Komplikasi dari Batu Empedu : Mirizzi Syndrome, Gallstone Ileus,
Gallstone Pancreatitis, komplikasi dari lost gallstoneMirizzi
Syndrome
Mirizzi syndrome (MS) adalah bentuk dari obstruktif jaundis,
yang dijelaskan pertama kali oleh Mirizzi pada tahun 1948 yang
disebabkan oleh batu atau beberapa batu yang mengenai dari leher
kantung empedu atau juga mengenai cystic duct, seperti common
hepatic duct yang memendek. Berdasarkan dari tingkat timpaan dan
lamanya kondisi kronis dari batu empedu, akan mungkin membentuk
cholecysto-choledochal fistula. Komplikasi langka dari batu empedu
ini terjadi sekitar 0,1% sampai 0,7% dari pasien yang memiliki batu
empedu. Juga adanya resiko yang besar dari kanker kantung empedu
yang di temukan pada pasien ini hingga 25%. Kondisi ini di
klasifikasikan oleh McSherry dan kolega menjadi tipe 1 dan tipe 2
pada tahun 1982, dan di klasifikasi ulang oleh Csendes dan kolega
pada tahun 1989 menjadi 4 kelas. Komponen yang harus ada untuk
terjadinya sindrom ini yaitu :1. Anatomi cysttic duct sejajar
dengan common hepatic duct2. Dampak akibat batu terletak pada
cystic duct atau leher dari kantung empedu
3. penyumbatan dari common hepatic duct oleh batu itu sendiri,
atau bentuk dari respon inflamasi
4. jaundis yang intermiten atau konstan kadang-kadang
menyebabkan cholangitis, dan dengan obstruksi yang lama, terjadi
sirosis empedu.
Klasifikasi McSherry dari Mirizzi syndrome berdasarkan dari
endoscopic retrograde cholagiopancreatography (ERCP) dibagi menjadi
2 yaitu :
Tipe 1 : tekanan eksternal dari common hepatic duct oleh kalkuli
pada cystic duct atau hartmanns pouchTipe 2 : adanya
cholecysto-choledochal fistula, yang disebabkan oleh kalkuli yang
mengerosi saluran empedu sebagian atau seluruhnya.Klasifikasi
Csendes dari Mirizzi syndrome dibagi menjadi 4 yaitu
Tipe 1: tekanan ekstrnal pada common bile ductTipe 2: adanya
cholescystobilliary fistula yang melingkupi kurang dari sepertiga
diameter dari saluran empedu
Tipe 3: adanya fistula yang melingkupi hingga 2/3 diameter dari
saluran empedu
Tipe 4: adanya fistula dengan destruksi komplit dari dinding
saluran empedu
Gambar 1. Klasiifkasi dari Mirizzis syndrome (gambar atas).
Rekontruksi saluran empedu (gambar bawah)
Diagnosis dari Mirizzi Syndrome
Gejala penting dari MS adalah adanya cholecystitis atau
choledocholithiasis. Sebagian besar pasien terdapat nyeri pada
epigastrium atau pada kuadran kanan atas, jaundis, dan peningkatan
hasil tes fungsi hati. Pasien juga dapat merasakan nyeri episodik
seperti kolik bilier, atau manifestasi gejala sistemik seperti
demam, meriang, takikardi dan berkurangnya nafsu makan. Kondisi ini
dapat intermiten dan berulang, atau fulminan, terjadi sebagai
cholangitis. Dengan demikian, penting untuk melakukan diagnosis
preoperatif, dan pada pencarian literatur, diagnosis yang tepat
telah dibuat pada 8% sampai 62% dari pasien hingga ERCP digunakan
secara reguler. Sebagian besar pasien yang dicurigai memiliki
penyakit saluran empedu dilakukan ultrasound sebagai tes pertama,
dan biasanya diikuti dengan MRI atau CT. Cholangiography, yang
melalui percutaneous atau endoskopi dilakukan jika tes fungsi hati
cukup abnormal. Tes yang paling sensitif untuk MS adalah ERCP, yang
telah menghasilkan 100% diagnosis preoperatif yang tepat pada Yehs
group.
Sebagai tambahan untuk menegakan diagnosis, ahli endoskopi juga
secara paliatif menanamkan stent pada pasien dengan jaundis untuk
merencanakan eksplorasi pada pasien yang lebih stabil. Penulis
mempercayai pada pasien dengan batu empedu dan peningkatan tes
fungsi hati seharusnya dilakukan pemeriksaan foto dari saluran
empedu sebelum eksplorasi.
Gambar 2. Csendes tipe 3 Mirizzi, anak panah menunjukan batu 2/3
lebih besar dari dinding saluran yang terkena
Gambar 3. Mirizzi tipe 4 dengan fistula cholecysto-choledochal
komplit
Ketika diagnosis ditegakan, harus ada rencana untuk melakukan
prosedur terbuka. Ketika kondisi ini ditemukan saat laparoscopic
cholecystectomy, tantangan pada diseksi yang melekat dari calots
triange dalam keadaan inflamasi, lapangan fibrotik membuka konversi
pada sebagian besar kasus. Diagnosis dari cholectysto-choledocal
fistula yang ditegakan secara intraoperatif juga dapat ditangani
terbaik secara terbuka, kecuali dokter bedah yang ekspert dan
berpengalaman ada.Ketika salah satu menggangap bahwa sindrom ini
terjadi pada 0,1% sampai 0,7% dari pasien yang memiliki gelaja batu
empedu yang simptomatis, rata-rata dokter bedah umum akan menemukan
kasus MS hanya beberapa kali dalam karir mereka. Walaupun laporan
berlajut ke permukaan dalam menangai MS secara laparoskopi, salah
satu tidak bisa berspekulasi mengapa insiden dari cedera operasi
besar bilier mencerminkan kejadian dari MS itu sendiri. ketika
salah satu faktor pada insiden dari cedera bilier terjadi saat
laparoskopi tetap masih menjadi dua kali kejadian yang terjadi
selama operasi terbuka, tampaknya ada sedikit pembenaran dalam
mengelola situasi secara laparoskopi. Seperti pada kasus
laparoskopi yang sulit, konversi terbuka dalam menghadapi diseksi
sulit antara common hepatic duct atau common bile duct disarankan
dengan baik, sebagai ketidaknyamanan dari insisi pada kuadran kanan
atas jauh lebih kecil daripada morbiditas dari cedera bilier yang
besar yang disebabkan secara laparoskopi.
