BAB 1PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANGMasalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal
masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya)
merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara
aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten (Sadock BJ et al.,2010).Maraknya penyalahgunaan NAPZA
tidak hanya di kota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota
kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat
sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas.
Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur
antara 1524 tahun (Kemenkes RI, 2014).Berdasarkan data penelitian
pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40% penduduk di dunia
pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi
tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal,
seperti menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan
perubahan perilaku. Substansi tersebut juga dapat menimbulkan
problem neuropsikiatrik yang masih belum ditemukan penyebabnya,
seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer
psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan (Elvira SD, 2013).Peran penting sektor kesehatan sering
tidak disadari oleh petugas kesehatan itu sendiri, bahkan para
pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat dibidang
kesehatan jiwa, khususnya penyalahgunaan NAPZA. Dan minimnya
pengetahuan mengenai masalah NAPZA, penggunaannya, masalah
psikiatri yang ditimbulkan, serta penangannya, mendorong penulis
untuk menyusun referat mengenai penyalahgunaan NAPZA dan
penanggulangannya.
BAB 2ISI
2.1DEFINISINAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain)
adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh
sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya
penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial.
NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang
bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku,
perasaan, dan pikiran (Sadock BJ et al.,2010).2.1.1NarkotikaMenurut
UU RI No 22 tahun 1997, Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari
tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai dengan menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Narkotika terbagi menjadi 3 golongan,
yaitu (Kemenkes RI, 2014): Golongan I: hanya digunakan untuk ilmu
pengetahuan dan tidak untuk terapi, berpotensi sangat tinggi untuk
menimbulkan ketergantungan. Contoh: heroin/putaw, kokain, ganja.
Golongan II: berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan untuk terapi ataupun ilmu pengetahuan dan
berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh: morfin,
petidin. Golongan III: berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
untuk terapi maupun untuk tujuan ilmu pengetahuan dan berpotensi
ringan dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
kodein.2.1.2PsikotropikaMenurut UU RI No 5 tahun 1997, psikotropika
adalah zat/obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu (Kemenkes
RI, 2014): Golongan I: berpotensi amat kuat dalam menimbulkan
ketergantungan. Contoh: ekstasi, shabu, LSD Golongan II: berpotensi
kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh: amfetamin,
metilfenidat/ritalin Golongan III: berpotensi sedang dalam
menimbulkan ketergantungan, banyak digunakan untuk terapi. Contoh:
pentobarbital, flunitrazepam. Golongan IV: berpotensi ringan dalam
menimbulkan ketergantungan, sangat luas digunakan untuk terapi.
Contoh : diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK, pil koplo, Dum, MG.2.1.3Zat
Adiktif Lainnya1. Minuman beralkoholYaitu minuman yang mengandung
etanol.Terbagi menjadi 3 golongan: Golongan A mengandung etanol
1%-5% (bir) Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis
minuman anggur) Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey,
vodka, TKW, manson house, johny walker, kamput)2. InhalansiaGas
yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa
senyawa organic pada berbagai alat rumah tangga. Contoh: lem,
thinner, penghapus cat kuku, bensin.3. Tembakau2.2PENGGOLONGAN
NAPZABerdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA
dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Elvira SD, 2013) :1.
Golongan Depresan (Downer)Adalah jenis NAPZA yang berfungsi
mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat
pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur
dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin,
heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur),
dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.2. Golongan
Stimulan(Upper)Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi
tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat
pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk
golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain3.
Golongan HalusinogenAdalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek
halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan
seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh
perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi
medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD,
Mescalin.2.3EPIDEMIOLOGIJumlah kasus narkoba berdasarkan
penggolongannya yang masuk dalam kategori narkotika terus mengalami
peningkatan dalam 5 tahun terakhir sedangkan yang masuk dalam
kategori psikotropika jumlah kasusnya kian menurun, hal ini
terlihat jelas pada tahun 2009 jumlah kasus psikotropika 8.779
kasus dan tahun 2010 jumlah kasus psikotropika menurun secara
signifikan menjadi 1.181 kasus (Kemenkes RI, 2014). Gambar 2.1
Jumlah Kasus Narkoba Menurut Penggolongan Tahun 2008-2012 (Kemenkes
RI, 2014).2.4HEROINDEFINISIHeroin (INN: diacetylmorphine, BAN:
diamorphine) adalah semi sintetik opioid yang di sintesa dari
morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih
rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari
pengeringan ampas bunga opium (Papaverum somniferum) yang mempunyai
kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri
yang efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine
(oleh karena itu disebut juga diasetilmorphine). Nama lain dari
heroin: smack, junk, china ehirte, chiva, black tar, speed balling,
dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff (Elvira SD,
2013).KARAKTERISTIKHeroin merupakan narkoba yang sangat sering
menimbulkan efek ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa serbuk
putih dengan rasa pahit. Dalam pasaran banyak beredar warnanya
putih, coklat atau dadu. Penggunaannya dengan injeksi atau dihirup
atau per oral. Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat
dari morfin (Katzung BG, 2014). FARMAKOKINETIKAbsorpsiHeroin
diabsorpi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan permukaan
mukosa hidung atau mulut (Katzung BG, 2014)DistribusiHeroin dengan
cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam jaringan.
Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa,
sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi
di dalam otak relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat
sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan
cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya
(Katzung BG, 2014).MetabolismeHeroin didalam otak cepat mengalami
hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin,
kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi morfin
6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin
sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal (Katzung
BG, 2014).EkskresiHeroin/morfin terutama diekskresi melalui urine
(ginjal). 90% diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih
dapat ditemukan dalam urine 48 jam (Katzung BG,
2014).FARMAKODINAMIKOpioid agonis menimbulkan analgesia akibat
berikatan dengan reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan
medula spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi
nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor
(mu), (delta) dan (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis
endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu
enkephalin yang berikatan dengan reseptor , endorfin dengan
reseptor dandynorpin dengan resptor . Reseptor merupakan reseptor
untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan
protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan
penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan
neurotransmitter terhambat (Katzung BG, 2014).Menurut National
Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera (shortterm)
dan efek jangka panjang (long term).Tabel 2.1 Efek jangka pendek
dan jangka panjang dari heroinShort termLong term
GelisahDepresi pernafasanFungsi mental berkabutMual dan
muntahMenekan nyeriAbortus spontanAdiksiHIV, hepatitisKolaps
venaInfeksi bakteriPenyakit paru (pneumonia, TBC)Infeksi jantung
dan katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil: Menimbulkan komplikasi
serius, abortus spontan, lahir prematur Bayi yang lahir dari ibu
pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk terjadinya SIDS
(Sudden Infant Death Syndrome) Bayi yang lahir dari ibu pecandu
narkotik dapat mengalami gejala with drawl dalam 24-36 jam setelah
lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap,
bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus
terjadi kejang umum.MANIFESTASI KLINISEfek pemakaian heroin yaitu
kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair, kehilangan
nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas,
tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi
apabila si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah
satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu
melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi
untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu mata dan hidung berair, tulang
terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang
ketagihan adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan
menggelepar, gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata
berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan cairan tubuh (Sadock BJ
et al.,2010).Intoksikasi Akut (Over Dosis)Dosis toksik, 500 mg
untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik. Gejala over
dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat (Sadock
BJ et al.,2010).Gejala intoksikasi akut (overdosis): Kesadaran
menurun, sopor - koma Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan
rendah 2-4 kali semenit, dan pernafasan mungkin bersifat Cheyene
stokes Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif Tampak
sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata Tekanan darah
pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila
pernafasan memburuk danterjadi syok Suhu badan rendah (hipotermia)
dan kulit terasa dingin Bradikardi Edema paru KejangKematian
biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian
meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan
yang menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer
(Sadock BJ et al.,2010).Intoksikasi KronisAdiksi heroin menunjukkan
berbagai segi (Sadock BJ et al.,2010):1. Habituasi, yaitu perubahan
psikis emosional sehingga penderita ketagihan akan obat tersebut.2.
Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh
karena faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa
obat tersebut3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat
tersebut untuk mendapat efek yang sama. Walaupun toleransi timbul
pada saat pertama penggunaan opioid, tetapi manifes setelah 2-3
minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih
cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval pemberian yang
singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang
penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia
juga akan toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon,
meperidin dan sebagainya.Gejala Putus ObatGejala putus obat (Sadock
BJ et al.,2010) : 6 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat,
sering menguap, gelisah 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel,
tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia 24-72 jam, semua
gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan,
depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan
tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari lengan dan
tungkai dehidrasi dan gangguan elektrolit Selanjutnya, gejala
hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsurangsur dalam
7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat.
Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada
bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan dalam
perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia 1
tahun.PEMERIKSAAN Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi
dan lain-lain perlu diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah
pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau tidak,
dengan memperhatikan tanda-tanda dan gejala yang ada (Sadock BJ et
al.,2010). Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
(Elvira SD, 2013) : a. Fisik Adanya bekas suntikan sepanjang vena
di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat tersembunyi
misalnya dorsum penis. Pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk
menemukan gejala intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan komplikasi
medik seperti Hepatitis, Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan
lain-lain. Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi
pupil,cara jalan, sklera ikterik, conjunctiva anemis, dll.b.
Psikiatrik Derajat kesadaran Daya nilai realitas Gangguan pada alam
perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih, depresi,
euforia) Gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga,
paranoid, halusinasi) Gangguan pada psikomotor (hipperaktif/
hipoaktif, agresif gangguan pola tidur, sikap manipulatif dan
lain-lain).c. Penunjang Analisa UrinBertujuan untuk mendeteksi
adanya heroin dalam tubuh. Pengambilan urine hendaknya tidak lebih
dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan pastikan urine
tersebut urine pasien. Urin merupakan sampel yang representatif
untuk pendeteksian narkoba dan metabolitnya, cara ini tidak
menyakiti, urin memiliki kadar narkoba dan metabolitnya tinggi
sebaliknya hanya dalam waktu singkat dalam darah. Urin harus jernih
(sentrifus jika keruh), tanpa pengawet. Penyimpanan dalam cawan,
tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-8C stabil 48
jam, -20C stabil >48 jam (Elvira SD, 2013).Tabel 2.2 Perkiraan
Waktu Deteksi Dalam Urine Beberapa Jenis ObatJenis obatLamanya
waktu dapat dideteksi
Amfetamine2 hari
Barbiturat 1 hari (kerja pendek)3 minggu (kerja panjang)
Benzodiazepin 3 hari
Kokain 2-4 hari
Kodein2 hari
Heroin1-2 hari
Methadone3 hari
Morfin 2-5 hari
Penunjang lainUntuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat
pula dilakukan pemeriksaan: Laboratorium rutin darah,urin EKG EEG:
pada pemeriksaan EEG, tidak ada pola yang khas. Foto toraks Dan
lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi
Psikologik, Evaluasi Sosial)
TATALAKSANAa. Intoksikasi akut (over dosis) Perbaiki dan
pertahankan jalan nafas sebaik mungkin Oksigenasi yang adekuat
Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 2,0 mg IV (anak-anak 0,01
mg/kgBB)Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai
puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg
dapat diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone efektif
untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran
pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek naloxone dalam
2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek. Untuk mencegah
rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam
hingga gejala minimal (menghilang) (Warninghoff JC et al.,2009).b.
Intoksikasi kronisHospitalisasiHospitalisasi dilakukan untuk pasien
pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:1. Terapi kondisi
withdrawl2. Terapi detoksifikasi3. Terapi rumatan (maintenance)4.
Terapi komplikasi5. Terapi aftercareDengan masuknya pasien adiksi
ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat prioritas. Disamping
pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah pasien
menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan
laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, danjantung),
juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar
pasien memutuskan penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan
kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain yang harus dilakukan
sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan
hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat
mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat
penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari
segi mental, hospitalisasi membatu mengendalikan suasana
perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling karena
penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindak
kekerasan (Warninghoff JC et al.,2009).Hospitalisasi jangka pendek
sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus mendapatkan
perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien
dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi
adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka
panjang (Warninghoff JC et al.,2009).c. Terapi Withdrawal
OpioidWithdrawal opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan
dengan gangguan fisikologis dan distress fisik yang cukup berat.
Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya
membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan obat.
Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan
menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat
berlebihan. Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian
dapat dinaikkan bila diperlukan hingga 0,8 1,2 mg/hari, selanjutnya
dapat ditappering off setelah 10-14 hari (Allen KM, 2010). Terapi
non spesifik (simptomatik) yakni (Allen KM, 2010) :1. Gangguan
tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif2. Nyeri dapat
diberikan analgetik3. Mual dan muntah dapat diberikan golongan
metoklopamide4. Kolik dapat diberikan antispasmolitika5. Gelisah
dapat diberikan antiansietas6. Rhinorrhea dapat diberikan golongan
fenilpropanolaminTerapi detoksifikasi adiksi opioidMetadon
merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid.
Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering
terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi
detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus
menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang
dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x
5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai
ditappering off dalam 1-3 minggu. Buprenorphine dosis rendah (1,5-5
mg sublingual setiap 2-3 x seminggu) dilaporkan lebihefektif dan
efek withdrawl lebih ringan dibandingkan metadone. Terapi
alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang
mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien
untuk segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid
deteksifikasi antara lain klinidin naltrexon (Allen KM, 2010).
Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioidMetadon dan Levo alfa
acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar etrapi rumatan adiksi
opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3 kali
seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat
membantu menekan perilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis
metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari). Untuk menjaga
pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.
Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan
dosis antara 2 mg-20 mg/hari. Naltrexone digunakan untuk adiksi
opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk berhenti. Naltrexone
diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 3 kali seminggu
(Allen KM, 2010).Terapi after careMeliputi upaya pemantapan dalam
bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasi-interaksi
sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi perilaku yang
lebih baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan
penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini sangat diperlukan
(Allen KM, 2010).2.5AMFETAMINDEFINISIAmfetamin adalah suatu
stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin menstimulasi sistem
saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di dalam
tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan heart rate dan
tekanan darah, menekan nafsu makan serta berbagai efek yang lain.
Amfetamin biasanya berbentuk bubuk putih, kuning atau coklat dan
kristal kecil berwarna putih. Cara memakai amfetamin yang paling
umum adalah dengan menghirup asapnya (Sadock BJ et
al.,2010).EPIDEMIOLOGINational Household Survey and Drug Abuse
(NHSDA) melporkan pada tahun 1997 terdapat 4,5% dari orang yang
berusia 12 tahun atau lebih menggunakan stimulan bukan atas
indikasi medis, hal ini menunjukkan peningkatan yang drastic dari
pada tahun sebelumnya. Persentasi yang paling tinggi setelah
penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara umur 18-25 tahun, kemudian
diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk
mendeteksi peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan
dengan data dari ruang emergensi untuk keracunan yang berkaitan
dengan amfetamin atau program tes panghentian obat (Sadock BJ et
al.,2010). ETIOLOGI Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat
yang mirip anfetamin dipandang sebagai suatu hasil dari sebuah
proses interaksi dari banyak faktor (social, psikologi, kultural,
dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan penggunaan obat. Proses
ini pada beberapa kasus, kehilangan fleksibilitas yang berkaitan
dengan penggunaan obat merupakan tanda ketergantungan obat. Faktor
farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan penggunaan dan
menuju ke arah ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin
memiliki potensi untuk meningkatkan mood dan efek euforigenik pada
manusia dan efek menguatkan pada hewan percobaan. Faktor sosial,
kultural, dan ekonomi merupakan faktor penentu yang sangat
berpengaruh terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang
berkelanjutan, dan relaps. Pemakaian yang berlebihan lebih jauh
berkaitan dengan ketersediaan amfetamin atau obat yang mirip
amfetamin (Katzung BG, 2014).MEKANISME KERJAAmfetamin bekerja
merangsang susunan saraf pusat melepaskan katekolamin (epineprin,
norepineprin, dan dopamin) dalam sinaps pusat dan menghambat dengan
meningkatkan rilis neurotransmiter entecholamin, termasuk dopamin.
Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan
konsentrasi lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dari
biasanya. Semua sistem saraf akan berpengaruh terhadap perangsangan
yang diberikan (Katzung BG, 2014).Efek klinis amfetamin akan muncul
dalam waktu 2-4 jam setelah penggunaan. Senyawa ini memiliki waktu
paruh 4-24 jam dan dieksresikan melalui urin sebanyak 30% dalam
bentuk metabolit. Metabolit amfetamin terdiri dari
p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton. Karena
waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini relatif
cepat dan dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu
kesulitan tersendiri untuk pengujian terhadap pengguna, bila
pengujian dilakukan lebih dari 24 jam jumlah metabolit sekunder
yang terdapat pada urin menjadi sangat sedikit dan sulit terdeteksi
(Katzung BG, 2014).GAMBARAN KLINIKPengaruh amfetamin terhadap
pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang digunakan,
dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan
meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan
bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia,
menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan
rasa lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan
merasa kuat. Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi
pernafasan, menimbulkan tromor ringan, gelisah, meningkatkan
aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan
nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur. Penggunaan
amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat
menimbulkan perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang
terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan
tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat (Elvira
SD, 2013).DIAGNOSISKetergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan
AmfetaminKriteria DSM-V untuk ketergantungan dan penyalahgunaan
dapat diterapkan pada amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan
amfetamin dapat mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari
kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres yang
berkaitan dengan keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang
menyalahgunakan amfetamin membutuhkan dosis tinggi amfetamin yang
semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang biasa,
dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat
badan dan ide paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya
penyalahgunaan (American Psychiatric Association, 2013).lntoksikasi
AmfetaminSindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin)
dan amfetamin (menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh
karena penelitian tentang penyalahgunaan dan intoksikasi kokain
dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada amfetamin,
literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis
pada penyalahgunaan kokain. Pada DSM-V, kriteria diagnosis
intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain terpisah namun hampir
sama. DSM-V merinci gangguan persepsi sebagai gejala intoksikasi
amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang intak, dipikirkan
diagnosis gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan awitan saat
intoksikasi. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian besar pulih
setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48 jam
(American Psychiatric Association, 2013).
Keadaan Putus AmfetaminSetelah intoksikasi amfetamin, terjadi
uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood disforik, letargi,
kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent
yang berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram
perut, dan rasa lapar yang tak terpuaskan. Gejala putus zat
biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang dalam I minggu.
Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama
dapat menjadi berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi
terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan ide atau perilaku bunuh
diri. Kriteria diagnosis DSM-V untuk keadaan putus amfetamin
merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan
untuk diagnosis tersebut (American Psychiatric Association,
2013).Delirium pada lntoksikasi AmfetaminDelirium yang disebabkan
oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat amfetamin
penggunaan dosis tinggi atau terus-menerus sehingga deprivasi tidur
memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain
serta penggunaan amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak
yang,telah ada sebelumnya juga dapat menyebabkan timbulnya de
lirium. Tidak jarang mahasiswa universitas yang menggunakan
amfetamin untuk belajar kilat menghadapi ujian menunjukkan delirium
jenis ini (Sadock BJ et al.,2010).Gangguan Psikotik Terinduksi
AmfetaminKemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan
skizofrenia paranoid telah memicu penelitian intensif tentang
neurokimiawi psikosis terinduksi amfetamin untuk menguraikan
patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda gangguan psikotik
terinduksi amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan psikotik
terinduksi amfetamin dapat dibedakan dengan skizofrenia paranoid
dengan sejumlah karakteristik pembeda yang ditemukan pada gangguan
psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi halusinasi
visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas,
hiperseksualitas, kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti
gangguan proses pikir (seperti asosiasi longgar). Pada beberapa
studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala positilgangguan
psikotik terinduksi amfetamin dan skizofrenia mirip, gangguan
psikotik terinduksi amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek
mendatar dan alogia seperti pada skizofrenia. Namun, secara klinis,
gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang akut mungkin tidak
dapat dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam
beberapa hari atau temuan positif pada uji tapis zat dalam urin
yang akhirnya akan menunjukkan diagnosis yang tepat. Terapi pilihan
untuk gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah penggunaan
.jangka pendek obat antipsikotik seperti haloperidol (Haldol)
(Sadock BJ et al.,2010).Gangguan Mood Terinduksi AmfetaminAwitan
gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi
atau putus zat. Umumnya, intoksikasi rnenimbulkan gambaran manik
atau mood campuran, sementara keadaan putus zat menimbulkan
gambaran mood depresif (Sadock BJ et al.,2010).Gangguan Ansietas
Terinduksi AmfetaminAmfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi
gejala yang serupa dengan yang terlihat pada gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan terutama, gangguan tbbia.
Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga dapat terjadi
saat inloksikasi atau putus zat (Sadock BJ et al.,2010).Disfungsi
Seksual Terinduksi AmfetaminAmfetamin sering digunakan untuk
meningkatkan pengalaman seksual; namun, dosis tinggi dan penggunaan
jangka panjang dikaitkan dengan gangguan ereksi dan disfungsi
seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-V sebagai
disfungsi seksual terinduksi amletamin (Sadock BJ et
al.,2010).Gangguan Tidur Terinduksi AmfetaminIntoksikasi amfetamin
dapat mer.rimbulkan insomnia dan deprivasi tidur, sementara orang
yang sedang mengalami keadaan putus amfetamin dapat mengalami
hipersomnolen dan mimpi buruk (Sadock BJ et al.,2010).Gangguan yang
Tak-TergolongkanJika suatu gangguan terkait amfetamin (atau
lir-amfetamin) tidak memenuhi kriteria satu atau lebih kategori
yang didiskusikan di atas, gangguan tersebut dapat didiagnosis
sebagai gangguan terkait amfetamin yang tak-tergolongkan (Sadock BJ
et al.,2010).TATALAKSANAPenatalaksanaan intoksikasi amfetamin
(Sadock BJ et al.,2010) :a. Bila suhu badan naik, berikan kompres
dingin, minum air dingin, atau selimut hipotermik.b. Bila kejang,
berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral; atau
klordiazepoksid 10-25 mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat
diulang setiap 15-20 menit. c. Bila tekanan darah naik, berikan
obat anti hipertensi. d. Bila terjadi takikardma, berikan
beta-blocker, seperti propanolol, yang sekaligus juga untuk
menurunkan tekanan darah. e. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin,
lakukan asidifikasi air seni dengan memberi amonium klorida 500 mg
per oral setiap 3-4 jam. f. Bila timbul gejala psikosis atau
agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5 mg. Penatalaksanaan putus
amfetamin (Sadock BJ et al.,2010) :a. Rawat di tempat yang tenang
dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya. b. Waspada terhadap
kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri. c. Dapat
diberikan anti depresi. Terapi pada Psikosis Akibat Penggunaan
Amfetamin (Sadock BJ et al.,2010).Psikosis akibat penggunaan
amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada psikosis
akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali
50-I 50 mg per oral atau 25-50 mg intra muskular yang dapat diulang
setiap empat jam. Dapat juga dipakai halopenidol tiga kali 1-5
mg.KOMPLIKASI Penyalahgunaan amfetamin dalam kurun waktu yang cukup
lama atau dengan dosis yang tinggi dapat mengakibatkan timbul
banyak masalah seperti psikosis (pikiran menjadi tidak nyata, jauh
dari realitas), kelainan psikologis dan tingkah laku, perubahan
mood atau mental, kesulitan bernapas, kekurangan nutrisi, dan
gangguan jiwa. Dalam keadaan keracunan akut, pengguna amfetamin
pada umumnya merasakan euforia, keresahan, agitasi, dan cemas
berlebihan. Kira-kira 5 12% pengguna mengalami halusinasi,
keinginan untuk bunuh diri, dan kebingungan. Sebanyak 3% pengguna
amfetamin mengalami kejang-kejang (Sadock BJ et
al.,2010).2.6ALKOHOLDEFINISI Alkohol adalah salah satu dari
sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari
hidrokarbon-hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus
hidroksil dengan atom-atom hidrogen dalam jumlah yang sama; istilah
ini meluas untuk berbagai hasil pertukaran yang bereaksi netral dan
mengandung satu atau lebih gugus alkohol (Klagenberg KF et al.,
2007).EPIDEMIOLOGIKira-kira 85% dari semua penduduk Amerika Serikat
pernah menggunakan minuman yang mengandung alkohol
sekurang-kurangnya satu kali dalam hidupnya. Dan kira-kira 51% dari
semua orang dewasa di Amerika Serikat merupakan pengguna alkohol
saat ini (American Psychiatric Association, 2013).ETIOLOGIFaktor
PsikoanalisisTeori psikoanalisis tentang gangguan berhubungan
dengan alkohol telah dipusatkan pada hipotesis superego yang sangat
bersifat menghukum dan fiksasi pada stadium oral dari perkembangan
psikoseksual. Menurut teori psikoanalisis, orang dengan superego
yang keras yang bersifat menghukum diri sendiri berpaling ke
alkohol sebagai cara menghilangkan stres bawah sadar mereka.
