109 GLOBAL CITY SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA DI ERA GLOBALISASI : TINJAUAN ANALISIS TEORI Wasisto Raharjo Jati* Abstract This article aims to analyze the concept of global city as alternative paradigm in the city devel- opment in the era of globalization. This concept accommodate economic investment from abroad to build its industrial base in the city of a country. Cities are no longer oriented as the center of the national economy, but also the actors who compete with other cities in the world to make a profit. City then experience specialized function that only focus on the development of only one sector of the economy to maximize its comparative advantage. Interedepedence between cities in the world is the way a city to have an exchange of economic resources with other cities. Keywords: Global City, Urban Studies, Interdepedence, Globalization Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisa konsep global city sebagai paradigma alternatif dalam pembangunan kota di era globalisasi. Konsep ini mencakup investasi ekonomi asing untuk mendirikan basis industrinya dalam kota di suatu negara. Kota tidak lagi berorientasi sebagai pusat ekonomi nasional, tetapi juga sebagai aktor yang bersaing dengan kota-kota lain di dunia untuk mendapatkan keuntungan. Kota kemudian mengalami spesialisasi fungsi yang hanya berfokus pada pembangunan satu sektor ekonomi untuk memaksimalkan keunggulan komparatifnya. Interdependensi antar kota di dunia menjadi suatu cara bagi sebuah kota untuk saling bertukar sumber-sumber ekonomi dengan kota lain. Kata kunci: kota global, studi perkotaan, interdependensi, globalisasi. VOLUME 03 No. 2 Agustus 2013 Halaman 109-121 MULTIVERSA _________________ *Peneliti di Center for Politic and Media Research Yogyakarta
13
Embed
Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
109
GLOBAL CITY SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
EKONOMI KOTA DI ERA GLOBALISASI : TINJAUAN
ANALISIS TEORI
Wasisto Raharjo Jati*
Abstract
This article aims to analyze the concept of global city as alternative paradigm in the city devel-
opment in the era of globalization. This concept accommodate economic investment from abroad
to build its industrial base in the city of a country. Cities are no longer oriented as the center of
the national economy, but also the actors who compete with other cities in the world to make a
profit. City then experience specialized function that only focus on the development of only one
sector of the economy to maximize its comparative advantage. Interedepedence between cities
in the world is the way a city to have an exchange of economic resources with other cities.
Keywords: Global City, Urban Studies, Interdepedence, Globalization
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisa konsep global city sebagai paradigma alternatif dalam
pembangunan kota di era globalisasi. Konsep ini mencakup investasi ekonomi asing untuk
mendirikan basis industrinya dalam kota di suatu negara. Kota tidak lagi berorientasi sebagai
pusat ekonomi nasional, tetapi juga sebagai aktor yang bersaing dengan kota-kota lain di dunia
untuk mendapatkan keuntungan. Kota kemudian mengalami spesialisasi fungsi yang hanya
berfokus pada pembangunan satu sektor ekonomi untuk memaksimalkan keunggulan
komparatifnya. Interdependensi antar kota di dunia menjadi suatu cara bagi sebuah kota untuk
saling bertukar sumber-sumber ekonomi dengan kota lain.
Kata kunci: kota global, studi perkotaan, interdependensi, globalisasi.
VOLUME 03 No. 2 Agustus 2013 Halaman 109-121
MULTIVERSA
_________________
*Peneliti di Center for Politic and Media Research Yogyakarta
Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121
110
Pendahuluan
Premis utama dalam membahas
relasi antara globalisasi dan
pengembangan kota adalah tentang
interdependensi. Globalisasi yang ditandai
dengan adanya keterbukaan pasar,
teknologi informasi, maupun modal
membawa implikasi semakin
terintegrasinya ke dalam sistem global.
Adapun sistem tersebut tidaklah statis dan
tersentralkan dalam satu sentrum saja,
namun terhubung antar satu sama
lainnya. Globalisasi sejatinya adalah
arena besar yang mendesain konektivitas
itu berlangsung dalam berbagai arah,
Dalam bahasa Castells konektivitas
tersebut merupakan pergeseran dari space
of places telah berubah menjadi space of
flows. (Castell, 2000: 6) Aliran modal dan
informasi itu berjalan secara dinamis
menembus batas ruang waktu serta
terjadi dalam kapanpun dan di manapun.
Oleh karena itulah, sangatlah sulit sekali
bagi individu pada zaman sekarang untuk
menolak globalisasi karena secara sadar
dan tidak sadar, kita sendiri sudah berada
dalam globalisasi.
Interdependensi antar sentrum
ekonomi dalam arena globalisasi memberi
pengaruh besar terhadap rekonfigurasi
mengenai eksistensi kota-kota di dunia
yang selama ini menjadi pusat ekonomi
di negaranya. Kota yang sejatinya
berfungsi sebagai akumulator dan
redistributor kue ekonomi yang berputar
dalam skope perekonomian nasional kini
harus berhadapan dengan kota lainnya
di berbagai penjuru dunia untuk saling
berkontestasi memperoleh kue ekonomi
secara masif untuk perkembangan
ekonomi kotanya. (Sassen, 1991: 10)
Implikasi yang timbul kemudian adalah
kota kini tidaklah lagi berorientasi dalam
ranah lokal maupun nasional saja, namun
juga diharuskan untuk berorientasi
kepada global. Adapun istilah “kota glo-
bal” (global city) yang diangkat sebagai
tema utama dalam penulisan makalah ini
merupakan sebentuk paradigma baru
pengembangan kota dalam arena
globalisasi. (Abrahamson, 2004: 12)
Pemahaman tersebut memiliki perbedaan
dengan istilah kota dunia (world city)
yang terlebih dahulu eksis di kalangan
sarjana studi politik perkotaan (urban
politik). (Sassen, 2005: 21-43)
Perbedaannya adalah kota dunia sendiri
lebih mengarah perputaran kapital dan
informasi hanya berpusat pada kota-kota
di kawasan Utara (global north) seperti
halnya London, Amsterdam, New York,
maupun Paris, sehingga karakter
pengembangan kotanya lebih mengarah
kepada perluasan ruang makro ekonomi
untuk melancarkan kegiatan transaksi
pasar bebas. Kota global (global city)
memberikan ruang deliberasi ekonomi
bahwa kue perekonomian sendiri tidak
hanya berlangsung dalam satu kawasan,
namun terinklusifkan antar sesama
kawasan di dunia. Artinya, tidak ada
relasi subordinasi antara kota dunia
pertama dengan kota dunia ketiga,
karena interdepensi yang ditawarkan
dalam pengembangan kota sebagaimana
yang ditawarkan dalam global city.
