Top Banner
109 GLOBAL CITY SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA DI ERA GLOBALISASI : TINJAUAN ANALISIS TEORI Wasisto Raharjo Jati* Abstract This article aims to analyze the concept of global city as alternative paradigm in the city devel- opment in the era of globalization. This concept accommodate economic investment from abroad to build its industrial base in the city of a country. Cities are no longer oriented as the center of the national economy, but also the actors who compete with other cities in the world to make a profit. City then experience specialized function that only focus on the development of only one sector of the economy to maximize its comparative advantage. Interedepedence between cities in the world is the way a city to have an exchange of economic resources with other cities. Keywords: Global City, Urban Studies, Interdepedence, Globalization Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisa konsep global city sebagai paradigma alternatif dalam pembangunan kota di era globalisasi. Konsep ini mencakup investasi ekonomi asing untuk mendirikan basis industrinya dalam kota di suatu negara. Kota tidak lagi berorientasi sebagai pusat ekonomi nasional, tetapi juga sebagai aktor yang bersaing dengan kota-kota lain di dunia untuk mendapatkan keuntungan. Kota kemudian mengalami spesialisasi fungsi yang hanya berfokus pada pembangunan satu sektor ekonomi untuk memaksimalkan keunggulan komparatifnya. Interdependensi antar kota di dunia menjadi suatu cara bagi sebuah kota untuk saling bertukar sumber-sumber ekonomi dengan kota lain. Kata kunci: kota global, studi perkotaan, interdependensi, globalisasi. VOLUME 03 No. 2 Agustus 2013 Halaman 109-121 MULTIVERSA _________________ *Peneliti di Center for Politic and Media Research Yogyakarta
13

Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Feb 03, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

109

GLOBAL CITY SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

EKONOMI KOTA DI ERA GLOBALISASI : TINJAUAN

ANALISIS TEORI

Wasisto Raharjo Jati*

Abstract

This article aims to analyze the concept of global city as alternative paradigm in the city devel-

opment in the era of globalization. This concept accommodate economic investment from abroad

to build its industrial base in the city of a country. Cities are no longer oriented as the center of

the national economy, but also the actors who compete with other cities in the world to make a

profit. City then experience specialized function that only focus on the development of only one

sector of the economy to maximize its comparative advantage. Interedepedence between cities

in the world is the way a city to have an exchange of economic resources with other cities.

Keywords: Global City, Urban Studies, Interdepedence, Globalization

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisa konsep global city sebagai paradigma alternatif dalam

pembangunan kota di era globalisasi. Konsep ini mencakup investasi ekonomi asing untuk

mendirikan basis industrinya dalam kota di suatu negara. Kota tidak lagi berorientasi sebagai

pusat ekonomi nasional, tetapi juga sebagai aktor yang bersaing dengan kota-kota lain di dunia

untuk mendapatkan keuntungan. Kota kemudian mengalami spesialisasi fungsi yang hanya

berfokus pada pembangunan satu sektor ekonomi untuk memaksimalkan keunggulan

komparatifnya. Interdependensi antar kota di dunia menjadi suatu cara bagi sebuah kota untuk

saling bertukar sumber-sumber ekonomi dengan kota lain.

Kata kunci: kota global, studi perkotaan, interdependensi, globalisasi.

VOLUME 03 No. 2 Agustus 2013 Halaman 109-121

MULTIVERSA

_________________

*Peneliti di Center for Politic and Media Research Yogyakarta

Page 2: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121

110

Pendahuluan

Premis utama dalam membahas

relasi antara globalisasi dan

pengembangan kota adalah tentang

interdependensi. Globalisasi yang ditandai

dengan adanya keterbukaan pasar,

teknologi informasi, maupun modal

membawa implikasi semakin

terintegrasinya ke dalam sistem global.

Adapun sistem tersebut tidaklah statis dan

tersentralkan dalam satu sentrum saja,

namun terhubung antar satu sama

lainnya. Globalisasi sejatinya adalah

arena besar yang mendesain konektivitas

itu berlangsung dalam berbagai arah,

Dalam bahasa Castells konektivitas

tersebut merupakan pergeseran dari space

of places telah berubah menjadi space of

flows. (Castell, 2000: 6) Aliran modal dan

informasi itu berjalan secara dinamis

menembus batas ruang waktu serta

terjadi dalam kapanpun dan di manapun.

Oleh karena itulah, sangatlah sulit sekali

bagi individu pada zaman sekarang untuk

menolak globalisasi karena secara sadar

dan tidak sadar, kita sendiri sudah berada

dalam globalisasi.

Interdependensi antar sentrum

ekonomi dalam arena globalisasi memberi

pengaruh besar terhadap rekonfigurasi

mengenai eksistensi kota-kota di dunia

yang selama ini menjadi pusat ekonomi

di negaranya. Kota yang sejatinya

berfungsi sebagai akumulator dan

redistributor kue ekonomi yang berputar

dalam skope perekonomian nasional kini

harus berhadapan dengan kota lainnya

di berbagai penjuru dunia untuk saling

berkontestasi memperoleh kue ekonomi

secara masif untuk perkembangan

ekonomi kotanya. (Sassen, 1991: 10)

Implikasi yang timbul kemudian adalah

kota kini tidaklah lagi berorientasi dalam

ranah lokal maupun nasional saja, namun

juga diharuskan untuk berorientasi

kepada global. Adapun istilah “kota glo-

bal” (global city) yang diangkat sebagai

tema utama dalam penulisan makalah ini

merupakan sebentuk paradigma baru

pengembangan kota dalam arena

globalisasi. (Abrahamson, 2004: 12)

Pemahaman tersebut memiliki perbedaan

dengan istilah kota dunia (world city)

yang terlebih dahulu eksis di kalangan

sarjana studi politik perkotaan (urban

politik). (Sassen, 2005: 21-43)

Perbedaannya adalah kota dunia sendiri

lebih mengarah perputaran kapital dan

informasi hanya berpusat pada kota-kota

di kawasan Utara (global north) seperti

halnya London, Amsterdam, New York,

maupun Paris, sehingga karakter

pengembangan kotanya lebih mengarah

kepada perluasan ruang makro ekonomi

untuk melancarkan kegiatan transaksi

pasar bebas. Kota global (global city)

memberikan ruang deliberasi ekonomi

bahwa kue perekonomian sendiri tidak

hanya berlangsung dalam satu kawasan,

namun terinklusifkan antar sesama

kawasan di dunia. Artinya, tidak ada

relasi subordinasi antara kota dunia

pertama dengan kota dunia ketiga,

karena interdepensi yang ditawarkan

dalam pengembangan kota sebagaimana

yang ditawarkan dalam global city.

