-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
1/85
1
1
1.1
Secara umum di Indonesia, desa (atau yang disebut dengan nama
lain sesuai bahasa
daerah setempat) dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil
yang dikelola secara
formal dan mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di
dalamnya dengan aturan-
aturan yang disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan
keteraturan, kebahagiaan dan
kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan
tanggungjawab bersama kelompok
masyarakat tersebut.
Dalam sistem administrasi negara yang berlaku sekarang di
Indonesia, wilayah desa
merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga kecamatan
menjadi instrumen
koordinator dari penguasa supra desa (Negara melalui Pemerintah
dan pemerintah daerah).
Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem pemerintahan yang
menguasai seluruh bumi
nusantara sebagai suatu kesatuan negara,1 urusan-urusan yang
dikelola oleh desa adalah
urusan-urusan yang memang telah dijalankan secara turun temurun
sebagai norma-norma
atau bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga
menjadi suatu bentuk hukum
yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa,
yang dikenal sebagai
hukum adat. Urusan yang dijalankan secara turun temurun ini
meliputi baik urusan yang
1 Lihat alinea terakhir Pembukaan UUD NRI 1945: untuk membentuk
suatu pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darahIndonesia, maka disusunlah susunan negara
Republik Indonesia .
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
2/85
2
hanya murni tentang adat istiadat, maupun urusan pelayanan
masyarakat dan pembangunan
(dalam administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan
pemerintahan), bahkan sampai
pada masalah penerapan sanksi, baik secara perdata maupun
pidana. Urusan yang demikian,
dalam teori dan praktek sistem pemerintahan daerah di Indonesia,
selama ini dikenal
sebagai urusan asal-usul.
Dalam perkembangannya, setelah terbentuknya Negara Republik
Indonesia, urusan
desa menjadi bertambah, antara lain dengan masuknya
urusan-urusan yang timbul karena
adanya pemerintahan negara sebagai kekuasaan supra desa. Dalam
hal ini Pemerintah, baik
secara langsung dan dengan tugas pembantuan ataupun melalui
pemerintah daerah
dengan desentralisasi otonomi,memerlukan bantuan dari desa untuk
menyelenggarakan
urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan di tingkat akar
rumput (grass roots).
Deskripsi di atas disimpulkan secara umum dari kondisi serta
pengaturan yang
pernah ada sejak masa sebelum datangnya kekuasaan penjajahan
kolonial hingga saat ini.
Berbagai periode kekuasaan dan pengaturan telah dilalui oleh
desa dalam perjalanan yang
sangat panjang. Dalam hal pengaturan, disamping tumbuh dan
berkembangnya adat istiadat
serta prakarsa masyarakatnya, berbagai kepentingan politik
penguasa di tingkat supra desa
telah pula ikut mewarnai pengelolaan desa dan masyarakatnya.
Namun demikian, karena
pada dasarnya keberadaan desa sangat tergantung pada kehendak
masyarakat pengelolanya,
maka sistem pengelolaan desa yang berkembangpun menjadi sangat
beragam.
Dalam literatur modern di Indonesia, sistem pengelolaan desa
secara formal tercatat
sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan
dikeluarkannya dua peraturan
perundang-undangan, yaitu: Staadsblad No. 83 Tahun 1906 tentang
Indische Gemeente
Ordonantie(IGO) yang berlaku bagi desa-desa di pulau Jawa dan
Madura, dan Staatsblad
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
3/85
3
No. 683 Tahun 1938 tentang Indische Gemeente Ordonantie
Buitengevesten(IGOB) yang
berlaku bagi desa-desa di luar pulau Jawa dan Madura. Kedua
peraturan tersebut banyak
menyerahkan persoalan masyarakat desa kepada hukum adat
masing-masing.
Kemudian setelah merdeka, konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia,
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (sebelum amandemen) dalam
Penjelasannya
mencantumkan:
Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang
250zelfbesturendelandschappen
dan volkgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di
Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai
susunan asli dan olehkarenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa.
