GAMBARAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN KANKER SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun oleh: Margaretha Vania 149114101 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
GAMBARAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN KANKER
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Margaretha Vania
149114101
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN MOTO
A THREAD ABOUT A STORY
The story of an overthinking girl, triying to reach her dreams
The blankspace sheets...
“It is our choices, Harry, that show what we truly are, far more than our abilities” -Albus Dumbledore (Harry Potter and the Chamber of Secrets)
...The idea...
“Come to me, all you who are weary and burdened, and I will give you rest” (Matthew 11:28)
“Be not afraid of growing slowly, be afraid only of standing still”
-Chinese verb
... The ink
“The hard but beautiful thing is when a mother elephant have to pregnant her baby for almost 2 years.. So does this story.”
“Happiness can be found in the darkest of times, if one only remembers to turn on the light”
-Albus Dumbledore (Harry Potter and the Prisioner of Azkaban)
..The end..
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Cerita ini saya persembahkan teruntuk:
Terimakasih Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan santa pelindungku yang selalu mendengarkan dan mengabulkan doa serta harapan anakmu yang
mudah putus asa ini
For my parents, my grandmother, my sister and brother terimakasih untuk hal yang telah kalian beri, baik yang tampak atau hanya yang terbesit di hati dan pikiran, terimakasih atas doa yang pasti tak kunjung putus
For my parent of knowledge, the best teacher Pak Praktik, terimakasih untuk tidak menyerah merevisi, memberi masukan dan
dengan dedikasinya membuatkan makalah untuk keperluan muridnya
all of my friends thankyou, for sharing the laugh, the pain, the tears, the hope, and the end of our
journey
for parents with cancer children the choosen one(s) are the special one, thankyou, for never giving up
for u who read
welcome!
“A family is more that the sum of its parts”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah
Yogyakarta, Penulis
Margaretha Vania
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
THE OVERVIEW OF FAMILY FUNCTIONING IN PARENTS WITH CANCER CHILDREN
Margaretha Vania
ABSTRACT
Having a children with cancer can cause other burdens for the family. The aim of this study is to gain an overview of family functioning on parents who having a children with cancer. This study is a qualitative study. This study also involving two parents (father and mother) who had a children with cancer. Parents were interviewed individually with semistructured questions and using dyad as the level of analysis. The data were analyzed by using content analysis. The final results showed that all parents tends to express a positive result on how they managed their family functioning. This positive result appears in all family functioning dimensions. There were four reasons that probably caused positive results: parent resilience, psychosocial support, income, and overlaps answers between fathers and mothers. Marriage age difference affect how parents perceived family functioning when having a children with cancer. Before the presence of children with cancer, the younger couple showed some marriage problems, while the older couple showed less marriage problems. After having children with cancer, younger couple experience different marriage situation where they became more cohesive to each other. On the other hand, older couple did not experience difference in their marriage situation, as they adapted well on handling marriage problems.
Keywords: family functioning, parents, children with cancer, dyadic.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
GAMBARAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN KANKER
Margaretha Vania
ABSTRAK
Kehadiran anak dengan kanker pada sebuah keluarga dapat menciptakan beban-beban tambahan di dalam keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keberfungsian keluarga yang dijalankan oleh orang tua (ayah dan ibu) ketika hadirnya anak dengan kanker ditengah keluarga. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Partisipan berjumlah dua pasang pasangan orang tua yang memiliki anak dengan kanker. Pasangan Orang tua diwawancara secara terpisah dengan menggunakan dyad sebagai satuan analisis. Analisis dalam penelitian ini menggunakan Analisis Isi Kualitatif (AIK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pasangan orang tua menunjukkan peningkatan dalam menjalankan keberfungsian keluarga menjadi lebih efektif. Hasil ini terlihat dari keenam dimensi keberfungsian keluarga. Hasil yang positif diduga disebabkan oleh empat hal, yaitu resiliensi pasangan orang tua, dukungan psikologis dan sosial, pemasukan keuangan, dan kekompakan jawaban antar pasangan. Usia perkawinan juga diduga turut menentukan keefektifan keberfungsian keluarga. Sebelum hadirnya anak dengan kanker, pasangan yang memiliki usia perkawinan lebih muda menunjukkan permasalahan pernikahan daripada pasangan dengan usia perkawinan yang lebih tua. Setelah memiliki anak dengan kanker, pasangan dengan usia perkawinan yang lebih muda menunjukkan pengalaman yang membuat pasangan menjadi kompak dengan pasangannya. Dilain sisi, pasangan dengan usia perkawinan lebih tua tidak merasakan pengalaman yang berbeda karena pasangan lebih mampu beradaptasi dalam mengatasi permasalahan perkawinan. Kata kunci: keberfungsian keluarga, orang tua, anak dengan kanker, dyadik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Margaretha Vania
NIM : 149114101 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
GAMBARAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA PADA KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN KANKER
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hal untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 30 Januari 2020 Yang menyatakan,
(Margaretha Vania)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR Puji serta syukur karena Yesus memberkati dan memberikan roh kudus
turun walau terkadang penulis merasa ada saja kemacetan, sehingga roh kudus
tidak kunjung sampai. Sempat berhadapan dengan waktu, namun bangkit kembali
demi diri saya dan pribadi-pribadi yang mendukung saya, entah secara langsung
terlibat maupun tidak secara langsung terlibat. Izinkan saya mengucap syukur dan
terimakasih melalui tulisan ini.
1. Tuhan Yesus, Bunda Maria, Santa Margaretha, dan Malaikat Serafine atas
bantuan—sepertinya ribuan—Roh Kudus di setiap waktu—kadang macet
dan kadang tidak—untuk penulis.
2. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Psi, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Dr. Monic, atas ancamannya sekaligus support untuk harus
menyelesaikan skripsi semester “ini”.
4. Ibu Dr. Maria Laksmi Anantasari, atas jasa dan dukungannya dalam
membimbing proses akademik saya,
5. Bapak Prof. A. Supratiknya, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang totalitas menjalankan perannya sebagai pembimbing sejati.
Terimakasih atas waktunya, semester demi semester tetap membawa
laporan saya, merevisi, meringkaskan modul, semua hanya untuk
kesuksesan muridnya. Sehat dan sukses selalu Pak!
6. Ibu Agnes Indar Etikawati, M. Si., Psikolog. dan Ibu Maria Magdalena
Nimas E. S., M.Si., Psi. yang telah membuat penelitian ini menjadi lebih
cantik.
7. Para dosen dan Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,
terimakasih atas ilmunya selama saya berkuliah. Karakter unik yang
dimiliki dari setiap pribadi akan selalu melekat dimemory saya.
8. Para orang tua pilihan yang telah meluangkan waktu untuk bercerita dalam
penelitian ini. All the best wishes for you! Salam Pita Emas!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
9. Keluarga besar Nia: Oma, Mama, Papa, Adik yang tidak pernah berhenti
untuk menanyakan kapan aku lulus. Aku lulus!
10. Keluarga besar tak sedarah Nihek: Rekan-rekan AKSI 2015 & BOCAH
NGAPA YAK 2018 (specially: Dito Valen, Intan, Soma, Puspa, Putri,
oleh layanan kesehatan BPJS, orang tua tetap berupaya untuk memberikan nutrisi
pendamping khusus yang memakan biaya yang cukup besar. Selain itu, orang tua
juga harus mengeluarkan biaya akomodasi yang memakan biaya ekstra dari
pengeluaran sebelumnya. Ibu 1 menuturkan, permasalahan biaya lainnya timbul
karena pasangan orang tua ini memiliki hutang. Permasalahan biaya ini diatasi
dengan menjual aset yang mereka miliki seperti mobil dan lain sebagainya. Ibu 1
juga berinisiatif untuk membuka campaign kitabisa.com untuk membantu
menyelesaikan permasalahan biaya yang diperlukan untuk digunakan anak dengan
kanker untuk berobat. Kitabisa.com adalah platform untuk menggalang dana dan
berdonasi secara online (crowdfunding) di Indonesia (kitabisa.com, 2019).
Melalui platform digital ini, orang tua merasa terbantu dalam menyelesaikan
permasalahan ekonomi yang dialami ketika memiliki anak dengan kanker. Saat
ini, pemasukan keluarga saat ini berada disekitar satu juta hingga dua juta rupiah
per bulannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Wawancara dengan Ibu 1 dan Ayah 1 dilaksanakan pada hari Sabtu, 22 Juni
2019 di ruang tamu rumah mereka. Selanjutnya, peneliti menerangkan tujuan
wawancara dan menjelaskan prosedur wawancara. Wawancara pertama dimulai
dengan Ibu 1 dan wawancara dilakukan selama kurang lebih 2 jam. Pada hari itu,
Ibu 1 memakai baju lengan panjang berwarna putih, celana jeans biru, dan jilbab
berwarna biru tua. Ibu 1 kemudian menceritakan awal anaknya memiliki kanker
darah putih. Ibu 1 bercerita dengan terbuka dan suara partisipan terdengar jelas
sehingga secara keseluruhan peneliti mampu memahami dinamika keluarga
melalui sudut pandang Ibu 1. Hal ini didukung dengan kondisi ruang tamu
partisipan yang cukup tenang, walau sesekali terdapat kendaraan yang melaju
kencang sehingga menimbulkan suara yang cukup keras. Pada pertengahan
wawancara, anak partisipan yakni R tiba-tiba menghampiri dengan menangis dan
bercerita mengenai ayahnya yang nakal dan tidak mau menemani ia bermain.
Wawancara dengan Ayah 1 dilaksanakan setelah peneliti mengakhiri sesi
wawancara dengan Ibu 1. Wawancara berlangsung kurang lebih selama 1 jam.
Pada saat itu, Ayah 1 mengenakan pakaian berwarna biru dan celana pendek
berwarna coklat. Selama wawancara berlangsung, Ayah 1 selalu menyatukan
kedua tangannya sambil sesekali merunduk. Ayah 1 cenderung menjawab dengan
cukup lama dan sesekali menjawab dengan satu dua kata saja, seperti “iya”
dan”tidak”. Hal ini mungkin terjadi karena peneliti belum melakukan rapport
dengan Ayah 1. Pada pertengahan menjelang akhir wawancara, anak kedua Ayah
1 datang dan Ayah 1 menggendongnya. Hal ini membuat proses wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
sedikit terganggu namun peneliti merasa bahwa informasi yang didapatkan sudah
cukup sehingga pembicaraan dilanjutkan dengan debrief dan obrolan ringan.
Pasangan Orang tua 2 adalah pasangan ayah dan ibu yang selanjutnya
akan disebut dengan Ibu 2 dan Ayah 2. Ayah 2 dan Ibu 2 telah menjalin
pernikahan selama 17 tahun. Ayah 2 merupakan kepala keluarga yang bekerja
sebagai trainer di luar kota. Ibu 2 merupakan ibu rumah tangga. Selain itu, Ibu 2
aktif berpartisipasi dalam kelompok orang tua dengan anak kanker. Kedua
partisipan tersebut beragama Muslim dan bersuku Jawa.
Keluarga ini merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak.
Anak pertama merupakan anak perempuan berusia 12 tahun dan berinisial S.
Anak kedua merupakan anak laki-laki berusia 2 tahun dan berinisial R. Dalam
keluarga ini, anak pertama (S) adalah anak dengan kanker yang didiagnosis saat ia
berusia 11 tahun. S didiagnosis memiliki kanker sel darah putih. Sel kanker darah
putih yang dialami S adalah Chronic Myeloid Leukimia atau CML. Menurut
pemaparan Pasangan Orang tua 2, kanker jenis ini merupakan kanker langka yang
dialami oleh anak-anak. Pengobatan untuk jenis kanker ini yaitu dengan
melakukan kemoterapi oral, yakni melalui obat-obatan. Pengobatan untuk jenis
kanker CML juga dilakukan seumur hidup pasien. Dua minggu sekali, S
melakukan check up di RS S untuk kontrol kadar trombosit dan leukosit.
Terkadang, seminggu sekali Ibu 2 juga melakukan check up terhadap kondisi S di
klinik di daerah tempat tinggal mereka. Kedua Orang tua S tidak memiliki riwayat
kanker. Menurut pemaparan Ayah 2, jenis kanker CML merupakan jenis kanker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
yang terjadi karena faktor eksternal yang penyebabnya tidak dapat dipastikan
secara jelas. Saat ini, S telah menjalani pengobatan kurang lebih selama 1 tahun.
Keluarga ini tinggal bersama dengan keluarga mereka yang lain (ibu dari
Ayah 2). Mereka tinggal satu rumah dengan kakek dan nenek dari anak-anak
mereka. Hal ini membuat Pasangan Orang tua 2 mendapat bantuan dari keluarga
lain. Pasangan Ayah dan ibu ini juga aktif ikut dalam komunitas orang tua dengan
anak kanker. Ibu 2 lebih aktif dalam ikut berpartisipasi dalam komunitas daripada
Ayah 2. Komunitas ini juga memberikan informasi dan social support sehingga
berguna bagi keluarga. Keluarga S menggunakan layanan BPJS untuk membantu
meringankan biaya pengobatan anak dengan kanker. Pengeluaran diluar BPJS
seperti makanan, transportasi dan kontrol mingguan ditanggung pribadi oleh
keluarga. Ayah 2 menuturkan bahwa tanpa BPJS, memiliki anak dengan kanker
dapat membuat keluarga membutuhkan bantuan finansial. Pada saat anak
mendapat diagnosis kanker, Ayah 2 ingin keluar dari pekerjaannya. Keinginan
Ayah 2 ternyata ditolak oleh pihak tempatnya bekerja dan Ayah 2 justru
mendapatkan dukungan dari atasannya. Ayah 2 tetap ingin menemani anak ketika
kontrol ke rumah sakit sehingga ia diberi kompensasi dengan memiliki jadwal
yang berbeda dengan karyawan lainnya. Dalam sebulan, ia akan bekerja selama 2
minggu dan pulang untuk menemani anak dengan kanker untuk berobat selama 2
minggu. Ibu 2 merupakan ibu rumah tangga dalam keluarganya. Saat ini, keluarga
memiliki pemasukan diatas tiga juta rupiah perbulannya.
Wawancara dengan Ibu 2 dan Ayah 2 dilakukan pada tanggal 27 Juli 2019
di ruang tamu rumah mereka. Peneliti memulai wawancara dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
penandatanganan informed consent serta menjelaskan prosedur wawancara.
Peneliti mewawancarai Ibu 2 terlebih dahulu selama kurang lebih satu setengah
jam. Kondisi tempat wawancara cukup kondusif dan hening. Saat wawancara, Ibu
2 sedang menggunakan jilbab dan baju berwarna creme serta celana panjang
jeans. Saat wawancara berlangsung, Ibu 2 dengan antusias menceritakan
kisahnya. Dalam bercerita, sesekali Ibu 2 mengusap matanya ketika
membicarakan tentang kondisi anaknya dan juga tertawa ketika membicarakan
tentang keluarganya.
Wawancara dengan Ayah 2 dilakukan setelah melakukan wawancara
dengan Ayah 2 di ruang tamu rumah partisipan. Pada saat wawancara, Ayah 2
menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang berwarna putih.
Wawancara berlangsung kurang lebih selama satu jam. Ayah 2 mengungkapkan
ceritanya dengan lantang dan jelas. Pada saat bercerita, sesekali Ayah 2 mengusap
kedua matanya ketika bercerita. Pada pukul 18.00 WIB Ayah 2 izin untuk
menjalakan ibadah dan proses wawancara dengan Ayah 2 pun berakhir.
C. Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi keberfungsian keluarga
secara keseluruhan ketika keluarga memiliki anak dengan kanker dengan
mewawancarai orang tua (ayah dan ibu) secara terpisah. Dalam hasil penelitian
ini, peneliti mengungkap perubahan dalam keberfungsian keluarga pada setiap
dimensinya. Dimensi keberfungsian keluarga yang digunakan adalah model
konseptual McMaster menurut Epstein et al. (1978), yang meliputi: (1)
pemecahan masalah (yaitu kemampuan keluarga untuk memecahkan masalah),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
(2) komunikasi (yaitu kemampuan keluarga untuk dapat secara jelas dan
langsung dalam melakukan pertukaran informasi dengan anggota keluarga), (3)
peran (yaitu kemampuan keluarga dalam berperilaku untuk membagi dan
menjalani fungsi-fungsi peran dalam keluarga), (4) responsivitas afektif (yaitu
kemampuan keluarga dalam mengelola stimulus-stimulus emosional baik secara
kuantitas maupun kualitas), (5) keterlibatan afektif (yaitu kemampuan keluarga
dalam menunjukkan kepekaan dan ketertarikan keluarga dengan aktifitas anggota
keluarga yang lain, dan (6) kontrol perilaku (yaitu kemampuan keluarga untuk
mengatur perilaku dari setiap anggota keluarga). Perlu diketahui bahwa dimensi-
dimensi dalam keberfungsian keluarga dapat tumpang tindih satu dengan yang
lain (Epstein, Bishop, & Levin, 1978), sehingga mungkin terdapat jawaban-
jawaban antar dimensi yang sama.
Peneliti menggunakan analisis dyadic antar pasangan orang tua yang terdiri
dari dua tahapan. Tahapan pertama adalah melakukan horisontalisasi, yakni
menyusun gugusan makna atas pernyataan-pernyataan yang signifikan pada hasil
wawancara setiap pasangan. Tahapan kedua adalah memeriksa persamaan-
persamaan (overlaps) atau perbedaan-perbedaan (contrast) dari tema-tema yang
muncul pada masing-masing individu. Jika jawaban antar pasangan menunjukkan
banyaknya persamaan-persamaan (overlaps), maka wawancara atau analisis bisa
dipandang cukup. Jika jawaban antar pasangan menunjukkan perbedaan-
perbedaan (contrast), maka peneliti harus mengkonfirmasi jawaban pada masing-
masing individu untuk memastikan perbedaan-perbedaan jawaban tersebut.
(Eitsikovits & Koren, 2010, dalam Supratiknya, 2019).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
1. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah mengacu pada kemampuan keluarga dalam
memecahkan masalah sehingga mampu menjaga keefektifan keberfungsian
keluarga. Kriteria dari dimensi pemecahan masalah adalah semakin keluarga
dapat menyelesaikan masalah maka semakin efektif kondisi keberfungsian
keluarga.
Memiliki anak dengan kanker membawa perubahan pada Pasangan Orang
tua 1 dalam memecahkan masalah. Pasangan ini memaparkan bahwa kehadiran
anak dengan kanker membuat mereka menjadi lebih berdiskusi dalam
memecahkan permasalahan.
Diskusi A 1 : “Saya dalam menghadapi masalah jadi lebih tenang, dipikirkan
bersama gitu.” (337)
Ayah 1 menyampaikan perubahan dalam menyelesaikan permasalahan
dengan pasangannya. Ia sekarang menjadi lebih berdiskusi dengan istrinya dalam
memecahkan permasalahan keluarga. Istrinya juga merasakan hal yang serupa
dengan pasangannya:
Diskusi I 1 : “Kadang itu ada komunikasi yang intens, tapi juga ada selisih
paham. Suami pingin jangan dijual dulu seperti mobil, ini, itu. Nanti gimana sehari-harine. Aku udah gapapa, hutang itu harus dihilangin dulu. Karena dalam agama, riba itu bisa mempengaruhi. Akhirnya ya sudah ambil keputusan untuk lunasin lah hutang itu. Akhirnya ya sepakat setelah ada komunikasi yang terbuka dan intens terus menerus diskusi (dengan pasangan)” (94-102) ... “Dulu kalau gamau cerita yaudah, terserah, sekarang tanya, wes bedalah sekarang, lebih saling mengerti, selalu diskusi juga. Dulu juga misalnya banyak nyimpen masalah sendiri, sekarang jujur, lebih iklas, karena takut dosa. Gamau terjadi apa apa sama R.” (192-195)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Dalam narasi diatas, Ibu 1 mengungkapkan bahwa kehadiran anak dengan
kanker membuat ia dan suaminya menjadi lebih berdiskusi dalam memecahkan
permasalahan. Pasangan Orang tua 1 memaparkan jawaban yang kurang lebih
sama dan tidak menunjukkan adanya perbedaan.
Pada Pasangan Orang tua 2, pasangan ini juga merasakan adanya perubahan
dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini disampaikan oleh Ayah 2 sebagai
berikut:
Diskusi A 2 : “Ya contoh urusan kantor, biasa lagi berdua ngobrol, terus ada
kejadian ini itu. Saya cerita, terus dia berikan nasehat. (permasalahan akhir ini) Terus lebih mikir kalau mau resign terus butuh uang banyak gimana, terus kita mikir berdua ya uang bukan segalanya, mungkin kalau uangnya gak banyak anak kita bisa sembuh Apa yang saya planningkan pasti saya obrolin, bukan saya lakuin dulu baru bilang istri, biar istri gak kaget dan harus diamini istri, biar kita jalannya juga enak” (607-612).
Ayah 2 menjelaskan bagaimana ia dan pasangannya menyelesaikan
permasalahan. Salah satu contoh permasalahan yang timbul adalah permasalahan
pekerjaan yang harus dihadapi ketika pasangan ini memiliki anak dengan kanker.
Ia menambahkan, pasangannya juga memberikan nasihat pada dirinya. Ibu 2 juga
menggambarkan situasi yang serupa:
Diskusi I 2 : “Iya mbak, kita selalu diskusi, walaupun jarang ketemu. Dirumah
juga kadang sibuk kemana, kemana, kemana. Kalau ada waktu, kita ngobrol. Apa saja mbak, kita pasti diskusi, dari dulu seperti itu. Apalagi untuk S, (misal) sekolahnya besok gimana.” (822-824)
Ibu 2 menjelaskan inti yang sama dengan apa yang telah diutarakan oleh
suaminya. Walau pasangan ini jarang bertemu karena pekerjaan suaminya, ia
memaparkan jika sejak sebelum keluarga memiliki anak dengan kanker, pasangan
ini selalu berdiskusi untuk memecahkan permasalahan, terlebih untuk anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
dengan kanker. Jawaban Ayah 2 dan Ibu 2 menunjukkan cerita dan maksud yang
kurang lebih sama.
Kehadiran anak dengan kanker ternyata membuat kedua pasangan orang tua
menjadi lebih berdiskusi dengan pasangannya dan hal ini cenderung
menunjukkan keefektifan dalam menyelesaikan permasalahan. Selain itu,
kedua pasangan orang tua melaporkan jawaban yang kurang lebih sama dengan
pasangannya. Pada Pasangan Orang tua 1, kehadiran anak dengan kanker
mengubah cara pasangan dalam menyelesaikan permasalahan, dari yang
sebelumnya kurang efektif, menjadi lebih efektif. Di lain sisi, Pasangan Orang tua
2 menyampaikan bahwa kehadiran anak dengan kanker lebih membuat pasangan
saling berdiskusi, terlebih berdiskusi untuk membahas hal-hal yang berkaitan
dengan anak dengan kanker.
2. Komunikasi
Dimensi komunikasi didefinisikan sebagai kemampuan keluarga untuk
dapat secara jelas dan langsung dalam melakukan pertukaran informasi dengan
anggota keluarga (Epstein, Bishop, & Levin, 1978). Langsung berarti informasi
disampaikan langsung pada orang yang dimaksud. Jelas berarti bahwa informasi
disampaikan dengan seutuhnya. Kriteria dari dimensi komunikasi adalah semakin
langsung dan jelasnya informasi yang disampaikan pada individu yang dimaksud,
maka akan semakin efektif keberfungsian keluarga. Tema pada hasil penelitian ini
terdiri dari komunikasi yang meliputi dua hal: (1) komunikasi dengan pasangan,
dan (2) komunikasi dengan anak-anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
2.1 Komunikasi dengan pasangan
Pada Pasangan Orang tua 1, kehadiran anak dengan kanker mengubah
bagaimana pasangan orang tua menyampaikan informasi secara umum. Hal ini
ditunjukkan dalam narasi sebagai berikut:
Langsung, terbuka, dan menjadi lebih jelas dalam memberikan informasi I 1 :“Awal aku kadang mengambil keputusan sendiri, tidak komunikasikan
langsung ke suami, kadang cekcok sana sini, sekarang cara komunikasi aku juga jadi lebih lembut, dulu saling cuek juga, apa kesibukanmu yaudah sakkarepmu, sekarang lebih intens, gimana ya, kaya memberikan apa itu harus detail, harus jelas, komunikasi jadi erat, lebih terbuka.” (188-192)
Narasi Ibu 1 diatas menggambarkan bahwa kehadiran anak dengan kanker
membuat komunikasi dengan pasangannya menjadi lebih efektif. Ia
mengungkapkan, sebelumnya ia mengambil keputusan sendiri tanpa
mengkomunikasikannya secara langsung dengan pasangannya. Informasi yang
disampaikan kepada pasangan juga menjadi lebih jelas. Suaminya memaparkan
hal yang sama:
Langsung, terbuka, dan menjadi lebih jelas dalam memberikan informasi A 1 : “Sekarang sama D [Ibu 1] ya komunikasi lebih langsung, terbuka
tentang apapun, semuanya. R, kerjaan, apapun. Dia juga ngomong, apa-apa ngomong mama’e tu” (344-345)
Pada Pasangan Orang tua 1, kehadiran anak dengan kanker mengubah
bagaimana pasangan saling bertukar informasi. Jawaban yang disampaikan
pasangan ini menunjukkan hasil yang serupa.
Pasangan Orang tua 2 menyampaikan pola komunikasi mereka sebagai
berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Langsung dan terbuka A 2 : “Saya dari dulu terbuka dengan istri, apa-apa langsung ngomong,
harus jujur” (557) ... “Apa yang saya planningkan itu saya pasti obrolin, bukan saya lakuin dulu baru bilang istri, biar istri juga gak kaget dan harus diamini istri, biar kita jalannya juga enak. Kalau istri nggak merestui psti saya ambles (611-614).
Dalam narasi diatas, Ayah 2 tidak menemukan perbedaan dalam
berkomunikasi dengan pasangan. Menurutnya, mereka tetap saling berdiskusi,
bercerita langsung, dan jujur terkait dengan informasi yang disampaikan masing-
masing pasangan. Ibu 2 menguatkan jawaban pasangannya:
Langsung dan terbuka I 2 : “Saya juga sedih, khawatir, ya cerita sama bapaknya. Selalu cerita.
Sering gojek juga lah sama bapaknya. Kita juga pasti saling support, dengan kata-kata. Kalau saya merasa S ada apa gitu, saya ya telfon, cerita, pak ini kok S kayaknya ada masalah, kok kelihatannya tertekan, stress kalau nilai ujian jelek. Ya berdoa, kasih tau pelan-pelan, pasti ada masukan-masukan, ada semangat dari bapaknya. Gitu selalu gitu. Walau pun dia dijakarta, kita selalu komunikasi terus.” (911-921)
Ibu 2 juga memaparkan bahwa ia dan suaminya selalu berkomunikasi secara
langsung pada orang yang dimaksud, dalam hal ini adalah pasangan. Selain itu,
pesan atau informasi disampaikan dengan jelas. Pasangan Orang tua 2 juga
menunjukkan cerita dan intepretasi yang sama.
2.2 Komunikasi antara orang tua dan anak dengan kanker.
Pertukaran informasi tentunya tidak hanya terjadi pada antar pasangan
ayah dan ibu, tetapi juga terjadi pada orang tua dan anak-anak mereka.
Pasangan Orang tua 1 mendeskripsikan pertukaran informasi antara orang tua
dan anak dengan kanker sebagai berikut:
Langsung dan jelas Pada anak dengan kanker I 1 : “Bedalah dulu, mungkin dulu lebih ngecul. Tapi kalau ada kanker
anak ini kan orang tua harus selalu mantau kesehatannya. Saya juga bilang ke anak,” R kalau mau makan apa bilang sama mama,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
nanti kalau nggak bilang, nanti sakit lagi. Kan kamu tau kan sakit ga enak”. Gitu lah saya kasih tau. Nanti dia tau sendiri kalau makanan ini itu dilarang, soalnya dia gamau sakit lagi di rumah sakit.” (147-150) ... “Dulu ia sering tanya kok pake masker, ya saya memberi penjelasan karna banyak kuman, nanti bisa sakit. Kalau waktunya minum obat, ya saya bilang kak ayo minum obat nanti kuman yang pingsan bangun lagi” (152-154)...“Warna pup, pipis juga minta saya cek. Pengecekan seperti itu tergantung dari ketelitian orang tua masing masing anak. Anak harus diawasi dari segi apapun. Kalau salah sedikit bisa drop anaknya. Sampai aku selalu tanya terus ke dokter, tanya apapun itu.” (158-162)
Ibu 1 menggambarkan pola komunikasi dengan anak kanker. Ia
menjelaskan bahwa setelah anak terdiagnosis kanker, orang tua lebih
memberi informasi pada anak secara langsung dan jelas. Hal ini dikarenakan
sifat penyakit anak yang dapat relapse sewaktu-waktu jika orang tua tidak
mengawasi anak dengan kanker. Ayah 1 memaparkan:
Langsung dan jelas Pada anak dengan kanker A 1 : Kalau ke anak-anak jadi bagaimana pak? Ada perubahan?
“Aku kalau bilangin R ya langsung aja bilang, kadang ya yang anaknya ngeyel sama saya, nah saya minta tolong mama’e.” (348-349)
Ayah 1 menggambarkan bahwa ia menyampaikan informasi pada anak
dengan kanker secara langsung dan jelas. Kedua pasangan menyampaikan
jawaban yang kurang lebih sama. Pasangan Orang tua 1 tidak mengalami
perubahan dalam berkomunikasi dengan anak mereka lainnya. Hal ini
dikarenakan anak sehat yang lainnya masih berusia delapan bulan.
Pada Pasangan Orang tua 2, secara umum orang tua mengalami
perubahan dalam melakukan pertukaran informasi dengan anak dengan
kanker. Hal ini disampaikan sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Langsung dan jelas Pada anak dengan kanker A 2 : “Pasti saya jadi tanya terus, gimana keadaannya, ada yang sakit gak.
” (681) .. “Langsung menjelaskan, pokoknya posisi kamu sekarang sakit, kalau kamu lakukan gini, tidak begini. Jadi saya jelaskan pakai konsekuensinya masing-masing, ini dampaknya. Saya mengusahakan cara menerangkannya itu semudah mungkin.” (597-599)
Ayah 2 menggambarkan bahwa komunikasi yang terjadi antara orang
dengan anak kanker dilakukan secara langsung. Informasi yang harus
diberikan juga harus jelas. Ibu 2 menambahkan:
Langsung dan jelas Pada anak dengan kanker I 2 : “Biasanya langsung mbak, langsung. Tapi waktu saat ketika mau
memberitahu anak, kita bener-bener tertekan, gimana ya mbak, maju mundur maju mundur, sampai kita ke psikolog. Sebaiknya dengan cara apa kita kasih tau S tentang penyakitnya, yang tidak menimbulkan dia jadi down, karena butuh kerjasama S untuk kesehatannya ” (799-802) ... “(ketika anak menangis karena tidak mau sekolah di tempat yang ditentukan orang tua) Saya juga memberi pengertian, mbak S kan dulu pernah sekolah di rengasdengklok, mbak S juga gak suka karena sekolahnya kotor. Tapi makin kesini mbak S bisa adaptasi mbak S jadi seneng kan. Waktu kita mau kesini mbak S berat juga kan, awalnya kan pasti berat, tapi mbak S kan tidak harus menginap dan makan disana, bisa dirumah. Mbak S kan belajar aja nanti terus pulang. Harus selalu diberi penjelasan.”(844-849) ... “Terus bapaknya bilang ke dia, mbak S, kan dari awal nilai itu ga penting, yang penting kesehatan mbak S, itu nomor satu, gak mikir nilai. Tapi dia dasarnya anaknya perfeksionis, agak susah. Jadi kita berjuang bener-bener supaya dia mau di pesantren, semua keluarga lain kasih tau, asal kamu sembuh, pasti sembuh.Dianya [anak dengan kanker] iya-iya aja. Tapi kalau ada yang tanya, dia selalu nangis.” (867-872)
Ibu 2 menjelaskan bagaimana ia dan suaminya berkomunikasi dengan
anak kanker. Sifat penyakit kanker mengharuskan orang tua untuk
mengontrol perilaku anak dengan hati-hati dan harus selalu menjelaskan pada
anak dengan kanker agar tidak membuatnya menjadi down. Hal ini membuat
pasangan orang tua harus selalu menjelaskan beberapa informasi atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
pengertian yang diperlukan untuk anak dengan kanker. Komunikasi yang
dilakukan dengan anak kanker juga harus jelas dan langsung. Pola
komunikasi dengan anak sehat yang lainnya pada pasangan ini juga tidak
menunjukkan perubahan karena usianya yang masih balita. Pasangan Orang
tua 2 menunjukkan jawaban yang kurang lebih serupa dengan pasangannya.