Maka tulisan akan mengulas lebih
lanjut mengenai paradigma global city
sendiri dalam analisis teori mengingat
kajian ini merupakan baru dalam studi
politik perkotaan. Adapun tulisan dalam
makalah ini akan dibagi dalam berbagai
subbab pembahasan 1) membahas
mengenai terbentuknya global city 2)
menjelaskan mengenai fase
perkembangan dan transformasi kota
lokal maupun kota nasional menjadi kota
global 3) Kota Global: Dari Industri ke
Post Industri.
Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan
111
Terbentuknya Global City
Terdapat berbagai alasan mengapa
kota diharuskan mengalami transformasi
menjadi kota global pada era sekarang
ini. Diantaranya, peniadaan batas-batas
geografis telah membuat kondisi
perekonomian global sendiri berkembang
sangat kompleks di mana semua kawasan
sub-nasional sendiri ikut berpartisipasi
dalam arena global tersebut. Hal itulah
yang kemudian mendorong adanya
spesialisasi antar kota global di dunia yang
saling terkoordinasi dan termanajerialkan
dalam satu arena. (Duffy, 1995: 34)
Spesialisasi ekonomi yang berkembang
antar kawasan tersebut terbagi dua yakni
ekonomi formal dan ekonomi informal.
Dalam ranah ekonomi formal, kini
ditandai dengan pertumbuhan kelas
menengah ekonomi yang berbasiskan
pada tenaga professional maupun
pembangunan infrastruktur yang pesat.
Hal inilah yang kemudian pertumbuhan
suatu kota pun berkembang menjadi
kawasan kosmopolitan. Setidaknya inilah
yang bisa kita potret dari fenomena kota
kembar (twin city) maupun kota
bersaudara (sister city) yang marak
terjadi dalam diplomasi antar kota besar
dunia mutakhir. Spesialisasi yang
diwujudkan dalam kota kembar maupun
kota saudara sebenarnya adalah upaya
mengidentifikasi similaritas sumber
pendapatan ekonomi sama yang digali
dari karakteristik sosio ekonomi maupun
sosio kultural dari masing-masing kota.
Selain itu, spesialisasi juga bentuk dari
new international division of labor yakni
adanya transfer/perpindahan (relocation)
secara off-shore dan perluasan industri
dari kawasan kota industri yang terletak
di kawasan negara maju menuju kepada
kota di negara berkembang yang tengah
membangun industrialisasinya. Hal
tersebut dapat diindikasi dari pertukaran
sumber daya antar kedua dalam rangka
memperkuat perekonomian formal seperti
halnya pertukaran SDM profesional,
promosi investasi ekonomi, maupun
hubungan mutualisme lainnya. Dimensi
ekonomi informal kini ditandai dengan
pesatnya intensitas pekerja migran yang
berlangsung antar dua kota yang berbeda
negara. Pekerja migran itu berasal dari
kawasan perkotaan yang telah
mengalami overload pembangunan
ekonomi sehingga tidak mampu lagi
menampung lonjakan pekerja urban
yang berasal dari desa. Hal inilah yang
kemudian terjadinya trans-urbanisasi
(trans-urbanization) yakni perpindahan
dari desa ke kota besar di berbagai
penjuru dunia untuk memperoleh
penghasilan ekonomi yang lebih baik.
Maka pada akhirnya, globalisasi
kemudian mengakibatkan adanya
restrukturisasi kota dan wilayah di dunia.
Kota semakin terintegrasi pada suatu
jaringan (networks) antara satu dengan
lainnya terkait erat. Namun demikian
tidak semua kota maupun wilayah dunia
sendiri kemudian masuk ke dalam
jejaring tersebut karena diharuskan
memiliki keunggulan komparatif (com-
parative competitiveness) yang dapat
masuk. Sementara itu, persaingan antar
kota dan wilayah untuk menarik kue
ekonomi intensitasnya sangat fluktuatif
sesuai kinerjanya karena mengikuti
dinamika aliran modal dan informasi
tersebut. Proses ini, pada gilirannya,
berdampak pada restrukturisasi tata
ruang kota dan wilayah. Restrukturisasi
tersebut nampak dari perubahan CBD
(Central Bussiness District) yang semula
menjadi pusat dari segala aktivitas
ekonomi kini mengalami bentuk
spesialisasi CBD yang secara khusus
menangani bidang tertentu saja. Hal ini
nampak bagaimana CBD di dunia sendiri
kini memfokuskan pada bidang ekonomi
tertentu saja misalnya saja New York
Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121
112
berfokus pada pusat keuangan dunia,
Shanghai menjadi pusat bisnis utama di
Asia Timur, Singapura berfokus pada
layanan redistribusi (hub port) dan tran-
sit, London pusat bursa dunia, dan Paris
sebagai pusat bisnis ekonomi kreatif. Hal
ini ditujukan untuk membangun
keunggulan komparatif kotanya masing-
masing. Dua hal yang penting dalam
mengkorelasikan globalisasi dan kota glo-
bal adalah masalah mobilitas global (glo-
bal mobility) dan keadaan yang tetap
(global fixity). (McCann, 2004: 2315–
2333) Kedua hal tersebut berpengaruh
kepada iklim investasi yang masuk ke
dalam perekonomian global tersebut.