Gambar 4. (A). Mirizzi tipe 1 dengan batu yang mengenai dinding
lateral saluran, (B) pasien yang sama dengan preoperative stent
Terapi
Pengobatan dari MS dapat berupa cholecystectomy, partial
cholecystectomy dengan ekstrasi batu, penggunaan sisa dari kantung
empedu untuk menutup cholescysto-choledochal fistula, atau Roux-Y
hepaticojejunostomy pada tempat dekstrusi inflamasi di common
hepatic duct. Untuk tipe 1 ( sesuai klasifikasi sebelumnya),
cholecystectomy dilakukan pada fundus merupakan pengobatan terbaik.
Jika phlegmon atau reaksi fibrous pada area calots triangle padat,
partial cholecystectomy dengan ekstrasi batu dan penutupan dari
sisa bagian cukup dilakukan dan aman. Pada semua kasus, frozen
section dari dinding kantung empedu harus dilakukan untuk mencegah
terbentuknya kanker. Untuk tipe 2 dan lainnya, perbaikan sederhana
fistula diatas T-tube, atau pembentukan dari choledochoduodenal
fistula tidak disarankan. Pengunaan sisa dari dinding kantung
empedu untuk memperbaiki fistula dengan meletakkan T-tube secara
distal pada common duct dapat digunakan jika jaringan tampak sehat.
Rekontruksi Roux-Y merupakan teknik alternatif yang paling aman
jika adanya jaringan duktus yang tertekan oleh pembuluh darah dari
common duct pada arah pukul 9. Kelangsungan dari anastomosis
bilio-enteric di terjamin aman dari perfusi retrograde dari
proximal common hepatic duct dan dari pembuluh darai jejunum pada
roux-en-Y loop.
Jika diagnosis dari MS dicurigai melalui pemeriksaan imaging
saat perioperatif, dan kondisi pasien tidak segera untuk dioperasi,
dokter bedah harus dapat memutuskan apakah ia cukup untuk dan
nyamaun untuk dilakukan major billiary repair. Data dari
Accreditation Council for Graduat Medical Education (ACGME)
(resident case logs from 2006 to 2007) memperlihatkan bahwa chief
residents rata-rata hanya sekali membuka eksplorasi common bile
duct dan dua bilio-enteric anastomosis pada latihan mereka. Jika
pengalaman kepuasan tidak ada, pertimbangan serius harus diberikan
untuk merujuk pasien ke pusat pelayanan kesehatan tersier yang
sudah terbiasa dengan bilio-enteric anastomosis. Ini sangat penting
khususnya untuk Csendes tipe 2 hingga tipe 4, dimana luka pada
hepatic duct kanan, common hepatic duct, right hepatic arteri, dan
right hepatic arteri yang telahh diganti dapat terjadi kesulitan
diseksi pada hepatocystic triangle.
Prognosis dari MS sangat baik pada lesi tipe 1, karena
cholecystectomy sederhana yang penting untuk penyembuhan. Dalam
menangani tipe yang lebih serius dengan destruksi fistula dari
common duct, morbiditas post operatif meningkat, dengan 10% lebih
biliari fistula, biliary stricture dibutuhkan dilatasi atau operasi
ulang, atau abses hepar dibutuhkan drainase.
Gallstone IleusBartholin pertama menjelaskan
cholecystoinstestinal fistula dengan batu empedu pada
gastrointestinal (GI) tract pada tahun 1654. Courvoisier
mempublikasikan seri pertama dari 131 kasus gallstone ileus pada
tahun 1890. Gallstone ileus masih langka pada populasi umum,
terhitung dari 1% sampai 3% dari semua obstruksi mekanik.
Bagaimanapun ini secara umum merupakan penyakit geriatri dan
wanita. Gallstone ileus terjadi 25% dari semua obstruksi usus kecil
pada pasien berumur diatas 65 tahun. Karena umur yang lanjut pada
grup ini, komorbid medis berkontribusi pada morbiditas dan
mortalitas yang tinggi berhubungan dengan gallstone ileus. Data
awal melaporkan kematian hingga 40% sampai 70%, yang berkurang pada
tahun ini sekitar 15% sampai 18%. Karena ini merupakan proses yang
letal, kecurigaan secara klinis pada kasus ini harus ada untuk
menegakan diagnosis dan manajemen tepat waktu.Pathogenesis
Gallstone ileus adalah merupakan hasis dari pembetukan fistula
dari traktus biliaris menuju intestinal. Ini biasanya merupakan
konsekuensi dari episode kolesistisis, yang menyebabkan inflamasi
dari kantung empedu, perlekatan dari usus, dengan tekanan yang
cukup dan iskemik menyebabkan batu empedu mengerosi ke usus, yang
menghasilkan pembentukan fistula. Sebagian besar fistula terjadi di
duodenum, karena jaraknya antara kantung empedu. Bagaimanapun,
fistula juga terjadi pada lambung, usus besar dan jejunum.
Sebagian besar batu empedu yang masuk ke area GI tract lewat
tanpa masalah, tapi obstruksi dapat terjadi jika batu berukuran
cukup besar, biasanya lebih bsar dari 2-2,5 cm. Inti dari obstuksi
biasanya sering pada terminal ileum karena diameter yang lebih
kecil, tapi juga dapat terjadi disepanjang sytem intestinal.
Bouveret syndrome, yang dijelaskan pertama kali pada tahun 1896,
adalah obtruksi gaster sekunder dari migrasi secara proximal dari
batu empedu dari cholecystoduodenal fistula pada proximal
duoenum.Gambaran klinis
Gallstone ileus merupakan obstuksi mekanis daripada ileus murni.
