GANGGUAN SISTEM GASTROINTESTINAL
Gangguan Sistem Gastrointestinal Menfri Layanto, S.Ked
(406080025)
BAB XXV
GANGGUAN SISTEM GASTROINTESTINAL
TUJUAN BELAJAR
TUJUAN KOGNITIF
Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan
dapat :
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sistem
gastrointestinal.
1.1. Menjelaskan pengertian tentang gangguan gastrointestinal
pada lanjut usia.
1.2. Menjelaskan dengan kata-kata sendiri mengenai gangguan
penting pada GIT.
1.3. Menjelaskan dengan kata-kata sendiri mengenai perbedaan
keadaan gastrointestinal pada pasien geriatri dengan pasien pada
tingkat umur yang lain.
2. Mengetahui bagaimana terjadinya gangguan sistem
gastrointestinal pada lanjut usia.
2.1. Menjelaskan gejala-gejala dari gangguan
gastrointestinal.
2.2. Menjelaskan cara-cara penanganan gangguan
gastrointestinal.
3. Mengetahui gangguan gastrointestinal apa yang biasa ditemukan
pada pasien geriatri.
Menjelaskan mengenai faktor-faktor predisposisi gangguan
GIT.
TUJUAN AFEKTIF
Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis
mengharapkan anda sudah akan dapat :
1. Menunjukkan perhatian akan kesehatan pencernaan pada orang
yang berusia lanjut.
1.1. Membaca lebih lanjut mengenai gangguan sistem GIT.
1.2. Mengajak keluarga pasien usia lanjut membicarakan tentang
gangguan sistem GIT.
1.3. Mengusulkan cara pengobatan yang memadai.
I. pENDAHULUAN
Di bidang gastroenterologi, pada populasi usia lanjut sebenarnya
tidak ada kelainan yang sangat khas. Walaupun terdapat perubahan
seluler dan struktural seperti organ tubuh lainnya, fungsi sistem
gastrointestinal pada umumnya dapat dipertahankan. Gangguan fungsi
biasanya terjadi apabila terdapat proses patologis pada organ
tertentu atau bilamana terjadi stress lain yang memperberat beban
dari organ yang sudah mulai menurun fungsi dan anatomiknya.
Gambar 1.1.Sistem pencernaan manusia
Secara garis besarnya, fungsi fisiologis sistem pencernaan tetap
normal selama proses menua. Di lain pihak, beberapa perubahan yang
berhubungan dengan proses menua mungkin merupakan proses adaptasi,
supaya homeostasis selalu terjaga dengan baik.
Proses penuaan relatif sedikit dalam mempengaruhi fungsi
gastrointestinal disebabkan oleh besarnya fungsi kapasitas
penyimpanan pada sebagian besar gastrointestinal. Meski begitu,
proses penuaan berhubungan dengan meningkatnya prevalensi beberapa
penyakit gastrointestinal, termasuk juga penyakit gastrointestinal
yang diinduksi oleh obat-obatan, misalnya esofagitis yang diinduksi
oleh AINS atau biphosphonates.
Selain itu, kelainan klinis dari fungsi gastrointestinal,
termasuk juga menurunnya intake makanan, sebaiknya dievaluasi,
meskipun kelainan tersebut bukan disebabkan oleh proses
penuaan.
II. Saluran Pencernaan Pada proses penuaan
A.Rongga Mulut
Gigi geligi mulai banyak yang tanggal, di samping juga terjadi
kerusakan gusi karena proses degenerasi. Kedua hal ini sangat
mempengaruhi proses mastikasi makanan sehingga mengurangi intake
kalori. Lanjut usia mulai sukar untuk makan makanan berkonsistensi
keras, lama kelamaan menjadi malas makan.
Kelenjar saliva menurun produksinya, sehingga mempengaruhi
proses perubahan kompleks karbohidrat menjadi disakarida (karena
enzim ptialin menurun), mempengaruhi refluks asam pada lansia, juga
fungsi ludah sebagai pelicin makanan berkurang, sehingga proses
menelan lebih sukar.
Sensasi rasa berkurang sejalan dengan proses penuaan. Lansia
menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam merasakan makanan. Indera
pengecap di ujung lidah menurun jumlahnya, terutama untuk rasa
asin, sehingga lanjut usia cenderung untuk makan makanan yang lebih
asin. Beberapa obat-obatan dan penyakit dapat juga mempengaruhi
rasa, tetapi ketidakmampuan dalam merasakan makanan tersebut
dipercaya hanya sementara saja.
Gambar 2.1. Penampang Gigi pada Manusia
B.Faring dan Esofagus
Banyak lanjut usia sudah mengalami kelemahan otot polos,
sehingga proses menelan menjadi sukar. Kelemahan otot esofagus
sering menyebabkan proses patologis yang disebut hiatus hernia.
Pada orang sehat, proses penuaan hanya memberi sedikit pengaruh
terhadap motilitas esofagus. Tekanan sfingter esofagus bagian atas
menurun sesuai dengan proses penuaan (disertai keterlambatan
menelan yang diinduksi oleh keadaan relaksasi), tetapi tekanan
sfingter esofagus bagian bawah tidak banyak berubah. Peristaltik
kedua sedikit bereaksi terhadap distensi esofagus yang bisa
menimbulkan kegagalan dalam bersihan refluks asam dan empedu.
Laporan terdahulu dikatakan bahwa presbyesofagus (keadaan yang
berhubungan dengan abnormalitas peristaltik esofagus) paling sering
disebabkan oleh gangguan neurologi dan vaskuler, yang mempengaruhi
fungsi esofagus dan tidak berhubungan dengan usia.
Refluks gastrointestinal sepertinya mempunyai prevalensi yang
sama antara lansia dengan orang muda, meskipun dapat menimbulkan
gejala ringan yang berhubungan dengan penyakit yang lebih berat
yang sering disebabkan oleh kegagalan bersihan asam. Panjang
sfingter esofagus bagian bawah juga berkurang pada lansia dan
meningkatkan insiden hiatus hernia.
Obat-obatan seperti AINS, potassium chlorida, tetrasiklin,
kuinidin, alendronate, sulfas ferosus dan teofilin bisa menimbulkan
kerusakan esofagus. Lansia berisiko tinggi terhadap esofagitis yang
diinduksi oleh obat dan komplikasinya sebab mereka meminum obat
dalam jumlah besar dan cenderung mengalami keterlambatan transit
esofagus dan menjadi imobilitas. Seharusnya pasien menelan obat
dalam posisi setengah duduk dengan dibantu segelas air.
Gambar 2.2. Faring dan Esofagus
C.Lambung
Pada lambung dapat terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel
kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan sekresi asam
lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang. Ukuran lambung pada
lanjut usia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung makanan
menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi pepton
terganggu. Sekresi asam lambung berkurang, sehingga rangsang lapar
juga berkurang.
Meskipun proses penuaan tidak memiliki efek signifikan terhadap
sekresi asam dan pepsin, tetapi sering terjadi situasi dimana
produksi asamnya berkurang. Berkurangnya produksi asam waktu basal
dan turunnya perangsangan sekresi asam lambung oleh karena proses
penuaan ( Hipoklorida ) sering disebabkan oleh Gastritis atrofican,
yang prevalensinya meningkat pada infeksi Helicobacter pylori. Pada
saat atrofi, mukosa lambung sedang absen dimana jumlah sekresi asam
oleh sel parietal biasanya meningkat sejalan dengan proses
penuaan.
Penelitian menunjukkan proses penuaan mengurangi kapasitas
mukosa lambung dalam melindungi diri dari kerusakan. Faktor-faktor
penting dari cytoprotection adalah aliran darah lambung, sekresi
prostaglandin, glutation, bicarbonate dan berkurangnya mukus
sejalan dengan proses penuaan.
Perubahan ini terlihat dari kegagalan fungsi barier mukosa
lambung dan meningkatnya risiko ulkus lambung dan duodenum pada
lansia, yang sebagian besar disebabkan oleh AINS. Perubahan ini
juga meningkatkan insiden terjadinya ulkus lambung dan duodenum
pada lansia, yang diinduksi oleh Helicobacter pylori.
Proses penuaan berhubungan dengan perlambatan pengosongan
lambung sehingga memperlama distensi lambung, selanjutnya makanan
menjadi penuh di dalam lambung, sehingga intake makanan pun
berkurang, yang semakin lama dapat menurunkan berat badan.
Gambar 2.3. Lambung
D.Hepar
Hepar berfungsi penting dalam proses metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak. Di samping itu hepar juga memegang peranan
besar dalam proses detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan vitamin,
konjugasi bilirubin, dan lain sebagainya.
Dengan meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan
terjadi perubahan akibat atrofi sebagian besar sel kemudian berubah
bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan penurunan
fungsi hati dalam berbagai aspek yang telah disebutkan tadi. Hal
ini harus diingat terutama dalam pemberian obat-obatan. Pengaruh
penuaan terhadap hepar adalah perubahan berat hepar, histologi,
biokimia ataupun aliran darah hepar. Perubahan hepar yang
dipengaruhi oleh metabolisme obat sering tidak tampak secara
klinis.
Perubahan berat hepar yang manifestasinya berupa hepar menjadi
coklat dan volumenya serta beratnya berkurang. Perubahan warna
disebabkan akumulasi lipofusin (pigmen coklat) dalam hepatosit yang
diproduksi oleh metabolisme lemak dan protein. Fibrosis kapsular
dan parenkimal juga meningkat tapi tidak mempengaruhi fungsi dan
tidak mengindikasikan sirosis. Volume hepatik berkurang antara
17-28% pada usia 40-65 tahun, beratnya berkurang 25% pada 20-70
tahun.
Secara histologi, hepatosit melebar dan bertambah sejalan dengan
penuaan dan beberapa kejadian meningkatkan polipoid pada inti sel
hepar serta menambah ukurannya. Jumlah mitokondria per volume hepar
berkurang disertrai penambahan ukuran dan vakuolisasi mitokondria.
Jumlah lisosom dan densitas tubuh juga meningkat.
Secara biokimia, serum bilirubin menurun sejalan dengan penuaan,
meskipun dari sekitar 2 kali) dilatasi pneumatik tidak
berhasil.
Adanya ruptur esofagus akibat dilatasi.
Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus
yang sangat hebat.
Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esofagus.
Akalasia pada anak berumur kurang dari 12 tahun.
Penyakit Refluks Gastro-Esofageal (GERD)
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah fenomena biasa
yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu-waktu. Pada orang
normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan
karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi
peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus
segera dikembalikan ke lambung.
Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak
menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan refluks
fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks
terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena
pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama.
Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat
refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa
esofagus.
Meskipun telah dilakukan penelitian yang luas dan mendalam,
etiologi GERD masih belum dipahami betul. Dikatakan etiologi GERD
adalah multifaktorial atau dengan kata lain ada beberapa keadaan
yang memudahkan terjadinya refluks patologis.
Penyebabnya antara lain adalah inkompetensi sfingter esofagus
bawah, relaksasi sfingter sepintas dan terkomprominya mekanisme
anti-refluks yang lain (misalnya karena adanya kompresi ekstrinsik
sfingter esofagus bawah oleh diafragma krural, lokasi sfingter,
integritas ligamentum frenoesofageal, bersihan asam di
esofagus).
Gambar 4.4.Mekanisme GERD
Mekanisme anti-refluks :
- Bentuk diafragma kanan
- Segmen intra-abdominal
- Sudut masuk esofagus ke lambung
- Mukosa esofagus yang menyempit
- Sfingter gastroesofageal
Berbagai zat yang menurunkan kompetensi sfingter esofagus bawah
termasuk coklat, alkohol, lemak, tembakau, dan mungkin kafein dapat
memperberat GERD.
Gejala klasik GERD terdiri dari rasa panas di ulu hati,
regurgitasi asam, disfagia, dan nyeri dada merupakan gejala yang
sering dikeluhkan. Rasa panas di ulu hati dan regurgitasi asam
terjadi setelah makan dan perubahan posisi, seperti berbaring.