Maka tulisan akan mengulas lebih

lanjut mengenai paradigma global city

sendiri dalam analisis teori mengingat

kajian ini merupakan baru dalam studi

politik perkotaan. Adapun tulisan dalam

makalah ini akan dibagi dalam berbagai

subbab pembahasan 1) membahas

mengenai terbentuknya global city 2)

menjelaskan mengenai fase

perkembangan dan transformasi kota

lokal maupun kota nasional menjadi kota

global 3) Kota Global: Dari Industri ke

Post Industri.

Page 3: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan

111

Terbentuknya Global City

Terdapat berbagai alasan mengapa

kota diharuskan mengalami transformasi

menjadi kota global pada era sekarang

ini. Diantaranya, peniadaan batas-batas

geografis telah membuat kondisi

perekonomian global sendiri berkembang

sangat kompleks di mana semua kawasan

sub-nasional sendiri ikut berpartisipasi

dalam arena global tersebut. Hal itulah

yang kemudian mendorong adanya

spesialisasi antar kota global di dunia yang

saling terkoordinasi dan termanajerialkan

dalam satu arena. (Duffy, 1995: 34)

Spesialisasi ekonomi yang berkembang

antar kawasan tersebut terbagi dua yakni

ekonomi formal dan ekonomi informal.

Dalam ranah ekonomi formal, kini

ditandai dengan pertumbuhan kelas

menengah ekonomi yang berbasiskan

pada tenaga professional maupun

pembangunan infrastruktur yang pesat.

Hal inilah yang kemudian pertumbuhan

suatu kota pun berkembang menjadi

kawasan kosmopolitan. Setidaknya inilah

yang bisa kita potret dari fenomena kota

kembar (twin city) maupun kota

bersaudara (sister city) yang marak

terjadi dalam diplomasi antar kota besar

dunia mutakhir. Spesialisasi yang

diwujudkan dalam kota kembar maupun

kota saudara sebenarnya adalah upaya

mengidentifikasi similaritas sumber

pendapatan ekonomi sama yang digali

dari karakteristik sosio ekonomi maupun

sosio kultural dari masing-masing kota.

Selain itu, spesialisasi juga bentuk dari

new international division of labor yakni

adanya transfer/perpindahan (relocation)

secara off-shore dan perluasan industri

dari kawasan kota industri yang terletak

di kawasan negara maju menuju kepada

kota di negara berkembang yang tengah

membangun industrialisasinya. Hal

tersebut dapat diindikasi dari pertukaran

sumber daya antar kedua dalam rangka

memperkuat perekonomian formal seperti

halnya pertukaran SDM profesional,

promosi investasi ekonomi, maupun

hubungan mutualisme lainnya. Dimensi

ekonomi informal kini ditandai dengan

pesatnya intensitas pekerja migran yang

berlangsung antar dua kota yang berbeda

negara. Pekerja migran itu berasal dari

kawasan perkotaan yang telah

mengalami overload pembangunan

ekonomi sehingga tidak mampu lagi

menampung lonjakan pekerja urban

yang berasal dari desa. Hal inilah yang

kemudian terjadinya trans-urbanisasi

(trans-urbanization) yakni perpindahan

dari desa ke kota besar di berbagai

penjuru dunia untuk memperoleh

penghasilan ekonomi yang lebih baik.

Maka pada akhirnya, globalisasi

kemudian mengakibatkan adanya

restrukturisasi kota dan wilayah di dunia.

Kota semakin terintegrasi pada suatu

jaringan (networks) antara satu dengan

lainnya terkait erat. Namun demikian

tidak semua kota maupun wilayah dunia

sendiri kemudian masuk ke dalam

jejaring tersebut karena diharuskan

memiliki keunggulan komparatif (com-

parative competitiveness) yang dapat

masuk. Sementara itu, persaingan antar

kota dan wilayah untuk menarik kue

ekonomi intensitasnya sangat fluktuatif

sesuai kinerjanya karena mengikuti

dinamika aliran modal dan informasi

tersebut. Proses ini, pada gilirannya,

berdampak pada restrukturisasi tata

ruang kota dan wilayah. Restrukturisasi

tersebut nampak dari perubahan CBD

(Central Bussiness District) yang semula

menjadi pusat dari segala aktivitas

ekonomi kini mengalami bentuk

spesialisasi CBD yang secara khusus

menangani bidang tertentu saja. Hal ini

nampak bagaimana CBD di dunia sendiri

kini memfokuskan pada bidang ekonomi

tertentu saja misalnya saja New York

Page 4: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121

112

berfokus pada pusat keuangan dunia,

Shanghai menjadi pusat bisnis utama di

Asia Timur, Singapura berfokus pada

layanan redistribusi (hub port) dan tran-

sit, London pusat bursa dunia, dan Paris

sebagai pusat bisnis ekonomi kreatif. Hal

ini ditujukan untuk membangun

keunggulan komparatif kotanya masing-

masing. Dua hal yang penting dalam

mengkorelasikan globalisasi dan kota glo-

bal adalah masalah mobilitas global (glo-

bal mobility) dan keadaan yang tetap

(global fixity). (McCann, 2004: 2315–

2333) Kedua hal tersebut berpengaruh

kepada iklim investasi yang masuk ke

dalam perekonomian global tersebut.

