HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN
SALAT
(Kajian Maa>ni> al-H}adi>s|)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
untuk Memenuhi sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Theology Islam
Oleh :
UMMU HUMAIRO QURBANY
NIM. 00530179
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
ABSTRAK
Ditegakkannya salat sebagai syarat larangan untuk menentang
seorang pemimpin yang paling burukpun, tentu menjadi keganjalan dan
pertanyaan: mengapa hanya karena pemimpin terburuk itu menegakkan
salat, ia tidak boleh ditentang oleh rakyatnya? Namun itulah yang
dinyatakan Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya sebagai jawaban atas
pertanyaan para sahabat tentang sikap terhadap seburuk-buruk
pemimpin tersebut. Padahal seburuk-buruk pemimpin yang dicirikan
dalam hadis itu sebagai pemimpin yang dibenci dan dilaknat oleh
rakyatnya serta begitu pula sebaliknya dengan sikapnya terhadap
rakyat yang dipimpinnya, diragukan kemampuannya jika dilihat dari
kondisinya- dalam menunaikan amanatnya menciptakan kesejahteraan
dan kebahagiaan rakyatnya.
Hadis ini tentunya tidak bisa ditelan mentah-mentah (tekstual),
tetapi harus diinterpretasi secara seksama untuk mengetahui,
mengapa Nabi mensyaratkan adanya penegakan salat untuk larangan
menentang kepada seburuk-buruk pemimpin, sehingga diperoleh suatu
pemahaman yang tepat dan akhirnya menghasilkan pengamalan yang
tepat pula.Proses pemahaman hadis tersebut diawali dengan
penelusuran hadis-hadis yang setema melalui metode penelusuran tema
hadis atau lafaz hadis, yaitu kata awal hadis melalui kitab-kitab
yang membantu penelusuran hadis, yaitu Mifta>h Kunu>z
al-Sunnah, al-Mujam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s|
al-Nabawi> dibantu dengan CD Program Mausu>ah
al-H}adi>>s| al-Syari>f, yang menghasilkan bahwa hadis
tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat terdapat
dalam kitab S}ah}i>h} Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan
Sunan al-Da>rimi>.
Sebelum metode maa>ni> al-H}adi>>s| diterapkan,
hadis tersebut harus diteliti keotentikannya. Analisis keotentikan
hadis dari segi sanad dan matan, menghasilkan kesimpulan bahwa
hadis ini sahih. Penelitian selanjutnya adalah analisis matan
meliputi kajian linguistik berupa kajian kata-kata kunci dalam
matan, dan kajian historis kepemimpinan Nabi supaya dapat
digeneralisasikan kandungan hadisnya. Analisis generalisasi
menghasilkan makna universal bahwa ketaatan kepada penguasa atau
pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran
Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam
masyarakat.Makna universal dari hadis tersebut kemudian
dikontekstualisasikan kepada realitas kekinian, yaitu pada realitas
politik Islam dan Indonesia kekinian. Upaya kontekstualisasi ini
menunjukkan bahwa kemunduran dan kekacauan yang terjadi di negara
Islam termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
adalah sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dan para pejabat
negara dalam menjalankan amanat rakyat yang merupakan kewajiban
mereka. Keadilan dalam masyarakat belum direalisasikan dengan baik.
Jika hukum dan keadilan tegakkan maka tentunya akan tercipta
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sejahtera,
adil dan makmur, tidak ada pertentangan dari rakyat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
NOTA DINAS PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHANiii
HALAMAN MOTTOiv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
PEDOMAN TRANSLITERASIvi
ABSTRAKxi
KATA PENGANTARxii
DAFTAR ISIxiv
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
Rumusan Masalah 9
Tujuan dan Kegunaan Penelitian10
Telaah Pustaka10
Metode Penelitian16
Sistematika Pembahasan19
BAB II KONSEP KEPEMIMPINAN DAN SALAT21
A. Konsep Kepemimpinan21
B. Konsep Salat.31
BAB III INTERPRETASI HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA
MENEGAKKAN SALAT40
A. Redaksi Hadis-hadis tentang Seburuk-buruk Pemimpin Selama
Menegakkan Salat40
B. Kajian Otentisitas Hadis46
1. Analisis Sanad57
2. Analisis Matan48C. Pemaknaan Hadis 52
1. Kajian Konfirmatif52
2. Kajian Tematik Komprehensif54
3. Kajian Linguistik57
4. Kajian Realitas Historis61
5. Generalisasi Makna Hadis66
BAB IV KONTEKSTUALISASI HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN
SELAMA MENEGAKKAN SALAT TERHADAP REALITAS KEKINIAN 68
A. Kepemimpinan dalam Politik Islam68
B. Fenomena Kepemimpinan dalam Dunia Politik Indonesia
Kekinian72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan81
B. Saran-saran82
C. Kata Penutup82
DAFTAR PUSTAKA83
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, selalu terdorong
untuk hidup bermasyarakat atau berkelompok, dengan
mengaktualisasikan dirinya untuk menemukan jati diri atau identitas
masing-masing. Dalam proses ini, setiap orang membutuhkan bantuan
dan partisipasi orang lain. Hal ini bukan untuk menjadi sama
seperti orang lain, tetapi justru untuk menjadi pribadi yang
berbeda dari yang lain.
Setiap orang apabila dibandingkan antara satu dengan yang lain,
akan terlihat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap
orang memiliki keinginan, kehendak, kemauan, pikiran, pendapat,
kebutuhan, sifat dan tingkah laku yang berbeda-beda. Dalam kondisi
bervariasi yang bersifat kodrati ini, manusia dalam mewujudkan
kehidupan bersama perlu saling mengenal dan saling menghargai, dan
akhirnya perlu saling menolong.
Namun, di antara perbedaan tersebut terdapat kesamaan yang
menjadi motivasi untuk membentuk suatu kelompok atau organisasi.
Organisasi ini dibentuk untuk meningkatkan efektifitas dalam
memanfaatkan kesamaannya itu sehingga mencapai tujuan bersama. Demi
efisiensi kerja dalam upaya mencapai tujuan dan mempertahankan
hidup bersama, diperlukan bentuk kerja kooperatif yang perlu diatur
dan dipimpin. Oleh karena itu, diperlukan seorang pemimpin dalam
kelompok tersebut.
Al-Quran menunjukkan bahwa manusia dibebani tugas untuk
memakmurkan bumi. Tugas yang disandangnya ini menempatkan setiap
manusia sebagai pemimpin (khalifah). Setiap orang harus memimpin
dimulai dari- dirinya sendiri, dengan berbuat amal kebajikan bagi
dirinya sendiri, orang lain (masyarakat dan lingkungan sekitarnya,
baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa) agar mencapai tujuan
hidupnya berupa keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia
dan akhirat kelak. Setiap manusia harus mengendalikan dirinya baik
dalam kehidupan bermasyarakat maupun sebagai makhluk Allah yang
memikul kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas segala
tingkah laku dan perbuatannya selama hidup di muka bumi.
Dalam masalah kepemimpinan, Nabi Muhammad SAW. menyatakan :
Ketahuilah, bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan bertanggung
jawab terhadap pimpinannya itu. Maka imam adalah seorang pemimpin
yang bertanggung jawab terhadap pimpinannya (rakyatnya). Seorang
lelaki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung
jawab terhadap mereka. Seorang istri (wanita) adalah pemimpin di
rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadapnya. sedangkan seorang
hamba (budak) adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya dan
bertanggung jawab terhadapnya. Ketahuilah, kamu sekalian adalah
pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab terhadap
pimpinannya.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam posisi dan status
apapun juga, manusia sebagai pribadi maupun sebagai umat, tanggung
jawab sebagai pemimpin tidak dapat dielakkan. Apabila tanggung
jawab ini ditunaikan, maka akan menjadikannya sebagai orang-orang
yang beruntung. Namun sebaliknya, apabila diabaikan, maka ia
termasuk orang-orang yang merugi.
Tanggung jawab ini akan semakin berat, apabila seseorang menjadi
pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tanggung jawab ini menjadi berat, karena hakikat kepemimpinannya
memiliki dua dimensi. Pertama adalah pertanggungjawaban yang harus
disampaikan pada orang-orang yang dipimpinnya. Kedua adalah
pertanggungjawabannya kepada Allah tentang kesungguhan dan
kemampuannya dalam mengikuti serta menjalankan petunjuk Allah dan
keteladanan Nabi Muhammad dalam memimpin. Dua dimensi ini akan
berpadu menjadi satu kesatuan, apabila tanggung jawab yang kedua
tersebut telah ditunaikan secara baik semata-mata karena Allah
SWT., maka secara pasti dimensi pertama juga terpenuhi. Dengan
demikian, jelas bahwa kepemimpinan berkenaan dengan hubungan
vertikal dengan Tuhan (h}abl min Alla>h) dan hubungan secara
horizontal dengan sesamanya (h}abl min al-na>s).
Sosok pemimpin yang bisa memenuhi dua dimensi inilah yang
diharapkan ada pada setiap pemimpin pada wilayah terkecil hingga
terbesar, yaitu sebuah negara. Namun kenyataan yang terjadi, tidak
semua pemimpin mampu memenuhinya. Ada pemimpin yang baik, pemimpin
yang buruk bahkan ada pula pemimpin yang abnormal.
Kepemimpinan dalam dunia Islam dikenal dalam beberapa istilah,
khila>fah, ima>mah, ima>rah, wila>yah, sulta>n, mulk
dan ria>sah. Di antara para ulama, ada yang menyamakan
istilah-istilah ini dan ada pula yang membedakannya. Dalam menyebut
pemimpin dalam pemerintahan (kepala negara), istilah khalifah, imam
dan amir yang sering digunakan.
Masalah kepemimpinan dalam Islam merupakan masalah penting dan
menarik. Perselisihan terbesar di kalangan umat Islam yang terjadi
pasca wafatnya Nabi SAW. adalah dilatarbelakangi oleh masalah ini.
Perselisihan masalah kepemimpinan ini telah mengakibatkan
pertumpahan darah dalam Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Masing-masing pihak yang berseteru saat itu mengaku bahwasanya
orang pilihan dari golongannyalah yang berhak menduduki kursi
kepemimpinan umat Islam.
Seorang pemimpin adalah tampuk kekuasaan. Pemimpinlah yang
memerintah dan memutuskan segala perkara yang berada dalam
wilayahnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila di
antara mereka baik secara individu maupun golongan saling berebut
tahta tersebut. Namun tidak semua dari mereka mempunyai niat baik
dalam hal ini. Mereka yang berniat busuk hanya ingin memerintah
sesuka hati demi memuaskan hawa nafsu mereka yang tidak pernah
habis. Akibatnya, rakyat yang dipimpinlah menjadi korban tak
berdosa.
Salah satu hadis sahih riwayat Muslim yang membicarakan tentang
kepemimpinan dalam pemerintahan (al-Ima>rah) dan menyebut
pemimpin dengan istilah ima>m (Aimmah), menyatakan bahwa Nabi
Muhammad menyebutkan ciri-ciri seorang pemimpin yang baik dan yang
buruk. Redaksi hadis ini adalah sebagai berikut. .Artinya: Telah
bercerita kepada kami Da>wud bin Rusyaid bahwa: telah bercerita
kepada kami al-Wali>d yakni Ibnu Muslim bahwa: telah bercerita
kepada kami Abdurrahman bin Yazi>d bin Jabi>r bahwa: seorang
budak dari Bani Faza>rah yang bernama Ruzaiq bin H{ayya>n
telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim
bin Qaraz}ah putra paman Auf bin Ma>lik al-Asyja>i berkata
bahwa ia telah mendengar Auf bin Ma>lik al-Asyja>i berkata
bahwa ia telah mendengar Rasululluh SAW. bersabda: Sebaik-baik
pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula
mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu.
Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci
dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun
melaknatmu. Mereka (yang hadir saat itu) berkata: Wahai Nabi, jika
demikian, tidakkah kita menumbangkannya? Beliau bersabda: Tidak,
selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Tidak, selama
mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah!
Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih,
dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka
bencilah perbuatan buruknya tersebut saja dan jangan sekali-kali
membangkang terhadapnya.
Hadis di atas secara implisit menyebutkan bahwa seorang pemimpin
dapat dikatakan baik jika mampu menciptakan suasana saling
mendukung antara kedua belah pihak yaitu antara pemimpin dan yang
dipimpin yang didasari oleh perasaan saling mencintai dan
menyayangi. Suasana seperti ini dapat menjadi modal awal yang
sangat berpengaruh positif dalam mewujudkan tujuan bersama.
Sebaliknya, seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin
yang buruk, jika suasana yang terbangun di masa kepemimpinannya
bernuansa negatif, yaitu rasa saling membenci bahkan melaknat.
Kondisi demikian tentunya dapat menimbulkan efek negatif dalam
proses perjalanan roda kepemimpinannya yang dapat merugikan salah
satu bahkan kedua belah pihak, yaitu ketertindasan yang biasanya
terjadi pada kalangan rakyat yang dipimpin.
Pernyataan Nabi dalam tentang kriteria seburuk-buruk pemimpin
tentu wajar jika ditanggapi dengan pertanyaan oleh para sahabat:
apakah mereka boleh menumbangkan seburuk-buruk pemimpin yang
dimaksud Nabi. Yang menjadi persoalan adalah jawaban Nabi atas
pertanyaan ini yaitu kata tidak yang diikuti dengan syarat bahwa
pemimpin tadi masih menegakkan (mendirikan) salat. Hal ini
menandakan bahwa pemimpin tersebut masih berhak untuk ditaati.
Mengapa Nabi mensyaratkan adanya penegakan salat untuk menentukan
apakah pemimpin yang buruk tersebut boleh ditentang (ditumbangkan)
atau tidak ? Dalam pernyataan Nabi itu tentu mengandung makna
mendalam mengenai hubungan antara kepemimpinan seseorang dengan
salat ? Lalu apakah makna tersebut ? Padahal seorang pemimpin yang
membenci bahkan melaknat rakyatnya dan begitupun sebaliknya dengan
sikap rakyat terhadapnya, sangat tipis kemungkinannya untuk
bersedia dan mampu menciptakan kestabilan dan kesejahteraan
rakyatnya. Apakah salat dalam hal ini merupakan simbol dari seorang
pemimpin yang baik ?
Makna atau maksud sesungguhnya yang ditemukan dari sabda Nabi
ini, diharapkan dapat memberi pedoman dan arahan bagi kepemimpinan
umat Islam untuk masa kini dan masa yang akan datang. Sesuatu yang
sangat mungkin terjadi bahwa kemunduran umat Islam sejak Abad
Pertengahan- disebabkan oleh kemunduran dalam hal kepemimpinan
akibat kesalahpahaman dalam memahami bagaimana sikap dan pribadi
seorang pemimpin yang dimaksud oleh Nabi sebagai suri tauladan
terbaik bagi umat Islam.
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran
sekaligus penjelas al-Quran yang dapat menjadi pegangan hidup umat
manusia khususnya umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Seorang Nabi tidak mungkin mengatakan
sesuatu, yaitu memerintah ataupun melarang sesuatu tanpa ada
tujuannya. Semua pernyataan beliau pasti mempunyai alasan dan tidak
terlepas dari faktor situasi sosio-historis yang ada pada
masyarakat masa Nabi. Dengan demikian, hadis tersebut harus
diinterpretasi untuk memperoleh petunjuk Tuhan yang tersembunyi
dalam sabda Nabi secara tepat. Oleh karena itu, berbagai pertanyaan
berkenaan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama
menegakkan salat di atas harus ditemukan jawabannya, sehingga
kesamaran yang dapat menyebabkan perselisihan karena kesalahpahaman
dalam interpretasi teks agama di antara umat Islam menjadi jelas
dan permasalahan dapat teratasi.
Permasalahan sebenarnya tidak berhenti sampai pemahaman matan
hadis saja, namun akan berlanjut ketika normativitas hadis harus
dihadapkan dengan realitas dan tuntutan historisitas perkembangan
zaman. Masalah ini akan bertambah karena sebuah teks atau matan
hadis bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa
sejarah, vacum historis, melainkan di balik sebuah teks atau matan
sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang
tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin
memahami dan merekonstruksi makna sebuah hadis sehingga sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan humanitas kontemporer.
Jika dihadapkan dengan kondisi kekinian, yaitu pada realitas
kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana
kontekstualisasi hadis tersebut ? Ketika ada pemimpin yang
berkualitas baik, sedikit baik, ada pemimpin buruk, sedikit buruk
bahkan pemimpin abnormal yang sakit secara sosial yang egoistis,
overkompensatoris, sadistis, maha serakah, kejam, merajalela,
neurotis, koruptif- dan pasti akan menyebarkan penyakitnya serta
menimbulkan banyak kepedihan dan kesengsaraan di kalangan luas,
bagaimana konsekuensi yang terjadi jika dilihat melalui kacamata
hadis ini ? Terlebih lagi melihat jumlah pemimpin abnormal ini
semakin meningkat pada zaman sekarang terutama di Indonesia. Upaya
kontekstualisasi ini dilakukan untuk menghidupkan kembali "ruh"
hadis dalam segala dimensi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia,
sehingga benar-benar menjadi rah}matan li al-'a>lami>n,|
bukan hanya sekedar goresan tinta di atas kumpulan kertas yang
hanya memenuhi koleksi perpustakaan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin
selama menegakkan salat ?
2. Bagaimana hubungan antara kepemimpinan dan salat yang
dimaksud dalam hadis tersebut ?
3. Bagaimana kontekstualisasi hadis terhadap realitas kekinian
?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
memahami kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama
menegakkan salat, mengetahui hubungan antara kepemimpinan dan salat
yang dimaksud hadis serta untuk mengetahui kontekstualisasi hadis
itu terhadap realitas kekinian.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah memberi pengertian kepada
masyarakat Islam tentang bagaimana seharusnya ihwal seorang
pemimpin dan yang dipimpin (rakyat) yang sesuai dengan ajaran Islam
yang disampaikan melalui hadis Nabi. Di samping itu, penelitian ini
diadakan untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang
Maa>ni> al-H}adi>s|.Telaah Pustaka
Pembahasan tentang kepemimpinan dan salat memang cukup banyak.
Namun, mayoritas dari tulisan-tulisan yang ada membahasnya secara
terpisah. Adapun tulisan yang mengkajinya secara bersamaan,
penyajian dalam pembahasan terlalu singkat dan kurang memadai.
Tulisan-tulisan tentang masalah kepemimpinan yang ditemukan,
mayoritas membahas kepemimpinan dalam pemerintahan sebagai bagian
dalam masalah negara. Masalah kepemimpinan yang diangkat dalam
tulisan-tulisan ini dibahas secara umum saja. Berikut
tulisan-tulisan yang membahas masalah kepemimpinan dan salat.
Al-Nawawi>, dalam kitab syarahnya terhadap S}ah}i>h}
Muslim, membahas hadis yang diteliti ini. Namun pembahasannya lebih
mengarah kepada penjelasan sanad. Adapun pada penjelasan matannya,
al-Nawawi hanya mengartikan kata yus}allu>na dengan doa. Jika
dibandingkan dengan penjelasan hadis yang diberikan oleh Imam
Muslim sendiri dalam kitab S}ah}i>h}-nya, maka penjelasan Imam
Muslim lebih lengkap.
Karya Ali Ahmad al-Sulus yang berjudul Imamah dan Khilafah,
memaparkan pemikiran-pemikiran tentang konsep Imamah dan khilafah
menurut Jumhur dan berbagai madzhab Islam serta perspektif al-Quran
dan al-Sunnah terhadap masalah ini. Tidak terdapat pembahasan
tentang kepemimpinan berdasarkan pemahaman hadis yang diteliti
ini.
Sedangkan dalam Imamah dan Khilafah karya Murtadha Muthahhari
memaparkan konsep imam dan khalifah yang cenderung berorientasi
kepada ajaran Syiah. Menurut Syi'ah, kedudukan imam dan khalifah
umat Islam hanya diberikan kepada Ali dan keturunannya berdasarkan
hadis S|aqalain, dan mereka maksum (terpelihara dari dosa dan
kesalahan).
Al-Muba>rak dalam tulisannya yang berjudul Ni>za>m
al-Isla>m: al-Mulk wa al-Daulah menguraikan beberapa prinsip dan
dasar Islam tentang pemerintahan dan pendirian negara berdasarkan
al-Quran dan al-Sunnah. Di dalamnya juga mengulas masalah pemimpin
pemerintahan.
Dalam buku Islam and Government Sistem: Teaching, History and
Reflection yang ditulis oleh Munawir Sjadzali, membahas tentang
hubungan antara Islam dan struktur negara (politik) yaitu
pemerintahan dengan menengok bagaimana kepemimpinan dalam
pemerintahan pada masa Nabi SAW., Khulafa>' al-Ra>syidi>n
dan sesudahnya. Selain itu, buku ini membahas tokoh-tokoh ulama dan
pemikirannya dalam masalah kepemimpinan dari zaman klasik hingga
kontemporer.
Sedangkan dalam Islam and Development : A Politico-Religious
Responseyang merupakan kumpulan tulisan-tulisan oleh Sri Mulyati
dkk. mengetengahkan berbagai pemikiran tokoh-tokoh Islam tentang
negara, politik dan perkembangan pergerakan-pergerakan di dunia dan
di Indonesia.
Zainal Abidin Ahmad dalam tulisannya Konsepsi Negara Bermoral
menurut Imam al-Ghazali, mengetengahkan teori-teori dan
konsepsi-konsepsi kenegaraan menurut Imam al-Gazali yang bernuansa
tasawuf. Dalam tulisan ini, hadis yang diteliti ini tercantum,
namun dengan redaksi yang tidak lengkap disertai penjelasan hadis
yang minim.
Adapun Fuad Mohammad Fachruddin dalam tulisannya Pemikiran
Politik Islam sedikit menyinggung masalah hubungan antara salat dan
negara. Namun pembahasannya terlalu singkat dan hal inipun
ditempatkan pada bab Pendahuluan tulisannya. Dalam pembahasan juga
tidak menyinggung hadis yang diteliti ini.
Ihwanuddin dalam skripsinya yang berjudul Konsepsi Kepemimpinan
dalam Sahih al-Bukhari : Kajian atas Sanad dan Matan Hadis
mengetengahkan pembahasan konsep kepemimpinan dari hadis-hadis
tentang kepemimpinan yang terdapat dalam kitab S}ah}i>h}
Bukha>ri>. Pembahasan ini meliputi penelitian terhadap sanad
dan matan hadis. Ihwanuddin menyatakan bahwa hadis-hadis tersebut
sahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan kandungan dalam
matannya mengindikasikan bahwa rakyat harus taat kepada pemimpinnya
dalam hal kebajikan dan amar maruf. Apabila terdapat hal yang tidak
menyenangkan dalam kepemimpinannya, maka rakyat harus bersabar
tanpa membangkang.
