GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANTARA KONSTITUSI,
DEMOKRASI DAN KEISTIMEWAAN)
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Setelah Undang-Undang Dasar 1945
diamandemen sebanyak empat kali dari tahun 1999 sampai dengan tahun
2002, konsep negara kesatuan yang selama orde baru dipraktekan
secara sentralistis berubah menjadi desentralisasi. Otonomi daerah
yang luas menjadi pilihan solusi diantara tarikan tuntutan
mempertahankan negara kesatuan ataukah berubah menjadi negara
federal. Perubahan lain yang penting adalah pemberian hak kepada
daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) menegaskan mengenai
hubungan antara pusat dan daerah dengan politik hukum
desentralisasi (otonomi) dan dekosentrasi dengan susunan berjenjang
dan dengan memperhatikan hak-hak asal usul yang bersifat istimewa.
Di dalam pengangkatan kepala daerah seperti gubernur (untuk tingkat
propinsi), walikota (untuk kota), dan bupati (untuk kabupaten) juga
terjadi perubahan. Jika sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945
kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat, kemudian dipilih oleh
DPRD dan yang terakhir dipilih langsung oleh rakyat.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman,
baik secara de jure maupun de facto telah memiliki pemerintahan
yang teratur dengan pembagian wilayah yang bersifat administratif
sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
pada tanggal 17 Agustus 1945. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri
Paduka Pakualam VIII mengeluarkan maklumat yang dikenal dengan nama
Maklumat 5 September 1945 dilakukan secara sendiri-sendiri dan
dilanjutkan secara bersama-sama pada tanggal 30 September 1945,
dimana salah satu isi maklumat tersebut bahwa Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang berbentuk
kerajaan (negara pada waktu itu) adalah Daerah Istimewa dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus sebagai gubernur dan
wakilnya. Pada akhir tahun 2010 rakyat Yogyakarta mendapat ujian
berat dari pemerintah pusat, yaitu adanya RUUK DIY yang isinya
bahwa Sri Sultan tidak lagi menjabat sebagai kepala daerah. Kepala
daerah provinsi DIY harus dipilih secara langsung. Pandangan yang
digunakan oleh pemerintah pusat pada waktu itu adalah jangan ada
tabrakan antara monarki konstitusi dengan nilai-nilai demokrasi.
Pernyataan dari pemerintah pusat tersebut menimbulkan respons pada
semua kalangan. Mulai rakyat biasa (mengadakan pisowanan), internal
parpol, para akademisi sampai tokoh-tokoh partai politik ikut
memberikan respons terhadap RUUK DIY.
Respons dan reaksi dari rakyat DIY dan seluruh anak bangsa di
bumi pertiwi ini ditanggapi pemerintah pusat secara ringan.
Pemerintah pusat menanggapi secara sederhana bahwa untuk
kepemimpinan DIY lima tahun yang akan datang masih Sri Sultan
Hamengkubuwono X yang terbaik. Karena itu, beliau tetap akan
ditetapkan untuk kepemimpinan lima tahun mendatang. Setelah itu,
kepala daerah provinsi ini dipilih langsung secara demokratis
sebagaimana daerah lainnya.1 Pernyatan pemerintah pusat tentang
kepala daerah DIY tersebut mendapatkan reaksi aktif dari rakyat,
terutama masyarakat Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta seperti
disadarkan tentang keistimewaan DIY yang selama ini tidak pernah
diganggu oleh pemerintah pusat. Rakyat Yogyakarta berketetapan
bahwa gubernur DIY haruslah Sri Sultan Hamengkubuwono dan sebagai
wakil gubernur adalah Sri Paduka Pakualam. Rakyat Yogyakarta juga
menginginkan pengangkatan gubernur dan wakil gubernur dengan cara
penetapan bukan pemilihan sebagaimana diinginkan oleh pemerintah
pusat. Rakyat Yogyakarta mempunyai prinsip, bahwa kepala daerah dan
wakil kepala daerah adalah salah satu ciri keistimewaan DIY, dan
hal tersebut tidak dapat diganggu gugat. B. PERUMUSAN MASALAH
Menarik untuk dikaji dari latar belakang diatas. Ada perbedaan yang
sangat tajam antara pemerintah pusat dengan rakyat DIY dalam
memandang kepala daerah (gubernur) dan wakil kepala daerah (wakil
gubernur).1
Hafidh asrom, dalam opini publik harian kedaulatan rakyat
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sip=233042&actmenu=39
Pemerintah pusat mempunyai pandangan dengan adanya penetapan
untuk posisi gubernur dan wakil gubernur DIY akan bertentangan
dengan demokrasi, dan juga konstitusi negara kita yaitu
Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), sedangkan rakyat DIY
mempunyai pandangan penetapan gubernur dan wakil gubernur sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak bertentangan dengan
