1 FORMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBERIAN IZIN KEGIATAN PERTAMBANGAN DALAM KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN BINTAN TAHUN 2013 JURNAL Oleh : HENDRA SAPUTRA NIM. 080565201026 PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPININANG 2016
32
Embed
FORMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP …jurnal.umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1-ec61c9cb232a... · adanya larangan mengekspor bahan mentah, ... Lingkungan hidup adalah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
FORMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBERIAN IZIN
KEGIATAN PERTAMBANGAN DALAM KAWASAN HUTAN DI
KABUPATEN BINTAN TAHUN 2013
JURNAL
Oleh :
HENDRA SAPUTRA
NIM. 080565201026
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPININANG
2016
2
Abstrak
Salah satu pemanfataan sumber daya mineral tersebut adalah kegiatan usaha pertambangan. Kegiatan usaha pertambangan meliputi ekplorasi dan eksploitasi bahan tambang. Hampir di setiap wilayah Indonesia terdapat kegiatan tersebut, baik yang dilakukan secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan secara modern. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; peranan pemerintah dalam rangka mengawasi setiap usaha eksplorasi dan eksploitasi perusahaan pertambangan dalam kawasan hutan lindung. Penelitian ini bersifat empiris. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bintan. Populasi dan sampel meliputi Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, LSM Jaringan Advokasi Tambang, Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Perusahan tambang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi. Data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perusahaan di Kabupaten Bintan akan tetapi untuk sementara beberapa perusahaan tersebut berhenti beroperasi terutama mereka yang menambang bauksit, hal ini dikrenakan karena adanya larangan mengekspor bahan mentah, tambang bauksit memerlukan smelter/tempat pengolahan. Hanya tambang batu granit yang masih beroperasi saat ini. Tambang bauksit ini bernaung dibawah PT. Bina Riau Jaya dan PT. Sindo Mandiri. Kedua perusahaan tersebut tetap eksis beroparasi sampai dengan saat ini.
Kata kunci : Formulasi, izin pertambangan
3
ABSTRACT
One of the utilization of mineral resources are mining activities. Mining business activities include exploration and exploitation of minerals. Almost in every region of Indonesia there are such activities, whether conducted by traditional or by using modern equipment. In Article 1, paragraph (1) of Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal Mining.
This study aims to identify and understand the implementation of oversight of mining activities in protected areas, in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations; the role of government in order to monitor any exploration and exploitation of mining in protected forest areas. This research is empirical. The study was conducted in the District of Bintan regency. Population and sample includes Department of Agriculture and Forestry, Department of Energy and Mineral Resources, Mining Advocacy Network LSM, Forest Area Stabilization Hall, Mining company. Data collected through interviews and documentation. Data were analyzed qualitatively.
The results showed that there are several companies in Bintan regency but to temporarily cease operating some of these companies, especially those that mine bauxite, this is due because of the prohibition to export raw materials, bauxite mining requires smelter / processing site. Just a granite quarry which is still operating today.
Keywords : formulation, mining license
4
A. Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik sumber
daya alam hayati maupun nonhayati. Sumber daya alam Indonesia tersebut, tersebar
di berbagai kepulauan Indonesia baik itu di darat, di laut dan di dalam bumi. Sebagai
negara kepulauan Negara Indonesia kaya sumber daya alam yang tidak diperbaharui.
Salah satu sumber daya alam tersebut adalah sumber daya mineral atau aneka
tambang yang terkandung dalam bumi Republik Indonesia. Sumber daya mineral
merupakan endapan mineral yang diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata.
Pemanfatatan akan sumberdaya mineral di Indonesia berdasarkan atas asas manfaat.
Pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDN-RI 1945), yang menegaskan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.
Salah satu pemanfataan sumber daya mineral tersebut adalah kegiatan usaha
pertambangan. Kegiatan usaha pertambangan meliputi ekplorasi dan eksploitasi
bahan tambang. Hampir di setiap wilayah Indonesia terdapat kegiatan tersebut, baik
yang dilakukan secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan secara
modern. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (LNRI-2009-4, TLNRI-4959), yang dimaksud
dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
5
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang. Pertambangan tersebut merupakan salah satu jenis kegiatan yang
melakukan ektraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Sedangkan
tambang adalah tempat terjadinya kegiatan penambangan.
Di Indonesia, wilayah pertambangan menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya ditulis UU MINERBA) adalah
wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan
batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2010 (LNRI-2010-28, TLNRI-5110) lebih
memberikan kejelasan wilayah pertambangan, yaitu kawasan yang memiliki potensial
mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah yang
berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan.
