TUGAS MATA KULIAH FORMULASI DAN LEGITIMASI KEBIJAKAN PUBLIK
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYANDANG
DIFABEL DI KOTA YOGYAKARTA
Disusun Oleh :
Hesty Pangesti Aji Dita Rouli Sinaga Lita Munarsih Fitriana
Nurcahyani Dhienda Viola Dewintha
09/280172/SP/23163 09/282005/SP/23365 09/283005/SP/23641
09/285842/SP/23715 09/285857/SP/23717
JURUSAN MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2012
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYANDANG
DIFABEL
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang No 4
Tahun 1997 penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari: (a) penyandang cacat fisik, (b)
penyandang cacat mental, dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.
Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga
memiliki hak, kedudukan, dan peran yang sama. Masyarakat difabel
berasal dari bahasa Inggris yaitu people with different abilities
yaitu masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda dengan
masyarakat normal baik secara fisik maupun mental (Purwanta, 2002 :
4) dan segala keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut
tidak dapat dijadikan alasan bagi mereka atau siapa saja untuk
melakukan pembatasan sosial baik secara langsung maupun tak
langsung. Istilah masyarakat difabel tidak hanya terpaku pada
mereka penyandang cacat tetapi istilah difabel memiliki pengertian
yang lebih luwes dan luas yaitu orang yang memiliki hambatan
sementara maupun permanen dalam menjalankan keseharian mereka,
termasuk di dalamnya ibu hamil, anak-anak, lanjut usia, pengguna
kursi roda, kruk, tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan sebagainya.
Menurut data WHO, sekitar 10 persen atau kurang lebih 23 juta dari
jumlah total penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki
kemampuan terbatas dan mengalami fenomena permasalahan yang hampir
sama berkaitan dengan hak terhadap penyediaan ruang-ruang publik
yang tidak aksessibel dan belum bisa melayani kebutuhan spesifik
aktivitas mereka (Gemma, Maret 2002). Namun dalam kehidupannya para
penyandang cacat ini memiliki keterbatasan dalam mengakses
pelayanan publik yang seharusnya masih menjadi hak mereka. Beberapa
kendala tersebut muncul dikarenakan beberapa kebijakan
publik yang ada masih kurang sensitif terhadap keberadaan
mereka. Hal ini tercermin dengan masih kurangnya fasilitas
pelayanan publik yang dikhususkan bagi para penyandang cacat.
Seharusnya pemerintah memberikan perlakuan khusus bagi mereka
sehingga dengan begitu para penyandang cacat ini tidak lagi merasa
termarginalkan dan dapat mengakses fasilitas publik layaknya
masyarakat unum lainnya. Pelayanan publik yang aksessibel bagi
masyarakat difabel merupakan ruang terbuka publik yang
memperhatikan kebutuhan spesifik masyarakat difabel yaitu fasilitas
pelayanan publik yang memenuhi persyaratan teknis aksessibilitas
dan sesuai dengan akses aksessibilitas (Keputusan Menteri Pekerjan
Umum No 468/KPTS/1998). Penyediaan pelayanan publik yang aksessibel
bagi masyarakat difabel mempunyai pengertian bukan mengistimewakan
masyarakat difabel dalam penyediaan pelayanan publik, tetapi
penyediaan tersebut merupakan suatu pendekatan yang memperhatikan
dan mempertimbangkan kebutuhan spesifik masyarakat difabel
sekaligus juga memenuhi kebutuhan pengguna lain secara umum. Hal
ini lebih merujuk kepada penyediaan pelayanan publik yang dapat
dimasuki oleh semua orang termasuk masyarakat difabel, dan
masyarakat difabel tersebut dapat menikmati serta menggunakan
segala fasilitas yang ada didalamnya tanpa harus menjadi objek
belas kasihan orang lain. 1. LANDASAN FILOSOFIS Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28C ayat (1)
menjelaskan bahwa Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia. Artinya bahwa pemerintah sebenarnya berkewajiban
menjamin semua hak masyarakat tanpa terkecuali para kaum difabel.
Namun dalam kenyataannya para kaum difabel ini masih kurang
diperhatika hak nya oleh pemerintah, hal ini terbukti dengan masih
kurangnya kebijakan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuha
mereka.
2. LANDASAN YURIDIS Kebijakan publik yang mengatur tentang
penyandang difabel telah ditetapkan pada Undang-undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang cacat dan juga melalui Peraturan
Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Undang-undang 4 Tahun 1997
menjadi rujukan untuk melaksnakan kebijakan pelayanan kepada kaum
difak abel. Undang-undang tersebut sudah mengakomodasi beberapa hak
namun belum semua hak hak kaum difabel terpenuhi. Pasal 5 : Setiap
penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pasal 6 : Setiap penyandang
cacat berhak memperoleh 1. Pendidikan pendidikan. 2. Pekerjaan dan
penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajad kecacatan,
pendidikan, dan kemampuannya. 3. Perlakuan yang sama untuk berperan
dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya. 4. Aksesibilitas
dalam rangka kemandiriannya. 5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, dan 6. Hak yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat. Pada pasal 5 menjelaskan bahwa kaum difabel mendapat
hak dan kesempatan yang sama dalam semua aspek masyarakat namun
pada pasal 6 dalam mengatur pekerjaan hak tersebut masih diikuti
dengan syarat kesesuaian dengan jenis derajat, pendidikan, dan
kemampuan kaum difabel. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 juga tidak
mengatur secara memadai pemenuhan hak atas kesehatan karena hanya
ada satu pasal dalam Undangundang tersebut yakni pasal 18, sebagai
berikut: Pasal 18 1. Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. pada semua
satuan, jalur, jenis, dan jenjang
2. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi
rehabilitasi medic, pendidikan, pelatihan dan sosial. 3. Ketentuan
Pemerintah. Masalahnya adalah pelayanan kesehatan hanya
direpresentasikan pada rehabilitasi publik dimana hal ini
mengabaikan kebutuhan dan kepentingan yang sangat penting atas
pelayanan kesehatan bagi kaum difabel. 3. LANDASAN SOSIOLOGIS Dalam
budaya jawa dipercaya bahwa kelahiran anak cacat disebabkan oleh
perilaku dari orang tuanya yang bertentangan dengan norma,
contohnya saat istri hamil maka suami tidak boleh membunuh binatang
sekecil apapun. Peristiwa ini dianggap sebagai aib bagi keluarganya
sehingga anak-anak cacat akan disembunyikan dari lingkungan
masyarakat. Kemudian juga banyak opini masyarakat tentang difabel
yang menganggap mereka tidak berkompeten seperti dalam filosofi
jawa disuguhke dayoh (enak dipandang oleh para tamu). Jadi yag
dimaksud adalah ukuran kepantasan seseorang dinilai dari fisik,
difabel dianggap tidak pantas karena selain tidak enak dipandang
juga diragukan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu ada juga
yang menganggap bahwa dalam diri penyandang difabel terdapat
kekuatan supranatural yang dipercaya mempunyai kekuatan lebih dari
manusia normal lainnya, misalnya dipercaya bisa mengobati berbagai
macam penyakit, memecahkan berbagai macam masalah atau bahkan
memperlancar rejeki. Penyandang difabel dianggap mampu
berkomunikasi dan mempunyai akses yang lebih baik dengan Tuhan
sehingga melalui doa-doa serta harapan mereka akan mudah terkabul.