Adapun kota yang berkembang menjadi
sebuah kota global, dua hal tersebut
bersifat wajib dan signifikan dalam
rangka mengembangkan perekonomian
kotanya. Secara khusus, mobilitas global
(global mobility) dalam sebuah kota glo-
bal adalah sarana transportasi yang
menunjang seperti ketersediaan sistem
MRT (mass rapid transit) yang mampu
mengangkut banyak orang sekali jalan
sehingga memudahkan untuk berpindah
dari satu tempat ket tempat lainnya dan
keadaan yang tetap (global fixity) adalah
keadaan stabilitas ekonomi dan politik
yang stabil tanpa adanya gangguan yang
sekiranya dapat menganggu kegiatan
perekonomian. Aspek sekuritas tersebut
merupakan penjamin bahwa berinvestasi
di kota global adalah pilihan bijak karena
ketersediaan jaringan dan aliran modal
yang begitu cepat dan dinamis.
Hal inilah kemudian banyak kota
besar di dunia kini ramai-ramai membuat
tagline kampanye untuk mencitrakan
dirinya sebagai kota global seperti halnya
Malaysia dengan Truly Asia , Singapore
dengan Yours Singapore, hingga kota-
kota Indonesia juga memiliki inidkasi
serupa seperti Yogyakarta dengan Never
Ending Asia maupun Solo dengan Spirit
of Java. Memang kalau ditinjau lebih
lanjut, konsep itu merupakan bagian dari
kampanye turisme untuk menggaet para
wisatawan dari lokal, nasional, bahkan
global. Akan tetapi ditinjau dari sudut
pandang politik perkotaan, hal itu
merupakan sebentuk pencitraan diri kota
yang semula berbasiskan pada ekonomi
lokal mulai beralih kepada ekonomi glo-
bal dengan mengedepankan karakter
identitas lokalnya. Hal inilah yang
kemudian terjadi proses glokalisasi dalam
pengembangan kota di kawasan lokal
kedaerahan menjadi kota global, namun
tanpa meninggalkan karakter
budayanya.
Transformasi Kota Menjadi Kota
Global
Pengembangan kota untuk menjadi
sebuah kota global mengalami berbagai
fase yang tidak serupa. Hal ini
dikarenakan terdapat berbagai
karakteristik sosio ekonomi maupun sosio
kultural yang berbeda antar kota di
dunia. Setidaknya sekitar tahun 1970-an,
terdapat berbagai analisa kritis studi
perkotaan yang menempatkan kota dan
dua karakteristik tersebut sebagai
masalah urban dalam sirkulasi aliran
modal, aliran pengetahuan, dan aliran
informasi. Dimensi riilnya bisa disimak
dari adanya upaya mempertautkan
gagasan globalisasi dan urbanisasi dalam
sebuah kota. Urbanisasi yang merupakan
istilah untuk mendeskripsikan adanya
perpindahan dari desa ke kota sebagai
sentrum ekonomi nasional dan globalisasi
yang diartikan sebagai arena akumulasi
ekonomi internasional memang ditinjau
dari etimologis tidak koheren di mana
yang satu berorientasi nasional
sedangkan yang satunya lagi berorientasi
kepada global. Dua hal tersebut bisa
dipertemukan dengan melihat studi yang
Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan
113
dilakukan oleh Shahid Yusuf di Shang-
hai maupun McCann di Lexington. Yusuf
dalam kasus Shanghai, semenjak Cina
memberlakukan sistem gaige kaifang
(ekonomi terbuka) menempatkan kota-
kota di Pantai Timur sebagai pintu utama
datangnya investasi asing. Hasilnya
kemudian adalah terjadi perubahan
fungsi kota-kota di Cina khususnya dalam
menyambut era keterbukaan tersebut.
Perubahan fungsi tersebut terlihat
adanya spesialisasi kota-kota di Cina di
mana terdapat kota industri, kota
pertanian, kota perdagangan, maupun
kota perakitan. Shanghai sendiri
ditempatkan sebagai hub city dari kota-
kota tersebut di mana Shanghai berperan
sebagai manajer dan sekaligus hilir dari
produksi komoditas kota-kota tersebut
untuk kemudian dijual ke pasaran global.
(Yusuf, 2002: 1213–1240) Sedangkan
dalam kasus Lexington, kota tersebut
mengalami bentuk transformasi dari
semula levelnya municipality (kota
madya) berkembang menjadi city (kota
besar). Adalah IBM selaku perusahaan
multi nasional yang bertempat di kota
tersebut turut mempengaruhi perubahan
tersebut di mana kota yang semula dari
hanya diisi oleh kalangan warga lokal
kini turut juga dipenuhi kalangan
ekspatriat. (McCann, 2004: 2320) Hal
yang bisa kita tangkap dari contoh studi
kasus di Shanghai dan Lexington tersebut
adalah munculnya inter-city networking.
Istilah tersebut menggambarkan
adanya ketergantungan antara kota besar
dengan kota kecil lainnya yang
tujuannya untuk mendukung fungsi
ekonomi kota besar. (Scott, 2008: 56)
Urbanisasi yang biasanya
terkonsentrasikan di kota besar secara
perlahan mulai bergeser ke arah kota kecil
tersebut. Kota kecil atau yang biasa
disebut kota satelit memang sangatlah
urgen dan signifikan dalam
pengembangan kota di era globalisasi
sekarang ini. Keberadaanya sebagai
penyuplai (hinterlands) ekonomi bagi
kota besar baik itu sebagai penyuplai
tenaga kerja maupun industrialisasi,
penting mereduksi beban ekonomi yang
harus ditanggung oleh kota besar. Oleh
karena itulah, tidaklah mengherankan
apabila kini di kota-kota besar dunia
sendiri lazim dikenal sebagai kawasan
megapolitan maupun mega urban.
Megapolitan tersebut pada dasarnya
merupakan bentuk aglomerasi spasial
maupun ekonomi yang dilakukan oleh
kota besar dengan menarik beberapa
kota-kota kecil di sekitarnya agar menjadi
penyangga kota besar tersebut. Apalagi
kalau kota besar tersebut sudah
berkembang menjadi kota global,
tentunya itu akan menambah daya pikat
bagi kota kecil untuk bergabung dalam
kawasan megapolitan kota besar tersebut.
