KARAKTERISTIK HISTOPATOLOGI MELANOMA MALIGNA DI BAGIAN PATOLOGI
ANATOMI RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG TAHUN 2009-2013Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memeroleh gelar
Sarjana Kedokteran (S. Ked)
Oleh:
Nisrina Ariesta Syaputri 04111001011F A K U L T A S K E D O K T
E R A N
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015HALAMAN PENGESAHANKARAKTERISTIK HISTOPATOLOGI MELANOMA
MALIGNA DI BAGIAN PATOLOGI ANATOMI RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
TAHUN 2009-2013
Oleh:
Nisrina Ariesta Syaputri
04111001011SKRIPSIDiajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna
memeroleh gelar Sarjana Kedokteran
Palembang, 17 Januari 2015Fakultas Kedokteran Universitas
SriwijayaPembimbing I
Merangkap Penguji I
dr. Zulkarnain Musa, Sp.PA
..
NIP. 195909141986012001Pembimbing IIMerangkap penguji II
dr. Indri Seta Septadina, M.Kes
..
NIP. 198109162006042002Penguji III
dr. Hj. Mezfi Unita, Sp.PA (K)
..
NIP. 194912241967022001Mengetahui,
Pembantu Dekan 1
dr. Mutiara Budi Azhar, SU., M.Med.Sc
NIP. 1952 0107 198303 1 001PERNYATAAN
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini dengan ini menyatakan
bahwa:
1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah
diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister
dan/atau doktor*), baik di Universitas Sriwijaya maupun di
perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian Saya
sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan verbal Tim
Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang
telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara
tertulis dengan dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan
disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini Saya buat dengan sesungguhnya dan apabila
dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam
pernyataan ini, maka Saya bersedia menerima sanksi akademik atau
sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi
ini.
Palembang, Januari 2015Yang membuat pernyataan
(Nisrina Ariesta Syaputri)*Coret yang tidak perlu
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Sriwijaya, saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Nisrina Ariesta SyaputriNIM
: 04111001011Program Studi
: Pendidikan Dokter UmumFakultas
: Kedokteran
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Hak Bebas Royalti
Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah
saya yang berjudul:
Karakteristik Histopatologi Melanoma Maligna di Bagian Patologi
Anatomi RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang tahun 2009-2013beserta
perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya berhak
menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Palembang
Pada tanggal: Januari 2015 Yang Menyatakan, (Nisrina Ariesta
Syaputri)
ABSTRAK
KARAKTERISTIK HISTOPATOLOGI MELANOMA MALIGNA DI BAGIAN PATOLOGI
ANATOMI RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG TAHUN 2009-2013
(Nisrina Ariesta Syaputri, Januari 2015, xiv + 73 halaman)
Fakultas Kedokteran Universitas SriwijayaLatar Belakang:
Melanoma maligna merupakan tumor ganas yang berasal dari melanosit
dengan gambaran berupa lesi kehitam-hitaman pada kulit. Melanoma
maligna merupakan satu dari tiga jenis kanker kulit yang mempunyai
insiden terendah namun angka kematian yang disebabkannya cenderung
lebih besar yaitu 75% akibat kanker kulit. Pengetahuan mengenai
karakteristik histopatologi sangat penting dalam menegakkan
diagnosis melanoma maligna secara dini sehingga komplikasi dan
progresivitas penyakit dapat dicegah. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik histopatologi melanoma maligna pada
sediaan di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2009-2013.Metode: Jenis penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif observasional dengan pendekatan
cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah 29.175 pasien
yang melakukan pemeriksaan histopatologi di Bagian Patologi Anatomi
RSMH selama 2009-2013. Dari 29.175 rekam medik tersebut, diperoleh
30 kasus melanoma maligna yang memenuhi kriteria inklusi.Hasil:
Angka kejadian melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2009-2013 adalah 0.103%. Melanoma
maligna lebih banyak ditemukan pada perempuan (70%) daripada
laki-laki (30%), dan paling sering terjadi pada kelompok usia 45-53
tahun dengan persentase 30%. Karakteristik histopatologi yang
paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah subtipe nodular
melanoma (100%). Simpulan: Angka kejadian melanoma maligna di
Bagian Patologi Anatomi RSMH tahun 2009-2013 adalah 0,103%, dengan
angka kejadian tertinggi pada tahun 2012 yaitu 0.28%. Nodular
melanoma merupakan subtipe yang paling banyak ditemukan.
Kata Kunci: melanoma maligna, nodular melanoma, histopatologi.
ABSTRACT
HISTOPATHOLOGICAL CHARACTERISTIC OF MALIGNANT MELANOMA AT
ANATOMICAL PATHOLOGY DEPARTMENT OF RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG IN 2009-2013
(Nisrina Ariesta Syaputri, January 2015, 69 pages)
Faculty of Medicine Sriwijaya University
Background: Malignant melanoma is an malignant tumour derived
from melanocyte with a macroscopic characteristic like a blackish
lesion in the skin. Malignant melanoma is one of the three types of
skin cancer which has the lowest incidence of mortality, but the
number of deaths is tend to be larger, which causes 75% of deaths
from skin cancer. Knowledge of the histopathological
characteristics is very important in the diagnosis of malignant
melanoma at an early stage so that the complications and
progression of the disease can be prevented. This study aims to
know about the histopathological characteristic of malignant
melanoma specimen at Anatomical Pathology Department of RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang in 2009-2013. Method: The study was
observational descriptive using cross sectional approach.
Population in this research are 29.175 patients who did the
histopathological examination. From those 29.175 medical records
obtained 30 malignant melanoma cases which met the inclusion
criteria.
Result: The incidence of malignant melanoma at Anatomical
Pathology of RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang in 2009-2013 was
0.103%. Malignant melanoma is more common in women (70%) than men
(30%) and most often occurs in the age group of 45-53 years with a
percentage of 30%. The most common histopathological
characteristics found in this study is nodular melanoma (100%).
Conclusion: The incidence of malignant melanoma at Anatomical
Pathology of RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang in 2009-2013 was
0.103% with the highest incidence is 0.28% in 2012. Nodular
melanoma was the most frequently encountered subtype of malignant
melanoma. Keywords: malignant melanoma, nodular melanoma,
histopathologyKATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. karena atas
rahmat dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis
dengan judul Karakteristik Histopatologi Melanoma Maligna di Bagian
Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun
2009-2013. Solawat dan salam tak pernah henti penulis ucapkan
kepada Rasulullah SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pembimbing I dr.
Zulkarnain Musa, Sp.PA, Pembimbing II dr. Indri Seta Septadina,
M.Kes, Penguji dr. Mezfi Unita, Sp.PA (K), serta Penguji Etik dr.
Rizal Sanif, Sp.OG(K) atas kesabaran dalam membimbing penulis dalam
pengerjaan karya tulis ini dari awal mulai hingga karya tulis ini
selesai dibuat.Terima kasih pula kepada dr. Ellys, dr. Ayu, Sp.KK
yang telah membimbing selama pembuatan skripsi ini, juga kepada Mba
Ayu, Mba Eka sebagai staf etik yang sudah membantu mengurus etik
dari pertama pengajuan sampai penelitian ini resmi dinyatakan lulus
etik.
Tidak pernah berhenti penulis mengucapkan terima kasih kepada
kedua orang tua penulis, Ir. H. Amin Mansur, SH, MH dan Hj. Oktiana
Dwi Putra Herawati, S.Pd, M.Pd atas doa dan dukungan baik materi
maupun moril dalam pengerjaan karya tulis ini. Terima kasih pula
penulis ucapkan kepada adik penulis Alviana Dwi Syaputri dan Naufal
Afif Syaputra serta teman spesial penulis Muhammad Azhar Aswady, ST
atas dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini,
kepada sahabat-sahabat penulis Qonitah, Marty, Sonya, Ainani,
Delila, Maulia, Fitri, Siti, Amelia, Rike dan Tiara. Terakhir
penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman sejawat
penulis serta kontribusi banyak pihak atas dukungan dan inspirasi
serta waktu yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak sekali
kekurangan dan kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan untuk kebaikan kita bersama. Semoga karya
tulis ini bermanfaat bagi banyak pembaca.
Palembang, Januari 2015Penulis
DAFTAR ISIHalaman
Halaman Judul
...............................................................................................
Halaman Pengesahan
.....................................................................................
Pernyataan
......................................................................................................
Abstrak
...........................................................................................................
Daftar Isi
........................................................................................................
Daftar Tabel
...................................................................................................
Daftar Gambar
...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
............................................................................
1.2. Rumusan Masalah
.......................................................................
1.3. Tujuan Penelitian
........................................................................
1.4. Manfaat Penelitian
......................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Histologi Kulit
.............................................................................
2.1.1. Epidermis
..........................................................................
2.1.2. Dermis
...............................................................................
2.2. Melanoma Maligna
.....................................................................
2.2.1. Definisi
..............................................................................
2.2.2. Epidemiologi
.....................................................................
2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko
...............................................
2.2.4. Klasifikasi
.........................................................................
2.2.5. Patofisiologi
......................................................................
2.2.6. Diagnosis
...........................................................................
2.2.7.
Staging..............................................................................
2.2.8. Tatalaksana
........................................................................
2.2.9. Pencegahan
........................................................................
2.2.10. Prognosis
.........................................................................
2.3. Kerangka Teori
............................................................................
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
............................................................................
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
.....................................................
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
..................................................
3.3.1. Populasi
.............................................................................
3.3.1.1. Populasi Target
.......................................................
3.3.1.2. Populasi Terjangkau
................................................
3.3.2. Sampel
...............................................................................
3.3.2.1. Besar Sampel
..........................................................
3.3.2.2. Cara Pengambilan Sampel
......................................
3.3.3. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
...............................................
3.3.3.1. Kriteria Inklusi
........................................................
3.3.3.2. Kriteria Eksklusi
.....................................................
3.4. Variabel Penelitian
......................................................................
3.5. Definisi Operasional
...................................................................
3.5.1. Karakteristik Histopatologi Melanoma Maligna
...............
3.5.1.1. Definisi
....................................................................
3.5.1.2. Alat Ukur
................................................................
3.5.1.3. Cara Ukur
................................................................
3.5.1.4. Hasil Ukur
...............................................................
3.5.2. Prevalensi Melanoma Maligna
..........................................
3.5.2.1. Definisi
....................................................................
3.5.2.2. Alat Ukur
................................................................
3.5.2.3. Cara Ukur
................................................................
3.5.2.4. Hasil Ukur
...............................................................
3.5.3. Usia
...................................................................................
3.5.3.1. Definisi
....................................................................
3.5.3.2. Alat Ukur
................................................................
3.5.3.3. Cara Ukur
................................................................
3.5.3.4. Hasil Ukur
...............................................................
3.5.4. Jenis Kelamin
....................................................................
3.5.4.1. Definisi
....................................................................
3.5.4.2. Alat Ukur
................................................................
3.5.4.3. Cara Ukur
................................................................
3.5.4.4. Hasil Ukur
...............................................................
3.6. Cara Pengumpulan Data dan Alur Penelitian
..............................
3.7. Cara Pengolahan dan Analisis Data
............................................