Adapun kota yang berkembang menjadi

sebuah kota global, dua hal tersebut

bersifat wajib dan signifikan dalam

rangka mengembangkan perekonomian

kotanya. Secara khusus, mobilitas global

(global mobility) dalam sebuah kota glo-

bal adalah sarana transportasi yang

menunjang seperti ketersediaan sistem

MRT (mass rapid transit) yang mampu

mengangkut banyak orang sekali jalan

sehingga memudahkan untuk berpindah

dari satu tempat ket tempat lainnya dan

keadaan yang tetap (global fixity) adalah

keadaan stabilitas ekonomi dan politik

yang stabil tanpa adanya gangguan yang

sekiranya dapat menganggu kegiatan

perekonomian. Aspek sekuritas tersebut

merupakan penjamin bahwa berinvestasi

di kota global adalah pilihan bijak karena

ketersediaan jaringan dan aliran modal

yang begitu cepat dan dinamis.

Hal inilah kemudian banyak kota

besar di dunia kini ramai-ramai membuat

tagline kampanye untuk mencitrakan

dirinya sebagai kota global seperti halnya

Malaysia dengan Truly Asia , Singapore

dengan Yours Singapore, hingga kota-

kota Indonesia juga memiliki inidkasi

serupa seperti Yogyakarta dengan Never

Ending Asia maupun Solo dengan Spirit

of Java. Memang kalau ditinjau lebih

lanjut, konsep itu merupakan bagian dari

kampanye turisme untuk menggaet para

wisatawan dari lokal, nasional, bahkan

global. Akan tetapi ditinjau dari sudut

pandang politik perkotaan, hal itu

merupakan sebentuk pencitraan diri kota

yang semula berbasiskan pada ekonomi

lokal mulai beralih kepada ekonomi glo-

bal dengan mengedepankan karakter

identitas lokalnya. Hal inilah yang

kemudian terjadi proses glokalisasi dalam

pengembangan kota di kawasan lokal

kedaerahan menjadi kota global, namun

tanpa meninggalkan karakter

budayanya.

Transformasi Kota Menjadi Kota

Global

Pengembangan kota untuk menjadi

sebuah kota global mengalami berbagai

fase yang tidak serupa. Hal ini

dikarenakan terdapat berbagai

karakteristik sosio ekonomi maupun sosio

kultural yang berbeda antar kota di

dunia. Setidaknya sekitar tahun 1970-an,

terdapat berbagai analisa kritis studi

perkotaan yang menempatkan kota dan

dua karakteristik tersebut sebagai

masalah urban dalam sirkulasi aliran

modal, aliran pengetahuan, dan aliran

informasi. Dimensi riilnya bisa disimak

dari adanya upaya mempertautkan

gagasan globalisasi dan urbanisasi dalam

sebuah kota. Urbanisasi yang merupakan

istilah untuk mendeskripsikan adanya

perpindahan dari desa ke kota sebagai

sentrum ekonomi nasional dan globalisasi

yang diartikan sebagai arena akumulasi

ekonomi internasional memang ditinjau

dari etimologis tidak koheren di mana

yang satu berorientasi nasional

sedangkan yang satunya lagi berorientasi

kepada global. Dua hal tersebut bisa

dipertemukan dengan melihat studi yang

Page 5: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan

113

dilakukan oleh Shahid Yusuf di Shang-

hai maupun McCann di Lexington. Yusuf

dalam kasus Shanghai, semenjak Cina

memberlakukan sistem gaige kaifang

(ekonomi terbuka) menempatkan kota-

kota di Pantai Timur sebagai pintu utama

datangnya investasi asing. Hasilnya

kemudian adalah terjadi perubahan

fungsi kota-kota di Cina khususnya dalam

menyambut era keterbukaan tersebut.

Perubahan fungsi tersebut terlihat

adanya spesialisasi kota-kota di Cina di

mana terdapat kota industri, kota

pertanian, kota perdagangan, maupun

kota perakitan. Shanghai sendiri

ditempatkan sebagai hub city dari kota-

kota tersebut di mana Shanghai berperan

sebagai manajer dan sekaligus hilir dari

produksi komoditas kota-kota tersebut

untuk kemudian dijual ke pasaran global.

(Yusuf, 2002: 1213–1240) Sedangkan

dalam kasus Lexington, kota tersebut

mengalami bentuk transformasi dari

semula levelnya municipality (kota

madya) berkembang menjadi city (kota

besar). Adalah IBM selaku perusahaan

multi nasional yang bertempat di kota

tersebut turut mempengaruhi perubahan

tersebut di mana kota yang semula dari

hanya diisi oleh kalangan warga lokal

kini turut juga dipenuhi kalangan

ekspatriat. (McCann, 2004: 2320) Hal

yang bisa kita tangkap dari contoh studi

kasus di Shanghai dan Lexington tersebut

adalah munculnya inter-city networking.

Istilah tersebut menggambarkan

adanya ketergantungan antara kota besar

dengan kota kecil lainnya yang

tujuannya untuk mendukung fungsi

ekonomi kota besar. (Scott, 2008: 56)

Urbanisasi yang biasanya

terkonsentrasikan di kota besar secara

perlahan mulai bergeser ke arah kota kecil

tersebut. Kota kecil atau yang biasa

disebut kota satelit memang sangatlah

urgen dan signifikan dalam

pengembangan kota di era globalisasi

sekarang ini. Keberadaanya sebagai

penyuplai (hinterlands) ekonomi bagi

kota besar baik itu sebagai penyuplai

tenaga kerja maupun industrialisasi,

penting mereduksi beban ekonomi yang

harus ditanggung oleh kota besar. Oleh

karena itulah, tidaklah mengherankan

apabila kini di kota-kota besar dunia

sendiri lazim dikenal sebagai kawasan

megapolitan maupun mega urban.

Megapolitan tersebut pada dasarnya

merupakan bentuk aglomerasi spasial

maupun ekonomi yang dilakukan oleh

kota besar dengan menarik beberapa

kota-kota kecil di sekitarnya agar menjadi

penyangga kota besar tersebut. Apalagi

kalau kota besar tersebut sudah

berkembang menjadi kota global,

tentunya itu akan menambah daya pikat

bagi kota kecil untuk bergabung dalam

kawasan megapolitan kota besar tersebut.