Pada dimensi Komunikasi, kehadiran anak dengan kanker cenderung
membuat kedua pasangan orang tua menunjukkan komunikasi yang efektif.
Pasangan Orang Tua 1 merasakan perbedaan dalam berkomunikasi dengan
pasangan dan anak dengan kanker. Di lain sisi, Pasangan Orang Tua 2
menunjukkan adanya peningkatan dalam berkomunikasi pada anak dengan
kanker. Selain itu, kedua pasangan orang tua juga cenderung melaporkan jawaban
yang serupa dengan pasangannya.
3. Peran
Dimensi peran didefinisikan sebagai kemampuan keluarga dalam
berperilaku untuk membagi dan menjalani fungsi-fungsi peran dalam keluarga
(Epstein, Bishop, & Levin, 1978). Area dalam dimensi peran dibagi menjadi tiga
bagian. Yang pertama, yaitu bagaimana keluarga berperan untuk memenuhi
kebutuhan instrumental keluarga, misalnya menunjang perekonomian keluarga,
makanan, obat-obatan, dan lain sebagainya. Yang kedua, yaitu bagaimana
keluarga berperan untuk memberikan kebutuhan afektif, misalnya memberi
dukungan, bantuan, dan kenyamanan. Pada bagian ini, terdapat dua tema yang
muncul yaitu, (1) pemenuhan afeksi pada pasangan dan (2) pemenuhan afeksi
pada anak-anak. Bagian yang ketiga dan terakhir adalah mengenai bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
orang tua memimpin keluarga, seperti pengambilan keputusan dalam keluarga.
Kriteria dari dimensi peran adalah semakin ketiga area tersebut dialokasikan pada
setiap anggota keluarga secara adil, maka semakin efektif keberfungsian keluarga.
3.1 Pemenuhan kebutuhan instrumental
Kehadiran anak dengan kanker membuat kedua orang tua harus
memikirkan pekerjaan mereka demi fokus pada pengobatan anak dengan
kanker. Hal ini menyebabkan orang tua memiliki kendala dalam memenuhi
kebutuhan instrumental keluarga, karena berkurangnya pemasukan dalam
keluarga. Hal ini digambarkan oleh Pasangan Orang tua 1 sebagai berikut:
Perubahan pekerjaan A 1 :”Dulu kita gak kerja, setahun saya tinggal. Ini saya tiga bulan ini
baru-baru ini kerja.” (311) ... “(Saat ini) Kerjaan itu kalau ada panggilan baru datang. Kerja jadi lebih fleksibel. (318-319)
Pemenuhan kebutuhan keuangan A 1 :”Perubahan mungkin ada masalah dari segi ekonomi, banyak
pengeluarannya.” (329-330) ... “Kalau biaya lewat BPJS, kan gratis. Sisanya ya ada bantuan dari saudara. Sama kami putuskan untuk ikut kitabisa itu.” (336-337)
Ayah 1 menceritakan bahwa kehadiran anak dengan kanker
membuatnya harus melepaskan pekerjaannya untuk fokus menemani proses
pengobatan anak dengan kanker. Hal ini menyebabkan adanya hambatan
dalam memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Untuk menyelesaikan
hambatan tersebut, ia mendapat bantuan dari BPJS Kesehatan, bantuan dari
saudara, dan bantuan donasi dari aplikasi kitabisa.com. Istrinya
menggambarkan hal yang serupa:
Perubahan pekerjaan Orang tua I 1 : “Saya kerja jualan baju online. Suami kerja di perusahaan di Solo. Lalu
kami pertimbangkan, kalau kami perlu untuk dampingin R, jadi semua tinggal semua kerjaan. Sampai sekarang saya fokus urus anak saja.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
(68-70) ...“Papanya (sekarang) kan kerja tapi kalau ada telfon, baru berangkat. Benerin mesin atm itu lho mbak” (254-255)
Pemenuhan kebutuhan keuangan I 1 : “Lalu awalnya masih adalah biaya, tapi lama-lama kok habis ya.
Untuk makan, untuk perlengkapan kan jauh lebih banyak.” (71-72) ... “Masalah biaya pengobatan ada cek-cok sedikit, karena faktor ekonomi, pemasukan kan kesendat. Kita juga ada masalah, karena waktu itu kita gak kerja, padahal sebelum e cari.” (91-93) “Walau pengobatan di talang BPJS tapi kebutuhan lain kan enggak. Jadi saya merasa butuh dana tambahan, gimana caranya, buatlah kitabisa.” (79-80) ... “ (penggalangan donasi) (khusus) untuk pengeluaran R. Terutama untuk membeli vitamin yang memang harganya mahal dari Amerika.” (87-88)
Ibu 1 menguatkan penjelasan suaminya, bahwa kehadiran anak dengan
kanker membuat pasangan orang tua ini harus meninggalkan pekerjaan
mereka dan mencari cara untuk mengatasinya. Berdasarkan uraian diatas,
Pasangan Orang tua 1 menggambarkan jawaban yang kurang lebih sama.
Pasangan Orang tua 2 juga memiliki kendala dalam memenuhi
kebutuhan instrumental keluarga. Hal ini disampaikan oleh Ayah 2 sebagai
berikut:
Perubahan pekerjaan Orang tua A 2 : “Saya itu pengen resign saat itu, tapi nggak boleh sama kantor.
Akhirnya nego-nego saya minta satu minggu di kantor satu minggu dirumah. Kerjaan numpuk biarin. Terus saya dikasih partner kerja biar bisa backup saya.” (568-570) ... “Terus lebih mikir kalau mau resign terus butuh uang banyak gimana, terus kita mikir berdua ya uang bukan segalanya, mungkin kalau uangnya gak banyak anak kita bisa sembuh. (607-612).
Ayah 2 menjelaskan bahwa kehadiran anak dengan kanker membuat ia
befikir untuk keluar dari pekerjaannya. Dalam prosesnya, pihak tempatnya
bekerja ternyata tidak mengizinkannya untuk keluar dan memberikan
keringanan bagi Ayah 2 untuk tetap dapat bekerja sembari menemani anak
dengan kanker berobat. Ibu 2 menambahkan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Perubahan pekerjaan Orang tua I 2 : “Kami berdiskusi, tadinya ayah mau resign. Jadi pas S ketahuan
leukimia, otomatis bapak bolos kerja satu bulan lebih, padahal saya harus kontrol tiap dua minggu kan, pengennya bapaknya dampingin terus. Itu bapaknya ngajukan resign. Tapi juga keluarga butuh pemasukan. Ttapi ga dikasih, sama bosnya. Malah bos, [suami] “saya ini udah ga produktif, sering bolos, sudah ga bermanfaat”. Tapi malah sama bosnya, “saya tau apa yang kamu rasakan, kamu memang ngeblang. Tapi kan kamu perlu biaya untuk anak kamu, anak kamu ini kan sakitnya bukan sakit yang biasa, kita gatau anakmu kapan sembuh total, kamu perlu biaya untuk wira wiri”. Walau memang ditanggung BPJS, tapi biaya operasional kan kita. Kadang kita kalau mau ekstra cek lab sendiri mbak, dua minggu ke sardjito, tapi tiap minggu kita cek lab sendiri, untuk mantau hasil darah dia sendiri. Akhirnya, [atasan] “gausah, gausah keluar”. Akhirnya, [suami] “kalau boleh, saya bisa minta scedule saya satu satu bisa nggak. Saya seminggu kerja seminggu libur, nanti saya paskan dengan jadwal berobat anak saya”. Dikasih sama bosnya (tertawa) jadi dalam sebulan cuman kerja dua minggu tapi gaji sebulan. Saking sayang bosnya [pada Ayah 2]. Karna pengobatannya ga murah mbak. Kita harus bawa ke lab, lab di sini, ke prodia. Yasudah akhirnya begitu mbak. Alhamdulilah ya mbak.” (765-784)
Ibu 2 menceritakan dengan sangat rinci proses bagaimana keluarga
berjuang untuk memenuhi kebutuhan instrumental keluarga. Uraian diatas
menunjukkan bahwa Pasangan Orang tua 2 cenderung menunjukkan jawaban
yang kurang lebih sama.
3.2 Pemenuhan kebutuhan afeksi.
Bagian ini membahas mengenai pengalokasian peran orang tua dalam
memberikan kebutuhan afeksi. Pemberian afeksi dalam bagian ini meliputi:
pemenuhan afeksi antar pasangan dan pemenuhan afeksi untuk anak-anak.
3.2.1 Pemenuhan afeksi antar pasangan
Pasangan Orang tua 1 mengungkapkan pemenuhan kebutuhan afeksi
dengan pasangan sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Saling mendukung A 1 : “Saya merasa menjadi lebih dewasa no kita. Tadinya kurang terbuka
satu sama lain, jadi lebih saling terbuka tentang apapun. Apa-apa bilang. Sedih bilang, seneng bilang. Jalani ya jalani aja sekarang, sudah takdir yang harus dijalani.” (367-369)
Ayah 1 menjelaskan bahwa kehadiran anak dengan kanker
membuat ia dan pasangannya menjadi pribadi yang lebih dewasa.
Pasangan menjadi lebih terbuka, terlebih dalam mengungkapkan perasaan.
Ibu 1 menguatkan:
Saling mendukung I 1 : “Tapi ini membuat keluargaku jadi lebih mendekatkan, ya itu
pengertian antara suami ke aku dan sebaliknya.” (188-189) ... ”Saya dan suami setelah kondisi ini ya kita mengingat lagi kalo kita cuman dititipi di atas. Kita ga salah kok, kita udah bener merawat dia, mengikuti saran dokter. [Ayah 1] “Kalau sudah sesuai ya gimana lagi to mah”, dia menguatkan juga. Saya juga tanya piye yo pah, kok begini anak kita bisa sembuh. Dia malah, “[Ayah 1] ya udah takdir, kamu udah bisa rawat R diberi takdir sakit ya sakit, sembuh ya sembuh. Bukan kesalahan kita tapi memang harus dijalani”. Kadang dia juga down gitu, aku yang nguatke ya ini kan hadiah to pah, kita jadi lebih dekat dengan Allah. Ini hadiah, bukan ujian. Kita diberi rejeki, ini anak yang buat kita sadar, kalau kehidupan memang tidak selalu mulus. Terus dia yo, hoo yo mah.” (105-114)
Kehadiran anak dengan kanker membuat pasangan ini saling
mendekatkan. Ibu 1 memaparkan bahwa ia dan pasangannya menjadi
lebih pengertian antara satu dengan yang lain. Pemaparan jawaban yang
diutarakan oleh pasangan ini menunjukkan hal yang sama.
Pada Pasangan Orang tua 2, beban-beban karena kehadiran anak
dengan kanker juga membawa perubahan pada bagaimana pasangan
memenuhi kebutuhan afeksi pasangannya. Hal ini diungkapkan oleh
Ayah 2 sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Perubahan dalam memahami perasaan pasangan pada awal diagnosis anak A 2 :” Kadang saya tanya anake udah dibuat jus belum, jus bit untuk
penyakitnya dia. Kalau belum saya itu bisa marah, kamu tu gimana sih gak becus, saya itu awal-awal penuh kemarahan. Berjalan berjalan terus akhire udah nemuin alurnya, karena saya mikire iyo dia ngurusin dua anak, saya mengerti dikit-dikit” (511-514). IN : Cukup lama ya pak? A 2 : “Iya lama itu mbak, lumayan, soale itu kan kondisi kritisnya S, karena pengennya cepet sembuh kan mbak.” (518-519) IN : Lalu dengan istri, apakah sekarang masih ada kesalahpahaman? A 2 : “Sudah enggak mbak, kalau saya tanya jus, dan belum diberikan, saya cuma memberi tahu, biar nggak menyakiti hati.” (560-561)
Ayah 2 menjelaskan bahwa kehadiran anak dengan kanker
membuatnya sangat emosional dengan istri, terlebih ketika istri tidak
memenuhi kebutuhan anak dengan kanker. Setelah enam bulan sejak
diagnosis anak berlalu, Ayah 2 mulai memahami perasaan istrinya. Ia
berusaha untuk berbicara dengan cara yang tidak menyakiti hati istri. Ibu
2 mendukung jawaban suaminya:
Tidak ada perubahan yang berarti dengan pasangan I 2 : “Kadang bapaknya berantem dengan ibuknya, “kamu mau gak
anakmu umurnya panjang, sudah tertib, harus tertib”” (729-730) ... “ (secara umum) Udah kulino dari dulu, sebelum menikah sudah kenal lama. Jadi sering ngobrol juga sering ketawa-ketawa gitu. Karna dari dulu memang sudah gitu, bapaknya dari dulu juga sukanya membanyol (ketawa), jadi ga tegang ga spaning. Tegas, tapi juga bisa menempatkan. Kita juga pasti saling support, dengan kata-kata. Kalau saya merasa ada apa gitu, saya ya telfon, cerita, “pak ini kok S kayaknya ada masalah, kok kelihatannya tertekan, stress kalau nilai ujian jelek”. “Ya berdoa, kasih tau pelan-pelan”, pasti ada masukan-masukan, ada semangat dari bapaknya. Saya pun juga berdiskusilah dengan dia. Gitu selalu gitu dari dulu. Walau pun dia di Jakarta, kita selalu komunikasi terus.” (914-922).
Ibu 2 menambahkan bahwa kehadiran anak dengan kanker
menimbulkan pertengkaran dengan pasangannya. Ibu 2 juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
menyampaikan bahwa walau muncul pertengkaran, suaminya
merupakan orang yang selalu mendukungnya, memberikan masukan
serta nasihat-nasihat. Selain itu, Ibu 2 menyampaikan bahwa dari
sebelum anak memiliki kanker, suaminya memanglah orang yang tegas,
namun dapat memahami dirinya. Pasangan Orang tua 2 saling
melengkapi cerita mereka. Uraian yang disampaikan pasangan ini
kurang lebih serupa. Pada akhirnya, kehadiran anak dengan kanker
membuat situasi tegang namun dapat kembali menjadi lebih baik.