Gejalanya sangat bergantung dari letak obstruksi. Bagaimanapun,
gelajanya berupa mual, muntah, nyeri, dan konstipasi biasanya
muncul. Gejala dapat terjadi secara intermitent alamiah, yang
disebabkan oleh phenomena tumbling. Ini merupakan hasil dari batu
yang secara intermiten mengobstruksi, lalu berjalan melewati GI
tract hingga melewati dan menjadi terjepit pada intestinal. Pasien
biasanya terdapat gejala yang tertunda, dan seringnya terdiagnosis
pada 3 sampai 8 hari setelah onset dari gejala. Kira-kira setengah
dari pasien yang terdapat gallstone ileus memiliki riwayat dari
penyakit bilier. Bagaimanapun, gejala bilier yang secara langsung
menjadi gallstone ileus termasuk langka.Diagnosis
Diagnosis dari gallstone ileus sulit ditegakan secara klinis
karena gejala nonspesifik. Berdasarkan literatur, laporan dari
diagnosis postoperatif yang tepat termasuk jarang, diantara 20%
sampai 50%. Sebelumnya, foto abdomen polos merupakan gold standard
diagnosis. Rigler, Borman, dan Noble pada thun 1941 menjelaskan
penemuan klasik radiologi dari gallstone ileus, yang diketahui
sebagai riglers triad : (1) sebagian atau obstruksi intestinal
total, (2) pneumobilia, dan (3) penyimpangan batu empedu pada
intestine. Adanya dari 3 dari semua penemuan diatas, bagaimanapun
hanya dilaporkan antara 17% hingga 35% pada literatur. Beberapa
studi menyarankan untuk penggunaan ultrasound (USG) dengan
kombinasi foto abdomen untuk meningkatkan sensitivitas diagnosis.
Teknik ultrasound lebih sensitif dalam mendeteksi pneumobilia dan
batu empedu ektopik. Kombinasi dari dua modalitas dapat
meningkatkan sensitivitas diagnosis dari gallstone ileus hingga
74%.
Beberapa studi melaporkan penemuan secara CT dari gallstone
ileus lebih sensitif daripada foto polos abdomen dan ultrasound.
Riglers triad lebih sering terdeteksi pada pemeriksaan CT.
Sensitivitas diagnosis dari gallstone ileus menggunakan pemeriksaan
CT dilaporkan hingga 93%. Pemeriksaan CT dapat berguna untuk
mendeteksi batu empedu ektopik dan adany apenumobilia, dan untuk
membantu menegakan derajat dari infamasi disekitar tempat dari
cholecystointestinal fistula. Walaupun gejala tidak sepesifik, satu
harus memiliki indeks yang tinggi dalam mencurigai pada pasien tua
tanpa adanya riwayat bedah atau lainnya disebabkan oleh obtruksi
mekanis. Studi radiografi dapat menjelaskan penemuan klinis untuk
menentukan diagnosis preoperatif dari gallstone ileus.
Pengobatan
Walaupun gallstone ileus telah dijelaskan sekitar 400 tahun yang
lalu, kontroversi besar tetap ada pada managemen pembedahan yang
tepat dari penyakit ini. Tujuan terapi utama dari pembedahan adalah
untuk menghilangkan obstruksi intestinal.
Gambar 5. (A,B) obstruksi intestinal dan pneumobilia ditemukan
pada foto polos abdomen
Secara preoperatif, usaha telah dibuat untuk menyadarkan pasien,
yang sering memiliki gangguan metabolik dari obstruksi intestinal
dan presentasi yang tertunda, juga adanya komorbid. Prosedur gold
standar yang dilakukan yaitu laparotomi eksplorasi dan
enterolithotomy. Insisi longitudinal dibuat pada sisi proximal dari
tempat yang terjepit oleh batu empedu, lalu batu di keluarkan, dan
enterotomy ditutup dengan dua lapis. Seluruh bagian dari usus lalu
dievaluasi untuk potensi batu lainnya.
Gambar 6. Pneumobilia ditemukan pada CT scan abdomen
Tingginya angka mortalitas yang berhubungan dengan gallstone
ileus, sering akibat komorbid sekunder yang mempengaruhi populasi,
sejarahnya mendesak dokter bedah semata-mata mengeluarkan batu yang
mengobstruksi. Tidak ada tindakan pada permulaan operasi untuk
mengobati colecystoenteric fistula atau mengangkat kantung empedu.
Holz pada tahun 1929 dan Welch pada tahun 1957, bagaimanapun
menjelaskan one-stage prosedur dengan cholecystectomy, penutupan
cholescystoenteric fistula dan enterolothotomy untuk mencegah
kekambuhan selanjutnya. Ini telah menjadi topik depat pada
literatur selama bertahun tahun.
Gambar 7. Batu empedu dan cholecystoenteric fistula pada CT scan
abdominal
Pada review terbesar dari literatur oleh Reisner, mengutip dari
1000 kasus, one-stage prosedur memiliki angka mortalitas 16,9%
dibandingkan dengan enterolothotomy sendiri sekitar 11,7%. Delapan
puluh persen pasien ditangani dengan enterolithotomy. Penganjur
dari one-stage prosedur beragumen bahwa itu akan mencegah
komplikasi bilier, kekambuhan gallstone ileus, dan fistula
persisten. Menariknya, kekambuhan dari mereka yang ditangani hanya
dengan enterolithotomy hanya kurang dari 5-9% pada literatur.
Ditambah, hanya 10% pasien yang membutuhkan operasi kembali pada
gejala bilier yang persisten. Itu juga terpikirkan bahwa sisa
fistula dapat tertutup secara spontan ketika obstruksi telah
ditangani, dan komplikasi yang berhubungan dengan fistula persisten
langka.
Gambar 8. Obstruksi intestinal dan batu empedu intraluinal
diilustrasikan pada CT scan abdomen
Studi terbaru yang dipublikasikan oleh Doko dan kolega yang
membandingkan manajemen dari gallstone ileus yaitu enterolothotomy
dengan one-stage prosedur yang terdiri dari enterolothotomy, dan
cholecystectomy dengan perbaikan fistula. Review retrospektif ini
tedapat 30 pasien dan memperlihatkan tidak ada perbedaan secara
statistik diantara dua grup diatas yang dihubungkan dengan umur,
America Society of Anasthesiology (ASA) score dan durasi dari
gejala. Terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada waktu
operasi, dengan durasi dari pembedahan 100 menit lebih lama pada
grup one-stage. Mortalitas pada rumah sakit sampel 9% pada grup
enterolithotomy dan 11% pada grup one-stage. Pada logistic
regression analysis, grup one-stage prosedur memiliki angka
komplikasi yang lebih tinggi. Penulis menyimpulkan dari data mereka
bahwa one-stage prosedur harus dilakukan hanya pada pasien tertentu
dengan kolesistisis akut, ganggrenous gallblader, atau residu batu
empedu saat operasi.