Regurgitasi asam bisa menginduksi asma melalui mikroaspirasi asam
atau melalui vagal bronkospasme yang disebabkan oleh pemaparan asam
intraesofageal. Disfagia yang menetap dan progresif pada makanan
padat, sering terdapat fibrosis dan pembentukan striktur
Untuk diagnosa, sayangnya tidak ada pemeriksaan tunggal yang
dapat dijadikan gold standart untuk diagnosis.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan :
a. Barium meal
Dapat dipakai sebagai screening test untuk membedakan dengan
ulkus peptikum dan mengetahui kemungkinan komplikasi dari
refluks.
b. Tes perfusi asam (Bernstein)
Tes ini menunjukkan sensitivitas dari distal esofagus terhadap
asam.
c. Endoskopi dengan biopsi
Terdapatnya erosi, ulkus, atau striktur memberikan diagnosis
yang lain akibat perlukaan karena refluks.
d. Manometri esofagus
Pemeriksaan ini harus dipikirkan pada pasien dengan perkiraan
diagnosis lain (gangguan motilitas) atau operasi anti-refluks.
e. Pengukuran pH 24 jam
Pemeriksaan ini bisa sangat membantu pada pasien dengan gejala
yang atypical atau pemeriksaan-pemeriksaan lain negatif.
Pengobatan GERD dikenal 3 bentuk :
a. Tindakan khusus
Sebagian besar pasien GERD dengan keluhan rasa panas di ulu hati
dan regurgitasi asam tanpa adanya kerusakan mukosa biasanya membaik
dengan mengubah gaya hidup. Yang dapat dilakukan adalah :
Jangan berbaring setelah makan.
Hindari mengangkat barang berat.
Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang.
Tempat tidur bagian kepala ditinggikan.
Turunkan berat badan pada pasien yang gemuk.
Membiasakan tidur dengan lambung tidak terisi penuh.
Jangan makan terlalu kenyang.
Hindari makanan berlemak.
Kurangi atau hentikan pemakaian kopi, alkohol, coklat, dan
makanan yang dibubuhi rempah-rempah.
Jangan merokok.
Jangan menggunakan obat-obatan yang menurunkan sfingter esofagus
bawah.
Untuk sebagian pasien dengan derajat penyakit yang lebih berat
dan menunjukkan kerusakan mukosa berupa peradangan dan ulserasi,
dibutuhkan obat-obat untuk menyembuhkannya.
b. Tindakan medis
Terapi stadium akut
Tujuan pengobatan medis adalah untuk mempercepat pengosongan
lambung, melindungi permukaan mukosa dan menetralisasi atau menekan
pembentukan asam lambung
1. Obat prokinetik
Obat golongan ini secara teoritis paling sesuai untuk pengobatan
GERD oleh karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah
gangguan motilitas gastro-esofageal daripada hipersekresi asam.
2. Yang termasuk golongan ini : betanekol, metoklopramid,
domperidon, dan cisapride, yang semuanya memiliki sifat mempercepat
peristaltik saluran pencernaan di samping meninggikan tekanan
sfingter esofagus bawah.
3. Obat anti-sekretorik
Obat anti-sekretorik yang mampu menekan sekresi asam pada
umumnya tergolong antagonis reseptor H2 (ARH2), seperti simetidin,
ranitidin, dan famotidin. Obat-obat tersebut tidak hanya mengurangi
keasaman, tetapi juga menurunkan jumlah sekresi lambung.
4. Antasida
5. Pengobatan dengan antasida kurang memuaskan, oleh karena
waktu kerjanya singkat dan tidak dapat diandalkan untuk
menetralisasi sekresi asam tengah malam (nocturnal acid secretion),
dan resiko terjadinya sekresi asam yang melambung kembali (rebound
acid secretion).
6. Obat pelindung mukosa
7. Sukralfat dikatakan tidak memiliki efek langsung terhadap
asam lambung dan bekerja dengan cara meningkatkan ketahanan
mukosa.
Terapi jangka panjang
GERD merupakan penyakit yang residif dan kronik. Pasien yang
mengalami komplikasi memerlukan terapi jangka panjang. Sesuai
dengan pengobatan tukak peptik, pendekatan terdiri atas pengobatan
pada waktu terjadi kekambuhan simtomatik, pengobatan secara
berkesinambungan dan bedah anti-refluks.
c. Pembedahan
Pada kasus yang berat dan kronis, dapat dipikirkan pembedahan
anti-refluks, seperti : Nissen fundoplication, Hill posterior
gastroprexy, Belsey fundoplication.
A.2.Hiatus hernia
Hiatus hernia merupakan suatu keadaan di mana terjadi
perpindahan lambung secara intermiten dan permanen, disertai
perpindahan bagian esophagus dari intra abdomen ke dalam rongga
dada di atas diafragma melalui hiatus oesophagus yang normal.
Penyakit ini meningkat prevalensinya dengan meningkatnya usia,
menjadi sekitar 60-90 % pada usia 70 tahun, maka kelemahan otot
sering disebutkan sebagian suatu faktor primer. Walaupun mungkin
asimtomatik, seringkali menimbulkan gejala refluks, disfagia,
hemoragik akibat ulserasi peptik pada esofagus dan volvulus lambung
(pada penderita dimana seluruh lambung hernia ke rongga
toraks).
Diagnosis bisa ditegakkan dengan pemeriksaan foto barium dan
esofaguskopi. Penatalaksanaan bisa dimulai dengan cara
non-farmakologik, antara lain tidur dengan kepala lebih tinggi,
mengurangi membungkuk, mengurangi jumlah makanan, menurunkan berat
badan pada mereka yang gemuk dan berhenti merokok. Terapi
farmakologik bisa ditambahkan, diantaranya obat prokinetik, dan
penghambat H2, yang mungkin diperlukan dalam jangka waktu antara
4-8 minggu. Strangulasi dan inkarserasi merupakan indikasi segera
untuk melakukan operasi perbaikan.
Gambar 4.2.Hiatus hernia
A.3. Divertikula
Divertikula paling sering didapati di esofagus, biasanya
terletak di atas sfingter esofagus atas ( divertikula Zenker ) yang
mana sering dihubungkan dengan disfungsi crico-faringeal, di bagian
tengah esofagus ( divertikula karena tarikan) dan yang terakhir
tepat di atas sfigter esofagus bawah (divertikula epinefrik ).
Diagnosis penyakit ini sering setelah usia dewasa, diakibatkan oleh
gangguan motorik.
Gejala yang timbul tergantung dari tingkat pembentukan
divertikulum:
Tingkat pertama
Biasanya tanpa gejala.
Tingkat kedua
Di mana kantung sudah berbentuk globus dan telah meluas ke
daerah infero posterior akan terjadi pengumpulan makanan. cairan
serta mukus di dalam divertikulum. Jika terjadi spasme oesophagus
akan ditemukan gejala disfagia.
Tingkat ketiga
Divertikulum sudah meluas sampai ke daerah mediastinum.
Gejalanya berupa disfagia yang berat, regurgitasi terjadi segera
setelah makan atau minum. Gejala yang menonjol adalah aspirasi atau
regurgitasi pada malam hari saat pasien tidur. Diagnosis ditegakkan
atas dasar pemeriksaan esofagogram. Pemeriksaan endoskopi dan
manometrik sering tidak memberikan tambahan informasi. Gejala
ringan bisa diberikan pengobatan simtomatik dan prokinetik. Gejala
yang berat memerlukan tindakan pembedahan.
Gambar 4.3. Divertikula
Divertikulum Zenker Divertikulum karena tarikan
A.4. Tumor Esofagus
Tumor jinak esofagus, seperti leiomyoma, lipoma, squamous
papilloma dan polip yang terinflamasi agak jarang terjadi. Mereka
ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan radiologi
atau endoskopi.
Karsinoma Skuamosa Esofagus
Gambar 4.4. Karsinoma Skuamosa Esofagus
Pada karsinoma skuamosa ini tidak diketahui adanya satu faktor
tunggal tertentu sebagai penyebab terjadinya kanker ini. Aneka
ragam faktor etiologi diperkirakan berperan dalam etiopatogenesis
kanker tersebut, yaitu faktor lingkungan, faktor diet, kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol, iritasi kronik pada mukosa (akalasia
yang tidak diobati), dan kultural (lelaki kulit hitam lebih sering
terkena).
Gejala utama, yaitu disfagia yang progresif yang dimulai dari
kesulitan memakan makanan yang padat sampai cair. Anoreksia dan
kehilangan berat badan yang berlebihan juga selalu ditemukan.
Terkadang ditemukan pasien dengan komplikasi aspirasi pneumonia
atau pembentukan fistula.
Diagnosa dibuat dengan esofagogram dan endoskopi yang
dilanjutkan dengan biopsi.
Karsinoma skuamosa bersifat radiosensitif. Pada kebanyakan
pasien, radiasi eksternal memberikan efek penyusutan tumor.
Komplikasi akibat radiasi sering berupa striktura, fistula, dan
perdarahan, kadang-kadang dijumpai komplikasi kardiopulmonal.
Kemoterapi dapat diberikan sebagai pelengkap terapi bedah dan
terapi radiasi. Biasanya digunakan kemoterapi kombinasi, misalnya
kombinasi sisplatin bersama bleomisin dan 5-FU.
Pada kasus inoperabel, terapi paliatif dapat berupa dilatasi
berulang secara endoskopik, pemasangan protesis melewati tumor
dengan menggunakan stent, atau dikerjakan gastrostomi. Pada kasus
yang obstruktif, massa tumor juga dapat dikikis dengan menggunakan
sinar laser.
Adenokarsinoma Esofagus
Gambar 4.5. Adenokarsinoma Esofagus
Barret Esofagus :
Pita epithelial metaplasia di proximal ( panah )
Telah diketahui bahwa esofagus Barret merupakan keadaan
premaligna untuk adenokarsinoma esofagus. Keadaan premaligna ini
disertai esofagitis kronik refluks, tidak terbukti ada kaitan
dengan alkohol dan rokok seperti pada karsinoma skuamosa esofagus.
Adenokarsinoma jarang pada ras kulit hitam.
Kebanyakan tumor ini terdapat dekat esophagogastric junction,
cenderung masif dan invasif serta menyebar ke kelenjar regional,
jarang bermetastasis ke hati.
Gambaran klinis hampir serupa dengan karsinoma esofagus, yaitu
disfagia, odinofagia, dan penurunan berat badan. Selain itu,
ditemukan keluhan-keluhan lambung seperti anoreksia, cepat merasa
kenyang, mual, muntah, dan perut kembung. Pada saat sudah ada
keluhan, seringkali penyakit sudah sangat lanjut dan prognosis
buruk.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi disertai
biopsi. Penentuan stadium tumor dikerjakan dengan radiografi
memakai kontras dan CT-Scan. Komplikasi dapat berupa obstruksi,
perdarahan, perforasi, dan pembentukan fistula.
Pada adenokarsinoma esofagus biasanya dikerjakan reseksi
ekstensif. Sebagian esofagus yang dibuang diganti oleh satu segmen
kolon transversum, diikuti kemoterapi seperti yang biasa diberikan
pada karsinoma gaster.
B. Lambung dan Duodenum
Walaupun jenis penyakit dan gangguan lambung pada populasi
lanjut usia dan dewasa muda serupa, akan tetapi penampilan dan
penyebab penyakit dan gangguan tersebut seringkali berbeda. Hal ini
karena adanya perubahan fisiologik dan berbagai penyakit ko-morbid
yang sering terdapat pada usia lanjut. Tampilan penyakit dan
gangguan pada usia lanjut (termasuk penyakit peptik) sering tidak
khas.
B.1. Gangguan Motilitas
Gangguan Motilitas Gastro-intestinal Primer
Gangguan motilitas gastro-intestinal primer adalah gangguan yang
tidak berhubungan dengan penyakit tertentu. Tampilan klinik,
patofisiologi, dan pengobatannya bervariasi. Gastro-intestinal
idiopatik dan dispepsia fungsional bisa terjadi pada usia
lanjut.
