Top Banner
Tugas Kelompok Makalah Mikrobiologi Klinik AVIAN INFLUENZA H5N1 Oleh KELOMPOK IV NANGSIH SULASTRI SLAMET NIM P2500214008 YUSNITA USMAN NIM P2500214010 A. DIAN AULIA SAUDI NIM P2500214011 NURWANA NIM P501214002 SELVI RAHMAWATI SARANANI NIM P501214001
66

H5N1 Avian influenza

Jan 28, 2016

Download

Documents

Acih Asih

Avian influenza and clinical procedure
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: H5N1 Avian influenza

Tugas KelompokMakalah Mikrobiologi Klinik

AVIAN INFLUENZA H5N1

Oleh

KELOMPOK IV

NANGSIH SULASTRI SLAMET NIM P2500214008YUSNITA USMAN NIM P2500214010A. DIAN AULIA SAUDI NIM P2500214011NURWANA NIM P501214002SELVI RAHMAWATI SARANANI NIM P501214001

FAKULTAS FARMASIPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2015

Page 2: H5N1 Avian influenza

BAB I

PENDAHULUAN

Virus avian influenza (A/H5N1) yang merupakan penyebab epidemik pada

unggas pertama kali dilaporkan di Indonesia pada akhir tahun 2003. Sampai saat

ini 31 dari 33 propinsi di Indonesia pernah melaporkan adanya epidemi virus ini

pada unggas. Kasus manusia terinfeksi virus influenza A/H5N1 di Indonesia

pertama kali dilaporkan dalam suatu kasus kluster keluarga pada Juli 2005, dan

hingga akhir Juni 2014 telah tercatat 197 kasus konfirm H5N1 dengan 165

kematian. Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa kontak dengan

unggas sakit, baik itu berupa mengolah unggas ataupun memiliki ungags sakit

menjadi faktor risiko penularan virus A/H5N1 dari unggas ke manusia.

Contohnya penelitian pada pekerja peternakan di daerah dengan wabah infeksi

virus avian influenza A/H5N1 pada unggas di Hongkong pada tahun 1997-1998

memperlihatkan bahwa 10% dari para pekerjanya mempunyai titer antibodi

terhadap virus avian influenza A/H5N1 dengan pengujian mikronetralisasi (Vivi

Setiawaty, dkk; 2007 dan Kemenkes; 2014).

Genom virus influenza berbentuk segmen, sehingga sangat mudah terjadi

gen reassortment. Virus dengan patogenisitas rendah dapat mengalami mutasi

menjadi virus yang sangat patogenik. Virus hasil mutasi dapat mengakibatkan

terjadinya pandemik di seluruh dunia, di antaranya virus influenza subtipe H2N2

yang mengakibatkan pandemik di Asia tahun 1957 dan subtipe H3N2 yang

mengakibatkan pandemik di Hongkong pada tahun 1968. Akhir-akhir ini,

ditemukan infeksi virus influenza A subtipe baru yang menyebabkan kejadian luar

biasa (KLB) dan sangat patogenik, yaitu virus influenza A subtipe H5N1, yang

dapat menyebabkan penyakit yang sangat berat pada manusia. Virus galur H5N1

mempunyai kemampuan untuk menghindari sitokin dalam menghadapi

mekanisme pertahanan tubuh (I Made Setiawan; 2009).

Penularan virus ini dapat melalui udara ataupun kontak melalui makanan,

minuman, dan sentuhan. Akan tetapi, virus ini akan mati dalam suhu yang tinggi.

Oleh karena itu kebersihan diri dan lingkungan perlu dijaga dengan baik untuk

Page 3: H5N1 Avian influenza

mencegah penularannya. Virus dapat bertahan hidup pada suhu dingin, sehingga

bahan makanan yang didinginkan atau dibekukan dapat terkontaminasi oleh virus

ini dengan mudah.

Identifikasi infeksi virus influenza pada manusia dengan pemeriksaan

laboratorium umumnya dilakukan sesuai dengan anjuran WHO, yaitu dengan

mendeteksi antigen virus secara langsung, mengisolasi virus dalam biakan sel,

atau mendeteksi RNA spesifik-influenza dengan pemeriksaan reverse

transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan pasangan

primer yang spesifik untuk sekuens HA dan NA virus influenza A/H5N1. Strategi

tes laboratorium tahap pertama dari masing-masing spesimen adalah untuk

mendiagnosis infeksi virus influenza secara cepat, serta menyingkirkan

kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh virus lain yang dapat menginfeksi

saluran napas (I Made Setiawan; 2009).

Mengingat betapa pentingnya mengetahui secara lebih lengkap untuk

waspada terhadap virus inilah yang kemudian melatarbelakangi penyusunan

makalah ini yang di dalamnya mencakup diagnosis dan tatalaksana terapi terhadap

infeksi karena Avian Influenza Virus H5N1.

Page 4: H5N1 Avian influenza

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi

Avian Influensa merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus influensa

A subtype H5N1 (H=hemaglutinin; N=neuraminidase) yang pada umumnya

menyerang unggas (burung dan Ayam) (Depkes; 2006).

Penyakit ini menular dari unggas ke unggas tetapi dapat juga menular ke

manusia (Zoonosis). Sebagian besar kasus infeksi pada manusia berhubungan

dengan adanya riwayat kontak dengan peternakan unggas atau benda yang

terkontaminasi. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan

transportasi unggas yang terinfeksi (Nataprawira; 2006).

II.2 Epidemiologi

Virus awal, dijumpai untuk pertama kalinya di tahun 1997, adalah

hasil proses re-assortant termasuk paling tidak sebuah virus H5N1 yang berasal

dari angsa domestik (A/goose/Guangdong/1/96, yang menumbangkan unsur

HA) dan virus H6N1 yang diduga berasal dari bebek (A/teal/Hong

Kong/W312/97) yang menumbangkan NA dan segmen-segmen untuk protein

internal), yang kemudian mengalami banyak siklus re-asortasi dengan virus

influensa unggas lain yang tidak dikenal (Xu; 1999, Hoffmann; 2000, dan

Guan; 2002).

Beberapa genotip garis H5N1 yang berbeda juga pernah dilaporkan

(Cauthen; 2000, Guan; 2002-2003). Apa yang disebut sebagai genotip “Z”

telah mendominasi wabah yang terjadi sejak desember 2003 (Li; 2004). Dalam

bulan April 2005, tingkat epidemi baru terjadi ketika untuk pertama kalinya

strain H5N1 dapat menulari populasi ungas-unggas liar dalam skala besar

(Chen; 2005, dan Liu ;2005). Di danau Qinghai di Barat Laut China beberapa

ribu angsa berkepala bergaris, sebuah spesies unggas berpindah, sakit dan mati

terkena infeksi virus tersebut. Beberapa spesies burung camar dan juga burung

laut lain (cormorants) juga terserang di tempat ini. Ketika di musim panas dan

Page 5: H5N1 Avian influenza

awal musim gugur tahun 2005, wabah H5N1 dilaporkan untuk pertama kalinya

di wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Mongloia, Kazakhstan

dan Siberia Selatan, timbul dugaan bahwa virus tersebut telah disebarkan oleh

kawanan unggas berpindah. Penyebaran wabah ini kemudian meluas di

sepanjang jalur perpindahan unggas dari Asia Dalam ke Timur Tengah dan

Afrika, mengenai Turki, Romania, Kroasia, dan semenanjung Krimea di akhir

tahun 2005. Dalam semua kejadian (kecuali di Mongolia dan Kroasia) wabah

ini mengenai baik unggas ternak maupun unggas liar. Banyak kasus yang

dilaporkan yang mengenai unggas ternak terjadi di daerah yang berdekatan

dengan danau dan rawa-rawa yang menjadi tempat singgah unggas air liar.

Infeksi H5N1 ganas yang terjadi pada burung gereja secara individual (sakit

atau mati) di lokasi yang terbatas pernah dilaporkan dari Thailand dan Hong

Kong. Endemisitas HPAIV pada burung-burung seperti burung gereja, 24 FLU

BURUNG walet dan murai yang hidup dekat dengan hunian manusia bukan

saja dapat mendekatkan bahaya pada industri ternak unggas tetapi juga

meningkatkan risiko penularan kepada manusia (Nestorowicz; 1987).

Gambar 1 Bagan Patogenesis dan Epidemologi Influenza UnggasLPAIV = Low Pathogenic Avian Influenza Virus (Virus Influenza Unggas

Berpatogenesis); HPAIV = High Pathogenic Avian Influenza Virus (Virus Influenza Unggas yang Sangat Patogen); HA = protein hemagglutinin. Garis terputus-putus dengan

panah menunjukkan penghalang (barrier) spesiesII.3 Patofisiologi

Page 6: H5N1 Avian influenza

II.3.1 Patogenesis

Virus influenza mengikat residu asam sialat dari host permukaan sel

melalui protein virus hemagglutinin. Avian virus influenza mengikat dengan

reseptor asam sialic α2,3 terkait hadir pada sel alveolar (makrofag, pneumocytes)

dari jalur pernapasan (MN. Matrosovich et al; 2004) bagian bawah dan jarang

melampirkan epitel sel-sel jalur pernapasan (D. Van Riel. Et al; 2010).

Keterikatan Virus ke sel saluran pernapasan atas mungkin penting untuk efisien

transmisi dan dapat menjelaskan sebagian tidak adanya H5N1 pandemi influenza

hingga saat ini. Tingginya kadar replikasi virus dan infeksi disebarluaskan sangat

penting untuk patogenesis influenza A H5N1. Pada kasus yang parah virus H5N1

telah terdeteksi di darah (MD de Jong et al; 2006 dan WHO; 2008). Virus H5N1

dapat menginfeksi dan mereplikasi dalam usus epithelium manusia dan tidak

seperti subtipe virus influenza manusia yang disesuaikan, secara rutin terdeteksi di

feses. Respon imun host sebagian besar bertanggung jawab untuk penyakit berat

dan kematian yang terkait dengan influenza disebabkan oleh virus H5N1. Sebuah

respon sitokin yang kuat, diasosiasikan-diciptakan dengan tingkat replikasi virus,

menyebabkan cairan accu-formulasi dan jaringan kerusakan pada paru-paru.

Pengelompokan kasus influenza H5N1 menunjukkan host yang faktor genetik

mungkin memainkan peran dalam kerentanan terhadap H5N1 influenza.

