat sarjana barat yang sudah mapan/berakar.

Doktrin yang dikumandangkan, ialah bagaimana membina perasaan/semangat nasional

antar semua warga negara dari setiap negara-negara di Afrika. Semua warga negara

merupakan satu keluarga dalam negaranya, kredo/semangat satu keluarga tersebut

semata-mata demi persatuan dan kesatuan bangsa, untuk itu, sistem partai tunggallah yang

paling tepat, begitu kata Pius Msekwa, Rektor Universitas Darusalam.

Dalam sistem partai tunggal, kritik membangun dikembangkan, justru dianggap dalam

satu keluarga. Dan kritik seperti ini lebih berhasil dari kritik lewat “modek” oposisi,

begitu katanya, Rektor Universitas Darusalam tersebut, dalam kunci pidatonya lebih lanjut

menyatakan bahwa, “Semua warga negara mempunyai persamaan hak di muka hukum/

pemerintah”, sehingga partisipasi dalam proses pembangunan negara juga besar, di sini

hak asasi tetep dijunjung tinggi dan dihormati.

Dalam sistem partai tunggal, katanya, ancaman dari oposisi tidak ada. Dan pimpinan

partai lebih terbuka menerima pengaduan dari berbagai kelompok yang memiliki

kebebasan berbicara. Jadi, adanya kebebasan mengeluarkan pendapat di kelompoknya

tetap ada. Upaya tersebut merupakan pencarian/penggalian nilai-nilai budaya bangsa yang

diangkat dalam rangka menegakkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan tanggung

jawab dan bernegara.

Presiden Julius Nyerere sampai menyatakan “The Ultimate Safeguard of a peoples

’Rights the peoples’ freedom, and all those things which they value … is the ethic of the

nation … The ultimate safeguard the peoples ability to say ‘no’ to the official, the ability

tosay to him: ‘no you cannot do that, that is un Tanganyikan and we cannot accept it from

anybody”.

3. Konsep Hak Asasi Manusia Dunia Ketiga

16

Page 17: Ham Dan Negara Hukum

Menurut H. Gros Espiel, di dalam kelompok dunia ketiga terdapat tiga kelompok yaitu

kelompok pertama yang dipengaruhi oleh kelompok sosialis, marxisme, kelompok kedua

yang dipengaruhi oleh konsep barat, dan yang ketiga, negara-negara yang karena filsafat

hidupnya, ideologi dan latar belakang sejarahnya merupakan suatu konsep tersendiri

tentang hak asasi manusia 21

Secara politis, dunia ketiga adalah negara-negara yang masuk dalam negara-negara

nonblok (nonaligment countries) dan terdapat di benua Asia, Afrika, Amerika Latin dan

beberapa negara di Eropa. Dari sekian negara ketiga sebagai contoh India dan Indonesia,

dapat dilihat lebih lanjut, sebagai berikut:

a. Mahatma Gandhi, bersurat ke Dirjen Unesco Paris tanggal 25 Mei 1947

mengemukakan pandangan India tentang hak-hak individu yang memperoleh

pengakuan yang sah serta mendapat perlindungan, meliputi 100 macam hak, 5 hak-hak

sosial dan 5 hak-hak perorangan.

Hak-hak sosial meliputi: ahimsa (freedom from violence = kebebasan dari kekerasan),

asteya (freedom from wants = kebebasan dari keinginan), aparigraha (freedom

exploitation = kebebasan dari penghisapan), avybhicara (freedom from violation or

dishouour = kebebasan dari pelanggaran), armitawa dan arogya (freedom from early

dead and decease = kebebasan dari kematian).

Hak perorangan meliputi: akredha (absence of intolerance = ketidakhadiran

ketidaktoleranan), buthadaya atau astreha (compassion of fellow feeling = rasa

kasihan rasa simpati), juaua vidya (knowledge = pengetahuan), satya atau suntra

(freedom of thought and consistence = kebebasan untuk konsisten dan pikiran),

pravetti atau abhaya atau dhrti (freedom from fear and frusta on or despair = bebas

dari ketakutan atau frustasi).22

b. Indonesia, menurut Soenawar Soekowati dalam buku Negara Kertagama, berisi tata

pergaulan bermasyarakat dan bernegara, disebutkan antara lain “.... mengenal adanya

21 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal. 64.

22 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 65.