Kecemasan pada orang yang terfiksasi pada stadium oral mungkin
diturunkan dengan menggunakan zat seperti alkohol melalui mulutnya.
Beberapa dokter psikiatrik psikodinamika menggambarkan kepribadian
umum dari seseorang dengan gangguan berhubungan dengan alkohol
adalah pemalu, terisolasi, tidak sabar, iritabel, penuh kecemasan,
hipersensitif, dan terrepresi secara seksual (Sadock BJ et
al.,2010).Faktor Sosial dan KulturalBeberapa lingkungan sosial
menyebabkan minum yang berlebihan. Asrama perguruan tinggi dan
basis militer adalah dua contoh lingkungan dimana minum berlebihan
dipandang normal dan perilaku yang diharapkan secara sosial.
Sekarang ini, perguruan tinggi dan universitas mencoba mendidik
mahasiswanya tentang resiko kesehatan dari minum alkohol yang
berlebihan (Sadock BJ et al.,2010).Faktor Perilaku dan
PembelajaranSama seperti faktor kultural, faktor perilaku dan
pembelajaran juga dapat mempengaruhi kebiasaan minum, demikian juga
kebiasaan didalam keluarga, khususnya kebiasaan minum pada orang
tua dapat mempengaruhi kebiasaan minum. Tetapi beberapa bukti
menunjukkan bahwa, walaupun kebiasaan minum pada keluarga memang
mempengaruhi kebiasaan minum pada anak-anaknya, kebiasaan minum
pada keluarga kurang langsung berhubungan dengan perkembangan
gangguan berhubungan dengan alkohol seperti yang dianggap
sebelumnya, walaupun hal tersebut memang memiliki peranan penting.
Dari sudut pandang perilaku, ditekankan pada aspek pendorong
positif dari alkohol, alkohol yang dapat menimbulkan perasaan sehat
dan euforia pada seseorang. Selain itu, konsumsi alkohol dapat
menurunkan rasa takut dan kecemasan yang dapat mendorong seseorang
untuk minum lebih lanjut (Sadock BJ et
al.,2010).FARMAKOKINETIKAbsorpsiKira-kira 10% alkohol yang
dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan sisanya di usus kecil.
Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30-90
menit, biasanya dalam 45-60 menit, tergantung apakah alkohol
diminum saat lambung kosong, yang meningkatkan absorbsi atau
diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi. Waktu untuk
mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga merupakan suatu faktor
selama mana alkohol dikonsumsi, waktu yang singkat menurunkan waktu
untuk mencapai konsentrasi puncak. Absorbsi paling cepat 15-30%
(kemurnian -30 sampai -60). Tubuh memiliki alat pelindung terhadap
masuknya alkohol. Sebagai contoh, jika konsentrasi alkohol menjadi
terlalu tinggi didalam lambung, mukus akan disekresikan dan katup
pilorik ditutup, hal tersebut akan memperlambat absorbsi dan
menghalangi alkohol masuk ke usus kecil. Jadi, sejumlah besar
alkohol dapat tetap tidak terabsorbsi didalam lambung selama
berjam-jam. Selain itu, pilorospasme sering kali menyebabkan mual
dan muntah (Katzung BG, 2014).MetabolismeKira-kira 90% alkohol yang
diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya dieksresikan tanpa diubah
oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di hati konstan dan
tidak tergantung pada kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu
memetabolisme kira-kira 15 mg/dl setiap jam dengan rentan berkisar
antara 10-34 mg/dl per jamnya (Katzung BG, 2014).Alkohol
dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase
(ADH) dan aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi
alkohol menjadi asetilaldehida yang merupakan senyawa toksik.
Aldehida dehidrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehida menjadi
asam asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram
(An-tabuse), yang sering digunakan dalam pengobatan gangguan
terkait alkohol (Katzung BG, 2014).Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pada wanita memiliki ADH yang lebih rendah dari pada
laki-laki, yang mungkin menyebabkan wanita cenderung menjadi lebih
terintoksikasi dibanding laki-laki setelah minum alkohol dalam
jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim yang memetabolisme alkohol
akan menyebabkan mudahnya seseorang terjadi intoksikasi alkohol dan
gejala toksik (Katzung BG, 2014).MANIFESTASI KETERGANTUNGAN DAN
MASALAH ALKOHOLISMEa. Manifestasi klinisSekitar 80% pasien yang
dirujuk akibat ketergantungan alkohol memiliki masalah medis yang
serius. Gejala putus obat umumnya timbul saat pasien sadar.
Gambaran komplikasi spesifik sangat bervariasi (Warninghoff JC et
al.,2009); Gastrointestinal : hepatitis, sirosis, gastritis,
perdarahan gastrointestinal, pankreatitis Kardiovaskuler :
hipertensi ( menyebabkan meningkatkan kejadian penyakit kanker
mulut, esophagus, hati bahkan payudara) Obstetri :sindrom alkohol
fetus Neurologis : sinkope, kejang, neuropati, status konfusional
akut, perdarahan subdural, ensefalopati Muskuloskeletal : goutb.
Manifestasi psikiatrik (Sadock BJ et al.,2010). Depresi : semua
bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Depresi sendiri dapat
menyebabkan alkoholisme dengan memacu orang untuk minum sebagai
usaha untuk mengurangi gejala-gejala depresi. Ansietas : gejala
sering muncul pada saat putus obat parsial. Seperti halnya depresi,
ansietas atau gangguan panik merupakan predisposisi konsumsi
alkohol secara berlebihan sebagai usaha mengurangi gejala Perubahan
kepribadian : penurunan standar kepekaan sosial dan perawatan diri
sendiri Disfungsi seksual : impotensi, ejakulasi lama Halusinasi :
baik auditorik maupun visual biasanya selama putus obat tetapi
dapat pula terjadi tanpa gambaran delirium lainnya Halusinasi
alkoholik : halusinasi auditorik yang mengganggu tapi jarang dan
terjadi saat sadar.Progresifitas penyakit ini bergantung kepada
banyak faktor diantaranya usia, zat psikoaktif pilihannya, gender,
dan predisposisi faali. Progresifitas adiksi lebih cepat pada
remaja daripada orang dewasa. Progresifitas pada perempuan lebih
cepat daripada pada laki-laki (Allen KM, 2010).