II.4 Ciri – Ciri Virus

II.4.1 Virologi Influenza

Struktur virus

Influenza adalah anggota dari keluarga Orthomyxovirus. Memiliki

tersegmentasi, untai tunggal RNA genom. Virus influenza dapat dibagi

menjadi 3 kelompok - influenza A, B, dan C - atas dasar perbedaan antigenik

dalam matriks dan nukleoprotein:

Influenza C hanya menyebabkan penyakit ringan pada manusia dan tidak

terkait dengan epidemi atau pandemi.

Influenza B dapat menyebabkan penyakit pada manusia, tetapi biasanya lebih

ringan daripada influenza A. Hal ini terjadi selama wabah tahunan namun

belum dikaitkan dengan pandemi.

Page 7: H5N1 Avian influenza

Influenza A dikaitkan baik dengan epidemi tahunan dan dengan pandemi

sebelumnya. Beredar strain flu burung saat ini juga influenza A.

Influenza A memiliki 2 protein permukaan penting yang mempengaruhi

penyebarannya. Protein hemagglutinin (H) memfasilitasi masuknya virus ke

dalam sel inang. Sampai saat ini, 16 protein hemagglutinin yang berbeda telah

diidentifikasi, nomor H1-H16. Protein ini memunculkan respon antibodi

pelindung di host yang terinfeksi. Ini memiliki 4 daerah variabel antigenik

utama yang mungkin terlibat dalam kekhususan spesies strain influenza A

sampai tropisme reseptor. Protein neuraminidase (N) memfasilitasi pelepasan

partikel virus baru dari permukaan sel inang yang terinfeksi. Protein ini juga

memunculkan respon antibodi pelindung, dan sampai saat ini, 9 protein telah

diidentifikasi, N1-N9. Beredar strain diidentifikasi oleh yang hadir satu

protein, misalnya, H1N1 atau H2N3.

Perubahan 2 protein ini terjadi terus menerus. Mutasi titik kecil di

permukaan protein yang dikenal sebagai antigenic drift dan bertanggung jawab

untuk kerentanan populasi epidemi influenza tahunan. Perubahan kecil

memungkinkan virus untuk setidaknya sebagian melarikan diri pertahanan

kekebalan tubuh dan menyebabkan penyakit tahun demi tahun. Perubahan ini

memerlukan persiapan vaksin influenza baru setiap tahun untuk melindungi

terhadap strain yang saat ini beredar. Penamaan masing-masing virus influenza

regangan mencerminkan variasi ini (Gambar 1).

Page 8: H5N1 Avian influenza

Gambar 2. Naming influenza virus.

Virus influensa adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau

bulat panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah

lipatan tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas

negatif. Virus influensa merupakan nama generik dalam keluarga

Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan

perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya. Virus

influensa unggas (Avian Influenza Viruses, AIV) termasuk tipe A. Telaahan

yang sangat bagus mengenai struktur dan pola replikasi virus-virus influensa

sudah dipublikasikan baru-baru ini (mis. Sidoronko dan Reichi 2005).

Determinan antigenik utama dari virus influensa A dan B adalah glikoprotein

transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuroaminidase (N atau NA),

yang mampu memicu terjadinya respons imun dan respons yang spesifik

terhadap subtipe virus. Respons in sepenuhnya bersifat protektif di dalam,

tetapi 4 FLU BURUNG bersifat protektif parsial pada lintas, subtipe yang

berbeda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein

tersebut, saat ini virus influensa dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe

H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Kelompok-kelompok tersebut

Page 9: H5N1 Avian influenza

ditetapkan ketika dilakukan analisis filogenetik terhadap nukleotida dan

penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA melalui cara deduksi asam

amino (Fouchier; 2005). Cara pemberian nama yang sesuai nomenklatur

konvensional untuk isolat virus influensa harus mengesankan tipe virus

influensa tersebut, spesies penjamu (tidak perlu disebut kalau berasal dari

manusia), lokasi geografis, nomor seri, dan tahun isolasi. Untuk virus

influensa tipe A, subtipe hemaglutinin dan neuroamidasenya ditulis dalam

kurung. Salah satu induk strain virus influensa unggas dalam wabah H5N1

garis Asia yang terjadi akhir-akhir ini, berhasil diisolasikan dari seekor angsa

dari provinsi Guangdong, China. Oleh karena itu ia diberi nama

A/angsa/Guangdong/1/96 (H5N1) (Xu;1999). Sedangkan isolat yang berasal

dari kasus infeksi H5N1 garis Asia pada manusia yang pertama kali

terdokumentasikan terjadi di Hong Kong (Claas; 1998), dan dengan demikian

disebut sebagai A/HK/156/97 (H5N1).

Hemaglutinin, sebuah protein yang mengalami glikosilasi dan asilasi

(glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang

terikat salam sampul virus. Kepala membran distalnya yang berbentuk bulat,

daerah eskternal yang berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan

kemampuannya melekat pada reseptor sel, terdiri dari oligosakharida yang

menyalurkan derivat asam neuroaminic (Watowich; 1994). Daerah eksternal

(exodomain) dari glikoprotein transmembran yang kedua, neuroamidase

(NA), melakukan aktivitas ensimatik sialolitik (sialolytic ensymatic activity)

dan melepaskan progeni virus yang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi

sewaktu dilepaskan. Fungsi ini mencegah tertumpuknya virus dan mungkin

juga memudahkan gerakan virus dalam selaput lendir dari jaringan epitel

yang menjadi sasaran. Selanjutnya virus pun akan menempel ke sasaran

(Matrosivich; 2004). Ini membuat neoroamidase merupakan sasaran yang

menarik bagi obat antivirus (Garman and Laver ; 2004). Kegiatan yang

terpadu dan terkoordinasi spesies glikoprotein antagonistik HA dan NA dari

strain virus tertentu merupakan hal yang penting bagi proses pelekatan dan

pelepasan virion (Wagner; 2002). Pelekatan ke protein permukaan sel dari

virion-virion virus influensa A tercapai melalui glikoprotein HA virus

Page 10: H5N1 Avian influenza

tertrimerisasi yang matang (mature trimerised viral HA glycoprotein).

Stratifikasi pelekatan tersebut didasarkan pada pengenalan spesies asam sialik

(N-asetil- atau N-asam glikollineuraminat) ujung akhir yang jelas, tipe

hubungan glikosidik ke galaktosa paling ujung (α2-3 atau α2- 6) dan susunan

fragmen yang terletak lebih dalam dari sialil-oligosakharida yang terdapat di

permukaan sel (Herrier; 1995, Gambaryan ; 2005). Sebuah varietas dari sialil-

oligosakharida yang lain diekspresikan dengan pembatasan (restriksi) ke

jaringan dan asal spesies di dalam penjamu lain dari virus influensa.

Penyesuaian (adaptasi) glikoprotein HA maupun NA virus ke jenis reseptor

yang khas (spesifik) dari spesies penjamu tertentu merupakan prasyarat bagi

terjadinya replikasi yang efisien (Ito ; 1999, Banks ; 2001, Mastrovich

1999+2001, Suzuki ; 2000, dan Gambaryan; 2004). Ini berarti terjadi

perubahan bentuk unit pengikat dari protein HA setelah terhadi penularan

antar spesies (Gambaryan ; 2006).

Bagan mekanistik dari berbagai tipe reseptor disajikan dalam Gambar

1. Virus influensa unggas biasanya menunjukkan afinitas tinggi terhadap

asam sialik yang terkaitkan dengan α2-3 karena unsur ini merupakan tipe

reseptor yang paling dominan di jaringan epitel endodermik (usus, paru-paru)

pada unggas yang menjadi sasaran virus-virus tersebut (Gambaryan ; 2005,

dan Kim ; 2005). Sebaliknya, virus influensa yang beradaptasi pada manusia

terutama mencapai residu terkait 2-6 (2-6 linked residues) yang mendominasi

sel-sel epitel tanpa silia (non-cilliated) dalam saluran pernafasan manusia.

Sifat-sidat dasar reseptor seperti ini menjelaskan sebagian dari sistem

pertahanan suatu spesies, yang membuat penularan influensa unggas ke

manusia tidak mudah terjadi (Suzuki; 2000, Suzuki; 2005). Tetapi akhir-akhir

ini ditemukan ada sejumlah sel epitel berbulu detar (cilliated cells) dalam

trakhea manusia yang juga memiliki konjugat glikoprotein serupa reseptor

unggas dengan densitas yang rendah (Matrosovich ; 2004), dan juga dijumpai

adanya sel-sel ayam yang membawa reseptor sialil yang serupa dengan yang

ada pada manusia dengan konsentrasi yang rendah (Kim ; 2005). Hal ini

mungkin dapat menjelaskan mengapa manusia tidak sepenuhnya kebal

terhadap infeksi virus influensa unggas strain tertentu (Beare and Webster ;

Page 11: H5N1 Avian influenza

1991). Pada babi dan juga burung balam, kedua jenis reseptor tersebut

dijumpai dalam densitas yang lebih tinggi yang membuat kedua hewan ini

mempunyai potensi untuk menjadi tempat pencampuran bagi strain virus

unggas dan manusia (Kida ; 1994, Ito ; 1998, Scholtissek ; 1998, Peiris ;

2001, Perez ; 2003, Wan and Perez ; 2005).

Gambar 3. Bagan sifat-sifat dasar reseptor virus influensa A (berdasarkan data Gambaryan 2005)

Setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai, virion masuk dan

menyatu ke dalam sebuah ruang endosom melalui mekanisme yang

tergantung dan tidak tergantung kepada clathrin (Rust 2004). Dalam ruang ini

virus tersbut mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus

dengan membran endosom: dimediasi oleh pemindahan proton melalui

terowongan protein dari matrix-2 (M2) virus, pada nilai pH di endosom

sekitar 5,0. Selanjutnya akan terjadi serangkaian penataan ulang protein

matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein homotrimerik HA. Sebagai

hasilnya, terbuka (exposed) sebuah bidang (domain) yang sangat lipofilik dan

Page 12: H5N1 Avian influenza

fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran

endolisomal, dan dengan demikian memulai terjadinya fusi antara membran

virus dengan membran lisomal (Haque 2005, Wagner 2005).