Sedangkan Hendrik Imran dalam skripsinya Hadis-hadis tentang
Kepemimpinan dari Suku Quraisy : Studi Kritik Sanad dan Matan
membahas validitas hadis berdasarkan sanad dan matannya, serta
bagaimana makna yang dikandung hadis. Dalam pembahasannya ditemukan
bahwa kepemimpinan dari suku Quraisy sama sekali tidak dimaksudkan
sebagai syarat mutlak bagi jabatan pimpinan negara yang diterapkan
oleh Nabi SAW. dan mengikat kepada umat secara permanen.
Hadari Nawawi dalam bukunya Kepemimpinan Menurut Islam hanya
membahas masalah kepemimpinan Islam secara umum. Sedangkan Muhadi
Zainuddin dan Abdul Mustaqim dalam karyanya Studi Kepemimpinan
Islam : Telaah Normatif dan Historis membahas pengertian
kepemimpinan menurut kacamata al-Quran dan hadis dan memahami
konsep kepemimpinan melalui sejarah Islam yaitu mulai kepemimpinan
Nabi SAW., Khulafa>' al-Ra>syidi>n hingga Daulah
Abbasiyyah.
Tulisan-tulisan di atas merupakan tulisan yang membahas masalah
kepemimpinan. Adapun tulisan-tulisan yang berkaitan dengan salat
adalah sebagai berikut.
Psikologi Shalat yang merupakan karya Sentot Haryanto membahas
salat dari segi sejarahnya, yaitu peristiwa Isra Miraj yang pada
saat itu kewajiban melaksanakan salat bagi umat Islam langsung
disampaikan Allah kepada Nabi SAW. tanpa adanya perantara. Salat
juga dibahas dari segi psikologis dan religiusnya. Dalam pembahasan
ini dikatakan bahwa salat sangat berpengaruh positif bagi jiwa dan
raga pelakunya serta mampu membentuk manusia yang bersih. Buku ini
memaparkan pula bahwa di balik salat berjamaah mengandung
keistimewaan terutama dalam terapi lingkungan dan kebersamaan.
Mahmud Muhammad Thaha dalam bukunya Salat Perdamaian : Risalah
Kebebasan Individu dan Keadilan Sosial membahas salat melalui
pendekatan sufistik. Bagi Mahmud, salat bukanlah sekedar gerakan,
tapi juga pengetahuan dan sikap. Kedamaian di hati diwujudkan
melalui salat yang benar, sadar dan dewasa. Kedamaian di masyarakat
pun diwujudkan melalui salat. Salat adalah refleksi, pengoyakan
selubung yang menutupi mata dan hati. Implikasi dari pembahasan ini
adalah untuk mewujudkan Islam yang hanif, toleran dan damai.
Casmini dalam artikelnya berjudul Keistimewaan Salat Ditinjau
dari Aspek Psikologi dan Agama mengungkapkan bahwa salat selain
menjadi barometer ketaatan dan penginsyafan seorang hamba pada Sang
Khalik, juga mempunyai keistimewaan, yaitu pada peristiwa Isra
Miraj disampaikan perintah Allah kepada Nabi secara langsung
tentang kewajiban salat bagi kaum muslimin, dan keistimewaan salat
dalam melindungi jiwa agar senantiasa bersih dan suci.
Ahmad Fadhil Nasrullah dalam bukunya Celaka Orang yang Salat
hanya memaparkan penafsirannya tentang ayat-ayat al-Quran dalam
surat al-Maun terutama pada ayat yang menyatakan : celakalah
orang-orang yang salat.
Tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan salat yang dikemukakan
di atas tidak ada yang mengupas masalah kepemimpinan yang dikaitkan
dengan salat secara khusus, terlebih lagi penelitian atas hadis
tentang seburuk-buruknya pemimpin selama menegakkan salat. Adapun
sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang korelasi antara
kepemimpinan dan salat yang merupakan sebuah kajian maa>ni>
al-h}adi>s| terhadap hadis yang bersangkutan belum diadakan.
Oleh karena itu, penelitian ini perlu diadakan dan tulisan inilah
sebagai realisasinya.Metode Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan
secara optimal. Berikut penulis paparkan metode yang digunakan
dalam penelitian ini.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library
Research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah
sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan
dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang
jelas.
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang
telah terkumpul diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk
dianalisis secara konseptual dengan menggunakan metode
maa>ni> al-h}adi>s|, yakni pemaknaan dan interpretasi
terhadap matan hadis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
berkaitan dengannya.
Teknik Pengumpulan Data
Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan,
maka tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan
menelaah berbagai kitab hadis, kitab syarah, kitab ilmu hadis,
buku, artikel dan sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan
kajian ini, baik yang bersifat primer maupun sekunder.
Sumber Data
Setelah ditelusuri dalam kitab-kitab hadis dengan menggunakan
kitab Mifta>h Kunu>z al-Sunnah melalui tema hadis dan
al-Mujam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi>
melalui kata-kata dalam matan hadis dan dibantu penelusuran hadis
melalui CD Mausu>ah al-H}adi>>s| al-Syari>f dengan
metode penelusuran lewat topik atau tema hadis dan penelusuran
lewat kata awal dalam matan hadis, hadis tentang seburuk-buruknya
pemimpin selama menegakkan salat terdapat dalam kitab S}ah}i>h}
Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan Sunan al-Da>rimi>.
Dengan demikian, sumber data primer dalam penelitian ini adalah
ketiga kitab ini. Sedangkan sumber data sekunder adalah kitab-kitab
hadis dan syarah hadis, buku, artikel dan sumber tertulis lainnya
yang berkaitan dan relevan dengan topik yang dibahas, untuk
membantu dalam pemahaman hadis dan kontekstualisasinya.
Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data yang
masih mentah. Oleh karena itu, perlu diadakan analisis terhadap
data-data tersebut. Dalam menganalisis data ini, langkah-langkah
yang diambil penulis adalah sebagai berikut.
a. Kritik Historis, yaitu analisis keotentikan hadis untuk
menentukan validitas dan otentisitas hadis dari segi sanad dan
matan dengan menggunakan kaedah kesahihan yang telah ditetapkan
oleh para ulama.
b. Kritik Eidetis, yaitu berupa proses pemahaman yang memuat
tiga langkah utama:
1) Analisis matan, yaitu menjelaskan makna hadis setelah
ditetapkan derajat otentisitas hadis yang meliputi tiga tahap.
a) Kajian konfirmatif terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang relevan
dengan tema hadis, untuk memperoleh petunjuk di dalamnya.
b) Kajian Tematik Komprehensif, yakni mempertimbangkan
hadis-hadis lain yang memiliki tema yang relevan dengan tema hadis
yang bersangkutan, dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih
komprehensif.
c) Kajian linguistik, berupa kajian terhadap teks hadis dengan
menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab, misalnya
menyangkut bentuk kata dan arti kata.
2) Analisis realitas historis. Dalam tahapan ini, makna atau
arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas
realitas, situasi atau problema historis ketika pernyataan sebuah
hadis muncul, baik situasi makro maupun mikro.
3) Analisis Generalisasi, yaitu analisis untuk menangkap makna
universal yang tercakup dalam hadis.
c. Kritik Praksis, yaitu menganalisis perubahan makna hadis yang
diperoleh dari proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan saat
ini, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan
kemasyarakatan. Analisis tahap ini juga dikenal dengan nama
kontekstualisasi hadis (proyeksi hadis) terhadap realitas
kekinian.Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan Bab I
yaitu Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian
dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman,
acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat
terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.
Sedangkan pada Bab II dibahas masalah tentang konsep
kepemimpinan dan salat. Pembahasan ini mengulas pengertian tentang
kepemimpinan dan salat, yang akan memberi gambaran tentang topik
kepemimpinan dan salat, sebagai pegangan sebelum memasuki
pembahasan berikutnya di Bab III.
Pembahasan pada Bab III berupa interpretasi hadis sehingga
kandungan hadis dapat dipahami secara tepat. Pembahasan ini
meliputi tinjauan redaksional hadis-hadis tentang seburuk-buruk
pemimpin selama menegakkan salat. Dilanjutkan pada analisis
keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, analisis matan hadis
meliputi kajian konfirmatif, kajian tematik-komprehensif, kajian
linguistik dan kajian realitas-historis, dan diakhiri dengan
generalisasi kandungan hadis.
Bab IV mengemukakan kontekstualisasi hadis terhadap realitas
kekinian, yaitu berupa analisis perubahan makna hadis yang
diperoleh dari generalisasi makna hadis ke dalam realitas kehidupan
saat ini, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika politik
dan kemasyarakatan.
Pembahasan dalam penelitian ini diakhiri dengan Bab V yang
berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan
jawaban atas rumusan masalah yang dikemukakan penulis pada Bab
I.
BAB II
KONSEP KEPEMIMPINAN DAN SALAT
Konsep Kepemimpinan
Pengertian Kepemimpinan secara Umum
Kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan manusia dalam
kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berasal dari kata dasar pimpin yang jika mendapat awalan
me menjadi memimpin yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan
membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah
mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan
mengajari supaya dapat mengerjakan sendiri. Adapun pemimpin berarti
orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang
kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin,
termasuk kegiatannya.
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin
dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang
sebagai hasil dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan
individu-individu yang dipimpin (ada relasi inter-personal).
Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk
mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna melakukan
sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan demikian,
pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok atau satu
organisasi.
Sebenarnya kepemimpinan merupakan cabang dari ilmu administrasi,
khususnya ilmu administrasi negara. Ilmu administrasi adalah salah
satu cabang dari ilmu-ilmu sosial, dan merupakan salah satu
perkembangan dari filsafat. Sedang inti dari administrasi adalah
manajemen. Dalam kaitannya dengan administrasi dan manajemen,
pemimpinlah yang menggerakkan semua sumber-sumber manusia, sumber
daya alam, sarana, dana dan waktu secara efektif-efisien serta
terpadu dalam proses manajemen dalam suatu kelompok atau
organisasi.. Keberhasilan suatu organisasi atau kelompok dalam
mencapai tujuan yang ingin diraih, bergantung pada kepemimpinan
seorang pemimpin. Jadi kepemimpian menduduki fungsi kardinal dan
sentral dalam organisasi, manajemen maupun administrasi.
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
Istilah Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu
khila>fah, ima>mah, ima>rah, wila>yah, sulta>n, mulk
dan ria>sah. Setiap istilah ini mengandung arti kepemimpinan
secara umum. Namun istilah yang sering digunakan dalam konteks
kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khila>fah,
ima>mah dan ima>rah. Oleh karena itu, pembahasan kepemimpinan
dalam Islam akan diwakili oleh ketiga istilah ini.
Khila>fah
Kata khila>fah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun
yang berarti al-aud} atau al-balad yakni mengganti, yang pada
mulanya berarti belakang. Adapun pelakunya yaitu orang yang
mengganti disebut khali>fah dengan bentuk jamak khulafa> yang
berarti wakil, pengganti dan penguasa.
Kata khali>fah sering diartikan sebagai pengganti, karena
orang yang menggantikan datang sesudah orang yang digantikan dan ia
menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Khali>fah juga
bisa berarti seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan
berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang memberi wewenang.
Menurut al-Ragi>b al-Asfah}a>ni>, arti menggantikan yang
lain yang dikandung kata khali>fah berarti melaksanakan sesuatu
atas nama yang digantikan, baik orang yang digantikannya itu
bersamanya atau tidak.
Istilah ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam
pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks
kerajaan pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain pihak,
cukup dikenal pula pengertiannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi
yang mempunyai dua pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang diwujudkan
dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu
sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling
sempurna.
Menurut M. Dawam Rahardjo, istilah khali>fah dalam al-Quran
mempunyai tiga makna. Pertama, Adam yang merupakan simbol manusia
sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi
sebagai khalifah dalam kehidupan. Kedua, khali>fah berarti pula
generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khali>fah
diemban secara kolektif oleh suatu generasi. Ketiga, khali>fah
adalah kepala negara atau pemerintahan.
