i GUGATAN INTERVENSI ANAK DALAM PROSES PERCERAIAN ORANG TUANYA (Kajian Tentang Hukum Acara Peradilan Agama) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata S.1 dalam Ilmu Hukum Keluarga Oleh: ABDUL GHOFIR 1402016037 FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2018
88
Embed
GUGATAN INTERVENSI ANAK DALAM PROSES …eprints.walisongo.ac.id/9120/1/skrupsi.pdfDiajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna ... sehingga membuat hari-hari semasa kuliah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
GUGATAN INTERVENSI ANAK DALAM PROSES PERCERAIAN ORANG
TUANYA
(Kajian Tentang Hukum Acara Peradilan Agama)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Strata S.1 dalam Ilmu Hukum Keluarga
Oleh:
ABDUL GHOFIR
1402016037
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
ii
iii
iv
v
MOTTO
احضر قلبك و فكرتك وروحك في عملك
“Kerahkan hati, pikiran, dan jiwamu ke dalam aksimu”
vi
PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmanirrohim dengan rahmat Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang. Karya tulis skripsi yang penuh perjuangan dan menempuh
perjalanan yang sangat berarti ini saya persembahkan untuk:
Kedua orang tua saya terutama kepada ibu saya tercinta yang telah
memberikan dukungan moril maupun materiil serta do’a yang tiada henti
untuk kesuksesan saya.
Kakak dan adik saya, sanak saudara saya yang telah memberikan dukungan
dalam perkuliahan dari awal semester hingga wisuda.
Pak Dadang Darmawan, Chef Santo, Chef Danu, dan crew kitchen Laker’s
resto 2014-2016 serta teman-teman dan owner Scoops Glateria & My Story
Bistro yang telah memberikan kesempatan dan memberikan pelajaran hidup
yang berharga.
Teman-teman seperjuangan terutama kelas ASA14, terima kasih atas
solidaritas yang luar biasa sehingga membuat hari-hari semasa kuliah menjadi
berarti.
Teman diskusi, satu kostan, yang sering memberikan masukan dan
pencerahan Robet Rifa’i, S.H.
vii
ABSTRAK
Dalam sebuah keluarga yang sudah dikaruniai anak, terjadinya perceraian
akan memengaruhi tumbuh kembang dan hak-hak anak ke depannya, dalam hal ini
anak memiliki kepentingan atas perceraian orang tuanya. Pada asasnya setiap orang
yang memiliki kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan dapat
menuntut untuk mengabungkan diri atau campur tangan, sebagaimana termuat dalam
Pasal 279 Rv. Dalam perkara perdata pada umumnya segketa yang masuk di
pengadilan dikelompokkan dalam dua katagori yaitu perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi, salah satu segketa yang sulit dikelompokkan adalah perkara perceraian,
terutama perkawinan dalam Islam. Perkawinan adalah perkara perdata yang cara
penyelesaian segketanya diatur khusus oleh undang-undang, tetapi dalam aturan
khusus tersebut secara legal formal belum mengatur tentang peranan yang dapat
dilakukan anak untuk memperjuangkan hak-hak dalam keluarganya apabila terjadi
perceraian.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini beserta tujuannya adalah untuk
mengetahui bagaimana sinkronisasi Pasal 279 Rv dengan gugatan intervensi dalam
proses perceraian di Pengadilan Agama. Dan untuk mengetahui bagaimana ketentuan
hukum intervensi anak dalam proses perceraian orang tuanya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, kemudian
dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif. Untuk permasalahan pertama mengunakan
taraf sinkronisasi horizontal, dengan cara mensinkronkan Pasal 279 Rv dengan
sumber hukum acara perceraian dalam Peradilan Agama. Untuk permasalahan yang
kedua dengan mendeskripsikan kedudukan dan peranan anak dalam perceraian
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Hasil penelitian ini adalah bahwa pastisipasi anak dalam perceraian dapat
dilakukan dengan jalan intervensi di muka pengadilan. Pasal 279 Rv yang mengatur
tentang ketentuan intervensi dalam perkara perdata umum dapat digunakan sebagai
sumber hukum acara perceraian dalam Peradilan Agama. Perceraian merupakan
perkara perdata, hanya saja memiliki perbedaan dengan perkara perdata pada
umumnya. Perbedaan inilah yang membuat sikap yuridis dalam memposisikan
kedudukan anak dalam perkara perceraian sebagai subjek hukum, yang dapat
berperan sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan intervensi dalam
perceraian kedua orang tuanya di muka pengadilan.