Wilayah daratan yang memiliki potensi mineral dan batubara adalah kawasan hutan.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan benda dan kesatuan mahluk hidup
termasuk manusia terlibat didalamnya. Manusia harus menyadari bahwa lingkungan
merupakan sarana pengembangan hidup yang harus dijaga kelestariannya. Dalam
lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.5 Oleh karena itu,
kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan diperlukan suatu perizinan agar
keberadaan hutan dan ekosistemnya tetap terjaga keseimbangan dan kelestarian
lingkungannya. Perizinan Pertambangan tertuang dalam Peraturan Daerah Tentang
6
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031 dalam Bab I
ketentuan umum Pasal 1 pada poin 20 sampai 37. Dengan demikian diketahui secara
jelas dimana saja kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Lebih rinci dalam
penjelasan Peraturan ini disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bintan atau disebut RTRW Kabupaten Bintan merupakan penjabaran strategi dan
arahan kebijakan penataan ruang wilayah nasional dan Provinsi Kepulauan Riau
dalam strategi, struktur dan pola ruang wilayah Kabupaten Bintan. Penyusunan
RTRW Kabupaten Bintan ini dimaksudkan sebagai acuan/pegangan dalam
percepatan pembangunan wilayah. Produk RTRW Kabupaten Bintan harus menjadi
pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah dan telah menjadi hasil
kesepakatan semua stakeholders di daerah.
Sejak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dibuat, maka kewenangan yang luas didapatkan oleh kepala daerah, termasuk
kewenangan dalam mengurus pengelolaan sumber daya alam. Dalam
pelaksanaannya, seharusnya Otonomi Daerah menjadi utama dalam rangka
memperbaiki kesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah yang berbasis
kelestarian lingkungan. Namun selama ini, kewenangan daerah otonomi daerah
menyimpang dari apa yang diharapkan. Kewenangan-kewenangan dalam membuat
kebijakan tersebut, sesungguhnya banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan
keinginan rakyat. Hal itulah membuat maraknya konflik-konflik berbasis sumber
daya alam khususnya di bidang pertambangan.
7
Khusus mengenai pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan
dilakukan oleh Menteri. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 13 Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Mineral dan Batubara bahwa Menteri
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangannya. Adapun pengawasan kegiatan usaha pertambangan meliputi:
a. Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR);
b. Penetapan dan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral
bukan logam dan batuan;
c. Pemberian WIUP mineral logam dan batubara;
d. Pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) ;
e. Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) ; dan
f. Penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh
pemegang IPR dan IUP.
Pelaksanaan penguasaan negara atas sumberdaya alam khususnya bahan galian
baik yang menjadi kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
jelas subtansi dan tujuannya. Pelaksanaan penguasaan negara selama ini telah
disalahgunakan, sehingga menjadi salah satu sumber ketikadilan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan bahan galian. Substansi penguasaan negara ialah kewenangan yang
mencakup penentuan kebijakan mengenai pengaturan peruntukannya, penggunaan
8
dan pengawasan serta menjamin pemanfaatan bahan galian untuk kemakmuran rakyat
dibalik kewenangan tersebut.
Pelaksanaan penguasaan negara atas sumberdaya alam khususnya bahan galian
baik yang menjadi kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
jelas subtansi dan tujuannya. Pelaksanaan penguasaan negara selama ini telah
disalahgunakan, sehingga menjadi salah satu sumber ketikadilan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan bahan galian. Substansi penguasaan negara ialah kewenangan yang
mencakup penentuan kebijakan mengenai pengaturan peruntukannya, penggunaan
dan pengawasan serta menjamin pemanfaatan bahan galian untuk kemakmuran rakyat
dibalik kewenangan tersebut.
Fenomena yang terjadi dan tidak bisa terelakan lagi adalah munculnya beberapa
perusahaan yang melakukan aktifitas pertambangan di dalam kawasan hutan lindung.
Data dari Dinas Pertambangan dan Energi kabupaten Bintan tahun 2012,
menyebutkan ada 15 perusahaan tambang dengan luas usaha pertambangan seluas
3.768,14 Ha. Kegiatan pertambangan tersebut umumnya tersebar di wilayah
Kecamatan Bintan Timur, Teluk Bintan, Mantang, Gunung Kijang dan Bintan Pesisir.
Ditetapkannya izin pertambahan kawasan hutan di Kabupaten Bintan seluas 3.768,14
Ha akan semakin menambah tekanan lagi bagi kawasan hutan di Kabupaten Bintan.
Berikut cakupan luas hutan lindung di Kabupaten Bintan berdasarkan SK Menhut No.
426/Kpts-II/1987 tertanggal 28 Desember 1987:
9
Tabel I.1 Pembagian luas wilayah hutan lindung di Kabupaten Bintan
No Lokasi Luas (Ha)
1 Sei Pulai 441,20
2 Gunung Lengkuas 1.071,80
3 Gunung Kijang 760
4 Bintan Besar 280
5 Bintan Kecil 308
6 Sungai Jago 1.629,60
Sumber : Data olahan
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis tentang Bagaimana
Formulasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Pemberian Izin Kegiatan
Pertambangan Dalam Kawasan Hutan Di Kabupaten Bintan Tahun 2013
menagacu pada Peraturan Daerah nomor 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031”?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya kajian ini adalah:
1. Menemukan materi hukum/peraturan yang mengatur kebijakan pemberian
rekomendasi izin penambangan di kawasan hutan Kabupaten Bintan
2. Menemukan masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan penambangan di
kawasan hutan Kabupaten Bintan
10
3. Menganalisa dan mengevaluasi aspek hukum dalam pelaksanaan perizinan
kegiatan penambangan khususnya di kawasan hutan apakah telah berjalan
sesuai dengan prosedur yang ada.