DIAGNOSISDSM-V menuliskan gangguan berhubungan dengan alkohol
dan menyebutkan kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol dan
putus alkohol.Gangguan terkait alkoholGangguan penggunaan
alkoholKetergantungan alkoholPenyalahgunaan alkoholGangguan akibat
alkoholIntoksikasi alkoholPutus alkoholSebutkan jikadengan gangguan
persepsiDelirium intoksikasi alkoholDelirium putus alkoholDemensia
menetap akibat alkoholGangguan psikotik akibat alkohol, dengan
wahamSebutkan jika:Dengan onset selama intoksikasiDengan onset
selama putusGangguan psikotik akibat alkohol, dengan
halusinasiSebutkan jika:Dengan onset selama intoksikasiDengan onset
selama putusGangguan mood akibat alkoholSebutkan jika:Dengan onset
selama intoksikasiDengan onset selama putusGangguan kecemasan
akibat alkoholSebutkan jika:Dengan onset selama intoksikasiDengan
onset selama putusDisfungsi seksual akibat alkoholSebutkan
jika:Dengan onset selama intoksikasiGangguan tidur akibat
alkoholSebutkan jika:Dengan onset selama intoksikasiDengan onset
selama putus zatGangguan terkait alkohol yang tidak ditentukanTabel
didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, ed 5. Hak cipta American Psyciatric Association,
Washington 2013.Ketergantungan Alkohol dan Penyalahgunaan
AlkoholDiagnosis dan gambaran klinis:Pola penggunaan alkohol sering
kali disertai dengan perilaku berikut ini (Rusadi M, 2013):a.
Ketidakmampuan memutuskan atau berhenti minumb. Usaha berulang
untuk mengontrol atau menurunkan minum yang berlebihan dengan tidak
minum minuman keras (periode abstinensia temporer) atau membatasi
minum pada waktu tertentuc. Pesta minuman keras (tetap
terintoksikasi sepanjang hari untuk sekurangnya dua hari)d.
Mengkonsumsi kadang-kadang 5 takaran minuman keras (atau
ekuivalennya pada bir atau anggur)e. Periode amnestik untuk
peristiwa yang terjadi selama terintoksikasi (blackout)f. Terus
minum walaupun adanya suatu gangguan fisik serius yang telah
diketahuinya dieksaserbasi oleh penggunaan alkoholg. Minum alkohol
yang bukan minuman, seperti bahan bakar atau produk komersial yang
mengandung alkoholDisamping itu orang dengan ketergantungan alkohol
dan penyalahgunaan alkohol menunjukkan gangguan fungsi sosial dan
pekerjaan karena penggunaan alkohol, seperti kekerasan saat
terintoksikasi, tidak hadir kerja, kehilangan pekerjaan, masalah
hukum (contoh: ditahan karena perilaku terintoksikasi atau
kecelakaan lalu lintas saat terintoksikasi), dan perdebatan atau
kesulitan dengan keluarga atau teman karena penggunaan alkohol yang
berlebihan (Rusadi M, 2013).Intoksikasi Alkohol. Kriteria
Diagnostik untuk Intoksikasi AlkoholA. Baru saja menggunakan
alkoholB. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang
bermakna secara klinis (misalnya, perilaku seksual atau agresif
yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan pertimbangan, gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera
setelah ingesti alkoholC. Satu (atau lebih) tanda berikut ini, yang
berkembang selama atau segera setelah pemakaian alkohol1) Bicara
cadel2) Inkoordinasi3) Gaya berjalan tidak mantap4) Nistagmus5)
Gangguan atensi atau daya ingat6) Stupor atau komaD. Gejala tidak
disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lainTabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5. Hak cipta
American Psyciatric Association, Washington 2013.
Putus AlkoholKriteria Diagnostik untuk Putus AlkoholA.
Penghentian (atau penurunan) pemakaian alkohol yang telah lama dan
beratB. Dua (atau lebih) tanda berikut ini yang berkembang dalam
beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A1)
Hiperaktivitas otonomik (misalnya, berkeringat atau kecepatan
denyut nadi lebih dari 100)2) Peningkatan tremor tangan3)
Insomnia4) Mual dan muntah5) Halusinasi atau ilusi penglihatan,
raba atau dengar yang transien6) Agitasi psikomotor7) Kecemasan8)
Kejang grand malC. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan
yang serius secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau fungsi penting lainnya.D. Gejala tidak disebabkan
suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oelh
gangguan mental lain.Sebutkan jika:dengan gangguan persepsiTabel
didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, ed 5. Hak cipta American Psyciatric Association,
Washington 2013.
Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah
benzodiazepin. Penelitian menunjukkan bahwa benzodiazepin membantu
mengontrol aktivitas kejang, delirium, kecemasan, dan tremor yang
berhubungan dengan putus alkohol. Benzodiazepin dapat diberikan
peroral maupun parenteral. Diazepam (Valium) ataupun
chlordiazepoxide (Librium) tidak boleh diberikan IM karena adanya
absorbsi yang menentu dari obat jika diberikan dengan cara
tersebut. Benzodiazepin dititrasi mulai dosis tinggi dan menurunkan
dosis saat pasien pulih. Benzodiazepin dalam jumlah yang cukup
harus digunakan untuk menjaga pasien tetap tenang dan tersedasi
(Warninghoff JC et al.,2009).Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
carbamazepine (Tegretol) dalam dosis 800 mg sehari sama efektifnya
dengan benzodiazepin dan mempunyai manfaat tambahan kemungkinan
penyalahgunaan yang minimal (Warninghoff JC et al.,2009).Terapi
obat untuk intoksikasi dan putus alkoholMasalah klinisObatJalur
DosisKeterangan
Gemetaran dan agitasi ringan sampai sedangchlordiazepoxideOral
25-100 mg tiap 4-6 jamDosis awal dapat diulangi tiap 2 jam sampai
pasien tenang; dosis selanjutnya harus ditentukan secara individual
dan dititrasi
HalusinosisAgitasi
parahDiazepamLorazepamchlordiazepoxideOralOralIntravena 5-20 mg
tiap 4-6 jam2-10 mg tiap 4-6 jam0,5 mg/kg pada 12,5 mg/mntBerikan
sampai pasien tenang; dosis selanjutnya harus ditentukan secara
indivisual dan dititrasi
Kejang putusDiazepam Intravena0,15 mg/kg pada 2,5 mg/mnt
Delirium tremensLorazepam Intravena0,1 mg/kg pada 2,0 mg/mnt
DeliriumDelirium putus alkohol merupakan suatu kegawatdaruratan
medis yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas yang
bermakna. Pasien delirium sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan
orang lain karena perilaku yang tidak dapat diperkirakan. Pasien
mungkin akan menyerang atau bunuh diri. Delirium tremens yang tidak
diobati, dapat meningkatkan mortalitas sekitar 20%, biasanya
bersamaan dengan penyakit medis lainnya seperti pneumonia, penyakit
ginjal, insufisiensi hati atau gagal jantung (Warninghoff JC et
al.,2009). Ciri penting dari sindroma delirium adalah terjadi dalam
1 minggu setelah seseorang menghentikan minum alkohol. Disamping
itu terdapat ciri-ciri berupa (Warninghoff JC et al.,2009) :1.