Tan dan kolega juga mereview seri mereka dari 19 pasien yang
dilakukan one-stage prosedur dan enterolithotomy. One stage
prosedur dilakukan pada pasien dengan ASA yang lebih rendah, dan
waktu operasi secara singnifikan lebih lama (100 menit lebih) pada
grup one-stage. Tidak ada komplikasi pada grup yang dilakukan
enterolithotomy pada periode follow-up mereka. Tidak ada perbedaan
signifikan pada morbiditas diantara kedua grup, dan tidak ada
mortalitas pada kedua grup. Review dari literatur hingga kini
mempertahankan one-stage prosedure pada pasien ideal, bagaimanapun
dengan potensial morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Untuk
pasien dengan hemodinamik tidak stabil atau memiliki inflamasi
signifikan atau perlekatan yang kuat, enterolithotomy harus
dilakukan.
Gambar 9. Batu empedu intraluminal (A) dan enterotomy dengan
ekstraksi batu (B) ditemukan saat laparotomi eksplorasi
Pilihan Pengobatan terakhir yaitu two-stage prosedur, dimana
enterolithotomy dilakukan sebagai prosedur awal emergency, dan
berikutnya cholecystectomy dan penutupan fistula dilakukan 4 hingga
6 minggu kemudian. Hasil dari literatur terbaru ini menunjukan
rendahnya kekambuhan dari gallstone ileus dan rendahnya komplikasi
pada pasien yang dimanajemen panjang setelah enterolithotomy. Oleh
karena itu, two-stage prosedur dengan follow up berjadwal dari
pembedahan bilier bukan keadaan yang biasa.
Evolusi dari laparoscopy telah mendesak beberapa dokter bedah
untuk melakukan enterolithotomy secara laparoskopi. Beberapa
penulis melaporkan beberapa seri, bagaimanapun, ini tidak harus
menjadi gold standar dari pengobatan. Terdapat kesulitan dalam
memeriksa keseluruhan dari usus kecil dan mengidentifikasi dari
batu empedu, waktu operasi lama, dan melakukan pembedahan
laparoskopi pada pasien dengan dilated bowel secara sekunder akibat
obstruksi intestinal secara teknik sulit. Teknik ini hanya
dilakukan oleh dokter bedah yang sangat berpengalaman pada pasien
pasien khusus.Kesimpulan
Gallstone ileus harus dicurigai pada populasi tua, khususnya
pada pasien wanita dengan tanda dari obstuksi usus tanpa penyebab
lain obstruksi mekanik. Penemuan radiografi dapat menjadi bantuan
pada diagnosis preoperatif yang termasuk pneumobilia, dilatasi
intestinal dengan air/fluid leves, dan batu empedu intraluminal.
Urgent laparotomi dibutuhkan, dan operasi standar yang dilakukan
adalah enterolithotomy. One-stage prosedur termasuk choecystectomy
dengan perbaikan fistula harus dilakukan untuk kasus tertentu,
yaitu pasien yang sehat tanpa adanya phlegmonous yang serius pada
kuadran kanan atas. One stage prosedur ini menambah waktu operasi
dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Enterolithotomy
sendiri cukup pada pasien dengan komorbid yang besar. Two-stage
prosedur harus dilakukan pada pasien muda yang memiliki resiko
komplikasi bilier kedepannya.
Gallstone pancreatitis
Pada tahun 1901, Opie mengusulkan teori untuk pancreatitis yang
melibatkan migrasi dari batu empedu dan obstruksi dari distal
common bile duct dengan akibat perusakan dari sekresi pankreas dan
reflux dari empedu ke pankreatic duct. Pankreatitis akut
menyebabkan lebih dari 200.000 kasus masuk rumah sakit per tahun di
Amerika Serikat. Agen penyebab tersering dari pankreatitis adalah
gallstone pancreatitis dan penyalahgunaan alkohol. Sekitar 80% dari
kasus gallstone pancreatitis ringan dan dapat sembuh sendiri. 20%
dari kasus, bagaimanapun, dapat menjadi berat dan menyebabkan
morbiditas yang signifikan dan mortalitasPatofisiologi
Mekanisme yang pasti dari pankreatitis masih kontroversial.
Bagaimanapun, komponen penting termasuk elemen dari teori Opie dan
teori refluks duodenal, dimana obstruksi dari pancreatic duct dan
refluks dari isi duodenal ke pankreatic duct menyebabkan aktivasi
dari trypsinogen to trypsin pada pankreas dan stimulasi terhadap
mediator inflamasi, secara spesifik interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8,
dan tumor necrosis factor (TNF-). Ditambah, permeabilitas dari sel
endotel berkontribusi untuk destruksi kalenjar pankreas dan
inflamasi.Diagnosis
Pankreatitis akut terdapat gejala nyeri epigastrium yang berat
dan konstan, atau nyeri pada kuadran kanan atas yang menjalar ke
belakang. Mual dan muntah sering sebagai gejala penyerta. Pada
pasien dapat muncul gejala yang bervariasi dari gejala yang ringan
hingga berat, dan dapat berhubungan dengan hipotensi, takikardi,
dan distensi abdomen. Dua pemeriksaan klinis yang dapat mengarahkan
diagnosis, walaupun tidak terlalu sering terlihat, yaitu cullens
sign, yaitu perubahan warna biru disekitar umbilikus, dan Grey
Turners sign, yaitu perubahan warna biru pada pinggang. Penemuan
ini merupakan hasil dari perdarahan pankreatitis yang berat dengan
perdarahan di sekitar area tersebut.
Penemuan laboratorium yang berhubungan dengan gallstone
pancreatitis termasuk peningkatan amylase, biasanya tiga kali dari
batas normal, peningkatan lipase, dan biasanya peningkatan alanine
aminotransfrease (ALT). Studi menunjukan bahwa ketika ALT meingkat
tiga kali dari batas normal, angka positive predictive value
sekitar 95% untuk gallstone pancreatitis. Adanya peningkatan
leukosit mengarahkan keadaan klinis yang berat yang melibatkan
nekrosis pankreas atau cholangitis. Pemeriksaan radiologi awal dari
pankreatitis termasuk pemeriksaan ultrasound untuk mengidentifikasi
batu empedu sebagai penyebab potensial. Pemeriksaan CT abdomen
dapat dipakai untuk pemeriksaan pankreas untuk mengetahui derajat
dari inflamasi, perfusi dari kalenjar dan adanya abses atau
pseudocyst. Secara alternatif, MRI dapat digunakan, yang dapat
memberikan detail yang jelas dari pancreatic duct dan derajat dari
inflamasinya.