D. Manfaat Penelitian
Adapun maksud dari kajian ini adalah diharapkan kajian ini dapat
memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi pemerintah
khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dalam rangka pembinaan hukum
yang tepat mengenai perizinan kegiatan pertambangan di kawasan hutan sehingga
pertambangan yang berada di Kabupaten Bintan tertata dan tidak ada pertambangan
liar.
E. Kerangka Teori
1. Formulasi Kebijakan
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses
pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila
kita melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka
jelas kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah
produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui
banyak persoalan pada tahap penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan
adalah penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah
steril dari unsur politik. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal
dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada
tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu
11
pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari
para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang
harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah
formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab
seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang
baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan
normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik
yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus
alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian
yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah
masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan
yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).
Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau
lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan
aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap
berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan)
dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam
lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat membuahkan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung mempengaruhi
asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian secara tidak langsung
mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam
12
aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap tertentu dari
proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap
pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan).
terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki
proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).
2. Kebijakan
Untuk menjawab pertanyaan yang diteliti oleh peneliti dan juga menjadi dasar
dalam melakukan penelitian, serta agar bisa mewujudkan tujuan dari diadakannya
penelitian ini. Maka peneliti memerlukan kerangka teori, yang mana memuat teori-
teori dari para ahli tentang masalah yang akan diteliti dan yang berhubungan dengan
penelitian ini. Menurut Usman, Husaini & Akbar (2006:8) bahwa : Teori berfungsi :
(1) mengarahkan perhatian atau untuk menerangkan (2) merangkum pengetahuan (3)
meramalkan fakta, dan (4) memeriksa gejala. Maka secara teoritis dapat digambarkan
kerangka pikirnya sebagai berikut :
a. Proses Kebijakan
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang telah dipilih dan ditetapkan
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Suharto (2010:7),” kebijakan
adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten
dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena
kebijakan itu)....”
Masih dalam Suharto (2010:7) “mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-
prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu....”
13
Orientasi kebijakan yang dikemukakan oleh Suharto adalah kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Menurut
Suharto (2008:7) menyatakan bahwa “kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat
prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana
dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.” Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap
kebijakan yang diambil adalah untuk membuat kinerja pegawai menjadi efektif dan
efisien.
Sedangkan Mustopadidjaja (2012) mendefinisikan “kebijakan sebagai suatu
keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul
dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan.” Banyak sekali definisi dari kebijakan, menurut
Winarno (2012:20) mengatakan bahwa “secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.
Sedangkan menurut Subarsono (2010:2) mengatakan bahwa “kebijakan publik
adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.”
Menurut Hogwood dan Gunn dalam Dwiyanto (2009:17-18) menyatakan bahwa :
terdapat 10 istilah kebijakan dalam pengertian modern, yaitu (1) sebagai label untuk
sebuah bidang aktivitas, (2) sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang
diharapkan, (3) sebagai proposal spesifik, (4) sebagai keputusan pemerintah, (5)
sebagai otorisasi formal, (6) sebagai sebuah program, (7) sebagai output, (8) sebagai
“hasil” (outcome), (9) sebagai teori dan model, (10) sebagai sebuah proses.
14
b. Pemerintah Daerah
Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut : “Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan diatas,
maka yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah
otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dan unsur
penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan
perangkat daerah.
Menurut S. Pamudji dalam bukunya Kerja Sama Antar Daerah dalam Rangka
Membina Wilayah menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah
adalah: “Pemerintahan Daerah adalah daerah otonom diselenggarakan secara
bersama-sama oleh seorang kepala wilayah yang sekaligus merupakan kepala daerah
otonom.” (Pamudji, 2005:15). Secara harafiah otonomi daerah berasal dari kata
otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan
namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga
dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk
membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
15
Berdasarkan pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas sesungguhnya
kita telah memiliki gambaran yang cukup mengenai otonomi daerah. Namun perlu
diketahui bahwa selain pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas, terdapat
juga beberapa pengertian otonomi daerah yang diberikan oleh beberapa ahli atau
pakar. Sedangkan menurut para ahli Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai berikut :
Pengertian Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah “Hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari
pemerintah pusat”. Selain pendapat pakar diatas, ada juga beberapa pendapat lain
yang memberikan pengertian yang berbeda mengenai otonomi daerah, antara lain :
Pengertian otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein, adalah Pemerintahan oleh
dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di
luar pemerintah pusat”.
c. Konsep Hutan Lindung
Pengertian Hutan Lindung (protection forest) adalah kawasan hutan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk
dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya, terutama menyangkut tata air dan
kesuburan tanah, tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di
sekitarnya. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.
16
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan Lindung adalah Kawasan hutan karena sifat alamiahnya diperuntukan guna
mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan
tanah. Pengertian dan definisi Hutan Lindung menurut Undang-Undang No 41 tahun
1999 Pasal 1 ayat 8 mendefinisikan Hutan lindung sebagai kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk