KAREBA PALU KORO KABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG Januari 2019 - II edisi #6 Seorang warga melintas di wilayah terdampak likuefaksi di Desa Langaleso, Kabupaten Sigi. Foto: Martin Dody/ERCB PENATAAN RUANG UNTUK MITIGASI RISIKO BENCANA Bertempat di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Palu, Selasa 8 Januari 2019 lalu, diadakan acara bincang santai untuk mengulas rencana Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan memasukkan aspek mitigasi risiko bencana. Narasumber yang hadir dalam kesempatan itu adalah Syaifullah Djafar, Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng, Gifvents Lasimpo dari LSM Komiu, dan Abdullah selaku perwakilan Akademisi dari Universitas Tadulako (UNTAD). Hadir pula para peserta dari berbagai LSM dan pengamat lainnya. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dari satu jam itu mengkaji tentang sejauh mana proses pembuatan atau revisi RTRW wilayah Sulteng dan rencana tata ruang bencana kota Palu dan sekitarnya. Sebelumnya, RTRW kabupaten atau kota telah dibuat untuk kurun waktu 2013-2033 dengan melakukan pengkajian kembali atau evaluasi setiap 5 tahun sekali. Sangat disayangkan rencana evaluasi 5 tahunan tersebut tertunda akibat bencana gempa, tsunami dan likuifaksi tanggal 28 September 2018 yang lalu. “Padahal dalam kajian RTRW 5 tahunan itu rencananya akan dilakukan revisi berdasarkan temuan terkait keperluan dan kebutuhan aktivitas penggunaan ruang yang sudah tidak sesuai dengan RTRW yang telah disepakati sebelumnya,” kata Syaifullah. Di satu sisi, kejadian itu semakin menyadarkan pemerintah daerah untuk lebih memprioritaskan mitigasi risiko bencana dalam penyusunan dan pelaksanaan RTRW di Sulteng. Model mitigasi yang digunakan misalnya dengan penetapan zonasi yang terbagi menjadi: 1. Zona terlarang 2. Zona terbatas 3. Zona diawasi secara ketat 4. Zona pengembangan “Pasca bencana pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan zonasi tersebut karena tidak memiliki kapasitas yg mumpuni, ketersediaan sumber daya manusia, aspek pembiayaan, dan kompetensi,” tambah Syaifullah. Zona Berbahaya Dalam kajian aspek mitigasi dan penetapan zonasi, pemerintah daerah dibantu oleh pemerintah pusat dalam hal ini ialah kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Bersambung ke halaman 6...
8
Embed
Foto: Martin Dody/ERCB PENATAAN RUANG UNTUK MITIGASI … file“Pasca bencana pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan zonasi tersebut karena tidak memiliki kapasitas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG
Januari 2019 - II edisi #6
Seorang warga melintas di wilayah terdampak likuefaksi di
Desa Langaleso, Kabupaten Sigi. Foto: Martin Dody/ERCB
PENATAAN RUANG UNTUK MITIGASI RISIKO BENCANA
Bertempat di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Palu,
Selasa 8 Januari 2019 lalu, diadakan acara bincang santai
untuk mengulas rencana Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah
(Sulteng) terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan
memasukkan aspek mitigasi risiko bencana.
Narasumber yang hadir dalam kesempatan itu adalah Syaifullah
Djafar, Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi
Sulteng, Gifvents Lasimpo dari LSM Komiu, dan Abdullah selaku
perwakilan Akademisi dari Universitas Tadulako (UNTAD). Hadir
pula para peserta dari berbagai LSM dan pengamat lainnya.
Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dari satu jam
itu mengkaji tentang sejauh mana proses pembuatan atau revisi
RTRW wilayah Sulteng dan rencana tata ruang bencana kota Palu
dan sekitarnya.
Sebelumnya, RTRW kabupaten atau kota telah dibuat untuk
kurun waktu 2013-2033 dengan melakukan pengkajian kembali
atau evaluasi setiap 5 tahun sekali. Sangat disayangkan rencana
evaluasi 5 tahunan tersebut tertunda akibat bencana gempa,
tsunami dan likuifaksi tanggal 28 September 2018 yang lalu.
