1 GAMBARAN RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL (PROSTITUSI) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Sarjana Psikologi Disusun Oleh : Indah R Sebayang 071301109 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GENAP, 2011/2012
1
GAMBARAN RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN
EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL
(PROSTITUSI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Sarjana Psikologi
Disusun Oleh :
Indah R Sebayang
071301109
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GENAP, 2011/2012
2
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil
(Prostitusi)
Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalanm penulisan skripsi ini yang saya
kutip dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai
dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari di temukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Medan, Maret 2012
Indah Rasulinta Sebayang
NIM : 071301109
3
Especially Dedicated to :
Setiap tetesan keringat, air mata, cinta dan kasih sayang serta pengorbanan
dan pelajaran hidup yang di berikan papi dan mami kepadaku..
Kak Sigit yang dahulu selalu memberikan semangat serta pelajaran dan
makna hidup..
Setiap remaja di luasnya dunia yang pernah menjadi korban kerakusan
pelaku eksploitasi seksual komersil, apapun tujuannya..
4
KATA PENGANTAR
Segala pujian, hormat, serta syukur penulis persembahkan bagis Yesus
Kristus, My Saviour... Atas anugrah-Nya yang melimpah sehingga penulis di beri
kekuatan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Resiliensi
Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil (Prostitusi)”. To God be
Glory..
Rasa syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan karena kasihnya-Nya
yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan
bimbingan, dukungan serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis,
yaitu :
1. Prof. Dr. Irma Wati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara
2. Elvi Andriani Yusuf, M. Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama
yang selalu mengarahkan, membimbing dan memberikan semangat kepada
penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Rahma Yuliarni, M. Psi, selaku dosen pembimbing pendamping yang
selalu memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis.
4. Meutia Nauly, M. Si, selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu
meluangkan waktu untuk penulis serta selalu memberikan arahan dan
masukan kepada penulis.
5. Eka Danta Ginting, M A, selaku Kepala Program Studi S1 yang juga
selalu memberikan masukan serta arahan kepada penulis.
5
6. Etty Rahmawati, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis selama menjalani
perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
7. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan segala ilmu
pengetahuan, dan pengalaman kepada penulis.
8. Seluruh staff tata usaha, administrasi, dan perpustakaan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara, yang telah melancarkan segala urusan
administrasi penulis.
9. Kedua orangtuaku.. terima kasih papi, mami.. Atas dukungan serta doanya
untukku selama ini. Terima kasih untuk segala doa, dukungan dan
pengertiannya.. I Love You so much....
10. Adik bungsuku yang selalu bersedia menemaniku, mengantarkanku serta
membantuku selama proses pengambilan data skripsi.. Thank’s my broda..
Firman A Sebayang. Mentari Kristine Natalia Tambunan, thank’s untuk
waktunya menemaniku mengerjakan serta memeriksa segala kelengkapan
data skripsiku selama ini. Berliana Wulandari Tambunan dan Rona Uli
Sitorus.. hayoolah lekas nyusul biar sama-sama sarjana cucu nenek
11. Seluruh keluarga di Pekanbaru, nenek, tulang Ronald Salmon Hutabarat,
ST dan nantulang Wati Purba. Tulang Saut Hutabarat dan nantulang Riska,
bibi cantik, Ida Purnama, M. Pd terima kasih atas dukungan serta doanya
supaya Indah mampu menyelesaikan skripsi Indah. Kedua jagoan kecil,
Sion Hutabarat dan Lukas Hutabarat. Love You all...
6
12. Abang-abangku.. Navarro Sebayang, SH dan Alex Sebayang, SH, Yos
Arnold, SH, MH, Briptu Amir Hamzah, Briptu Aulia Rahman, Briptu
Kristian Surbakti. Terima kasih atas cerita-cerita lucunya selama ini. And
my little son, Rajata Sebayang, jangan bosan meluk bibi cantik ya sayang..
13. Hendarjat Hambali, M. Psi, terima kasih untuk semangat, doa serta
keyakinan dan waktu yang di berikan kepada penulis selama ini hingga
penulis menyelesaikan skripsi ini.
14. Kompol Sigit Hariadi, S. IK, thank’s atas segala dukungan, waktu, nasihat,
perhatian, kasih sayang, materi, respon positif, serta pelukan hangat saat
aku membutuhkan itu semua. Tak ada yang mampu mengantikan itu.
Tetaplah menjadi kakak sejati untukku. AKP I Gede Putra, S. IK, terima
kasih atas waktu serta nasihatnya selama Ninda mengerjakan skripsi
Ninda.
15. Ucapan spesial kupersembahkan kepada IPTU Gokma Uliate Sitompul,
SH, yang selalu menyediakan waktu, perhatian, serta mengingatkan aku
agar tekun mengerjakan skripsiku, walau terkadang itu menjengkelkan.
Love You my sweetheart. Tetaplah sabar mendampingiku.
16. Seluruh teman-teman psikologi yang aku sayangi, Christy Ruth
Nainggolan, S. Psi, Ikbal Sutan, S. Psi, Rayes Simanullang, S. Psi,
Chairunnisa Aprilia, S. Psi, Agus Manurung, Roimer Sitorus, Imelvi Putri,
Nuru Hasanah, terima kasih sudah menyediakan waktu untukku, untuk
semua lelucon serta masukan selama ini.
7
17. Kepada seluruh staff Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, terima
kasih untuk semua bantuannya selama penulis mengerjakan skripsi
penulis.
18. Kedua responden penelitian penulis serta keluarganya yang mau
meluangkan waktu serta mau membagi pengalaman kepada penulis
sehinggga penulis mendapat pelajaran hidup yang berharga.
19. Segenap pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannnya selama ini hinggar
penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penulis.
Akhirnya dengan segenap kesadaran bahwa penulisan karya ini jauh dari
kesempurnaan. Maka, kritik dan saran senantiasa penulis nantikan untuk
perbaikan. Akhir kata semoga karya ini bisa memberi manfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca umumnya.
Medan, Maret 2012
Indah R Sebayang
8
Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil
(Prostitusi)
Indah R Sebayang dan Elvi Andriani Yusuf
ABSTRAK
Eskploitasi seksual komersil merupakan penggunaan seseorang untuk tujuan-
tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku
eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan
keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap remaja yang menjadi korban
(ECPAT, 2006). Bagi remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual
komersil , menjalani kehidupan setelah peristiwa tersebut tidaklah mudah, namun,
ada sebagian dari mereka yang mampu untuk bangkit dan bertahan dari masalah
yang ada serta berhasil menjadi individu yang lebih baik. Grotberg (2000)
mengidentifikasikan karakteristik resiliensi yang mempengaruhi resiliensi
seseorang. Karakteristik resiliensi tersebut meliputi dukungan eksternal dan
sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga
pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang
berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a capacity for self
monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti
mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi).
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran resiliensi remaja
korban eksploitasi seksual komersil melalui penelitian kualitatif deskriptif
metode studi kasus dengan jumlah responden dua orang. Teknik pengambilan
responden dilakukan dengan operational construct sampling. Pengambilan data
dilakukan dengan metode wawancara dan didukung oleh observasi. Penelitian
dilakukan di kota Medan dan di kabupaten Aceh Tenggara.
Hasil penelitian ini menunjukkan kedua responden memiliki karakteristik I
have dan mampu mengembangkan sumber resiliensi yang ada yaitu memiliki
hubungan yang dilandasi kepercayaan, memiliki struktur dan aturan dirumah,
memiliki dorongan mandiri, memiliki role models, memperoleh layanan
kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Kedua responden mampu
mengembangkan kekuatan pribadi dengan m bangga dengan diri sendiri, disayang
dan disukai orang lain, percaya diri dan optimis, berempati terhadap orang lain,
mampu bertanggungjawab terhadap perilaku sendiri. Karakteristik I can berbeda
pada kedua responden, responden I mampu mengembangkan hubungan yang
saling percaya dengan keluarga, mampu mengungkapkan perasaan saat
berkomunikasi dengan keluarga. Responden II mampu untuk mengekpresikan
perasaan kepada orang lain, mampu mengukur temperamen diri sendiri dan orang
lain, menjalin hubungan yang saling percaya dengan keluarga maupun orang lain
diluar keluarga, dan mampu mengelola perasaan saat berkomunikasi
Kata kunci : Resiliensi, remaja putri, eksploitasi seksual komersil.
9
Resilience of the Adolescents Victims of Commercial Sexual Exploitation
(Prostitution)
Indah R Sebayang dan Elvi Andriani
ABSTRACT
Commercial sexual exploitation is the use of a person for sexual purposes in order
to obtain money, goods or services for the good of exploiters, brokers or agents
and others who profit from the sexual exploitation of adolescents who are victims
(ECPAT, 2006). For adolescents who are victims of commercial sexual
exploitation, living life after the event is not easy, however, some of them are able
to get up and survive the problems that exist and succeeded in becoming a better
individual. Grotberg (2000) identify the characteristics that affect the resilience of
a person's resilience. Resilience characteristics include the external support and
resources that exist in a person (eg family, in this case the watchdog that protects
women), personal power is developing in a person (such as self esteem, a capacity
for self-monitoring, and altruism spritualits ), and the ability of s osial (such as
conflict resolution and communication skills).
This study aims to provide a picture of resilience skills in young victims of
commercial sexual exploitation through research qualitative descriptive case study
method with the number of respondents of two people. Technical decision made
by the respondent operational construct sampling. Data is collected by interviews
and supported by the observations. The study was conducted in the city of Medan
and in Southeast Aceh district.
The results of this study showed that both the respondent has the
characteristics I have and be able to develop sources of resilience that there is a
relationship based on trust, has a structure and rules at home, have a self-
encouragement, have role models, health services, education, safety and welfare.
Both respondents were able to develop personal strengths with m proud of myself,
loved and liked by other people, confidence and optimism, empathy for others,
could be responsible for their own behavior. I Can differ on the characteristics of
the respondent, the respondent I was able to develop a trusting relationship with
the family, able to express your feelings when communicating with the family.
Respondent II were able to express their feelings to others, able to measure the
temperament of yourself and others, establish a trusting relationship with family
or others outside the family, and able to manage feelings when communicated.
Key words: resilience, adolescents, commercial sexual exploitation.
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
ABSTRAK............................................................................................................vii
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG...................................................................... ..........1
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................12
C. TUJUAN PENELITIAN............................................................................12
D. MANFAAT PENELITIAN........................................................................12
E. SISTEMATIKA PENULISAN..................................................................14
BAB II LANDASAN TEORI
A. RESILIENSI..............................................................................................16
1. PENGERTIAN RESILIENSI..............................................................16
2. KARAKTERISTIK RESILIENSI.......................................................17
B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL..................................................27
1. PENGERTIAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL..................27
2. FAKTOR-FAKTOR EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL..........29
3. DAMPAK EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL..........................31
C. REMAJA....................................................................................................33
1. PENGERTIAN REMAJA....................................................................33
2. CIRI-CIRI REMAJA...........................................................................34
3. PERKEMBANGAN FISIK DAN SEKSUAL REMAJA....................37
11
4. PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA............................................40
a. Perkembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya........................40
b. Perkembangan Hubungan Terhadap Lawan Jenis.........................44
D. RESILIENSI REMAJA PUTRI KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL
KOMERSIL...............................................................................................46
PARADIGMA TEORITIS...............................................................................50
BAB III METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN...........................................................................51
B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA..........................................................52
C. RESPONDEN PENELITIAN....................................................................53
1. KARAKTERISTIK RESPONDEN.....................................................53
2. JUMLAH RESPONDEN.....................................................................53
3. PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN..................................54
4. LOKASI PENELITIAN.......................................................................54
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA...............................................55
E. ALAT PENGUMPULAN DATA..............................................................55
F. PROSEDUR PENELITIAN.......................................................................56
1. TAHAP PERSIAPAN..........................................................................56
2. TAHAP PELAKSANAAN..................................................................60
3. TAHAP PENCATATAN DATA.........................................................61
G. PROSEDUR ANALISA DATA...............................................................62
H. KREDIBILITAS PENELITIAN................................................................64
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
12
A. DESKRIPSI DATA RESPONDEN I.........................................................68
1. ANALISA RESPONDEN I.................................................................76
2. INTERPRETASI RESPONDEN I....................................................106
B. DESKRIPSI DATA RESPONDEN II.....................................................137
1. ANALISA RESPONDEN II..............................................................146
2. INTERPRETASI RESPONDEN II....................................................175
C. PEMBAHASAN......................................................................................202
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN........................................................................................234
B. SARAN....................................................................................................258
1. SARAN PRAKTIS.............................................................................238
2. SARAN PENELITIAN SELANJUTNYA........................................240
DAFTAR PUSTKA............................................................................................241
LAMPIRAN
13
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jadwal Pelaksaan Wawancara..............................................................67
Tabel 2 Deskripsi Data Responden I..................................................................68
Tabel 3 Interpretasi Responden I.....................................................................123
Tabel 4 Gambaran Resiliensi Responden I......................................................136
Tabel 5 Deskripsi Data Responden II...............................................................137
Tabel 6 Interpertasi Responden II....................................................................201
Tabel 7 Gambaran Resiliensi Responden II....................................................223
14
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Dewasa ini salah satu isu yang mencemaskan dan sepakat untuk segera
ditangani adalah perdagangan perempuan dan anak sektor ekploitasi seksual
komersil (ECPAT, 2006). Remaja di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk
bagi sebagian “pemangsa-pemangsa” remaja khususnya remaja putri. Mereka
diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang ingin
meraup keuntungan dari penderitaan mereka (Suyanto, 2010).
ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) mengatakan remaja yang menjadi
korban eksploitasi seksual komersil sesungguhnya membutuhkan perhatian serius
karena memiliki dampak yang sangat merugikan dan membahayakan
kelangsungan serta masa depan korban eksploitasi seksual itu sendiri. Remaja
yang menjadi korban eksploitasi seksual bukan saja rentan terhadap hinaan,
penipuan dan marginalisasi, tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat
menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berkembang secara sehat.
Fenomena eksploitasi seksual komersil tersebut tidak hanya menimpa
remaja dengan ekonomi rendah, namun juga banyak dialami oleh remaja yang
berstatus sosial tinggi (Suyanto, 2010). Dalam masyarakat luas istilah eksploitasi
seksual mungkin belum banyak didengar atau malah belum dipahami dengan
baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut
15
sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik, berikut
ini adalah salah satu kasus eskploitasi seksual komersil yang dimuat dimedia
cetak.
“Pada bulan Juni 2008, Mawar, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung,
Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk
menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000
Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku
trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan
dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun”.
(Kompas, 10 February 2009).
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Emy
Rachmawati (dalam Kompas, 2010) mengatakan, fenomena eksploitasi seksual
komersil masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah
perbatasan, daerah perdagangan, dan daerah pariwisata. Remaja terutama remaja
putri yang berusia 13-18 tahun kerap menjadi obyek perdagangan manusia untuk
tujuan eksploitasi seksual komersial.
Hal ini senada dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh ILO-
IPEC (dalam Suyanto, 2010), berhasil mengidentifikasi bahwa rata-rata usia anak
yang dilacurkan di sektor eksploitasi seksual komersil adalah 10-12 tahun, yang
sebelumnya sama sekali belum mengenal seks karena usia mereka yang masih
belia, tetapi dipaksa oleh germo, calo, atau diperdaya mafia pelacuran untuk
bekerja sebagai PSK (Jurnal Perempuan, dalam Suyanto, 2010). Studi lainnya
yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan Dinas Sosial
dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (dalam Suyanto, 2010),
menemukan bahwa 2,2% responden dari 200 responden yang diwawancarai
ternyata pertama kali dilacurkan pada saat mereka masih berusia 7 tahun.
16
Responden lainnya mengaku pertama kali dilacurkan pada saat berusia 14 tahun
(10,9%), 15 tahun (32, 6%), dan sebagian besar di usia 16 tahun (45, 7%).
Di Sumatera Utara, menurut catatan resmi Dinas Sosial diketahui ada 281
anak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Jumlah ini belum termasuk
PSK anak yang banyak beroperasi di diskotik atau pub yang jumlahnya
diperkirakan mencapai 500 orang. Menurut Achmad Sofian (dalam Suyanto,
2010), dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang
dikembangkan para mucikari untuk merekrut PSK-PSK baru sebagian melalui
bujuk rayu atau penipuan, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan dan ancaman
kekerasan fisik.
Fenomena eksploitasi seksual komersil itu sendiri sudah lama menjadi
fenomena yang menyedihkan, bahkan sudah tercatat sejak tahun 1979-an. Sofian
dan Rinaldi (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan bahwa lebih dari 200 ABG
dijadikan pelacur dihotel GM Tanjung Balai. Belakangan sudah mulai
bermunculan pula istilah-istilah baru yang menjurus pada dunia esek-esek, baik
yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak.
Banyak faktor yang menyebabkan remaja tetap bertahan melakoni
profesinya sebagai pelacur, Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan paling
tidak ada tiga faktor yang menyebabkan seorang remaja yang menjadi korban
eksploitasi tetap bertahan menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi atau
kondisi kemiskinan. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung
menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi
17
perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang
diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan.
Di kota Medan, faktor yang menjadi penyebab remaja menjadi korban
eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,
berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor
lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup
mewah seperti punya telepon genggam (handphone), baju , dan sebagainya.
Faktor lainnya adalah pengaruh dari teman bergaul (ECPAT, 2008). Hal tersebut
seperti yang diungkapkan oleh Anis (18 tahun) :
“Pertama aku tau kek-kek gini ni tahun 2006. Aku diajak sama kawan
genk aku di sekolah untuk ikut mereka ke diskotik untuk dugemlah. Teros,
aku mabuk kak, kan gak sadar aku, teros disitulah kawan-kawan aku
nawarin aku ke tamu diskotik tuh. Untuk “dipakek”, kata mereka.
Besoknya pas aku bangun tidor, aku liat berapa lembar uang ratusan
didekat aku. Sampe sekarang aku masih gituan terus sambil sembunyi-
sembunyi, karna bujukan kawan-kawan aku sama karna masalah ekonomi.
(Komunikasi personal, 21 Februari 2011).
Semestinya masa remaja merupakan suatu masa di mana individu
mengalami perubahan dari masa anak-anak ke masa remaja atau usia belasan
tahun. Masa remaja juga diartikan sebagai masa dimana seseorang menunjukkan
tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual. Masa
remaja dibagi menjadi masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja
awal berada pada rentang usia 13 sampai 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir
berada pada rentang usia 17 sampai dengan 21 tahun. Remaja mulai berfikir
mengenai keinginan mereka sendiri, berfikir mengenai ciri-ciri ideal bagi mereka
sendiri dan orang lain membandingkan diri mereka dengan orang lain, serta mau
18
berfikir tentang bagaimana memecahkan masalah dan menguji pemecahan
masalah secara sistematis (Santrock, 2007).
Remaja merupakan periode kehidupan yang unik, karena saat itu terjadi
perubahan yang amat kompleks, diantaranya perubahan fisik, emosional, kognitif,
perubahan pertumbuhan dan perkembangan sosial yang menjembatani antara
masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007). Secara umum, periode
remaja merupakan klimaks dari periode-periode perkembangan sebelumnya,
sehingga dalam periode selanjutnya individu telah menpunyai suatu pola pribadi
yang lebih baik. Masalah-masalah sehubungan dengan perkembangan fisik pada
periode pubertas masih terus berlanjut, tetapi pada akhirnya mereda saat individu
memasuki masa dewasa.
Bagi sebagian besar orang, memasuki usia remaja tidaklah mudah. Hall
(dalam Santrock, 2007), menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa storm and
stress, karena pada masa ini muncul gejolak emosi yang penuh dengan
ketidakseimbangan.
Remaja juga mulai mengalami kematangan fisik yang ditandai dengan
mulai matangnyanya organ-organ seksual, dalam arti organ-organ seksualnya
sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengembangkan keturunan. Pada remaja
putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria
ditandai dengan mimpi basah (Santrock, 2007).
Matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan
munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2007). Problem tentang seksual
pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan
19
seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan organ-
organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi
(Hurlock, 1980).
Dalam masa ini juga, remaja mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan
jenis disertai dorongan seksual, hal yang sifatnya kodrati dialami oleh remaja.
Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis
kelamin lain, dan mengenal pacaran (Santrock, 2007). Dalam kondisi demikian,
remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang
kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja
terjebak dunia seks bebas dan kemudian menjadi korban eksploitasi seksual
komersil dan terjebak kedalam dunia prostitusi (Santrock, 2007).
Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus
ke dalam dunia prostitusi akan sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Tak jarang
ketika menghadapi kondisi sulit itu banyak remaja yang mengalami trauma
psikologis ketika remaja menyadari dirinya telah menjadi korban eksploitasi
seksual komersil (Suyanto, 2010). Hal itu muncul karena remaja mengalami
peristiwa yang menimbulkan reaksi stress traumatik. individu mengalami stres
traumatik karena mengalami suatu pengalaman mental yang luar biasa
menyakitkan, melampaui ambang kemampun rata-rata orang untuk
menanggungnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan
seseorang, mengubah persepsi terhadap kehidupannya, mengubah perilaku
seseorang, dan emosi seseorang (Yoga, dalam Sulistyaningsih, 2009).
20
Dampak traumatis remaja yang mengalami eksploitasi seksual komersil
tersebut tergambar dari hasil wawancara :
“sampai sekarang aku masih takut kalo ketemu orang baru yang gak aku
kenal,takut kayak dulu lagi. Masih belom bisa aku lupakan lah itu, gimana
dulu aku buat sama mereka. Diancam, digebukin, sama laki-laki yang
nidurin aku kak. Kayak binatanglah dulu aku dibuat mereka tu, mau lari
gak bisa, tahan-tahan ajalah kak. Kalo gak ingat ayah sama ibuk, dah
bunuh dirilah kak. Pas udah bebas dari situ pun sama aja stress sama
tertekannnya aku kak, kaya najis gitu aku diliatin orang-orang dekat sini.
Padahal aku pun gak mau jadi kayak gitu.”
(Komunikasi Personal, 30 Februari 2011).
Trauma psikologis yang dialami oleh remaja yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil tersebut memiliki dampak yang merugikan kesehatan
mental karena menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan
interpersonal pada remaja itu sendiri (Suyanto, 2010). Proses pemulihan itu
sendiri biasanya memerlukan waktu sekitar 6 hingga 16 bulan dan berapa lama
waktu yang diperlukan seorang remaja. Tergantung pada karakteristik individu
dan sifat peristiwa traumatik yang dialami. Namun pada sebagian orang stress
traumatik yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dapat
berlanjut menjadi gangguan yang lebih berat (Sulistyaningsih, 2009).
“lama jugak lah dulu aku gak mau keluar rumah, duh dah macam orang
gilaklah kak, mana tetanggaku omongannya bikin pedih kuping. Disuruh
ibuk lah aku sholat kak, dzikir. Pertama-tama gak ku buat, mana ada guna
pikirku kak, dah jerit-jerit ajalah aku dulu kak, udah hampir dibawa ke
RSJ, pokoknya sampe hari ni aku masih ingat-ingat itu terus. Tapi setelah
setahun, setelah pindah rumah barulah aku bisa agak gak kayakorang
gilak lagi kak.”
(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011).
Remaja menggunakan berbagai macam pilihan, Untuk mengatasi trauma
yang dialaminya. Ada remaja yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi
traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula remaja lain yang gagal karena
21
tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson
(dalam Rezki Rahayu, 2008) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan
hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya
kemampuan tertentu pada diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi.
Menurut Sulistyaningsih (2009) resiliensi individu muncul ketika individu
berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut
menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh
bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya.
Individu yang menghadapi kesulitan akan menampilkan beberapa reaksi
yang berbeda (Siebert, dalam Nurfadilah, 2006). Ada remaja yang menggunakan
cara-cara negatif ketika tidak tahan menjadi korban eksploitasi seksual komersil,
misalnya dengan luapan amarah secara verbal dan disertai dengan tindakan untuk
menyakiti dirinya sendiri. Remaja tersebut menjadi tidak berdaya untuk
melakukan coping dengan apa yang telah dialaminya. Selain itu, ada pula remaja
yang cenderung melihat dirinya sebagai korban dan menempatkan orang lain
sebagai penyebab “hancurnya” hidup mereka sehingga perasaan dan pikiran
mereka cenderung negatif. Namun, ada juga individu yang dengan cepat berupaya
untuk mengatasi peristiwa traumatis tersebut dan kembali kepada realita yang
dihadapinya, tetap berkarya dengan kekuatan dan keterbatasan yang mereka miliki
dalam kondisi sulit, yang membuat meraka menjadi lebuh kuat, dan lebih baik
dari sebelumnya (Sulistyaningsih, 2009).
22
Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun
mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective
factors) yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif. Individu tersebut
mampu mengatasi kesulitan hidup tanpa mengalami gangguan apabila ia memiliki
perlindungan yang cukup. Individu yang sedang berproses menuju resiliensi atau
berada dalam keseimbangan, apabila dengan segala kekuatan emosi dan
mekanisme coping yang sehat berusaha mengatasi kesulitan hidupnya. Tanpa
perlindungan yang cukup, individu akan menuju proses gangguan psikologis,
disebabkan ketidakmampuan atau coping mengatasi masalah tersebut
(Sulistyaningsih, 2009).
Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup
tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat
menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu
reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama
kelamaan dapat membaik. Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi
yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya
perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009).
Benard (dalam Rezki Rahayu, 2008) menjelaskan lebih jauh bahwa
kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan
kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan.
Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada
pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk
23
didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk
mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak
orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang
lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan
masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga
faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, setiap orang memiliki kapasitas
resiliensi yang berbeda dalam dirinya. Begitu juga dengan remaja putri yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil, yang telah berhasil keluar dari dari
masalah tersebut, namun masyarakat akan cenderung memberikan label negative
kepada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Selain itu remaja
korban eksploitasi seksual mengalami pengabaian hak yang dilakukan oleh orang
dewasa demi kepentingan nista dari orang dewasa tersebut. Remaja yang menjadi
korban eksploitasi seksual tersebut merupakan individu yang tak berdaya dan tak
mampu menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa (Suyanto, 2001).
Eksploitasi seksual komersil yang dialami remaja putri dapat membuat
remaja korbannya menjadi terpuruk dan mengalami kerugian, namun dapat
memberikan keuntungan kepada pelaku eksploitasi seksual. Dengan
menggunakan power yang dimiliki pelaku eksploitasi, mereka bisa melakukan
eksploitasi terhadap remaja yang menjadi korbannya (Koentjoro, 2004). Perkin &
Bennet (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan jika remaja putri yang mejadi
korban eksploitasi seksual dan kemuadi menjadi pelacur hal itu merupakan
produk dari lingkungan dan kondisi sosial mereka. Perlakuan sosial, seperti
24
rayuan lelaki terhadap seorang remaja karena daya tarik seksualnya sehingga
dapat mempengaruhi perilaku remaja tersebut.
Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual harus berjuang
menghadapi pengalaman traumatis yang dialaminya untuk menjadi individu yang
resilien. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada
pada tantangan atau masalah. Menurut Bobey (dalam Rezki Rahayu, 2008)
semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka
akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik
resiliensi dalam dirinya atau tidak. Remaja yang resilien akan memandang
peristiwa stressful yang dialaminya merupakan hal yang dapat mendorong dirinya
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru, menilai kembali prioritas
yang dimilikinya, belajar mengenai pandangan baru, dan memperoleh kekuatan-
kekuatan baru.
Adanya resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi
seksual komersil dapat membuat mereka memiliki sikap yang positif untuk
menjadi seorang yang percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Selain
itu dapat merubah penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan
dan keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat merubah seorang korban
menjadi lebih kuat dan mendorong orang berkembang dan menjadi lebih baik.
“ya, kami pindah rumah kata ibuk biar aku gak malu sama tetangga-
tetangga kak. Alhamdulilah aku dapat dukungan banyaklah dari ayah,
ibuk, pokoknya sodara-sodara. Kan itu cuman yang aku butuhkan kak,
sekarang aku dah bisa kaya dulu lagi, malah mungkin lebih, udah makin
rajin sholat, udah makin punya prinsip lah kak, ambil hikmahnya kak. Ya
walaupun butuh waktu lama kak, setahunan lebih..”
(Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011)
25
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai
resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil serta mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban
eksploitasi seksual di kota Medan.
I.B. Rumusan Masalah
Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
:
1. Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi
seksual komersil khususnya sektor prostitusi
2. Karakteristik yang mempengaruhi resiliensi remaja putri korban
eksploitasi seksual sektor prostitusi.
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bagaimana gambaran
resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil khususnya sektor
prostitusi.
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam
memberikan perluasan teori di bidang psikologi yakni mengenai resiliensi pada
remaja putri. Selain itu, penelitian ini di harapkan dapat memperkaya sumber
kepustakaan penelitian di bidang psikologi perkembangan, sehingga hasil
penelitian ini dapat nantinya dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk
penelitian selanjutnya.
26
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai
resiliensi remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil kepada
peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin meneliti mengenai resiliensi remaja putri.
b. Bagi Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan bagi aparat
kepolisian wilayah hukum Sumatera Utara khususnya Unit Penanganan
Perempuan dan Anak yang menangani masalah kekerasan serta eksploitasi
seksual komersil yang di alami perempuan dan anak. Dimana aparat kepolisian di
harapkan dapat melakukan pemeriksaan serta penanganan yang bersifat suportif
dengan tujuan remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil tidak
merasa takut serta canggung saat memberikan keterangan kepada pihak
kepolisian.
c. Bagi Orangtua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para
orangtua sehingga diharapkan orangtua dapat memberikan dukungan yang
maksimal kepada remaja yang telah menjadi korban eksploitasi seksual komersil
sektor prostitusi. Dengan menyediakan lingkungan yang dapat memfasilitasi
tercapainya resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil sektor
prostitusi.
27
d. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya
Bagi LSM dan lembaga terkait lainnya yang menangani permasalahn-
permasalahn yang menimpa remaja dan anak-anak, diharapkan nantinya informasi
dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan pendampingan dan
penanganan yang bersifat suportif kepada korban eksploitasi seksual sektor
prostitusi.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan,
perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai
landasan penelitian.
BAB III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan
kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan
responden, teknik pengumpulan data, alat bantu
pengumpulan data serta prosedur penelitian.
BAB IV : Analisa Dan Interpretasi Data
Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data
responden, analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari
28
hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data
penelitian sesuai dengan teori yang relevan dan diskusi.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari
penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada
serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.
29
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. RESILIENSI
II.A.1. Pengertian Resiliensi
Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’
yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’
biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil
kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka
resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang
terpuruk (Putrantie, 2008).
Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli
behavioral dalam mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu
untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse
conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih
(recovery) dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008). Sementara itu resiliensi
menurut Grotberg (2000) merupakan sebagai proses dinamis individu dalam
mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan
mentrasformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit
menuju pencapaian adaptasi yang positif .
Desmita (2005) mengatakan resiliensi merupakan kemampuan atau
kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang
30
memungkinkannya menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan
menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan
menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Adanya resiliensi akan membuat
seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi
yang tidak menyenangkan (Desmita, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa resiliensi
merupakan kemampuan seseorang untuk bangkit kembali menjadi seperti sedia
kala setelah mengalami tantangan atau kondisi yang terburuk. Dimana dengan
adanya resiliensi individu, kelompok atau masyarakat mampu menghadapi,
mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang
merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan.
II.A.2. Karakteristik Resiliensi
Grotberg (2000) mengidentifikasikan karakteristik resiliensi yang
mempengaruhi resiliensi seseorang. Karakteristik resiliensi tersebut meliputi
dukungan eksternal dan sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya
keluarga, lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan),
kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a
capacity for self monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial
(seperti mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (2000) mengemukakan karakteristik resiliensi yang di
identifikasikan berdasarkan faktor-faktor yang berbeda. Untuk dukungan eksternal
dan faktor-faktornya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan individu dalam diri
31
pribadi digunakan istilah I Am, dan untuk kemampuan interpersonal digunakan
istilah I Can.
Setiap faktor dari masing-masing karakteristik memberikan kontribusi
pada berbagai jenis tindakan yang dapat meningkatkan pencapain resiliensi
seseorang. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua faktor untuk menjadi
resilien, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai individu yang resilien.
1. I Have
Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan
karakteristik resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja
terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial
terhadap dirinya. Sebelum seseorang menyadari siapa dirinya (I Am) atau
apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan
eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan
dan keamanan, yaitu inti untuk mengembangkan reesiliensi dalam diri
remaja tersebut. Faktor-faktor dari karakteristik I Have yang harus
dikembangkan oleh remaja untuk menjadi individu yang resilien adalah :
a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan
Individu yang resilien memperoleh dukungan berupa hubungan yang baik
dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun
hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang
merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
32
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman
yang mencintai dan menerima diri remaja tersebut..
b. Struktur dan Peraturan di Rumah
Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah
yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa
anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga
akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan
dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka
butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan
jika perlu menerapkan hukuman.
c. Dorongan Untuk Mandiri
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan
dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya
sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga
lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam
diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat
berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil
keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.
d. Role Models
Individu yang resilien mempunyai orang-orang yang dapat menunjukkan
apa yang harus remaja lakukan seperti mencari informasi terhadap sesuatu
dan memberikan semangat agar remaja mengikutinya dengan tujuan
33
membuat remaja tersebut bangkit dan kembali menjadi sosok yang
mandiri dari sebelumnya.
e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan
Kesejahteraan
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal
ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam
diri remaja.
2. I Am
Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan
yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan,
tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Beberapa faktor
yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkan oleh remaja adalah :
a. Bangga Terhadap Diri Sendiri
Individu yang resilien tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting
dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka
lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain
meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai
masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka
untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
b. Disayang dan Disukai Orang Lain
Individu yang resilien pasti mempunyai orang yang menyukai dan
mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang
34
menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap dan
perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara
dengan orang lain.
c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap
Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan.
Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi
yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah,
dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri
dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya
sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai
spiritual yang lebih tinggi.
d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
Individu yang resilien juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan
sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka
tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi
pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan
penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk
mengatasi masalah yang terjadi.
e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan
Menerima Konsekuensinya
Individu yang resilien dapat melakukan berbagai macam hal menurut
keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya.
Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal
35
tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai
kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
3. I Can
I Can merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan
perasaan dan berpikir dalam berkomunikasi dengan orang lain,
memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan (akademis,
pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta
mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Beberapa faktor dalam
karakteristik ini yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkannya
adalah :
a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam
Berkomunikasi
Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta
memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan
pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai
Individu yang resilien mencari hubungan yang dapat di percaya dimana
individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman
sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna
mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah
personal dan interpersonal.
36
c. Mampu Mengelola Perasaan
Individu yang resilien memiliki keterampilan berkomunikasi dimana
individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan
kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta
merasakan perasaan orang lain.
d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
Individu yang resilien mampu mengukur temperamen diri sendiri dan
orang lain dimana individu memahami temperamen mereka sendiri
(bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam,
reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan
untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan
untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai
situasi.
e. Mampu Memecahkan Masalah
Individu yang resilien memiliki kemampuan memecahkan masalah.
Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa
yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa
yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan
berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian
masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus
bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
37
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I
can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor
saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh
sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus
saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat
dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita,
2005).
Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang
akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan
bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi
individu (Sulistyaningsih, 2009). Pengembangan resiliensi menurut Grotberg
(2000, dalam Sulistyaningsih, 2009) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan
mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy,
identity, initiative, dan industry.
1. Rasa Percaya (trust)
Rasa percaya merupakan dasar utama pembangun resiliensi. Rasa percaya
ini berhubungan dengan bagaimana lingkungan mengembangkan rasa
percaya remaja. Rasa percaya ini akan sangat menentukan seberapa jauh
remaja memiliki kepercayan terhadap orang lain mengenai hidupnya,
kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaannya, serta kepercayaan
terhadap diri sendiri, terhadap kemampuan, tindakan dan masa depannya.
38
2. Otonomi (autonomy)
Dimensi pembentuk resiliensi yang kedua adalah atonomi, yaitu dimensi
pembentuk yang berkaitan dengan seberapa jauh remaja menyadari bahwa
dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri
pribadi. Pemahaman bahwa dirinya juga merupakan sosok mandiri yang
terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk kekuatan-
kekuatan tertentu pada remaja. Kekuatan tersebut akan menentukan
tindakan remaja ketika menghadapi masalah.
3. Inisiatif (initiative)
Inisiatif merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berperan dalam
penumbuhan minat remaja melakukan sesuatu yang baru. Inisiatif juga
berperan dalam mempengaruhi remaja mengikuti berbagai macam
aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif,
remaja menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari
berbagai macam aktivita, dimana ia dapat mengambil bagian untuk
berperan aktif dari setiap aktivitas yang ada.
4. Industri (Industry)
Industri merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berhubungan
dengan pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan
aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan
keterampilan-keterampilan tersebut, remaja akan mampu mencapai
prestasi, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial. Dengan
prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan remaja di lingkungannya.
39
5. Identitas (Identity)
Identitas merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berkaitan dengan
pengembangan pemahaman remaha akan dirinya sendiri, baik kondisi
fiisik maupun psikologisnya. Identitas membantu remaja mendefinisikan
dirinya dan mempengaruhi self image-nya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki
karakteristik yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan
yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang
terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku,
dan kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk
melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga karakteristik
tersebut masing-masing memiliki faktor yang memberikan konstribusi pada
berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu
yang resilien tidak membutuhkan semua faktor dari setiap karakteristik, tetapi
apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu
berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang
dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia
tidak termasuk orang yang resilien. Resiliensi juga memiliki lima dimensi
pembentuk yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry. Dimensi
pembentuk tersebut saling berkaitan dengan faktor-faktor resiliensi yang dimiliki
oleh remaja.
40
II.B. EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIL
II.B.1. Pengertian Eksploitasi Seksual Komersil
ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) menjabarkan bahwa eksploitasi seksual
komersil adalah salah satu masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian
serius karena dampaknya sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan
serta masa depan remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Remaja putri
yang dilacurkan bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginaliasi,
tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya untuk berkembang secara sehat.
Eksploitasi seksual komersil adalah penggunaan seseorang untuk tujuan-
tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku
eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan
keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap remaja yang menjadi korban
(ECPAT, 2006).
Eksploitasi seksual komersil merupakan sebuah pelanggaran mendasar
terhadap hak-hak anak yang beranjak dewasa. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang
tunai atau barang terhadap korban, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Remaja yang menjadi korban eksploitasi tersebut diperlakukan sebagai sebuah
objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial yang
terjadi pada remaja putri merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan
terhadap remaja tersebut, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta
41
perbudakan modern (ECPAT, 2008). Melalui eksploitasi seksual yang menimpa
remaja putri, remaja tersebut tidak hanya menjadi sebuah objek seks tetapi juga
sebuah komunitas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi (ECPAT,
2006).
ECPAT Internasional (2008) membagi eksploitasi seksual komersil
menjadi lima bentuk, yaitu :
1. Prostitusi, tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung
seorang remaja putri untuk melakukan tindakan seksual demi
mendapatkan uang atau imbalan lain.
2. Pornografi, pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan
remaja putri di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan
bagian tubuh remaja tersebut demi tujuan-tujuan seksual.
3. Perdagangan remaja putri untuk tujuan seksual, prose perekrutan,
pemindah-tanganan atau penampungan dn penerimaan remaja putri untuk
tujuan eksploitasi seksual.
4. Wisata seks, eksploitasi seksual komersil yang dilakukan oleh orang-orang
yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan di
tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan para remaja putri.
5. Pernikahan dengan remaja berusia dibawah 18 tahun, memungkinkan
remaja tersebut menjadi korban eksploitasi seksual komersil, sebab tujuan
menikahi remaja tersebut untuk menjadikannya sebagai objek seks dan
menghasilan uang atau imbalan lainnya (ECPAT, 2008).
42
Berdasarakan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
eksploitasi seksual komersil adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap
hak-hak anak. Perbuatan itu terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa,
pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak atau
orang ketiga yang menjadikan anak sebagai objek seksual dan sebagai objek
komersial.
II.B.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Eksploitasi Seksual
Komersil
Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan ada tiga faktor yang
mempengaruhi remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Pertama,
karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan yang dialami remaja korban
eksploitasi seksual komersil. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang
cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi
kesempatan bagi remaja yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran
yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan.
Selain karena faktor kemiskinan yang membelenggu, menurut Jones et al (dalam
Suyanto, 2010) ada faktor lain yang seperti kurangnya perhatian dari orang tua,
beberapa kepercayaan tradisional serta kehidupan urban yang konsumtif.
Ada banyak faktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual
komersil pada remaja. Walaupu karakteristik setiap daerah tidak persis sama,
namun secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi
seksual komersil terbagi atas faktor pendorong dan faktor penarik. ECPAT (2008)
menjabarkan faktor-faktor tersebut, yaitu :
43
a. Faktor pendorong
1. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat
oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan di sektor
pertanian
2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusat-
pusat industrian di perkotaan
3. Ketidaksetaraan gender dan praktek-praktek diskriminasi
4. Adanya tangung jawab anak yang sudah remaja untuk mendukung
keluarga
5. Pergeseran dari perekonomian subsisten menjadi ekonomi berbasis
pembayaran tunai
6. Peningkatan komsumerisme
7. Disintegrasi keluarga
8. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan
b. Faktor penarik
1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut
remaja putri sebagai korban eksploitasi seksual
2. Pernikahan yang diatur dimana pengantin yang masih remaja
terkadang akan dijual ke rumah bordil setelah menikah
3. Permintaan dari pekerja migran
4. Promosi internasionl mengenai industri seks remaja putri melalui
teknologi informasi.
44
Faktor lainnya yang mempengaruhi remaja terjerumus menjadi korban
eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat,
berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar.
Sementra faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti
gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju
bagus, dan sebagainya. Yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul serta
pengaruh budaya dibeberapa daerah di Indonesia (ECPAT, 2008).
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya eksploitasi seksual komersil pada remaja putri
adalah disebabkan faktor ekonomi, faktor pergaulan bebas serta budaya.
II.B.3. Dampak Eksploitasi Seksual Komersil
Di berbagai komunitas, disadari bahwa eksploitasi seksual komersil adalah
sebuah masalah yang sulit untuk dihilangkan begitu saja, paling tidak ada akibat
yang kemungkinan besar akan menimpa remaja-remaja korban eksploitasi seksual
komersil jika dibiarkan larut dalam kondisi dan pekerjaan tersebut yang
sesungguhnya tidak pernah mereka sadari resiko dan bahayanya (Suyanto, 2010).
Eksploitasi seksual komersil dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak
seseorang untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk
hidup produktif (ECPAT, 2006). Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampak-
dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam jiwa korban eksploitasi
seksual tersebut sehubungan dengan perkembang fisik, psikologis, spiritual,
emosional, dan sosial serta kesejahteraan remaja korban eksploitasi seksual.
45
Suyanto (2010) mengungkapkan beberapa dampak eksploitasi seksual
komersil pada remaja yaitu, karena remaja-remaja korban eksploitasi seksual
komersil itu masih berusia belia dan belum memiliki akses yang cukup terhadap
informasi-informasi tentang “reproduksi sehat”, maka sesungguhnya mereka
belum menggalami kematangan organ reproduksi. Mereka belum mengetahui
resiko dari hubungan seksual yang dilakukan secara bebas, sehingga kehamilan
dini dan penularan penyakit menular seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya
dengan mudah akan menimpa remaja putri yang menjadi korban eksploitasi
seksual komersi. Tidak mustahil, remaja putri yang menjadi korban eksploitasi
seksual komersil akan mengandung seorang bayi yang tidak pernah dikehendaki,
dan kemuadian memilih untuk melakukan aborsi secara illegal dan jauh dari
syarat-syarat medis, sehingga bukan tidak mungkin akan mengancam nyawa
mereka sendiri.
Selanjutnya, remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan
terjerumus ke dalam dunia prostitusi, sering kali harus menanggung beban
psikologis yang berat berupa stigma dari masyarakat atas pekerjaan yang mereka
tekuni karena dinilai terkutuk, memalukan, tidak bermoral. Seorang remaja
korban eksploitasi seksual, sekalipun mungkin suatu saat mereka menyadari
resiko pekerjaannya atau berkat keajaiban berhasil melarikan diri dari cengkraman
“germonya”, tidak mustahil suatu saat akan kembali sendiri ke bisnis syahwat ini
karena masyarakat sekitarnya cenderung menolak dan menjaga jarak dengan
mereka. Seorang remaja korban eksploitasi seksual komersil yang bermaksud
akan memasuki kehidupan masyarakat biasanya cenderung memang dilecehkan,
46
dan bahkan diisolasi karena khawatir dapat menyebarkan pengaruh buruk bagi
remaja-remaja putri lain disekitarnya. Dan yang terakhir, dalam berbagai kasus
remaja korban eksploitasi seksual komersil, tak jarang harus mengalami berbagai
tindak kekerasan seksual; mulai dari rayuan terselubung, penyekapan,
penganiayaan, dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya.
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dampak
eksploitasi seksual komersil adalah remaja yang menjadi korbannya tidak hanya
mengalami dampak psikologis, namun korban eksploitasi rentan mengalami
kehamilan dan penyakit menular seksual, serta rentan mengalami kekerasan
seksual.
II.C. REMAJA
II.C.1. Pengertian Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti
yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik
(Hurlock, 1980).
Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak.
Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21
tahun yang sedang menjalani masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
47
dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa
remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Hurlock mengatakan
bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai
usia matang secara hukum.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun,
dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah
masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.
II.C.2. Ciri-ciri Remaja
Hurlock (1980) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama
masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja
mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa kanak-
kanak dan dewasa. Ciri ciri tersebut antara lain :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode
lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta
akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis
menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan tertentu, baik yang bersifat
fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang
cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu
48
menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk
sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Anak-anak yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa haruslah
meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus
mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku
dan sikapnya pada masa yang sudah ditinggalkan. Meskipun disadari
bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan
mempengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Pada masa peralihan ini
remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa.
Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini
memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda
dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi
dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika
perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga
berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka
perubahan sikap dan perilaku menurun juga.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah
masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-
49
laki maupun anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena sepanjang
masa kanak-kanak sebahagian besar masalah yang dihadapi oleh remaja
diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga remaja tidak
berpengalaman dalam menghadapi masalah. Selain itu, remaja juga merasa
jika mereka sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri dan menolak bantuan orang lain.
e. Remaja sebagai masa pencarian identitas
Pencarían identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian
diri dengan standars kelompok lebih penting dari pada bersikap
individualitas. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih
tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun
mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi
pribadi yang berbeda dengan orang lain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Stereotip populer pada masa remaja mempengaruhi konsep diri dan sikap
remaja terhadap dirinya sendiri, dan ini menimbulkan ketakutan pada
remaja. Remaja takut bila tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan
orang tuanya sendiri. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang tua
sehingga membuat jarak bagi anak untuk meminta bantuan kepada orang
tua guna mengatasi pelbagai masalahnya.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-
50
cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah.
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada
perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum
minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan
seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang
mereka inginkan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masa
remaja adalah bahwa masa remaja adalah periode yang penting, periode peralihan,
periode perubahan, usia yng bermasalah, mencari identitas, yang usia yang
menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa kedewasaan.
II.C.3. Perkembangan Fisik dan Seksual Remaja
Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas.
Pubertas ialah suatu periode dimana kematangan fisik dan seksual terjadi secara
pesat terutama pada awal masa remaja (Santrock, 2007). Menurut Susman &
Ragol (dalam Santrock, 2007) pertambahan berat tubuh remaja berlangsung
bersamaan dengan dimulainya masa pubertas. Selain itu, Rogol, Roemmich &
Clark (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa pada puncak pertambahan
berat tubuh, berat tubuh remaja putri bertambah rata-rata 18 pon setiap tahunnya
51
di usia sekitar 12 tahun (kurang lebih enam bulan setelah dimulaimya laju
pertumbuhan tinggi tubuh).
Susman & Rogol (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa disamping
meningkatnya tinggi dan berat tubuh pada remaja putri, masa pubertas juga
menimbulkan perubahan pada lebar pinggul dan bahu. Proses melebarnya pinggul
pada remaja putri berkaitan dengan meningkatnya hormone estrogen, selain itu
wajah remaja putri menjadi lebih bulat dan lembut.
Urutan perubahan fisik pada remaja putri dimulai dengan membesarnya
payudara atau tumbuh rambut dikemaluan. Selanjutnya, pertumbuhan rambut
diketiak. Seiring dengan perubahan ini, tubuh remaja putri akan bertambah tinggi,
dan pinggulnya berkembang menjadi lebih lebar dibandingkan bahunya
(Santrock, 2007).
Menstruasi pertama (menarche) pada remaja putri, terjadi diakhir siklus
pubertas. Awalnya, siklus menstruasi berlangsung secara tidak teratur dan selama
beberapa tahun pertama, hal itu disebabkan remaja putri mungkin tidak
mengalami ovulasi di setiap siklus. Remaja putri tidak mengalami perubahan
suara seperti yang dialami oleh remaja laki-laki, namun remaja putri memiliki
payudara yang lebih penuh di akhir masa pubertasnya (Santrock, 2007). Galambos
(dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa pubertas juga memperkuat aspek-
aspek seksual dari sikap dan perilaku. Ketika tubuh dialiri oleh hormon, maka
remaja putri mulai berperilaku feminim.