demokrasi dan konstitusi, bahkan itu merupakan suatu bentuk
keistimewaan DIY apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lainnya di Indonesia. Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah
ini adalah: 1. Bagaimana gubernur daerah istimewa yogyakarta
dilihat dari demokrasi dan juga konstitusi yang berlaku di negara
Kesatuan Republik Indonesia serta kebiasaan yang telah berlaku di
yogyakarta? 2. Bagaimana solusi yang terbaik untuk pengisian
jabatan gubernur DIY dan juga daerah lain? C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini yaitu sebagai salah satu tugas mata kuliah
Teori Konstitusi dan Perundang-undangan pada Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, selain itu
sebagai sumbangsih pemikiran (keilmuan) secara akademik yang
dikenal dengan analisa ilmiahnya terhadap perkembangan yang terjadi
di Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
D.
METODE PENULISAN Dalam penyusunan makalah ini, penulis
menggunakan metode studi pustaka sebagai metode pengumpulan data
dan menggunakan analisis normatif untuk menganalisa permasalahan
serta menarik kesimpulan.
E.
SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan makalah ini, yakni
pada BAB I Pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan, BAB
II Tinjauan Pustaka BAB III Pembahasan terdiri atas gambaran umum
dan analisis. Sedangkan pada BAB IV merupakan Penutup yang terdiri
atas kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
PENGERTIAN KONSTITUSI Istilah konstitusi berasal dari constituer
(bahasa Prancis) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah
konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau
menyusun dan menyatakan suatu negara.2 Sementara itu, istilah
Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa
Belandanya grondwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar.3 Di
negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia
disebut konstitusi.4 Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat
berarti lebih luas daripada pengertian undang-undang dasar, tetapi
ada juga yang
menyamakan dengan pengertian undang-undang dasar. Bagi para
sarjana ilmu politik istilah constitution merupakan sesuatu yang
lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat
cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam
suatu masyarakat. Mencermati dikotomi antara istilah constitution
dengan grondwet (undang-undang dasar) diatas, L.J. Van Apeldoorn
telah membedakan
2 3
Nimatul huda, UUD 1945 dan gagasan amandemen ulang, Rajawali
press, Jakarta, 2008, hal.14 ibid 4 ibid
secara jelas diantara keduanya, Grondwet (undang-undang dasar)
adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan
constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun
yang tidak tertulis.5 Sementara itu, Sri Soemantri dalam
disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan undang-undang
dasar.6 Penyamaan arti keduanya ini sesuai dengan praktik
ketatanegaraan Indonesia. Menurut E.C.S Wade dalam bukunya
Constitutional Law, undangundang dasar adalah naskah yang
memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokokpokoknya cara kerja
badan-badan tersebut.7 Dapat disimpulkan, pada pokoknya dasar dari
setiap sistem pemerintahan diatur dalam suatu undangundang dasar.
Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga sebagai
berikut,8 1. Die Politische verfassung als gesellschaftlich
wirklichkeit. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam
masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi, mengandung pengertian
politis dan sosiologis. 2. Die verselbstandigte rechtsverfassung.
disebagaian besar negara-negara didunia termasuk
5 6
Ibid...hlm.15 ibid 7 Ibid...hlm.16 8 Ibid...hlm.17
Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam
masyarakat. Jadi, mengandung pengertian yuridis. 3. Die geshereiben
verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai
undangundang yang tertinggi yang berlakuu dalam suatu negara. Dari
pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika
pengertian undang-undang itu harus dihubungkan dengan pengertian
konstitusi, maka artinya undang-undang dasar itu baru merupakan
sebagaian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang
tertulis saja. Di samping itu, konstitusi itu tidak hanya bersifat
yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan
politis. F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi
konstitusi dalam dua pengertian sebagai berikut,9 1. Pengertian
sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip).