Pada kepercayaan ini menyertakan sikap yang lebih positif dan ada
sikap seperti penghargaan terhadap penyandang difabel. Dalam rentan
waktu yang semakin berjalan, terjadi perubahan dalam kehidupan
sosial masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pemahaman
masyarakat karena pendidikan dan instrumen perubahan lainnya juga
mempengaruhi makna dan sikap masyarakat terhadap kecacatan. Sikap
sosial terhadap penyandang difabel bukan lagi pemaknaan sebagai
karma akibat pelanggaran terhadap norma, karena anak yang terlahir
sebagai anak mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan
cacat dianggap sebagai ketidakberuntungan atau musibah sehingga
yang muncul adalah sikap simpati dan kasihan, sehingga melahirkan
tindakan sosial yaitu memberi santunan kepada anak atau orang yang
cacat. Tindakan sosial ini kemudian dilembagakan dalam bentuk
pendirian panti-panti sosial yang menampung dan merawat orang-orang
yang hidup dengan kecacatan. B. IDENTIFIKASI MASALAH 1. PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan salah satu hak para kaum difabel yang dijamin
oleh undang-undang. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Penididikan Nasional sudah terdapat beberapa aturan terkait
dengan hak dan kewajiban bagi para kaum difabel. Dijelaskan pada
pasal 5 ayat 1 bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama
untuk memeperoleh pendidikan yang bermutu. Dan juga pasal 5 ayat 2
bahwa seluruh warga negara dengan kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, atau sosial berhak memeperoleh pendidikan
khusus. Selain itu di dalam Undang-undang Penyandang Cacat juga
terdapat pasal yang juga menjamin hak kaum difabel atas pendidikan
yaitu terdapat pada pasal 6 setiap penyandang cacat berhak
memeperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan. Kemudian juga dijelaskan pada Undang-undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 54 juga menjelaskan
bahwa setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya Negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan
martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pendidikan inklusif adalah menyelenggarakan pelayanan
pendidikan melalui proses pembelajaran yang mewadai bagi peserta
didik yang berlatar belakang dan berkebutuhan berbeda-beda dalam
suatu satuan pendidikan. Pelaksanaan pendidikan bagi para kaum
difabel memang tidak seharusnya kemudian dipisahkan dengan
pendidikan umum lainnya. Bentuk pendidikan yang lebih relevan bagi
para kaum difabel ini adalah berbentuk sekolah inklusif. Yang
dimaksudkan adalah bahwa para kaum difabel ini diberikan kesempatan
untuk dapat bergabung atau mengikuti
kegiatan belajar bersamaan dengan siswa lainnya di sekolah umum
yang menyediakan akses serta fasilitas bagi para kaum difabel.
Dengan menggabungkan kaum difabel dengan siswa normal lainnya
bertujuan agar para kaum difabel ini kemudian disetarakan dan akan
lebih mudah dalam beradaptasi dengan masyarakat umum apabila
nantinya keluar atau lulus dari dunia pendidikan. Akan tetapi
pendidikan inklusif dimaknai secara berbeda, baik oleh komunitas
kaum difabel itu sendiri, keluarga, pemerintah, guru sekolah.
Perbedaan pemahaman bahwa pendidikan adalah menghargai perbedaan,
mengubah sistem agar responsive untuk semua partisipan pendidikan
dan inklusif harus berbasis masyarakat. Tidak ada keharusan bagi
sekolah umum untuk menerima difabel, padahal sekolah inklusif masih
sangat terbatas. Ini mengakibatkan tidak adanya kebebasan bagi
orang tua difabel untuk memilih antara SLB dan sekolah inklusif
dengan alasan sbb: a. Jumlah SLB dan sekolah inklusif masih
terbatas b. Sebaran sekolah tidak merata, banyak SLB yang lokasinya
jauh dari difabel c. Masih banyak SLB yang mengkhususkan diri pada
jenis difabel tertentu d. Sekolah umum belum diwajibkan menerima
difabel e. Sekolah umum tidak siap menerima difabel dikarenakan
keterbatasan sarana dan prasarana Persoalan lain yang juga masih
menjadi hambatan dalam pendidikan adalah keterbatasan SDM yang
mempunyai kompetensi khusus dalam pembelajaran siswa difabel. Tidak
semua guru memiliki latar belakang kemampuan untuk member
pembelajaran bagi siswa difabel dari segi keilmuan. Kemudian
masalah lain juga muncul dari segi pendanaan, yaitu meskipun
anggaran pendidikan sebesar 20% namun alokasi dana untuk pendidikan
khusus dan sekolah inklufis masih terbatas. Selain itu
openggunaannya masih belum sesuai dengan kepentingan kebutuhan
peserta didik difabel. Akibatnya adalah terbatasnya bahan ajar yang
aksesibel, buku-buku braille masih terbatas serta jaringan computer
dan internet masih kurang aksesibel bagi siswa tunanetra. Selain
pada tingkat sekolah, para siswa difabel ini juga memiliki
keterbatasan akses pada jenjang perguruan tinggi. Saat ini hanya
sedikikt sekali kaum difabel yang dapat masuk ke perguruan tinggi.
Beberapa penyebab utamanya antar lain :
a. Masih banyak kampus tidak mau menerima mahasiswa difabel atau
hanya membetasi difabel untuk mendaftar di fakultas tertentu b.
Adanya asumsi di kalangan pemegang kebijakan dan dunia pendidikan
bahwa pendidikan tinggi tidak untuk difabel hal ini berkaitan
dengan asumsi bahwa difabel tidak mampu secara intelektual maupun
fisik untuk menduduki bangku kuliah c. Masih banyak institusi
pendidikan tingga yang tidak aksesibel d. Rendahnya kualitas
pendidikan pada tingkatan sebelumnya e. Sebagian besar dosen belum
memahami bagaimana mengajar difabel f. Belum banyak buku panduan
tentang bagaimana mengajar kaum difabel g. Belum ada unit pelayanan
difabel di kampus di Kota Jogja kecuali di UIN h. Sistem ujian
sebagian besar kampus bvelum aksesibel i. Belum ada beasiswa khusus
oleh pemerintah dan universitas untuk difabel di perguruan
tinggi
2. TRANSPORTASI Pada bidang transportasi dalam regulasi yang ada
di pusat yang terkait dengan kaum difabel terkait pada
Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Standard
Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with
Disabilities 1993, Peraturan Pemerintah RI No. 43 tahun 1998
tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat,
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang
Persyaratan Teknis Aksesibilitas. Kemudian regulasi yang ada di
daerah terkait dengan kaum difabel yakni Peraturan Daerah Nomor 11
Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas bagi Difabel pada Bangunan
Umum dan Lingkungan Difabel-DIY, Skep Dirlantas Polri Nomor
Skep/22/IX/2005 tanggal 22 September 2005 tentang Vademikum Polri.
