-
GAMBARAN REVOLUSI INDONESIA DALAM NOVEL
LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA
INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai
Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Dina Widayanti
11150130000081
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
-
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
GAMBARAN REVOLUSI INDONESIA DALAM NOVEL LARASATI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan
Keguruan (S.Pd.)
Oleh
Dina Widayanti
NIM.11150130000081
Di bawah bimbingan
Ahmad Bahtiar, M.Hum
NIP. 19760118 200912 1002
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
-
.
-
KEMENTERIAN
AGAMA
FORM (FR)
No. Dokumen
: FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412
Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
N a m a : Dina Widayanti
Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 27 Maret 1997
NIM : 11150130000081
Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : “Gambaran Revolusi Indonesia dalam Novel
Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra
Indonesia di Sekolah”
Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar
hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang
saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian
Munaqasyah
.
Jakarta, 24 Desember 2019
Mahasiswa Ybs.
Dina Widayanti
NIM. 11150130000081
-
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau
keberanian
tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah
kita.”
Larasati
Pramoedya Ananta Toer
-
i
ABSTRAK
Dina Widayanti, 11150130000081, “Gambaran Revolusi Indonesia
dalam Novel
Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran
Sastra Indonesia di Sekolah.”Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel
yang
merefleksikan pergolakan revolusi Indonesia pada masa
pascaproklamasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran revolusi
Indonesia
dalam novel Larasati dan implikasinya terhadap pembelajaran
sastra di sekolah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan
pendekatan sosiologi sastra. Teknik pengumpulan data menggunakan
teknik
kajian pustaka dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa gambaran
revolusi Indonesia dalam novel Larasati terealisasikan dalam
tiga aspek, yaitu 1)
syarat terjadinya revolusi Indonesia, yang memperlihatkan
realitas sosial
masyarakat dalam revolusi yang meliputi rasa tidak puas terhadap
penjajah,
keinginan untuk merdeka seutuhnya, dan rakyat yang berperan
aktif dalam
mengisi momentum revolusi. 2) Masa revolusi dimanifestasikan
melalui revolusi
fisik dan sosial, revolusi fisik memperlihatkan gambaran sosial
tentang
perjuangan rakyat membela revolusi dengan mengorbankan darah,
yang
direalisasikan melalui pertempuran langsung maupun gerilya.
Revolusi sosial
diperlihatkan melalui perlawanan rakyat kepada penjajah guna
menghapus sistem
kolonial menjadi sistem demokratis dalam kehidupan sosial
masyarakat. 3)
Dampak yang ditimbulkan akibat revolusi meliputi bangkitnya
nasionalisme,
kesenjangan sosial, serta terpolarisasinya rakyat menjadi pro
dan kontra republik.
Analisis novel Larasati dapat diimplikasikan pada pembelajaran
bahasa dan sastra
Indonesia di kelas XII SMA dengan kompetensi dasar 3.9
menganalisis isi dan
kebahasaan novel. Peserta didik diharapkan dapat mengetahui
realitas sosial
mengenai revolusi Indonesia serta menerapkan nilai moral yang
terkandung dalam
novel berupa nasionalis dan patriotik.
Kata Kunci: Revolusi Indonesia, Larasati, Pramoedya Ananta
Toer,
Pembelajaran Sastra
-
ii
ABSTRACT
Dina Widayanti, 11150130000081, “ An Overview of Indonesian
Revolutions in
the Novel Larasati by Pramoedya Ananta Toer and Its Implication
on Indonesian
Literary Learning in School.” Department of Indonesian Language
and Literature
Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Sciences, State
Islamic University
Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisors: Ahmad Bahtiar, M.Hum.
The novel Larasati by Pramoedya Ananta Toer is a novel that
reflects the
uplifting of the Indonesian revolutions during the post
proclamation. This study
has a purpose to describe the overview of Indonesian revolution
in the Larasati
novel and its implications for literary learning in schools. The
method used in this
research was descriptive qualitative using literary
sociological
approach.Collecting data technique was using library and
documentation method.
The result showed that the description of the Indonesian
revolution in this novel
was realized in three aspects, namely 1) The conditions for the
Indonesian
revolutions, which showed the social reality of the people in
the revolution era
which included dissastisfaction with the invaders, the desire to
be fully
independent, and the people who played an active role in filling
the momentum of
the revolution. 2) The revolutionary period manifested through
physical and social
revolutions, physical revolution showed a social representation
of the people’s
struggle to defend the revolution at the expense of blood, which
is realized
through direct and guerrilla battles. The social revolution was
demonstrated
through popular resistance to the invaders to abolish colonial
system into
democratic system in the social life. 3) The impact of
Indonesian revolution
include that: the rise of nationalism, social inequality, and
the polarization of the
people into pros and cons of the republic. The analysis of novel
Larasati can be
implicated in Indonesian language and literature learning in XII
grade with basic
competencies number 3.9 which is analyzing the content and
language of the
novel. Students are expected to know the social reality of the
Indonesian
revolutions and apply the moral values contained in the novel
that include
nationalist and patriotic.
Key Words: Indonesian Revolution, Larasati, Pramoedya Ananta
Toer, Literary
Learning
-
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur penulis
panjatkan ke
hadirat Allah Subhanahu Wataala yang senantiasa telah memberikan
rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul
“Gambaran Revolusi
Indonesia dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer dan
Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah” ini dapat
disusun dan
diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam penulis curahkan
kepada Baginda
Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai suri tauladan kita, dan semoga
kita
mendapat syafaatnya kelak.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar
Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam
proses penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak
mendapat bantuan
dari berbagai pihak, baik moril maupun materill. Dengan segala
kerendahan hati
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta;
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan
Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku dosen penasihat akademik
yang
telah memberikan pengarahan dari awal proses perkuliahan
hingga
terselesaikannya perkuliahan ini;
4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi
selalu
membimbing dan meluangkan waktu dalam bimbingan skripsi, serta
tiada
henti-hentinya untuk memberikan semangat agar skripsi dapat
terselesaikan dengan baik;
-
iv
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
khususnya, dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang
telah
memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan yang sangat
bermanfaat
bagi penulis selama menempuh pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta;
6. Kedua orang tua yang sangat menyayangi penulis, yaitu Bapak
Wido
Raharjo dan Ibu Suyatni yang senantiasa membimbing, mengarahkan,
dan
memberikan nasihat yang bermanfaat bagi penulis;
7. Teruntuk adik-adik penulis, yaitu Dwi Wulandari, Dewi Sri
Lestari, dan
Dwi Larasati yang selalu memberikan candaan dan kehangatan di
tengah
proses penulisan skripsi;
8. Teman-teman terbaik dan seperjuangan yang tergabung dalam
Lima
Sekawan, yaitu Faakhirah, Siti Lazmi Latifah, Rizki Fitriana
Asria, dan
Peni Rosmalawati yang sejak awal perkuliahan selalu bersama,
memberikan kehangatan dan candaan, saling menyemangati,
mendoakan,
dan memberikan motivasi dalam perkuliahan hingga proses
penulisan
skripsi;
9. Teman-teman sebimbingan skripsi, terkhusus Vivi Khairatna
yang selalu
menyemangati penulis dan memberikan dukungan dalam proses
pengerjaan skripsi, kemudian untuk Aravinda Kusuma Arrafah dan
Suci
Amalia yang selalu menghidupkan grup whatsapp bimbingan
skripsi
dengan gurauan dan dukungan agar semangat dalam bimbingan;
10. Seluruh mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
angkatan 2015 yang menjadi teman diskusi dan sharing selama
proses
perkuliahan berlangsung;
11. Teman-teman KKN 28 UIN Jakarta (Muspaca 28) yang telah
bekerja sama
dan kompak dalam proses KKN di Desa Jatiwaringin, Mauk,
Kab.Tangerang. Terima kasih telah memberikan keceriaan dan
keakraban
selama satu bulan tinggal bersama di desa nun jauh di mato;
12. Teman-teman PLP SMAN 6 Tangerang Selatan, yaitu Sifa, Eka,
Kia, Sri,
dan Nabilah yang telah memberikan canda dan tawa saat kegiatan
PLP
-
v
berlangsung. Terima kasih telah menjadi penyemangat saat menjadi
guru
muda selama dua bulan;
13. Untuk kamu, yang selalu mengisi sisi-sisi kehidupan yang
kosong. Terima
kasih untuk segalanya;
14. Teruntuk The Beatles, BTS, Day 6, dan Banda Neira, yang
kerap menjadi
penenang di kala gundah mengerjakan skripsi. Terima kasih untuk
semua
lagu-lagu indahnya.
Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu
penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan dan
ketulusan kalian semua. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh
dari sempurna,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dalam
penelitian ini. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi penulis
pribadi dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Januari 2020
Penulis
-
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK
.....................................................................................................
i
ABSTRACT
..................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR
...................................................................................
iii
DAFTAR ISI
.................................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN
.................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
..............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah
......................................................................
1
B. Identifikasi Masalah
............................................................................
6
C. Pembatasan Masalah
...........................................................................
6
D. Rumusan Masalah
...............................................................................
7
E. Tujuan Penelitian
................................................................................