Konstitusi adalah sintese faktor-faktor kekuatan yang nyata
(dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi, konstitusi
menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat
dengan nyata dalam suatu negara. 2. Pengertian yuridis (yuridische
begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan
negara dan sendi-sendi pemerintahan.
9
ibid
Pendapat James Bryce sebagaimana dikutip C.F. Strong10 dalam
bukunya Modern Political Constitutions menyatakan konstitusi
adalah: A frame of political society, organized through and by law,
that is to say on which law has established permanent institutions
with recognized functions and definite rights. Dari definisi di
atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai
kerangka negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam
hal mana hukum menetapkan: (1) pengaturan mengenai pendirian
lembaga-lembaga yang permanen; (2) fungsi alat-alat
kelengkapan; (3) hak-hak tertentu yang telah ditetapkan. C.F.
Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri
sebagai berikut:11 Constitution is a collection of principles
according to which the power of the government, the rights of the
governed, and the relations between the two are adjusted. Artinya
konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas
yang menyelenggarakan: (1) kekuasaan pemerintahan (dalam arti
luas); (2) hak-hak dari yang diperintah; (3) hubungan antara
pemerintah dan yang diperintah (menyangkut didalamnya masalah hak
asasi manusia). Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang
konstitusi yang diberikan oleh C.F Strong lebih luas daripada
pendapat James Bryce.12 K.C. Wheare mengartikan konstitusi sebagai:
keseluruhan sistem ketatanegaraan dari sudut suatu negara berupa
kumpulan peraturan yang10 11
Ibid...hlm.18 Ibid...hlm.19 12 ibid
membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu
negara.13 Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling
tidak dalam dua pengertian, senagaimana dikemukakan oleh K.C.Wheare
dalam bukunya Modern Constitutions. Pertama, dipergunakan dalam
arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan
himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam
di
menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai
sistem pemerintahan
dalamnya terdapat campuran tata peraturan baik yang bersifat
hukum (legal) maupun yang bukan peraturan (nonlegal atau ekstra
legal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan
peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara
yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen yang terkait
satu sama lain.14 B. DEMOKRASI Demokrasi pertama-tama merupakan
gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan
untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi
bahkan disebut sebagai kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama
rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari
rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan
memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan
kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada
dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan
negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan
bersama-sama13 14
Ibid...hlm.20 Ibid...hlm.21
dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti
seluasluasnya.15 Dalam perspektif yang bersifat horizontal, gagasan
demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy)
mengandung empat prinsip pokok16, yaitu: (1) adanya jaminan
persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (2) pengakuan dan
penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas; (3) adanya aturan
yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan (4) adanya
mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang
ditaati bersama itu. Dalam konteks kehidupan bernegara, dimana
terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal
antara institusi negara dengan warga negara, keempat prinsip pokok
tersebut lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip
negara hukum (nomokrasi): (5) pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia; (6) pembatasan
kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan
disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar
lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal; (7) adanya
peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent
and impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar
keadilan dan kebenaran; (8) dibentuknya lembaga peradilan yang
khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan
akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi
negara); (9) adanya mekanisme judicial review oleh15
Jimmly asshiddiqie, hukum tata negara dan pilar-pilar demokrasi,
konstitusi press, jakarta, 2006, hlm.335 16 Ibid...hlm. 340
lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif,
baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun oleh lembaga
eksekutif; dan (10) dibuatnya konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan
prinsip-prinsip tersebut diatas, disertai (11) pengakuan terhadap
asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem
penyelenggaraan negara. Robert A Dahl memberikan makna demokrasi
sebagai sebuah sistem politik dimana para anggota-anggotanya
memandang diri dan orang lain dalam posisi dan status yang sama
secara politik.17 Status yang sama disini dilihat karena sama-sama
berdaulat, memiliki segala kemampuan, sumber daya dan
lembaga-lembaga yang diperlukan dalam rangka untuk memerintah
dirinya sendiri. Asumsi yang mendasari diperlukannya tatanan
politik yang
demokratis yaitu terkait bahwa keputusan yang mengikat hanyalah
dibuat oleh orang-orang yang menjadi subyek dari keputusan itu,
yaitu anggota asosiasi atau masyarakat, bukan orang-orang yang
berada diluar masyarakat itu. Jadi, tidak ada seorangpun dari para
pembuat undang-undang pantas berada diatas undang-undang, akan
tetapi berada dibawah undang-undang yang telah disepakati bersama,
tak terkecuali penguasa. Robert A Dahl mengemukakan unsur yang
harus dipenuhi dfalam sebua negara demokratis, yaitu unsur modern,
dinamic dan pluralis.18
17
Adhi darmawan, Jogja bergolak diskursus keistimewaan DIY dalam
ruang publik, kepel press, 2010, hlm. 32 18 ibid
Huntington melihat sistem pemerintahan seperti monarki absolut,
kerajaan birokratis, oligarki, aristokrasi, rezim-rezim
konstitusional dengan hak pemberian suara dalam pemilihan umum yang
terbatas, despotisme perorangan, rezim-rezim komunis dan fasis,
kediktatoran militer dan tipetipe pemerintahan serupa lainnya,
dimana didalamnya tidak ada sistem pemilu sebagai cara untuk
melakukan pergantian keuasaan, tidak adanya keadilan dalam
pemilihan, pembatasan terhadap partai politik, tidak adanya
kebebasan pers, dan kriteria sejenis lainnya disebut sebagai
pemerintahan yang non demokratis.19 Bagi Huntington, metode
demokratis diartikan sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai
keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan
untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka
memperoleh suara rakyat.20 Dengan mengacu pada kategori
demokrasinya Schumpeter,
Huntington mencoba mengkategorisasikan demokratis secara
prosedural. Definisi demokrasi berdasarkan pemilihan merupakan
definisi yang minimalis.21 Disebut minimalis karena bagi sebagaian
pakar, dalam demokrasi seharusnya memiliki konotasi yang jauh lebih
luas dan idealistis. Demokrasi yang sejati berarti liberte,
egalite, fraternite, kontrol yang efektif oleh warga negara
terhadap kebijakan pemerintah, pemerintah yang bertanggungjawab,
kejujuran dan keterbukaan dalam kontestasi politik, musyawarah yang
rasional dengan didukung informasi yang cukup,19 20
Ibid...hlm.33 Ibid...hlm.34 21 ibid
partisipasi dan kekuasaan yang sejajar, serta berbagai kebajikan
warga negara lainnya.22 C. DAERAH ISTIMEWA DALAM BINGKAI NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Negara Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik, dimana secara tegas hal tersebut tertuang dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Dengan penempatannya pada BAB I Pasal 1 ayat (1) tersebut, berarti
ketentuan mengenai hal tersebut dianggap sangat penting dan utama,
sehingga perumusannya mendahului rumusan ketentuan-ketentuan yang
lain. Ketentuan mengenai hal ini secara jelas diulangi lagi dalam
bab dan Pasal terakhir, yaitu Pasal 37 ayat (5) BAB XVI tentang
perubahan UndangUndang Dasar, yang berbunyi sebagai berikut: Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan.
Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat diubah menurut prosedur
verfassungsanderung, yaitu yang diatur dan ditentukan sendiri oleh
Undang-Undang Dasar 1945.23 Kesepakatan kita atas bentuk negara
kesatuan adalah pilihan politik (resultante) bangsa, bukan karena
ada ketentuan atau keharusan sila ketiga Pancasila, yakni Persatuan
Indonesia. Persatuan Indonesia sebenarnya dapat22 23
ibid Suryo sakti hadiwijoyo, menggugat keistimewaan jogjakarta,
pinus book publisher, yogyakarta, 2009, hlm.147
dibangun di atas negara kesatuan maupun diatas negara federal.
Harus dibedakan antara konsep negara kesatuan dan konsep persatuan.
Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan
kekuasaan (gezagsverhouding) antara pemerintah pusat dan daerah,
sedangkan persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat
kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara.24 Konsep
integral (menyeluruh, komprehensif) atau persatuan (integrasi)
memang tidak identik dengan negara kesatuan melainkan lebih
merupakan persatuan kehendak jiwa atau sikap batin seluruh warga
bangsa untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.25
Di dalam Pancasila
(dasar negara) memang dipergunakan kata-kata Persatuan Indonesia
sebagai salah satu silanya, tetapi istilah persatuan di dalam
Pancasila itu memang tidak mutlak harus diartikan mendirikan negara
dalam bentuk negara kesatuan melainkan harus diartikan ikatan batin
untuk bersatu.26 Terkait dengan pilihan mengenai susunan organisasi
negara Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia tersusun atas
daerah-daerah bagian, dimana hal tersebut tertuang dalam Penjelasan
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
I. Oleh karena negara Indonesia itu suatu eendheidstaat, maka
Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat
staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan
daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di
daerah-daerah yang bersifat autonoom (streek dan lokale
rechtgemeenschappen) atau bersifat adminsitratif belaka,
24
Moh.Mahfud MD, Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu,
Rajawali pers, jakarta, 2010, hlm. 212 25 Ibid...hlm. 211 26
ibid
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
undangundang. Daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan
badan perwakilan daerah oleh karena didaerahpun, pemerintah
bersendi atas dasar permusyawaratan. II. Dalam teritoir negara
Indonesia terdapat 250 zelfbestuurendelandschappen dan
Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri
Minagkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerahdaerah istimewa tersebut dan
segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati
hak-hak asal usul daerah tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut
kemudian diperbaharui melalui
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, di mana berdasarkan
amandemen tersebut jaminan yuridis terhadap hak-hak tradisional
komunitas etnis yang beraneka ragam semakin dihormati dan
dilindungi serta tidak boleh dilanggar oleh peraturan
perundang-undangan negara. Jaminan hukum tersebut tertuang dalam
Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) hasil amandemen kedua UUD 1945 yang
berbunyi sebagai berikut: (1) Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian,
satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 Pasca Amandemen yang secara
eksplisit menyebut daerah-daerah yang bersifat khusus atau
istimewa, tertuang dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah (Pasal
18, Pasal 18A, dan Pasal 18B). Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan wadah bagi segenap rakyat Indonesia untuk
bersatu dalam satu kesatuan bernegara, tetapi di dalamnya tidak
harus ada keseragaman (uniformity).27 Dengan kata lain harus tetap
terdapat jaminan terhadap keanekaragaman sesuai dengan latar
belakang sejarah kebangsaan Indonesia, termasuk didalamnya adalah
keanekaragaman dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan karakteristik
dan keistimewaan atau kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing
daerah yang dapat saja diatur secara berbeda antara daerah yang
satu dengan yang lain dalam suatu undang-undang28 seperti :
Kedudukan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diundangkan
melalui Undang-Undang nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam diatur dalam Undang-Undang nomor 44 tahun
1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang nomor 18 tahun
2001 tentang Undang-Undang otonomi khusus bagi Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan pada
tahun 2006 dirubah lagi dengan UndangUndang nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh yang didalamnya antara lain mengatur
status keistimewaan Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
Provinsi Papua mendapatkan status khusus atau istimewa setelah
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi
khusus bagi Provinsi Papua.
27 28
Suryo sakti hadiwijoyo, op.cit. hlm.151 Ibid
D.
GUBERNUR SEBAGAI KEPALA DAERAH Gubernur adalah kepala daerah
untuk tingkat provinsi, yang salah satu tugasnya adalah memberikan
laporan dan melakukan pengawasan terhadap wilayah yang dipimpin
termasuk daerah kabupaten dan kota, untuk disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri. Istilah Kepala Daerah sejak awal kemerdekaan,
khususnya dalam pengaturan undang-undang tentang Pemerintahan
daerah selalu
mengandung arti sebagai Kepala Daerah otonom, yakni penjabaran
asas desentralisasi, yang berlaku pada tingkat kabupaten dan kota,
yang pada masa Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelum
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 lebih dikenal sebagai daerah
tingkat II. Pengaturan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 telah
mengubah pengaturan Daerah Kabupaten/Kota hanya menjadi daerah
otonom belaka, sedangkan provinsi berkedudukan sebagai wilayah
administrasi dan daerah otonom terbatas.29 Landasan normatif
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terus berubah dalam
beberapa kurun waktu tertentu, akibat pengaruh perubahan politik
pemerintahan, telah memberi warna tersendiri dalam pola kegiatan,
pola kekuasaan, dan pola perilaku kepemimpinan kepala daerah. Sejak
terbitnya undang-undang nomor 1 tahun 1945 sampai dengan
undangundang nomor 12 tahun 2008, sebagai ketentuan normatif yang
mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah
mengatur kedudukan, tugas, fungsi, kewajiban, dan persyaratan
kepala daerah.