17

Page 18: Ham Dan Negara Hukum

Rule of law di dalam praktek ketatanegaraan, hal itu jelas terlihat dari perumusan

‘bijaksana mengemudikan perdata tinggi dan segala kerja’ dan pula tergambar dari

kata-kata ‘..... Baginda makin keras berusaha untuk dapat bertindak bijak ... ‘. Dalam

pengadilan tidak sembarangan tapi tetap terlihat undang-undang .. Adil segala putusan

yang diambil, sehingga semua merasa puas...’.

Kutipan-kutipan tersebut secara makro memberi bukti/indikasi bahwa sejak nenek

moyang bangsa Indonesia telah mengenal norma, hukum dan perundang-undangan yang

ditaati oleh warga dan penguasa. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan sifat dan semangat

kebersamaan, kekeluargaan (kolektivitas yang tinggi). Semangat tersebut harus dipelihara

terutama oleh penguasa lewat tindakan yang arif dan bijaksana.

Dalam arti modern, adanya hukum dan undang-undang, dari satu sisi merupakan

pembatasan kekuasaan pemerintah. Pembatasan tersebut memberi kelonggaran,

kesempatan kepada anggota masyarakat untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah, yang

berupa hak bertanya, protes, menyelidiki, menilai, mengkritik, mogok, menegur baik

secara langsung maupun tidak langsung kepada penguasa/pemerintah. Dengan demikian

bibit, potensi asas negara hukum modern (Rechtsstaat, Constitutional state, rule of law)

telah ada dan merupakan bagian dari watak, sifat bangsa. Indonesia dalam ide/watak tidak

dapat menerima sistem pemerintah otoriter (machtstaat). Ini adalah bukti bahwa hak asasi

manusia bukan gagasan baru atau asing bagi bangsa Indonesia, kemudian UUD 1945

cukup memberi akomodasi dan pengakuan atas hak asasi manusia itu sendiri. Pencatuman

beberapa pasal dalam UUD 1945 sebelum diamandemen memberi indikasi yang cukup

kuat bahwa para pendiri negara (the founding fathers) menyadari hal itu.

Selain ketentuan-ketentuan pokok tentang hak asasi manusia dalam beberapa pasal UUD

1945, adanya rintisan MPRS tahun 1966 dengan dibentuknya Panitia Ad Hoc

B/MPRS/1966 yang bertugas merumuskan rancangan Piagam tentang Hak-Hak Manusia

dan Warga Negara merupakan konsekuensi logis untuk tetap memelihara semangat warga

negara/anggota masyarakat, sekaligus ikut merasa bertanggungjawab terhadap jalannya

pemerintah.

Dalam rangka penyempurnaan rancangan tersebut, lewat Sidang Istimewa MPRS No.

24/8/1966, disebar ke masyarakat untuk mendapat tanggapan/masukan. Kelanjutan

18

Page 19: Ham Dan Negara Hukum

rancangan tersebut nampaknya tidak mendapatkan persesuaian pendapat sehingga tidak

sampai menjadi satu keputusan resmi.

Perlu dicatat bahwa isi/materi rancangan tersebut selain memakai urutan Pancasila sebagai

acuan, juga banyak persamaan, malah terjemahan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia

1948.

Sejauh mana kelanjutan usaha penyusunan Piagam tentang Hak Asasi Manusia dan Warga

Negara, di satu pihak menyatakan tidak perlu dengan alasan bahwa watak The Universal

Declaration of Human Rights sebagai hukum kebiasaan bangsa Indonesia yang sebagai

anggota PBB telah terikat. Kedua, Pancasila sebagai sumber, kedudukannya seperti Grund

norm dari teori Hans Kelsen, yang penting bagaimana membuat peraturan perundang-

undangan mengakui martabat manusia. Ketiga, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila tidak bertentangan dengan The Universal Declaration of Human Rights.23

B. KONSEP NEGARA HUKUM

Sebagaimana diketahui proses perjuangan menuju negara hukum cukup panjang, dari

negara absolut pada zaman kuno, abad pertengahan (500-1500 M) diwarnai konflik

berkepanjangan antara Paus dengan kerajaan. Sampai tumbuhnya nasionalisme lewat

perdamaian West Phalia yang menandai zaman baru di Eropa (1500-1789), sifat

absolutisme beberapa negara nasional tetap dominan. Hal ini menunjukkan perjuangan

dan ide negara hukum sebagaimana didambakan para filosof belum berhasil. Masa-masa

tersebut merupakan masa perang pena dan perang ide dari beberapa penulis abad

pertengahan/abad baru.