Gambar 10. CT scan abdomen dari pankreatitis (A) dan
pankreatitis dengan trombus vena superior mesenteric (B)
Terdapat beberapa kriteria untuk menggolongkan keparahan dari
penyakit gallstone pancreatitis dan bertujuan untuk menentukan
prognosis. Sistem yang dipergunakan secara luas adalah kriteria
Ranson, yang mana membagi menjadi lima kriteria saat masuk rumah
sakit, dan enam kriteria saat 48 jam setelah masuk rumah sakit.
Kriteria Ranson secara lanjut dibagi menjadi non-bilier
pankreatitis dan bilier pankreatitis (tabel 1). Adanya tiga
kriteria adalah karakteristik dari penyakit yang ringan, lebih dari
3 kriteria dikatakan sebagai pankreatitis berat, dan adanya 5
kriteria adalah prediksi dari pankreatitis berat dengan angka
mortalitas lebih dari 40%. Skala lain yang biasa digunakan untuk
menentukan prognosis termasuk Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation (APACHE) II score, Sequential Organ Failure Assesment
(SOFA) score, dan Glasgow Scale. Gagal organ, insufisiensi
pernafasan dan gagal ginjal merupakan tanda dari penyakit yang
berat. Indikator prognosis ini, sayangnya, tidak dapat menentukan
secara tepat bagaimana untuk memanajemen pancreatitis.
Bagaimanapun, siapapun yang memiliki pankreatitis berat kemungkinan
membutuhkan ICU untuk perawatanTabel 1.
Kriteria Ranson
Pankreatitis non-bilierPankreatitis bilier
Admission
Umur
WBC (mm3)
Glukosa (mg/dL)
Lactose dehydrogenase (IU/L)
Aspartate aminotransferase (IU/L)
Dalam 48 jam
Peningkatan serum urea nitrogen
PaO2 (mmHg)
Serum kalsium (mg/dL)
Penurunan hematokrit (points)
Base deficit (mEq/L)
Fluid sequestration (L)>55
>16.000
>200
>350
>250
>5
4
>6>70
>18.000
>220
>400
>250
>2
5
>4
Pengobatan
Penanaganan awal dari pankreatitis adalah suportif dengan
pengistirahatan usus, resusitasi cairan intravena secara agresif,
mengontrol nyeri, antiemetic, dan suplemen oksigen. Sebagian besar
kasus pankreatitis termasuk ringan dan dapat sembuh sendiri tanpa
komplikasi. Pada kasus pankreatitis berat, monitor dan dukungan
secara intensif sangat diperlukan. Bebrapa komplikasi yang spesifik
pada pankreas yang dapat terjadi, termasuk pancraetic pseudocyst,
necrosis, dan pembentukan abses. Management pembedahan dan
endoskopi dari acute gallstone pancreatitis dan komplikasinya telah
menjadi kontroversi dan menjadi topik untuk penelitian dan diskusi.
Beberapa terapi yang sudah ada pada sebagian besar pemikiran adalah
ERCP, cholecystectomy, dan pengobatan dari komplikasi
pankreatitis.
Gambar 11. (A,B) CT scan abdomen dengan komplikasi pankreatitis
dengan pembentukan pseudokista
Gambar 12. CT scan abdomen dari pankreatitis berat dengan
nekrosis
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography
Peran dari ERCP dan endoscopic sphincterotomy pada penanganan
gallstone pancreatitis telah berkembang dari tahun ke tahun.
Indikasi absolut untuk melakukan ERCP dan shincterotomy secara dini
adalah cholangitis dan obstructive jaundice. Nilai dari ERCP pada
kasus lainnya dari gallstone pancreatitis telah menjadi topik pada
review review yang signifikan. Terdapat variasi yang besar pada
design penelitian dan kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian
yang terpublikasi, membuat sulit untuk menentukan konsensus
penganganan pankreatitis. Pedoman dari American Gastroenterology
Association tahun 2007 mengakui bahwa data yang ada terlalu
kontroversi untuk menyediakan rekomendasi definitif untuk
penggunaan ERCP secara dini. Beberapa rekomendasi, bagaimanapun,
telah ditujukan untuk penggunaan ERCP pada kasus gallstone
pancreatitis di berbagai literatur review. Neoptolemos merupakan
seseorang yang pertama kali meneliti tentang peran dari ERCP secara
dini dibandingkan dengan konvensional terapi untuk gallstone
pancratitis pada penelitannya secara randomized-control pada tahun
1988. Dirinya menemukan tak ada perbedaan dalam angka mortalitas.
Bagaimanapun, sebagian besar komplikasi berkurang pada grup ERCP
dibanding dengan terapi konvensional. Beberapa studi pada tahun
1990an juga menemukan penurunan komplikasi pada grup ERCP pada
mereka yang memiliki penyakit berat. Bagaimanapun, tidak ada
perbedaan angka mortalitas. Rekomendasi saat itu mengatakan bahwa
ERCP secara dini aman, mengurangi sepsis, dan mengurangi komplikasi
dari pankreatitis berat. Bagaimanapun, ERCP tidak memiliki
keuntukngan pada kasus pankreatits ringan.
Gambar 13. (A, B) CT scan abdomen memperlihatkan pankreatitis
dengan nekrosis terinfeksi/abses
Penggunaan ERCP postoperatif, setelah identifikasi dari batu
pada common bile duct pada cholangiogram intraoperatif, telah
dievaluasi. Chang dan kolega melakukan prospecctive randomized
trial yang membandingkan penggunaan ERCP preopertif dan
postoperatif untuk menentukan jika ERCP harus digunakan preoperatif
secara rutin. Hasilnya bahwa ERCP postoperatif selektif berhubungan
dengan berkurangnya hari dirawat di rumah sakit, biaya lebih
sedikit dan tidak ada peningkatan komplikasi.