Setidaknya megapolitan dalam kota glo-
bal bisa menarik 2 hingga 5 kota kecil
untuk menjadi penyangganya sebut saja
Megapolitan Tokyo yang menarik
Kawasaki, Roppongi, dan Yokohama
sebagai kawasan penyangga, Hongkong
dengan Guangzhou, dan Shenzen.
Menurut rilis laporan berjudul Glo-
bal City Competitiveness Index
disampaikan oleh Economist Intelligence
Unit pada tahun 2012, tercatat terdapat
tiga kota besar Indonesia yang dianggap
sebagai kota global dunia dengan
indikator seperti halnya mampu
mendemonstrasikan kemampuan mereka
untuk menarik modal asing, bisnis,
maupun wisatawan. Adapun kota-kota
besar tersebut adalah Jakarta di
peringkat 81, Surabaya di peringkat 110,
dan Bandung di peringkat 114. Jakarta
terpilih menjadi kota global yang
kompetitif karena kekuatan bisnis dan
ekonomi kuat dengan megapolitan
Jabodetabek, Surabaya juga kompetitif
Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121
114
dalam bidang ekonomi karena
mempunyai megapolitan
Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan
Lamongan), sementara Bandung dipilih
karena turisme dan kekuatan ekonomi
kreatifnya sebagai sumber penggerak
ekonomi kota. Untuk menjadi sebuah kota
global harus melalui berbagai tahapan
yang bentuknya mengikuti pola
berjenjang (stagist). Umumnya pola
berjenjang tersebut mengikuti pola
prismatik atau mengikuti pola piramida
di mana posisi kota global sendiri berada
di puncak. Adapun penjelasannya
disampaikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1 : Fase Perkembangan Kota Global (Global City)
Sumber : Ruble (1996).
Fase Perkembangan
(paths)
Karakteristik Contoh Kota
Global City Perekonomian kota sudah tidak
lagi berorientasi kepada ekonomi
nasional, namun berorientasi
kepada ekonomi dunia.
Kota sudah bisa memerankan
dirinya sebagai sentrum
kebijakan ekonomi dunia
Lingkaran kota-kota di
Atlantik Utara seperti New
York, London, Tokyo, Paris,
dan Singapura
Post Industrial City Pola industrialisasi telah
terbangun sejak lama
Penyesuaian terhadap
masyarakat post industri
Persaingan sosial yang keras
Kota-kota di kawasan
Mediterania seperti
Marseille, Madrid, maupun
Barcelona
Kota-kota yang terletak di
kawasan Eropa Tengah
seperti Amsterdam, Berlin,
Frankfurt.
New Age Boomtown Kapitalisasi terhadap
industrialisasi baru seperti
ekonomi kreatif dan teknologi
informasi
Sektor jasa keuangan menjadi
mesin utama penggerak ekonomi
Lingkaran kota-kota di
Pasifik seperti Sydney,
Singapura, dan Hong Kong.
Amerika Utara seperti
Vancouver dan Seattle
Amerika Latin seperti Sao
Paulo, Buenos Aires, dan
Bogota
Kota-kota Eropa seperti
Brussels dan Montpellier
Post-Socialist
Society
Pola ekonomi yang masih
mengalami transisi dari sosialis
menuju kapitalis
Industrialisasi yang belum
mengarah kepada komersial,
namun lebih cenderung kepada
komunalisme
Kota-kota yang terletak di
kawasan Eropa Timur dan
kawasan Eurasia,
Kaukasus, maupun bekas
negara komunis.
Partially Marketized
City
Perekonomian kota didominasi
ekonomi agraris dan ekonomi
semi industri
Kuatnya pengaruh negara dalam
bidang perekonomian
Kota-kota Amerika Latin
Marginalized city
Ekonomi kota masih bersifat
subsisten dalam artian belum
menyentuh kepada
komersialisasi industri
Produk ekonomi kota dominan
dikuasai oleh produk agraris dan
ekstratif
Kota-kota yang berada di
kawasan Afrika seperti
halnya Nairobi,
Johannesburg, dan lain
sebagainya
Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan
115
Dari berbagai tahapan tersebut,
terdapat perkembangan linearitas yang
dicapai sebuah kota untuk berkembang
menjadi sebuah kota global. Mulai dari
level sederhana yakni munculnya
marginalized city hingga yang paling
tinggi adalah global city. Adapun
pengertian marginalized city sendiri bisa
beragam, yang pertama adalah
marginalized city bisa berarti kota
tersebut mengalami marjinalisasi ekonomi
dan kalah saing dengan kota-kota besar
dunia. Jika yang menjadi dasar adalah
kota-kota di Afrika, sepertinya tesis
tersebut memang dirasa relevan. Namun
bisa saja, konteks marginalized city
diartikan sebagai bentuk masuknya kota-
kota satelit menuju kota utama sehingga
istilah marginalized sendiri kemudian
ditambahkan. Pengertian kedua tersebut
merupakan bentuk modifikasi konsep
Lewis Munfred mengenai sirkulasi kota
(city circulation) di mana terdapat
pembagian fungsi kota dari semula yakni
CBD (Central Bussiness District) hingga
kepada kawasan suburban fringes. Dalam
hal ini, kita tempatkan posisi marginalized
city sendiri ke dalam posisi suburban
fringe tersebut yang sedang berkembang
menjadi CBD dalam skala ekonomi glo-
bal.
Adapun dalam memaknai kota glo-
bal sebagai fase puncak dari
perkembangan kota di era globalisasi
sendiri juga memiliki berbagai macam
lokus pemaknaan dalam mendefinsiikan
pengembangan ekonomi global yang
diemban kota tersebut. Friedmann (1986)
sendiri lebih menyebutnya sebagai kota
dunia (world city) sebagai tesis utama
dalam menghubungkan antara
urbanisasi sebagai wujud transfer
ekonomi dari desa ke kota dengan
fenomena internasional division of labour
dalam globalisasi di mana dari situ
kemudian terjadi proses tarik-menarik
yang kait mengkait antar keduanya.