Beberapa penulis, antara lain Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes pendukung

sistem absolutisme, sedangkan John Locke, Montesquiwau, Voltaire, dan sebagain

penulis lein pendukung sistem negara hukum.

Niccola Machiavelli misalnya yang hidup dalam masa yang penuh dengan

pertentangan/peperangan menghendaki agar kepentingan negara (raison d’etat)

dipertahankan. Dalam upaya menuju negara nasional Italia yang kuat, raja harus bebas

23 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985, hal 91.

19

Page 20: Ham Dan Negara Hukum

dan tidak terikat dengan norma-norma yang ada (agama dan moral). Raja harus dapat

menjadi serigala, licik, penipu semata-mata demi negara.

Sebaliknya Jean Bodin, penganjur absolutisme raja, dengan batasan hukum alam yang

bertanggungjawab kepada Tuhan. Dengan demikian raja memiliki hak mutlak untuk

mengikat rakyatnya lewat undang-undang yang disusunnya.

Sedangkan Thomas Hobbes, mengajukan pemikiran bahwa kehidupan manusia di alam

bebas yang penuh pertentangan dan peperangan, hasilnya adalah kehancuran. Karena itu

perlu ada perjanjian masyarakat yang sepakat menyerahkan kekuasaan negara kepada raja.

Raja yang mendapat mandat dari anggota masyarakat mempunyai kekuasaan mutlak.

Dengan demikian paham absolutisme dari Eropa menunjukkan ciri-ciri autarki:

a. autoritarisme, yaitu kekuasaan yang mutlak dimana kekuasaan raja tidak dibatasi oleh

tanggungjawab kepada masyarakat,

b. totalitarisme, yaitu penguasaan semua bidang kebudayaan dan bidang hidup oleh

negara sampai kepada bidang agama. Raja menginginkan untuk menguasai concientia

(hati nurani) daripada warga negaranya 24

Proses absolutisme berjalan terus menuju negara hukum atau negara yang memiliki

konstitusi dimulai dengan gerakan-gerakan reformasi (pembaharuan), renaisance (gerakan

yang mengharapkan kembali kepada kebudayaan klasik, baik Yunani dan Romawi) serta

menghormati orang perseorangan. Manusia diberi kebebasan menentukan jalan hidupnya

sendiri. Gerakan-gerakan tersebut diteruskan dengan aliran hukum kodrat (pelopor

Thomas Aquino) yang mengingatkan kembali kepada hukum alam. Dalam situasi serba

alamiah, semua manusia mempunyai hak-hak tertentu, kewajiban tertentu yang harus

dihormati dan dipertahankan. Hak-hak yang bersifat asli misalnya hak hidup, hak memilih

masuk dalam kelompok hak asasi yang wajib dihormati. Diteruskan dengan aliran

Aufklaerung (rasionalisme/pemurnian) akal. Aliran tersebut memberi inspirasi kepada satu

strata/kelompok masyarakat ‘bawah’ kemudian tumbuh dan berkembang. Golongan

tersebut merupakan ‘sempalan’ dari struktur masyarakat feodal yang terdiri dari pendeta,

bangsawan dan rakyat. Rakyat yanag berada di strata bawah, akibat adanya pemikir ulung

tentang negara, hukum dan masyarakat cukup mempengaruhi jalan pikirannya. Kelompok

tersebut menjadi semakin maju dan berkembang dengan profesi yang bervariasi (jurnalis,

24 D. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, 1970.

20

Page 21: Ham Dan Negara Hukum

advokat, dokter dan lain-lain yang dikenal sebagai golongan bourgeoisie), yang semula

golongan ini dari segi politik tidak mempunyai kedudukan.

Beberapa pemikir pendukung negara hukum dan hak asasi, antara lain John Locke (1632-

1704) yang mempertahankan teori/aliran perjanjian masyarakat dalam rangka

menghormati dan melindungi hak individu. Ia berpendapat bahwa individu memiliki hak-

hak kodrati/asli antara lain hak hidup, hak kebebasan, hak milik. Dengan demikian

peranan/posisi raja dan pemerintah harus melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh

melanggarnya.