Dalam paragraf berikutnya dari Penjelasan UUD 1945 tersebut,
dinyatakan:
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut
dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut.
Atas dasar Penjelasan UUD 1945 inilah, 3 tahun kemudian dibuat
pengaturan
tentang desa yang dimasukkan ke dalam UU No. 22 Tahun 1948
tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dimana desa digolongkan sebagai pemerintah
daerah tingkat III.
Penjelasan umum UU No. 22 Tahun 1948 menyebutkan alasan untuk
mengatur desa
sebagai daerah tingkat ketiga:2
Menurut Undang-undang pokok ini, maka daerah otonoom yang
terbawah ialah desa,
negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa
ditaruh kedalamlingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik
diluarnya sebagai waktu yang lampau.
Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa
desa itu adalah sendi
negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus
diperbaiki segala-segalanya,
diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa
mengalami kemajuan. Tetapi
untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap
statis (tetap keadaannya).
Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-ordonnantie adalah
tidak berarti apa-apa,
karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh
karena tidak mempunyai
2 Dalam Undang-Undang ini, kepala desa diangkat oleh gubernur
dari empat calon yangdiajukan oleh dewan desa.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
4/85
4
keuangan dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang
sebetulnya didesa itu sudah
tidak hidup lagi.
Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau
sebaliknya adat yang
hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa,
hanya oleh karena
kepentingan penjajah menghendaki itu.
Perkembangan selanjutnya, dibawah rezim Undang-undang Dasar
Sementara
(UUDS) 1950, UU No. 22 Tahun 1948 diganti dengan UU No. 1 Tahun
1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Penjelasan Umum
Undang--Undang ini (Ad. 2)
dinyatakan:
Hal-hal yang disinggung ini tidak dapat kita lepaskan dari
pengertian setempatmengenai kesatuan-kesatuan masyarakat yang
paling bawah, yang kita namakan kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
ini bentuknya
bermacam-macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa
dan Desa itu adalah satu
macam kesatuan masyarakat hukum yang tidak lagi terbagi dalam
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan
bahagian dari lain kesatuan
masyarakat hukum menurut adat, sehingga desa itu berdiri
tunggal, mempunyai daerah
sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta
benda sendiri, sedangkan
hukum-adat yang berlaku di dalamnya adalah sesungguhnya
"homogeen". Lain coraknya
umpamanya di Tapanuli, di mana kesatuan masyarakat hukum-adat
itu mempunyai bentuk
yang bertingkat, umpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat
hukum-adat yang tertinggi
dan merupakan satu daerah, mempunyai di dalamnya sejumlah
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum-adat bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang
masing-masing
mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu penguasa sendiri dan
mungkin pula
mempunyai daerah sendiri sebagai bahagian dalam daerah kuria
itu, sehingga adapula huta-
huta yang tidak mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah
kurianya sendiri.
Meskipun demikian juga dalam setiap kesatuan kuria itu berlaku
hukum adat yang
"homogeen". Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati
kesatuan masyarakat
hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai
daerah sendiri sedangkan
dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku-asal, yang masing-masing
suku merupakan pula
satu kesatuan masyarakat hukum-adat yang terbawah. Juga kesatuan
masyarakat hukumnya
yang bernama Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau
tidak dalam lingkungan
nagari itu. Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri
adalah syarat mutlak dalamsistim otonomi, yang memberikan kekuasaan
kepada sekumpulan rakyat yang berdiam
dalam suatu lingkungan yang nyata.
Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat yang serupa
ini sulit kita untuk
menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang
ketiga (III), sehingga
kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan
baru kepada
kabupaten di bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara
bikin-bikinan wilayah
administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan
kesatuan yang berotonomi.
Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan
otonomi secara bikin-
bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum yang ada.
Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita
berikan otonomi ituhendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu
masyarakat yang sungguh mempunyai
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
5/85
5
faktor-faktor pengikut kesatuannya.
Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat
belum dapat
diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2
tingkat dahulu. Berhubung
dengan hal-hal adanya atau tidak adanya kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum-adat sebagai
dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula
kita insyafi bahwaurusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan
hukum-adat, sehingga manakala sesuatu
kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah
otonomi atau dimasukkan
ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti,
bahwa tugas-tugas kepala-
kepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin
terhapus hanya segi-segi
hukum-adat yang bercorak ketata-negaraan, manakala hanya satu
kesatuan masyarakat
hukum-adat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang
dimaksud bersepadanan
dengan kekuasaan ketata-negaraan yang tersimpul dalam pengertian
otonomi itu.
Kesanggupan melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara
otonomi dan kekuasaan
adat adalah suatu syarat penting untuk menjalin hidupnya otonomi
itu secara yang
memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih terkungkung
dalam sistimhukum-adat itu.
Dalam perkembangan selanjutnya yang dimaksud dengan pemerintah
daerah tingkat
III berubah dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang
ini menyebutkan bahwa yang disebut sebagai Daerah Tingkat III
adalah
Kecamatan/Kotapraja. Namun karena persoalan desa tidak diatur di
dalamnya, sebagai
pendamping bagi UU No. 18 Tahun 1965 tersebut dikeluarkan pula
UU No. 19 Tahun 1965
tentang Desapraja,3 yang mengatur bahwa desapraja tidak dianggap
sebagai tingkat
pemerintahan daerah sebagaimana halnya Provinsi,
Kabupaten/Kotamadya dan
Kecamatan, karena dianggap memiliki perbedaan mendasar, yakni
adanya otonomi asli
yang sudah hidup secara turun temurun dan menyatu dalam
kehidupan masyarakat sebelum
terbentuknya Negara. Namun sayangnya, karena alasan politik
tertentu dari penguasa pada
saat itu (rezim Orde Baru), keberlakuan Undang-undang tentang
Desapraja ini
ditangguhkan, yang menyebabkan selama lebih kurang 14 tahun
sampai munculnya UU
3 UU No 19 Tahun 1965 disahkan empat minggu sebelum peristiwa
Gerakan 30 September
1965. Judul lengkap Undang-Undang ini adalah Undang-undang
tentang Desapraja sebagai
bentuk Peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat
III di seluruh wilayahRepublik Indonesia.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
6/85
6
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, peraturan
perundang-undangan yang
mengatur tentang desa menjadi kosong. Dalam situasi kekosongan
hukum tersebut,
praktis hanya hukum adatlah saat itu yang menjadi pegangan bagi
kesatuan masyarakat
yang hidup di desa, mirip seperti sebelum berkuasanya pemerintah
kolonial di bumi
Nusantara. Seperti alasan dipisahkannya pengaturan tentang desa
dalam UU No. 19 Tahun
1965 dari pengaturan tentang Pemerintah Daerah dalam UU No. 18
Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa
juga dimaksudkan sebagai pendamping bagi UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah dalam mengatur pengelolaan wilayah
masyarakat terkecil secara
formal. Akan tetapi, meskipun dalam perumusannya UU No. 5 Tahun
1979 mengakui dan
menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam
undang-undang ini
yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari
penyebutan istilah-
istilah yang digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh
karenanya, meskipun bertahan
hingga 20 tahun, Undang-Undang ini dianggap tidak konstitusional
oleh masyarakat desa,
terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena
telah menyeragamkan bentuk
dan peristilahan desa di seluruh Indonesia. Demi tujuan
penyeragaman tersebut bahkan
Pemerintah saat itu melakukan regrouping terhadap beberapa desa.
