1 FLEKSIBELITAS WAKAF DALAM MADHHAB H{ANAFI> (Telaah Terhadap Kitab Al-Mabsu> t} Karya Al-Sarakhsi>) MAKALAH Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan Mata Kuliah Fiqh ZIS & Wakaf Oleh: MIFTAQURROHMAN, S.H.I NIM. 2121 1 2020 Dosen Pengampu: DR. MIFTAHUL HUDA, M. Ag. PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO 2013
22
Embed
Fleksibelitas wakaf dalam madzhab hanafi miftaqurrohman el qudsy
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
FLEKSIBELITAS WAKAF DALAM MADHHAB H{ANAFI>
(Telaah Terhadap Kitab Al-Mabsu>t} Karya Al-Sarakhsi>)
MAKALAH
Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan
Mata Kuliah Fiqh ZIS & Wakaf
Oleh:
MIFTAQURROHMAN, S.H.I NIM. 2121 1 2020
Dosen Pengampu:
DR. MIFTAHUL HUDA, M. Ag.
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO 2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf merupakan suatu akad tabarru‘ seperti halnya wasiat, hibah,
memerdekakan budak, dan iba>h}ah.1 Sebagai akad tabarru‘ (baca: ghoyr tija>ri>, non
commercial) wakaf mempunyai unsur tujuan vertikal (qurbah, pendekatan diri
kepada Allah) dan horizontal (kepedulian sosial). Karena adanya dua unsur ini
wakaf juga dinamakan ‘ibadah ijtima‘iyah (ibadah yang bermuatan nilai sosial).
Akan tetapi unsur horizontal lebih dominan, karena memang tujuannya adalah
tolong menolong.
Sedangkan tujuan hukum Islam tidak terlepas dari tiga pokok, yaitu
menjaga al-mas}lah}ah d}aru>ri>ya h, al-mas}lah}ah al-h}a>ji>yah, dan al-mas}lah}ah al-
tah}si>ni yah. Agama Islam menjaga kemaslahatan dlaru riyat dengan memberikan
kebebasan untuk melaksanakan praktek-praktek ibadah dan ketentuan hukum.
Dalam hal ini, wakaf menempati urutan ketiga dari maslahat yang ditawarkan
Islam, yaitu mashlahat tahsini ya t.2 Menurut al-Dahlawi> (1986/II: 116), wakaf
mengandung kemaslahatan yang tidak dijumpai dalam sedekah yang lain, sebab
kadangkala ada orang menggunakan hartanya di jalan Allah tetapi pada akhirnya
bendanya habis, padahal masih banyak orang lain yang membutuhkan. Oleh
karena itu, tidak ada sedekah yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang-orang
miskin dan ibn al-sabi>l kecuali harta wakaf yang manfaatnya terus berkembang
dan bendanya tetap permanen.3
Dalam tataran teori maupun implementasi, banyak terdapat perbedaan
(ikhtila>f) di kalangan madhhab tentang kategori syarat maupun rukun-rukunnya.
Ada pendapat yang dirasa longgar dan ada juga yang ketat. Sehingga dalam
1 ‘Abd Alla>h bin H{ija>ri> al-Sharqa>wi>, H{a>shiyat al-Sharqa>wi> ‘ala> Tuh}fat a-T}ulla>b, vol. II
5Lihat Abdul Mun‘im Saleh, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan, Berfikir induktif
Menemukan Hakikat Hukum Model al-Qawâ‘id al-Fiqhîyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
98. 6 Diterjemahkan dari biografi Al-Sarakhsi> dalam Al-Shaikh Khalil Almi>s, Faha>ris al-
Mabsu>t li Shams al-Di>n al-Sarakhsi> (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1989), 7-8. 7Sarakhs merupakan nama wilayah yang besar di Negara Khura>sa>n. Cara membaca
ejaannya yaitu dengan dibaca fath}ah huruf Si>n dan Ra>’ nya. Huruf Si>n selamanya dibaca fath}ah.
Sedangkan huruf Kha>’ ada yang membaca suku>n sehingga menjadi Sarakhsi> dan ada yang fath}ah sehingga menjadi Sarkhasi> (dengan disuku>n Ra>’nya). Sedangkan pendapat yang mu‘tamad dan
thiqah adalah jika Ra>’nya difath}ah (baca: Sarakhsi>) maka termasuk bahasa Persi, sedangkan jika
disuku>n (baca: Sarkhasi>) maka termasuk bahasa Arab serapan (mu‘arrab). Lihat Shams al-Di>n
4
bermadhhab H{anafi>), salah satu tokoh besar yang mempunyai banyak karya
(as}h}a>b al-funu>n). Beliau seorang Imam yang ‘a>lim, argumentator (h}ujjah), teolog,
yuris (faqi>h), pakar ilmu us}u>l, ahli debat (muna>dzir) dan seorang mujtahid.