7
F. Manfaat
Penelitian...............................................................................
7
G. Metodologi Penelitian
.........................................................................
8
1. Metode Penelitian
..........................................................................
8
2. Subjek dan Objek Penelitian
.......................................................... 9
3. Fokus Penelitian
............................................................................
9
4. Sumber Data
..................................................................................
9
5. Teknik Pengumpulan Data
.............................................................
10
6. Teknik Analisis Data
.....................................................................
10
BAB II LANDASAN TEORETIS
................................................................
12
A. Hakikat Novel
.....................................................................................
12
-
vii
B. Unsur Intrinsik Novel
..........................................................................
14
1. Tema
.............................................................................................
14
2. Alur
...............................................................................................
16
3. Tokoh dan Penokohan
...................................................................
17
4. Latar
..............................................................................................
19
5. Sudut Pandang
...............................................................................
19
6. Gaya Bahasa
..................................................................................
21
7. Amanat
..........................................................................................
21
C. Sosiologi Sastra
...................................................................................
22
D. Revolusi
..............................................................................................
25
1. Hakikat Revolusi
...........................................................................
25
2. Penyebab Revolusi
........................................................................
30
3. Revolusi Fisik dan Sosial
...............................................................
31
E. Sejarah Singkat Revolusi Indonesia
..................................................... 35
F. Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah
........................................... 39
G. Penelitian Relevan
...............................................................................
42
BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER
................................... 45
A. Biografi Pramoedya Ananta Toer
........................................................ 45
B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer
..................................................... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN
....................................................................
57
A. Analisis Unsur Intrinsik Novel Larasati
Karya Pramoedya Ananta Toer
............................................................ 57
1. Tema
.............................................................................................
57
2. Alur
...............................................................................................
60
3. Tokoh dan Penokohan
...................................................................
67
4. Latar
..............................................................................................
91
5. Sudut Pandang
...............................................................................
104
6. Gaya Bahasa
..................................................................................
105
7. Amanat
..........................................................................................
111
-
viii
B. Analisis Gambaran Revolusi Indonesia dalam Novel Larasati
Karya
Pramoedya Ananta Toer
......................................................................
112
1. Syarat Terjadinya Revolusi Indonesia
............................................ 114
a. Keinginan Untuk Mengadakan Suatu Perubahan
...................... 114
b. Pemimpin atau Sekelompok Orang yang Mampu Memimpin
Masyarakat
..............................................................................
117
c. Momentum
..............................................................................
119
2. Masa Revolusi Indonesia
...............................................................
121
a. Revolusi Fisik
..........................................................................
121
b. Revolusi Sosial
........................................................................
127
3. Dampak Revolusi Indonesia
.......................................................... 129
a. Bangkitnya
Nasionalisme.........................................................
129
b. Kesenjangan Sosial
..................................................................
132
c. Rakyat Terpolarisasi Menjadi Pro dan Kontra Republik
........... 135
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah
............ 141
BAB V PENUTUP
........................................................................................
147
A. Simpulan
.............................................................................................
147
B. Saran
...................................................................................................
148
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................
150
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
TENTANG PENULIS
-
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 2 : Sinopsis Novel Larasati
Lampiran 3 : Surat Bimbingan Skripsi
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah karya sastra seperti halnya seni merupakan
keseluruhan
hasil ciptaan manusia yang dihasilkan oleh masyarakat.1 Sebagai
karya
yang tercipta dari masyarakat, maka sastra dapat menjadi
gambaran dan
representasi atas fakta terjadinya suatu peristiwa. Rekaan yang
terkandung
dalam sastra tidak berlawanan dengan kenyataan sehingga karya
sastra
bukan semata-mata mempersoalkan gejala individual, tetapi
juga
mencerminkan gejala sosial masyarakat.2 Fenomena tersebut
dipengaruhi
oleh peran ganda yang diemban pengarang, yaitu sebagai
anggota
masyarakat dan sosiologis. Secara sosiologis, pengarang justru
memiliki
hubungan emosional dengan masyarakat, yang diwujudkannya
melalui
pengejewantahan kenyataan sosial dengan jelas dalam
karyanya.
Selain sebagai hasil cerminan masyarakat, karya sastra juga
berperan sebagai sebuah karya yang bernilai sejarah.
Sugihastuti
menyatakan bahwa studi sastra merupakan pelengkap studi
sejarah.3 Sastra
dan sejarah memiliki hubungan timbal balik, di mana karya sastra
dapat
menjadi sumber penulisan sejarah dan sejarah dapat dijadikan
subjek
dalam karya sastra. Salah satu peristiwa sejarah yang diangkat
dalam karya
sastra khususnya novel adalah peristiwa revolusi 1945 − 1949.
Sesuai
dengan riset Sumardjo yang menyatakan bahwa dari 36 novel
yang
dipelajarinya, 11 novel bertemakan revolusi yang nyatanya
bahwa
persoalan revolusi baru dibicarakan ramai setelah revolusi
sendiri usai.4
Sepanjang perjalanan sastra Indonesia, telah banyak pengarang
menulis
1 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies Representasi
Fakta dan Politik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 268. 2 Nyoman Kutha
Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,
2003), h. 11. 3 Sugihastuti, Teori Apresiasi Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 11. 4 Jacob Sumardjo,
Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977, (Bandung: Alumni,
1999),
h. 73.
-
2
novel dengan tema revolusi sesuai dengan gaya kepengarangan dan
latar
belakang sosialnya masing-masing.
Mochtar Lubis dengan novelnya yang berjudul Jalan Tak Ada
Ujung melukiskan keadaan sosial masyarakat pada zaman revolusi
1946 −
1947. Pada zaman pasca orde baru, terdapat novel Larasati
karya
Pramoedya Ananta Toer yang memberikan gambaran revolusi 1945
–
1949 melalui sudut pandang perempuan republikein. Selain itu,
novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari juga mengambil
setting
pada revolusi 1945 – 1949 dengan menggambarkan realitas
sosial
masyarakat pada masa itu. Dari ketiga novel tersebut, novel
Larasati karya
Pramoedya Ananta Toer penting untuk dibahas, karena berhasil
merekam
gambaran revolusi 1945 − 1949, di mana Indonesia pada masa itu
berada
dalam kondisi sosial politik yang tidak stabil.
Revolusi Indonesia merupakan periode perubahan paling
spektakuler dalam sejarah bangsa karena pada masa ini rakyat
berhasil
mempertahankan kemerdekaan dan mengukuhkan identitas bangsa
dari
kekuasaan penjajah. Revolusi terjadi secara cepat dan
menyeluruh,
melibatkan massa rakyat yang dimobilisasi oleh gerakan
revolusioner. Hal
ini terjadi dalam perlawanan rakyat terhadap Belanda yang ingin
berkuasa
kembali di Indonesia. Pertempuran sengit antara Republik dan
Belanda
terus terjadi pada periode ini, rakyat secara sadar dan
bahu-membahu
berkontribusi aktif dalam perang melawan dominasi Belanda
terhadap
Republik, meskipun harus mengorbankan harta dan nyawa. Realitas
sosial
tersebut secara eksplisit merujuk pada definisi revolusi fisik,
di mana
rakyat melakukan perlawanan guna mempertahankan proklamasi
kemerdekaan dari hegemoni Belanda dengan mengorbankan darah. Di
sisi
lain, revolusi sosial juga mewarnai gejolak revolusi Indonesia
yang
menandai terjadinya perubahan tatanan sosial dari kolonial
feodal kepada
sistem sosial demokratis. Hal ini menunjukkan perlawanan rakyat
guna
melepaskan diri dari sistem sosial yang merugikan rakyat.
-
3
Serangkaian gambaran revolusi tersebut banyak dijadikan
sebagai
bahan tulisan sastrawan dalam menulis karya sastranya. Hal
ini
menunjukkan bahwa melalui karya sastra, rakyat Indonesia
senantiasa
melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pihak asing pada
zaman
revolusi. Sekaligus, karya sastra juga memberikan gambaran dan
fakta
sosial yang terjadi ketika revolusi berlangsung. Perjalanan
sejarah bangsa
Indonesia dari masa ke masa senantiasa dimuat dalam seni dan
sastra.
Terlebih lagi pada zaman revolusi, di mana perjuangan rakyat
begitu
berkobar agar kemerdekaan tidak dirampas lagi oleh pihak asing.
Senada
dengan Ricklefs yang menyatakan bahwa semangat revolusi
terus
bergelora hingga menyentuh sendi-sendi kesenian dan
kesastraan.
Keseluruhan generasi sastrawan angkatan 45 memuncak daya
kreativitasnya di zaman revolusi ini, di antaranya penyair
Chairil Anwar
(1922-1949), penulis prosa Pramoedya Ananta Toer (1925),
wartawan
Mochtar Lubis (1922).5
Kutipan di atas menunjukkan bahwa karya sastra Indonesia
pada
zaman revolusi berperan sebagai alat perlawanan, perjuangan,
dan
representasi atas peristiwa revolusi pada kurun 1945 − 1949. Hal
tersebut
dibuktikan oleh Pramoedya Ananta Toer yang menerbitkan novel
Larasati
sebagai upaya perlawanan dan penggambaran revolusi secara
gamblang
baik dari aspek kepahlawanan maupun pengkhianatan. Larasati
terbit
pertama kali sebagai cerita bersambung pada 1950, kemudian
diterbitkan
oleh Lentera Dipantara pada tahun 2003. Dalam novel ini,
Pramoedya
tidak hanya merekam kisah-kisah heroik kepahlawanan pemuda,
namun
juga lengkap dengan segala kemunafikan dan pengkhianatan
para
pemimpin.