3.8. Kerangka Operasional
...............................................................
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Hasil
............................................................................................
4.2. Pembahasan ..................
..............................................................
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
........................................................
5.1. Kesimpulan
.................................................................................
5.2. Saran
............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................
LAMPIRAN
...................................................................................................
i
ii
iii
v
vii
1
3
3
4
5
6
11
12
12
12
14
18
28
30
32
34
35
35
37
38
38
38
38
38
38
38
38
38
39
39
39
39
39
39
39
39
39
40
40
40
40
40
40
40
40
40
41
41
41
41
41
41
41
42
42
43
44
47
58
58
58
60
63
DAFTAR TABELTabel
Halaman
Tabel 1. Tipe jenis kulit menurut Fitzpatrick
..............................................
Tabel 2. Angka kejadian melanoma maligna
..............................................
Tabel 3. Distribusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan usia
............
Tabel 4. Distribusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan
jenis
kelamin
..........................................................................................
Tabel 5. Distribusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan
gambaran histopatologi
..................................................................................
16
45
46
46
47
DAFTAR GAMBAR
Gambar HalamanGambar 1. Kulit normal denganlapisan epidermis,
serta dermis papilar danretikular. Epidermis terdiridaristratum
basale (SB), stratum spinosum (SS), stratum granulosum (SG),dan
stratum corneum (SC)
...............................................................
Gambar 2. Melanosit di dermo-epidermal junction
....................................
Gambar 3. Sel Langerhans sebagai sel dendritik didalam
lapisansel
spinosa
.......................................................................................
Gambar 4. Sel merkel
..................................................................................
Gambar 5. Angka kejadian berdasarkan usia untuk melanoma maligna
per
100.000 populasi didunia
...........................................................
Gambar 6. Gambaran asimetris superficial spreading melanoma
(SSM) di
punggung atas
............................................................................
Gambar 7. Superficial spreading
melanoma................................................
Gambar 8.Single cell dan sarang tumor yang berbentuk
iregular
disepanjang dermo-epidermal junction
......................................
Gambar 9. SSM yang invasif ditandai dengan adanya nukleus
yang
pleomorfik dan infiltrat limfosit didasarnya
...............................
Gambar 10. Nodular melanoma
..................................................................
Gambar 11. Nodular melanoma: Didalam dan diatas
dermo-epidermal
junction, terdapat sel epiteloid melanoma yang terlihat
sebagai single unit dan sarang tumor yang bervariasi dalam
ukuran dan bentuk
......................................................................
Gambar 12. Nodular melanoma yang menunjukkan penyebaran lesi
sel
yang tidak simetris
....................................................................
Gambar 13. Sel tumor yang terdiri dari melanosit yang besar
dan
pleomorfik
.................................................................................
Gambar 14. Lentigo maligna melanoma di bagian muka yang
menggambarkan lesi lebar yang datar, tidak teratur dengan
warna yang bervariasi
..............................................................
Gambar 15. Lentigo maligna: proliferasi lentiginous dari
melanosit pada
lapisan basal dan sepanjang folikel rambut. Epidermis
mengalami atrofi
........................................................................
Gambar 16. Lentigo maligna melanoma: pertumbuhan pagetoid
fokal
yang tampak pada proliferasi junctional termasuk sarang
tumor dari melanosit atipik
......................................................
Gambar 17. Acral lentiginous melanoma: lesi berpigmen di
subungual
yang meluas kekulit disampingnya
............................................
Gambar 18. Acral lentiginous melanoma di aspek lateral telapak
kaki
yang menunjukkan batas pigmentasi yang iregular dan sedikit
lesi ulseratif
................................................................................
Gambar 19. Acral lentiginous melanoma menunjukkan adanya
acanthosis, elongasi dari rete ridges, melanosit atipik yang
lebar, nukleus dan nukleolus yang aneh serta sitoplasma yang
dipenuhi oleh granula melanin
..................................................
Gambar 20. Acral lentiginous melanoma, adanya proliferasi
lentiginous
dari melanosit atipik didasar tumor
..........................................
Gambar 21. Klasifikasi TNM dari melanoma maligna
...............................
Gambar 22. Kasus melanoma maligna tahun 2009-2013
............................
Gambar 23. Distibusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan usia
........
Gambar 24. Distibusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan
jenis kelamin
...................................................................................
Gambar 25. Distibusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan
gambaran histopatologi
..........................................................
5
9
10
10
13
19
20
20
20
21
23
23
23
25
26
26
27
27
28
28
34
48
50
52
53
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data pemeriksaan melanoma maligna di Bagian Patologi
Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2009-2013
..........................................................................................
Lampiran 2. Cara perhitungan sturgess
.........................................................
Lampiran 3. Sertifikat persetujuan etik
..........................................................
Lampiran 4. Surat selesai penelitian di Bagian Patologi Anatomi
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
................................................
Lampiran 5. Surat selesai penelitian Diklit RSUP Dr. Mohammad
Hoesin
Palembang..................................................................................
Lampiran 6. Artikel penelitian
.......................................................................
Lampiran 7. Biodata penulis
..........................................................................63
64
65
66
67
68
73
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Melanoma maligna adalah tumor ganas yang
berasal dari melanosit dengan gambaran berupa lesi kehitaman pada
kulit. Tempat predileksi tumor dilaporkan terbanyak di ekstremitas
bawah, kemudian didaerah badan, kepala, leher, ektremitas atas, dan
kuku. Lesi awal dari penyakit ini sangat sulit dibedakan dengan
tumor lainnya. Metastasis dapat berlangsung dalam waktu singkat,
tidak saja melalui aliran limfe ke kelenjar regional, tetapi juga
dapat menyebar melalui aliran darah ke organ interna yang dapat
menyebabkan kematian (Graham, R. 2005).Berdasarkan data dari Badan
Registrasi Kanker- Ikatan Ahli Patologi Indonesia (BRK-IAPI)
(2002), kanker kulit menempati peringkat ketiga dari 10 jenis
kanker terbanyak ditemukan di Indonesia. Kanker kulit yang
mempunyai frekuensi terbanyak adalah jenis karsinoma sel basal
(39.9%) yang paling banyak berokasi di muka, karsinoma sel squamosa
(39.57%) yang paling banyak berlokasi di kaki dan melanoma maligna
(11.44%) yang paling banyak berlokasi di telapak kaki (Tjarta,
2001).
Melanoma maligna merupakan satu dari tiga jenis kanker kulit
yang mempunyai insiden terendah namun angka kematian yang
disebabkannya cenderung lebih besar yaitu menyebabkan 75% kematian
akibat kanker kulit. Insiden melanoma maligna pada beberapa dekade
terakhir juga menunjukkan peningkatan yang signifikan (Hendaria
dkk, 2008; Goldsmith, 2012). Oleh karena itu, deteksi dini
keganasan dari sel melanosit sangat diperlukan sehingga diagnosis
dapat ditingkatkan terutama pada lesi baru yang berpigmen atau
terdapat perubahan pada tahi lalat yang mencakup perubahan warna,
ukuran, permukaan, konsistensi, adanya gejala seperti panas, rasa
terbakar, dan sakit serta apabila terjadi peninggian pada lesi yang
sebelumnya datar dan ditemukannya lesi satelit. Selain itu,
American Dermatology Academy juga menekankan akan pentingnya
kriteria ABCD (asymetry, border irregularity, color variegation,
and diameter more than 6 mm) dalam mengevaluasi lesi berpigmen.
Melanoma maligna dapat terjadi di seluruh belahan dunia, namun
insiden pada populasi kulit putih umumnya meningkat dan insiden
tertinggi tercatat terjadi di Australia, di mana angka tahunannya
adalah 10 sampai lebih dari 20 kali angka di Eropa. Pada tahun
2002, tercatat sekitar 79.000 laki-laki sampai 81.000 wanita
didiagnosa melanoma maligna dimana 80% kasusnya tercatat di
Australia, Amerika Utara, New Zealand dan Eropa. Pada tahun yang
sama pula tercatat 22.000 laki-laki dan 19.000 wanita meninggal
karena melanoma maligna (Vreis, 2013).
Penyakit ini jarang dijumpai sebelum pubertas, tetapi dapat
mengenai semua usia. Insiden tertinggi pada usia 35-55 tahun. Di
Australia insiden tertinggi melanoma maligna adalah pada usia 15-44
tahun. Dapat mengenai pria dan wanita dengan prevalensi yang sama,
namun morbiditasnya lebih tinggi pada pria (Vreis, 2013; Hendaria
dkk, 2008).
Di Indonesia, kasus melanoma maligna banyak ditemukan, namun
data insidensinya sulit diperoleh karena sebagian dari kasus ini
ditangani ekstramural. Data yang tersedia saat ini hanya berupa
insiden melanoma maligna di beberapa rumah sakit. Dalam rentang 5
tahun (2002-2007), kasus melanoma maligna sekitar 21% dari
keseluruhan kanker kulit di RS Dr. M. Djamil Padang, dan 9.1% di
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang (Azamris, 2011; Burmansyah,
2011).
Paparan sinar UV merupakan faktor resiko yang signifikan
terhadap berkembangnya melanoma maligna. Beberapa studi
epidemiologi mendukung hubungan positif dengan riwayat terbakar
sinar matahari, terutama terbakar sinar matahari pada usia dini
sehingga risiko melanoma maligna lebih tinggi pada orang dengan
riwayat kanker kulit non-melanoma dan solar keratosis, dimana
keduanya merupakan indikator dari paparan sinar UV (Vreis, 2013).
Keberadaan melanocytic nevi pada kulit juga perlu diwaspadai
sebagai faktor resiko terjadinya melanoma maligna. Hampir separuh
dari keseluruhan kasus melanoma maligna terjadi pada nevus yang
sudah ada dan sisanya terjadi pada kulit normal (Sjafrida, 2013).
Selain itu, usia juga merupakan salah satu faktor resiko melanoma
maligna dimana seiring dengan bertambahnya usia kecenderungan untuk
terjadinya melanoma maligna semakin meningkat (Azamris, 2011;
Goldsmith, 2012).
Berdasarkan dasar perjalanan penyakit, gambaran klinis dan
karakteristik histopatologi, CLARK dan MIHM membagi melanoma
maligna menjadi 3 tipe yaitu bentuk superfisial yang merupakan
kasus tersering dengan persentase 54% dari seluruh kasus, bentuk
nodular (melanoma demble) dengan persentase 32% dari seluruh kasus
dan bentuk lentigo maligna melanoma (Hutchinsons melanotic freckle
atau prakanker Dubreilh) dengan persentase 14% dari seluruh kasus
(Andrews, 2011). Sedangkan Reed (1976) menambahkan satu klasifikasi
lagi yaitu acral-lentiginous melanoma yang paling sering terjadi
pada kelompok etnis kulit hitam. Pengetahuan mengenai karakteristik
histopatologi sangat penting dalam menegakkan diagnosis melanoma
maligna. Penegakan diagnosis pasti secara dini dapat mencegah
komplikasi dan progresivitas penyakit melanoma maligna, sehingga
penatalaksaan menjadi lebih efektif dan prognosis menjadi lebih
baik.