Gangguan Motilitas Gastro-intestinal Sekunder
Berbagai penyebab yang sering terdapat pada populasi usia
lanjut, antara lain gangguan neuromuskuler, gangguan
vaskuler-kolagen dan obat-obatan, dapat menyebabkan gangguan
motilitas gastro-intestinal. Di samping hal itu, gastroparesis juga
bisa diakibatkan tindakan bedah di saluran cerna yang merubah
anatomi dan mempengaruhi motilitas.
Neuropati diabetik merupakan kelainan umum yang mempengaruhi
inervasi saluran cerna dan mempengaruhi motilitas. Kelainan
degeneratif susunan saraf otonom pada usia lanjut, misalnya
sindroma Shy-Drager dan hipotensi ortostatik idiopatik bisa
mengakibatkan komplikasi gastroparesis.
Berbagai kelainan susunan saraf pusat, antara lain trauma medula
spinalis, kelainan SSP paroksismal (misalnya vertigo, migrain) dan
lesi intrakranial juga dilaporkan disertai dengan gangguan
pengosongan lambung.
Hipertiroidisme dapat menyebabkan percepatan pengosongan lambung
dan perlambatan pengosongan lambung dan pseudo-obstruksi
intestinal.
Beberapa obat, antara lain : agonis adrenergik, agonis
dopaminergik, antagonis kolinergik dan opiat menghambat
kontraktilitas dan melambatkan pengosongan lambung. Agonis
kolinergik dan serotonin akan meningkatkan motilitas lambung.
Dalam hal pemeriksaan, tes pengosongan lambung dengan
radiosintigrafi dapat mengukur pengosongan lambung secara
kuantitatif, sedangkan manometrik gaster dapat mengukur
kontraktilitas lambung dan intestinum tenue dengan mengukur tekanan
intraluminernya. Sayangnya interpretasi tes tersebut sangat sukar
dan peralatan manometrik jarang tersedia, walaupun di rumah sakit
besar.
Penatalaksanaan pada gangguan motilitas bisa berupa modifikasi
diet atau dengan obat-obatan. Gejala penderita dengan gastroparesis
bisa dikurangi dengan pemberian makanan sedikit demi sedikit atau
dengan mengubah komposisi (misalnya dengan meningkatkan cairan),
sehingga meningkatkan pengosongan lambung. Retensi lambung
persisten merupakan indikasi penggunaan obat pro-motilitas
(betanekol, metoklopramid, sisaprid) untuk meningkatkan
kontraktilitas. Bila keadaan menyebabkan gangguan yang sangat
berat, tindakan bedah mungkin diperlukan.
B.2. Gastritis
Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung. Secara histopatologik dapat dibuktikan adanya
infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Secara garis besar,
gastritis dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, atas dasar :
1. Manifestasi klinik
2. Gambaran histologi yang khas pada gastritis
3. Distribusi anatomik
4. Kemungkinan patogenesis gastritis
Insidensi gastritis meningkat dengan bertambahnya usia.
Gastritis atrofikans merupakan penyebab tersering terjadinya hipo
atau aklorhidia. Gastritis akut sering diakibatkan oleh konsumsi
alkohol, obat-obatan (terutama anti-inflamasi non-steroid) dan
toksin stafilokokus. Jenis superfisial ditandai dengan adanya
inflamasi, edema, dan produksi mukus yang berlebihan. Pada jenis
hipertrofikans secara endoskopik terlihat adanya pembengkakan
mukosa, sehingga berbentuk seperti spons, disertai adanya ulserasi
dan erosi di mana-mana.
Perubahan histologik yang jelas terdapat pada kondisi patologis
antara lain anemia pernisiosa dan defisiensi besi, hepatitis virus,
pasca radiasi abdomen, dan pasca operasi lambung.
Gastritis Akut
Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus
merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna. Salah satu
bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk
penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis
hemoragik.
Gastritis akut dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya.
Keadaan klinis yang sering menimbulkan gastritis erosif adalah
trauma yang luas, operasi besar, gagal ginjal, gagal napas,
penyakit hati yang berat, renjatan, luka bakar yang luas, trauma
kepala, dan septikemia. Penyebab lain adalah obat-obatan, misalnya
aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid.
Faktor-faktor yang menyebabkan gastritis erosif adalah iskemia
pada mukosa gaster, di samping faktor pepsin, refluks empedu, dan
cairan pankreas.
Aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa
lambung melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat
siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari
asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensif mukosa
lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat
merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena
kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga
merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat
menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu.
Gambaran klinis gastritis akut erosif sangat bervariasi, mulai
dari yang sangat ringan asimptomatik sampai sangat berat yang dapat
membawa kematian. Pada kasus yang sangat berat, gejala yang sangat
mencolok adalah hematemesis dan melena yang dapat berlangsung
sangat hebat sampai terjadi renjatan karena kehilangan darah. Pada
sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimptomatis.
Keluhan-keluhan itu misalnya nyeri timbul pada ulu hati, biasanya
ringan dan tidak dapat ditunjuk dengan tepat lokasinya,
kadang-kadang disertai mual dan muntah. Perdarahan saluran cerna
sering merupakan satu-satunya gejala.
Gastritis akut erosif harus selalu diwaspadai pada setiap pasien
dengan keadaan klinis yang berat atau pengguna aspirin atau obat
anti-inflamasi non-steroid. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
gastroduodenoskopi. Pemeriksaan radiologi dengan kontras tidak
memberikan manfaat yang berarti untuk menegakkan diagnosis
akut.
Pengobatan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien
dengan resiko tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari,
dan menghentikan obat yang dapat menjadi kausa dan pengobatan
suportif.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida atau
antagonis H2, sehingga dicapai pH lambung 4. Untuk pengguna
aspirin, pencegahan yang terbaik adalah dengan misoprostol.
Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan
walaupun efek terapeutiknya masih diragukan. Pada sebagian kecil
pasien perlu dilakukan tindakan yang bersifat invasif untuk
menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa, misalnya dengan
endoskopi skleroterapi, embolisasi arteri gastrika kiri, atau
gastrektomi.
Gambar 4.6 . Gastritis Akut
Gambar 4.7. Gastritis Kronik
Gastritis Kronik
Disebut gastritis kronik bila infiltrasi sel radang yang terjadi
pada lamina propria, daerah epitelial atau pada kedua daerah
tersebut terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran
granulosit netrofil pada daerah tersebut menandakan peningkatan
aktivitas gastritis kronik.
Klasifikasi histologi yang sering digunakan adalah :
1. Gastritis kronik superfisialis apabila sebukan sel radang
kronis terbatas pada lamina propria mukosa superfisialis dan edema
yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel
kelenjar tetap utuh.
2. Gastritis kronik atrofik apabila sel-sel radang kronik
menyebar lebih dalam disertai distorsi dan destruksi sel-sel
kelenjar mukosa yang lebih nyata.
3. Metaplasia intestinalis dimana terjadi perubahan-perubahan
histopatologik kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar mukosa usus
halus yang mengandung sel goblet. Perubahan tersebut dapat terjadi
hampir pada seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya
merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.
4. Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis
kronik. Pada saat itu struktur kelenjar-kelenjar menghilang dan
terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat,
sedangkan sebukan sel-sel radang juga menurun. Mukosa menjadi
sangat tipis, sehingga dapat menerangkan mengapa pembuluh darah
menjadi terlihat pada saat pemeriksaan endoskopi.
Menurut distribusi anatomisnya, gastritis kronis dapat dibagi
:
1. Gastritis kronik korpus atau tipe A, dimana perubahan
histopatologik terjadi pada korpus dan kardia lambung. Tipe ini
sering dihubungkan dengan proses autoimun dan dapat berlanjut
menjadi anemia pernisiosa.
2. Gastritis kronik antrum atau tipe B, merupakan tipe yang
paling sering dijumpai, dan akhir-akhir ini sering dihubungkan
dengan infeksi kuman Helycobacter pylori (H. pylori).
3. Gastritis multifokal atau tipe AB yang distribusinya menyebar
ke seluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus meningkat seiring
dengan lanjutnya usia.
Secara etiologi terdapat 2 hal penting, yaitu :
Imunologik : terutama pada gastritis kronik korpus yang
berkorelasi kuat dengan autoantibodi sel parietal. Ciri-ciri khusus
adalah bahwa secara histopatologik berbentuk gastritis kronik
atrofik dengan predominan korpus yang dapat menyebar ke antrum dan
hipergastrinemia. Keadaan ini dapat berlanjut menjadi anemia
pernisiosa.
Bakteriologik : pada mulanya kuman ini disebut sebagai
Campylobacter pylori. Terdapat di seluruh dunia dan berkorelasi
dengan tingkat sosio-ekonomi masyarakat. Prevalensi meningkat
dengan meningkatnya umur. Di negara berkembang yang tingkat
ekonominya lebih rendah, terjadi infeksi pada 80 % penduduk setelah
usia 30 tahun. Atrofi mukosa terjadi setelah bertahun-tahun terkena
infeksi kuman ini. Atrofi mukosa pada usia lanjut mungkin terjadi
sebagai akibat kombinasi antara proses menua dan infeksi karena
kuman ini.
Aspek lain : di samping kedua faktor di atas, faktor refluks
entero-gaster, cairan pankreato-bilier, asam empedu dan lisolesitin
masuk ke lumen lambung merupakan penyebab terjadinya gastritis
kronik.
Pada lansia, gastritis kronis seringkali asimptomatis atau
berupa keluhan yang tidak khas yang tidak memberikan informasi
penting untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan atas dasar
pemeriksaan endoskopi dan histopatologik. Pemeriksaan penyaring
dengan urea breath test dan serologi seringkali diperlukan untuk
menentukan adanya infeksi H. pylori, juga untuk menilai
keberhasilan eradikasi. Hasil positif pada penderita tanpa keluhan
bukan merupakan indikasi pengobatan karena tingginya angka infeksi,
terutama pada usia lanjut.
Pengobatan gastritis kronik autoimun ditujukan pada anemia
pernisiosa yang diakibatkannya. Vitamin B-12 parenteral dapat
memperbaiki keadaan anemianya. Eradikasi H. pylori dianjurkan untuk
gastritis kronik yang berhubungan dengan infeksi kuman tersebut.
Eradikasi dapat mengembalikan gambaran histopatologi menjadi
normal.
Berbagai kombinasi obat untuk eradikasi kuman H. pylori :
- Triple drugs (diberikan 1-2 minggu)
Bismuth triple therapy : Colloidal bismuth subnitrat (CBS) 4 x
120 mg / hari
+
Pilih 2 di antara 3 : Metronidasol 4 x 500 mg/hari, Amoksisilin
4 x
500 mg / hari, dan Tetrasiklin 4 x 500 mg / hari
Proton Pump Inhibitor (PPI) based triple therapy :
Omeprasol 2 x 20 mg/hari atau Lansoprasol 2 x 30 mg/hari atau
Lansoprasol 2 x 40 mg/hari
+
2 antibiotika dari : Klaritromisin 2 x 250-500 mg / hari,
Amoksisilin 2x 1000 mg / hari atau Metronidasol 2 x 400-500
mg/hari
- Quadriple Therapy (bila terapi standar dengan terapi triple
gagal)
Kombinasi antara PPI (lihat di atas), CBS (4 x 120 mg / hari)
dengan 2 macam antibiotika dipilih dari Amoksisilin, Klaritomisin,
Tetrasiklin atau Metronidazol
B.3. Ulkus Gaster
Walaupun kadar asam lambung pada lanjut usia sudah menurun,
insiden ulkus di lambung masih lebih banyak dibandingkan ulkus
duodenum. Pria lebih banyak dibandingkan wanita. Walaupun gejala
pada penderita lanjut usia mirip dengan yang terdapat pada usia
muda, sebagian lainnya memberikan gejala tidak spesifik, antara
lain penurunan berat badan, mual dengan rasa tidak enak di
perut.