Khila>fah sebagai turunan dari kata khali>fah, menurut
Abu> al-Ala> al-Maudu>di>, merupakan teori Islam
tentang negara dan pemerintahan. Adapun menurut Ibnu Khald{u>n
dalam bukunya Muqaddimah, khila>fah adalah kepemimpinan. Istilah
ini berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan.
Khila>fah ini masih bersifat pribadi, sedangkan pemerintahan
adalah kepemimpinan yang telah melembaga ke dalam suatu sistem
kedaulatan.
Menurut Imam Baid{a>wi> al-Mawardi> dan Ibnu
Khald{u>n, khila>fah adalah lembaga yang mengganti fungsi
pembuat hukum, melaksanakan undang-undang berdasarkan hukum Islam
dan mengurus masalah-masalah agama dan dunia. Menurut
al-Mawardi>, khila>fah atau ima>mah berfungsi mengganti
peranan kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.
Posisi khila>fah ini mempunyai implikasi moral untuk berusaha
menciptakan kesejahteraan hidup bersama berdasarkan prinsip
persamaan dan keadilan. Kepemimpinan dan kekuasaan harus tetap
diletakkan dalam rangka menjaga eksistensi manusia yang bersifat
sementara.
Menurut Bernard Lewis, istilah ini pertama kali muncul di Arabia
pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Dalam
prasasti tersebut, kata khali>fah tampaknya menunjuk kepada
semacam raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik
kedaulatan yang berada di tempat lain. Sedangkan setelah Islam
datang, istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu> Bakr yang
menjadi khalifah pertama setelah Nabi Muhammad. Dalam pidato
inagurasinya, Abu> Bakr menyebut dirinya sebagai Khali>fah
Rasu>lulla>h yang berarti pengganti Rasulullah. Menurut Aziz
Ahmad, istilah ini sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas
kenabian yaitu meneruskan misi-misi kenabian.
Khila>fah dalam perspektif politik Sunni> didasarkan pada
dua rukun, yaitu konsensus elit politik (ijma') dan pemberian
legitimasi (baiat). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam,
cara yang digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang ditetapkan
oleh elit politik, setelah itu baru dilegitimasi oleh rakyatnya.
Cara demikian menurut Harun nasution, menunjukkan bahwa
khila>fah bukan merupakan bentuk kerajaan, tetapi lebih
cenderung pada bentuk republik, yaitu kepala negara dipilih dan
tidak mempunyai sifat turun temurun.
Dalam masalah khila>fah, terdapat tiga teori utama, yaitu
pendapat pertama menyatakan bahwa pembentukan khila>fah ini
wajib hukumnya berdasarkan syariah atau berdasarkan wahyu. Para
ahli fiqh Sunni, antara lain Teolog Abu> H}asan al-Asyari>,
berpendapat bahwa khila>fah ini wajib karena wahyu dan ijma para
sahabat. Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh
al-Mawardi>, mengatakan bahwa mendirikan sebuah khila>fah
hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma atau
konsensus. Al-Gazali> mengatakan bahwa khila>fah ini
merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma. Teori terakhir adalah
pendapat kaum Mutazilah yang mengatakan bahwa pembentukan
khila>fah ini memang wajib berdasarkan pertimbangan akal.
Ima>mahIma>mah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun
yang berarti al-qas}du yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu berada di
depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin
(memimpin). Ima>mah di sini berarti perihal memimpin. Sedangkan
kata ima>m merupakan bentuk ism fa>il yang berarti setiap
orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun
sesat. Bentuk jamak dari kata ima>m adalah aimmah.
Ima>m juga berarti bangunan benang yang diletakkan di atas
bangunan, ketika membangun, untuk memelihara kelurusannya. Kata ini
juga berarti orang yang menggiring unta walaupun ia berada di
belakangnya.
Dalam al-Quran, kata ima>m dapat berarti orang yang memimpin
suatu kaum yang berada di jalan lurus, seperti dalam surat
al-Furq}a>n (25) ayat 74 dan al-Baqarah (2) ayat 124. Kata ini
juga bisa berarti orang yang memimpin di jalan kesesatan, seperti
yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat 12 dan al-Qas}as} (28)
ayat 41. Namun lepas dari semua arti ini, secara umum dapat
dikatakan bahwa ima>m adalah seorang yang dapat dijadikan
teladan yang di atas pundaknya terletak tanggung jawab untuk
meneruskan misi Nabi SAW. dalam menjaga agama dan mengelola serta
mengatur urusan negara.
Term ima>mah sering dipergunakan dalam menyebutkan negara
dalam kajian keislaman. Al-Mawardi> mengatakan bahwa ima>m
adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Ia memberi
pengertian ima>mah sebagai lembaga yang dibentuk untuk
menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan mengatur dunia.
Sebagai tokoh perumus konsep ima>mah, ia menggagas perlunya
ima>mah, dengan alasan, pertama adalah untuk merealisasi
ketertiban dan perselisihan. Kedua, berdasarkan kepada surat
al-Nisa> (4) ayat 59, dan kata uli> al-amr menurutnya adalah
ima>mah.
Adapun Taqiyuddi>n al-Nabh}a>ni> menyamakan ima>mah
dengan khila>fah. Menurutnya, khila>fah adalah kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap
penjuru dunia. Adapun al-Taftaza>ni> menganggap ima>mah
dan Khila>fah adalah kepemimpinan umum dalam mengurus urusan
dunia dan masalah agama.
Menurut Ibnu Khald}un, ima>mah adalah tanggung jawab umum
yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan
kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat yang merujuk padanya. Oleh
karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan
dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Adapun penamaan
sebagai imam untuk menyerupakannya dengan imam salat adalah dalam
hal bahwa keduanya diikuti dan dicontoh.
Pada dasarnya teori ima>mah lebih banyak berkembang di
lingkungan Syiah daripada lingkungan Sunni. Dalam lingkungan Syiah,
ima>mah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan ima>m
(wila>yah) dan kesucian ima>m (ismah). Kalangan Syiah
menganggap ima>mah adalah kepemimpinan agama dan politik bagi
komunitas muslim setelah wafatnya Nabi, yang jabatan ini dipegang
oleh Ali> bin Abi> T{a>lib dan keturunannya, dan mereka
maksum.
Istilah ini muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam
tentang kenegaraan yaitu setelah Nabi SAW. wafat pada tahun 632 M.
Konsep ini kemudian berkembang menjadi pemimpin dalam salat , dan
setelah diperluas lingkupnya- berarti pemimpin religio-politik
(religious-political leadership) seluruh komunitas Muslim, dengan
tugas yang diembankan Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas
tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya.
Menurut Ali Syariati, tidak mungkin ada ummah tanpa ima>mah.
Ima>mah tampak dalam sikap sempurna pada saat seseorang dipilih
karena mampu menguasai massa dan menjaga mereka dalam stabilitas
dan ketenangan, melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan
bahaya, sesuai dengan asas dan peradaban ideologis, sosial dan
keyakinan untuk menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk
ideal. Dalam pemikirannya mengenai ima>mah dan khila>fah, Ali
syariati menganggap khila>fah cenderung ke arah politik dan
jabatan, sedangkan ima>mah cenderung mengarah ke sifat dan
agama.
Ima>rahIma>rah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun yang
berarti memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut
ami>r yang berarti pangeran, putra mahkota, raja (al-ma>lik),
kepala atau pemimpin (al-rai>s), penguasa (wa>li>). Selain
itu juga bisa berarti penuntun atau penunjuk orang buta, dan
tetangga. Adapun bentuk jamaknya adalah Umara>.
Kata amara muncul berkali-kali dalam al-Quran dan naskah-naskah
awal lainnya dalam pengertian wewenang dan perintah. Seseorang yang
memegang komando atau menduduki suatu jawaban dengan wewenang
tertentu disebut s}a>h}ib al-amr, sedangkan pemegang amr
tertinggi adalah ami>r.
Pada masa-masa akhir Abad Pertengahan, kata sifat ami>ri>
sering digunakan dalam pengertian hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintahan atau administrasi. Sementara itu, di Imperium Turki,
bentuk singkat kata ini adalah miri, dengan terjemahan bahasa
Turkinya adalah beylik, menjadi kata yang umum digunakan untuk
hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, publik atau resmi.
Kata miri juga digunakan untuk menunjukkan perbendaharaan kekayaan
negara, kantor-kantor perdagangan pemerintah dan barang-barang
milik pemerintah pada umumnya.
Seorang ami>r adalah seorang yang memerintah, seorang
komandan militer, seorang gubenur provinsi atau ketika posisi
kekuasaan diperoleh atas dasar keturunan- seorang putra mahkota.
Sebutan ini adalah sebutan yang diinginkan oleh berbagai macam
penguasa yang lebih rendah tingkatannya, yang tampil sebagai
gubenur provinsi dan bahkan kota yang menguasai wilayah tertentu di
kota. Sebutan ini pula bagi mereka yang merebut kedaulatan yang
efektif untuk diri mereka sendiri, sambil memberikan pengakuan
simbolik yang murni terhadap kedaulatan khali>fah sebagai
penguasa tertinggi yang dibenarkan dalam Islam.
Istilah ami>r ini pertama kali muncul pada masa pemerintahan
'Umar bin al-Khat}t}a>b. 'Umar menyebut dirinya sebagai ami>r
al-mukmini>n yang berarti pemimpin kaum yang beriman.
Konsep SalatPengertian SalatKata salat adalah bentuk ism masdar
dari s}alla> - yus}alli> - s}ala>h. Kata salat dari segi
bahasa mempunyai arti beragam, yaitu doa, rahmat, ampunan,
sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW., dan berarti ibadah yang di
dalamnya terdapat rukuk dan sujud. Keragaman arti salat di atas
adalah berdasarkan dengan fenomena dan konteks yang ada dalam
al-Quran, yaitu doa dan ampunan dalam Q.S. Al-Taubah (9) ayat 103,
berkah dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 157, sedangkan arti salat
sebagai ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud banyak
sekali ayat al-Quran yang menjelaskannya.
Beragamnya arti salat di atas dapat dirumuskan menjadi arti
salat secara bahasa yaitu suatu doa untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan memohon ampunan-Nya, mensyukuri nikmat, menolak bencana,
atau menegakkan suatu ibadah.
Term salat dalam arti doa dan ampunan telah digunakan sejak
zaman Jahiliyyah. Namun demikian, term aqi>mu> al-s}ala>h
menurut Hasbi Ash-Shiddieqy tidak menunjuk kepada makna yang telah
dikenal pada zaman Jahiliyyah itu, tetapi menunjuk kepada yang
diistilahkan oleh syariat agama. Menurutnya, salat berarti berdoa
dan memohon kebajikan kepada Allah dan pujian. Namun secara
hakekat, salat merupakan upaya berhadap hati (jiwa) kepada Allah
dan mendatangkan rasa takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam
jiwanya, rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan
kekuasaan-Nya.
Menurut pandangan Ahli Fiqh, salat merupakan ibadah kepada Allah
dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan
tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan taslim,
dengan runtutan dan tartib tertentu yang ditetapkan oleh agama
Islam.
Menurut Nurcholish Madjid, takbir salat yang dinamakan
takbi>rah al-ih}ra>m berarti takbir yang mengharamkam.
Setelah seseorang telah melakukan takbir, diharamkan baginya
melakukan perbuatan atau tindakan yang di luar ketentuan salat.
Seluruh jiwa dan raga terkonsentrasi penuh dan hanya tertuju kepada
Allah. Dalam melakukan salat, tidak dibenarkan melakukan hubungan
horizontal (h}abl min al-na>s), kecuali dalam keadaan terpaksa.