“Padahal dalam kajian RTRW 5 tahunan itu rencananya akan
dilakukan revisi berdasarkan temuan terkait keperluan dan
kebutuhan aktivitas penggunaan ruang yang sudah tidak sesuai
dengan RTRW yang telah disepakati sebelumnya,” kata Syaifullah.
Di satu sisi, kejadian itu semakin menyadarkan pemerintah
daerah untuk lebih memprioritaskan mitigasi risiko bencana
dalam penyusunan dan pelaksanaan RTRW di Sulteng. Model
mitigasi yang digunakan misalnya dengan penetapan zonasi
yang terbagi menjadi:
1. Zona terlarang
2. Zona terbatas
3. Zona diawasi secara ketat
4. Zona pengembangan
“Pasca bencana pemerintah daerah mengalami kesulitan
dalam menetapkan zonasi tersebut karena tidak memiliki
kapasitas yg mumpuni, ketersediaan sumber daya manusia, aspek
pembiayaan, dan kompetensi,” tambah Syaifullah.
Zona Berbahaya
Dalam kajian aspek mitigasi dan penetapan zonasi, pemerintah
daerah dibantu oleh pemerintah pusat dalam hal ini ialah
kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
Bersambung ke halaman 6...
KAREBA PALU KORO
MENGKAJI KEBUTUHAN DAN RISIKO
Terletak di wilayah Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi
Tengah, Kelurahan Buluri berbatasan langsung dengan Kelurahan
Tipo dan Kelurahan Watusampu. Kelurahan ini cukup parah
terdampak oleh bencana gempa, tsunami dan penurunan atau
perubahan daratan yang terjadi pada 28 September 2018 yang
lalu. Bahkan akibat penurunan daratan, beberapa kawasannya
menjadi kawasan perairan.
Peristiwa bencana tersebut masih membekas di ingatan
masyarakat.
“Hingga saat ini kami masih berada di tenda-tenda
pengungsian, bukan semata-mata hanya menunggu bantuan dari
relawan tetapi kami masih trauma dengan peristiwa itu,” kata Seili,
ketua RT3 RW 1 Kelurahan Buluri.
Selain menyebabkan 25 korban meninggal dunia dan memberi
dampak psikologis bagi masyarakat setempat, bencana tsunami
ini juga mengubah ruang gerak masyarakat sekitar, dikarenakan
kondisi beberapa kawasan yang berubah menjadi perairan.
Masyarakat Buluri yang tinggal di kelurahan Buluri mayoritas
berasal dari Suku Kaili Unde selain suku-suku pendatang lainnya
seperti Jawa, Bugis, dan lainnya. Mata pencaharian masyarakat
setempat cukup beragam, mulai dari buruh harian lepas di
perusahaan tambang batu, nelayan, peternak, pedagang,
karyawan perusahaan hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kawasan pesisir pantai yang sebelumnya merupakan kawasan
hunian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan ini, kini telah
ditetapkan sebagai zona terlarang. Perubahan fungsi dari daratan
menjadi kawasan perairan juga terjadi pada kebun kelapa yang
terletak di belakang rumah warga serta beberapa lokasi berternak
di sekitar pesisir karena kini terjangkau oleh air laut ketika
mengalami pasang.
Sebenarnya, kawasan pemukiman masyarakat di kawasan
pesisir yang dihuni oleh kurang lebih 108 kepala keluarga (KK)
telah ditetapkan sebagai zona terlarang jika mengacu pada
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) wilayah kota Palu yang masih
coba disusun dari tahun 2018 yang memasukkan aspek mitigasi
sebagai rujukan bersama terkait penataan kembali kawasan
pesisir. Jika hal itu diterapkan di kawasan ini maka batas layak
hunian yang pernah terpapar bencana tsunami haruslah berjarak
100-200 meter dari pasang air laut tertinggi. Oleh kelompok
relawan kebencanaan, sejumlah 108 KK yang berada di dalam
zona tersebut dipersiapkan untuk direlokasi ke hunian sementara
(huntara) yang berada di lapangan sepak bola di Buluri.
Dalam kegiatan kajian kebutuhan pascabencana (jitupasna),
ERCB melakukan pengkajian di Kelurahan Buluri dengan cara
observasi kembali, focus group discussion (FGD), dan evaluasi.