Selanjutnya Montesquieau (1689-1755), pendukung kebebasan warga negara

mengemukakan pandangannya tentang pembagian pemerintah ke dalam tiga kekuasaan

yang terpisah yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan tersebut yang

dikenal dengan Trias Politika, memisahkan mekanisme, jalan hubungan antaraparat

pemerintahan secara tegas akan menciptakan sistem pemerintahan yang baik. Hal ini

dimungkinkan karena adanya badan lain yang mengawasi/melakukan kontrol. Ketiga

badan mempunyai kedudukan yang sama dengan wewenang yang berbeda, maka

eksekutif ’sekedar’ menjalankan perintah undang-undang. Dengan demikian kemungkinan

bertindak sewenang-wenang (tyranik) menjadi kecil. Asas le separation des pouvoirs akan

menjamin kebebasan politik warga negaranya.

Selanjutnya Voltaire (1694-1778), pendukung ide aufklareung membakar semangat

kebebasan, keadilan dan persamaan dengan memberi tekanan pada aspek rasional sangat

berpengaruh atas revolusi Perancis 1789. Tulisan Voltaire bertemakan ’kebebasan

manusia, keadilan dan toleransi atas dasar pembentukan kebudayaan yang dibimbing oleh

akal’, sangat berpengaruh.

Pejuang hak asasi amnusia di daratan Eropa, puncaknya lewat Deklarasi Hak Asasi

Manusia dan Penduduk Negara (Declaration des Droits L’Hommes et du Citoyen) 1789 di

Perancis.

Dalam deklarasi tersebut ditegaskan dalam:

Pasal 1, Semua manusia itu lahir dan tetap bebas dan sama dalam hukum. Perbedaan

sosial hanya didasarkan pada kegunaan umum.

21

Page 22: Ham Dan Negara Hukum

Pasal 2, Tujuan negara melindungi hak-hak alami meliputi hak kebebasan, hak milik, hak

keamanan dan hak perlindungan.

Sementara itu perkembangan hak asasi manusia di Inggris, awal bangkitnya dimulai

dengan pengakuan (pemaksaan) terhadap Raja John Lockland (John tanpa negara) atas

hak-hak rakyat.

Sebagaimana diketahui pada 1215 dalam Piagam Besar (Magna Charta), Raja John

Lockland telah mengakui hak-hak rakyat secara turun temurun:

- Hak kemerdekaan (kebebasan) tidak boleh dirampas tanpa keputusan Pengadilan,

- Pemungutan pajak harus dengan persetujuan Dewan Permusyawaratan.

Terbukti dalam perjalanan sejarah Inggris, ketentuan Magna Charta masih sering

dilanggar, sehingga pada tahun 1679 lewat parlemen (parle = bicara) dikeluarkan lagi

Habeas Corpus Act (Peraturan tentang Hak diperiksa di muka hakim).

Dalam Habeas Corpus Act tersebut dijelaskan, setiap orang hanya boleh ditahan atas

perintah hakim dengan mengemukakan dasar (hukum) penahanan tersebut. Orang yang

ditahan harus segera didengar penjelasannya.

Pada tahun 1688, di Inggris terjadi perebutan kekuasaan antara Raja James II (Katolik)

dengan saudaranya Mary II (Protestan) yang dimenangkan oleh Mery II/William II

(suaminya). Konflik tersebut dinamakan Glorious Revolution (Revolusi Besar). Kemudian

Raja William II menyusun Declaration and Bill of Rights 1689, berisi pengakuan bahwa

hak-hak rakyat dan anggota parlemen tidak boleh diganggu gugat (dituntut) atas dasar

ucapan-ucapannya. Adanya Bill of Rights tersebut merupakan awal menuju ke monarkhi

konstitusional. Bill of Rights merupakan salah satu dokumen penting untuk menghormati

hak asasi manusia.

Kalau kita lihat kembali sejarah perkembangan perjuangan hak asasi manusia di Amerika

Serikat, pada tahun 1776 disusunlah Piagam Bill of Rights (Virginia). Piagam tersebut

merupakan kesepakatan 13 negara Amerika Serikat yang pertama.

Dalam Bill of Rights tersebut memuat ketentuan antara lain: semua manusia, karena

kodratnya, bebas merdeka serta memiliki hak-hak yang tidak dapat dipisahkan (dirampas)

22

Page 23: Ham Dan Negara Hukum

dengan sifat kemanusiaannya. Hak tersebut antara lain hak hidup/kebebasan, hak

memiliki, hak kebahagiaan dan keamanan.

Kemudian hak asasi manusia dipertegas lagi lewat Declaration of Independence 1788,

asasnya pengakuan persamaan manusia. Tuhan telah menciptakan manusia dengan hak-

hak tertentu yang tidak dapat dirampas, antara lain hak hidup, hak kebebasan, dan hak

untuk mengejar kebahagiaan.