Oria, pada tahun 2007, melakukan penelitian randomized-control
yang secara spesifik memasukan pasien yang memiliki obstruksi
bilier tetapi menghilangkan itu dengan cholangitis. Pasien ini
secara acak mendapatkan ERCP dini atau terapi konservatif.
Penelitian ini menunjukan tidak adanya perbedaan dari angka
mortalitas, morbiditas, atau komplikasi dari kedua grup. Sebuah
meta-analysis telah dilakukan oleh Petrov dan kolega dan review
oleh Behrns dan kolega, keduanya pada taun 2008, menyimpulkan bahwa
ERCP secara dini tidak meningkatkan mortalitas atau kompliasi,
khususnya pada kasus yang ringan yang tidak terlalu dibutuhkan
prosedur untuk acute gallstone pancreatitis. Oleh karena itu
penggunaan ERCP harus dibatasi pada pasien yang memiliki
cholangitis, obstruksi bilier yang tidak membaik dengan terapi
konservatif, dan pada pasien tua atau mereka dengan resiko
pembedahan yang besar.
Cholecystectomy
Karena penyebab yang mungkin dari pancreatitis dengan adanya
batu empedu adalah adanya batu empedu pada common bile duct,
sehingga cholecystectomy merupakan kunci untuk pencegahan
kekambuhan. Waktu melakukan cholecystectomy berhubungan dengan
derajat dari pankreatitis, kesehatan pasien dan saran dari dokter
bedah. Pada grup pasien dngan pankreatitis ringan, dapat diterima
bahwa cholecystectomy dengan cholangiogram intraoperatif harus
dilakukan saat masuk rumah sakit pertama untuk mencegah dari
kekambuhan pankreatitis. Angka kekambuhan dari gallstone
pancreatitis jika masih adanya kantung empedu dilaporkan sekitar
50% sampai 90%. Sebagian besar dokter bedah menunda pembedahan
hingga nilai amilase dan lipase telah normal atau mendekati batas
normal. Studi prospektif telah dilakukan oleh Rosing dan kolega
untuk mengevaluasi cholecystectomy secara dini (dalam 48 jam
setelah masuk rumah sakit) pada pasien dengan gallstone
pancreatitis ringan hingga sedang. Penelitian ini menerangkan bahwa
tidak adanya peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada grup
dini, dan adanya hari dirawat dirumah sakit lebih singkat pada
cholecystectomy secara dini.Waktu untuk melakukan cholecystectomy
pada pankreatitis berat masih kontroversial. Pada grup pasien
sering memiliki komplikasi dari pankreatitis termasuk acute
pseudocyst formation atau nekrosis pankreas, yang dapat membuat
operasi lebih sulit. Beberapa penulis telah memeriksa waktu untuk
cholecystectomy pada pancreatitis berat, dan itu terlihat bahwa
cholecystectomy secara dini tidak diindikasikan dan dapat
meningkatkan morbiditas. Rekomendasi diberikan untuk penundaan
cholecystectomy untuk 4 sampai 6 minggu setelah serangan
pankreatitis akut. Pada titik ini, jika ada sisa pseudocyst, ini
mungkin sudah dapat ditangani secara bedah pada waktu
cholecystectomy. Selain itu, inflamasi dari serangan akut
keungkinan telah tertangani. Untuk melindungi dari resiko potensial
kekambuhan pankreatitis, sebagian mengadvokasi penggunaan ERCP
dengan sphincterotomy pada saat awal masuk rumah sakit. Sanjay dan
kolega mendemonstrasikan bahwa sphincterotomy dini dengan
cholecystectomy interval pada pasien dengan pankreatitis berat
memiliki angka morbiditas minimal dan rendahnya angka dirawat lagi.
Pada pasien dengan komorbid signifikan dimana cholecsystecomy
terlalu berisiko tinggi, ERCP dengan sphincterotomy telah
memperlihatkan sebagai pilihan yang baik. Sphincterotomy telah
bertoleransi secara baik, dengan rendahnya angka kekambuhan dari
pankreatitis.
Managemen pembedahan dari komplikasi pankreatitis
Ruang lingkup dari manajemen operatif acute gallstone
pancreatitis terbatas pada penanganan komplikasi yang berhubungan
dengan penyakit ini. Pembedahan diindikasipkan pada pasien yang
memiliki nekrosis yang terinfeksi, perdarahan pada pseudoaneurysms
dari pankreas, dan perforasi viscus dari nekrosis iskemik. Pada
pasien dengan nekrosis steril yang memiliki kegagalan multiorgan
progresif yang tidak berespon dengan manajemen medis harus
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan operasi. Bagaimanapun
tidak ada konsensus yang memuat tentang ini. Pada fase awal dari
pankreatitis, pelepasan mediator proinflamasi menstimulasi respon
inflamasi sistemik dan berkembang menjadi SIRS (systemic
inflammatory response syndrome). Ini dapat terjadi tanpa adanya
infeksi aktif. Operasi pada saat periode ini dapat meningkatkan
progresivitas dari respon inflamasi dan dapat menjadi lebih buruk
daripada keuntungan untuk pasien. Angka mortalitas meningkat hingga
65% telah dilaporkan pada pasien yang dioperasi lebih awal pada
kasus pankreatitis berat.
Saat adanya nekrosis yang terinfeksi pada pankreatitis akut,
angka mortalitas mendekati 100% tanpa intervensi operatif.
Perbedaan antara nekrosis steril dan terinfeksi adalah manajemen
yang tepat. Ini ditentukan dengan fine neddle aspiration (FNA),
yang mana dapat dilakukan dengan bantuan CT atau USG. FNA harus
dilakukan pada pasien dengan gagal organ yang memburuk,
leukositosis, atau status klinis yang memburuk, yang sering terjadi
pada hari ke-10 dan ke-14 setelah munculnya penyakit. Walaupn
dengan pembedahan yang tepat dan pengobatan antibiotik, angka
mortalitas pada nekrosis yang terinfeksi mendekati 50%.
Terdapat beberapa pilihan pembedahan untuk menangani pasien
dengan nekrosis pankreas, setiap pembedahan dengan tujuan
mengontrol fokus infeksi dan membatasi jumlah dari jaringan
pankreas yang hilang. Pilihan pembedahan termasuk necrosectomy,
yang dikombinasi dengan open packing, planned staged relaparotomy
dengan repeated lavage, atau close continuous lavage menggunakan
drainase. Angka mortalitas dilaporkan sekitar 15% hingga 25%.