Keadaan ini merupakan bentuk kekhusyukan dan keinsyafan manusia
dalam melakukan pengabdian kepada Allah (h}abl min Alla>h) yang
merupakan ciri dari salat yang sempurna.
Pembacaan doa iftitah dalam salat menurut Nurcholish, mengandung
pengertian bahwa menghadapkan wajah kepada Allah sebagai tanda
kepasrahan manusia sebagai hamba, dan berharap agar tidak
dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang menyekutukan-Nya.
Adapun kegiatan salat yang diakhiri dengan taslim atau salam,
mengandung pengertian bahwa keselamatan dan kesejahteraan itu untuk
orang banyak, baik yang ada di depan maupun di sekitarnya. Salam
pun merupakan pernyataan solidaritas sosial yang mengandung dimensi
kemanusiaan.
Salat dalam pandangan Nasaruddin Razak, merupakan suatu sistem
ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, berdasarkan atas
syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu. Melaksanakan salat adalah
fardu ain atas tiap-tiap muslim yang balig (dewasa). Sedangkan
menurut Harun Nasution, dalam salat telah terjadi dialog antara
manusia dengan Allah dengan saling berhadapan. Dialog dengan Tuhan
ini wajib dilakukan oleh manusia sebanyak lima kali
sehari-semalam.
Kewajiban salat memang telah dijelaskan dalam al-Quran, akan
tetapi masih bersifat umum. Penjelasan salat secara detail
dinyatakan dalam hadis Nabi SAW. Sistem salat yang kita lakukan
sekarang adalah sistem salat yang diajarkan dan dicontohkan oleh
Nabi kepada generasi pertama kemudian diwariskan secara turun
temurun tanpa mengalami perubahan dan hingga kini telah berjalan
kurang lebih 14 abad.
Setiap muslim dikenai kewajiban salat. Hal ini mengacu kepada
awal proses penciptaan manusia, sebagaimana tertuang dalam al-Quran
surat al-Za>riyat> (51) ayat 56 : Dan Aku (Allah) tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Dalam ayat ini tersirat pengertian bahwa manusia memang diberi
kewajiban untuk mengabdi kepada Allah. Namun kata li yabudu>n
dalam ayat tersebut, sama sekali tidak mengandung maksud bahwa
Allah membutuhkan pengabdian dari manusia (ibadah). Allah memiliki
sifat Maha Sempurna sehingga tidak membutuhkan apapun dari manusia.
Oleh karena itu, secara hakikat kata yabudu>n kurang tepat jika
diberi makna beribadah, memuja, mengabdi apalagi menyembah. Makna
yang lebih tepat adalah tunduk dan patuh, sehingga konotasi yang
terkandung bukan lagi ada hasrat Allah untuk disembah oleh manusia.
Dengan demikian, keberadaan manusia terhadap Tuhan adalah tunduk,
patuh dan menjaga diri dari hukuman Tuhan di hari kiamat. Jika
manusia ingin selamat dari hukum Tuhan, maka manusia harus mematuhi
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Tujuan ibadah salat dalam Islam pada prinsipnya bukan menyembah,
melainkan untuk tunduk dan patuh dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah, agar manusia selalu berada dalam lindungan-Nya, dan
jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang kotor sehingga menjadi
bersih dan suci. Jiwa yang suci akan memiliki ketajaman untuk
membawa kepada perbuatan yang saleh dan luhur. Dengan demikian,
tujuan ibadah salat semata-mata untuk tunduk dan patuh serta
mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Suci dan menjauhkan diri dari
segala perbuatan maksiat dan kotor.
Fungsi SalatSalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam
rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat Yang Maha
Suci. Apabila salat itu dilakukan secara tekun dan konsisten, maka
dapat menjadi alat pendidikan rohani yang efektif dalam
memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan
kesadaran. Makin banyak salat itu dilakukan dengan kesadaran dan
bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani itu
dilatih menghadap Zat Yang Maha Suci yang efeknya akan membawa
kepada kesucian rohani dan jasmani. Kesucian pada rohani dan
jasmani ini akan memancarkan akhlak yang mulia dan budi pekerti
serta sikap hidup yang penuh dengan amal saleh. Ia akan terhindar
dari perbuatan-perbuatan jahat, keji serta maksiat.
Salat akan mendidik manusia untuk bersikap disiplin, pandai
menghargai waktu dan teratur dalam hidup. Kewajiban salat lima
waktu sehari-semalam (24 jam) akan membimbing manusia untuk belajar
menghargai waktu dan menghormati waktu, sehingga tidak mudah
menghamburkan waktu tanpa ada manfaat yang berguna.
Kegiatan berwudu (bersuci) dengan menggunakan air bersih bahkan
mandi terlebih dahulu sebelum melakukan salat sangat berguna untuk
menyegarkan kondisi fisik yang sedang lesu dan kecapekan, ditambah
dengan melakukan salat, niscaya kelesuan rohani dan pikiran akan
terobati dan akhirnya menjadi segar kembali.
Dimensi lain dari salat adalah memiliki fungsi sebagai sarana
memohon pertolongan di kala manusia sedang membutuhkan
pertolongan-Nya. Meskipun Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang,
namun sebagai seorang yang beriman, tentu kita sadar bahwa kasih
dan sayang Allah itu tidak mudah diperoleh begitu saja. Ketaatan
dan ketakwaan manusia turut mempengaruhi mudahnya perolehan sifat
Pengasih dan Penyayang Allah tersebut.
Menurut pandangan para ahli, baik dari kalangan psikolog maupun
ahli kesehatan, salat itu mengandung unsur terapeutik bagi
kesehatan manusia, di antaranya adalah unsur olahraga, unsur
meditasi, unsur auto-sugesti, unsur kebersamaan, unsur relaksasi
otot, relaksasi indera, unsur katarsi, sarana pembentukan pribadi
dan terapi air (hydro therapy).
Menurut H.A. Saboe, gerakan-gerakan yang terkandung dalam salat
mengandung banyak unsur kesehatan bagi jasmani manusia, maka dengan
sendirinya akan memberi efek pula bagi kesehatan baik dari sisi
kesehatan ruhaniyah dan mentalnya.
Dimensi lain yang dapat ditemukan dalam salat adalah terciptanya
kepribadian yang teguh pada diri seseorang. salat yang dilakukan
secara rutin setiap waktu (berdasarkan waktu yang telah ditentukan
syariat), dengan sendirinya akan membentuk kepribadian yang teguh
dan disiplin, terutama dalam menciptakan kedisiplinan dalam waktu
dan kerja.
Uraian di atas mengetengahkan fungsi salat jika ditinjau dari
segi psikologisnya. Adapun jika dilihat dari dimensi agamanya,
salat merupakan perwujudan syukur seorang hamba atas kenikmatan
yang telah diberikan kepadanya yang tiada putusnya, namun manusia
sering melupakannya.
Selain itu, salat merupakan ujung tombak dari sekian banyak
ibadah. Salat pula yang menjadi kunci dari seluruh amal ibadah
manusia di bumi ini. Hal ini karena salat merupakan ibadah pertama
dan utama yang akan dihitung dan dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah. Jika salat seseorang masuk ke dalam kategori lulus atau
baik, niscaya seluruh amal ibadah lainnya juga akan lulus di sisi
Allah. Dengan demikian, salat bisa dikatakan sebagai tiang agama
dan menjadi sesuatu yang sangat penting khususnya bagi setiap
muslim.
Salat juga memiliki implikasi yang baik untuk manusia, yaitu
menjauhkan manusia dari perbuatan jahat dan maksiat. Seorang yang
tekun melakukan salat niscaya akan terhindar dari segala perbuatan
yang tidak terpuji, perbuatan kotor dan lain sebagainya. Salat akan
memberikan keutamaan yang besar bagi seseorang yang mau
mengamalkannya.
Tampaknya uraian di atas memang benar apabila salat disebut
sebagai kunci dari serentetan amal ibadah yang terkandung dalam
agama Islam. Salat memiliki keutamaan dan keistimewaan besar
khususnya bagi umat Islam. Ditinjau dari sudut agama, salat
memberikan dampak yang tinggi dalam mengangkat derajat manusia,
baik di sisi Allah sebagi penciptanya, maupun di hadapan sesama
manusia. Salat pula mengangkat harkat dan martabat manusia menjadi
terpuji dan luhur, sehingga mampu mewujudkan kemaslahatan,
keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia, baik di bumi
ini hingga memasuki kehidupan di akhirat nanti.
Salat juga memiliki dampak positif dari sudut pandang psikologi
bagi manusia, khususnya umat Islam. Salat mengandung unsur-unsur
terapeutik yang berguna bagi kesehatan, baik secara fisik maupun
psikis (kejiwaan). Semakin banyak salat, maka semakin banyak dampak
positif yang akan diperoleh oleh orang yang melaksanakannya.
Selain itu, apabila salat dilakukan secara berjamaah, maka salat
memiliki keistimewaan lagi. Salat berjamaah akan menciptakan
suasana demokratis yaitu pembagian tugas sebagai imam, muazin,
pembaca iqamat dan sebagainya. Ketika imam salat terpilih, maka
makmum harus mengikuti segala gerakan salat imam dengan tertib.
Menurut Fuad Mohammad Fachruddin, salat berjamaah seumpama sebuah
negara, karena di dalam salat terdapat syarat-syarat yang
diperlukan untuk mendirikan sebuah negara. Ia mengatakan salat
memberi bentuk negara Islam.
Keistimewaan salat berjamah lainnya adalah menciptakan rasa
saling peduli, saling memiliki, kebersamaan, menghapus kesenjangan
sosial, terapi lingkungan dan problem solving.
Penjelasan tentang pengertian tentang kepemimpinan dan salat di
atas, mengindikasikan adanya hubungan antara keduanya. Kualitas
salat yang dilaksanakan bisa menjadi ukuran terhadap baik-buruknya
seorang pemimpin. Dengan melaksanakan salat yang benar, pemimpin
sebagai seorang manusia diharapkan selalu mendapat ketenangan dan
petunjuk dari Tuhannya sehingga ia berada di jalan yang benar dan
akan kembali ke jalan yang benar di kala ia melakukan kesalahan
selama menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Salat juga
mengajarkan dan melatih berdemokrasi dan berorganisasi, jika
dilakukan secara berjamaah. Namun demikian, hal ini belum tentu
sesuai dengan kandungan yang dimaksud oleh hadis tentang
seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat yang diteliti ini.
Akan tetapi, pembahasan ini penting untuk mendukung dan membantu
dalam penelitian hadis ini. BAB III
INTERPRETASI TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK PEMIMPIN
SELAMA MENEGAKKAN SALATRedaksi Hadis-hadis tentang Seburuk-buruk
Pemimpin selama Menegakkan SalatMemahami hadis yang membicarakan
tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat memerlukan
adanya pelacakan terhadap hadis-hadis lain yang setema. Upaya ini
dilakukan untuk membantu pemahaman terhadap hadis itu sendiri.
Penelusuran hadis-hadis lain yang setema dilakukan dengan
mengadakan penelitian melalui Takhrij al-H}adi>s| dengan cara
penelusuran berdasarkan topik atau tema hadis (maudu>
al-h}adi>s|) yaitu Adamu Muna>baz|ah Syira>r al-Aimmah
ma> Aqa>mu> al-S}ala>h dengan menggunakan kitab
Mifta>h Kunu>z al-Sunnah , dibantu penelusuran melalui CD
Program Mausu>ah al-H}adi>>s| al-Syari>f dengan tema
Muwa>faqah Syira>r al-Aimmah ma> Aqa>mu>
al-S}ala>h. Penelusuran hadis juga dilacak melalui kata dalam
matan hadis, yaitu khiya>r sebagai kata awal matan, dengan
mengunakan kitab al-Mujam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s|
al-Nabawi> dan dibantu dengan CD Program Mausu>ah
al-H}adi>>s| al-Syari>f. Penelusuran hadis setema ini
memberikan informasi bahwa hadis tentang seburuk-buruk pemimpin
selama menegakkan salat ini terdapat dalam beberapa kitab hadis,
yaitu S}ah}i>h} Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan Sunan
al-Da>rimi>. Redaksi hadis-hadis setema tersebut selengkapnya
adalah sebagai berikut.