1.2. Rumusan MasalahBagaimana karakteristik histopatologi pada
penderita melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2009 sampai 2013?1.3. Tujuan
Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik histopatologi pada penderita
melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada tahun 2009 sampai 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik
histopatologi setiap jenis melanoma maligna berdasarkan klasifikasi
CLARK dan MIHM serta Reed pada penderita melanoma maligna di Bagian
Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun
2009-2013. 2. Untuk mengetahui angka kejadian melanoma maligna di
Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun
2009-2013. 3. Untuk mengetahui frekuensi penderita melanoma maligna
berdasarkan usia pasien di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2009-2013. 4. Untuk mengetahui
frekuensi penderita melanoma maligna berdasarkan jenis kelamin
pasien di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2009-2013. 1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan dan bahan bagi peneliti lain untuk meneliti lebih
lanjut mengenai melanoma maligna. 1.4.2. Manfaat Praktis
Menyediakan data karakteristik histopatologi pada penderita
melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Menyediakan data angka kejadian penderita melanoma maligna di
Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA2.1 Histologi Kulit
Kulit terdiri atas dua lapisan yang berbeda yaitu epidermis
disebelah luar dan dermis disebelah dalam. Epidermis adalah lapisan
non vaskular berasal dari lapisan ektoderm yang dilapisi epitel
berlapis gepeng dan lapisan tanduk dengan jenis lapisan sel
berbeda-beda (Eroschenko, 2008).
Dermis terletak dibawah epidermis yang berasal dari mesoderm dan
ditandai oleh adanya jaringan ikat padat tidak teratur serta banyak
mengandung pembuluh darah. Kedua lapisan tersebut, dermis dan
epidermis melekat erat satu sama lain dan membentuk membran yang
beragam tebalnya mulai dari 0,5-4 mm atau lebih pada berbagai
tempat pada tubuh (Eroschenkko, 2008; Leeson, 1990).
Dibawah dermis terdapat jaringan ikat longgar dan jaringan lemak
yang disebut sebagai fasia superfisial atau hipodermis. Fasia
superfisial ini memungkinkan keleluasaan gerak kulit. Hanya pada
beberapa tempat saja yang ikatan antar seratnya sangat kuat
misalnya pada telapak tangan dan telapak kaki (Leeson, 1990).
Gambar 1. Kulit normal dengan lapisan epidermis, dermis papilar
dan retikular. Epidermis terdiri dari stratum basale (SB), stratum
spinosum (SS), stratum granulosum (SG), dan stratum corneum (SC)
(Haskell, 2010).
2.1.1. Epidermis
Epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum dan stratum basale. Stratum korneum
(lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri
dari beberapa lapis sel gepeng yang mati, tidak berinti dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk)
(Eroscheko, 2008). Sel gepeng yang mati tersebut berisi filamen
keratin lunak. Sel superfisial berkeratin dilapisan ini
terus-menerus mengalami deskuamasi dan akan digantikan oleh sel
baru yang muncul dari stratum basal (Leeson, 1990).
Stratum lusidum yang terletak dibawah stratum korneum, merupakan
lapisan sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini translucent dan
kurang jelas serta hanya dapat ditemukan pada kulit yang tebal
seperti ditelapak tangan dan kaki (Eroschenko, 2008; Leeson,
1990).
Stratum granulosum (lapisan keratohialin) terdiri dari 3 sampai
5 lapisan sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat
inti diantaranya. Lapisan ini biasanya tidak terdapat di mukosa
namun tampak jelas ditelapak tangan dan telapak kaki (Eroschenko,
2008; Leeson, 1990).
Stratum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pula prickle
cell layer (lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda. Protoplasmanya
jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak
ditengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng
bentuknya. Diantara stratum spinosum terdapat jembatan antar sel
(intercellular bridges) dan sel langerhans (Leeson, 1990).
Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kuboid hingga
kolumnar yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal
berbaris seperti pagar (palisade) tepatnya di membrana basalis.
Sel-sel ini melekat satu sama lain melalui desmosom dan melekat
dengan membrana basalis melalui hipodesmosom. Lapisan ini merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah (Eroschenko, 2008). Lapisan ini
terdiri atas dua jenis sel, yaitu:
a. sel-sel yang berbentuk collumnar dengan protoplasma
basofilik, inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang
lain oleh jembatan antar sel,
b. sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan
sel berwarna gelap, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap,
serta mengandung butir pigmen (melanosomes) (Leeson, 1990).
Epidermis juga merupakan epitel berlapis gepeng dengan lapisan
tanduk yang terdiri atas 4 jenis sel yang berbeda yaitu:1.
Keratinosit
Jumlah sel di epidermis yang terbanyak adalah keratinosit, yang
merupakan sel epitel yang akan berkembang untuk membentuk keratin.
Karena itu terbentuklah lapisan permukaan kulit yang terdiri atas
sel mati. Sel permukaan yang mengalami keratinisasi ini terkelupas
terus-menerus dan harus digantikan oleh sel-sel yang tumbuh dari
lapisan yang ada dibawahnya sebagai hasil lapisan mitosis sel
lapisan basal didermis. Sel-sel hasil proliferasi ini bergeser ke
lapisan diatasnya sambil membentuk keratin. Keratin akan menyerap
sebagian besar sitoplasma, selnya akan mati dan akhirnya terkelupas
(Leeson, 1990).
2. Melanosit
Pigmentasi atau pewarnaan pada kulit ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu warna kulit, pembuluh darah dan beragam kandungan
pigmen melanin. Warna kulit adalah kuning disebabkan karena
kandungan karoten darah, pembuluh darah dermis memberikan rona
kemerahan dan beragam kandungan pigmen melanin memberikan bayangan
coklat. Melanosit terutama terletak disepanjang dermo-epidermal
junction tepatnya di stratum basale dan juga didalam folikel rambut
serta jaringan ikat dermis. Melanosit ini akan menghasilkan melanin
yang memberikan warna pada kulit (Eroschenko, 2008; Leeson, 1990).
Dalam perkembangannya, melanosit berasal dari ektoderm krista
neural (neuroektoderm). Secara histologis, sel ini
dikarakteristikkan sebagai sel yang kecil, gelap, bulat seperti
telur dan sitoplasmanya jernih serta mempunyai banyak cabang
sitoplasma mirip dendrit yang menjelujur diantara keratinosit yang
berdekatan. Jumlah melanosit berdasarkan struktur anatomisnya yaitu
1/5 sampai 1/10 keratinosit basal dengan konsentrasi tertinggi
terdapat di muka dan alat genitalia (Busam, 2010).
Pembentukan melanin terjadi didalam melanosom, suatu granula
berlapis membran yang terdapat didalam sitoplasma melanosit.
Granula ini mengandung tirosinase, yaitu suatu enzim yang dibuat
didalam ribosom dan diangkut oleh retikulum endoplasma ke badan
golgi. Disini enzim tersebut dibungkus menjadi vesikel yang menyatu
dengan premelanosom yang kemudian akan menjadi matang melalui 4
tahapan yang menjadikan melanosom penuh melanin. Selanjutnya,
melanin ini bergerak melalui percabangan sitoplasma melanosit dan
dicurahkan kedalam keratinosit. Cara pencurahan melanosom ini belum
jelas. Ada teori yang mengatakan bahwa melanin dengan cepat
menyebar melalui jaringan dari proses dendritik dan selanjutnya
akan diserap oleh keratinosit basal dimana pada keratinosit basal
ia akan disimpan dan akan dihancurkan secara bertahap atau dengan
kata lain keratinosit memfagosit juluran sitoplasma yang mengandung
melanosom dan ada juga yang menyatakan bahwa melanositnya sendiri
yang menyuntikkan pigmennya ke dalam keratinosit (Busam, 2010).
Jumlah melanosit per satuan lengkung kulit tidak berbeda pada ras
atau jenis kelamin yang berlainan. Perbedaan warna kulit disebabkan
oleh perbedaan jumlah dan ukuran melanosom didalam keratinosit.
Pigmentasi kulit mungkin tergantung pada beberapa pengaruh termasuk
faktor keturunan, hormon dan lingkungan. Faktor genetik
mempengaruhi ukuran melanin di epidermis dan melanosom serta
produksi melanin. Hormon pemacu melanosit (MSH), merangsang
perpindahan melanosom kedalam cabang-cabang sitoplasma melanosit
dan mencurahkannya kepada keratinosit. Faktor lingkungan seperti
pajanan sinar ultraviolet, meningkatkan kegiatan enzim melanosit
yang berakibat meningkatnya produksi melanin dan penimbunannya
didalam keratinosit sehingga kulit menjadi coklat (tanning) (Busam,
2010; Leeson, 1990).
Gambar 2. Melanosit yang tampak di dermo-epidermal junction
(Haskell, 2010).
3. Sel Langerhans
Sel langerhans adalah sel yang berbentuk bintang dengan banyak
cabang mirip dendrit. Sel ini banyak didapatkan terutama pada
stratum spinosum. Secara histologis, sel ini mempunyai inti yang
bertakik dan sitoplasmanya relatif jernih tanpa tonofilamen,
desmosom atau melanosom. Sitoplasmanya mengandung inklusi mirip
batang, disebut granula Birbeck. Sel ini terdapat pada epitel
mukosa mulut, esofagus dan vagina serta didalam folikel rambut,
kelenjar apokrin dan sebasea, timus dan limfonodus (Lesson, 1990).
Sel ini berfungsi pada saat presentasi antigen dan perjalanan antar
kulit dan drainase nodus limfoid (Busam, 2010).
Gambar 3. Sel langerhans dikenal sebagai sel dendritik didalam
lapisan sel spinosa (Haskell, 2010).
4. Sel Merkel
Sel merkel terletak didalam lapisan basal epidermis. Sel ini
mempunyai hubungan dengan ujung saraf intraepitel (berhubungan
dengan saraf yang berakhir di dermis). Sel ini mempunyai inti
dengan bentuk tidak teratur. Sitoplasmanya mengandung berkas
longgar tonofilamen dan banyak granula kecil yang padat. Tidak
seperti sel langerhans, sel merkel melekat pada keratinosit
disekitarnya oleh banyak desmosom. Walaupun fungsi sel merkel belum
jelas, namun dianggap berfungsi sebagai reseptor mekanis dan
berperan dalam sensasi taktil (Lesson, 1990; Busam, 2010).
Gambar 4. Sel merkel (Haskell, 2010). 2.1.2. Dermis Lapisan ini
terdiri dari pembuluh darah, pembuluh limfatik dan saraf (Snell,
2006). Ketebalannya berbeda-beda dan berkisar antara 0.5-3 mm, 0.6
mm pada kelopak mata dan preputium serta 3 mm pada telapak tangan
dan kaki dengan rata-rata adalah 2 mm (Bloom dan Fawcett, 2002).
Dermis terdiri atas dua lapisan jaringan ikat yang tersusun tidak
teratur, yaitu: (1) lapisan papilar dipermukaannya dan (2) lapisan
retikular dibawahnya (Lesson, 1990).
Lapisan papilar berbentuk tidak teratur dan memiliki undulasi di
papila dermis yang melengkapi sistem rete ridges di epidermis.
Lapisan papilar terdiri dari serat-serat halus berupa kolagen.