Sedangkan pada bidang transportasi sendiri dalam peraturan
pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi yang
memuat bahwa adanya kendaraan umum yang akan dipergunakan oleh umum
dalam mengangkut orang untuk keperluan khusus, namun kendaraan umum
yang disediakan oleh pemerintah tidak mampu memberikan pelayanan
bagi kaum difabel sebagaimana yang telah dicantumkan dari peraturan
pemerintah tersebut, kemudian tidak hanya itu tercantum subyek
retribusi
sebagai pembayaran atas pemberian izin operasi untuk menyediakan
pelayanan angkutan umum salah satunya bagi orang khusus yakni bagi
kaum difabel serta adanya peraturan pemerintah yang menjelaskan
obyek retribusi sebagai pembayaran atas pemberian izin operasi
untuk menyediakan pelayanan angkutan umum yakni bagi kaum difabel.
Dalam peraturan pemerintah ini mereka hanya menjelaskan orang
khusus yakni kaum difabel sebagai subyek dan obyek retribusi bagi
penyediaan pelayanan umum namun pemerintah tidak dapat memberikan
pelayanan umum tersebut bagi orang-orang yang memiliki
keterbatasan/ para kaum difabel. Peraturan pemerintah tersebut
hanya sekedar menjelaskan kewajiban yang terkait dengan dengan para
kaum difabel namun tidak serta-merta dapat memenuhi kebutuhan kaum
difabel dalam penyediaan fasilitas kaum difabel. Karena tidak
adanya fasilitas transportasi atau kendaraan umum bagi para kaum
difabel, ada beberapa hal yang dilakukan oleh beberapa orang
(pengusaha) yang justru dapat menunjukkan kepedulian mereka
terhadap kaum difabel. Karena memandang ada banyak hal yang
dibutuhkan khusus oleh warga berkebutuhan khusus atau kaum difabel,
hal ini dimaksudkan agar dapat membantu kaum difabel dalam
beraktivitas. Salah satunya dengan modifikasi terhadap sepeda motor
yang dilengkapi dengan tiga roda yang dipakai oleh kaum difabel.
Kendaraan ini tidak membatasi gerak para penyandang difabel untuk
bepergian keluar rumah namun sepeda motor modifikasi ini hanya
dapat dipakai difabel yang dapat berdiri secara mandiri. Sedangkan
bagi penyandang difabel yang tidak dapat menggunakan kedua kakinya
seperti modifikasi sepeda motor yang sesuai dan cocok untuk
kebutuhan difabel yang tidak mampu berdiri secara mandiri.
Fasilitas dalam transportasi tidak dapat memberikan akses secara
maksimal bagi kaum difabel misalnya trotoar yang seringkali
digunakan oleh para pedagang kaki lima sehingga memakan bagian
trotoar yang seharusnya dapat digunakan oleh seluruh masyarakat
namun bagi para penyandang difabel penggunaan jalan hampir seluruh
badan bagian trotoar oleh para pedagang kaki lima menyulitkan
mereka dalam mengakses fasilitas tersebut mungkin saja bagi
orang-orang normal lainnya hal tersebut tidak menyulitkan karena
dapat mereka atasi namun bagi para kaum difabel hal tersebut sangat
tidak membantu mereka dalam mengkases fasilitas. Kepedulian ini
yang harus disadari oleh sebagian masyarakat untuk dapat memberikan
akses yang mudah didapat oleh kaum difabel tersebut. Karena
pedagang kaki lima merupakan salah satu bagian dari masyarakat
luas yang perannya sangat diperlukan dalam penyediaan fasilitas
bagi kaum difabel. Dalam berbagai wilayah, baik perkotaan maupun
pedesaan aksesibilitas yang saangat dibutuhkan penyandang
disabilitas masih terbatas. Bahkan pada fasilitas publik seperti
bangunan publik yang tidak aksesibel dan tidak mengikuti prinsip
universal design, selain itu di dalam lingkungan juga belum adanya
alat bantu mobilitas bagi difabel. Belum adanya sign (tanda) di
tempat umum yang memberikan informasi mengenai nama bangunan ata
nama (nomor) ruangan yang penting bagi tuna netra misalnya. Pet a
timbil mengenai lokasi suatu tempat juga belum ada sehingga tuna
netra dapak mengaksesnya. Dalam transportasi khusunya tidak ada
symbol Braille di tempat umum yang menunjukkan nama jalan /
bangunan / lokasi / peta/. Selain bagunan publik pada bangunan
jalan yakni tempat untuk pejalan kaki (pedestrian) di trotoar
dengan tanda tertentu (guidance block) belum ada. Malioboro
misalnya sudah memiliki tempat pedestrian untuk difabel namun
dipakai oleh pedagang kaki lima untuk berjualan padahal jalur
khusus untuk pedestrian difabel ini sangat penting untuk kenyamanan
dan keamanan mereka melakukan mobilitas. Difabel belum mampu
mengakses rambu lalu lintas, termasuk lampu merah, padal bagi tuna
netra sangat penting sekali disediakan rambu dalam bentuk taktil
(bisa diraba) atau lampu merah yang bisa bersuara. Difabel tuna
netra membutuhkan orang lain untuk membantu mereka menyeberang
jalan. Difabel masih mengalami kesulitan ketika akan menyeberang
jalan karena belum ada jembatan penyeberangan yank aksesibel,
selain itu pengguna jalan lain dan pengendara motor sering tidak
mau mengalah. Pengadaan tanda penyeberangan yang bisa diakses tuna
netra sebenarnya sangat mudah dan murah. Perbandingan di luar
negeri (Kanada) bagi pengguna jalan yang ingin menyeberang tidak di
zebra cross, maka ia bisa memencet tombol yang ada di tiang pinggir
jalan. Tombol yang dipencet akan menyalakan lampu sebagai tanda
agar kendaraan berhenti sehingga ia bisa menyeberang jalan.
Transportasi publik, baik darat, laut dan udara masih susah diakses
difabel, khususnya transportasi darat dan laut sarana dan prasarana
umum masih sulit diakses pengguna kursi roda. Difabel masih
kesulitan untuk naik bus karena banyak bus yang tidak mau berhenti
dan mengangkut difabel. Halte bus TransJogja sangat jauh untuk
dicapai difabel dan dari bangunan sendiri telah dibuat ram namun
bentuknya pendek dan curam sehingga membahayakan pengguna kursi
roda.
Selain pada kasus transjogja terjadi pada transportasi publik
ketika akan naik pesawat terbang, mereka diminta menandatangani
surat pernyataan bahwa maskapai tidak akan bertanggung jawab
terhadap masalah yang terjadi selama mereka berada di dalam pesawat
padahal difabel membayar tiket dengan harga yang sama dengan orang
lain sehingga prosedur dari maskapai ini sangat diskriminatif.
Secara keseluruhan pemahaman dari supir, pilot, maupun pramugari
dan bahkoda sangat terbatas mengenai cara melayani difabel padahal
pemenuhan hak dan kesamaan kesempatan hanya dapat diwujudkan bila
tersedia aksesibilitas termasuk sumber daya. Selain berbagai
masalah sarana dan prasarana tersebut juga masih belum ada
kebijakan khusus yang berkaitan dengan prosedur dan mekanisme
pengurusan SIM bagi difabel sehingga banyak difabel yang tidak bisa
memiliki SIM. Kapolda pernah mengatakan bahwa tidak masalah difabel
tidak memiliki SIM asal mereka tertib berlalu lintas. Padahal ada
hal yang penting dari fungsi SIM yaitu jaminan asuransi jasa
raharja ketika terjadi kecelakaan.