(Friedmann, 1986: 69-84) Berbeda
halnya dengan dengan Friedmaan yang
mengkorelasikan antara urbanisasi dan
globalisasi dalam model kota dunia,
pemikiran Castells (2000) sendiri lebih
mengarah kepada global city sebagai
mega cities di mana kota global berperan
sebagai sentral yang mampu
menghimpun kawasan kota, (Castell,
2000: 86) hinterlands, maupun kawasan
pinggiran lainnya menjadi bagian dari
kota besar tersebut. Gagasan Castells
sendiri yang mengarah kepada pada kota
global sebagai penghimpun dari segala
unit ekonomi di sekitarnya agar menjadi
bagian dari dirinya lazim dikenal sebagai
bentuk sprawlisasi. Istilah sprawlisasi
sebagai bentuk penghimpunan atau
aglomerasi kota berfusi dengan kota
sekitarnya untuk mengembangkan daya
saing kekuatan ekonomi memiliki dua
dampak positif dan negatif. (Yunus, 2009:
35) Dalam artian positif sendiri,
sprawlisasi menjadi penting untuk
meningkatkan daya saing kawasan
pinggiran untuk mampu menghasilkan
produk komoditas yang mampu bersaing
di tataran global. Konsep positifnya
adalah bisa kita simak dari konsep desa
vokasi maupun one village one product
yang mengharuskan adanya spesialisasi
desa untuk menghasilkan produk
unggulan yang dapat dijual di level
nasional maupun level internasional. Hal
itulah yang menjadi dasar kesuksesan
dari pembangunan ekonomi Korea
Selatan semasa Park Chung-Hee dengan
menyuruh semua desa di Korea Selatan
untuk melakukan spesialisasi produknya.
Hasilnya bisa kita simak dari
berkembangnya desa menjadi kota seperti
Daegu, Busan, Seoul, maupun Incheon
yang menurut survey dari Global Com-
petitiveness Index 2012 di mana Seoul dan
Pusan masuk ke dalam 50 besar kota glo-
Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121
116
bal yang berkompetitif.
Adapun bentuk negatif dari sprawl-
isasi tersebut adalah munculnya gejala
“gegar budaya” (cultural shock) yang
dialami penduduk desa karena efek
modernisasi dan globalisasi telah
menggerus budaya lokal. Efek lainnya
dari aglomerasi kota tersebut adalah
menurunnya daerah hijau karena semua
telah terkonversi menjadi kawasan hutan
beton. Kondisi tersebut tentu saja
membahayakan perekonomian kota glo-
bal di mana ancaman bencana yang
diakibatkan aglomerasi ekonomi kota
yang merajalela justru menjadi bumerang
tersendiri. Oleh karena itulah,
penempatan konsep global city menjadi
mega cities sebagaiamana yang
dimaksudkan oleh Castell sendiri perlu
disikapi berhati-hati, karena jika salah
memposisikan aglomerasi ekonomi dalam
global city malah justru akan menjadi
bencana.
Ada berbagai macam paradigma
dalam menjelaskan konsep global city.
Perlu ditegaskan pula bahwa penyebutan
paradigma tersebut bukan berarti bahwa
terdapat banyak definisi untuk
menjelaskan makna global city.
Paradigma tersebut hanya
menitikberatkan pada aspek tertentu dari
global city untuk kemudian
dispesifikasikan menjadi pemahaman
baru lainnya. Namun bisa juga,
paradigma tersebut digunakan untuk
menyederhanakan pengertian global city
yang masih sangat abstrak dan general
sehingga masyarakat awam pun bisa
mengerti mengenai apa yang
dimaksudkan/memudahkan pengertian
global city tersebut. Berikut ini
merupakan bagian dari paradigma dari
global city tersebut dalam tabulasi
penjelasan di bawah ini.
Tabel 2 : Fase Paradigma Kota Global (Global City)
Sumber : Lin Ye (2007).
Tabulasi tersebut merupakan
deskripsi analisis terhadap eksistensi kota
global yang umumnya dominan
menyebutkan bahwa kota global sendiri
merupakan sentrum dari perekonomian
dunia seperti dalam analisis world cities
maupun mega cities. Hal inilah yang
kemudian ingin dijelaskan dalam sub
pembahasan berikutnya mengenai
kompetisi ekonomi seperti apakah yang
dijalankan oleh kota global. Logika
kompetisi sekaligus pusat ekonomi dunia
secara tidak langsung merujuk pada
perkembangan kapitalisme dunia
sekarang ini. Fenomena tersebut turut
merubah tatanan kota yang semula
World Cities Mega Cities Global Cities Primate Cities
Integrasi ke
dalam sistem
ekonomi dunia
Sektor produksi
yang khusus
Konsentrasi dan
akumulasi capital
Polarisasi spasial
dan sosial
Tujuan dari
destinasi dan
migrasi pekerja
ekonomi formal
dan informal
Aglomerasi dari
ekonomi lokal,
nasional, dan
global
Konsentrasi
ekonomi pada
aspek produksi,
pola distribusi,
cara konsumsi
Kontrol media
dunia yang besar
Pusat komando
dari perekonomian
dunia
Pusatnya dari
para tenaga
professional untuk
mobilisasi
ekonomi dunia
Tempat utama
terjadinya proses
industrialisasi
dunia.
Pusat dari
kegiatan
perusahaan
multinasional yang
menggerakkan
jejaring
ekonominya ke
seluruh dunia
Pusat dari
kegiatan
perbankan dan
jasa keuangan
lainnya
Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan
117
sangat berorientasi kepada government
kini lebih mengarah pada bisnis
(bussinees). (Eade, 1997: 20) Kondisi
tersebut mengharuskan kota sebagai
entitas bisnis berbasis spasial bergerak
lebih dinamis dalam rangka meraih
investasi asing demi pengembangan
kotanya. Kendala utama dalam
mewujudkan keinginan tersebut berasal
dari hierarki regulasi yang mengikat. Hal
inilah yang kemudian kota sendiri tidak
bisa dinamis dalam menjalin kerjasama
dengan luar negeri. Apalagi dalam konsep
otonomi daerah di Indonesia, hak politik
luar negeri sendiri masih dipegang oleh
pemerintah pusat sehingga
pengembangan kota di era globalisasi
sendiri cenderung monoton.