Berikutnya, kedelapan segmen RNA genomik dari virus, yang

terbungkus dalam lapisan pelindung dari protein (ribonucleoprotein complex,

RNP) nukleokapsid (N), dilepaskan ke dalam sitoplasma. Di sini mereka

disalurkan ke nukleus untuk melakukan transkripsi mRNA virus dan replikasi

RNA genomik melalui proses yang rumit yang secara cermat (Jw: njlimet)

diatur oleh faktor virus dan faktor sel (Whitaker 1996). Polimerase yang

dependen terhadap RNA (RdRp) dibentuk oleh sebuah kompleks (gabungan)

dari PB1, PB2 dan protein PA virus, dan memerlukan RNA (RNP) yang

terbungkus (encapsidated RNA (RNPs)) untuk tugas ini. Setelah terjadi

translasi protein virus dan perangkaian nukleokapsid yang membawa RNA

genomik yang sudah ter-replikasi, virion-virion progeni tumbuh dari

membran sel yang di dalamnya sudah dimasukkan glikoprotein virus

sebelumnya. Penataan antara nukleokapsid berbentuk lonjong dan protein

pembungkus virus dimediasi oleh protein matrix-1 virus (M1) yang

membentuk struktur serupa cangkang tepat di bawah pembungkus virus.

Reproduksi virus di dalam sel yang mudah menerimanya berlangsung cepat

(kurang dari sepuluh jam) dan dengan proses yang efisien, asalkan konstelasi

gen yang “optimal” tersedia di sana (Rott 1979, Neumann 2004). Akibat

aktivitas RdRp virus yang mudah mengalami kekeliruan, terjadi mutasi

dengan kecepatan tinggi, yaitu > 5 x 10-5 perubahan nukleotida per

nukleotida dan juga terjadi percepatan siklus replikasi.

Dengan demikian terjadi hampir satu pertukaran nukleotida per genom

per replikasi di antara virus-virus influensa (Drake 1993). Kalau ada tekanan

selektif (misalnya antibodi yeng mentralkan, ikatan reseptor yang tidak

optimal, atau obat antiviral) yang bekerja selama proses replikasi virus dalam

penjamu atau dalam populasi, dapat terjadi ada mutan-mutan dengan

keunggulan selektif (mis. lepas dari proses netralisasi, membentuk unit

pengikat reseptor baru) dan kemudian menjadi varian yang dominan dalam

quasi-spesies virus di dalam tubuh penjamu atau dalam populasi. Jika

Page 13: H5N1 Avian influenza

determinan antigenik dari glikoprotein HA dan NA membran dipengaruhi

oleh mekanisme yang dipicu kekebalan, proses (gradual) tersebut disebut

sebagai antigenic drift (Fergusson 2003).

Sebaliknya, antigenic shift menunjukkan adanya perubahan

mendadak dan mendalam dalam determinan antigenik, yaitu pertukaran

subtipe H dan/atau N, di dalam satu siklus tunggal replikasi. Hal ini terjadi

dalam sebuah sel yang secara bersamaan terinfeksi oleh dua atau lebih virus

influensa A dari subtipe yang berbeda

II.4.2 Influenza Reservoir dan Host

Strain influenza dikenal sebagai strain manusia atau burung

didefinisikan oleh virus "host biasa dan target infeksi. Ini diatur terutama oleh

reseptor spesies untuk protein hemagglutinin tertentu. Virus Influenza dengan

protein H1-H3 menginfeksi manusia dan menyebar dengan mudah dari orang ke

orang. Influenza virus dengan H5, H7, dan protein H9 menginfeksi burung.

Spesies lain juga dapat terinfeksi oleh virus influenza, termasuk babi, kuda, paus,

mink, dan musang. Babi khususnya dapat terinfeksi baik oleh strain manusia dan

biasanya burung, membuat mereka sejumlah potensi reassortment genetik antara

strain kucing domestik dan harimau yang makan bangkai unggas yang terinfeksi

selama wabah H5N1 saat ini juga memiliki kontrak parah.

Semua virus influenza menggunakan burung sebagai reservoir. Pada

burung, virus flu burung dapat dicirikan sebagai baik sangat patogen ("jalan

tinggi") atau kurang patogen ("jalan rendah"). Unggas air, seperti bebek, burung

pantai, dan burung camar, membawa virus, biasanya dalam bentuk patogenisitas

rendah, yang bereplikasi dalam saluran pencernaan mereka. Mereka

mengeluarkan titer tinggi virus ke dalam air dari yang burung lain makan; burung-

burung ini kemudian dapat menjadi terinfeksi. Infeksi puncak antara burung

terjadi pada akhir musim panas dan awal musim gugur - ketika burung ini

cenderung bermigrasi, meningkatkan penyebaran geografis yang luas. Burung-

burung liar dapat menularkan virus ke unggas domestik atau komersial. Sebuah

strain virus tunggal dapat berkembang dari patogenisitas rendah untuk menjadi

sangat patogen, yang terjadi selama wabah berikutnya, kadang-kadang dalam

beberapa bulan.

Page 14: H5N1 Avian influenza

Penyebaran flu burung dari Cina ke Rusia dan Eropa Timur dan Barat

dalam beberapa tahun terakhir dapat ditelusuri ke pola penerbangan migrasi

unggas air mungkin terinfeksi. Di Cina pada tahun 2005, ada wabah strain sangat

patogen antara burung liar di danau pada jalur migrasi pusat, yang menyebabkan

lebih dari 5000 kematian burung. Penelitian selanjutnya pada virus yang diisolasi

dari unggas yang mati menyarankan munculnya strain baru H5N1 yang lebih

mematikan untuk burung liar dan tikus laboratorium (WHO; 2008). Sebaliknya,

juga telah mengakui bahwa bebek domestik dapat menumpahkan jumlah besar

sangat patogen virus flu burung tanpa menunjukkan tanda-tanda penyakit.

Perkembangan ini membuat lebih sulit untuk digunakan penyakit pada unggas

sebagai penanda untuk potensial menyebar ke populasi manusia.

II.5 Karakteristik Influenza Transmisi manusia

Saat ini beredar virus influenza manusia tersebar dari orang ke orang

melalui droplet pernapasan dikeluarkan ketika orang yang terinfeksi batuk dan

bersin. Virus menginfeksi sel-sel yang melapisi hidung dan tenggorokan dan

diusir oleh batuk dan bersin. Tetesan ini secara tradisional dipahami jatuh ke

tanah dalam 3 ft dari orang yang terinfeksi sehingga penyebaran lebih jauh tidak

mungkin. Pasien dengan infeksi influenza di rumah sakit harus ditempatkan pada

tindakan pencegahan pernapasan untuk melindungi pekerja kesehatan dan pasien

lain. Ada beberapa kontroversi mengenai apakah ada mungkin juga beberapa

komponen udara menyebar, dengan partikel yang tetap di udara untuk waktu yang

lama, bepergian jarak yang lebih besar, meskipun data yang paling menunjukkan

sebaliknya (P. Horby et al; 2010).

Gambar 4. Alur Hipotetical Darurat dari Pandemik Virus Influenza

Page 15: H5N1 Avian influenza

II.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi avian influenza sangat pendek, yaitu : 3 hari, dengan

rentang 2-4 hari (IDAI; 2005, dan D. Setiabudi; 2006). Virus influenza dapat

menyerang berbagai oragn pada manusia, yaitu : paru-paru, mata, saluran

pencernaan, dan sistem syaraf pusat. Manifestasi klinis avuan influenza pada

manusia terdiri dari :

Gejala penyakit seperti influenza tipikal, yaitu : demam, batuk, sakit

teggorokan dan nyeri otot, sakit kepala, malaise

Infeksi mata (konjungtivitis)

Pneumonia

Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS)

Gangguan pada saluran cerna, yaitu : diare

Kejang dan koma

Manifestasi klinis saluran nafas bagian bawah biasanya timbul pada awal

penyakit. Dispnu timbul pada haru ke5 setelah awal penyakit. Distress pernapasan

dan takipnu sering dijumpai. Produksi sputum bervariasi dan kadang-kadang

disertai darah. Hampir pada semua pasien menunjukkan gejala klinis pneumonia

(IDAI; 2005 dan JH Beigel et al; 2005)

II.6 Pencegahan

II.6.1 Imunisasi pada Avian influenza

Sampai saat ini belum tersedia vaksin avian influensa untuk manusia, yang

tersedia adalah vaksin influenza untuk unggas. Tetapi sejak April 2005 telah

dimulai penelitian untuk menciptakan vaksin Avian influenza untuk manusia.

Vaksin influenza yang saat ini beredar di Indonesia adalah vaksin untuk human

influenza yang tidak dapat melindungi manusia dari Avian influenza karena tidak

ada imunitas silang. Tetapi vaksin tersebut masih bermanfaat untuk mencegah

mutasi virus Avian influenza menjadi galur yang lebih virulen. Oleh karena itu,

yang paling penting adalah pencegahan dan deteksi dini Avian influenza.

Page 16: H5N1 Avian influenza

II.6.2 Deteksi Awal

Dari uraian di atas terlihat bahwa spektrum manifestasi klinis Avian

influenza sangat lebar, mulai gejala influenza tipikal sampai dengan ARDS yang

fatal, oleh karena itu deteksi awal Avian influenza sangat sulit. Kemungkinan

Avian influenza harus dicurigai pada semua pasien respiratory akut yang berat

terutama pasien yang telah terpapar dengan unggas pada negara/daerah yang telah

diketahui telh terjadi infeksi Avian influenza baik pada manusia maupun binatang.

Diperlukan suatu panduan yang optimal dan efektif untuk mendeteksi kasus Avian

influenza secara dini.

Gejala PSI (Penyakit Serupa Influenza) yaitu : Demam > 38οC, disertai :

Gejala respiratorik : batuk, pilek, nyeri tenggorokan, dengan atau tanpa sesak

nafas.

Gejala sistemik infeksi virus : sefalgia, myalgia dan diare.

Resiko Tinggi (Risti) yaitu riwayat kontak dalam 7 hari dengan :

Unggas yang sakit atau mati karena sakit

Unggas ternak atau kebun binatang yang terkena flu

Pasien confirmed flu burung

Pasien pneumonia

II.7 Jenis Spesimen dan Penanganannya

Pengambilan spesimen dilaksanakan bila ada laporan adanya kasus Flu

Burung. Spesimen yang diambil berasal dari pasien suspek Flu Burung dan kontak

kasus Flu Burung. Spesimen dari kontak diambil setelah suspek Flu Burung

dinyatakan positif H5N1. Kontak yaitu orang yang berhubungan dekat dengan

infeksi tersebut, tinggal serumah, merawat pasien, duduk bersama dengannya,

berbagi makanan dengan pasien yang dicurigai dan lain lain (dalam radius 1

meter) (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan

Dasar).