3. KESEHATAN Dalam fasilitas kesehatan merujuk pada
Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan serta Peraturan
Daerah Yogyakarta No 3 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan
Kesehatan Pada Pusat Kesehatan Masyarakat, pemerintah menyediakan
fasilitas sebaik-baiknya dan non-diskriminatif bagi warganya.
Walaupun tidak ada yang menyebutkan tentang difabel, rumah-sakit
tetap melayani semua kalangan masyarakat. Terlebih pelayanan
kesehatan terkait erat dengan orang yang kurang sehat ataupun
difabel. Sehingga pelayanan kesehatan biasanya sudah menyiapkan
fasilitas bagi kaum difabel tersebut. Namun, Fasilitas kesehatan
bagi difabel tidak melulu berbentuk fasilitas fisik ataupun
pelayanan. Secara umum di rumah sakit klas A sudah memiliki sarana
dan prasaran yang memadai bagi kaum difabel. Namun, yang menjadi
masalah adalah kurangnya atau bahkan tidak ada jaminan kesehatan
bagi kaum difabel. Menurut data ada 80% difabel tidak bisa
mengakses jaminan kesehatan dikarenakan berbagai hal :
a. Meskipun difabel sudah memiliki kartu jaminan kesehatan namun
mereka tidak serta merta bisa memanfaatkan kepersertaannya karena
hambatan mobilitas untuk menuju pusat pelayanan. b. Sebagian besar
difabel mendapatkan kartu jaminan kesehatan atas nama kelompok c.
Skema jaminan kesehatan juga tidak mengcover kecelakaan lalu lintas
d. Kurangnya masyarakat e. Skema jaminan kesehatan tidak bisa
mengcover semua jenis kebutuhan pelayanan medis dan pengobatan f.
Masih kurangnya kesadaran difabel akan pentingnya kepersertaan
dalam jaminan kesehatan Para difabel mempunyai kebutuhan khusus
atas kesehatan akibat kondisinya yang lebih rentan sakit atau
terluka dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Sayangnya
baru segelintir difabel saja yang mendapat jaminan kesehatan dan
jaminan hidup dari pemerintah. Memang benar pemerintah Indonesia
telah memberikan beberapa jaminan kesehatan bagi masyarakatnya,
namun tidak semuanya mendapatkan. Jaminan kesehatan rata-rata bagi
pegawai pemerintah dan masyarakat kurang mampu. Masyarakat rentan
memang berasal dari keluarga kurang mampu namun masyarakat difabel
sendiri lebih rawan kesehatannya. Persoalan lainnya yang masih
menjadi isu dan layanan kesehatan difabel adalah kurangnya edukasi
pada pasutri difabel. Isu kesehatan yang dimaksud adalah isu
tentang reproduksi dan persalinan bagi penyandang difabel.
Rendahnya perhatian pemerintah tersebut juga diakibatkan dari
pandangan masyarakat yang menganggap bahwa difabel bukan sebagai
mahluk seksual. Sehingga mereka dianggap tidak mempunyai hasrat
mengekspresikan seksualitasnya. Padahal pada faktanya komunitas
difabel sangat rentan mengalami resiko resiko reproduksi seksual,
IMS, HIV/AIDS, ktd maupun tindak kekerasan seksual, sehingga sudah
seharusnya mereka mendapatkan hak yang sama. Jaminan kesehatan
tidak hanya berupa asuransi kesehatan, tapi bagi difabel kebutuhan
alat-alat bantu juga penting seperti kursi roda ataupun lainnya.
Pemerintah kurang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus
tersebut, yang terjadi malah LSM dan yayasan-yayasan yang bergerak
di bidang kemanusiaan sosialisasi tenatang skema jaminan kesehatan
pada
yang lebih concern membantu kaum difabel. Padahal dalam UU no 4
tahun 1997 sudah jelas bahwa semua difabel harus mendapatkan
pelayanan dan fasilitas yang sama dan setara dengan masyarakat
lainnya. Namun dalam praktekknya pemerintah tidak serius
memperhatikan dan tidak konsekuen seperti apa yang telah ditulis
dalam undang-undang tersebut.
4. PELAYANAN BIROKRASI Di dalam Pasal 4 dan Pasal 29 UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan secara jelas
mengenai ketentuan adanya asas penyelenggaraan pelayanan yang
bersifat non-diskriminatif, serta pemberian pelayanan dengan
perlakukan khusus kepada anggota masyarakat tertentu (difabel). Di
Yogyakarta telah ditetapkan Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2002
tentang Penyediaan Fasilitas bagi Difabel pada Bangunan Umum dan
Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan ditetapkannya
peraturan daerah ini, kantor-kantor dan gedung pemerintahan
Yogyakarta diharuskan menyediakan fasilitas pendukung aktivitas
difabel agar mereka dapat mengakses pelayanan pemerintah. Tetapi
dalam kenyataanya perhatian pada kaum difabel masih minim. KTP yang
merupakan hak bagi seluruh warga dan sebagai instrument yang sangat
dibutuhkan untuk mengakses berbagai layanan. Namun banyak kaum
difabel yang tidak mempunyai KTP, khususnya bagi penyandang cacat
ganda atau cacat berat. Bahkan orang tua sendiri juga tidak
mengganggap penting kepemilikan KTP, apalagi aparat desa yang
terkait langsung dengan pengurusan KTP. Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta telah berusaha mempermudah
kebutuhan difabel dalam mengakses KTP elektronik. Pelayanan khusus
diberikan kaum difabel dalam pola pelayanan rekam data untuk
keperluan pembuatan KTP elektronik. C. TUJUAN DAN KEGUNAAN NASKAH
AKADEMIK 1. TUJUAN Tujuan naskah akademik adalah sebagai berikut:
a. Memberikan landasan pemikiran yang obyektif dan komprehensif
tentang pokokpokok peraturan penyandang difabel
b. Memberikan arah dan ruang lingkup kebijakan c. Sebagai
landasan pemikiran tentang bagaimana menyelenggarakan pelayanan
publik yang anti diskriminatif bagi difabel 2. KEGUNAAN Kegunaan
Naskah Akademik adalah: a. Sebagai dasar konseptual dalam
penyusunan pasalpasal dan
penjelasan Raperda Penyandang Difabel b. Sebagai landasan
pemikiran bagi anggota DPRD dan Pemerintah dalam pembahasan Raperda
Penyandang Difabel c. Sebagai rujukan bagi semua pihak, DPRD,
Pemerintah, serta pihak pihak terkait dalam mereformasi pelayanan
bagi kaum difabel D. METODOLOGI Naskah Akademik ini dilakukan
dengan pendekatan sebagai berikut: 1. Yuridis normatif melalui
studi pustaka baik yang berupa perundang undangan maupun hasilhasil
penelitian, pengkajian, dan referensi lainnya yang terkait dengan
kebijakan dan program-program yang berkaitan dengan difabel. 2.
Yurisdis empiris yang dilakukan dengan menelaah data primer yang
dikumpulkan langsung dari instansi pemerintah daerah maupun
organisasi difabel dan pemerhati isu disabilitas. 3. Analisis data
dilakukan melalui analisis kebijakan publik.