1. S}ah}i>h} Muslima. Kita>b al-Ima>rah, ba>b
Khiya>r al-Aimmah wa Syira>ruhum
Artinya: Telah bercerita kepada kami Ish}a>q bin
Ibra>hi>m al-H}anz}ali> bahwa: telah memberitahukan kepada
kami I>sa> bin Yu>nus bahwa: telah bercerita kepada kami
al-Auza>i> dari Yazi>d bin Yazi>d bin Ja>bir dari
Ruzaiq bin H{ayya>n dari Muslim bin Qaraz}ah dari Auf bin
Ma>lik dari Rasulullah SAW. telah bersabda: Sebaik-baik
pemimpinmu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pula mencintai
kamu, mereka yang mendoakanmu dan kamu doakan mereka. Sedangkan
seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka
pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.
Dikatakan: Wahai Rasulullah, jika demikian, tidakkah kita
menumbangkannya dengan pedang ? Beliau bersabda: Tidak, selama
mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Jika kalian melihat
dari penguasa-penguasamu kejelekan yang kamu benci, maka bencilah
perbuatan jeleknya itu saja dan jangan sekali-kali membangkang
terhadapnya. b. Kita>b al-Ima>rah, ba>b Khiya>r
al-Aimmah wa Syira>ruhum
Artinya: Telah bercerita kepada kami Da>wud bin Rusyaid
bahwa: telah bercerita kepada kami al-Wali>d yakni Ibnu Muslim
bahwa: telah bercerita kepada kami Abdurrahman bin Yazi>d bin
Jabi>r bahwa: seorang budak dari Bani Faza>rah yang bernama
Ruzaiq bin H{ayya>n telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia
telah mendengar Muslim bin Qaraz}ah putra paman Auf bin Ma>lik
al-Asyja>i berkata bahwa ia telah mendengar Auf bin Ma>lik
al-Asyja>i berkata bahwa ia telah mendengar Rasululluh SAW.
bersabda: Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai
dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula
mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah pemimpin
yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan
mereka pun melaknatmu. Mereka (yang hadir saat itu) berkata: Wahai
Nabi, jika demikian, tidakkah kita menumbangkannya? Beliau
bersabda: Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah
kamu. Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu.
Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang penguasa
terpilih, dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada
Allah, maka bencilah perbuatan buruknya tersebut saja dan jangan
sekali-kali membangkang terhadapnya. Ibnu Ja>bir telah berkata:
aku telah bertanya kepada Ruzaiq ketika ia menceritakan hadis ini:
" Demi Allah, wahai Abu al-Miqda>m, kamu benar-benar telah
diberitahu atau kamu telah mendengar hadis ini dari Muslim bin
Qaraz}ah yang berkata bahwa ia telah mendengar Auf berkata
bahwasanya ia telah mendengar dari Rasulullah SAW.?" Ibnu Ja>bir
kemudian berkata: Ruzaiqpun berlutut dan menghadap ke arah kiblat
sambil berkata: "Ya, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku
benar-benar telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qaraz}ah yang
berkata bahwa ia telah mendengar Auf bin Ma>lik berkata bahwa ia
telah mendengar dari Rasulullah SAW. Ish}a>q bin Mu>sa>
al-Ans}a>ri> juga telah bercerita kepada kami bahwa
al-Wali>d bin Muslim telah bercerita kepada kami bahwa telah
bercerita kepada kami Ibnu Ja>bir dengan isnad ini, dan Ruzaiq,
seorang budak dari Bani Faza>rah telah berkata bahwa Muslim
telah berkata (tentang hadis ini). Mua>wiyah bin S}a>lih}
juga telah meriwayatkan hadis ini dari Rabi>ah bin Yazi>d
dari Muslim bin Qaraz}ah dari Auf bin Ma>lik dari Nabi SAW.
dengan matan yang sama. 2. Musnad Ah}mad bin H}anbala. Kita>b
Ba>qi> Musnad al-Ans}a>r, ba>b H}adi>>s| Auf bin
Malik al-Asyja>i> al-Ans}a>>ri>
Artinya: Telah bercerita kepada kami Abdulla>h bahwa ayahnya
telah bercerita kepadanya: telah bercerita kepada kami Ali> bin
Is}ha>q, ia telah berkata: Abdulla>h telah bercerita kepada
kami, ia telah berkata: telah bercerita kepadaku Abdurrah}ma>n
bin Yazi>d bin Ja>bir, ia berkata bahwa Ruzaiq, seorang budak
dari Bani Faza>rah dari Muslim bin Qaraz}ah, yaitu putra paman
Auf bin Ma>lik, telah bercerita kepadanya, ia berkata bahwa ia
telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Rasulullah SAW. bersabda:
Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu cintai dan mereka
pula mencintai kamu, yang kamu doakan dan mereka pula mendoakanmu.
Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci
dan mereka pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu
pula. Kami berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah kita menumbangkannya
jika demikian ? Beliau menjawab: Tidak, selama mereka menegakkan
salat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu
mendapatkan seorang amir terpilih, dan menemukannya berbuat
pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka ingkarilah (tidak
membenarkan) perbuatan maksiatnya itu, dan jangan kamu membangkang
terhadapnya.b. Kita>b Ba>qi> Musnad al-Ans}a>r, ba>b
H}adi>>s| Auf bin Malik al-Asyja>i>
al-Ans}a>>ri>
Artinya: Telah bercerita kepada kami Abdulla>h bahwa ayahnya
telah bercerita kepadanya bahwa Yazi>d telah bercerita
kepadanya, ia berkata bahwa telah bercerita kepadanya Faraj bin
Fad}a>lah dari Rabi>ah bin Yazi>d dari Muslim bin Qaraz}ah
dari Auf bin Ma>lik dari Nabi SAW., beliau telah bersabda:
Sebaik-baik orang di antaramu dan sebaik-baik pemimpinmu adalah
mereka kamu yang cintai dan mereka mencintaimu, yang kamu doakan
dan mereka mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk orang di antaramu
dan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan
mereka membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu. Mereka
(para sahabat) berkata: wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi
mereka ? Beliau menjawab: Tidak, selama mereka mengerjakan salat
lima waktu di antara kamu. Ketahuilah ! Barangsiapa di antara kamu
terdapat penguasa dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat)
kepada Allah, maka bencilah perbuatannya itu saja dan jangan
sekali-kali kamu membangkang terhadapnya.3. Sunan
al-Da>rimi>
Kita>b al-Riqa>q, Ba>b Fi> T}a>>ah wa
Luzu>m al-Jama>ah
.Artinya: Telah bercerita kepadaku al-H{akam bin al-Muba>rak
bahwa al-Wali>d bin Muslim telah bercerita kepada kami dari
Abdurrah}ma>n bin Yazi>d bin Ja>bir bahwa ia telah berkata
bahwa Ruzaiq bin H}ayya>n, seorang budak dari Bani Faza>rah
telah memberitahuku bahwa ia telah mendengar Muslim bin Qaraz}ah
al-Asyja>i> berkata bahwa ia telah mendengar Auf bin
Ma>lik al-Asyja>i> berkata bahwa ia telah mendengar
Rasulullah SAW. bersabda: Sebaik-baik pemimpinmu adalah mereka yang
kamu cintai dan mereka mencintaimu, yang kamu doakan dan mereka
mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang
kamu benci dan mereka membencimu, yang kamu laknat dan mereka
melaknatmu. Kami (para sahabat) berkata: Tidakkah kita
menumbangkannya, wahai Rasulullah, jika demikian ? Beliau menjawab:
Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu.
Ketahuilah ! Barangsiapa di antara kamu yang mendapatkan seorang
penguasa terpilih, dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat)
kepada Allah, maka bencilah perbuatan maksiatnya itu saja dan
jangan sekali-kali membangkang terhadapnya. Ibnu Ja>bir telah
berkata: aku telah bertanya: " Demi Allah, wahai Abu al-Miqda>m
(Ruzaiq), apakah kamu benar-benar telah mendengar hadis ini dari
Muslim bin Qaraz}ah ? Seketika itu Ruzaiqpun menghadap ke arah
kiblat dan berlutut kemudian berkata: "Demi Allah, aku benar-benar
telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qaraz}ah yang berkata
bahwasanya ia telah mendengar pamannya Auf bin Ma>lik berkata
bahwa ia telah mendengar dari Rasulullah SAW. menyabdakan hadis
ini.Penelitian hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama
menegakkan salat ini kemudian difokuskan kepada hadis riwayat Imam
Muslim dari Da>wud bin Rusyaid, karena hadis ini telah
disahihkan oleh al-Alba>ni, al-Suyu>t}i> dan
al-Bagawi>. Kajian Otentisitas Hadis
Kajian otentisitas hadis ini merupakan tahapan penting. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa tidak mungkin akan terjadi pemahaman yang
sahih bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara
historis otentik.
Berbeda dengan Al-Quran, ia merupakan teks kitab suci yang
otentik, karena pengalihan (transmisi) Al-Quran adalah transmisi
tekstual. Al-Quran merupakan wahyu in verbatim, yakni sama persis
dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali karena ditulis segera
setelah pewahyuan di bawah pengawasan dan koreksi Nabi sendiri,
sedangkan hadis mengalami perjalanan historis yang panjang sebelum
menjadi wacana tekstual seperti dalam kitab-kitab hadis. Hadis
masih mengalami transmisi lisan, transmisi praktek kemudian baru
memasuki tahap tradisi pengalihan tulisan.
Untuk itu, sebelum memasuki tahap penafsiran dan pemahaman,
problem otentisitas dan orisinalitas ini harus diselesaikan
terlebih dahulu. Memperoleh pemahaman yang tepat terhadap hadis,
perlu ditemukan indikasi-indikasi yang relevan dengan teks hadis
yang bersangkutan, yang dapat diketahui melalui ijtihad. Namun,
kegiatan pencarian indikasi ini baru dilakukan setelah diketahui
secara jelas bahwa sanad hadis yang bersangkutan berkualitas sahih
atau minimal hasan.
Analisis Sanad
Meskipun Imam Muslim dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya
menyebutkan bahwa hadis-hadis yang dimasukkan dalam kitab hadisnya
adalah hadis-hadis yang disepakati kesahihannya, hal ini tidaklah
menjamin bahwa semua hadis dalam kitab hadisnya termasuk hadis
tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat yang
diriwayatkannya adalah berkualitas sahih. Oleh karena itu, dalam
menilai kualitas hadis yang diteliti ini dari segi sanadnya
menggunakan asumsi ulama hadis lain yang mensahihkannya. Di antara
ulama yang mensahihkan hadis riwayat Imam Muslim dari Da>wud bin
Rusyaid adalah al-Alba>ni>, al-Suyu>t}i> dan
al-Bagawi>.
Analisis Matan
Penelitian matan hadis pada bagian ini tidak sama dengan upaya
maa>ni> al-h}adi>s|. Penelitian matan ini berupaya
meneliti kebenaran teks sebuah hadis (informasinya) yaitu apakah
matan hadis benar-benar (orisinal) berasal dari Nabi SAW. Adapun
kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam maa>ni> al-h}adi>s|
berupaya untuk memahami hadis dan syarah hadis, bukan bertujuan
mencari validitas sebuah matan.Jika matan hadis diamati dan
dianalisa, maka apa yang disampaikan di dalamnya dapat masuk akal.