3.2.2 Pemenuhan kebutuhan afeksi pada anak-anak
Pasangan Orang tua 1 mengungkapkan pemenuhan kebutuhan
afeksi dengan anak-anak sebagai berikut:
Peran orang tua dalam memenuhi kebutuhan afeksi pada anak-anak I 1: “Kadang heptik. Kalau fokus sama satu, kadang kita kurang fokus
sama yang lain to. Itu yang kadang bikin aku sok sedih. Kaya gitu lho. Awal-awal dulu dibantuin sama papane, sekarang sendiri. Untung kerjaannya [suami] fleksibel. Kalau dia lagi sibuk ya kadang saya, kadang si kecil saya titipkan ke ibu saya, saya urus R. Kadang saya urus R, adeknya dititipkan saudara, kadang saya urus adeknnya, R yang main. Adeknya R dari dia umur 10 hari sudah saya bawa ke rumah sakit tiap R kontrol. Aku gamau melewatkan sedikitpun R kontrol, aku harus ikut. Saya sudah percaya takdir aja, kalo adeknya sehat pasti sehat. Saya luka cesar masih basah, tapi aku dah harus ikut kontrol R. Aku udah mempercayai kalo aku ga akan kenapa-kenapa. Untungnya adeknya ga pernah rewel, ga sakit juga tiap tak bawa ke rumah sakit.” (236-241) ... “Tapi [anak dengan kanker]nek sama papah e deket banget. Sampek dia bilang pokoknya ak yang mandiin, kasih telon, kasih telur, semua harus papah (tertawa), pokoknya aku apa apa papah yo.” (251-253)
Ibu 1 memaparkan perannya dalam membagi perhatian pada
kedua anak mereka. Adanya kondisi kanker pada anak membuat Ibu 1
merasa takut anak dengan kanker merasa terabaikan. Hal ini terkadang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
membuat Ibu 1 membutuhkan bantuan dari keluarga besarnya untuk
merawat salah satu anaknya. Orang tua berusaha untuk selalu menemani
anak dengan kanker berobat. Hal ini membuat anak sehat yang lainnya
harus ikut dengan orang tua ke rumah sakit. Selain itu, ia juga
menggambarkan kedekatan suaminya dan anak dengan kanker. Ayah 1
menambahkan:
Ayah 1 fokus pada anak dengan kanker daripada saudaranya A 1 : “Saya lebih fokus ke R. Adeknya udah ada yang nungguin mama
e kok. Karna R juga gamau kalau gak sama aku. Jadi ya aku fokus ke R, mama e ke adeknya.” (406-408) ... “Karna ya kadang tak turuti apa maunya dia (tertawa). Saya memang lebih manjain dia. Gak tega lihat R nangis.” (429-430)
Ayah 1 menggambakan bahwa ia lebih fokus pada anak dengan
kanker padaripada anak lain yang sehat. Contohnya adalah dengan
menuruti kemauan anak dengan kanker. Pasangan Orang tua 1
menggambarkan cerita yang saling melengkapi satu dengan yang lain.
Hal ini menunjukkan adanya persepsi yang kurang lebih sama.
Pasangan Orang tua 2 juga memiliki cerita yang kurang lebih sama
dengan Pasangan Orang tua 1. Ayah 2 menceritakan mengenai perannya
sebagai berikut:
Ayah 2 fokus pada anak dengan kanker daripada saudaranya A 2 : “Pasti saya tanya terus, gimana keadaannya, ada yang sakit gak?
Kalau dia minta apa saya turutin. Minta nonton tiap minggu saya turutin klo ada uangnya , tapi kebanyakan saya turutin” (537-539) ... “istilahnya instensnya sama dia [anak dengan kanker]” (546)
Ayah 2 memaparkan bahwa sejak memiliki anak dengan kanker,
ia menjadi selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan afeksi anak
dengan kanker. Ia berusaha untuk membuat anak dengan kanker merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
senang dengan berusaha menuruti kemauan anak dengan kanker. Terkait
perannya dengan anak lainnya, Ayah 2 memaparkan bahwa ia lebih
intens pada anak dengan kanker dari pada anak sehat lainnya. Istrinya
menambahkan:
Peran orang tua pada anak-anak I 2: “Anaknya ini lebih senang kalau bapak ibunya dua dua nya nemani
kontrol. Sebisa mungkin bapak ibuknya ikut kontrol. Sudah komitmen ibu ayah, Insyaallah kami selalu tepati. Karena tidak hanya fisik yang harus kita jaga. Dari psikisnya dia juga kan tetep harus kita jaga. Dia gak boleh sedih, kalau bisa diseneng-seneng’ke terus. Apa yg dia mau selalu sebisa mungkin kita kasih.” (781-786) ... “Ada rasa sedih mbak, kalau lagi urus adeknya atau lagi sakit, gabisa fokus urusin S. Agak susah (membagi peran), adeknya kan belum bisa mandiri, kadang S, “ibuk apa apa adek”, dia [anak sehat yang lain] kan makan sendiri belum bisa, bobokpun harus sama ibuknya, harus megang leher gini, adeknya terus, kadang juga gimana ya mbak, sekarang jadi serba salah [dalam membagi perhatian]. Apalagi kalau bapak di Jakarta, semua ibuk, semua ibuk. Kadang S iri, pengen disuapin. Bapaknya kadang pulang dia ngasih tau, “mbak S itu sudah 10 tahun sama ibuk terus lho”. Terus dia ketawa.” (932-937)
Orang tua berusaha untuk memenuhi kebutuhan afeksi dan fisik
anak dengan kanker terpenuhi. Hal ini terkadang membuat Ibu 2
merasakan perasaan sedih ketika ia tidak bisa fokus merawat anak
dengan kanker karena harus merawat anak lainnya yang sehat. Hal ini
menimbulkan kendala dalam membagi perhatian dengan anak sehat
lainnya, dimana orang tua berfokus mengalokasikan peran lebih besar
pada anak dengan kanker daripada anak sehat lainnya. Pasangan Orang
tua 2 mengutarakan jawaban yang cenderung sama, bahwa mereka
berusaha untuk memenuhi kebutuhan afeksi anak dengan kanker.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
3.3 Pengambilan Keputusan
Berdiskusi A 1 : “Ya saya sama mamanya. Mamanya lebih banyak kasih aturannya
tapi.” IN : Kalau sekarang ada perubahan dalam mengambil keputusan? “Cara mengambil keputusan ya pokoknya diskusi sama mamanya, karna kalo saya ambil keputusan sendiri suka marah-marah mamanya.” (413-416)
Ayah 1 menyampaikan bahwa kehadiran anak dengan kanker mengubah
cara keluarga dalam mengambil keputusan. Ayah 1 dan istrinya saat ini
menjadi lebih berdiskusi dalam mengambil keputusan. Ibu 1 memaparkan hal
yang serupa:
Berdiskusi I 1 : “Kadang pengambilan keputusan didiskusikan orang tua aja, tapi lebih
banyak aku. Karna suamiku kadang bingung gitu lho harus gimana, nek aku mikir dulu, cocok gak kalau kita kaya gini, apa kita harus kaya gini. Tapi ya tetep izin, gimana pah, aku kaya gini, kamu gimana? Yasudah gitu.” (172-175) ... “Awal aku kadang mengambil keputusan sendiri, tidak komunikasikan langsung ke suami kadang cekcok sana sini”(189-190) ... “Kebanyakan aku yang menentukan aturan di dalam keluarga, terutama untuk R. Tapi ya terkadang diskusi” (270-271)
Ibu 1 memaparkan bahwa sebelum hadirnya anak dengan kanker pada
keluarga mereka, ia sering memutuskan keputusannya sendiri tanpa
mempertimbangkan pendapat suaminya. Kehadiran anak kanker membuatnya
menjadi lebih banyak berdiskusi dengan suami dalam mengambil keputusan.
Secara keseluruhan, jawaban yang disampaikan Pasangan Orang tua 1 kurang
lebih sama.
Pasangan Orang tua 2 memberikan cerita mereka sebagai berikut:
Berdiskusi A 2 : “Apa yang saya planningkan itu saya pasti selalu obrolin, bukan saya
lakuin dulu baru bilang istri, biar istri juga gak kaget dan harus diamini istri, biar kita jalannya juga enak. Kalau istri nggak merestui pasti saya ambles.” (169-171) ... IN :Kalau pengambilan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
keputusan kan didiskusikan dengan istri, apa juga berdiskusi dengan anak-anak? A 2 : “Iya mbak, saya selalu memberi nasihat, dampaknya kalau dia gak nurut omongan orang tua.” (550-553) ... “Untung itu anak [dengan kanker] menerima dan mau nurut sama omongan saya” (604)
Ayah 2 menjelaskan bahwa ia selalu berdiskusi dengan pasangannya.
Terhadap anak-anaknya, Ayah 2 juga memberikan nasihat. Selain itu, ia juga
memaparkan bahwa selama ini anak dengan kanker selalu nurut dengan
pendapatnya. Ibu 2 menambahkan:
Berdiskusi I 2 : “Kalau saya merasa ada apa gitu, saya ya telfon, cerita dan pasti ada
masukan-masukan, ada semangat dari bapaknya. Saya pun juga berdiskusilah dengan dia. Gitu selalu gitu dari dulu. Walau pun dia di Jakarta, kita selalu komunikasi terus.” (914-922) ... “... anaknya cerita, S gak suka bapak tu kalau kasih tau S kudu ini, kudu ini. Yaudah kalau S ga mau dikasih tau bapak, S harus nurut sama ibuk. Akhirnya nurut. Saya bilang sama bapaknya, bapak stop jangan kasih tau S masalah sekolah, nanti biar ibuk yang kasih tau. Akhirnya ya mau. Butuh waktu untuk meyakinkan S, tidak gampang kalau bukan maunya dia. Mbak S nurut ya sama ibuk. Iya. Nangis-nangis mbak, nangis. Saya kasih tau pelan-pelan. Jadi, kalau ada keputusan yang dia ga suka dia tu marah atau sedih. Itu yang kita jaga. Diskusi juga sama bapaknya, supaya S ga tersinggung. Gimana ya mbak, berusaha untuk menjaga emosi dia stabil itu kan ga gampang mbak. Makanya kalau ada masalah, atau keputusan orang tua yang dia gak suka, kita kasih tau S pas dia kondisi lagi seneng, apa namanya, nilainya bagus, kita bicara masalah sekolah, dia mau terima, gitu. Pelan-pelan mbak.” (862-889).
Pada narasi diatas, Ibu 2 memparkan bahwa ia selalu berdiskusi dalam
mengambil keputusan dengan pasangannya. Ibu 2 juga memaparkan,
bagaimana terkadang keputusan keluarga tidak disukai oleh anak dengan
kanker. Ibu 2 berusaha untuk mengatasinya dengan memberikan pengertian
pada anak dengan kanker dan berdiskusi dengan pasangannya untuk
mengambil keputusan yang terbaik. Cerita antara Ayah 2 dan Ibu 2 kurang
lebih saling melengkapi dan menunjukkan hal yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Dalam dimensi peran, terdapat tiga jenis peran yang harus dilakukan oleh
orang tua sebagai penanggung jawab keluarga. Yang pertama adalah menyediakan
kebutuhan instrumental, seperti makan, minum, keuangan keluarga, dan lain
sebagainya; yang kedua adalah peran orang tua untuk memenuhi kebutuhan
afektif; dan yang ketiga adalah peran orang tua dalam mengambil keputusan.
Secara keseluruhan, kedua pasangan orang tua cenderung menunjukkan
keefektifan dalam dimensi Peran dan keefektifan ini terjadi pada keseluruhan
jenis peran. Hanya saja, kedua pasangan orang tua, terutama Ibu 1 dan 2,
menunjukkan adanya hambatan dalam mengalokasikan peran mereka secara adil
pada keseluruh anak-anak mereka.
4. Responsivitas Afektif
Dimensi responsivitas afektif didefinisikan sebagai kemampuan keluarga
dalam mengelola stimulus-stimulus emosional baik secara kuantitas maupun
pada pola respon emosi atau perasaan atas stimulus afektif. Respon-respon dibagi
dalam dua jenis yaitu perasaan aman atau welfare feelings (seperti rasa cinta,
kelembutan, kesenangan, dan kebahagiaan) dan perasaan akan bahaya atau
emergency feelings (seperti rasa takut, marah, sedih, kecewa, dan depresi).
Kriteria dari dimensi ini adalah semakin keluarga menunjukkan luasnya
jangkauan dan tepatnya emosi (welfare & emergency) yang ditunjukkan maka
akan semakin efektif keberfungsian keluarga. Selain itu, semakin emosi (welfare
& emergency) yang ditunjukkan sesuai dengan situasi yang terjadi maka semakin
efektif juga keberfungsian keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Pasangan Orang tua 1 menggambarkan keadaan perasaan mereka ketika
hadirnya anak dengan kanker sebagai berikut:
Awal diagnosis anak: Perasaan akan bahaya / Emergency feelings (Sensitif, tertutup) A 1 : “Waktu awal denger kabar itu, ya kita syok, saya sempet ga percaya”
(370) ... “Awalnya kita sensitif dengan orang-orang, menjadi lebih tertutup, dasar e saya memang tertutup, jadi makin menutup diri lagi.” (377-378)
Masa Maintanence: Perasaan Aman / Welfare feelings (Tenang dan pasrah) Perasaan akan Bahaya / Emergency feelings (belum tenang) A 1 : “Kalau aku selesai mondok, sudah mulai adaptasi, sudah mulai lega,
mulai kumpul-kumpul lagi sama temen-temen. Masa-masa mondok itu jarang sekali ketemu orang juga untuk berinteraksi.” (379) ... “Saya sampe sekarang itu ada rasa belum tenang, ada rasa takutnya. Kalau belum sampai 5 tahun, badan belum berdiri sendiri, belum tenang. Tapi melihan dia membaik terus ya saya juga seneng, lega” (372-374)
Ayah 1 memaparkan bahwa hadirnya anak dengan kanker membuat ia merasa
syok, tidak percaya, sensitif, dan menutup diri. Setelah memasuki masa
maintanence, Ayah 1 memaparkan bahwa ia pasrah dengan keadaan. Ayah 1 juga
meminta istrinya agar lebih pasrah dengan takdir dan menjalani keadaan saat ini.
Istrinya menambahkan:
Awal diagnosis anak: Perasaan akan Bahaya / Emergency feelings (Stres, menutup diri, dan takut) I 1: “Saya merasa kaya orang stres saat itu “ (128) ... “Awal itu bener-bener
masa stres, kita yang bener-bener gak peduli orang lain, tutup kuping, cuman fokus sama R. Ya aku, suami, sama R, udah.” (145-146) ... “Saya dulu mangkel kok kalau ditanya-tanyain orang. Apapun pertanyaan orang itu membuatku sensitif. Apa lagi dengan kondisi awal-awal R. Dulu itu gak mau tau apa kata orang “ (43-45)
Masa Maintanence: Perasaan Aman Welfare feelings (Tenang dan bersukur) dan Perasaan akan Bahaya / Emergency feelings (takut) I 1 : “Dulu merasa gak bersyukur akan hidup yang kemarin-kemarin. Tapi
sekarang aku tenang, cara ngomong ku kesuami, suami ke aku, jadi lebih menghargai. Lebih kerasa, aku begini, kamu begini. Kita harus membesarkan anak kita harus seperti ini, membuat komunikasi menjadi intens. Walau ada pembawaan, sifat sendiri-sendiri, tapi ya aku jadi lebih tenang, bersyukur, bukan bersyukur karena anak sakit. Tapi ini membuat keluargaku jadi lebih mendekatkan, ya itu pengertian antara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
suami ke aku dan sebaliknya..” (182-188) ... “Lebih iklas, karena takut dosa. Gamau terjadi apa apa sama R” (194-195) ... “Saya juga rasa takut itu dateng karena ada kabar duka, itu bikin down, kita yang pada dasar e kuat, bisa nerima takdir, itu bisa down, rasanya kaya jantungen. Kita yang tau dia awal e gapapa, kok jadi begini. Jadi suka mengira-ira sendiri, kita gatau ya besuk.” (209-212)
Ibu 1 memaparkan perasaan yang sama dengan suaminya. Mereka menjadi
lebih menutup diri dari lingkungandan lebih berfokus pada keluarga inti mereka
daripada lingkungan luar. Setelah melewati masa maintanence, Ibu 1 memaparkan
perubahan cara berinteraksi dengan suami. Ibu 1 menyampaikan bahwa mereka
menjadi lebih tenang, bersyukur karena keluarga semakin dekat. Ibu 1 juga
menyampaikan bahwa Ayah 1 mengajarinya untuk belajar iklhas akan keadaan
ini. Jawaban antara Ayah 1 dan Ibu 1 menunjukkan hal yang sama.