BAB II KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS PERUBAHAN PARAGIMA DIFABEL
Dalam teori terdapat tiga konsep dalam melihat difabel dari sudut
pandang yang berbeda, yaitu : 1. Konsep Budaya dan Agama Konsep ini
berawal dari adanya alur sejarah yang telah terjadi sejak jaman
dahulu di masyarakat Jawa pada khususnya. Menurut Thohari dalam
masyarakat Jawa konteks difabel seringkali dipresentasikan pada
beberapa tokoh pewayangan yang memiliki kecacatan tertentu dan akan
tetapi diceritakan sebagai tokoh yang sakti. Meskipun demikian,
dalam dunia Jawa difabel bukanlah total dikonsepsikan sebagai
pengampu kesaktian. Namun juga kelucuan dan kekonyolan yang
ditunjukan dalam penokohan punokawan yang lucu.1 Konsep budaya
kemudian mengalami pergeseran ketika kemudian munculnya agama. Akan
tetapi agama tidak secara tegas merubah pandangan dan perilaku
negatif terhadap difabel. Dalam pandangan islam misalnya tubuh
dengan kecacatan dinilai sebagai sesuatu yang perlu dikasihani.
Dalam hal ini agama telah memebawa pesan-pesan humanis terhadap
difabel melalui konsep amal dan belas kasian yang menjadi
pendekatan paling awal bagi difabel. Tak mengherankan jika hampir
semua organisasi keagamaanlah yang memulai intervensi dan layanan
terhadap difabel. 2. KONSEP MODERN (MEDIS) Mordenitas menilai
difabel secara rasional, fungsional, hingga kemudian menempatkannya
sebagai objek medis. Perspektif medis ini menganggap bahwa
kecacatan secara natural adalah problem individu yang dsebabkan
oleh keterbatasan fungsi atau ketidaknormalan baik fisik maupun
mental, jadi
1
Susanto, Budi (2008). Penyam(b)un(g) Suara Lidah Rakyat.
Yogyakarta : Kanisius (hlm 206)
yang dinamakan difabel adalah mereka yang mempunyai kekurangan
tidak mampu untuk menjalankan fungsi sosialnya. Melalui pendekatan
ini, difabel kemudian dianalisis secara medis dan ditempatkan pada
tempat rehabilitasi. Panti asuhan dan pusat rehabilitasi ini
didirikan untuk mensterilkan difabel yang kemudian akan
diperbaharui selayaknya rumah rusak. Dapat dikatakan bahwa
perspektif ini cacat sejajar posisinya dengan kekurangan/kelainan
fisik atau mental. Secara lebih tegas perspektif medis ini menarik
akan adanya hubungan sebab akibat antara kecacatan yang disebabkan
oleh kelainan fisik, sehingga kecacatan merupakan problem individu
sehingga solusinya harus difokuskan pada individu tersebut. 3.
KONSEP POST MODERN (SOSIAL) Difabel merupakan manusia menyimpang
atau tidak normal dan asumsi dominan bahwa kecacatan adalah
semata-mata urusan medis, cacat sendiri adalah problem sosial yang
berakar dari struktr masyarakat, untuk itulah konsep ini dinamakan
dengan model sosial. Di Indonesia kata cacat dan penyandang cacat
tidak lagi dianggap layak digunakan, oleh karena itu muncul
berbagai istilah pengganti yang ditawarkan diantaranya adalah
individu berkemampuan khusus, individu berkemampuan berbeda,
penyandang ketunaan, difabel, dan penyandang disabilitas. Akan
tetapi perubahan istilah ini merupakan sebuah proses yang cukup
rumit karena kata cacat atau penyandang cacat masih cukup luas
digunakan oleh masyarakat. Di Yogyakarta terlahir sebuah alternatif
istilah baru yaitu difabel. Para aktivis beranggapan bahwa istilah
cacat yang selalu dikonotasikan dengan kekurangan merupakan sebuah
konstruksi sosial oleh karenanya istilah tersebut harus dikaji
ulang. Istilah difabel berasal dari kata bahasa inggris yaitu
differently abled atau different abilities (perbedaan kemampuan),
yang memiliki makna bahwa perbedaan fisik maupun mental yang
dimiliki oleh para difabel hanyalah sebuah varian perbedaan yang
menjadi sifat natural manusia. Jadi disini semakin ditegaskan bahwa
istilah difabel dimaksudkan untuk menegaskan perbedaan kemampuan
dan bukan ketidakmampuan yang dimiliki individu dengan perbedaan
bentuk tubuh maupun intelektual.
Meskipun paradigma Post Modern atau Sosial ini masih tergolong
relatif baru, namun model ini telah menciptakan cara pendekatan
baru masyarakat terhadap komunitas difabel. Kondisi ini juga telah
mendorong masyarakat menciptakan cara pemahaman baru terhadap
eksistensi kaum difabel. Masyarakat melihat bahwa persoalan difabel
adalah produk interaksi antara karakteristik individu difabel
sendiri (kondisi fisik maupun mental, status difabel itu sendiri,
kondisi personal, status sosial ekonomi, dll) dengan karakteristik
alam, masyarakat, budaya, dan lingkungan sosial. Sehingga paradigma
ini lebih menekankan pada bagaimana pola interaksi masyarakat dan
difabel, karena dalam Post Modern atau Sosial memandang persoalan
difabel secara utuh dan menyeluruh. Paradigma Post Modern atau
Sosial ini memiliki beberapa dampak antara lain:2 a) Adanya
pendefinisian ulang dan konseptualisasi ulang terhadap apa yang
dinamakan difabel. b) Area penelitian terhadap keberadaan difabel
menjadi lebih luas. c) Fokus penelitian terhadap difabel juga akan
berubah dari difabel sebagai obyek penelitian menjadi hubungan
antara difabel dengan lingkungan sekitar difabel. Memang pergeseran
antara paradigma lama dengan paradigma baru belum tampak begitu
nyata. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana masyarakat dan
pemerintah memperlakukan kaum difabel. Sampai saat ini masih
diberlakukannya penanganan yang berbasis pada rehabilitasi medik
dan diberlakukannya sistem pendidikan eksklusif bagi difabel (SLB).
Namun gerakan difabel harus segera diarahkan ke paradigma baru
mulai sekarang. Gerakan difabel harus diarahkan secara konsisten
kepada terwujudnya tatanan masyarakat yang inkusif bagi difabel.
Dan aktor utama dalam perwujudan masyarakat inklusif adalah kaum
difabel itu sendiri. Oleh karena itu segala bentuk eksklusifisme
terhadap difabel harus ditolak dan organisasi difabel yang hanya
mengakomodasi anggota kaum difabel perlu dikaji ulang. Hal ini
memunculkan tuntutan perubahan strategi negara terhadap difabel
dari2
Lihat http://cakfu.info/2007/05/evolusi-paradigma-difabel
pemenuhan kebutuhan khusus difabel yang diberikan melalui
programprogram sosial dalam welfare state dan pendekatan hak dan
aksesibilitas. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT Berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta No 5 Tahun 2008 tentang Sistem penyelenggaraan
Pendidikan terdapat pasal 15 ayat 3 yang berbunyi Peserta didik
berkebutuhan khusus berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai
dengan kekhususannya. Dalam pasal ini tidak dijelaskan kemudian
bagaimana siswa berkebutuhan khusus dapat memeperoleh layanan
pendidikan missal melalui sekolah inklusif. Karena pada pasal
sebelumnya hanya dijelaskan tentang pendidikan formal dan non
formal.Belum ada suatu bentuk pernyataan pemerintah daerah tentang
diselenggarakannya jalur pendidikan inklusif. Kemudian terkait
dengan sarana dan prasarana pasal 23 ayat 2 dijelaskan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat dapat
memberikan bantuan sarana dan prasarana kepada satuan pendidikan.