Sebagaimana pernah
dinyatakan oleh salah seorang tokoh adat di Kabupaten Sanggau di
bawah ini:4
Dahulu ketika diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, banyak
kampung-kampung yangdiregrouping menjadi desa. Hal ini untuk
memenuhi syarat menjadi desa. Akhirnya banyak
kampung yang letaknya berjauhan menjadi satu desa dan untuk ke
desa pengembangan
4 BP LAPPERA, Mempertegas Identitas dengan Kembali ke Sistem
Pemerintahan Kampung:
Pengalaman Masyarakat Sanggau Mengupayakan Perda Sistem
Pemerintahan Kampung,
2002 dalamAnalisis Klausul-klausul mengenai Desa dalam UU 32
Tahun 2004: Menutup
Pintu yang terbuka, Paramita Iswari (disampaikan pada diskusi
Mendudukkan Otonomi
Asli dengan Memanfaatkan Momentum Politik Otonomi Daerah dalam
rangka Penataan
Ulang Relasi Negara dengan Masyarakat Adat, dalam rangka
memperingati Hari
Masyarakat Adat Nusantara, yang diselenggarakan oleh Aliansi
Masyarakat AdatKalimantan Barat di Hotel Merpati, Pontianak, 16
Maret 2005),.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
7/85
7
(pusat desa) warga masyarakat harus menempuh jarak berjam-jam
hanya untuk mengurus
surat ijin dari kepala desa.
Sebagian kalangan, ada yang menilai bahwa Undang-undang tersebut
merupakan
upaya jawanisasi.5 Ada pula yang mensinyalir, bahwa yang menjadi
alasan utama
Pemerintah pada waktu itu dalam melakukan penyeragaman tersebut
adalah demi
terkendalinya persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia hingga ke
tingkat pedesaan dimana hidup para petani yang menjadi basis
kekuatan komunisme saat
itu, yang dianggap sebagai ancaman utama bagi tegaknya negara
yang berdasarkan asas
ketuhanan(sila pertama Pancasila). Dalam perkembangannya,
penyeragaman pengelolaan
desa tersebut telah banyak mematikan kehidupan demokrasi di
tingkat desa. Dengan
penyeragaman, Orde Baru sebagai penguasa waktu itu telah
menjadikan desa sebagai
instrumen untuk mempertahankan tirani kekuasaan.
Selanjutnya dengan bergulirnya arus reformasi tahun 1998 yang
meruntuhkan
kekuasaan rezim Orde Baru, lahirlah suatu undang-undang baru di
bidang pemerintahan
daerah yang isinya diupayakan dibuat sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi yang menjadi
tuntutan utama dari Gerakan Reformasi, yakni Undang-undang No.
22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah,yang kemudian disempurnakan lagi dengan
Undang-undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku hingga saat
ini. Namun demikian,
meskipun kedua undang-undang itu sudah mengatur tentang desa
dalam satu bab khusus,
ternyata hal ini belum cukup memuaskan masyarakat desa itu
sendiri.
5 Yang dimaksud dengan Jawanisasi disini adalah menerapkan model
desa Jawa untuk
kesatuan masyarakat adat di luar Jawa. Hal ini terlihat dari
definisi desa oleh UU No 5
Tahun 1979: Desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai
persatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri. Definisi ini tidak memberikan kebebasan
kepada desa-desa diluar pulau
Jawa untuk memakai bahasa daerah sendiri dalam penyebutan
istilah desa, yang telahdikenal dan melekat pada kehidupan mereka
secara turun temurun.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
8/85
8
Sebenarnya, UU No. 22 Tahun 1999 telah memberikan pengakuan
terhadap
keragaman dan keunikan desa sebagai self-governing community.
Hal ini terlihat dari
definisi desa yang dimuat dalam Pasal 1 Undang-undang ini,
yaitu:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Pada UU ini, tidak ada lagi penyeragaman penggunaan istilah.
Penggunaan istilah
dalam bahasa daerah mendapat ruang kebebasan.6Kemudian ada
beberapa ketentuan lain
yang juga memberikan kebebasan dalam sistem penataan dan
pengelolaan desa.7 Secara
normatif, UU No. 22 Tahun 1999 sudah tidak lagi menempatkan desa
sebagai bentuk
pemerintahan terendah di bawah kecamatan semata, melainkan juga
sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat
sesuai hak asal-usul dan adat-sitiadat setempat. Implikasinya
adalah, desa berhak
membentuk regulasi desa sendiri untuk mengelola kehidupan di
desa. Dengan demikian,
Undang-Undang ini diharapkan dapat membangkitkan wacana,
inisiatif, dan eksperimen
otonomi desa, sekaligus mendorong bangkitnya identitas lokal
daerah.