Lapis papilar juga mengandung ujung-ujung saraf bebas korpuskulum
meissner yang merupakan mekanoreseptor spesifik yang meliputi
sensasi taktil yang banyak ditemukan di telapak tangan, kaki, dan
bibir. Lapis papilar juga terdiri atas serat kolagen halus, elastin
dan retikulin. Bagian bawah dari lapisan papilar dermis dibatasi
oleh vaskular superfisial yang terdiri dari arteri, vena dan
pleksus limfatikus. Pada umumnya, lapis papilar mengandung lebih
banyak sel dan serat-seratnya lebih sedikit dan halus jika
dibandingkan lapis retikular (Leeson, 1990). Lapisan retikular
terdiri atas jalinan serat-serat kolagen kasar, padat dan dilapisi
sedikit serat retikulin dan banyak serat elastin (Leeson,
1990).
Unsur sel utama dermis adalah fibroblas dan makrofag. Selain itu
terdapat juga sel lemak. Terdapat pula sel lain dari jaringan ikat
yaitu jaringan ikat yang bercabang, berpigmen yang disebut
kromatofor. Sel ini hanya banyak pada lingkungan yang epidermisnya
mengandung banyak pigmen, misalnya pada areola puting susu dan
lengsung sekitar anus.
Dilapisan dermis juga terdapat serat otot polos. Otot polos
tersebut tersusun membentuk hubungan dengan folikel rambut
(musculus arektor pili) dan tersebar diseluruh dermis dalam jumlah
yang cukup banyak pada kulit puting susu, penis, skrotum, dan
sebagian perineum. Kontraksinya menyebabkan kulit daerah yang
bersangkutan mengkerut.
Lapisan hipodermis (subkutan) merupakan lanjutan dermis yang
terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya.
Sel-sel lemak ini dapat membentuk bantalan lemak yang disebut
panikulus adiposus dan berfungsi sebagai cadangan makanan. Selain
terdiri dari jaringan ikat dan sel-sel lemak, pada lapisan ini juga
terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening.
Pada daerah perut lapisan ini dapat mencapai ketebalan 3 cm atau
lebih, didaerah kelopak mata, penis dan skrotum lapisan subkutannya
sangat sedikit (Wasitaatmadja, 2013).
2.2 Melanoma Maligna
2.2.1. Definisi
Melanoma maligna merupakan tumor ganas yang berasal dari
melanosit dengan gambaran berupa lesi kehitam-hitaman pada kulit.
Tumor ini biasanya menyebabkan metastasis yang sangat luas dalam
waktu singkat, tidak saja melalui aliran limfe ke kelenjar
regional, tetapi juga menyebar melalui aliran darah ke organ-organ
interna serta dapat menyebabkan kematian (Graham, R. 2005). Menurut
Sanchez (2011), melanoma adalah tumor ganas dari melanosit yang
mempunyai kemampuan untuk menginvasi jaringan sekitarnya dan mampu
bermetastasis secara regional maupun distal.
2.2.2. Epidemiologi
Melanoma maligna merupakan keganasan yang jarang ditemukan
dengan persentase (1-3)% dari seluruh keganasan (Rata, 2013).
Secara klinis ada beberapa tipe melanoma yang sering ditemukan,
yaitu superficial spreading melanoma ditemukan 70%, nodular
melanoma 15%, acral lentiginous melanoma 10%, dan lentiginous
melanoma 5% serta desmoplastic melanoma pertama kali dipublikasikan
pada tahun 1971 dan jarang ditemukan (Pasaribu, 2006).
Insiden pada wanita hampir sama dengan laki-laki dengan
frekuensi tertinggi ditemukan pada usia 30-60 tahun dan jarang pada
anak-anak (Rata, 2013). Menurut WHO (2014), insiden tertinggi
terjadi pada usia 35-55 tahun. Di Australia insiden tertinggi
melanoma maligna adalah pada usia 15-44 tahun. Penyakit ini jarang
dijumpai sebelum pubertas, tetapi dapat mengenai semua usia. Dapat
mengenai pria dan wanita dengan prevalensi yang sama, namun
morbiditasnya lebih tinggi pada pria.
Melanoma maligna dapat terjadi di seluruh belahan dunia,
terutama pada populasi kulit putih dan insiden tertinggi tercatat
terjadi di Australia, di mana angka tahunannya adalah 10 sampai
lebih dari 20 kali angka di Eropa untuk masing-masing laki-laki dan
perempuan (WHO, 2014). Sekitar 79.000 laki-laki dan 81.000 wanita
didiagnosa melanoma didunia pada tahun 2002, 80% didominasi oleh
populasi kulit putih di Amerika Utara, Australia, New Zealand dan
Eropa. Pada skala global, melanoma maligna menempati urutan ke 15
dan 16 kanker yang paling sering didiagnosa. Pada tahun 2002,
sekitar 22.000 laki-laki dan 19.000 wanita didunia meninggal
dikarenakan melanoma maligna (Vries, dkk, 2006)
Gambar 5. Angka kejadian berdasarkan usia untuk melanoma maligna
per 100.000 populasi per tahun. Dan disesuaikan kepada standar
populasi dunia. ( D.M. Parkin et al, 1779).
Di Indonesia, kasus melanoma maligna banyak ditemukan, namun
data insidensinya sulit diperoleh karena sebagian dari kasus ini
ditangani ekstramural. Data yang tersedia saat ini hanya berupa
insiden melanoma maligna di beberapa rumah sakit. Dalam rentang 5
tahun (2002-2007), kasus melanoma maligna sekitar 21% dari
keseluruhan kanker kulit di RS Dr. M. Djamil Padang, dan 9.1% di
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang (Azamris, 2011; Burmansyah,
2011).
2.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor genetik dan lingkungan mempunyai peranan dalam terjadinya
melanoma maligna. Faktor genetik yang berperan dalam terjadinya
melanoma maligna adalah adanya riwayat keluarga menderita melanoma
maligna, riwayat keluarga memiliki jumlah nevus banyak terutama
nevus yang atipik, jenis dan tipe kulit yang sensitif terhadap
matahari, usia, defek reparasi DNA contohnya pada penderita
xeroderma pigmentosum dan penderita imunosupresi misalnya pada
penderita pengangkatan ginjal dan hodgkin limfoma. Faktor genetik
lain seperti adanya mutasi pada gen supresi tumor (contohnya
CDKN2A), BRAF atau NRAS, microphthalmia (MITF), tyrosine kinase
(KIT), melanocortin-1-receptor (MC1R), dan gen xeroderma
pigmentosum juga diduga berkorelasi kuat dengan kejadian familial
melanoma (Vreis, dkk, 2013; Sanchez, 2011; Goldsmith, 2012).
CDKN2A mengkode dua protein berupa p16 dan p14 ARF. Jika fungsi
p16 menghilang atau mengalami inaktivasi akibat mutasi, aktivitas
CDK4 yang tak terkendali akan memfosforilasi protein retinoblastoma
dengan demikian dihasilaknlah faktor E2-F yang menginduksi masuknya
fase S. Hal ini berujung pada meningkatnya proliferasi selular
dimana regulasi checkpoint menghilang dan berakibat pada
pertumbuhan sel yang tidak terkendali dan neoplasia (Goldsmith,
2012).
BRAF merupakan serine/threonine kinase yang memerankan peran
penting dalam aktivasi MAPK yang berfungsi meregulasi pertumbuhan
sel, proliferasi dan diferensiasi sebagai respon dari faktor
pertumbuhan, sitokin dan hormon. 81% melanoma pada kulit tanpa
kerusakan kulit akibat sinar matahari yang kronis berkaitan dengan
mutasi BRAF atau NRAS.
MITF menghasilkan protein mitf yang merupakan faktor transkripsi
yang meregulasi diferensiasi melanosit. Amplifikasi microphthalmia
(MITF) menyebabkan overekspresi dari MITF yang berakibat pada
transformasi melanosit.
Mutasi pada melanocortin-1-receptor (MC1R) berkontribusi kuat
pada fenotif rambut merah dan kulit putih yang merupakan faktor
resiko dari melanoma maligna. Mutasi pada MCIR dapat meningkatkan
resiko terkena melanoma maligna 2-4 kali dari seluruh populasi.
Orang tua yang memiliki riwayat mutasi gen pada CDKN2A dapat
menurunkan satu salinan gen dengan mutasi ini kepada keturunannya
melalui pola penurunan autosomal dominan. Oleh karena itu, anak
yang memiliki orang tua dengan mutasi, memiliki kesempatan 50%
untuk mewarisi mutasi tersebut (Carlson, 2003). Menurut Putra
(2008), adanya riwayat keluarga yang menderita melanoma maligna
dapat meningkatkan resiko terjadinya melanoma maligna menjadi 200
kali lebih besar.
Nevus merupakan tumor jinak melanosit yang berkaitan dengan
jumlah paparan sinar matahari pada masa kanak-kanak dan adanya
defek genetik tertentu (Putra, 2008). Nevus merupakan faktor resiko
terkuat untuk melanoma, dimana sekitar 30-90% melanoma maligna
terjadi dari nevus yang sudah ada sebelumnya (Pasaribu, 2006 ;
Veronique, 2009).
Jenis kulit dan responnya terhadap paparan sinar matahari
mempunyai peran penting dalam terjadinya melanoma.
Tabel 1. Tipe jenis kulit menurut FitzpatrickType 1White skin,
never tans, always burn
Type 2White skin, burns initially, tans with difficulty
Type 3White skin, tans easily, burns rarely
Type 4White skin, never burns, always tans, Mediteranian
type
Type 5Brown skin
Type 6Black skin
Resiko terbesar melanoma terjadi pada tipe kulit 1 dan 2, yaitu
pada jenis kulit putih, sedangkan pada tipe kulit gelap yaitu tipe
5 dan 6 jarang ditemui melanoma maligna (Veronique, 2009).
Xeroderma pigmentosum merupakan kelainan dimana terdapat mutasi
pada gen TP53 yang dibutuhkan untuk memperbaiki DNA yang rusak
akibat paparan sinar ultraviolet sehingga individu dengan xeroderma
pigmentosum memiliki resiko tinggi untuk menderita kanker kulit,
termasuk melanoma maligna (Putra, 2008).
Usia juga merupakan faktor resiko terjadinya melanoma maligna
dimana melanoma jarang sekali terjadi pada anak yang belum
pubertas. Onset rata-rata terjadinya melanoma adalah pada usia 52
tahun, 10-15 tahun lebih muda dibandingkan dengan onset rata-rata
pada keganasan lainnya seperti kanker payudara, paru-paru, kolon
dan prostat (Goldsmith, 2012). Namun terdapat pula sekitar 35%
melanoma yang terjadi pada individu dengan usia kurang dari 45
tahun.