Bila kita melihat kasus kota besar
di Indonesia entah itu Jakarta, Medan,
dan Surabaya sebenarnya jika dilihat
aspek sejarah pembangunan sekaligus
pengembangan kotanya sebenarnya
sudah didesain menjadi kota global
dengan tumbuhnya bandar-bandar
perdagangan internasional yang terletak
di pesisir pantai. Pengaruh kolonialisme
memang menjadikan kota Indonesia
menjadi kota global dengan tatanan
kotanya yang sudah didesain untuk
melayani pedagang internasional. Hanya
saja kemudian, ketika Indonesia sudah
merdeka, terjadi stagnasi dalam
mengembangkan desain kotanya.
Mayoritas pengembangan kota di Indo-
nesia era 1970-an yang ditandai dengan
modernisasi membuat kawasan pusat kota
secara besar-besaran juga mengalami
pergeseran fungsi, dari pusat industri
manufaktur menjadi pusat kegiatan
bisnis, keuangan dan jasa. Industri
manufaktur bergeser ke arah tepi kota.
Permukiman di pusat kota beralih fungsi
menjadi kawasan bisnis, supermall,
perkantoran dan sebagainya, sedangkan
permukiman begeser ke arah pinggir kota.
Stagnasi yang dimaksudkan adalah tidak
ada konsep yang jelas dalam menata
sebuah kota besar untuk bertransformasi
menjadi kota global. (Rutz, 1987: 60)
Seperti yang telah disinggung bahwa
kota global merupakan kota yang
terspesialisasi komoditas unggulannya
sehingga dapat bersaing dengan kota
besar lainnya, kota besar di Indonesia
seperti halnya monster city yang rakus
untuk menjalankan semua fungsi mulai
dari kota industri, kota permukiman, kota
hiburan, maupun kota birokrasi. Beban
yang ditanggung kota terhadap berbagai
fungsi tersebut membuat kota sendiri
tidak memfokuskan diri untuk
mengembangkan keunggulan
komparatifnya terhadap satu fungsi
tertentu saja.
Dalam survei yang dilakukan oleh
majalah Asiaweeks pada pertengahan
Juli 2011 silam menyebutkan bahwa
kota-kota besar di Indoensia pada
dasarnya tidak memiliki kemampuan yang
memadai untuk bersaing menjadi sebuah
kota global. Kondisi tersebut didasarkan
fakta bahwa kebobrokan sistem birokrasi
kota, kesemrawutan sistem transportasi
massal, dan lonjakan kaum urban yang
tidak terkendali. Kota Jakarta dalam
berbagai analisis ekonomi-politik
ditempatkan sebagai kota yang
berprospek ekonomi cerah di Asia dan
berperan sebagai kota menjanjikan pada
tahun 2025 sebenarnya tidak lebih dari
sekedar isapan jempol. Dari berbagai
analisis yang dilakukan oleh akademisi
yang konsentrasi terhadap studi
perkotaan menyebutkan bahwa kota Ja-
karta sendiri gagal dalam menjalankan
fungsinya sebagai kota global dilihat dari
aspek keamanan, kenyamanan,
sustainibilitas, maupun aksesbilitas.
Berkebalikan dengan analisis ekonomi
politik yang menempatkan sebagai kota
global, justru pegiat studi perkotaan
Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121
118
menyebutnya sebagai kota mati (death
city) pada 2025.
Interdependensi yang menjadi link-
age antara globalisasi dan studi perkotaan
dalam membahas kota global sebenarnya
sudah diterapkan Jakarta maupun
Surabaya sebagai representasi kota glo-
bal dari Indonesia menurut Global City
Competitiveness Index. Hanya saja
interdependensi kedua kota tersebut
dengan kota-kota di sekitarnya cenderung
hierarkis dalam artian kota-kota tersebut
tidak ditempatkan dalam relasi setara
dengan kedua kota itu. Kondisi tersebut
mengakibatkan tidak terjadi
interdependensi antar kota, malah justru
kompetisi internal dalam kota. Baik kota
besar dengan kota satelit sama-sama
bersaing memperebutkan titel kota global
yang sebenarnya hanya untuk
pencitraan diri pemangku
pemerintahannya saja. Globalisasi
sebagai paradigma dalam pengembangan
kota memang bertujuan mengajak untuk
berkompetisi meraih laba yang tinggi,
hanya saja itu berlangsung dalam kondisi
yang seimbang. Dalam kasus Indonesia,
kota besar sebagai core dan kota kecil
sebagai hinterlands tidak ada koordinasi
yang baik dalam mengembangkan
potensi kota-kotanya masing-masing.
Dalam istilah politik perkotaan, koordinasi
kota dikenal sebagai urban governance
(pengelolaan kota). Istilah tersebut
mengindikasikan adanya kepedulian kota
besar terhadap perkembangan kota-kota
di sekitarnya dengan menyediakan
insentif berupa sistem transportasi massal,
industrialisasi, dan lain sebagainya. Inti
yang ingin disampaikan ialah keinginan
kota untuk melakukan benefit sharing
dari proses akumulasi kapital dalam
globalisasi secara adil dan merata dengan
kota kecil maupun desa. Masalah
disparitas memang menjadi kendala
dalam relasi kota global dengan kota
lainnya untuk mengembangkan
ekonominya sehingga sebisa mungkin
harus diminimalisir.
Kota Global : Dari Industri ke Post
Industri
Kota global merupakan bagian dari
fenomena post-soverignity era dari
globalisasi yakni menurunnya
kedaulatan nasional dalam pengelolaan
sebuah kota dan meningkatnya kekuatan
lokal menjadi identitas di arena global.