Setidaknya megapolitan dalam kota glo-

bal bisa menarik 2 hingga 5 kota kecil

untuk menjadi penyangganya sebut saja

Megapolitan Tokyo yang menarik

Kawasaki, Roppongi, dan Yokohama

sebagai kawasan penyangga, Hongkong

dengan Guangzhou, dan Shenzen.

Menurut rilis laporan berjudul Glo-

bal City Competitiveness Index

disampaikan oleh Economist Intelligence

Unit pada tahun 2012, tercatat terdapat

tiga kota besar Indonesia yang dianggap

sebagai kota global dunia dengan

indikator seperti halnya mampu

mendemonstrasikan kemampuan mereka

untuk menarik modal asing, bisnis,

maupun wisatawan. Adapun kota-kota

besar tersebut adalah Jakarta di

peringkat 81, Surabaya di peringkat 110,

dan Bandung di peringkat 114. Jakarta

terpilih menjadi kota global yang

kompetitif karena kekuatan bisnis dan

ekonomi kuat dengan megapolitan

Jabodetabek, Surabaya juga kompetitif

Page 6: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121

114

dalam bidang ekonomi karena

mempunyai megapolitan

Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan,

Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan

Lamongan), sementara Bandung dipilih

karena turisme dan kekuatan ekonomi

kreatifnya sebagai sumber penggerak

ekonomi kota. Untuk menjadi sebuah kota

global harus melalui berbagai tahapan

yang bentuknya mengikuti pola

berjenjang (stagist). Umumnya pola

berjenjang tersebut mengikuti pola

prismatik atau mengikuti pola piramida

di mana posisi kota global sendiri berada

di puncak. Adapun penjelasannya

disampaikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1 : Fase Perkembangan Kota Global (Global City)

Sumber : Ruble (1996).

Fase Perkembangan

(paths)

Karakteristik Contoh Kota

Global City Perekonomian kota sudah tidak

lagi berorientasi kepada ekonomi

nasional, namun berorientasi

kepada ekonomi dunia.

Kota sudah bisa memerankan

dirinya sebagai sentrum

kebijakan ekonomi dunia

Lingkaran kota-kota di

Atlantik Utara seperti New

York, London, Tokyo, Paris,

dan Singapura

Post Industrial City Pola industrialisasi telah

terbangun sejak lama

Penyesuaian terhadap

masyarakat post industri

Persaingan sosial yang keras

Kota-kota di kawasan

Mediterania seperti

Marseille, Madrid, maupun

Barcelona

Kota-kota yang terletak di

kawasan Eropa Tengah

seperti Amsterdam, Berlin,

Frankfurt.

New Age Boomtown Kapitalisasi terhadap

industrialisasi baru seperti

ekonomi kreatif dan teknologi

informasi

Sektor jasa keuangan menjadi

mesin utama penggerak ekonomi

Lingkaran kota-kota di

Pasifik seperti Sydney,

Singapura, dan Hong Kong.

Amerika Utara seperti

Vancouver dan Seattle

Amerika Latin seperti Sao

Paulo, Buenos Aires, dan

Bogota

Kota-kota Eropa seperti

Brussels dan Montpellier

Post-Socialist

Society

Pola ekonomi yang masih

mengalami transisi dari sosialis

menuju kapitalis

Industrialisasi yang belum

mengarah kepada komersial,

namun lebih cenderung kepada

komunalisme

Kota-kota yang terletak di

kawasan Eropa Timur dan

kawasan Eurasia,

Kaukasus, maupun bekas

negara komunis.

Partially Marketized

City

Perekonomian kota didominasi

ekonomi agraris dan ekonomi

semi industri

Kuatnya pengaruh negara dalam

bidang perekonomian

Kota-kota Amerika Latin

Marginalized city

Ekonomi kota masih bersifat

subsisten dalam artian belum

menyentuh kepada

komersialisasi industri

Produk ekonomi kota dominan

dikuasai oleh produk agraris dan

ekstratif

Kota-kota yang berada di

kawasan Afrika seperti

halnya Nairobi,

Johannesburg, dan lain

sebagainya

Page 7: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan

115

Dari berbagai tahapan tersebut,

terdapat perkembangan linearitas yang

dicapai sebuah kota untuk berkembang

menjadi sebuah kota global. Mulai dari

level sederhana yakni munculnya

marginalized city hingga yang paling

tinggi adalah global city. Adapun

pengertian marginalized city sendiri bisa

beragam, yang pertama adalah

marginalized city bisa berarti kota

tersebut mengalami marjinalisasi ekonomi

dan kalah saing dengan kota-kota besar

dunia. Jika yang menjadi dasar adalah

kota-kota di Afrika, sepertinya tesis

tersebut memang dirasa relevan. Namun

bisa saja, konteks marginalized city

diartikan sebagai bentuk masuknya kota-

kota satelit menuju kota utama sehingga

istilah marginalized sendiri kemudian

ditambahkan. Pengertian kedua tersebut

merupakan bentuk modifikasi konsep

Lewis Munfred mengenai sirkulasi kota

(city circulation) di mana terdapat

pembagian fungsi kota dari semula yakni

CBD (Central Bussiness District) hingga

kepada kawasan suburban fringes. Dalam

hal ini, kita tempatkan posisi marginalized

city sendiri ke dalam posisi suburban

fringe tersebut yang sedang berkembang

menjadi CBD dalam skala ekonomi glo-

bal.

Adapun dalam memaknai kota glo-

bal sebagai fase puncak dari

perkembangan kota di era globalisasi

sendiri juga memiliki berbagai macam

lokus pemaknaan dalam mendefinsiikan

pengembangan ekonomi global yang

diemban kota tersebut. Friedmann (1986)

sendiri lebih menyebutnya sebagai kota

dunia (world city) sebagai tesis utama

dalam menghubungkan antara

urbanisasi sebagai wujud transfer

ekonomi dari desa ke kota dengan

fenomena internasional division of labour

dalam globalisasi di mana dari situ

kemudian terjadi proses tarik-menarik

yang kait mengkait antar keduanya.