Pasangan Orang tua 2 juga menggambarkan responsivitas afektif mereka
ketika memiliki anak dengan kanker sebagai berikut:
Awal diagnosis anak: Perasaan akan bahaya / Emergency feelings (Perasaan seperti kiamat, stress, sedih (menangis), penuh amarah dan menyesal)
A 2 : “Kayak kiamat, saya kesemutan dari ujung jempol kaki ke kepala. Kepala saya panas banget. Trus saya wudhu dan sholat. Awal-awal tetap maki-maki yang punya hidup. Saya salah apa. Mending saya aja yang sakit, dituker aja.” 455-457) ... “... saya itu awal-awal penuh dengan kemarahan (pada istri)” (511) IN : Lalu bagaimana dengan keadaan istri bapak saat itu? A 2 : “Namanya cewek ya mbak, pasti lebih sensitif dan cuma nangis.” (473-474) IN : Lalu bagaimana cara bapak ketika ibu menangis didepan bapak? A 2 :“Ya saya itu kadang ikutan nangis mbak, sering bilang sama istri juga kita nggak akan lama lagi kehilangan anak.” (488-489)
Masa Maintanence: Perasaan Aman / Welfare feelings (kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua, rasa cinta)dan Perasaan akan Bahaya / Emergency feelings (takut kehilangan anak)
A 2 : “Bayangan kehilangan anak itu pasti, kayak bom waktu, akhirnya itu kita harus bisa menerima, jalani dan syukurin. Harus menikmati hari-hari sama anak saya.” (490-492) ... “Kekuatan cinta keluarga itu paling mujarap, anak bahagia pasti kita bahagia.(609-610)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Ayah 2 memaparkan kondisi awal saat keluarga memiliki anak dengan
kanker. Ia mengutarakan bahwa Istrinya hanya menangis ketika mengetahui
kondisi ini. Hal ini membuat ia terkadang ikut menangis pula. Ia juga mengatakan
ada rasa penyesalan dan kekecewaan yang dirasakan oleh pasangan. Ayah 2 pada
awalnya juga merasa didominasi dengan perasaan marah pada pasangan. Setelah
memasuki masa maintanence, Ayah 2 mulai merasakan perasaan welfare. Ia
merasa bersyukur, tenang, dan merasakan bahwa cinta dalam keluarga merupakan
hal yang penting baginya. Istrinya menguatkan:
Awal diagnosis anak: Perasaan akan bahaya / Emergency Feelings (Perasaan sedih (menangis), takut, berat, dan khawatir)
I 2 : “Waktu awal diagnosis, adeknya ini belum ada dua tahun. Jadi saat itu memang berat mbak” (689-690) ... “Awal itu nangis itu mbak kami nangis, takut, Tuhan anak kami bisa sembuh apa enggak, kasihan mbak, kurus semua, pucet bener-bener pucet. S tu gaada gejala yang kelihatan cuman seperti masuk angin. Saya ya merasa nyesel, ya nyesel (ketika tidak tau gejala awal) cuman ya gak bisa diulang lagi.” (710-713)
Masa Maintanence: Perasaan Aman / Welfare feelings (Perasaan sayang, sabar, dan optimis) dan Perasaan akan Bahaya / Emergency feelings (merasa sedih: kasihan)
I 2 : “Saya bahagia kalau anaknya seneng mbak. Saya berusaha terus untuk pengobatan anak. Terus berobat. CML ini seumur hidup, tapi, dengan disiplin, sesuai dengan jalan yang seharusnya, baiknya CML ini tetap berada pada kondisi yang seperti ini, jadi memang harus sabar. Insyaallah kalau ada mujizat bisa sembuh. Kasian mbak, kalau dia lihat teman-teman makan es krim, coklat, itu kan dia ga boleh.” (714-719)
Ibu 2 memaparkan bahwa pasangan orang tua merasa sedih pada awal
diagnosis anak. Mereka menangis, khawatir dan juga menyesal ketika anak
didiagnosis kanker. Bagaimanapun, kejadian tersebut sudah tidak bisa diubah dan
satu-satunya jalan adalah dengan tetap berusaha. Akhir-akhir ini, Ibu 2 merasa
bahwa kebahagiaan anak adalah kebahagiaannya dan akan optimis suatu saat anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dapat sembuh. Selain itu, ia juga merasakan adanya rasa kasihan pada anak
dengan kanker karena ia tidak boleh mengkonsumsi makanan yang boleh
dikonsumsi oleh anak yang sehat. Jawaban yang disampaikan oleh Ayah 2 dan
Ibu 2 kurang lebih serupa.
Gejolak emosi yang dirasakan oleh para pasangan orang tua merupakan
emosi yang sesuai dengan konteks bahwa memiliki anak dengan kanker tentu
membawa kabar yang ‘mengagetkan’ bagi keluarga. Kedua pasangan orang tua
menyampaikan bahwa pada awal diagnosis anak dengan kanker, mereka
cenderung mengungkapkan perasaan tidak percaya, stress, menutup diri, penuh
dengan amarah, dan rasa sedih. Pada masa awal diagnosis anak, keadaan
Responsivitas Afektif menunjukkan ketidakefektifan, karena pasangan orang tua
hanya mengerucut pada satu jenis emosi: perasaan akan bahaya atau emergency
feelings dan sangat jarang menunjukkan perasaan aman atau welfare feelings.
Namun, saat ini, kedua orang tua telah menunjukkan luasnya jangkauan emosi
yang mereka rasakan, dimana kedua pasangan orang tua merasakan kedua jenis
perasaan tersebut. Pada akhirnya, kedua pasangan orang tua cenderung
menunjukkan Responsivitas Afektif yang cenderung efektif.
5. Keterlibatan Afektif
Dimensi keterlibatan afektif didefinisikan sebagai kemampuan keluarga
dalam menunjukkan kepekaan dan ketertarikan keluarga dengan aktivitas anggota
keluarga yang lain. Dimensi ini berfokus pada seberapa banyak dan dengan cara
seperti apa anggota keluarga menunjukkan ketertarikan dan ikut ambil bagian
dengan anggota keluarga lainnya. Kriteria dari dimensi ini adalah semakin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
keluarga menunjukkan keterlibatan untuk memenuhi kebutuhan dan memahami
keadaan emosi anggota keluarga, maka semakin efektif keberfungsian keluarga.
Pasangan Orang tua 1 menunjukkan keterlibatan dengan keluarga mereka
sebagai berikut:
Memenuhi dan memahami kebutuhan afektif pasangan A 1 : “Saya kalo ada masalah gitu ya kalau sama D ya saya suruh dia untuk
sabar, karena mau gimana lagi, itu harus dihadapi semua itu. Terlebih ya ketika anak kena ini (penyakit kanker).” (331-332) ... “Saya merasa menjadi lebih dewasa no kita. Tadinya kurang terbuka satu sama lain, jadi lebih saling terbuka tentang apapun. Apa-apa bilang. Sedih bilang, seneng bilang. Jalani ya jalani aja sekarang, sudah takdir yang harus dijalani.” (366-368)
Memahami dan memenuhi kebutuhan afektif anak A 1 :”Karna ya kadang tak turuti apa maunya dia (tertawa). Saya memang
lebih manjain dia. Gak tega lihat R nangis” (428-430) Ayah 1 fokus pada anak dengan kanker daripada saudaranya A 1 : “Saya lebih fokus ke R. Adeknya udah ada yang nungguin mama e kok.
Karna R juga gamau kalau gak sama aku. Jadi ya aku fokus ke R, mama e ke adeknya.” (405-407)
Ayah 1 memaparkan bahwa kehadiran anak dengan kanker membawa
perubahan dalam keterlibatan afektif yang ia alami. Ayah 1 merasa bahwa ia dan
istri menjadi lebih terbuka satu dengan yang lain dari pada sebelum memiliki anak
dengan kanker. Pasangan ini juga lebih dapat mengungkapkan perasaan yang
mereka rasakan. Selain itu, kehadiran anak dengan kanker membuatnya lebih
memanjakan anak dengan kanker dan juga lebih intens terlibat dalam kebutuhan
afektif anak dengan kanker daripada anak sehat yang lainnya. Istrinya memberi
pemaparan yang serupa:
Memenuhi dan memahami kebutuhan afektif pasangan I 1 : “Tapi sekarang aku tenang, cara ngomong ku kesuami, suami ke aku,
jadi lebih menghargai. Lebih kerasa, aku begini, kamu begini. Kita harus membesarkan anak kita harus seperti ini, membuat komunikasi menjadi intens. Walau ada pembawaan, sifat sendiri-sendiri, tapi ya aku jadi lebih tenang, bersyukur, bukan bersyukur karena anak sakit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Tapi ini membuat keluargaku jadi lebih mendekatkan, ya itu pengertian antara suami ke aku dan sebaliknya.” (183-188)
Memahami dan memenuhi kebutuhan afektif anak I 1 : “Anak rewel lalu sebagai orang tua benar-benar menuruti apa
maunya.” (73) ... “Tapi nek sama papah e deket banget. Sampek dia bilang pokoknya ak yang mandiin, kasih telon, kasih telur, semua harus papah (tertawa), pokoknya aku apa apa papah yo.” (266-268)
Keterlibatan orang tua dengan anak lainnya I 1: “Kadang heptik. Kalau fokus sama satu, kadang kita kurang fokus sama
yang lain to. Itu yang kadang bikin aku sok sedih. Kaya gitu lho. Aku gak mau R merasa terabaikan. Aku gamau melewatkan sedikitpun R kontrol, aku harus ikut. Saya sudah percaya takdir aja, kalo adeknya sehat pasti sehat. Untungnya adeknya ga pernah rewel, ga sakit juga tiap tak bawa ke rumah sakit.” (236-241)
Ibu 1 menggambarkan perubahan yang ia alami karena kehadiran anak
dengan kanker. Ia memaparkan bahwa ia dan suami sekarang lebih pengertian dan
saling mendekatkan serta lebih saling menghargai. Selain itu Ibu 1 juga
menggambarkan bahwa ia menjadi sangat terlibat dalam memberikan kebutuhan
afektif anak dimana ia selalu berusaha untuk memenuhi kemauan anak dengan
kanker. Kehadiran anak dengan kanker juga membuatnya berusaha untuk
mengurus kedua anaknya. Hal ini terkadang membuat Ibu 1 membawa anaknya
yang lain ke rumah sakit, karena ia tidak mau melewatkan jadwal kontrol anak
dengan kanker. Jawaban yang muncul antara Ayah 1 dan Ibu 1 cenderung sama.
Pada Pasangan Orang tua 2, kehadiran anak dengan kanker membawa
perubahan dalam bagaimana orang tua memahami perasaan antar pasangan dan
anak-anak mereka. Pada masa diagnosis anak, kehadiran anak dengan kanker
membuat pasangan yang sebelumnya tidak didominasi dengan perasaan marah,
menjadi sering bertengkar karena adanya rasa ‘kurang pengertian’ yang terkadang
dilakukan oleh salah satu pasangan.
Awal diagnosis: Penuh marah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
A 2 : “Ya mbak kadang saya tanya, “anake udah dibuat jus belum” jus bit untuk penyakitnya dia. Kalau belum saya itu bisa marah, “kamu tu gimana sih gak becus”, saya itu awal-awal penuh kemarahan. Berjalan berjalan terus akhire udah nemuin alurnya, karena saya mikire iyo dia ngurusin dua anak, saya mengerti dikit-dikit” (509-512)
Mulai memahami perasaan pasangan A 2 : “Sudah enggak mbak, kalau saya tanya jus, dan belum diberikan, saya
cuma memberi tahu, biar nggak menyakiti hati.” (558-559) ... “Saya dari dulu terbuka (dengan istri)” (556) “Ya contoh urusan kantor, biasa lagi berdua ngobrol, trus ada kejadian ini itu, saya cerita, terus dia berikan nasehat, dukungan. (607-608)
Berusaha membuat anak nyaman A 2 : “Pasti kita tanya trus, gimana keadaannya, ada yang sakit gak? Kalau
dia minta apa saya turutin. Minta nonton tiap minggu saya turutin klo ada uan gnya, tapi kebanyakan saya turutin.” (535-537)
Ayah 2 fokus pada anak dengan kanker daripada saudaranya A 2 :” ... istilahnya instensnya sama dia, karena bagaimana pun dia anak
pertama” (544)
Ayah 2 memaparkan pada awal diagnosis anak, ia sangat emosional dengan
istrinya. Hal ini terjadi karena ia sangat ingin anak dengan kanker dapat sembuh.
Ketika istrinya tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dalam merawat
anak dengan kanker, ia menjadi marah dan terkadang kurang memahami perasaan
istri. Pada akhirnya, Ayah 2 memperbaiki perilakunya dengan lebih memahami
perasaan istrinya. Selain itu, Ayah 2 menerangkan dalam narasinya bahwa ia
selalu menanyakan apa yang dirasakan oleh anak dengan kanker. Ia terkadang
juga berusaha untuk memenuhi keinginan anak dengan kanker. Bagi pasangan ini,
Ayah 2 menyatakan bahwa ia lebih intens terlibat secara emosional dengan anak
dengan kanker daripada anaknya yang lain. Ibu 2 menguatkan:
Awal diagnosis: Pertengkaran dengan pasangan I 2 : “Kadang bapaknya berantem dengan ibuknya, “kamu mau gak anakmu
umurnya panjang, sudah tertip, harus tertip”. Tapi kadang kasian mbak.” (727-728)
Pasangan memahami perasaan I 2 : “Saya juga sedih, khawatir, ya cerita sama bapaknya. Selalu cerita.
Sering gojek juga lah sama bapaknya. S tu juga suka mengece, “bapak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
sama ibuk ini kaya anak kecil saja”. Udah kulino dari dulu, sebelum menikah sudah kenal lama. Jadi sering ngobrol juga sering ketawa-ketawa gitu. Karna dari dulu memang sudah gitu, bapaknya dari dulu juga sukanya membanyol (ketawa), jadi ga tegang ga spaning. Tegas, tapi juga bisa menempatkan. Kita juga pasti saling support, dengan kata-kata. Kalau saya merasa S ada apa gitu, saya ya telfon, cerita, pasti ada masukan-masukan, ada semangat dari bapaknya. Gitu selalu gitu. Walau pun dia di jakarta, kita selalu komunikasi terus.” (910-920)
Berusaha membuat anak nyaman I 2 : “Anaknya ini lebih senang kalau bapak ibunya dua-duanya nemani
kontrol. Kadang kalau ibuk lagi ngurus anak kedua atau lagi sakit, kan gimana ya mbak ada rasa sedih [pada anak dengan kanker]. Sebisa mungkin bapak ibuknya ikut kontrol. Sudah komitmen ibu ayah, insyaallah kami selalu tepati. Karena tidak hanya fisik yang harus kita jaga. Dari psikisnya dia juga kan tetep harus kita jaga. Dia gak boleh sedih, kalau bisa diseneng-seneng ke terus. Apa yang dia mau selalu sebisa mungkin kita kasih.” (779-784)
Ibu 2 juga menyampaikan bahwa terkadang pasangan ini bertengkar karena
perbedaan pendapat. Di lain sisi, Ibu 2 juga mengatakan bahwa Ayah 2 juga
memberi masukan dan dukungan untuk dirinya. Ibu 2 mengatakan hal yang sama
dengan pasangannya, bahwa ia dan suaminya selalu berusaha untuk menemani
anak dengan kanker untuk berobat. Ia juga menggambarkan rasa sayang suaminya
pada anak dengan kanker. Selain itu, ia berusaha untuk memantau kondisi fisik
dan mental anak dengan kanker dan berusaha untuk selalu membuat anak dengan
kanker merasa senang. Cerita antara Ayah 2 dan Ibu 2 saling melengkapi satu
dengan yang lain dan memiliki intepretasi yang sama.
Secara umum, Keterlibatan Afektif pada keluarga yang memiliki anak
kanker cenderung menunjukkan keefektifan, baik pada pasangan dan pada
anak-anak mereka. Namun, kedua pasangan orang tua menunjukkan adanya
kendala pada bagaimana orang tua dapat terlibat secara afektif dengan seluruh
anak mereka secara adil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
6. Kontrol Perilaku
Dimensi kontrol perilaku didefinisikan sebagai kemampuan keluarga mengatur
perilaku dari setiap anggota keluarga. Kriteria dari dimensi ini adalah jika
keluarga membuat standar yang masuk akal untuk mengontrol perilaku keluarga
mereka dan memberikan penyesuaian atas standar yang telah mereka buat
tergantung dengan situasi maka semakin efektif keberfungsian keluarga. Dimensi
ini terdiri dari tiga bagian yaitu, (1) kontrol perilaku yang membahayakan fisik,
(2) mengontrol perilaku psikobiologi, yakni terkait kebutuhan makan, minum, dan
emosi, (3) kontrol perilaku untuk aktivitas diluar keluarga. Peneliti meringkas
bagian pertama dan ketiga menjadi satu bagian dan bagian kedua menjadi bagian
tersendiri.
