This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA
(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN – KABUPATEN SAMOSIR)
Judul Tesis : HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI
KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR)
Nama Mahasiswa : T i o r i s t a Nomor Pokok : 067011100 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum) K e t u a
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN) (Syafnil Gani, SH, M.Hum) Anggota Anggota Ketua Program Studi Direktur (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc) Tanggal Lulus : 28 Agustus 2008
Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal. Pewarisan terjadi, bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah. Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia dibedakan tiga kelompok yaitu: Susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal kekeluargaan parental. Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”. Pada masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Dalam hukum adat Batak Toba, anak perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan ?, Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba ?, Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba ?.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Empiris dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak perempuan tidak berhak berbicara dan
mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap harta pusaka, anak laki-laki lebih berhak atas harta pusaka karena sebagai penerus marga bapaknya. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian warisannya telah mengalami perubahan di mana sebelumnya anak perempuan tidak mewaris terhadap harta peninggalan orangtuanya, namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya. Kata-kata kunci: Waris, Anak Perempuan, Batak Toba.
A marriage can be terminated because of death, divorce and court decision. Death will result in the transfer of right and obligation in terms of property. The right and obligation which were initially in the hands of the deceased will legally move to those the deceased has left, namely, the heirs of the deceased. Inhereting exists if one or both of the legally married couple dies. The distribution of the inheritance is very closely relaed to the exiting family kinship in traditional communities in Indonesia. Traditional communities in Indonesia are grouped into three categories such as patrilineal, matrilinela, and parental communities. In case of inheritance, patrilineal adat/customary law still distinguishes gender stating that the male group in the family is the ones who have the right to inherit the inheritance or the heirs are only men. “The struggle to create gender equalization is not an easy job to do. Women understanding and empathy in this modern era is frequently still imprisoned by the patriarchy way of thinking. In the patrilineal communities found in the areas Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, and Lombok and in other areas in Indonesia, their sons are still regarded more precious and have higher position than their daughters. The sons are regarded as the ones who bring the descendants that pass the marga (family name) og their father to the next generation. In the adat law of Batak Toba, their daughters do not have the right ti inherit their parent’s inheritance. Is this discriminative treatment still accepted by all the daughters of Batak Toba families ? The problems to be discusesd are how the structure of kinship of Batak Toba community is related to the posistion of women (their daughters), what the position of women (their daughters) in the in heritance law in the community of Batak Toba, and whether or not there is a shift in the system of inheritance distribution in the community of Batak Toba. This descriptive study with empirical juridical method describes and explains and to find the answer concerning the questions about the stucture of kinship in the Batak Toba community in its relation to the position of women (their daughters) in the inheritance law in Batak Toba community, and the shift in the system of inheritance distribution in Batak Toba community in Pangururan Sub-district, Samosir District. The result of the this study shows the position of women in the structure of kinship in Batak Toba community which is basically still different compared to that of men. As seen in the Batak parties, women are hardly seen sitting in the front row, getting involved in a discussion, and making decision. In the scope of smaller family meeting, the women (their daughters) have been allowed to talk but only in terms of introduction such as in the tardidi ceremony (giving a name to their child), and the mangapuli ceremony (amusing a grief family). The position of both sons and daughters has together got the right/share of the parants’ inheritance. Only, in terms
of inherited wealth, the sons as the ones who pass their father’ family name to the next generation have more right. In Batak Toba community in Pangururan Sub-district, the inheritance distribution system has changed. Before, the women (theis daughters) did not inherit their fathers’ inheritance but now they do have it. Key words : Heir, Daughter, Batak Toba.
Nama : T I O R I S T A Tempat / Tanggal lahir : Rantauprapat / 24 Desember 1969 Status : Kawin Alamat : Jl. Mistar, Gang Johar No. 14, Medan
II. Keluarga
Nama suami : Hayata Monro Munthe, ST Nama anak : 1. Joy Ophelia Munthe 2. Rafael Bagasta Munthe 3. Davin Leonardo Munthe Nama ayah : Jansen Sihaloho (Alm) Nama ibu : Rosinim br. Simarmata (Alm)
III. Pendidikan Tamat tahun 1982, SD Negeri No.112134, di Rantauprapat. Tamat tahun 1985, SMP Negeri No. 1, di Rantauprapat. Tamat tahun 1988, SMEA Negeri, di Rantauprapat. Tamat tahun 2004, S1 Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, di Medan. Tamat tahun 2008, S2 Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, di Medan.
DAFTAR ISTILAH Anak : anak laki-laki/putra. Arta panjaean : harta yang diterima/dibawa anak sewaktu mau menikah. Boru : anak perempuan/putri. Boruki : putriku Dalihan Na Tolu : tiga tungku. Dongan tubu : kelompok saudara dalam satu marga. Elek marboru : bersikap mengasihi atau menyayangi putri dari semarga. Hagabeon : punya banyak anak. Hamoraon : punya kekayaan. Hasangapon : punya kedudukan. Hasomalon : kebiasaan. Hela : menantu laki-laki. Manat mar dongan tubu : bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga menurut garis keturunan bapak. Maranak : mempunyai anak putra. Marhata sinamot : membicarakan berapa nilai jual dari seorang anak perempuan yang akan dinikahkan. Martarombo/martutur : menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi. Matrilineal : garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). Parental : garis keturunan dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu. Patrilineal : garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak); Raja parhata : juru bicara dalam adat. Sari matua : sebutan untuk seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga. Saur matua : sebutan untuk seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Somba mar hula hula : bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Taruhon : mengantar. Umpama/Umpasa : pantun.
Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang berasaskan hukum
menjunjung tinggi hukum baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
meningkatkan taraf hidup yaitu menuju suatu masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dibutuhkan pembangunan di
berbagai bidang diantaranya di bidang ekonomi dan hukum.