Jenis spesimen yang diambil dari kasus meliputi spesimen darah dan

spesimen sekret saluran nafas. Selanjutnya kontak dibedakan antara kontak

dengan gejala klinis dan kontak tanpa gejala klinis. Dari kontak dengan gejala

klinis diambil spesimen darah dan sekret saluran nafas sedangkan kontak tanpa

gejala klinis diambil hanya spesimen darahnya saja.

Page 17: H5N1 Avian influenza

II.7.1 Jenis Spesimen Pasien Infeksi Avian Influenza H5N1

Ada beberapa specimen yang dapat dijadikan sampel untuk pemeriksaan

di laboratorium terhadap pasien yang dicurigai terpapar virus Avian Influenza

H5N1, diantaranya : specimen saluran pernafasan, specimen rektal, dan serum.

Berikut penjelasan lebih mendetail tiap specimen uji (Michael J. Loeffelholz, PhD,

D ; 2011).

1. Spesimen Saluran Pernafasan

Cairan tenggorokan dan sampel saluran pernapasan bawah adalah

spesimen yang direkomendasikan untuk mendeteksi virus H5N1. Cairan

tenggorokan mungkin berisi titer virus H5N1 yang tinggi dibanding nasal swabs

dan aspirates. Sejak paparan virus H5N1 bisa terjadi ketika subtipe A influenza

manusia (human-adapted influenza A subtypes) juga bersirkulasi, pengumpulan

spesimen nasofaring dan swabs tenggorokan dari pasien yang sama akan

memberikan spesimen yang optimal untuk kedua strain. Swabs dari kapas dan

kalsium alginat harus dihindari karena bahan-bahan ini dapat menghambat isolasi

virus dan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Seperti virus

influenza lainnya, deteksi influenza A H5N1 dari spesimen yang dikumpulkan

dalam 3 hari pertama saat serangan sakit. Kebanyakan media transportasi virus

yang tersedia secara komersial digunakan untuk kultur virus juga cocok untuk

RT-PCR. Untuk isolasi virus dan RT-PCR, spesimen harus disimpan pada suhu

lemari es tidak lebih dari 3 hari atau dibekukan pada suhu ≤70 ° C dan dikirim

dengan kondisi dingin (dry Es).

2. Spesimen Rektal

RNA virus H5N1 telah dideteksi pada swabs rektal oleh RT-PCR, tetapi

kemungkinan sensitivitas lebih rendah dibandingkan dengan spesimen pernafasan.

Selain itu, fases atau swabs rektal tidak sesuai untuk mendeteksi strain human-

adapted influenza.

3. Serum

Serum dikumpulkan untuk mendeteksi antibodi spesifik -H5N1 dengan

microneutralization atau tes hemaglutinasi inhibisi (HI). Spesimen dipasangkan,

dikumpulkan 2 sampai 4 minggu secara terpisah, diperlukan untuk diagnosis

Page 18: H5N1 Avian influenza

serologi definitif. Jika laboratorium mikrobiologi klinis pengiriman spesimen

yang diduga mengandung virus H5N1, peraturan yang berlaku untuk kemasan dan

pengiriman bahan berbahaya harus diikuti.

II.7.2 Pengumpulan dan Penanganan Spesimen

Pengumpulan dan penanganan Spesimen langsung dari keabsahan hasil

laboratorium. Sampel yang dikumpulkan atau ditangani tidak tepat dapat

menyebabkan hasil diagnosa yang salah, bahkan ketika prosedur pengujian diikuti

dengan benar. Spesimen untuk diagnosis H5N1 harus dikumpulkan sesuai dengan

pedoman WHO yang tersedia di dokumen “Pengumpulan, Penjagaan dan

pengiriman spesimen untuk diagnosis infeksi virus avian influenza A (H5N1):

Panduan untuk pengerjaan atau penanganan dan pedoman WHO untuk

penyimpanan dan transportasi spesimen manusia dan hewan untuk diagnosis

laboratorium yang dicurigai terinfeksiflu burung tipe A.” Pengumpulan spesimen

harus dilakukan sebaiknya sebelum inisiasi pengobatan antivirus (WHO; 2007).

Spesimen klinis dari manusia dan dari hewan harus diproses di

laboratorium yang sama. Namun mereka dapat diproses di lembaga yang sama

dengan adanya pemisahan kamar kerja untuk hewan dan spesimen manusia yang

jelas dan tegas. Hal ini untuk menghilangkan risiko kontaminasi silang sampel

manusia dan hewan (WHO; 2007).

Setiap spesimen yang telah diambil disimpan dalam wadah khusus yang

diberi label berisi informasi: nama pasien, tanggal pengambilan, jenis spesimen.

(S=Darah/Serum, NS=Usap Nasal / Nasal Swab, TS=Usap Tenggorokan / Throat

Swab), dan pengambilan yang ke berapa. Label ditulis dengan pensil 2B, ballpoint

atau spidol yang tidak luntur (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas

Pelayanan Kesehatan Dasar).

Gambar 5. Pemberian label dan pengamanan label dengan parafilm (agar kedap air)

Page 19: H5N1 Avian influenza

II.7.2.1 Teknik Pengambilan Spesimen darah (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Darah vena diambil pada waktu pertama kali pasien dinyatakan suspek AI.

Darah yang diambil pertama kali ini disebut darah fase akut (diambil dalam waktu

7 hari setelah muncul gejala) dan harus segera dikirim.Darah ke 2 (fase

konvalesen) diambil 10-14 hari kemudian, atau menjelang pasien dipulangkan

(kalau perawatan < 10 hari) atau diambil pada waktu pasien kontrol sesuai dengan

jadwal (10-14 hari setelah pengambilan darah pertama).

Cara pengambilan sampel darah/serum:

1. Diambil 2 – 5 ml darah vena dalam tabung steril (2 ml dari anak-anak dan 5

ml dari orang dewasa) secara legeartis (memperhatikan kewaspadaan

universal secara ketat). Pengambilan darah menggunakan jarum suntik biasa.

2. Masukkan darah yang diperoleh kedalam tabung darah bertutup karet (tabung

steril vacuum/vacutainer tanpa bahan pencegahan pembekuan darah).

3. Letakkan tabung dalam keadaan miring ± 30º untuk mendapatkan serum yang

optimal. Diamkan darah dalam waktu 1 jam pada suhu kamar, agar darah

dalam tabung membeku dengan baik.

4. Pemisahan darah bekuan dari serum pada tabung steril dapat dilakukan di

laboratorium yang memiliki sentrifus.

5. Semua tabung dibungkus dengan kertas tissue dan masukkan kertas koran

yang telah diremas ke dalam wadah pengiriman primer.

Tabel 1. Petunjuk Waktu Pengambilan Spesimen Avian Influenza H5N1

Page 20: H5N1 Avian influenza

Pengambilan darah memakai jarum vacutainer (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

1. Darah ditampung lebih dahulu pada tabung darah bertutup karet sebanyak 2

ml dari anak-anak dan 5 ml dari orang dewasa.

2. Letakkan tabung dalam keadaan miring ± 30º untuk mendapatkan serum yang

optimal. Diamkan darah dalam waktu 1 jam pada suhu kamar, agar darah

dalam tabung steril membeku dengan baik.

3. Pemisahan darah bekuan dari serum pada tabung dapat dilakukan di

laboratorium yang memiliki sentrifus.

4. Semua tabung dibungkus dengan kertas tissue dan masukkan kertas koran

yang telah diremas ke dalam wadah pengiriman primer.

II.7.2.2 Teknik Pengambilan Spesimen Sekret Saluran Nafas (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Spesimen sekret saluran napas diambil untuk isolasi virus dan

pemeriksaan dengan RT- PCR. Spesimen diambil 3 hari berturut-turut yaitu hari

1, 2 dan 3 setelah pasien dinyatakan suspek Flu Burung. Spesimen pertama

langsung dikirim ke Badan Litbangkes tanpa menunggu spesimen ke 2 dan 3.

Spesimen perlu diambil lagi apabila kondisi pasien memburuk. Spesimen yang

perlu diambil meliputi:

a. usap hidung (nasal swab)

b. usap tenggorok (throat swab)

c. bilasan nasopharynx (pada anak usia 2 tahun atau kurang)

d. Spesimen lainnya (bila memungkinkan), diantaranya: bilasan tracheal, bilasan

broncho-alveolar, cairan pleural, bilasan ETT (endotracheal tube), dan biopsi

paru (bila pasien meninggal).

Untuk pengambilan spesimen digunakan swab yang terbuat dari dacron/rayon

steril dengan tangkai plastik. Jangan menggunakan kapas yang mengandung

Kalsium Alginat atau kapas dengan tangkai kayu, karena mungkin mengandung

substansi yang dapat menghambat pertumbuhan virus dan menghambat

pemeriksaan PCR. Spesimen dari swab yang valid adalah spesimen yang

mengandung sel epitel hidung dan tenggorok. Untuk itu pada saat pengambilan

swab, perlu dilakukan tekanan pada lokasi di mana spesimen diambil.

Page 21: H5N1 Avian influenza

Pengambilan usap hidung (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Masukkan swab ke dalam lubang hidung sejajar dengan rahang atas.

Biarkan beberapa detik agar cairan hidung terhisap. Putarlah swab sekali

atau dua kali.

Lakukan usapan pada kedua lubang hidung berikan sedikit penekanan

pada lokasi di mana swab diambil.

Kemudian masukkan swab sesegera mungkin ke dalam media transport

virus (Hanks BSS + antibiotika). Putuskan tangkai plastik di daerah mulut

tabung agar tabung dapat ditutup dengan rapat.

Gambar 6. Pengambilan

Spesimen melalui Nasal

II.7.2.3 Pengambilan usap tenggorok (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Lakukan usapan pada bagian belakang pharynx dan daerah tonsil,

hindarkan menyentuh bagian lidah.

Kemudian masukkan swab sesegera mungkin ke dalam cryotube/tabung

media transport virus (Hanks BSS + antibiotika). Putuskan tangkai plastik

di daerah mulut tabung agar tabung dapat ditutup dengan rapat.

Page 22: H5N1 Avian influenza

Gambar 7. Pengambilan Spesimen melalui Tenggorokan

II.7.2.4 Pengambilan spesimen lainnya

Spesimen yang diambil dapat berupa bilasan tracheal, bilasan broncho-

alveolar, cairan pleural, bilasan ETT (endotracheal tube), dan biopsi paru (bila

pasien meninggal).

Cairan ditampung dalam cryotube dengan tutup luar yang bagian dalamnya

mengandung ring untuk penahan.