Dalam pasal ini pemerintah daerah tidak mewajibkan adanya bantuan
sarana dan prasarana. Sehingga sekolah akan berfikir ulang ketika
akan menyelenggarakan pendidikan inklusif, dikarenakan tidak ada
aturan yang mewajibkan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
hal pendanaan pengadaan sarana dan prasarana yang aksesibel. Serta
dalam standar sarana dan prasarana pasal 32 tidak disebutkan secara
jelas bahwa sekolah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana
bagi siswa difabel. Berdasarkan Undang-undang No 36 Tahun 2009
tentang kesehatan serta Peraturan Daerah Yogyakarta No 3 Tahun 2010
tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat Kesehatan
Masyarakat, pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan
sebaik-baiknya dan non-diskriminatif bagi warganya. Pada dasarnya
pelayanan di rumah-sakit sudah menyediakan akses bagi difabel.
Terlebih pelayanan kesehatan terkait erat dengan orang yang kurang
sehat ataupun difabel. Sehingga pelayanan kesehatan biasanya sudah
menyiapkan fasilitas bagi kaum difabel tersebut. Berdasarkan
Peraturan Daerah No 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas bagi
Difabel pada Bangunan Umum dan Lingkungan Difabel-DIY. Dalam
berbagai wilayah, baik perkotaan maupun pedesaan aksesibilitas
yang sangat dibutuhkan penyandang disabilitas masih terbatas.
Bahkan pada fasilitas publik seperti bangunan publik yang tidak
aksesibel dan tidak mengikuti prinsip universal design, selain itu
di dalam lingkungan juga belum adanya alat bantu mobilitas bagi
difabel. Kemudian pada bidang transportasi khusus difabel sendiri
dalam Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan
dan pengemudi yang memuat bahwa adanya kendaraan umum yang akan
dipergunakan oleh umum dalam mengangkut orang untuk keperluan
khusus, namun kendaraan umum yang disediakan oleh pemerintah tidak
mampu memberikan pelayanan bagi kaum difabel sebagaimana yang telah
dicantumkan dari peraturan pemerintah tersebut. Berdasar
Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disahkan
dalam upaya meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan
publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan serta upaya untuk
memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Hak kaum difabel telah diperhatikan di dalam pemberian pelayanan
publik yaitu sebagaimana yang diatur dalam pasal 29 ayat 1
Penyelenggara berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan
khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kekurangan yang masih terdapat di dalam UU No.
25 Tahun 2009 ini adalah belum ada kategori kelompok masyarakat
secara jelas dan belum ada pengaturan mengenai mekanisme dan
ketentuan pemberian ganti rugi kepada masyarakat oleh penyelenggara
pelayanan publik.
BAB IV JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH A. KETENTUAN UMUM 1. DEFINISI DIFABEL
Istilah difabel berasal dari kata bahasa inggris yaitu differently
abled atau different abilities (perbedaan kemampuan), yang memiliki
makna bahwa perbedaan fisik maupun mental yang dimiliki oleh para
difabel hanyalah sebuah varian perbedaan yang menjadi sifat natural
manusia. Jadi disini semakin ditegaskan bahwa istilah difabel
dimaksudkan untuk menegaskan perbedaan kemampuan dan bukan
ketidakmampuan yang dimiliki individu dengan perbedaan bentuk tubuh
maupun intelektual. Menurut Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, Difabel adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas
secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik,
(b) penyandang cacat mental, dan (c) penyandang cacat fisik dan
mental. 2. DEFINISI PEMERINTAH DAERAH Pengertian pemerintah daerah
menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah termuat
dalam Bab I, Pasal I, Ayat 2 dan 3, yaitu : Pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945. Ayat 3 berisis Pemerintah daerah
adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsure penyelenggara pemerintah daerah. Selanjutnya
kewenangan pemerintah diatur dalam otonomi daerah masingmasing.
Yang dimaksud dengan otonomi daerah terdapat dalam Undang-Undang
yang sama Bab I, Pasal I, Ayat 5 dan 6 yaitu : Otonomi daerah
adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. B. MATERI MUATAN Pemenuhan hak
atas pendidikan Hak pendidikan adalah merupakan bagian dari
kewajiban negara. Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun
dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia, sehingga jelas disini kewajiban negara dalam
pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi, memajukan,
menyediakan. Dalam raperda ini menegaskan bahwa pendidikan dalam
segala jenjang adalah hak bagi semua difabel. Ada dua jenis layanan
pendidikan yaitu pendidikan luar biasa dan pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif pada dasarnya adalah konsep ideal bagi para
siswa difabel karena sifatnya yang non diskriminatif. Di Kota
Yogyakarta terdapat sekitar 6000 difabel dan 25% nya merupakan anak
usia sekolah. Sebagian bersekolah di SLB akan tetapi masih banyak
yang tidak bersekolah. Sebenarnya di Yogyakarta sudah ada beberapa
sekolah yang mendeklarasikan diri sebagai sekolah inklusif, salah
satunya adalah SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Akan tetapi hanya ada
beberapa siswa difabel saja yang dapat tertampung karena memang
adanya kendala dari segi sarana prasarana serta tenaga pengajar.
Oleh sebab itu melalui Raperda ini akan lebih ditegaskan bahwa
pemerintah daerah dalam hal ini bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan sekolah inklusif pada semua jenjang pendidikan.
Akan tetapi dengan menimbang bahwa dalam penyelenggaraan sekolah
inklusif tentu saja membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit oleh
karena itu pemerintah daerah akan memulai secara bertahap dalam
penyelenggaraan sekolah inklusif ini. Yaitu tahap awal dengan
menunjuk satu sekolah di setiap kecamatan
untuk dijadikan sebagai sekolah inklusif. Dengan program
bertahap ini pemerintah tentu saja akan dapat lebih fokus dalam
mewujudkan sekolah inklusif yang ideal. Selain itu dengan
melakukannya secara bertahap alokasi dana yang dibutuhkan akan
lebih kecil jika dibandingkan apabila dilakukan secara serentak.