Hiperaktifitas otonomik, seperti takikardia, diaforesis, demam,
kecemasan, insomnia, dan hipertensi2. Distorsi perseptual, yang
paling sering adalah halusinasi visual atau taktil3. Fluktuasi
tingkat aktivitas psikomotor, rentangnya dari hipereksitabilitas
sampai letargi.Kira-kira 5% dari semua pasien yang dirawat di rumah
sakit karena alkoholik mengalami DTs. Episode DTs biasanya mulai
pada usia 30-40an setelah minum berat selama 5-15 tahun. Pengobatan
terbaik untuk DTs adalah pencegahan. Pasien yang putus dari alkohol
yang menunjukkan salah satu fenomena putus alkohol harus
mendapatkan terapi benzodiazepin, seperti chlordiazepoxide 25-50 mg
tiap 2-4 jam hingga pasien lepas dari bahaya. Tetapi jika tanda
delirium terlihat, berikan chlordiazepoxide 50-100 mg tiap 4 jam
peroral atau lorazepam intravena jika medikasi oral tidak
memungkinkan (Warninghoff JC et al.,2009).Pada pengobatan berikan
diet tinggi kalori, tinggi karbohidrat, dan multivitamin. Pasien
dengan DTs jika diikat fisiknya akan berbahaya karena pasien dapat
berontak terhadap pengikatan sampai mengalami kelelahan yang
berbahaya. Jika pasien tidak dapat dikendalikan maka pasien harus
ditempatkan diruangan isolasi. Pasien dapat mengalami dehidrasi
yang disebabkan diaforesis dan demam, hal ini dapat dikoreksi
dengan pemberian cairan oral maupun intravena. Diare, muntah dan
anoreksia sering terjadi selama putus alkohol (Warninghoff JC et
al.,2009).Demensia Menetap akibat AlkoholKeabsahan demensia akibat
alkohol (alkohol-induced persisting dementia) masih kontroversial,
karena beberapa klinisi dan peneliti masih sulit untuk membedakan
antara efek toksik dari penyalahgunaan alkohol dengan kerusakan
sistem saraf pusat akibat nutrisi yang buruk, trauma multipel, dan
kerusakan sistem saraf pusat yang terjadi setelah malfungsi organ
tubuh lainnya (hati, pankreas dan ginjal). Walaupun beberapa
penelitian telah menemukan adanya pembesaran ventrikel dan atrofi
kortikal pada seseorang dengan demensia dan riwayat ketergantungan
alkohol, namun penelitian tersebut belum bisa menjelaskan apa
sebenarnya penyebab demensia (Allen KM, 2010).Gangguan Amnestik
Menetap Akibat AlkoholKriteria diagnostik untuk gangguan amnestik
menetap akibat alkohol (alkohol-induced persisting amnestic
disorder) berada dalam kategori DSM-V untuk gangguan amnestik
menetap akibat zat.ciri penting gangguan amnestik menetap akibat
alkohol adalah gangguan daya ingat jangka pendek yang diakibatkan
penggunaan alkohol berat dalam jangka waktu yang lama. Gangguan ini
jarang terjadi pada usia dibawah 35 tahun (American Psychiatric
Association, 2013).Gangguan Psikotik Akibat AlkoholKreteria
diagnostik untuk gangguan psikotik akibat alkohol (alkohol-induced
psycotik disorder) (sebagai contoh halusinasi dan waham) ditemukan
di dalam kategori DSM-V tentang gangguan psikotik akibat zat
(subtance-induced psycotic disorder). DSM-V memungkinkan lebih jauh
untuk menentukan onset (selama intoksikasi atau putus alkohol) dan
apakah halusinasi atau waham ditemukan. Istilah untuk halusinasi
yang terjadi selama putus alkohol yang digunakan didalam DSM-III R
tetapi tidak lagi digunakan dalam DSM-V adalah halusinasi alkohol.
Halusinasi yang paling sering adalah auditorik, biasanya berupa
suara-suara, tetapi suara tersebut sering kali tedak terstruktur.
Suara-suara karakteristiknya adalah memfitnah, mencela, atau
mengancam. Walaupun beberapa pasien dilaporkan bahwa suara-suara
itu adalah menyenangkan dan tidak menganggu. Halusinasi biasanya
berlangsung selama kurang dari 1 minggu walaupun selama minggu
tersebut gangguan test realitas adalah sering. Setelah episode,
sebagian besar pasien menyadari sifat halusinasi dari gejalanya
(American Psychiatric Association, 2013).Halusinasi setelah putus
alkohol dianggap merupakan gejala yang jarang, dan sindrom adalah
beberapa dari delirium putus alkohol. Halusinasi dapat terjadi pada
semua usia, tetapi biasanya berhubungan dengan orang yang telah
melakukan penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama.
Walaupun biasanya halusinasi menghilang dalam 1 minggu, tapi pada
beberapa kasus dapat menetap. Halusinasi berhubungan dengan putus
alkohol harus dibedakan dengan skizofren yang berhubungan dengan
temporal dengan putus alkohol, tidak adanya riwayat klasik
skizofrenia dan halusinasinya biasanya singkat. Halusinasi
berhubungan dengan putus alkohol dibedakan dari DTs oleh karena
adanya sensorium yang jernih pada pasien (American Psychiatric
Association, 2013).Pengobatan halusinasi berhubungan dengan putus
alkohol sama dengan DTs yaitu dengan benzodiazepin, nutrisi yang
adekuat, dan cairan jika diperlukan. Jika regimen gagal dan pada
kasus jangka panjang, antipsikotik dapat digunakan (American
Psychiatric Association, 2013).Gangguan Berhubungan dengan Alkohol
LainnyaGangguan mood akibat alkohol (alkohol-induced mood
disorder). DSM-V memungkinkan diagnosis gangguan mood akibat
alkohol dengan ciri manik, depresif atau campuran. Gangguan
kecemasan akibat alkohol (alkohol-induced anxiety disorder). DSM-V
memungkinkan diagnosis gangguan kecemasan akibat alkohol. DSM-V
selanjutnya menganjurkan agar diagnosis menyebutkan apakah gejala
merupakan apakah gejala merupakan kecemasan menyeluruh, serangan
panik, gejala obsesif-kompulsif, atau gejala fobik dan apakah onset
selama intoksikasi atau selama putus alkohol (American Psychiatric
Association, 2013). Kategori gangguan terkait alkohol yang tidak
ditentukan adalah gangguan yang berhubungan dengan pemakaian
alkohol yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai ketergantungan
alkohol, penyalahgunaan alkohol, intoksikasi alkohol, putus
alkohol, delirium putus alkohol, demensia menetap akibat alkohol,
gangguan psikotik akibat alkohol, gangguan mood akibat alkohol,
gangguan kecemasan akibat alkohol, disfungsi seksual akibat
alkohol, atau gangguan tidur akibat alkohol (American Psychiatric
Association, 2013).TATALAKSANAPsikoterapiPsikoterapi memusatkan
pada alasan seseorang mengapa minum. Fokus spesifik adalah dimana
pasien minum, dorongan premotivasi dibelakang minum, hasil yang
diharapkan dari minum, dan cara alternatif untuk mengatasi situasi
tersebut. Melibatkan pasangan yang tertarik dan bekerja sama dalam
terapi bersama untuk sekurangnya satu sesion adalah sangat efektif
(Warninghoff JC et al.,2009).MedikasiDisulfiramDisulfiram
(antabuse) menghambat secara kompetitif enzim aldehida
dehidrogenase, sehingga biasanya minuman segelaspun biasanya
menyebabkan reaksi toksik karena akumulasi asetaldehida didalam
darah. Pemberian obat tidak boleh dimulai sampai 24 jam setelah
minuman terakhir pasien. Pasien harus dalam kesehatan yang baik,
sangat termotivasi, dan bekerja sama. Dokter harus memberitahukan
pasien akibat meminum alkohol saat menggunakan obat dan selama 2
minggu setelahnya (Warninghoff JC et al.,2009).Merekan yang
menggunakan alkohol sambil meminum disulfiram 250 mg setiap harinya
akan mengalami kemerahan dan perasaan panas pada wajah, sklera,
anggota gerak atas dan dada. Mereka akan menjadi pucat, hipotensif
dan mual juga mengalami malaise yang serius. Pasien juga akan
mengalami rasa pusing, pandangan kabur, palpitasi, sesak dan mati
rasa pada anggota gerak. Dengan dosis lebih dari 250 mg maka dapat
terjadi gangguan daya ingat dan konfusi (Warninghoff JC et
al.,2009).PsikotropikaObat antiansietas dan antidepresan dapat
mengobati gejala kecemasan pada pasien dengan gangguan terkait
alkohol (Warninghoff JC et al.,2009).Terapi PerilakuTerapi perilaku
mengajarkan seseorang dengan gangguan terkait alkohol untuk
menurunkan kecemasan. Latihan ditekankan pada latihan relaksasi,
latihan ketegasan, keterampilan mengendalikan diri, dan strategi
baru untuk menguasai lingkungan. Sejumlah program pembiasaan
perilaku (operant conditioning) membiasakan orang dengan gangguan
terkait alkohol untuk memodifikasi perilaku minum mereka atau untuk
berhenti minum. Dorongan berupa hadiah keuangan, kesempatan untuk
tinggal dalam lingkungan rawat inap yang baik, dan jalur untuk
memasuki interaksi sosial yang menyenangkan (Sadock BJ et
al.,2010).Halfway HousePemulangan seorang pasien dari rumah sakit
sering kali memiliki masalah penempatan yang serius. Rumah dan
lingkungan keluarga lainnya mungkin menghalangi, tidak mendukung,
atau terlalu tidak berstruktur. Halfway house adalah suatu sarana
pengobatan yang penting yang memberikan bantuan emosional,
konseling, dan pengembalian progresif ke dalam masyarakat (Sadock
BJ et al.,2010).
BAB 3PENUTUP
3.1KESIMPULANBerdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di
dunia, dilaporkan hampir 40% penduduk di dunia pernah menggunakan
NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi tersebut menyebabkan
kelainan status mental secara internal, seperti menyebabkan
perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik
yang masih belum ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan
gangguan mood, sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan
yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan.NAPZA
(Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZAPenyebab penyalahgunaan napza karena
factor genetic dan juga psikodinamik. Gejala-gejala klinis gangguan
penyalahgunaan NAPZA antara lain: adanya keinginan yang kuat atau
dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan NAPZA, kesulitan
dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal, keadaan
putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan NAPZA
atau pengurangan, adanya bukti toleransi, secara progressif
mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan
NAPZA, meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan
memahami adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan
NAPZA.
DAFTAR PUSTAKA
Allen KM. Clinical Care of the Addicted Client. American
Psychiatriy Journal, 2010.American Psychiatric Association.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th ed.
Washington DC: American Psychiatric Publishing 2013Elvira SD. 2013.
Buku Ajar Psikiatri UI edisi ke dua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Katzung BG. 2014. Farmakologi Dasar dan
Klinis. Jakarta : EGCKemenkes RI. Gambaran Umum Penyalahgunaan
Narkoba di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan,
2014.Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto
J. Substance Related Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007
May-Jun;73(3):353-8.Rusadi M. 2013. Buku saku diagnosis jiwa
Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK-Unika Atmajaya.Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan &
Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed Ke- 2. Jakarta:
EGCWarninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and
Rehabilitation in Substance Related disorders, Review Article on:
British Psychiatry Journal, 2009.1