6.1 Kontrol perilaku yang membahayakan fisik dan aktivitas di luar
keluarga
Pasangan Orang tua 1 mengungkapkan kontrol perilaku atas aktivitas di
dalam keluarga sebagai berikut:
Mengontrol aktivitas anak dengan kanker A 1 : “R itu tapi ya dikontrol semua lah. Dari makanan, aktivitas di kontrol
semua. Mau keluar rumah harus maskeran, gitu itu.” (433) ... A 1 :”Saya kalau sama R ya jarang marain, ga pernah marahin dia. Cuman ngasih tau aja kalau ga boleh terutama makanan, renang. Tak bilangin ga boleh, ada kumannya, terus dia udah tau sendiri. Saya suka, tu renang situ mau gak. Dia gakmau, ada kumannya. Main kemana boleh, kadang saya juga temenin.” (422-425)
Kontrol aktivitas pada pasangan dan anak lainnya A 1 : “Kalau keluarga, paling makanan lebih dijaga” (439)
Ayah 1 memaparkan bahwa kontrol perilaku dalam keluarga lebih
berfokus pada kesembuhan anak dengan kanker. Ayah 1 memaparkan bahwa
anak dengan kanker lebih dikontrol aktivitasnya daripada anggota keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
lainnya. Terkadang Ayah 1 juga memberi kelonggaran pada anak dengan
kanker. Ibu 1 menambahkan:
Mengontrol aktivitas anak dengan kanker I 1 : “Memang di minggu pertama kaya benar-benar, ih, anak ini harus
saya jaga, gendoli banget. Anakku itu juga udah kesiksa karena dia itu aktif banget to, bosen juga di rumah sakit selama empat bulan, jadi dia terpenjara. (awal anak memiliki kanker “ [anak dengan kanker] Mah mau ketempat kakak ya?” Ya. Gitu. Tapi yang bawa anakku tak WA, tak creweti, nanti ga boleh main yang berat-berat ya, ga boleh makan ini, ga boleh minum ini. Pokoknya ga boleh jajan” (139-146) ... “Mulai cek-kontrol-ambil darah, itu aku mulai okelah, kamu mainan gakpapa, karena hasil udah bagus terus, jadi gapapa main. (137-138)
Kontrol aktivitas di luar keluarga pada pasangan dan anak lainnya I 1 :“ pergi juga pergi (tidak ada perubahan pada anggota keluarga
lainnya), kadang malah adek di bawa-bawa sama saudara-saudara, temen-temene papa e. Ya gak nangis juga, haha. Gak saya larang juga, yang penting bilang” (293-295)
Ibu 1 juga memaparkan bahwa anak dengan kanker mendapat aturan
yang berbeda dari sebelum anak mendapatkan diagnosis kanker. Seperti yang
diutarakan suaminya, orang tua tetap mengontrol aktivitas anak, terlebih
aktivitas yang berbahaya untuk fisik anak. Pasangan ini memberikan cerita
yang kurang lebih serupa.
Pasangan Orang tua 2 mengontrol aktivitas anggota keluarganya sebagai
berikut:
Memberi kelonggaran terkait aktivitas A 2 : “ Makanya anak saya langsung saya masukin pondok, deket sama
rumah padahal anak pinter” (491-493) INT: Mengapa pak? “Saya takut membebani guru-gurunya karena kan tidak sefleksibel di SD, terus kalau direguler ada kurikulum wajib seperti olahraga, kegiatannya banyak banget, anak saya gak bisa capek-capek karena imunnya. Kalau di pondok saya bisa ngasih tau Ustad kalau anaknya gak bisa ini itu, Alhamdulilah, Ustadnya bisa memahami.” (500-503)
Kontrol aktivitas pada pasangan dan anak lainnya A 2 :”Saya pasti aturan itu tentang makanan, biar lebih sehat, biar enggak
terulang lagi” (549)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Ayah 2 mengontrol aktivitas anak dengan kanker. Hal ini dilakukan
karena imun anak dengan kanker yang lemah. Ayah 2 memaparkan bahwa
tidak ada aturan yang berubah pada anggota keluarga lainnya. Ibu 2
menambahkan:
Kontrol perilaku aktivitas anak I 2 : “Capek itu paling tidak boleh, dia pengen kesini, buk pengen kesitu.”
(732) ... “Kalau di SD ini, guru, teman, dan orang tua murid itu bisa ngerti kondisi S. Bisa apa namanya, fleksibel. Kalau di SMP nanti belum ngerti mbak, apakah guru semuanya bisa menerima kondisi S yang harus 2 minggu sekali izin, yang dia harus pulang ketika kondisinya kurang bagus, dia takutnya menyebabkan keirian di teman-temannya yang lain, nanti S bisa minder, bingung kita juga mbak. Di sisi lain S harus di tempat yang steril bersih, tapi juga harus memantau kondisis S, di lain sisi juga kami ingin S tenang, dia tidak merasa tersisihkan, dia bisa sekolah dengan kondisinya dia. Diskusi dengan bapaknya, kita membuat pertimbangan, gini, gini, gini, akhirnya kita memutuskan untuk dipondok. Mau tidak mau, harus mau” (830-840)
Kontrol aktivitas pada pasangan dan anak lainnya I 2 : “Keluarga juga udah stop makan makanan yang ber msg, banyak
pengawet mbak.” (761-762)
Ibu 2 memaparkan bahwa ia melakukan kontrol perilaku aktivitas yang
cukup ketat pada anak dengan kanker. Ia takut jika anak sewaktu-waktu anak
dengan kanker dapat relapse. Menurutnya, kelelahan merupakan hal yang
sulit dilihat ciri-cirinya pada anak dengan kanker. Cerita dari pasangan ini
saling melengkapi satu dengan yang lain dan memiliki maksud yang sama.
6.2 Kontrol perilaku psikobiologi (makan, minum, dan emosi)
Pasangan Orang tua 1 menggambarkan kontrol perilaku psikobiologi
keluarga sebagai berikut:
Mengontrol psikobiologi anak dengan kanker A 1 : “R itu tapi ya dikontrol semua lah. Dari makanan, aktivitas di kontrol
semua.” (433)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Memberi kelonggaran pada anak A 1 : “Kaya ini beli pop ice, belum buka, gek marah-marah karna habis
kemo, eh marah-marah. Tapi ya kalau memang anaknya kalau ga kepengen banget itu juga ga tak kasih kok jugaan.” (430-432) ...
Kontrol psikobiologi pada pasangan dan anak lainnya A 1 : “Kalau keluarga, paling makanan lebih dijaga” (439)
Ayah 1 memaparkan bahwa ia cenderung lebih fleksibel mengenai
makanan yang dikonsumsi anak dengan kanker. Terkadang, ia membelikan anak
dengan kanker makanan atau minuman yang dia inginkan hanya ketika anak
dengan kanker sangat menginginkannya. Orang tua juga tetap mengontrol
makanan anak dengan kanker. Kehadiran kanker pada salah satu anak membuat
orang tua juga lebih mempertimbangkan makanan dan minuman yang
dikonsumsi. Ibu 1 menambahkan:
Mengontrol psikobiologi anak I 1 : “Memang di minggu pertama kaya benar-benar, ih, anak ini harus
saya jaga, gendoli banget. Anakku itu juga udah kesiksa karena dia itu aktif banget to, bosen juga di rumah sakit selama empat bulan, jadi dia terpenjara.” (139-141) ... “Kalau makanan aku gak bisa batesi banget, karna kan anak kecil ya, kasihan kadang kalau gak dituruti. Tapi saya konsultasi sama ahli gizi, tanya makanan apa yang boleh dikonsumsi sering, yang jarang-jarang. Misal, es seminggu sekali ya, gitu. Tapi ya suka kecolongan. Karna kadang papa e belikan, utinya belikan. Tapi memang sekarang sudah gak sekaku dulu kalau makanan. Dulu benar-benar dikurung. Tapi setelah sama mondok itu, sudah lebih longgar. Gak yang ini itu ga boleh. Karna juga sudah konsultasi, dan boleh, asal dibatasi. Malah disarani untuk makan terus, asalkan kita tau bahaya atau tidak buat anak kita.” (280-286)
Kontrol psikobiologis pada pasangan dan anak lainnya I 1 :“Gak banyak kalau orang tuanya, hanya kita stop micin dan
menghindari makan micin aja sekarang.adeknya juga saya jadi lebih ngeliatin, kadang ada saudara yang ngasih teh, padahal masih kecil, ya saya larang. Lebih jadi mengawasi makannya si adek sih.” (290-293).
Ibu 1 mengungkapkan bahwa pada awal diagnosis anak, ia cenderung
memberikan kontrol perilaku yang kaku. Setelah masa maintanence, ia tidak
terlalu kaku dalam mengatur kebutuhan makanan dan minuman anak dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
kanker. Selain itu, ia sudah berkonsultasi dengan professional helper untuk
mengarahkan tentang jenis makanan dan minuman yang dapat dikonsumsi oleh
anak dengan kanker. Ibu 1 juga menambahkan bahwa seluruh anggota keluarga
menghindari mengkonsumsi penyedap rasa. Cerita yang disampaikan oleh
pasangan ini cenderung sama.
Kontrol perilaku akan kebutuhan psikobiologi juga dilakukan oleh Pasangan
Orang tua 2. Hal ini diungkapkan keduanya dengan cerita sebagai berikut:
Kontrol psikobiologi anak dengan kanker A 2 : “Waktu itu masalah makanan, itu konflik banget, katanya saya nyiksa,
yaudah saya kasih waktu seminggu sekali terserah dia, tapi bukan indomie. Karena itu jelas, anak saya, kalau keyakinan saya itu karena makanan anak saya kayak gitu. Itu kesalahan saya, karena belanja bulanan anak saya itu pegang keranjang belanja sendiri, saya kasih kebebasan.” (524-527) ... “Kalau dulu itu, aturan ada, makanan mau apapun terserah jadi makanan nggak ada aturan, kalau dulu mau apa harus dibuktikan dengan prestasi, tapi sekarang udah enggak, semua kebalik. Makanan diatur, minta apapun terserah, karena gatau sampai kapan anak saya hidup.”(539-542)
Kontrol psikobiologi pasangan dan anak lainnya A 2 :”Saya pasti aturan itu tentang makanan, biar lebih sehat, biar enggak
terulang lagi” (549)
Ayah 2 menggambarkan bahwa kehadiran anak dengan kanker
membuatnya harus mengontrol makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh
anak dengan kanker. Ayah 2 mengatakan bahwa ia sangat kaku dalam mengatur
tentang makanan dan minuman yang dikonsumsi anak dengan kanker.
Menurutnya, makanan yang tidak sehat membuat anaknya memiliki kanker.
Kehadiran anak dengan kanker juga mengubah pandangannya mengenai kontrol
perilaku anak. Ibu 2 menggambarkan hal yang sama:
Kontrol psikobiologi anak dengan kanker I 2 : “S ini pantangannya banyak, masakan msg, cepat saji, berpengawet itu
sebisa mungkin kita stop mbak Tapi gak selamanya kita larang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Kadang ada cheating day buat dia, biar dia gak sedih. Coklat itu kadang ga boleh, es itu gak boleh. Tapi bukan berarti kita gak boleh itu gak kasih sama sekali enggak. Tetep kita kasih sedikit-sedikit.” (684-688)
Memberi kelonggaran I 2 : “Kadang kalau saya ya mbak, kalau bapaknya kan sakklek, beda ya
bapak sama ibuk. Bapaknya kalau dokter bilang gak, gak sama sekali. Tapi kalau saya,” [anak dengan kanker] ibuk S pengen coklat”. Satu ya kak ya, “[anak dengan kanker] ya. Ibuk jangan bilang bapak ya”. Kalau bapak gak ya gak. Tapi ya saya bilang, pak mbok jangan seperti itu. Kita lihat kondisinya S. Kalau dia lagi fit, semua normal, kasihlah eskrim sedikit, akhirnya ya luluh sedikit. Kasihan mbak soalnya.” (719-724)
Kontrol aktivitas pada pasangan dan anak lainnya I 2 : “Yang banyak berubah pola hidupnya [anak dengan kanker] aja yang
berubah. Lebih banyak yang dikontrol sekarang. Makanan, aktivitas. Keluarga juga udah stop makan makanan yang ber msg, banyak pengawet mbak.” (760-762)
Ibu 2 menguatkan pernyataan suaminya, bahwa pasangannya tersebut jauh
lebih kaku mengenai makanan yang dikonsumsi oleh anak dengan kanker. Baik
Ayah 2 maupun Ibu 2 memaparkan bahwa mereka memiliki persepsi individual
yang berbeda satu dengan yang lain mengenai kontrol perilaku psikobiologi yang
diterapkan. Walau memiliki aturan yang berbeda-beda, pasangan ini tetap
melakukan diskusi atas perbedaan-perbedaan tersebut. Pada akhirnya, Pasangan
Orang tua 2 menunjukkan adanya jawaban yang cenderung serupa.
Secara umum, kedua pasangan orang tua memberikan kontrol perilaku
yang lebih kaku pada anak dengan kanker daripada anggota keluarga yang lain.
Walaupun memberikan kontrol perilaku yang kaku, orang tua berusaha untuk
memberikan kelonggaran atas kontrol perilaku yang dibuat. Hal ini menunjukkan
bahwa kedua pasangan orang tua cenderung menunjukkan keefektifan dalam
mengontrol perilaku anggota keluarga mereka. Kontrol perilaku yang
cenderung efektif ini terlihat pada ketiga jenis kontrol perilaku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
D. Pembahasan
Keberfungsian keluarga mengacu pada bagaimana keluarga (dalam hal ini
adalah orang tua sebagai penanggung jawab keberfungsian keluarga) untuk
menciptakan kondisi lingkungan yang layak bagi seluruh anggota keluarga dalam
kaitannya untuk memenuhi beberapa aspek, misalnya aspek fisik, psikologi, dan
sosial. Kehadiran anak dengan kanker pada gilirannya akan membentuk beberapa
tuntutan atau beban tambahan, yang diduga dapat mempengaruhi bagaimana
orang tua dalam menjalankan keberfungsian keluarga.
Secara umum, kedua pasangan orang tua yang memiliki anak dengan kanker
menunjukkan keefektifan pada setiap dimensinya (Pasangan Orang tua 1 & 2),
namun terdapat kendala dalam memberikan Peran dan Keterlibatan Afektif
dengan anak lainnya yang sehat. Keefektifan yang cenderung muncul pada
keenam dimensi terlihat dari pernyataan kedua pasangan orang tua. Yang pertama,
keefektifan dimensi Pemecahan Masalah terlihat dari bagaimana kedua pasangan
orang tua saling berdiskusi dalam memecahkan permasalahan. Yang kedua,
keefektifan pada dimensi Komunikasi terlihat dari pertukaran informasi yang
dilakukan oleh kedua pasangan orang tua. Mereka cenderung melakukan
pertukaran informasi secara jelas dan langsung pada orang yang dimaksud, dalam
hal ini adalah pada pasangan dan anak-anak mereka. Yang ketiga, kedua pasangan
orang tua menunjukkan keefektifan dalam dimensi peran yang terlihat dari
bagaimana kedua pasangan orang tua berusaha untuk berperan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, kebutuhan emosional, dan kebutuhan dalam mengambil
keputusan serta memimpin keluarga. Walaupun menunjukkan keefektifan, kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
pasangan orang tua cenderung terlihat berfokus pada pemenuhan kebutuhan
emosional anak dengan kanker daripada anak sehat yang lainnya. Yang keempat,
kedua pasangan orang tua menunjukkan keefektifan dalam dimensi Responsivitas
Afektif. Hal ini terlihat dari luasnya jangkauan perasaan yang kedua pasangan
orang tua rasakan dan perasaan tersebut sesuai dengan situasi yang terjadi. Selain
itu, peneliti menemukan bahwa pada awal diagnosis anak, Responsivitas Afektif
yang terjadi cenderung kurang efektif. Hal ini terlihat dari emosi yang dirasakan
oleh kedua pasangan orang tua yang didominasi dengan perasaan emergency atau
perasaan akan bahaya.