Pembangunan di bidang hukum yang dirumuskan dalam Tap MPR Nomor 4
Tahun 1999 adalah:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender1 dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
Pembangunan di bidang hukum, berawal dari norma-norma yang hidup di
tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum nantinya mengabdi kepada kepentingan
1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi
Ketiga, Jakarta, 2005, hal. 353, gender berarti jenis kelamin.
masyarakat Indonesia. Dari hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional di mana salah satu butir yang dirumuskan, menyebutkan:
”Bahwa Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju Unifikasi Hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya Hukum Kebiasaan dan Pengadilan dalam Pembinaan Hukum”.2
Namun saat ini negara Indonesia belum mempunyai hukum khusus yang
mengatur tentang pewarisan secara nasional, karena negara Indonesia terdiri dari
beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum
waris secara nasional. Oleh karena itu, berlakunya hukum waris tersebut tergantung
pada golongan penduduk yang ada terhadap hukum mana penduduk tersebut
menundukkan diri. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa:
”Pada kenyataannya sampai saat ini bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur Asing (Cina) masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII. Sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral. Di samping itu bagi keluarga-keluarga Indonesia yang mentaati hukumnya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.3
Lebih jauh Von Savigny mengatakan bahwa ”manusia di dunia ini terdiri atas
berbagai bangsa dan tiap-tiap bangsa itu mempunyai jiwa bangsa sendiri yang disebut
2Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional, 1976, hal. 251. 3Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991, hal. 2.
volksgeist, jiwa bangsa ini berbeda satu dengan yang lain menurut tempat dan waktu.
Semangat atau jiwa bangsa itu terjelma dalam bahasa, adat istiadat dan organisasi
sosial”.4 “Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup
menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri.
Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan
meninggal dunia di dalam masyarakat”.5
”Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi”.6
Bertambah dewasa umurnya maka semakin berkembang pula daya pikirnya,
sehingga pada suatu waktu ia akan memerlukan seseorang sebagai pasangan untuk
hidup bersama dan untuk membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan. Ikatan
perkawinan yang mengikat seorang pria dengan seorang wanita menyatukan mereka
secara lahir dan batin. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat, yang
mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama sebagai suami isteri. “Perkawinan adalah hubungan hukum
yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
4H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 41. 5Ibid.
6Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3.
PPU, 2008, hal. 1., Jender adalah suatu konsep tentang perempuan atau laki-laki yang dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal. Oleh sebab jender tidak universal maka ia dapat berbeda menurut tempat, waktu, golongan masyarakat, perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan agama. Perbedaan jender antara lain: perempuan lemah, laki-laki kuat; perempuan sabar dan peka, laki-laki berani; perempuan emosional, laki-laki rasional.
1. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak
waris anak perempuan dan janda ?
2. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum
adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?
3. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak
perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ?
Dalam penelitian ini, ada persamaan pembahasan pada butir 2, namun karena
penelitian ini bersifat penelitian lapangan (field research) maka hasil penelitian ini
akan berbeda.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah “untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi”11, dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya”.12 “Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis”13 bagi peneliti tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat
Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir).
11J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 12Ibid., hal. 16. 13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Penelitian ini adalah penelitian yang menyangkut masalah sosial dalam
penerapannya dapat menjadi suatu penelitian hukum, sebab penelitian ini berdasarkan
penelitian lapangan yang dilihat secara empiris dalam kerangka acuan hukum yaitu
hukum waris adat yang hidup14 dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu
sendiri.
Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan atau konsep-konsep khusus yang akan diteliti yaitu
mengenai struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan
kedudukan anak perempuan dalam hak mewaris dan pergeseran hak mewaris dalam
masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa: “Suatu kerangka konsepsional,
merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus
yang ingin atau yang akan diteliti”.15 Oleh karena itu, pewarisan berhubungan erat
dengan harta perkawinan.
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa
14Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988,
hal. 16, menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat, ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
15Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indnesia (UI Press), Jakarta, 1984, hal. 132.
hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.
Dalam pewarisan masyarakat Batak Toba, anak16 sejak dalam kandungan
sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah
laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli
waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak
mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka.
Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat
waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris
harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama
sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang
rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat
Batak pada umumnya”.17 Titik tolak anggapan tersebut adalah:
a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.
b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara
dari suaminya yang meninggal.
c. Perempuan tidak mendapat warisan.
16Bandingkan, HFA. Vollmar, (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum
Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989, hal.29 mengatakan: ” ... dalam Hukum Waris; anak yang belum lahir, tetapi diharapkan akan lahir, haruslah diperlakukan sebagai ahli waris juga (Pasal 2 KUH Perdata) .” juga lihat Pasal 836 dan Pasal 899 KUH Perdata.
17Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978, hal. 65.
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama
berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak
perempuan”.
c. “Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah
Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus
dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya”.
2. Konsepsional
Konsepsi adalah :
Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran”.18
Pengertian hukum waris sampai saat ini baik dalam kepustakaan ilmu hukum
Indonesia dan pendapat para ahli hukum Indonesia menggunakan istilah untuk hukum
waris masih berbeda-beda. Seperti Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah
“hukum warisan”.19 Hazairin, mempergunakan istilah “hukum kewarisan”20 dan
Soepomo menyebutkannya dengan istilah “hukum waris”.21
Dari istilah yang dikemukakan ketiga para ahli hukum Indonesia, baik tentang
penyebutan istilah maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri,
18Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15.
19Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, hal. 8. 20Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur,an, Tintamas, Jakarta, hal. 1 21Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996, hal. 72.
maka dalam penulisan ini lebih cenderung mengikuti istilah dan pengertian dari
hukum waris sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo.
Beberapa pengertian hukum waris sebagai berikut:
Soepomo menerangkan bahwa “hukum waris memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.