Pengakuan hak asasi manusia dipertegas lagi oleh Presiden Franklin D. Roosevelt yang

diucapkan pada tahun 1941. Ungkapan Franklin D. Roosevelt dikenal dengan Four

Freedom, isinya:

- Kebebasan (kemerdekaan) berbicara (freedom to speech)

- Kebebasan beragama (freedom to religion)

- Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want)

- Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Dengan demikian dalam hak asasi manusia terkandung beberapa sumpah yang dapat

dibenarkan, yaitu:

a. Hak asasi manusia berasal/bersumber dari Tuhan sering disebut hukum alam

diberikan/dimiliki seluruh manusia per individu tanpa membeda-bedakan status orang

per orang,

b. Dalam hak asasi mengarah/mengutamakan lebih dahulu kepuasan batin (spiritual

need) semua pihak yang dapat memberi kontribusi positif dan aktif pada kepuasaan

lahir (biological need),

c. Penjabaran/aplikasi hak asasi manusia berkembang terus seirama dengan

perkembangan pikir, budaya, cita-cita manusia dan iptek,

d. Manusia yang kehilangan hak asasi manusianya, ia hanya menjadi robot hidup yang

hanya bernafas,

e. Keberadaan hak asasi manusia tetap melekat pada setiap orang untuk sepanjang

hidupnya tanpa dapat diambil/dicabut kecuali ada pelanggaran atas aturan hukum yang

berlaku lewat keputusan yang adil dan benar,

f. Keberadaan negara antara lain untuk menghormati dan mempertahankan hak asasi

manusia dengan kesepakatan bersama demi pengembangan martabat kemanusiaan,

23

Page 24: Ham Dan Negara Hukum

g. Kesadaran memiliki dan melaksanakan hak asasi harus dikaitkan pula dengan

kewajiban asasi dan tanggungjawab asasi.

Sebagaimana diketahui salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara hukum antara lain

ditegakkannya hak asasi manusia agar cepat tercapai, kata Hans Kelsen, sebagaimana

dikutip oleh M. Hatta, “negara hukum (Allgemeine Staatslehre) akan lahir apabila sudah

dekat sekali identiteit der Staatsordnung mit der rechtsordnung – identitas susunan negara

dengan susunan hukum – semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat,

semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna”. Dengan demikian

negara hukum tanpa mengakui, menghormati sampai melaksanakan sendi-sendi hak asasi

manusia tidak dapat dan tidak tepat untuk disebut sebagai negara hukum.

Para ahli Eropa Kontinental (Eropa daratan) antara lain Emmanuel Kant, Julius Stahl

menyebut rechtsstaat, sedangkan para ahli hukum Anglo Saxon (Inggris atau Amerika)

memakai istilah Rule of Law.

Stahl menyebut adanya 4 unsur dari rechtsstaat, yaitu:

1. Adanya pengakuan hak asasi manusia,

2. Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut,

3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur),

4. Adanya peradilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan dalam Rule of Law menurut A.V. Dicey mengandung 3 unsur, yakni:

1. Hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang,

2. Persamaan kedudukan di muka hukum (equality before the law),

3. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) dan tidak adanya kesewenang-

wenangan tanpa aturan yang jelas.

Hasil keputusan pertemuan para ahli hukum di Bangkok 1965 yang diselenggarakan oleh

International Comission of Jurists, telah memperluas makna atau syarat Rule of Law

sebagai berikut:

1. Adanya perlindungan konstitusional,

24

Page 25: Ham Dan Negara Hukum

2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak,

3. Pemilihan umum yang bebas,

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat,

5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroperasi,

6. Pendidikan warga negara (civil education).25

Hal tersebut menunjukkan adanya persamaan prinsip dengan ide hak asasi manusia yang

dapat disimpulkan bahwa antara negara hukum dengan penegakan hak asasi manusia

merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda.

Hukum di dalam masyarakat yang semakin modern memerlukan sistem pemerintahan

yang modern pula terutama dalam mengikutsertakan warga masyarakat. Negara dilihat

dari sisi dan pendekatan hukum merupakan organisasi yang didirikan dan dipercaya untuk

melindungi warga negaranya dengan hak menetapkan/menyusun seperangkat aturan

hukum (baik tertulis maupun tidak) semata-mata demi kebahagiaan, ketenteraman,

kemakmuran bersama serta berkewajiban dan bertanggungjawab atas pelaksanaannya

secara objektif. Tugas dan kerja hukum, dikaitkan dengan asas hukum jelas sekali

hubungannya.