Masukkan semua cryotube/tabung berisi spesimen ke dalam plastik kedap air

dan sisipkan kertas tissue sebagai alat penyerap. Masukkan tabung ini

kedalam kotak pengiriman primer (bahan boleh dari pipa paralon atau sejenis

tupper ware).

Gambar 8. Sampel yang telah dimasukkan ke dalam plastik kedap air dan disisipkan kertas menyerap cairan/tissue.

II.7.2.5 Penyimpanan spesimen (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Spesimen swab dalam media transport dan darah/serum disimpan pada suhu

4 ºC sebelum dan selama perjalanan ke laboratorium rujukan Flu Burung

dalam waktu 48 jam.

Bila spesimen tidak mungkin segera dikirim dalam waktu 48 jam, spesimen

disimpan pada freezer pada suhu –70 ºC. Hindarkan untuk mencairkan dan

membekukan spesimen secara berulang ulang.

Jika tidak tersedia freezer spesimen dapat disimpan pada refrigerator atau

lemari es.

II.7.2.6 Pengepakan dan Pengiriman Spesimen (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

Page 23: H5N1 Avian influenza

Cara pengepakan dan pengiriman spesimen untuk keperluan diagnostik harus

mengikuti ketentuan WHO dan IATA (International Aviation Transportation

Association).

Bungkus wadah pengiriman primer dengan tissue atau kertas koran yang

diremas, untuk mencegah benturan-benturan pada spesimen waktu

pengiriman. Masukkan dalam wadah pengiriman sekunder.

Wadah pengiriman sekunder dapat menampung lebih dari satu wadah

pengiriman primer, asal persyaratan suhu pengiriman sama. Pengiriman

dilakukan dalam suhu 4oC dengan memasukkan beberapa ice pack yang

sudah dibekukan lebih dahulu kedalam wadah pengiriman sekunder.

Pengepakan Primer (Wadah Pengiriman Primer) (Bakti Husada : Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar).

a) Wadah spesimen primer harus kedap air, jika tutupnya berulir harus dilapisi

dengan parafilm atau selotape.

Gambar 9. Wadah pengiriman primer

Page 24: H5N1 Avian influenza

b) Jika memasukkan beberapa wadah primer kedalam wadah sekunder, maka

wadah tersebut harus dibungkus secara terpisah untuk mencegah pecah akibat

berhimpitan.

c) Gunakan material pendukung di sela-sela wadah yang mempunyai daya hisap

untuk menghisap seluruh isi yang terdapat dalam wadah pertama, apabila

terjadi kebocoran atau pecah.

d) Wadah primer tidak boleh berisi lebih dari 500 ml atau 500 gram bahan.

e) Seluruh isi dari wadah primer disebut sebagai spesimen diagnostik.

Pengepakan Sekunder (Wadah Pengiriman Sekunder)

a) Pengepakan sekunder harus mengikuti aturan pengepakan bahan infeksius

WHO dan IATA.

b) Pengepakan sekunder harus kedap air, kemudian diisi dengan ice pack di

sekeliling dan di atas wadah pengiriman primer

Page 25: H5N1 Avian influenza

Gambar 10. Wadah pengiriman sekunder yang telah diisi dengan wadah primer dan beberapa ice packc) Wadah bagian luar dilabel dengan :

a. Nama dan alamat laboratorium rujukan

b. Nama dan alamat pengirim

c. Tanda peringatan (↑ ↑) jangan dibalik

II.8 Diagnosis dan Prosedur Tes Laboratorium

II.8.1 Diagnosis Infeksi Virus Influenza H5N1

Prediksi nilai positif dari setiap tes diagnostik secara langsung berkaitan

dengan prevalensi penyakit, dan penegakan untuk uji patogen seperti virus

influenza H5N1 harus didasarkan pada probabilitas pretest penyakit. Tes spesifik

H5N1 harus dilakukan untuk tujuan diagnostik setelah evaluasi secara cermat

gejala yang muncul, riwayat kesehatan, faktor risiko, dan riwayat kemana saja

tempat pasien pernah kunjungi dalam hal ini menyangkut travel history yang

berkaitan dengan epidemik penyakit (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).

Pasien yang dicurigai menderita influenza unggas atau flu burung jika

mengeluh adanya penyakit saluran napas, yang sebelumnya pernah mengadakan

kontak langsung ataupun tidak langsung, menangani atau memelihara, atau

terpajan langsung dengan ayam atau burung yang sakit influenza. Selain adanya

gejala klinis yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, pemeriksaan foto thoraks

juga sangat berguna untuk mendeteksi adanya pneumonia fase dini. Diagnosis

dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium spesimen yang berasal dari hapusan

tenggorokan, cairan yang berasal endotrakhea, sputum, dan serum penderita yang

dicurigai secara klinis (I Made Setiawan; 2009).

Identifikasi infeksi virus influenza A manusia dengan pemeriksaan

laboratorium umumnya dilakukan sesuai dengan anjuran WHO, yaitu dengan

mendeteksi antigen virus secara langsung, mengisolasi virus dalam biakan sel,

Page 26: H5N1 Avian influenza

atau mendeteksi RNA spesifik-influenza dengan pemeriksaan reverse

transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan pasangan

primer yang spesifik untuk sekuens HA dan NA virus influenza A/H5N1. Strategi

tes laboratorium tahap pertama dari masing-masing spesimen adalah untuk

mendiagnosis infeksi virus influenza secara cepat, serta menyingkirkan

kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh virus lain yang dapat menginfeksi

saluran napas. Idealnya, hasil harus sudah diperoleh dalam 24 jam (I Made

Setiawan; 2009).

II.8.2 Prosedur Tes Laboratorium Infeksi Virus Influenza H5N1

1. Deteksi Antigen Secara Cepat, atau disebut “Rapid Influenza Antigen

Test”

a. Menggunakan Kit Komersial (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).

Food and Drug Administration (FDA) telah menyediakan kit (peralatan)

secara komersial yang mendeteksi influenza A dan antigen virus B menggunakan

prosedur sederhana dalam 30 menit atau kurang. Sebagian besar kit ini, baik

dipstick atau aliran lateral dari immunochromatographic dapat dilakukan unit-unit

perawatan. Kebanyakan kit rapid tes antigen influenza tersedia secara komersial

untuk mendeteksi virus influenza A dan B baik dengan hasil tunggal tanpa

mengidentifikasi jenis atau dengan 2 hasil yang membedakan influenza A dan

influenza B menggunakan antibodi spesifik dengan menargetkan nukleoprotein

virus. Tes ini banyak digunakan di lokasi perawatan dan di laboratorium

mikrobiologi klinik karena peralatannya yang sederhanan dan hasilnya cepat.

Bukti terbaru menunjukkan bahwa saat ini tersedia rapid tes antigen sangat

sensitif untuk H5N114 dan tidak boleh digunakan untuk mengendalikan kasus

Avian Influenza H5N1, terutama selama fase pra-pandemi. Secara kumulatif,

sekitar 17% dari rapid tes antigen pada spesimen yang dikonfirmasi positif

tehadap kasus H5N1. Dua studi terbaru mengungkapkan informasi penting

tentang sensitivitas rapid tes antigen untuk deteksi virus H5N1. Studi ini

menunjukkan bahwa batas deteksi berkisar dari sekitar 3-6 log 10 dosis dari kultur

jaringan terinfeksi (TCID) (50%)50, hasilnya hampir sama dengan sensitivitas

Page 27: H5N1 Avian influenza

virus influenza musiman pada manusia subtipe H1N1 dan H3N2, dan lebih dari

1000 kali lebih rendah dari deteksi dengan isolasi virus.

A

B

Gambar 11. A. Kit untuk Mendeteksi Antigen Secara Cepat (Rapid Influenza Antigen Test) B. Mekanisme Deteksi Positif/Negatif Hasil Rapid Influenza Antigen Test

Sensitivitas rapid tes antigen untuk isolate H5N1 yang diperoleh antara

tahun 2003 dan 2005 umumnya bervariasi kurang dari 100 kali lipat; sensitivitas

terendah untuk 1.997 isolat dari Hong Kong. Selain itu, batas deteksi kit

komersial yang berbeda bervariasi sebanyak 100 kali. Karena sensitivitas analitis

yang sangat buruk dari rapid tes antigen influenza, hasil negatif harus

dikonfirmasi oleh metode yang lebih sensitif seperti RT-PCR. Hasil antigen

positif influenza cepat diperoleh selama periode prevalensi penyakit yang rendah

atau dari kasus yang dicurigai H5N1 influenza selama fase pra-pandemi harus

dikonfirmasi dengan tes yang lebih spesifik seperti RT-PCR . Karena hal tersebut,

banyak laboratorium mikrobiologi klinik tidak lagi melakukan rapid tes antigen

Page 28: H5N1 Avian influenza

influenza, tetapi justru memilih tes yang lebih sensitif dan spesifik seperti RT-

PCR yang dapat dilakukan kapan saja tanpa dipengaruhi oleh musim.

Akhir-akhir ini, rapid tes ntigen influenza yang khusus mendeteksi virus

H5N1 telah dihilangkan secara prosedural oleh FDA (Avantage A/H5N1 Flu Test,

Arbor Vita, Sunnyvale, CA). Tes ini menggunakan pendekatan baru

menggabungkan antibodi monoklonal dan protein rekombinan yang mengandung

domain PDZ (keluarga protein sinyal) untuk menyeleksi protein nonstruktural dari

H5N1.

b. Menggunakan Immunofluorescence assay atau Fluoroscent Assay

Pemeriksaan ini sudah digunakan secara luas dan merupakan metode yang

sangat sensitif untuk mendiagnosis infeksi virus influenza A dan B serta lima

infeksi virus pernapasan yang sangat penting secara klinis (I Made Setiawan;

2009).

Page 29: H5N1 Avian influenza

Metode ini digunakan untuk mendeteksi antigen virus influenza yaitu

dengan pewarnaan spesimen pasien dengan antibodi monoklonal virus yang

spesifik dengan fluorochrome konjugasi, sering disebut sebagai metode

Fluoroscent Assay (FA). Ketika dilakukan langsung pada sel spesimen pernafasan

pada slide mikroskop, metode ini dapat memberikan hasil dalam waktu kurang

dari 1 jam. Kelemahan metode ini yaitu karena dibatasi oleh mikroskop

fluorescent sehingga hanya diperuntukkan untuk laboratorium mikrobiologi klinis

yang memiliki mikroskop tersebut dan tenaga penguji harus terlatih dan kompeten

untuk secara akurat menginterpretasikan pola pewarnaan fluoroscent yang terjadi

(Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).