Secara umum, Larasati bercerita tentang seorang aktris
perempuan
bernama Ara yang bertekad untuk berpihak pada republik,
menjadi
seorang republikein dengan berjuang mempertahankan kemerdekaan
tanah
5 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. dari A History
of Modern Indonesia oleh
Dharmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2016), h. 322.
-
4
airnya. Pramoedya sebagai pengarang cerita berhasil meramu
jalinan
peristiwa secara apik dan elegan, dengan menyoroti kondisi
revolusi
melalui perspektif kaum muda yang direpresentasikan oleh
aktris
perempuan. Permasalahan revolusi ini akhirnya membuka kebenaran
baru
bahwa rakyat telah terpolarisasi dalam memandang revolusi, yaitu
rakyat
yang setia dengan kemerdekaan dan rakyat yang tunduk pada
penjajah.
Hal tersebut kemudian menimbulkan asumsi bahwa rakyat yang
selama ini
setia kepada kemerdekaan dan revolusi adalah kaum muda.
Dengan
jelasnya penggambaran tersebut dalam novel, Pramoedya
mencoba
menyuguhkan fakta baru kepada pembaca bahwa revolusi gigih
diperjuangkan oleh kaum pemuda.
Hal lain yang menarik dari novel ini adalah terdapat tokoh
Chaidir
dan Jassir yang berorientasi pada Chairil Anwar dan H.B. Jassin.
Seperti
yang diketahui, bahwa Chairil Anwar adalah seorang penyair yang
aktif
membela revolusi dengan menuliskan sajak-sajak yang
mencerminkan
dukungannya kepada revolusi. Melalui penokohan ini,
Pramoedya
menegaskan bahwa perjuangan revolusi tidak hanya dilakukan
melalui
perang bersenjata, tetapi juga melalui kesenian dan kesastraan
untuk
menggelorakan semangat juang rakyat. Selain itu, ketertarikan
lainnya
dapat dijumpai pada Larasati yang merupakan hero dalam
perjuangan
revolusi.
Dewasa ini, pentingnya revolusi 1945 − 1949 dalam sejarah
bangsa
Indonesia harus direfleksikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Revolusi 1945 − 1949 penting bagi kita semua untuk
mengoreksi
perjuangan kita yang tidak sesuai dengan aspirasi perjuangan
bangsa, yaitu
membangun masyarakat adil dan makmur sesuai dengan UUD 1945
dan
Pancasila. Masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila
adalah aspirasi pokok yang telah mendasari dan mendorong
revolusi
Indonesia. Senada dengan hal tersebut, TB. Simatupang
menyatakan
bahwa revolusi merupakan sumber kepercayaan dan inspirasi
dalam
perjuangan bangsa Indonesia, di mana pengamalan Pancasila
dalam
-
5
pembangunan nasional harus ditingkatkan karena merupakan
tampuk
kelanjutan dari revolusi 1945.6
Urgensi memahami sejarah Indonesia termasuk revolusi 1945 −
1949 harus dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama
pada
generasi muda dan milenial. Hal tersebut bertujuan untuk
merefleksikan
peristiwa revolusi dan pergerakan nasionalisme yang terjadi pada
masa itu,
serta berperan penting untuk menanamkan jiwa nasionalisme
dan
patriotisme bagi generasi muda. Dengan merefleksikan revolusi
1945 −
1949, diharapkan dapat membentuk karakter positif pada generasi
muda.
Dampak jangka panjangnya dapat menghasilkan generasi muda
yang
unggul, nasionalis, serta peduli terhadap sejarah dan
permasalahan bangsa.
Langkah utama untuk meningkatkan pemahaman sejarah dan
pembentukan karakter dapat ditempuh melalui pendidikan, salah
satunya
dengan pengajaran sastra di sekolah. Karya sastra berupa novel
dapat
dijadikan bahan pembelajaran yang menarik dan bermanfaat bagi
peserta
didik, karena novel memuat tentang gambaran sosial dan peristiwa
masa
lalu yang dapat memberikan informasi sejarah. Selain itu,
nilai-nilai yang
terkandung dalam novel dapat diresapi oleh peserta didik yang
kemudian
dapat merekonstruksi dan membentuk karakter positif dalam diri
pribadi
mereka.
Novel Larasati bermanfaat bagi peserta didik karena novel
ini
mengajarkan untuk memahami perjuangan dan cinta tanah air
kepada
negara. Dengan memahami gambaran sosial dan permasalahan
tokoh-
tokohnya, diharapkan peserta didik dapat mengetahui realitas
sosial pada
masa revolusi, serta dapat menumbuhkan sikap berani, peduli,
nasionalis
dan patriotik dalam diri peserta didik. Sekaligus, peserta didik
dapat
mengetahui peristiwa sejarah bangsa Indonesia dan melihat
bagaimana
sastrawan menjadikan revolusi 1945 − 1949 sebagai perspektif
yang
menarik dalam karyanya.
6 William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah
Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h.
85.
-
6
Dengan memperhatikan latar belakang masalah tersebut,
peneliti
bermaksud untuk menelaah gambaran revolusi Indonesia yang
tercermin
dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer menggunakan
telaah
sosiologi sastra yang menitikberatkan pada hubungan karya sastra
dengan
konteks sosial masyarakat. Kemudian akan diimplikasikan
dalam
pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, yang diharapkan tidak
hanya
memberikan wawasan seputar teks dan konteks dalam novel, tetapi
turut
pula berpengaruh positif dalam pembentukan karakter peserta
didik.
Dengan demikian, peneliti tertarik untuk mengkaji Gambaran
Revolusi
Indonesia dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer
dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di
Sekolah.
B. Identifikasi Masalah
Di dalam penelitian ini, terdapat banyak hal yang harus
diteliti
sehingga memerlukan pengidentifikasi masalah. Berikut
identifikasi
masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah:
1. Kurangnya pembahasan secara spesifik mengenai kajian
revolusi
dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer, khususnya novel
Larasati;
2. Minimnya pemahaman pembaca khususnya peserta didik
mengenai
sejarah revolusi Indonesia dan gambaran revolusi Indonesia
yang
terjadi pada kurun waktu 1945 – 1949;
3. Rendahnya minat peserta didik dalam membaca dan
mengapresiasi
karya sastra, khususnya novel;
4. Rendahnya karakter patriotik dan nasionalis dalam diri
peserta didik;
5. Kurang maksimalnya pemanfaatan karya sastra sebagai
alternatif
sumber pengetahuan sejarah dan media pembentukan karakter
pada
pembelajaran sastra di sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang
telah
diuraikan, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya
fokus
pada gambaran revolusi Indonesia dalam novel Larasati karya
Pramoedya
-
7
Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra
dan
implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di
sekolah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, pembatasan, identifikasi, dan
batasan
masalah yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah yang akan
diteliti
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran revolusi Indonesia dalam novel Larasati
karya
Pramoedya Ananta Toer?
2. Bagaimana implikasi hasil penelitian tentang gambaran
revolusi
Indonesia dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer
terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan yang ada, maka tujuan penelitian ini
adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan gambaran revolusi Indonesia dalam novel
Larasati
karya Pramoedya Ananta Toer.
2. Mendeskripsikan implikasi penelitian tentang gambaran
revolusi
Indonesia dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer
terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan dapat
memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis.
Adapun
beberapa manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini
sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan khususnya sejarah Indonesia dalam
pengkajian karya sastra, bermanfaat dalam pembelajaran
sastra
Indonesia bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia, serta
masyarakat
umum yang memiliki minat, perhatian, dan ketertarikan khusus
pada
bidang sastra Indonesia.
-
8
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai
bahan rujukan atau bahan penelitian lanjutan terhadap karya
sastra,
khususnya novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer.
Kemudian
bagi pendidik, penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar
untuk
meningkatkan kemampuan analisis peserta didik dalam
pembelajaran
sastra. Terutama dalam materi menganalisis unsur intrinsik
dan
ekstrinsik yang berguna untuk memberikan pemahaman mengenai
gambaran revolusi Indonesia yang terkandung dalam novel.
Lebih
jauh, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
sejarah
revolusi Indonesia, serta dapat membentuk karakter positif bagi
peserta
didik.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang
bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subjek
penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain
secara
holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada
suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah.7 Ratna menjelaskan bahwa penggunaan metode
kualitatif secara keseluruhan dilakukan dengan cara menafsirkan
data-
data dan menyajikannya secara deskriptif dalam bentuk
kata-kata
tertulis pada konteks tertentu.8 Pada penelitian deksriptif ini,
peneliti
berusaha menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan
pada
objek tertentu secara jelas dan sistematis.9
7 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya,
2011), h. 6. 8 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), h. 46. 9 Sukardi, Metodologi Penelitian
Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2003), cet. 16, h. 14.