29
J kaloh, kepemimpinan kepala daerah, sinar grafika, jakarta,
2009, hlm.2
BAB IV PEMBAHASAN
A.
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DARI SEGI DEMOKRASI DAN
KONSTITUSI Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi
yang
berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan
wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran
yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta. Pemerintahan
Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun
1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17
Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang
ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal
dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah
integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit
dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada
hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam
itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara,
walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya
pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang. Dengan
memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch
Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus
Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan
Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII
mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30
Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada
Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua
penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit
bersama dan memulai persatuan dua kerajaan. Semenjak saat itu
dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki
melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta
sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan
mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama
Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan
pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi
sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama
tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan
Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta
Nomor 18 Tahun 1946). Pemerintahan monarki persatuan tetap
berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang
pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah
Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral
Negara Indonesia. "(1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan
Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah
Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi."(Pasal 1
UU No 3 Tahun 1950) Pada awal pembentukannya, Daerah Istimewa
Yogyakarta menganut sistem pemerintahan seperti yang dipraktekkan
oleh Brunei, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai gubernur,
Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai wakil gubernur, yang menjalankan
pemerintahan sehari-hari secara langsung, sekaligus sebagai kepala
monarki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman. Dalam prakteknya, dikarenakan seringnya Sultan ditunjuk
sebagai menteri oleh pemerintah pusat, pemerintahan sehari-hari
dijalankan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII. Daerah Istimewa
Yogyakarta juga menganut prinsip trias politika, yaitu distribusi
kekuasaan antara legislatif - yang direpresentasikan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta,
eksekutif oleh Sultan, Paku Alam dan para kepala dinas, dan
yudikatif oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan dasar
hukum UUD 1945, UU 3/1950 dan -yang sekarang sedang dibahas oleh
DPR RI- RUU Keistimewaan DIY, menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta
menjadi 'istimewa', di mana demokrasi dapat berjalan beriringan
dengan kekuatan kultural - terutama karena kharisma dwitunggal Sri
Sultan - Sri Paduka Paku Alam yang masih sangat tinggi di
masyarakat. Sejalan dengan perubahan undang-undang, ditambah
dengan
reformasi, maka terjadi masalah pada pengisian jabatan gubernur,
karena sejak 1965, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan provinsi
sebagaimana
provinsi-provinsi lain di Indonesia, sehingga mengikuti seluruh
UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan oleh DPR sama seperti
daerah yang lain. UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7
pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut
hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam
kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang
sifatnya adalah peralihan. UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah
revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan
bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status Yogyakarta pada saat
pembentukan adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Baru pada
1965 Yogyakarta dijadikan Provinsi seperti provinsi lain di
Indonesia. Substansi keistimewaan, Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah : Pertama, istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan
Pemerintahan DIY terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik
Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 & Penjelasannya yang
menjamin hak asal-usul suatu daerah sebagai daerah swa-praja
(zelfbestuurende landschaappen). Kedua,
istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan DIY sebagai daerah
setingkat propinsi yang terdiri dari penggabungan wilayah state
Kasultanan Nagari Ngayogyakarta dengan Praja Kadipaten Pakualaman
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UU No. 3/1950.