Selanjutnya, yang kelima, kedua pasangan orang tua menunjukkan
keefektifan dalam dimensi Keterlibatan Afektif. Hal ini terlihat dari bagaimana
kedua pasangan orang tua berusaha untuk saling mendukung, terlibat dan peka
pada akitivitas yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya. Seperti yang terjadi
pada dimensi Peran, kedua pasangan orang tua cenderung berfokus terlibat dalam
memahami emosi dan peka dengan aktivitas anak dengan kanker daripada anak
sehat yang lainnya. Yang keenam dan terakhir, kedua pasangan orang tua
menunjukkan keefektifan pada dimensi Kontrol Perilaku. Hal ini terlihat dari
bagaimana kedua pasangan orang tua berusaha untuk membuat aturan yang sesuai
dengan kondisi keluarga, namun juga memberikan kelonggaran pada aktivitas
yang dilakukan oleh anggota keluarga. Pada pasangan orang tua 2, pasangan ini
sempat memiliki perbedaan pendapat mengenai kontrol perilaku seperti apa yang
harus diterapkan pada anak dengan kanker. Pada akhirnya, Pasangan Orang tua 2
tetap berdiskusi dan memberikan kelonggaran untuk anak dengan kanker.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Hasil yang cenderung menunjukkan keefektifan diduga disebabkan oleh
empat hal yaitu: (1) resiliensi; (2) dukungan psikologis dan sosial (3) pemasukan
keluarga, dan (4) uraian analisis dyadic yang cenderung menunjukkan persamaan
(overlaps) jawaban antar pasangan. Keempat hal ini akan diuraikan sebagai
berikut:
Yang pertama, kehadiran anak dengan kanker membuat orang tua menjadi
lebih resilien. Beban-beban dan tuntutan tambahan yang timbul karena hadirnya
anak dengan kanker di dalam keluarga membuat keluarga berusaha untuk
menjalankan keberfungsian keluarga, yang mengerucut pada dua kemungkinan:
bisa menjadi tidak efektif atau lebih efektif (Patterson & Garwick, 1994). Hasil
positif yang muncul dari hasil penelitian memungkinkan bahwa beban-beban dan
tuntutan-tuntutan akan kehadiran anak dengan kanker membuat orang tua menjadi
resilien dalam menjalankan keberfungsian keluarga (Patterson & Garwick, 1994).
Yang kedua adalah dukungan yang didapatkan keluarga. Hosoda (2014)
menyimpulkan bahwa dukungan psikologis dan sosial dapat membantu orang tua
dalam menjalankan keberfungsian keluarga. Adanya dukungan dari rekan-rekan
pasangan orang tua (McCubbin et al., 2002, dalam Hosoda, 2014), seperti
keluarga besar serta komunitas dan adanya upaya orang tua dalam berkonsultasi
dengan Health Care dan Mental Health Professional (Patterson et al., 2004,
dalam Hosoda, 2014), juga dapat membantu pasangan orang tua dalam
menjalankan keberfungsian menjadi lebih positif. Kedua pasangan orang tua
dalam penelitian ini mendapatkan dukungan psikologis dan sosial tersebut,
misalnya bantuan dari keluarga besar untuk mengatasi beberapa hambatan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
misalnya dengan menjaga anak sehat lainnya ketika kedua orang tua sedang
mengurus anak dengan kanker (Pasangan Orang tua 1 & 2). Kedua pasangan
orang tua juga berkonsultai dengan ahli gizi (Pasangan Orang tua 1) dan psikolog
(Pasangan Orang tua 2) untuk dapat membantu mereka menjalankan
keberfungsian keluarga dengan efektif.
Yang ketiga, jumlah pemasukan keuangan dalam keluarga. Pendapatan
orang tua juga merupakan menjadi faktor yang dapat menentukan hasil
keberfungsian keluarga (Herzer et al, 2010; Hosoda, 2014, Sholihah, 2013, dalam
Ningsih & Herawati, 2017). Kedua pasangan orang tua dalam penelitian ini
mendapat beberapa dukungan finansial, misalnya bantuan dari penggunaan BPJS
(Pasangan Orang tua 1 & 2), bantuan donasi (Pasangan Orang tua 1), dan bantuan
keuangan dari tempat kerja (Pasangan Orang tua 2). Hal ini mampu membuat
mereka mengatasi beban-beban finansial yang timbul karena kehadiran anak
dengan kanker.
Yang keempat dan terakhir, analisis dyadic mampu mengungkap dinamika
hubungan pasangan dengan melihat persamaan-persamaan jawaban atau overlaps
dan perbedaan-perbedaan jawaban atau contrast (Eiskovits & Koren, 2010).
Dalam penelitian ini, kedua pasangan orang tua cenderung menunjukkan adanya
persamaan jawaban dengan pasangannya dalam menjalakan keberfungsian
keluarga. Persamaan jawaban ini muncul pada dimensi Pemecahan Masalah,
Komunikasi, Peran, Responsivitas Afektif, Keterlibatan Afektif, dan Kontrol
Perilaku. Banyak munculnya persamaan-persamaan (overlaps) dari pada
perbedaan-perbedaan (contrast) dari narasi antar pasangan menunjukkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
kedua pasangan orang tua memadang hubungan mereka dengan kebersamaan.
Pada akhirnya, kedua pasangan ayah dan ibu menunjukkan kekompakan dalam
menjalankan keberfungsian keluarga, yang diduga dapat mempengaruhi hasil
keberfungsian keluarga yang cenderung positif.
Selain hal yang telah diutarakan di atas, hasil penelitian menunjukkan
adanya perbedaan peningkatan keefektifan pada beberapa dimensi, seperti
Pemecahan Masalah, Komunikasi dengan pasangan, Peran dengan pasangan
(dalam sub pemberian kebutuhan afeksi serta pengambilan Keputusan), dan
Keterlibatan Afektif dengan pasangan. Pasangan Orang tua 1 menunjukkan
peningkatan yang lebih mencolok atas dimensi-dimensi diatas, dari pada Pasangan
Orang tua 2. Perbedaan tersebut diduga karena usia pernikahan para pasangan
orang tua yang berbeda. Pasangan yang telah menikah dengan usia dibawah 10
tahun akan lebih menunjukkan permasalahan daripada pasangan yang telah
menikah diatas 10 tahun (Tavakol et al., 2017). Terbukti, Pasangan Orang tua 1
yang telah menikah selama 7 tahun menunjukkan adanya permasalahan dalam
pernikahan mereka, bahkan sebelum hadirnya anak dengan kanker. Pasangan ini
merasakan bahwa kehadiran anak dengan kanker membuat permasalah
perkawinan menjadi lebih terselesaikan. Ternyata, kehadiran anak dengan kanker
pada Pasangan Orang tua 1 membawa perbedaan yang mencolok ke arah yang
cenderung efektif. Di lain sisi, Pasangan Orang tua 2 telah menikah dengan waktu
yang lebih lama, yakni 17 tahun dan dirasa memiliki permasalahan yang relatif
lebih sedikit (Tavakol et al., 2017). Sehingga, kehadiran anak dengan kanker tidak
membuat pasangan ini tidak merasakan perbedaan yang mencolok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Hasil penelitian ini kurang lebih serupa dengan penelitian terdahulu yang
membahas mengenai perubahan keberfungsian keluarga pada keluarga yang
memiliki anak dengan kanker (Bjork et al., 2005; Schoors et al., 2018; Schoors et
al., 2019). Kehadiran anak dengan kanker pada suatu keluarga tetap bukanlah hal
yang mudah untuk dilalui. Walau menunjukkan peningkatan keefektifan
keberfungsian keluarga, orang tua sebagai penanggung jawab keberfungsian
keluarga tetap harus melewati berbagai persoalan, terlebih pada dimensi Peran
dengan anak sehat lainnya, Keterlibatan Afektif dengan anak sehat lainnya dan
pada dimensi Kontrol Perilaku anak dengan kanker.
Hasil penelitian ini menguatkan penelitian dari Schoors et al., (2018),
terlebih pada dimensi Peran dan Kontrol Perilaku. Kehadiran anak dengan kanker
di satu sisi membawa keluarga menjadi lebih efektif dalam menjalankan
keberfungsian keluarga (Bjork et al., 2005), namun juga di lain sisi membuat
orang tua lebih berfokus pada anak dengan kanker, sehingga terkadang mereka
memiliki kendala dalam membagi peran dan keterlibatan pada anggota keluarga
lainnya, terlebih dalam penelitian ini adalah anak lainnya yang sehat (Schoors et
al., 2018). Lebih lanjut,Schoors et al., (2018) menyebut kondisi ini sebagai dua
situasi yang saling berlawanan yang harus dijalankan oleh orang tua. Ia
menyebutkannya sebagai Family Cohesion: Strenghthened vs Fragmented.
Artinya, kehadiran anak dengan kanker mampu membawa keluarga menjadi
semakin dekat antara satu dengan yang lain dan lebih mampu memaknai arti
keluarga. Di sisi lain, keluarga cenderung berfokus memperhatikan anak dengan
kanker dari pada anak lainnya yang sehat. Hal ini sesuai dengan apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
dirasakan kedua pasangan orang tua dalam penelitian ini. Mereka merasa hadirnya
anak dengan kanker mendekatkan keluarga. Selain itu, para ibu pada kedua
pasangan orang tua juga merasakan hal yang sama: mereka kesulitan dalam
membagi peran dengan anak-anak mereka. Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Schoors et al. (2018), dimana kehadiran anak dengan kanker membuat para ibu
memiliki hambatan dalam membagi peran pada anak-anaknya.
Schoors et al. (2018) juga mendapati bahwa kehadiran anak dengan kanker
juga berpengaruh pada bagaimana keluarga mengontrol perilaku. Schoors et al.
(2018) menyebut kondisi tersebut sebagai Being Overindulgence vs Being
Stricter. Artinya, orang tua berusaha untuk memahami kondisi anak karena
penyakit yang harus ditanggungnya. Akan tetapi, orang tua tidak boleh hanya
'memanjakan' anak dengan kanker, terlebih ketika ia memiliki penyakit yang
berbahaya bagi hidupnya, maka orang tua akan cenderung mengontrol perilaku
anak dengan lebih kaku dan tegas. Hal ini juga muncul pada hasil penelitian ini.
Kedua pasangan orang tua berusaha untuk mengontrol perilaku anak dengan
kanker dengan kaku, namun di lain sisi juga berusaha untuk memanjakan dan
memberi kelonggaran akan peraturan yang dibuat untuk anak dengan kanker.
Penggunaan teori tertentu, seperti dalam penelitian ini yang menggunakan
teori pendekatan McMaster tentang keberfungsian keluarga (Epstein et al. 1978)
membuat temuan menjadi lebih kaya. Sebagai contoh, terdapat beberapa dimensi
yang mampu peneliti temukan, seperti cara orang tua dalam memecahkan
permasalahan, cara berkomunikasi, dan perasaan-perasaan apa yang cenderung
mendominasi para pasangan orang tua ketika memiliki anak dengan kanker.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Penggunaan metode wawancara terpisah dengan dyad sebagai satuan analisis
(Eisitkovits & Koren, 2010) juga mampu menambah penggunaan metode yang
dapat memahami dengan lebih utuh keterhubungan relasi antar pasangan. Metode
ini juga dapat memprediksi keefektifan keberfungsian keluarga yang dijalani oleh
kedua pasangan orang tua.
Penelitian ini dapat menjadi bekal pengetahuan bagi perawat di Indonesia
untuk membantu keluarga dan anak dengan kanker. Perawat dapat memahami hal-
hal yang dirasa penting untuk membuat keberfungsian keluarga menjadi lebih
efektif, misalnya dengan memberikan dukungan agar orang tua menemukan
strategi koping yang membuat mereka menjadi resilien, memberikan informasi
mengenai bantuan finansial, memberikan dukungan psikologis, memberikan
masukan bagaimana pentingnya orang tua untuk memberikan perhatian secara adil
pada keseluruh anak mereka, dan memberikan informasi mengenai pentingnya
kekompakan antara ayah dan ibu untuk dapat memiliki keberfungsian keluarga
yang efektif, baik padaa setiap dimensi dalam keberfungsian keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penelitian ini memiliki
kurang lebih lima kesimpulan yang didapatkan dari gambaran keberfungsian
keluarga pada orang tua sebagai penanggung jawab keberfungsian keluarga ketika
hadir anak dengan kanker dalam keluarga mereka. Kesimpulan tersebut adalah:
1. Secara umum, keberfungsian keluarga pada pasangan orang tua yang
memiliki anak dengan kanker menunjukkan keefektifan.
2. Peningkatan tersebut muncul pada setiap dimensi dalam keberfungsian
keluarga yang meliputi: Pemecahan Masalah, Komunikasi, Peran,
Responsivitas Afektif, Keterlibatan Afektif, dan Kontrol Perilaku. Hasil yang
cenderung kurang efektif muncul pada dimensi Peran dalam memahami
kebutuhan afeksi pada anak sehat yang lainnya dan pada dimensi Keterlibatan
Afektif dengan anak sehat yang lainnya. Pada kedua dimensi tersebut,
pasangan orang tua cenderung berfokus pada kebutuhan anak dengan kanker
daripada anak sehat yang lainnya.
3. Hasil yang positif diduga disebabkan karena empat hal: (1) resliensi; (2)
kedua pasangan orang tua mendapakan dukungan psikologis dan sosial; (3)
kedua pasangan orang tua mendapatkan bantuan biaya yang mampu membuat
mereka mengatasi beban-beban finansial keluarga, dan (4) kedua pasangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
orang tua cenderung menunjukkan persamaan atau kekompakan jawaban
pada tiap dimensi dalam keberfungsian keluarga.
4. Perbedaan usia perkawinan diduga ikut memfasilitasi keefektifan
keberfungsian keluarga. Keefektifan ini muncul pada beberapa dimensi,
seperti Pemecahan Masalah, Komunikasi, Peran dalam sub Pengambilan
Keputusan, dan Responsivitas Afektif dengan pasangan. Terbukti, Pasangan
Orang tua 1 dengan usia perkawinan yang lebih muda (7 tahun) lebih
merasakan permasalahan pernikahan dari pada Pasangan Orang tua 2 dengan
usia perkawinan yang lebih tua (17 tahun). Kehadiran anak dengan kanker
membuat Pasangan Orang tua 1 menjadi lebih kompak. Di lain sisi, Pasangan
Orang tua 2 tidak menunjukkan banyak hambatan dalam pernikahan mereka
karena pasangan ini dirasa telah mampu untuk beradaptasi dengan
permasalahan pernikahan.
5. Hasil penelitian ini juga memperkuat dan sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya, terlebih pada dimensi Peran dengan anak sehat yang lainnya,
Keterlibatan Afektif dengan anak sehat yang lainnya, dan Kontrol Perilaku
anak dengan kanker. Kehadiran anak dengan kanker mampu membuat
keluarga saling mendekatkan (Bjork et al., 2005; Schoors et al., 2018). Di lain
sisi, orang tua menjadi lebih berfokus berperan dan terlibat pada anak dengan
kanker daripada anak lainnya yang sehat. Hal ini disebut oleh Schoors et al.
(2018) sebagai Family Cohesion: Strenghthened vs Fragmented. Selain itu,
orang tua akan cenderung mengontrol beberapa perilaku anak dengan kanker
dengan kaku, namun di lain sisi juga berusaha memberikan kelonggaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Schoors et al. (2018) menggambarkan hal ini sebagai Educational norms and
value: Overindulgence vs Being stricter.
B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah:
1. Peneliti mengalami kesulitan dalam mencari partisipan yang bersedia untuk
melakukan proses wawancara, sehingga partisipan dalam penelitian ini hanya
berjumlah dua pasangan orang tua yang memiliki anak kanker.
2. Kekurangan jumlah partisipan membuat hasil penelitian menjadi kurang
variatif, karena setiap keluarga memiliki karakteristik keluarga, struktur
keluarga, dan jumlah anak dalam keluarga yang berbeda-beda.