Jika dikaitkan dengan jenis kelamin, di Amerika Serikat, wanita
memiliki insidensi yang lebih tinggi sebelum usia 40 tahun dan
setelah 40 tahun, pria memiliki insidensi yang lebih tinggi, namun
mekanismenya belum diketahui secara pasti (Goldsmith, 2012). Studi
epidemiologi menunjukkan bahwa paparan sinar ultraviolet (UV) yang
intens, periodik (terutama pada saat masa kanak-kanak dan remaja),
dan kontiyu diduga kuat sebagai faktor lingkungan terbesar yang
dapat menyebabkan melanoma maligna khususnya pada populasi yang
beresiko tinggi misalnya pada populasi dengan predisposisi genetik,
tipe kulit yang sensitif dan imunodefisiensi. Berikut merupakan
peranan paparan sinar UV terhadap terjadinya melanoma maligna
adalah sebagai berikut:
paparan sinar UV pada saat masa kanak-kanak merupakan faktor
resiko utama dalam terjadinya nevus yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi melanoma maligna (Goldsmith 2012), tingginya
atau lamanya tingkat paparan sinar UV selama hidup, akan
meningkatkan resiko terjadinya melanoma maligna, paparan sinar UV
yang kronik dapat meningkatkan kejadian melanoma maligna terutama
di daerah kepala dan leher, sedangkan resiko terjadinya melanoma
maligna di anggota tubuh akan meningkat sering dengan banyaknya
melanositik nevus yang ada (Vreis, dkk, 2013).Paparan sinar UV juga
dikaitkan dengan keadaan geografis dimana suatu studi migrasi
menunjukkan adanya peningkatan insiden melanoma pada individu yang
menghabiskan masa kecilnya didaerah panas (sunny area) daripada
pendatang dewasa didaerah tersebut. Insiden tertinggi terjadi di
daerah yang terletak dekat dengan ekuator seperti Amerika Serikat,
Australia dan New Zealand (Goldsmith, 2012).
Paparan terhadap cahaya buatan seperti senyawa psoralen, UVA
lights (PUVA), UVB lights, dan tanning booths juga menjadi salah
satu faktor resiko yang berhubungan dengan berkembangnya melanoma
maligna (Goldsmith, 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa
melanoma maligna timbul karena penurunan fungsi sel-sel imun kulit
(Langerhans) yang diinduksi oleh radiasi dan peranan bahan kimia
agrikultural. Hal ini menyebabkan sel kulit tidak mampu
mengidentifikasi dan memperbaiki kerusakan DNA sehingga
meningkatkan resiko karsinogenesis (Corwin, E.J. 2009).
2.2.4. Klasifikasi Melanoma maligna berawal sebagai pertumbuhan
kulit baru yang kecil dan berpigmen pada kulit yang normal.
Melanoma mudah menyebar ke bagian tubuh yang jauh (metastasis),
dimana akan terus tumbuh dan menghancurkan jaringan (Graham, R.
2005).
Terdapat 3 jenis melanoma maligna (Clark, 1967;1969 dan Mc
Govern, 1970) dengan 1 jenis tambahan baru (Reed, 1976 dan Seiji,
M. Dkk., 1977). Keempat jenis melanoma maligna tersebut terdiri
atas:1. Superficial Spreading Melanoma (SMM)Superficial spreading
melanoma (SSM) atau juga disebut sebagai pagetoid melanoma adalah
salah satu subtipe dari melanoma maligna yang biasanya terjadi pada
kulit yang tertutup dan dikarakteristikkan dengan adanya fase
pertumbuhan radial (Haneke, 2013). Jenis ini merupakan jenis
melanoma tersering yaitu 70% dari semua kasus melanoma (Sanchez,
2011). SSM sering terjadi pada usia 20-50 tahun dan predileksinya
pada laki-laki lebih sering di punggung atas dan pada perempuan
lebih sering di kaki. Terjadinya SSM ini berhubungan dengan nevus
yang sudah ada sebelumnya. SSM juga sering dikaitkan dnegan
tingginya insiden mutasi pada onkogen BRAF di kromosom 7q34
(Haneke, 2013).
Gambaran makroskopiknya ditandai dengan adanya makula berpigmen
(dengan warna yang bervariasi mulai dari hitam, coklat, merah, dan
putih) dengan bentuk yang tidak teratur serta tepi yang meninggi
dan berukuran lebih dari 1 cm. Warna abu-abu atau putih
mengindikasikan adanya regresi dan warna kemerahan menunjukkan
adanya inflamasi atau peningkatan vaskularisasi. Invasi ditandai
dengan terabanya makula pada permukaan kulit atau disebut dengan
plaque (Sanchez, 2011; Putra, 2008). Selain itu perubahan
pertumbuhan radial menjadi pertumbuhan vertikal juga ditandai
dengan terbentuknya papul disertai pelebaran diameternya. Papul
yang terbentuk dapat menjadi erosif, membentuk ulserasi, krusta dan
mudah berdarah. Pada kasus yang jarang, dapat dijumpai nodul-nodul
satelit. Namun secara keseluruhan SSM bersifat asimtomatis (Haneke,
2006).
Gambar 6. Gambaran asimetris superficial spreading melanoma di
punggung atas (Busam, 2010). Gambaran histopatologisnya ditandai
dengan adanya hiperplasia dari melanosit atipik yang membentuk
sarang sepanjang dermo-epidermal junction, biasanya didekat ujung
dari rete ridges. Namun banyak juga ditemukan melanosit yang tidak
membentuk sarang tumor (singly). Distribusinya sering tidak teratur
dan sarang tumornya berbentuk iregular dan menunjukan penumpukan.
Tanda patognomonik dari SSM adalah terinvasinya epidermis oleh
sarang tumor (single cell). Pagetoid tersebar di sepanjang
epidermis dan hal inilah yang menandakan diagnosis dari tipe
melanoma ini (Sanchez, 2011). Melanosit atipik memperlihatkan
banyak nukleus yang besar berbentuk bulat dan oval serta terdapat
nukleolus eosinofilik yang menonjol dengan sitoplasma yang pucat.
Terdapat mitosis yang atipikal (polyploid) (Busam, 2010).
Sitoplasma sel tumor biasanya jernih dengan jumlah deposit melanin
yang bervariasi. Bagian atas dermis memperlihatkan adanya infiltrat
limfosit dan inkontinensia pigmen. Manifestasi histologis yang
menandakan adanya regresi pada SSM adalah adanya rete ridges yang
menghilang, fibrosis di dermis papilar, dilatasi kapiler,
infiiltrat limfosit yang padat dan melanophages. Pada regresi
komplit tidak ditemukan melanosit, namun pada regresi parsial masih
ditemukan melanosit dengan jumlah yang tak sebanyak lesi
sebelumnya. Regresi merupakan tanda mulai terjadinya invasi yang
dapat memperburuk prognosis (Sanchez, 2011; Haneke, 2006).
Gambar 7. Superficial spreading melanoma (Haneke, 2006).
Gambar 8. Single cell dan sarang tumor yang berbentuk iregular
disepanjang dermo-epidermal junction (Haneke, 2006).
Gambar 9. SSM yang invasif ditandai dengan adanya nukleus yang
pleomorfik dan infiltrat limfosit di dasarnya (Haneke, 2006).
2. Nodular Melanoma (NM)Nodular melanoma (NM) merupakan salah
satu dari subtipe melanoma maligna yang secara khusus
dikarakteristikan dengan fase pertumbuhan vertikal atau fase
pertumbuhan invasif (Bergman, 2013). Dari awal pertumbuhannya tipe
sel ini memang sudah menunjukkan pertumbuhan secara vertikal tanpa
melewati fase pertumbuhan radial (Sanchez, 2011). Kasus ini
merupakan kasus kedua terbanyak dari seluruh jenis melanoma dengan
persentase (10-15)% dengan insiden mortalitasnya paling tinggi
diantara tipe lainnya (Bergman, 2013; Sanchez, 2011). Menurut Putra
(2008), NM merupakan subtipe melanoma maligna yang paling sering
terjadi di Indonesia.
Predileksi NM ini paling sering di punggung atas, kaki terutama
bagian bawah, kepala dan leher. Insiden NM ini juga sering
dikaitkan dengan adanya nevus melanositik sebelumnya (Sanchez,
2011). Namun, Putra (2008) menyatakan bahwa NM sering timbul pada
kulit normal (de novo) dan jarang dari suatu nevus.
Secara makroskopis, NM bermula dari papul yang tumbuh dengan
cepat membentuk ulserasi yang dibatasi oleh nodul dengan berbagai
variasi tingkatan pigmentasi mulai dari hitam, coklat muda sampai
amelanotik. Nodul pada NM biasanya berbatas tegas, simetris dan
dapat mencapi ukuran 1 cm.
Gambar 10. Nodular Melanoma (Busam, 2010).
Pada NM terdapat proliferasi melanosit atipik yang invasif dari
fase awal pertumbuhannya (vertical growth phase) dengan tepi
lateral yang berbatas tegas. Sel tumor menginfiltrasi dan
mengulserasi lapisan epidermis serta bagian retikular dermis.
Secara histologis, NM menunjukkan bentuk tumor yang meninggi,
dome-shaped (berbentuk kubah) atau poliploid. Epidermis terlihat
menipis, hilang atau mengalami ulserasi. Sel melanoma tampak
didasar epidermis tetapi tidak melebihi batas dari komponen dermis.
Komponen dermal dikarakteristikkan dengan nodul yang berpaut atau
sel sarang tumor kecil dengan pola pertumbuhan yang ekspansif. Sel
tumor yang paling sering adalah epiteloid, namun tipe sel lainnya
seperti sel spindle, sel epiteloid kecil yang menyerupai sel nevus
dan multinucleated giant cell dapat mendominasi sel tumor tersebut.
Terdapat pembesaran sel, variasi dalam ukuran maupun bentuk
nuklear, hiperkromatisme, dan penonjolan nukleoli (Bergman,
2006).
Pada NM juga terdapat nukleolus eosinophilic yang besar, inklusi
sitoplasmik intranuklear, multinucleated giant cell, infiltrat
limfosit disekitar tumor serta area nekrosis. Selain dapat
melibatkan lapisan epidermis dan dermis, tumor ini juga dapat
melibatkan adneksa kutaneus dan pembuluh darah sehingga dapat
menyebabkan perdarahan (Sanchez, 2011). Pada NM yang progresif, sel
tumor gagal menjadi mature dan secara progresif masuk ke dermis
yang lebih dalam (Bergman, 2006).
Gambar 11. Nodular melanoma: Didalam dan diatas dermo-epidermal
junction, terdapat sel epiteloid melanoma yang terlihat sebagai
single unit dan sarang tumor yang bervariasi dalam ukuran dan
bentuk (Bergman, 2006).
Gambar 12. Nodular melanoma yang menunjukkan penyebaran lesi sel
yang tidak simetris (Bergman, 2006).
Gambar 13. Sel tumor yang terdiri dari melanosit yang besar dan
pleomorfik (Bergman, 2006).
3. Lentigo Maligna Melanoma (LMM)
Lentigo Maligna Melanoma (LMM) atau yang sering disebut dengan
Hutchinson melanotic freckle adalah salah satu dari bentuk melanoma
in situ yang terjadi pada kulit orang dewasa (biasanya 65 tahun)
yang sering terpapar sinar matahari (chronic sun demage) terutama
paling sering di daerah muka dan jarang didaerah ekstrafasial
seperti leher, punggung atas dan lengan atas (Heenan, 2013).
LMM jarang ditemukan dengan persentase 4-10% (Putra, 2008).