Etiologi ulkus gaster :
1. Faktor asam lambung (difusi balik ion H+) : bahan iritan akan
menimbulkan defek mukosa barier dan terjadi difusi balik ion H+.
Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung,
timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler,
kerusakan mukosa lambung, gastritis akut / kronis, dan ulkus
gaster.
2. Disfungsi pilorik (refluks empedu dan motilitas antrum) :
bila mekanisme penutupan sfingter pilorus tidak baik, artinya tidak
cukup berespon terhadap rangsangan sekretin atau kolesistokinin,
akan terjadi refluks empedu dari duodenum ke antrum lambung,
sehingga terjadi defek pada mukosa barier yang menimbulkan difusi
balik ion H+. Ulkus gaster yang letaknya dekat dengan pilorus
biasanya memperlambat gerakan antrum, memperlambat pengosongan
lambung melalui gerakan propulsif antrum.
3. Helycobacter pylori : infeksi kuman ini akan menimbulkan
pangastritis kronik atrofi sel mukosa korpus dan kelenjar,
metaplasia intestinal dan hipoasiditas.
Tingkat komplikasi pada usia lanjut cukup tinggi, pada saat ini
50 % perforasi terjadi pada mereka yang berusia di atas 70 tahun.
Pada beberapa penderita, perforasi yang terjadi tidak memberikan
gejala khas (silent). Diagnosis dibuat dengan melakukan endoskopi
atau radiografi dengan kontras barium.
Tujuan terapi adalah :
1. Menghilangkan keluhan / gejala.
2. Menyembuhkan ulkus
3. Mencegah relaps / kekambuhan
4. Mencegah komplikasi
Terapi terdiri dari :
Non-medikamentosa :
- Istirahat
- Diet lunak, tidak merangsang pengeluaran asam lambung.
- Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) sebaiknya dihindari.
AINS yang kurang iritan adalah golongan ibuprofen
Medikamentosa :
- Antasida untuk menghilangkan keluhan sakit dan obat
dispepsia.
- Antagonis reseptor H2 (ARH2)
-Proton pump inhibitor (PPI) Omeprazol
- Obat penangkal kerusakan mukus :
Koloid bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama
protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap rangsangan
pepsin dan asam. Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama
dengan ARH2, serta adanya efek bakterisidal terhadap H. pylori,
sehingga kemungkinan relaps berkurang. Dosis : 2 x 120 mg / hari.
Efek samping : tinja berwarna kehitaman, sehingga timbul keraguan
dengan perdarahan.
Sukralfat
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan melalui pelapisan
permukaan ulkus dimana anion sukralfat berikatan dengan kutub
positif molekul protein pada dasar ulkus. Dosis : 4 x 1 g sebelum
makan. Efek samping konstipasi, mual, perasaan tidak enak di perut.
Kombinasi dengan obat ulkus lain, seperti ARH2, PPI, antasida tidak
dianjurkan.
Prostaglandin / PG
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah
sekresi mukus, sekresi bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah
mukosa. Efek penekanan asam lambung kurang kuat dibandingkan dengan
ARH2. Biasanya digunakan sebagai penangkal ulkus pada pasien yang
menggunakan OAINS. Dosis 4 x 400 mg pagi dan malam hari. Efek
samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus,
sehingga tidak dianjurkan pada wanita hamil.
Tindakan operasi
Indikasi operasi ulkus peptikum :
1. Gagal pengobatan
2. Adanya komplikasi perforasi, perdarahan, dan stenosis
pilori
3. Ulkus gaster dengan sangkaan keganasan
Prognosis pada penderita yang tidak ada komplikasi, walaupun
ulkus cukup besar, biasanya baik. Penderita dengan komplikasi,
biasanya prognosis buruk.
Gambar 4.8 Ulkus Gaster
Ulcus gaster Perforasi gaster
B.4. Ulkus Duodenum
Ulkus lambung dan duodenum terjadi akibat autodigesti asam
lambung terhadap mukosa lambung / duodenum, sehingga membuat suatu
dictum no acid no ulcer yang sampai sekarang masih relevan dalam
pembicaraan mengenai etiologi tukak peptik. Pepsinogen yang
dihasilkan oleh chief cell pada kelenjar getah lambung bagian
antrum pilorus, dalam suasana asam diubah menjadi pepsin yang
berfungsi memecahkan protein dalam makanan, dan apabila daya tahan
mukosa menurun, pepsin dapat mencerna struktur protein mukosa,
sehingga bekerja dengan asam lambung dapat menyebabkan tukak
peptik.
Dua faktor yang menentukan terjadinya ulkus :
1. Faktor agresif yang dapat merusak mukosa :
a. Asam lambung dan pepsin
b. Faktor-faktor lingkungan, seperti :
- H. pylori
- Penggunaan obat AINS
- Merokok
- Stres lingkungan
- Kebiasaan makanan
2. Faktor defensif yang memelihara keutuhan dan daya tahan
mukosa:
a. Sekresi mukus oleh sel epitel permukaan
b. Sekresi bikarbonat lokal oleh sel mukosa lambung /
duodenum
c. Prostaglandin / fosfolipid
d. Aliran darah mukosa (mikrosirkulasi)
e. Regenerasi dan integritas sel epitel mukosa
f. Faktor-faktor pertumbuhan
Keluhan yang sering diutarakan pasien adalah :
Nyeri di daerah epigastrium berupa nyeri yang tajam, dan
menyayat, atau terasa tertekan, penuh atau terasa perih seperti
pada seseorang yang lapar. Nyeri pada bagian kanan atau kiri
epigastrium, terjadi 30 menit sesudah makan, dan dapat menjalar ke
punggung. Nyeri terasa berkurang atau sembuh sementara, sesudah
makan atau setelah minum antasida.
Nafsu makan berkurang
Mual dan muntah
Kembung, bersendawa
Berat badan bisa menurun
Kadang pasien tidak cocok denagn makanan tertentu, seperti
makanan yang mengandung banyak lemak.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan :
Radiologis dengan double contrast.
Endoskopi
Anamnesis yang baik dan teliti.
Pemeriksaan H. Pylori
Pengobatan yang diberikan sama dengan pengobatan pada ulkus
gaster. Komplikasi yang dapat terjadi : perdarahan, penetrasi /
perforasi tukak, obstruksi akibat deformitas duodenum oleh karena
terjadinya parut pada penyembuhan ulkus, kanker duodenum , walaupun
jarang.
Gambar 4.9 Ulkus Duodenum
B.5. Tumor Gaster
Tumor Jinak
Tumor jinak lebih jarang dari tumor ganas. Dibagi atas :
1. Tumor jinak epitel
Biasanya berbentuk polip, dan dapat dibagi atas :
a. Adenoma
1. Terisolasi
2. Bagian dari adenoma generalisata gastrointestinal
b. Adenoma hiperplastik
1. Polipoid sirkumskrip
2. Difus
c. Adenoma heterotropik
1. Tumor pankreas aberan
2. Bruninoma
2. Tumor jinak non-epitel
Tumor ini penting karena sering menimbulkan komplikasi berupa
ulserasi dan perdarahan.
a. Tumor neurogenik
b. Leiomioma
c. Fibroma
d. Lipoma
Tumor Ganas
Seperti pada umumnya tumor ganas di tempat lain, penyebab tumor
ganas belum diketahui secara pasti. Faktor yang mempermudah
timbulnya tumor ganas gaster adalah perubahan mukosa yang abnormal,
antara lain seperti : gastritis kronik, polip di gaster, dan anemia
pernisiosa. Kebiasaan hidup mempunyai peran penting, makanan panas
dapat merupakan faktor timbulnya tumor ganas, seperti juga makanan
yang diasap, ikan asin yang mungkin mempermudah timbulnya tumor
ganas gaster. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah
faktor herediter, golongan darah A, dan faktor infeksi
H.pylori.
Tumor ganas gaster yang tersering adalah adenokarsinoma.
Prognosis yang baik berhubungan dengan bentuk polipoid dan kemudian
berbentuk ulserasi, dan yang paling jelek ada bentuk
schirrhous.
Keluhan utama tumor ganas gaster adalah berat badan menurun,
nyeri epigastrium, muntah, keluhan pencernaan, anoreksia, keluhan
umum, disfagia, nausea, kelemahan, sendawa, hematemesis,
regurgitasi, dan cepat kenyang.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan :
Pemeriksaan fisik berupa penurunan berat badan, massa di
epigastrium.
Radiologi
Gastroskopi dan biopsi
Pemeriksaan darah pada tinja
Sitologi
Pengobatan yang paling tepat adalah pembedahan setelah
sebelumnya ditetapkan apakah masih operabel atau tidak. Tindakan
lain yang dapat dilakukan adalah kemoterapi dan radiasi.
Faktor yang mempengaruhi prognosis adalah derajat invasi dinding
gaster, adanya penyebaran ke kelenjar limfe, metastasis ke
peritoneum, dan tempat lain.
Gambar 4.10 Adenocarcinoma Lambung tipe signet ring cell
C.Hepar
Perubahan yang terjadi pada proses menua sangat sedikit
dibandingkan usia muda. Pada lanjut usia didapatkan penurunan berat
hepar, yang dikarakteristik sebagai degenerasi coklat (brown
atrophy), jumlah dan besar ukuran hepatosit berkurang. Kemampuan
hepar dalam regenerasi agak lambat. Sintesis protein tetap, tetapi
katabolisme protein tidak sama.
C.1. Hepatitis Kronik
Hepatitis kronik adalah suatu sindrom klinis dan patologis yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi yang ditandai oleh berbagai
tingkat peradangan dan nekrosis pada hepar yang berlangsung
terus-menerus tanpa penyembuhan dalam waktu paling sedikit 6 bulan.
Istilah hepatitis kronik mencakup sekelompok kelainan hepar yang
memperlihatkan proses peradangan dan nekrosis yang aktif dan
kronik, dengan etiologi, perjalanan penyakit, dan cara terapi yang
berbeda.
Diagnosis hepatitis kronik berdasarkan pemeriksaan
histopatologis jaringan hati. Keadaan ini ditandai dengan nekrosis
piecemeal disertai nekrosis bridging atau kolaps multi-lobuler
dengan infiltrasi limfositik dan sel plasma. Perubahan
histopatologis ini bisa didapatkan menyertai kolitis ulseratif atau
setelah terpapar obat tertentu, misalnya metildopa, isoniazid,
nitrofurantoin, oksifenistan, dan ketokonazol. Bersama dengan
kelainan-kelainan tersebut, pada 2/3 penderita ditemukan antibodi
otot polos dalam darahnya. Walaupun keadaan ini merupakan keadaan
yang predominan pada usia muda, terdapat puncak insidensi ke-2
setelah menopause. Pentingnya ditegakkan diagnosis hepatitis kronik
ini dikaitkan dengan kemungkinan terjadi sirosis hati dan karsinoma
hati primer. Sebagian besar pasien sirosis hepar meninggal akibat
perdarahan esofagus yang masif dan/atau kegagalan hepar. Sedangkan
karsinoma hepar primer sebagian besar disertai sirosis hepar
seringkali baru diketahui atau baru berobat dalam stadium lanjut,
sehingga prognosisnya selalu jelek.Oleh karena perjalanan penyakit
bervariasi, terapi dengan steroid hanya diberikan pada mereka yang
menunjukkan gejala. Penderita harus dimonitor teratur dengan
evaluasi klinik, pemeriksaan biokimiawi dan bilamana perlu
dilakukan biopsi. Penderita dengan penyakit yang berat mungkin
memerlukan pengobatan steroid jangka panjang.
C.2. Sirosis Hepar
Sirosis hepar adalah penyakit menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Pembentukan
jaringan ikat saja seperti pada payah jantung, obstruksi saluran
empedu, juga pembentukan nodul saja seperti pada sindrom Felty dan
transformasi nodular parsial bukanlah suatu sirosis hati.
Pada usia lanjut, sirosis hati menunjukkan perjalanan penyakit
dan gejala seperti yang terdapat pada dewasa lain. Keadaan ini bisa
disebabkan oleh hepatitis virus, alkoholisme, gangguan imunitas,
kolestasis berkepanjangan, overload zat besi, malnutrisi, bypass
jejunoileal atau bisa timbul sebagai sirosis kriptogenik yang tidak
jelas penyebabnya.