Kata Kunci: Anak, Intervensi, Perceraian.
viii
KATA PENGANTAR
Tiada kegembiraan, serta mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan taufik dan rahmat-Nya dengan memberikan
kesehatan, kekuatan dan ketabahan, sehingga dapat menghantarkan selesainya skripsi
yang berjudul “ GUGATAN INTERVENSI ANAK DALAM PROSES
PERCERAIAN ORANG TUANYA ( Kajian Hukum Acara Peradilan Agama) “.
Juga tidak lupa disampaikan shalawat dan salam, semoga tercurahkan selalu kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabatnya, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Sudah menjadi keinginan saya untuk menulis sebuah karya yang dapat
memberikan solusi untuk anak yang orang tuanya sedang bercerai untuk ikut
berpartisipasi dalam perceraian tersebut. Supaya nantinya anak tersebut tidak
menyesali atas sesuatu yang seharusnya ia lakuka.
Skripsi yang sederhana dan rigkas ini tidak terlepas dari dorongan, dukungan,
masukan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini ijinkan saya
dengan penuh suka cita menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Atas
segala budi baiknya, seraya memanjatkan do’a semoga Allah SWT memberikan
pahala yang berlipat ganda kepada mereka, sesuai dengan amal perbuatannya masing-
masing. Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
ix
Yth. Bapak Dr. Ahmad Arif Junaidi, M. Ag, Selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
Yth. Ibu Dra. Hj. Endang Rumaningsih, M. Hum selaku pembimbing I dan
ibu Hj. Nur Hidayati Setyani, SH., MH selaku pembimbing II yang dengan
ikhlas meluangkan waktu disela-sela kesibukannaya membantu, membimbing
dan juga selalu memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.
Yth. Ibu Antin Latifah M. Ag, selaku Kajur dan ibu Yunita Dewi Septiana
M.A, selaku Sekjur di jurusan Hukum Keluarga yang selalu memberikan
motivasi dan pengarahan dari awal pembuatan skripsi ini.
Yth. Para dosen pengajar yang telah memberikan ilmunya kepada penulis
sehingga dapat membantu dalam penulisan skripsi ini, serta semua pengurus
staff di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
Teman-teman seperjuangan yang selama ini bersama penulis belajar bersama,
berbagi ilmu, saling berdiskusi bersama.
Semoga karya tulis ini dapat mendatangkan manfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya, serta siapa saja yang berkompeten dalam
permasalahan ini. Semoga Allah senantiasa meridhoi kita. Amiin ya rabbalalamin
Semarang, 27 Maret 2018
Abdul Ghofir
NIM. 1402016037
x
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
PENGESAHAN .................................................................................................... iii
DEKLARASI ........................................................................................................ iii
MOTTO ................................................................................................................ iv
PERSEMBAHAN ................................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ....................................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
D. Kerangka Teori .............................................................................................. 6
E. Telaah Pustaka ............................................................................................... 8
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 11
G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, PERCERAIAN, DAN
Amirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006, h. 31.
12
lainnya.26
Dalam penelitian ini juga mengunakan wawancara dengan seorang
hakim Pengadilan Agama sebagai pendukung untuk memperjelas bahan hukum
primer.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.27
Yaitu berupa kamus-
kamus.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian literer. Maka teknik
pengumpulan data-data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi
kepustakaan, untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang terdiri atas bahan
hukum primer, sekunder dan bahan hukum tertier.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan nantinya dalam penelitian ini bersifat
deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan
subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.28
Penerapannya dengan mendeskripsikan pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Analisis penelitian yang digunakan untuk permasalahan pertama
menggunakan taraf sinkronisasi horizontal. Metode ini digunakan dengan
26 Ibid., h. 32.
27
Ibid.
28
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, h. 23.
13
melakukan iventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
hukum acara peradilan, yaitu dengan cara mensinkronkan Pasal 279 Rv dengan
sumber hukum acara perceraian dalam Peradilan Agama. Sedangkan untuk
permasalahan yang kedua dengan mendeskripsikan perkara perceraian, kemudian
kedudukan dan peranan anak dalam perceraian berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku. Sehingga bisa ditarik sebuah analisis yang akhirnya akan diketahui
bagaimana hukum positif menyikapi tentang gugatan intervensi anak dalam proses
perceraian orang tuanya di Pengadilan Agama.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini terdiri atas lima bab:
Pertama: Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, metode
penulisan skripsi, dan sistematika penulisan skripsi.
Kedua: Tinjauan umum tentang anak, perceraian, dan intervensi. Yaitu
meliputi pengertian anak, hak dan kewajiban anak, kedudukan anak, pengertian dan
dasar hukum perceraian, macam-macam perceraian, akibat hukum perceraian
terhadap anak, pengertian dan dasar hukum intervensi, ketentuan intervensi di
Pengadilan Agama.