Menurut Pitlo bahwa hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan mereka dengan pihak ketiga.22
Sedangkan menurut J. Satrio bahwa:
Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peratutan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaannya yang berwujud; perpindahan dari kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.23
Lebih jauh lagi, B. Ter Haar Bzn memberikan rumusan hukum waris
sebagaimana yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto, sebagai berikut
“hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad-
22A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,
1990, hal. 1. 23J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.
ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi ke generasi.24
Dari uraian di atas masalah pewarisan terjadi karena:
1) adanya orang yang meninggal,
2) adanya harta yang ditinggalkan,
3) adanya ahli waris.
Istilah “hukum waris” mengandung pengertian yang meliputi kaedah-kaedah
dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam rangka memahami
kaedah-kaedah serta seluk beluk hukum waris perlu diuraikan beberapa istilah yang
berkaitan dengan hukum waris, antara lain:
a. Waris, istilah ini berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.
b. Warisan, berarti sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka.
c. Pewaris, berarti orang yang mewariskan. d. Ahli waris, berarti orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). e. Mewarisi, berarti memperoleh warisan. f. Proses pewarisan, berarti cara atau perbuatan mewarisi atau mewariskan.25
Berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan
sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri meskipun masih terdapat
variasi, misalnya di dalam masyarakat yang patrilineal harta kekayaan yang berasal
dari kerabat isteri dalam kawin ambil anak tidak dibenarkan hukum untuk dijadikan
24K. Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1960, hal. 197. 25Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit, hal. 1269.
g. Pewaris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah
seseorang yang telah meninggal dunia.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka “penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisanya”.26 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan
metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah
yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif 27,
deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat
Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak
perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem
pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan
Kabupaten Samosir.
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris,28 dilakukan
guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba,
kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian
26Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984, hal. 43. 27Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskripsi pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.. 28Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 14.
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
2 (dua) cara yaitu :
30Ronny Hamitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 51, Purposive sampling atau penarikan sampel
bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama,
b. Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi,
c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan.
MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Van Vollenhoven merupakan peletak dasar ilmu Hukum Adat, menjadi
pembangun dan pembina sistem pelajaran Hukum Adat. Ada 3 (tiga) hal penting
karya van Vollenhoven di bidang Hukum Adat yaitu:
1. menghilangkan kesalahan faham yang melihat Hukum Adat identik dengan Hukum Agama (Islam).
2. membela Hukum Adat terhadap usaha pembuat undang-undang untuk mendesak atau menghilangkan Hukum Adat, dengan menyakinkan badan tersebut bahwa Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, mempunyai jiwa dan sistem sendiri.
3. membagi wilayah Hukum Adat Indonesia dalam 19 (sembilan belas) lingkungan Hukum Adat (adatrechtskringen).32
Adapun pembagian wilayah Lingkungan Hukum Adat dalam 19 (sembilan
belas) wilayah yang dibuat oleh van Vollenhoven tersebut adalah:
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue). 2. Tanah Gajo, Alas dan Batak: a. Tanah Gajo (Gajo Lueus); b. Tanah Alas; c. Tanah Batak (Tapanuli): 1). Tapanuli Utara: a). Batak Pakpak (Barus); b). Batak Karo; c). Batak Simalungun; d). Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Djulu). 2). Tapanuli Selatan: a). Padan Lawas (Tano Sapandjang); b). Angkola; c). Mandailing (Sayurmatinggi).
32Iman Soediyat, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969, hal. 51.
2.a Nias (Nias-Selatan). 3. Tanah Minangkabau (Padang Agam, Tanah Dadatar, Lima piluhu Kota, Tanah Kampar, Korintji). 3.a Mentawai (orang Pagai).
4. Sumatera Selatan: a. Bengkulu (Redjang); b. Lampong (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulung Bawang); c. Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Semendo); d. Jambi (Batin dan Penghulu). 4.a Enggano. 5. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumaterea Timur, orang Bandjar). 6. Bangka dan Belitung. 7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenja, Dayak Klemanten, Dajak Landak dan Dayan Tajan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timai, Long Glatt, Dayak Maanjan Patai, Dayak Maanjan Siung, Dayak Ngadju, Dayak Ot Danun, Dayak Penjabung Punan). 8. Minahasa (Menado). 9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo). 10. Tanah Toradja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai). 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Salaiar, Muna). 12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula). 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Aru, Kisar). 14. Irian. 15. Kepulauan Timur (Gugus Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu, Bima). 16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa). 17. Djawa Tengah, Djawa Timur serta Madura (Djawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Djawa Timur, Surabaya, Madura). 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta). 19. Djawa Barat (Priangan, Sunda, Djakarta, Banten).33 Pembagian tersebut bersifat sementara, karena dewasa ini telah terjadi tukar
menukar anggapan para anggota berbagai persekutuan Hukum Adat makin lama
makin bertambah, dan dengan sendirinya perbedaan antara hukum berbagai
persekutuan hukum adat akan hapus atau berkurang.