Gambar 4. 11 Sirosis Hepar
Manifestasi klinis sirosis hepar :
1. Keluhan pasien sirosis hati tergantung pada fase penyakitnya.
Gejala kegagalan hepar ditimbulkan oleh keaktifan proses hepatitis
kronik yang masih berjalan bersamaan dengan sirosis hepar yang
telah terjadi. Dalam proses penyakit hepar yang berlanjut sulit
dibedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan permulaan
sirosis yang terjadi (sirosis dini).
2. Fase kompensasi sempurna
Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga
keluhan samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak bugar
atau fit, merasa kurang kemampuan kerja, selera makan berkurang,
perasaan perut kembung, mual, kadang mencret atau konstipasi, berat
badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah akibat
deplesi protein atau penimbunan air di otot. Berat badan menurun,
pengurangan massa otot terutama mengurangnya massa otot daerah
pektoralis mayor. Keluhan dan gejala tersebut di atas tidak banyak
bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif tanpa sirosis hati dan
tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati.
3. Fase dekompensasi
Pasien sirosis hepar dalam fase ini sudah dapat ditegakkan
diagnosisnya dengan bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati, dan hipertensi portal dengan manifestasi seperti
eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada dinding perut,
ikterus, edema pretibial, dan ascites.
Tabel 4.1. Klasifikasi Child pasien sirosis hepar dalam
terminologi cadangan fungsi hati
Derajat kerusakan
Minimal
Sedang
Berat
Bilirubin serum (mu.mol / dl)
Albumin serum (gr / dl)
Asites
PSE / ensefalopati
Nutrisi
< 35
> 35
nihil
nihil
sempurna
35-50
30-35
mudah dikontrol
minimal
baik
> 50
< 30
sukar dikontrol
berat / koma
kurang/kurus
Bila penyakit sirosis hepar berlanjut progresif, maka gambaran
klinis, prognosis, dan pengobatan tergantung pada dua kelompok
besar komplikasi :
1. Kegagalan hepar (hepatoseluler)
2.Hipertensi portal
a. Kegagalan hati, timbul spider nevi, eritema palmaris, atrofi
testis, ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll. Timbul asites
akibat hipertensi portal dengan hipoalbumin akibat kegagalan
hepar.
b. Hipertensi portal dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran
pembuluh vena esofagus / cardia, caput medusae, hemoroid, vena
kolateral dinding perut.
Bila penyakit berlanjut, maka dari kedua komplikasi tersebut
dapat timbul komplikasi lain berupa :
Asites
Ensefalopati
Peritonitis bakterial spontan
Sindrom hepatorenal
Transformasi ke arah kanker hepar primer (hepatoma)
Terapi dan prognosis sirosis hepar tergantung pada derajat
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal. Dengan kontrol
pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan keadaan
kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang
timbulnya komplikasi.
C.3. Sirosis Bilier Primer
Walaupun penyakit ini khas pada wanita usia pertengahan, kadang
bisa dijumpai pada usia lanjut. Gambaran klinik yang sering
dijumpai antara lain : pruritus, pigmentasi kulit, sindroma
malabsorbsi, jari tabuh (clubbing finger), pembesaran hati dengan
tepi rata, splenomegali, antibodi antimitokondria yang (+),
peningkatan kadar IgM atau peningkatan fosfatase alkalin
serum.Beberapa penderita menunjukkan gejala yang mengesankan
terkenanya beberapa sistem lain, antara lain : sindroma CRST
(Calsinosis, Raynauds disease, Selerodactily and Telangiectasia),
penyakit tiroid atau sindroma Sjogren.Pada penderita lanjut usia,
penyakit ini sering asimtomatik dan oleh karenanya tidak memerlukan
pengobatan. Penderita yang dengan ikterus sebaiknya diberikan
vitamin larut lemak A dan D (untuk mencegah osteomalasia) dan K,
suplemen kasium serta kolestiramin untuk mengobati pruritus.
Gambar 4.12Clubbing finger
C.4. Karsinoma Hepar
Primer yang paling sering ditemukan dibandingkan dengan tumor
ganas primer Karsinoma Hepato Selular (KHS) atau hepatoma merupakan
tumor ganas hati lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma, dan
hemangioendotelioma. Umumnya diagnosis KHS terlambat ditegakkan.
Untuk mendiagnosis KHS dapat dipakai berbagai macam sarana
diagnostik baik yang sifatnya invasif maupun yang tidak invasif.
Pada KHS, selain faal hati yang terganggu, tumor dapat memproduksi
substansi-substansi yang mengakibatkan peningkatan kadar
hemoglobin, kolesterol, kalsium, dan alfa feto protein yang disebut
sebagai manifestasi paraneoplasma. Penyebab KHS belum diketahui
secara pasti, beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya
adalah infeksi/penyakit hati kronik akibat virus hepatitis,
sirosis, beberapa macam parasit seperti Clonorchis sinensis,
predisposisi herediter, ras, dan zat hepatotoksik terutama
aflatoksin yang berasal dari makanan yang tercemar Aspergillus
flavus, dan obat-obatan.
Keluhan pada awal penyakit kadang-kadang tidak ada, atau
samar-samar, sehingga pasien tidak sadar sampai pada suatu saat
tumor sudah besar. Gejala klinis bervariasi, pada umumnya dibedakan
atas 6 tipe :
1. Klasik
: ditandai dengan malaise, anoreksia, berat badan menurun, perut
terasa penuh, nyeri epigastrium, hati membesar, berbenjol-benjol,
asites.
2. Demam : gejala utama demam menggigil, perasaan lemah, nyeri
perut kanan atas. Hal ini timbul oleh karena nekrosis sentral tumor
atau perdarahan.
3. Abdomen akut: mula-mula tidak bergejala, kemudian tiba-tiba
terjadi nyeri perut hebat, mual, muntah, tekanan darah menurun
sampai terjadi renjatan. Biasanya hal ini karena adanya perdarahan
tumor.
4. Ikterus
: tumor memberi gejala ikterus obstruktif.
5. Metastatik
: tanda metastasis pada tulang, tanpa teraba
massa tumor di hati.
6. Tersamar
: ditemukan secara kebetulan pada laparatomi dan
pada pemeriksaan lain.
Untuk menegakkan diagnosis KHS selain anamnesis/pemeriksaan
fisik, diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan antara lain
pemeriksaan radiologi, ultrasonografi, CT-Scan, peritoneoskopi, dan
laboratorium. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
jaringan melalui biopsi hati. Pengobatan KHS pada umumnya sukar
diobati baik dengan operasi maupun dengan sitostatika, sebab
biasanya pasien datang pada stadium lanjut dan sudah terjadi
metastasis ke organ-organ sekitarnya. Yang dapat diberikan
adalah:
- Kemoterapi: bukan pengobatan yang efektif, misalnya :
5-fluorourasil (5-FU)
- Radiasi: tidak banyak berperan, karena KHS radioresisten
- Embolisasi: dengan cara transcatheter hepatic artery
embolization (TAE)
- Pembedahan: berhasil baik pada tumor yang relatif kecil dan
pada satu lobus
Prognosis pada umumnya jelek.
C.5. Jaundice pada Usia Lanjut
Penyebab utama yang sering menimbulkan jaundice pada usia lanjut
adalah obstruksi traktus biliaris, obstruksi keganasan,
dibandingkan dengan koledokolitiasis. Hepatitis jarang dan lebih
sering juga karena akibat obat. Obstruksi jaundice perlu dipikirkan
bila ada riwayat kolik bilier, pruritus, peminum alkohol atau jika
ada fluktuasi rekuren yang memberat (progressive jaundice).
Anoreksia dan malaise tidak ada, nyeri epigastrium dan punggung
timbul setelah makan perlu dipikirkan adanya keganasan
pankreas.Ukuran limpa yang besar akibat gangguan mieloproliferatif,
sirosis, hemolisis atau trombosis vena splenica (dari pankreatitis
atau kanker pankreas) juga perlu dipikirkan. Pembesaran hepar yang
lunak bisa mengindikasikan congestive heart failure (CHF). Hepar
yang berpulsasi diindikasikan sebagai insufisiensi trikuspid.
Terdapatnya unconjugated hiperbilirubinemia tampak pada infark paru
yang disertai CHF. Penyebab lain jaundice, yaitu anemia hemolitik,
septikemia, limfoma maligna, transfusi, dan hipotensi. Evaluasi
jaundice pada lanjut usia perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk
memisahkan obstruksi ekstrahepatik. Yang paling nyaman, dan murah
dengan ultrasonografi dari kandung empedu, duktus biliaris, hepar,
dan pankreas. CT-Scan juga bisa menegakkan diagnosa dengan baik.
Bila perlu dengan endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP).Penting untuk diingat bahwa pemeriksaan tadi tidak
memecahkan kasus kolestasis dengan tepat, jika terdapat obstruksi
jaundice dengan ukuran duktus yang normal. Jika kolestasis ada,
tetapi ukuran duktus normal, perlu digali pemakaian obat dan
pemeriksaan kolestasis intrahepatik. Bila perlu pemeriksaan biopsi
hepar.
Gambar 4.13Patogenesis timbulnya jaundice
D.Kandung Empedu dan Traktus Biliaris
Ada perubahan minimal pada anatomi traktus biliaris. Duktus
biliaris membesar ringan, sehingga menjadi dekat dengan sfingter
Oddi. Ada sedikit perubahan ukuran pada kandung empedu atau
kontraktilitas, sehingga insidensi batu empedu meningkat pada usia
lanjut.
D.1. Batu Empedu
Insidensi batu empedu meningkat seiring meningkatnya umur.
Penyakit ini ditemukan pada otopsi pada sekitar 1/3 penderita
lansia berusia lebih dari 70 tahun. Akan tetapi hanya sedikit
penderita yang menunjukkan gejala. Gejala antara lain : ikterus
ringan dalam jangka waktu singkat atau ikterus obstruktif berat,
kolesistitis, kolangitis, atau kolik bilier. Diagnosis paling baik
dengan USG dan ERCP. Pada beberapa penderita mungkin diperlukan
kolangiografi.
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya terdapat 3
golongan besar tipe batu empedu, yaitu :
1. Batu kolesterol yang berbentuk oval, multifocal atau mulberry
dan mengandung lebih dari 70 % kolesterol.
2. Batu kalsium-bilirubinat yang berwarna coklat atau coklat
tua, lunak, mudah dihancurkan, dan mengandung kalsium-bilirubinat
sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam yang berwarna hitam atau hitam-kecoklatan,
tidak berbentuk, seperti bubuk, dan kaya akan sisa zat hitam yang
tidak terekstraksi.
Penatalaksanaan tergantung dari lokalisasi dan tipe batu,
komplikasi saluran empedu dan keadaan kesehatan umum penderita.
Pemberian asam urso-deoksikolat atau asam kenodeoksikolat bisa
dicoba untuk melarutkan batu radiolusen. Pada penderita dengan batu
radio-opak yang mengalami serangan kolesistitis atau kolangitis,
harus dilakukan kolesistektomi. Pada penderita yang lemah yang
tidak fit untuk anestesia umum, tetapi disertai ikterus obstruktif,
ERCP dengan papilektomi merupakan terapi pilihan.
Gambar 4.14Kolangiografi Batu empedu
D.2. Kolesistitis
Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi
inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding
kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu empedu
yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu
empedu (kolesistitis akut akalkulus).
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah
kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium dan nyeri tekan
serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke
pundak atau scapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit
tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung
dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan ganggren
atau perforasi kandung empedu.
Pada pemeriksaan fisik teraba massa kandung empedu, nyeri tekan
disertai tanda-tanda peritonitis lokal (tanda Murphy). Ikterus
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu
ekstra hepatik.
Pemeriksaan USG sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik.