Pada masa ini, kehidupan remaja mulai dipenuhi oleh hal-hal yang berbau
seksualitas, dimana masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual dan
52
mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Kebanyakan remaja
memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis-habisnya mengenai seksualitas
(Santrock, 2007). Proses tersebut berlangsung cukup lama dan melibatkan proses
belajar untuk mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan
perasaan tertarik, mengembangkan bentuk intimasi yang baru, dan mempelajari
keterampilan perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang
tidak diinginkan (Santrock, 2007).
Seiring dengan perkembangan seksual yang dialami oleh remaja, mereka
juga mulai mengembangkan identitas seksualnya yang melibatkan lebih dari
sekedar perilaku seksual, identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor
fisik, faktor sosial, dan faktor budaya, di mana sebagian besar masyarakat
cenderung memberikan batasan-batasan terhadap perilaku seksual remaja
(Santrock, 2007). Micheal dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa
remaja putri belajar untuk mengaitkan hubungan seksual dengan cinta, mereka
sering kali merasionalisasikan perilaku seksualnya dengan mengatakan bahwa
mereka terbawa oleh gairah sesat. Hyde & DeLameter (dalam Santrock, 2007)
menjelaskan jika jatuh cinta menjadi penyebab utama remaja putri menjadi aktif
secara seksual. Alasannya lain yang menyebabkan remaja putri aktif secara
seksual adalah karena mereka membiarkan ketika didesak oleh laki-laki, yang
merupakan suatu cara agar dapat memperolah pacar, rasa ingin tahu, serta hasrat
seksual yang tidak berkaitan dengan cinta dan kepedulian.
Sehubungan dengan perkembangan seksual yang dialami remaja putri,
menurut Santelli (dalam Santrock, 2007) kebanyakan remaja yang aktif secara
53
seksual memiliki resiko untuk mengalami masalah-masalah seksual dan masalah-
masalah lainnya ketika mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum
berusia 16 tahun. Buhrmester (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa
keterlibatan seksual pada remaja putri di masa remaja berkaitan dengan harga diri
yang rendah, tingkat depresi yang lebih besar, tingkat aktivitas seksual yang lebih
besar, dan nilai yang rendah di sekolah. Selain itu, Huebner & Howell; Swenson
& Prelow (dalam Santrock, 2007) menjabarkan bahwa faktor-faktor resiko untuk
masalah seksual pada remaja meliputi faktor-faktor kontekstual seperti status
sosial ekonomi (SES) dan lingkungan keluarga atau pola pengasuhan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan
fisik dan seksual remaja adalah perubahan yang terjadi pada fisik dan organ-organ
reproduksi pada remaja baik perempuan maupun laki-laki, yang mempengaruhi
pola perilaku seksual remaja tersebut.
II.C.4. Perkembangan Sosial Remaja
II.C.4.a. Perkembangan Hubungan Dengan Teman Sebaya
Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik
dalam segi fisik maupun kognitif. Perubahan-perubahan tersebut, ternyata
berpengaruh besar terhadap perubahan dalam perkembangan sosial remaja itu
sendiri (Desmita, 2005). Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu
tugas yang paling sulit, karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian
sosial mereka. Remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam
hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri
dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai
54
tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak
penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya,
perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan,
nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam
seleksi pemimpin (Hurlock, 1980).
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi
(sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut
terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga
kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu.
Menurut Hurlock (1980) tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai
berikut :
1. Berperilaku dapat diterima secara sosial
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang
perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak
hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga
harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagain dari
masyarakat atau lingkungan sosial tersebut.
2. Memainkan peran di lingkungan sosialnya.
Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan
dengan seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk
dapat memenuhi tuntutan yang diberikan kelompoknya.
3. Memiliki Sikap yang positif terhadap kelompok Sosialnya
55
Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, seseorang harus menyukai orang
yang menjadi kelompok dan aktifitas sosialnya. Jika seseorang disenangi
berarti, ia berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota
kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala
meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan remaja itu sendiri.
Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan
teman-teman sebayanya (Desmita, 2005). Remaja memiliki kebutuhan yang kuat
untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompoknya. Remaja akan merasa
senang apabila diterima oleh kelompoknya, dan sebaliknya mereka akan merasa
sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan
sebayanya (Santrock, 2007). Pada masa ini remaja cenderung menghabiskan
waktu di luar rumah dan lebih bergantung pada teman-temannya. Kelompok
teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap, minat,
penampilan, dan tingkah laku remaja dibandingkan dengan pengaruh keluarga
(Hurlock, 1980). Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1980) menjelaskan
pengaruh teman sebaya pada masa remaja adalah sebagai tempat dimana remaja
dapat menguji dirinya sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok teman sebaya
remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Kelompok teman sebaya
memberikan sebuah dunia dimana remaja dapat melakukan sosialisasi dimana
nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa
melainkan oleh teman-teman seusianya.
56
Hubungan relasi yang baik di antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi
perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Relasi di antara kawan-kawan
sebaya di masa kanak-kanak dan masa remaja juga berdampak bagi
perkembangan di masa selanjutnya (Santrock, 2007). Pada masa remaja, remaja
cenderung konform dengan teman-teman sebayanya, konformitas terjadi apabila
individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak oleh
orang lain (baik desakan nyata atau hanya bayangan saja). Desakan untuk konform
pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat kuat selama masa remaja (Santrock,
2007).
Konformitas terhadap desakan kawan-kawan sebaya dapat bersifat positif
ataupun negatif. Remaja belasa tahun dapat terlibat dalam semua jenis perilaku
konformitas yang bersifat negatif, misalnya saja menggunakan bahasa gaul,
mencuri, melakukan pengerusakan, serta mempermainkan orang tua dan guru.
Meskipun demikian, terdapat banyak bentuk konformitas kawan-kawan sebaya
yang tidak bersifat negatif dan lebih merupakan keinginan untuk bergabung dalam
dunia yang sama dengan kawan-kawan, seperti gaya berpakaian yang mirip
dengan kawan-kawan, dan ingin meluangkan waktu bersama kawan-kawan.
Situasi semacam itu mungkin melibatkan aktivitas-aktivitas prososial, seperti
kelompok yang mengumpulkan dana untuk tujuan mulia (Santrock, 2007).
Clasen & Brown (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan desakan dari
kawan-kawan sebaya merupakan suatu tema yang terdapat dalam kehidupan
remaja. Kekuatan pengaruh ini dapat teramati dalam hampir semua dimensi
perilaku remaja, seperti pilihan dan cara berpakaian, musik, dan gaya bahasa.
57
II.C.4.b. Perkembangan Hubungan Terhadap Lawan Jenis
Dari semua perubahan yang terjadi pada masa remaja, baik dalam sikap
maupun perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi dalam hubungan dengan
lawan jenis (Hurlock, 1980). Dalam waktu yang singkat remaja melakukan
perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi
lebih menyukai teman dari lawan jenisnya dari pada sejenisnya (Hurlock, 1980).
Perkembangan hubungan terhadap lawan jenis mengikuti pola tertentu. Namun,
terdapat perbedaan usia dalam mencapai berbagai tahap dalam perkembangannya,
sebagian karena adanya perbedaan kematangan seksual dan sebagian lagi karena
adanya perbedaan dalam kesempatan untuk mengembangkan minat (Hurlock,
1980). Ada dua unsur yang berbeda dalam perkembangan hubungan terhadap
teman sebaya. Yang pertama adalah perkembangan pola perilaku yang melibatkan
kedua jenis kelamin dan kedua adalah perkembangan sikap yang berhubungan
dengan relasi antara kedua kelompok jenis kelamin (Hurlock, 1980).
Pada masa ini, remaja juga melakukan interaksi dengan lawan jenis
mereka, interaksi tersebut merupakan hubungan romantis yang pada awalnya
remaja belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan kelekatan atau bahkan
kebutuhan seksual. Hubungan romantis pada remaja hanya berfungsi untuk
berekplorasi mengenai seberapa menariknya diri mereka, bagaimana berinteraksi
secara romantis, dan bagaimana kesannya dirinya bagi kelompok kawan sebaya
(Santrock, 2007).
Hubungan romantis yang dijalin pada masa remaja mempunyai banyak
tujuan bagi kehidupan remaja itu sendiri, khususnya untuk remaja masa kini
58
(Hurlock, 1980). Karena hubungan romantis yang terjalin tersebut menyajikan
berbagai tujuan maka dapatlah dimengerti bila remaja menghendaki bermacam-
macam orang sebagai pasangan untuk setiap jenis hubungan yang berbeda
(Hurlock, 1980).
Hubungan romantis yang terjalin pada remaja saat ini sudah mengalami
perubahan perilaku seksual yang tampak menonjol, namun perubahan sikap
seksual lebih menonjol lagi (Hurlock, 1980). Hal tersebut terlihat dari adanya
anggapan normal dikalangan remaja bila hubungan seks sebelum menikah
dilakukan atas dasar saling mencintai dan saling terikat (Hurlock, 1980). Remaja
masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta dalam hubungan
romantis mereka apa pun bentuknya, adalah baik sejauh kedua pasangan remaja
saling tertarik (Hurlock, 1980).
Furman & Werner (1998, dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa
setelah remaja memperoleh sejumlah kompetensi dasar dalam berinteraksi dengan
pacarnya, maka pemenuhan kebutuhan kelekatan dan kebutuhan seksual menjadi
hal yang utama dalam hubungan romantis tersebut. Selain itu, remaja yang
menjalin hubungan romantis juga memiliki sikap-sikap tertentu terhadap lawan
jenisnya ketika berinteraksi. Sikap tersebut sering diwarnai hal-hal yang tidak
realistis dan sangat romantis. Remaja putri tidak lagi memandang laki-laki seperti
anak laki-laki melainkan sebagai pahlawan (Hurlock, 1980).
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan
sosial remaja adalah kemampuan remaja membina hubungan dengan teman-teman
sebayanya, baik dengan teman yang berjenis kelamin sama maupun berbeda dan
59
juga dengan orang dewasa lainnya. Perkembangan sosial remaja juga meliputi
bagaimana remaja tersebut membangun hubungan romantisnya dengan pacarnya.
II.D. Resiliensi Pada Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil
Masten, Best & Garmezy (dalam Santrock, 2007) mendefinisikan
resiliensi sebagai proses, kapasitas atau keberhasilan adaptasi terhadap situasi
yang penuh tantangan atau mengancam. Sementara itu, Dyer dan McGuinness (
dalam Santrock, 2007) melihat resiliensi sebagai sesuatu yang lebih global,
sebagai proses yang dinamis, sangat di pengruhi oleh faktor-faktor protektif,
karena itu individu menjadi tahan terhadap kemalangan dan dapat meneruskan
kehidupannya.
Resiliensi merupakan satu perangkat karakteristik yang dimiliki individu
yang membuatnya memiliki kekuatan dalam menghadapi kesulitan dan rintangan
dalam keehidupan, kapasitas seseoranbg untuk menghadapi (coping) terhadap
stres dan masalah-masalah besar, serta merupakan indikasi dari adanya daya tahan
dalam menghadapi situasi yang negatif dan tetap berkembang menjadi individu
yag berkualitas positif dan sehat (Santrock, 2007).
Luthar (dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa resiliensi merupakan
keberhasilan berperilaku dalam menyelesaikan tugas perkembangan yang penting
walaupun untuk menghadapinya terjadi tekanan (stressor) yang berat dan
kemungkinan distress emosional.
Thompson (2006) mengatakan jika perlakuan eksploitasi yang dialami
oleh remaja putri termasuk perilaku yang menyimpang, baik secara medis, sosial,
emosional serta psikologis. Alter-Reid (dalam Thompson, 2006) mengungkapkan
60
sebagian besar remaja putri yang menjadi korban kekerasan, mengalami
eksploitasi seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, misalnya
orangtua angkat seperti ayah titi, atau remaja putri yang tinggal bersama pacarnya.
Remaja yang telah dieksploitasi, akan mengalami rasa takut, rendah diri,
menyesal, dan perasaan bersalah karena sudah “dirusak” setelah berhasil keluar
dari lingkaran eksploitasi seksual. Reaksi yang diperlihatkan remaja korban
eksploitasi seksual komersil juga berbeda, sesuai dengan tipe dari peristiwa
eksploitasi seksual yang dialami remaja dan apakah remaja akan menyalahkan
dirinya sendiri atau orang lain setelah dirinya menjadi korban eksploitasi seksual
komersil (Thompson, 2006).
Sebagian besar remaja putri korban eksploitasi seksual akan menyalahkan
dirinya sendiri, mengalami kebingungan serta memiliki pola pikir yang negatif.
juga mengungkapkan jika remaja putri korban eksploitasi menganggap eksploitasi
yang dialaminya disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri, maka remaja akan
memperlihatkan perilaku-perilaku yang dapat merugikan diri sendiri, depresi,
timbul pikiran-pikiran yang berbahaya, bersikap pasif, menarik diri, merasa malu,
jarang berkomunikasi, gelisah dan sulit tidur. Namun, remaja yang cenderung
menganggap kejadian yang dialaminya disebabkan karena faktor eksternal, remaja
tersebut akan cenderung mengalami gangguan yang berbeda, seperti rasa takut,
agresi, memperlihatkan perilaku bermusuhan, perilaku impulsif, serta respon yang
kurang baik terhadap rasa takut (Thompson, 2006)
Grotberg (2000) menyatakan remaja yang telah dieksploitasi oleh orang
dewasa, akan mengembangkan rasa tidak percaya terdahap orang lain, hal itu
61
disebabkan karena remaja merasa dirinya telah disiksa oleh orang dewasa dan
mengambil keuntungan dari penderitaan yang mereka alami. Namun, rasa percaya
merupakan hal yang paling medasar untuk pembentukan resiliensi remaja
(Grotberg, 2000).
Menurut Grotberg (2000), hanya sedikit remaja yang tidak memiliki
factor-faktor resiliensi, setiap remaja korban eksploitasi sesksual komersil
memiliki factor-faktor resiliensi tapi banyak korban eksploitasi itu yang tidak tahu
bagaimana cara untuk mengembangkan faktor-faktor resiliensi yang ada dalam
diri mereka dan dihubungkan denngan kesulitan hidup yang mereka alami.
Remaja korban eksploitasi seksual harus mengenali fakor-faktor resiliensi
yang telah mereka miliki untuk meningkatkan resiliensi pada diri mereka,
membentuk diri mereka dan memperkuat diri mereka serta meningkatkan faktor-
faktor resiliensi yang lemah atau tidak ada (Grotberg, 2000). Lama waktu untuk
melakukan penyesuian diri pada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual
menentukan bagaimana gambaran resiliensi remaja tersebut berkembang dimasa
yang akan datang (Grotberg, 2000).
Grotberg (2000) menjelaskan dalam peningkatan resiliensi remaja ada
beberapa faktor resiliensi yang dimiliki oleh semua remaja termasuk remaja yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Faktor-faktor resiliensi tersebut
dapat dikenali dan dapat dikembangkan bersamaan dengan factor-faktor resiliensi
lainnya pada waktu yang sama.
Orangtua mempunyai pengaruh yang besar dalam resiliensi remaja yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Dimana remaja yang menjadi korban
62
mampu mengatasi kemalangan mereka dalam hidup melalui pengamatan mereka
terhadap bagaimana orangtua mereka mengatasi kesulitan (Webster, 1995, dalam
Kosteck, 2005). Orangtua bisa menjadi model perilaku yang sukses dalam
mengatasi masalah misalnyanya pada sebuah komitmen, kemampuan memiliki
impian dan memiliki tujuan dan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan
yang ada dalam kehidupan.
63
Resiliensi Remaja Putri Korban Eksiploitasi Seksual
Komersil
Karakteristik Resiliensi
I Have :
1. Hubungan yang saling percaya
2. Struktur dan peraturan di rumah
3. Dorongan untuk mandiri
4. Role models
5. Memperoleh layanan kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan &
keamanan
I Am :
8. 1. Bangga terhadap diri sendiri
9. 2. Disayang & disukai orang lain
3. Percaya diri, optimis & penuh harap
4. Memiliki empati & peduli sesama
5. Mampu bertanggung jawab
terhadap perilaku sendiri & menerima
konsekuensinya
1. I Can :
2. 1. Mampu mengungkapkan pikiran &
perasaan dalam berkomunikasi
3. 2. Menjalin hubungan yang saling percaya
4. 3. Mampu mengelola perasaan
5. 4. Mampu mengukur temperamen diri
sendiri & orang lain
6. 5. Mampu memecahkan masalah
7.
Dimensi pembentuk :
Rasa percxaya (Trust)
Dimensi Pembentu :
Otonomi (Autonom) & Identitas (Identity)
Dimensi pembentuk :
Inisiatif (Initiative) & Ketekunan (Industry)
64
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. METODE PENELITIAN
Dalam melaksanakan suatu studi atau penelitian, para peneliti memakai
beberapa pendekatan yang mempermudah proses penelitian dan menghasilkan
tujuan yang ingin di capai dari penelitian tersebut. Salah satu pendekatang yang
sering digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini umumnya dikenal
sebagai pendekatan yang mengukur suatu gejala secara fenomenologis.
Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sering dipakai dalam
bidang studi atau penelitian tentang manusia dan berbagai bentuk tingkah
lakunya. Pendekatan ini digunakan karena banyak perilaku manusia yang sulit
dikuantifikasikan, apalagi penghayatan terhadap berbagai pengalaman pribadi
(Poerwandari, 2007). Menurut Bogdan & Taylor (dalam Poerwandari, 2007).
Pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dan
tidak dinilai benar-salah atau iya-tidak. Penelitian ini lebih mementingkan segi
proses daripada hasil.
Penelitian mengenai resiliensi ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode studi kasus. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena
pendekatan ini dapat memahami gejala tingkah laku yang nyata dan emosi
manusia menurut penghayatan individu, dengan kata lain melalui sudut pandang
subjek penelitian. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti dapat menggali lebih
65
dalam bagaimana resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil. Jenis
pendekatan kualitatif yang digunakan adalah kualitatif deskriptif yang bertujuan
untuk memberikan gambaran mengenai resiliensi remaja putri yang menjadi
korban eksploitasi seksual komersil.
III.B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam dilakukan
dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif
yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud
melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan
melalui pendekatan lain (Banister dkk dalam Poerwandari, 2007).
Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang di buat berdasarkan
sumber dan faktor resiliensi yang ingin di ketahui. Pedoman wawancara tersebut
terlebih dahulu telah di standarisari oleh profesional judgment. Kegunaan
pedoman wawancara tersebut adalah untuk mengingatkan peneliti mengenai hal-
hal yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah
sumber serta faktor tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pada saat proses
wawancara juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku
responden penelitian (Poerwandari, 2007). Tujuan dilakukannya observasi adalah
sebagai crosscheck terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh subjek penelitian
secara verbal.
66
III.C. RESPONDEN PENELITIAN
III.C.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, karakteristik responden penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja putri berusia 15 hingga 21
tahun, dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pernah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi
dan di eksploitasi oleh orang lain.
2. Sudah kembali menetap dilingkungan sosialnya dan sudah tidak
berprofesi sebagai PSK
3. Sudah tidak lagi mengalami trauma psikologis dan sudah tidak
memperlihatkan reaksi-reaksi seperti menarik diri, tidak mau
berkomunikasi dengan orang lain, tidak memiliki rasa takut yang
berlebihan, tidak memperlihatkan perilaku bermusuhan serta sudah
dapat merespon rasa takut yang dirasakan dengan normal.
III.C.2. JUMLAH RESPONDEN
Prosedur penentuan jumlah responden penelitian dalam penelitian
kualitatif menurut Sarankatos (dalam Poerwandari, 2007) memiliki karakteristik
berikut ini: (1) tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik
dalam hal jumlah maupun karakteristik responden, sesuai dengan pemahaman
konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak diarahkan pada
keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan pada
kecocokan konteks; (3) responden tidak diarahkan pada jumlah yang besar,
melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
67
Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa dengan fokusnya
pada kedalaman proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah
kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial
memang sangat sulit bagi peneliti untuk memperoleh kasus lebih banyak, dan bila
dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan informasi yang sangat mendalam.
Sesuai dengan pernyataan tersebut, jumlah responden penelitian dalam penelitian
ini adalah dua orang responden, akan tetapi kemudian responden dalam penelitian
ini bertambah karena peneliti bertanya kepada orang-orang terdekat responden
utama dengan tujuan memperkaya data penelitian. Dengan jumlah responden
tersebut diharapkan akan dapat memberikan deskripsi tentang resiliensi remaja
putri korban eksploitasi seksual komersil khususnya sektor prostitusi.
III.C.3. PROSEDUR PENGAMBILAN RESPONDEN
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan
sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/
operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu,
berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya atau
sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sample sungguh-sungguh
mewakili (bersifat presentative terhadap) fenomena yang dipelajari.
III.C.4. LOKASI PENELITIAN
Lokasi pengambilan data dilakukan di daerah Medan dan Aceh, alasan
pengambilan tempat penelitian dikarenakan fenomena yang sedang diteliti berada
di daerah tersebut.
68
III.D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Menurut Poerwandari (2007) penulis sangat berperan dalam seluruh proses
penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan
data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil
penelitian.Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat Bantu
(instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua alat bantu,
yaitu :
1. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian.Pedoman ini disusun tidak hanya
berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.
2. Alat Perekam
Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar
peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus
berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Dalam
pengumpulan data, alat perekam baru dapat dipergunakan setelah
mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat
wawancara berlangsung.
3. Lembar Observasi
Peneliti membuat lembar observasi yang sederhana untuk mencatat apa
saja yang diobservasi selama wawancara berlangsung baik responden
penelitian atau kondisi lingkungan selama wawancara.
69
III.E. PROSEDUR PENELITIAN
III.E.1. TAHAP PERSIAPAN
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan berbagai informasi, studi literarur, dan teori-teori
yang berhubungan dengan resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual
komersil.
2. Menyusun pedoman wawancara
Pedoman wawancara disusun agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir
pertanyaan berdasarkan teori resiliensi yaitu dari sumber dan faktor
resiliensi yang ada untuk menjadi pedoman wawancara. Pedoman
wawancara yang digunakan sebelumnya telah di diskusikan dengan salah
satu profesional judgment, yaitu dosen pembimbingan dalam penelitian ini.
3. Persiapan untuk mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dari
saudara laki-laki responden. Peneliti memastikan calon responden
memenuhi karakteristik responden yang telah ditentukan dengan
melakukan pra-wawancara. Keluarga responden I merupakan pekerja
dikebun kakek peneliti, dan tinggal tidak jauh dari kediaman kakek
peneliti. Peneliti dan responden I sebelumnya sudah saling mengenal,
sedikit banyak peneliti sudah mengetahui seluk beluk responden I dan
70
keluarganya. Untuk responden II, informasi mengenai responden II dan
keluarganya peneliti peroleh dari ayah peneliti sendiri yang pada saat itu
memang bertugas di daerah tersebut. Selain mencari informasi dari ayah
peneliti, peneliti juga berusaha mencari informasi dari pihak-pihak lain
yang dahulu turut serta dalam penangkapan serta proses perdamaian
keluarga responden II dengan keluarga ayah tirinya. Setelah semua
informasi terkumpul kemudian barulah peneliti menyusun cara dan strategi
untuk membangun rapport dengan kedua responden penelitian serta
keluarganya. Setelah mendapatkan calon responden yang memenuhi
karakteristik, lalu peneliti menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi
dalam penelitian dan menjelaskan informed consent dalam penelitian.
4. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara
Setelah informasi terkumpul, peneliti mendatangi responden untuk
menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan
kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Setelah memperoleh
kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu
dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan
responden. Peneliti melakukan pendekatan berulang-ulang kepada kedua
responden. Waktu yang digunakan peneliti untuk membina rapport juga
berbeda-beda pada kedua responden. Meski keluarga peneliti dan keluarga
responden I sudah saling mengenal, akan tetapi peneliti masih
membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk membangun rapport dengan
responden dan keluarganya. Hal tersebut di sebabkan responden I yang
71
sedikit tertutup dengan orang lain mengenai cerita masa lalunya tersebut.
Selama satu bulan peneliti mendatangi kediaman responden secara
intensif. Selama satu bulan tersebut, peneliti dan responden I sering
bertukar cerita serta melakukan kegiatan bersama. Dari situlah sedikit demi
sedikit responden I mau membagi pengalaman dirinya selama ia menjadi
korban eksploitasi seksual komersil. Kemudian barulah peneliti mencoba
menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman responden I
secara mendalam. Untuk responden I sebelum menjelaskan maksud
penelitian, peneliti beberapa kali bertamu ke rumah responden I untuk
sekedar beramah tamah. Tujuannya adalah untuk semakin memperdekat
hubungan dengan responden I. Beberapa kali peneliti mengajak responden
untuk makan di luar rumah responden atau membantu responden berjualan
di warung tetangganya dan mengikuti semua kegiatan responden bersama
teman-teman dilingkungan sosialnya. Setelah peneliti merasa responden I
nyaman dengan dirinya, peneliti datang lagi ke rumah untuk membangun
rapport ulang dengan basa-basi menanyakan kabar responden I dan
keluarga. Setelah itu peneliti dan responden I sama-sama menentukan
jadwal wawancara. Responden I meminta supaya wawancara dilakukan di
rumahnya pada pagi hari setiap hari minggu, karena responden beralasan
tidak bekerja pada hari minggu.
Hampir sama dengan responden I, responden II dan keluarganya juga
sudah saling kenal dengan peneliti. Keluarga peneliti dan keluarga
responden II sudah seperti saudara, disebabkan ayah peneliti adalah pihak
72
yang turut membantu keluarga responden dalam penyelesaian kasus
responden II dahulu. Untuk responden II, peneliti juga membutuhkan
waktu sekitar dua bulan dalam membangun rapport sebelum wawancara
mendalam dilakukan. Proses rapport untuk responden II sedikit lebih lama
di bandingkan dengan responden I. Hal itu di sebabkan lokasi responden II
yang kurang memungkinkan untuk selalu di kunjungi oleh peneliti, karena
lokasi kediaman responden II yang berada sekitar delapan jam dari tempat
tinggal peneliti. Selain itu, pada saat itu responen juga masih terbentur
jadwal kuliah sehingga menyulitkan peneliti untuk membangun rapport
dengan responden II. Untuk menghasilkan hubungan yang baik serta data
yang akurat dari responden II, peneliti memutuskan untuk menginap di
kediaman responden II setiap kali berkunjung ke tempat tinggal responden
II. Dengan cara seperti itu, peneliti semakin memiliki informasi yang baik
tentang keadaan responden II dan keluarganya sehingga memudahkan
peneliti untuk menjadi bertanya mengenai pengalaman responden II
dahulu. Setiap kali datang, peneliti membawa makanan untuk responden II
serta anaknya. Basa-basi sering dilakukan antara peneliti dengan responden
II untuk mencairkan suasana rapport, sesekali juga di tengah basa-basi
peneliti bercanda dengan anak responden II untuk lebih akrab. Setelah
hampir dua bulan melakukan pendekatan, dan peneliti merasa responden II
sudah nyaman dengan peneliti, Basa-basi sering dilakukan antara peneliti
dengan responden II untuk mencairkan suasana rapport, sesekali juga di
tengah basa-basi peneliti.
73
III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, peneliti memasuki beberapa
tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:
1. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu
dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan
responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara
dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan
sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.
2. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti meminta responden untuk
menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan
bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab
pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri
dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara
adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Setelah itu, peneliti melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman
wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa
kali wawancara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.
3. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip
verbatim
Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah
diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam
74
verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan
membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding
dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara
lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran
tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).
4. Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan
salinannya, peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil
transkrip wawancara yang telah dikoding menjadi sebuah narasi yang
baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang
digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data
responden ke dalam sumber dan faktor resiliensi.
5. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai dilakukan, peneliti menarik kesimpulan untuk
menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi
berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti
memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data
hasil penelitian.
III.E.3. Tahap Pencatatan Data
Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam
sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin
kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape
75
recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim
untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang
dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.
III.F. PROSEDUR ANALISA DATA
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari
(2007), yaitu:
1. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang
diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan
mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat
memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.
Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai yang penting,
meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan
prosedur yang tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak
(dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling
efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).
2. Organisasi Data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa
organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :
- Memperoleh data yang baik
- Mendokumentasikan analisis yang dilakukan
- Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian
penelitian
76
Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data
mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah
diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah
ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang
kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.
3. Analisis Tematik
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan “pola”
yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut
tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia.
Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat
menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks,
kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara
gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat
mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan
interpretasi fenomena. Peneliti menggunakan analisis tematik berdasarkan
sumber dan faktor resiliensi yang di ungkapkan oleh Grotberg.
4. Tahapan Interpretasi
Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi
mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus
mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale
(dalam Poerwandari, 2007), yaitu pertama, konteks interpretasi
pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha
memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang
77
oleh responden penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari
pernyataan-pernyataannya. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa
yang kritis (critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti
berpijak lebih jauh dari pemahaman diri responden penelitiannya. Ketiga,
konteks interpretasi pemahaman teoritis. Konteks pemahaman teoritis
adalah konteks yang paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka
teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang
ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri responden ataupun
penalaran umum. Dalam penelitian ini, tahapan interpretasi menggunakan
konteks ketiga yakni interpretasi pemahaman teoritis. Peneliti akan
menginterpretasi data-data berdasarkan teori-teori di bab II.
5. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dalam penelitian kualitatif dugaan
muncul setelah data-data wawancara dikumpulkan. Dengan mempelajari
data, kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan
kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut
juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya dengan mencari data yang
memberikan gambaran berbeda dari dugaan yang muncul tersebut. Hal ini
berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda
mengenai data yang sama.
III.G. KREDIBILITAS PENELITIAN
Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif
untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam
78
yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam
bahasa kuantitatif: variabel) dan merupakan interaksi berbagai aspek menjadi
salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007),
kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud
mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial,
atau pola interaksi yang kompleks. Adapun upaya peneliti dalam menjaga
kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, yaitu dengan:
1. Melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian,
dalam hal ini adalah remaja putri korban eksploitasi seksual komersil
sektor prostitusi.
2. Membangun rapport dengan responden agar ketika proses wawancara
berlangsung responden dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan
dan suasana tidak kaku pada saat wawancara.
3. Membuat pedoman wawncara berdasarkan sumber dan faktor resiliensi.
Kemudian melakukan standarisasi pedoman wawanncara dengan
professional judgement. Pada penelitian ini, professional judgment adalah
dosen pembimbing penelitian ini.
4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk
mendapatkan data yang akurat.
5. Selama wawancara, peneliti menanyakan kembali beberapa pertanyaan
yang dirasa butuh penjelasan yang lebih dalam lagi pada wawancara
berikutnya untuk memastikan keakuratan data responden.
79
6. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di
lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapatkan informasi yang
lebih banyak tentang responden penelitian.
7. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam
bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai
awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal
ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada
kompleksitas fenomena yang diteliti.
8. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat
hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara
yang dilakukan setelahnya.
80
BAB IV
ANALISA DATA DAN INTERPRETASI
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi.
Untuk mempermudah pembaca maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan
diinterpretasi per-responden. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan
aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.
Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu
untuk mempermudah diperolehnya pembahasan yang jelas dan utuh. Contoh kode
yang digunakan adalah R.1/W.1/b.88-89/h.2, maksud kode ini adalah kutipan
pada responden 1, wawancara 1, baris 88 sampai 89, verbatim halaman 2.
Berikut dilampirkan tempat dan waktu wawancara kedua responden pada
penelitian ini :
Tabel 1.
Jadwal Pelaksanaan Wawancara
No. Responden Tanggal Waktu Tempat
1
I
27-11-2011 10.00-11.30
Rumah Responden I 2 04-11-2011 09.00-10.00
3 11-12-2011 09.30-10.30
4 14-11-2011 09.00-10.00
1
II
25-01-2012 19.00-20.00
Rumah Responden II 2 28-01-2012 18.15-19.15
3 31-01-2012 19.00-20.00
4 01-02-2012 19.00-20.00
81
VI.A. RESPONDEN I
Tabel 2. Deskripsi Data Responden I
No. Identitas Responden I
1. Nama (samaran) Adek
2. Usia 18 Tahun
3. Agama Islam
4. Pendidikan terakhir SMA
5. Pekerjaan Wirausaha
6. Domisili Medan
7. Anak ke 3 dari 7 bersaudara
8. Pelaku eksplotasi Teman dekat
9. Peristiwa 2009
IVA.1. Hasil Observasi dan Wawancara
IV.A.1.i. Observasi Selama Wawancara
Adek adalah remaja berusia 18 tahun, ia memiliki tubuh yang langsing
dengan tinggi badan 162 cm dan berat 51 kg dan berkulit kuning langsat.
Rambutnya panjang sepunggung dan ikal ia biarkan tergerai pada saat wawancara
pertama dilakukan. Saat itu Adek terlihat mengenakan kaos lengan pendek
berwarna hitam yang bertuliskan “Lake Toba” di depannya serta mengenakan
celana pendek selutut berwarna biru dan bermotif kotak-kotak. Ia memoles
wajahnya dengan bedak namun tidak terlalu tebal. Beberapa kali ia tersenyum
kepada peneliti, lesung pipinya yang ada di pipi kiri menambah manis senyuman
gadis itu. Pada saat itu rumah Adek terlihat sepi karena kedua orangtua serta adik-
adiknya sedang menghadiri undangan pernikahan.
Selama proses wawancara berlangsung Adek dapat mempertahankan
kontak matanya dengan peneliti. Walaupun sesekali ia memalingkan wajahnya
dan tertunduk sebelum menjawab pertanyaan dari peneliti. Karena peneliti sudah
82
mengetahui latar belakang keluarganya pada wawancara pertama ini, pertanyaan
yang diajukan peneliti lebih banyak berputar mengenai kejadian yang menimpa
Adek. Wajah Adek terlihat muram ketika peneliti bertanya mengenai latar
belakang dirinya terjerumus ke dalam dunia prostitusi. Ia menundukkan
kepalanya serta jari telunjuknya ia gesek-gesekkan di lantai. Namun Adek terlihat
gembira kembali ketika peneliti bertanya mengenai hubungannya dengan lawan
jenisnya.
Pada wawancara pertama, Adek masih sungkan menceritakan tentang
pengalamannya kepada peneliti. Ia masih terlihat ragu serta takut kepada peneliti.
Hal itu bisa di lihat dari cara dirinya menjawab pertanyaan peneliti, ia terlebih
dahulu mengadahkan kepada menatap plafon rumahnya serta mengucapkan
kata“hehmm” dan “gimana ya mbak” sebelum menjawab pertanyaan peneliti.
Wawancara kedua dilakukan pada pagi hari di rumah Adek. Kali ini
peneliti mewawancarai Adek diruangan tamu rumahnya. Adek mengenakan kaos
lengan pendek berwarna putih, bergambar tokoh cartoon Doraemon serta
mengenakan celana jeans berwarna biru tua. Kali ini rumah Adek terlihat ramai
karena keempat adiknya dan orangtuanya sedang berada dirumah. Pada
wawancaraa kedua, Adek sudah mulai terbuka mengenai bagaimana
pengalamannya selama menjadi korban eksploitasi seksual komersil, Adek juga
terkadang menyertakan lelucon di awal wawancara kedua ini, namun lelucon
tersebut berubah menjadi isak tangis saat peneliti bertanya bagaimana keadaannya
selama menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Adek terkadang juga
mengerak-gerakkan tangannya saat menjawab pertanyaan peneliti mengenai orang
83
yang telah menjual dirinya serta diiringi dengan nada suaranya yang meninggi.
Wawancara ketiga berlangsung di ruang keluarga rumah Adek, ia
mengenakan daster bermotif batik yang berwarna biru. Rambutnya ia biarkan
tergerai serta mengenakan bando yang berwarna senada dengan pakaian yang ia
kenakan. Wajahnya ia pulas dengan sedikit bedak sehingga responden tampak
cerah pada hari itu. Pada wawancara ketiga ini, Adek sudah bisa membagi
pengalamannya dengan terang-terangan kepada peneliti. Terkadang Adek dan
peneliti pun berkelakarnya sehingga suasana tidak terlalu kaku. Matanya mulai
berkaca-kaca ketika peneliti bertanya mengenai pengalaman dirinya selama
menjadi pekerja seks komersil. Ia sesekali juga mengadahkan kepadanya untuk
menahan air matanya agar tidak tumpah membasahi wajahnya. Ia juga mengusap
kedua matanya dengan menggunakan telapak tangan kanannya setelah beberapa
menit peneliti membiarkannya menangis.
Pada wawancara keempat, Adek terlihat sedikit lelah dan berantakan
karena ia baru saja membantu tetangganya berjualan. Walau demikian Adek tetap
ramah kepada peneliti dan dengan senang hati mempersilakan peneliti
melanjutkan proses wawancara dengan dirinya. Saat itu Adek mengenakan kaos
berwarna kuning polos lengan pendek dan celana selutut berwarna hitam.
Rambutnya ia kuncir pada saat itu, ketika peneliti menenui dirinya masih terlihat
keringat di dahinya sehingga sesekali ia mengusap dahinya dengan telapak
tangannya. Wawancara keempat ini masih berlangsung dirumah Adek, yaitu di
ruangan keluarganya. Saat itu tidak terlihat satu pun anggota keluarga Adek. Pada
wawancara keempat ini pertanyaan peneliti hanya bertujuan untuk mengulang
84
pertanyaan-pertanyaan sebelumnya dan mencoba mengali lebih dalam mengenai
data yang telah di peroleh sebelumnya.
Wawancara untuk mengali informasi tentang gambaran resiliensi Adek di
lakukan sebanyak empat kali, walaupun demikian peneliti dan keluarga Adek
sudah saling mengenal sejak tahun 2007. Sebelum wawancara mendalam di
lakukan, peneliti sudah mendatangi responden secara rutin seminggu sekali yang
bertujuan membangun rapport antara Adek dan peneliti. Selain itu peneliti juga
mengikuti Adek ketika melakukan kegiatannya sehari-hari, mulai dati pagi hingga
petang.
IV.A.2. Rangkuman Wawancara
IVA.2.i Latar Belakang Keluarga
Adek merupakan anak ke tiga dari tujuh bersaudara. Ia memiliki satu
orang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan yang masing-masing sudah
menikah dan tidak tinggal lagi bersama orangtua dan adik-adiknya. Keempat
adiknya yang semua berjenis kelamin laki-laki dan masih berstatus sebagai siswa.
Satu orang adiknya berstatus siswa sekolah menengah atas (SMA), dua orang
siswa sekolah menengah pertama (SMP) serta satu orang adiknya yang paling
bungsu masih duduk di kelas lima sekolah dasar (SD). Ibunya bekerja sebagai ibu
rumah tangga yang terkadang juga membantu sang ayah bekerja dikebun mereka
yang letaknya lumayan jauh dari rumah mereka.
Menurut Adek kedua orangtuanya lebih sering berada diluar rumah karena
bekerja di kebun yang mereka miliki. Sehingga tugas rumah tangga lebih banyak
di kerjakan oleh Adek, seperti memasak, membersihkan rumah serta mencuci
85
pakaian dan menyetrika. Adek mengungkapkan setiap hari mereka selalu sholat
bersama-sama. Setelah itu kedua orangtua Adek juga menyempatkan diri untuk
berkumpul bersama dirinya dan keempat adiknya pada malam hari untuk saling
bercerita walaupun hanya satu jam.
Orangtua Adek yang bekerja sebagai petani menyebabkan mereka dari
pagi hingga hampir petang selalu berada diladangnya. Untuk penyelesaian tugas
rumah tangga yang harus diselesaikan Adek setiap harinya, peneliti peroleh dari
observasi yang peneliti lakukan selama proses probing dan wawancara
berlangsung. Adek memang selalu terlihat mengerjakan seluruh pekerjaan rumah
tangga hingga selesai terlebih dahulu baru setelah itu ia dan peneliti melanjutkan
wawancara. Begitu juga ketika Adek akan pergi membantu tetangganya berjualan
diwarung atau pun membantu tetangganya menjahit. Terlebih dahulu dirinya
menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah tangganya baru kemudian pergi
bekerja.
IVA.2.ii. Latar Belakang Responden Menjadi Korban Eksploitasi Seksual
Komersil
Awal Adek terjerumus menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor
prostitusi yaitu pada akhir tahun 2009, ketika itu dirinya sudah lulus dari sekolah
menengah atas (SMA). Setelah lulus SMA Adek yang memang tidak melanjutkan
pendidikannya ke jenjang perkuliahan karena tidak memiliki biaya, berkeinginan
untuk mencari kerja di kota B. Hal itu ia lakukan atas dasar ajakan dari seorang
teman dekatnya bernama Mince yang menawarkan pekerjaan sebagai kasir kepada
Adek.
86
Terbujuk dengan tawaran menggiurkan dari sahabatnya sendiri, yang
mengatakan jika ia akan di pekerjakan sebagai kasir di salah satu rumah makan di
kota B dengan gaji yang besar. Adek akhirnya meminta izin kepada kedua
orangtuanya untuk bekerja di Batam. dengan motivasi responden agar dapat
meringankan beban kedua orangtuanya serta dapat membantu biaya pendidikan
keempat adik-adiknya yang masih berstatus pelajar, misalnya saja untuk
membelikan seragam sekolah serta peralatan sekolah lainnya.
“Di Batam, katanya di tempat makan gitu. Ya makanya, trus karna katanya
gajinya besar. Aku kan kak tujuh bersaudara, aku kan anak ketiga. Jadi
supaya bantu orangtua ku pikir bisa.”
(R.1/W.1/b.44-50/h.2)
Awalnya orangtua Adek tidak mengizinkan Adek mencari kerja di B.
Kedua orangtuanya menyarankan Adek untuk mencari pekerjaan di Medan jika
dirinya tetap ingin bekerja dan membantu adik-adiknya, dengan alasan kota yang
di tuju Adek jauh dari Medan serta Adek juga belum pernah mengenal bagaimana
keadaan kota B yang sebenarnya. Namun karena tekat kuat Adek untuk mengadu
nasib di kota B dan dirinya juga di ajak oleh Mince, sahabatnya sendiri yang
menurutnya tidak mungkin akan mencelakainya. Akhirnya Adek berhasil
membujuk kedua orangtuanya agar mengizinkannya pergi merantau ke kota B.
Setibanya di kota B, Adek kemudian ditempatkan di sebuah rumah yang
tidak ia ketahui milik siapa. Selama Adek tinggal di rumah itu , selama itu pula
dirinya tidak pernah bertanya kepada teman yang sudah membawanya itu kenapa
ia tidak juga di pekerjakan sebagai kasir. Setelah seminggu berlalu, Mince datang
dan mengajak Adek ke sebuah rumah yang kemudian di ketahui Adek sebagai
tempat penampungan wanita-wanita muda yang menjadi pekerja seks komersil.
87
Mince lalu mempertemukan Adek dengan seorang wanita berusia sekitar 38 tahun
yang kemudian akrab di sapa Bunda oleh Adek.
Tanpa mengetahui isi perbincangan antara Bunda dan Mince, Adek lalu
di minta Mince untuk merias dirinya, Adek pun mengikuti permintaan Mince.
Adek mulai curiga setelah dirinya di berikan pakaian untuk ia kenakan,
menurutnya pakaian yang di berikan Mince untuknya bukan layaknya pakaian
seorang kasir. Namun Adek tetap menuruti apa yang di katakan Mince kepadanya.
Setelah merias dirinya Adek di kenal kepada seorang pria yang menjadi “pasien”
pertamanya.
Meskipun dirinya sudah bekerja selama beberapa bulan, Adek mengaku
tidak pernah mendapat uang hasil kerja diriny melayani lelaki hidung belang.
Dirinya juga mengaku tidak pernah mempertanyakan apalagi menuntut uang
tersebut. Menurutnya Uang hasil kerjanya selama melayani “pasien” langsung di
bayar kepada pemilik tempat hiburan dimana Adek bekerja. Sedangkan jika ia
menerima bonus dari “pasien”, ia juga wajib memberikannya kepada Bunda.
Adek kembali melanjutkan tidak ada seorang pun yang pernah berani
mempertanyakan hal itu kepada Bunda. Menurutnya, penjaga tempat hiburan itu
tidak segan-segan untuk menyiksa serta memukuli orang yang di anggap
melakukan perbuatan menyimpang. Bahkan menurut Adek, Bunda pun tidak
memberikan makanan kepada orang yang berani melawannya. Jika sudah
demikian, Adek mengaku hanya bisa menagis tanpa dapat melakukan apa-apa.
Selama bekerja sebagai pekerja seks komersil Adek mengaku dirinya
melakukan pekerjaan itu dengan keterpaksaan, hingga menyebabkan rasa sakit
88
lahir dan bathin. Selama ia melayani “pasien” ia mengatakan tidak pernah sama
sekali merasakan kenikmatan ketika berhubungan dengan sang “pasien” yang ia
layani. Ia menceritakan penderitan yang ia rasakan ketika ia terpaksa memuaskan
nafsu birahi seorang pria yang menyetubuhinya. Ia pun terkadang harus di pukul
terlebih dahulu ketika harus memuaskan pria yang memiliki kelainan seksual.
“Sakit lah mbak, gak badan saya, gak perasaan saya, sakit smua. Mbak gak
ngerasa apa yang saya rasa, saya melakukan itu dengan terpaksa. Saya
dipaksa ngangkang tiap malam mbak, badan saya dipegang-pegang
(responden mulai menangis). Sakit yang saya rasakan mbak.”
(R.1/W.3/b.1569-1609/h.40)
Dengan kondisi dirinya yang serba kekurangan dan terpuruk, ia masih
memiliki semangat dalam hatinya untuk segera mengakhiri penderitaan yang ia
rasakan selama hampir satu tahun. Walau sejak awal berniat untuk melarikan diri
dari tempat yang memberinya seribu pengalaman buruk tersebut. Namun ia tidak
mau terburu-buru melakukan perbuatan nekatnya tanpa persiapan yang baik. Ia
tidak ingin upaya pelariannya berakhir sia-sia dan menbuatnya harus di siksa oleh
Bunda dan penjaga-penjaganya. Adek akhirnya menemukan satu cara yang ia
anggap tepat untuk pelariannya dari tempat ia bekerja selama ini.
“Udah dari mulai pertama saya jadi pelacur mbak. Tapi saya harus nunggu
waktu yang pas lho mbak, supaya jangan gagal trus kedapatan trus
dipukulin. Saya pikirin gimana caranya, itulah dapat cara, permisi pas
nemanin pasien saya.”
(R.1/W.3/b.1695-1704/h.41-42)
Dengan persiapan yang matang serta cara menlarikan diri yang sudah
mememikirkannya jauh-jauh hari. Adek akhirnya nekat melarikan diri dengan
cara yang telah dia susun sebelumnya. Dengan meminta izin untuk membeli
makanan karena Adek mengaku lapar sehabis melayani pelanggannya, Adek pun
89
kemudian mendatangi sebuah warung makan yang berada tidak jauh dari
tempatnya melayani pelanggannya tersebut. Dengan berbekal alamat saudaranya
yang memang dari dahulu sudah ia bawa kemana-mana, akhirnya Adek meminta
pertolongan kepada salah seorang pria yang juga sedang berada diwarung yang
sama dengan Adek. Beruntung bagi Adek, tempat tujuannya tidak jauh dari
warung tempatnya meminta pertolongan, serta beruntung juga pria yang ia mintai
pertolongan mau menolong Adek mengantarkannya ketempat tujuan dirinya.
Setibanya Adek ditempat yang ia tuju, ia langsung menangis dan
menceritakan segala yang sudah ia alami selama satu tahun di kota B. Tak ayal
lagi, kejadian yang Adek ceritakan tersebut membuat seisi rumah terkejut dan
seakan merasa tak percaya. Seakan dapat membaca situasi genting yang sedang
Adek alami, sosok pria yang mengantarnya tersebut menyarankan jika Adek dan
keluarganya segera melaporkan kejadian yang ia alami. Adek dan keluarganya
akhirnya mengikuti saran pria yang diketahui berprofesi polisi tersebut untuk
segera melaporkan kejadian yang dialami Adek kepihak yang berwajib agar
diproses secara hukum. Setelah seluruh berkas perkara selesai, Adek akhirnya di
perbolehkan untuk pulang.
IV.A.3. Analisa Data
IV.A.3.i Gambaran Resiliensi
IV.A3.i. I Have
Peristiwa pahit yang dialami Adek tak ayal membuat Adek merasa bak
jatuh dan tertimpa tangga. Satu tahun menjadi korban eksploitasi seksual komersil
dan di paksa menjadi pekerja seks komersil sektor prostitusi memberikan
90
pengalaman traumatis kepada Adek sendiri. Dukungan dari kedua orang tua serta
anggota keluarga lainnya juga dari lingkungan sosial pun mengalir kepada Adek.
Dukungan tersebut terlihat dari sumber-sumber resiliensi yang di perolehnya dan
berhasil di kembangkannya, yaitu :
IV.A.3.ii.a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan
Peristiwa traumais yang dialami oleh Adek telah menggoreskan
pengalaman pahit didalam hidupnya. Pengalaman pahit tersebut juga dirasakan
oleh keluarganya yang tidak dapat menerima kenyataan jika Adek telah dijadikan
korban prostitusi oleh sahabatnya sendiri di kota B. Keluarganya pun berjuang
agar orang yang telah menjerumuskan Adek ke dalam dunia prostitusi diberi
hukuman yang seberat-beratnya. Seakan mengerti dengan kondisi Adek,
keluarganya juga tidak pernah membicarakan pengalaman Adek terjerumus
kedalam dunia prostitusi jika mereka sedang berkumpul bersama. Hal itu hanya
dilakukan jika menyangkut dengan proses hukumnya saja.