-
9
Dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif kualitatif
adalah
metode yang menyajikan data melalui gambaran atau deskripsi
untuk
menyelidiki objek yang berupa kata-kata secara jelas dan
sistematis.
Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis
gambaran
revolusi Indonesia dalam novel Larasati dengan mengungkapkan
peristiwa, fenomena, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan
sebagai
media pembentukan karakter peserta didik.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dituliskan, subjek
dalam
penelitian ini, yaitu tinjauan gambaran revolusi Indonesia
yang
tercermin dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer
dan
sebagai objek dari penelitian ini adalah teks dalam novel
Larasati,
cetakan ketiga yang diterbitkan Lentera Dipantara pada tahun
2003.
3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini dibuat agar pembahasan lebih terarah
sehingga
mudah dipahami oleh pembaca. Fokus dari penelitian ini
adalah
gambaran revolusi Indonesia yang terkandung dalam novel
Larasati
karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra yang berimplikasi terhadap pembelajaran
sastra
Indonesia di sekolah.
4. Sumber Data
Sumber data pada penulisan ini terbagi atas sumber data primer
dan
sekunder.
a. Sumber utama dalam penelitian ini adalah novel Larasati
karya
Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara
di
Jakarta, tahun 2003, cetakan ketiga, dengan tebal 183
halaman.
b. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
buku-buku dan artikel-artikel yang membahas karya sastra,
pendekatan sosiologi sastra, hakikat revolusi Indonesia,
serta
pembelajaran sastra yang berkaitan dengan subjek penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
-
10
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
kajian
pustaka dan dokumentasi. Teknik kajian pustaka adalah teknik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
Peneliti
menganalisis secara sistematis terhadap sumber data primer,
yaitu
novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer dengan
menganalisis
unsur intrinsik, ekstrinsik, dan gambaran revolusi Indonesia
melalui
pendekatan sosiologi sastra. Sementara itu, dokumentasi
adalah
sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik
berupa
sumber tertulis, film, gambar, foto, dan karya-karya monumental,
yang
semuanya itu dapat memberikan informasi tambahan bagi proses
peneitian. Peneliti mengumpulkan data dari buku, esai, jurnal,
kamus,
buku elektronik (ebook), gambar, dan dokumen lain yang dapat
memberikan informasi dalam penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah kegiatan untuk
mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda,
dan
mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan
berdasarkan
fokus dan masalah yang ingin dijawab.10 Semua data yang
diperoleh
dari teknik kajian pustaka dan dokumentasi dianalisis secara
kronologis dan sistematis. Adapun langkah kerja teknik analisis
data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis unsur intrinsik novel dengan menggunakan
analisis
struktural untuk mengetahui unsur pembangun novel Larasati
karya Pramoedya Ananta Toer;
2. Mengidentifikasi dan menganalisis teks yang menggambarkan
revolusi Indonesia berdasarkan pendekatan sosiologi sastra
untuk
10 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik,
(Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), h. 209.
-
11
memaparkan hubungan antara karya sastra dengan kenyataan di
luar sastra yang berkaitan dengan gambaran revolusi
Indonesia;
3. Mengimplikasikan gambaran revolusi Indonesia yang
terungkap
dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer pada
pembelajaran sastra Indonesia di sekolah dengan mengaitkan
pengetahuan sejarah revolusi dan karakter positif yang
terkandung
dalam novel.
-
12
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Hakikat Novel
Novel berasal dari bahasa Italia novella, secara harfiah
novella
berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan
sebagai
cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novella
megandung
pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette
(Inggris:
novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang
panjangnya
cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu
pendek.1 Novel
juga berasal dari kata Latin Novellus yang diturunkan dari kata
novies
yang berarti ‘baru’. Dikatakan baru karena jika dibandingkan
dengan jenis
sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis
novel ini
muncul kemudian.2 Jika ditinjau dari aspek sejarah, novel
merupakan
genre sastra dari Eropa yang muncul di lingkungan kaum borjuis
di Inggris
pada abad XVIII, novel diposisikan sebagai produk masyarakat
kota yang
terpelajar, mapan, kaya, dan punya waktu luang untuk
menikmatinya. Di
Indonesia, masa subur novel terjadi tahun 1970-an yakni ketika
cukup
banyak golongan pembaca wanita dari lingkungan terpelajar.
Berkembangnya masyarakat terpelajar di kota-kota Indonesia
menjadi
dasar berkembangnya novel.
Novel adalah cerita mengenai salah satu episode dalam
kehidupan
manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu,
sebuah krisis
yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib pada manusia.3
Novel
sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang
berisi
kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun
melalui
berbagai unsur intrinsiknya seperti, peristiwa, plot, tokoh,
penokohan,
latar, sudut pandang, dan lain-lain yang ke semuanya, tentu saja
juga
1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University
Press, 2012), h. 9. 2 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip
Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h.
164. 3 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), h. 63.
-
13
bersifat imajinatif.4 Sebagai karya imajinatif, novel juga
menjadi produk
dari masyarakat, di mana novel ini mengungkapkan
masalah-masalah
kemasyarakatan, novel tersebut dikenal dengan istilah novel
sosial.5
Permasalahan yang diungkapkan dalam novel biasanya
mempersoalkan
manusia dengan berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan
masyarakat,
sosial, agama, budaya dan lain sebagainya. Stanton menjelaskan
bahwa
novel merupakan sebuah karya yang mampu menghadirkan
perkembangan
satu karakter, situasi sosial yang rumit, dan berbagai peristiwa
ruwet yang
terjadi beberapa tahun silam secara mendetail.6 Virginia Wolf
dalam
Tarigan menyatakan bahwa:
Sebuah roman atau novel ialah terutama sekali sebuah
eksplorasi
atau suatu kronik penghidupan; merenungkan dan melukiskan
dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran,
atau
tercapainya gerak-gerik manusia.7
Novel disebut juga dengan istilah roman pada masanya, yaitu
masa
di awal kesusastraan Indonesia. Padahal jika ditelisik lebih
jauh, novel
berbeda dengan roman. Novel merupakan prosa rekaan yang lebih
pendek
daripada roman dan biasanya novel menceritakan peristiwa pada
masa
tertentu.8 Bahasa yang digunakannya pun merupakan bahasa
sehari-hari
sehingga mudah dipahami pembaca. Akan tetapi, penggarapan
unsur
intrinsiknya masih terpenuhi dan lengkap seperti tema, latar,
alur, tokoh,
gaya bahasa, dan lain-lain. Novel merupakan karya prosa rekaan
yang
mengangkat masalah-masalah yang berkaitan dengan manusia
seperti
sosiologis, psikologis, ideologis, dan lain sebagainya. Senada
dengan hal
itu, Widjojoko mengemukakan bahwa permasalahan dalam novel
biasanya
mempersoalkan manusia dengan berbagai aspek kehidupan. Di
dalamnya
4 Nurgiyantoro, op., cit.,h. 4. 5 Kinayati Djojosuroto dan
Anneke S. Pangkerego, Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa
Fiksi, (Jakarta: Penerbit Manasco, 2000), cet. 1, h. 21 6 Robert
Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh
Sugihastuti dan
Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 90.
7 Tarigan, loc., cit. 8 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,
(Jakarta: Grasindo, 2008), h. 141.
-
14
tercermin masalah kehidupan yang dihadapi manusia pada suatu
waktu
dan pemecahannya sesuai dengan pandangan dan cita-cita
pengarang.9
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan karya prosa fiksi yang mengungkapkan problematika
manusia
dengan menghubungkannya pada berbagai aspek kehidupan. Selain
itu,
novel juga kerap digunakan sebagai alat kritik sosial atas
berbagai
peristiwa dan fenomena yang terjadi di masyarakat.
B. Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra
itu sendiri. Unsur yang terkandung dalam intrinsik menjadi bahan
kajian
kritik sastra seperti tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang,
gaya bahasa,
dan amanat yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Tema
Setiap fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang merupakan
sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam
karyanya
dengan dasar tersebut. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika
tema
adalah hal yang paling penting dalam sebuah cerita. Menurut
Stanton
dalam Nurgiyantoro, tema (theme) adalah makna yang terkandung
dari
sebuah cerita.10 Menurut Siswanto, tema adalah ide yang
mendasari
suatu cerita yang berperan sebagai pangkal tolak pengarang
dalam
memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.11
Sementara itu, Brooks dan Warren dalam Tarigan mengemukakan
bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan
tertentu
mengenai kehidupan yang membentuk gagasan utama suatu karya
sastra.12 Tema menyajikan cerita yang menggambarkan emosi
atau
kejiwaan pengarang seperti cinta, derita, rasa takut,
kedewasaan,
keyakinan, pengkhianatan. Hal tersebut merupakan wujud dari
tema
9 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra
Indonesia, (Bandung: UPI
Press, 2006), h. 42. 10 Nurgiyantoro, op., cit., h. 67. 11
Siswanto, op., cit., h. 161. 12 Tarigan, op., cit., h. 125.