Seringnya, teknik invasif minimal telah dilakukan untuk
debridement, termasuk video-assisted retroperitoneal drainage,
laparoscopic transfperitoneal necrosectomy, dan endoscopic
drainage. Bukti pada literatur masih kurang, sehingga tidak ada
rekomendasi dapat dibuat untuk mendukung atau menolak penggunaannya
hingga saat ini. Ini harus dilakukan pada dokter bedah yang
memiliki pengalaman dan profisien dalam melakukan laparoskopi.
Pembentukan pseudocyst merupakan hasil dari gangguan pancreatic
duct secara sekunder dan peningkatan tekanan dan ekstravavasi dari
cairan pankreas. Pseudokista ini ditutup oleh kapsul dinding
fibosis reaktif, yang menjadi matang pada 4 hingga 6 minggu menuju
kekuatan yang maksimal. Pseudocyst yang kurang dari 6 cm
menyebabkan komplikasi yang kecil dan dapat diobservasi. Mereka
dengan kista 6 cm atau lebih, bagaimanapun, mungkin membutuhkan
drainase operatif. Pseudokista yang besar dan tidak ditangani dapat
menyebabkan nyeri abdomen, obstruksi bilier atau gastroduodenal,
atau perdarahan dari pseudoaneurysm pada dinding kista. Oleh karena
itu, setelah dalam periode 6 minggu, yang membiarkan dinding kista
menjadi matang, tidakan operasi dapat dilakukan. Penanganan dapat
dikakukan melalui endoscopic transgastric drainage jika pseudokista
simpel, kecil, dan tanpa debris. Pembedahan yang membentuk drainase
enteric disarankan pada pseudokista yang besar atau berhubungan
dengan nekrosis pankreas, lokulasi multipel, atau dipertimbangkan
debris. Pilihan operasi termasuk cystgatrostomy, cystduodenostomy,
Roux-en-Y cystjejunostomy, atau lateral pancreaticojejunostomy,
tergantung letak dari pseudokista. Drainase bedah berhubungan
dengan angka morbiditas hingga 20-30% dan mortalitas sekitar 2%
hingga 6%. Kekambuhan dikatakan langka, terjadi sekitar 5% pada
pasien.
Kesimpulan
Acute gallstone pancreatitis lebih sering ringan dan dapat
sembuh sendiri. pada jumlah pasien yang signifikan, bagaimanapun,
kasus ini dapat menjadi berat dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Data yang terdapat pada literatur
mengilustrasikan kontroversi dari manajemen dan evolusi konstan
dari tindakan. Terdapat beberapa kesimpulan, bagaimanapun, itu
dapat dibuat dengan dukungan dari literatur dalam penanganan
gallstone pancreatitis. Pertama, untuk gallstone pancratitis
ringan, tidak adanya indikasi untuk ERCP secara dini. Penanganan
harus dilakukan temasuk laparoscopic cholecystectomy dengan
intraoperatif choangiogram pada saat masuk rumah sakit, dan
berikutnya ERCP dan sphinterotomy dilakukan jika adanya obstruksi
oleh batu. Kedua, pada kasus pankreatitis berat, intervensi
pembedahan diindikasikan untuk nekrosis pankreas yang terinfeksi,
perdarahan atau perforasi intestinal. Penanganan dari komplikasi
lambat pankreatitis harus ditunda hingga pasien stabil secara
klinis. Beberapa intervensi, seperti drainase pseudokista, harus
ditunda hingga 4 sampai 6 minggu untuk membiarkan dinding kista
matang. Cholecystectomy dapat dilakukan secara bersamaan. Ketiga,
pada pasien dengan klinis memburuk, dan pada pasien yang memiliki
disfungsi organ secara progresif yang tidak dapat membaik dengan
manajeen medis, pembedahan mungkin dapat diindikasikan. FNA dan
kulturs harus dilakukan dengan tanda dari sepsis atau penurunan
klinis. Pembedahan diindikasikan pada pasien yang berkembang
menjadi nekrosis terinfeksi dan abses pankreas yang lambat.
Terakhir, pada pasien dengan pankreatitis berat, atau memiliki
resiko tinggi pembedahan atau memiliki komorbid yang banyak, ERCP
dan sphincterotomy dapat dilakukan untuk mengurangi dari episode
rekuren pankreatitis dan untuk menangani obstruksi bilier.
Lost Gallstones
Ketika cholecystectomy hanya sebagai pilihan yang tersedia untuk
pasien, sasaran terbaik adalah untuk menyelesaikan cholecystectomy
tanpa membuka kantung empedu dan meluberkan batu. Untuk dokter
bedah, hal itu merupakan penghargaan baik untuk dapat melakukan
operasi ini. Kenyataannya, tidak ada konsekuensi serius untuk
meluberkan batu dan empedu seperti mereka menggirigasi dan
mendapatkan sangat mudah. Dalam tindakan open cholecystectomy,
kuadran kanan atas dikemas secara rutin dan Morrisons pouch
disumbat dengan pad laparotomi, sehingga tumpahan dari kantung
empedu tidak dapat pindah ke area tersebut. Selama laparoskopi,
tumpahan dari empedu masih relatif ringan, bagaimanapn, hilangnya
batu empedu dapat berakibat morbiditas. Batu dapat secara cepat
menjadi tersebar luas pada kavitas abdomen, meskipun sebagian besar
diselesaikan dengan cepat dengan irigasi dan gravitasi menuju
retrohepatic recess (Morrisons pouch) atau diatas dan lateral dari
hati. Batu tersebut lalu dapat menjadi sarang untuk inflamasi, dan
menghadapi empedu yang terinfeksi, dan fokus dari pembentukan
fistula dan abses.
Gambar 14. Cholecysto-cholocutaneus fistula
Perforasi dari kantung empedu dan tumpahnya empedu dan batu
merupakan komplikasi yang sering terjadi dari laparoscopic
cholecystectomy. Review dari literatur memperlihatkan insiden dari
perforasi 20% hingga 40%. Faktor resiko untuk perforasi termasuk
kolesistisis akut, umur pasien, adanya batu pigmentasi, jumlah dari
batu empedu (>15), dan perfroma dari operator. Hilangnya batu
empedu dapat terjadi pada diseksi yang sulit, atau saat ekstrasi
dari kantung empedu tidak termasuk dalam pengambilan kantung.