Seorang pemimpin yang mencintai dan mendoakan rakyatnya, dan begitu
sebaliknya dengan rakyatnya yang juga mencintai dan mendoakannya
bisa disebut sebagai sebaik-baik pemimpin. Rasa cinta yang dimiliki
seorang pemimpin terhadap rakyatnya akan berwujud kepedulian dan
perhatian kepada yang dicintanya, yaitu rakyat yang dipimpinnya,
berupa usaha untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Dengan
melihat besarnya perhatian dan usaha yang pemimpin lakukan demi
rakyatnya, tentunya rakyat akan mencintainya pula. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila kedua belah pihak saling mendoakan dan
mendukung.
Begitu pula seburuk-buruk pemimpin akan dibenci dengan
sendirinya oleh rakyat, akibat ulahnya yang tidak melaksanakan
amanat yang diembannya, bahkan menyengsarakan rakyat. Pemimpin
dapat berbuat demikian, karena ketidakcintaannya kepada rakyat,
malah sebaliknya ia membenci rakyat yang dipimpinnya sendiri.
Dengan demikian, isi matan ditinjau dari akal dapat diterima.
Selanjutnya, jika dilihat dari sisi susunan lafalnya, terdapat
beberapa perbedaan ketika diterapkan metode muqa>ranah
(perbandingan) antara susunan lafal masing-masing redaksi hadis.
Perbandingan ini tidak hanya dimaksudkan untuk upaya konfirmasi
atas hasil penelitian yang telah ada saja, tetapi juga sebagai
upaya lebih mencermati susunan matan yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Nabi SAW.
Kegiatan perbandingan susunan lafal hadis ini, menghasilkan
beberapa hal sebagai berikut.
a) Pada hadis riwayat yang diriwayatkan Muslim dari Da>wud
bin Rusyaid, Ish}a>q bin Mu>sa> al-Ans}a>ri> dan
Mua>wiyah bin S}a>lih} mempunyai redaksi yang sama, artinya
tidak ada perbedaan lafal. Hal ini berarti hadis diriwayatkan
secara lafz}i>.
b) Redaksi hadis lain yang serupa dengan redaksi yang
diriwayatkan Muslim dari Da>wud bin Rusyaid adalah hadis riwayat
Ah}mad bin H}anbal dari jalur Ali> bin Is}ha>q dan hadis
riwayat al-Da>rimi dari jalur al-H{akam bin al-Muba>rak.
Namun perbedaan susunan lafal di dalamnya tidak mengubah makna,
sehingga hal ini dapat ditoleransi.
c) Adapun hadis riwayat Muslim dari Ish}a>q bin
Ibra>hi>m al-H}anz}ali memang serupa dengan hadis riwayat
Muslim dari Da>wud bin Rusyaid, namun di dalamnya terdapat
tambahan kata bi al-syaif yang tidak disebutkan dalam riwayat lain.
Tambahan (ziya>dah) kata tersebut dapat diartikan sebagai
penegas dari kata afala> nuna>biz|uhum dan tidak mengubah
makna. Tambahan ini juga bisa disebut idraj jika tambahan itu
merupakan tafsiran dari periwayat, bukan dari Nabi SAW.
d) Hadis riwayat Ah}mad bin H}anbal dari jalur Yazi>d
menyebutkan redaksi yang berbeda dengan adanya penambahan lafal
khiya>rukum.dalam matan hadis. Berikut redaksinya:
.Redaksi hadis di atas dapat dikatakan sebagai hadis yang
diriwayatkan secara makna (riwa>yah bi al-mana). Riwa>yah bi
al-mana ini diperbolehkan sepanjang tidak mengubah artinya.
Sedangkan dalam hadis riwayat Ah}mad bin H}anbal ini tidak mengubah
arti, hanya saja menambahkan bahwa kriteria baik dan buruk seorang
pemimpin sama dengan kriteria baik dan buruk orang secara umum.
Namun karena hadis ini mempunyai sanad lemah diakibatkan salah satu
rawinya yang bernama Faraj bin Fad}a>lah dinilai daif, maka
dengan sendirinya tambahan (ziya>dah) dalam hadis ini tidak
dapat diterima, meskipun tidak bertentangan.
Pemaknaan Hadis
1) Kajian Konfirmatif
Al-Qur'an adalah sumber ajaran Islam yang tertinggi, sedangkan
hadis adalah sumber ajaran Islam kedua. Al-Qur'an bernilai
qat}i>, sedangkan hadis pada dasarnya bersifat z}anni>. Oleh
karena itu hadis yang juga berfungsi sebagai penjelas (baya>n)
terhadap al-Qur'an, tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur'an.
Bahkan Nurcholish Madjid menegaskan bahwa hadis Nabi, khususnya
dari segi dinamik dan mendasar dapat lebih banyak diketahui dari
kitab suci al-Qur'an daripada kumpulan kitab hadis. Dengan
demikian, konfirmasi terhadap ayat-ayat al-Quran penting untuk
dilakukan, untuk memperkuat posisi hadis dan memperoleh
petunjuk-petunjuk dari al-Qur'an yang dapat mendukung pemahaman
terhadap hadis itu sendiri.
Salah satu ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema hadis adalah
ayat 59 dari surat al-Nisa> (4) menyebutkan:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Quran) dan Rasul dan (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Kata "ulil amri" dalam ayat di atas menunjuk kepada penguasa
yang bertanggung jawab atas wilayahnya (pemerintah). Ayat ini
menegaskan bahwa selain umat Islam patuh dan taat kepada Tuhan dan
Rasul-Nya, mereka juga diwajibkan taat kepada penguasa mereka. Jika
dibandingkan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin ini yang
juga menyiratkan adanya keharusan taat kepada pemimpinnya yaitu
penguasa, maka ayat ini menguatkannya.
Ayat 55-56 dalam surat al-Ma>idah (5) menyebutkan:
Sesungguhnya penolong hanyalah Allah dan rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman yang ciri-cirinya tetap mengerjakan salat
dan menunaikan zakat lagi pula mereka tunduk kepada Allah. Dan
barangsiapa memilih Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut golongan Allah yang
menjadi pemenang .
Kata waliyyukum dalam ayat di atas dapat diartikan sebagai
penolong dan pemimpin. Dalam hal ini pemimpin dapat termasuk di
dalam arti penolong, karena pemimpin bertugas melindungi
orang-orang yang dipimpinnya dan berusaha menolong serta
menyelamatkan mereka saat kesulitan dan bencana menimpa, karena
pemimpinlah yang bertanggung jawab atas segala hal yang ada dan
yang terjadi dalam wilayahnya serta ihwal orang-orang yang
dipimpinnya. Seorang pemimpin dipilih adalah untuk memimpin anggota
kelompoknya untuk dapat mewujudkan tujuan bersama. Dengan demikian
ciri-ciri yang disebutkan dalam ayat itu termasuk ciri-ciri
pemimpin juga. Jika ditinjau dari ayat tersebut, maka apa yang
disampaikan dalam hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama
menegakkan salat bersesuaian dengannya.
Selain itu, al-Qur'an menyatakan dalam surat A>li Imran (3)
ayat 132: Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
Pada ayat 135 surat A>li Imran juga disebutkan: Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan-perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain daripada Allah ? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Ayat ini
menyiratkan bahwa orang yang patuh terhadap Tuhannya yang
mengindikasikan juga kepada patuh kepada Nabi Muhammad sebagai
utusan-Nya- dan senantiasa ingat kepada-Nya akan lebih diberi
kesempatan untuk mendapat petunjuk dari Tuhan, sehingga ketika
melakukan kesalahan, ia seakan ditegur untuk kembali ke jalan yang
benar. Inilah salah satu bentuk rahmat dari Allah. Apabila isi
hadis yang bersangkutan dihadapkan dengan ayat ini, maka tidak
bertentangan. Dalam hadis ini disebut kata salat, sedangkan salat
adalah sarana untuk mengingat dan menemui Allah serta memohon
petunjuknya. Dengan demikian pemimpin yang melaksanakan salat akan
mendapat rahmat dan petunjuk dari Allah.
Ditinjau daripenjelasan di atas, hadis riwayat Muslim tentang
seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat tidak bertentangan
dengan al-Quran, bahkan sangat sesuai. Oleh karena itu, hadis ini
dapat diterima berdasarkan al-Quran bahkan memperkuat ayat-ayat
al-Qur'an dan menjelaskannya (baya>n). 2) Kajian
Tematik-Komprehensif Langkah selanjutnya adalah meneliti kandungan
hadis dengan mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema
yang berkaitan dengan hadis bersangkutan, untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat dan komprehensif.
Nabi SAW telah menyatakan bahwa ada tujuh macam orang yang bakal
bernaung di bawah naungan Allah di akhirat nanti yang di antaranya
adalah imam atau pemimpin yang adil. Dari hadis ini, seorang
pemimpin yang adil pastilah dia memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan bersama. Jika ditinjau dari hadis ini, maka sebaik-baik
pemimpin dalam hadis yang diteliti ini berarti pemimpin yang adil.
Karena keadilan merekalah, maka rakyat yang mereka pimpin mencintai
dan mendukung serta mendoakan mereka.
Hadis lain yang berkaitan dengan hadis tentang seburuk-buruk
pemimpin selama menegakkan salat adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim, al-Turmu>z|i>, Abu> Da>wud dan Ah}mad
bin H}anbal. Redaksi hadis yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
.Artinya : Dan telah bercerita kepada kami Abu> Gassa>n
al-Mismai> dan Muh}ammad bin Basysya>r, keduanya dari
Mu'a>z|| dengan lafal Abu> Gassa>n: telah bercerita kepada
kami Mua>z|, yaitu putra Hisya>m al-Dastawa>i>, bahwa
ayahnya telah bercerita kepadanya dari Qata>dah bahwa al-H}asan
telah bercerita kepadanya dari D}abbah bin Mih}s}an al-Anazi>
dari Ummu Salamah, istri Nabi SAW. dari Nabi SAW. bahwasanya beliau
telah bersabda : Akan diangkat di antara kau pemimpin-pemimpin
(suatu saat), dan kamu akan menemukan mereka berlaku baik dan
berlaku buruk. Barang siapa yang membenci (keburukan itu), maka ia
akan bebas. Dan barangsiapa menentangnya, maka akan selamat. Mereka
berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka? Beliau
menjawab: Tidak, selama mereka salat .
Menurut Imam Nawawi, dalam hadis di atas mengandung petunjuk
bahwa tidak boleh melawan para penguasa dan wali semata-mata karena
munculnya kezaliman dan kefasikan, selama mereka tidak merubah
sedikitpun dari prinsip-prinsip Islam. Menurut al-Maududi, hadis di
atas mengandung makna bahwa sekalipun penguasa (pemimpin) melakukan
salat secara pribadi, maka mereka masih tetap berhak untuk disetiai
atau ditaati. Dengan demikian, hadis ini tentunya memperkuat hadis
tentang seburuk-buruknya pemimpin tersebut.
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dinyatakan: "Barangsiapa mentaati saya maka dia telah
mentaati Allah, dan barangsiapa mendurhakai saya maka dia telah
mendurhakai Allah. Dan barangsiapa mentaati amirku, maka dia telah
mentaati saya, dan barangsiapa mendurhakai amirku, maka ia
mendurhakaiku."