-
15
sebagai aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam
pengalaman
manusia.
Stanton menjelaskan bahwa tema adalah elemen yang relevan
dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita; makna yang
dapat
merangkum semua elemen dalam cerita. Sebuah tema dapat
diibaratkan “maksud” dalam sebuah gurauan; setiap orang
paham
“maksud” sebuah gurauan, tetapi sulit ketika diminta untuk
menjelaskannya. “Maksud” adalah hal yang membuat sebuah
gurauan
menjadi lucu; jadi “maksud” dalam konteks ini merujuk pada
fungsi
dan bukan definisi.13 Jadi, tema dalam sebuah cerita terletak
pada
maknanya yang berfungsi sebagai benang merah dalam cerita.
Dalam
menentukan tema, harus memperhatikan berbagai aspek termasuk
pemahaman cerita secara mendalam keseluruhan dan sudut
pandang
yang dipilih.
Untuk menentukan sebuah tema dapat digeneralisasikan dari
keseluruhan cerita, bukan hanya berdasarkan bagian-bagian
tertentu
cerita. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya untuk
menentukan tema mayor cerita. Oleh karena itu, dalam
menentukan
tema cerita lebih baik diklasifikasikan ke dalam tema mayor
dan
minor. Tema mayor merupakan makna pokok yang menjadi gagasan
umum cerita. Tema minor merupakan makna pokok cerita yang
tersirat
dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan
cerita,
bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu
cerita
dapat diidentifikasikan sebagai makna tambahan atau makna
bagian.14
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema
adalah
gagasan sentral yang menjadi landasan tumpu dalam
kesinambungan
cerita.
13 Stanton, op., cit., h. 39. 14 Nurgiyantoro, op., cit., h.
83.
-
16
2. Alur
Alur adalah unsur intrinsik yang memiliki peran penting
dalam
membentuk jalannya cerita. Untuk menyebut plot, secara
tradisional,
orang juga menyebutnya sebagai alur atau jalan cerita.
Penyamaan
begitu saja antara plot dengan jalan cerita, sebenarnya kurang
tepat.
Plot memang mengandung unsur jalan cerita, lebih tepatnya
peristiwa
demi peristiwa yang terjadi susul-menyusul.
Stanton mengartikan alur sebagai rangkaian
peristiwa-peristiwa
dalam cerita.15 Alur atau plot adalah struktur gerak yang
terdapat
dalam fiksi atau drama.16 Pada prinsipnya, suatu fiksi
haruslah
bergerak dari suatu permulaan (beginning) melalui suatu
pertengahan
(middle), menuju akhir (ending). Tasrif dalam Nurgiyantoro
membedakan alur menjadi lima bagian sebagai berikut17: tahap
penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan
konflik,
tahap klimaks, dan tahap penyelesaian. Berdasarkan paparan
tersebut,
dapat disimpulkan bahwa alur merupakan rangkaian terjadinya
cerita
yang dimulai dari tahap perawalan hingga penyelesaian cerita.
Dalam
penelitian ini, peneliti merujuk pada pendapat Tasrif yang
mengemukakan tahapan alur terdiri atas lima bagian, yaitu
sebagai
berikut.18
a) Tahap penyituasian, tahap ini berisi pelukisan dan
pengenalan
situasi latar dan tokoh cerita.
b) Tahap pemunculan konflik, tahap ini berisi masalah-masalah
dan
peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai
dimunculkan.
c) Tahap peningkatan konflik, tahap ini merupakan tahap di
mana
konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin
berkembang kadar intensitasnya.
15 Ibid., h. 26. 16 Tarigan, op., cit., h. 126. 17 Nurgiyantoro,
op., cit.,h. 150. 18 Ibid., h. 149−150.
-
17
d) Tahap klimaks, tahap ini memunculkan pertentangan-
pertentangan yang terjadi, yang diakui, dan ditimpakan pada
tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak (klimaks).
e) Tahap penyelesaian, merupakan tahap di mana konflik yang
mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan
dikendorkan,
konflik-konflik tambahan diberi jalan keluar atau diakhiri.
3. Tokoh dan Penokohan
Istilah tokoh dalam novel merujuk pada siapa pelaku cerita
(orangnya). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Watak,
perwatakan,
dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang
ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi
seorang
tokoh. Mengutip penyataan Mursal Esten bahwa penokohan yang
baik
ialah penokohan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dan
mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili
tipe-
tipe manusia dengan sebenar-benarnya.19 Penokohan adalah
bagaimana
cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh
dalam sebuah cerita sehingga pembaca dapat menangkap dengan
jelas
apa yang ingin disampaikan pengarang melalui tokoh tersebut.
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan
menjadi,
tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh
yang
kita kagumi yang secara populer disebut sebagai tokoh
hero−tokoh
yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang
ideal
bagi manusia. Sekaligus berperan sebagai tokoh yang
mendukung
jalannya cerita. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang
beroposisi
pada tokoh protagonis baik langsung maupun tidak langsung.
Selain
itu, terdapat juga tokoh antihero yang kerap dimunculkan
pengarang
dalam cerita. Dikutip dari Abrams antihero adalah “the chief
person in
a modern novel or play whose character is widely discrepant from
that
19 Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah,
(Bandung: Angkasa, 2013),
h. 26.
-
18
which we associate with the traditional protagonist or hero of
serious
literary work. Instead of manifesting largeness, dignity, power,
or
heroism, the antihero is pretty, ignominious, passive,
ineffectual, or
dishonest.”20 Jika ditinjau dari aspek keterlibatan cerita tokoh
dibagi
atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh
yang
paling banyak diceritakan dalam cerita baik sebagai pelaku
kejadian
atau dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang
perannya
sedikit dalam cerita, dan kehadirannya hanya ada jika
memiliki
keterkaitan dengan tokoh utama secara langsung ataupun tidak
langsung. 21
Selain itu, apabila dilihat dari perkembangan tokoh, terdapat
tokoh
statis dan berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang
tidak
mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan akibat
adanya
peristiwa-peristiwa yang terjadi, sedangkan tokoh berkembang
(dinamis) merupakan tokoh yang mengalami perkembangan dan
perubahan sesuai dengan peristiwa dan plot dalam cerita.22
Menurut
Minderop, penggambaran tokoh yang dibentuk pengarang dapat
ditinjau berdasarkan metode langsung, tidak langsung,
karakterisasi
melalui sudut pandang, dan gaya bahasa.23
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah
karakter yang diciptakan pengarang yang dibentuk sebagai
manusia
pada umumnya dalam cerita. Tokoh berperan sebagai media
penyampaian pesan dan amanat kepada pembaca, sehingga
diperoleh
pemahaman utuh atas keberadaan tokoh tersebut dalam cerita.
Dalam
penelitian ini, peneliti merujuk pembagian tokoh pada tokoh
utama dan
tambahan, tokoh protagonis dan antagonis.
20 Abrams, A Glossary of Literary Terms, (United States of
America: Cornell University,
1999), h. 11. 21Nurgiyantoro, op., cit., h. 176−182. 22Ibid., h.
188. 23 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi,
(Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), edisi. 1, h. 3.
-
19
4. Latar
Sebagai dunia, fiksi membutuhkan sebuah tokoh, cerita, dan
latar.
Latar atau setting disebut sebagai landas tumpu, menyaran
pada
pengertian tempat, hubungan, waktu, dan lingkungan sosial
tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. 24 Secara
singkat, latar
adalah latar belakang fisik, unsur tempat, dan ruang dalam
suatu
cerita.25 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan
jelas. Hal
ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca,
yang
menciptakan suasana tertentu seolah-olah benar terjadi. Latar
adalah
lingkungan yang dianggap berfungsi sebagai metonimia atau
metafora,
ekspresi dari tokohnya. Latar juga dapat berfungsi sebagai
penentu
pokok: lingkungan yang dianggap sebagai penyebab fisik dan
sosial
suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu.26
Secara umum, latar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
unsur
pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat merupakan
latar
menyaran pada lokasi peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya
fiksi. Sementara itu, latar waktu berkaitan dengan masalah
kapan
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Dan
yang
terakhir, latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan
dalam karya fiksi.27 Dapat disimpulkan bahwa latar adalah
petunjuk
tempat, waktu, dan sosial yang terjadi dalam cerita yang
berfungsi
sebagai media untuk memberikan kesan dan gambaran konkret
kepada
pembaca.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang
menceritakan, atau dari posisi apa peristiwa dan tindakan itu
dilihat.
24 Nurgiyantoro, op., cit., h. 216. 25 Tarigan, op., cit., h.
136. 26 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra Terj. dari
Theory of Literature oleh
Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 268. 27
Nurgiyantoro, op., cit., h. 227−233.