“enggak.. enggak pernah, paling kalo mengenai urusan ke polisi aja mbak..
tapi untuk yang lain enggak.. takut mungkin, tapi enak juga.. daripada saya
mesti nginget-inget gitu mbak…”
(R.1/W.1/b.630-638/h.15)
Setelah kembali tinggal bersama keluarganya, ada beberapa perubahan
terjadi pada keluarga dan lingkungan sosialnya. Perubahan yang terjadi pada
keluarganya adalah, sebagian dari kerabatnya tidak dapat menerima kondisi Adek
yang telah menjadi korban prostitusi. Kerabatnya tersebut beralasan takut jika
Adek akan memberikan pengaruh buruk kepada anak-anak mereka. Walaupun
sebenarnya menurut Adek dirinya sudah membuktikan kepada semua anggota
91
keluarganya jika dirinya hanya korban dari perbuatan orang yang tidak
bertanggung jawab.
“.. ya ada yang nerima saya mbak, ada juga yang enggak.. mereka takut
saya jadi pengaruh buruk untuk yang sodara-sodara saya yang lain..
padahal saya udah buktiin saya gak bersalah, saya Cuma korban, ya
mereka masih gak percaya ya gimana mbak..”
(R.1/W.2/b.1464-1474/h.36)
Adek mengaku dirinya merasa nyaman berada ditengah-tengah
keluarganya. Selain tidak mengungkit-ungkit peristiwa yang pernah ia alami
dihadapannya, keluarganya juga selalu memberikan dukungan serta mampu
menerima kondisi dirinya yang telah dijadikan korban prostitusi.
“Alhamdulilah mbak, semua nerima. Ya walaupun saya tau mungkin
mereka gak apa.. gak kayak dulu lagi sama saya ya kan, cuman didepan
saya mereka nerima mbak, gak ada yang kaya mana-mana. Semua gak ada
yang ngomongin saya, tapi saya, mungkin didepan saya aja, tapi ya
mudah-mudahan didepan dibelakang sama ya mbak ya..”
(R.1/W.1/b.219-232/h.6)
Meski sempat terpuruk dengan keadaan dirinya setelah menjadi korban
prostitusi. Namun, dengan dukungan dari kedua orangtuanya yang selalu
memberikan dorongan serta nasihat untuk membangkitkan rasa percaya diri Adek.
Adek mengatakan jika ibunya yang banyak memberikan nasihat kepada dirinya
agar tidak terus-menerus merasa malu dengan keadaannya. Ibunya selalu
memberikannya nasihat tentang masa depannya yang harus ia lalui. Ibunya juga
berkata jika dirinya hanya korban dan masih banyak orang yang tidak seberutung
dirinya, karena sudah bebas dari dunia prostitusi.
“Walau Ibuk saya bilang hidup saya masih panjang, masa depan saya
masih ada, saya gak mungkin mati besok kecuali bunuh diri, ibuk bilang
gitu sambil nangis mbak. Kata ibuk masih banyak juga orang yang
nasibnya ga seberuntung saya, yang masih dijadikan pelacur karna ga bisa
kabur. Trus masih banyak yang bisa paham dengan keadaan saya ini, bisa
92
nrima saya apa adanya, karna saya cuma korban orang-orang yang pengen
untung dari kesusahan orang lain, itu kata ibuk mbak, makanya saya jadi
bangkit dari rasa sedih saya. Kalo gak, waah, mungkin saya gila mbak..”
(R.1/W.2/b.1177-1200/h.29-30)
Mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya, Adek mulai
mengembangkan hubungan yang dilandasi dengan kepercayaan dengan anggota
keluarganya. Meski mengaku sebelum dirinya menjadi korban prostitusi ia
memiliki sahabat dan saling membagi keluh kesah yang mereka miliki, kini Adek
hanya mampu membagi keluh kesahnya dengan kedua orangtuanya saja. Adek
juga mengaku jika tidak semua keluh kesahnya ia ceritakan kepada kedua
orangtuanya. Adek selalu memilah mana yang pantas ia ceritakan dan mana yang
harus dirinya simpan didalam hatinya saja. Adek melakukan hal tersebut karena
dirinya tidak ingin ayah dan ibunya merasa terbebani dengan masalah yang ia
hadapi.
“ada si Bunga.. tapi dah kawin dia.. dulu sering curhat ke dia sebelum dia
kawin.. sekarang cuman sama orang bapak ibuk lah.. saya udah gak terlalu
percaya sama teman deket.. yang jual saya itu aja dulu deket banget itu
mbak..”
(R.1/W.1/b.370-378/h.9)
“saya gak mau nyusahin ibuk sama bapak mbak.. nanti saya malah cerita
bikin mereka sedih.. sebisa saya masalah saya ya saya selesaikan sendiri
mbak.. ada batas-batas mbak.. mana yang bisa saya ceritain, mana yang
saya rasa gak bisa mbak.. gitu mbak..”
(R.1/W.4/b.2383-2393/h.57)
Jika Adek dapat mengembangkan hubungan yang penuh kepercayaan
dengan anggota keluarganya, berbeda halnya dengan di luar keluarganya. Meski
mendapatkan dukungan dari orang-orang disekitar tempat tinggalnya, tetapi Adek
mengatakan jika saat ini dirinya memang hanya bisa mempercayai kedua
orangtuanya. Dirinya masih merasa takut untuk mempercayai orang lain, karena
93
orang yang ia percayai yang akhirnya menjerumuskan dirinya kedalam dunia
prostitusi. Tetapi Adek juga tidak menutup kemungkinan jika dalam beberapa
tahun lagi dirnya sudah mampu mempercayai orang lain diluar keluarganya.
“..dukungan untuk saya juga banyak mbak, dari keluarga, tetangga, orang
kampung mbak.. jadi saya yakin mbak, saya kedepannya bisa lebih baik
dari saya yang sekarang..”
(R.1/W.2/b.1356-1362/h.33)
“saya belom bisa percaya lagi sama orang mbak.. masih susah untuk
percaya.. saya kurang percaya apa sama temen saya yang jual saya dulu..
eh saya malah dijadiin pelacur.. saya takut kejadian begitu keulang lagi,
keulang lagi, saya capek, sakit mbak.. setahun itu susah ngelupain apa
yang terjadi sama saya mbak..”
(R.1/W.2/b.1124-1137/h.28)
“saya belom bisa percaya lagi sama orang mbak.. masih susah untuk
percaya.. saya kurang percaya apa sama temen saya yang jual saya dulu..
eh saya malah dijadiin pelacur.. saya takut kejadian begitu keulang lagi,
keulang lagi, saya capek, sakit mbak.. setahun itu susah ngelupain apa
yang terjadi sama saya mbak..”
(R.1/W.2/b.1124-1137/h.28)
IV.A.3.i.b. Struktur dan Peraturan di Rumah
Data mengenai faktor ini peneliti peroleh dari kedua orangtua Adek. Sang
ibu mengaku memang menerapkan peraturan untuk semua anak-anaknya. Namun,
peraturan tersebut lebih ketat diberlakukan untuk Adek. Dengan alasan,
orangtuanya ingin melindungi Adek dari kejadian serupa yang pernah
menimpanya. Contoh dari peraturan yang diberlakukan untuk Adek adalah, Adek
diminta untuk tidak berpacaran terlebih dahulu. Keluarganya menerapkan
peraturan tersebut karena mereka takut Adek dimanfaatkan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.
94
Aturan lainnya adalah, Adek tidak diizinkan bepergian pada malam hari
jika tidak ada alasan yang jelas dan pergi dengan orang yang tidak jelas pula. Jika
memang Adek ingin pergi keluar rumah untuk mengikuti sebuah kegiatan yang
mungkin pengajian atau kegiatan lainnya, salah satu anggota keluarganya harus
menemani Adek. Alasannya, mereka tidak ingin Adek kembali mendapat
masalah.
Menurut ibunya, mereka tidak pernah memberikan hukuman fisik kepada
Adek jika ia melanggar aturan yang telah dibuat, kedua orangtuanya hanya
menasihati Adek agar tidak terjatuh lagi kedalam masalah yang serupa. Ayah dan
ibunya yakin, Adek sudah mengerti maksud aturan tersebut dibuat untuk dirinya.
Orangtuanya berharap, Adek mematuhi aturan itu, bukan karena orangtuanya
yang membuat tetapi karena Adek juga harus menyayangi dirinya sendiri. Namun
hingga saat ini menurut pengakuan ayah dan ibu Adek, Adek belum pernah
melanggar aturan yang dibuat untuknya
Hal serupa juga diuangkapkan oleh Adek. Ia mengaku jika memang saat
ini banyak pria yang mendekati dirinya, entah dengan alasan hanya berteman saja
ataupun alasan ingin membina hubungan yang serius dengan Adek. Adek
mengaku ia belum memiliki seorang kekasih, selain karena orangtuanya belum
mengizinkan untuk berpacaran Adek juga belum ingin menjalin hubungan yang
serius dengan seorang pria. Adek mengatakan ia takut jika pria yang menjadi
pacarnya nanti hanya ingin memanfaatkan dirinya saja.
“selama setahun ini ya ada mbak.. tapi gak brani.. lagian kata orang ibuk,
orang bapak belum lah.. jangan.. natik takunya cuman mau apa aja gitu”
(R.1/W.1/b.357-366/h.9)
95
“ya saya deket kan bukan deket-deket yang gimana-gimana.. tetap saya
pilah-pilah mbak..”
(R.1/W.2/b.1252-1253/h.30)
Mengenai aturan yang tidak mengizinkan Adek keluar rumah dengan
alasan yang tidak jelas juga dibenarkan oleh Adek. Saat ini kedua orangtuanya
memang menjaganya secara ketat, hal itu membuat Adek merasa terkekang, walau
dia merasa aman ada yang menjaga dirinya. Adek mengatakan jika ia masih ingin
pergi dan berkumpul bersama dengan teman-teman sebayanya tanpa dicemaskan
oleh orangtuanya. Menurutnya, dirinya mampu menjaga diri sendiri.
“kalo sekarang ya mbak.. skarang kemana-mana saya ditemenin sama
bapak.. skarang itu lebih dijagain lah mbak.. kalo pergi ngaji ditanyain
pulangnya jam brapa, kalo pulangnya telat dijemput sama bapak ato sama
ibuk.. saya merasa aman sih mbak..tapi kadang mbak, saya ngerasa
terkekang juga.. masa saya ngumpul-ngumpulnya Cuma diwarung depan
rumah aja mbak.. kan saya pengen juga pergi jalan sama temen-temen, tapi
bapak ibu cemas terus.. saya kan juga bisa jaga diri saya mbak..”
(R.1/W.2/b.1287-1310/h.32)
IV.A.3.i.c. Dorongan Untuk Mandiri
Kejadian yang menimpa Adek menurut sang ibu sempat membuat anaknya
tersebut terpuruk dan sempat menjadi anak yang tergantung kepada orang lain.
Menurut ibunya, Adek sempat tidak mau keluar rumah serta tidak mau melakukan
kegiatan apapun. Pada saat itu ayah dan ibunya terus menerus mendorongnya
untuk menjadi anak yang tegar serta menjadi mandiri sama seperti sebelum Adek
mengalami peristiwa traumatisnya.
Berkat dorongan dari orangtuanya menurut Adek dirinya kembali bisa
menapaki hari-harinya setelah menjadi korban prostitus. Walau awalnya merasa
takut untuk memperlihatkan dirinya dihadapan orang banyak, tetapi karena
dukungan keluarga Adek bisa melewati masa sulit setelah dirinya kembali tinggal
96
bersama keluarganya. Dukungan yang diterimanya dari orangtuanya lambat laun
bisa membuat Adek kembali menjadi seoarng anak yang mandiri.
“Hampir setahun mbak.. enam bulan pertama saya ngurung diri dirumah
terus,, malu mau keluar rumah.. takut juga nanti dengar bicara orang yang
nyakitkan hati mbak.. ibuk sama bapak terus-terusan ngasih kata-kata yang
buat saya semangat..”
(R.1/W.3/b.1836-1845/h.45)
“walau awalnya susah ya mbak.. susah kali buat saya bisa bangkit dari rasa
sedih, takut, jijik.. tapi saya usaha.. saya liat orangtua saya.. itu mbak yang
buat saya kayak skarang.. orangtua saya, bapak saya, ibuk saya..”
(R.1/W.2/b.1167-1172/h.29)
Kemandirian tersebut terlihat dari kemampuannya untuk mengambil
keputusan bagi dirinya sendiri. Walau terkadang berbenturan dengan pandangan
orangtuanya terutama sang ibu, hingga terkadang menimbulkan konflik diantara
mereka.
“ya pernahlah mbak.. ya mungkin dia mikir apa.. saya mikir apa.. dia gak
ngerasainkan mbak.. kadang orang gitu.. gak ngerasain kan mbak, tapi sok
ngapain gitu.. ngambil keputusan apa.. ya saya jelasin mbak kalo gimana
gitu.. ibuk sama bapak ngerti gitu.. lebih denger saya kalo mo ngambil
keputusan”
(R.1/W.1/b.694-705/h.17)
“ya keputusan untuk hidup saya.. entah apa.. yang berhubungan sama
saya..”
(R.1/W.1/b.709-714/h.17)
Menurut ibunya, awalnya Adek bukanlah anak yang dapat memikirkan
baik buruk atas keputusan yang ia ambil untuk dirinya sendiri. Sering kali Adek
harus mengalami kesulitan ketika keputusannya tersebut salah dan tidak sesuai
dengan harapannya. Tetapi setelah kembali dari kota B, menurut ibunya Adek
menjadi remaja yang mampu memikirkan baik buruk keputusan yang ia ambil
untuk dirinya.
97
Hal senada juga disampaikan Adek, setelah dirinya berhasil keluar dari
masa-masa sulitnya, Adek mengaku saat ini sudah dapat mengontrol dirinya
sendiri. Dirinya akan lebih memikirkan akibat perbuatannya terlebih dahulu
sebelum mengambil suatu keputusan. Adek juga terlebih dahulu mendiskusikan
kepada orangtuanya tentang keputusan yang akan dia ambil untuk dirinya sendiri.
“kalo sekarang sebisa mungkin saya memikir panjang dulu mbak sebelum
saya perbuat sesuatu.. apa baik buruknya untuk dirisaya.. saya gak mau
mbak karna perbuatan saya sendiri saya sakit lagi.. malu mbak”
(R.1/W.2/b.1383-1392/h.34)
“ya saya cerita ke bapak ato ibuk dulu mbak.. gimana yang baiknya.. tapi
keputusan ya tetap saya yang ambil.. Saya nyelesaikan masalah gak pernah
emosi, emosi kalo ketemu si kampret mbak. Huuuhhh… emosi betul
mbak.”
(R.1/W.4/b.2221-2230/h.54)
IV.A.3.i.d. Role Models
Sejak awal menurut orangtua Adek mereka selalu memberikan modeling
yang baik kepada seluruh anak-anaknya. Mulai dari mengajarkan untuk sholat
tepat waktu serta memberikan arahan berperilaku kepada seluruh anaknya.
Menurut kedua orangtua Adek, tugas mereka adalah mengajarkan sang anak apa
yang baik dan yang buruk. Untuk selanjutnya terserah sang anak ingin mengikuti
arahan tersebut atau mangkir dari arahan-arahan yang telah mereka berikan.
Data yang peneliti peroleh dari tetangga sekitar kediaman responden,
kebanyakan memberi pujian kepada kedua orangtua Adek. Orangtua Adek dikenal
sebagai orang yang baik, ramah dan rajin beribadah serta pekerja keras dan
sanggup bekerja apapun untuk menghidupi seluruh keluarganya, asalkan
pekerjaan yang halal. Kedua orangtua Adek juga tidak pernah melalukan
98
penyerangan kepada keluarga Mince yang telah menjerumuskan Adek kedalam
dunia prostitusi. Adek mengatakan jika ayah dan ibunya tidak pernah melakukan
penyerangan kepada keluarga Mince yang juga merupakan tetangga mereka. Ayah
dan ibunya malah menasihati Adek agar memaafkan perbuatan Mince dahulu.
Namun menurut Adek, belum sepenuhnya ia mampu mengikuti ajaran-ajaran
yang ia lihat dan ia dapat dari kedua orangtuanya.
“..bapak mikirnya gak ada urusan sama keluarganya.. cuman ditanya-
tanyak juga sih mbak sama keluarganya dimana dia.. tapi keluarganya gak
mau ngasih tau.. gak mungkin keluarganya yang kami bakar disini”
(R.1/W.2/b.965-974/h.24)
“Sering.. sering kali pun.. cuman belom bisa saya ikuti lah mbak. Ada lah,
yang saya ikuti, saya liat bapak sama ibuk rajin sholat, saya pun gitu
mbak. Trus orangtua saya pekerja keras, saya pun gitu.. kalo untuk yang
maapin si kampret, lalu yang harus sabar kalo ada yang nyerita-nyeritain
saya mbak.. gak bisalah saya mbak, kalo blom saya jambak, blom puas
saya…”
(R.1/W.4/b.2516-2532/h.60)
Selain mendapat orang yang selalu memberikan semangat dari dalam
keluarga, Adek juga memperolehnya dari luar keluarganya. Dimana teman-teman
sebayanya selalu mengajaknya untuk kembali mengikuti kegiatan-kegiatan sosial
yang diadakan disekitar tempat tinggal Adek. Mendapat perlakuan baik dari
lingkungan sosialnya, Adek pun memberanikan diri untuk kembali membaur
bersama orang diluar lingkungan keluarganya.
“dukungan mbak, nasehat, trus saya yang bekas pelacur ini diterima lagi
disini..bisa berteman lagi..trus sayang orangtua saya sama
saya..perhatiannya buat saya..teman-teman saya..ya pokoknya yang gitulah
mbak..”
(R.1/W.3/b.1870-1883/h.45-46)
“..mereka nerima saya bergaul dengan mereka..ya saya gak dikucilkanlah
mbak kalo gabung dengan mereka..itu aja yang saya maunya mbak..saya
diterima bergaul dengan mereka..”
99
(R.1/W.3/b.1887-1902/h.46)
“..itu mbak..rasa percaya mereka sama saya..kayak yang punya warung ini
kan mbak, dia yang minta saya bantu jualan disini..jadi warung sama isi-
sinya ini tanggungjawab saya..ada juga tetangga yang minta saya supaya
ngajar anaknya mbak..”
(R.1/W.4/b.2272-2282/h.55)
IV.A.3.i.e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan, dan
Kesejahteraan
Setelah Adek kembali dari kota B, Adek yang pernah bekerja sebagai
pekerja seks komersil langsung dibawa oleh keluarganya untuk memeriksakan
dirinya ke rumah sakit. Keluarganya ingin memastikan kondisi kesehatan Adek
apakah dirinya tertular penyakit selama ia bekerja sebagai PSK. Menurut ibunya,
setelah pemeriksaan selesai dan hasil pemeriksaan keluar, Adek dinyatakan
negatif dari segala jenis penyakit. Mengenai hasil pemeriksaan yang demikian,
menurut ibunya, ia dan Adek langsung mengucap syukur kepada Tuhan YME. Ia
tidak dapat membayangkan jika hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif
Adek mengalami penyakit kelamin, tentunya adek akan semakin terpojok dan
dikucilkan dari masyarakat.
Adek sedikit menceritakan apa yang ia alami selama masih bekerja
sebagai PSK di kota B. Menurutnya laki-laki yang ia layani jarang mau memakai
alat kontasepsi, sehingga untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diingin, Adek
dan teman-temannya harus menggunakan alat kontrasepsi. Menurut Adek, alat
kontrasepsi tersebut sudah disediakan oleh pengelola tempat hiburan. Jadi setiap
akan melayani pasiennya, Adek dan teman-temannya telah terlebih dahulu
diberikan alat kontrasepsi.
100
Setelah dirinya kembali ke Medan, orangtuanya langsung membawanya ke
rumah sakit untuk memeriksakan keadaan dirinya, hasil yang ia peroleh sungguh
membuatnya bersyukur. Hasil pemeriksaan menunjukkan jika dirinya terbebas
dari penyakit kelamin, untuk hal tersebut dirinya mengatakan jika ia ingin kembali
menjalani hidup seperti biasanya.
“bunda nyediakan kondom mbak..tapi pasien jarang ada yang mau make,
alasannya gak enak..terpaksa kami yang make kondom kak..tapi waktu
balik ke medan, saya periksa mbak..saya gak kena kok..alhamdulilah kali
lah mbak..makanya sekarang saya mau hidup baik-baik aja..bantu adik-
adik dengan uang yang baik-baik juga dari keringat saya mbak..”
(R.1/W.4/b.1954-1958/h.47)
Untuk layanan pendidikan, ayah dan ibunya tetap tidak mampu membiayai
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu disebabkan kondisi ekonomi
orangtua Adek yang kurang memadai untuk hal tersebut. Orangtua Adek juga
masih haru membiayai sekolah keempat adik-adiknya. Seolah mengerti keadaan
orang orangtuanya, Adek akhirnya berinisiatif membantu kondisi ekonomi
orangtuanya. Dengan membantu tetangganya berjualan diwarung miliki
tetangganya tersebut. Adek masih berharap jika kelak orangtuanya memiliki
rezeki berlebih, ia dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun ia juga tidak akan memaksakan jika orangtuanya tidak mampu
mewujudkan keinginan tersebut.
“Bantuin aja, tetangga di warung mungkin buat tambahan, gitu aja mbak.
Adek masih ada di bawahku kan mbak. Untuk ngurusin ke B, ke B bapak
sama abang aja udah keluar duit. Makanya aku bingung, bukannya tambah
bantú, malah tambahin biaya aku...”
(R.1/W.1/b.514-524/h.13)
“saya pengennya sih mbak, kalo ada rezeki bapak sama ibuk mbak saya
pengennya kursus ato kuliah mbak.. itu juga kalo ada rezeki mbak.. kalo
enggak ya udahlah mbak.. gini aja bantuin adek-adek sekolah aja..”
101
(R.1/W.2/b.1366-1374/h.33)
Rasa aman yang diberikan kepada Adek, ibunya atau ayahnya akan
menemani Adek ketika ia akan bepergian. Mereka tidak mengizinkan Adek pergi
jika tidak jelas pergi kemana dan dengan siapa. Serta mengatakan jika Adek pergi
tidak bersama dengan salah satu anggota keluarganya, maka Adek harus sudah
dirumah pukul 10 malam. Hal yang sama diungkapkan Adek, dirinya saat ini
selalu ditemani ayahnya jika akan bepergian kemana-mana.
“kalo sekarang ya mbak..skarang kemana-mana saya ditemenin sama
bapak.. skarang itu lebih dijagain lah mbak.. kalo pergi ngaji ditanyain
pulangnya jam brapa, kalo pulangnya telat dijemput sama bapak ato sama
ibuk.. saya merasa aman sih mbak..tapi kadang mbak, saya ngerasa
terkekang juga.. masa saya ngumpul-ngumpulnya Cuma diwarung depan
rumah aja mbak.. kan saya pengen juga pergi jalan sama temen-temen, tapi
bapak ibu cemas terus.. saya kan juga bisa jaga diri saya mbak..”
(R.1/W.2/b.1287-1310/h.32)
Sementara untuk masalah kesejahteraan, peneliti hanya mendapatkan data
dari orangtua Adek. Kedua orangtuanya menceritakan jika memang mereka tidak
dapat memberikan rasa sejatera yang berlebih, namun sampai saat ini Adek dan
seluruh saudaranya belum pernah merasakan bagaiamana rasanya kelaparan dan
kekurangan makan. Ayah dan ibunya selalu memberikan kecukupan untuk hal
tersebut. Selain itu menurut mereka, mereka selalu menyempatkan waktu untuk
berkumpul bersama dengan anak-anaknya setelah mereka selesai bekerja di
ladangnya. Terlebih untuk Adek, ayah dan ibunya selalu akan menyediakan waktu
mereka agar Adek merasa nyaman berada kembali ditengah-tengah keluarganya.
102
IV.A.3.ii. I Am
Meski mengalami trauma serta sempat mengurung diri setelah kembali
tinggal bersama keluarganya, Adek akhirnya kembali mampu untuk
mengembalikan kekuatan personalnya, hal itu terlihat dari beberapa sumber
resiliensi berikut ini :
IV.A.3.ii.a. Bangga Terhadap Diri Sendiri
Adek yang dulunya adalah primadona kampung tempat dia tinggal. Ia
merasa bangga atas semua yang dirinya miliki. Namun semuanya berubah setelah
ia menjadi korban prostitusi yang dijual oleh sabahatnya sendiri yaitu Mince.
Adek pun harus menerima kenyataan jika dirinya sudah menjadi korban
prostitusi dan dijual oleh sahabatnya sendiri. Rasa jijik terhadap diri sendiri dan
malu ketika bertemu orang banyak membuat Adek merasa orang lain juga
memiliki pandangan yang sama terhadap dirinya. Kondisi ini membuatnya
mengurung diri selama beberapa bulan setelah kepulangannya. Adek merasa jika
ada orang-orang yang memberikan perlakuan berbeda kepada dirinya setelah ia
menjadi korban prostitusi.
“ada sih mbak.. tapi gak terlalu nemonjol.. gak nampak.. mereka gak mau
liatin kalo sebenernya mereka mungkin jijik, gitu aja.. saya aja jijik dengan
diri saya sendiri mbak.. udah banyak diapa’in sama orang.. gimana lagi
orang.. perasaan saya kalo nenggok orang, mungkin orang jijik sama saya..
gitu”
(R.1/W.1/241-253/h.6-7)
Namun seiring berjalannya waktu dengan dukungan yang diterima baik
dari keluarga maupun dari lingkungan sosialnya, akhirnya Adek mampu
menerima keadaan dirinya yang telah menjadi korban prostitusi. Berkat adanya
dukungan semangat dari beberapa orang yang ia anggap penting akhirnya ia
103
paham jika memang harus menerima kondisinya saat ini. Menurutnya, bukannya
dirinya sendiri yang sudah mampu menerima kondisi Adek, tetapi keluarga serta
orang-orang dilingkungan rumahnya pun sudah dapt menerima keadaan dirinya,
hal tersebutlah yang mendorongnya untuk agar mampu meneriam kondisinya saat
ini.
“sekarang terima gak diterima ya harus diterima lah mbak..ya mau sampe
say jungkir balik tujuh keliling sama nangis darah darah keadaan saya
tetap kayak gini. Kalo saya aja gak bisa nerima keadaan saya sekarang
gimana orang lain mbak.. mbak dulu pertama-pertama jangankan orang,
saya aja jijik dengan diri saya sendiri.. tapi sekarang saya udah bisa nerima
keadaan ini..trus keluarga saya juga bisa nrima saya.. teman-teman saya
juga.. mereka aja udah bisa nerima kehadiran saya, knapa saya gak bisa
nerima keadaan diri saya sendiri..”
(R.1/W.2/b.1038-1060/h.26)
Adek mengatakan saat ini dirinya memang tidak pernah membiarkan
orang lain menghina atau bahkan memanfaatkan kondisinya. Adek mengatakan
dirinya akan melakukan suatu tindakan jika ada orang lain yang mengungkit-
ungkit masa lalunya dan menjadi hal tersebut sebagai bahan candaan.
“ya tergantung ngungkitnya itu gimana.. kalo Cuma buat ngejek ya saya
lemparlah mbak.. dulu itu mbak pertama-pertama datang anak-anak kecil
dengerin ibuk-ibuk gosip.. trus ngejek-ngejek gitu.. saya lempar pake
sendal..”
(R.1/W.1/b.648-656/h.16)
IV.A.3.ii.b. Disayang dan Disukai Orang Lain
Sejak awal, menurut teman-teman sebayanya Adek merupakan sosok yang
menyenangkan dan tidak pandang bulu jika berteman. Ia mau berteman dengan
siapa saja. Adek juga bukan orang yang gampang marah jika dirinya dijadikan
bahan untuk bercanda. Sampai saat ini menurut salah seorang temannya, Adek
masih tidak memilih-milih dalam bergaul, hanya saja dirinya kadang-kadang bisa
104
menjadi orang yang sensitif jika ditanya masalah pengalaman dirinya menjadi
korban prostitusi.
Adek pun mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh salah
satu temannya yang sempat diwawancara oleh peneliti. Adek mengaku jika
dirinya bukanlah orang yang jika bergaul akan memilih-milih orang untuk ia
jadikan temannya. Ia berteman dengan siapa saja. Ia juga mengaku memiliki
banyak teman, yang dikarenakan dirinya mau bergaul dengan siapa saja.
“..saya ini orangnya gak milih-milih kalo berteman mbak..kata orang-
orang sini saya itu ramah mbak..tapi kalo skarang ya mbak saya udah gak
banyak ngomong..takut saya mbak..saya biasanya dapat teman baru dari
teman-teman saya yang lama itu mbak..tukeran nomor HP, ato dari fesbuk
mbak,..”
(R.1/W.4/b.2288-2301/h.55)]
“..kalo teman saya banyak, mungkin karna saya gak milih-milih kalo
berteman ya mbak..jadi orang pun enak gitu dekat sama saya”
(R.1/W.4/b.2302-2312/h.56)
Meskipun mengaku memiliki banyak teman dan tidak ada perubahan
perilaku yang mencolok. Namun menurutnya, saat Adek saat ini lebih mengatur
tingkah laku ketika berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Dia lebih banyak
diam jika dibandingkan dengan dahulu. Adek tidak ingin jika dirinya bertingkah
berlebihan akan mengundang orang lain berkomentar tidak menyenangkan
tentang dirinya yang pernah menjadi korban prostitusi itu.
“ya kelakuan saya gak jauh beda mbak sama yang dulu, kalo saya rasa ya
mbak..cuman itu mbak, saya lebih pendiam lah skarang mbak, saya gak
mau nanti kalo betingkah berlebihan nanti ceritanya ntah apa-apalah..kalo
dulu saya agak-agak banyak cerita, kalo sama kawan sering buat lucu-lucu
saya mbak..skarang udah jarang mbak..ya saya tau diri mbak..tapi kalo
kata kawan-kawan gak ada saya itu gak enak mbak..gak tau knapa
mbak..tapi saya juga jaga-jaga dirilah mbak kalo lagi sama kawan mbak”
(R.1/W/4/b.2400-2424/h.58)
105
Ketika Adek sedang terlibat masalah dengan temannya, Adek
mengungkapkan jika dia akan meminta maaf kepada temannya tersebut, ia tidak
ingin hubungannya menjadi buruk hanya karena masalah yang sepele.
“Saya tanyain kalo saya salah ya saya minta maaf. Saya biasanya gitu
mbak. Kalo misalnya dia gak mau temanan lagi ya masa mau saya paksa
mbak. Pokoknya saya minta maaf mbak kalo saya salah, gak salah pun
saya minta maaf.”
(R.1/W.4/b.2204-2214/h.53-54)
IV.A.3.ii.c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap
Meskipun sempat mengalami keterpurukan karena pengalaman yang ia
alami sebagai korban eksploitasi seksual komersil sempat membuatnya tidak mau
membuka diri untuk kembali bergaul. Meskipun saat ini dirinya belum diizinkan
untuk menjalin hubungan serius dengan seorang laki-laki, tetapi tidak menutup
kemungkinan jika suatu saat nanti Adek akan menjalin hubungan serius dengan
laki-laki yang mampu menerima keadaan dirinya. Namun Adek juga tidak
memaksa jika laki-laki yang akan menjadi pasangannya kelak tidak dapat
menerima kenyataan dirinya pernah menjadi korban prostitusi.
“..belum mbak..tapi ya gimana ya..sapa tau kan ada yang masih mau sama
saya..saya ya gak papa”
(R.1/W.1/b.339-343/h.9)
“saya kan juga perempuan mbak..dulu memang udah begitu..tapi kan ggak
ada ikatan mbak..lagian gak sama satu laki-laki kmarin kan mbak, maunya
sama satu aja”
(R.1/W.1/b.346-353/h.9)
“ya udah gak papa mbak..masih ada yang lain kok mbak yang mungkin
mau nrima keadaan saya ini”
(R.1/W.2/b.1106-1111/h.27)
106
Adek terus meyakinkan dirinya jika masih ada lelaki yang bersedia
menerima keadaan dirinya yang pernah menjadi korban eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi. Adek mengatakan jika ia akan jujur tentang keadaan
dirinya, kepada calon pendampingnya kelak. Adek tidak ingin menutup-nutupi hal
tersebut karena menurutnya itu akan berakibat fatal dan akan mengecewakan
dirinya dan calon pasangannya.
“Iya lah mbak, itu harus saya lakuin, nanti kalo nikah tau-tau ketahuan gak
perawan kan susah mbak. Iya jujur mbak, makanya susah mbak nyarik
orang yang mau nrima keadaan diri saya ini apa adanya mbak, badan udah
didempulin sama gak satu orang mbak..”
(R.1/W.2/b.1090-1102/h.27)
Meskipun ia memiliki masa lalu yang kelam, menjadi pekerja seks
komersil selama kurang lebih satu tahun. Ia berusaha untuk tidak terus terpuruk,
walaupun ia mengaku tidak akan pernah melupakan kejadian tersebut sampai
kapan pun, tetapi ia percaya ia bisa bangkit dari keadaan itu. Beruntung dirinya
mendapat dukungan serta di terima kembali di lingkungan sosialnya membuatnya
kembali bisa beranjak dari masa kelamnya.
“Saya merenung lah mbak, merenungin kesialan saya kok bisa ketemu
sama temen laknat kaya begitu. Trus doa, sama jalanin aja mbak. Yang
kayak begitu mana bisa dilupain mbak sampe mati, tetap ingat terus, wong
pengalaman menyakitkan. Tapi saya berusaha gak terus-terus terpuruk
dengan keadaan saya itu mbak. Ya alhamdulilah dengan nasehat, trus
diterima orang-orang dikampung saya bisa bangkit mbak.”
(R.1/W.2/b.1144-1162/h.29)
Agar tidak terus menerus teringat pada kejadian masa lalu yang
menimpanya, Adek berusaha mencari kesibukan di luar rumahnya. Ia membantu
tetangganya berjualan di warung depan rumahnya. Ia juga mengatakan dirinya
optimis dengan masa depannya nanti, karena dirinya masih muda dan masih
107
memiliki banyak sekali impian serta peluang untuk meraih masa depan yang
cerah.
Saat ini Adek berharap dapat membantu biaya sekolah adik-adiknya dari
uang yang ia peroleh dari hasi keringatnya sendiri. Adek juga berharap dirinya
dapat kembali melanjutkan pendidikannya ke jenjang yan lebih tinggi lagi. Tetapi
meski keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
tidak dapat terwujud, dirinya berniat untuk mengikuti kursus menjahit. Untuk
mewujudkan niatnya tersebut, ia mengaku saat ini dirinya juga sudah membantu
tetangganya yang membuka usaha menjahit pakaian. Tujuan Adek melakukan hal
itu tidak lain adalah untuk menambah pengalaman serta menambah
penghasilannya agar ia dapat membantu meringankan beban ekonomi
orangtuanya.
“Pertama mbak saya berusaha ngelupain masa lalu saya itu mbak. Trus
saya nyoba cari kesibukan gitu mbak, saya ngebantu orang diwarung
depan itu lho mbak, bantu jual-jual. Saya optimis dengan masa depan saya
mbak, karna kata ibuk saya, saya masih banyak peluang mbak..”
(R.1/W.2/b.1343-1355/h.33)
“alhamdulilah kali lah mbak.. makanya sekarang saya mau hidup baik-
baik aja..bantu adik-adik dengan uang yang yang baik-baik juga dari
keringat saya mbak”
(R.1/W.3/b.1963-1968/h.47)
“Saya pengennya sih mbak, kalo ada rezeki bapak sama ibuk mbak saya
pengennya kursus ato kuliah mbak. Itu juga kalo ada rezeki mbak, kalo
enggak ya udahlah mbak, gini aja bantuin adek-adek sekolah aja.”
(R.1/W.2/b.1266-1271/h.33)
“Saya punya rencana ni mbak ya, kursus jahit mbak, gak usah sampe
kuliah, bapak gak ada biaya, nanti kalo ada rezeki bisa buka kios jahit
mbak. Skarang saya lagi bantú-bantu jugak masang-masang payet mbak.
Ya bisa bantú adek-adek lah mbak.”
(R.1/W.4/b.2452-2461/h.59)
108
IV.A.3.ii.d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
Pengalaman menjadi korban prostitusi rupanya membuat Adek menjadi
semakin memiliki rasa empati dan peduli terhadap sesamanya. Hal tersebut
menurut ibunya yang dahulu belum kelihatan didalam diri sang anak. Apalagi saat
ini, anaknya tersebut sering dijadikan tempat mencurahkan isi hati beberapa orang
teman sebayanya. Adek mengaku jika dirinya akan berusaha menolong seseorang
yang meminta pertolongan kepadanya. Ia merasa kasihan dan sedih jika ia mampu
menolong namun tidak ia laksanakan. Adek mengatakan jika sama sekali dirinya
tidak mengharapkan imbalan apapun ketika menolong orang lain yang sedang
kesusahan. Sikap empatinya pun ia perlihatkan sewaktu Adek tidak ingin
membuat saudara kandnungnya kerepotan dengan masalah yang dirinya hadapi,
sehingga ia memilih untuk tidak membuat saudara kandungnya tersebut ikut larut
didalam masalah yang sedang ia hadapi.
“..kalo ada teman yang lagi susah ya mbak, kalo saya bisa ya saya bantuin
mbak..kasian..soalnya saya juga susah..saya nolong gitu gak dia yang
balas mbak..Allah nanti..gitu aja saya kalo temanan mbak, gak itung-
itungan..”
(R.1/W.4/b.2302-2312/h.56)
“abang kan udah nikah mbak, udah punya urusan sendiri. Nanti istrinya
marah sama saya. Saya pun gak maulah nyusahkan abang saya dengan
masalah saya mbak. Jadi ya saya simpan aja sendiri mbak. Sekali-sekali
saya cerita juga sih mbak”
(R.1/W.4/b.2172-2183/h.53)
“Saya gak mau nyusahin ibuk sama bapak mbak, nanti cerita saya malah
bikin mereka sedih. Sebisa saya masalah saya ya saya selesaikan sendiri
mbak. Ada batas-batasnya mbak, mana yang bisa saya ceritain, mana yang
saya rasa gak bisa mbak. Gitu mbak.”
(R.1/W.4/b.2382-2393/h.57)
109
Akan tetapi Adek mengaku akan meminta maaf jika ia tidak mampu
memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan jika ia memang
merasa tidak sanggup untuk melakukan apa yang diminta oleh orang tersebut.
Saat ini, ada beberapa orang temannya yang mencurahkan isi hatinya ketika
sedang mengalami masalah kepada Adek. Hanya saja Adek mengaku dirinya
hanya bisa menjadi pendengar yang baik, sama sekali Adek tidak pernah
memberikan saran ataupun nasihat kepada temna-teman sebayanya itu.
“Sebisa saya ya saya bantu mbak, masak orang mintak bantuan terus saya
bisa bantu tapi gak saya tolongin. Tapi kalo saya gak bisa bantu ya saya
minta maaf mbak. Ada mbak, temen-temen yang curhat sama saya, tapi ya
saya cuma jadi pendengar aja mbak, saya gak berani ngasih nasehat, saya
takut salah ngucap mbak. Nanti jadi masalah mbak.”
(R.1/W.2/b.1416-1428/h.35)
Meskipun mengaku akan menolong orang yang kesulitan, rupanya kalimat
tersebut tidak berlaku untuk orang-orang yang pernah menghina-hina keadaan
dirinya. Meskipun mengaku selalu mencoba bersabar, tetapi tidak mengubah
pendiriannya untuk tetap tidak menolong orang-orang yang demikian.
“Ya saya coba sabar aja mbak, tapi dia udah jelek-jelekin saya sapa yang
bantú (responden menjawab sambil tertawa), ya emoh saya nolongin kalo
gitu mbak.”
(R.1/W.2/b.1435-1441/h.35)
Sikap empati dan peduli dirinya juga diperlihatkan Adek ketika melihat
kondisi kedua orangtuanya. Paham dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh
ayah dan ibunya, Adek yang tadinya ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi mengurungkan niatnya karena melihat keterbatasan ekonomi
yang mereka alami, ia tidak ingin ssemakin menyusahkan kedua orangtuanya
dengan keinginannya. Bahkan Adek turut membantu meringankan bebab ekonomi
110
tersebut dengan bekerja diwarung tetangganya. Adek juga ingin membantu biaya
sekolah keeampat adik-adiknya.
“bantuin aja, tetangga diwarung mungkin buat tambahan gitu aja
mbak..adek masih ada dibawahku kan mbak..untuk ngurusin ke batam, ke
batam bapak sama abang aja udah keluar duit..makanya aku
bingung..bukannya tambah bantú, malah tambahin biaya aku..”
(R.1/W.1/b.514-524/h.13)
IV.A.3.ii.e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan
Menerima Konsekuensinya
Mengaku sudah dapat bertanggungjawab terhadap diri sendiri, Adek
meceritakan tanggungjawab seperti apa yang ia maksud. Mulai dari memikirkan
secara matang efek positif dan negatif dari suatu perbuatan yang ia lakukan. Ia
tidak ingin kesalahannya dalam berperilaku memberikan efek buruk kepada
dirinya sendiri. Ia juga memberikan contoh tanggungjawab yang ia maksud, serta
memberikan perbandingan perilaku tanggungjawab dirinya sebelum dan setelah ia
menjadi korban eksploitasi seksual komersil.
“Kalo sekarang sebisa mungkin saya memikir panjang dulu mbak sebelum
saya berbuat sesuatu, apa baik buruknya untuk diri saya. Saya gak mau
mbak karna perbuatan saya sendiri saya sakit lagi, malu mbak. Nanti
cibiran orang kampung lebih banyak lagi. Misalnya mbak, saya jaga
diwarung depan kalo ada barang yang hilang itu kan menjadi tanggung
jawab saya, ya saya lebih baik ganti pake uang saya sendiri mbak,
daripada nanti yang punya warung marah-marah sama saya mbak. Kalo
dulu paling kalo udah salah ya saya lari mbak. Ato nyarik alasan yang buat
supaya saya gak nampak salahnya.”
(R.1/W.2/b.1383-1409/h.34)
Merasa sudah dapat mengambil keputusan sendiri dan siap menerima
akibat dari keputasan yang ia ambil, jika keputusan itu salah. Ia mengatakan jika
ia memang selalu memkirkan hal baik dan buruk dari keputusan yang ia ambil.
111
Dah siap dengan konsekuensinya jika ternyata keputusan yang ia rasa benar itu
ternyata salah. Namun dalam hal tersebut, ia mengaku juga melibatkan kedua
orangtuanya. Hanya sebatas meminta pendapat orangtuanya, dan keputusan Adek
sendirilah yang menentukan.
“Ya saya kan tau mana yang baik mbak, buat saya.. ya Saya pasti mikirlah
mbak sebelum ngambil keputusan untuk saya sendiri. Lah kalo masih
salah juga, ya derita saya berarti mbak, mau gak mau ya harus saya terima.
Harus saya tanggungjawabkan, seperti yang saya bilang dulu sama mbak.
Tapi ya saya pasti juga dengar pendapat ibuk sama bapak lah mbak.”
(R.1/W.3/b.2017-2033/h.49)
IV.A.3.iii. I Can
Setelah kembali tinggal bersama keluarganya, kemampuan sosial dan
interpersonal Adek mengalami perubahan, meskipun lingkungan sosialnya
memberikan ruang gerak dan memberikan dukungan kepada Adek, hal tersebut
terlihat dari sumber-sumber resiliensi yang di miliki Adek dan yang berhasil di
kembangkannya.
IV.A.3.iii.a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam
Berkomunikasi
Jika sebelumnya Adek merupakan anak yang terbuka dan bisa
memberitahu perasaannya kepada orang lain,tetapi menurut ibunya setelah
kembali dari kota B Adek menjadi seorang anak yang enggan untuk
mengutarakan perasaan serta pikirannya kepada orang lain. Menurut sang ibu,
anaknya lebih suka berdiam diri saat berkumpul bersama dan enggan untuk
mengatakan perasaannya kepada orang yang berada disekitarnya. Saat ini menurut
Adek, diam dan mengontrol kata-kata yang keluar dari bibirnya merupakan hal
112
yang paling baik untuk ia lakukan. Pasalnya, Adek tidak ingin mengundang
sindiran dari orang lain jika ia berkata-kata terlalu banyak, meskipun tujuannya
hanya untuk mengungkapkan pikiran serta perasaannya.
“setelah kejadian ini ya diemlah mbak..jarang mau ungkapkan pendapat
gitu..takutnya nanti dibilang halah udah gini aja kok (Adek memberikan
kode) gitu..takutnya cuman enggak sih memang..tapi perasaan masi hada,
kecil hati gitu lho mbak..”
(R.1/W.1/b.838-848/h.20)
“Hehmm.. namanya juga orang yang dah buat salah kan (responden
tertunduk). Kesalahan yang dibuatkan orang, nanti ngasih pendapat dikit
aja, dibilang halah bekas aja.. jadi sakit, takut. Masih takut aja mbak..”
(R.1/W.1/b.852-859/h.21)
Adek juga tidak berani untuk mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan
kepada orang lain, dirinya perasaan sedih dan kecewanya ia sembunyikan didalam
hatinya dan hanya menangis ketika hatinya sudah tak dapat lagi menahan perasaan
tersebut. rasa takut karena latar belakang masalahnya serta rasa takut akan
komentar yang ditimbulkan, membuat Adek memilih untuk berdiam diri dan
menyimpan perasaannya rapat-rapat, hanya untuk dirinya.
“..saya udah gak brani ngasih tau yang gimana-gimana untuk di dengerin
ke orang gitu mbak..gak percaya mbak..”
(R.1/W.1/b.389-393/h.10)
“iya itu aja sih mbak..saya gak seterbuka dulu kalo buat apa-apa, ngomong
enggak..udah cukuplah mbak..sakit..”
(R.1/W.1/b.616-619/h.15)
“takut gak diterima mbak..selama ini saya kalo sedih cuman diem aja,
nangis dikamar..karna saya takut orang gak bisa ngerti perasaan saya
mbak..makanya cuman saya pendam aja..”
(R.1/W.2/b.1275-1282/h.31-32)
113
IV.A.3.iii.b. Menjalin Hubungan yang Saling Mempercayai
Adek mampu menjalin hubungan yang saling mempercayai denga kedua
orangtuanya. Dimana Adek selalu mengajak ayah dan ibunya untuk berdiskusi
mengenai masalah yang sedang ia alami. Kedua orangtuanya pun selalu
menyediakan waktu berdiskusi dengan Adek untuk membantu Adek mencari
solusi dari masalah yang sedang ia hadapi. Meskipun selalu melibatkan ayah dan
ibunya untuk berdiskusi, namun Adek tetap dirinya sendiri yang mengambil
keputusan untuk masalahnya tersebut.
“ya saya cerita ke bapak ato ibuk dulu mbak.. gimana yang baiknya.. tapi
keputusan ya tetap saya yang ambil”
(R.1/W.4/b.2221-2230/h.54)
Dengan adanya hubungan yang saling percaya diantara Adek dan
orangtuanya, Adek juga menuruti nasihat ibunya yang menyarankan kepada
dirinya untuk tidak menjalin hubungan asmara terlebih dahulu dengan seorang
pria. Alasannya, orangtua Adek masih meraa takut jika orang-orang tersebut
hanya ingin memanfaatkan kondisi Adek sendiri.
“selama setahun ini ya ada mbak.. tapi gak brani.. lagian kata orang ibuk,
orang bapak belum lah.. jangan.. natik takunya cuman mau apa aja gitu”
(R.1/W.1/b.357-363/h.9)
Meskipun lingkungannya sudah menerima Adek dan kembali mengajak
Adek untuk membaur, namun Adek hanya mampu menjalin hubungan yang saling
percaya dengan kedua orangtuanya saja. Adek pun mengeluarkan alasan klasiknya
ketika ia mengungkapkan alasannya mengapa ia hanya mampu menjalin
hubungan saling percaya dengan kedua orangtuanya.
114
“karna kan gak mungkin ibuk saya jual saya..”
(R.1/W.1/b.409-411/h.10)
Sementara itu, ibunya menjelaskan Adek walaupun menjadi orang terdekat
Adek saat ini, Adek jarang sekali meminta pertolongan kepada mereka. Adek
biasa selalu mengerjakan atau pu menyelesaikan permasalahan yang ia alami
sendiri. Hanya saja, Adek terkadang mendatangi mereka dan mengajak ayah dan
ibunya untuk berdiskusi. Selain itu Adek jarang sekali untuk meminta
pertolongan. Menurut ibunya, sang anak tidak ingin merepotkan orang lain dalam
masalah yang ia hadapi.
IV.A.3.iii.c. Mampu Mengelola Perasaan
Beberapa bulan pertama setelah Adek kembali tinggal bersama
keluarganya, ibunya mengatakan Adek tidak mampu untuk mengelola perasaanya.
Adek selalu menangis dan mengurung dirinya di kamar. Adek juga sempat
ketakutan jika di tinggal sendirian di rumah. Menurut ibunya, Adek juga akan
menangis jika dirinya di tanya tentang pengalaman selama menjadi korban
prostitusi. Berkat bantuan semangat dan nasihat serta perhatian dan kasih sayang
dari keluarga dan warga sekitar tempat tinggalnya, Adek akhirnya mampu
melewati masa tersebut.