Gambar 4.15. Gambaran kolesistitis
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri, seperti
petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotika pada fase awal
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis,
dan septikemia.
D.3. Karsinoma Kandung Empedu
Penyakit ini khas pada wanita usia lanjut, dengan frekuensi
0,2-5 %. Terdapat hubungan erat dengan batu empedu. Manifestasi
utama biasanya berupa ikterus obstruktif, nyeri kuadran perut kanan
atas, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik biasanya
teraba massa keras di hipokondrium kanan.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan USG dan ERCP. Pengobatan
dengan operasi, tetapi sayang prognosisnya buruk, 85 % meninggal 1
tahun setelah manifestasi penyakit timbul. Seringkali hanya
tindakan paliatif yang bisa dikerjakan, berupa insersi protesis
untuk mengurangi ikterus, karena tumor biasanya inoperabel.
D.4. Karsinoma Saluran Empedu (Kolangiokarsinoma)
Penyakit ini cenderung mengenai pria dibandingkan wanita.
Gambaran klinik, antara lain : ikterus obstruktif yang seringkali
intermiten, nyeri, penurunan berat badan dan hepatomegali nyata.
Diagnosis biasanya dibuat dengan ERCP.
Prognosis tergantung dari letak tumor. Penderita dengan tumor
yang berasal dari ampula memberikan prognosis jauh lebih baik
dibandingkan bila berasal dari bagian kandung empedu lainnya. Pada
keadaan yang berat tersebut, hanya terapi paliatif dan atau
radioterapi dapat dilakukan.
E. Pankreas
Pasien usia lanjut tanpa penyakit pankreas memiliki fungsi
eksokrin yang normal. Meskipun demikian, ada beberapa perubahan
yang terjadi pada usia lanjut. Pada otopsi pasien usia lebih dari
50 tahun, terdapat jaringan lemak dalam pankreasnya. Derajat
jaringan lemak berhubungan dengan obesitas, tetapi tidak dengan
jenis kelamin. Dilatasi duktus dan asini sering pada usia lanjut,
baik fokal maupun difus.
E.1. Pankretitis akut
Kejadian pankreatitis akut pada penderita di atas usia 50 tahun
2-3 kali lebih tinggi dibandingkan penderita muda. Insidensi pada
pria sama dengan wanita. Gambaran klinis diantaranya adalah nyeri
epigastrik yang timbul tiba-tiba, kebanyakan intens, terus-menerus,
dan makin lama makin bertambah. Nyeri dapat dijalarkan ke punggung
atau abdomen bagian bawah. Mual dan muntah serta demam, konfusio
atau tidak sadar, kadang terdapat efusi pleura atau bahkan bisa
terdapat gambaran EKG abnormal. Pada pemeriksaan amilase serum
meningkat (mungkin normal bila diperiksa setelah beberapa hari),
lipase, gula darah dan bilirubin meningkat pula. Faktor penyebab
antara lain batu empedu, iskemia, hipotermia, dan keracunan karbon
monoksida. Pada usia lanjut, simtom dan komplikasi lebih berat,
sehingga angka mortalitas pankreatitis akut cukup tinggi.
Penatalaksanaan antara lain dengan rehidrasi parenteral,
analgesia, dan aspirasi cairan duodenum. Penderita dipuasakan untuk
menurunkan stimulasi pankreas. Laparotomi dilakukan terhadap
penderita yang mengalami komplikasi, misalnya abses pankreas atau
pseudokista. Tindakan operatif tidak harus dihindari hanya karena
faktor usia.
E.2. Pankreatitis Kronik
Biasanya sebagai akibat pankreatitis akut berulang, yang
berjalan menyelinap. Gambaran klinik antara lain nyeri, mual, dan
muntah pada separuh penderita, penurunan berat badan, diare
(walaupun lebih jarang dibandingkan pada penderita muda) dan
glukosuria (dua kali lebih sering dibandingkan dewasa muda).
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
diantaranya foto polos perut yang memperlihatkan adanya kalsifikasi
pankreas dan tes Lundh yang menunjukkan penurunan aktivitas
tripsin.
Penatalaksanaan penderita dengan diare dan malabsorbsi
memerlukan terapi dengan ekstrak pankreas.
Gambar 4.16Pankreatitis kronis pada x-foto abdomen
E.3. Karsinoma Pankreas
Penyakit ini mempunyai insidensi puncak pada usia lanjut di atas
80 tahun dengan gambaran klinik klasik berupa ikterus obstruktif.
Gambaran klinik lain diantaranya adalah nyeri di epigastrium dengan
sensasi seperti ditusuk-tusuk yang akan berkurang bila pasien duduk
sambil membungkukkan badan, anoreksia, penurunan berat badan,
pembesaran hati, melena, dan trombosis vena dalam. Tindakan
diagnosis pilihan adalah USG dan ERCP.
Tidak ada penyebab yang pasti dari karsinoma pankreas. Beberapa
faktor resiko :
1. Faktor resiko eksogen
Beberapa faktor resiko eksogen di antaranya : kebiasaan makan
tinggi lemak dan kolesterol, pecandu alkohol, kebiasaan merokok,
kebiasaan minum kopi, beberapa zat karsinogen.
2. Faktor resiko endogen
Beberapa faktor resiko endogen yang disebut-sebut, antara lain :
penyakit diabetes melitus, pankreatitis kronik, kalsifikasi
pankreas, dan pankreatolitiasis.
Penatalaksanaan pada penderita hanya berupa terapi paliatif
untuk mengurangi ikterus, karena biasanya penderita datang dalam
stadium lanjut, sehingga prognosisnya buruk.
F. Usus Kecil dan Usus Besar
F.1. Malabsorbsi
Berbagai keadaan dapat menyebabkan malabsorbsi pada usia lanjut.
Gejalanya berbeda dengan yang sering didapatkan pada usia muda.
Pada usia lanjut sering terdapat kelemahan umum, nyeri otot,
memburuknya kesehatan secara umum, penurunan berat badan, dan
konfusio. Gejala diare atau steatore yang sering terjadi pada
dewasa muda jarang terdapat.
Berbagai penyebab malabsorbsi adalah :
- Penyakit coeliac
- Penyakit divertikula pada usus kecil
- Sindroma pasca gastrektomi
- Amiloidosis
- Limfoma
- Sirosis bilier primer
- Beberapa penyakit kulit
Tata cara diagnosis memerlukan beberapa tindakan, yaitu :
Guna mencari penyebab malabsorbsi dilakukan tes absorbsi silose,
biopsi usus kecil, kultur cairan aspirat jejunum (yang diambil saat
pelaksanaan biopsi). Juga tes nafas dengan 14 C-glikokolic,
pengukuran retensi Sehcat (suatu konyugat taurin dari garam empedu
sintetis yang mengandung isotop Selenium-75), tes triolein 14 C
sebagai alternatif perkiraan lemak fekal, ERCP, dan USG
pankreas.
Berbagai pemeriksaan untuk memeriksa berbagai defisiensi
nutrisi. Dalam tatalaksana pengobatan termasuk untuk mengoreksi
defisiensi nutrisi dan tindakan khusus untuk penyakit yang
mendasari, antara lain terapi antibiotika bagi penderita yang
mengalami pertumbuhan bakteri hebat di usus, atau diet bebas gluten
bagi penderita penyakit coeliac yang disertai diare dan nyeri perut
hebat.
F.2. Gangguan Motilitas Usus Halus
Berbagai kelainan pada usus halus menyebabkan obstruksi
fungsional, tanpa adanya obstruksi mekanik. Abnormalitas yang
terjadi adalah karena disfungsi neuron atau otot polos. Gejala yang
timbul karenanya adalah distensi perut, kembung, kolik perut,
anoreksia, nausea, dan vomitus. Kadang-kadang terlihat dehidrasi
dan uremia ringan.
Pada obstruksi intestinal idiopatik primer, yang terjadi karena
kelainan aktivitas neuromuskuler yang tidak serupa pada tiap
penderita. Kelainan yang bersifat sporadik ini menimbulkan
pertumbuhan hebat bakteri di usus yang terkena, sehingga memberi
gejala utama diare dan steatore.
Pseudo-obstruksi sekunder pada usus halus bisa terjadi karena
penyakit kolagen vaskuler (misalnya skleroderma), gangguan
neurologik, penyakit primer pada otot (distrofi otot), penyakit
endokrin (DM), dan gangguan elektrolit atau obat-obatan. Ileus
adinamik terjadi bila terdapat penurunan / hilangnya motilitas usus
kecil. Penatalaksanaan berupa mengatasi keadaan darurat, kemudian
dilakukan tindakan diagnostik untuk mencari penyebab. Tindakan
terhadap penyebab biasanya segera bisa memperbaiki, terutama pada
pseudo-obstruksi sekunder.
F.3. Iskemia Mesenterik
Trombosis dan emboli baik di arteri maupun vena dapat mengenai
pembuluh darah mesenterium dan menyebabkan iskemia mesenterik.
Etiologi seperti pada penyakit pembuluh darah perifer lain,
diantaranya : penyakit aterosklerosis, infark jantung, keadaan yang
menyebabkan lambatnya aliran darah dan sebagai penyebab emboli
lain. Gejala yang khas biasanya berupa nyeri mendadak yang
terlokalisasi di epigastrium atau sekitar umbilikus. Terdapat
tenggang waktu antara timbulnya nyeri perut dan timbulnya gejala
abdomen yang lain. Gejala abdominal lain berupa nausea, vomitus,
diare (kadang bercampur darah), perut membesar pada keadaan lanjut
atau syok.
Pada keadaan iskemia intestinal kronik, gejala nyeri perut
berulang antara 10-15 menit setelah makan, dirasakan di perut
bagian atas. Nyeri kemudian menghilang setelah 1-3 jam. Keadaan ini
sering menyebabkan penderita takut makan, sehingga terjadi sindroma
makan sedikit-sedikit (small meal syndrome).
Baik keadaan akut atau kronis, diagnosa terutama ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis yang dikonfirmasi dengan
arteriografi. Seringkali diagnosis baru ditegakkan pada otopsi.
Terapi pada keadaan akut berupa embolektomi atau rekonstruksi
arteri dan eksisi usus yang mengalami nekrosis. Pada iskemia
kronis, tindakan by pass untuk meperbaiki aliran darah memberikan
hasil yang baik.
F.4. Penyakit Crohn
Penyakit Crohn mempunyai insidens bimodal, dengan puncak
insidens kedua pada usia 70 tahunan.
Bagian usus yang terkena adalah ileum dengan atau tanpa
penyebaran ke kolon kanan. Pada sekitar 40 % penderita, kolon
distal ikut terkena. Perjalanan penyakit tergantung pada daerah
usus yang terkena. Bila mengenai ileum, gejala obstruksi dan
komplikasi lain yang menyebabkan tindakan bedah sering terjadi.
Pada penyakit yang hanya mengenai kolon jarang diperlukan tindakan
bedah.
Gambaran klinik berupa gejala gastro-intestinal, antara lain :
diare, nyeri perut dan anus, serta simtom sistemik yang tak jelas,
misalnya konfusio. Diagnosis seringkali sulit, mengingat gejalanya
mirip dengan penyakit divertikular yang sering dijumpai pada usia
lanjut.
Terapi keadaan akut serupa dengan yang diberikan pada kolitis
ulserativa, yaitu : pemberian sulfasalasin dengan atau tanpa
kortikosteroid. Penambahan metronidasol memberikan penyembuhan yang
lebih baik, terutama bila lesi mengenai kolon dan perianal.
Pemberian asatioprin selain memberikan penyembuhan baik bila
terdapat fistula perianal juga bisa digunakan sebagai pengganti
kortikosteroid. Tentang terapi pemeliharaan pada saat remisi masih
merupakan kontroversi. Tindakan bedah seringkali diperlukan bila
terjadi komplikasi peritonitis, abses, atau fistula. Pada keadaan
dimana terapi medikamentosa belum memberikan hasil seperti yang
diharapkan, mengistirahatkan usus dengan kolostomi perlu
dipertimbangkan. Tindakan suportif berupa pemberian nutrisi yang
adekuat (kalau perlu dengan nutrisi parenteral), koreksi anemia,
gangguan elektrolit, dan cairan akan mempercepat penyembuhan.