Mengingat APBD untuk pendidikan terbatas hanya 20% saja. Aka ada
target jelas yaitu menambah jumlah sekolah inklusif di setiap
tahunnya. Ada beberapa proses menuju sekolah inklusif diantaranya
adalah memberikan pelatihan khusus kepada para tenaga pengajar,
peningkatan kapasitas SDM pendidikan, penyediaan fasilitas sarana
pembelajaran yang mendukung, aksesbilitas fisik, modifikasi
kurikulum, serta yang tidak kalah penting adalah pengertian yang
luas kepada orang tua siswa serta masyarakat. Pemerintah daerah
juga bertanggung jawab secara penuh dalam berbagai hal yang
menyangkut pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, sehingga
sekolah yang kemudian ditunjuk tidak terbebani dalam segi keuangan
karena salah satu kendala sekolah regular enggan untuk
mendeklarasikan diri sebagai sekolah inklusif adalah ketidakmampuan
dalam hal menyediakan fasilitas dan pelatihan tenaga pengajar yang
memang membutuhkan dana yang besar. Kemudian yang juga menjadi
kendala adalah partisipasi para siswa difabel itu sendiri. Sehingga
akan dibuat suatu sistem informasi yang dapat diakses oleh para
siswa difabel yang memberitahukan bahwa adanya sekolah inklusif
yang dapat diakses oleh mereka. Yang tidak kalah pentingadalah
meskipun berbentuk sekolah inklusif, kurikulum yang diterapkan juga
harus diperbaiki. Dengan sedikit memberi perlakuan khusus kepada
siswa difabel misalnya dengan tidak menyertakan nilai olahraga
sebagai syarat kenaikan kelas bagi siswa difabel yang memang tidak
meungkinkan mengikuti kegiatan olahraga. Prasarana Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah suatu kemudahan yang disediakan bagi seluruh
pejalan kaki termasuk penyandang cacat, untuk mendapatkan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Hal ini sesuai dengan undangundang No. 4 Tahun 1997 untuk
melengkapi prasarana fisik baik di lingkungan bangunan maupun di
jalan dan prasarana umum lainnya, hal ini dimaksudkan sebagai acuan
dan pedoman dalam perencanaan sistem jaringan lalu lintas yang
memperhatikan kebutuhan sarana bagi penyandang cacat, yakni
sebagai suatu kesatuan yang terpadu dari sistem jaringan jalan
serta tata guna lahan, khususnya pada kawasan perkotaan yang
diharapkan nantinya mendapatkan keseragaman dalam ketentuan
prasarana aksesibilitas yang dapat mendorong terciptanya keadaan
dan lingkungan yang lebih menunjang penyediaan pelayanan yang
optimal bagi seluruh pejalan kaki yakni termasuk penyandang cacat.
Dalam membangun prasarana aksesibilitas diperlukan prinsip tentang
aksesibilitas yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1997,
yakni: 1. Asas Prioritas yaitu asas yang memprioritaskan kawasan
tertentu untuk menyediakan prasarana aksesibilitas pada jalan umum,
khusunya bagi penyandang cacat. 2. Asas Integrasi yaitu asas yang
menyediakan prasarana aksesibilitas pada bangunan umum dan
lingkungan sehingga para pemakai prasarana ini menjadi mandiri
tanpa merasa menjadi obyek belas kasihan. 3. Asas Kesinambungan
yaitu asas yang memperhatikan prasarana aksesibilitas secara
terus-menerus tanpa terputus dari asal sampai ke tujuan bagi para
pemakai prasarana ini sehingga semua orang dapat memasuki dan
menikmati prasarana aksesibilitas pada jalan umum dengan baik.
Aksesibilitas difabel yang dijanjikan pemerintah dalam UU No 4 th
1997 pada prakteknya tetap saja belum mempermudah akses pergerakan
mereka. Sebagaimana trotoar dibangun untuk menjamin pergerakan
pejalan kali dan ruang terbuka hijau ada untuk menjamin eksistensi
rakyat kelas bawah, menjamin kesejahteraan rakyat melalui ruang dan
kebijakan kebijakan tertentu termasuk menciptakan ruang yang baik
bagi perkembangan psikologis difabel. Masih banyak saja pihak yang
kurang menyadari pentingnya pembangunan fasilitas fasilitas ramah
difabel Beberapa pihak berdalih mestinya tak perlu mengeluarkan
banyak uang demi kepentingan segelintir orang. Sedangkan pihak lain
menyatakan bahwa mestinya difabel dapat mandiri dan menyesuaikan
diri dengan fasilitas yang ada. Padahal difabel mungkin minoritas
akan tetapi jumlah mereka tidak sedikit jika dihitung dari 10 %
dari sekian banyak penduduk Indonesia. Sarana difabel dibangun
setelah
melihat adanya difabel yang kesulitan dalam penggunaan sarana
tersebut, Mestinya, fasilitas dibangun sebelum terjadi kasus
kesulitannya difabel dalam menggunakan sarana umum. Beberapa bentuk
sarana yang disediakan untuk penyandang difabel di daerah
Yogyakarta yakni transjogja sebagai sarana transportasi umum yang
terbilang murah dan menjangkau seluruh bagian kota jogja, Kehadiran
Transjogja dengan segala kenyamanannya disambut hangat oleh
masyarakat Yogyakarta secara umum, termasuk para difabel. Akan
tetapi dalam prakteknya tidak selalu memberikan kemudahan bagi
difabel karena difabel masih mengalami kesulitan disana sini
terutama bagi difabel pengguna kursi roda. Hambatan bagi difabel
dalam penggunaan transjogja adalah Adanya space yang terlalu lebar
antara halte dan bis yang berhenti. Hal ini menyulitkan difabel
baik tunanetra, pengguna kursi roda, maupun penderita semi ambulant
(gangguan berjalan tapi tanpa menggunakan kursi Roda) naik maupun
keluar bis. Ramp dipintu keluar terlalu curam. Bahkan hampir
mencapai 45 derajat. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi difabel
berkursi roda maupun pihak keluarga yang mendorong kursi roda
tersebut. Adanya perbedaan ketinggian yang cukup besar antara jalan
dan halte transjogja tanpa adanya ramp yang membatasi. Selain
transjogja, Giwangan sebagai terminal terbesar Yogyakarta sendiri
harusnya dibangun ramah difabel mengingat kevitalan sarana ini
dalam menunjang kehidupan masyarakat. Sedangkan prakteknya terminal
ini tidak mempunyai fasilitas yang baik bagi difabel selain
sepasang ramp dengan kemiringan yang sudah memadai 1 : 12 tanpa ada
fasilitas yang lain. Dari informasi terminal tersebut difabel yang
ada khususnya tunadaksa biasanya hanya digendong pihak keluarga
diterminal tersebut karena memang minimnya fasilitas bagi difabel.
Apalagi banyaknya jenjang tinggi kelantai dua di terminal tersebut
tanpa dilengkapi ramp alternatif. Hal ini seolah menyatakan bahwa
kemudahan transportasi hanya milik kaum normal. Kepolisian Daerah
DIY mengeluarkan Surat Nomor B/4965/XII/2008/Ditlantas ditujukan
kepada Kepala Poltabes/Kepala Polres se-DIY perihal Pembuatan Surat
Izin Mengemudi untuk Penyandang Cacat. Dalam surat tersebut
menerangkan bahwa tidak ada diskriminasi dalam pengurusan SIM
antara difabel dan nondifabel. Kedua, memberikan pelayanan dan
menyediakan sarana dan prasarana bagi difabel yang dapat
mempermudah difabel mengurus SIM. Dan ketiga, difabel
diperbolehkan
melakukan modifikasi kendaraan bermotor dengan berpedoman pada
ketentuan yang ada.