Ketiga: Deskripsi tentang Intervensi anak dalam perceraian orang tuanya di
Pengadilan Agama. Yaitu meliputi kewenagan Pengadilan Agama dalam segketa
perkawinan, hukum acara Peradilan Agama, perceraian sebagai perkara perdata,
ketentuan melakukan intervensi di Pengadilan Agama, intervensi anak dalam
14
perceraian orang tuanya, peran lembaga perlindungan anak terhadap anak dalam
perceraian.
Keempat: Analisis. Ada dua hal pokok yang akan dianalisis pada bab ini.
Tentang analisis sinkronisasi Pasal 279 Rv dengan guagatan intervensi dalam
perceraian di Pengadilan Agama dan analisis terhadap ketentuan hukum intervensi
anak dalam proses perceraian orang tuanya.
Kelima: Penutup. yang terdiri atas kesimpulan, saran, dan penutup.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, PERCERAIAN, DAN INTERVENSI
A. Anak
1. Pengertian Anak
Seorang anak memiliki peranan penting dalam sebuah kehidupan rumah
tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain untuk membangun mahligai
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga untuk mempersatukan keluarga dan
meneruskan keturunan. Tidak heran jika banyak pasangan yang baru melangsungkan
perkawinan begitu mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah
tangganya, karena selain anak akan menjadi cikal bakal penerus keturunan bagi orang
tuanya juga akan membuktikan kesempurnaan ikatan cinta dan kasih sayang diantara
mereka.1
Dalam bukunya Prof. Mohammad taufik Makarau, S.H.,M.H. Anak (jamak:
anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum
mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata
“anak” merujuk lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua
mereka meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah periode
perkembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun,
periode ini biasanya disebut dengan periode pra sekolah, kemudian berkembang
dengan tahun sekolah dasar. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada
1 D.Y. Wiyanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya
Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012, h. 1.
16
perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis
seseorang sudah termasuk dewasa, namun apabila perkembangan mentalnya atau
urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah “anak”.2
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak di mata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang di bawah
umur atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali. Maka
dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif di
Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal
untuk menentukan batasan umur seorang anak.3
Undang-undang memberikan beberapa pandangan tentang batasan umur anak
antara lain:
Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
yang berbunyi:
2 Mohammad Taufik Makarao, et al., Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Rineka Cipta, 2013, h. 15-16. 3 Lilik Mulyadi, Pengadilan anak di Indonesia, teori, Praktik dan permasalahannya,
Bandung: Mandiri Maju, 2005, h.3-4.
17
Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah menikah.
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menunjukkan kedudukan
seseorang yang masih dikatagorikan sebagai anak, berbunyi:
Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum
mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali bersetatus
belum dewasa.
2. Hak dan Kewajiban Anak
a. Hak Anak
Pada tanggal 20 November 1958 disahkanlah Deklarasi Hak Anak-anak oleh
Majelis Umum PBB. Pada tanggal 21 Desember 1976 Majelis Umum mensahkan
sebuah resolusi. Resolusi ini menganjurkan semua Negara, baik kaya maupun miskin,
untuk meninjau kembali kegiatan mereka dalam rangka menigkatkan kesejahteraan
anak-anak. Resolusi ini juga mengingatkan bahwa 1979 akan merupakan ulang tahun
ke-20 Deklarasi Hak Anak-anak, dan sekaligus menjadikan peristiwa ini titik tolak
bagi penigkatan pelaksanaan selanjutnya.4
Deklarasi ini menegaskan bahwa:
1) Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus,
kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara
sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama;
2) Memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir;
4 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1988, h. 8.
18
3) Mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi,
dan pelayanan kesehatan, perawatan, dan perlakuan khusus jika mereka
cacat;
4) Tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih sayang dan rasa
aman sedapat mungkin dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tua
mereka sendiri;
5) Mendapat pendidikan, dan andaikata terjadi malapetaka mereka termasuk
orang yang pertama yang menerima perlindungan dan pertolongan ;
6) Memperoleh perlindungan baik atas segala bentuk penyiayiaan, kekejaman
dan penindasan maupun atas segala perbuatan yang mengarah kedalam
bentuk diskriminasi.5
Menurut Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan hak
dan kewajiban antara orang tua dan anak adalah sebagai berikut:
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
2) Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus.
3) Anak wajib menghormati orang tua dan menanti kehendak mereka yang
baik.
4) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuan, orang
tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuannya.
5) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
6) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan.
7) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak dan atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun aatu belum pernah melangsungkan perkawinan,
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
8) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang
tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenag, dengan keputusan
pengadilan dalam hal-hal:
a) Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya;
5 Ibid, h. 9.
19
b) Ia berkelakuan buruk sekali.
9) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anak tersebut.6
Sementara itu hak anak berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia diatur
dari Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 yang meliputi:
1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat
dan Negara.
2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu
diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungannya.
3) Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
4) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas satu nama dan status
kewarganegaraan.
5) Setiap anak cacat fisik dan/atau mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan,dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk
menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan
berkreasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah
bimbingan orang tua dan atau wali.
7) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri.
8) Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan
dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau walinya
berdasarkan putusan Pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal
dunia atau karena sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai orang tua.
10) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala
bentuk kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya atau
pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak
tersebut.
11) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara
bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan
6 Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974.
20
aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak.
12) Setiap anak berhak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi
secara tetap dengan orang tuanya,
13) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya.
14) Setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
15) Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan dirinya.
16) Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial secara layak sesuai dengan kemampuan fisik dan mental spritualnya.
17) Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan,
sengketa bersenjata, kerusuhan dan peristiwa lain yang mengandung unsur
kekerasan.
18) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan di dalam kegiatan
eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya,
sehingga dapat menggangu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan
sosial dan mental spritualnya.
19) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari
berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif
lainnya.
20) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
21) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum.
22) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan
secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan
pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya.
23) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku.
24) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak
memihak di dalam sidang yang tertutup untuk umum.7
7 Pasal 52 sampai dengan Pasal 66, UU No. 39 Tahun 1999
21
Adapun hak anak sebagaimana diatur didalam UU Kesejahteraan anak diatur
dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 8, yang meliputi:
1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan
khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna.
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar.
5) Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama berhak
mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan.
6) Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh
negara atau orang atau badan hukum.
7) Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam
lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.
8) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang
bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa
pertumbuhannya dan perkembangannya.
9) Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangannya sejauh batas kemampuan dan
kesanggupan anak yang bersangkutan.
10) Bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak
menjadi hak setiap anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama,
pendirian politik, dan kedudukan sosial.8
Hak anak yang diatur di dalam UU Perlindungan Anak tercantum dari Pasal 4
sampai dengan Pasal 18 yang meliputi sebagai berikut:
1) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
2) Setiap anak berhak atas nama sebagai identitas dan status
kewarganegaraan.
8 Pasal 2 samapi dengan Pasal 8 UU No. 4 Tahun 1979
22
3) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan
orang tua.
4) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal ini karena suatu sebab orang tuanya
tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan
terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau sebagai anak asuh atau
anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
dengan kebutuhan fisik, mental, spritual dan sosial.
6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya.
7) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari
kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesame peserta didik, dan/atau pihak lain.
8) Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
dan anak yang memiliki keunggulan juga mberhak mendapatkan fasilitas
yang khusus.
9) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari dan memeberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ksesusilaan
dan kepatutan.
10) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat,
bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.
11) Setiap anak yang penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
12) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan,
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
13) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir.
14) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud di atas, anak tetap
berhak:
a) Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua
orang tuanya;
23
b) Mendapatkan pengasuhan pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan
untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya;
c) Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan
d) Memperoleh hak anak lainnya.
15) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan
dalam kegiatan politik, perlibatan dalam sengketa senjata, perlibatan di
dalam kerusuhan sosial, perlibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur kekerasan, dan perlibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual.
16) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
17) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
18) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
19) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.9
Selain diatur melalui undang-undang, hak anak juga diatur melalui KHI, hal ini
dapat ditemukan dalam Pasal 156 huruf a dan huruf b KHI yang meliputi:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:
a) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibunya.
b) Ayah.
c) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya.
b. Kewajiban Anak
9 Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014.
24
Selain terdapat aturan mengenai hak anak, peraturan perundang-undangan juga
mengatur berbagai kewajiban anak, pengaturan kewajiban anak dapat kita lihat di
dalam Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan anak.