Meskipun demikian, UU No. 22 Tahun 1999 bukannya tanpa
kelemahan. Beberapa
kesalahan dapat dilihat dalam perumusan judul bagian8 dan
definisi. Dalam Undang-
6 Dalam Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah
disebutkan: Istilah Desa disesuaikan dengan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat
seperti nagari, kampong, huta, bori dan marga.
7 Perhatikan penjelasan pasal-pasal 94, 95, 96, 100, 105 ayat
(3), dan 110 UU No.22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
8 Bagian kerjasama dalam UU No.22 Tahun 1999 menggunakan judul
yang salah, yaitu
Kerjasama Antar Desa. Seharusnya judulnya adalah Kerjasama Desa
saja sebagaimana
digunakan dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
karena isinya tidak
hanya mengenai kerjasama antar desa saja tetapi juga kerjasama
antara desa dengan pihaklainnya (Pasal 110 UU No.22 Tahun
1999).
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
9/85
9
Undang ini, desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum, ... berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat padahal dalam kenyataannya
banyak sekali desa
dengan masyarakat yang memiliki dari lebih dari satu kesatuan
masyarakat hukum adat
(seperti di Maluku dengan orang Ambon dan orang Buton), dan
banyak juga desa yang
tidak lagi mengatur dan mengurus rumah tangganya berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat
setempat, serta juga ada wilayah kesatuan masyarakat hukum adat
dengan batasan berbeda
dengan batasan wilayah desa.
Pada Undang-Undang ini, tidak tergambarkan bahwa desa juga
dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan (urusan pelayanan dan
pembangunan) yang sesuai
dengan keinginan masyarakat desa guna meningkatkan kesejahteraan
dan kebahagiaan
masyarakat desa dengan memperhatikan faktor-faktor
perlindungan/kelestarian lingkungan
hidup9yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat desa di masa
depan. Sebenarnya ada
satu ketentuan dalam Undang-Undang ini yang mencoba memberikan
solusi terhadap
permasalahan ini, yakni Pasal 99 huruf b, namun masih belum
cukup untuk memberikan
pemecahan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa desa
memiliki kewenangan yang
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum
dilaksanakan oleh Daerah dan
Pemerintah. Dari perumusan ini memang bisa saja diartikan bahwa
pendelegasian urusan
pemerintahan terjadi secara otomatis, sepanjang belum
dilaksanakan oleh Daerah dan
Pemerintah. Akan tetapi di sisi lain dapat pula berarti bahwa
apabila Daerah dan
Pemerintah telah melaksanakannya, maka urusan itupun dengan
sendirinya tidak dapat lagi
dilaksanakan oleh desa. Hal ini tidak fair bagi desa, karena
dalam prakteknya akan
menyulitkan desa dimana desa tidak memiliki bargaining
positionuntuk meminta, menolak
9 Masalah kelestarian lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal
215 ayat (2) butir d UUNo.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
10/85
10
atau mempertahankan urusan tersebut karena alasan kondisi dan
tingkat kemampuan
sumber daya, baik sumber daya manusia maupun finansial.