“Di berbagai belahan dunia, banyak komunitas-komunitas adat harus tersungkur di tanah leluhur mereka. Demikian juga dengan nasib hidup jutaan masyarakat adat di bumi Indonesia. Kita lihat masyarakat Jumma People di Chittagong Hill, Bangladesh; Chin dan Karen di perbatasan Thailand, Kamboja dan Burma; Cordilera di Philipina; Orang Asli di Malaysia; Orang Monk di Thailand; dan komunitas-komunitas masyarakat adat dari Sumatera sampai Papua, penindasan dan pelecahan atas hak-hak meerka masih terus berlangsung sampai detik ini”.34
Menurut Iman Sudiyat hal ini terjadi “karena pengaruh kota-kota besar dan
makin meresapnya keinsafan serta kesadaran nasional sebagai warga dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, di samping juga resepsi hukum eropa dan keinginan
untuk mengadakan unifikasi hukum di Indonesia”.35 Lebih jauh, Iman Sudiyat
mengatakan bahwa “perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan asasi, melainkan
hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka”.36
1. Sejarah Berdiri37
Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah, telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat di daerah
untuk membentuk Kabupaten/Kota baru yang bersifat otonom. Sebab dengan status
34The International Day of World’s Indigenous Peoples: Momentum Pemajuan Hak
Masyarakat Adat di Indonesia, 9 Agustus 2006, tanpa hal. 35Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 36Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 37Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Penduduk usia kerja (10
keatas) digolongkan sebagai:
1) Angkatan kerja, bila mereka bekerja atau mencari pekerjaan dan secara
ekonomis berpotensi menghasilkan out-put atau pendapatan, dan;
2) Bukan angkatan kerja, bila mereka bersekolah, mengurus rumah tangga, dan
lainnya. Semakin tinggi Tingkat Partipasi Angkatan Kerja (TPAK) berarti
semakin besar keterlibatan penduduk usia 10 tahun keatas dalam pasar kerja.
“Persentase penduduk usia kerja di Kabupaten Samosir yang bekerja adalah sebesar 80,16 %, dimana pria sebesar 79,71 % dan wanita sebesar 80,57 % sedangkan penduduk usia kerja yang mencari kerja adalah sebanyak 0,83 %. TPAK Samosir berdasarkan hasil Susenas 2003 adalah sebesar 81,82 %. TPAK laki-laki lebih tinggi dari TPAK wanita, hal ini berarti bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat dalam pasar kerja. Adapun TPAK Laki-laki sebesar 81,18 dan TPAK wanita 80,80. Tingkat pengangguran terbuka penduduk laki-laki sebanyak 1,85 % dan penduduk wanita sebesar 0,29 %, sehinggga tingkat pengangguran terbuka secara umum sebesar 1,04%”.38
i. Kinerja Sektor
1). Pertanian.
Salah satu pilar pembangunan Pemerintah Kabupaten Samosir adalah
terciptanya “pertanian yang maju” Hal ini menunjukan tekad dan kemauan
Pemerintah Kabupaten Samosir dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagian
besar penduduk Kabupaten Samosir menggantungkan hidupnya dari sector ini. Sektor
pertanian menjadi andalan dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Tahun
38Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
“Kopi merupakan komoditi yang diminati masyarakat, hal ini terlihat dari luasnya areal yang ditanami dibanding dengan tanaman perkebunan lainnya. Tahun 2003 luas tanaman kopi seluas 835,7 Ha, dengan produksi yang dihasilkan sebesar 469,2 ton dan produktivitas 561,4 kg/ha. Luas tanaman kelapa tahun 2003 seluas 348,5 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 41,38 ton dan produktivitas 118,7 kg/ha. Luas tanaman kulit manis tahun 2003 seluas 6,74 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 3,45 ton dan produktivitas 511,9 kg/ha. Luas tanaman kemiri tahun 2003 seluas 341 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 102,2 ton dan produktivitas 299,7 ka/ha. Sedangkan luas tanaman kakao tahun 2003 seluas 2,15 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 0,932 ton dan produktivitas 433,5 kg/ha. Industri dan Perdagangan”.39
Dari struktur organisasi lembaga dinas dan teknis di Kabupaten Samosir untuk
sector industri dan perdagangan di tangani langsung oleh Dinas Perindustrian,
Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Pengendalian
Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir. Sesuai dengan rencana strategis, maka
prioritas pembangunan adalah Penataan dan pengembangan sektor industri,
perdagangan, pertambangan, jasa, koperasi, usaha kecil dan usaha menengah dalam
rangka penumbuhan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat. Serta penataan
dan peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang dan wilayah
serta pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan terutama kawasan
hutan dan perairan Danau Toba.
Dari penjelasan di atas, yang telah dan akan dilakukan Instansi terkait
khususnya Dinas Perindustrian, Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil
Menengah, Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir adalah
mengembangkan industri hasil hutan (Agroforestri), meningkatkan pembinaan
39Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
penduduk laki-laki 49,09 % dan perempuan 50,91%, sedangkan jumlah rumah tangga
diperkirakan 5.635 rumah tangga.
B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba
1. Sejarah Batak
Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis
sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa “bila ada
buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara
subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).41
“Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak”.”42
Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa
Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si Anjur
Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru
tanah Batak.
Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan
nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa Si Raja Batak ini
adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur Mula-
Mula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.
41Batara Sangti, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997, hal. 17. 42Batara Sangti, Ibid, hal. 26.
46Djaren Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980, hal. 9.
47Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988, hal. 9.
nilai-nilai religius yang sangat dalam. Akar dari sistem nilai Dalihan Na Tolu adalah
kerendahan hati. Menurut Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam
Sitanggang) bahwa:
”bagaimana tidak, seorang orang Batak harus hormat sama ”hula-hula”nya, tanpa syarat. Tidak dikatakan, hormatilah hula-hulamu, kalau dia kaya, punya jabatan, atau baik. Demikian juga, pada saat kita hula-hula, harus elek kepada boru, walaupun dalam tatanan kekerabatan Batak, Boru adalah kelumpok yang dapat kita minta untuk melayani kita (marhobas), tetapi dalam kedudukan kita yang lebih tinggipun kita harus elek. Manat mardongan tubu, juga merupakan satu tatanan interaksi masyarakat Batak kepada keluarga yang semarga. Kenapa dikatakan manat (hati-hati) dengan dongan sabutuha, sangat jarang di dalam umpama/umpasa yang memberikan kita solusi, untuk mendamaikan orang yang sabutuha kalau terjadi konflik di antara mereka. Kalau mar-hula-hula, kita masih bisa membawa makanan kepada hula-hula untuk minta maaf. Demikian juga marboru, kita bisa memberikan ulos untuk minta maaf”.52
Berdasarkan hasil penelitian melalui jawaban responden tentang tanggapan
terhadap struktur kekerabatan Batak Toba, dapat di lihat pada Tabel-2 berikut ini:
Tabel 2. Struktur Kekerabatan Batak Toba n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Tetap dipertahankan 20 67% 2 Disederhanakan tanpa menghilangkan intinya 10 33% 3 Tidak tahu 0 0% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel tersebut, dapat diketahui bahwa budaya Batak Toba masih tetap
dipertahankan merupakan tanggapan yang tidaklah begitu dominan (sebanyak 60%),
bila dibandingkan dengan jawaban responden lainnya (sebanyak 40%) yang
mengatakan bahwa adat batak perlu disederhanakan tanpa menghilangkan
52Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh
jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini
pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah
manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan
fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang
stagnasi dan konservatisme.
Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti
dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada
saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.
Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, Napinungka ni ompunta na parjolo yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi kita perbaiki dari belakang
Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita
terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang. Ungkapan ini
menunjukkan permufakatan pergeseran pelaksanaan adat. Hal ini sering
menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelaku-
pelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba
antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin
perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan
umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara
adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain:
Aek godang tu aek laut Dos ni roha do sibahen na saut, Kesamaan pendapat untuk jadi dilaksanakan
Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang
mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah
penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk
menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan
dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak
gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari
berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot
yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya
adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis
upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai
dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersama-
sama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat
yang telah ditentukan.
“Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang
tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip”.54
Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura)
menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh
pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh)
helai sampai 800 (delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah
suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari
(diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga
tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.
Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang
meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang
meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke
dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang
meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat
meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin
tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status
kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan
kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan
54Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil
a. Adat formal, yang biasa dapat dilihat dari pelaksanaan acara adat Batak, mulai dari lahir, besar, menikah, sampai meninggal. Banyak sekali praktek adat Batak yang berkaitan dengan siklus hidup orang Batak. Kalau ada anak lahir, datanglah mertuanya "mamboan aek ni unte", "pasahat ulos parompa", paebathon. Setelah besar, anak laki-laki biasanya "manulangi tulang", untuk minta izin mau menikah dengan orang lain, biasanya hanya anak laki-laki yang paling sulung, acara pernikahan, sampai acara yang berkaitan dengan orang yang meninggal. Semua ini adalah merupakan bagian dari adat formal.
b. Adat Batak material yang lainnya, banyak terkandung di dalam umpama/umpasa Batak, yang di dalamnya terkandung sistem nilai yang sangat baik.56
Dari penjelasan di atas, adat Batak formal, akan berubah sesuai dengan
tuntutan zaman. Jangankan masalah waktu, yang mengakibatkan dibiasakannya
"ulaon sadari", mungkin pada saatnya nanti, pesta adat Batak bisa dilakukan melalui
video conference, tidak harus ada di tempat yang sama. Tapi jangan juga ditiadakan
sama sekali. Adat formal Batak adalah laboratorium bagi orang Batak untuk
mempraktekkan adat Batak material. Dengan mengikuti pesta-pesta/acara adat Batak,
maka pemahaman akan adat Batak material akan semakin baik. Adat Batak formal
sangat dilandasi oleh satu prinsip "dos ni roha sibaen na saut" (konsensus), tapi adat
Batak material adalah suatu kerangka sistem nilai Batak yang membuat budaya Batak
lestari.
Perlu juga diuraikan bahwa dalam masyarakat Batak, kata "Horas" adalah
sapaan universal (akrab) dari masyarakat batak yang berarti "selamat". Pada
hakekatnya kata "Horas" juga merupakan doa spontanitas kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar terlindung dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Setiap keluarga mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina dapat
berjalan harmonis. Keharmonisan keluarga mempunyai peranan yang cukup besar
dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kepribadian anak dapat
tumbuh secara baik jika pendidikan diberikan kepada anak disertai dengan perhatian
dan kasih sayang. Perhatian demikian akan tercurah dengan baik bila keluarga itu
punya hubungan harmonis diantara anggota keluarga, tanpa ada pilih kasih.
Kewajiban pemeliharaan anak bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani tetapi
juga kebutuhan rohani.
Dalam sebuah keluarga selalu mengharapkan agar perkawinan yang telah
dibina dapat berjalan dengan langgeng dan menjadi suatu keluarga yang bahagia dan
sejahtera. Keharmonisan keluarga, mempunyai peranan yang cukup besar dalam
pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak ke arah yang lebih baik,
sebaliknya bila hubungan yang kurang harmonis di tengah-tengah keluarga dapat
menyebabkan seorang anak tumbuh menjadi tidak baik. Keluarga yang bahagia dan
sejahtera menjadi idaman setiap keluarga bila dapat terwujud.
Masyarakat hukum di Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah
berbeda-beda, dimana setiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem
kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan anak laki-
laki dengan anak perempuan dalam sebuah keluarga pada prinsipnya adalah berbeda.
“Dalam peta geneologis orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah
disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya (bila sudah menikah). Walaupun perempuan berkaitan dengan kedua clan tersebut tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut”.60
Dalam keluarga orang Batak Toba, bahwa anak menjadi harta berharga bila
dibandingkan dengan yang lain, terutama dalam keluarga masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Pangururan. Dimana anak laki-laki diharuskan berhasil sehingga dapat
meningkatkan derajad sosial dari marganya, bila berhasil menjadi sarjana atau bekerja
merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
Bagaimanapun cantik, pintar dan baiknya kedua putri kita itu kehadiran
mereka, oleh banyak orang batak, belum dianggap cukup untuk membanggakan dan
membahagiakan ayah-ibunya, ompung-nya, keluarga besarnya, apalagi dunia
kebatakan.