Beberapa diantaranya di dalam UU Perkawinan Pasal 46 yang berbunyi:
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang
tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuannya.10
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan anak setiap anak berkewajiban untuk:
1) Menghormati orang tua, wali, dan guru;
2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.11
3. Kedudukan Anak
a. Anak yang sah
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.12
Sehubungan dengan itu, baik hukum adat dan hukum agama
Islam, maupun dari Burgerlijk Wetboek menentukan, bahwa seorang anak yang
dilahirkan atau dikandung oleh ibunya disaat ibunya mempunyai suami, maka pada
keadaan biasa anak itu pula adalah dari suaminya. Dan hubungan antara anak dengan
10
Pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974. 11
Pasal 19 UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014. 12
Pasal 42 UU No.1 Tahun1974. Lihat juga Pasal 250 KUHPer
25
bapaknya diangap merupakan suatu hubungan yang sah menurut hukum.13
Seorang
suami dapat mengigkari seorang anak jika:
1) Anak itu dilahirkan kurang dari tenggang waktu yang ditentukan, yaitu
sebelum hari ke seratus delapan puluh semenjak perkawinan dilagsungkan;
2) Suami dapat membuktikan bahwa sejak tiga ratus sampai seratus delapan
puluh hari sebelum lahirnya anak itu baik karena perpindahan atau secara
kebetulan, ia berada dalam ketidak mungkinan yang nyata untuk bersetubuh
dengan istrinya;
3) Suami dapat membuktikan bahwa istrinya melakukan zina dan anak itu
sebagai akibat perbuatan itu;
4) Anak itu dilahirkan tiga ratus hari setelah hari keputusan perpisahan meja
dan tempat tidur memperoleh kekuatan mutlak;
5) Anak itu dilahirkan setelah tiga ratus hari setelah perkawinan itu
dibubarkan.14
b. Anak yang tidak sah
Anak yang lahir di luar perkawinan atau dilahirkan setelah jangka waktu
tertentu sejak perkawinan itu terputus, diangap anak yang tidak sah.15
Anak yang
demikian itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.16
Kedudukan anak yang tidak sah ini dapat diakui dan disahkan. Pengakuan
anak luar nikah dapat dilakukan dengan jalan perkawinan diantara ayah dan ibunya
dan dinyatakan dalam akta perkawinan atau dalam akta autentik tersendiri. Apabila
pengakuan itu dilakukan tersendiri oleh ayahnya saja, misalnya, maka menurut
ketentuan yang termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata haruslah
13
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta,
Bina Aksara, 1987), hal. 122. 14
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaisia dan Indonesia, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991, h. 137. 15
Pasal 255 KUHPer. 16
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
26
pengakuan serupa itu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari ibunya.17
Pengakuan
seorang anak yang ayah dan ibunya tak diperkenankan kawin karena hubungan darah
atau penghalang perkawinan lainnya, mereka terlebih dahulu harus meminta
dispensasai Presiden agar dapat melangsungkan perkawinan dan setelah itu baru anak
itu dapat diakui dengan menyebutkannya di dalam akta perkawinan.18
B. Perceraian
1. Dasar Hukum dan Pengertian Perceraian
Tidak seorang pun yang mengiginkan perkawinannya putus di tengah jalan,
tidak ada anggota keluarga atau masyarakat yang mengharapkan keluarganya bubar,
tidak ada agama yang mendorong perceraian. Hukum Islam mengajarkan bahwa
perceraian adalah barang halal yang dibenci oleh Allah.19
حدثنا كثير بن عبيد الحمصي حدثنا محمد بن خالد عن معرف بن واصل عن
دهللا بن عمر رضي هللا عنو قال : قال رسول هللا صلى هللا دشار عن عبمحا ر ب بن
الطالق )رواه أبو داود( الى هللا عليو وسلم ابغض الحالل Artinya: “Diriwayatkan dari Katsir bin Ubaid Al-Himsiy, diriwayatkan Muhammad
bin Khalid dari Mu’arif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari sahabat
17
Pasal 284 KUHPer. 18
Lili Rasjidi, op. cit., h. 138-139. 19
Muh Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, cet.2,
Jakarta: Badan Litibag Agama dan Diklat Keagamaan, h. 81-82.
27
Abdillah bin Umar berkata: Rarulullah SAW bersabda: perkara halal yang
paling dibensi alloh adalah perceraian”. (H.R. Abu Daud)20
Hadis tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian, merupakan
alternatif terakhir, pintu keluar yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan
rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya.21
Hukum Islam mensyari’atkan tentang putusnya perkawinan melalui
perceraian adalah jalan terakhir apabila rumah tangga tidak bisa menemukan
keharmonisan dan kerukunan lagi. Hanya dengan jalan perceraian sebagai solusi yang
harus ditempuh, tetapi bukan berarti agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari
suatu perkawinan, dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang
dikehendaki. Sehingga hanya dalam keadaan yang tidak dapat dihindari itu sajalah,
perceraian yang dibolehkan dalam syari’at.22
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “cerai” berarti: v [kata kerja], 1.
Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kata “perceraian” mengandung