Pada hari Jumat tanggal 18 Januri 2019, dilaksanakan FGD di dua
tempat yakni di kediaman Seili, Ketua RT 3 dan di kantor Kelurahan
Buluri. Teknis kegiatan yang dilakukan di kediaman Pak Seili yaitu
pemaparan tentang jitupasna, wawancara, diskusi, pemetaan
masalah secara partisipatif, dan mencari masukan-masukan atau
tanggapan terkait kegiatan jitupasna. Sedangkan kegiatan di
kantor Kelurahan Buluri terkait pengenalan kegiatan jitupasna.
Dalam proses tersebut banyak ditemukan sektor-sektor yang
sebaiknya menjadi prioritas pendampingan oleh pemerintah
maupun LSM. Sektor-sektor tersebut diantaranya kebutuhan
akan layanan psikososial dan kerentanan-kerentanan di tingkat
masyarakat seperti perasaan trauma dan ketergantungan
terhadap bantuan. Sedangkan di sektor ekonomi, temuan-
temuannya terkait mata pencaharian dan jumlah pendapatan
pasca bencana. Perubahan ekologi dari kawasan daratan menjadi
perairan dan kesepakatan untuk penetapan lokasi huntara juga
menjadi sektor yang perlu diperhatikan. (se/mdk)
Warga Buluri sedang mengkaji kebutuhan dan risiko. Foto: Valens Pranasetyawan
02
KAREBA PALU KORO
Bangkit lagi, maju lagi, bangkit… Sama-sama bangkitBangkit lagi, kuat lagi, bangkit… Palu ayo bangkit
Demikian penggalan lirik yang dinyanyikan oleh Juli Idin Lanja
dan Aci The Box, seniman yang juga penyintas dari Balaroa pada
acara Bincang Santai yang diadakan di Sekretariat Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Palu 25 Januari 2019 yang bertemakan: “Potret
Penanganan Pengungsi 4 Bulan Pascabencana.”
Empat bulan pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di
Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) masih meninggalkan beberapa
persoalan terkait penanganan kebencanaan di ketiga wilayah
kabupaten tersebut dan pemenuhan kebutuhan para penyintas.
Beberapa permasalahan seperti penyediaan air bersih, sanitasi,
pembagian logistik yang kurang merata, munculnya penyakit,
dan kurang terlindunginya kelompok rentan menjadi catatan
tersendiri. Di sektor hunian pun pemenuhan jumlah hunian
sementara (huntara) masih cukup jauh dari yang ditargetkan
sehingga pemindahan penyintas ke huntara pun molor dari
rencana semula bisa selesai di bulan Desember 2018.
Berdasarkan Buku Panduan Operasional IASC (Komite Tetap
Antar-Lembaga) tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan
Bencana-bencana Alam tentang Melindungi Para Korban
Bencana Alam, ada hak-hak para penyintas yang harus dilindungi.
Kendala yang terjadi adalah sampai dengan dirilis pada
tanggal 8 Januari 2019 yang lalu, data tersebut dirasa belum
valid.
“Berdasarkan ajuan data tersebut, jaminan hidup (jadup), ahli
waris, dan isian huntara diberikan,” sambung Ridwan.
Terkait huntara, kewenangannya berada di tangan PUPR.
Pemerintah provinsi hanya mengeluarkan rekomendasi
berdasarkan masukan dari pemerintah kota, misalnya, lokasi
dimana huntara tersebut akan dibangun.
Upaya-upaya untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan
respons yang dilakukan, pemerintah provinsi, khususnya
gubernur menuntut data yang valid untuk kemudian bisa
ditindaklanjuti melalui permohonan baik ke pemerintah pusat
maupun lembaga-lembaga non-pemerintah untuk kemudian
bisa langsung disalurkan ke para penyintas.
“Gubernur (Sulteng, Longki Djanggola) tidak pernah menunda
permintaan yang masuk ke provinsi, dan evaluasi selalu
dilakukan bersama pihak-pihak yang terkait,” kata Ridwan.
Untuk sebulan kedepan, gubernur sudah menginstruksikan
untuk konsentrasi pada pembangunan huntara memberikan
jadup sesuai verifikasi dan validasi data dari kabupaten kota.