Ketiga, istimewa
dalam hal Kepala Pemerintahan DIY yang dijabat oleh Sultan &
Adipati yang bertahta sesuai Piagam Kedudukan, 19 Agustus 1945,
Maklumat HB IX & Paku Alam VIII tanggal 5 september 1945 maupun
tanggal 30 Oktober 1945. Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana diatur oleh UU No.3, tahun 1950 sebagai lex spesialis
tidak pernah diatur secara jelas rinci dalam UU No. 5, tahun 1974;
UU No.22, tahun 1999; UU No.32, ahun 2004 sebagai lex generalis
sehingga menimbulkan implikasi yuridis setiap ada perubahan undang
- undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah maupun kepala
daerahnya. Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi
kabupaten-
kabupaten dan kota yang berotonomi dan diatur dengan UU Nomor 15
Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 44) dan UU Nomor 16
Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 45). Kedua undang-undang
tersebut diberlakukan dengan PP Nomor 32 Tahun 1950 ( Berita Negara
Tahun 1950 Nomor 59) yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta
menjadi kabupaten-kabupaten. B. PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DIY DAN
DAERAH LAIN Pergeseran paradigma gubernur kepala daerah (mazhab
continental) sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat
(dekonsentrasi) menjadi gubernur (mazhab anglo saxon) sebagai
pelaksana pemerintah daerah yang otonom (desentralisasi) pada level
propinsi sering menjadi rancu dengan bupati/walikota yang sama sama
dipilih secara demokratis dan punya hak otonom pada level
kabupaten/kota, oleh karena itu Daerah Istimewa
Yogyakarta sesuai kontrak politik HB IX-PA VIII dengan Presiden
RI (UU No 3/1950) masih konsisten terhadap amanat founding father
bahwa Sultan sebagai Gubernur Kepala Daerah (Penguasa Daerah)
ditetapkan Presiden dan memiliki hubungan secara langsung dengan
pemerintah pusat sesuai asas dekonsentrasi, artinya Sultan dan
Adipati yang bertahta adalah kepala daerah atas wilayah
kekuasaannya (daerah swapraja) sekaligus wakil pemerintah pusat
dalam menjalankan pemerintahannya. Melihat UUD 1945 Pasal 18 ayat 4
yang berbunyi Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih
secara demokratis. Melihat yang terjadi di Indonesia dalam
pemilihan gubernur, maka gubernur dipilih secara langsung.
Akibatnya, banyak yang beranggapan yang dimaksud dengan demokratis
adalah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme
pemilihan kepala daerah. Dalam Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ini
berarti berarti daerah yang memiliki keistimewaan dapat mengatur
mengenai mekanisme jabatan kepala daerah sendiri. Mencermati kedua
Pasal tersebut seakan-akan terjadi perbedaan atau pertentangan.
Menurut M.Fajrul Falakh pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dalam bahasa
hukum bersifat Lex Specialis (khusus), sedangkan Pasal 18 ayat (4)
bersifat Lex Generalis (umum), sedangkan menurut Sri Soemantri
tidak boleh ada yang bersifat khusus atau umum (lebih tinggi atau
lebih rendah) dalam
sebuah Undang-Undang Dasar (grondwet), karena didalam
Undang-Undang Dasar derajatnya sama sebagai kehendak seluruh
rakyat. Penulis berpendapat yang bersifat khusus adalah
Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang keistimewaan DIY, yang
seharusnya ditindaklanjuti dalam Undang-Undang yang berikutnya,
sedangkan UndangUndang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang 32
tahun 2004 bersifat umum, dan tentunya DIY tidak masuk dalam
Undang-Undang ini jika sudah ada Undang-Undang yang mengatur
tersendiri tentang keistimewaan DIY. Kembali kepada pengisian
jabatan gubernur DIY, mensikapi dinamika yang ada dalam draft RUUK
DIY dan yang terjadi pada masyarakat Yogya, maka penulis mempunyai
pendapat harus ada pemilihan dalam penetapan dan penetapan di dalam
pemilihan, hal ini dapat diimplementasikan dengan cara sebagai
berikut: 1. Presiden tinggal menunjuk dan memilih gubernur,
yang
sebelumnya sudah melalui pemilihan internal kraton (tentunya
sudah melalui aturan internal kraton), yang tentunya dalam hal ini
peluang paling besar ada pada Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri
Paduka Pakualam; 2. Jika Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka
Pakualam tidak bersedia, usianya terlalu muda atau terlalu tua,
atau terkena kasus pidana (kasus hukum) internal kraton menunjuk