“Saya tanyain kalo saya salah ya saya minta maaf. Saya biasanya gitu
mbak. Kalo misalnya dia gak mau temanan lagi ya masa mau saya paksa
mbak. Pokoknya saya minta maaf mbak kalo saya salah, gak salah pun
saya minta maaf.”
(R.1/W.4/b.2204-2214/h.53-54)
Hanya saja Adek tidak dapat mengontrol perasaannya ketika ada orang
yang mengungkit masa lalunya. Apa lagi ketika orang itu menjadikan hal tersebut
115
bahan olok-olokan. Ia langsung merasa emosi dan tidak segan menggunakan
kekerasan kepada orang yang menghina keadaan dirinya itu. Ketidakmampuannya
mengelola perasaan juga ia perlihatkan kepada Mince, sahabatnya yang telah
menjerumuskannya ke dalam dunia prostitusi. Ia menggunakan sebutan “kampret”
ketika menyebut namanya, serta berjanji akan menyelesaikan masalah tersebut
secara pribadi.
“Ya tergantung ngungkitnya itu gimana, kalo cuma buat ngejek ya saya
lemparlah mbak. Dulu itu mbak, pertama-pertama datang anak-anak kecil
dengerin ibuk-ibuk gosip, trus ngejek-ngejek gitu. Saya lempar pake
sendal. Mungkin berdarah trus minta uang ke bapak (responden tertawa),
untung mbak gak saya lempar (responden kembali tertawa).”
(R.1/W.1/b.648-662/h.16)
Adek mengaku sedih jika ia diminta untuk kembali mengulas cerita
tentang masa lalunya yang suram. Adek menegaskan ia ingin melupakan kejadian
yang sempat membuatnya terpuruk tersebut. Ia tidak ingin pengalamannya hanya
dijadikan bahan tertawaan oleh orang-orang yang tidak mengetahui bagaimana
perasaan hatinya saat dijeblos paksa ke dalam dunia prostitusi. Namun, ia akan
bercerita mengenai pengalamannya jika ceritanya tersebut dapat membantu orang
lain agar tidak mengalami hal yang serupa dengan dirinya.
“sebenernya sedih sih mbak..karna udah gak pengen inget lagi. Pengen
dilupain mbak..tapi kalo kayak mbak kan namanya juga saling memabantu
kita kan..tapi kalo temen-temen yang lain cuman bisa ngejek ya udah doa
smoga dia ato keluarganya gak ngerasain apa yang saya rasain mbak..”
(R.1/W.1/b.577-590/h.16)
IV.A.3.iii.d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
Untuk beberapa hal dan masalah yang di hadapinya, menurut Adek dirinya
mampu mampu memahami temperamen dirinya sendiri serta dapat juga melihat
116
apa yang orang lain rasakan. Misalnya ia mampu menahan perilakunya terhadap
kakaknya dan berusaha meminta maaf untuk memperbaiki hubungan mereka.
Hanya saja sampai saat ini sang kakaklah yang menurutnya selalu menghindar
jika dirinya mendatangi rumah kakaknya itu. Ia juga mampu mengelola
perasaannya ketika sedang terlibat masalah dengan teman-teman sebayanya. Ia
bersedia meminta maaf, baik dirinya memang bersalah ataupun tidak.
“Saya mau mbak, cuma dia itu yang ngelak aja terus kalo ketemu saya.
Pernah saya sama abang, datang kerumahnya, pas itu anaknya sakit, ehh
saya malah direpeti (dimarahin) mbak. Padahal kan dia yang salah, dia
yang mau ngambil uang sosial untuk saya. Tapi ya udahlah saya udah
maapin kakak saya juga mbak.”
(R.1/W.4/b.2052-2066/h.50-51)
Adek mengatakan tidak masalah jika ada orang-orang diluar keluarganya
yang malah menceritakan keadaannya dan bukan malah mendukung dirinya. Adek
merasa jika ia sudah banyak mendapat dukungan, dan tidak masalah untuknya jika
masi hada orang yang hanya menjadikan dirinya sebagai bahan ceritaan. Untuk
hal lainnya, ternyata belum mampu memahami temperamen dirinya sendiri. Ia
masih memperlihatkan emosinya yang meletup ketika berbicara mengenai Mince,
sahabatnya yang telah menjual dirinya. Ia mengatakan akan menyelesaikan
masalah mereka secara pribadi, jika dirinya bertemu dengan Mince.
“..adalah satu dua orang yang ngomongin dibelakang gitu kan..tapi saya
gak ambil pusing..yang penting banyak yang dukung saya..”
(R.1/W.1/b.323-328/h.8)
“..langsung saya gampar mbak..saya gampar..kalo ketemu saya selesaikan
secara pribadilah mbak, saya gampar..kalo bisa saya bunuh mbak..udah
hancur masa depan saya dibuatnya..”
(R.1/W.2/b.928-935/h.23)
117
Ketika disinggung mengenai sahabatnya yang telah menjual dirinya,
terlihat responden langsung bereaksi dengan nada keras. Ia menegaskan jika
dirnya hingga saat ini belum mampu untuk memaafkan orang-orang yang telah
menjerumuskannya ke dalam lembah prostitus. Menurutnya, apapun hukuman
yang diberikan kepada orang-orang tersebut tidak akan pernah membuat hatinya
puas. Ia juga tidak menginginkan remaja yang menjadi korban prostitusi jatuh
lebih banyak lagi.
“ya belom lah mbak.. memangnya mudah maapin orang yang udah buat
saya rusak..lama lagi lah itu mbak..sampe mati gak bisa saya maapkannya
mbak.. mbak juga kalo kejadiannya sama kaya saya belom tentu mbak
maafkan..”
(R.1/W/.4/b.2156-2165/h.52-53)
“seumur hidupnya ato dihukum mati juga saya gak puas mbak..gak
puas..apalagi si kampret gak dihukum juga sampe sekarang..saya takut
mbak, berapa perempuan yang jadi korbannya, diajak kerja..gak taunya
kerjanya melacur..benar ya mbak, kalo saya ketemu si kampret itu, saya
bunuh dia..”
(R.1/W.3/b.2072-2084/h.50)
IV.A.3.iii.e. Mampu Memecahkan Masalah
Orangtua Adek mengatakan jika mereka selalu mendukung sang anak
dalam menghadapi setiap masalah yang ia alami. Meskipun tetap Adek yang
mengambil keputusan untuk setiap masalahnya, namun orangtuanya mengaku
selalu mendukung keputusan yang Adek ambil. Tetapi menurut Adek terkadang
dirinya hanya menyimpan masalah yang ia hadapi didalam hatinya saja, tanpa
membiarkan orang lain mengetahui masalah yang ia alami, apa lagi
membantunya. Pada situasi saat ini, menurut Adek dirinya lebih sering
menyimpan masalahnya di dalam hatinya saja.
118
“takut gak diterima mbak..selama ini saya kalo sedih cuman diem aja,
nangis dikamar..karna saya takut orang gak bisa ngerti perasaan saya
mbak..makanya cuman saya pendam aja..”
(R.1/W.2/b.1275-1282/h.31-32)
Dengan dukungan yang diperolehnya dari orang-orang sekitanya, Adek
kembali menapaki hari-harinya bersama dengan keluarga dan orang-orang
dilingkungan sosialnya. Rasa percaya yang telah diberikan kepada dirinya mampu
menjadikan Adek bangkit kembali dari keterpurukannya dan menjalani kembali
hari-harinya dengan membantu tetangganya berjualan diwarung. Adek mengaku
selama dirinya bekerja membantu tetangganya berjualan diwarungnya, tidak
sekali dua kali masalah menimpanya. Akan tetapi ia tetap bertanggung jawab atas
pekerjaan dirinya diwarung itu. Selama bekerja membantu tetangganya, Adek
selalu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Bahkan ketika ia harus
menganti barang yang hilang.
“..misalnya mbak, saya jaga diwarung depan kalo ada barang yang hilang
itu kan menjadi tanggung jawab saya..ya saya lebih baik ganti pake uang
saya sendiri mbak..daripada nanti yang punya warung marah-marah sama
saya mbak..”
(R.1/W.2/b.1394-1404/h.34)
Berbeda dengan yang dahulu, sebelum ia menjadi korban prostitusi. Adek
akan memilih melarikan diri ketika ia mendapat masalah. Ataupu mencari alasan
agar dirinya terbebas dari tanggung jawab yang harus ia hadapi.
“..kalo dulu paling kalo udah salah ya saya lari mbak..ato nyarik alasan
yang buat supaya saya gak nampak salahnya”
(R.1/W.2/b.1404-1409/h.34)
Adek juga selalu berusaha untuk selalu bersikap objektif ketika ia sedang
mengalami masalah dengan teman sebayanya. Adek berusaha untuk
menyelesaikan permasalah tersebut dengan cara yang baik. Adek ingin semua
119
masalah yang ia alami dengan teman sebayang berakhir dengan cara yang baik,
sehingga ia selalu meminta maaf jika memang dirinya bersalah.
“..sebisanya ya saya selesaikan baik-baik dulu lah mbak..pokoknya saya
selesaikan baik-baik..trus saya tanya salah saya apa..ato ada tingkah saya
yang gak enak..biar tuntas gitu mbak..kan gak bagus mbak kalo saya yang
salah tapi saya sok gak salah..”
(R.1/W.4/b.2350-2363/h.57)
IV.A.4. Interpretasi Data
IV.A.4.i. I Have
Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan sumber
resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya
dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Dimana Adek
memperoleh dukungan tersebut dengan baik, dari orang tua serta anggota
keluaarga lainnya. Selain dari dukungan dari keluarganya, Adek juga memperoleh
dukungan dari orang dewasa serta teman-teman sebayanya di lingkungan
sosialnya. Adek diberi ruang untuk dapat kembali membaur bersama-sama dengan
orang-orang dilingkungan sosialnya. Dukungan tersebut dapat terlihat dari
sumber-sumber yang mempengaruhi pencapaian resiliensi Adek, yaitu :
IV.A.4.i.a. Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan
Grotberg (2000) menyatakan dukungan ini berupa hubungan yang baik
dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan
dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang merasa memiliki
hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua,
anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri
remaja tersebut.
120
Sumber dukungan pertama yang diperoleh Adek berasal dari keluarganya.
Orangtuanya selalu memberikan semangat serta dukungan untuk Adek agar
kembali mampu menjadi remaja yang tidak terpuruk setelah menjadi korban
ekploitasi seksual komersil sektor prostitusi. Dukungan ini sangat membantu
Adek untuk kembali bangun dari rasa terpuruk. Selain itu, dukungan yang ia
peroleh dari keluarganya membuat Adek dapat mengembangkan hubungan penuh
kepercayaan dengan keluarganya, terutama ayah dan ibunya.
Alhasil, dengan hubungan seperti itu Adek mampu menceritakan keluh
kesahnya kepada orangtuanya, meskipun Adek tetap memilah masalah yang akan
ia ceritakan dan diskusikan dengan orangtuanya. Kedua orang tua Adek juga
memberika hal yang sama, yaitu selalu siap membantu ketika Adek mengalami
masalah yang pelik.
Jika Adek berhasil membangun hubungan penuh kepercayaan dengan
kedua orangtuanya, berbeda halnya dengan orang di lingkungan sosialnya. Meski
lingkungan sosialnya pun memberikan dukungan dan menerima dirinya kembali,
namun Adek belum mampu untuk membangun hubungan yang dilandasi rasa
percaya dengan orang di lingkungan sosialnya. Meskipun sudah kembali bergaul
dan kembali memiliki aktifitas sosial, akan tetapi Adek hingga saat ini masih
merasa takut untuk mempercayai orang lain selain orang tuanya.
IV.A.4.i.b. Struktur dan Peraturan di Rumah
Grotberg (2000) mengatakan Individu yang resilien juga mempunyai
struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para
orang tua berharap bahwa anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada.
121
Remaja juga akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka
lakukan dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan,
mereka butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan
jika perlu menerapkan hukuman. Struktur dan aturan dirumah Adek cukup jelas di
berlakukan kepadaAdek. Aturan tersebut dibuat agar Adek tidak lagi mengalami
masalah yang sama dengan kejadian yang pernah ia alami sebelunya.
Beberapa peraturan dirumah yang telah ditetapkan ayah dan ibunya untuk
dipatuhi oleh Adek, yaitu Adek diminta untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang
tidak diinginkan. Kedua orangtua Adek pun tidak pernah menggunakan hukuman
fisik untuk memberikan efek jera kepada Adek ketika dirinya ketika Adek tidak
mematuhi aturan yang diberlakukan oleh kedua orangtuanya. Orangtuanya hanya
memberikan nasihat kepada Adek agar tidak kembali jatuh dilubang yang sama.
Seakan paham dengan maksud ayah dan ibunya, hingga saat ini Adek belum
pernah melanggar aturan yang ditetap oleh kedua orangtuanya. Meskipun disisi
lain Adek mengaku kurang menyukai aturan yang diterapkan oleh ayah dan
ibunya kepada dirinya tetapi dirinya paham akan bahaya yang mungkin terjadi
jika ia tidak mengindahkan apa yang telah ayah dan ibunya terapkan untuk
dipatuhi.
IV.A.4.i.c. Dorongan Untuk Mandiri
Grotberg (2000) mengungkapkan jika individu yang resilien juga
memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan
berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh
orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu dalam
122
membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta
melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk
mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.
Sempat mengalami keterpurukan dan menjadi bergantung dengan orang
lain, membuat Adek tidak berani memperlihatkan dirinya dihadapan orang
banyak. Perasaan malu karena pernah menyelami dunia prostitusi menjadikan
Adek tidak berperilaku seperti dahulu. Tetapi berkat dukungan serta semangat
dari kedua orangtuanya membuat Adek mampu bangkit serta mandiri dan mampu
memiliki sikap atas dirinya sendiri. Ia berusaha untuk tetap memegang kendali
atas persoalan yang sedang ia hadapi. Namun tetap menjadikan ayah dan ibunya
sebagai tokoh penting dalam mendiskusikan permasalahannya tersebut.
Merasa masih bertanggung jawab terhadap Adek, terkadang sang ibu
selalu mencampuri permasalahan anaknya itu, sehingga terkadang timbul
pertengkaran diantara keduanya. Adek akhirnya harus menjelaskan kepada kedua
orangtuanya jika dirinya mengetahui baik dan buruk keputusan yang ia ambil atas
masalah yang sedang ia alami. Dengan demikian, Adek harus menghasilkan
keputusan terbaik untuk dirinya dengan cara memikirkan apa yang baik dan buruk
dari keputusan yang diambilnya.
IV.A.4.i.d. Role Models
Grotberg (2000) mengatakan Individu yang resilien mempunyai orang-
orang yang dapat menunjukkan apa yang harus remaja lakukan seperti mencari
informasi terhadap sesuatu dan memberikan semangat agar remaja mengikutinya.
Selain mendapat dukungan moral dari kedua orangtuanya, ayah dan ibunya juga
123
memberikan modeling kepada Adek, dan berharap Adek dapat mengikutinya.
Hanya saja, ada peran yang diperlihatkan orangtuanya kepada Adek tidak mampu
ia lakukan. Dimana kedua orangtuanya mengajarkan kepada Adek agar
memaafkan orang yang telah menjerumuskannya kedalam dunia prostitusi. Adek
sendiri hingga saat ini belum mampu memberi maaf kepada orang-orang yang
telah membuatnya menjadi pelacur, termasuk sahabatnya sendiri Mince. Serta
mengajarkan Adek, untuk tidak merasa malu walaupun dirinya dahulu pernah
bekerja sebagai pekerja seks komersial.
Modeling lainnya yang menonjol dan diajarkan kepada Adek adalah sikap
pekerja keras serta religiusitas yang dimiliki oleh orangtuanya. Untuk dua hal
tersebut, Adek dapat mengikutinya dengan baik. Selain dari kedua orangtuanya
Adek juga memperoleh modeling dari lingkungan sekitarnya pun memberikan
role models yang baik kepada Adek, dimana Adek dapat diterima, diberikan ruang
kembali untuk bersama lagi melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang ada dan
diberikan rasa percaya dalam melakukan aktifitas sosialnya. Dengan keadaan
demikian, Adek dengan cepat dapat kembali membaur serta memulihkan rasa
takutnya untuk bertemu dengan orang-orang dari lingkungan sosialnya. Serta
mampu melewati hari-harinya tanpa rasa malu da takut.
IV.A.4.i.e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan
Kesejahteraan
Grotberg (2000) mengatakan Individu yang resilien juga akan
mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan
dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan
124
rasa percaya diri dalam diri remaja. Setelah Adek kembali dari kota B,
orangtuanya langsung memberikan dirinya layanan kesehatan dengan
memeriksakan kondisi anaknya tersebut ke rumah sakit. Hal tersebut dilakukan
orangtua Adek untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan anaknya, agar
dapat diambil langkah selanjutnya jika hasil memunjukkan Adek menderita suatu
penyakit tertentu.
Untuk layanan pendidikan, walaupun Adek berkeinginan untuk dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun orangtuanya tetap
tidak mampu memberikan layanan seperti yang dirinya harapkan. Kondisi
ekonomi yang kurang mendukung, membuat Adek harus menelan keinginannya
untuk melanjutkan pendidikannya. Bahkan Adek harus ikut membantu menopang
keadaan ekonomi keluarganya dengan bekerja membantu tetangganya berjualan
diwarung millik tetangganya tersebut. Akan tetapi, Adek masih berharap dirinya
bisa melanjutkan pendidikan kembali.
Demikian halnya dengan rasa keamanan yang harus diberi kepada Adek,
meski mengaku merasa aman karen selalu ditemani oleh salah satu anggota
keluarganya jika akan bepergian. Adek mengaku terkadang merasa terkekang
karena adanya aturan itu. Adek mengatakan jika dirinya ingin berkumpul bersama
dengan teman-teman sebayanya. Dengan adanya aturan yang ia rasa
mengekangnya, Adek hanya bisa berkumpul dengan teman-temannya di warung
depan rumahnya. Dan tidak dibiarkan pergi ika alasannya tidak jelas.
Untuk masalah kesejahteraan, kedua orangtua Adek berusaha untuk
membuat Adek merasa nyaman kembali tinggal bersama mereka. Kedua
125
orangtuanya selalu mendukung dan menyediakan waktu yang lebih bagi Adek,
selalu membantu Adek jika Adek memiliki masalah dan sedang dalam kesulitan,
orangtua Adek tetap memberikan kasih dan sayangnya kepada Adek agar Adek
merasa jika dirinya adalah sosok yang berharga serta dengan cepat dapat bangkit
dari masa-masa terpuruknya.
IV.A.4.ii. I Am
Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan yang
terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku,
dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Setelah terpuruk pasca bebas dari dunia
prostitusi, dan tidak mampu bergaul kembali dengan orang dilingkungan
sosialnya. Berkat dukungan dari keluarga serta dukungan sosialnya, Adek
akhirnya berhasil mengembangkan kemampuan personalnya kembali. Hal itu
terlihat dari sumber-sumber resiliensi yang mampu di kembangkan oleh Adek,
yaitu :
IV.A.4.ii.a. Bangga Terhadap Diri Sendiri
Grotberg (2000) mengatakan Individu yang resilien tahu bahwa mereka
adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan
apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan
membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu
mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu
mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
Sebelum terjerumus ke dalam kelamnya dunia prostitusi, Adek merasa
bangga atas dirinya sendiri. Namun kebanggaan itu sempat hilang ketika ia
126
menyadari jika ia pernah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan mengeruk keuntungan dari penderitaannya.
Seiring berjalannya waktu, melihat dukungan dan penerimaan dari
keluarga dan lingkungan sosialnya Adek akhirnya berhasil menerima keadaan
dirinya saat ini. Selain kembali mampu menerima keadaan dirinya, Adek juga
mampu lebih menjaga dirinya dari orang-orang yang hanya ingin menjadikan
dirinya sebagai bahan ejekan dan candaan. Meskipun kepercayaan dirinya
menurun sejak kejadian yang menimpanya, tetapi itu tidak membuat Adek untuk
tidak menerima keadaan dirinya dan menutup diri dari orang-orang sekitarnya.
IV.A.4.ii.b. Disayang dan Disukai Orang Lain
Groberg (2000) mengatakan Individu yang resilien pasti mempunyai orang
yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-
orang yang menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap dan
perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan
orang lain. Walaupun sempat merasa malu untuk kembali berhubungan dengan
orang-orang dilingkungan sosialnya, tetapi dengan adanya dukungan serta
penerimaan dari lingkungannya sekitarnya membuatnya kembali memberanikan
diri bergaul dengan teman-teman sebayanya.
Adek merupakan orang yang tidak tebang pilih dalam berteman, Adek
berteman dengan siapa saja, kecuali orang itu menjadikan dirinya sebagai bahan
ejekan. Hal itu juga menjadika orang lain menyenangi dirinya, ia memiliki banyak
teman di sekitar tempat tinggalnya. Meskipun demikian, Adek sedikit mengatur
tingkah lakunya ketika bergaul dengan teman-temannya. Adek tidak ingin jika
127
kesalahan dalam perilakunya bisa membuat orang lain memberikan pandangan
jelek kepada dirinya. Untuk tetap menjaga hubungan baiknya dengan teman-
temannya, Adek mengaku akan meminta maaf jika dirinya membuat suatu
kesalahan ketika sedang bergaul dengan teman-temannya.
IV.A.4.ii.c. Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap
Grotberg (2000) mengatakan orang yang resilien dipenuhi harapan, iman,
dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan
institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun
salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan
iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai
kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih
tinggi.
Selain memiliki memiliki harapan akan masa depan yang cerah, Adek juga
selalu percaya jika dirinya akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Adek terus
memanjatkan doa serta menjalani segala yang telah terjadi dengan rasa iklhas,
dirinya berkeyakinan kelak ia akan mendapatkan suatu hal yang baik. Adek pun
memiliki harapan-harapan untuk masa depannya, saat ini dirinya sedang bergiat
melakukan hal-hal yang dapat mewujudkan impian-impian masa depannya
tersebut menjadi kenyataan.
IV.A.4.ii.d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
Grotberg (2000) mengatakan individu yang resilien merasa bahwa mereka
memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu
mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi
128
pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang
dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang
terjadi.
Rasa empati dam peduli sesama adalah hal yang baru kelihatan dalam diri
Adek setelah ia kembali tinggal bersama orangtuanya. empati dan rasa pedulinya
ia perlihatkan kepada teman-teman sebayannya yang sedang membutuhkan
bantuan dirinya. Bahkan ia merasa kasihan jika dirinya tidak membantu orang
yang sedang mengalami kesulitan, walaupun sebenarnya dirinya dapat melakukan
hal itu.
Namun, jika ia benar-benar tidak dapat membantu orang yang menninta
bantuannya, Adek akan memohon maaf karen tidak dapat membantu seperti yang
diharapkan. Karena sikap empati dan peduli yang dimiliki Adek, saat ini banyak
dari teman-teman sebayanya yang mencurahkan isi hati, perasaan serta
permasalahannya kepada Adek. Dengan harapan Adek mampu memberikan jalan
keluar. Hanya saja, berbeda dengan kenyataan yang diperoleh teman-teman Adek.
Sejauh ini, Adek hanya memberanikan dirinya menjadi pendengar yang baik,
dirinya siap mendengarkan segala keluh kesaha teman-temannya yang datang
mengeluh kepadanya. Tetapi Adek tidak pernah memberikan solusi seperi yang
diharapkan. Rasa takut dan tidak mau mencampuri urusan orang lain menjadi
alasan utama ia tidak pernah memberikan solusi kepada teman-temannya yang
menceritakan keluh kesah mereka kepada Adek.
129
IV.A.4.ii.e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan
Menerima Konsekuensinya
Grotberg (2000) individu yang resilien dapat melakukan berbagai macam
hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan
perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab
atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai
kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
Adanya kontrol dan tanggung jawab bagi perilaku Adek yang diterapkan
oleh orangtua dan dirinya sendiri, membuat Adek berpikir terlebih dahulu
sebelum berperilaku baik bersama keluarganya, ataupun di lingkungan sosialnya.
Mengerti akan adanya konsekuensi yang ditimbulkan dari perilakunya sendiri,
sebelum mengambil tindakan dirinya terlebih dahulu akan memikirkan efek
negatif dan positif dari tindakan tersebut. Jika keputusan yang ia ambil salah,
makan Adek siap untuk meneriman konsekuensi dari kesalahanya itu.
Sebagai seorang yang tengah bangkit, Adek selalu mendiskusikan
permasalahannya kepada orangtuanya sebelum akhirnya memutuskan sendiri apa
yang harus Adek perbuat. Merasa sudah paham dan mengerti tentang baik dan
buruk dari perilaku yang ditimbulkan, Adek pun sudah siap jika ia mengambil
keputusan yang salah dan tidak akan menyesalinya dikemudian hari.
IV.A.4.iii. I Can
I Can merupakan kemampuan individu untuk melakukan hubungan sosial
dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya
dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Meskipun pada awalnya Adek
130
sempat kehilangan kemampuan interpersonalnya, namun berkat adanya dukungan
dari keluarga serta lingkungan sosialnya serta kekuatan personal yang Adek miliki
membuat Adek mampu mengembangkan kembali kemampuan interpersonalnya.
Hal itu dapat terlihat dari sumber-sumber resiliensi yang ada pada diri Adek dan
kemudian berhasil ia kembangkan, yaitu :
IV.A.4.iii.a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam
Berkomunikasi
Grotberg (2000) mengungkapkan individu yang resilien memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Pernah menjadi korban prostitusi, Adek yang awalnya adalah seorang gadis yang
selalu bersikap terbuka menjadi seorang yang tertutup dan terkadang enggan
untuk menyampaikan perasaannya ketika sedang berkomunikasi dengan oarang,
baik dalam keluarga, maupun di luar keluarganya.
Perasaan takut tidak diterima ketika mengeluarkan pikiran dan
perasaannya kepada orang lain dikemukakan Adek sebagai alasan utama mengapa
dirinya enggan mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain. Adek
lebih senang menyimpan sendiri di dalam hatinya ketimbang harus
mengeluarkannya dan memberitahu apa yang ia rasakan.
Selain enggan untuk mengungkapkan isa pikiran dan perasaannya kepada
orang lain, Adek juga selalu berdiam diri ketika sedang berkumpul bersama
dengan keluarga maupun orang-orang di lingkungan sosialnya. Adek merasa
takut jika ia terlalu banyak berbicara akan mengundang orang lain memberikan
131
komentar buruk tentang dirinya, ia menyadari betul bagaimana masa lalunya,
sehingga membuat Adek selalu menjaga sikap dan perilaku serta ucapannya
ketika sedang berada di tengah-tengah orang lain. Walaupun dirinya mendapat
dukungan serta ajakan nasihat untuk selalu menceritakan apa yang ia alami,
namun Adek tetap tidak enggan untuk mengungkapkan apa yang ia pikirkan dan
rasakan kepada orang lain.
IV.A.4.iii.b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien mencari hubungan
yang dapat di percaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya
orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan
dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
masalah personal dan interpersonal.
Jalinan hubungan yang dilandasi kepercayaan dengan orangtuanya,
membuat Adek selalu menjadikan kedua orangtuanya tempat untuk berbagi
perasaan serta menjadikan ayah dan ibunya sebagai tempat berdiskusi. Dengan
terciptanya hubungan yang saling percaya antara Adek dan orangtuanya, Adek
mau menuruti apa yang orang tuanya minta yang tujuannya untuk kebaikan diri
Adek sendiri.
Meskipun memiliki hubungan yang saling percaya, Adek jarang sekali
meminta pertolongan kepada keluarganya berkaitan dengan masalah ataupun
yang ia alami. Dirinya akan berusaha menyelesaikan masalah tersebut sendiri,
tanpa meminta atau pun merepotkan orang lain. Berbeda dengan hubungannnya di
luar rumah, meskipun sudah diterima dan dapat membaur kembali bersama
132
dengan teman-teman sebayanya. Namun Adek belum dapat menciptakan
hubungan yang saling percaya dengan mereka. Adek masih menyimpan rasa takut
untuk menjalin hubungan yang saling percaya diluar keluarganya karena merasa
takut akan mendapat perlakuan sama dengan yang sebelumnya, dimana dirinya
dijual oleh sabatannya sendiri.
4.3.3.c. Mampu Mengelola Perasaan
Grotberg (2000) mengatakan individu yang resilien memiliki keterampilan
berkomunikasi dimana individu mampu mengekspresikan berbagai macam
pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain
katakan serta merasakan perasaan orang lain. Meskipun sempat mengalami
trauma dan memperlihatkan perilaku-perilaku yang tidak biasa di awal-awal
kehadirannya ditempat tinggalnya, tetapi berkat dukungan dari keluargamya Adek
perlahan-lahan mampu untuk mengubah perilaku tersebut serta mampu mengelola
perasaannya sendiri.
Walaupun Adek mengalami kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia
rasakan kepada orang lain, akan tetapi Adek telah mampu mendengarkan serta
merasakan apa yang orang lain rasakan. Dirinya akan berusaha untuk menolong
seseorang yang mengalami kesulitan dan meminta bantuan Adek, serta bersedia
menjadi pendengar yang baik bagi curahan hati teman-temannya. Meskipun tidak
memberikan masukan kepada sang teman. Begitu juga ketika Adek merasa
seorang temannya menjauh darinya, Adek tidak ingin orang lain merasa tidak
nyaman karena kesalahan yang ia buat, sehingga dirinya akan meminta maaf jika
133
Adek melakukan kesalahan, agar hubungannya dengan sang teman kembali
membaik.
IV.A.4.iii.d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
Grotberg (2000) menyatakan jika individu yang resilien mampu mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu memahami temperamen
mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau
diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk
berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi,
dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
Adek belum mampu untuk memahami temperamen dirinya sendiri serta
orang lain yang berada disekitarnya. Sehingga dirinya harus memahami tindakan
apa yang akan ia ambil untuk mengurangi resiko ketengangan yang terjadi ketika
ia tidak dapat mengatur temperamennya sendiri. Untuk menghindai konflik karena
ketidaksukaannya diungkit oleh orang lain serta mengetahui dengan jelas
bagaimana sifak dirinya, Adek sengaja menghindar dan tidak ingin terlibat
komunikasi dengan orang-orang yang berpotensi akan melakukan hal tersebut.
Jika tidak dapat menghindarkan diri lagi dari kondisi yang tidak
menyenangkan tersebut, Adek akan melakukan tindakan untuk membela serta
memberikan pelajaran kepada orang yang telah mengungkit masa lalunya serta
menjadikannya sebagai bahan ejekan. Adek juga kurang dapat mengontrol
temperamennya jika dirinya ditanya mengenai sahabatnya yang telah menjual
dirinya, tingkahnya akan memperlihatkan rasa emosi ketika dirinya mengingat hal
134
tersebut, kelihatan jika Adek memang belum dapat mengontrol perilakunya untuk
hal itu serta kehilangan kehati-hatiannya dalam berbicara ketika ia membicarakan
sahabatnya tersebut.
IV.A.4.iii.e. Mampu Memecahkan Masalah
Grotberg (2000) mengatajkan jika individu yang resilien memiliki
kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara
alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan
masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat
membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian
masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan
dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
Dukungan yang diterima Adek dari orangtuanya, membuat diri Adek
mampu melewati setiap masalah yang ada. Namun, Adek tidak mampu
meyelesaikan masalah yang ia alami. Setiap masalah yang ia alami, tidak
semuanya ia ceritakan dan ia bagi kepada orangtuanya, hanya sebagaian yang di
anggaapnya tepat untuk diceritakan dan di selesaikan bersama dengan
orangtuanya. Alasannya Adek tidak ingin orangtuanya repot dengan masalah
dirinya.
Meskipun kedua orangtuanya selalu siap membantu Adek untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, namun Adek memilih untuk
menyimpannya sendiri, tanpa menyeleseaikan masalah yang dialaminya. Dirinya
tidak menceritkan apa yang sedan ia alami, Adek tidak mengizinkan orang lain
untuk memberikan bantuan kepadanya dalam menyelesaikan masalah yang
135
sedang ia rasakan, bahkan kedua orangtuanya tidak ia izinkan untuk mengetahui
apa yang Adek rasakan. Sehingga masalah tersebut tidak dapat terselesaikan
dengan baik dan hanya disimpan didalam hati saja.
136
Tabel 3. Interpretasi Intra Subjek
Interpretasi Responden I
No. Sumber dan Faktor Gambaran Responden Konfirmasi Teoritis
1. I Have :
a. Hubungan yang
dilandasi
kepercayaan
Dalam hal Adek memang memperoleh
dukungan penuh dari keluarganya.
Orangtuanya selalu memberikan semangat
serta dukungan untuk dirinya agar kembali
mampu menjadi remaja yang tidak terpuruk
setelah menjadi korban ekploitasi seksual
komersil sektor prostitusi. Dukungan ini
sangat membantu Adek untuk kembali
bangun dari rasa terpuruk. Selain itu,
dukungan yang ia peroleh dari keluarganya
membuat Adek dapat mengembangkan
hubungan penuh kepercayaan dengan
keluarganya, terutama ayah dan ibunya. Jika
Adek berhasil membangun hubungan penuh
kepercayaan dengan kedua orangtuanya,
berbeda halnya dengan orang-orang diluar
lingkungan keluarganya. Meski mengaku jika
lingkungan sosialnya pun memberikan
dukungan dan menerima dirinya kembali,
namun Adek belum mampu untuk
membangun hubungan yang dilandasi rasa
percaya dengan orang dari luar keluarganya.
Grotberg (2000) mengatakan ada Dukungan
ini berupa hubungan yang baik dengan
keluarga, lingkungan sekolah yang
menyenangkan, ataupun hubungan dengan
orang lain diluar keluarga. Melalui I have,
seseorang merasa memiliki hubungan yang
penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga
lain, guru, dan teman-teman yang mencintai
dan menerima diri remaja tersebut.
137
b. Struktur dan
Peraturan di rumah
Ada beberapa peraturan dirumah yang telah
ditetapkan ayah dan ibunya untuk dipatuhi
oleh Adek. Adek hanya diminta mematuhi
aturan yang ada untuk menjaga dirinya dari
hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua
orangtua Adek pun tidak pernah
menggunakan hukuman fisik untuk
memberikan efek jera kepada Adek ketika
dirinya ketika Adek tidak mematuhi aturan
yang diberlakukan oleh kedua orangtuanya.
Orangtuanya hanya memberikan nasihat
kepada Adek agar tidak kembali jatuh
dilubang yang sama. Seakan paham dengan
maksud ayah dan ibunya, hingga saat ini
Adek belum pernah melanggar aturan yang
ditetap oleh kedua orangtuanya. Meskipun
disisi lain Adek mengaku kurang menyukai
aturan yang diterapkan oleh ayah dan ibunya
kepada dirinya tetapi dirinya paham akan
bahaya yang mungkin terjadi jika ia tidak
mengindahkan apa yang telah ayah dan
ibunya terapkan untuk dipatuhi.
Grotberg (2000) menyatakan Individu yang
resilien juga mempunyai struktur dan aturan
di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang
tua mereka. Para orang tua berharap bahwa
anak-anak dapat mematuhi semua peraturan
yang ada. Anak-anak juga akan menerima
konsekuensi dari setiap tindakan yang
mereka lakukan dalam menjalani aturan
tersebut. Ketika mereka melanggar aturan,
mereka butuh seseorang untuk memeberi
tahu kesalahan yang mereka perbuat dan
jika perlu menerapkan hukuman.
c. Dorongan untuk
mandiri
Sempat mengalami keterpurukan dan menjadi
bergantung dengan orang lain, membuat Adek
tidak berani memperlihatkan dirinya
dihadapan orang banyak. Perasaan malu
pernah menyelami dunia prostitusi
menjadikan Adek tidak berperilaku seperti
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien juga memperoleh dukungan
untuk mandiri dan dapat mengambil
keputusan berdasarkan pemikiran serta
inisiatifnya sendiri. Dukungan yang
diberikan oleh orangtua ataupun anggota
138
dahulu. Tetapi berkat dukungan serta
semangat dari kedua orangtuanya membuat
Adek kembali bangkit serta mandiri serta
memiliki sikap atas dirinya sendiri. Ia
berusaha untuk tetap memegang kendali atas
persoalan yang sedang ia hadapi. Namun tetap
menjadikan ayah dan ibunya sebagai tokoh
penting dalam mendiskusikan
permasalahannya tersebut.
keluarga lainnya akan sangat membantu
dalam membentuk sikap mandiri dalam diri
seseorang. Orangtua akan mendukung serta
melatih anak untuk dapat berinisiatif dan
“berkuasa” atas dirinya sendiri untuk
mengambil keputusan tanpa harus
bergantung pada orang lain
d. Role Models Selain mendapat dukungan moral dari kedua
orangtuanya, ayah dan ibunya juga
memberikan modeling kepada Adek, dan
berharap Adek dapat mengikutinya. Hanya
saja, ada peran yang diperlihatkan
orangtuanya kepada Adek tidak mampu ia
lakukan. Dimana kedua orangtuanya
mengajarkan kepada Adek agar memaafkan
orang yang telah menjerumuskannya kedalam
dunia prostitusi. Adek sendiri hingga saat ini
belum mampu memberi maaf kepada orang-
orang yang telah membuatnya menjadi
pelacur, termasuk sahabatnya sendiri. Serta
mengajarkan Adek, untuk tidak merasa malu
walaupun dirinya dahulu pernah bekerja
sebagai pekerja seks komersial. Adek juga
memperoleh modeling dari lingkungan
sekitarnya pun memberikan role models yang
baik kepada Adek, dimana Adek dapat
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien mempunyai orang-orang yang
dapat menunjukkan apa yang harus remaja
lakukan seperti mencari informasi terhadap
sesuatu dan memberikan semangat agar
remaja mengikutinya.
139
diterima, diberikan ruang kembali untuk
bersama lagi melakukan kegiatan-kegiatan
sosial yang ada dan diberikan rasa percaya
dalam melakukan aktifitas sosialnya.
e. Memperoleh
layanan kesehatan,
pendidikan,
keamanan dan
kesejahteraan
Setelah Adek kembali dari kota B,
orangtuanya langsung memberikan dirinya
layanan kesehatan dengan memeriksakan
kondisi anaknya tersebut ke rumah sakit. Hal
tersebut dilakukan orangtua Adek untuk
mengetahui bagaimana kondisi kesehatan
anaknya, agar dapat diambil langkah
selanjutnya jika hasil memnunjukkan Adek
menderita suatu penyakit tertentu. Adek
berkeinginan untuk dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
namun orangtuanya tetap tidak mampu
memberikan layanan seperti yang dirinya
harapkan. Kondisi ekonomi yang kurang
mendukung, membuat Adek harus menelan
keinginannya untuk melanjutkan
pendidikannya. Demikian halnya dengan rasa
keamanan yang harus diberi kepada Adek,
meski mengaku merasa aman karen selalu
ditemani oleh salah satu anggota keluarganya
jika akan bepergian. Adek mengaku
terkadang merasa terkekang karena adanya
aturan itu Untuk masalah kesejahteraan,
kedua orangtua Adek berusaha untuk
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien juga akan mendapatkan
jaminan kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan serta keamanan dari orangtua.
Sehingga hal ini akan membantu mereka
untuk mengembangkan rasa percaya diri
dalam diri anak.
140
membuat Adek merasa nyaman kembali
tinggal bersama mereka. Kedua orangtuanya
selalu mendukung dan menyediakan waktu
yang lebih bagi Adek, selalu membantu Adek
jika Adek memiliki masalah dan sedang
dalam kesulitan, orangtua Adek tetap
memberikan kasih dan sayangnya kepada
Adek agar Adek merasa jika dirinya adalah
sosok yang berharga serta dengan cepat dapat
bangkit dari masa-masa terpuruknya.
2. I Am :
a. Bangga terhadap
diri sendiri
Seiring berjalannya waktu, melihat dukungan
dan penerimaan dari keluarga dan lingkungan
sosialnya Adek akhirnya berhasil menerima
keadaan dirinya saat ini. Selain kembali
mampu menerima keadaan dirinya, Adek juga
mampu lebih menjaga dirinya dari orang-
orang yang hanya ingin menjadikan dirinya
sebagai bahan ejekan dan candaan. Meskipun
kepercayaan dirinya menurun sejak kejadian
yang menimpanya, tetapi itu tidak membuat
Adek tidak bisa menerima keadaan dirinya
dan menutup diri dari orang-orang sekitarnya.
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien tahu bahwa mereka adalah
seorang yang penting dan merasa bangga
akan siapakah mereka itu dan apapun yang
mereka lakukan atau akan dicapai. Individu
itu tidak akan membiarkan orang lain
meremehkan atau merendahkan mereka.
Ketika individu mempunyai masalah dalam
hidup, kepercayaan diri dan self esteem
membantu mereka untuk dapat bertahan
dan mengatasi masalah tersebut.
b. Disayang dan
disukai orang lain
Walaupun mengaku sempat merasa malu
untuk kembali berhubungan dengan orang-
orang dilingkungan sosialnya, tetapi dengan
adanya dukungan serta penerimaan dari
lingkungannya sekitarnya membuatnya
kembali memberanikan diri bergaul dengan
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien pasti mempunyai orang yang
menyukai dan mencintainya. Individu akan
bersikap baik terhadap orang-orang yang
menyukai dan mencintainya. seseorang
dapat mengatur sikap dan perilakunya jika
141
teman-teman sebayanya. Disisi lain, Adek
merupakan orang yang tidak tebang pilih
dalam berteman, Adek berteman dengan siapa
saja, kecuali orang itu menjadikan dirinya
sebagai bahan ejekan. Hal itu juga menjadika
orang lain menyenangi dirinya, ia memiliki
banyak teman di sekitar tempat tinggalnya.
Meskipun demikian, Adek sedikit mengatur
tingkah lakunya ketika bergaul dengan teman-
temannya. Adek tidak ingin jika kesalahan
dalam perilakunya bisa membuat orang lain
memberikan pandangan jelek kepada dirinya.
Untuk tetap menjaga hubungan baiknya
dengan teman-temannya, Adek mengaku akan
meminta maaf jika dirinya membuat suatu
kesalahan ketika sedang bergaul dengan
teman-temannya.
menghadapi respon-respon yang berbeda
ketika berbicara dengan orang lain.
c. Percaya diri,
optimis dan penuh
harap
Selain memiliki memiliki harapan akan masa
depan yang cerah, Adek juga selalu percaya
jika dirinya akan menjadi pribadi yang lebih
baik lagi kedepannya. Adek terus
memanjatkan doa serta menjalani segala yang
telah terjadi dengan rasa iklhas, dirinya
berkeyakinan kelak ia akan mendapatkan
suatu hal yang baik. Adek pun memiliki
harapan-harapan untuk masa depannya, saat
ini dirinya sedang bergiat melakukan hal-hal
yang dapat mewujudkan impian-impian masa
Grotberg (2000) mengatakan jika individu
yang resilien dipenuhi harapan, iman, dan
kepercayaan. Individu percaya ada harapan
bagi mereka, serta orang lain dan institusi
yang dapat dipercaya. Individu merasakan
mana yang benar maupun salah, dan ingin
ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai
kepercayaan diri dan iman dalam moral dan
kebaikan, serta dapat mengekspresikannya
sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan
manusia yang mempunyai spiritual yang
142
depannya tersebut menjadi kenyataan. Adek
masih memiliki harapan kelak dirnya akan
memiliki hubungan serius dengan seorang
pria yang ia harapkan dapat menegrti dan
menerima keadaan dirinya. Adek tidak akan
memaksan jika nantinya orang yang ia cintai
mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya
dan tidak mampu menerimanya, Adek hanya
ingin menjalin hubungan serius dengan laki-
laki yang dapat menerimanya lahir dan batín.
lebih tinggi.
d. Memiliki empati
dan peduli terhadap
sesama
Adek setelah ia kembali tinggal bersama
orangtuanya. empati dan rasa pedulinya ia
perlihatkan kepada teman-teman sebayannya
yang sedang membutuhkan bantuan dirinya.
Bahkan ia merasa kasihan jika dirinya tidak
membantu orang yang sedang mengalami
kesulitan, walaupun sebenarnya dirinya dapat
melakukan hal itu. Namun, jika ia benar-
benar tidak dapat membantu orang yang
menninta bantuannya, Adek akan memohon
maaf karen tidak dapat membantu seperti
yang diharapkan. Karena sikap empati dan
peduli yang dimiliki Adek, saat ini banyak
dari teman-teman sebayanya yang
mencurahkan isi hati, perasaan serta
permasalahannya kepada Adek. Dengan
harapan Adek mampu memberikan jalan
keluar. Hanya saja, berbeda dengan kenyataan
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien juga merasa bahwa mereka
memiliki empati dan sikap kepedulian yang
tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka
tunjukkan melalui sikap peduli mereka
terhadap peristiwa yang terjadi pada orang
lain. Mereka juga merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan yang
dirasakan oleh orang lain dan berusaha
membantu untuk mengatasi masalah yang
terjadi.
143
yang diperoleh teman-teman Adek. Sejauh
ini, Adek hanya memberanikan dirinya
menjadi pendengar yang baik, dirinya siap
mendengarkan segala keluh kesaha teman-
temannya yang datang mengeluh kepadanya.
Tetapi Adek tidak pernah memberikan solusi
seperi yang diharapkan.
e. Mampu
bertanggung jawab
terhadap perilaku
sendiri dan
menerima
konsekuensinya
Adanya control dan tanggung jawab bagi
perilaku Adek yang diterapkan oleh orangtua
dan dirinya sendiri, mmwbuat Adek berpikir
terlebih dahulu sebelum dirinya berperilaku
banik didalam keluarganya, ataupun
lingkungan sosialnya. Mengerti akan adanya
konsekuensi yang ditimbulkan dari
perilakunya sendiri, sebelum mengambil
tindakan dirinya terlebih dahulu akan
memikirkan efek negatif dan positif dari
tindakan tersebut. Jika keputusan yang ia
ambil salah, makan Adek siap untuk
meneriman konsekuensi dari kesalahanya itu.
Sebagai seorang yang tengah bangit, Adek
selalu mendiskusikan permasalahannya
kepada orangtuanya sebelum akhirnya
memutuskan sendiri apa yang harus Adek
perbuat.
Grotberg (2000) mengatakan Individu yang
resilien dapat melakukan berbagai macam
hal menurut keinginan mereka dan
menerima berbagai konsekuensi dan
perilakunya. Individu merasakan bahwa ia
bisa mandiri dan bertanggung jawab atas
hal tersebut. Individu mengerti batasan
kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan
dan mengetahui saat orang lain bertanggung
jawab.
3. I Can :
a. Mampu
Adek yang awalnya adalah seorang gadis
yang selalu bersikap terbuka menjadi seorang
yang tertutup dan terkadang enggan untuk
(Grotberg, 2000) mengatakan Individu yang
resilien tersebut juga memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi serta memecahkan
144
mengungkapkan
pikiran dan
perasaan dalam
berkomunikasi
menyampaikan perasaannya ketika sedang
berkomunikasi dengan oarang, baik dalam
keluarga, maupun diluar keluarganya sendiri.
Perasaan takut tidak diterima ketika
mengeluarkan pikiran dan perasaannya
kepada orang lain dikemukakan Adek sebagai
alasan utama mengapa dirinya enggan
mengungkapkan pikiran dan perasaannya
kepada orang lain. Selain enggan untuk
mengungkapkan isa pikiran dan perasaannya
kepada orang lain, Adek juga selalu berdiam
diri ketika sedang berkumpul bersama dengan
keluarga maupun orang-orang dilingkungan
sosialnya. Adek tidak merasa takut jika ia
terlalu banyak berbicara akan mengundang
orang lain memberikan komentar buruk
tentang dirinya, ia menyadari betul bagaimana
latar belakang masa lalunya, sehingga
membuat Adek selalu menjaga sikap dan
perilaku serta ucapannya ketika sedang berada
ditengah-tengah orang lain.
masalah dengan baik. Mereka mampu
mengekspresikan pikiran dan perasaan
mereka dengan baik.
b. Menjalin hubungan
yang saling
mempercayai
Jalinan hubungan yang dilandasi kepercayaan
dengan orangtuanya, membuat Adek selalu
menjadikan kedua orangtuanya tempat untuk
berbagi perasaan serta menjadikan ayah dan
ibunya sebagai tempat berdiskusi. Dengan
terciptanya hubungan yang saling percaya
diantara Adek dan orangtuanya, Adek mau
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien mencari hubungan yang dapat
di percaya dimana individu dapat
menemukan seseorang misalnya orang tua,
saudara, teman sebaya untuk meminta
pertolongan, berbagi perasaan dan
perhatian, guna mencari cara terbaik untuk
145
menuruti apa yang orangtuanya minta yang
tujuannya untuk kebaikan diri Adek sendiri.
Adek tidak tidak membantah ketika
orangtuanya memintanya untuk tidak terlebih
dahulu terlibat hubungan serius dengan
seorang laki-laki, karena menurut Adek
sendiri tjuan ayah dan ibunya itu adalah untuk
kebaikannya sendiri. Meskipun memiliki
hubungan yang saling percaya, Adek jarang
sekali meminta pertolongan kepada
keluarganya berkaitan dengan masalah
ataupun kejadian yang ia alami. Dirinya akan
berusaha menyelesaikan masalah tersebut
sendiri, tanpa meminta atau pun merepotkan
orang lain. Berbeda dengan hubungannnya
diluar rumah, meskipun sudah diterima dan
dapat membaur kembali bersama dengan
teman-teman sebayanya. Namun Adek belum
dapat menciptakan hubungan yang saling
percaya dengan mereka.
mendiskusikan dan menyelesaikan masalah
personal dan interpersonal.
c. Mampu mengelola
perasaan
Walaupun Adek mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan apa yang ia rasakan kepada
orang lain, akan tetapi Adek telah mampu
mendengarkan serta merasakan apa yang
orang lain rasakan. Dirinya akan berusaha
untuk menolong seseorang yangmengalami
kesulitan dan meminta bantuan Adek, serta
bersedia menjadi pendengar yang baik bagi
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien memiliki keterampilan
berkomunikasi dimana individu mampu
mengekspresikan berbagai macam pikiran
dan perasaan kepada orang lain dan dapat
mendengar apa yang orang lain katakan
serta merasakan perasaan orang lain.