Gambaran komplikasi yang berhubungan dengan hilangnya batu
empedu termasuk, infeksi luka, fibrosis, obstruksi usus halus,
pembentukan abses intraabdomen, demam, fistula, kehilangan berat
badat dan sinus kutaneus. Fistula dapat terjadi sebagai
bilio-kutaneus, colocutaneus, bilio colocutaneus, dan bilio-enteric
secara alamiah. Batu empedu yang menetap pada Morrisons pouch
mungkin dapat berkembang menjadi abses kronis yang dapat memaksa
secara posterior dan ada secara eksternal keluar dari area lumbal
dan panggul. Batu yang menetap pada omentum gastrocolic dapat
menghasilkan nyeri yang berat, masa fibrosis yang sangat memerlukan
eksplorasi. Iritasi kronik dari batu pada usus dapat menghasilkan
fistula usus dan gallstone ileus.
Gambar 15. Abses pada retrohepatic recess
Komplikasi ini secara lanjut dapat dibagi menjadi komplikasi
segera dan komplikasi lambat berdasarkan waktu kejadiannya. Masalah
yang segera sangat mudah untuk didiagnosis. Pasien akan terdapat
segera setelah pembedahan dengan adanya infeksi lokal yang
berhubungan dengan debris batu. Beberapa akan menjadi demam pada
awal postoperatif tanpa adanya bukti infeksi pada area lainnya.
Komplikasi lambat dilaporkan dapat terjadi hingga 8 tahun antara
cholecystectomy dan munculnya gejala baru. Karena dari
keterlambatan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dari munculnya
abses atau fistula, terkadang masalah baru ini tidak dihubungkan
dengan sebelumnya. mobilitas dari populasi dan perubahan dari
penyedia layanan kesehatan dan rumah sakit membuat jarak temporal
dan geografis antara cholecystectomy dan munculnya gejala baru.
Pencatatan mungkin buruk, walaupun ketika pasien masih pada satu
sistem pelayanan kesehatan, sejak dokter bedan mungkin enggan untuk
menyediakan bukti pada catatan operasi bahwa kantung empedu telah
perforasi, atau batu telah tumpah.
Workup diagnostik pada pasien ini dapat melibatkan CT scan,
endoskopi, barium, dan USG. Pilihan terakhir mungkin yang paling
membantu untuk menentukan penyebab, sebagai itu hal terbaik dalam
menggambarkan batu. CT scan akan mendiagnosis abses dan beberapa
fistula. Studi kontras dapat mendiagnosis fistula enterocutaneus,
dan enterocolonic. ERCP mungkin dapat digunakan untuk menemukan
fistula bilio-enteric, walaupun barium retrograde dapat juga
memperlihatkan hal tersebut.
Gambar 16. Massa omentum dengan batu empedu
Penanganan dari komplikasi hilangnya batu empedu dapat semudah
membuka sisi sakit dan evakuasi debris. Untuk kasus dengan abses
kronis intraabdomen dengan fistula subkutan, penanganan membutuhkan
membuka pendekatan anterior untuk membuka dan debridement, dengan
pengangkatan semua debris batu. Untuk abses kronis posterior,
drainase posterior pada rusuk ke 12 dapat menghindar dari sulitnya
eksposur anteiru untuk debridement dibelakang hati. Penanganan dari
fistula bilio-cutaneus, bilio-enteric, dan bilio-colonic adalah
mengangkat dari debris batu dan penutupan dari fistula bilier dan
reseksi dari usus yang terlibat. Gallstone ileus membutuhkan
enterotomy dan pengangkatan dari batu empedu.
Gambar 17. CT scan dari batu empedu yang menyebabkan obstruksi,
gallstone ileus
Konsekuensi dari hilangnya batu empedu saat laparoskopi
cholecystectomy dapat mencapai jauh dari operasi sebenarnya.
Mungkin kesulitan terbesar dalam mendiagnosis dan menangani kondisi
ini adalah ketidakmampuan secara sering berhubungan dengan prosedur
pasien rawat jalan dengan masalah intraabdomen kronis dan seringnya
berat. Pencatatan absolut oleh dokter bedah bahwa kantung empedu
telah rupture, batu tercecer, dan bagaimana mereka menerima, akan
membantu mendiagnosis komplikasi lambat. Jumlah yang nyata dari
komplikasi hilangnya batu empedu sangat tidak mungkin untuk
dicatat, karena seringnya pasien datang dari institusi lain, yang
mendapatkan pengetahuan tentang jumlah total dari kolesistektomi
yang dilakukan sangat sulit. Memon dan kolega, mendokumentasikan
dari pengalaman dokter bedah selama 7 tahun dengan 856 pasien,
berharap memberikan wawasan yang terbaik. Dirinya melaporkan 106
kasus perforasi kantung empedu dengan 4 komplikasi segera dan satu
komplikasi lambat. Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah
hilangnya batu empedu? Berhadapan dengan kantung empedu yang
inflamasi secara akut, dokter bedah harus melakukan dekompresi dini
dengan alat penghisap besar, dan menjahit atau klip pada dinding
kantung empedu yang terbuka. Pada saat diseksi yang sulit,
diharapkan dokter bedah yang datang harus mengambil bagian pada
operasi. Dan jika kantung empedu robek, peletakan awal dari kantung
dibawah kantung empedu dapat memberikan dokter bedah untuk
mengeluarkan batu dari kantung empedu kedalam kantung. Apa yang
lalu dilakukan dokter, ketika perforasi dan luberan batu terjadi?
Berdasarkan semua ketersediaan data, pilihan terbaik untuk
memastikan mendapatkan semua batu empedu yang ilang, irigasi secara
ektensif, dipertimbangkan menggunakan antibiotik jangka pendek, dan
mendokumentasikan perforasi pada catatan operasi. Hilangnya batu
tidak sebagai mandat untuk perubahan terbuka, walaupun kontaminasi
masif dengan batu pigmen dapat menjadi jaminan.
Gambar 18. Lost gallstone yang ditemkan saat laparotomi