(Friedmann, 1986: 69-84) Berbeda

halnya dengan dengan Friedmaan yang

mengkorelasikan antara urbanisasi dan

globalisasi dalam model kota dunia,

pemikiran Castells (2000) sendiri lebih

mengarah kepada global city sebagai

mega cities di mana kota global berperan

sebagai sentral yang mampu

menghimpun kawasan kota, (Castell,

2000: 86) hinterlands, maupun kawasan

pinggiran lainnya menjadi bagian dari

kota besar tersebut. Gagasan Castells

sendiri yang mengarah kepada pada kota

global sebagai penghimpun dari segala

unit ekonomi di sekitarnya agar menjadi

bagian dari dirinya lazim dikenal sebagai

bentuk sprawlisasi. Istilah sprawlisasi

sebagai bentuk penghimpunan atau

aglomerasi kota berfusi dengan kota

sekitarnya untuk mengembangkan daya

saing kekuatan ekonomi memiliki dua

dampak positif dan negatif. (Yunus, 2009:

35) Dalam artian positif sendiri,

sprawlisasi menjadi penting untuk

meningkatkan daya saing kawasan

pinggiran untuk mampu menghasilkan

produk komoditas yang mampu bersaing

di tataran global. Konsep positifnya

adalah bisa kita simak dari konsep desa

vokasi maupun one village one product

yang mengharuskan adanya spesialisasi

desa untuk menghasilkan produk

unggulan yang dapat dijual di level

nasional maupun level internasional. Hal

itulah yang menjadi dasar kesuksesan

dari pembangunan ekonomi Korea

Selatan semasa Park Chung-Hee dengan

menyuruh semua desa di Korea Selatan

untuk melakukan spesialisasi produknya.

Hasilnya bisa kita simak dari

berkembangnya desa menjadi kota seperti

Daegu, Busan, Seoul, maupun Incheon

yang menurut survey dari Global Com-

petitiveness Index 2012 di mana Seoul dan

Pusan masuk ke dalam 50 besar kota glo-

Page 8: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121

116

bal yang berkompetitif.

Adapun bentuk negatif dari sprawl-

isasi tersebut adalah munculnya gejala

“gegar budaya” (cultural shock) yang

dialami penduduk desa karena efek

modernisasi dan globalisasi telah

menggerus budaya lokal. Efek lainnya

dari aglomerasi kota tersebut adalah

menurunnya daerah hijau karena semua

telah terkonversi menjadi kawasan hutan

beton. Kondisi tersebut tentu saja

membahayakan perekonomian kota glo-

bal di mana ancaman bencana yang

diakibatkan aglomerasi ekonomi kota

yang merajalela justru menjadi bumerang

tersendiri. Oleh karena itulah,

penempatan konsep global city menjadi

mega cities sebagaiamana yang

dimaksudkan oleh Castell sendiri perlu

disikapi berhati-hati, karena jika salah

memposisikan aglomerasi ekonomi dalam

global city malah justru akan menjadi

bencana.

Ada berbagai macam paradigma

dalam menjelaskan konsep global city.

Perlu ditegaskan pula bahwa penyebutan

paradigma tersebut bukan berarti bahwa

terdapat banyak definisi untuk

menjelaskan makna global city.

Paradigma tersebut hanya

menitikberatkan pada aspek tertentu dari

global city untuk kemudian

dispesifikasikan menjadi pemahaman

baru lainnya. Namun bisa juga,

paradigma tersebut digunakan untuk

menyederhanakan pengertian global city

yang masih sangat abstrak dan general

sehingga masyarakat awam pun bisa

mengerti mengenai apa yang

dimaksudkan/memudahkan pengertian

global city tersebut. Berikut ini

merupakan bagian dari paradigma dari

global city tersebut dalam tabulasi

penjelasan di bawah ini.

Tabel 2 : Fase Paradigma Kota Global (Global City)

Sumber : Lin Ye (2007).

Tabulasi tersebut merupakan

deskripsi analisis terhadap eksistensi kota

global yang umumnya dominan

menyebutkan bahwa kota global sendiri

merupakan sentrum dari perekonomian

dunia seperti dalam analisis world cities

maupun mega cities. Hal inilah yang

kemudian ingin dijelaskan dalam sub

pembahasan berikutnya mengenai

kompetisi ekonomi seperti apakah yang

dijalankan oleh kota global. Logika

kompetisi sekaligus pusat ekonomi dunia

secara tidak langsung merujuk pada

perkembangan kapitalisme dunia

sekarang ini. Fenomena tersebut turut

merubah tatanan kota yang semula

World Cities Mega Cities Global Cities Primate Cities

Integrasi ke

dalam sistem

ekonomi dunia

Sektor produksi

yang khusus

Konsentrasi dan

akumulasi capital

Polarisasi spasial

dan sosial

Tujuan dari

destinasi dan

migrasi pekerja

ekonomi formal

dan informal

Aglomerasi dari

ekonomi lokal,

nasional, dan

global

Konsentrasi

ekonomi pada

aspek produksi,

pola distribusi,

cara konsumsi

Kontrol media

dunia yang besar

Pusat komando

dari perekonomian

dunia

Pusatnya dari

para tenaga

professional untuk

mobilisasi

ekonomi dunia

Tempat utama

terjadinya proses

industrialisasi

dunia.

Pusat dari

kegiatan

perusahaan

multinasional yang

menggerakkan

jejaring

ekonominya ke

seluruh dunia

Pusat dari

kegiatan

perbankan dan

jasa keuangan

lainnya

Page 9: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan

117

sangat berorientasi kepada government

kini lebih mengarah pada bisnis

(bussinees). (Eade, 1997: 20) Kondisi

tersebut mengharuskan kota sebagai

entitas bisnis berbasis spasial bergerak

lebih dinamis dalam rangka meraih

investasi asing demi pengembangan

kotanya. Kendala utama dalam

mewujudkan keinginan tersebut berasal

dari hierarki regulasi yang mengikat. Hal

inilah yang kemudian kota sendiri tidak

bisa dinamis dalam menjalin kerjasama

dengan luar negeri. Apalagi dalam konsep

otonomi daerah di Indonesia, hak politik

luar negeri sendiri masih dipegang oleh

pemerintah pusat sehingga

pengembangan kota di era globalisasi

sendiri cenderung monoton.