Penelitian terakhir menunjukkan adanya hubungan antara defisiensi
reparasi DNA dengan tingginya angka mutasi TP53 pada pasien
xeroderma pigmentosum yang menyebabkan akumulasi dari lesi DNA yang
rusak (unrepaired DNA lesions). LMM juga ditemukan pada mutasi
BRAF, namun jarang ditemukan (Heenan, 2006).
Secara makroskopis, LMM terlihat sebagai makula berbintik coklat
dengan bentuk dan batas yang irregular serta dapat melebar hingga
mencapai diameter lebih dari 3 atau 4 cm (Busam, 2010). Lesi dapat
melebar dengan warna yang semakin bervariasi disertai pertumbuhan
nodul (Heenan, 2006). LMM dapat meluas secara lambat karena LMM
merupakan subtipe melanoma maligna yang mempunyai fase pertumbuhan
radial (Putra, 2008). Jika sudah mengalami regresi, LMM dapat
menjadi berbintik-bintik dengan warna yanng berbeda-beda seperti
coklat, merah, hitam, bahkan depigmentasi (Sanchez, 2011).
Gambar 14. Lentigo Melanoma Maligna di bagian muka yang
menggambarkan lesi lebar yang datar, tidak teratur dengan warna
yang bervariasi (Heenan, 2013).
Istilah LM dipakai jika invasinya hanya sebatas dermo-epidermal
junction, folikel rambut dan kelenjar keringat. Sedangkan istilah
LMM dipakai ketika melanosit atipik sudah menginvasi dermis.
Secara histologis, LM dikarakteristikkan dengan adanya
proliferasi dari melanosit atipik yang menyebar atau meluas sampai
folikel rambut dan kelenjar keringat. Terdapat pula solar elastosis
dan atrofi epidermis dimana epidermis menjadi datar dengan tidak
terlihatnya rete ridges (Heenan, 2006). Melanosit atipikal
menunjukkan adanya pleomorfisme, dan invasi pagetoid yang sulit
dibedakan dari dari SSM. Sepanjang lapisan basal terdapat sel
lentiginous (sel individu) yang merupakan proliferasi dari spindel
melanosit dengan sitoplasma yang tervakuolisasi, dan biasanya
sangat termelanisasi (Busam, 2010).
Pala lesi yang lama, terdapat solar elastosis dan telangiektasia
yang parah, terlihat adanya infiltrat limfosit dan fibroplasia
fokal di papila dermis. Regresi pada LMM dikarakteristikkan dengan
adanya fibrosis, hipervaskularitas, melanophages dan infiltrat
limfosit.
Gambar 15. Lentigo maligna: Proliferasi lentiginous dari
melanosit pada lapisan basal dan sepanjang folikel rambut.
Epidermis mengalami atrofi (Heenan, 2006).
Gambar 16. Lentigo maligna melanoma. Pertumbuhan pagetoid fokal
yang tampak pada proliferasi junctional termasuk sarang tumor dari
melanosit atipik (Heenan, 2006).
4. Acral Lentiginous Melanoma (ALM)
Acral lentiginous melanoma atau palmar-plantar-subungual-mucosal
melanoma atau unclassified-plantar melanoma merupakan varian jarang
dari melanoma kutaneus yang sering terjadi di daerah kulit yang
tidak mempunyai rambut seperti di telapak tangan, telapak kaki,
matriks kuku dan membran mukosa (Tokura, 2013). ALM diajukan oleh
Reed (1976) sebagai subtipe keempat. ALM merupakan jenis melanoma
yang paling sering terjadi pada kelompok etnis oriental maupun
orang yang berkulit gelap (Sanchez, 2011). Di Afrika, plantar
melanoma dijumpai 70% dari semua kasus melanoma maligna. Pada
umumnya timbul pada kulit normal (de novo) (Putra, 2008).
Pada stage awal, ALM muncul sebagai makula berpigmen mirip LM.
Selanjutnya ALM menunjukkan pola pertumbuhan bifasik dengan evolusi
yang cepat bermula dari lesi yang datar menjadi lesi yang meninggi.
Fase pertumbuhan radial dari ALM dikarakteristikkan oleh adanya
lesi makula berpigmen dengan batas yang iregular. Selanjutnya ALM
mengalami fase pertumbuhan radial yang dikarakteristikkan dengan
adanya papul atau nodul. Pada ALM, ulserasi lebih sering terjadi
jika dibandingkan dengan tipe melanoma lainnya.
Melanoma subungual sering bermula dari terbentuknya warna coklat
kehitaman di kuku dan sekitar kuku yang selanjutnya dapat menebal
dan merusak nail plate.
Gambar 17. Acral lentiginous melanoma, lesi berpigmen di
subungual yang
meluas kekulit disampingnya (Tokura, 2006).
Gambar 18. Acral lentiginous melanoma di aspek lateral telapak
kaki yag menunjukkan batas pigmentasi yang iregular dan sedikit
lesi ulseratif (Tokura, 2006).
Secara histologis, pada fase pertumbuhan radial, ALM
dikarakteristikkan dengan adanya acanthosis yang meluas sampai
lapisan kornifikasi, elongasi dari rete ridges, dan proliferasi
lentiginous dari melanosit atipik sepanjang lapisan basal
epidermis. Terdapat melanosit atipik yang besar, dengan nukleus dan
nukleoli yang bizzare, serta sitoplasma yang dipenuhi oleh granula
melanin. Melanosit atipik tersebut dapat meluas sepanjang kelenjar
keringat menuju ke lapisan dalam dermis (Tokura, 2006).
Pada fase pertumbuhan vertikal, nodul tumor secara dominan
mengandung sel berbentuk spindel yang berhubungan dengan reaksi
desmoplastik (Busam, 2010).
Gambar 19. Acal Lentiginous Melanoma menunjukkan adanya
acanthosis, elongasi dari rete ridges, melanosit atipik yang lebar,
nukleus dan nukleolus yang aneh serta sitoplasma yang dipenuhi oleh
granula melanin (Tokura, 2013).
Gambar 20. Acral lentiginous melanoma, adanya proliferasi
lentiginous dari melanosit atipik didasar tumor (Tokura, 2006).
2.2.5. Patofisiologi
Melanoma berasal dari melanosit, yang timbul dari neural crest
dan bermigrasi ke epidermis. Melanosit berada di lapisan basal
epidermis didekat dermo-epidermal junction dan menghasilkan
pelindung melanin (Takata, 2009). Melanoma maligna yang berkembang
di kulit yang sehat dikatakan timbul de novo, tanpa diawali lesi
prekursor. Nodular melanoma (NM) merupakan jenis melanoma maligna
yang sering muncul pada kulit yang normal tanpa disertai adanya
lesi nevus sebelumnya (Takata, 2009; Goldsmith, 2012). Melanoma
juga dapat terjadi di kulit yang tidak terpajan sinar matahari
seiring dengan banyaknya lesi prekursor melanoma termasuk common
nevus, displastik nevus, nevus bawaan, dan nevus biru. Superficial
spreading melanoma (SSM) merupakan salah satu jenis melanoma
maligna yang mempunyai kaitan erat dengan adanya lesi prekursor
berupa nevus sebelumnya (Goldsmith, 2012).
Patofisiologi melanoma maligna belum sepenuhnya diketahui, namun
beberapa literatur menyatakan keterkaitan mutasi pada beberapa gen
akibat paparan sinar UV. Mutasi pada onkogen BRAF dikaitkan dengan
terjadinya superficial spreading melanoma (SSM) (Haneke dkk, 2006),
mutasi pada CDKN2A dikaitkan dengan terjadinya nodular melanoma
(NM) (Bergman dkk, 2006), mutasi pada TP53 dikaitkan dengan
terjadinya lentiginous melanoma (LM) dan lentiginous maligna
melanoma (LMM) (Heenan dkk, 2006) serta amplifikasi cyclin D1
dikaitkan dengan terjadinya acral lentiginous melanoma (ALM)
(Tokura dkk, 2006). Mutasi pada beberapa gen tersebut menyebabkan
terbentuknya melanosit atipik yang dapat menginvasi lapisan kulit
mulai dari epidermis sampai dermis.
Berdasarkan gejala klinis, histopatolgi, imunopatologi dan
sitogenetik, transformasi keganasan dan progresi tumor dari
melanosit dibagi menjadi lima tahapan, yaitu:
1. Nevus melanositik jinak,
2. Nevus atipik,
3. Melanoma maligna fase pertumbuhan radial,
4. Melanoma maligna fase pertumbuhan vertikal, dan
5. Melanoma maligna yang dapat mengalami metastasis (Goldsmith,
2012).
Melanoma memiliki 2 fase pertumbuhan, radial dan vertikal.
Selama fase pertumbuhan radial, sel-sel ganas (melanosit atipik)
mengalami proliferasi intraepidermal dan sedikit invasi ke bagian
dermis papiler. Seiring berjalannya waktu, melanoma masuk ke fase
pertumbuhan vertikal, di mana sel-sel ganas (melanosit atipik)
menyerang dermis dan mengembangkan kemampuannya untuk
bermetastasis. Fase ini juga dikarakteristikkan dengan adanya
E-cadherin yang membantu menyebarnya melanosit atipik dari
intraepidermal (Goldsmith dkk, 2012).
SSM dan LMM cenderung memiliki fase pertumbuhan radial namun
lambat laun mereka mengalami regresi dimana fase pertumbuhan
vertikal dimulai yang ditandai dengan terinvasinya dermis oleh
melanosit atipik (Haneke, 2006; Heenan, 2006). Berbeda dengan SSM
dan LMM, NM dan ALM dari awal fase pertumbuhannya sudah mengalami
fase pertumbuhan vertikal yang sangat cepat sehingga prognosisnya
pun menjadi lebih buruk (Bergman, 2006; Tokura, 2006). 2.2.6.