Page 30: H5N1 Avian influenza

Gambar 12. Hasil Foto Sel Spesimen Pernafasan pada Slide Mikroskop Fluoroscent pada Pasien yang Didiagnosis Terinfeksi Virus Influenza A

Food and Drug Administration (FDA) telah mengatur antibodi fluorescent

yang spesifik untuk virus influenza A dan B yang tersedia secara komersial, tetapi

virus influenza subtipe A yang spesifik dengan antibodi fluorescent tidak tersedia.

Influenza A antibodi fluoroscent monoklonal akan mendeteksi virus H5N1 dalam

sel kultur. Stain antibodi fluoroscent secara substansial lebih sensitif dibandingkan

tes antigen cepat dengan kit komesrial untuk deteksi subtipe influenza musiman

dan subtipe H1NI pada 2009, namun datanya masih sangat kurang pada

sensitivitas untuk virus H5N1 di spesimen pasien langsung. Studi 1998 yang

melibatkan sejumlah sampel dalam jumlah yang kecil pada kasus H5N1

dikonfirmasikan menunjukkan bahwa rapid tes terhadap antigen influenza A lebih

sensitive dari pada metode FA. Spesifitas dari metode FA tinggi, tetapi tergantung

pada tenaga penguji yang terlatih dan berpengalaman (Michael J. Loeffelholz, PhD,

D ; 2011).

2. Biakan Virus atau Isolasi Virus.

Hasil diperoleh dalam 2-10 hari. Metode shell vial dan biakan sel standar

digunakan untuk mendeteksi virus pernapasan yang penting secara klinis. Biakan

influenza yang positif mungkin memperlihatkan efek sitopatik, tetapi lebih sering

tidak. Isolasi virus merupakan teknik yang sangat sensitif. Selain mempunyai

keuntungan dapat mengidentifikasi virus, metode ini juga dapat digunakan untuk

menganalisis antigenik dan genetik virus, menguji suseptibilitas virus terhadap

obat, serta virus yang diperoleh dapat digunakan untuk membuat vaksin. Sel yang

paling sering digunakan adalah sel garis keturunan Madin-Daby Canine Kidney

cells (MDCK). Setiap spesimen dengan hasil virus influenza A yang positif dan

dicurigai sebagai infeksi flu burung harus dites lebih lanjut untuk memastikan

adanya infeksi H5 menggunakan referensi laboratorium H5 WHO. Laboratorium

yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan prosedur mengidentifikasi

subtipe virus influenza diharuskan untuk mengirim spesimen atau isolat virus ke

pusat influenza nasional (I Made Setiawan; 2009).

Page 31: H5N1 Avian influenza

Isolasi virus dalam kultur sel memberikan diagnosis laboratorium yang

sangat spesifik terhadap influenza, tetapi membutuhkan tempat penyimpanan

specimen agar tetap segar dan dingin untuk hasil sensitifitas yang optimal.

Spesimen harus disimpan pada 2-8 °C dan diproses dalam waktu 2-3 hari untuk

menghindari hilangnya berlebihan virus titer. Dengan penanganan spesimen yang

tepat, isolasi virus secara signifikan lebih sensitif dibandingkan metode

menggunakan deteksi antigen. Metode isolasi virus secara konvensional dianggap

terlalu lambat untuk dipergunakan dalam diagnosis pasien. Inkubasi selama

beberapa hari umumnya diperlukan untuk mendeteksi virus influenza dalam

kultur tabung konvensional. Virus influenza yang terdeteksi dalam kultur tabung

menandakan adanya efek sitopatik, adsorpsi atau aglutinasi sel darah merah, dan

antibodi fluorescent spesifik untuk virus influenza A dan B (Michael J. Loeffelholz,

PhD, D ; 2011).

Isolasi virus H5N1 dalam kultur sel memerlukan kondisi peningkatan level

biosafety (BSL3). Peningkatan tersebut mencakup penggunaan respirator oleh

personil, dekontaminasi semua limbah laboratorium, dan kebersihan personil

sebelum keluar. Kecuali laboratorium mikrobiologi klinik yang telah memiliki

level fasilitas biosafety tersebut, tidak boleh melakukan inokulasi spesimen yang

dicurigai mengandung virus H5N1 ke setiap tempat kultur sel. Hal yang perlu

diperhatikan adalah tenaga professional yang bekerja di laboratorium menyadari

bahwa virus H5N1 dapat menginfeksi dengan mudah pada kontak yang telah

terpapar (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).

3. Polymerase chain reaction dan Real-time PCR assay

Teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

awalnya digunakan untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA hasil

transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. Genom virus

influenza terdiri dari rantai tunggal RNA oleh karena itu complementary DNA

(cDNA) harus disintesis melalui proses RT-PCR. Teknik RT-PCR adalahproses

polimerisasi yang digunakan untuk mensintesis cDNA (WHO; 2002). Sintesis

cDNA dengan metode RT-PCR dilakukan dalam suatu campuran reaksi yang

mengandung primer dengan spesifitas tinggi dan nukleotida bebas (dNTP) pada

temperatur maksimal 42-50°C selama minimal 60 menit (Javois; 1999).

Page 32: H5N1 Avian influenza

Kelebihan metode RT-PCR adalah memiliki sensitivitas yang tinggi dalam

mengamplifikasi template RNA dan sangat spesifik saat menggunakan primer

yang spesifik dalam sintesis cDNA. Meskipun demikian, teknik tersebut juga

memiliki kelemahan yaitu hanya dapat digunakan untuk amplifikasi DNA, tidak

untuk mempelajari fungsional protein (Kendall dan Riley; 2000).

Prosedur untuk amplikasi genom RNA memerlukan pasangan primer

spesifik untuk gen hemagglutinin (HA) virus influenza A H5 dan neuraminidase

(NA) N1. Hasil dapat diperoleh dalam beberapa jam setelah spesimen klinis atau

biakan sel yang terinfeksi sudah tersedia (I Made Setiawan; 2009).

Primer HA yang digunakan

H5-1: GCC ATT CCA CAA CAT ACA CCCH5-2: CTC CCC TGC TCA TTG CTA TG

Memberikan hasil panjangnya 219 bp.Primer NA yang digunakan

N1-1: TTG CTT GGT CGG CAA GTG CN1-2: CCA GTC CAC CCA TTT GGA TCC Memberikan hasil panjangnya 616 bp

Multiplex RT-PCR telah dikembangkan dan dioptimasi untuk mendeteksi

virus Avian Influenza tipe A. Selain itu metode tersebut dapat membedakan

subtipe hemaglutinin H5, H7, dan H9. (Xie et al.; 2006) melaporkan bahwa 4

pasang primer oligonukleotida spesifik digunakan untuk mendeteksi virus AI tipe

A, subtipe H5, H7, dan H9. Selanjutnya produk Multiplex RT-PCR

divisualisasikan dengan elektroforesis gel agarose. Penelitian yang dilakukan oleh

Xie et al. (2006) tersebut membuktikan bahwa metode Multiplex RT-PCR

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi. Metode Multiplex RT-

PCR

juga

pernah

Page 33: H5N1 Avian influenza

digunakan untuk mendeteksi genom RNA dari 2 spesies virus yang berbeda yaitu

AI tipe A dan Respiratory Syncytial Virus. Metode ini terbukti dapat secara cepat

mendiagnosis genom RNA virus tersebut (Valassina et al.; 1997). Diagnosis

molekuler rutin dengan mengamplifikasi genom virus Avian Influenza

menggunakan metode RT-PCR memberikan hasil yang lebih cepat dan akurat.

Gambar 13. Rangkaian Alat dan Prosedur PCR dan RT-PCR

4. Pemeriksaan Serologis

Metode serologi untuk diagnosis infeksi virus influenza dengan cara

mendeteksi antibodi meliputi hemagglutination inhibition test (HI), viral

neutralization test (NT) dan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), dan

yang lebih spesifik adalah dengan tes mikro netralisasi yang juga sudah

dikembangkan. Karena tes ini memerlukan virus hidup, maka penggunaannya

untuk mendeteksi antibodi spesifik virus influenza burung yang sangat patogenik

dibatasi hanya untuk laboratorium yang mempunyai fasilitas biosafety level (I

Made Setiawan; 2009 dan Vivi Setiawaty, dkk.; 2008).

Tes netralisasi virus adalah tes yang sangat sensitif dan spesifik untuk

mengidentifikasi antibodi spesifik terhadap virus avian influenza A/H5N1 pada

manusia dan hewan. Tes netralisasi dapat mendeteksi antibodi spesifik antiH5N1

pada serum manusia dengan titer rendah yang tidak dapat dideteksi oleh tes

hambatan hemaglutinasi (HI). Namun untuk melakukan tes netralisasi ini terdapat

kendala yaitu harus dilakukan di laboratorium yang memiliki fasilitas BSL-3,

tidak dapat dilakukan di laboratorium biasa. Tes HI dapat dilakukan di

laboratorium BSL-2, relatif tidak rumit dalam pengerjaannya, relatif tidak

membutuhkan waktu lama untuk memperoleh hasil dan mempunyai sensitifitas

yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan uji NT sebagai gold standard. Tes

serologis secara ELISA sampai saat ini belum dianjurkan, karena sensitifitas dan

spesifisitasnya rendah (Vivi Setiawaty; 2008).

Immunofluorescence dan metodologi lain yang mendeteksi antibodi

imunoglobulin M (IgM) dapat mendeteksi infeksi akut, tetapi level serum IgM

biasanya di bawah tingkat terdeteksi karena paparan berulang terhadap vaksin

atau adanya virus yang beredar. Inhibisi hemaglutinasi digunakan untuk

mengidentifikasi subtype dari respon antibodi spesifik, tetapi reaktivitas silang

Page 34: H5N1 Avian influenza

antara subtipe dapat terjadi. Pengujian serologi penting untuk studi epidemiologi

dan pengembangan vaksin. Kemajuan terbaru dalam metode serologi meliputi uji

mikro-netralisasi yang menggabungkan virus reporter pseudotype yang

mengekspresikan hemagglutinin H5. Penggunaan reporter virus dapat

mengeleminasi kelemahan metode serologi yang membutuhkan peningkatan

kondisi BSL3 (Michael J. Loeffelholz, PhD, D ; 2011).