Bila kita melihat kasus kota besar

di Indonesia entah itu Jakarta, Medan,

dan Surabaya sebenarnya jika dilihat

aspek sejarah pembangunan sekaligus

pengembangan kotanya sebenarnya

sudah didesain menjadi kota global

dengan tumbuhnya bandar-bandar

perdagangan internasional yang terletak

di pesisir pantai. Pengaruh kolonialisme

memang menjadikan kota Indonesia

menjadi kota global dengan tatanan

kotanya yang sudah didesain untuk

melayani pedagang internasional. Hanya

saja kemudian, ketika Indonesia sudah

merdeka, terjadi stagnasi dalam

mengembangkan desain kotanya.

Mayoritas pengembangan kota di Indo-

nesia era 1970-an yang ditandai dengan

modernisasi membuat kawasan pusat kota

secara besar-besaran juga mengalami

pergeseran fungsi, dari pusat industri

manufaktur menjadi pusat kegiatan

bisnis, keuangan dan jasa. Industri

manufaktur bergeser ke arah tepi kota.

Permukiman di pusat kota beralih fungsi

menjadi kawasan bisnis, supermall,

perkantoran dan sebagainya, sedangkan

permukiman begeser ke arah pinggir kota.

Stagnasi yang dimaksudkan adalah tidak

ada konsep yang jelas dalam menata

sebuah kota besar untuk bertransformasi

menjadi kota global. (Rutz, 1987: 60)

Seperti yang telah disinggung bahwa

kota global merupakan kota yang

terspesialisasi komoditas unggulannya

sehingga dapat bersaing dengan kota

besar lainnya, kota besar di Indonesia

seperti halnya monster city yang rakus

untuk menjalankan semua fungsi mulai

dari kota industri, kota permukiman, kota

hiburan, maupun kota birokrasi. Beban

yang ditanggung kota terhadap berbagai

fungsi tersebut membuat kota sendiri

tidak memfokuskan diri untuk

mengembangkan keunggulan

komparatifnya terhadap satu fungsi

tertentu saja.

Dalam survei yang dilakukan oleh

majalah Asiaweeks pada pertengahan

Juli 2011 silam menyebutkan bahwa

kota-kota besar di Indoensia pada

dasarnya tidak memiliki kemampuan yang

memadai untuk bersaing menjadi sebuah

kota global. Kondisi tersebut didasarkan

fakta bahwa kebobrokan sistem birokrasi

kota, kesemrawutan sistem transportasi

massal, dan lonjakan kaum urban yang

tidak terkendali. Kota Jakarta dalam

berbagai analisis ekonomi-politik

ditempatkan sebagai kota yang

berprospek ekonomi cerah di Asia dan

berperan sebagai kota menjanjikan pada

tahun 2025 sebenarnya tidak lebih dari

sekedar isapan jempol. Dari berbagai

analisis yang dilakukan oleh akademisi

yang konsentrasi terhadap studi

perkotaan menyebutkan bahwa kota Ja-

karta sendiri gagal dalam menjalankan

fungsinya sebagai kota global dilihat dari

aspek keamanan, kenyamanan,

sustainibilitas, maupun aksesbilitas.

Berkebalikan dengan analisis ekonomi

politik yang menempatkan sebagai kota

global, justru pegiat studi perkotaan

Page 10: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121

118

menyebutnya sebagai kota mati (death

city) pada 2025.

Interdependensi yang menjadi link-

age antara globalisasi dan studi perkotaan

dalam membahas kota global sebenarnya

sudah diterapkan Jakarta maupun

Surabaya sebagai representasi kota glo-

bal dari Indonesia menurut Global City

Competitiveness Index. Hanya saja

interdependensi kedua kota tersebut

dengan kota-kota di sekitarnya cenderung

hierarkis dalam artian kota-kota tersebut

tidak ditempatkan dalam relasi setara

dengan kedua kota itu. Kondisi tersebut

mengakibatkan tidak terjadi

interdependensi antar kota, malah justru

kompetisi internal dalam kota. Baik kota

besar dengan kota satelit sama-sama

bersaing memperebutkan titel kota global

yang sebenarnya hanya untuk

pencitraan diri pemangku

pemerintahannya saja. Globalisasi

sebagai paradigma dalam pengembangan

kota memang bertujuan mengajak untuk

berkompetisi meraih laba yang tinggi,

hanya saja itu berlangsung dalam kondisi

yang seimbang. Dalam kasus Indonesia,

kota besar sebagai core dan kota kecil

sebagai hinterlands tidak ada koordinasi

yang baik dalam mengembangkan

potensi kota-kotanya masing-masing.

Dalam istilah politik perkotaan, koordinasi

kota dikenal sebagai urban governance

(pengelolaan kota). Istilah tersebut

mengindikasikan adanya kepedulian kota

besar terhadap perkembangan kota-kota

di sekitarnya dengan menyediakan

insentif berupa sistem transportasi massal,

industrialisasi, dan lain sebagainya. Inti

yang ingin disampaikan ialah keinginan

kota untuk melakukan benefit sharing

dari proses akumulasi kapital dalam

globalisasi secara adil dan merata dengan

kota kecil maupun desa. Masalah

disparitas memang menjadi kendala

dalam relasi kota global dengan kota

lainnya untuk mengembangkan

ekonominya sehingga sebisa mungkin

harus diminimalisir.

Kota Global : Dari Industri ke Post

Industri

Kota global merupakan bagian dari

fenomena post-soverignity era dari

globalisasi yakni menurunnya

kedaulatan nasional dalam pengelolaan

sebuah kota dan meningkatnya kekuatan

lokal menjadi identitas di arena global.