Ketika remaja al-Sarakhsi> belajar fikih kepada ‘Abd al-‘Azi>z al-H{alwa>ni>
(w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih madhhab H{anafi yang bergelar Syams al-
A’immah (matahari para Imam). Setelah belajar pada al-H{alwa>ni, al-Sarakhsi
mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang ilmu, terutama ilmu
fikih. Karena penguasaan yang baik terhadap pengetahuan gurunya tersebut,
maka gelar gurunya (Syams al-A’immah) pun menjadi gelar pribadinya. Bahkan
jika disebut Syams al-A’immah tanpa keterangan di belakangnya, maka yang
dimaksud adalah al-Sarakhsi>. Sebagai bukti ketokohannya dalam madhhab
H{anafi , pendapatnya banyak dikutip dalam kitab al-Hida>yah yang merupakan
kitab standar fikih madhhab H{anafi yang banyak menjadi referensi. Beliau
menjadi pemikir yang paling terkenal pada masanya.8
Ibn Kama>l Pasha> memasukkannya ke dalam kelompok para mujtahid
dalam kasus-kasus yang tidak pernah diriwayatkan oleh pendiri madhhab (Imam
Abu> H}ani>fah). Al-Sarakhsi> berada pada peringkat ketiga dalam jajaran ulama
pengikut madhhab H{anafi . Peringkat pertama: Imam Abu> Yu>suf dan Imam
Muh}ammad bin H{asan al-Shayba>ni>, peringkat kedua: Imam Abu> H{asan ‘Ubayd
Alla>h bin H{asan al-Karkhi>. Bahkan menurut ‘Abd al-Hayy al-Laknawi>,
pengarang kitab al-Fawa>’id al-Bahi>yah fi al-Tara>jum al-Hanafi yah (sebuah buku
biografi ulama mazhab Hanafi), al-Sarakhsi berada di peringkat kedua sejajar
dengan tingkatan Abu> Bakr al-Khas}s}a>f, Abu> Ja‘far al-T>ah}a>wi>, Abu> H}asan al-
Karkhi>, dan Fakhr al-Isla>m al-Bazdawi>. Tingkatan ini menyamai para Murid
Imam Abu> H}ani>fah dalam bidang ijtihad. Beliau termasuk ulama’ besar di
kawasan ma> wara>’ al-Nahr (Transoxiana)9.
Abu> Bakr Muh}ammad bin Abi> Sahl al-Sharakhsi>, Us}u>l al-Sharakhsi>, vol. I. (Beirut: Da>r al-Kutub
Dinamakan dza>hir al-riwa>yah karena karya-karya tersebut diriwayatkan dari
Muh}ammad bin H{asan dengan riwayat yang thiqa>t (terpercaya), yaitu riwayat
yang tetap (tha>bit), massif (mutawa>tirah), dan populer (mashhu>r) darinya.
Kedua, masa>’il al-nawa>dir (masalah-masalah langka), yaitu
permasalahan-permasalahan yang diriwayatkan oleh para murid-murid Imam Abu>
H{ani>fah (as}h}a>b/tala>midz Abi> H{ani>fah) pada selain kitab-kitab tersebut, seperti
halnya karya Muh}ammad bin H{asan yang lain, yaitu al-Ki>sa>ni>ya>t, al-Ha>ru>ni>ya>t,
al-Jurja>ni>ya>t, dan al-Raqi>ya>t; ataupun karya dari murid beliau yang lain seperti
al-Muh}arrar karya H{asan bin Ziya>d dan al-Ama>li> karya Abu> Yu>su>f. Kitab-kitab
tersebut tidak dinamakan dza>hir al-riwa>yah karena tidak diriwayatkan oleh
Muh}ammad bin H{asan dengan secara jelas dan tetap sebagaimana karya-karya
pertama.