Masyarakat di Kecamatan Pangururan yang mayoritas Batak Toba merupakan
salah satu masyarakat adat yang hidup dengan sistem kekerabatan mengikuti garis
keturunan si bapak (patrilineal), dimana dibedakan antara anak laki-laki dengan anak
perempuan. Sebagai anak laki-laki merupakan generasi penerus marga dari pihak
bapaknya, sedangkan anak perempuan tidak. Hal ini dikarenakan, setelah menikah
marganya tidak akan dipakai tetapi masuk kepada marga dari keluarga suaminya.
Selama anak perempuan belum kawin dia masih tetap kelompok ayahnya.
60Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor
Adat Batak kuno menganggap perempuan nyata-nyata lebih rendah daripada
laki-laki. Perempuan bukanlah pribadi bebas dan otonom, tetapi sub-ordinat atau
perpanjangan tangan laki-laki. Itulah yang menyebabkan dalam pesta-pesta batak
sampai hari ini termasuk di kota metropolitan seperti Jakarta kita hampir tidak pernah
menyaksikan ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil
keputusan. Mereka ada di barisan belakang dan diam (atau ngobrol sendiri dengan
sesamanya) tak ubah penghias atau asesori pesta, atau sibuk di dapur sebagai
pembantu (parhobas) saja.
Dalam adat batak ada beberapa istilah yang merendahkan martabat anak
perempuan antara lain:
1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang),
2. Mangan tuhor ni boru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan),
3. holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga dan juga pertahanan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum.61
Pada masa dulu anak laki-laki sangat dibedakan dengan anak perempuan
dalam perhatian keluarganya, karena anak perempuan nantinya akan masuk ke dalam
marga suaminya. Dan juga bila anak laki-laki berhasil maka saudara anak perempuan
bangga bila saudaranya laki-laki/“ito” nya berhasil. Namun pemahaman sudah mulai
bergeser, bukan saja anak laki-laki yang diberi perhatian lebih, namun juga anak
“Sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD tahun 1945, bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu sendiri. Namun dalam sistem kekerabatan suku Batak, kaum perempuan hanya merupakan bagian dari kelompok ayahnya sebelum dia menikah. Setelah menikah, kerabat suaminya akan membayar mas kawin (Sinamot), saat itulah dia meninggalkan orantuanya dan dimasukkan ke dalam satuan kekrabatan suaminya”.63
Dalam pembahasan ini yang dibahas adalah anak perempuan yang dilahirkan
secara sah dalam sebuah perkawinan sah dari keluarga Batak Toba di Kecamatan
Pangururan Kabupaten Samosir, dan kaitannya dengan kedudukannya dalam
keluarga.
Dari hasil penelitian di lapangan dapat diketahui jawaban responden tentang
kedudukan anak perempuan, melalui Tabel-3 berikut ini:
Tabel 3. Kedudukan Anak Perempuan n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Lebih tinggi kedudukan anak laki-laki 16 53% 2 Sama kedudukannya 13 43% 3 Tidak tahu 1 4%
Jumlah 30 100 % Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel-3 di atas, diketahui bahwa dari hasil penyebaran kuesioner
menunjukkan jawaban responden tentang kedudukan anak perempuan dengan anak
laki-laki dalam sebuah keluarga cenderung ke arah persamaan derajat (persentase
53% berbanding 43%). Hal ini membuktikan adanya pergeseran, di mana
kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap sama. Namun menurut
63Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara,
penggunaan harta pusaka ini dia menjadi kaya, maka hartanya yang terakhir ini bukan
termasuk ke dalam harta pusaka, melainkan termasuk ke dalam harta pencaharian.
Proses pewarisan yang merupakan pengoperan barang-barang harta
peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli warisnya dapat dilakukan ketika
pewaris itu masih hidup atau setelah meninggal dunia.
Menurut Hilman Hadikusuma:
“Yang dimaksud dengan proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah wafat”.69
Pada masyarakat Batak Toba, pewarisan semasa hidupnya pewaris biasanya
dilakukan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae
(mandiri, tidak satu rumah), yang pemberiannya dilakukan secara lisan saja.
Apabila seorang anak kawin tetapi belum manjae, maka anak tersebut
bersama isterinya berada dalam satu rumah dengan orang tuanya, karena anak
tersebut beserta isterinya belum merupakan “ripe” yang berdiri sendiri menurut
hukum adat. Tetapi apabila kelak anak tersebut manjae, yang berarti berdiri sendiri
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka oleh orang tuanya dia diberi arta
panjaean berupa sebagian dari harta benda orang tuanya sebagai modal permulaan
bagi keluarga baru dari anaknya. Setelah anak tersebut dipanjae barulah ia dapat
69Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Dalam hukum adat Batak Toba, perempuan tidak memperoleh hak untuk
mewarisi barang-barang menetap dari harta peninggalan orangtuanya. Dalam
masyarakat Batak Toba, anak perempuan dengan anak laki-laki mempunyai
kedudukan yang timpang, di mana anak perempuan pada posisi yang lemah,
khususnya dalam hal waris. Secara normatif hukum adat Batak Toba tidak
memberikan hak waris kepada anak perempuan72, baik yang berupa tanah, rumah
maupun benda tidak bergerak lainnya. Sementara itu dalam berbagai peraturan
perundangan nasional73 menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
Menurut Tapi Omas Ihromi, bahwa “dalam praktek sehari-hari tampaknya
menunjukkan adanya peneguhan kepada aturan adat Batak yang tidak memberikan
hak waris kepada perempuan bila orangtuanya meninggal, perempuan tidak pernah
diperhitungkan dalam pembagian waris yang berlangsung dalam pertemuan keluarga,
di mana anggota kerabat laki-laki memainkan peranan penting”.74
Akses perempuan kepada harta warisan memang sangat dibatasi, sehingga
perempuan harus memperjuangkannya, terutama melalui sengketa melawan kerabat
72Bandingkan dengan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 174 KHI:
yang memiliki hak untuk mewaris adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 176: Bagian dari anak perempuan adalah ½, dua anak perempuan atau lebih akan mendapat 2/3 bersama-sama. Jika ada anak laki-laki dan perempuan, bagian anak laki-laki 2 dan anak perempuan 1.