Gambar 4.17. Gambar Crohn Disease
Crohn disease di ileum terminal Laparoscopic dari crohn
disease
F.5. Penyakit Divertikuler
Divertikuler adalah suatu hernia usus dimana dindingnya hanya
terdiri dari mukosa dan submukosa, atau terdiri dari seluruh
lapisan dinding usus. Apabila terjadi radang pada divertikel
keadaan ini disebut divertikulitis. Penyakit ini sering ditemukan
pada lanjut usia, yang disebabkan oleh gangguan motilitas saluran
cerna atau kolon sebagai akibat perubahan ileum karena makanan yang
dimakan kurang atau tidak mengandung serat. Patogenesanya terjadi
divertikel mungkin disebabkan oleh kerja sama dua faktor yaitu
menurunnya kekuatan atau ketegangan otot dinding kolon dan
peningkatan tekanan intra kolon (intraluminal).
Penyakit ini sering ditemukan pada usia lanjut. Prevalensinya
meningkat dari 18 % pada golongan umur 4-59 tahun menjadi sekitar
42 % pada usia di atas 80 tahun. Gambaran klinis biasanya berupa
nyeri perut bawah, konstipasi, diare, teraba massa di fossa iliaka
kiri, hematokesia, nausea, vomitus, inkontinensia fekal, dan gejala
uriner.
Komplikasi yang sering terjadi, antara lain : fistula kandung
kemih atau ke vagina, perforasi disertai peritonitis, pembentukan
abses dan konstipasi. Penatalaksanaan berupa pemberian antibiotika
pada penderita dengan gejala divertikulitis. Pemberian diet tinggi
serat pada penderita dengan keluhan konstipasi. Pada komplikasi
perforasi, pada abses dan fistula diperlukan tindakan bedah.
Gambar 4.18.Gambar Penyakit Divertikuler
X-ray kolon
Pemeriksaan endoskopi
Divertikulosis Divertikulitis
F.6. Kolitis Pseudo-membranosa
Penyakit ini timbul akibat pemakaian antibiotika spektrum luas
yang menyebabkan penekanan flora bakteri komensal di usus besar dan
pertumbuhan tidak terkontrol kuman Clostridium difisile di kolon.
Gambaran klinik berupa terjadinya diare (seringkali hebat), tak
bercampur darah, tanpa disertai demam. Biasanya terdapat
lekositosis dan kadar albumin yang rendah. Diagnosis ditegakkan
dengan riwayat pemakaian antibiotika berspektrum luas, gambaran
klinis serta kultur Clostridium atau adanya toksin kuman dari
feses. Kolitis pseudo-membranosa perlu dibedakan dengan kasus diare
akibat kuman patogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan
antibiotik, kolitis non-infeksi, dan sepsis intraabdominal. Secara
sigmoidoskopik jelas telihat membran kolon dengan bercak-bercak
eksudat yang terdapat di atas mukosa kolon yang kemerahan, tetapi
tidak rapuh.Terapi berupa penghentian antibiotika spektrum luas,
dan pemberian vankomisin atau metronidasol guna menekan
Clostridium.
F.7. Kolitis Ulserativa
Seperti pada penyakit Crohn, kolitis ulserativa mempunyai
insidens bimodal, dengan puncak kedua terjadi setelah usia 50
tahun. Berat dan luasnya kolon yang terkena bervariasi. Pada
sebagian besar penderita, hanya rektum yang terkena, akan tetapi
pada penderita lain dapat meluas hingga ke seluruh kolon. Pada
penderita dengan penyakit yang ekstensif, resiko terjadinya
keganasan pada 10 tahun pertama cukup besar, akan tetapi pada
kelainan yang terbatas resiko tersebut kecil. Komplikasi yang berat
adalah terjadinya perforasi dan megakolon toksik.
Gejala klinis biasanya tidak jauh berbeda dengan terdapat pada
usia muda. Diagnosis ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinik,
sigmoidoskopi atau radiografik dengan kontras barium, serta
biopsi.
Seperti pada penderita muda, terapi berupa pemberian
sulfasalasin dan kortikosteroid lokal atau oral untuk keadaan akut
atau eksaserbasi akut. Untuk mencegah kekambuhan diberikan dosis
pemeliharaan sulfasalasin. Tindakan bedah diperlukan bila terapi
penyakit yang ekstensif selama 10 tahun, sehingga menurunkan
kemungkinan timbulnya keganasan.
F.8. Karsinoma Kolon dan Rektum
Merupakan keganasan yang cukup sering didapatkan pada usia
lanjut. Insidensinya meningkat bersama dengan lanjutnya usia.
Keadaan prekondisi terjadinya keganasan ini adalah kolitis
ulserativa, polip kolon, atau adenoma. Ditandai dengan gejala
diare, inkontinensia fekal, konstipasi dan perdarahan per rektal
dengan atau tanpa diare dan anemia defisiensi besi. Biasanya dapat
diraba adanya massa di daerah kolon. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan radiologik dengan kontras barium. Pemeriksaan
sigmoidoskopi atau kolonoskopi disertai pemeriksaan histologik akan
lebih mengkonfirmasikan diagnosis.
Oleh karena biasanya didapatkan pada stadium lanjut dengan
metastasis yang cukup luas (ke tulang dan hati), angka survival 5
tahun setelah reseksi yang dilanjutkan dengan sitostatika hanya
berkisar 65-80 %.
Gambar 4.19. Gambar Polip dan Karsinoma Kolon
Polip kolon tipe sessile Polip kolon tipe pedunculated Adenoma
kolon villosa
V. DIARE PADA LANJUT USIA
Penyakit diare pada lansia merupakan suatu masalah yang
signifikan. Lansia merupakan faktor predisposisi untuk terkena
penyakit diare, karena menurunnya pertahanan tubuh sejalan dengan
penuaan, misalnya indera pengecap sudah menurun sehingga tidak
dapat merasakan adanya kelainan pada makanan yang mengandung kuman
pathogen ; kehilangan atau kelainan pada asam lambung menimbulkan
peningkatan macam-macam kuman yang menyebabkan infeksi enteric dan
diare, serta pemakaian obat AH2 dan antacid dapat menjadi faktor
presdiposisi diare karena terjadi gangguan asam lambungnya; adanya
refleks eliminasi dari usus melalui muntah dan diare. Diare itu
terjadi karena respon pengeluaran dari usus atas di mana akselarasi
pendorongan material yang terinfeksi ke kolon dan keluar melalui
anus.
Diare adalah keluarnya feses cair / berubahnya konsistensi feses
yang bisa disertai perubahan frekuensi ataupun volume feses.
Diare memiliki gejala subjektif. Gejala yang bisa tampak
menyertai diare adalah urgensi, kram, dan inkontinensia. Gejala
disentri meliputi rasa nyeri, diare dengan darah dan volumenya
sedikit.
Insiden diare pada lansia tidak diketahui pasti. Lansia mungkin
lebih mudah terinfeksi diare karena lebih sering mengalami hipo dan
achlorhydria, (misalnya pada anemia pernisiosa dan peningkatan asam
lambung oleh karena obat), stasis luminal (oleh karena gangguan
motilitas atau riwayat operasi) ataupun turunnya fungsi imun
mukosa. Diare menjadi penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada
lansia. Di panti werdha yang terinfeksi Escherichia coli dilaporkan
memiliki angka kematian dan kesakitan 3 kali lebih besar daripada
orang muda. Lebih tingginya angka kematian ( 16-35% ) makin banyak
karena kemampuan lansia untuk mengatasi kehilangan cairan dan
mentoleransi keadaan hipovolemia intravaskular yang berhubungan
dengan dehidrasi semakin berkurang.
Klasifikasi dan Etiologi
Diare dibagi atas diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik
(> 4 minggu). Penyebab diare dapat dilihat pada tabel 110-4.
tetapi sekitar 25% penyebab tidak jelas.
Diare akut
Diare terbanyak pada lansia dan bersifat self-limited.
Penyebabnya adalah virus, bakteri, parasit, pemakaian obat-obatan
ataupun intoleransi makanan ( pada lansia biasnya karena makan
banyak buah atau kacang ). Diare akut berdarah bisa menyebabkan
iskemia ( misal trombosis mesenterik atau kolitis iskemik ),
divertikulitis dan inflammatory bowel disease. Virus tersering yang
menyebabkan diare adalah Norwalk virus, dan sedikit rotavirus.
Patogenesanya belum jelas. Diare karena Norwalk virus terjadi tanpa
kenal musim, sedangkan rotavirus pada musim dingin. Keduanya masuk
dengan cepat secara orofecal dan bias menjadi epidemi di panti
werdha.
Diare toxigenic ada dua jenis yaitu diare karena keracunan
makanan oleh karena makanan yang terkontaminasi enterotoxin bakteri
(Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, or Clostridium
perfringens) dan gastroenteritis infeksi yang disebabkan oleh
enterotoksin bakteri (E. coli, Clostridium difficile, Vibrio
cholerae, Clostridium botulinum, or Vibrio parahaemolyticus).
Sedangan diare invasive disebabkan oleh Shigella, Salmonella,
Campylobacter, dan Yersinia.
Diare Kronik
Diare kronik bisa mengandung darah, encer difus seperti air dan
berlemak :
Diare sekretorik ( isosmolar ) : disebabkan mikroorganisme yang
merangsang epitel usus halus untuk mensekresikan air dan elektrolit
ke lumen usus halus. Pada lansia sering berupa diare sekunder
karena peningkatan sekresi hormon, peptida atau amina biogenik dari
tumor tertentu, asam empedu diinduksi diare, idiopatik atau pasca
reseksi ileum distal > 100 cm, diare pasca obstruksi dan diare
karena adenoma villosa di distal colon. Obat-obatan penyebab diare
diantaranya adalah AINS, antasida yang mengandung magnesium,
antiaritmia, -blockers, quinidine, dan digoxin.
Diare Osmotik ( hiperosmolar ) : pada lansia disebabkan oleh
poorly absorbable solutes (magnesium sulfate, sodium sulfate),
laxan sitrat, antacid berupa magnesium hydroxide dan gula seperti
mannitol, sorbitol, fruktosa yang terdapat pada antasid, permen
karet, permen diet dan buah-buahan.
Sekitar 80% populasi dunia mengalami defisiensi laktosa primer,
yang juga bisa menimbulkan diare. Diare ini bisa tampak sesudah
gastrectomi atau vagotomi, dumping syndrome, short-bowel syndrome,
iskemia kronik usus halus ataupun reseksi usus halus.
Kolera persisten (chronic persistent watery diarrhea) :
kebanyakan oleh Vibrio cholerae dengan diare persisten yang seperti
air cucian beras.
Diare berdarah / eksudatif/ inflamasi ; mengandung darah dan
leukosit karena kerusakan dan peradangan pada mukosa ileum distal
dan colon. Pada lansia disebabkan oleh inflammatory bowel disease (
colitis ulserativa dan Crohn's disease ), kolitis iskemik,
carcinoma colon dan kolitis radiasi. Bakteri penyebabnya dapat
berupa Campylobacter jejuni, C. difficile, Yersinia enterocolitica,
cytomegalovirus, and Entamoeba histolytica.
Diare berlemak :oleh karena maldigestion atau malabsorption dari
makanan berlemak. Feses banyak, bau dan ada tetesan lemak.
Penyebabnya diantaranya insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas (
defisiensi lipase ), defisiensi garam empedu ( obstruksi traktus
bilier, penyakit hati kolestatik, penyakit usus halus ), penyakit
mukosa usus halus ( enteropati sensitif gluten, penyakit celiac,
tropical sprue, giardiasis, Crohn's disease, Whipple's disease).
Biasanya disertai penurunan berat badan dan banyak makan. Diare
mengandung lemak karena dekonjugasi garam empedu oleh bakteri, yang
dicetuskan oleh achlorhydria gastrik, operasi lambung dan
divertikulosis.