-
20
Abrams dalam Nurgiyantoro mengemukakan sudut pandang adalah
cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
yang
disalurkan lewat kacamata tokoh cerita.28 Sementara itu,
Aminuddin
dalam Siswanto mengemukakan bahwa sudut pandang adalah cara
pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya.29 Sudut pandang dibedakan menjadi tiga, yaitu
persona
pertama, persona ketiga, dan campuran.
a) Sudut pandang persona pertama “Aku”, dalam menggunakan
sudut pandang ini, narator adalah seorang yang ikut terlibat
dalam
cerita. Ia adalah si “aku” yang berkisah, mengisahkan
dirinya
sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui,
dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan.
b) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”, sudut pandang ini
menyaran pada pengisahan cerita dengan gaya “dia”, narator
adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan
tokoh-tokoh cerita dengan menyebutnya nama atau kata
gantinya:
ia, mereka, atau dia.
c) Sudut pandang campuran, penggunaan sudut pandang yang
bersifat campuran dalam sebuah cerita, mungkin berupa
penggunaan sudut pandang ketiga dengan teknik “dia” mahatahu
dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik
“aku” sebagai tokoh utama dan “aku” sebagai tokoh tambahan.
Pengunaan sudut pandang campuran ini dapat berupa
penggantian
antara sudut pandang persona pertama dan ketiga.30
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa
sudut
pandang adalah cara pengarang menceritakan peristiwa, tokoh,
tindakan, dan berbagai hal lainnya dalam cerita.
28 Ibid., h. 248. 29 Siswanto, op.,cit., h. 152. 30
Nurgiyantoro, op., cit., h. 262−266.
-
21
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata
style
diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk
menulis
lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan
mempengaruhi
jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi.31 Istilah tersebut
akhirnya
digunakan pada keahlian menulis indah dan mempergunakan
kata-kata
secara indah. Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media yang indah dan harmonis
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh
daya intelektual dan emosi pembaca.32 Senada dengan hal
tersebut,
Tarigan mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah
yang
digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan
serta membandingkan suatu benda atau akal tertentu dengan
benda
atau hal lain yang bersifat umum.33
Gaya bahasa ditandai dengan ciri-ciri formal kebahasaan,
seperti
pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif,
dan lain-
lain.34 Dalam karya sastra, gaya bahasa digunakan pengarang
agar
karya yang dihasilkannya lebih segar dan berkesan sehingga
dapat
menimbulkan suasana yang tepat dan bermakna bagi pembaca.
Dengan
demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa gaya bahasa adalah
cara
pengarang mengungkapkan pikiran dalam karya sastra melalui
bahasa
yang khas yang dapat membangun suasana yang tepat sehingga
menimbulkan kesan dan emosi pembaca.
7. Amanat
Amanat dalam novel dapat disebut juga sebagai pesan moral
yang
terkandung di dalamnya. Moral dalam karya sastra biasanya
mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah
yang
31 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia,
2004), cet. 14, h. 112. 32 Siswanto, op.,cit., h. 158. 33 Henry
Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985),
h. 4. 34 Keraf, loc., cit.
-
22
disampaikan pengarang kepada pembaca.35 Di dalam amanat
terlihat
pandangan hidup dan cita-cita pengarang yang diungkapkan
secara
eksplisit (terang-terangan) atau implisit (tersirat).36
Dapat
disederhanakan bahwa amanat merupakan nilai moral atau pesan
didaktis yang terkandung dalam karya sastra. Amanat biasanya
terbentuk dari nilai kebenaran, norma, ajaran, dan pandangan
hidup
pengarang.
C. Sosiologi Sastra
Dalam sebuah karya sastra tersimpan berbagai macam fakta
yang
diungkapkan pengarang untuk mengejewantahkan realitas sosial
yang
terjadi pada zamannya. Sastra dan fakta di dalamnya adalah dua
hal yang
memiliki hubungan yang terkait satu sama lainnya, hubungan yang
tidak
dapat dipisahkan. Sastra lahir berdasarkan fakta-fakta sosial
yang
melatarbelakanginya. Sesuai dengan hal tersebut, Robert
Escarpit
mengemukakan bahwa dalam sastra terkandung fakta sosial yang
tidak
dapat dipisahkan dari cara berpikir individual, bentuk-bentuk
abstrak dan
sekaligus struktur kolektif, pembahasannya cukup menyulitkan,
sulit kita
membayangkan gejala dengan tiga dimensi, terutama ketika
harus
menyusun sejarahnya.37 Dengan sulitnya untuk mengungkapkan
fakta
sosial yang terkandung dalam karya sastra, maka kemudian
lahirlah
sosiologi sastra sebuah disiplin ilmu yang menggabungkan teori
sosiologi
dan sastra yang berguna untuk menelaah keterkaitan sastra
dengan
masyarakat.
Sosiologi sastra dibentuk berdasarkan dua kata, yaitu sosiologi
dan
sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius
berarti
bersama-sama, bersatu kawan, kawan, teman) dan logi (logos
berarti
sabda, perkataan, dan perumpamaan). Perkembangan berikutnya
mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat,
logi/logos
35 Nurgiyantoro, op., cit., h. 321. 36 Esten, op.,cit., h. 20.
37 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, Terj. Sociologie De La
Litterature oleh Indah
Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), h. 3.
-
23
berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul
dan
pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang
mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat,
sifatnya
umum, rasional, dan empiris. Sementara itu, sastra berasal dari
kata sas
(Sansekerta) dan –tra, kata sas memiliki arti mengarahkan,
mengajar,
memberi petunjuk dan instruksi, sedangkan kata –tra berarti alat
sarana.
Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk
atau
buku pengajaran yang baik.38
Menurut Hutomo, sosiologi sastra adalah bagian ilmu sastra
dengan esensi memandang karya sastra sebagai produk sosial
budaya dan
bukan dari hasil estetis semata.39 Pada prinsipnya sosiologi
sastra ingin
mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra,
serta
peranan sastra dengan realitas sosial.40 Dapat dikatakan bahwa
sosiologi
sastra merupakan sebuah pendekatan dalam penelitian sastra
yang
berusaha untuk mengungkapkan realitas sosial yang tersimpan
dalam
karya sastra, mengingat bahwa sastra adalah produk yang lahir
tanpa
kekosongan sosial maupun budaya. Sastra dan sosiologi selalu
hidup
berdampingan, tetapi terdapat perbedaan mendasar antara
sosiologi dengan
sastra. Seperti yang dikemukakan oleh Swingewood bahwa
sosiologi
adalah studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam
masyarakat,
studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.41
Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa adanya perbedaan antara
sastra
dan sosiologi, di mana sastra pada umumnya adalah karya yang
subjektif
memuat hasil perenungan pengarang, dan sosiologi yang merupakan
ilmu
ilmiah dan objektif yang menitikberatkan kajiannya pada
masyarakat yang
meliputi proses sosial dan lembaga sosial.
38 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
2003), h. 1. 39 Suwardi Endraswara, Sosiologi Sastra Studi,
Teori, dan Interpretasi, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2013), h. 1. 40 Nani Tuloli, Kajian Sastra,
(Gorontalo: BMT Nurul Jannah, 2000), cet. 1, h. 62. 41 Faruk,
Pengantar Sosiologi Sastra; Dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-
Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 1.
-
24
Hal itu juga senada dengan yang diungkapkan Ratna bahwa
sastra
dan sosiologi sesungguhnya memiliki objek yang sama, yaitu
manusia
dalam masyarakat. Akan tetapi, hakikat sosiologi dan sastra
sangat
berbeda dan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu
objektif
kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi (das sein) bukan
apa yang
seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas
bersifat
evaluatif, subjektif, dan imajinatif.42 Perbedaan-perbedaan
tersebut
sejatinya bukanlah sebuah penghalang dalam pendekatan sosiologi
sastra,
tetapi justru menjadi pelengkap yang kaya untuk menganalisis
karya
sastra.
Damono menjelaskan bahwa terdapat dua kecenderungan telaah
sosiologi dalam sastra, yaitu pertama, pendekatan yang
berdasarkan pada
anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis
belaka.
Kedua, pendekatan yang mengutamakan sastra sebagai bahan
penelaahan.43 Pada poin kedua inilah, maka sosiologi sastra
digunakan
untuk memahami lebih dalam bagaimana gejala sosial yang terdapat
dalam
karya sastra. Dalam keterkaitannya dengan penelitian ini, maka
peneliti
akan menggunakan kecenderungan penelaahan sosiologi dalam sastra
pada
poin kedua. Penggunaan pendekatan sosiologi dalam sastra harus
memuat
tiga paradigma, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya
sastra, dan
sosiologi pembaca.44 Pertama, sosiologi pengarang membahas
tentang
keterkaitan antara dunia pengarang yang meliputi ideologi,
kehidupan
sosial, status pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di
luar karya
sastra. Kemudian, sosiologi karya sastra yang menelaah isi karya
sastra
yang berkaitan dengan masalah sosial sehingga dapat diketahui
sejauh
mana cerminan masalah sosial dalam karya sastra. Terakhir
adalah
sosiologi pembaca yang bertujuan untuk melihat permasalahan
pembaca
dan dampak sosial karya sastra.
42 Ratna, op., cit., h. 2. 43 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi
Sastra; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979), h. 2. 44 Rene Wellek
dan Austin Warren, op., cit., h. 100.
-
25
Melalui tiga paradigma kajian sosiologi dalam sastra, maka
kajian
sosiologi sastra dapat dilakukan dengan langkah kerja sebagai
berikut:45 1)
analisis struktur sosial karya sastra, yang dimulai dengan
mengkaji
struktur pembangun karya sastra dalam perspektif sosiologis
yang
memfokuskan pada tokoh, latar sosial, dan alur yang dibahas
dalam
konteks sosial. 2) analisis sosial masyarakat yang diacu karya
sastra, pada
tahap ini peneliti harus memilih dalam ranah sosiologi apa yang
ia acu
dalam karya sastra untuk selanjutnya dianalisis secara
komprehensif.
Analisis sosialnya dapat mencakup tiga ranah sosiologi seperti
fakta sosial,
definisi, dan perilaku sosial. Langkah kerja terakhir, yaitu 3)
relasi karya
sastra dengan kenyataan sosial, langkah kerja ini mengkaji
hubungan
karya sastra dengan kondisi masyarakat yang ada. Konsep
analisisnya
mencakup hubungan relasional kenyataan sosial karya sastra
dengan
kenyataan sosial yang diacu meliputi peristiwa sosial yang
terjadi, fakta
sosial yang ada, perilaku sosial tokoh, yang direlasikan dengan
kenyataan
sosial yang diacunya.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
sosiologi
sastra di sini menitikberatkan objek kajiannya pada karya
sastra.
Sementara sosiologi digunakan sebagai pisau analisis dan ilmu
untuk
memahami fakta sosial yang terkandung dalam karya sastra
dengan
mempertimbangkan hal-hal yang melatarbelakanginya. Mengingat
karya
sastra dan masyarakat memiliki keterkaitan, maka sudah
sepatutnya bahwa
karya sastra dipengaruhi oleh cerminan sosial masyarakat dan
begitu
sebaliknya.
D. Revolusi
1. Hakikat Revolusi
Kata revolusi muncul dalam pengertian yang umum pada abad
keempat belas. Secara umum, revolusi artinya gerakan
berputar,
gerakan sirkular. Nicolaus Copernicus menggunakan kata
revolusi
45 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra,
(Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), h. 14.
-
26
untuk menggambarkan benda-benda langit (astronomi). Pada abad
ke-
17 istilah astronomi tersebut digunakan dalam filsafat
politik.
Revolusi diartikan sebagai pergantian dan perputaran elit
kekuasaan
pada negara-negara baru.46 Dalam wacana akademis, definisi
revolusi
dapat dilacak pada dua tradisi intelektual, yaitu historis dan
sosiologis.
Dalam tradisi historis, revolusi dipahami sebagai letupan
radikal,
terobosan yang tiba-tiba penuh kekerasan, cataclysme break
dalam
perjalanan sejarah. Sementara itu, pada tradisi sosiologi,
revolusi
mengacu pada gerakan massa yang menggunakan atau mengancam
menggunakan kekerasan dan koersi melawan penguasa untuk
memaksakan perubahan yang mendasar dan berlangsung lama.47
Citra revolusi merupakan pembebasan yang bertumpu pada
simbol-simbol persamaan, kemajuan, kemerdekaan dengan asumsi
sentral bahwa revolusi akan menciptakan suatu tatanan sosial
baru
yang lebih baik. Eugene Kamenka dalam Eisenstadt menulis
bahwa
revolusi adalah suatu perubahan sosial yang mendadak dan
tajam
dalam situs kekuasaan sosial. Ia tercermin dalam perubahan
radikal
terhadap proses pemerintahan yang berdaulat pada segenap
kewenangan dan legitimasi resmi dan sekaligus perubahan
radikal
dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian pada
umumnya telah diyakini, tak akan mungkin dapat terjadi tanpa
kekerasan, tetapi seandainya mereka melakukannya tanpa
pertumpahan darah, tetap masih dianggap revolusi.48
Pada hakikatnya revolusi termasuk ke dalam aspek perubahan
sosial. Revolusi sebagai wujud perubahan sosial berarti sebagai
tanda
perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang
46 Jalaluddin Rakmat, Rekayasa Sosial Reformasi atau Revolusi,
(Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 184. 47 Ibid., h. 188. 48 SN Eisenstadt,
Revolusi dan Transformasi Masyarakat, Terj. dari Revolutions and
The
Transformation of Societies, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h.
5.
-
27
masyarakat dari dalam; dan pembentukan ulang manusia.49 Pada
revolusi, masyarakat mengalami puncak agennya, meledakkan
potensi
transformasi dirinya sendiri. Setelah revolusi berakhir,
masyarakat dan
anggotanya seperti dihidupkan kembali, hampir menyerupai
kelahiran
kembali. Dalam artian tersebut revolusi adalah tanda
kesejahteraan
sosial. Dalam konsep sosial revolusi mempunyai kehidupan
ganda
yang tampak dalam dua samaran. Pertama revolusi menjadi
bagian
sehari-hari dan kedua revolusi menjadi bagian diskursus
sosiologi.
Konsep sosiologi tentang revolusi mengacu pada penggunaan
gerakan massa atau ancaman paksaan dan kekerasan terhadap
penguasa untuk melaksanakan perubahan mendasar dan
terus-menerus
dalam masyarakat.50 Revolusi dipandang sebagai perwujudan
perubahan tingkah laku manusia yang dinyatakan dalam
tindakan
kolektif untuk menentang dan mengubah suatu tatanan yang
dianggap
tidak sesuai. Terdapat tiga definisi utama revolusi, yaitu
sebagai
berikut.51 (1) Revolusi menekankan pada transformasi
fundamental
masyarakat. Perhatian ini ditekankan pada cakupan dan
kedalaman
perubahan, revolusi adalah lawan kata dari pembaruan. Jadi
revolusi
dalam pengertian ini diartikan sebagai perubahan sosial yang
bersifat
fundamental pada masyarakat. (2) Revolusi diartikan sebagai
perubahan tiba-tiba dan radikal dalam struktur politik, ekonomi,
dan
sosial masyarakat. Dengan demikian, revolusi merupakan suatu
proses
perubahan mendadak yang luas dalam struktur sosial masyarakat.
(3)
Menurut pengertian ini revolusi adalah lawan kata dari evolusi,
yaitu
perubahan sosial politik yang berdasarkan perjuangan, kekerasan,
dan
kecepatan perubahan.
Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling
spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam
49 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The
Sociology of Social Change
oleh Alimandan, (Jakarta: Prenada, 2005), h. 357. 50 Ibid., h.
360. 51 Ibid., h. 361−362.
-
28
proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan
merancang kehidupan bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun
seperti sebelumnya, revolusi harus menutup dan membuka zaman
baru. Pada saaat revolusi, masyarakat mengalami puncak
perannya
dan meledaknya potensi transformasi diri. Pada bangkitnya
revolusi,
masyarakat dan para anggotanya seakan-akan hidup kembali,
hampir
dilahirkan kembali. Hal inilah yang membuat revolusi
berhasil
menggelorakan nasionalisme dan semangat juang dalam
perjalanan
sejarah bangsa baik dalam era pergerakan nasional hingga
pascakemerdekaan. Revolusi sejatinya memperlihatkan
eksistensinya
dari masa ke masa, dikenal sebagai gerakan pembaharuan yang
ampuh
untuk menggodok semangat rakyat guna membangun kehidupan
bangsa yang lebih baik.
Dalam konteks kesejarahan, istilah “revolusi” dan “revolusi
Indonesia” telah mengalami pasang surut dalam pemaknaannya
di
dalam masyarakat kita. Pada masa kemerdekaan 1945−1949,
istilah
“revolusi” dan “revolusi Indonesia” dipergunakan secara luas
untuk
menyebut perjuangan dan pergolakan pada masa itu.52 Revolusi
yang
menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan
kisah
sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan unsur yang sangat
kuat
dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua
usaha
yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru dan
tatanan
sosial yang lebih adil kemudian tampak membuahkan hasil pada
masa-masa sesudah Perang Dunia II. Dalam teori revolusi, Karl
Marx
mengatakan bahwa perkembangan masyarakat di tingkat kekuatan
produksi material masyarakat berada dalam pertentangan
dengan
keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja.
Bentuk
perkembangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi
pengekangan (penindasan). Konflik antara kekuatan produksi
baru
52 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. dari A History
of Modern Indonesia
oleh Dharmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2016), h. 317.
-
29
dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan
revolusi. Marx mengasumsikan bahwa kapitalisme akan
memunculkan kesejahteraan dan penderitaan. Kesejahteraan
dalam
kelas borjuis semakin mengecil dan penderitaan dari dalam
kelas
buruh kian membesar. Ketegangan antara borjuis dan proletariat
akan
mendorong kaum proletariat untuk bersatu dan sadar kelas.