siapa yang dipilih (sekali lagi tentunya kraton sudah punya
mekanisme tersendiri) dan Presiden tinggal melantik. Hal ini sesuai
dengan Undang-
Undang nomor 22 tahun 1999 Pasal 122 dan Undang-Undang nomor 32
tahun 2004 Pasal 226; 3. Apabila terjadi sengketa (kraton kembar
seperti kasus Surakarta), atau internal kraton tidak bisa
memutusakan siapa yang dipilih (dengan mekanisme internal kraton),
maka Presiden langsung menunjuk siapa yang menjadi gubernur,
tentunya dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Penulis sengaja tidak berpendapat bahwa Gubernur DIY atau
gubernur daerah lain untuk dipilih tetapi dengan penunjukkan,
dengan alasan: 1. Gubernur hanyalah kepanjangan tangan dari
pemerintah pusat, yang salah satu tugasnya melakukan pengawasan dan
mengkoordinir kabupaten/kota diwilayahnya. Tetapi pada kenyataannya
hal tersebut sulit sekali dilaksanakan. Dengan alasan otonomi
daerah, banyak kabupaten/kota yang tidak mengindahkan gubernur
(provinsi) tetapi malah lebih loyal terhadap presiden atau menteri
dalam negeri bahkan pada beberapa kasus bupati/walikota lebih loyal
pada partai politik yang mendukungnya (Lihat bagaimana sulitnya
seorang gubernur jawa Tengah Bibit Waluyo, untuk mengumpulkan
Bupati/Walikota Se-jawa Tengah). 2. Anggaran yang dikeluarkan untuk
pemilihan gubernur sangat besar sekali, apalagi jika sampai terjadi
lebih dari satu putaran
(lihat pemilihan gubernur Jawa Timur yang dimenangkan Pasangan
Sukarwo dan Saefullah Yusuf), tetapi tidak sebanding dengan
tugas-tugas yang diemban. Hal ini diesbabkan karena otonomi daerah
yang berlaku di Indonesia lebih menekankan pada Kabupaten/Kota
bukan Provinsi. 3. Masyarakat (untuk saat ini) yang benar-benar
belum siap dalam memilih calon-calon yang ada, sehingga terkesan
asalasalan. Akhirnya calon yang berani membayar besar akan
terpilih, tetapi yang lebih kredibel dan profesional karena tidak
mempunyai anggaran akan tenggelam. Berdasarkan analisa yang penulis
kemukakan tadi, penulis lebih condong untuk jabatan gubernur
dilakukan dengan cara penunjukkan oleh Presiden, bukan dengan jalan
pemilihan.
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN 1. Salah satu simbol keistimewaan DIY adalah Sri
Sultan
Hamengkubuwono, Sri Paduka Pakualam yang selama ini menjabat
sebagai gubernur dan wakil gubernur, selain secara normatif
keistimewaan DIY lebih lekat jikat dilihat dari segi historis. 2.
Jabatan Gubernur DIY lebih arif jika dilakukan dengan cara ada
pemilihan dalam penetapan, dan ada penetapan dalam pemilihan,
sedangkan untuk jabatan Gubernur selain DIY lebih tepat jika
dilakukan dengan cara Penunjukkan oleh Pemerintah Pusat, dalam
rangka melihat anggaran dan juga peran gubernur yang merupakan
kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, yang salah satu tugasnya
melakukan pengawasan dan mengkoordinir kabupaten/kota
diwilayahnya.yang kurang maskimal dalam masyarakat.
B.
SARAN Undang-undang Keistimewaan DIY sebagai kelanjutan dari
undang-undang nomor 3 tahun 1950, segera direalisasikan
(ditetapkan), agar masyarakat khususnya DIY tidak resah, dan
masalah Keistimewaan DIY menjadi polemik yang berkepanjangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhi Darmawan, Jogja Bergolak diskursus Keistimewaan DIY dalam
ruang Publik, Kepel Press, Yogyakarta, 2010 Jimmly Asshiddiqie,
Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006 J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009 Moh.Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi
Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2010 Nimatul Huda, UUD 1945 Dan
Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta, 2008 Suryo Sakti
Hadiwijoyo, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Pinus Book
Publisher, Yogyakarta
Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar
1945 Hasil Amandemen Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 Tentang
Komite Nasional Daerah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950 Tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Undang-Undang nomor 5 tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang nomor 22
tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang nomor 32 tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Hafidh
asrom,
dalam
opini
publik
harian
kedaulatan
rakyat
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sip=233042&actmenu=39