Dalam hadis lain, Nabi menguatkan kewajiban mentaati penguasa
sebagai realisasi kesatuan jamaah kaum Muslimin dan penjagaannya,
dan pelestarian hubungan antara pribadi-pribadi umat dengan
pemerintahnya, serta memerintahkan untuk bersabar ketika menjumpai
sesuatu yang tidak disenangi dari pihak penguasa. Dalam sikap
tersebut terkandung pencegahan bahaya dan keburukan yang merajalela
dan fitnah yang menjadi-jadi, agar umat tetap saling berpegangan
sekuat tembok bangunan. Hadis ini menyatakan: "Barang siapa melihat
pada Amirnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaklah dia bersabar
atasnya, karena barangsiapa memisahkan diri dari jamaah sejauh
sejengkal lalu mati, maka ia mati sebagai orang jahiliyyah." Hadis
ini jika dibandingkan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin
tersebut secara implisit sama-sama mengandung pernyataan bahwa
ketaatan kepada penguasa atau pemimpinnya diutamakan.
3) Kajian Linguistik
Dalam hadis tentang seburuk-buruk pemimpin yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim ini terdapat kata-kata kunci yang perlu dikaji
secara linguistik, karena penggunaan prosedur-prosedur gramatikal
bahasa Arab mutlak diperlukan, mengingat teks hadis harus
ditafsirkan melalui bahasa aslinya, yakni bahasa Arab. Pembahasan
kata-kata kunci ini adalah berdasarkan kitab-kitab syarah yang
menjelaskan hadis ini. Kata-kata kunci yang akan dibahas adalah
sebagai berikut.
Aimmah merupakan bentuk jamak dari kata Ima>m yang berakar
dari kata amma-yaummu-ammun yang berarti al-qas}du yaitu sengaja,
al-taqaddum yaitu berada di depan atau mendahului, juga bisa
berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin). Ima>m yang
merupakan bentuk ism fa>il di sini berarti perihal memimpin,
yaitu berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan
yang lurus ataupun sesat.
Imam Muslim dalam penjelasannya terhadap hadis tersebut,
mengarahkan arti kata aimmah kepada arti penguasa, pemimpin
pemerintahan dan sebagainya. Hal ini juga terlihat pada penempatan
hadis ini pada kita>b Ima>rah yang membahas masalah
pemerintahan. Namun dalam penjelasannya, Muslim tidak menunjuk
kepada penguasa atau pemimpin secara khusus, misalnya kepala negara
atau gubenur (eksekutf), pemimpin legislatif, yudikatif atau yang
lainnya. Kata ini berasal dari s}alla> - yus}alli> -
s}ala>h yang mempunyai beragam arti, yaitu doa, rahmat, ampunan,
sanjungan Allah kepada rasulullah SAW., ibadah yang di dalamnya
terdapat rukuk dan sujud. Menurut Imam Muslim dan Imam
al-Nawawi> dalam kitab Syarh} S}ah}ih} Muslim-nya, kata
yus}allu>n berarti mendoakan (al-dua>).
Kata ini berasal dari nabaz|a yanbiz|u nabz|un yang berarti
al-t}arh} dan al-ramyu, yaitu membuang (karena tidak memenuhi
hitungan). Nabaz|a juga berarti mengesampingkan atau membiarkan,
dan melanggar (janji). Sedangkan na>baz|a berarti menentang dan
berselisih, na>baz|a al-h}arb berarti mengumumkan perang
(terhadap).
Kata nuna>biz|uhum di sini berarti menentang
pemimpin-pemimpin yang terburuk yang dimaksud oleh Nabi SAW., atau
memusuhi mereka -yang mengarah kepada memerangi mereka. Adapun
kalimat pertanyaan afala> nuna>biz|uhum menurut Imam Muslim,
berarti "tidakkah kita (benar-benar) menentangnya dan melawannya
serta menyatakan perang kepada mereka dengan pedang". Dari segi
bahasa Arab (ilmu nahwu), huruf hamzah pada kalimat ini merupakan
h}arf istifha>m yang mengandung peniadaan (al-jumlah
al-manfiyah).
Nuna>biz|uhum dalam bahasa Arab juga bisa diartikan
menumbangkan dan mencabut baiat atau membatalkan akad. Kata
s}ala>h adalah bentuk ism masdar dari s}alla> - yus}alli>
- s}ala>h. Dari segi bahasa, s}ala>h mempunyai arti beragam,
yaitu doa, rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada rasulullah SAW.,
ibadah yang di dalamnya terdapat ruku dan sujud. Arti s}ala>h
secara bahasa yaitu suatu doa untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan memohon ampunan-Nya, mensyukuri nikmat, menolak bencana, atau
menegakkan suatu ibadah. Adapun secara istilah, s}ala>h
merupakan ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan
bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dimulai dengan
takbir dan ditutup dengan taslim, dengan runtutan dan tartib
tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam.
Menurut Imam Muslim dalam penjelasannya terhadap hadis ini,
perkataan Nabi "La> ma> aqa>mu> fi>kum
al-s}ala>h" mengandung makna ketidakbolehan menentang penguasa
selama mereka masih menegakkan salat sebagai tanda ijtima>
al-kalimah dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulnya- dan
tercapainya keluhuran. Al-T}ayyibi> mengatakan bahwa
ditegakkannya salat sebagai syarat seorang pemimpin tidak boleh
ditentang, menunjukkan pada pentingnya (taz}i>m ) terhadap
masalah salat dan jika pemimpin tersebut meninggalkannya sedang dia
melakukan tindakan buruk (maksiat)- maka wajib untuk tidak ditaati,
yaitu dengan membatalkan akad dan pembaiatannya. Tetapi yang
dimaksud salat dalam hadis ini bukanlah salat yang merupakan ritual
fisik saja, namun lebih dari itu yang dampak salat itu akan
terlihat pada perilaku sehari-harinya, di antaranya pada aspek
kebijaksanaan dan keadilannya. Dengan demikian yang ditekankan di
sini adalah keadilan dan sebagainya dari seorang pemimpin.
Menurut Al-Maudu>di>, lambang ketaatan terhadap Tuhan dan
Rasul-Nya adalah salat. Jika pemimpin (ulil amri) meninggalkannya,
maka mereka telah melanggar kesetiaan dasar kepada Tuhan dan
Rasulnya.jika demikian, rakyat diperkenankan untuk
menumbangkannya.
Analisis Realitas Historis
Setelah pemahaman tekstual terhadap hadis diperoleh melalui isi
(matan), selanjutnya dilakukan upaya untuk menemukan konteks
sosio-historis hadis. Dalam tahapan ini, makna atau arti suatu
pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas realitas, situasi
atau problem historis pada saat pernyataan sebuah hadis tersebut
muncul. Dengan kata lain, memahami hadis sebagai responsi terhadap
situasi umum masyarakat periode Nabi maupun situasi-situasi
khususnya.
Langkah ini mensyaratkan adanya suatu kajian mengenai situasi
kehidupan secara menyeluruh di daerah Arab pada saat kehadiran
Nabi, yaitu mengenai kultur mereka. Setelah itu, kajian mengenai
situasi-situasi mikro, yakni asba>b al-wuru>d
al-h}adi>s|.
Kajian-kajian ini sangat penting, karena hadis merupakan bagian
dari realitas tradisi keislaman yang dibangun oleh Nabi dan para
sahabatnya dalam lingkup situasi sosialnya. Memahami hadis secara
terpisah dari asumsi-asumsi sosialnya, akan memungkinkan terjadi
distorsi informasi atau bahkan kesalahpahaman.
Dalam memperoleh makna teks hadis ini, analisa hanya dilakukan
pada historis secara makro, karena tidak ditemukannya keterangan
asba>b al-wuru>d (historis secara mikro) untuk hadis ini.
Oleh karena itu, kajian historis yang dibahas adalah mengenai hal
dan ihwal mengenai kepemimpinan pada masa Nabi SAW.
Selama menjadi Rasul, Nabi Muhammad tidak hanya berperan sebagai
rasul (pemimpin agama) yang bertugas untuk memberi penjelasan dan
memberi peringatan agar umat manusia kembali ke jalan yang benar,
tetapi juga berperan sebagai pemimpin negara.
Kepemimpinan Nabi pada periode Makkah (sebelum Hijrah), lebih
ditekankan pada pembinaan aqidah (iman) umat Islam, mengajak kaum
kafir Quraisy untuk masuk Islam dan pertahanan terhadap serangan
kaum kafir Quraisy. Adapun pada periode Madinah (pasca Hijrah),
kepemimpinan Nabi Muhammad difokuskan kepada pembangunan masyarakat
Islam, yaitu meliputi pembenahan administrasi kenegaraan (politik),
hukum, ekonomi dan lain-lain.
Aktivitas politik Nabi tidak terlepas dengan aktifitasnya
sebagai pemimpin militer. Fungsi keduanya sangat menonjol dalam
peperangan. Kekuatan politik untuk mengatur suatu peperangan tidak
bisa dipisahkan dari kekuatan militer untuk mengatur politik. Jadi,
Nabi SAW. merupakan pemimpin umat Islam, baik sebagai seorang
politikus maupun sebagai pemimpin Militer.
Kredibilitas Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin tidak saja
diakui oleh para sahabatnya, bahkan para musuh umat Islam pada masa
itu pun mengakui kepiawaiannya dalam berpolitik dan berperang
(militer). Sebenarnya semua ini tidak terlepas dari hubungan dengan
Allah yang telah memberi bimbingan dan petunjuk kepada beliau.
Di Madinah, Islam tampil sebagai kekuatan politik di mana
konsepsi tentang negara mulai digagas di atas pondasi kebersamaan
dan integritas berbagai golongan. Pada periode Madinah inilah
muncul kontitusi kenegaraan pertama di dunia yang dikenal dengan
Piagam Madinah. Dokumen ini memuat undang-undang untuk mengatur
kehidupan sosial politik bersama kaum Muslim dan bukan Muslim,
serta menerima dan mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka.
Tahapan-tahapan politik yang dilakukan Nabi untuk korvergensi
sosial di Madinah pada awal Hijrah adalah pertama, pembangunan
masjid sebagai sarana ibadah dan media audensi umat Islam. Kedua,
mempersaudarakan dua kelompok Muslim, yaitu Muhajirun dan Ansar.
Ketiga, meletakkan dasar-dasar tatanan masyarakat baru yang
bersifat terbuka, plural dan netral dengan mengakomodasi
kepentingan kelompok-kelompok etnis yang ada di Madinah.
Nabi selalu bermusyawarah dengan para sahabat yang biasanya
dilakukan setelah salat berjamaah di masjid untuk membicarakan dan
menyelesaikan berbagai permasalahan umat dari politik hingga
kehidupan sehari-hari. Pembangunan masjid di Quba ini, selain
berfungsi tempat beribadat kepada Allah SWT. dari segi agama, juga
berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan jamaah
Islam dari segi sosial, karena di samping tempat melaksanakan
ibadah salat, masjid digunakan pula sebagai tempat untuk mendalami
Islam, pusat pengembangan kegiatan sosial-budaya, pendidikan,
tempat musyawarah (majlis), markas tentara dan sebagainya.
Umat Islam kala itu sangat patuh dan taat terhadap kepemimpinan
Nabi SAW. Kondisi ini sangat potensial sekali dalam menggalang
persatuan dan kesatuan umat yang menjadi kekuatan luar biasa umat
Islam yang menjadikan mereka selalu lebih unggul dan mampu menang
di medan pertempuran dibandingkan dengan musuh-musuh mereka.
Hasilnya, umat Islam pada masa Nabi selalu keluar sebagai pemenang
dalam setiap peperangan melawan kafir Quraisy, kecuali pada perang
Uhud akibat keteledoran dan ketidakpatuhan beberapa sahabat
terhadap perintah Nabi. Mereka juga akhirnya berhasil menguasai
Makkah (Fath} al-Makkah) dan be