Diagnosis Diagnosis dini pada melanoma maligna merupakan kunci
prognosis yang baik. Diagnosis penyakit ini dapat diperoleh melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik (efloresensi), pemeriksaan dermoskopi,
dan pemeriksaan histopatologi. a. Anamnesis Pada anamnesis, riwayat
paparan sinar matahari, riwayat kulit terbakar akibat sinar
matahari atau tanning booths, riwayat pribadi maupun keluarga
menderita melanoma maligna, serta riwayat memiliki jumlah nevus
yang banyak atau riwayat pernah melakukan biopsi pada nevus yang
atipik perlu ditanyakan. Peranan genetik berupa jenis kulit yang
sensitif terhadap sinar matahari juga dapat dipertimbangkan. Faktor
resiko lain yang dapat digali dari anamnesis dapat berupa paparan
zat kimia berupa pestisida, bahan arsenik, dan polycyclic
hydrocarbons. Selain itu adalah riwayat menderita penyakit defek
reparasi DNA seperti xeroderma pigmentosum serta penyakit-penyakit
yang mengakibatkan supresi pada imunitas seperti HIV (Hendaria,
2011; Goldsmith, 2012).
b. Pemeriksaan Fisik (Efloresensi)
Kecurigaan terhadap melanoma maligna dapat ditingkatkan terutama
pada lesi baru yang berpigmen atau terdapat perubahan pada tahi
lalat yang mencakup perubahan warna, ukuran, permukaan,
konsistensi, adanya gejala seperti panas, rasa terbakar, dan sakit
serta apabila terjadi peninggian pada lesi yang sebelumnya datar
dan ditemukannya lesi satelit. Selain itu, American Dermatology
Academy juga menekankan akan pentingnya kriteria ABCD (asymetry,
border irregularity, color variegation, and diameter more than 6
mm) dalam mengevaluasi lesi berpigmen (Goldsmith, 2012). Vreis
(2013) dan Putra (2008) menambahkan kriteria EF (evolution or
change dan funny looking lesion) dalam membantu diagnosa melanoma
maligna.
c. Pemeriksaan Dermoskopi
Seperti halnya pada karsinoma sel skuamosa, hal yang
diperhatikan adalah ABCDE (asymmetry, irregular borders, multiple
colors, diameter >6 mm, and enlarging lesion), bila hal tersebut
didapatkan pada lesi yang diperiksa, kemungkinan lesi tersebut
bersifat ganas (karsinoma) (Vreis, 2013). d. Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan gold standard untuk melanoma maligna adalah
pemeriksaan histopatologi dengan melakukan biopsi jaringan kulit
yang dicurigai mengandung sel-sel kanker tersebut (skin biopsy)
(Hendaria, 2011). Pemeriksaan histologi melanoma maligna adalah
dengan melakukan penilaian terhadap arsitektur maupun komponen
sitologinya. Komponen sel yang atipia, yang ditandai dengan adanya
pembesaran sel (cellular enlargement), pembesaran nukleus (nuclear
enlargement), polimorfisme nuklear, nukleus yang hiperkromatik,
keberagaman nukleolus serta adanya mitosis terutama di dermis dapat
meningkatkan kecurigaan terhadap melanoma maligna. Sedangkan
komponen arsitekturnya dapat berupa asimetris, batas yang tidak
tegas, dan ukuran yang besar (>5-6 cm) (Goldsmith, 2012). 2.2.7.
Staging
Pada melanoma maligna digunakan sistem klasifikasi klinik
(stadium klinik) dan klasifikasi histologik (tingkat invasi Clark
dan Kedalaman Breslow) untuk menentukan:
tindakan pengobatan.
prognosis.
perbadingan hasil pengobatan antara berbagai staidum klinik.
2.2.7.1. Klasifikasi Klinik Putra (2008), menyatakan bahwa
sampai saat ini digunakann stadium klinik sebagai klasifikasi
standar melanoma maligna yang terdiri atas 3 stadium yaitu:Stadium
I: Melanoma maligna lokal tanpa metastasis jauh atau kekelenjar
limfe regional.
Stadium II: Sudah terjadi metastasis yang terbatas pada kelenjar
limfe
regional.
Stadium III: Melanoma diseminata, dimana sudah terjadi
metastasis
jauh.
Pada kira-kira (25-30)% penderita melanoma maligna sudah
menunjukkan adanya metastasis ke kelenjar limfe regional, walaupun
secara klinik belum teraba pembesaran kelenjar limfe. Hal ini
menerangkan bahwa untuk menentukan prognosis dan tindakan
pengobatannya tidak cukup hanya didasarkan pada klasifikasi stadium
klinik saja, tetapi perlu disertai dan ditentukan berdasarkan
stadium histologik.
2.2.7.2. Klasifikasi Histologik
Klasifikasi histologik yang digunakan adalah:
Klasifikasi tingkat invasi menurut Clark
Klasifikasi kedalaman menurut Breslow
Klasifikasi tingkat invasi menurut ClarkClark (1969) membagi
melanoma maligna menurut invasinya didalam lapisan kulit atas lima
tingkat.
Tingkat I: Sel melanoma terletak diatas membrana basalis
epidermis
(melanoma in situ: intraepidermal).
Tingkat II : Invasi sel melanoma sampai dengan lapisan
papilaris
dermis (dermis bagian superfisial).
Tingkat III : Invasi sel melanoma samapi dengan perbatasan
antara
lapisan papilaris dan lapisan retikularis dermis. Sel
melanoma mengisi papila dermis.
Tingkat IV : Invasi sel melanoma sampai dengan lapisan
retikularis
dermis.
Tingkat V: Invasi sel melanoma sampai dengan jaringan
subkutan.
Klasifikasi kedalaman (ketebalan) tumor menurut Breslow
Breslow (1970) membagi melanoma maligna dalam tiga golongan:
Golongan I : Dengan kedalaman (ketebalan) tumor kurang dari
0.76
mm
Golongan II : Dengan kedalaman (ketebalan) tumor antara 0.76
mm-
1.5mm
Golongan III: Dengan kedalaman (ketebalan) tumor lebih dari 1.5
mm
Hubungan antara tingkat menurut Clark dan kedalaman (ketebalan)
tumor menurut Breslow: Melanoma maligna dengan kedalaman sampai
0.65 mm menurut klasifikasi Breslow, sesuai dengan tingkat II
menurut klasifikasi Clark. Lesi melanoma maligna dengan kedalaman
1.5 mm atau lebih menurut klasifikasi Breslow, sesuai dengan
tingkat IV dan V menurut klasifikasi Clark.
Selain klasifikasi klinis dan klasifikasi histologis, staging
melanoma maligna menurut sistem TNM juga dapat dilakukan sebagai
berikut:
Gambar 21. Klasifikasi TNM dari melanoma maligna (AJCC, 2002).
2.2.8. Tatalaksana Tatalaksana utama melanoma maligna adalah bedah.
Re-eksisi terbatas sekitar 1cm direkomendasikan untuk melanoma yang
tipis, sedangkan untuk melanoma yang tebal, dilakukan re-eksisi 2-3
cm. Diseksi profilaksis limfonodus regional juga sering dilakukan
pada ketebalan yang sedang. Alternatif lain adalah dengan melakukan
diseksi pada nodus sentinel. Kemoterapi dan immunoterapi sudah
pernah dilakukan dahulu kala, namun tidak membuahhkan hasil yang
baik. Saat ini IFN- digunakan sebagai adjuvant dalam terapi bedah
pada melanoma yang tebal atau melanoma yang menyebar (metastatic
melanoma) (Sanchez, 2011).
2.2.9. Pencegahan Para ahli dalam International Agency for
Research on Cancer meneliti efek pencegahan perkembangan kanker
kulit dari penggunaan sunscreen. Mereka menyimpulkan bahwa
penggunaan dari krim pelindung dapat mencegah eritema dan karsinoma
sel squamosa setelah paparan sinar matahari yang tak disengaja atau
paparan sinar matahari yang tidak intens. Efek perlindungannya
terhadap karsinoma sel basal dan melanoma sulit untuk diteliti
karena periode latennya yang lama (Goldsmith, 2012). 2.2.10.
Prognosis Semakin sedikit pertumbuhan melanoma ke dalam kulit, maka
semakin besar peluang untuk menyembuhkannya. Jika melanoma telah
tumbuh jauh ke dalam kulit, akan lebih mungkin menyebar melalui
pembuluh getah bening dan pembuluh darah dan bisa menyebabkan
kematian dalam beberapa bulan atau tahun (Graham, R. 2005).
Perjalanan penyakit melanoma bervariasi dan tampaknya dipengaruhi
oleh sistem kekebalan tubuh.(Suriadiredja, 2006). Beberapa
penderita yang keadaan kesehatannya baik, bisa bertahan hidup
selama bertahun-tahun meskipun melanomanya telah mengalami
metastasis(Suriadiredja, 2006).
Secara umum, prognosis melanoma maligna ditentukan oleh beberapa
hal seperti:
1. Level of invasion (Clark Level) dan Tumor Thickness (Breslow
Level (Sanchez, 2011),
2. Stanging of Melanoma, staging ini dapat dipengaruhi oleh
klasifikasi klinis, klasifikasi histologis dan klasifikasi TNM
seperti yang sudah diterangkan di subbab sebelumnya (Sanchez,
2011),
3. Tatalaksana melanoma maligna
Ulserasi, dinyatakan sebagai defek pada epidermis yang
disebabkan oleh tumor tersebut yang ditandai dengan hilangnya
epidermis, inflamasi stroma dan reaksi granulasi jaringan (Busam,
2010), Dengan level ketebalan tertentu, prognosis akan menjadi
buruk apabila terdapat ulserasi (Sanchez, 2011),
4. Tumor mitotic rate
Pasien dengan laju mitosis, enam kali beresiko mengalami
metastasis daripada pasien yang tidak mempunyai laju metastasis
(Busam, 2010),
5. Invasi ke sistem limfatik dan pembuluh darah
Walaupun bukan satu-satunya faktor, invasi vaskular merupakan
salah satu tanda prognosis menjadi buruk (Busam, 2010),6.
Keterlibatan saraf (perineural invasion) (Busam, 2010),
7. Microscopic satellites (Lecoregional cutaneous), Adanya
microscopic satellites menandakan adanya lesi dengan kemampuan
metastasis dan prognosisnya menjadi buruk (Busam, 2010),8. Tumor
infiltrating limfosit (Busam, 2010), dan
9. Regresi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prognosis menjadi semakin
buruk ketika terjadi regresi pada fase pertumbuhan radial, karena
hal ini menandakan bahwa fase pertumbuhan vertikal sudah dimulai
sehingga prognosisnya menajdi semakin buruk (Busam, 2010).
2.3. Kerangka Teori
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif
observasional dengan rancangan cross sectional menggunakan data
sekunder berupa arsip di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang.3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Desember 2014 di
Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
3.3.1.1. Populasi Target
Semua arsip pasien yang didiagnosis melanoma maligna di Bagian
Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
3.3.1.2Populasi Terjangkau
Semua arsip pasien yang diperiksa di Bagian Patologi Anatomi
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama tahun 2009 hingga tahun
2013. 3.3.2Sampel
3.3.2.1Besar Sampel
Besar sampel adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi.
3.3.2.2Cara Pengambilan sampel
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan cara
sensus, oleh karena itu tidak dilakukan proses sampling, dan tidak
dihitung besar sampel karena semua rekam medik dari populasi
terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai
sampel.3.3.3Kriteria Inklusi dan Ekslusi
3.3.3.1Kriteria Inklusi
Arsip milik pasien yang memeriksakan jaringan kulitnya di Bagian
Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang yang telah
diidentifikasi karakteristik histopatologi jaringan kulitnya dengan
diagnosis melanoma maligna serta memiliki data lengkap untuk
memenuhi variabel penelitian.
3.3.3.2Kriteria Ekslusi
Hasil jawaban patologi anatomi yang masih meragukan dan masih
membutuhkan pemeriksaan tambahan untuk menegakkan diagnosis dan
tidak memiliki data lengkap untuk memenuhi variabel penelitian.
3.4. Variabel Penelitian
Gambaran histopatologi melanoma maligna,
Angka kejadian melanoma maligna, Usia, dan
Jenis kelamin.
3.5. Definisi Operasional
3.5.1Karakteristik Histopatologi Melanoma
Maligna3.5.1.1Definisi
Karakteristik mikroskopis jaringan kulit penderita melanoma
maligna yang tertulis di arsip di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin tahun 2009 hingga tahun 2013.