Penyebutan kota global memang lebih

bernuansa bisnis daripada pemerintahan

maupun manajerial karena sifatnya

sebagai wadah bertemunya kapital asing

dalam membangun kota. (Taylor, 2007:

45) Progam kemitraan antar kota yang

lazim dikenal sebagai kota kembar (sister

city) merupakan bagian dari fenomena

post-soverignity era di mana kota berusaha

menjalin kemitraan dengan kota di dunia

yang memiliki kekuatan lokal yang sama

sehingga terjadi pertukaran informasi

maupun sumber daya lainnya yang

seimbang antar keduanya. Kota global

pada dasarnya memang lekat dengan kota

yang dihuni oleh perusahaan

multinasional sehingga kota tersebut juga

ikut mengglobal seiring dengan

masuknya perusahaan asing di tempat

tersebut. Oleh karena itulah, makna

pemerintahan kota (government city)

berganti menjadi otorita kota (city author-

ity) untuk mengakomodir perubahan

fungsi kota menjadi entitas bisnis. Otorita

kota tidak lebih dari sekedar panitia besar

(organizing committee) untuk menarik

investor asing tersebut. Karena kota

menjadi entitas bisnis, maka cara kerja

otorita kota sebagai badan resmi kota glo-

bal sendiri juga harus mengikuti cara

swasta dalam bekerja. Walikota diganti

dengan Kepala Otorita sebagai pucuk

pemimpin kota yang pemilihannya sendiri

Page 11: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan

119

ditentukan dalam rapat dewan kota yang

isinya merupakan para komisioner

perusahaan yang berkecimpung dalam

kota tersebut. Otorita kota yang lazim di

dunia seperti Hongkong, Macau, Dubai,

dan lain sebagainya memang menempuh

cara tersebut demi kepentingan bisnis.

Maka tidaklah salah kalau dalam

menjalankan sebuah kota global (global

city) sendiri, prinsip business as usual

lebih dikedepankan daripada politic as

usual dalam memimpin kota. (Clark,

2004: 34) Prinsip apolitis yang

disematkan kota global pada dasarnya

ditujukan untuk menghindari dan

mereduksi intervensi politik dari pusat

dalam kegiatan bisnis di kota global. Kota

global memang mendapat perlakuan

khusus sesuai dengan perannya sebagai

mesin ekonomi nasional di kancah

globalisasi dengan diberikannya status

otonomi khusus kepada kota tersebut.

Aplikasi otonomi khusus tersebut

merupakan bentuk dari otonomi asimetris

yang dianut sebuah negara terhadap

suatu daerah yang kapasitasnya mampu

menghadirkan keuntungan kepada

negara melalui kegiatan bisnisnya.

Otonomi asimetris bagi kota global

untuk menjalankan bisnisnya memang

banyak dipraktekkan di berbagai negara

seperti Dubai, Hongkong, Macau,

Shenzen, Alexandria, Seattle, Barcelona,

London, New York, dan lain sebagainya.

Implementasi otonomi khusus akan

membuat status kota global yang

disandang oleh sebuah kota besar akan

menjadi riil dan tidak hanya istilah

seremonial belaka saja. Hal tersebut juga

memberikan kepastian hukum bagi para

investor asing untuk menanamkan

modalnya di kota tersebut dengan fasilitas

ekonomi yang menunjang seperti fasilitas

jalan bebas hambatan, insentif pajak

berupa tax holiday, bebas bea impor, dan

lain sebagainya. Implikasinya kemudian

merambah luas kepada terbentuknya

jejaring interdependensi yang kuat antar

kota-kota di dunia dalam proses

industrialisasi.

Pada dasarnya, kota global memang

mengandalkan diri pada proses

industrialisasi manufaktur maupun

infrastruktur. Kondisi semacam itu

segaris dengan paradigma fordisme yang

marak terjadi di era 1970-1980 di mana

konsumsi barang yang meningkat

berimplikasinya naiknya angka

produktivitas barang industri. Era

tersebut juga merupakan pertanda zaman

konsumsi massal yang tinggi (high mass

consumption) yang dialami berbagai

negara dunia karena adanya modernisasi

ekonomi, kemajuan teknologi,

(Abrahamson, 2004: 75) maupun boom-

ing harga minyak dunia sehingga terjadi

pertukaran kesejahteraan yang seimbang

antara kota negara maju yang

mengandalkan kepada barang teknologi

dan barang produksi ekstratif. Adapun

dalam era sekarang ini, kota global kini

mengalami perubahan fungsi yang

semula industry oriented dengan

produksi benda fisik kini berganti dengan

post-industry oriented dengan menjual

jasa. Jasa yang dimaksudkan adalah jasa

perbankan, jasa industry, maupun jenis

jasa ekonomi lainnya yang umumnya

mengarah pada aspek supporting system

dalam kegiatan perekonomian.

Terdapat tiga indikator utama dalam

melihat segi kompetitif sebuah kota besar

di dunia dalam menyediakan supporting

system bagi dunia bisnis yakni alpha,

gamma, dan beta. Trikotomi tersebut

merujuk pada hasil survey Globalization

and World Cities Research Networking

untuk menentukan derajat kompetitif

sebuah kota dalam era globalisasi.

(GAWC, 2012) Adapun indikator alpha

berarti kota tersebut merupakan

episentrum dari sirkulasi perekonomian

Page 12: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Multiversa, Vol 3, No. 2 Agustus 2013: 109-121

120

dunia yang mana semua aliran kapital,

teknologi, dan informasi sendiri biasanya

berasal dari kota Alpha tersebut. Sebagai

contoh, New York menjadi kota Alpha

karena adanya NYSE (New York Stock

Exchanges), London melalui bursa harga

minyak, Singapura karena kotanya yang

strategis terletak di jalur perdagangan

dunia. Indikator Beta sendiri

mengindikasikan bahwa kota tersebut

kota-kota yang selama ini menjadi kota

industrialisasi produk dunia maupun kota

tempat perusahaan multinasional

berpusat. (Huang, 2007: 209-231) Yang

masuk dalam kategori Beta ini adalah At-

lanta, Melbourne, Barcelona, Dallas, dan

Oslo. Adapun gamma merupakan

predikat bagi kota yang memegang

kendali sebagai kota industri dan net ex-

porter bagi komoditas teknologi. Kota-kota

yang masuk dalam kategorial ini adalah

Guatemala City, Manama, Minneapolis,

Montreal, dan Nairobi.