Ketiga, al-Wa>qi‘a>t (masalah-masalah realitas), yaitu permasalahan-
permasalahan hasil istinba>t} para mujtahid generasi belakangan ketika mereka
ditanya dan tidak mendapatkan suatu riwayat tentangnya. Mereka itu adalah
murid-murid dari Muh}ammad bin H{asan dan Abu> Yu>suf dan murid dari murid-
murid keduanya dan seterusnya, seperti ‘Is}a>m bin Yu>su>f, Ibn Rustum,
Muh}ammad bin Sama>‘ah, Abu> H{afs} al-Bukha>ri>, dan generasi setelahnya seperti
Muh}ammad bin Salamah, Muh}ammad bin Muqa>til al-Ra>zi>, Nus}ayr bin Yah}ya>,
Abu al-Nas}r al-Qa>sim bin Sala>m.
Termasuk dalam kategori masa>’il al-us}u>l adalah kitab al-Ka>fi> karya al-
H{a>kim al-Sha>hid Abi> al-Fad}l Muh}ammad bin Muh}ammad al-Maru>zi>, yaitu kitab
yang menjadi pegangan (mu‘tamad) di dalam meriwayatkan madhhab H{anafi>.
Kitab ini banyak dikomentari (Sharh}) oleh para pakar ahli, di antaranya yaitu
Imam al-Sarakhsi> dengan karya populernya, al-Mabsu>t}. Al-T{ursu>si> berkata: ‚Al-
Mabsu>t} karya al-Sarakhsi> adalah pendapat-pendapat yang ditolak di dalamnya
tidak boleh digunakan, tidak boleh membuat rujukan kecuali kepadanya, dan
tidak boleh berfatwa kecuali mengambil darinya.‛
Seorang Penyair (al-na>dzim) berkata:
8
Kitab-kitab dza>hir al-riwa>yah mencakup, enam kitab dengan riwayat yang tetap.
Ditulis oleh Muh}ammad al-Shayba>ni>, untuk meregulasi madhhab al-Nu‘ma>ni>.
(Yaitu) al-Ja>mi‘ al-S}aghi>r dan al-Kabi>r, (dan) al-Sayr al-Kabi>r dan al-S}aghi>r.
Kemudian al-Ziya>da>t dan al-Mabsu>t}, dengan sanad yang terpercaya dan berturut-turut.
Begitu juga kasus-kasus yang langka, yang bersanad dalam kitab tidak terpercaya.
Kemudian kasus-kasus realita, yang dikeluarkan oleh para pakar dengan dalil-dalil yang ada.
Enam kitab terangkum dalam al-Ka>fi>, karya al-Ha>kim al-Sha>hid dan dianggap mencukupi.
Komentar yang tinggi seperti Matahari, yaitu al-Mabsu>t} karya Shams al-A’immah al-Sarakhsi>.12
Al-Mabsu>t} karya al-Sarakhsi> merupakan ensiklopedia fikih Madhhab
H{anafi> yang memuat masalah-maslah pokok (masa>’il al-usu>l) yang merupakan
fikih generasi salaf yang mana dijadikan referensi utama fikih generasi khalaf,
yang tidak memungkinkan berpaling darinya. Kitab ini menjadi pegangan dalam
berfatwa, yang ditulis dengan redaksi yang mudah, isyarat yang halus, mudah
dipelajari dan dibaca bahkan oleh para pemula (al-mubtadi’i>n).
Al-Mabsu>t} tediri dari 15 jilid (berisi 30 volume). Ketika kitab tersebut
diterbitkan pada tahun 1409 H/1989 M. oleh penerbit Da>r al-Ma‘rifah Beirut,
Syekh Khali>l al-Mi>s, seorang ulama Libanon menambahkan satu jilid indeks
(katalog) untuk kelengkapan kitab tersebut di samping juga untuk mempermudah
mempelajarinya. Kitab ini didektikan oleh al-Sarakhsi> kepada muridnya ketika ia
berada di dalam penjara uzjund di wilayah Farghanah mencapai 14 jilid.
12
Bait-bait ini terdapat dalam sampul kitab al-Mabsu>t} pada tiap jilidnya yang berjumlah
tigapuluh.
9
Pendektian tersebut mengandalkan ingatan hati al-Sarakhsi dengan tanpa
merujuk pada literatur dan buku pegangan apapun. Ketika mendektikan, murid-
muridnya menyimak dari tempat atas karena penjaranya berada dibawah tanah.
Di dalam al-Mabsu>t tidak terdapat satu catatan referensipun. Dapat dimaklumi
karena hal tersebut masih belum menjadi tradisi pada waktu itu, di samping
karena posisi al-Mabsu>t sebagai kitab generasi awal (jawa: kitab babon) yang
tentunya menjadi referensi dan rujukan karya-karya generasi selanjutnya.
Dari aspek sistematika, al-Mabsu>t} tidak sama dengan buku-buku fikih
pada ummnya. Kitab ini dimulai dengan pembicaraan mengenai kebersihan
(thaha rah) seperti umumnya sistematika kitab-kitab fikih laninya. Pembicaraan
pertamanya adalah berkaitan dengan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa shalat
sebagai sendi yang paling utama bagi keislaman seorang setelah beriman kepada
Allah Swt. Pendapat ini berdasarkan pada sebuah hadis Nabi: “Shalat adalah
tiang agama dan jihad sebagai tanda amal perbuatan” (H.R. Dailami).
D. Anatomi kitab al-Mabsu>t} karya al-Sarakhsi> tentang wakaf.
Pembahasan tentang wakaf dalam kitab al-Mabsu>t} karya al-Sarakhsi> diikat
dalam satu tema yaitu kita>b al-waqf dengan tanpa diikuti oleh klasifikasi bab
maupun sub bab. Tidak seperti pembahasannya dalam kitab al-Fiqh al-Isla>mi> wa
Adillatuh karya Doktor Wahbah al-Zuh}ayli yang mencapai 100 halaman, pembahasan
wakaf dalam karya al-Sarakhsi> ini hanya menghabiskan 20 halaman, yaitu halaman
27 sampai 47 pada volume ke-12. Jumlah ini lumayan sedikit jika dibandingkan
dengan pembahasan lainnya seperti kita>b al-hibah yang menghabiskan 61
halaman dengan klasifikasi 7 bab, maupun kita>b al-fara’id} (warisan) yang
menghabiskan 167 halaman yang terdapat pada bagian akhir volume ke 29 dan
bagian awal volume 30.
Walaupun pembahasan wakaf di sini masih global, artinya hanya diikat oleh
satu judul saja berupa kita>b al-waqf, akan tetapi penulis berusaha menemukan
sistematika pembahasannya sebagai berikut:
10
1. Pengertian wakaf (halaman 27).
2. Perdebatan maupun perbedaan pendapat tentang sifat wakaf, apakah
bersifat la>zim (mengikat) ataukah ja>’iz (longgar) (halaman 27-30).
3. Landasan hukum wakaf (halaman 31).
4. Si>ghat wakaf (halaman 32).
5. Tujuan waqif (halaman 32-34).
6. Syarat sempurnanya wakaf, meliputi penyerahan (al-qabd}) dan
perwakilan (al-tawki>l) (halaman 35- 41).
7. Durasi waktu wakaf (halaman 41).
8. Penggantian benda wakaf (halaman 41-43).
9. Pengelola wakaf (halaman 43-35).
10. Wakaf harta bergerak (halaman 45)
11. Obyek wakaf (halaman 45-47).
Sistematika pembahasan tersebut merupakan tema-tema penting dalam
pembahasannya.
Berdasarkan data yang ada, penulis belum menemukan referensi yang
digunakan rujukan oleh mus}annif dalam kita>b al-waqf. Menurut asumsi penulis,
hal itu dikarenakan:
Pertama: Pembahasan wakaf termasuk dalam jilid yang didektikan oleh
al-Sarakhsi> kepada murid-muridnya di dalam penjara dengan
hanya mengandalkan ingatan hatinya.
Kedua: Al-Mabsu>t merupakan kitab generasi awal (jawa: kitab babon)
yang tentunya menjadi referensi dan rujukan karya-karya
generasi selanjutnya.
Ketiga: tidak ditemukannya nama kitab yang tercantum dalam index
ataupun catalog yang menjadi rujukan kita>b al-waqf pada
halaman 27-47 volume ke 12.
Walaupun begitu, dalam pembahasan wakaf, al-Sarakhsi mengutip ayat
al-Qur’an, beberapa hadis Nabi dan atsar sahabat.