II.9 Pengobatan Infeksi Avian Influenza H5N1

II.9.1 Antiviral

Gambar 14. Mekanisme Replikasi Virus dan Target Obat Antivirus

Umumnya obat yang digunakan sebagai obat antivirus influenza adalah

golongan inhibitor protein matriks M2 dan golongan penghambat neuramidase

(NA). Golongan penghambat M2 adalah amantadin dan rimantadin, sedangkan

golongan inhibitor neuraminidase adalah oseltamivir dan zanavir . Jika seorang

pasien dicurigai menderita penyakit flu burung, maka pengobatan harus diberikan

secepat mungkin, tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium. Pengobatan

terhadap infeksi subtipe virus influenza A H5N1, pada prinsipnya adalah sama

dengan infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A yang lain. Sayangnya,

subtipe virus influenza A H5N1 yang beredar saat ini sudah ada yang resisten

terhadap obat amantadin dan rimantadin (F. Hayden dkk; 2005). Sedangkan

zanamivir dan oseltamivir merupakan inhibitor neuraminidase. Sebagaimana kita

Page 35: H5N1 Avian influenza

ketahui bahwa neuraminidase ini diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas dari sel

hospes pada fase budding sehingga membentuk virion yang infektif. Bila

neuraminidase ini dihambat oleh oseltamivir atau zanamivir, maka replikasi virus

tersebut dapat dihentikan (RA Herman dan Strock M; 2005). Neoroamidase

inhibitor diberikan pada awal infeksi (48 jam pertama) selama 3-5 hari.

Oseltamivir, yang hanya tersedia dalam formulasi oral, merupakan agen antivirus

pilihan utama untuk pengobatan infeksi virus H5N1 (WHO; 2006 dan H

Schunemann ; 2007). Saat ini tidak terdapat data yang tersedia dari pengendalian

uji klinis oseltamivir atau antivirus lainnya untuk pengobatan pasien yang

terinfeksi H5N1. Bukti observasi terbatas menunjukkan bahwa pemberian awal

oseltamivir berhubungan dengan penurunan mortalitas pada pasien (E.

Sedyaningsih et al ; 2007). Walaupun demikian, virus H5N1 juga dilaporkan

sudah ada yang resisten terhadap obat oseltamivir. Saat ini sedang diteliti tentang

efektivitas obat oseltamivir dengan dosis dua kali lipat untuk mencegahterjadinya

resistensi (F. Hayden, dkk. ; 2005). Dosis obat antivirus oseltamivir yang

diberikan kepada penderita H5N1 pada prinsipnya adalah sama dengan penderita

influenza yang lain. Untuk orang dewasa umur lebih 13 tahun diberikan 2x75 mg

sehari selama 5 hari, sedangkan untuk anak yang berumur >1 tahun dengan berat

<15 kg diberikan 2x30 mg sehari; 15-23 kg diberikan 2x45 mg sehari; 23-40 kg

diberikan 2x60 mg sehari; dan anak dengan berat badan >40 kg diberikan 2x75

mg sehari. Pengobatan diberikan selama 5 hari. Untuk penggunaan profilaksis

pada orang dewasa yang berumur lebih 13 tahun yang kontak erat dengan

penderita diberikan 1x75 mg sehari selama lebih 7 hari, dan bila terjadi wabah

diberi 1x75 mg sehari selama 6 minggu (P Ward, dkk; 2005, FG Hayden, dkk ;

2004, dan WHO; 2006) .

Zanamivir mungkin aktif terhadap beberapa strain virus H5N1yang

resisten terhadap oseltamivir. Rekomendasi ini berlaku untuk orang dewasa,

termasuk wanita hamil dan anak-anak. Dosis zanamivir untuk dewasa 2 X 5 mg

inhalasi (10mg total) 2 X/ hari dan anak 2 X 5mg inhalasi (10mg total) 2 X/ hari

(umur 7 tahun atau lebih). Studi praklinis telah menunjukkan bahwa kombinasi

dari oseltamivir dan adamantan (amantadine atau rimantadine) telah

Page 36: H5N1 Avian influenza

meningkatkan aktivitas antivirus, dan mengurangi munculnya resistensi (N.

Ilyushina et al; 2006).

Gambar 15. Mekanisme Aksi Neurominidase Inhibitor

II.9.2 Antibiotik

Kebanyakan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi virus A

H5N1 memiliki bukti radiologis pneumonia. Sebagai pemeriksaan diagnostik

untuk menetapkan etiologi community acquired pneumonia (CAP) mungkin

memerlukan waktu, penting untuk memulai pengobatan empiris dengan antibiotik

sesuai dengan pedoman pengobatan CAP terbaru yang dipublikasikan nasional,

internasional atau ahli. Untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan di

intensive care unit (ICU), pengobatan biasanya diberikan kombinasi dari β-laktam

(sefotaksim, seftriakson, atau ampisilin-sulbaktam) ditambah baik azitromisin

atau fluorokuinolon. Penggunaan monoterapi fluorokuinolon pada pasien tidak

dianjurkan. Pengobatan harus disesuaikan dengan mempertimbangkan

kemungkinan patogen dan pola kerentanan lokal. Pemeriksaan diagnostik untuk

CAP umumnya akan meliputi kultur darah dan sputum untuk strain Gram dan

Page 37: H5N1 Avian influenza

kultur. Tes diagnostik tambahan mungkin diperlukan berdasarkan etiologi lokal

dan sejarah paparan.

Penggunaan antibiotik profilaksis tidak dibenarkan untuk pasien yang

terinfeksi virus A (H5N1), karena dari manfaat tidak terbukti dan dapat memilih

untuk resisten bakteri dan menyebabkan efek samping (L. Mandell et al ; 2007).

II.9.3 Immunomodulators

Kortikosteroid sistemik sering digunakan untuk pengobatan acute lung

injury (ALI)/Acute respiratory distress syndrome (ARDS) karena penyakit infeksi

H5N1, mungkin untuk efek anti inflamasi dan anti-fibrosis (K. Yuen et al; 1998,

T. Chotpitayasunondh et al; 2005, dan TT Hien et al ; 2004). Kortikosteroid telah

digunakan dalam pengobatan penyakit virus pernapasan lainnya. Sekuele dan

komplikasi seperti syok mungkin memerlukan penggunaan kortikosteroid dari

infeksi virus H5N1 (WHO; 2006).

Tidak terdapat manfaat yang jelas dalam mengobati virus A (H5N1)

terkait pneumonia atau ARDS dengan kortikosteroid dosis tinggi sementara

terdapat potensi bahaya yang signifikan, khususnya dalam hal imunosupresi yang

mengarah ke peningkatan replikasi virus A (H5N1) atau infeksi sekunder, dan

efek samping musculoskeletal. Disarankan bahwa steroid dosis tinggi seharusnya

tidak diberikan untuk pengobatan penyakit A (H5N1). Steroid dosis rendah harus

dipertimbangkan dalam pengobatan syok septik refrakter sesuai dengan pedoman

praktek terbaik saat ini, tapi manfaat untuk syok septik pada anak tidak diketahui

(R. Dellinger et al; 2004). Untuk syok septik refraktori yang komplikasi dengan

ARDS dapat diberikan kortikosteroid dosis rendah misalnya hidrokortison intra

vena 200mg per hari dalam dosis terbagi (50 mg setiap 6 jam) pada orang dewasa

(WHO ; 2007).

Agen antipiretik atau penghilang rasa sakit sering digunakan untuk

mengurangi demam, mialgia dan artralgia pada pasien yang terinfeksi virus A

(H5N1). Aspirin (Asam salisilat) atau produk yang mengandung salisilat tidak

boleh diberikan kepada pasien yang diduga influenza atau A (H5N1) berusia di

bawah 18 tahun karena risiko Syndrome Reye.

II.9.4 Vaksin

Page 38: H5N1 Avian influenza

Salah satu upaya persiapan pandemi Influenza A yang direkomendasikan

oleh WHO pada tahun 2005 ialah pengembangan vaksin yang efektif, khususnya

yang memiliki spektrum proteksi luas. Vaksinasi merupakan strategi intervensi

yang bersifat “cost-effective” karena respon imun terhadap vaksin influenza A

bersifat protektif sehingga mampu mencegah terjadinya infeksi yang berpotensi

menyerap pendanaan dalam jumlah besar untuk biaya diagnosis, perawatan dan

pengobatan. Dalam rangka persiapan pandemi influenza A, perlu dikembangkan

platform vaksin yang mampu memenuhi persyaratan sebagai vaksin pandemic

khususnya yang sesuai dengan kondisi demografi dan geografi Indonesia, yaitu

berdaya proteksi kuat, cepat disesuaikan dengan galur virus influenza A baru

penyebab pandemik, dapat dengan cepat diproduksi dalam skala besar, serta

bersifat stabil untuk mempermudah distribusi.

Pada tahun 2011, riset pengembangan vaksin pandemik dimulai dengan

pembentukan konsorsium vaksin influenza A nasional yang dikelola oleh tim UI

beranggotakan beberapa institusi di bawah Kementerian Pendidikan Nasional

(perguruan tinggi), Kementerian Kesehatan, Kementerian Riset dan Teknologi

serta perusahaan vaksin nasional PT Bio Farma. Riset yang diusulkan sesuai

dengan roadmapvaksin influenza nasional yang telah disusun merupakan

kelanjutan riset insentif riset strategis. Vaksin yang dikembangkan berbasis pada

rekayasa genetika terutama adalah vaksin DNA, VLP (viral like protein) dan

protein rekombinan sub unit. Pengembangan vaksin dilakukan berdasarkan isolat

virus asal Indonesia baik untuk vaksin influenza H1N1 dan H5N1. Secara garis

besar, rancangan kegiatan riset yang akan dilakukan meliputi kegiatan :

1. Deteksi, isolasi, dan karakterisasi sampai ketingkat molekuler virus influenza

pandemic

2. Identifikasi, isolasi dan persiapan antigen vaksin virus influenza pandemic

3. Menyiapkan metode delivery vaksin yang efektif dan efisien

4. Pengembangan akhir prototip laboratorium untuk industri.

Beberapa prototipe vaksin DNA dan protein rekombinan sub unit serta

VLP untuk virus H5N1 dan H1N1 telah diperoleh berdasarkan riset periode 2011-

2013. Riset uji proteksi, informasi tentang pengaruh formulasi adjuvant terhadap

respon imun dan daya proteksi vaksin DNA, vaksin subunit serta VLP, masih

Page 39: H5N1 Avian influenza

dalam proses pelaksanaan. Uji imunogenitas vaksin telah dilakukan pada hewan

coba mencit BALB/c. Ada 3 macam pekerjaan imunisasi yang dilakukan, yaitu

penentuan dosis efektif vaksin DNA, uji komposisi vaksin DNA dan uji

imunogeitas virus whole killed. Hasil riset awal pengujian respon imun

menunjukkan bahwa dosis DNA yang optimal untuk menghasilkan respons

antibodi tubuh adalah 50ug/injeksi. Hasil vaksinasi dengan beberapa komposisi

vaksin DNA menunjukkan adanya reaktivitas serum tetapi penentuan komposisi

yang paling optimal belum dapat dilakukan berdasarkan data yang ada, masih

dalam proses riset. Uji imunogenitas virus whole killed mengindikasikan bahwa

semua antigen virus H5N1 dilemahkan yang digunakan dalam riset ini dapat

menginduksi kekebalan tubuh (F. Ibrahim ; 2013). Dibawah ini terdapat beberapa

kandidat vaksin untuk penyakit flu burung.