146
curahan hati teman-temannya sendiri.
Meskipun tidak memberikan masukan kepada
sang teman. Begitu juga ketika Adek merasa
seoarng temannya menjauh darinya, Adek
tidak ingin orang lain merasa tidak nyaman
karena kesalahan yang ia buat, sehingga
dirinya akan meminta maaf jika Adek
melakukan kesalahan, agar hubungannya
dengan sang teman kembali membaik.
d. Mampu mengukur
temperamen diri
sendiri dan orang
lain
Saat ini Adek mampu untuk memahami
temperamen dirinya sendiri serta orang lain
yang berada disekitarnya. Sehingga dirinya
harus memahami tindakan apa yang akan ia
ambil untuk mengurani resiko ketengangan
yang terjadi ketika ia tidak dapat mengatur
temperamennya sendiri. Untuk menghindai
konflik karena ketidaksukaannya diungkit
oleh orang lain serta mengetahui dengan jelas
bagaimana sifak dirinya, Adek sengaja
menghindar dan tidak ingin terlibat
komunikasi dengan orang-orang yang
berpotensi akan melakukan hal tersebut. Adek
akan melakukan tindakan untuk membela
serta memberikan pelajaran kepada orang
yang telah mengungkit masa lalunya serta
menjadikannya sebagai bahan ejekan. Adek
juga kurang dapat mengontrol
temperamennya jika dirinya ditanya mengenai
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien mampu Mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain
dimana individu memahami temperamen
mereka sendiri (bagaimana bertingkah,
merangsang, dan mengambil resiko atau
diam, reflek dan berhati-hati) dan juga
terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui
berapa lama waktu yang diperlukan untuk
berkomunikasi, membantu individu untuk
mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan
berapa banyak individu mampu sukses
dalam berbagai situasi.
147
sahabatnya yang telah menjual dirinya,
tingkahnya akan memperlihatkan rasa emosi
ketika dirinya mengingat hal tersebut,
kelihatan jika Adek memang belum dapat
mengontrol perilakunya untuk hal itu serta
kehilangan kehati-hatiannya dalam berbicara
ketika ia membicarakan sahabatnya tersebut.
e. Mampu
memecahkan
masalah
Dukungan yang diterima Adek dari
orangtuanya, membuat diri Adek mampu
melewati setiap masalah yang ada. Namun,
Adek tidak mampu meyelesaikan masalah
yang ia alami. Setiap masalah yang ia alami,
tidak semuanya ia ceritakan dan ia bagi
kepada orangtuanya, hanya sebagaian yang
dianggaapnya tepat untuk diceritakan dan
diselesaikan bersama dengan orangtuanya.
Alasannya Adek tidak ingin orangtuanya
repot dengan masalah dirinya. Meskipun
kedua orangtuanya selalu siap membantu
Adek untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapinya, namun Adek memilih
untuk menyimpannya sendiri, tanpa
menyeleseaikan masalah yang dialaminya.
Dirinya tidak menceritkan apa yang sedan ia
alami, Adek tidak mengizinkan orang lain
untuk memberikan bantuan kepadanya dalam
menyelesaikan masalah yan sedang ia
rasakan, bahkan kedua orangtuanya tidak ia
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien memiliki kemampuan
memecahkan masalah. Individu dapat
menilai suatu masalah secara alami serta
mengetahui apa yang mereka butuhkan agar
dapat memecahkan masalah dan bantuan
apa yang mereka butuhkan dari orang lain.
Individu dapat membicarakan berbagai
masalah dengan orang lain dan menemukan
penyelesaian masalah yang paling tepat dan
menyenangkan. Individu terus-menerus
bertahan dengan suatu masalah sampai
masalah tersebut terpecahkan.
148
izinkan untuk mengetahui apa yang Adek
rasakan. Sehingga masalah tersebut tidak
dapat terselesaikan dengan baik dan hanya
disimpan didalam hati saja.
149
Tabel 4. Gambaran Resiliensi Responden I (Adek)
Adek
Usia : 18 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Wirausaha
Domisili : Medan
Urutan dalam keluarga : Anak ke-3
Pelaku eksploitasi : Teman dekat
Tahun kejadian : 2009
Karakteristik resiliensi
Dukungan eksternal yang di peroleh
remaja dari keluarga maupun lingkungan
sosialnya (I Have) :
1. 1. Memiliki hubungan yang saling
percaya dengan ayah & ibunya.
2. 2. Memiliki aturan rumah, yaitu tidak
boleh berpacaran dahulu, harus ditemani
anggota keluarga jika akan bepergian.
3. 3. Memiliki dorongan mandiri dari ayah
& ibunya
4. 4. Modelling dari keluarga, yaitu :
nasihat agar Adek tetap semangat.
Modelling dari lingkungan sosial, yaitu
memberikan ruang kepada Adek untuk
bersosialisasi kembali.
5. 5. Memperoleh layanan kesehatan,
keamanan & kesejahteraan.
Kekuatan pribadi Adek untuk bangkit dari keterpurukan (I
Am) :
1. 1. Merasa bangga terhadap dirinya sendiri, karena mampu
melewati masa-masa sulitnya.
2. 2. Memiliki orang-orang yang menyayangi & menyukai
dirinya di dalam maupun di lingkungan sosialnya.
3. 3. Memiliki rasa percaya terhadap diri sendiri, optimis akan
masa depan serta berkeyakinan terhadap Tuhan YME
4. 4. Memiliki rasa empati & peduli terhadap orang yang
sedang kesulitan.
5. 5. Sudah mampu bertanggungjawab terhadap konsekuensi
dari setiap perilakunya
Kemampuan interpersonal yang
Adek miliki (I Can) :
1. 1. Belum mampu untuk
mengungkapkan pikiran &
perasaan dalam berkomunikasi
2. 2. Mampu membina hubungan
yang saling percaya, hanya
dengan ayah & ibunya.
3. 3. Belum mampu
mengekspresikan perasaan kepada
orang lain, namun sudah mampu
mendengar apa yang orang lain
rasakan.
4. 4. Belum mampu mengukur
temperamen diri sendiri & orang
lain saat berkomunikasi.
5. 5. Belum mampu memecahkan
masalah karena tidak mampu
terbuka kepada orang lain.
150
IV.B. Responden II
Tabel 5. Deskripsi Data Responden II
No. Identitas Responden I
1. Nama (samaran) Lia
2. Usia 21 Tahun
3. Agama Kristen Protestan
4. Pendidikan terakhir SMA
5. Pekerjaan Wirausaha
6. Domisili Aceh Tenggara
7. Anak ke 1 dari 1 bersaudara
8. Pelaku eksplotasi Ayah tiri
9. Peristiwa 2004
IV.B.1. Hasil Observasi dan Wawancara
Lia merupakan wanita muda berusia 21 tahun. Tubuhnya tidak terlalu
tinggi, hanya berukuran 155 CM dengan bobot tubuh 50 Kg. Kulitnya berwarna
sawo matang serta memiliki rambut lebat sebatas bahu yang ia biarkan tergerai
saat pertama kali peneliti berkunjung kerumahnya. Parasnya yang ayu ditambah
senyum manisnya, membuat Lia semakin menarik. Bola matanya yang besar
serta tajam membuat wajahnya kian berkesan dan enak untuk dipandang mata.
Wawancara pertama untuk pengalian informasi dilakukan di rumah Lia
pada tanggal 25 Januari 2012. Pada saat itu Lia mengenakan kaos berwarna biru
muda polos berlengan pendek dan celana jeans panjang berwarna biru tua. Lia
menyambut peneliti dengan ramah serta mempersilakan peneliti memasuki
rumahnya. Pada saat wawancara pertama dilakukan, terlihat beberapa anggota
keluarga Lia berada dirumahnya. Beberapa saat percakapan antara peneliti dan
keluarga Lia berkisar seputar kabar dan kegiatan masing-masing. Sekitar 15 menit
berbasi-basi dengan Lia dan keluarganya, Lia mengajak peneliti beranjak ke ruang
151
dapur rumahnya yang berukuran 3x4 meter tersebut. Sesekali Leo, sang anak yang
berusia 8 tahun mendatangi Lia dan peneliti meminta diajarikan membuat tugas
sekolahnya.
Selama proses wawancara pertama dilakukan, perbincangan dilakukan
dalam suasana haru, sebabnya Lia kembali teringat peristiwa tragis yang pernah ia
alami beberapa tahun silam. Lia menceritakan pengalamannya terjerumus ke
dalam dunia prostitusi dengan berlinang air mata serta sesekali sesenggukan.
Beberapa kali peneliti mencoba menenangkan Lia dengan mengusap tangan,
punggung serta memberikan dukungan dalam bentuk kata-kata penyemangat.
Tangisnya sedikit mereda ketika Leo kembali mendatangi Lia dan peneliti di
dapur. Tetapi Leo tidak datang-datang lagi setelah ibunya mengatakan “nantik
mamak yang kerjain, skarang nonton sama opung dulu”. Dan wawancara pertama
pun berlangsung tanpa gangguan Leo lagi.
Wawancara kedua tetap berlangsung di kediaman Lia. Saat itu terlihat
masih kusut, rambutnya ia ikat asal-asalan. Pakaian yang ia kenakan pun terlihat
kotor. Rumah Lia terlihat sepi, hanya ada Lia dan Leo yang sedang belajar di
ruang keluarga. Menurut Lia, ibunya sedang pergi mengantar jagung ke Medan,
sehingga hanya dirinya dan Leo yang ada dirumah. Lia sendiri baru saja kembali
dari rutinitasnya mengutip uang dari orang-orang yang meninjam uangya. Lia
meminta izin untuk mandi terlebih dahulu sebelum proses wawancara dimulai.
Selama Lia mandi, peneliti dan Leo terlibat perbincangan, sesekali Leo
menanyakan tugas sekolahnya yang tidak ia mengerti kepada peneliti.
152
Sekitar 20 menit kemudian, Lia kembali mendatangi peneliti yang sedang
bersama Leo di ruang keluarga rumahnya. Lia mengenakan celana pendek
sebatas lutut berwarna hijau dan mengenakan kaos biru tua bergambar salib dan
bertuliskan “Salib Kasih Tarutung”. Rambutnya terlihat masih basah dan tersisir
dengan rapi, tampaknya Lia baru saja mencuci kepalanya. Kurang lebih 10 menit
kemudian, Lia menyuruh Leo pergi menonton televisi agar wawancara Lia dan
peneliti tidak terganggu oleh rengekan Leo. Seolah paham, Leo akhirnya
meninggalkan Lia dan peneliti di ruangan keluarga.
Pada wawancara kedua ini, peneliti sudah masuk pada inti permasalahan
yang ingin digali, beberapa kali Lia masih terdiam dan berkaca-kaca ketika
menjawab pertanyaan dari peneliti. Sesekali, ia mengibaskan rambutnya yang
setengah kering kemudian merapikannya kembali. Lia memberikan respon yang
baik atas setiap pertanyaan yang peneliti ajukan, meskipun terkadang Lia kembali
bertanya maksud dari pertanyaan peneliti. Selama menjawab pertanyaan yang
peneliti ajukan, Lia terlihat meletakkan kedua tangannya diatas perutnya, sesekali
ia mengelus-eluskulit tangannya secara bergantian, kanan dan kiri. Disela-sela
wawancara, Leo memanggil ibunya untuk mengajak makan, sang ibu kemudian
pergi sebentar ke dapur untuk mengambilkan nasi untuk Leo. Tak berapa lama
kemudian, Lia kembali lagi sambil membawakan segelas teh manis hangat untuk
peneliti.
Belajar dari pengalaman pada wawancara kedua, peneliti datang terlalu
cepat untuk melakukan wawancara sehingga membuat Lia sedikit kerepotan.
Peneliti akhirnya memutuskan untuk melakukan wawancara pukul 19.00 WIB.
153
Pada saat peneliti tiba dirumah Lia, terlihat Lia dan Leo sedang bermain ular
tangga di ruang tamu rumahnya. Di salah ruang tersebut juga hadir seorang laki-
laki muda berusia sekitar 20’an tahun yang sedang mengajari Leo bermain ular
tangga dengan ibunya. Setelah Lia menyadari kehadiran peneliti, ia menghentikan
sesaat kegiatannya bermain bersama Leo. Kemudian Lia memperkenalkan peneliti
kepada laki-laki muda yang hadir di ruangan tersebut. Laki-laki itu merupakan
saudara sepupunya yang berkunjung untuk melihat keadaan Lia dan Leo.
Akhirnya Leo bermain bersama laki-laki itu diruang keluarga mereka.
Lia saat itu terlihat lebih segar, ia menggenakan kemeja merah jambu
berbahan chiffon dan celana jeans panjang berwarna biru tua. Wajahnya yang di
poles bedak serta tambahan pemerah pipi dan eyeliner yang tidak terlalu
mencolok dan tebal membuat kecantikannya semakin terlihat. Saat wawancara
ketiga dilakukan, Lia menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti dengan sikap
santai dan kontak mata yang dapat ia pertahankan. Sesekali Lia menyahut
panggilan Leo dengan mengatakan “bentar lagi mang..mamak ada tamu..maen kau
sama tulang dulu ya..” Saat peneliti bertanya tentang ucapannya kepada Leo, Lia
mengatakan jika dirinya dan anaknya akan menginap ditempat saudaranya yang
tinggal di kota K.
Wawancara keempat kembali dilakukan di rumah Lia. Saat itu, tidak
terlihat Leo berada dirumah, hanya Lia sendiri. Ia terlihat mengenakan kaos hijau
polos dan longar serta celana pendek selutut berwarna abu-abu. Lia terlihat agak
lelah, namun ia tetap bersikap ramah selama menjawab semua pertanyaan yang
peneliti ajukan kepada dirinya. Dengan sesekali diselingi gurauan Lia terlihat
154
mengucek-ngucek matanya serta beberapa kali menguap sambil menutup
mulutnya. Dia menjawab pertanyaan peneliti dengan intonasi suara yang kadang
meninggi ketika peneliti bertanya seputar penerimaan lingkungan sosialnya
terhadap dirinya. Pada wawancara keempat ini dilakukan, penelit juga lebih
banyak mengulang data yang sebelumnya sudah peneliti peroleh dari Lia, untuk
melakukan pengecekan terhadap jawaban-jawaban Lia sebelumnya.
Wawancara mendalam yang bertujuan melakukan pengalian informasi
mengenai resiliensi Lia dilakukan sebanyak empat kali, namun sebelum
wawancara mendalam tersebut di lakukan peneliti sudah melakukan probing
terlebih daulu baik dengan Lia sendiri maupun keluarganya dengan berkunjung
dan menginap di kediaman Lia selama satu minggu. Ditambah lagi, keluarga Lia
dan keluarga peneliti sudah saling mengenal sejak tahun 2003 serta orang tua
peneliti ikut serta dalam proses penyelesaian dan perdamaian kasus yang dialami
Lia.
IV.B.2. Rangkuman Wawancara
IV.B.2.i. Latar Belakang Keluarga
Lia adalah anak tunggal di dalam keluarganya. Meskipun demikian, Lia
dan ibunya sudah ditinggal oleh ayah kandungnya saat ia masih berusia empat
tahun, dan tidak pernah dikunjungi serta dinafkahi oleh ayahnya. Sehingga untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka sang ibu harus banting tulang menjadi
pedagang mencari nafkah untuk Lia. Salah seorang kerabat Lia yang tidak
dikarunia anak perempuan tergerak hatinya untuk mengasuh Lia, sehingga seluruh
155
biaya Lia baik sekolah dan lain sebagainya menjadi tanggungan kerabatnya
tersebut.
Setelah sekian lama hidup seorang diri, ibu kandung Lia akhirnya
memutuskan untuk kembali menikah dengan pria yang bukan berasal dari daerah
mereka. Kontan saja, keinginan ibu kandung Lia ditolak oleh keluarga besar Lia,
Lia juga termasuk salah seorang yang ikut menolak keinginan ibunya untuk
menikah lagi. Namun karena kemauan keras sang ibu sehingga keluarganya tidak
mampu menghalau niat ibu Lia untuk menikah kembali.
Setelah memiliki ayah tiri, Lia dijemput kembali oleh ibunya untuk
kembali tinggal bersama ibu kandung dan ayah tirinya. Meski sempat menolak
untuk tinggal kembali bersama ibunya, namun setelah dibujuk salah seorang
kerabatnya Lia akhirnya luluh dan ikut pualng bersama ibu dan ayah tirinya. Lia
yang tadinya bersekolah didaerah K, harus mengurus pindah ke daera LW tempat
dimana ibu dan ayah tirinya tinggal. Pada saat itu Lia masih bersekolah di bangku
sekolah menengah pertama (SMP).
Ibu Lia yang bekerja sebagai pedagang antar daerah menbuat Lia dan
ibunya sering berpisah, terkadang menurut Lia ibunya bisa pergi sampai seminggu
lamanya untuk berjualan di kota M. Sehingga mau tidak mau Lia harus tinggal
berdua saja dengan ayah tirinya. Menurut Lia, ayah tirinya tidak memiliki
pekerjaan tetap dan hanya bertani dengan modal yang diberi ibunya. Meskipun
demikian Lia jarang berkunjung kerumah kerabatnya di kota K, dengan alasan ia
harus bersekolah dan jarak rumahnya dan rumah kerabatnya tersebut yang
lumayan jauh, sekitar 44 KM.
156
IV.B.2.ii. Latar Belakang Responden Menjadi Korban Eksploitasi Seksual
Komersil
Lia dijadikan pekerja seks komersil sektor prostitusi semenjak Maret
2004. Pelakunya adalah ayah tirinya sendiri. Saat itu usia Lia baru menginjak 13
tahun dan masih duduk dibangku kelas 2 SMP. Sebelum dipaksa menjadi pekerja
seks komsersil (PSK) sektor prostitusi, Lia terlebih dahulu diperkosa oleh ayah
tirinya yang awalnya ia anggap sebagai pelindung dirinya dan ibunya. Namun
siapa sangka, anggapan tersebut tidaklah sesuai dengan kenyataan yang diterima
Lia. Pekerjaan sang ibu yang menuntutnya harus sering bepergian keluar kota
dalam waktu yang lumayan lama, membuat sang ayah leluasa melakukan
perbuatan bejatnya kepada Lia. Apalah daya Lia, gadis itu selalu berada dibawah
ancaman ayah tirinya saat Lia mendapat perlakuan tidak layak dari sang ayah.
Tak jarang juga senjata tajam digunakan sang ayah untuk mengancam Lia agar
Lia tidak menceritakan apa yang telah ia alami.
“bulan tiga kak, tahun 2004 itulah.. mamak jarang dirumah, dari situlah
kak..pertama bapak tiriku itu yang merkosa aku kak..diancamnya aku,
dibilangnya mau bunuh aku sama mamak kalo aku teriak ato ngadu sama
keluargaku kak..”
(R.2/W.1/b.111-121/h.3)
Karena tidak tahan menjadi budak nafsu sang ayah tiri, Lia sempat pergi
kerumah salah seorang kerabatya yang berada di kota K. Akan tetapi, seolah
terbayang-bayang ancaman sang ayah tiri, Lia pun tidak berani menceritakan apa
yang telah ia alami selama dirinya tinggal berdua bersama ayah tirinya. Tak lama
berselang, ibu kandung Lia yang baru kembali dari kota M datang menjemput Lia
dirumah kerabat mereka. Ibunya yang tidak mengetahui nasib tragis yang dialami
157
anak tunggalnya tersebut beralasan jika dirinya sendirian dirumah dan tidak ada
yang menemani. Akihirnya, Lia kembali pulang bersama ibunya kerumah. Pada
saat itu, ayah tirinya memang tidak ada dirumah, sehingga Lia merasa aman.
Tiga hari berselang, sang ayah tiri kembali kerumah, rasa taukut kembali
menyergap Lia, ditambah lagi keesokan harinya ibunya kembali berjualan ke kota
M. Tinggallah Lia dan ayah tirinya, berdua dirumah mereka. Rupanya nasib buruk
masih ingin menghampiri Lia. Sehari setelah ibu kandungnya pergi untuk
berjualan, Lia diajak ayah tirinya untuk pergi ke daerah Pajak S, dimana tempat
tersebut merupakan daerah lokalisasi yang menyediakan wanita-wanita serta
pondok-pondok untuk disewakan kepada lelaki hidung belang. Rupanya ayah
tirinya tidak puas jika hanya mencicipi tubuh Lia sendiri saja, dia kemudian
menjualnya kepada seorang lelaki yang menurut Lia berusia 30 tahun dan sudah
menunggu ditempat tersebut. Setelah lelaki hidung belang itu selesai melakukan
“tugasnya” ia pun memberi Lia uang sebanyak seratus ribu rupiah.
“diajaknya aku kedaerah (responden menyebutkan nama daerah dimana
dia pertama kali dijual oleh ayah tirinya)..udah ada yang nunggu disitu
kak, laki-laki..kurasa 30’an umurnya..itulah pertama kali aku dijual bapak
tiriku..habis aku diperkosanya..aku dikasih laki-laki itu duit kak..seratus
ribu..sama bapak mungkin lebih banyak lagi..”
(R.2/W.1/b.300-314/h.8)
Selama dua setengah bulan, Lia dipaksa melayani lelaki hidung belang dan
selama itu pula ibunya tidak mengetahui perbuatan busuk suaminya yang telah
membahayakan anak kandungnya. Selama dua setengah bulan tesebut, Lia
mendapat kekerasan fisik yang dilakukan ayah tirinya, dan Lia tak mampu berbuat
banyak selain hanya menangis. Tetapi semua perilaku bejat ayah tirinya akan
berubah ketika ibu kandung Lia ada diantara mereka. Sikap baik yang selalu
158
dilihat oleh ibu kandung Lia itulah yang membuatnya sama sekali tidak menaruh
curiga kepada suaminya tersebut.
Kisah pahit dan sedih Lia mencapai klimaksnya ketika sang ibu merasa
curiga melihat perubahan tubuh Lia. Sebagai wanita yang berpengalaman,
tentunya sang ibu tidak begitu saja percaya saat Lia mengatakan dirinya hanya
mengalami masuk angin, apa lagi menurut ibunya, beberapa kali ia memergoki
Lia mual-mual terutama di pagi hari. Untuk mengobati rasa penasaran sang ibu,
akhirnya Lia dibawa ke puskesmas didekat tempat tinggalnya. Hasilnya sungguh
mengejutkan ibunya, namun tidak mengejut kan Lia. Lia dinyatakan positif hamil.
“mamakku yang curiga kak..karna pernah diliatnya’nya aku muntah-
muntah..hehmm maklum lah..mungkin lebih paham dia..tak tau apa ku
yang di tengoknya..dia tanya itu sama aku..pertamanya aku bantah, karna
takut aku dimarahi mamak..karna aku tak ngaku, mamak ku pun tak
percaya..hehmm dibawanya aku ke puskesmas..adaperawatnya
disitu..dipegangnya perutku, barulah positip aku lagi hamil..tapi karna
masih gak yakin dikasihlah aku alat tes kehamilan itu kak..hasilnya pun
hamil juga”
(R.2/W.1/b.411-431/h.10)
Setelah diintrogasi dan tetap tidak mau mengakui siapa bapak dari anak
yang ia kandung, Lia akhirnya “diamankan” salah satu dirumah kerabatnya. Hal
itu dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada Lia.
Dirumah kerabatnya, barulah Lia mengakui semua yang telah terjadi pada dirinya.
Alangkah terkejutnya paman dan bibi Lia yang mendengar penuturan yang keluar
langsung dari Lia. Dini hari itu juga, akhirnya paman dan sepupu Lia langsung
bergegas pergi dan melaporkan peristiwa yang menimpa Lia kepada pihak
berwajib.
159
Pagi-pagi sekali Lia dan keluarganya mendatangi kantor polisi untuk
memberikan keterangan terkait kasus yang ia alami. Setelah selesai memberikan
keterangan kepada pihak kepolisian, Lia dan keluarganya diperbolehkan pulang
sedangkan ayah tirinya dikembalikan ke ruang tahanannya. Namun jalan lain
ditempuh oleh ayah tiri Lia, ayah tirinya memilih untuk mengakhiri hidupnya
sendiri dengan cara mengantung dirinya dengan menggunakan tali jaket didalam
kamar mandi kantor polisi tempat dirinya ditahan. Alhasil ayah tirinya berhasil
melakukan rencananya dan tewas dengan cara tergantung sementara kasus
tersebut ditutup.
Namun masalahnya tidak berhenti sampai disitu, benih yang ada didalam
kandungan Lia terus berkembang dan tidak diketahui siapa ayah kandungnya.
Berkat dukungan serta semangat dari keluarganya, Lia akhirnya tetap
mempertahankan janin yang ada didalam kandungannya dan memilih tinggal
bersama salah satu kerabatnya dikota K selama ia hamil sampai anaknya berusia
satu tahun.
IV.B.3. Gambaran Resiliensi
IV.B.3.i. I Have
Diperkosa dan dijual oleh keluarga sendiri, memberikan pengalaman pahit
untuk diri Lia. Bukan hanya diperkosa serta dijual, Lia bahkan mengandung anak
dari pengalaman yang tidak diinginkan tersebut. Rasa malu dan terpuruk pernah
dipekerjakan paksa menjadi pelacur ditambah lagi mengandung anak yang tidak
jelas siapa ayahnya.
160
Untuk menghindari rasa malu, Lia pun harus mengungsi terlebih dahulu ke
salah satu rumah keluarganya. Lia pada awalnya ingin mengugurkan benih yang
ada di rahimnya. Akan tetapi, dukungan serta penerimaan dari keluarganya
membuat Lia urung melakukan tindakan itu. Berkat dukungan serta penerimaan
dari keluarganya itu jugalah akhirnya Lia berhasil keluar dari lingkaran
keterpurukan yang mendera dirinya. Dukungan-dukungan yang didapat oleh Lia
dapat terlihat dari sumber-sumber resiliensi yang berkembang dalam diri Lia
berikut ini, yaitu :
IV.B.3.i.a. Hubungan Yang Dilandasi Kepercayaan
Kejadian tragis yang menimpa Lia tak ayal lagi membuat kehidupannya
berubah drastis. Tidak hanya mengejutkan pihak keluarganya, namun juga
mengejutkan tetangga-tetangga disekitar tempat tinggal Lia. Bahkan saking
merasa malunya, Lia pun harus rela berhenti dari sekolahnya, dan memutuskan
untuk tinggal dirumah kerabatnya yang berjarak 44 KM dari rumahnya.
Alasannya Lia memilih tinggal sementara dirumah kerabatnya adalah agar ia
merasa nyaman selama masa kehamilannya.
“Hehhmm.. enggak kak.. tinggal sama mak tua ku aku.. di sana gak ada
kian yang kenal sama aku. Kan lebih bagus aku disana. Kalo rindu
mamak sama aku, datang dia ke rumah mak tua kak. Sampe lahir lah si
anakku ini aku tinggal disana. Sampe umur enam bulan dia aku masih
tinggal sama mak tua ku kak”
(R.2/W.1/b.656-669/h.15-16)
Meskipun demikian, perlakuan kelurganya tetap tidak berubah sama sekali
kepada Lia, bagaimana mereka memperlakukan Lia dahulu, begitu juga
keluarganya memperlakukan Lia setelah dirinya menjadi korban prostitusi yang
161
dilakukan oleh ayah tirinya. Hal itu yang membuat Lia tetap berperilaku seperti
biasanya, meski perilakunya sempat berubah dan lebih banyak berdiam diri ketika
sedang berkumpul bersama keluarganya.
“Biasa ajanya kak, kalok dulu iya banyak diam aku..karna keluargaku
enggak berubah sama aku ya aku pun enggak berubah lah sama mereka
kak. Jadi masih kayak dulunya kak..cerita-cerita kalo lagi ada
perkumpulan keluarga kan..”
(R.2/W.4/b.3440-3450/h.79)
Keluarganya selalu menyediakan waktu untuk Lia, ketika Lia sedang
mengalami suatu masalah. Tidak hanya menyediakan waktu untuk mendengar
keluh kesah Lia. seluruh keluarganya pun tidak pernah lagi mengungkit peristiwa
yang pernah Lia alami. Lia merasa, jika hal itu dilakukan untuk menjaga perasaan
Lia. Keluarganya juga menyuruh Lia untuk tidak sungkan meminta bantuan
mereka, jika Lia membutuhkannya. Meskipun keluarganya menyuruh Lia untuk
meminta bantuan kepada mereka jika Lia sedang membutuhkannya, Lia
mengatakan keluarganya tidak pernah menganggap Lia adalah orang yang selalu
bergantung kepada orang lain.
“Em.. enggaknya, keluargaku pun enggak pernahnya berpikir kayak gitu
kak. Orang tu pun yang nyuruh kalok aku lagi susah minta bantú aja sama
mreka. Kalok masih bisanya di tolong kak, knapa pula enggak di tolong..”
(R.2/W.4/b.3631-3640/h.83)
Lia mengatakan hubungannya dengan keluarga besar ibunya tetap terjalin
dengan baik, mereka mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh Lia. Meskipun
demikian, keluarga besar ibunya tetap tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Menurut Lia, seluruh keluarganya selalu meluangkan waktunya untuk menemani
Lia dan mendengar keluh kesah darinya. Sehingga keluarganya tersebutlah yang
paling mempengaruhi dirinya dapat menerima keadaannya saat ini.
162
Sang ibu hingga saat ini tetap bekerja sebagai pedagang antar daerah juga
selalu meluangkan serta membantu Lia jika Lia sedang mengalami kesulitan. Lia
paling sering menjadikan sang ibu sebagai tempat dirinya mengadu dan mencari
keamanan jika ia sedang merasa memiliki masalah. Bahkan ketika dirinya sedang
dihina oleh orang lain pun dirinya tetap menjadikan sang ibu sebagai tempat
pengaduan pertamanya.
“Mamak lah kak, karna itunya yang dekat sama aku, tiap hari kami
jumpa, kalo gak ke Medan mamak jual jagung kak..”
(R.2/W.1/b.898-903/h.21)
Selama menetap dirumah salah satu keluarganya, Lia mengaku
mendapatkan dukungan dan penerimaan dari orang-orang yang tinggal disekitar
lingkungan rumah salah satu keluarganya. Menurutnya, disana Lia diterima
keberadaannya dan mereka selalu bersikap baik kepada Lia. Mereka malah
mendoakan Lia karena peristiwa yang Lia alami, sehingga untuk bergaul dengan
mereka pun Lia menjadi nyaman. Lia pun sering bergaul dengan tetangga
keluarganya tersebut, selama satu tahun Lia tinggal bersama salah satu
keluarganya tersebut menurutnya tidak ada masalah mengenai peristiwa yang ia
alami.
“Em.. Beda mungkin orang yang tinggal di kota sama di kampung ya kak..
Baik-baik semua tetangga maktua ku itu kak. Apa lagi pas tau aku kmarin
hamil gara-gara di jual bapak tiriku. Ehm.. datang mereka kak, tak adanya
dihinanya aku. Di doakan kak, disuruh baik-baik jaga anak ini nanti. Jadi
enak aku pun kak. Berkawan pun jadi enak kak..”
(R.2/W.2/b.1982-1996/h.45-46)
“hhmem.. Yang tinggal di sekitar tempat maktua ku itu aku kenal
semuanya kak, agak rame lah memang kak. Baiknya mereka sama aku,
aku pun gitu. Adalah satu tahun lebih lah aku tinggal disitu kak. Seringnya
aku main sama tetangga-tetangga maktua aku itu kak. Tak adanya
masalah, ribut-ribut kak..”
163
(R.2/W.2/b.2015-2028/h.46)
Hubungan baik dengan keluarga, tidak diiringi hubungan yang baik pula
dengan orang-orang yang berada dilingkungan sosialnya. Sampai kejadian yang
menimpa Lia telah melewati waktu delapan tahun, akan tetapi tetangganya tetap
mempergunjingkan keadaan dirinya. Selalu ada saja sindiran yang Lia terima dari
warga disekitar tempat tinggalnya. Lia mengaku pedih hati setiap kali mendapat
sindiran dari warga dilingkungan tinggalnya. Lia berujar, saat ini yang dirinya
kasihani adalah anaknya sendiri. Menurutnya, sang anak belum mengerti apa yang
terjadi dahulu pada ibunya. Tidak hanya merasa kasihan dengan Leo, anaknya.
Lia juga merasa ibu jika melihat sang ibu. Menurutnya, jika ibunya tidak menikah
dengan lelaki yang salah, pasti nasib mereka tidak seperti saat ini.
“Hehhmm..masih jadi bahan cerita juga aku kak..apa lagi dah ada si Leo
kan kak..asal aku lewat, kao ada yang lagi cerita-cerita langsung disindir-
sindir gitu kak..pedihlah hati kadang kak..”
(R.2/W.1/b.682-690/h.16)
“Masih banyak lah kak. Hehmm.. Enggak usah tanyaklah kalo itu kak.
Yang aku kasiankan si Leo ini nya kak, masi kecil kali dia ini kak. Blom
ngerti dia, nanti mulut orang sini jabir-jabir kali.. Mamakku juga kasian
kali aku liatnya kak. Yang karna kawinnya dia sama laki-laki yang salah
makanya aku begini kak. Hahhh.. Payahlah aku bilangnya kak. Sabar-
sabar aja, orangnya pun dah matinya..”
(R.2/W.1/b1067-1082/h.24-25)
Tidak hanya warga disekitar tempat tinggalnya yang menjadikan dirinya
sebagai bahan cerita, teman-teman dilingkungan sekolahnya pun melakukan hal
yang sama. Akan tetapi Lia tetapi Lia mengaku diam ketika mendengar cerita
tentang dirinya. Lia merasa teman-teman sekolahnya memandang dirinya dengan
remeh setelah mendengar cerita dari salah satu teman mereka yang bernama Wati.
Meski demikian, masih ada yang berempati kepada Lia. Menurut Lia kejadiannya
164
berawal saat dirinya kembali bersekolah, salah seorang teman yang berasal dari
lingkungan yang sama dengan Lia menyebarkan cerita tentang dirinya kepada
siswa-siswa lain di sekolah tersebut.
“Hehmm… kalo sama aku enggak adanya.. aku pun diam ajanya. Jarang
mau cerita. Aku rasa ada jugaknya disampekan mreka ke murid-murid
yang lain kak. Makanya remeh kali mreka mandang aku kak, hehhmm..”
(R.2/W.1/b.772-780/h.18)
“Emm.. Adalah yang ngejek-ngejek.. karna tau mereka aku pernah di jual
trus hamil kan kak. Tapi ada juganya yang enggak ngejek. Cuman gak
sebanyak yang ngejek kak, hahahah.. itu lah si Risna yang jadi kawan aku
sampe skarang kak.. yang lainnya jijik nengok aku, padahal belom
tentunya bagus orang tu kak..”
(R.2/W.2/b.1521-1533/h.35-36)
Menurut Lia, Risna bertanya dengan cara yang baik kepada dirinya
tentang kebenaran cerita yang ia dengar dari teman-teman mereka. Sehingga Lia
tidak menutup-nutupi apa yang sudah dirinya alami. Lia menceritakan semua
kejadian yang menimpa dirinya secara jujur kepada Risna. Menurut Lia, Risna
menangis setelah Lia menceritakan semua yang telah meninpa dirinya. Berawal
dari kejadian tersebutlah Lia dan Risna saling membina hubungan yang dilandasi
kepercayaan satu dan lainnya. hubungan yanng terjalin sekian lama tersebut
membuat keduanya saling mengetahui masalah pribadi masing-masing. Lia dan
Risna saling bercerita ketika mereka sedang menghadapi suatu masalah. Dan
menurut Lia, masalah mereka, hanya mereka berdua yang tahu dan tidak pernah
diketahui oleh orang lain.
“He em.. tau kak, smua masalahku dia tau kak.. aku pun kayak gitu sama
dia kak. Pokoknya asal adalah masalahku, aku cerita sama dia kak. Trus
enaknya kak, cerita kami itu gak pernahlah sampek ke orang lain kak..”
(R.2/W.1/b.873-882/h.20)
165
Meskpun demikian, Lia mengatakan ia tidak terlalu mementingkan
dukungan yang dirinya peroleh dari lingkungan sosialnya. Yang terpenting
baginya adalah penerimaan serta dukungan dari keluarganya. Keluarganya yang
selalu siap membantu dirinya ketika mengalami kesulitan.
“Buktinya bisanya kak.. kan yang penting keluarga akunya kak..itunya
Cuma aku butuh kak. Orang lain enggaknya aku pikirkan kali, adanya
keluargaku yang bantú aku. Itu ajalah kak…”
(R.2/W.3/b.3090-3098/h.71)
IV.B.3.i.b. Struktur dan Peraturan di Rumah
Menurut Lia, ibunya tidak pernah memberikan aturan-aturan untuk diikuti.
Dirinya mengatakan ibu dan keluarganya memberikan kebebasan tanpa pernah
menyuruh dirinya menngikuti aturan yang mereka buat. Hanya saja, Lia
mengatakan jika ibu dan keluarganya sering memberikan nasihat kepada dirinya.
Hanya saja, selama ini Lia selalu membatasi tingkah lakunya dengan tujuan agar
dirinya tidak mendapat anggapan jelek dari orang lain.
“Hehmm.. enggak adanya kalo aku rasa kak. Bebas-bebas ajanya aku
selama ini kak. Tapi sering aku di nasehati sama keluargaku kak. Itu
ajanya kak, kalo dari keluargaku. Tak adanya di batas-batasi kak. Cuma
dari akunya kak. Enggak maulah aku bertingkah terlalu oper (Over) kali..
makin jelek nanti aku diceritai orang kak..”
(R.2/W.1/b.1049-1063/h.24)
Sementara itu hasil wawancara peneliti dengan sang ibu menjelaskan jika
mereka memang tidak pernah menerapkan aturan dirumah untuk Lia, keluarga
hanya sebatas menasihati Lia dengan tujuan supaya Lia tidak bertingkah yang
dapat mengundang orang lain memberikan komentar jelek untuk keluarga dan Lia
sendiri.
166
Ibunya mengatakan jika Lia ia minta untuk mengurus semua keperlua Leo
anaknya sendiri tanpa bantuan siapapun. Namun jika dibutuhkan sang ibu akan
siap membantu Lia. Selain mengurusi keperluan anaknya yang baru berusia
delapan tahun, Lia juga diminta ibunya untuk mengurusi segala keperluan rumah
tangga, mulai dari memasak, berbelanja ke pasar dan mengutip hasil panen untuk
dijual sang ibu pun menjadi tugas Lia untuk dilakukannya. Hal tersebut dilakukan
oleh ibunya agar Lia tidak terus menurus mengurung diri dirumahna serta ada
memiliki kegiatan diluar rumahnya.
Untuk hal yang telah peneliti tanyakan kepada ibunya, Lia pun
memberikan jawaban yang sama. Lia mengatakan jika dirinya saat ini memiliki
kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga serta mengurusi anak
semata wayangnya. Namun Lia mengatakan jika terkadang ibunya juga turut serta
membantu dirinya.
IV.B.3.i.c. Dorongan Untuk Mandiri
Data tentang ini peneliti peroleh dari ibu Lia. Ibunya mengatakan jika
dirinya memang selalu mendorong anak tunggalnya itu untuk menjadi wanita
yang mandiri, dan tidak bergantung kepada orang lain. Terutama untuk Leo, anak
Lia yang telah berusia delapan tahun. Resah dengan anaknya yang tidak memiliki
kegiatan serta bertujuan untuk membantu anaknya agar sang anak tidak selalu
bergantu kepada dirinya, ibu Lia akhirnya memberikan modal kepada Lia untuk
membuat suatu usaha.
Akhirnya dengan modal yang diberi oleh ibunya, Lia lalu membuat usaha
peminjaman uang kepada orang-orang yang membutuhkan, menurut sang ibu Lia
167
mematok bunga sebesar tiga persen untuk setiap peminjam. Namun terkadang,
menurut ibunya dirinya merasa tidak sampai hati untuk membiarkan anak semata
wayangnya tersebut berada terlalu lama dalam kesulitan. Sehingga akhirnya
dirinya juga ikut membantu anaknya tersebut. Dan hal seperti itu kerap kali
terjadi.
Data lainya peneliti peroleh dari Risna, sahabat dekat Lia. Risna berujar
jika Lia selalu dibantu oleh keluarganya, terutama sang ibu. Alasan ibunya adalah
ibunya merasa iba dengan keadaan yang telah Lia alami. Ibunya merasa jika Lia
mengalami peristiwa pahit tersebut disebabkan karena dirinya yang menikah lagi,
sehigga ibunya ingin membalas semua yang telah Lia alami dengan tetap
menolong dan membantu Lia. Akan tetapi hal itu semakin membuat Lia merasa
enggan untuk berusaha sendiri dan tetap akan meminta bantuan dari orang lain,
terutama ibunya.
Ketika peneliti bertanya kepada Lia, Lia mengatakan jika ibunya memang
memberikan modal kepadanya untuk memulai suatu usaha. Akhirnya usaha baru
yang akan Lia tekuni adalah usaha peminjaman uang. Lia mengaku menempuh
usaha tersebut karena dirinya tidak memiliki keterampilan apapun, dan usaha
yang ia tekuni itu baru berjalan sekitar satu tahun.
“baru setahun lah kak. Mau cari kerja yang lain, aku gak punya
keterampilan lain kak. Pas pula lah mamakku ngasih modal kan, ya itu aja
lah aku olah kak, hahahaha..”
(R.2/W.2/b.1776-1783/h.41)
Selanjutnya Lia mengatakan jika dirinya memang selalu dibantu oleh
anggota keluarganya, terutama ibunya. Menurut Lia, keluarganya mungkin
merasa kasihan dengan dirinya sehingga mereka selalu membantu Lia apapun
168
kesulitan yang sedang Lia hadapi. Li sudah merasa nyaman dengan hal yang
demikian.
“Aku di bantú terusnya kak. Padahal bisanya kadangnya kak aku selese
kan sendiri. Tapi keluargaku ini’nya kak. Ntah mungkin kasiannya mreka
kan sama aku kak. Kadang enggak enak juga aku kak. Tapi kadang enak
juga kan, karna ada yang bantui kak, hahahaha.. serba salah kan kak..”
(R.2/W.2/b.1257-1268/h.30)
Lia merasa wajar jika dirinya mendapat pertolongan dari keluarganya, apa
lagi hanya dirinya merupakan anak semata wayang ibunya. Sampai akhirnya Lia
berharap jika ibunya dapat membantunya untuk semua jenis masalah yang ia
hadapi, karena ia tetap beranggapan jika dirinya merupakan anak tunggal sehingga
wajar ibunya membantu dirinya dan Leo, anaknya.
“Hehmm.. wajarlah kak, Cuma anaknya aku ini kak. Ini cucunya juganya
kak. Masa gak mau dibantunya kak..”
(R.2/W.2/b.1288-1292/h.30)
“Ya kalo aku ada masalah ya pengen di bantú lah kak. Kadang mana bisa
aku nyelesaikan sendiri kak. Lagian orang mamak pun masih sanggupnya
bantú aku kak, Cuma aku kiannya anaknya kak. Mau sapa lagi yang
dibantunya kalo enggak aku’nya..”
(R.2/W.2/b1668-1678/h.39)
IV.B.3.i.d. Role Models
Lia memperoleh role models dari orang-orang terdekat dirinya. Dimana
Lia selalu mencari petujuk kepada orang-orang disekitarnya yang mampu
menerima dirinya dan memberikan arahan kepada dirinya. Role models pertama ia
terima dari ibu dan keluarganya yang menyarankan kepada dirinya agar ia tidak
mengugurkan janin yang ia kandung. Ibunya menyarankan agar Lia tetap
mempertahankan janin yang ia kandung, dengan memberikan pertimbangan dari
169
segi medis serta agama yang melarang seseorang untuk mematikan nyawa orang
lain.
“pertamanya mau aku buangnya kak. Cuma aku pikir lagi, akibatnya untuk
aku kan. Dosa, adanya pirman Tuhan yang bilang jangan membunuhkan..
takut aku dosaku besar kali nanti kak, hahahah…terus kalo aku buang
nanti bisa mati aku kan kak. Udahlah aku pelihara aja, mamak pun bilang
gitu kak. Adanya nanti rejekinya itu kak..”
(R.2/W.2/b.2229-2243/h.51)
Tidak hanya sang ibu yang memberika role models kepada Lia, Risna
sahabatnya juga melakukan hal yang sama. Hanya saja berbeda masalah, sebagai
seorang yang memililiki hobi memasak Risna memberikan saran kepada Lia
untuk menjajakan masakannya kepada orang lain. Namun, hal tersebut ditolak
oleh Lia. Dengan alasan tidak aka nada yang mau membeli jika dirinya yang
memasak dan menjualnya.
“Disini mana ada yang mau kak, kalo akunya yang masak. Padahal kata si
Risna enaknya masakanku kak. Dah disuruh jugaknya aku buat kayak gitu
kak. Enggak mau aku..”
(R.2/W.4/b.3145-3152/h.72)
IV.B.3.i.e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan, dan
Kesejahteraan
Walau agak terlambat memperoleh layanan kesehatan dari keluarganya,
tetapi Lia tetap memperolehnya ketika dirinya dianjurkan untuk memeriksa
kesehatannya oleh salah satu keluarganya yang bekerja di bidang kesehatan.
Berawal dari rasa gatal yang ia rasakan pada alat kelaminnya, serta timbul bintik-
binti merah. Akhirnya Lia memutuskan untuk mendatangi salah satu keluarganya
yang bekerja sebagai bidan di daerah tempat tinggalnya.
170
“itunya maksudnya kak.kalo itu dulunya kak, tapi enggak langsung
pas ketahuan itu aku dipriksanya kak..ada lewat brapa bulan kak.. pas
itu, gatal kali aku rasa dekat ituku itu kak, sama ada merah- merah..karna
dah enggak tahan lagi, aku bilang sama nantulangku..nantulangku kan
bidan kak, lupa aku apa nama sakitku itu kemaren kak..”
(R.2/W.1/b.954-968/h.22)
Setelah mengetahui apa yang dialami Lia, keluarganya menyarankan Lia
untuk memeriksa lebih lanjut tentang kesehatannya. Karena latar belakangnya
yang pernah bekerja sebagai pekerja seks komersil akhirnya keluarganya tersebut
membawa Lia serta Leo anaknya untuk kemudian melakukan pemeriksaans ecara
detail apakah Lia dan anaknya ada mengalami penyakit yang tertular selama Lia
bekerja sebagai PSK. Setelah hasil pemeriksaan diperoleh, ternyata Lia dan
anaknya dinyatakan tidak mengidap suatu penyakit apapun yang tertular selama
Lia bekerja sebagai PSK.
“Barulah kan dibawak nantulang aku ke dokter, te situ jugak yang kakak
bilang tadi.. Eits (AIDS)..dibilang sama dokternya si Leo pun harus
dipriksa juga..priksalah kami duanya kak..pas kluar hasilnya
rupanya enggak kenak kami dua Eits (AIDS) tadi kak..ihh puji Tuhan
kali kak..Cuma karna enggak bersih aja aku kak, hahahha..”
(R.2/W.2/b.968-981/h.22)
Setelah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi, Lia
sempat memutuskan untuk berhenti dari sekolahnya untuk sementar. Alasannya
Lia merasa malu karena peristiwa yang ia alami, selain itu menurutnya pihak
sekolahnya tidak membenarkan siswa yang tengah memiliki masalah untuk tetap
mengikuti proses belajar mengajara di sekolah tersebut.
Setelah sempat berhenti sekolah selama satu tahun, Lia memutuskan
untuk kembali melanjutkan pendidikannya. Dirinya kembali bersekolah, namun
tidak disekolah tempat dirinya dahulu menuntut ilmu. Lia takut jika dirinya akan
171
terus mendapat ejekan kalau dia tetap bersekolah di sekolahnya yang lama.
Keinginannya untuk melanjutkan sekolahnya yang sempat terputus mendapat
dukungan dari anggota keluarganya, salah satu kerabatnya membantu Lia
mengurus segala keperluan yang dibutuhkan Lia untuk melanjutkan sekolahnya
kembali.
“Hahaha.. Enggak lah kak, bisa lah di ejek terus-terusan aku kak. Hahaha..
Pindah aku ke SMP lain kak.. hehmm.. tulangku yang ngurus semua kak,
kebetulan kenal dia sama kepala sekolahku yang lama tu..”
(R.2/W.1/b.726-734/h.17)
Lain lagi ceritanya untuk kesejahteraan yang diperoleh Lia dari anggota
keluarganya. keluarganya selalu berusaha untuk memberikan Lia kesejateraan
dengan terus membantu Lia. Selain itu menurutnya setelah ia menjadi korban
eksploitasi seksual komersil, keluarganya tetap menerima dan bahkan semakin
memberikan perhatian lebih kepada Lia dan anaknya. Keluarga Lia bahkan sering
mengajak anaknya untuk pergi bermain bersama. Sampai saat ini pun perlakuan
tersebut tetap sama diberikan keluarganya kepada dirinya.