Penyebutan kota global memang lebih
bernuansa bisnis daripada pemerintahan
maupun manajerial karena sifatnya
sebagai wadah bertemunya kapital asing
dalam membangun kota. (Taylor, 2007:
45) Progam kemitraan antar kota yang
lazim dikenal sebagai kota kembar (sister
city) merupakan bagian dari fenomena
post-soverignity era di mana kota berusaha
menjalin kemitraan dengan kota di dunia
yang memiliki kekuatan lokal yang sama
sehingga terjadi pertukaran informasi
maupun sumber daya lainnya yang
seimbang antar keduanya. Kota global
pada dasarnya memang lekat dengan kota
yang dihuni oleh perusahaan
multinasional sehingga kota tersebut juga
ikut mengglobal seiring dengan
masuknya perusahaan asing di tempat
tersebut. Oleh karena itulah, makna
pemerintahan kota (government city)
berganti menjadi otorita kota (city author-
ity) untuk mengakomodir perubahan
fungsi kota menjadi entitas bisnis. Otorita
kota tidak lebih dari sekedar panitia besar
(organizing committee) untuk menarik
investor asing tersebut. Karena kota
menjadi entitas bisnis, maka cara kerja
otorita kota sebagai badan resmi kota glo-
bal sendiri juga harus mengikuti cara
swasta dalam bekerja. Walikota diganti
dengan Kepala Otorita sebagai pucuk
pemimpin kota yang pemilihannya sendiri
Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan
119
ditentukan dalam rapat dewan kota yang
isinya merupakan para komisioner
perusahaan yang berkecimpung dalam
kota tersebut. Otorita kota yang lazim di
dunia seperti Hongkong, Macau, Dubai,
dan lain sebagainya memang menempuh
cara tersebut demi kepentingan bisnis.
Maka tidaklah salah kalau dalam
menjalankan sebuah kota global (global
city) sendiri, prinsip business as usual
lebih dikedepankan daripada politic as
usual dalam memimpin kota. (Clark,
2004: 34) Prinsip apolitis yang
disematkan kota global pada dasarnya
ditujukan untuk menghindari dan
mereduksi intervensi politik dari pusat
dalam kegiatan bisnis di kota global. Kota
global memang mendapat perlakuan
khusus sesuai dengan perannya sebagai
mesin ekonomi nasional di kancah
globalisasi dengan diberikannya status
otonomi khusus kepada kota tersebut.
Aplikasi otonomi khusus tersebut
merupakan bentuk dari otonomi asimetris
yang dianut sebuah negara terhadap
suatu daerah yang kapasitasnya mampu
menghadirkan keuntungan kepada
negara melalui kegiatan bisnisnya.
Otonomi asimetris bagi kota global
untuk menjalankan bisnisnya memang
banyak dipraktekkan di berbagai negara
seperti Dubai, Hongkong, Macau,
Shenzen, Alexandria, Seattle, Barcelona,
London, New York, dan lain sebagainya.
Implementasi otonomi khusus akan
membuat status kota global yang
disandang oleh sebuah kota besar akan
menjadi riil dan tidak hanya istilah
seremonial belaka saja. Hal tersebut juga
memberikan kepastian hukum bagi para
investor asing untuk menanamkan
modalnya di kota tersebut dengan fasilitas
ekonomi yang menunjang seperti fasilitas
jalan bebas hambatan, insentif pajak
berupa tax holiday, bebas bea impor, dan
lain sebagainya. Implikasinya kemudian
merambah luas kepada terbentuknya
jejaring interdependensi yang kuat antar
kota-kota di dunia dalam proses
industrialisasi.
Pada dasarnya, kota global memang
mengandalkan diri pada proses
industrialisasi manufaktur maupun
infrastruktur. Kondisi semacam itu
segaris dengan paradigma fordisme yang
marak terjadi di era 1970-1980 di mana
konsumsi barang yang meningkat
berimplikasinya naiknya angka
produktivitas barang industri. Era
tersebut juga merupakan pertanda zaman
konsumsi massal yang tinggi (high mass
consumption) yang dialami berbagai
negara dunia karena adanya modernisasi
ekonomi, kemajuan teknologi,
(Abrahamson, 2004: 75) maupun boom-
ing harga minyak dunia sehingga terjadi
pertukaran kesejahteraan yang seimbang
antara kota negara maju yang
mengandalkan kepada barang teknologi
dan barang produksi ekstratif. Adapun
dalam era sekarang ini, kota global kini
mengalami perubahan fungsi yang
semula industry oriented dengan
produksi benda fisik kini berganti dengan
post-industry oriented dengan menjual
jasa. Jasa yang dimaksudkan adalah jasa
perbankan, jasa industry, maupun jenis
jasa ekonomi lainnya yang umumnya
mengarah pada aspek supporting system
dalam kegiatan perekonomian.
Terdapat tiga indikator utama dalam
melihat segi kompetitif sebuah kota besar
di dunia dalam menyediakan supporting
system bagi dunia bisnis yakni alpha,
gamma, dan beta. Trikotomi tersebut
merujuk pada hasil survey Globalization
and World Cities Research Networking
untuk menentukan derajat kompetitif
sebuah kota dalam era globalisasi.
(GAWC, 2012) Adapun indikator alpha
berarti kota tersebut merupakan
episentrum dari sirkulasi perekonomian
Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121
120
dunia yang mana semua aliran kapital,
teknologi, dan informasi sendiri biasanya
berasal dari kota Alpha tersebut. Sebagai
contoh, New York menjadi kota Alpha
karena adanya NYSE (New York Stock
Exchanges), London melalui bursa harga
minyak, Singapura karena kotanya yang
strategis terletak di jalur perdagangan
dunia. Indikator Beta sendiri
mengindikasikan bahwa kota tersebut
kota-kota yang selama ini menjadi kota
industrialisasi produk dunia maupun kota
tempat perusahaan multinasional
berpusat. (Huang, 2007: 209-231) Yang
masuk dalam kategori Beta ini adalah At-
lanta, Melbourne, Barcelona, Dallas, dan
Oslo. Adapun gamma merupakan
predikat bagi kota yang memegang
kendali sebagai kota industri dan net ex-
porter bagi komoditas teknologi. Kota-kota
yang masuk dalam kategorial ini adalah
Guatemala City, Manama, Minneapolis,
Montreal, dan Nairobi.