Pertumbuhan berlebih bakteri di usus halus meyebabkan diare
sekretorik ataupun diare berlemak.
Pasien dengan diabetes mellitus menetap bisa menjadi diare
karena neuropati intestinal, meskipun lebih sering sebagai
konstipasi.
Mekanisme
Pada diare biasanya sembuh sendiri (24-48 jam), tapi cairan
tubuh kita hilang dalam waktu singkat. Kehilangan cairan itu dapat
diperbaiki oleh hormon melalui konsentrasi urin dan dengan
peningkatan minum karena respon haus. Konsentrasi urin maksimal
dalam respon dehidrasi berkurang dan kemampuan respon ginjal
terhadap adanya gangguan menjadi menurun pada lansia. Persepsi haus
pada pasien dengan dementia terjadi barangkali karena kemampuan
mereka untuk mendapatkan cairan terganggu. Lansia yang tinggal di
nursing homes, mungkin memiliki kesulitan berjalan dan
berkomunikasi, dimana mereka tidak mampu untuk menggantikan
kehilangan cairan oleh karena ketidakmampuan fisik mereka.
Kehilangan dari volume cairan pada lansia mempunyai konsekuensi
jauh lebih berat daripada dewasa muda. Aterosklerosis yang
merupakan hasil dari penyumbatan pembuluh darah ke organ yang
penting, dan obat yang bisa menyebabkan hilangnya garam dan kalium
( seperti blok cardiac dan obat circulatory reflexs ), seringkali
menentukan derajat dehidrasinya. Kombinasi antara aterosklerosis
dan terapi obat meningkatkan perangsangan untuk terjadinya infark
dan aritmia. Penurunan sedikit volume intravascular pada lansia
dengan atherosclerosis dapat langsung menyebabkan hyporperfusi pada
organ vitalnya akibat aterosklerosisnya tersebut. Gagal ginjal,
gagal jantung kongesif atau gangguan mental dapat dipertimbangkan
ada hubungan dengan gatroentritis.
Kebanyakan dari parameter yang digunakan dalam ilmu kesehatan
anak-anak dan dewasa itu tidak banyak membantu, karena pada orang
lansia dipengaruhi oleh penurunan turgor kulit , mata tua, dan
lidah sering kering. Gejala klinis pada lansia yang berguna adalah
perubahan tekanan darah yang dipengaruhi oleh ortostatik. Jadi pada
ortostatik, kehilangan volume intra vaskuler bisa mencapai sebanyak
6-10%, dan bisa menyebabkan hypoperfusi pada organ. Elektrolit di
dalam serum diketahui melalui perubahan konsentrasi natrium dan
kalium. Elektrolit memegang peranan penting dalam status volume
intravaskuler dan ekstravakuler. Sebagai parameter, digunakan
pengukuran plasma protein atau plasma yang lainnya.
Jika garam dan air hilang saat diare, dan cairan yang diberikan
terlalu sedikit, maka dapat menimbulkan hypovolemia dan
hypernatremia. Jika kehilangan cairan diatasi dengan cairan rendah
garam, maka dapat disertai hyponatremia. Pada saat itu dapat
menyebabkan anuria, delirium atau kejang. Cairan pengganti yang
tidak cukup dapat menyebabkan infark pada organ.
Diagnosis
Bisa disebut diare bila ada gejala infeksi bakteri, volume feses
6 kali /hari, diare berlangsung > 8 jam atau diare berdarah.
Gejala keracunan makanan biasanya 6-12 jam sesudah makan,
kecuali pada Salmonella, Y. enterocolitica, Campylobacter terjadi
pada 12-48 jam sesudah makan. Pada inflamasi dan ulserasi paling
sering berupa diare berdarah karena infeksi Shigella, E.
histolytica ataupun enteroinvasif E. Coli. Pasien dengan riwayat
antibiotik lama berisiko terinfeksi diare C. difficile. Selain itu
foto rontgen abdomen, colonoskopi, biopsi dan endoskopi dapat
digunakan untuk mencari penyakit penyebab diare.
Pencegahan
Pada prinsipnya pencegahan penyakit diare itu dengan menjaga air
dan makanan tidak terkontaminasi dengan fecal organisme. Makanan
disimpan di lemari es, dimasak cukup matang, dan para pekerja
berhati-hati dalam menangani makanan karena merupakan perantara
atau pembawa kuman enterik. Menghindari resep obat laxan yang
berlebihan dan obat yang bisa menyebabkan diare merupakan dasar
dalam hal mencegah terjadinya diare dalam pengaturan nursing home.
Penggunaan antibiotik harus sesuai dengan indikasinya. Resiko
setelah penggunaan antibiotik pada diare lebih serius daripada yang
tidak diterapi dengan antibiotik.
Dari penelitian mengenai absorpsi makanan pada penyakit diare,
lemak paling sulit dicerna baik sebelum, sesudah maupun saat diare.
Protein harus dihancurkan dulu baru bisa dicerna. Sedangkan
karbohidrat absorpsinya hampir tidak terhalangi pada penyakit
diare. Karbohidrat cukup aman pada penggunaan molekul besar
karbohidrat atau polimer dan ORT merupakan molekul yang diserap
dengan baik dan absorpsi tidak akan mempengaruhi diare karena
larutan tersebut merupakan larutan berosmolaritas rendah
dibandingkan dengan glukosa biasa atau monomer. Membran usus sangat
permeabel dan bila ada kelainan atau perubahan tekanan osmotik akan
menyebabkan perubahan pada usus secara cepat.
Pengobatan
ORT ( Oral Rehydration Therapy ) adalah pengobatan awal yang
dapat diberikan pada pasien diare. Kehilangan cairan harus diganti
lebih awal sebelum terdapat komplikasi vaskuler. ORT dapat
diberikan melalui mulut atau melalui nasogastric tube ( NGT ).
Untuk mengetahui kapan pemberian ORT sudah cukup yaitu dengan
memperhatikan urin yang dikeluarkan setiap 3-4 jam dan berat
jenisnya akan kurang dari 1.015. Jika perlu digunakan kateter.
Kecuali pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, urin
output itu paling baik menuntun kita untuk terapi. Rasa haus itu
membantu indeks dari ORT pada anak kecil dan dewasa muda, tapi di
beberapa studi telah menjelaskan mekanisme rasa haus pada orang
lansia telah menjadi abnormal.
Ukuran yang lebih tepat untuk mengetahui tentang cairan yang
hilang dan cairan penggantinya dapat diketahui dari beratnya jenis
plasma atau plasma protein secara teliti. Pada prinsipnya
kehilangan volume cairan itu berkaitan dengan hipotensi ortostatik.
Cairan yang tidak dapat mencukupi atau kehilangan itu sudah cukup
dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. ORT harus selalu diberikan
sebelum terjadi ortostatik untuk memastikan volume darah tidak
pernah menurun pada sirkulasi darah.
Pemakaian ORT lebih bahaya pada orang lansia daripada kelompok
orang muda. Biasanya adalah lansia dengan kegagalan fungsi jantung,
dan overhidrasi yang dapat menyebabkan gagal jantung kongesif. Oleh
karena itu sangatlah penting untuk memperhatikan tanda-tanda dari
kegagalan, termasuk distensi vena jagularis, dan sakral atau edema
perifer.
Terdapat beberapa obat yang berfungsi sebagai anti sekresi yang
potensial di mana harganya murah dan efek sampingnya sedikit.
Sekarang, direkomendasikan bismuth subsalicyclate, yang dapat
diberikan 30 ml / jam sampai 8 kali, atau sampai diare berhenti,
untuk pemeliharaan diberikan 60 ml 4x sehari.
VI. KONSTIPASI PADA LANSIA
Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi. Komunitas medis
biasanya mendefinisikan konstipasi sebagai berkurangnya frekuensi
defekasi, ataupun kesulitan mengeluarkan feses, feses yang keras,
dan keluarnya feses tidak tuntas. Konstipasi juga ada keluhan
tersering pada lansia, dimana sampai 60% lansia dilaporkan
mengonsumsi laxan. Prevalensi konstipasi mencapai 24-37% pada
lansia wanita dibandingkan lansia pria.
Etiologi
Adanya perubahan fisiologi anorectal yang mencetuskan konstipasi
pada lansia berupa peningkatan tahanan rectum dan kegagalan sensasi
rectum ( seperti luasnya volume rectum yang dibutuhkan untuk
mengurangi keinginan defekasi). Lansia juga mengalami penurunan
tahanan sfingter ani saat istirahat dan penurunan tahanan maximal
sfingter ani yang mencetuskan inkontinensia alvi. Perlambatan
transit kolon yang dipengaruhi perubahan usia, yang tampak di regio
rectosigmoid, hanya memegang sedikit peran. Berbagai obat dan
kondisi operasi bisa memperburuk konstipasi. Obat-obatan, makanan
rendah serat dan intake kalori rendah adalah penyebab umum.
Sedangkan kegagalan fungsi karena imobilitas, kelemahan otot dan
gangguan neuromuskular akan menyulitkan kebutuhan akan defekasi.
Gangguan mental dan depresi juga berperan dalam knstipasi. Bahkan
lebih dari satu faktor penyebab kostipasi dapat terjadi pada satu
orang.
Gejala Klinik
Konstipasi pada lansia dibagi 2 bagian besar yaitu megarectum
fungsional yang bermanifestasi sebagai pembesaran rectum dan
impaksi feses, serta keterlambatan pengeluaran di rectosigmoid yang
bermanifestasi sebagai pemaksaan dalam pengeluaran feses keras yang
kecil ( mengejan ). Hasil dari keterlambatan ini diantaranya adalah
disfungsi dasar panggul, yang sering terjadi pada lansia wanita
akibat sempitnya dasar panggul dan kegagalan sudut anorektal untuk
membuka. Sekitar 50% lansia menunjukkan konstipasi oleh karena
defekasi yang tak teratur, 20% karena mengejan kuat atau BAB tidak
tuntas dan 30% lagi karena keduanya. Konstipasi dapat menimbulkan
ketidaknyamanan abdomen, turunnya nafsu makan, dan mual. Komplikasi
utama konstipasi pada lansia adalah impaksi fecal yang bisa
menimbulkan obstruksi usus halus, ulkus kolon / usus besar
(stercoraceous ulceration ), inkontinensia ( keluarnya feses cair
mengelilingi feses yang obstruktif) ataupun diare paradoksal.
Impaksi fekal sering pada pasien imobilitas ataupun perubahan
kebiasaan defekasi ( misal frekuensi defekasi berkurang, diare
dengan onset baru, inkontinensia ). Retensi urin dan infeksi
saluran kemih sering tampak bersama impaksi fecal. Tekanan yang
kuat dapat berefek jelek pada otak, koroner dan sirkulasi arteri
perifer yang menimbulkan sinkop, iskemia jantung dan transient
ischemic attacks, juga menimbulkan hemoroid, fisura ani dan prolaps
rektum dengan komplikasi nyeri anus dan perdarahan.Megacolon
idiopatik sering terjadi pada pasien konstipasi kronik. Dilatasi
kolon bisa menjadi pertanda dan pencetus volvulus colon.
Diagnosis
Langkah pertama adalah memahami keluhan pasien. Perhatikan
perubahan kebiasaan defekasi dan status psikologisnya, sebab
mispersepsi terhadap frekuensi pergerakan usus yang normal dapat
segera dikoreksi. Lakukan screening terhadap pasien depresi dan
kecemasan, begitupun mencari riwayat pemakaian obat dan penyakit
sebelumnya dapat membantu. Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi
gejala awal metabolisme dan neuromuscular. Pemeriksaan laboratorium
dapat melihat kelainan metabolisme yang mempengaruhinya seperti
hipotiroidisme. Foto rontgen abdomen bisa melihat penumpukan dan
distribusi feses di usus besar. Colonoscopy dan barium enema
dilkukan pada pasien dengan perubahan kebiasaan defekasi sehingga
dapat mengantisipasi lesi-lesi struktural, seperti keganasan dan
striktura