3. Peneliti kurang membangun rapport dengan para partisipan.
C. Saran
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya dapat mencari partisipan yang berkenan untuk
melakukan proses pengambilan data seawal mungkin. Hal ini untuk
mengurangi kendala yang mungkin timbul, terlebih ketika metode wawancara
yang digunakan harus melibatkan kedua orang tua (ayah dan ibu). Peneliti
lain juga dapat mengelaborasi penelitian dengan menggunakan pasangan
orang tua yang memiliki karakteristik lain, misalnya pada orang tua yang
memiliki pemasukan menengah kebawah, memiliki anak lainnya yang telah
dewasa, dan lain sebagainya. Hal ini dapat memperkaya penelitian terkait
dengan topik ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
2. Bagi Perawat di Rumah Sakit
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, psychosocial support
merupakan hal yang penting untuk membantu orang tua yang memiliki anak
dengan kanker untuk beradaptasi dalam menjalankan keberfungsian keluarga.
Maka dari itu, perawat sebagai praktisi kesehatan yang paling sering dijumpai
oleh keluarga diharapkan dapat membantu para orang tua dengan anak
kanker, misalnya dengan memberi intervensi untuk mengelola perasaan yang
cenderung negatif pada awal diagnosis anak dengan kanker.
3. Bagi Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Kanker
Orang tua yang memiliki anak dengan kanker diharapkan dapat
menjalankan keberfungsian keluarga dengan efektif. Maka dari itu, terdapat
beberapa saran praktis yang dirasa penting dalam meningkatkan keefiktifan
keberfungsian keluarga:
a. Psychosocial Support memberi keuntungan bagi keluarga untuk dapat
menjalankan keberfungsian keluarga dengan efektif. Psychosocial
Support yang paling mudah ditemukan adalah dukungan dari sesama
orang tua yang memiliki anak dengan kanker. Maka dari itu, mulailah
mencoba mengikuti komunitas orang tua yang memiliki anak dengan
kanker dan berdiskusi dengan Health Care dan psikolog juga dapat
membantu orang tua.
b. Orang tua berperan untuk bertanggung jawab dalam menjalankan
keberfungsian keluarga. Artinya, keluarga harus membuat kondisi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
layak bagi seluruh anggota keluarga. Kehadiran anak dengan kanker
terkadang membuat fokus keluarga terletak pada anak dengan kanker
daripada anak sehat yang lainnya. Orang tua juga perlu untuk
memperhatikan kondisi anggota keluarga lainnya, terlebih anak yang
sehat lainnya. Berlibur ke tempat yang mampu dijangkau oleh anak
dengan kanker dan saudara mereka tentu dapat mempererat kekompakan
setiap anggota keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
DAFTAR ACUAN
Alderfer, M. A., Navsaria, N., & Kazak, A. E. (2009). Family functioning and posttraumatic stress disorder in adolescent survivors of childhood cancer. Journal of Family Psychology, 23(5), 717-725. DOI: 10.1037/a0015996.
Banovcinova, A., & Levicka, K. (2015). The impact of the financial income on the family communication. Revista Românească pentru Educaţie Multidimensională, 7(2), 35-46. DOI: 10.18662/rrem/201 ︎.0702.0︎.
Banovcinova, A., Levicka. J., & Veres, M. (2014). The impact of proverty on the family system functioning. Procedia-Social and Behavioral Science, 132, 148-153. DOI: doi:10.1016/j.sbspro.2014.04.291.
Bjork, M., Wiebe, T., & Hallstrom, I. (2005). Striving to survive: Families’ lived experiences when a child is diagnosed with cancer. Journal of Pediatric Oncology Nursing, 22, 265-275. DOI: 10.1177/1043454205279303.
Boylu, A. A., Çopurib, Z., & Öztopc, H. (2013). Investigation of the fanctors influencing family functions style. International Journal of Reseacrch in Business and Social Science, 2(3), 26-40. DOI:10.20525/ijrbs.v2i3.69.
Bray, J. H. (1995). Family assessment: Current issues in evaluating families. Family Relations, 44(4), 469-477. DOI: 10.2307/585001.
Carter, N., Bryant-Lukosius, D., DiCenso, A., Blythe, J. & Neville, A. J. (2014). The use of triangulation in qualitative research. Oncology Nursing Forum, 41(5), 545-547. DOI: 10.1188/14.ONF.545-547.
Coleman, M., & Ganong, L., H. (2014). Qualitative research on family relationship. Journal of Social and Personal Relationship, 31(4), 451-458. DOI: 10.1177/0265407514520828.
Creswell, J. W. (2012). Research design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. 2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dai, L., & Wang, L. (2015). Review of family functioning. Journal of Social Sciences, 3, 134-141. DOI: 10.4236/jss.2015.312014.
Eisikovits, Z., & Koren, C. (2010). Approach to and outcomes of dyadic interview analysis. Qualitative Health Research, 20(12), 1642-1655. DOI: 10.1177/1049732310376520.
Engvall, G., Lindh, V., Mullaney, T., Nyhlom, T., Lindh, K., & Ångström-Brännström, C. (2018). Children’s experiences and responses towards an intervention for psychological preparation for radiotherapy. Radiation Oncology, 13(9), 1-12. DOI: 10.1186/s13014-017-0942-5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Enrique, J., Howk, H., & Huitt, W. (2007). An overview of family development. Educational Psychology Interactive. Di unduh 8 Febuari 2018, dari Valdosta State University. Web site http://www.edpsycinteractive.org/papers/family.pdf.
Epstein, N. B., Bishop, D. S., & Levin, S. (1978). The mcmaster model of family functioning. Journal of Marriage and Family Counseling, 4(4), 19-31. DOI: 10.1111/j.1752-0606.1978.tb00537.x.
Fahrudin, A. (2012). Keberfungsian keluarga: Pemahaman konsep dan indikator pengukuran dalam penelitian. Jurnal Permasalahan dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 17(02), 75-81. DOI: 10.33007/inf.v17i2.94.
Gerhardt, C. A., Lehmann, V., Long, K. A., & Alderfer, M. A. (2015). Supporting siblings as a standart of care in pediatric oncology. Pediatric Blood Cancer, 62, S750-S804. DOI: 10.1002/pbc.25821.
Herzer, M., Godiwala, N., Hommet, K. A., Driscoll, K., Mitchell, M., Piazza-Waggoner, C., Zeller, M. H., & Modi, A. C. (2010). Family functioning in the context of pediatric chronic conditions. Journal Development Behaviour Pediatric, 31(1), 1-14. DOI: 10.1097/DBP.0b013e3181c7226b.
Hilda, Lubis, B., Hakimi., Siregar, O. R. (2015). Quality of life in children with
cancer and their normal siblings. Paediatrica Indonesia, 55(5), 243-247. DOI: https://doi.org/10.14238/pi55.5.2015.243-7
Hocking, M. C., Kazak, A. E., Schneider, S., Barkman, D., Barakat, L. P., &
Deatrick, J. A. (2014). Parent perspectives on family-based psychosocial interventions in pediatric cancer: A mixed-methods approach. Support Care Cancer, 22(5), 1287-1294. DOI: 10.1007/s00520-013-2083-1.
Hosoda, T. (2014). The impact of childhood cancer on family functioning: A review. Graduate Student Journal of Psychology, 15, 18-30. Departmen of Counseling and Clinica Psychology Teachers College. Columbia University.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Situasi penyakit kanker. Diunduh 1 September, 2017, dari, http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/ pusdatin/buletin-kanker.pdf
Kitabisa Research. (2019, November). Apa itu kitabisa.com. Diunduh dari: https://kitabisa.zendesk.com/hc/en-us/articles/360000376534-Apa-itu-Kitabisa-com-. Diunduh: 28 November 2019, 23:16 WIB.
Klassen, A. F., Klaassen, R., Dis, Dix, D., Prithard, S., Yanofsky, R., O’Donnell, M., Scott, A., & Sung, L. (2008). Impact of caring for a child with cancer
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
on parents’ health-related quality of life. Journal of Clinical Oncology, 26(38), 5884-5888. DOI: 10.1200/JCO.2007.15.2835.
Lewandowski, A. S., Palermo, T. M., Stinson, J, Handley, S., & Chambers, C. T. (2010). Systematic review of family functioning in families of children and adolescents with cronic pain. Journal of Pain, 11(11). DOI: 10.1016/j.jpain.2010.04.005.
Long, K. A., Marsland, A. L., Wright, A., & Hinds, P. (2015). Creating a tenous balance: Siblings’ experience of a brother’s or sister’s choldhood cancer diagnosis. Journal of Pediatric Oncology Nursing, 32(1), 21-31. DOI: 10.1177/104345421455519.
Meyers, S. A., Varrey, S., & Aguirre, A. M. (2002). Ecological correlates of family functioning. The American Journal of Family Therapy, 30, 257-273. DOI: 10.1080/019261802753577575.
Mondaloo, S., Rohani, C., Farahani, A. S., & Vasli, P., & Pourhosseongholi. (2019). General family functioning as a predictor of quality of life in parents of children with cancer. Journal of Pediatric Nursing, 44, 2-8. DOI: 10.1016/j.pedn.2018.08.013.
Miller, I. W., Ryan, C. E., Keitner, G. I., Bishop, D. S., & Epstein, N. B. (2000). The mcmaster approach to families: theory, assessment, treatment and research. Journal of Family Therapy, 22, 168-189. DOI: 10.1111/1467-6427.00145.
National Cancer Institute. (2018). Diunduh 20 September, 2018, dari https://www.cancer.gov/about-cancer/coping/caregiver-support/parents.
Nicholas, D.B., Gearing, R. E., McNeill, T., Fung, K., Lucchetta, S., & Selkirk, E,
K. (2009). Experiences and resistance strategies utlized by fathers of children with cancer. Social Work in Health Care, 48, 260-275. DOI: 10.1080/009813808025-91734.
Ningsih, D. S., & Herawati, T. (2017). The influence of marital adjustment and family function on family strenght in early marriage. Journal of Family Science, 2(2), 23-33. DOI: 10.29244/jfs.2.2.23-33.
Novrida., Kurniah, N., & Yulidensi. (2017). Peran orangtua dalam pendidikan anak usia dini ditinjau dari latar belakang pendidikan. Jurnal Potensia PB-PAUD FKIP UNIV, 2(1), 39-46. DOI: 10.33369/jip.2.1.39-46.
Othman, A., Mohamad, N., Hussin, Z. A., & Blunden, S. (2011). Psychological distress and associated factors in parents of children with cancer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
International Journal of Social Science and Humanity, 1(1), 37-22. DOI: 10.7763/IJSSH.2011.V1.7.
Palermo, T. M., & Chambers, C. T. (2005). Parent and family factors in pediatric chronic pain and disability: An integrative approach. Pain, 199, 1-4. DOI: 10.1016/j.pain.2005.10.02.
Patterson., J. M., & Garwick, A. W. (1994). Impact of chronic illness on families: A family systems perspective. Ann Behav Med, 6(2), 131-142. DOI: 10.1080-/0284186X.2016.1250945.
Pusat Data Informasi. (2015). Situasi penyakit kanker. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Prastiwi, T. F. (2012). Kualitas hidup penderita kanker. Developmental and Clinical Psychology, 1(1), 22-27. DOI: 10.26630/jk.v7i3.237.
Rodriguez, E. M., Dunn, M. J., Zuckerman, T., Vannatta K., Gerhardt, C. A., & Compas, B. E. (2012). Cancer-related sources of stress for children with cancer and their parents. Journal of Pediatric Psychology, 37(2), 185-197.
Schoors, M V., Caes, L., Knoble, N. B., Goubert, L., Verhofstadt, L. L., & Alderfer, M. (2016). Systematic review: Associations between family functioning and child adjustment after pediatric cancer diagnosis: A meta-analysis. Journal of Pediatric Psychology, 1-3. DOI: 10.1093/jpepsy/jsw070.
Schoors, M. V., Paepe. A, L, S., Norga, K., Cosyns, H, M., Vercruysse, T., Goubert, L., Verhofstadt, L, L. (2019). Family members dealing with childhood cancer: A study on the role of family functioning and cancer appraisal. Frontiers in Psychology, 10, 1450-1464. DOI: 10.3389/fpsyg.2019.01405.
Schoors, M. V., Mol, J. D., Parys, H. V., Morren, H, Verhofstadt, L. L., Goubert, L., Partys, H. V. (2018). Parent’s perspective of change within the family functioning after a pediatric cancer diagnosis: A multi family eberi interview analysis. Qualitative Health Research, 1-13. DOI: 10.1093/jpepsy/jsw070.
Streisand, R., Kazak, A, E., & Tercyak, K. P. (2003). Pediatric-specific parenting stress and family functioning in parents of children treated for cancer. Children’s health care, 32(4), 245-256. DOI: 10.1207/S15326888CHC3204_1.
Supratiknya, A. (2015). Metodologi penelitian kuantitatif & kualitatif dalam psikologi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Supratiknya, A. (2018, Mei 30). Penelitian kualitatif dalam psikologi: beberapa pedoman dalam publikasi [Handout]. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Supratiknya, A. (2019, Mei 11). Wawancara dyadik [Handout]. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tavakol, Z., Nasrabadi, A. N., Moghadam, Z.B., Salehihiya, H., & Rezael, C. (2017). A review of the factors associated with marital satisfaction. Galen Medical Journal, 6(3), 197-207. DOI: 10.22086/gmj.v0i0.641.
Tarihoran, D., E., T., A., U., & Gunawan, W. (2013). Indonesian palliative care nurses knowledge. Conference Paper.
Tsimicalis, A., Genest, L., Stevens, B., Ungar, W. J., & Barr, R. (2017). The impact of a childhood cancer diagnosis on the children and sibling’s school attedance, performance, and activities: A qualitative descriptive study. Journal of Pediatric Oncology Nursing, 00(0), 1-14. DOI: 10.1177/1043454217741875.
Universitas Gadjah Mada. (2014, Maret). Perawatan Paliatif di Indonesia Belum Optimal. Di unduh dari: https://ugm.ac.id/id/berita/8759-perawatan-paliatif-di-indonesia-belum-optimal.
Varni, J. W., Katz, E. R., Colegrove, R., & Dolgin, M. (1996). Family functioning predictors of adjustment in children with newly diagnosed cancer: A prospective analysis. Jounal of Child Psychology & Psychiatry. 37(3), 321-328. DOI: 10.1111/j.1469-7610.1996.tb01409.x.
Vlachioti, E., Matziou, V., Perdikaris, P., Mitsiou, M., Stylianou, C., Tsoumakas, K., & Moschovi, M. (2016). Assessment of quality of life of children and adolescents with cancer during their treatment. Japanese Journal of Clinical Oncology, 46(5), 453-461. DOI: https://doi.org/10.1093/jjco/hyw009.
Wati, N. L., & Qoyyimah., F. (2018). Tingkat stress ibu yang mempunyai anak kanker leukimia di rumah cinta bandung. Jurnal Keperawatan BSI, 6(1), 69-76. DOI: 10.31311/.v6i1.3222.
Woodgate, R. L., & Degner, L. F. (2002). “Nothing is carve in stone!”: Uncertainty in children with cancer and their families. European Journal of Oncology Nursing, 6(4), 191-202. DOI: 10.1054/ejon.2002.0-220.
World Health Organization. (2014). Cancer country profile, Belgium. Diunduh 14 Januari 2020, dari https://www.who.int/cancer/country-profiles/bel_en.pdf?ua=1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
World Health Organization. (2014). Cancer country profile, Indonesia. Diunduh 14 Januari 2020, dari https://www.who.int/cancer/country-profiles/idn_en.pdf.
Zhang, X. (2012). The effects of parental education and family income on mother-child relationships, and family environments in the people’s republic of china. Family Process, 51(4), 483-497. DOI: 10.1111/j.1545-5300.2011.01380.x.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Lampiran 1 Informed Consent Pasangan Orang tua 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Lampiran 2 Informed Consent Pasangan Orang tua 2 Ayah 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Lampiran 3 Informed Consent Pasangan Orang tua 2 Ibu 2