3.5.1.2Alat Ukur
Arsip.
3.5.1.3Cara Ukur
Data karakteristik histopatologi dari lembar jawaban hasil
pemeriksaan pasien melanoma maligna dicatat lalu dibuat dalam
bentuk tabel distribusi, kemudian dihitung persentase sampel
melanoma maligna berdasarkan karakteristik histopatologinya yaitu
dengan membagi jumlah sampel melanoma maligna berdasarkan kelompok
karakteristik histopatologi tertentu dengan jumlah semua sampel
yang didiagnosis melanoma maligna dikalikan 100%.
3.5.1.4 Hasil Ukur
Distribusi frekuensi jenis-jenis melanoma maligna berdasarkan
karakteristik histopatologi melanoma maligna (dalam persen),
yaitu
1. Melanoma maligna bentuk superfisial (Superficial Spreading
Melanoma),2. Melanoma maligna bentuk nodular (Nodular Melanoma),3.
Melanoma maligna bentuk lentigo (Lentigo Maligna Melanoma), dan
4. Acral-Lentiginous Maligna Melanoma. 3.5.2 Angka Kejadian
Melanoma Maligna3.5.2.1Definisi
Perbandingan jumlah sampel yang didiagnosis melanoma maligna
(kasus baru dan kasus lama) dengan jumlah semua sampel yang
diperiksa di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin tahun
2009 hingga tahun 2013.
3.5.2.2Alat Ukur
Arsip.
3.5.2.3Cara Ukur
Jumlah sampel yang didiagnosis melanoma maligna dibagi jumlah
semua sampel kelenjar kulit dikalikan 1000.3.5.2.4 Hasil Ukur
Angka kejadian melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RSUP
Dr. Mohammad Hoesin tahun 2009 hingga tahun 2013.
3.5.3Usia3.5.3.1Definisi
Usia pada penderita melanoma maligna yang tercantum di arsip di
Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin tahun 2009 hingga
tahun 2013. 3.5.3.2Alat Ukur
Arsip.3.5.3.3 Cara Ukur
Data usia pasien melanoma maligna dicatat lalu dibuat dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi menggunakan kaidah sturgess,
kemudian dihitung persentase penderita melanoma maligna berdasarkan
kelompok usia.
Jumlah sampel melanoma maligna dalam kelompok usia tertentu
dibagi jumlah semua sampel yang didiagnosis melanoma maligna
dikalikan 100%. 3.5.3.4 Hasil Ukur
Distribusi frekuensi berdasarkan usia pada penderita melanoma
maligna (dalam persen).3.5.4. Jenis Kelamin
3.5.4.1. Definisi
Jenis kelamin pada penderita melanoma maligna yang tercantum di
arsip di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin tahun
2009 hingga tahun 2013.
3.5.4.2. Alat Ukur
Arsip.
3.5.4.3. Cara Ukur
Data jenis kelamin pasien melanoma maligna dicatat lalu dibuat
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi menggunakan kaidah
sturgess, kemudian dihitung persentase penderita melanoma maligna
berdasarkan kelompok jenis kelamin.
Jumlah sampel melanoma maligna dalam kelompok jenis kelamin
tertentu dibagi jumlah semua sampel yang didiagnosis melanoma
maligna dikalikan 100%. 3.5.4.4. Hasil Ukur
Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin pada penderita
melanoma maligna (dalam persen).3.6. Cara Pengumpulan Data dan Alur
PenelitianPenelitian ini menggunakan data sekunder berupa arsip
pasien yang memeriksakan jaringan kulitnya yang diperoleh di Bagian
Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama 4 tahun
yaitu tahun 2009 hingga tahun 2013 yang memenuhi kriteria inklusi
dan ekslusi yang ditetapkan.
3.7. Cara Pengolahan dan Analisis DataData yang telah diperoleh
dari rekam medik diolah dengan cara editing, coding dan tabulating.
Data yang didapat dari hasil penelitian akan ditampilkan dalam
bentuk tabel dan narasi.3.8. Kerangka Operasional
SHAPE \* MERGEFORMAT
SHAPE \* MERGEFORMAT
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Desember 2014 di
Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dengan
pengambilan data dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2014 sampai 1
November 2014. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari
formulir pendaftaran dan hasil jawaban patologi anatomi melanoma
maligna di Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Muhammad Hoesin
Palembang pada tahun 2009 sampai 2013. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik histopatologi pada penderita
melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RS Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2009 sampai 2013. Selain itu, penelitian ini
juga bertujuan untuk mengetahui karakteristik histopatologi setiap
jenis melanoma maligna berdasarkan klasifikasi CLARK dan MIHM serta
Reed pada penderita melanoma maligna, mengetahui angka kejadian
melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RS Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2009 sampai 2013, mengetahui distribusi
frekuensi penderita melanoma maligna berdasarkan usia dan jenis
kelamin pasien di Bagian Patologi Anatomi RS Dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada tahun 2009 sampai 2013. Populasi pada penelitian ini
adalah semua arsip pasien yang diperiksa di Bagian Patologi Anatomi
RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama tahun 2009 hingga tahun
2013 yaitu sebanyak 29.175 orang. Subjek penelitian diambil dari
populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu arsip milik pasien
yang memeriksakan jaringan kulitnya di Bagian Patologi Anatomi RS
Dr. Mohammad Hoesin Palembang yang telah diidentifikasi
karakteristik histopatologi jaringan kulitnya dengan diagnosis
melanoma maligna serta memiliki data lengkap untuk memenuhi
variabel penelitian. Hasil penelitian yang didapat disajikan dalam
bentuk tabel, diagram dan narasi. 4.1.1. Angka Kejadian Melanoma
Maligna
Berdasarkan arsip rekam medik, jumlah pasien yang melakukan
pemeriksaan histopatologi di Bagian Patologi Anatomi RSUP. Dr.
Muhammad Hoesin Palembang tahun 2009 sampai dengan 2013 adalah
29.175 orang. Dari populasi tersebut ditemukan 30 kasus melanoma
maligna, dengan deskripsi sebagai berikut:Tabel 2. Angka kejadian
melanoma maligna
Tahun KejadianKasusPopulasiAngka Kejadian (%)
2009350430.06
2010457830.07
2011449680.08
20121357180.28
2013676630.078
Total30291750.103
Berdasarkan tabel dan formula di atas, dapat diketahui bahwa
angka kejadian melanoma maligna selama 5 tahun adalah 0.103% dengan
proporsi tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu 0.28%.
4.1.2. Distribusi Frekuensi Melanoma Maligna Berdasarkan
Usia
Penelitian ini menggunakan formula Sturgess untuk menghitung
distribusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan usia, sehingga
didapatkan enam kelompok usia dengan masing-masing interval 10.
Hasil distribusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan usia dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:Tabel 3. Distribusi frekuensi
melanoma maligna berdasarkan usia
Kelompok UsiaJumlah Pasien (n)Persentase (%)
21-3113.33
32-4226.67
43-53930.00
54-64620.00
65-75723.33
76-86516.67
Total30100
Berdasarkan tabel di atas, jumlah pasien melanoma maligna
terbanyak terdapat pada kelompok usia 43-53 tahun yaitu 9 orang
(30.00%), diikuti kelompok usia 65-75 tahun sebanyak 7 orang
(23.33%), kelompok usia 54-64 tahun sebanyak 6 orang (20.00%),
kelompok usia 76-86 tahun sebanyak 5 orang (16.67%), kelompok usia
32-42 tahun sebanyak 2 orang (6.67) dan 1 orang pada kelompok usia
21-31 tahun (3.33%).
4.1.3. Distribusi Frekuensi Melanoma Maligna berdasarkan Jenis
Kelamin
Melanoma maligna adalah keganasan pada melanosit yang dapat
menyerang laki-laki maupun perempuan. Beberapa penelitian
menunjukkan kecenderungan terjadinya melanoma maligna pada satu
kelompok jenis kelamin.
Berikut merupakan tabel 6 yang memperlihatkan hasil distribusi
frekuensi pasien melanoma maligna berdasarkan jenis kelamin yang
didapatkan pada penelitian ini:
Tabel 4. Distribusi frekuensi melanoma maligna berdasarkan jenis
kelaminJenis KelaminFrekuensiPersentase (%)
L930
P2170
Jumlah30100.0
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4, melanoma maligna
lebih sering terjadi pada perempuan dengan persentase sebanyak 70%
daripada laki-laki yaitu dengan persentase sebanyak 30%. 4.1.4.
Distribusi Frekuensi Melanoma Maligna berdasarkan Gambaran
HistopatologiBerdasarkan karakteristik histopatologi, terdapat 3
jenis melanoma maligna (Clark, 1967;1969 dan Mc Govern, 1970)
dengan 1 jenis tambahan baru (Reed, 1976 dan Seiji, M. Dkk., 1977),
secara berurutan terdiri dari superficial spreading melanoma,
nodular melanoma, lentiginous melanoma, dan acral lentiginous
melanoma. Pada penelitian ini, hasil distribusi pasien melanoma
maligna berdasarkan gambaran histopatologinya dapat dilihat pada
tabel dibawah ini: Tabel 5. Distribusi frekuensi melanoma maligna
berdasarkan gambaran histopatologi
Jenis Melanoma MalignaJumlahPersentase (%)
Superficial Spreading Melanoma (SSM)00
Lentiginous Melanoma (LM)00
Nodular Melanoma (NM)30100
Acral Lentiginous Melanoma (ALM)00
Total30100
Berdasarkan tabel diatas, semua arsip pasien di Bagian Patologi
Anatomi yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 30 arsip. Semua
arsip yang memenuhi kriteria inklusi tersebut adalah jenis nodular
melanoma dengan persentase 100%.4.2. Pembahasan
4.2.1. Angka Kejadian Melanoma Maligna
Hasil penelitian mengenai angka kejadian melanoma maligna
menunjukkan bahwa dari 29.175 pasien yang melakukan pemeriksaan
histopatologi di Bagian Patologi Anatomi RSUP. Dr. Muhammad Hoesin
Palembang tahun 2009-2013, terdapat 30 pasien yang didiagnosis
melanoma maligna. Jumlah kasus pada setiap tahunnya dapat dilihat
pada grafik berikut:
Gambar 22. Kasus melanoma maligna tahun 2009-2013Berdasarkan
data yang tertera pada gambar diatas, dapat diketahui bahwa kasus
melanoma maligna di Bagian Patologi Anatomi RSMH pada tahun 2009
adalah sebanyak 3 kasus (0.06%), lalu meningkat pada tahun
berikutnya yaitu sebanyak 4 kasus (0.07%). Pada tahun 2011, jumlah
kasus melanoma maligna pada kulit sama dengan tahun sebelumnya
yaitu 4 kasus dengan angka kejadian 0.08%. Namun pada tahun 2012,
kasus melanoma maligna mengalami peningkatan yang signifikan yaitu
sebanyak 13 kasus dengan angka kejadian 0.28%, yang kemudian
menurun pada tahun 2013 menjadi 6 kasus dengan angka kejadian
0.078%. Secara keseluruhan, angka kejadian melanoma maligna tahun
2009-2013 mencapai angka 0.103% dengan jumlah kasus sebanyak 30
kasus. Angka k