“oo..hehhmmm..kalo lagi enggak punya duit aku, ya aku pinjam sama
mamakku..kalo gak sama nantulangku..kadang kalo aku kerja, minta
tolong aku sama si Risna jagai si Leo..itu ajanya kak..gaknya yang payah-
payah ku minta, hahaha..”
(R.2/W.1/b.993-1004/h.23)
“..masih diterimanya aku di keluargaku. Malah lebih diperhatikanlah kami
kak. si Leo sering kali di ajak anak tulangku main, itu ajalah kawannya
kak..”
(R.2/W.2/b.1598-1605/37)
Begitu juga dengan keamanan yang diberikan keluarganya kepada Lia
yang hingga saat masih ia terima. Menurutnya sang ibu terus melindunginya
ketika ia mendapat cemooh dari tetangga-tetangga sekitar lingkungan rumahnya.
172
Menurut Lia, dirinya dulu sering sekali mengadu kepada ibunya ketika dirinya
dicemooh orang lain.
“..kalo lagi di jelek-jelekkan orang aku. Ngadu aku sama mamakku kak,
mamakku lah yang berhadapan sama yang ngejek-ngejek itu kak..”
(R.2/W.1/b.1017-1023/h.23)
Lia selalu mengadukan perihal tersebut dikarenakan sang ibulah yang
menyuruhnya untuk memberitahunya jika Lia dicemooh oleh orang lain disekitar
lingkungan rumahnya. Menurut Lia, dirinya tidak bisa melakukan perlawanan
kepada orang-orang yang mengejek dirinya, sehingga Lia mencari perlindungan
kepada ibunya.
IV.B.3.ii. I Am
Sempat merasa malu dan mengungsi di salah satu rumah kerabatnya, Lia
akhirnya memutuskan untuk kembali tinggal bersama dengan ibunya. Berkat
dukungan yang selalu Lia terima darii keluarga besarnya akhirnya ia mampu
mengembangkan kekuataan personal dirinya sendiri. Hal tersebut terbukti dari
beberapa sumber resiliensi yang mampu dikembangkan oleh Lia, yaitu :
IV.B.3.ii.a. Bangga Terhadap Diri Sendiri
Setelah menjadi korban eksploitasi seksual komersil yang dilakukan oleh
ayah tirinya sendiri, menyisakan perasaan malu pada diri Lia. Lia merasa jika
dirinya adalah wanita yang paling sial, karena sudah dihancurkan oleh ayah
tirinya sendiri.
“Kalo dulu ya malu lah kak, aku anggapnya diriku sendiri dulu manusia
paling sial. Hancur di tangan bapak tiri sendiri..”
(R.2/W.2/b.1875-1879/h.43)
173
Seiring berlalunya waktu, Lia mencoba bangkit dari keterpurukan dirinya
serta membesarkan anaknya seorang diri. Dengan kejadian yang ia alami, Lia
merasa dirinya adalah wanita yang kuat, sanggup membesarkan anak seorang diri
tanpa didamping oleh pasangannya. Lia mengatakan jika tidak ada wanita yang
mampu melewati keadaan yang ia alami.
“Kalo skarang karna dah lama kan, udah gak kayak gitu lagi. Bangganya
karna aku ternyata bisa keluar dari kesulitan kmarin kak dari pengalaman
pahitku sama bisa ku besarkan anak ini sendiri tanpa bapaknya yang entah
sapa itu. Termasuk perempuan kuat juga lah aku ni kak, hahahah..”
(R.2/W.2/b.1880-1891/h.43)
“Cobaklah kakak liat, kayak mana keadaanku ini skarang.. punyak anak
tapi gak punya Cobaklah kakak liat, kayak mana keadaanku ini skarang..
punyak anak tapi gak punya..”
(R.2/W.3/b.28092821/h.64-65)
IV.B.3.ii.b. Disayang dan Disukai Orang Lain
Memiliki orang-orang yang menyayangi dan menyukai Lia sepertinya
masih jauh dari kenyataan. Saat ini Lia yang menetap bersama ibunya masih
dijauhi oleh warga disekitar tempat tinggalnya. Lia mengatakan dirinya sama
sekali tidak memiliki masalah dengan orang-orang yang berada disekitar tempat
tinggalnya. Akan tetapi, mereka tetap menjadikan keadaan Lia sebagai bahan
ejekan mereka.
“Hubungan aku sama orang sini ya kak ? Tak punya masalahnya aku sama
orang-orang sini kak.. Tapi merekanya yang selalu menghina-hina
keadaanku kak.. Dari pada aku makan hati kan kak, kalo cuman aku’nya
yang di ejeknya gak papanya aku anggap kak. Asal jangan lah anakku ini
yang di ejeknya anak haram kak.. Bisa lah aku bunuh yang bilang itu kak..
hehmm..”
(R.2/W.2/b.1896-1912/h.44)
174
Menurut Lia, ia selalu mencoba untuk membaur dengan warga sekitar
tempat tinggalnya. Saat itu karena Lia merasa tidak memiliki teman serta ingin
mencari seseorang untuk ia jadikan temannya. Namun, ia hanya dijadikan bahan
sindirin orang-orang yang ia dekati dan ingin ia jadikan teman.
“Em em.. Dulu kan belom berani aku kak, trus di tempat maktua ku’nya
aku kan tinggal. Udah lahir si Leo ini karna gak punya kawan aku, aku
coba-coba lah kan kak.. Rupanya di sindir-sindiri aku kak.. Aku pikir,
lama-lama gak di ejek lagi, rupanya sampe skarang kak. Bah.. Enggak lagi
lah kak..”
(R.2/W.2/b.1935-1946/h.45)
Diantara sekian banyak orang yang tidak mampu menerima kehadiran
dirinya, masih ada yang mampu menerima Lia dan menjadi orang yang
menyayangi dirinya. Risna, seorang yang selama ini Lia anggap menyayangi
dirinya. Sehingga Lia menjadikan Risna sebagai orang yang juga Lia sukai dan
sayangi.
“Tapi ada juganya yang enggak ngejek. Cuman gak sebanyak yang ngejek
kak, hahahaha… itu lah si Risna yang jadi kawan aku sampe skarang
kak..”
(R.2/W.2/b.1624-1530/h.35-36)
IV.B.3.ii.c. Percaya Diri, Optimis, dan Penuh Harap
Meski mengaku kepercayaan dirinya sudah tidak seperti sedia kala, tetapi
Lia mengaku sudah mampu menerima semua kenyataan yang telah menimpa
dirinya. Lia berkeyakinan jika semua yang terjadi kepada dirinya atas kehendak
Tuhan dan pasti memiliki hikmah tersendiri.
“Hemm.. udah kak, udah bisanya aku nerima ini kak. Adanya berkat ini
semua di kasih Tuhan sama aku kak..”
(R.2/W.3/b.2671-2675/h.62)
175
Lia juga memiliki harapan-harapan serta keoptimisan dalam menjalani
hari-harinya. Walau harapan dan keoptimisan tersebut hanya terjadi untuk
beberapa hal saja. Berawal dari keinginan Lia untuk kembali melanjutkan
pendidikannya setelah sempat terputus ditengah jalan. Lia tidak ingin merasa
malu, untuk itulah Lia berusaha melanjutkan sekolahnya hingga tingak sekolah
menengah atas (SMA).
“Supaya bisa lebih baik hidupku kak. Gak malu-malu kali lah kak, tamat
SMA kan. Sodaraku pun dukung mau ku itu kok.. Di bantu pun aku kak,
hahaha..”
(R.2/W.1/b.738-744/h.17)
Selalu mendapat dukungan dari ibunya, namun menurut Lia ia tidak terlalu
banyak menuntut dukungan yang akan dirinya peroleh. Menurut Lia, dirinya
sendiri yang berkeinginan bangkit dari keterpurukannya selama ini dan
memberikan semangat kepada ibunya yang menurutnya selalu mendapat cemooh
dari pihak keluarganya.
“memang mamak ada ngasih semangat kak sama aku. Tapi gak terlalu
banyak aku nuntutnya. Dari diri aku sendirinya berkemauan bangkit. Kalo
gak kayak gitu kak, bisa mati berdiri lah mamakku itu kak. Terpojok
terus..”
(R.2/W.2/b.1479-1489/h.34-35)
Meskipun Lia mengatakan jika masa depannya telah hancur semenjak ia
dijadikan pekerja seks komersil oleh ayah tirinya. Tetapi dirinya masih memiliki
harapan untuk anak semata wayangnya. Lia berharap dapat mendidik anaknya
agar menjadi anak yang berguna, sehingga Lia akan berusaha sekuat tenaganya
memberikan masa depan yang baik untuk Leo.
“Kalo untuk masa depanku dah gak punya masa depan laginya aku kak,
untuk si Leo ini lah kak.. Mati-matian aku ngasih masa depan yang cerah
untuk dia. Jangan jadi anak durhaka sama laki-laki tak berguna. Si Leo
176
ininya masa depanku kak, kalo aku apa lah, gak adanya apa-apa lagi.. dah
hancurnya kak, hehmm…”
(R.2/W.2/b.1829-1842/h.42)
“Harapanku cuman buat si Leo ini jadi anak bergunanya kak.. mau aku
didik dia supaya tak jadi laki-laki bejat. Kalo aku apa lah kak.. gini-gini aja
dah bagus kak. Orang dah hancur gini aku kak. Hehmm.. Si Leo lah nanti
jangan hancur kak. Sama jangan jadi penghancur..”
(R.2/W.2/b.1846-1856/h.42-43)
Meskipun sempat merasakan sakit hati atas perbuatan ayah tirinya yang
sudah menjualnya, namun Lia menyatakan jika dirinya sudah memaafkan
perbuatan ayah tirinya. Lia tidak ingin menyimpan rasa sakit hatinya terlalu lama,
karena menurutnya akan menyiksa dirinya sendiri. Lia juga mengatakan ayah
tirinya yang sudah meninggal tenang di alamnya, Lia juga mempercayai jika ada
balasan dari semua yang telah ia alami.
“Hehm…Udah kak, kalo masih aku simpan-simpan sakit hatiku, aku
sendiri yang sakit kak. Bagusnya aku maapkan aja kak. Biar tenang
juganya bapak tiriku dikuburnya itu. Adanya balasannya semua kak..”
(R.2/W.2/b.2110-2118/h.48)
Lia kemudian melanjutkan jika tidak ada gunanya dirinya menyimpan rasa
dendam dan sakit hatinya terlalu lama. Lia beralasan jika ia tidak ingin dendam
dihatinya berubah menjadi rasa sakit hati kepada sang anak yang dikandungnya
dari hasil peristiwa yang tidak ia inginkan.
“Haaa.. Tak ada untungnya jugaknya sama aku kak kalo aku simpan terus
sakit hati aku sama orang-orang tu kak. Nanti terikut-ikut jadi benci aku
sama si Leo kak. Anak hasil tak jelas, itu juganya yang aku gak mau kak.
Lagian pun tak bisa aku lama-lama nyimpan rasa sakit hati sama orang
kak..”
(R.2/W.3/b.2325-2337/h.54)
Meskipun sudah tidak berkeinginan untuk menikah lagi, karena takut akan
mengalami nasib yang kurang menguntungkan. Lia merasa yakin mampu untuk
177
mengurus dan mendidik Leo. Lia mengaku akan membuka sebuah usaha untuk
mengantikan usahanya saat ini. Dengan keyakinan dirinya kepada Tuhan serta
rencana yang telah ia pikirkan sejak lama, Liapercaya rencananya tersebut akan
mampu ia realisasikan.
“Em.. Em.. bisa aku sekolahkan si Leo ini kak, sama aku didik dia jadi
anak yang enggak durhaka. Terus itunya, kalo udah cukup nantik modalku,
mau bukak usaha jual pupuk aku.. enggak mungkin lah bungakan duit
terus kerjaku kan kak..”
(R.2/W.3/b.2834-2844/h.65)
“Yakin lah kak, hahahaa.. selama ini bisanya aku sendiri kak.. dari umurku
14 tahun lagi kak… adanya dikasih Tuhan jalannya itu semua kak. Nantik
bukan baik malah makin buruk keadaanku. Ini lah memang jalan yang di
kasih Tuhan sama aku kak..”
(R.2/W.3/b.2906-2918/h.67)
IV.B.3.ii.d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
Rasa empati dan kepedulian Lia terhadap orang lain, pertama sekali ia
perlihatkan kepada ibu kandungnya. Pada saat seluruh keluarga besarnya
menyudutkan sang ibu, Lia tampil sebagai pembela ibunya. Dirinya turut
merasakan perasaan yang dialami ibunya. Lia mengaku tidak suka jika ibunya
selalu disindir atas peristiwa yang ia alami. Karena alasan merasa kasihan dengan
ibunya tersebutlah pada tahun 2005 Lia kemudian memutuskan untuk kembali
tinggal bersama ibu kandungnya. Lia tidak ingin ibunya semakin merasa bersalah
kepadanya karena Lia tetap tinggal bersama kerabatnya yang lain.
“Parah lah kak dulu.. mamakku yang merasa bersalah kali, pokoknya
semua itu dulu kak nyalahkan mamak. Karna sebelumnya dah di nasehati
dia kak supaya jangan kawin lagi. Padahal gara-gara bapak tiriku itu’nya
yang bejat kak. Sampe minta maap’nya mamakku sama aku kak..”
(R.2/W.2/b,1306-1317/h.31)
178
“.... Disininya mamakku kak, dah tua mamak kak, kasian kalo aku tinggal
sendiri. Nanti semakin merasa bersalah pula mamakku kak kalo aku
tinggal sama maktuaku. Dikiranya pula aku masih belum memaapkan
mamakku, itunya kak..”
(R.2/W.2/b.2000-2010/h.46)
Kenyataannya orang-orang dilingkungan tempat tinggal Lia belum mampu
menerima kehadiran Lia diantara mereka. Bukan hanya Lia, tetapi juga Leo, anak
Lia. Lia merasa sedih jika mendengar dan melihat Leo disindir dan dihindari
orang-orang disekitar tempat tinggalnya. Menurut Lia, Leo hanya bermain dan
tidak menganggu orang lain. Seolah paham dengan apa yang Leo rasakan, Lia pun
menyuruh Leo bermain dirumahnya, walaupun menurut Lia anaknya itu masih
ingin bermain diluar rumah.
“Belom bisa orang tu nerima keadaan aku ini kak, kalo aku aja gak
masalah lah kan. Si Leo pun kenak di buatnya kak.. asal main lah si Leo
ini di depan situ, pastiiii aja di hina sama mamak-mamak disitu.. sedih aku
kadang kak. Enggaknya salah anakku ini aku pikir kak.. tak’nya di ganggu
si Leo ini anaknya kak..”
(R.2/W.2/b1568-1580/h.36-37)
Rasa empati dan peduli juga Lia tunjukkan kepada orang diluar
keluarganya. Lia menceritakan tentang orang yang meminjam uang kepadanya.
Jika sudah jatuh tempo dan orang tersebut belum mampu membayar uang yang ia
pinjam dari Lia, Lia akan menyita barang-barang yang dimiliki orang tersebut.
Akan tetapi barang tersebut akan kembali lagi nantinya, jika hutangnya sudah
dibayarkan kepada Lia. Alasan Lia melakukan hal tersebut cukup sederhana, yaitu
dirinya merasa kasihan karena keadaan orang-orang tersebut lebih susah dari
keadaan dirinya.
“Em.. Em.. Kasian aku kak sama mereka itu. Susah aku, susah pula
mereka. Barang-barang yang aku ambil pun kak bukannya yang mahal-
mahal. Kayak tipi, itu pun tipi hampir-hampir rusak. Itunya kak,hhh..”
179
(R.2/W.3/b.2483-2492/h.58)
IV.B.3.ii.e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan
Menerima Konsekuensinya
Setelah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi, Lia
mengku dirinya tidak pernah diberikan peraturan apapun dari keluarganya untuk
dipatuhi. Menurutnya keluarganya hanya memberikan nasihat agar Lia bisa
bangkit dari keterpurukannya. Meski begitu, Lia sendiri yang berinisiatif untuk
memberikan peraturan kepada dirinya sendiri, terutama dalam berperilaku.
Menurut Lia, selama ini dirinya tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh. Lia
mengaku perilakunya selama ini hanya biasa-biasa saja.
“Hehmm.. enggak adanya kalo aku rasa kak. Bebas-bebas ajanya aku
selama ini kak. Tapi sering aku di nasehati sama keluargaku kak. Itu
ajanya kak, kalo dari keluargaku. Tak adanya di batas-batasi kak. Cuma
dari akunya kak. Enggak maulah aku bertingkah terlalu oper (Over)
kali.. makin jelek nanti aku diceritai orang kak..”
(R.2/W.1/b.1049-1063/h.24)
Perilaku pertama yang Lia ambil serta harus ia pertanggungjawabkan
hingga saat ini adalah, ketika Lia memutuskan kembali tinggal bersama ibunya.
Padahal Lia sudah mengetahui jika tetangganya belum lagi bisa menerima
kehadiran dirinya kembali ditengah-tengah mereka. Lia harus menerima
konsekuensi dari keputusannya tersebut yaitu dirinya dijauhi bahkan selalu
dijadikan bahan perbincangan.
“.... Disininya mamakku kak, dah tua mamak kak, kasian kalo aku tinggal
sendiri. Nanti semakin merasa bersalah pula mamakku kak kalo aku
tinggal sama maktuaku. Dikiranya pula aku masih belum memaapkan
mamakku, itunya kak..”
(R.2/W.2/b.2000-2010/h.46)
180
“Belom bisa orang tu nerima keadaan aku ini kak, kalo aku aja gak
masalah lah kan. Si Leo pun kenak di buatnya kak.. asal main lah si Leo
ini di depan situ, pastiiii aja di hina sama mamak-mamak disitu.. sedih aku
kadang kak. Enggaknya salah anakku ini aku pikir kak.. tak’nya di ganggu
si Leo ini anaknya kak..”
(R.2/W.2/b1568-1580/h.36-37)
Selanjutnya adalah keputusan Lia untuk tidak menikah lagi. Dengan
demikian Lia harus bekerja keras untuk menghidupi dan memberikan fasilitas
pendidikan, keamanan serta kesejahteraan untuk anak semata wayangnya. Lia
merasa mampu bertanggungjawab untuk keputusan yang telah dirinya buat
tersebut.
“Yakin lah kak, hahahaa.. selama ini bisanya aku sendiri kak.. dari umurku
14 tahun lagi kak… adanya dikasih Tuhan jalannya itu semua kak. Nantik
bukan baik malah makin buruk keadaanku. Ini lah memang jalan yang di
kasih Tuhan sama aku kak..”
(R.2/W.3/b2906-2918/h.67)
Lia bahkan mengatakan jika ia pun siap menerima konsekuensi dari
pekerjaannya selama ini sebagai seorang yang member pinjaman uang kepada
orang lain. Lia menegaskan jika orang yang berhutang kepadanya tidak menyukai
kebijakan dirinya mereka boleh tidak usah meminjam uang kepada Lia. Hanya
saja, selama ini masih banyak orang yang datang kepada Lia untuk meminjam
uang darinya. Padahal bukan hanya Lia yang memiliki usaha peminjaman uang
didaerah tersebut.
“Resiko lah itu kak, resiko aku punya kerja kayak gitu. Terus resiko dia
minjam duit. Kalo benci dia ya benci lah situ. Besok-besok jangan minjam
lagi.. tak masalahnya buat aku kak..”
(R.2/W.3/b.2541-2548/h.59)
“Kalo enggak suka sama aku kan udah gak mau lagi orang tu minjam uang
sama aku kak. Banyaknya yang usaha kayak aku, cuman ke aku’nya
mereka sering datang maminjam duit kak..”
(R.2/W.3/b.2505-2513/h.58)
181
Lia juga akan bertanggungjawab atas perilakunya jika perbuatannya
menyinggung orang lain.Lia akan meminta maaf apa bila perbuatan yang ia
lakukan memang salah. Tetapi berbeda jika dirnya tidak melakukan perbuatan
yang salah.
“Ya kalo aku yang benar-benar salah kak.. Kalo aku misalnya bikin sakit
hati orang, baru aku mau minta maap.. kalo hati akunya yang di buat sakit,
ngapa aku yang minta maap jugak kak..”
(R.2/W.3/b.2581-2589/h.60)
IV.B.3.iii. I Can
Dukungan yang diterima Lia dari keluarganya serta kekuatan pribadinya
sehingga Lia mampu untuk mengembangkan sumber-sumber resiliensi yang Lia
miliki. Meskipun lingkungan sosial Lia tidak mendukung sumber-sumber tersebut
untuk berkembang, namun berkat dukungan serta kemampuan personal yang Lia
miliki, akhirnya Lia mampu untuk mengembangkan sumber-sumber resiliensinya,
yaitu :
IV.B.3.iii.a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam
Berkomunikasi
Awalnya menurut ibu Lia, Lia merupakan anak yang periang namun agak
sedikit tertutup kepada orang lain jika dirinya memiliki masalah pribadi entah
masalah pribadi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Namun
semuanya menjadi berubah setelah Lia mengalami peristiwa eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi pada tahun 2004 silam.
Menurut ibunya, sejak saat itu Lia menjadi terbuka tentang perasaannya
kepada keluarganya. Lia selalu menceritakan apa yang ia rasakan dan apa yang
182
Lia inginkan. Menurut ibunya selain dengan dirinya, Lia juga selalu menceritakan
apa yang ingin pikirkan dan rasakan kepada sahabatnya Risna. Tak jarang pula
kata sang ibu mereka saling berceita satu sama lainya.
Lia juga mempertegas jika dirinya terus menceritakan masalah yang
sedang dirinya hadapi kepada sang ibu. Lia bahkan mengaku ia tidak pernah tidak
menceritakan apa yang dirinya rasakan. Ia merasa takut jika tidak menceritakan
masalah yang ia hadapi, masalah tersebut menjadi lebih rumit nantinya.
“Em.. em.. enggak kak.. gak pernah aku pake-pake cara-cara baru..
terusnya aku cerita sama mamakku kak. Kalo nanti aku pakekan cara baru,
jadi rusak pula semuanya, hahahahaa..”
(R.2/W.4/b.3195-3202/h.73-74)
Sang ibu dan sahabatnya selalu memberikan masukan untuk Liai. Dan jika
saran yang diberi oleh ibu ataupun sahabatnya ia rasa bagus, Lia akan mengikuti
sara yang telah diberikan ibu dan sahabatnya itu, begitu seterusnya.
“Ehm.. aku selalu cerita kak, kalo ada masalah nanti aku bilang mauku
gimana, terus nanti adanya dikasih nasehat aku kak. Mana baik sama
buruknya. Kalo bagusnya aku rasa nasehat dari mereka, aku ikutilah
nasehat itu kak..”
(R.2/W.4/b3601-3610/h.82)
IV.B.3.iii.b. Menjalin Hubungan yang Saling Mempercayai
Meskipun sempat dijadikan sebagai PSK oleh ayah tirinya dan hingga saat
ini lingkungan sosialnya belum mampu menerima keberadaannya. Lia masih
memiliki orang-orang yang selalu mendukungnya. Berawal dari pertemanannya
dengan Risna, Lia berhasil memiliki seorang sahabat yang ia percayai untuk
mengetahui dan meminta saran dari setiap masalah yang dimilikinya.
183
“He em.. tau kak, smua masalahku dia tau kak.. aku pun kayak gitu sama
dia kak. Pokoknya asal adalah masalahku, aku cerita sama dia kak. Trus
enaknya kak, cerita kami itu gak pernahlah sampek ke orang lain kak..”
(R.2/W.1/b.873-882/h.20)
Lia juga selalu menceritakan keluh kesah yang ia rasakan kepada ibunya.
Lia mengaku kesulitan jika dirinya tidak menceritakan masalah yang sedang ia
hadapi kepada orang-orang yang telah ia percayai dan dapat membina hubungan
yang baik dengan dirinya. Risna dan ibunya selalu membantu Lia ketika Lia
datang dan menceritakan masalah yang sedang dirinya hadapi.
“Payah kak, biasa aku cerita sama orang mamak kan kak, mamak ku
langsung bereaksi. Aku gak bisa nyimpan masalah sendiri kak. Mamak ku
sama si Risna lah yang paling sering aku jadikan tempat cerita kak. Itu
ajanya kak, trus selalu’nya di bantu orang itu aku kak..”
(R.2/W.2/b1719-1730/h.40)
Lia juga mengatakan dirinya selalu menceritakan semua masalah yang
menimpanya kepada keluarganya karena menurutnya keluarganya tersebut sudah
lebih banyak makan asam garam kehidupan dibandingkan dengan dirinya. Lia
juga berkeyakinan jika keluarganya tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang
dapat mencelakakan dirinya sendiri.
“Iya kak, tulang sama nantulang, maktua sama mamakku. Karna lebih
pengalamannya orang itu dari pada aku. Enggak mungkin mereka mau
mencelakakan aku kan kak, apa yang baeknya menurut orang tu, baeknya
jugak untuk aku kak..”
(R.2/W.3/b.3616-3626/h.82)
IV.B.3.iii.c. Mampu Mengelola Perasaan
Menurut ibunya, Lia sempat tidak mampu mengontrol perasaannya ketika
bertemu dengan sesorang atau ketika sedang meluapkan perasaannya kepada
orang yang ia ajak bercerita. Tetapi seiring berjalannya waktu perilaku tersebut
184
mulai berubah. Lia sudah mulai mampu mengontrol rasa emosinya ketika
bercerita kepada orang lainserta mau mendengarkan apa yang orang lain katakan.
Lia mengatakan ia selalu menggunakan kata-kata yang baik ketika sedang
mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Walaupun saat itu mungkin saja
dirinya sedang merasa marah. Lia berusaha untuk menggunakan kata-kata yang
tidak menyinggung orang lain saat ia sedang mengungkapkan perasaannya
dihadapan seseorang, termasuk keluarganya.
“Kalok cerita enggak pernah aku ngomong kasar. Kalok pun marahnya
kan. Selalunya aku ngomong pakek kata-kata yang enggak nyinggung
orang. Enggak pernah aku ngomong-ngomong kayak taik, binatang,
enggak kak..”
(R.2/W.4/b.3670-3680/h.84)
Lia dan ibunya sama-sama saling menjaga perasaan. Seolah mengerti akan
rasa bersalah ibunya, Lia tidak ingin membuat hubungan anatar dirinya dan sang
ibu menjadi jelek karena rasa bersalah tersebut. Lia juga menyadari, bahwa ibunya
sudah memberikan pengertian yang banyak kepadanya. Begitu juga ketika dirinya
sedang mengalami perselisihan dengan orang lain. Lia berusaha untuk
membicarakan hal yang sedang terjadi dengan cara yang baik dan kepala dingin,
agar tidak terjadi pertikaian yang berkepanjangan.
“Kalok skrang ya sama-sama saling jaga perasaan kami kak.. mungkin
mamakku juga merasa bersalah kan kak.. aku pun gitu kak, karna ku
tenggok gitu mamakku sama ku pengertiannya.. jadi tak sampe hati aku
mau berlawanan lagi kak, hahahah…”
(R.2/W.4/b.3387-3398/h.78)
Lia mengatakan tidak masalah jika ia ditanya mengenai masa lalunya.
Menurutnya, asal orang yang bertanya kepadanya bertanya dengan cara yang baik
maka ia akan menjawab dan membagikan cerita tersebut dengan cara yang baik
185
pula. Lia berharap cerita mengenai masa lalunya yang ia bagikan kepada orang
lain dapat menjadi pelajaran bagi seseorang agar tidak bernasib sama dengan
dirinya.
“Enggaknya kak.. kalonya tujuannya baeknya. Supaya jangan ada orang
lain yang nasibnya kayak aku ini kak.. maunya aku cerita tentang masalah
aku ini. Tapi enggak disebarkan lah ya kak ceritaku..”
(R.2/W.4/b.3314-3322/h.76)
IV.B.3.iii.d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
Setelah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi. Lia
sempat menetap disalah satu rumah kerabatnya yang berjarak 44 KM dari tempat
tinggalnya. Lia merasa malu, karena ada saja orang yang menghina keadaan
dirinya. Oleh sebab itu, ia lebih memilih tinggal sementara bersama salah satu
kerabatnya. Lia tidak ingin selama mengandung ia mendengar ocehan-ocehan
menyakitkan dari tetangganya.
“Malu lah kak.. sampe ada yang bilang dulu “bekas lonte”, cobak lah kak,
huuhff. Makanya aku milih tinggal sama maktua ku selama aku hamil.
Kalo disininya aku tinggal, mana kuat telingaku ini dengar-dengar ocehan
orang kak..”
(R.2/W.2/b.1438-1448/h.34)
Lia termasuk orang yang tidak dapat memberikan perlawanan ketika
dirinya diejek oleh orang lain. Karennya Lia selalu menghindar dari orang-orang
yang ada disekitar lingkungan rumahnya. Bahkan untuk mengajak anak semata
wayangnya berjalan-jalan disekitar rumahnya pun Lia harus meminta tolong
kepada ibunya. Meski demikian, Lia tidak keberatan jika harus mengajak Leo
berjalan-jalan ke kota. Karena menurut Lia, tidak ada orang yang mengenalnya di
kota.
186
“Kalo disini kan banyak yang kenal aku, banyak yang tau aku kak.. kalo di
ejek orang aku enggak bisa melawan kak, opung si Leo ininya yang sering
kali berkelahi sama orang yang ngejek aku kak. Kalo ke kota kan enggak
adanya yang kenal aku samaLeo kak, hehmm.. hahaha.. gitu lah kak..”
(R.2/W.2/b.1118-1192/h.28)
Mengetahui dirinya yang tidak mampu melakukan perlawanan jika ada
orang yang menghina keadaan dirinya, Lia lebih memilih untuk tidak memiliki
urusan dengan orang-orang dari lingkungan tempat tinggalnya. Lia tidak ingin ia
semakin banyak pikiran dengan hinaan-hinaan yang berasal dari lingkungan
sosialnya. Menurut Lia, dirinya merasa takut jika anaknya juga ikut dihina oleh
orang-orang tersebut. Lia mengatakan jika hal tersebut sampai terjadi, bukan tidak
mungkin Lia akan melakukan tindakan untuk melindungi sang anak.
“kalok adalah orang kan yang ngejek-ngejek aku gitu, diam aja’nya aku
itu.. Mana pernah aku lawan. Kalok ada juga yang tak senanglah dengan
aku kan misalnya.. Di kompor-komparinya pun aku, gak melawan
jugaknya aku kak. Tak pernah aku marah-marah, walau ya kak, sering kali
aku sedih kalok di gitukan kak..”
(R.2/W.2/b.2057-2071/h.47)
“Dari pada aku makan hati kan kak, kalo cuman aku’nya yang di ejeknya
gak papanya aku anggap kak. Asal jangan lah anakku ini yang di ejeknya
anak haram kak.. Bisa lah aku bunuh yang bilang itu kak.. hehmm..”
(R.2/W.2/b.1902-1912/h.44)
Untuk menghindari sesuatu hal yang tidak Lia inginkan terjadi, Lia
mengaku lebih memilih orang dalam bergaul. Jika dirinya merasa tidak cocok
dengan orang yang berada ditempat tersebut, Lia mengaku tidak akan mencoba
untuk membaur bersama. Selain tidak ingin bergaul bersama orang yang selalu
menghina keadaan dirinya, Lia juga menuturkan jika dirinya harus juga mejaga
perilaku serta ucapannya. Agar dirinya tidak selalu dihina oleh orang-orang
sekitarnya.
187
“..kalo aku berkawan liat-liat kak, kayak yang tadi aku cerita itu lah kan
kak, gak cocok gak mau aku kesitu. Karna aku ni orangnya gak bisa
melawan kak..”
(R.2/W.2/b.2047-2054/h.47)
“Kayak yang aku bilang itulah kak, udah tak banyak aku betingkah, takut
nanti keluar omongan orang yang tak enak kan.. kadang payah kan sama
orang kampung ini. Jaga-jaga bicara pun..”
(R.2/W.3/b2973-2981/h.68)
Lia mengatakan dirinya akan meresponden dengan baik seseorang yang
bertanya mengenai peristiwa yang ia alami jika maksud dan tujuannya baik, agar
orang lain tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Akan tetapi jika hal
tersebut hanya dijadikan bahan ejekan, Lia mengaku tidak akan menanggapinya.
“Kayak yang aku bilang tadi lah kak, kalo baeknya caranya sama aku terus
maksudnya pun baeknya, pastilah baek juganya aku nanggapinya kak.
Kalok cuman untuk menghina kondisiku, napa aku tanggapi kak..”
(R.2/W.4/b.3516-3524/h.80-81)
IV.B.3.iii.e. Mampu Memecahkan Masalah
Menurut ibunya, Lia diberikan modal untuk memulai usaha. Akan tetapi
Lia sama sekali tidak memiliki keterampilan apapun untuk berusaha. Sehingga
menurut ibunya, Lia sempat bingung akan membuka usaha apa. Tetapi kemudian
Lia mengatakan ingin membuka usaha peminjaman uang kepada orang yang
membutuhkan.
Lia juga mengutarakan keinginannya untuk berusaha sendiri, akan tetapi
Lia tidak keterampilan apapun untuk membuat suatu usaha. Menurut Lia, usaha
peminjaman uang yang sedang ia lakukan tersebut hanya sementara dan dirinya
memiliki rencana untuk membuka usaha penjualan pupuk didaerah tempat
tinggalnya.
188
“baru setahun lah kak. Mau cari kerja yang lain, aku gak punya
keterampilan lain kak. Pas pula lah mamakku ngasih modal kan, ya itu aja
lah aku olah kak, hahahaha..”
(R.2/W.2/b.1776-1783/h.41)
Terus itunya, kalo udah cukup nantik modalku, mau bukak usaha jual
pupuk aku.. enggak mungkin lah bungakan duit terus kerjaku kan kak..”
(R.2/W.3/h.2838-2844/h.65)
Dalam menyelesaikan masalah sakit hatinya dengan masa lalu yang
pernah ia alami, Lia mengaku mendatangi seorang pendeta yang akhirnya
memberi nasihat kepada dirinya. Lia mengatakan jika tidak ada untung baginya
jika menyimpan rasa sakit hati atas masa lalu yang pernah ia alami terlalu lama.
“Hehm… Udah kak, kalo masih aku simpan-simpan sakit hatiku, aku
sendiri yang sakit kak. Bagusnya aku maapkan aja kak. Biar tenang
juganya bapak tiriku dikuburnya itu. Adanya balasannya semua kak..”
(R.2/W.2/b.2110-2118/h.48)
Lia dalam menyelesaikan setiap masalahnya selalu membutuhkan bantuan
orang lain yang ia percayai untuk memberikan solusi bagi masalah yang sedang
dihadapinya. Lia mengatakan jika masukan dari orang lain mungkin saja lebih
bagus dari pada pemikiran diri sendiri.
“Hehehehe.. biar bisa cepat kak selesenya.. kadang kan, kita pikir bagus
rupanya enggak bagus, baru nyesal. Kalo di ceritai kan enak kak. Kita pun
enggak susah rasanya..”
(R.2/W.4/b.3251-3258/h.75)
IV.B.4. Interpretasi Data
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai sumber dan faktor resiliensi
pada responden 2 (Lia) yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
Sumber dan faktor tersebut dihubungkan dengan teori yang telah dikemukakan di
Bab II.
189
IV.B.4.i. I Have
I have merupakan dukungan eksternal yang di peroleh Lia dari
keluarganya serta dari sahabatnya. Semenjak Lia menjadi korban eksploitasi
seksual komersil, otomatis Lia membutuhkan dukungan dari orang-orang
sekitarnya untuk kembali membangkitkan semangat dirinya. Untungnya
keluarganya tetap memperlakukan Lia dan anaknya tetap seperti sedia kala.
Meskipun lingkungan sosialnya tidak memberikan dukungan kepada Lia untuk
kembali bersosialisasi disekitar tempat tinggalnyal. Akan tetapi menurut Lia,
berkat dukungan yang ia peroleh dari keluarga serta sahabatnya, Lia mampu untuk
melupakan kesedihan masa lalunya serta memperoleh sumber-sumber resiliensi
yang semakin mendorong pencapaian resiliensinya, yaitu :
IV.B.4.i.a. Hubungan Yang Dilandasi Kepercayaan
Grotberg (2000) mengatakan individu yang resilien mempunyai sebuah
hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan,
ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang
merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang
mencintai dan menerima diri remaja tersebut.
Menjadi korban eksploitasi seksual komersil serta menghasil seorang anak
dari peristiwa tersebut membuat hidup Lia terpuruk. Untuk dapat kembali bangkit
dan menerima kenyataan yang telah terjadi pada dirinya pasti membutuhkan
waktu serta dukungan dari keluarga dan orang-orang sekitar dirinya. Dukungan
yang Lia terima berasal dari dalam keluarganya, dimana keluarga Lia masih tetap
190
menerima diri Lia seperti sedia kala, saat dirinya belum menjadi korban
eksploitasi seksual komersil.
Terjalinnya hubungan yang saling mempercayai dengan anggota
keluarganya, tak lepas dari dukungan dan penerimaa yang Lia peroleh dari
keluarganya. Keluarganya selalu menyediakan waktu untuk Lia ketika Lia
mengalami masalah. Keluarganya pun tidak lagi mengungkit peristiwa yang
pernah Lia alami, serta selalu berusaha untuk membahagiakan Lia. Hubungan
yang dilandasi kepercayaan juga Lia peroleh dari salah satu sahabatnya yang
sudah ia kenal dari beberapa tahun silam. Lia dan sahabatnya mempunyai
hubungan yang menyenangkan serta saling mengisi satu dan lainnya.
Lia tidak mampu membangun hubungan yang dilandasi kepercayaan
dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan sekitar tempat tinggal dirinya.
Dimana hingga saat ini warga sekitar tempat tinggal Lia masih saja
mempersoalkan serta bergunjing tentang masa lalu Lia yang pernah dijadikan
pekerja seks komersial oleh ayah tirinya. Sehingga Lia tidak memiliki kesempatan
untuk melakukan kegiatan sosial bersama-sama dengan warga disekitar tempat
tinggalnya.
IV.B.4.i.b. Struktur dan Peraturan di Rumah
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien juga mempunyai
struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para
orang tua berharap bahwa anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada.
Anak-anak juga akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka
lakukan dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan,
191
mereka butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan
jika perlu menerapkan hukuman.
Lia sama sekali tidak memiliki aturan yang harus dirinya patuhi,
keluarganya tidak pernah membuat aturan-aturan tersebut untuk Lia. Keluarganya
hanya memberikan nasihat kepada Lia setelah dirinya menjadi korban eksploitasi
seksual komersil dan memiliki seorang anak laki-laki. Meski tidak diberi aturan
yang harus Lia patuhi, akan tetapi Lia yang membatasi sendiri perilaku dirinya
agar tida mengundang cemooh dari orang lain.
Semenjak ditinggal pergi oleh ayah kandungnya, otomatis ibu Lia yang
harus berperan untuk mencari nafkah menggantikan tugas ayahnya. Oleh sebab
itu, Lia lah yang menggantikan tugas sang ibu mengurusi segala keperluan rumah
tangga dan emngurusi keperluan anak semata wayangnnya. Akan tetapi meskipun
mengurusi keperluan anak semata wayangnya tersebut merupakan tugas yang
harus dilakukan Lia, sang nenek terkadang juga ikut membantu Lia mengurusi
keperluan cucunya tersebut.
IV.B.4.i.c. Dorongan Untuk Mandiri
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien juga memperoleh
dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran
serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota
keluarga lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam
diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat
berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa
harus bergantung pada orang lain.
192
Walaupun awalnya keluarga Lia, terutama ibunya berniat untuk
menjadikan Lia menjadi seorang yang mandiri. Bentuk niatan tersebut pertama
kali diwujudkan ibunya melalui pemberian modal usaha bagi Lia. Ibunya berharap
dengan memiliki usahar sendiri, Lia menjadi tidak bergantung lagi dengan
dirinya. Akan tetapi perasaan kasihan yang sang ibu melihat anaknya harus
banting tulang membuat Lia kembali dibantu oleh ibunya secara materi, bukan
hanya Lia, tetapi anaknya juga menjadi tanggungan sang ibu. Selain itu, ibu Lia
juga selalu memberikan perlindungan saat Lia mendapat ejekan dari tetangga
sekitar rumahnya. Tak jarang berakhir dengan perkelahian yang dipicu karena
pengaduan Lia mengenai ejekan yang diterimanya dari orang-orang sekitar
rumahnya.
Dorongan untuk mandiri yang sedia kala ditujukan agar Lia menjadi sosok
yang tidak bergantung kepada orang lain menjadi tidak berfungsi dengan baik
karena rasa kasihan serta pertolongan sang ibu yang terus diberikan kepada Lia
dan anaknya secara terus menerus. Rasa kasihan ibunya kepada Lia dan adanya
anggapan jika Lia menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi
adalah karena dirinya menjadikan ibu Lia selalu memberikan bantuan secara terus
menerus. Ditambah lagi dengan kondisi Lia adalah anak semata wayangnya. Sang
ibu tidak pernah menyarankan Lia untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri,
namun selalu membantu Lia dalam penyelesaian semua masalah yang Lia alami.
IV.B.4.i.d.Role Models
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien mempunyai
orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang harus remaja lakukan seperti
193
mencari informasi terhadap sesuatu dan memberikan semangat agar remaja
mengikutinya.
Menjalani hidup setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan membuat
Lia harus memiliki orang-orang yang dapat ia jadikan panutannya. Modeling
tersebut Lia peroleh dari keluarga besar serta orang-orang yang peduli kepada
dirinya. Mereka berkontribusi dengan cara menjadi seseorang yang selalu siap
memberikan arahan serta masukan kepada Lia ketika dirinya sedang mencari
informasi mengenai sesutau hal yang ingin Lia lakukan. Keluarga dan bahkan
beberapa orang diluar keluarganya juga selalu memberikan informasi yang sedang
Lia butuhkan ketika Lia sedang diambang kebingungan saat akan memutuskan
sesuatu untuk hidupnya.
IV.B.4.i.e. Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan, dan
Kesejahteraan
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien juga akan
mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan
dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan
rasa percaya diri dalam diri remaja.
Dalam hal pemberian layanan kesehatan keluarga Lia sedikit terlambat
memberikan layanan tersebut. Kondisi keluarganya yang tinggal jauh dari
perkotaan serta jarangnya informasi yang mereka dapatkan mengenai bahaya
perilaku seksual secara bebas, membuat keluarga Lia tidak langsung
memeriksakan diri Lia apakah terbebas dari virus penyakit ataukan tidak. Walau
sempat mengalami keterlambatan, Lia dan anaknya akhirnya memperoleh layanan
194
kesehatan yang diberikan beberapa bulan kemudian setelah Lia mengalami sakit
didaerah organ kelaminnya.
Keluarga Lia juga memberikan Lia layanan pendidikan bagi Lia,
keluarganya mendukung Lia untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat
terputus ketika Lia mengandung anaknya. Lia termotivasi untuk melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena dirinya tidak ingin orang lain
menghinanya hanya karena ia tidak memiliki pendidikan. Oleh karena itu,
keluarga Lia memberikan dukungan penuh serta membantu Lia mencari serta
mengurus segala keperluan admistrasi Lia untuk melanjutkan pendidikannya
kembali.
Keluarga Lia, khususnya sang ibu, terlalu berlebihan dalam hal
memberikan rasa aman serta kesejahteraan untuk anak semata wayangnya
tersebut. Ibunya terlalu memberikan perlindungan kepada Lia dan cucunya.
Sehingga rasa aman yang tadinya bertujuan untuk memberikan rasa percaya diri
pada Lia tidak berfungsi dengan baik karena pemberian yang terlalu berlebihan.
Begitu juga dengan kesejahteraan yang diberikan kepada Lia. ibunya
memang memberikan kesejahteraan kepada anak semata wayangnya tersebut,
akan tetapi layanan kesejahteraan tersebut terus menerus diberikan sehingga tidak
menjadikan Lia mandiri namun justru semakin bergantung kepada keluarganya.
IV.B.4.ii. I Am
I am merupakan kekuatan personal yang dimiliki oleh Lia ketika dirinya
mengalami keterpurukan. Lia berhasil mengembangkan sumber-sumber resiliensi
yang ia miliki berkat kekuatan personalnya. Namun selain memiliki kekuataan
195
personal, Lia juga memperoleh dukungan yang akhirnya dapat semakin
meningkatkan kekuatan personal yang ia miliki. Dengan kekuatan yang Lia
miliki, Lia semakin mampu mengembangkan sumber-sumber resiliensi dan
berhasil melakukan pencapaian resiliensi yang baik.
IV.B.4.ii.a. Bangga Terhadap Diri Sendiri
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien tahu bahwa
mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu
dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan
membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu
mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu
mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
Meskipun sempat terpuruk setelah mengalami peristiwa yang
menyedihkan, Lia akhirnya dapat bangkit serta mampu menerima kenyataan dan
keadaan dirinya. Peristiwa yang dialaminya serta kemampuannya melewati semua
yang telah terjadi padanya membuat dirinya memiliki pandangan positif kepada
dirinya sendiri, dan tidak membiarkan orang lain menjadikan keadaan dirinya
sebagai bahan pergunjingan. Meskipun Lia tidak mampu melawan jika ada orang
lain menghina keadaan dirinya, akan tetapi Lia berusaha menghindari peristiwa
tersebut agar jangan sampai terjadi.
IV.B.4.ii.b. Disayang dan Disukai Orang Lain
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien pasti mempunyai
orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap
orang-orang yang menyukai dan mencintainya. seseorang dapat mengatur sikap
196
dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara
dengan orang lain.
Meskipun disekitar tempat tinggalnya tidak ada orang yang mampu
menerima kehadirannya, akan tetapi Lia pernah berusaha untuk mendekatkan diri
kembali bersama orang-orang tersebut. Namun upaya yang dilakukan Lia tidak
membuahkan hasil yang baik sehingga akhirnya Lia menarik diri dan tidak ingin
berurusan dengan orang yang berasal dari lingkungan tempat tinggalnya. Namun,
Lia masih memiliki orang-orang yang menyukai serta meyayangi dirinya.
Diantaranya adalah keluarganya, sahabat serta beberapa orang yang dikenal Lia
namun bukan berasal dari tempat tinggal dirinya. Sikap bersahabat Lia akan lebih
diperlihatkannya ketika Lia berhadapan dengan orang-orang yang tidak
menjadikan masa lalu Lia sebagai bahan ejekan. Meskipun orang tersebut belum
pasti menyayangi serta menyukai dirinya.
IV.B.4.ii.c. Percaya Diri, Optimis, dan Penuh Harap
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien dipenuhi harapan,
iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang
lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar
maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan
diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai
kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih
tinggi.
Setelah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi,
kepercayaan diri yang Lia miliki sedikit memudar. Karena kehilangan
197
kepercayaan diri setalah sempat dijadikan pekerja seks komersil, serta adanya
konsep pemikiran Lia tentang virginitas yang menjadi masa depan bagi setiap
wanita, membuat Lia memiliki pandangan jika dirinya sudah tidak memiliki masa
depan setelah dia dirusak oleh ayah tirinya sendiri.
Sempat merasa sakit hati dengan perbuatan ayah tirinya yang telah
menjualnya. Akan tetapi Lia memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti
memberikannya kekuatan untuk menghadapi hal tersebut, dengan keyakinan yang
Lia miliki itulah akhirnya ia bisa memaafkan perbuatan ayah tirinya. Keyakinan
Lia serta kepercayaan dirinya terhadap berkat dan hikmah yang akan ia terima
dari Tuhan atas peristiwa yang pernah Lia alami, membuatnya optimis akan
perjalanan hidupnya ke depan. Bersama sang anak yang ia harapkan mampu
menjadi anak yang berguna kelak.
IV.B.4.ii.d. Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu yang resilien juga merasa
bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap
sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap
peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan
dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk
mengatasi masalah yang terjadi.
Sempat menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi,
tetapi hal tersebut tidak membuatnya menjadi seorang yang tidak empati dan tidak
peduli atas apa yang dirasakan orang lain. Karena rasa empati dan pedulinya
tersebut, Lia kerap memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan. Akan
198
tetapi, tidak semua orang yang akan dibantu olehnya. Namun kemudian,
pengalaman mengajarkan Lia untuk berhati-hati dalam berempati dan menolong
orang lain. Sehingga saat ini, Lia lebih teliti saat dirinya akan dimintai tolong oleh
orang lain, terutama yang berasal dari luar keluarganya.
IV.B.4.ii.e. Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan
Menerima Konsekuensinya
Grotberg (2000) menjelaskan jika individu yang resilien dapat melakukan
berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai
konsekuensi Indan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan
bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka
terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
Selain tidak memiliki aturan yang diterapkan oleh keluarga kepada Lia,
tetapi Lia menerapkan sendiri batasan perilakunya. Lia tidak ingin perilaku yang
ia tampilkan menimbulkan konsekuensi negatif serta mengundang komentar
negatif pula dari orang lain. Lia mengaku mampu menerima konsekuensi dari
segala perbuatan dirinya. Lia mengaku siap menerima konsekuensi dari
keputusannya tersebut serta siap untuk memberikan penghidupan serta masa
depan yang baik bagi anak semata wayangnya.
IV.B.4.iii. I Can
I can merupakan kemampuan interpersonal yang dimiliki Lia, meskipun
lingkungan sosialnya belum mampu untuk menerima kehadiran Lia dan anaknya,
akan tetapi Lia tetap mampu mengembangkan sumber-sumber resiliensi yang ia
miliki. Di dorong kemampuan personal Lia serta dorongan dan penerimaan dari
199
keluarga dan sahabatnya membuat Lia tetap mampu mengembangkan faktor-
faktor resiliensi dalam karakteristik ini, sehingga hal tersebut membantu Lia
dalam pencapaian resiliensinya.