Secara garis besar, survey yang
dilakukan oleh GAWC sendiri
menunjukkan bahwa terdapat hierarki
kuasa dalam mengklasifikasi berbagai
kota besar dunia. Hierarki kuasa tersebut
bisa saja kembali dalam analisis dikotomi
utara (global north) dan selatan (global
south) yang selama ini kerap menghiasi
perdebatan akademik seputar disparitas
kesejahteraan dan kesenjangan ekonomi
antar kota di negara dunia pertama
dengan kota dunia ketiga. Namun
analisis tersebut tidak sepenuh benar
mengingat dalam rilis indeks kompetitif
kota besar dunia di arena globalisasi
menyebutkan bahwa yang menjadi
indikator meliputi berbagai hal seperti
sarana-prasarana, tingkat pendidikan,
sistem transportasi, sistem perumahan,
kesehatan, sanitasi, dan ruang publik.
Artinya pengertian kota global (global
city) tidaklah selalu menunjuk pada kota-
kota di kawasan Asia Timur, Eropa Barat,
dan Amerika Utara yang acap kali
disebut sebagai kota dunia yang maju dan
modern. Buktinya terdapat kota global
yang berpredikat alpha sendiri justru
berada di kawasan dunia ketiga sendiri
justru masuk deretan kota berpredikat
tersebut seperti halnya Jakarta, Mumbai,
Kalkuta, Sao Paolo, Meksiko, Kuala
Lumpur, maupun Manila yang selama ini
diposisikan sebagai emerging markets
dalam era globalisasi sekarang ini. Oleh
karena itulah, derajat kompetitif sebuah
kota bukanlah diukur dalam persepsi
bahwa kota global sendiri terletak di
negara maju, pengertian kota global
merupakan cara/parameter bagi manajer
kota untuk memperbaiki kotanya agar
mampu bersaing secara kompetitif dalam
era globalisasi sekaligus memenuhi
kepentingan nasionalnya dalam relasi
antar bangsa.
Kesimpulan
Hal yang bisa kita tarik dari
pembahasan kota global dalam tulisan ini
adalah fungsi kota kini mengalami
transformasi dari semula sebagai sentrum
dari ekonomi nasional kini diharuskan
bersaing dalam era globalisasi. Globalisasi
memberi andil besar dari perubahan dan
pengembangan sebuah kota yang
dulunya memegang berbagai macama
fungsi kini mengalami spesialisasi fungsi
untuk fokus pada pengembangan
keunggulan kompetisi. Adanya
spesialisasi fungsi dalam sebuah kota
akan membuat survivalitas dan
aksesbilitas kota tersebut dalam
berkompetisi akan menjadi lebih kuat.
Globalisasi juga menghadirkan
transformasi bagi sebuah pengembangan
kota yang semula berorientasi kepada ad-
ministrative-birokratik kini lebih kepada
pemenuhan bisnis. Kota global pada
dasarnya merupakan rumah besar (hold-
Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan
121
ing home) bagi entitas bisnis yang
menggerakkan usahanya di kota tersebut
dengan memberi berbagai kemudahan
bagi pebisnis untuk memperluas pangsa
pasarnya dengan menjadikan kota
sebagai basis operasionalisasinya. Oleh
karena itulah, dalam usaha
pengembangan kota besar di Indonesia.
Konsep ini perlu untuk disosialisasikan
demi meningkatkan daya saing daerah di
kancah global.
Daftar Pustaka
Abrahamson, Mark. (2004) Global Cities. Oxford:
Oxford University Press.
Castell, Matt. (2000) The Rise of the Network So-
ciety. London: Blackwell Publishing
Clark, David. (2004) Urban World/Global City.
London: Routledge
Duffy, Hazel. (1995) Competitive Cities: Succeed-
ing in The Global Economy. London: FN
Spon
Eade, John. (1997) Living in The Global City :
Globalization as Local Process. London :
Routledge
Friedmann, John. (1986) The World City Hypoth-
esis. Development and Change. Cam-
bridge: Cambridge University Press
GaWC. The World According to GAWC 2012.
Terdapat dalam: <http://
www.lboro.ac.uk/gawc/world2012.html>
(Diakses pada 10 November 2012).
Huang, Yefang. (2007) Cities and Globalization:
An International Cities Perspective. Ur-
ban Geography. Jurnal Urban Geogra-
phy, 28 (3)
McCann, Eugene. (2004) Urban Political
Economy Beyond the ‘Global City.” Ur-
ban Studies. London: Carfax Publishing
Ruble, B. (1996) Preparing for the Urban Fortune:
Global Pressures and Local Forces. Wash-
ington D.C: Woodrow Wilson Center
Press
Rutz, Werner. (1987) Cities and Towns in Indone-
sia : Their Development, Current Position,
and Function with regard to Administra-
tion and Regional Autonomy. Berlin :
Borntaeger
Sassen, Saskia. (1991) The Global City. New Jer-
sey : Princeton University Press, 1991
Sassen, Saksia. (2005) “The Global City : Intro-
ducing a Concept.” Brown Journal of
World Affairs, 11 (2), pp. 21-43.
Scott, Allen. (2008) Social Economy of the Me-
tropolis : Cognitive-Cultural Capitalism
and the Global Resurgence of Cities. Ox-
ford : Oxford University Press
Taylor, Peter. (2007) Cities in Globalization :
Theories, Policies, and Practices. London :
Routledge, 2007
Ye, Lin. (2007) Is Shanghai Really a “Global
City?”. Makalah disajikan dalam Inter-
national Conference on Globalism and
Urban Change. (University of Louisville,
Chicago, 8-10 Juli, 2007).
Yusuf, Shahid. (2002) Pathways to a World City:
Shanghai Rising in an Era of
Globalisation. Urban Studies, pp.1213–
1240.
Yunus, H. S., (2009) Klasifikasi Kota. Yogyakarta,