Walaupun pembangunannya belum memenuhi target jumlah,
namun untuk para penyintas yang sudah masuk ke huntara
segera diberi isian-isian huntara melalui Dinas Sosial. Untuk
para penyintas yang belum masuk hutara, Ridwan menyatakan
bahwa pemerintah provinsi bekerja sama dengan lembaga-
lembaga non pemerintah dengan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah provinsi.
Pada akhir acara, sebelum masa transisi berakhir pada tanggal
23 Februari mendatang, karena masih banyak target yang
belum terpenuhi, ada baiknya koordinasi antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat dan dinas-dinas yang terkait
diperbaiki agar bisa terjadi percepatan. Pentingnya memberikan
informasi kepada masyarakat tentang kebijakan-kebijakan
pemerintah menyangkut jadup, huntara, dan hal-hal lain yang
terkait dengan pemberian hak para penyintas (manajemen
informasi) serta data yang valid menjadi penekanan dari
berbagai pihak agar segala intervensi yang dijalankan berjalan
dengan lebih baik, tepat sasaran, dan para penyintas benar-
benar menerima manfaatnya. (mdk)
Sambungan halaman 3...
05
KAREBA PALU KORO
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) melalui pengembangan wilayah dan pusat gempa, dan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui
badan geologi hingga tersusun peta yang menjadi rujukan
mitigasi risiko bencana.
Zona terlarang yang menjadi prioritas pemerintah daerah
adalah sebagai berikut:
1. Di kawasan pesisir, pemerintah akan membatasi
aktivitas pengembangan baik kawasan hunian maupun
pengembangan lainnya dengan jarak 100-200 meter dari
pasang tertinggi air laut.
2. Pada wilayah yang terkena garis sesar Palu Koro ada zona
batas sekitar 15-30 meter.
3. Wilayah-wilayah bekas likuifaksi seperti Petobo, Balaroa, Desa
Jono Oge dan Sibalaya.
Tidak menutup kemungkinan wilayah yang masuk dalam
zona terlarang untuk pembangunan hunian akan dikaji kembali
menjadi lokasi-lokasi yang bisa menjadi sumber penguatan
ekonomi. Misalnya, di Desa Jono Oge bisa dikembangkan
sistem pertanian yang cocok dengan situasi dan kondisi lokasi
tersebut. Sedangkan di Balaroa dan Petobo mungkin hanya akan
didirikan monumen peringatan kejadian likuifaksi yang terjadi 28
September 2018 lalu.
Gifvents mengkritisi proses RTRW yang seharusnya melibatkan
partisipasi publik dengan memasukkan aspek-aspek kearifan
lokal.
“Penting mengingat keterbatasan pemerintah daerah terkait
referensi wilayah-wilayah yang dianggap pernah terdampak
parah oleh bencana gempa dan tsunami,” kata Gifvents.
Hal tersebut diilustrasikan dengan syair kayori atau pantun lokal
suku Kaili yang kurang lebih bermakna Kabonga Besar melihat
Tondo dan Mamboro telah tenggelam sedangkan Kayumalue
Berita Foto
PENATAANSambungan halaman 1...
06
KAREBA PALU KORO
Berita fotoSuasana di Posko Pengungsian Terpadu Loli Pesua
di Kabupaten Donggala. Tampak di latar belakang
pembangunan hunian sementara (huntara) untuk
para penyintas yang tinggal di posko. Rencana akan
dibangun sebanyak 10 unit Huntara di lokasi tersebut.
Foto: Martin Dody/ERCB
tidak tenggelam.
Selanjutnya, Abdullah, narasumber dari perwakilan akademisi
UNTAD mengingatkan bahwa, “Pemerintah daerah perlu
mempertajam peta terkait zona-zona berbahaya yang tidak hanya
terfokus pada gempa, tsunami, dan likuifaksi melainkan juga harus
memasukan zona-zona rawan longsor dan downlift atau mengalami
penurunan tanah.”
Hal itu terkait temuan saat gempa terdapat beberapa mobil di
kawasan Desa Enu kabupaten Donggala yang tertimbun hingga
korban meninggal akibat longsor saat gempa terjadi.