IV.B.4.iii.a. Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan Dalam
Berkomunikasi
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Pernah mengalami peristiwa yang menyakitkan, perasaan tertekan yang
melingkupi Lia, membuat Lia mencoba untuk mengungkapkan perasaannya
kepada keluarganya. keluarganya pun memberikan respon yang positif ketika Lia
mengungkapkan pikiran serta perasaannya kepada mereka. Tujuan Lia
mengungkapkan pikiran serta perasaannya kepada orang lain adalah untuk mecari
solusi dari masalah yang sedang ia hadapi.
Mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan yang sedang ia rasakan
kepada orang lain, akan tetapi tidak kepada semua orang Lia mampu melakukan
hal tersebut. Lia hanya mampu mengekspresikan perasaan serta pikirannya kepada
orang-orang yang sudah mampu menerima keadaan dirinya serta tidak akan
menjadikan keadaan dirinya sebagai bahan cemoohan.
IV.B.4.iii.b. Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu yang resilien mencari hubungan
yang dapat di percaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya
orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan
200
dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
masalah personal dan interpersonal.
Dijual oleh ayah tirinya dan sempat dipaksa menjadi pekerja seks
komersil, Lia masih tetap mampu menjalin hubungan yang saling mempercayai
baik dengan orang dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Dalam
hubungan yang terjalin tersebut, Lia mampu membagi perasaannya serta mampu
mendengarkan pikiran orang lain yang menjadi lawan bicaranya.
Dalam jalinan hubungan yang saling percaya tersebut, Lia sering
menceritakan kesulitan yang dialaminya agar mendapat solusi dari orang-orang
yang telah dia percayai. Dengan adanya diskusi seperti itu, Lia merasa mampu
melewati masalah yang sedang ia hadapi. Hal seperti itu, sudah menjadi kebiasaan
bagi Lia, mencari solusi dengan menceritakan permasalahan yang Lia hadapi
kepada orang yang telah dirinya percaya.
IV.B.4.iii.c. Mampu Mengelola Perasaan
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu yang resilien memiliki
keterampilan berkomunikasi dimana individu mampu mengekspresikan berbagai
macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang
orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain.
Awalny, Lia belum mampu mengontrol apa yang ia rasakan. Namun
dengan berjalannnya waktu, Lia akhirnya mampu mengelola perasaannya saat
bertemu seseorang serta saat diminta untuk menceritakan apa yang ia alami serta
rasakan. Lia selalu berusaha menggunakan kata-kata yang sopan serta baik ketika
dirinya sedang mengungkapkan pikiran serta perasaannya.
201
Sering mengalami perselisihan dengan ibunya, tetapi saat ini Lia mengaku
lebih menjaga emosi ketika berselisih paham dengan ibunya, begitu juga yang ia
lakukan ketika sedang berselisih paham dengan sahabatnya. Pengertian yang
diberikan sang ibu kepada Lia, membuat Lia akhirnya mampu berpikir untuk lebih
mengelola perasaannya saat dirinya terlibat perselisihan dengan orang lain.
IV.B.4.iii.d. Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu yang resilien mampu mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu memahami temperamen
mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau
diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk
berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi,
dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
Perasaan malu yang Lia rasakan saat dirinya menjadi korban eksploitasi
seksual komersil sektor prostitusi, membuat Lia harus mampu mengatur segala
perilaku serta perkataannya saat bergaul dilingkungan sosialnya. Ditambah lagi
lingkunga sosial tempat tinggalnya yang hingga saat ini belum lagi mampu
menerimaa kehadiran Lia kembali ditengah-tengah mereka. Otomatis Lia harus
mampu mencari serta mengetahui perilaku apa yang pantas untuk dirinya
perlihatkan kepada orang disekitarnya.
Seolah mengerti akan keadaannya, Lia tidak mau bereaksi yang
mengundang komentar negatif dari lingkungan sosialnya kepada dirinya. Lia lebih
memilih diam dan menyingkir saat orang lain menyinggung tentang keadaan
202
dirinya. Akan tetapi, hal tersebut semakin membuat orang-orang disekitar tempat
tinggal Lia semakin gencar mencemooh dirinya. Ketiadaan perlawanan yang pada
awalnya dianggap Lia dapat meredam komentar miring tentang dirinya, justru
berbalik menjadikan dirinya bahan perbincangan serta ejekan dilingkungan tempat
tinggalnya.
IV.B.4.iii.e. Mampu Memecahkan Masalah
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu yang resilien memiliki
kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara
alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan
masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat
membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian
masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan
dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
Adanya bantuan dari keluarga serta orang yang ia percayai membuatnya
selalu bergantung kepada orang-orang terdekatntya ketika dirinya sedang
mengalami masalah. Hal itu menyebabkan Lia kurang dapat memecahkan
masalah yang Lia alami sendiri, tanpa adanya masukan dari orang lain.
Bantuan yang terus diberikan dari orang-orang yang menyayangi Lia
membuat Lia tidak memiliki pandangan yang objektif mengenai masalah yang ia
alami, serta harus mencari orang dekatnya untuk ia mintai pendapatnya. Adanya
bantuan yang seperti itu dapat membuat Lia semakin tidak mampu menyelesaikan
masalahnya sendiri, sebab dirinya selalu mendapat bantuan dari orang lain serta
tidak mampu menyelesaikan masalah tanpa orang lain.
203
Tabel 6. Interpretasi Intra Subjek
Interpretasi Responden II
No. Sumber dan Faktor Gambaran Responden Konfirmasi Teoritis
1. I Have :
a. Hubungan yang
dilandasi
kepercayaan
Lia memiliki mampu memiliki hubungan
yang dilandasi kepercayaan dengan anggota
keluarganya. Terjalinnya hubungan tersebut
tidak lepas dari dukungan yang Lia peroleh
dari keluarganya. Keluarga Lia selalu
menyediakan waktu untuk Lia serta
membantu Lia ketika Lia mengalami masalah.
Keluarganya pun tidak pernah lagi
mengungkit peristiwa yang pernah Lia alami.
Namun, Lia tidak mampu untuk memiliki
hubungan yang dilandasi kepercayaan dengan
orang-orang dilingkungan tempat tinggalnya.
Hal tersebut disebabkan karena warga sekitar
tempat tinggal Lia, belum bisa menerima
kehadiran Lia kembali ditengah-tengah
mereka.
Grotberg (2000) mengatakan ada Dukungan
ini berupa hubungan yang baik dengan
keluarga, lingkungan sekolah yang
menyenangkan, ataupun hubungan dengan
orang lain diluar keluarga. Melalui I have,
seseorang merasa memiliki hubungan yang
penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga
lain, guru, dan teman-teman yang mencintai
dan menerima diri remaja tersebut..
b. Struktur dan
Peraturan di rumah
Lia sama sekali tidak memiliki aturan yang
harus dirinya patuhi dirumahnya.
Keluarganya tidak pernah membuat aturan-
aturan tersebut untuk Lia patuhi. Keluarganya
hanya memberikan nasihat kepada Lia setelah
dirinya menjadi korban eksploitasi komersil
Grotberg (2000) menyatakan Individu yang
resilien juga mempunyai struktur dan aturan
di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang
tua mereka. Para orang tua berharap bahwa
anak-anak dapat mematuhi semua peraturan
yang ada. Anak-anak juga akan menerima
204
dan memiliki seorang anak laki-laki.
Meskipun tidak diberi aturan yang harus Lia
patuhi, akan tetapi Lia yang membatasi
sendiri perilaku dirinya agar tidak
mengundang cemooh dari orang lain.
Semenjak ditinggal pergi oleh ayah
kandungnya, otomatis ibu Lia yang harus
berperan untuk mencari nafkah menggantikan
tugas ayahnya. Oleh sebab itu, Lia lah yang
menggantikan tugas sang ibu mengurusi
segala keperluan rumah tangga dan emngurusi
keperluan anak semata wayangnnya. Akan
tetapi meskipun mengurusi keperluan anak
semata wayangnya tersebut merupakan tugas
yang harus dilakukan Lia, sang nenek
terkadang juga ikut membantu Lia mengurusi
keperluan cucunya tersebut.
konsekuensi dari setiap tindakan yang
mereka lakukan dalam menjalani aturan
tersebut. Ketika mereka melanggar aturan,
mereka butuh seseorang untuk memeberi
tahu kesalahan yang mereka perbuat dan
jika perlu menerapkan hukuman.
c. Dorongan untuk
mandiri
Walaupun pada awalnya keluarga Lia,
terutama ibunya berniat untuk menjadikan Lia
supaya menjadi seorang yang mandiri. Bentuk
niatan tersebut pertama kali diwujudkan
ibunya melalui pemberian modal usaha bagi
Lia. Ibunya berharap dengan memiliki usahar
sendiri, Lia menjadi tidak bergantung lagi
dengan dirinya. Akan tetapi perasaan kasihan
yang sang ibu melihat anaknya harus banting
tulang membuat Lia kembali dibantu oleh
ibunya secara materi, bukan hanya Lia, tetapi
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien juga memperoleh dukungan
untuk mandiri dan dapat mengambil
keputusan berdasarkan pemikiran serta
inisiatifnya sendiri. Dukungan yang
diberikan oleh orangtua ataupun anggota
keluarga lainnya akan sangat membantu
dalam membentuk sikap mandiri dalam diri
seseorang. Orangtua akan mendukung serta
melatih anak untuk dapat berinisiatif dan
“berkuasa” atas dirinya sendiri untuk
205
anaknya juga menjadi tanggungan sang ibu.
Selain itu, ibu Lia juga selalu memberikan
perlindungan saat Lia mendapat ejekan dari
tetangga sekitar rumahnya. Tak jarang
berakhir dengan perkelahian yang dipicu
karena pengaduan Lia mengenai ejekan yang
diterimanya dari orang-orang sekitar
rumahnya. Dorongan untuk mandiri yang
sedia kala ditujukan agar Lia menjadi sosok
yang tidak bergantung kepada orang lain
menjadi tidak berfungsi dengan baik karena
rasa kasihan serta pertolongan sang ibu yang
terus diberikan kepada Lia dan anaknya
secara terus menerus. Rasa kasihan ibunya
kepada Lia dan adanya anggapan jika Lia
menjadi korban eksploitasi seksual komersil
sektor prostitusi adalah karena dirinya
menjadikan ibu Lia selalu memberikan
bantuan secara terus menerus. Ditambah lagi
dengan kondisi Lia adalah anak semata
wayangnya. Sang ibu tidak pernah
menyarankan Lia untuk menyelesaikan
permasalahannya sendiri, namun selalu
membantu Lia dalam penyelesaian semua
masalah yang Lia alami.
mengambil keputusan tanpa harus
bergantung pada orang lain
206
d. Role Models Modeling tersebut Lia peroleh dari keluarga
besar serta orang-orang yang peduli kepada
dirinya. Mereka berkontribusi dengan cara
menjadi seseorang yang selalu siap
memberikan arahan serta masukan kepada Lia
ketika dirinya sedang mencari informasi
mengenai sesutau hal yang ingin Lia lakukan.
Keluarga dan bahkan beberapa orang diluar
keluarganya juga selalu memberikan
informasi yang sedang Lia butuhkan ketika
Lia sedang diambang kebingungan saat akan
memutuskan sesuatu untuk hidupnya.
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien mempunyai orang-orang yang
dapat menunjukkan apa yang harus remaja
lakukan seperti mencari informasi terhadap
sesuatu dan memberikan semangat agar
remaja mengikutinya.
e. Memperoleh
layanan kesehatan,
pendidikan,
keamanan dan
kesejahteraan.
Kondisi keluarganya yang tinggal jauh dari
perkotaan serta jarangnya informasi yang
mereka dapatkan mengenai bahaya perilaku
seksual secara bebas, membuat keluarga Lia
tidak langsung memeriksakan diri Lia apakah
terbebas dari virus penyakit ataukan tidak.
Walau sempat mengalami keterlambatan, Lia
dan anaknya akhirnya memperoleh layanan
kesehatan yang diberikan beberapa bulan
kemudian setelah Lia mengalami sakit
didaerah organ kelaminnya. Keluarga Lia
juga memberikan Lia layanan pendidikan bagi
Lia, keluarganya mendukung Lia untuk
melanjutkan pendidikannya yang sempat
terputus ketika Lia mengandung anaknya.
Keluarga Lia, khususnya sang ibu, terlalu
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien juga akan mendapatkan
jaminan kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan serta keamanan dari orangtua.
Sehingga hal ini akan membantu mereka
untuk mengembangkan rasa percaya diri
dalam diri anak.
207
berlebihan dalam hal memberikan rasa aman
serta kesejahteraan untuk anak semata
wayangnya tersebut. Ibunya terlalu
memberikan perlindungan kepada Lia dan
cucunya. Sehingga rasa aman yang tadinya
bertujuan untuk memberikan rasa percaya diri
pada Lia tidak berfungsi dengan baik karena
pemberian yang terlalu berlebihan.
2. I Am :
a. Bangga terhadap
diri sendiri
Meskipun sempat terpuruk setelah mengalami
peristiwa yang menyedihkan, Lia akhirnya
dapat bangkit serta mampu menerima
kenyataan dan keadaan dirinya saat ini.
Peristiwa yang dialaminya serta
kemampuannya melewati semua yang telah
terjadi padanya membuat dirinya memiliki
pandangan positif tentang dirinya sendiri, dan
tidak akan membiarkan orang lain menjadikan
keadaan dirinya sebagai bahan pergunjingan.
Meskipun Lia tidak mampu melawan jika ada
orang lain menghina keadaan dirinya, akan
tetapi Lia berusaha menghindari peristiwa
tersebut agar jangan sampai terjadi.
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien tahu bahwa mereka adalah
seorang yang penting dan merasa bangga
akan siapakah mereka itu dan apapun yang
mereka lakukan atau akan dicapai. Individu
itu tidak akan membiarkan orang lain
meremehkan atau merendahkan mereka.
Ketika individu mempunyai masalah dalam
hidup, kepercayaan diri dan self esteem
membantu mereka untuk dapat bertahan
dan mengatasi masalah tersebut.
b. Disayang dan
disukai orang lain
Meskipun disekitar tempat tinggalnya tidak
ada orang yang mampu menerima
kehadirannya, akan tetapi Lia pernah
berusaha untuk mendekatkan diri kembali
bersama orang-orang tersebut. Namun upaya
yang dilakukan Lia tidak membuahkan hasil
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien pasti mempunyai orang yang
menyukai dan mencintainya. Individu akan
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien pasti mempunyai orang yang
menyukai dan mencintainya. Individu akan
208
yang baik sehingga akhirnya Lia menarik diri
dan tidak ingin berurusan dengan orang yang
berasal dari lingkungan tempat tinggalnya.
Akan tetapi, Lia tetap mampu mengatur
sikapnya ketika dirinya berhadapan dengan
orang-orang yang tidak menyukain kehadiran
Lia. Meskipun demikian, Lia masih memiliki
orang-orang yang menyukai serta meyayangi
dirinya. Diantaranya adalah keluarganya,
sahabat serta beberapa orang yang dikenal Lia
namun bukan berasal dari tempat tinggal
dirinya.
bersikap baik terhadap orang-orang yang
menyukai dan mencintainya. seseorang
dapat mengatur sikap dan perilakunya jika
menghadapi respon-respon yang berbeda
ketika berbicara dengan orang lain.
c. Percaya diri,
optimis dan penuh
harap
Setelah menjadi korban eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi, kepercayaan diri
yang Lia miliki sedikit memudar dari sebelum
dirinya menjadi korban ekslpoitasi seksual
komersil sektor prostitu yang dilakukan oleh
ayah tirinya. Karena kehilangan kepercayaan
diri setalah sempat dijadikan pekerja seks
komersil, serta adanya konsep pemikiran Lia
tentang virginitas yang menjadi masa depan
bagi setiap wanita, membuat Lia memiliki
pandangan jika dirinya sudah tidak memiliki
masa depan setelah dia dirusak oleh ayah
tirinya sendiri. Akan tetapi Lia memiliki
keyakinan bahwa Tuhan pasti
memberikannya kekuatan untuk menghadapi
hal tersebut, dengan keyakinan yang Lia
Grotberg (2000) mengatakan jika individu
yang resilien dipenuhi harapan, iman, dan
kepercayaan. Individu percaya ada harapan
bagi mereka, serta orang lain dan institusi
yang dapat dipercaya. Individu merasakan
mana yang benar maupun salah, dan ingin
ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai
kepercayaan diri dan iman dalam moral dan
kebaikan, serta dapat mengekspresikannya
sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan
manusia yang mempunyai spiritual yang
lebih tinggi.
209
miliki itulah akhirnya dirinya bisa memaafkan
perbuatan ayah tirinya. Keyakinan Lia serta
kepercayaan dirinya terhadap berkat dan
hikmah yang akan ia terima dari Tuhan atas
peristiwa yang pernah Lia alami, membuatnya
optimis akan perjalanan hidupnya ke depan.
Bersama sang anak yang ia harapkan mampu
menjadi anak yang berguna kelak.
d. Memiliki empati
dan peduli terhadap
sesama
Lia dapat berempati dan merasakan perasaan
yang dirasakan oleh orang lain. Karena rasa
empati dan pedulinya tersebut, Lia kerap
memberikan bantuan kepada orang yang
membutuhkan. Akan tetapi, tidak semua
orang yang akan dibantu olehnya. Namun
kemudian, pengalaman mengajarkan Lia
untuk berhati-hati dalam berempati dan
menolong orang lain. Sehingga saat ini, Lia
lebih teliti saat dirinya akan dimintai tolong
oleh orang lain, terutama yang berasal dari
luar keluarganya.
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien juga merasa bahwa mereka
memiliki empati dan sikap kepedulian yang
tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka
tunjukkan melalui sikap peduli mereka
terhadap peristiwa yang terjadi pada orang
lain. Mereka juga merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan yang
dirasakan oleh orang lain dan berusaha
membantu untuk mengatasi masalah yang
terjadi.
e. Mampu
bertanggung jawab
terhadap perilaku
sendiri dan
menerima
konsekuensinya
Selain tidak memiliki aturan yang diterapkan
oleh keluarga kepada Lia, tetapi Lia mengaku
menerapkan sendiri batasan bagi dirinya
ketika berperilaku. Lia tidak ingin perilaku
yang ia tampilkan menimbulkan konsekuensi
negatif serta mengundang komentar negatif
pula dari orang lain. Lia mengaku mampu
menerima konsekuensi dari segala perbuatan
Grotberg (2000) mengatakan Individu yang
resilien dapat melakukan berbagai macam
hal menurut keinginan mereka dan
menerima berbagai konsekuensi dan
perilakunya. Individu merasakan bahwa ia
bisa mandiri dan bertanggung jawab atas
hal tersebut. Individu mengerti batasan
kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan
210
dirinya. Lia juga mengaku akan meminta
maaf jika perilakunya membuat orang lain
merasa tersakiti
dan mengetahui saat orang lain bertanggung
jawab.
3. I Can :
a. Mampu
mengungkapkan
pikiran dan
perasaan dalam
berkomunikasi
Pernah mengalami peristiwa yang
menyakitkan, perasaan tertekan yang
melingkupi perasaan Lia, membuat Lia
memcoba untuk mengungkapkan perasaannya
kepada keluarganya. keluarganya pun
memberikan respon yang positif ketika Lia
mengungkapkan pikiran serta perasaannya
kepada mereka. Tujuan Lia mengungkapkan
pikiran serta perasaannya kepada orang lain
adalah untuk mecari solusi dari masalah yang
sedang ia hadapi. Meskipun mampu
mengungkapkan pikiran dan perasaan yang
sedang ia rasakan kepada orang lain, akan
tetapi tidak kepada semua orang Lia mampu
melakukan hal tersebut. Lia hanya mampu
mengekspresikan perasaan serta pikirannya
kepada orang-orang yang ia ketahui sudah
mampu menerima keadaan dirinya serta tidak
akan menjadikan keadaan dirinya sebagai
bahan cemoohan.
(Grotberg, 2000) mengatakan Individu yang
resilien tersebut juga memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi serta memecahkan
masalah dengan baik. Mereka mampu
mengekspresikan pikiran dan perasaan
mereka dengan baik.
b. Menjalin hubungan
yanng saling
mempercayai
Lia masih tetap mampu menjalin hubungan
yang saling mempercayai baik dengan orang
dari dalam keluarga maupun dari luar
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien mencari hubungan yang dapat
di percaya dimana individu dapat
211
keluarga. Dalam hubungan yang terjalin
tersebut, Lia mampu membagi perasaannya
serta mampu mendengarkan pikiran orang
lain yang menjadi lawan bicaranya. Dalam
jalinan hubungan yang saling percaya
tersebut, Lia sering menceritakan kesulitan
yang dialaminya agar mendapat solusi dari
orang-orang yang telah dia percayai. Dengan
adanya diskusi seperti itu, Lia merasa mampu
melewati masalah yang sedang ia hadapi. Hal
seperti itu, sudah menjadi kebiasaan bagi Lia,
mencari solusi dengan menceritakan
permasalahan yang Lia hadapi kepada orang
yang telah dirinya percaya.
menemukan seseorang misalnya orang tua,
saudara, teman sebaya untuk meminta
pertolongan, berbagi perasaan dan
perhatian, guna mencari cara terbaik untuk
mendiskusikan dan menyelesaikan masalah
personal dan interpersonal.
c. Mampu mengelola
perasaan
Pada awal-awal kejadian, Lia seolah belum
mampu mengontrol apa yang ia rasakan.
Namun dengan berjalannnya waktu, Lia
akhirnya mampu mengelola perasaannya saat
bertemu seseorang serta saat diminta untuk
menceritakan apa yang ia alami serta rasakan.
Lia selalu berusaha menggunakan kata-kata
yang sopan serta baik ketika dirinya sedang
mengungkapkan pikiran serta perasaannya.
Meskipun dahulu sering mengalami
perselisihan dengan ibunya, akan tetapi saat
ini Lia mengaku lebih menjaga perasaan
dirinya ketika berselisih paham dengan ibu
kandungnya, begitu juga yang ia lakukan
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien memiliki keterampilan
berkomunikasi dimana individu mampu
mengekspresikan berbagai macam pikiran
dan perasaan kepada orang lain dan dapat
mendengar apa yang orang lain katakan
serta merasakan perasaan orang lain.
212
ketika sedang berselisih paham dengan
sahabatnya. Pengertian yang diberikan sang
ibu kepada Lia, membuat Lia akhirnya
mampu berpikir untuk lebih mengelola
perasaannya saat dirinya terlibat perselisihan
dengan orang lain.
d. Mampu mengukur
temperamen diri
sendiri dan orang
lain
Perasaan malu yang Lia rasakan saat dirinya
menjadi korban eksploitasi seksual komersil
sektor prostitusi, membua Lia harus mampu
mengatur segala perilaku serta perkataannya
saat bergaul dilingkungan sosialnya.
Ditambah lagi lingkunga sosial tempat
tinggalnya yang hingga saat ini belum lagi
mampu menerimaa kehadiran Lia kembali
ditengah-tengah mereka. Lia lebih memilih
diam dan menyingkir saat orang lain
menyinggung tentang keadaan dirinya. Akan
tetapi, hal tersebut semakin membuat orang-
orang disekitar tempat tinggal Lia semakin
gencar mencemooh dirinya. Ketiadaan
perlawanan yang pada awalnya dianggap Lia
dapat meredam komentar miring tentang
dirinya, justru berbalik menjadikan dirinya
bahan perbincangan serta ejekan dilingkungan
tempat tinggalnya.
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien mampu Mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain
dimana individu memahami temperamen
mereka sendiri (bagaimana bertingkah,
merangsang, dan mengambil resiko atau
diam, reflek dan berhati-hati) dan juga
terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui
berapa lama waktu yang diperlukan untuk
berkomunikasi, membantu individu untuk
mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan
e. Mampu
memecahkan
masalah
Adanya bantuan dari keluarga serta orang
yang ia percayai membuatnya selalu
bergantung kepada orang-orang tersebut
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu
yang resilien memiliki kemampuan
memecahkan masalah. Individu dapat
213
ketika dirinya sedang mengalami masalah.
Sehingga pemecahan masalah yang
seharusnya bisa dia selesaikan dengan
menggunakan sudut pandangannya, tidak
mampu ia lakukan dan selalu mencari orang
lain untuk meminta bantuan kepada mereka.
Bantuan yang terus diberikan dari orang-
orang yang menyayangi Lia tersebut akhirnya
membuat Lia tidak dapat memiliki pandangan
yang objektif mengenai masalah yang ia
alami, serta harus mencari orang yang terlebih
dahulu untuk ia mintai pendapatnya. Adanya
bantuan yang seperti itu dapat membuat Lia
semakin tidak mampu menyelesaikan
masalahnya sendiri, sebab dirinya selalu
mendapat bantuan dari orang lain serta tidak
mampu menyelesaikan masalah tanpa orang
lain.
menilai suatu masalah secara alami serta
mengetahui apa yang mereka butuhkan agar
dapat memecahkan masalah dan bantuan
apa yang mereka butuhkan dari orang lain.
Individu dapat membicarakan berbagai
masalah dengan orang lain dan menemukan
penyelesaian masalah yang paling tepat dan
menyenangkan. Individu terus-menerus
bertahan dengan suatu masalah sampai
masalah tersebut terpecahkan.
214
Tabel 4. Gambaran Resiliensi Responden II (Lia)
Lia
Usia : 21 Tahun
Agama : Kristen
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Wirausaha
Domisili : Aceh
Urutan dalam keluarga : 1 dari 1
Pelaku eksploitasi : Ayah tiri
Tahun kejadian : 2004
Karakteristik resiliensi
Dukungan eksternal yang di peroleh
remaja dari keluarga maupun lingkungan
sosialnya (I Have) :
6. 1. Memiliki hubungan yang saling
percaya dengan ibu, keluarga besar &
sahabatnya
7. 2. Tidak memiliki aturan untuk dipatuhi,
namun memiliki aturan untuk diri sendiri
8. 3. Memiliki dorongan mandiri, namun
kurang berfungsi dengan baik
9. 4. Modelling dari keluarga, yaitu :
nasihat agar Lia tetap mempertahankan
janinnya
5. Memperoleh layanan kesehatan,
keamanan & kesejahteraan.
Kekuatan pribadi Adek untuk bangkit dari keterpurukan (I
Am) :
6. 1. Merasa bangga terhadap dirinya sendiri, karena mampu
melewati masa-masa sulitnya.
7. 2. Memiliki orang-orang yang menyayangi & menyukai
dirinya yaitu ibu & anggota keluarganya serta sahabatnya
8. 3. Memiliki rasa percaya terhadap diri sendiri, optimis akan
masa depan serta berkeyakinan terhadap Tuhan YME
9. 4. Memiliki rasa empati & peduli terhadap orang yang
sedang kesulitan.
5. Sudah mampu bertanggungjawab terhadap konsekuensi
dari setiap perilakunya
Kemampuan interpersonal yang
Adek miliki (I Can) :
6. 1. Mampu untuk mengungkapkan
pikiran & perasaan dalam
berkomunikasi dengan orang yang
mampu menerima dirinya.
7. 2. Mampu membina hubungan
yang saling percaya dengan ibu &
anggota keluarga & sahabatnya
8. 3. Mampu mengekspresikan
perasaan kepada orang lain &
mampu mendengar apa yang
orang lain rasakan.
9. 4. Mampu mengukur temperamen
diri sendiri & orang lain saat
berkomunikasi.
5. Belum mampu memecahkan
masalah karena tidak mampu
terbuka kepada orang lain.
215
IV.C. PEMBAHASAN
ECPAT (2006) menyatakan bahwa eksploitasi seksual komersil
merupakan penggunaan seseorang untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan
uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan
orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap
remaja yang menjadi korbannya. Dalam penelitian ini, responden I dan II
merupakan korban eksploitasi seksual komersil, dimana kedua responden
digunakan untuk tujuan seksual oleh orang-orang yang ingin mendapatkan
keuntungan dari eksploitasi seksual tersebut.
Responden I dan II sama-sama mengalami eksploitasi seksual komersil
dalam bentuk prostitusi, yaitu tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan
langsung seorang remaja putri untuk melakukan tindakan seksual demi
mendapatkan uang atau imbalan lain (ECPAT, 2008). Pelaku eksploitasi sekssual
komersil dalam bentuk prostitusi tersebut berbeda pada kedua responden. Pada
responden I, pelaku yang menyebabkan responden I menjadi korban eksploitasi
seksual komersil tersebut adalah sahabat responden I itu sendiri. Dimana
sahabatnya bertindak sebagai perantara yang kemudian menjual responden I
kepada seorang agen pemilik serta pengelola sebuah tempat hiburan.
Pelaku eksploitasi yang menyebabkan responden II terjerumus kedalam
dunia prostitusi adalah ayah tiri responden II sendiri. Dimana sebelum dijual oleh
ayah tirinya, responden II sempat terlebih dahulu diperkosa berulang kali sebelum
responden II dijual untuk pertama kali. Dari hasil perkosaan serta dipekerjakan
sebagai pekerja eksploitasi seksual komersil tersebut, responden II menerima
216
konsekuensinya. Responden II akhirnya mengandung serta melahirkan seorang
bayi laki-laki yang tidak pernah dirinya ketahui siapa bapak kandung anak
tersebut.
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi korban eksploitasi
seksual komersil serta terjerumus kedalam dunia prostitusi. Saptari (dalam
Suyanto, 2010) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi remaja menjadi
korban eksploitasi seksual komersil. Pertama, karena keadaan ekonomi atau
kondisi kemiskinan yang dialami remaja korban eksploitasi seksual komersil.
Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti
penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi remaja yang
sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang diciptakan untuk
mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan. Untuk responden I,
kemiskinan adalah salah satu faktor yang menyebabkan dirinya terjerumus
kedalam dunia prostitusi.
Faktor lain yang menyebabkan responden I menjadi korban eksploitasi
seksual komersil adalah adanya tangung jawab anak yang sudah remaja untuk
mendukung keluarga (ECPAT,2008). Dimana karena kondisi kondisi ekonomi
keluarganya yang kurang mapan, ditambah responden masih memiliki empat
orang adik yang membutuhkan biaya untuk pendidikannya. Untuk itulah
responden I berinisiatif membantu perekonomian keluarganya dengan mencari
pekerjaan. ECPAT (2008) mengatakan bahwa adanya jaringan kriminal yang
mengorganisir industri seks dan merekrut remaja putri sebagai korban eksploitasi
seksual juga menjadi salah satu fakor yang membuat marak penyebaran praktek
217
prostitusi. Dimana responden I dijual oleh sahabatnya kepada seseorang yang
memiliki tempat hiburan serta menyediakan fasilitas-fasilitas seksual.
Faktor yang menyebabkan responden II menjadi korban eksploitasi seksual
komersil adalah, adanya perpecahan didalam keluarga (ECPAT, 2008). Dimana
responden II telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya sejak dirinya baru berusia
delapan tahun. Kemudian ibunya menikah lagi saat ia berusia 13 tahun. Kemudian
terjerumusnya responden II kedalam dunia prostitusi adalah karena rasa sakit hati
ayah tiri responden II kepada ibu kandung responden II, yang selalu menghina
serta merendahkan harga diri ayah tiri responden II. Oleh sebab itu, rasa sakit hati
tersebut, dilampiaskan ayah tiri responden II kepada sang anak tiri dengan cara
memperkosa responden II terlebih dahulu kemudian menjual.
Eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi sendiri memberi dampak
traumatis kepada korbannya. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan dampak-
dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam jiwa korban eksploitasi
seksual tersebut sehubungan dengan perkembang fisik, psikologis, spiritual,
emosional, dan sosial serta kesejahteraan remaja korban eksploitasi seksual
(Suyanto, 2010). Dalam penelitian ini, ditemukan dampak psikologis yang
awalnya dirasakan oleh kedua responden, yaitu berupa gangguan emosi seperti
depresi, merasa hina, ketakutan akan selalu mendapat cemooh setelah menjadi
korban eksploitasi seksual komersil.
Kedua responden awalnya juga mengalami gangguan emosi. Pada
responden I, gangguan emosinya berupa depresi, merasa dirinya sangat hina,
bahkan responden I tidak berani keluar rumah selama enam bulan lamanya karena
218
merasa takut akan dicemooh oleh orang lain. Sementara untuk responden II,
gangguan emosinya berupa depresi, merasa hina, tidak mampu mengontrol
perasaan saat bertemu orang lain hal tersebut ditambah dengan adanya anak yang
harus dikandung oleh responden II. Membuat responden II harus mengungsi
terlebih untuk menghindari rasa malu karena memiliki anak dari hasil yang tidak
dikehendaki.
Belum lagi stigma yang timbulkan bagi korban eksploitasi seksual
komersil sektor prostitusi. Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual
komersil dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi, sering kali harus menanggung
beban psikologis yang berat berupa stigma dari masyarakat atas pekerjaan yang
mereka tekuni karena dinilai terkutuk, memalukan, tidak bermoral (Suyanto,
2010). Kedua responden sama-sama memperoleh stigma yang berasal dari
lingkungan sosial mereka mengenai pekeraan yang sempat mereka lakoni.
Stigma negatif yang terima responden I bukan hanya berasal dari
lingkungan sosialnya, namun juga berasal dari keluarga besarnya. Dimana
responden I dianggap dapat menyebarkan pengaruh buruk untuk anak-anak yang
ada didalam keluarga besar mereka. Meskipun responden I sudah membuktikan
jika stigma yang ditujukan kepada dirinya tersebut tidak benar dan dirinya hanya
sebagai korban dari orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari
ketidakberdayaannya, akan tetapi stigma negative tersebut tetap melekat pada diri
responden I. Sementara untuk responden II, stigma negative muncul dari orang-
orang dilingkungan tempat tinggal dirinya. Responden II dipandang sebagai sosok
219
yang menggoda ayah tirinya sendiri, kemudian dipandang sebagai orang yang
dapat memberikan pengaruh buruk untuk lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Stigma negatif yang diterima oleh responden I dan II karena mereka
pernah terjerumus dalam dunia prostitusi membuat orang-orang disekitar
responden I dan II memberikan dukungan nyata kepada responden I dan II agar
kembali bangkit setelah mengalami peristiwa menyakitkan. Meskipun mendapat
stigma dari orang lain, namun responden I dan II masih mampu membina
hubungan dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan sekitar tempat
tinggalnya.
Menurut Grotberg (2000) untuk menjadi individu yang resilien, seseorang
harus memiliki karakteristik resiliensi yaitu dukungan eksternal yang remaja
peroleh (I Have), kemampuan pribadi remaja (I Am), dan kemampuan
interpersonal remaja ketika berada di lingkungan sosialnya (I Can). Masing-
masing karakteristik memiliki sumber-sumber resiliensi yang harus
dikembangkan oleh setiap remaja yang mengalami pengalaman traumatis. Sumber
resiliensi yang dimiliki oleh setiap remaja tersebut nantinya akan membantu
remaja untuk menjadi individu yang resilien.
Responden I dan II masing-masing memiliki karakteristik resiliensi, kedua
responden responden memiliki orang-orang yang mendukung mereka setelah
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Berkat dukungan dan penerimaan
yang diberikan keluarga dan orang-orang terdekat kedua responden, responden I
dan II akhirnya mampu mengembangkan sumber-sumber resiliensi yang mereka
miliki. Secara umum, faktor-faktor yanga ada dalam karakteristik ini dapat
220
dikembangkan dengan baik oleh kedua responden. Hal itu tidak terlepas dari
dukungan serta penerimaan keluarga dan sahabat sehingga kedua responden
melakukan pencapian resiliensi.
Grorberg (2000) mengatakan jika Individu yang resilien memperoleh
dukungan berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang
menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui
dukungan ini, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.
Hubungan seperti ini diperoleh dari orangtua, anggota keluarga lain, guru, dan
teman-teman yang mencintai dan menerima diri remaja tersebut.. Hubungan yang
penuh kepercayaan tidak hanya bisa diciptakan didalam keluarga saja, melainkan
juga dapat tercipta diluar keluarga.
Adanya dukungan serta penerimaan dari keluarga dan lingkungan sosial
yang diterima oleh masing-masing responden menbuat responden I dan II mampu
mengembangkan hubungan yanng dilandasi kepercayaan. Selain dukungan dan
penerimaan dari kleluarga responden I juga memperoleh dukungan dan
penerimaan dari orang-orang dilingkungan sosialnya dan dapat kembali membaur
dengan orang-orang dilingkungan sosialnya. Berbeda dengan responden II,
dimana orang disekitar tempat tinggalnya belum mampu menerima keadaan dan
kehadirannya dilingkungan tersebut, meskipun kejadian yang dialami oleh
responden II sudah terjadi delapan tahun yang lalu. Adanya penolakan dari
lingkungan sosial kepada responden II menyebabkan responden II tidak mampu
membaurkan dirinya kepada orang disekitar lingkungan sosialnya.
221
Untuk menjadi individu yang resilien, individu harus mendapat dukungan
baik dari keluarganya maupu lingkungan sosialnya, salah satu bentuk dukungan
tersebut adalah individu memiliki struktur dan peraturan dirumah yang ditetapkan
oleh orangtua individu itu sendiri. Hal tersebut juga dikatakan oleh Grotberg
(2000) individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah
yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak
dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima
konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan
tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka butuh seseorang untuk
memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan
hukuman.
Kedua orangtuanya responden I memang menerapkan aturan yang harus
patuhi responden I. Aturan yang ditetapkan oleh kedua orangtua responden I
adalah larangan agar responden I tidak membina hubungan khusus dengan laki-
laki dahulu. Meskipun tidak mendapat hukuman jika tidak mematuhinya tetapi
responden I merasa takut akan akibat yang ditimbulkan jika responden I
melanggar aturan yang ditetapkan oleh orangtuanya. Berbeda dengan responden
II yang sama sekali tidak memiliki aturan untuk dipatuhi. Akan tetapi peraturan
tersebut diganti menjadi nasihat-nasihat yang diberikan keluarganya kepada
responden II. Hal yang sama dari responden I dan II dalam faktor ini adalah,
responden I dan II sama-sama memberikan aturan bagi diri sendiri yaitu aturan
ketika berperilaku, baik didalam keluarga maupun ketika berada dilingkungan
222
sosialnya. Tujuannya adalah agar masyarakat tidak terus memberikan stigma
negatif kepada responden I dan II.
Dukungan dari keluarga juga harus mampu menjadikan individu sebagai
seorang mandiri, seperti yanng diungkapkan oleh Grotberg (2000) individu yang
resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil
keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang
diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu
dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan mendukung
serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri
untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.
Kedua responden sama-sama memperoleh dukungan mandiri dari keluarga
serta dari lingkungan sosialnya. Pada responden I, orangtuanya membiarkan
responden I mengambil keputusan berdasarkan pemikiran yang menurut
responden I baik untuk dirinya sendiri. Sementara tugas orangtua responden I
hanya sebagai pemantau apakah dukungan serta nasihat yang diberikan sudah
sesuai dengan yang dibutuhkan responden I atau tidak. Dimana hal tersebut,
mampu membuat responden dapat mengambil keputusannya sendiri dan menjadi
tidak bergantung kepada orang lain ketika sedang menghadapi masalah.
Sementara untuk responden II, dukungan yang awalnya diberikan dengan
tujuan menjadikan responden II menjadi sosok yang mandiri tidak dapat berjalan
dengan baik karena pemberian dukungan serta bantuan yang dilakukan secara
terus menurus tanpa memperhatikan seberapa besar sebenarnya dukungan dan
pertolongan yang diperlukan. Hal tersebut membuat responden II tidak mampu
223
untuk menjadi mandiri, serta terus saja bergantung kepada keluarganya. Posisi
responden II sebagai anak semata wayang menjadi penyebab keluarganya terus
menerus menolong responden II hingga melupakan tujuan utama dari dukungan
yang diberikan kepada responden II. Selain karena posisi responden sebagai anak
tunggal, rasa bersalah yang dirasakan oleh ibu kandung responden menjadi salah
satu penyebab sang ibu juga terus menerus memberikan pertolongan sehingga
sama sekali tidak menjadikan responden II sebagai seorang yang mandiri. Oleh
karena itu, setiap mengalami suatu masalah, responden II selalu mencari orang
yang ia percayai untuk dimintai pendapat mengenai masalahnya.
Selain dukungan untuk menjadi mandiri, Grotberg (2000) mengatakan
bahwa individu yang resilien mempunyai orang-orang yang dapat menunjukkan
apa yang harus remaja lakukan, seperti mencari informasi terhadap sesuatu dan
memberikan semangat agar remaja mengikutinya yang tujuannya untuk
menjadikan remaja tersebut mandiri. Responden I dan II sama-sama memiliki role
models yang berasal dari anggota keluarga, yang memberikan arahan serta
semangat agar mengikuti modelling yang diberikan serta mampu bangkit dari
keterpurukan yang mereka alami.
Modelling yang diperoleh responden I dan II dari masing-masing keluarga
pun hampir sama, yaitu sama-sama memberikan dorongan serta semangat kepada
kedua responden. Hanya saja, pada responden I arahan yang diberikan bertujuan
untuk membuat responden I kembali menjadi sosok yang mandiri, untuk dirinya
sendiri. Modelling yang diberikan bertujuan membuat responden I merasa dirinya
masih memiliki harga diri dihadapan orang lain, ditambah lagi lingkungan
224
sosialnya juga memberikan perlakuan yang sama kepada dirinya. Sementara pada
responden II, modelling yang diberikan hanya sebatas membuat responden II tetap
mempertahankan kandungannya, modelling agar menjadi orangtua yang baik serta
modelling agar responden II mampu untuk memaafkan orang-orang yang telah
membuatnya terjerumus menjadi korban prostitusi.
Selain dari anggota keluarga, modeling juga bisa diperoleh dari lingkungan
sosial tempat seseorang menetap. Responden I memperoleh modelling dari
lingkungan tempat tinggalnya, dimana lingkungan sosialnya memberikan
semangat kepada responden I dalam bentuk penerimaan serta beberapa kegiatan
yang melibatkan responden didalamnya. Sedangkan responden II tidak
mempunyai modelling dari lingkungan sosialnya disebabkan lingkungan sosialnya
belum mampu menerima kehadiran responden II kembali menetap dilingkungan
sosialnya. Hal semacam itu membuat responden II kesulitan untuk berbaur
kesulitan untuk terlibat didalam berbagai kegiatan sosial yang ada, seperti yang
dilakukan oleh responden I.
Eksploitasi seksual bukan hanya memiliki dampak psikologis, namun juga
berdampak pada kesehatan reproduksi individu. Suyanto (2010) mengungkapkan
beberapa dampak eksploitasi seksual komersil pada remaja yaitu, karena remaja-
remaja korban eksploitasi seksual komersil itu masih berusia belia dan belum
memiliki akses yang cukup terhadap informasi-informasi tentang “reproduksi
sehat”, maka sesungguhnya mereka belum menggalami kematangan organ
reproduksi. Mereka belum mengetahui resiko dari hubungan seksual yang
dilakukan secara bebas, sehingga kehamilan dini dan penularan penyakit menular
225
seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya dengan mudah akan menimpa remaja
putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersi. Tidak mustahil, remaja
putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil akan mengandung seorang
bayi yang tidak pernah dikehendaki, dan kemuadian memilih untuk melakukan
aborsi secara illegal dan jauh dari syarat-syarat medis, sehingga bukan tidak
mungkin akan mengancam nyawa mereka sendiri.
Responden I dan II yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil
sekstor prostitusi masih berusi belia pada saat diri mereka dilacurkan. Responden
II bahkan mengalami kehamilan dari peristiwa yang tidak ia kehendaki itu. Meski
demikian, responden II memilih untuk tetap mempertahankan janin yang
dikandungnya hingga dirinya melahirkan seorang anak laki-laki.
Grotberg (2000) mengatakan bahwa individu yang resilien juga akan
mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan
dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan
rasa percaya diri dalam diri remaja. Dimana masing-masing responden memdapat
fasilitas kesehatan setelah mereka menjadi korban eksploitasi seksual komersil
sektor prostitusi.
Kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi di daerah tempat
tinggal responden II membuat keluarganya tidak langsung memberikan fasilitas
kesehatan tersebut kepada responden II. Dimana responden II baru memperoleh
fasilitas tersebut setelah mengalami rasa gatal di daerah alat kelaminnya. Bukan
hanya responden II yang memperoleh fasilitas kesehatan tersebut namun anak
semata wayang responden II juga mendapat fasilitas kesehatan tersebut.
226
Sementara untuk responden I, yang tempat tinggalnya dikota besar serta banyak
mendapat penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi, langsung mendapatkan
fasilitas kesehatan setelah dirinya kembali tinggal bersama keluarganya. Hasil
pemeriksaan kedua responden tersebut memperlihatkan jika keduanya tidak
terjangkit virus yang berasal dari hubungan seksual secara bebas yang sempat
mereka lakukan.
Sementara untuk jaminan pendidikan, responden I tidak mendapatkan hal
tersebut disebabkan karena faktor ekonomi orangtuanya yang memang sulit. Serta
banyaknya anak yang menjadi tanggungan kedua orangtua responden I. Oleh
karena ketiadaan biaya tersebut, responden I tidak memaksakan kehendak dirinya
kepada kedua orangtuanya agar dirinya dapat kembali bersekolah dijenjang yang
lebih tinggi. Jika responden I tidak mendapat jaminan pendidikan karena faktor
ekonomi, berbeda dengan responden II yang memperoleh hal tersebut. Responden
II yang sempat mengalami putus sekolah karena kehamilannya dapat kembali
melanjutkan pendidikanya hingga jenjang sekolah menengah akhir berkat
dukungan keluarga dan kemauan dirinnya sendiri.
Untuk jaminan kesejahteraan, responden I dan II sama-sama memperoleh
jaminan kesejahteraan dan keamanan. Dimana responden I dan II setelah menjadi
korban eksploitasi seksuak komersil, selalu mendapatkan perlindungan dari pihak
keluarganya masing-masing. Keluarga responden I dan II selalu berusaha
menemani ketika mereka akan bepergian. Hal itu dilakukan untuk mencegah
perbuatan serupa terjadi lagi pada responden I dan II.
227
Untuk menjadi individu yang resilien, tidak hanya memerlukan dukungan
dan pennerimaan dari orang-orang terdekat dan lingkungan sosial individu, namun
juga membutuhkan kekuatan pribadi individu tersebut untuk dapat bangkit
kembali setelah mengalami pengalaman traumatis. Responden I dan II yang
sempat mengalami keterpurukan berkat dukungan dan penerimaan dari orang-
orang disekitarnya, kedua responden mampu bangkit serta semakin
mengembangkan faktor-faktor resiliensi yang berasal dari kemampuan diri kedua
responden.
Untuk menjadi individu yang resilien seseorang harus bangga terhadap
dirinya terlebih dahulu. Menurut Grotberg (2000) individu yang resilien tahu
bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah
mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak
akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika
individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem
membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
Responden I dan II sama-sama mengatakan jika mereka sudah mampu
menerima keadaan dirinya serta merasa bangga terhadap diri sendiri karena sudah
mampu melewati peristiwa hidup yang membuat mereka terpuruk. Jika responden
I tidak akan membiarkan orang lain memperolok keadaan dirinya yang pernah
menjadi korban eksploitasi seksual komersil, responden II justru hanya
mendiamkan serta tidak mengubris orang yang merendahkan dirinya. Dalam hal
tersebut, responden II berkeyakinan jika dirinya akan mendapatkan hikmah atas
apa yang terjadi padanya.
228
Selain merasa bangga dengan dirinya sendiri, responden I memiliki orang-
orang yang menyayangi serta menyukai dirinya baik dari anggota keluarga sendiri
maupun dari orang-orang dilingkungan sosianya. Hal tersebut membantu
responden I untuk dengan cepat menyesuaikan dirinya dengan orang-orang
dilingkungan sosialnya. Hal itu sesuai dengan yang diungkap Grotberg (2000)
yang mengatakan individu yang resilien mempunyai orang yang menyukai dan
mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai
dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika
menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.
Berbeda dengan responden II sama sekali tidak memiliki orang-orang
yang menyayangi serta menyukainya dilingkungan tempat tinggalnya. Hal itu
menyulitkan responden II untuk membaur bersama dengan orang dari lingkungan
sosialnya. Sehingga responden II hingga saat ini membatasi sikapnya ketika
bertemu dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan tempat tinggalnya.
Meskipun responden I memiliki orang yang menyayangi dan menyukainya
dari lingkungan sosial serta keluarganya, namuan responden I belum mampu
untuk mengatur sikapnya ketika berhadapan dengan orang yang memiliki
responden berbeda dari yang diharapkan responden I. Berbeda dengan responden
II yang tidak disukai oleh orang-orang dilingkungan sosialnya namun dapat
mengatur sikapnya saat memperoleh responden yang berbeda dari yang
diharapkan.
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien dipenuhi harapan,
iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang
229
lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar
maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan
diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai
kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih
tinggi.
Sejak menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi, kedua
responden masih memiliki kepercayaan diri, optimis serta penuh harap kepada
Tuhan YME. Kedua responden terus mendekatkan diri kepada Tuhan serta
meningkatkan iman dan kepercayaannya. Responden I dan II percaya mereka
mampu meraih sesuatu yang lebih baik dikemudian hari serta meyakini ada
hikmah dibalik peristiwa yang terjadi pada mereka. Adanya anak yanng dimiliki
oleh resonden II, membuat responden II memiliki harapan yang tinggi kepada
anak tersebut. Jika responden II menganggap dirinya sudah tidak memiliki masa
depan lagi, responden II berusaha memberikan masa depan yang baik kepada anak
semata wayangnya.
Grotberg (2000) juga mengatakan jika individu yang resilien juga merasa
bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap
sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap
peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan
dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk
mengatasi masalah yang terjadi. Responden I dan II sama-sama mengaku akan
menolong orang yang membutuhkan bantuan jika mereka mampu untuk
menolongnya.
230
Pada responden II, rasa empati dan peduli terhadap sesama yang
dimilikinya lebih tinggi dibandingkan responden I. Responden I mengaku tidak
akan menolong orang yang pernah menghina keadaan dirinya, akan tetapi
responden II melakukan hal yang berbeda. Responden II tetap menolong orang
yang pernah menghina keadaannya dirinya yang pernah menjadi korban
prostitusi.
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien dapat melakukan
berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai
konsekuensi Indan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan
bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka
terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
Kedua responden mengaku mampu bertanggung jawab atas perilaku mereka
sendiri serta mampu menerima konsekuensi dari perilaku tersebut.
Jika responden I mengatakan sebelum bertindak akan memikirkan terlebih
dahulu baik dan buruk dari tindakan yang dilakukannya. Pengalaman masa
lalunya mengajarkan responden I untuk tidak gegabah dalam bertindak serta harus
memikirkan terlebih dahulu konsekuensi dari perbuatan dirinya, sehingga nanti
responden I akan lebih siap dan mampu untuk menerima konsekuensi dari
perilakunya. Hal yang sama juga juga akan dilakukan oleh responden II, meski
awalnya responden II sering melakukan tindakan tanpa memikirkan baik dan
buruknya. Akan tetapi seiiring berjalannya waktu haal itu dapat diubah oleh
responden II dan lebih berhati-hati dalan bertindak sehingga tidak menyebabkan
orang lain mengalami kerugian dari perilakunya tersebut.
231
Selain karena adanya dukungan yang diperoleh dari lingkungan sosial dan
dari dalam diri sendiri. Resiliensi juga meliputi kemampuan individu untuk
melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan
ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka
(Grotberg, 2000). Dimana Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan
baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Responden I dan II sama-sama memiliki kemampuan sosial dan
interpersonal yan baik setelah mereka menjadi korban eksploitasi seksual
komersil. Adanya dukungan dari lingkungan sosialnya, membuat responden I
mampu melakukan aktivitas sosial dilingkungannya serta mampu
mengembangkan faktor-faktor resiliensi yang ada. Meskipun demikian responden
I masih belum mampu mengontrol emosi dan perilakunya saat mendapati
responden lingkungan sosialnya berbeda dengan responden yang diharapkannya.
Lain halnya dengan responden II yang hingga saat ini belum diterima
keberadaannya dilingkungan sosialnya. Responden II tetap bertahan dengan
segala cemooh serta responden negatif dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Meskipun demikian, responden II memiliki kemampuan interpersonal yang
hampir sama dengan yang dimiliki oleh responden I. Responden II pun lebih
mampu mengontrol sikap dan perilakunya saat berhadapan dengan orang-orang
yang bereaksi negatif atas dirinya.
Grotberg (2000) mengatakan jika individu yang resilien memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
232
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik. Jika
responden I hanya mampu mengungkapkan pikiran serta perasaannya kepada
kedua orangtuanya, namun tidak semua pikiran dan perasan mampu diungkapkan
oleh responden I kepada orang tuanya. Alasannya adalah responden I merasa takut
jika nantinya orang lain tidak mampu menerima ekspresi dari pikiran dan
perasaan yang diungkapkan oleh responden I.
Responden II justru mampu mengungkapkan pikiran serta perasaannya
kepada orang lain saat dirinya berkomunikasi dengan orang lain. Responden II
juga tidak mampu mengungkapkan pikiran serta perasaannya kepada semua
orang, akan tetapi hanya kepada orang-orang yang sudah mampu menerima
keadaan dirinya, seperti keluarga serta sahabatnya. Dengan demikian, responden
selalu membagi pikiran serta perasaannya kepada orang lain kemudian
memperoleh solusi untuk pemecahan masalahnya.
Grotberg (2000) mengatakan individu yang resilien mencari hubungan
yang dapat di percaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya
orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan
dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
masalah personal dan interpersonal.
Kedua responden sudah mampu membina hubungan yang saling percaya
dengan orang lain. Akan tetapi responden I hanya bisa menjalin hubungan yang
saling percaya dengan orangtuanya saja, alasan dirinya tidak menjalin hubungan
yang saling percaya dengan orang diluar keluarganya adalah masih merasa takut
233
untuk mempercayai orang lain yang bukan keluarga. Hal tersebut berhubungan
dengan latar belakang responden I yang dijual oleh sahabat dekatnya sendiri.
Berbeda halnya dengan responden II, yang sudah mampu menjalin
hubungan yang saling percaya baik dengan keluarga maupun dengan orang diluar
keluarga yang memang sudah dapat menerima keadaan dirinya. Dimana hubungan
saling percaya kedua responden tersebut tercipta dengan tujuan untuk membagi
perasaan serta meminta pertolongan ketika kedua responden sedang mengalami
masalah personal maupun interpersonal.
Selain mampu menjalin hubungan yang saling percaya, menurut Grotberg
(2000) individu yang resilien memiliki keterampilan berkomunikasi dimana
individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada
orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan
perasaan orang lain.
Dalam hal ini, kedua responden sama-sama sudah mampu mengelola
perasaan mereka. Namun pada responden I, belum sepenuhnya mampu untuk
mengelola perasaannya. Responden I tidak dapat mengekspresikan pikiran serta
perasaan mereka kepada orang lain, namun hanya dapat mendengar apa yang
orang lain rasakan. Berbeda denga responden II yang sudah mampu mengelola
perasaannya, baik mengekspresikan maupun mendengar apa yang orang lain
katakan kepada dirinya.
Grotberg (2000) mengatakan jika Individu yang resilien mampu mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain dimana individu memahami temperamen
mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau
234
diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini
menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk
berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi,
dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
Responden I dan II sama-sama sudah dapat memahami temperamen diri
sendiri dan orang lain. Akan tetapi jika responden I belum sepenuhnya mampu
untuk mengontrol temperamen dirinya sendiri serta orang lain dilingkungan
sosialnya. Ketika responden I merasa tersinggung dengan orang lain, responden I
secara serta merta akan kehilangan kehati-hatiannya serta control terhadap dirinya
sendiri. Sementara responden II meskipun lingkungan sosialnya tidak mampu
menerima kehadirian dirinya kembali, namun mampu mengontrol temperamennya
serta mengukur temperamen orang lain dilingkungan sosialnya. Responden II
lebih mampu mengetahui tindakan apa yang harus responden II lakukan saat
berhadapan dengan respon-respon yang berbeda pula dari lingkungannya.
Grotberg (2000) mengatakan bahwa individu yang resilien memiliki
kemampuan memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara
alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan
masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat
membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian
masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan
dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.
Responden I dan II sama-sama belum memiliki kemampuan yang baik
ketika sedang memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dengan alasan tidak
235
mau merepotkan orang lain, responden I lebih memilih menyimpan masalah yang
sedang ia hadapi sendiri tanpa membiarkan orang lain untuk membantu
menyelesaikan permasalah yang dihadapinya. Hal tersebut menyebabkan masalah
yang dialami responden I tidak terselesaikan sebagaimana mestinya.
Ketidakmampuan responden I untuk membina hubungan yang saling percaya
denga orang lain diluar keluarganya membuat responden I kurang mendapat
masukan dari orang lain mengenai pemecahan yang baik bagi masalah yang
sedang dihadapinya.
Sementara untuk responden II yang memiliki banyak orang untuk
memberikan masukan bagi masalah yang sedang dialaminya membuat faktor ini
menjadi tidak berkembang dengan baik. Meskipun responden II menganggap hal
tersebut adalah wajar, namun responden II selalu mencari orang dekatnya untuk
meminta masukan mengenai masalah yang sedang ia hadapi. Sehingga responden
II akan merasa bingung ketika tidak ada orang yang memberikan masukan
kepadanya mengenai permasalahan yang sedang ia hadapi.
236
Tabel 8. Gambaran Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual Komersil
(Prostitusi)
No. Sumber dan Faktor Responden 1 Responden 2
1. I Have :
a. Hubungan Yang
Dilandasi
Kepercayaan
1. Responden mampu membina
hubungan yang saling percaya dengan
anggota keluarganya, yaitu ayah dan
ibunya.
2. Meski mampu menjalin hubungan
baik dengan orang dilingkungan
sosialnya, dan diberi ruang untuk
bersosialisasi dengan orang
dilingkungan sosialnya, responden
belum mampu memiliki hubungan
yang dilandasi kepercayaan dengan
orang diluar keluarga.
1. Responden memiliki hubungan yang
dilandasi kepercayaan dengan orang
didalam keluarganya, hubungan
tersebut terjalin dengan ibu serta
dengan keluarga besar pihak ibunya.
2. Meskipun lingkungan sosialnya
menolak kehadiran responden, akan
tetapi responden dapat memiliki
hubungan yang dilandasi
kepercayaan dengan orang diluar
keluarganya, responden memiliki
seorang sahabat dan hubungan
tersebut sudah terjalin beberapa
tahun lamanya.
b. Struktur dan
Peraturan di rumah
1. Responden memiliki aturan rumah
untuk dipatuhi, yaitu :
a. Responden tidak diperbolehkan
untuk menjalin hubungan kasih
dengan pria. Alasannya
orangtuanya membuat peraturann
1. Keluarga responden tidak
memberikan aturan rumah yang
harus dipatuhi oleh responden.
Keluarganya memberikan
kebebasan kepada responden untuk
berperilaku namun masih dalam
237
tersebut karena orangtua
responden merasa takut responden
akan di manfaatkan kembali oleh
orang yang tidak
bertanggungjawab.
b. Responden jika ingin bepergian
akan ditemani oleh salah satu
anggota keluarganya, tujuannya
adalah untuk menjaga responden
dari hal-hal yang tidak diinginkan.
2. Responden memberikan batasan bagi
dirinya sendiri ketika berperilaku,
responden tidak ingin jika perilakunya
yang berlebihan akan mengundang
komentar negatif dari orang lain.
batasan yang wajar. Keluarga
responden yakin jika responden
tidak akan melakukan hal-hal yang
nantinya akan merugikan diri
responden sendiri. Keluarga
responden hanya memberikan
nasihat agar responden menjaga
dirinya agar tidak kembali jatuh
kelubang yang sama.
2. Responden memberikan batasan
bagi dirinya sendiri ketika
berperilaku, responden tidak ingin
jika perilakunya yang berlebihan
akan mengundang komentar negatif
dari orang lain.
c. Dorongan untuk
mandiri
1. Keluarga responden memberikan
dorongan mandiri kepada responden,
yaitu :
a. Keluarga responden membiarkan
responden untuk memiliki sikap
serta mampu mengambil
keputusan atas dirinya sendiri.
Dalam hal ini keluarganya hanya
berperan sebagai orang yang
mengontrol apakah sikap dan
keputusan tersebut sudah benar
atau tidak. Orangtuanya selalu
menjadi teman diskusi responden
1. Responden pada awalnya memiliki
keluarga yang memberikan
dorongan mandiri. Tujuan dari
pemberian dorongan mandiri
tersebut agar responden tidak
menjadi bergantung dengan orang
lain.
2. Dorongan mandiri yang semula
bertujuan menjadikan responden
sebagai sosok yang tidak bergantung
kepada orang lain menjadi tidak
berfungsi dengan baik, disebabkan
rasa bersalah dan rasa kasihan ibu
238
saat responden akan mengambil
suatu keputusan.
2. Dengan adanya dorongan mandiri
yang diberikan orangtuanya tersebut
menjadi orang yang memiliki sikap
serta keputusan atas dirinya sendiri.
responden kepada responden yang
sudah menjadi korban eksploitasi
seksual komersil. Sehingga karena
rasa bersalah dan iba tersebut
ditambah lagi responden merupakan
anak tunggal, ibunya selalu
memberikan pertolongan kepada
responden dan tidak melihat fungsi
sebenarnya dari pemberian
pertolongan yang diberikan kepada
responden.
d. Role Models 1. Responden memperoleh modelling
baik dari keluarga maupun lingkungan
sosialnya. Modelling yang diberikan
bertujuan untuk menjadikan responden
mandiri dan percaya diri kembali,
modelling yang diberikan meliputi :
a. Adanya semangat yang diberikan
orangtua responden kepada dirinya
membuat responden mampu
menggunakan kemampuan
pribadinya serta bangkit dari
keterpurukan yang dialami
responden.
b. Modelling yanng diberikan
lingkungan sosial kepada
responden berupa semangat serta
penerimaan kembali responden
1. Responden memperoleh modelling
dari keluarganya, dari ibu dan
keluarga besar ibunya. Modelling
yang diberikan bertujuan untuk
menjadikan responden mandiri dan
percaya diri kembali, modelling
yang diberikan meliputi :
a. Semangat tiada henti serta
penerimaan dan pengertian yang
selalu diberikan ibu serta
keluarga responden membuat
responden akhirnya dapat
mengembangkan kekuatan
pribadinya serta mampu bangkit
kembali dari rasa terpuruknya.
b. Selain memberikan modelling
yang bertujuan menjadikan
239
bersama dengan orang-orang
dilingkungan sosialnya.
c. Lingkungan sosialnya juga
memberikan kesempatan kepada
responden untuk mengambangkan
kemampuannya serta bertanya
mengenai hal yangs sedang
ditekuninya.
responden semangat, ibu
responden juga memberikan
modelling untuk menjadi
orangtua yang baik. Dengan
memberikan informasi
bagaimana menjadi ibu yang
baik bagi anak responden.
e. Memperoleh
layanan kesehatan,
pendidikan,
keamanan dan
kesejahteraan
1. Responden mendapat layanan
kesehatan setelah kembali tinggal
bersama keluarganya. Keluargannya
langsung membawa responden
memeriksakan diri ke rumah sakit
untuk mengetahui apakah responden
mengidap suatu penyakit atau tidak.
2. Meski ingin melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi, akan tetapi karena keterbatasan
ekonomi yang dialami keluarganya,
responden harus mengubur
keinginannya tersebut. Responden
akhirnya juga harus membantu
menopang ekonomi keluarganya.
3. Untuk menghindarkan responden dari
hal-hal yang dapat merugikan
responden, oleh sebab itu keluarga
berusaha memberikan rasa aman
kepada responden dengan cara selalu
1. Responden mendapat layanan
kesehatan setelah kembali tinggal
bersama keluarganya. Keluargannya
langsung membawa responden
memeriksakan diri ke rumah sakit
untuk mengetahui apakah responden
mengidap suatu penyakit atau tidak.
2. Sekolah responden yang sempat
terputus saat responden hamil dan
melahirkan anaknya, dapat kembali
dilanjutkan oleh responden. Dengan
bantuan dari keluarganya, akhirnya
responden dapat diterima kembali
bersekolah disalah satu sekolah
menengah pertama di daerah
tersebut.
3. Untuk menghindarkan responden
dari hal-hal yang dapat merugikan
responden, oleh sebab itu keluarga
berusaha memberikan rasa aman
240
menemani responden jika akan
bepergian.
4. Orang tua responden juga berusaha
untuk menyediakan waktu bagi
responden ketika responden
membutuhkan bantuan orang tuanya,
hal tersebut bertujuan agar responden
merasa dirinya tetap berharga dimata
keluarganya.
kepada responden dengan cara
selalu menemani responden jika
akan bepergian.
4. Ibu, keluarga dan responden selalu
menyediakan waktu bagi responden
ketika responden membutuhkan
bantuan orang tuanya, hal tersebut
bertujuan agar responden merasa
dirinya tetap berharga dimata
keluarganya.
2. I Am :
a. Bangga terhadap
diri sendiri
1. Dukungan yang di peroleh responden
dari keluarga dan dari orang-orang
dilingkungan sosialnya, responden
akhirnya mampu mengembangkan
kekuatan pribadinya. Saat ini
responden juga sudah mampu
menerima keadaan dirinya yang
pernah menjadi korban eksploitasi
seksual komersil. Responden pun
merasa bangga dengan dirinya saat ini
yang mampu bangkit setelah terpuruk
dari pengalaman buruknya.
2. Responden akan bereaksi serta
membela dirinya jika ada seseorang
yang memperolok keadaannya saat ini.
1. Dukungan yang diperoleh
responden baik dari ibu, keluarga
besar pihak ibunya serta sahabatnya
mampu membuat responden bangkit
dari keterpurukannya serta mampu
mengembangkan kekuatan personal
yaang dimiliki responden. Berkat
dukungan tersebutlah responden
akhirnya mampu menerima keadaan
dirinya dan merasa bangga atas
kemampuan yang dimilikinya.
Menurutnya ia merasa bangga
karena ia mampu melewati cobaan
hidupnya yang begitu berat.
2. Responden tidak akan memberikan
perlawanan ketika orang-orang
dilingkungan sosialnya mengolok-
olok keadaannya. Responden paham
241
jika lingkungan sosialnya tidak bisa
menerima kehadiran dirinya,
sehingga responden lebih memilih
diam dan tidak melawan untuk
tidajk memperkeruh suasana.
b. Disayang dan
disukai orang lain
1. Kemampuan responden bergaul
dengan orang-orang dilingkungan
sosialnya yang mampu menerimanya
membuat responden disukai oleh
teman-teman sebayanya. Selain
disukai oleh teman-teman sebayanya,
responden juga disayangi oleh
keluarganya. Dalam hal ini, warga
disekitar tempat tinggalnya selalu
melibatkan responden ketika ada
kegiatan sosial yang diadakan
didaerah tempat tinggal responden.
2. Karena mendapat perlakuan baik dari
orang-orang dilingkungan sosialnya,
responden akhirnya juga mampu
bersikap baik kepada orang-orang
yang sudah mampu menerima
keadaan dirinya. Sebaliknya,
responden tidak mampu bersikap baik
kepada orang-orang yang belum
menerima dirinya serta mengoloknya.
1. Responden memiliki keluarga dan
yang menyukai dan mencintai
dirinya. Meskipun lingkungan
sosialnya belum mampu menerima
keberadaan responden dan
memperlihatkan perilaku yang
bermusuhan, akan tetapi responden
tetap mempunyai orang-orang
selalu memberikan perhatian dan
kasih sayang kepada dirinya, yaitu
keluarga dan sahabatnya.
2. Responden selalu memperlihatkan
sikap yang baik kepada orang-
orang yang sudah mampu
menerima keadaan dirinya.
Meskipun lingkungan sosialnya
tidak mampu menerima responden,
namun responden tidak
memberikan perlawanan dan tetap
bersikap baik kepada orang
dilingkungan sosialnya.
c. Percaya diri,
optimis dan penuh
1. Karena kejadian yang responden
alami, saat ini responden semakin
1. Responden semakin mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa
242
harap mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa, responden berkeyakinan
jika dibalik kejadian yang dialaminya
akan ada hikmah yang akan responden
terima kelak.
2. Walau sudah menjadi korban
eksploitasi seksual komersil,
responden memiliki harapan-harapan
akan dirinya sendiri. Sehingga
responden berusaha untuk
mewujudkan harapan-harapan untuk
dirinya tersebut.
3. Responden juga merasa optimis jika
dirinya masih memiliki masa depan
yang cerah sehingga responden
berusaha untuk mewujudkan hal
tersebut.
setelah dirinya menjadi korban
eksploitasi seksual komersil.
Responden juga memiliki keyakinan
jika ada hikmah dibaliki peristiwa
yang ia alami. Sehingga ia pun
memaafkan perbuatan ayah tirinya.
2. Karena sudah menjadi korban
eksploitasi yang dilakukan oleh
ayahnya sendiri, responden merasa
masa depan yang dimilikinya sudah
hancur dan ia pun merasa sudah
tidak memiliki masa depan lagi.
3. Meskipun mengaku masa depannya
sudah hancur, akan tetapi responden
mengatakan jika dirinya masih
memiliki anak yang harus ia didik,
anak tersebutlah yang menjadi masa
depannya saat ini. Sehingga
responden akan berbuat apa saja
untuk memberikan masa depan
yang baik bagi anak tunggalnya.
243
d. Memiliki empati
dan peduli terhadap
sesama
1. Responden memiliki kepedulian
terhadap orang-orang sekitarnya,
responden merasa sedih jika dirinya
tidak memberikan pertolongan kepada
orang yang membutuhkan
pertolongannya. Namun jika dirinya
tidak mampu menolong, responden
akan meminta maaf terlebih dahulu.
2. Responden mengatakan dirinya akan
menolong orang-orang yang bersikap
baik dan tidak menghina dirinya, akan
tetapi jika orang tersebut pernah
menghina keadaan dirinya, responden
mengaku tidak akan memberikan
pertolongan kepada orang tersebut.
1. Responden mempunyai rasa empati
dan kepedulian yang tingga kepada
orang-orang yang membutuhkan
pertolongannya. Responden selalu
berusaha untuk menolong orang
yang membutuhkan pertolongan
darinya. Responden mengaku
merasa kasihan jika dirinya mampu
menolong orang lain namun tidak
melakukannya.
2. Responden juga akan menolong
orang yang pernah menghina
dirinya, karena mengaku merasa
kasihan dan iba melihat kesulitan
yang dialami orang tersebut.
e. Mampu
bertanggung jawab
terhadap perilaku
sendiri dan
menerima
konsekuensinua
1. Responden akan memikirkan terlebih
dahulu baik dan buruk dari akibat
perbuatannya. Sehingga responden
memikirkan terlebih dahulu apa
keuntungan dan kerugian dari
pebuatan yang dilakukann responden.
2. Saat ini responden mampu untuk
menerima konsekuensi dari
perbuatannya dan bertanggungjawab
1. Walau pada awalnya responden
sering menyebabkan ibunya terlibat
cekcok dengan tetangganya, namun
seiring berjalannya waktu,
responden lebih memikirkan akibat
yang ia timbulkan jika responden
kembali meceritakan perihal hinaan
yang berasala dari tetangganya
kepada dirinya. Responden tidak
244
dan menerima akibat dari perilakunya
yang ia lakukan jika responden salah
dalam melakukan tindakan.
ingin memperkeruh hubungan
antara keluarganya dan warga
sekitar tempat tinggalnya.
3 I Can :
a. Mampu
mengungkapkan
pikiran dan
perasaan dalam
berkomunikasi
1. Hingga saat ini, responden hanya
mampu mengungkapkan pikiran serta
perasaannya dalam berkomunikasi
kepada ayah dan ibunya saja. Namun,
responden mengatakan jika tidak
semua perasaan hatinya ia ungkapkan
kepada orangtuanya. Responden masih
memilah lagi mana yang pantas
disampaikan dan mana yang tidak.
1. Responden sudah mampu untuk
mengungkapkan dan pikiran dan
perasaannya saat berkomunikasi.
Selain mampu mengungkapkan
pikiran dan perasaannya kepada
keluarganya, responden juga
mampu untuk mengungkapkan
segala pikiran dan perasaannya
kepada orang lain yang sudah
mampu menerima keadaan dirinya.
b. Menjalin hubungan
yang saling
mempercayai
1. Responden sudah mampu menjalin
hubungan yang saling mempercayai
dengan orang lain, meskipun baru
mampu menjalin hubungan dengan
anggota keluarganya saja, yaitu ayah
dan ibunya, namun responden mengaku
menjadikan ayah dan ibunya sebagai
orang yang paling dekat dengan dirinya
saat ini.
2. Meski lingkungan sosial responden
memberikan ruang gerak bagi
responden untuk membaur serta
bersosialisasi kembali dengan warga
dilingkungan sosialnya, namun
responden masih belum mampu untuk
1. Responden sudah mampu membina
hubungan yang saling percaya baik
dengan anggota keluarganya
maupun dengan orang yang berasal
dari luar keluarganya. Responden
mampu membina hubungan yang
saling percaya dengan ibu dan
seluruh anggota keluarganya dari
pihak ibunya.
2. Sementara responden juga memiliki
seorang sahabat yang berasal dari
luar keluarganya. Meskipun
lingkungan sosialnya belum mampu
menerima dirinya, akan tetapi
responden mampu untuk
245
menjalin hubungan yang saling
mempercayai dengan orang yang
berasal dari lingkungan sosialnya. Hal
itu disebabkan responden masih merasa
takut akan kembali dicelakakan oleh
orang yanhg dia percayai.
mengembangkan hubungan yang
saling mempercayai dengan orang
dari luar keluarganya
c. Mampu mengelola
perasaan
1. Responden belum mampu untuk
mengelola perasaannya ketika
berhadapan dengan respon yang tidak
sesuai dengan harapan dirinya.
Responden juga terkadang kehilangan
kontrol diri jika responden mendapat
komentar negatif dari orang lain.
2. Hingga saat ini responden belum
mampu untuk mengutarakan apa yang
ia rasakan, responden hanya mampu
menjadi pendengar ketika teman-
temannya sedang berkeluh kesah
kepadanya.
1. Saat ini responden sudah mampu
mengelola perasaannya dengan
baik, responden sudah mampu
mengatur perasaannya saat
berhadapan dengan orang-orang
yang memberikan respon berbeda
dengan yang ia harapkan.
2. Selain mampu mengontrol
perilakunya, responden mampu
mengekspresikan apa yang
dirasakannya kepada orang lain,
namun kepada orang yang sudah
menerima keadaan dirinya.
3. Responden juga telah mampu
mendengar apa yang orang lain
katakan, baim itu pendapat maupun
keluh kesah yang ingin orang lain
sampaikan dan rasakan. Sehingga
hubungan yang terjalin antara
responden dan orang-orang
terdekatnya menjadi sangat dekat.
246
d. Mampu mengukur
temperamen diri
sendiri dan orang
lain
1. Responden belum mampu untuk
mengukur temperamen dirinya sendiri,
responden hingga saat ini masih sering
kesulitan untuk mengontrol responnya
ketika berhadapan dengan orang lain
yang memberikan respon negatif
kepada dirinya. Tak jarang responden
kehilangan kontrol diri saat tidak
mampu menahan emosi ketika ada
yang menghina atau mengejek dirinya.
1. Responden sudah mampu untuk
mengukur temperamennya sendiri.
Sehingga responden mampu
mengetahui apa yang harus ia
lakukan ketika responden bertemu
dengan orang yang memberikan
respon berbeda dari yang
diharapkan. Responden juga
mampu untuk mengontrol emosinya
ketika dirinya berhadapan dengan
orang yang memberikan respon
negatif kepadanya.
e. Mampu
memecahkan
masalah
1. Ketika memiliki masalah, responden
tidak membiarkan orang lain
membantunya untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya,
sehingga masalah yang dihadapi
responden tidak pernah terselesaikan
oleh responden. Keenganan responden
untuk terbuka menjadi penyebab
masalah tersebut tidak terselesaikan
dengan baik.
1. Saat responden memiliki masalah,
responden mempunyai orang-orang
yang selalu memberikan masukan
serta membantu responden dalam
menyelesaikan masalah yang ia
hadapi. Sehingga saat responden
tidak menemukan orang yang dapat
memberikan masukan mengenai
masalah yang ia hadapi, responden
akan kesulitan menyelesaikan
masalahnya.
247
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan menyimpulkan jawaban-jawaban dari
permasalahan penelitian. Selanjutnya, akan dikemukakan saran praktis dan
metodologis yang berguna bagi penelitian selanjutnya yang akan meneliti
mengenai resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil (prostitusi).
V.A. KESIMPULAN
1. Secara umum,kedua responden sudah memiliki pencapaian resiliensi yang
baik, kedua responden memiliki ketiga karakteristik resiliensi yang
diungkapkan oleh Grotberg (2000), yaitu individu yang resilien memiliki
dukungan ekstrenal (I Have), kekuatan pribadi individu (I Am), dan yang
terakhir adalah kemampuan interpersonal yang dimiliki individu (I Can).
Ketika karakteristik tersebut dimiliki oleh responden I dan II. Dimana
kedua responden memiliki dukungan yang berasal dari anggota keluarga
serta orang-orang yang mampu menerima kehadiran kedua responden di
tengah-tengah mereka. Berkat dukungan tersebut, akhirnya kedua
responden berhasil mengembalikan kekuatan pribadi mereka yang
awalnya sempat terpuruk saat menyadari mereka telah dijadikan korban
eksploitasi seksual komersil. Selain itu kedua responden juga kembali
mampu mengembangkan kemampuan interpersonal mereka.
2. Karakteristik I Have memiliki sumber resiliensi yang dimiliki dan berhasil
dikembangkan oleh masing-masing responden, yaitu
248
a. Responden I memiliki dukungan yang berasal baik dari anggota
keluarga maupun dari lingkungan sosialnya. Responden I juga
memiliki seluruh sumber dikarakteristik ini dan berhasil
mengembangkan sumber-sumber tersebut dengan baik. Dimana
responden I berhasil memiliki hubungan yang saling mempercayai
dengan anggota keluarganya, yaitu dengan ayah dan ibunya.
Responden I juga memiliki struktruk dan aturan rumah yang harus
dipatuhinya. Responden I juga memiliki role models baik dari keluarga
maupun dari lingkungan sosialnya, serta memperoleh layanan
kesehatan, keamanan dan kesejahteraan.
b. Responden II juga memiliki dukungan yang berasal baik dari anggota
keluarga maupun dari lingkungan sosialnya, responden II juga mampu
mengembangkan sumber resiliensi yang dimilikinya. Dimana
responden II memiliki hubungan yang saling mempercayai dengan
anggota keluarga dan dengan orang diluar keluarga yang mampu
menerima keadaan dirinya. Responden II memiliki role models dari
keluarga dan sahabatnya. Serta memperoleh layanan kesehatan,
pendidikan, keamanan dan kesejahteraan.
3. Karakteristik I Am merupakan kekuatan individu, sumber resiliensi yang
berhasil dikembangkan oleh kedua responden pada karakteristik ini :
a. Responden I berhasil mengembangkan kemampuan dirinya kembali
setelah memperoleh dukungann dari keluarga dan lingkungan
sosialnya. Responden I juga akhirnya mampu mengembangkan sumber
249
resiliensi yang ada pada karaktersitik ini. Responden I merasa bangga
atas dirinya sendiri, responden I juga memiliki orang-orang yang
mencintai dan menyayangi dirinya baik dari anggota keluarga maupun
orang dilingkungan sosialnya. Responden I juga memiliki rasa percaya
diri, optimis dan penuh harap akan masa depan yang akan diraihnya
kelak. Responden juga memiliki rasa empati dan rasa peduli terhadap
orang lain serta mampu bertanggungjawab terhadap perilaku sendiri.
b. Responden II sejak awal sudah mampu untuk mengembangkan
kekuatan pribadi yang ia miliki, ditambah lagi dukungan yang
diperolehnya dari keluarganya, sehingga responden II semakin
mampuu mengembangkan sumber resiliensi yang ada. Responden II
merasa bangga terhadap dirinya sendiri, responden juga memiliki
orang yang menyukai dan menyayanginya yaitu keluarga serta sahabat
responden II. Responden II rasa percaya diri, optimis dan penuh harap
akan masa depan yang akan diraihnya. Responden juga memiliki rasa
empati dan rasa peduli terhadap orang lain serta mampu
bertanggungjawab terhadap perilaku sendiri.
4. Karakteristik I Can merupakan kemampuan interpersonal yang dimiliki
oleh responden, dimana kedua responden I dan II berhasil
mengembangkan sumber resiliensi yang terdapat dalam karakteristik I
Can.
a. Responden I berhasil mengembangkan sumber resiliensi pada
karakteristik ini, yaitu responden I mampu menjalin hubungan yang
250
saling mempercayai dengan anggota keluarganya, responden
responden I mampu mengelola perasaannya saat mendengar keluh
kesah dari orang lain.
b. Responden II mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam
berkomunikasi, menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan
anggota keluarga dan sahabatnya, mampu mengelola perasaan, mampu
mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.
Adapun hasil tambahan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah :
a. Dalam penelitian ini ditemukan, lamanya waktu kejadian yang telah
dialami oleh masing-masing responden mempengaruhi pencapaian
resiliensi responden. Hal tersebut terlihat pada responden II, dimana
peristiwa yang dialaminy terjadi delapan tahun yang lalu. Dimana
responden II sudah mampu mengembangkan seluruh faktor dari
sumber resiliensi yang ada.
b. Dalam penelitian ini juga ditemukan religiusitas menjadi salah satu
faktor yang berpengaruh besar dalam pencapaian resiliensi kedua
responden. Dalam faktor percaya diri, optimistas dan penuh harap,
kedua responden mampu mengekspresikan kepercayaannya terhadap
Tuhan YME. Sedangkan pada responden II mampu mempertahankan
kehamilan, melahirkan serta membesarkan anak hasil dirinya selama
menjadi korban prostitusi.
c. Dalam penelitian ini juga ditemukan, hadirnya anak pada responden II
mampu memberikan semangat baru bagi responden II itu sendiri.
251
Dimana ketika dirinya merasa sudah tidak memiliki masa depan lagi,
dirinya memperoleh semangat baru untuk menjalani hidupnya bersama
sang anak.
d. Dalam penelitian ini juga ditemukan, pemberian dukungan yang terus
menerus diberikan tanpa adanya jeda menyebabkan individu tidak
mampu mengembangkan faktor-faktor resiliensinya dengan sempurna.
Hal tersebut terjadi pada responden II yang selalu mendapatkan
bertolongan secara terus menerus sehingga berpengaruh terhadap
pencapaian resiliensinya.
V.B. SARAN
V.B.1. Saran Praktis
Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran praktis, yaitu :
1. Peranan keluarga merupakan hal yang penting bagi perkembangan remaja
yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil, sehingga remaja tidak
berkembang menjadi remaja yang beresiko. Untuk itu, sebaiknya orangtua
memainkan peranan tersebut dengan baik dengan menjaga komunikasi
antara anak dan orang tua yang lebih sering dan suportif.
2. Bagi lingkungan sosial, penerimaan lingkungan sosial dimana remaja
tersebut tinggal sangat dibutuhkan untuk pencapaian resiliensi remaja yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil. Lingkungan sosial harus
memberi ruang untuk remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual
komersil dilingkungan tersebut agar mereka mampu mengembangkan
252
kemampuan interpersonalnya serta mengembalikan rasa percaya diri
mereka.
3. Bagi lembaga dan institusi terkait yang menangani korban eskploitasi
seksual komersil diharapkan mampu memberikan penanganan yang tepat
tidak hanya bagi pelaku eksploitasi namun juga bagi remaja korban yang
dieksploitasi agar tidak melakukan tindakan negatif yang merugikan diri
sendiri.
4. Bagi orang-orang yang berada disekitar remaja yang menjadi korban
eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi, diharapak untuk tidak
melakukan pertanyaan-pertanyaan yang berlebihan mengenai peristiwa
menyedihkan tersebut.
5. Bagi remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil, diharapkan
mencari kegiatan yang positif untuk diri mereka sendiri, agar mampu
menghilangkan pikiran-pikiran negatif tentang diri mereka sendiri.
6. Bagi remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil, agar lebih
mendekatkan diri dan keimanannya kepada Tuhan YME. Serta meyakini
bahwa ada hikmah dibalik setiap peristiwa yang mereka alami.
7. Bagi remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil, agar
mampu membina hubungan yang saling percaya baik dengan anggota
keluarganya maupu orang dilingkungan sosialnya. Karena hal tersebut
membantu remaja dalam pencapaian resiliensinya.
253
IV.B.2. Saran Penelitian Lanjutan
1. Penelitian selanjutnya untuk lebih memperhatikan kenyamanan kondisi
selama wawancara, mencakup ; waktu, lingkungan fisik, dan kondisi
responden.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa kedua responden
semakin mendekatkan diri serta mampu mempertebal keyakinannya
kepada Tuhan YME. Dan meyakini ada hikmah yang Tuhan berikan
dibalik peristiwa yang mereka alami. Hal tersebut menunjukkan jika
religiusitas mempengaruhi pencapaian resiliensi individu, maka penelitian
selanjutnya diharapkan meneliti tentang pengaruh religiusitas terhadap
resiliensi remaja putri korban ekploitasi seksual komersil.
3. Penelitian selanjutnya dapat melihat tentang pengatuh dukungan sosial
terhadap resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil.
4. Penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang forgiveness remaja putri yang
menjadi korban eksploitasi seksual komersil.
5. Penelitian selanjutnya dapat meneiti tentang makna hidup pada remaja
putri korban eksploitasi seksual komersil
6. Disebabkan salah satu responden penelitian memiliki anak dari peristiwa
tersebut, penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang psychological well-
being remaja putri putri yang memiliki anak dari hasil eksploitasi seksual
komersil.
7. Penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang psychological well-being
orangtua yang anaknya menjadi korban eksploitasi seksual komersil.
254
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Rahayu Rezki. (2008). Resiliiensi pada penyandang tuna daksa pasca
kecelakaan [On-Line]
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/Art
ikel_105 144.pdf
Tanggal Akses 20 Februari 2011
Amri, R. (2009). Umur pekerja seks komersil 18 tahun ke bawah [On-Line]
http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=38568
Tanggal Akses 24 Februari 2011
Chandra, S. (2009). Resiliensi [On-Line]
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/resiliensi.html
Tanggal Akses 24 Februari 2011
Damanik, C. (2009). Eksploitasi seksual komersil anak jadi marak akibat mitos
[On-Line]
http://nasional.kompas.com/read/2009/09/02/10370647/eksploitasi.seksual
.komersial.anak.jadi.marak.akibat.mitos
Tanggal Akses 24 Februari 2011
Desmita. (2005). Psikologi perkembangan.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (2000). Exploited
Children and Youth in the Greater Mekong Subregion: A qualitative
assessment of their health needs and available services. New York.
Erooga, M., & Masson, H. (2006). Children and young people who sexually abuse
others : Current developments and practice responses (Rev. Eds). New
York : Routledge
Farid, M. (2010). Situasi dan kondisi anak yang dilacurkan di Indonesia
[On-Line]
http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/02/03/situasi-dan-
kondisi-anak-yang-dilacurkan-di-indonesia-5/
Tangga Akses 24 Februari 2011
Grotberg, H. (2000). Resilience for today : Gaining strength from adversity.
(Rev. Ed). United States of America : Greenwood Publishing Group, Inc
255
Hoffman, J.S. (2004). Youth violence, resilience, and rehabilitation. (Ed).
New York : LFB Scholarly Publishing LL.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. (Rev. Ed). Jakarta : Erlangga
International Labour Office. (2004). Perdagangan anak untuk tujuan pelacuran di
Jawa Tengan, Yogyakarta dan Jawa Timur : Sebuah kajian cepat.
Jakarta : ILO Publications
Ipam, N. (2008). Jangan ambil masa depan mereka [On-Line]
http://papapam.blogspot.com/2008/11/jangan-ambil-masa-depan-
mereka.html
Tanggal Akses 20 Februari 2011
Iskandar. (2009). Metoddologi penelitian kualitatif : Aplikasi untuk Penelitian
Pendidikan, Hukum, Ekonomi, & Manajemen, Sosial, Humaniora,
Politik, Agama dan Filsafat. Jakarta : Gaung Persada.
Judarwanto, W. (2009). Fenomena anak-anak yang dilacurkan di Sumatera Utara
[On-Line]
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/08/fenomena-anak-anak-yang-
dilacurkan-di.html
Tanggal Akses 20 Februari 2011
Junarwanto, W. (2009). 40.000 anak korban eksploitasi seks [On-Line]
http://pedophiliasexabuse.wordpress.com/2009/04/17/40000-anak-korban-
eksploitasi-seks/
Tanggal Akses 24 Februari 2011
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Anak. (2008).
Eksploitasi seksual komersil anak di Indonesia. Medan : Restu Printing
Indonesia
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Anak. (2009).
Protection of children from early marriage is insufficient. (2009).
Medan : Restu Printing Indonesia
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Anak. (2009).
Fenomena pariwisata seks anak di kawasan Asia Tenggara. Medan :
Restu Printing Indonesia
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Anak. (2010).
Memperkuat hukum penanganan eksploitasi seksual komersil anak :
Panduan praktis. Medan : Restu Printing Indonesia
256
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Anak. (2001). Tanya
& jawab tentang eksploitasi seksual komersil anak : Sebuah buku saku
informasi oleh ECPAT Internasional. Medan : Restu Printing Indonesia.
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Anak. (2008).
Memerangi pariwisata seks dan anak : Tanya & jawab. Medan : Restu
Printing Indonesia.
Koentjoro. (2004). On the spot : Tutur dari sarang pelacur.
Yogyakarta : Kelompok Penerbit Qalam.
Koentjoro. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta : Salemba Humanika
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2009). KPAI : Seminar dengan Pemda
Kabupaten Karimun [On-Line]
http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&vi
ew=article &id=524:pusat-layanan-dan-informasi-eksploitasi-seksual-
komersial-anak-pusdatin-
Tanggal Akses 15 Februari 2011
Lestari, K. (2007). Hubungan antara bentuk-bentuk dukungan sosial dengan
tingkat resiliensi penyintas gempa di Desa Canan, Kecamatan Wedi,
Kabupaten Klaten [On-Line]
http://eprints.undip.ac.id/10434/1/KURNIYA_LESTARI-M2A003032.pdf
Tanggal Akses 25 Februari 2011
Pelacuran anak dari truk sampai kuburan China. (2008) [On-line]
http://www.waspada.co.id/index.php/index.php?option=com_content&vie
w=article&i d=19088:pelacuran-anak-dari-truk-sampai-kuburan-
china&catid=14:medan&Itemid=27
Tanggal Akses 21 Februari 2011
Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Sahriyati, S. (2009). Perlindungan korban ESKA antara realitas dan harapan
[On-Line] http://www.kakak.org/home.php?page=artikel&id=83
Tanggal Akses 24 Februari 2011
Santrock, J.W (2007). Remaja. (Rev. Ed). Jakarta : Erlangga
Sanni, Indah Kartika. (2009). Hubungan dukungan sosial dengan resiliensi pada
remaja SMU 1 Pangkah Tengah [On-Line]
http://rac.uii.ac.id/server/document/Private/2010080403355403320092-
hubungan%20antra%20dukungan%20sosial...pdf
Tanggal Akses 25 Februari 2011
257
Sofian, A. (2011). ESKA : Buruknya potret HAM anak di Indonesia [On-Line]
http://hukum.kompasiana.com/2011/01/06/eska-buruknya-potret-ham-
anak-di-indonesia-ahmad-sofian/
Tanggal Akses 25 Februari 201
Sulistyaningsih, W. (2009). Mengatasi trauma psikologis : Upaya memulihkan
trauma akibat konflik dan kekerasan. Yogyakarta : Paradigma Indonesia
Susuwongi. (2009). Pelacur remaja menggurita [On-Line]
http://niasonline.net/2009/02/01/pelacur-remaja-menggurita/
Tanggal Akses 21 Februari 2011
Suyanto, B. (2010). Masalah sosial anak. (Rev. Eds). Jakarta : Kencana
Thompson, Rosemary A. (2006). Nurturing future generations : Promoting
resilience in children and adolescents through social, emotional and
cognitive skills. Second edition. New York : Routledge
Utomo, D. (2007). Pelacuran anak disebabkan faktor sosiokultural [On-Line]
http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=4492
Tanggal Akses 23 Februari 2011
Wijaya, S. (2009). Di Medan 3.000 ABG dimanfaatkan secara seksual [On-Line]
http://archive.kaskus.us/thread/2058482
Tanggal Akses 21 Februari 2011
Widianti, E. (2007). Remaja dan permasalahannya : Bahaya merokok,
penyimpangan seks pada remaja, dan bahaya penyalahgunaan
minuman keras/narkoba [On-Line]http://resources.unpad.ac.id/unpad
content/uploads/publikasi_dosen/1A%20makalah.remaja&masalahnya.pdf
Tanggal Akses 23 Februari 2011
259
PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara disusun berdasarkan sumber dan faktor resiliensi.
Adapun pedoman wawancaranya sebagai berikut :
1. Pemaknaan remaja terhadap dukungan dari lingkungan sosialnya (I HAVE) :
e. Bagaimana keadaan dirumah responden setelah responden kembali
tinggal bersama keluarga ?
f. Apakah ada perubahan dengan perilaku mereka kepada responden ?
g. Bagaimana bentuk dukungan yang responden peroleh dari ayah dan
ibu kamu setelah kejadian yang menimpa responden.
h. Bagaimana keluarga responden memberikan responden fasilitas
kesehatan setelah responden kembali tinggal bersama mereka
i. Bagaimana keluarga responden memberikan responden fasilitas
pendidikan setelah responden kembali tinggal bersama mereka
j. Bagaimana keluarga responden memberikan respoden keamanan dan
kesejahteraan setelah responden kembali tinggal bersama mereka
k. Bagaimana cara keluarga responden untuk membuat responden
kembali menjadi sosok yang mandiri.
l. Ketika responden ada masalah, siapa orang yang responden percaya
ketika responden ingin menceritakan masalah responden tersebut
m. Kenapa responden memilih orang tersebut untuk menjadi teman cerita
responden ?
n. Apakah saat ini responden sudah memiliki pacar ?
o. Sudah berapa lama responden berpacaran (jika ada).
260
p. Saat ini kegiatan apa saja yang responden lakukan untuk mengisi
waktu luang responden ?
q. Selain dukungan dari keluarga, dari mana saja responden
mendapatkan dukungan untuk mandiri ?
r. Bagaimana perlakuan keluarga besar reponden kepada responden saat
ini ?
2. Sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki
remaja. Yang terdiri dari perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi (I AM) :
s. Bagaimana kepercayaan diri responden saat ini setelah kejadian yang
menimpa responden ?
t. Bagaimana saat ini responden memandang masa depan responden ?
u. Saat ini apa harapan-harapan kamu untuk masa depan responden ?
v. Bagaimana perasaan responden terhadap diri responden sendiri ?
w. Setelah kejadian yang menimpa responden, apakah responden menjadi
orang yang lebih mandiri atau malah sebaliknya ?
x. Bagaimana cara responden bertanggung jawab terhadap setiap
perbuatan yang responden lakukan ?
y. Bagaimana cara responden bertanggung jawab terhadap setiap
konsekuensi dari perbuatan responden ?
z. Bagaimana cara responden menanggapi teman yang sedang
membutuhkn bantuan responden ?
aa. Bagaimana cara responden menanggapi keluarga yang sedang
membutuhkn bantuan responden ?
261
bb. Bagaimana persepsi responden tentang kemampuan yang ada dalam
diri responden ?
cc. Bagaimana hubungan responden saat ini dengan keluarga besar
responen ?
dd. Hal-hal apa saja yang pernah responden lakukan untuk membuat
keluarga responden menjadi bahagia ?
3. Sumber resiliensi yang berkaitan dengan keterampilan-keterampilan sosial
dan interpersonal remaja (I CAN) :
ee. Bagaimana cara responden membangun kepercayaan responden
dengan orang lain setelah kejadian yang menimpa responden ?
ff. Apakah saat ini responden memiliki teman dekat ?
gg. Bisakah responden menceritakan seberapa dekat hubungan responden
tersebut ?
hh. Ketika responden sedang berselisih paham dengan teman responden,
bagaimana cara responden menyelesaikannya ?
ii. Ketika responden sedang berselisih paham dengan ayah responden,
bagaimana cara responden menyelesaikannya ?
jj. Ketika responden sedang berselisih paham dengan ibu responden,
bagaimana cara responden menyelesaikannya ?
kk. Ketika responden sedang berselisih paham dengan saudara kandung
responden, bagaimana cara responden menyelesaikannya ?
262
ll. Bagaimana cara responden menanggapi ketika orang lain
membicarakan atau mengungkit peristiwa yang pernah responden
alami ?
mm. Ketika responden sedang berkumpul bersama keluarga, responden
lebih sering diam atau lebih banyak bercerita ?
nn. Ketika responden sedang berkumpul bersama teman, apakah
responden lebih banyak diam atau banyak bercerita ?
oo. Setelah kejadian yang responden alami, bagaimana cara responden
bergaul dengan orang lain dilingkungan tempat responden tinggal ?
pp. Bagaimana cara responden berkomunikasi dengan orang yang
mengungkit masa lalu responden ?
qq. Saat ini bagaimana hubungan responden dengan ayah dan ibu
responden ?
rr. Jika responden sedang merasa marah atas apa yang terjadi, apa yang
biasa responden lakukan ?
263
INFORMED CONSENT
Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden
Tema Penelitian : Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual
Komersil (Prostitusi)
Peneliti : Indah Rasulinta Sebayang
NIM : 071301109
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak
ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.
Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai
responden dalam penelitian mengenai resiliensi remaja putri korban eksploitasi
seksual komersil (prostitusi).
Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan
manfaat penelitiaannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan
tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada saya.
Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan
akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan
penelitian saja.
Medan, 25 November 2011
(Responden) (Indah Rasulinta Sebayang)
264
INFORMED CONSENT
Pernyataan Pemberian Izin Oleh Responden
Tema Penelitian : Resiliensi Remaja Putri Korban Eksploitasi Seksual
Komersil (Prostitusi)
Peneliti : Indah Rasulinta Sebayang
NIM : 071301109
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak
ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.
Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancara sebagai
responden dalam penelitian mengenai resiliensi remaja putri korban eksploitasi
seksual komersil (prostitusi).
Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan
manfaat penelitiaannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan
tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada saya.
Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan
akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan
penelitian saja.
Medan, 23 Januari 2012
(Responden) (Indah Rasulinta Sebayang)