Tabel 2. Status dari Perkembangan Vaksin Virus Influenza H5Sumber WHO ; 2015

II.9.5 Terapi Supportif

Infeksi virus influenza (H5N1) sering menyebabkan kegagalan pernafasan

dengan progresif cepat, dan penting untuk memberikan perawatan suportif untuk

pasien yang terinfeksi virus A (H5N1) dengan ALI/ARDS. Banyak pasien juga

mengalami gagal multi-organ dengan proporsi yang tinggi dari pasien yang

membutuhkan support organ. Perawatan suportif meliputi oksigenasi yang efektif

dan tepat waktu dan dukungan ventilasi dan meminimalkan risiko barotrauma,

nutrisi enteral yang memadai, pencegahan dan pengobatan yang cepat dari infeksi

Page 40: H5N1 Avian influenza

nosokomial, pencegahan trombosis vena dan perdarahan gastrointestinal, dan

perawatan yang baik.

II.9.6 Terapi Oksigen

Oksigen sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan sedang sampai

parah penyakit A (H5N1). Hal ini penting untuk mengenali dan mengobati

hipoksemia awal untuk menghindari konsekuensi dan meningkatkan hasil klinis.

Bila mungkin, oximeter nadi harus digunakan untuk evaluasi awal saat pasien

datang dan diikuti oleh pemantauan berkelanjutan dari saturasi oksigen setelah di

sana. Dalam pengaturan di mana pemantauan saturasi oksigen tidak tersedia,

terapi oksigen harus diberikan ke pasien yang terinfeksi A (H5N1) yang memiliki

tanda-tanda klinis gangguan pernapasan termasuk peningkatan laju pernapasan

(dikoreksi untuk usia) atau tingkat kesadaran yang berubah (misalnya mengantuk

atau agitasi). Perhatian khusus diperlukan untuk tanda-tanda awal hipoksia pada

pasien anak. Dimana pemantauan saturasi oksigen tersedia, SaO2 harus

dipertahankan lebih dari 90% (WHO; 1993)

II.9.7 Support ventilasi

Invasive positive pressure ventilation (IPPV). IPPV adalah cara yang

disukai dari bantuan ventilasi untuk pasien dengan komplikasi Infeksi virus

(H5N1) oleh ARDS. Indikasi IPPV pada penyakit A (H5N1) sama dengan

penyebab lain dari pneumonia. Pasien kritis dengan infeksi virus A (H5N1) yang

membutuhkan IPPV harus dirujuk ke fasilitas dan tingkat perawatan yang sepadan

dengan penyakit (WHO; 1993).

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakti Husada. Referensi: Sosialisasi Flu Burung Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan Dasar.

2. Cauthen AN, Swayne DE, Schultz-Cherry S, Perdue ML, Suarez DL. Continued circulation in China of highly pathogenic avian influenza viruses encoding the hemagglutinin gene associated with the 199 H5N1 outbreak in poultry and humans. J Virol 2000

3. Chen J, Lee KH, Steinhauer DA, Stevens DJ, Skehel JJ, Wiley DC. Structure of the hemagglutinin precursor cleavage site, a determinant of

Page 41: H5N1 Avian influenza

influenza pathogenicity and the origin of the labile conformation. Cell 1998.

4. Chotpitayasunondh T et al. 2005. Human Disease from Influenza A (H5N1), Thailand, 2004. Emerging Infectious Diseases.

5. Dellinger R et al. 2004. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Critical Care Medicine.

6. Departemen Kesehatan. Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Saran Pelayanan Kesehatan. Jakarta. 2006.

7. Hayden F, Klimov A, Tashiro M, Hay A, Monto A, McKimm-Breschkin J, et al. 2005. Neuraminidase Inhibitor Susceptibility Network Position Statement: Antiviral Resistance in Influenza A/H5N1 Viruses. Antiviral Therapy.

8. Hayden FG , Belshe R, Villanueva C, Lanno R, Hughes C, Small I, et al. 2004. Management of Influenza in Household: Aprospective, Randomised Comparison of Oseltamivir Treatment With or With-out Postexposure Prophylaxis. J Infect Dis. 2004.

9. Herman RA, and Strock M. 2005. Possibel Pandemic Threat on the Horizon-Avian influenza A (H5N1). World Drug Infor.

10. Hien TT et al. 2004. Avian Influenza A (H5N1) in 10 Patients in Vietnam. New England Journal of Medicine.

11. Horby P, Sudoyo H, Viprakasit V, et al. What is the evidence of a role for host genetics in susceptibility to influenza A/H5N1? Epidemiol Infect. 2010.

12. Ibrahim F. 2013. Pengembangan Vaksin Influenza Berbasis Rekayasa Genetik. DRPM Gazette. Vol. 07 No. 01 Januari 14.

13. IDAI. Gambaran Umum. Deteksi dan Penanganan Awal Flu Burung (Avian Influenza, Bird Flu). IDAI. 2005.

14. Ilyushina N et al. 2006. Combination Chemotherapy, a Potential Strategy for Reducing the Emergence of Drug-Resistant Influenza A Variants. Antiviral Research.

15. Javois LC. 1999. Immunocytochemical Methods and Protocols. second edition. New Jersey. Humana Press.

16. Kendall LV, Riley LK. 2000. Reverse Trancriptase Polymerase Chain Reaction(RT-PCR). The American Association for Laboratory Animal Science. Vol. 39 No. 1.

17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Laporan Kasus Flu Burung ke 197. Diunduh dari : http://www.depkes.go.id/article/view/ 201406260001/laporan-kasus-flu-burung-ke-197.html

18. Loeffelholz, Michael J., PhD, D(ABMM). 2011. Avian Influenza (H5N1) Update: Role of the Clinical Microbiology Laboratory. Department of Pathology University of Texas Medical Branch. Galveston.

19. Mandell L et al. 2007. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical Infectious Diseases.

Page 42: H5N1 Avian influenza

20. Schünemann H, et al. 2007. WHO Rapid Advice Guidelines for Pharmacological Management of Sporadic Human Infection with Avian Influenza A (H5N1) Virus. Lancet Infectious Diseases.

21. Sedyaningsih E et al. 2007. Clinical Features of Avian Influenza A(H5N1) Infection in Indonesia, July 2005 – April 2007. Abstract Book : Options for the Control of Influenza VI 2007, Abstract P1532:329.

22. Setiawan, I Made. 2009. Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Influenza A H5N1. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.

23. Setiawaty, Vivi., Tjahjani Mirawati Soediro, Fera Ibrahim, Krisna Nur AP, Shigeyuki Itamur, dan Endang R. Sedyaningsih. 2008. Deteksi Antibodi Anti H5N1 dengan Uji Hambatan Hemagglutinasi dan Netralisasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Jakarta.

24. Valassina M, Anna M C, Maria G C, Piero EV. 1997. Rapid Detection of Different RNA Respiratory Virus Species by Multiplex RTPCR : Application to Clinical Specimens. J Clin Diagn Virol

25. Ward P, Small I, Smith J, Suter P, and Dutkowski R. 2005. Oseltamivir (Tamiflu) and its Potential for Use in the Event of an Influenza Pandemic. J Antimicrobial Chemother.

26. World Health Organization. 2007. Recommendations and Laboratory Procedures for Detection of Avian Influenza A(H5N1) Virus in Specimens from Suspected Human Cases.

27. World Health Organization. 2006. WHO Rapid Advice Guidelines on Pharmacological Management of Humans Infected with Avian Influenza A (H5N1) Virus. http://www.who.int/csr/disease/avian influenza/guidelines/pharmamanagement/en/index.html

28. World Health Organization: Advice on use of oseltamivir. 17 March 2006.29. World Health Organization. 2015. Antigenic and Genetic Characteristics of

Zoonotic Influenza Viruses and Development of Candidate Vaccine Viruses for Pandemic Preparedness. http://www.who.int/entity/ influenza/vaccines/virus/201502_zoonotic_vaccinevirusupdate.pdf?ua=1.

30. World Health Organization. 1993. Oxygen Therapy for Acute Respiratory Infections in Young Children in Developing Countries. Review of the Use of Oxygen Therapy. http://www.who.int/child-adolescenthealth /New_Publications/CHILD_HEALTH/WHO_ARI_93.28.htm#1.

31. World Health Organization (WHO). 2002. WHO Manual on Animal Influenza Diagnosis and Surveillance. WHO Global Influenza Programe. WHO/CDS/CSR/NCS/2002.5 Rev. 1.

32. World Health Organization. 2007. Clinical Management of Human Infection with Avian Influenza A (H5N1) Virus.

33. Writing Committee of the Second World Health Organization (WHO) Consultation on Clinical Aspects of Human Infection with Avian Influenza A (H5N1) Virus. Update on avian influenza A (H5N1) virus infection in humans. N Engl J Med. 2008.

34. Xie Z, Pang YS, Liu J, Deng X, Tang X, Sun J, Khan MI. 2006. A Multiplex RT-PCR for Detection of Type A Influenza Virus and Differentiation of Avian H5, H7, and H9 Hemaglutinin Subtypes. Mol Cell Probes 20.

Page 43: H5N1 Avian influenza

35. Xu X, Subbarao, Cox NJ, Guo Y. Genetic characterization of the pathogenic influenza A/Goose/Guangdong/1/96 (H5N1) virus: similarity of its hemagglutinin gene to those of H5N1 viruses from the 1997 outbreaks in Hong Kong. Virology 1999.

36. Yuen K et al. 1998. Clinical Features and Rapid Viral Diagnosis of Human Disease Associated with Avian Influenza A H5N1 Virus. Lancet.