Selanjutnya terhadap kawasan-kawasan yang berpotensi downlift
atau mengalami penurunan permukaan tanah, juga harus menjadi
prioritas dalam mitigasi tata ruang wilayah. Misalnya, rencana
pengembangan wilayah pesisir, akan tetapi wilayah itu ternyata
masuk dalam zona downlift, maka kemungkinan kawasan tersebut
bisa berpotensi menjadi perairan laut yang permanen. Untuk itu
pemerintah daerah harus berhati-hati dalam pembangunan wilayah
pesisir baik untuk rencana pembuatan tanggul maupun rencana
lainnya. (se/mdk)
07
KAREBA PALU KORO
Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.
Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (ERCB Indonesia)
Redaksi: Martin Dody Kumoro, Sir Leyf Evan Cryf (Yayasan Merah Putih)
Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng
REDAKSIONALPELATIHAN OPEN STREET MAP
Dalam penanggulangan pascabencana
gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada
28 September 2018, serta sebagai bentuk
mitigasi bencana, Perkumpulan OpenStreetMap
Indonesia (POI) bekerja sama dengan
Emergency Response Capacity Building (ERCB)
menyelenggarakan pelatihan OpenStreetMap
(OSM) dan pengumpulan data. Pelatihan ini
ditujukan untuk meningkatkan kapasitas
komunitas lokal khususnya dalam pemetaan
partisipatif menggunakan platform opensource
dan berbagi data terbuka.
Pelatihan diadakan di kantor Karsa Institute di
Jalan Kijang IX Selatan, Palu ini diselenggarakan
selama enam hari, dari tanggal 23 hingga 28
Januari 2019.
Menurut Ilham Syaiful Huda dari Lembaga
Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP),
kemampuan pemetaan ini sangat dibutuhkan.
“Kita dapat memvisualisasikan titik-titik
dimana dampak dari bencana gempa, tsunami,
dan likuefaksi.” katanya.
Misalnya titik-titik rumah yang rusak,
infrastruktur jalan yang rusak, tempat-tempat
ibadah. Titik-titik risiko ancaman wilayah pun
dapat dipetakan. Selain memetakan titik-titik
kerusakan dan risiko, titik-titik dimana ERCB
melaksanakan intervensi juga terpetakan.
“Misalnya dimana kita membangun fasilitas
MCK, Ruang Ramah Anak (RRA), dan yang
lainnya,” sambung Ilham.
Peta dasar sudah tersedia di sistem OSM ini,
sehingga pengguna dapat mengolah peta
dasar tersebut sesuai dengan kebutuhan atau
keinginan.
“Manfaat lainnya adalah pengguna dapat
melakukan koreksi terhadap peta yang sudah
ada dalam OSM sesuai dengan kondisi terbaru
dan langsung secara real time diperbaharui oleh
sistem,” kata Muhammad Nur Ronggo D dari
LPTP.
Sistem OSM tidak mensyaratkan spesifikasi
perangkat keras tinggi. Ketika dikolaborasikan
dengan Ushahidi akan memudahkan baik
pengguna untuk memberikan informasi hasil
pemetaan yang telah dilakukan di suatu daerah
dalam bentuk peta interaktif maupun pihak-
pihak yang mengakses peta tersebut. Ushahidi
adalah sebuah platform web dan mobile yang dapat membantu kita untuk membuat,
memvisualisasikan dan berbagi cerita melalui
sebuah peta.
“Pelatihan OSM ini sangat bermanfaat
peningkatan kapasitas individu khususnya
dalam melakukan pemetaan suatu lokasi
(bencana) baik dari titik hingga kawasan,"
kata Valens Pranasetyawan dari Bina Swadaya
sebagai salah satu peserta.
Sampai dengan berita ini dituliskan, kegiatan
pemetaan wilayah sebagai bagian dari pelatihan
OSM ini masih berjalan.
“Diharapkan dengan adanya pelatihan OSM
ini, komunitas lokal dapat bertambah wawasan
dan kemampuannya dalam melakukan
pemetaan terutama menggunakan platform
opensource serta memvisualisasi hasil survey
ke dalam sebuah peta yang nantinya dapat
digunakan salah satunya untuk keperluan
kebencanaan,” pungkas Ika Selasa, salah satu
fasilitator dari POI. (mdk)
Praktik lapangan pemetaan di Desa Lewara, Kecamatan Marawola