Istilah asas hukum (general principle of law) mengandung makna antara lain source,

origin, basic truth of law (sumber, asal/asli, kebenaran dasar hukum). Menurut

Sunariyati Hartono, Suatu asas hukum harus berperan sebagai sumber (source) atau asal

(origin) yang mengandung suatu kaedah atau kebenaran dasar (basic truth) yang memberi

arah pada penyusunan kaedah-kaedah hukum yang lebih konkrit sehingga seluruh bidang

hukum merupakan satu kesatuan yang utuh.26

Karena itu dalam Bab XA UUD 1945 diatur tentang Hak Asasi Manusia, yakni pasal-

pasal 28A sampai dengan pasal 28J.

Kalau asas-asas hukum tersebut sudah masuk ke dalam kaedah hukum positif atau

dikonstitusionalkan, menurut Suriyati Hartono, semakin serasi kaedah hukum dengan

asas hukum, dan semakin sesuai penerapan hukum dengan kaedah hukum positif, semakin

kuat pula berlakunya asas-asas hukum nasional. Apabila kita hendak memperkuat nilai-

nilai dan falsafah Pancasila, seyogyanyalah nilai-nilai itu dijabarkan secara konkrit dalam

25 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta 1987, hal.60. 26 Sunaryati Hartono, Peranan dan Kedudukan Asas-Asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional, FH UNPAR, Bandung, 1987, hal. 6.

25

Page 26: Ham Dan Negara Hukum

kaedah-kaedah dan pranata-pranata hukum agar pada gilirannya hukum nasional juga

akan memperjelas dan mempertegas makna Pancasila itu.

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Bahwa hubungan antara hukum alam dan hak asasi bersifat integratif dalam arti antara

hukum alam dan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan. Bicara soal hukum alam

tidak dapat tidak, harus bicara dengan hak asasi manusia. Inti hukum alam tidak dapat

26

Page 27: Ham Dan Negara Hukum

lepas dengan ide/konsep moral/etika, keadilan dalam masyarakat/negara, justru hukum

alam mendambakan keadilan seluruh alam.

2. Hukum di dalam masyarakat yang semakin modern memerlukan sistem pemerintahan

yang modern pula terutama dalam mengikutsertakan warga masyarakat. Negara dilihat

dari sisi dan pendekatan hukum merupakan organisasi yang didirikan dan dipercaya

untuk melindungi warga negaranya dengan hak menetapkan/menyusun seperangkat

aturan hukum (baik tertulis maupun tidak) semata-mata demi kebahagiaan,

ketenteraman, kemakmuran bersama serta berkewajiban dan bertanggungjawab atas

pelaksanaannya secara objektif. Tugas dan kerja hukum, dikaitkan dengan asas hukum

jelas sekali hubungannya.

B. SARAN

Berdasarkan ha-hal tersebut di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

Bahwa hukum di dalam masyarakat yang semakin modern memerlukan sistem

pemerintahan yang modern pula terutama dalam mengikutsertakan warga masyarakat.

Negara dilihat dari sisi dan pendekatan hukum merupakan organisasi yang didirikan dan

dipercaya untuk melindungi warga negaranya dengan hak menetapkan/menyusun

seperangkat aturan hukum (baik tertulis maupun tidak) semata-mata demi kebahagiaan,

ketenteraman, kemakmuran bersama serta berkewajiban dan bertanggungjawab agar

dilaksanakan secara objektif.

DAFTAR PUSATA

1. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Cet. 15, Kanisius, Yogyakarta, 1998.2. H. Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,

Bandung 2002.3. DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta, 1980.4. A.P. d’Entreves, (Diterjemahkan oleh Hasan Wira Sutisna), Hukum Alam, Pengantar

Filsafat Hukum, Bharata, 1963.5. M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi

Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Unair, Surabaya, 1985.

27

Page 28: Ham Dan Negara Hukum

6. Maurice Craston, Are There Any Human Rights, Deadalus, 1983.7. Gaston V. Rimlinger, Capitalism And Human Rights, Deadalus, 1983.8. Kolakowski Leszek, Marxism and Human Rights, Deadalus, 1983.9. Mansyur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.10. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta 1987. 11. Sunaryati Hartono, Peranan dan Kedudukan Asas-Asas Hukum Dalam Kerangka

Hukum Nasional, FH UNPAR, Bandung, 1987.

28