11
BAB II
FLEKSIBELITAS WAKAF DALAM MADHHAB H{ANAFI
A. Pengertian wakaf.
Wakaf merupakan derivasi dari awqaf - yaqif – i>qa>f 13 dan waqaf -
yaqif – waqf, secara etimologi (lughah) berarti menahan (al-h}abs) dan
mencegah (al-man‘).14 Sebagaimana firman Allah SWT.:
Artinya: ‚Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian), karena
sesungguhnya mereka akan ditanya.‛ (Q.S. Al-S{a>ffa>t: 24)
Secara terminologi (syar‘i>) yaitu:
‚Suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta yang
dimiliki (dengan tidak sampai) memberikan kepemilikan
kepada orang lain.‛ 15
Dari definisi di atas Abu> H{ani>fah sendiri tidak memperbolehkan wakaf yang
seperti itu. Menurut al-Sarakhsi> bahwa yang dimaksud oleh Abu> H{ani>fah
adalah bahwa beliau tidak menjadikan wakaf sebagai sesuatu yang la>zim
(mengikat), akan tetapi sebatas akad yang ja>’iz (longgar) seperti halnya
dalam ‘a>riyah (pinjam meminjam); artinya Si wa>qif ketika menahan benda
miliknya dengan memberikan manfaatnya terhadap tujuan (kebaikan)
tertentu kepada fihak lain dia bebas untuk menarik kembali ataupun
menjualnya, karena memang benda (al-mawqu>f) tersebut secara hukum
masih menjadi hak miliknya. Wakaf dalam madhhab ini tidak memberikan
13
Wakaf dari derivasi kata ini merupakan bahasa suku Tami>m dan merupakan bahasa
yang jelek (radi>’ah), walaupun begitu bahasa inilah yang dipakai oleh orang banyak. Lihat
Wahbah al-Zuh}ayli>, Al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, vol. VIII (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2008), 151. 14
Syams al-Di>n Abu> Bakr Muh}ammad bin Abi> Sahl al-Sharakhsi>, Al-Mabsu>t}, vol. XII.
(Beyrut: Da>r al-Ma‘rifah, 1989), 27. 15
Ibid.
12
pengertian hilangnya hak kepemilikan Si wa>qif atas al-mawqu>f nya.16
Wakaf
yang la>zim hanya terdapat pada tiga hal, yaitu wakaf yang ditentukan oleh
hakim, wakaf wasiat dan wakaf untuk masjid.17
Uraian maupun perdebatan
tentang kela>ziman dan keja>’izan wakaf ini –yang di dalamnya menyinggung
juga tentang argumentasi tiga hal tersebut- ditulis secara panjang lebar oleh
mus}annif dalam empat lembar, yaitu halaman 27 sampai 30. Uraian tersebut
hampir keseluruhannya merupakan komentar atas pendapat Sang Imam (Abu>
H{anifah).
B. Landasan Hukum wakaf.
Adapun Nas}s} yang digunakan sebagai landasan hukum wakaf dalam
kitab al-Mabsu>t} karya al-Sarakhsi yaitu:
‚Diriwayatkan dari S}akhr bin Juwayri>yah dari Na >fi‘: ‚Sesungguhnya ‘Umar bin al Khattha<b memilki tanah yang dinamakan dengan tsamagh yang berupa pohon-pohon kurma yang sangat indah. Umar berkata, ‚Wahai utusan Allah saya ingin memanfaatkan hartaku yang terbaik, apakah aku bisa menyedekahkannya? Nabi menjawab: ‚Sedekahkanlah pokoknya dengan tidak dijual, dihibahkan, dan diwariskan akan tetapi hendaklah nafakahkan buahnya.‛ Lalu Umar menyedekahkan di jalan Allah, kepada para budak, tamu, orang-orang miskin, ibn sabi>l, dan sanak karabat. Maka tidak berdosa bagi orang yang mengurusnya makan sekedarnya dengan jalan yang baik atau memberi makan kepada temannya sekedarnya.‛ 18
16
Ibid.; Lihat juga al-Zuh}ayli>, Al-Fiqh al-Isla>mi>, 151. 17
Al-Zuh}ayli>, Al-Fiqh al-Isla>mi>, 151-152. 18
Al-Sharakhsi>, Al-Mabsu>t}, 31. Lihat Al-Bukha>ri>, S}ahi>h} al-Bukha>ri>, vol. III (Semarang:
Toha Putra, 1981), 196.