Ketegangan tersebut lantas mengarah pada revolusi yang
disebut
“revolusi sosial”.53
Di Indonesia, revolusi dimaknai sebagai perubahan
fundamental
dalam kehidupan sosial secara cepat. Masyarakat sebagai objek
dari
sebuah negara menginginkan sebuah perubahan global yang lebih
baik
dalam tatanan sosial kenegaraan, untuk mencapai maksud
tersebut
salah satunya adalah dengan cara revolusi. Umumnya, revolusi
ditandai dengan penggulingan kekuasaan dan sering
berdarah-darah
akibat konflik kekerasan yang ditimbulkan antara dua kekuatan
yang
bertahan dan berusaha saling menjatuhkan. Akan tetapi, secara
historis
revolusi justru membuahkan dampak yang positif, yaitu dapat
membangun tatanan sosial dalam aspek ekonomi, hukum, agama,
politik dan lain-lain secara cepat. Hal itu senada dengan
penyataan
Stompzka bahwa revolusi dapat membangkitkan emosional khusus
dan reaksi intelektual pelakunya, serta dapat menggapai
kembali
makna kehidupan; melambungkan aspirasi dan pandangan ke masa
depan.54
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa revolusi adalah
perubahan sosial politik yang terjadi secara cepat dan
fundamental
guna mengubah tatanan kehidupan sosial menjadi lebih baik.
Revolusi
hadir sebagai upaya mewujudkan perubahan sosial dalam
masyarakat
secara menyeluruh; melalui tindakan kekerasan yang
dimobilisasi
rakyat secara besar-besaran. Agar revolusi dapat terjadi, maka
harus
53 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi: Ideologi Pemikiran dan
Gerakan, (Yogyakarta: Pilar
Media, 2005), h. 16. 54 Sztompka, op., cit., h. 357.
-
30
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:55 (a) harus ada
keinginan
umum untuk mengadakan suatu perubahan, harus ada suatu
keinginan
untuk mencapai perbaikan dengan keadaan tersebut, (b) adanya
seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu
memimpin masyarakat tersebut, (c) pemimpin yang dapat
menampung
keinginan-keinginan masyarakat untuk merumuskan program dan
arah
gerakan, (d) pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan tujuan
pada
masyarakat, dan (e) harus ada momentum yang tepat dan baik
untuk
memulai suatu gerakan revolusi.
2. Penyebab Revolusi
Sebagai upaya transformasi sosial, revolusi terjadi atas
kehendak
masyarakat yang menginginkan sebuah perubahan yang
fundamental
dan universal. Ada pula beberapa faktor sebab-sebab pecahnya
revolusi, tetapi pada umumnya dibedakan menjadi sebab jangka
panjang dan jangka pendek. Dapat dikatakan bahwa suatu
revolusi
muncul karena sebab jangka panjang dan jangka pendek. Bagi
revolusi
Indonesia, prakondisi yang merupakan sebab jangka panjangnya
sebagai berikut:56
a) Cita-cita kemerdekaan yang senantiasa hidup di hati
rakyat
yang diperjuangkan melalui pergerakan nasional pada zaman
Hindia Belanda dan pendudukan Jepang dengan cara-cara
parlementer.
b) Janji-janji pihak Jepang yang menajamkan selera
kemerdekaan
bangsa Indonesia.
c) Kapitulasi pihak Jepang pada 15 Agustus 1945 yang
menyebabkan power deflaration di pihak kekuasaan Jepang
dan loss of authority pemerintahan bala tentara Jepang di
mata
rakyat Indonesia.
55 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,
2000), cet. 30, h. 347−348. 56 Aman, Revolusi Sosial di Brebes,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h. 23
-
31
Adapun sebab jangka pendek bagi pecahnya revolusi Indonesia
adalah proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi itu yang
memunculkan tindakan-tindakan pemaksaan terhadap pihak
Jepang,
baik dengan jalan kekerasan ataupun tidak, agar menyerahkan
kedaulatannya kepada aparat Republik Indonesia. Proklamasi
merupakan titik tolak besar di dalam kehidupan nasional sebagai
garis
pemisah tajam antara zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan,
serta pemicu tercetusnya revolusi Indonesia yang berjalan
selama
empat tahun lebih yang kemudian disusul dengan masa
konsolidasi
yang masih berjalan hingga kini.
Lifford Edward berpendapat bahwa suatu revolusi dapat
dianggap
berakhir jika telah tercapai suatu persetujuan kerja antara
pelbagai
pihak yang terlibat dalam revolusi itu.57 Bagi revolusi
Indonesia,
implementasi dari persetujuan Den Haag sebagai hasil KMB
merupakan kompromi besar antar pelbagai pihak yang terlibat
di
dalamnya (kaum republikein, kaum federal, dan Belanda).
Revolusi
Indonesia sudah dilaksanakan dan mendapat reaksi hebat di
seluruh
pelosok Nusantara. Salah satu simbol revolusioner yang
mengandung
persamaan dan persaudaraan adalah panggilan Bung. Gagasan
yang
dikandungnya dapat dianggap sebagai suatu sintesis dari
“saudara
revolusioner”, “saudara nasionalis Indonesia”, dan “saudara
republikein”.58 Simbol tersebut menjadi pemicu gerakan revolusi
di
berbagai daerah.
3. Revolusi Fisik dan Sosial
a. Revolusi Fisik
Dalam sejarah revolusi Indonesia, revolusi fisik menempati
posisi yang sentral dan penting bagi perjuangan bangsa
Indonesia.
Istilah revolusi fisik muncul atas pemikiran Soekarno
mengenai
57 Ibid. 58 George Mc. Tunan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi
Indonesia, Terj. dari
Nasionalism and Revolution Indonesia oleh Tim Komunitas Bambu,
(Depok: Komunitas Bambu,
2013), h. 201.
-
32
revolusi. Secara rinci dan definitif, Bung Karno membagi
revolusi
menjadi tiga tingkatan dan periodesasi. Tahun 1945−1955
menurutnya adalah tingkatan physical revolution. Dalam
tingkat
ini, Indonesia memiliki fase merebut dan mempertahankan
proklamasi kemerdekaan dari tangan imperialis dengan
mengorbankan darah. Periode 1945−1950 merupakan periode
revolusi fisik.59
Tahun 1950−1955 merupakan tahun-tahun untuk bertahan
hidup, tingkatan ini dinamakan tingkatan survival berarti
tetap
hidup, tidak mati. Meskipun mengalami lima tahun revolusi
fisik,
Indonesia tetap berdiri dan menunjukkan eksistensinya
sebagai
sebuah bangsa. Oleh karena itu, tahun 1950−1955 adalah tahun
penyembuhan luka-luka, tahun untuk menebus segala
penderitaan
yang dialami rakyat pada masa revolusi fisik. Tahun 1956
memasuki satu periode baru, yaitu periode revolusi sosial
ekonomi
untuk mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Tepatnya, pada tahun 1955−sekarang adalah periode investment
of
human skill, material investment, mental investment, dan
berbagai
investment lainnya yang digunakan untuk amanat penderitaan
rakyat.
Masa revolusi fisik merupakan salah satu masa yang paling
cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan
kemerdekaan ditunjukkan dengan pengorbanan yang luar biasa
oleh bangsa Indonesia. Masa revolusi fisik dalam keyakinan
banyak pihak dianggap sebagai suatu zaman yang merupakan
kelanjutan dari masa lampau. Bagi para pemimpin revolusi
Indonesia, revolusi bertujuan untuk melengkapi dan
menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional
yang
telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya.60 Selama masa
59 Aman, op., cit., h.1 2. 60 M.C Ricklefs, op., cit., h.
318.
-
33
revolusi fisik, bangsa Indonesia mengalami situasi dan
kondisi
darurat perang, di mana rakyat melakukan perlawanan dan
peperangan guna mempertahankan kemerdekaan. Pada masa
revolusi fisik, Surabaya menjadi ajang pertempuran paling
hebat
sehingga menjadikannya sebagai lumbung perlawanan nasional.
Tidak hanya Surabaya, beberapa daerah lain di Indonesia juga
berperan penting dalam revolusi fisik seperti Ambarawa,
Medan,
dan Padang yang bertempur secara total dan habis-habisan
dengan
tujuan merebut kembali kemerdekaan tanah air dari pihak
asing.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa revolusi fisik
merupakan suatu masa di mana bangsa Indonesia berjuang
secara
fisik melalui pertempuran yang bertujuan untuk
mempertahankan
kemerdekaan dari tangan penjajah. Fase ini, ditandai dengan
upaya
mempertahankan kekuasaan dan kedaulatan negara dengan
mengorbankan darah.
b. Revolusi Sosial
Secara teoretis, revolusi sosial merupakan wujud perubahan
sosial paling spektakuler. Revolusi sosial juga merupakan
tanda
perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang
masyarakat dan pembentukan ulang manusia. Oleh karena itu,
revolusi sosial tak menyisakan apapun seperti keadaan
sebelumnya.61 Menurut para sosiolog, jalannya revolusi
sosial
mencakup sepuluh tahapan yang ditandai oleh ketidakpuasan,
keluhan, kekacauan, dan konflik akibat krisis ekonomi.
Selanjutnya
menjalar pada perpindahan kesetiaan intelektual sebagai
hasil
agitasi kelompok tertentu dengan cara-cara tertentu seperti
penyebaran pamflet atau doktrin yang menentang rezim lama,
dan
sebagainya.62
61 Sztompka, op., cit., h. 357. 62 Muhammad Arif, Revolusi
Nasional Indonesia Perspektif Pendidikan Karakter,
(Depok: Para Cita Press, 2016), cet. 1, h. 149.
-
34
Dalam konteks sejarah Indonesia, peristiwa revolusi sosial
muncul sebaga