C. KETENTUAN SANKSI SANKSI ADMINISTRASI 1. Terhadap satuan
pendidikan yang melakukan pelanggaran pada pasal 28 C Undang-undang
Dasar, Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat (2) dan pasal
6, Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 pasal 54 dan Peraturan Daerah
Kota Yogyakarta No 5 Tahun 2008 Pasal 15 ayat (3) dikenakan sanksi
administrasi bagi kepala satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah dikenai sanksi kepegawaian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Satuan kelembagaan di
bidang transportasi yang melakukan pelanggaran pada Peraturan
Pemerintah RI No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas,
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas
bagi Difabel pada Bangunan Umum dan Lingkungan Difabel-DIY dan Skep
Dirlantas Polri Nomor Skep/22/IX/2005 tanggal 22 September 2005
tentang Vademikum Polri dikenakan sanksi administrasi bagi kepala
satuan kelembagaan dikenai sanksi kepegawaian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Terhadap satuan
kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap Undangundang No 36
Tahun 2009 tentang kesehatan serta Peraturan Daerah Yogyakarta No 3
Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Pusat
Kesehatan Masyarakat dikenakan sanksi administrasi bagi kepala
satuan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
dikenai sanksi kepegawaian sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; 4. Terhadap satuan dinas yang
melanggar Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan
Fasilitas bagi Difabel pada Bangunan Umum dan Lingkungan Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenakan sanksi yang berupa:
a) peringatan tertulis ; b) penghentian sementara kegiatan ; c)
penghentian sementara pelayanan umum ; d) penutupan lokasi ; e)
pencabutan ijin ; f) pembatalan ijin ; g) pembongkaran bangunan ;
h) pemulihan fungsi ruang ; dan /atau i) denda administratif.
SANKSI PIDANA 1.Penyelenggaraan satuan pendidikan yang didirikan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta No 5 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (1) yaitu Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah dapat mendirikan satuan
pendidikan dan wajib mengajukan izin kepada Walikota atau Pejabat
yang ditunjuk dan Pasal 18 ayat (1) yaitu Masyarakat dapat
mendirikan satuan pendidikan dan wajib mengajukan izin kepada
Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 2. Denda sebagaimana
dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan 18 ayat (1) masuk ke Kas
Daerah.
Pada intinya, penguatan atau sanksi yang diterapkan untuk tujuan
penegakan ketentuan-ketentuan dalam rancangan peraturan daerah ini
diarahkan untuk merujuk pada ketentuan dalam perundangan terkait
yang berlaku. Pemerintah daerah mengembangkan mekanisme positif
atau pemberian penghargaan untuk tujuan penguatan perilaku atau
percepatan perbaikan layanan di lingkungan kelembagaan yang
ada.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari uraian yang sudah dijelaskan
dalam bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa lahirnya
rancangan peraturan daerah ini ditujukan untuk melindungi pemenuhan
hak difabel di Yogyakarta dan merupakan hal penting yang harus
segera diimplementasikan. Raperda juga akan mempresentasikan
Yogyakarta sebagai daerah yang menjunjung tinggi dan menghargai
kehidupan yang multikultur. Difabel merupakan bagian masyarakat
Indonesia yang juga memiliki hak, kedudukan, dan peran yang sama
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kenyataan dalam kehidupan
sehari-hari kaum difabel memiliki keterbatasan dalam mengakses
pelayanan publik yang seharusnya masih menjadi hak mereka.
Fasilitas-fasilitas di dalam ruang publik tidak aksesibel dan belum
ramah bagi kaum difabel. Hal ini mengakibatkan difabel mengalami
kesulitan dalam beraktivitas. Kondisi ini dikarenakan kurang
sensitifnya dan belum terimplementasi kebijakan publik terhadap
keberadaan difabel. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat telah mengatur hak difabel namun,
belum semua hak terpenuhi. Undang-Undang ini menjadi rujukan dalam
pelaksanaan kebijakan pelayanan publik bagi kaum difabel khususnya
terbentuknya Rancangan Peraturan Daerah di Yogyakarta. Rancangan
Peraturan Daerah ini mengatur hak difabel yang belum diatur dalam
UU No. 4 Tahun 1997. Rancangan Perda berisi landasan pemikiran yang
obyektif dan komprehensif tentang pokokpokok penyelenggaraan
pelayanan bagi penyandang difabel serta arah dan ruang lingkup
kebijakan. Pada akhirnya Raperda ini bertujuan untuk
menyelenggarakan pelayanan publik yang anti diskriminatif.
Pelayanan publik diselenggarakan dengan memperhatikan dan sensitif
akan kebutuhan khusus kaum difabel sehingga mendukung mereka dalam
beraktivitas sehari-hari. Selain itu raperda ini juga berkaitan
dengan berubahnya persepsi masyarakat dalam memaknai dan memandang
disabilitas. Paradigma lama yang memandang disabilitas sebatas
sebagai permasalahan individu atau medis bukan lagi satu-satunya
persepsi yang diyakini dalam masyarakat. Disabilitas kini
dipahami
sebagai permasalahan sosial dimana struktur masyarakat dan
kebijakan pemerintah dipandang sebagai akar permasalahan yang
bertanggungjawab bagi berlanjutnya praktek-praktek diskriminasi.
Untuk itu dalam penyusunan raperda nantinya memperhatikan
prinsip-prinsip hak yang menyeluruh dan partisipasi penuh dari
masyarakat, komunitas difabel, serta berbagai stakehorlder yang
terkait. B. SARAN Dalam penetapan Rancangan Peraturan Daerah ini,
para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan diharapkan dapat
memahami dengan baik aspek apa saja yang diperlukan, diperbaiki dan
diperkuat, dan hal-hal baru yang memerlukan pengaturan lebih jelas
dalam Undang-Undang yang menjadi landasan Raperda ini. Dengan
adanya perbaikan diharapkan berbagai masalah yang selama ini di
dialami kaum difabel dapat dicarikan solusinya. Setelah Rancangan
Perda ini disetujui, maka dalam pelaksanaanya harus diawasi dengan
ketat. Pengawas kebijakan dapat secara tegas untuk menindak dan
memberi sanksi terhadap pelanggar kebijakan. Dengan demikian arah
kebijakan dapat berjalan secara efisien, efektif, dan akuntabel.
Perbaikan kebijakan pelayanan difabel ini nantinya akan mewujudkan
tercapainya kesejahteraan seluruh masyarakat difabel di daerah
Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Mustofa, Amirul. 2011. Reformasi Birokrasi Gagal
Mengimplementasikan Kebijakan Bagi Penyandang Cacat: Pendekatan Dan
Solusi Alternatif. Vol 7 (1) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
(2010). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Propinsi DIY 2009-2013.
Yogyakarta: Pemerintah Daerah DIY. Susanto, Budi (2008).
Penyam(b)un(g) Suara Lidah Rakyat. Yogyakarta : Kanisius Undang
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Undang Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas
Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas
bagi Difabel pada Bangunan Umum dan Lingkungan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun
2008 Tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidkan Peraturan Daerah
Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan
Pada Pusat Kesehatan Masyarakat
http://www.bintek-nspm.net/assets/7467407e/10-Persyaratan%20Aksesibilitas
%20pada%20Jalan%20Umum.pdf
http://budiirawanto.multiply.com/journal/item/6/Membongkar_Cacat_Pandangan_ter
hadap_Kaum_Difabel?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
http://cakfu.info/2007/05/evolusi-paradigma-difabel