Secara garis besar, survey yang

dilakukan oleh GAWC sendiri

menunjukkan bahwa terdapat hierarki

kuasa dalam mengklasifikasi berbagai

kota besar dunia. Hierarki kuasa tersebut

bisa saja kembali dalam analisis dikotomi

utara (global north) dan selatan (global

south) yang selama ini kerap menghiasi

perdebatan akademik seputar disparitas

kesejahteraan dan kesenjangan ekonomi

antar kota di negara dunia pertama

dengan kota dunia ketiga. Namun

analisis tersebut tidak sepenuh benar

mengingat dalam rilis indeks kompetitif

kota besar dunia di arena globalisasi

menyebutkan bahwa yang menjadi

indikator meliputi berbagai hal seperti

sarana-prasarana, tingkat pendidikan,

sistem transportasi, sistem perumahan,

kesehatan, sanitasi, dan ruang publik.

Artinya pengertian kota global (global

city) tidaklah selalu menunjuk pada kota-

kota di kawasan Asia Timur, Eropa Barat,

dan Amerika Utara yang acap kali

disebut sebagai kota dunia yang maju dan

modern. Buktinya terdapat kota global

yang berpredikat alpha sendiri justru

berada di kawasan dunia ketiga sendiri

justru masuk deretan kota berpredikat

tersebut seperti halnya Jakarta, Mumbai,

Kalkuta, Sao Paolo, Meksiko, Kuala

Lumpur, maupun Manila yang selama ini

diposisikan sebagai emerging markets

dalam era globalisasi sekarang ini. Oleh

karena itulah, derajat kompetitif sebuah

kota bukanlah diukur dalam persepsi

bahwa kota global sendiri terletak di

negara maju, pengertian kota global

merupakan cara/parameter bagi manajer

kota untuk memperbaiki kotanya agar

mampu bersaing secara kompetitif dalam

era globalisasi sekaligus memenuhi

kepentingan nasionalnya dalam relasi

antar bangsa.

Kesimpulan

Hal yang bisa kita tarik dari

pembahasan kota global dalam tulisan ini

adalah fungsi kota kini mengalami

transformasi dari semula sebagai sentrum

dari ekonomi nasional kini diharuskan

bersaing dalam era globalisasi. Globalisasi

memberi andil besar dari perubahan dan

pengembangan sebuah kota yang

dulunya memegang berbagai macama

fungsi kini mengalami spesialisasi fungsi

untuk fokus pada pengembangan

keunggulan kompetisi. Adanya

spesialisasi fungsi dalam sebuah kota

akan membuat survivalitas dan

aksesbilitas kota tersebut dalam

berkompetisi akan menjadi lebih kuat.

Globalisasi juga menghadirkan

transformasi bagi sebuah pengembangan

kota yang semula berorientasi kepada ad-

ministrative-birokratik kini lebih kepada

pemenuhan bisnis. Kota global pada

dasarnya merupakan rumah besar (hold-

Page 13: Global City Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Kota di Era Globalisasi : Tinjauan Analisis Teori

Warsito Raharjo Jati- Global City sebagai Paradigma Pembangunan

121

ing home) bagi entitas bisnis yang

menggerakkan usahanya di kota tersebut

dengan memberi berbagai kemudahan

bagi pebisnis untuk memperluas pangsa

pasarnya dengan menjadikan kota

sebagai basis operasionalisasinya. Oleh

karena itulah, dalam usaha

pengembangan kota besar di Indonesia.

Konsep ini perlu untuk disosialisasikan

demi meningkatkan daya saing daerah di

kancah global.

Daftar Pustaka

Abrahamson, Mark. (2004) Global Cities. Oxford:

Oxford University Press.

Castell, Matt. (2000) The Rise of the Network So-

ciety. London: Blackwell Publishing

Clark, David. (2004) Urban World/Global City.

London: Routledge

Duffy, Hazel. (1995) Competitive Cities: Succeed-

ing in The Global Economy. London: FN

Spon

Eade, John. (1997) Living in The Global City :

Globalization as Local Process. London :

Routledge

Friedmann, John. (1986) The World City Hypoth-

esis. Development and Change. Cam-

bridge: Cambridge University Press

GaWC. The World According to GAWC 2012.

Terdapat dalam: <http://

www.lboro.ac.uk/gawc/world2012.html>

(Diakses pada 10 November 2012).

Huang, Yefang. (2007) Cities and Globalization:

An International Cities Perspective. Ur-

ban Geography. Jurnal Urban Geogra-

phy, 28 (3)

McCann, Eugene. (2004) Urban Political

Economy Beyond the ‘Global City.” Ur-

ban Studies. London: Carfax Publishing

Ruble, B. (1996) Preparing for the Urban Fortune:

Global Pressures and Local Forces. Wash-

ington D.C: Woodrow Wilson Center

Press

Rutz, Werner. (1987) Cities and Towns in Indone-

sia : Their Development, Current Position,

and Function with regard to Administra-

tion and Regional Autonomy. Berlin :

Borntaeger

Sassen, Saskia. (1991) The Global City. New Jer-

sey : Princeton University Press, 1991

Sassen, Saksia. (2005) “The Global City : Intro-

ducing a Concept.” Brown Journal of

World Affairs, 11 (2), pp. 21-43.

Scott, Allen. (2008) Social Economy of the Me-

tropolis : Cognitive-Cultural Capitalism

and the Global Resurgence of Cities. Ox-

ford : Oxford University Press

Taylor, Peter. (2007) Cities in Globalization :

Theories, Policies, and Practices. London :

Routledge, 2007

Ye, Lin. (2007) Is Shanghai Really a “Global

City?”. Makalah disajikan dalam Inter-

national Conference on Globalism and

Urban Change. (University of Louisville,

Chicago, 8-10 Juli, 2007).

Yusuf, Shahid. (2002) Pathways to a World City:

Shanghai Rising in an Era of

Globalisation. Urban Studies, pp.1213–

1240.

Yunus, H. S., (2009) Klasifikasi Kota. Yogyakarta,

Pustaka Pelajar