73Dalam UUD 1945 (sekarang UUD 1945 Amandemen ke-IV Tahun 2002) Pasal 27 (1) mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum; UU Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, Pasal 31 (1) mengenai hak dan kedudukan suami dan istri yang seimbang; Pasal 35 (1) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Pasal 36 (1) atas harta bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
74Tapi Omas Ihromi, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994, hal. 527.
saudara laki-laki. Akses perempuan75 kepada tanah ayahnya semakin hilang karena
kelangkaan tanah di kampung, sementara itu pewarisan kepada anak laki-laki dan
pewarisan kolateral berdasarkan garis laki-laki masih tetap berlangsung. Pengaturan
mengenai akses kepada tanah secara tradisional yang tetap dipertahankan ini adalah
suatu cara untuk menjaga agar tanah tetap berada dalam wilayah hukum adatnya.
Harta yang dibawa oleh suami dan isteri ke dalam perkawinan sebagai modal
di dalam kehidupan rumah tangga yang bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadi asas
umum yang berlaku di dalam hukum adat bahwa suami ataupun isteri yang
memperoleh harta yang berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik
suami atau isteri. Harta bawaan itu dapat berupa rumah, tanah, kebun dan perhiasan
lainnya. Pemberian harta benda dari orangtua kepada anak-anaknya baik laki-laki
atau perempuan disebut istilahnya dengan “holong ate” (kasih sayang).
Pemberian-pemberian harta benda ini mempunyai istilah berbeda-beda. Harta
benda yang diberikan kepada anak laki-laki disebut dengan istilah “harta panjaean”
sedangkan harta yang diberikan kepada anak perempuan disebut dengan “pauseang”.
Walaupun sebenarnya artinya sama.
Selain dari harta pauseang maupu panjaean masih ada lagi harta bawaan yang
fungsinya sama dengan pauseang dan panjaean tadi antara lain :
75Akses perempuan kepada tanah secara tradisional adalah melalui pauseang, yaitu pemberian
atau hadiah yang diberikan kepada anak perempuan ketika ia menikah. Hadiah ini dapat diperoleh perempuan karena ia meminta kepada ayahnya atau saudara laki-lakinya, dan disahkan secara adat. Namun karena sifatnya adalah pemberian atau hadiah, maka tidak dianggap sebagai hak waris.
Anak perempuan dapat juga melayani gugatan lawan yang mengajukannya ke
pengadilan atau melakukan gugatan ke pengadilan negara dan melanjutkan proses
pengadilan jika mengalami kekalahan (misalnya, banding). Anak perempuan tidak
segan-segan bersentuhan dengan pengadilan meskipun mereka menyadari, bahwa
tindakan itu akan banyak menyebabkan social loss. Hal ini bila cara musyawarah
tidak tercapai.
Keberanian ini disebabkan oleh faktor ekonomi (harta yang dipersengketakan
memang besar atau tidak besar tapi vital bagi kelangsungan hidup anak perempuan).
Faktor lain adalah karena lawan sengketa adalah anggota keluarga (kerabat ayah
dan/atau saudara laki-lakinya) yang sudah jelas tidak memberi hak waris kepada anak
perempuan sehingga mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Namun, inipun
masih ada keraguan karena ada pula kasus anak perempuan ‘kalah sebelum perang’
ketika berhadapan dengan saudara laki-lakinya dalam soal harta waris. Menurut
Daniel S. Lev bahwa, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa
yang di dalamnya dapat ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung
menghindari peradilan negara, yaitu:
a. penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi (penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi;
b. gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya hukum masyarakat adalah gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi;
c. aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan tertentu
dengan saudara laki-lakinya untuk mewaris harta peninggalan orangtuanya. Kalaupun
perempuan dapat bagian harta warisan dikarenakan harta peninggalan memang ada
untuk dibagikan dan semua dapat bagian, umumnya di Kecamatan Pangururan anak
laki-laki yang tertua mendapat rumah. Bahwa implementasi hukum adat tidak
berpengaruh terhadap letak geografis, tingkat pendidikan dan status sosial lawan
sengketa perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan berpengaruhnya implementasi
hukum waris bagi orang Batak yang tinggal di daerah. Tingkat pendidikan perempuan
berpengaruh positif pada resistensi mereka terhadap harta waris.
Berdasarkan penyebaran kuisioner di lapangan, ditemukan jawaban para
responden tentang besarnya bagian warisan untuk anak perempuan, dari Tabel-7,
sebagai berikut:
Tabel 7. Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Lebih Besar Untuk Anak Laki-laki. 14 46% 2 Sama Besarnya. 6 20% 3 Sesuai Kesepakatan Ahli waris. 10 34% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel diatas, responden masih memihak kepada anak laki-laki dengan
persentase 46%, sedangkan jawaban responden yang mengatakan sama besarnya
hanya 20% saja. Sedangkan sesuai kesepakatan responden hanya berjumlah 10
responden (34%). Bahkan berdasarkan penelitian di lapangan dalam keluarga besar
kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris
apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya).
“Walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di kota-kota besar sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan.”79
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hak
mewaris anak perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak
ditempatkan sebagai ahli waris, dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian
dari harta ayahnya. Dalam hal ini akan dikaji, bagaimana anak perempuan Batak
Toba menggunakan hukum nasional, hukum adat, atau kebiasaan-kebiasaan, dalam
melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan akses kepada harta waris.
Akhirnya akan dilihat bagaimanakah resistensi terhadap patriarkhi dapat
ditunjukkan melalui berkembanganya masalah pewarisan perempuan di tengah
berlangsungnya perubahan segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba tersebut.
Berdasarkan penelitian lapangan sejak berdirinya Pengadilan Negeri
Kabupaten Samosir, belum pernah ada sengketa warisan. Namun melalui penelusuran
kepustakaan bahwa ada beberapa putusan dalam Tingkat Kasasi di Indonesia oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pewarisan putusan Kasasi tersebut No. 79Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal 208.
179 /Sip/1961 tanggal 1 Nopember 1961 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan
Nomor 204/1959 tanggal 29 Desember 1959 jo. Putusan Pengadilan Negeri
Kabanjahe Nomor.3/S 1957 tanggal 8 September 1958 yaitu: Langtewas Sitepu dan
Ngadu Sitepu vs Benih Ginting, yang menjadi tonggak sejarah bagi anak perempuan
menyatakan bahwa anak perempuan dengan anak laki-laki sama-sama berhak
mewaris. Adapun duduk perkaranya sebagai berikut:
Kasus Posisi:80
Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting, anak kandung dari mendiang Rumbane boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri Kabanjahe pada pokoknya atas dalil:
1. bahwa tanah sengketa bernama “Juma Pasar” adalah tanah pusaka berasal dari Rolak Sitepu;
2. bahwa oleh karena Rolak Sitepu tidak anak laki-laki, dan setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal dunia, maka menurut hukum adat Karo tanah itu harus diwarisi oleh penggugat-penggugat sebagai anak-anak lelaki dari saudara kandung almarhum Rolak Sitepu tersebut.
3. bahwa menurut putusan Balai Kerapatan (Raja Empat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 Nomor. 69 anak-anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak buat memakai tanah itu selama mereka hidup.
4. bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan dari Rolak Sitepu meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh tergugat yakni anak lelaki dari almarhum Rumbane tersebut.
5. bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut penggugat-penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri Kabanjahe memberi putusan: a. Mengakui di dalam hukum, bahwa ladang perkara berasal dari pusaka
mendiang Rolak Sitepu yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh penggugat-penggugat, sebab mendiang Rolak Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu ayah kandung penggugat-penggugat, karena ia (Rolak Sitepu) telah mati masap (tidak ada keturunan anak laki-laki) selain dari kedua pengugat-penggugat;
80R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni,
putusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di
seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang
peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa
bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan;
3. Bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka
juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli
waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya;
4. bahwa oleh karena demikian, keberatan-keberatan penggugat-penggugat
untuk kasasi tidak dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Tinggi Medan,
meskipun berdasarkan alasan-alasan lain, harus dipertahankan.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, ada kasus yang telah menjadi
yurisprudensi untuk kalangan masyarakat Batak Toba, yang sebelumnya putusan
tersebut didasarkan atas yurisprudensi No.179K/Sip/1961 dan No.100/K/Sip/1967,
yaitu No.136/K/Sip/1967.
Kasus Posisi:81
Salmah (pr) menggugat Hadji Fahri dan Siti Dour (pr), anak kandung dari mendiang Hadji Muhammad. Arsjad di muka Pengadilan Negeri Padangsidempuan pada pokoknya atas dalil:
1. bahwa almarhum ada meninggalkan beberapa bidang tanah dan beberapa rumah yang berasal dari harta pencaharian;
2. bahwa semua harta peninggalan tersebut dikuasai dan dinikmati sendiri oleh saudara penggugat yaitu Hadji Fahri.
3. dst...
81Mahkamah Agung R.I., Yurisprudensi Indonesia, Penerbitan, I-II-III-IV/1969.
otoritas badan peradilan (Mahkamah Agung) turut mempengaruhi kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, padahal keputusan Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya sekedar mengukuhkan, menguatkan kembali saja landasan sejarah dan filosofi Hukum Waris Adat Batak Toba yang sesungguhnya.”84
84Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. Law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan
Hukum Nasional, 1976.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Edisi Ketiga, Jakarta, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980. -------------------------, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, Tintamas, Jakarta. Ihromi, Tapi Omas, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law
and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994. Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2005. Kartasapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara,
Jakarta, Cetakan 1, 1988. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
LP3ES (terjemahan), Jakarta. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Malik, Rusdi, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas
Trisakti, Jakarta. Manan, H. Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004. Meliala, Djaja S. dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam
Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978.
Moleong, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
Pitlo, A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa,
Jakarta, 1990. Poesponoto, K.Ng. Soebakti, Azas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta 1990. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung. Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1989. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1976. Sangti, Batara, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997. Saragih, Djaren, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba,
Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980.
Satrio, J., Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992. Sianturi, Sr. Alfocine Idarmeiaty, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru,
Pustaka, Jakarta 1986. Sihotang, Jailani, dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan
di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988. Soediyat, Iman, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969. Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984. -----------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996. Subagio, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, 1994. Subekti, R., Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni,
Bandung, 1983. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001. Suparman, Erman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW,
Refika Aditama, Bandung, 2005. Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta,
1986. Vollmar, HFA., (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata,
Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989. Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung,
Jakarta, 1987. Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid
I, FE-UI, Jakarta, 1996. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. ------------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
C. Media Cetak dan Elektronik Harian Analisa., 27 April 2008. Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor.8. 1996. Magazine The International Day of World’s Indigenous Peoples, 9 Agustus 2006. [email protected] www.google.com www.law.ui.com www.samosir.go.id