13
Berangkat dari hal tersebut bahwa orang yang ingin mendekatkan diri
kepada Allah, maka sepantasnya harus memilh harta terbaiknya untuk
diwakafkan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 92: “Kamu
tidak akan memperoleh kebaikan sehingga kamu menafkahkan sesuatu yang
kamu cintai”. Oleh karena itu Umar bin Khattha b ketika melakukan wakaf
selalu memilih hartanya yang terbaik.19
‚Setiap amal perbuatan manusia akan terputus karena kematian nya kecuali tiga perkara, yaitu: ilmu yang diajarkan kepada masyarakat dan mereka mengamalkan setelah kematiannya, anak saleh yang selalu mendoakannya, dan sedekah yang pahalanya mengalir sampai hari kiamat datang.‛20
Sedekah yang pahalanya mengalir sampai hari kiamat di sini merupakan
harapan dan tujuan Si wa>qif.21 Sedekah yang seperti ini mayoritas ulama’
mengarahkan kepada wakaf.22
Legalitas wakaf dalam pandangan ulama yaitu berdasarkan hadis
Nabi yang sangat populer, perilaku ‘Umar bin Khattha>b, Uthma>n bin
‘Affa>n, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib, T}alh}ah, Zubayr, ‘A >’ishah, H{afs}ah yang
melakukan wakaf dan jejaknya masih ada sampai sekarang ini. Demikian
pula wakaf yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As. tetap berlaku sampai
sekarang ini.23
Berdasarkan hadis-hadis tersebut maka hukum wakaf adalah
sunnah; dikarenakan ada perintah dan anjuran dari al-sya>ri‘ terhadapnya. Di
19
Ibid. 20
Ibid., 32. 21
Ibid. 22
Taqi>y al-di>n Abu> Bakr al-H{is}ni>, Kifa>yat al-Akhya>r, vol. II (Surabaya: Al-Hidayah,
t.t.), 319. 23
Al-Sharakhsi>, Al-Mabsu>t}, 28.
14
samping itu, di dalamnya ada unsur taqarrub (mendekatkan diri kepada
Allah). Bahkan Nabi sendiri pernah melakukan wakaf.24
C. Rukun wakaf.
Dari beberapa uraian yang tersebar dalam kita>b al-waqf, penulis tidak
menemukan redaksi secara eksplisit tentang penentuan dan penyebutan
rukun-rukun wakaf. Akan tetapi dari term-term yang ada dengan dicocokkan
terhadap referensi lain, penulis mendapati bahwa rukun wakaf ada empat,
Menurut KH. Sahal Mahfu>dz hal itu terletak pada nazhir yang menjadi penyebabnya.
Dengan demikian, ia mengusulkan agar ada dua nazhir, yaitu nazhir syar’i dan nazhir wadl’i . Nazhir sayr’i bersifat perorangan yang ditunjuk oleh wakif. Sedangkan nazhir wadl’i adalah
perorangan, badan hukum atau lembaga yang secara sah ditunjuk dalam aturan formal yang ada
Oleh karena itu, baik nazhir syar’i maupun nazhir wadh’i harus mengaplikasikan al-qawi dan al-
amin, sehingga wakaf menjadi optimal sesuai tujuan pokok wakif. Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 336.
38 Ibid., 45.
39 Ah}mad bin H{ambal Al-Shayba>ni>, Al-Musnad, vol. I (Beirut: Al-Maktabah al-Islami>
yah, t.t.), 379.
19
nas}s} al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu, jika ‘urf bertentangan
dengan nas}s}, maka disebut dengan ‘urf fa>sid (batil) yang tidak dapat
legalitas dari syariah (ghayr al-h}ujjah al-syari>yah). Bahkan dalam
kalangan Syafi’iyah dibenarkan seseorang melakukan wakaf kuda untuk
kepada orang yang berperang untuk jihad, wakaf sapi kepada pelajar
untuk diminum susunya atau dijual anaknya untuk keperluan asrama,
wakaf domba untuk diambil woll (bulu)nya, wakaf ayam atau bebek,
burung, dan sebagainya untuk diambil telurnya, wakaf hewan jantan
untuk pengembangbiakan melalui perkawianan dengan hewan-hewan
betina.40
Dengan demikian, pada esensinya pendapat Syafi’iyah sama
dengan Hanafiyah membolehkan wakaf bergerak termasuk di dalamnya
wakaf uang (cash waqf).
Pendapat di atas senada dengan pendirian Abu> H{ani>fah yang
memperhatiakn muamalah yang mendatangkan maslahat bagi manusia.
Jika tidak ada dalil, Abu> H{ani>fah melakukan teori qiya>s. Namun, jika
tidak bisa dengan qiya>s, maka menggunakan istihsan selama dapat
dilakukakan. Jika tidak bisa dengan istih}sa>n, maka kembali pada ‘urf
manusia. Oleh karena itu, wakaf berupa barang yang dapat dipindahkan
(al-manqu>la>t) jika tidak ada dasar yang jelas dan qat}‘i> dalam nash al-
Qur’an dan al-Sunnah, maka wakaf tersebut sah secara syar’i dengan
Saleh, Abdul Mun‘im. Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan, Berfikir induktif Menemukan Hakikat Hukum Model al-Qawâ‘id al-Fiqhîyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.