Untuk memecahkan persoalan di atas, seharusnya ada prinsip yang
jelas untuk
dijadikan dasar atau pegangan bagi desa untuk bisa meminta,
menolak ataupun
mempertahankan urusan-urusan pemerintahan, yang sebenarnya
merupakan urusan
pemerintah daerah dan/atau Pemerintah. Desa harus bisa menjadi
subyek bagi urusan-
urusan yang akan dikelolanya, bukan hanya menjadi obyek. Prinsip
tersebut harus dapat
menempatkan posisi desa sejajar dengan pemerintah, bukan
sub-ordinatif, sehingga
hubungan yang terbentuk adalah hubungan yang bersifat kemitraan,
dimana tidak ada
unsur pemaksaan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Dengan
prinsip ini desa juga dapat
mempertahankan urusan pelayanan dan pembangunan yang merupakan
urusan asal-
usulnya. Yang harus diciptakan dengan prinsip ini adalah
pemerintah daerah dan/atau
Pemerintah hanya dapat mendelegasikan kewenangan atau urusannya
kepada desa setelah
mendapat persetujuan dari masyarakat desa melalui penyelenggara
desa, dan demikian pula
sebaliknya pihak desa baru dapat melaksanakan urusan
pemerintahan yang mereka anggap
sebagai otonomi asli milik desa setelah memperoleh persetujuan
dari pemerintah. Kedua
hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak dengan
memperhatikan faktor kehendak dan
kesiapan/kemampuan desa10
. Memang, setelah berlakunya UU No.22 tahun 1999, ada
peraturan pemerintah (PP) yang lahir sebagai peraturan
pelaksana, yakni PP No. 76 Tahun
10 Dalam prakteknya nanti, guna menghindari subyektifitas
penilaian baik dari pihak desa
maupun pihak pemerintah, maka diperlukan adanya suatu lembaga
independen untuk itu
yang anggotanya terdiri dari berbagai pihak (satake holders)yang
mempunyai kepentingan
terhadap desa yang berkedudukan di tiap-tiap kota atau ibukota
kapubaten, yang dalam
Naskah Akademik ini diusulkan diberi nama Komisi Penilai Kinerja
dan Kondisi Desa(KOMISI DESA).
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
11/85
11
2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Namun PP ini
juga tidak
menyebutkan secara jelas prinsip yang dimaksud dalam uraian di
atas.
Kelemahan lainnya yang dapat dicatat adalah sebagaimana
dirumuskan pada
definisi desa dalam UU No. 22 Tahun 1999, bahwa desa hanya
terdapat di kabupaten.
Seharusnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang dapat
mengatur dan mengurus
dirinya sendiri, desa tidak hanya terdapat di wilayah kabupaten,
sehingga di dalam wilayah
kota bisa saja terdapat desa, meskipun disuatu kawasan tertentu
telah ada satuan wilayah
kerja pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah kota) dibawah
kecamatanyang disebut
kelurahan. Hal ini seharusnya bisa terjadi karena desa
sebenarnya bukanlah wilayah kerja
pemerintah kota. Dasar pemikiran ini terkait pula dengan
pemikiran bahwa pemerintah desa
sebenarnya bukanlah pemerintah dalam arti yang sebenarnya
sebagaimana yang dikenal
dalam istilah Pemerintah (Pusat) ataupun pemerintah daerah.
Konstitusi Indonesia (UUD
NRI 1945) yang berlaku saat ini tidak menyebutkan bahwa
Pemerintah Desa adalah
pemerintah. Yang disebut Pemerintah dalam Pasal 18 UUD NRI 1945
hanyalah Pemerintah
(Pusat) dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota.
Pemerintah desa hanyalah
organisasi yang dibentuk oleh masyarakat desa untuk
menyelenggarakan (mengatur dan
mengurus) urusan umum yang menyangkut kepentingan masyarakat
desa dan individu yang
berada dan/atau mempunyai kepentingan di desa. Sehingga dalam
implementasinya, di
dalam wilayah kecamatan bisa saja terdapat kelurahan sekaligus
desa. Sebagai
perbandingan, dapat dilihat keadaan yang ada di Bali, dimana di
dalam wilayah kecamatan
bisa terdapat desa administrasi sekaligus desa adat. Desa
administrasi mungkin bisa
dianalogikan sebagai kelurahan di kota, tetapi perbedaannya desa
administrasi di Bali
adalah organisasi yang dibentuk dan diselenggarakan secara
mandiri oleh masyarakat dan
bisa terdapat dimana saja (kota dan kabupaten), sedangkan
kelurahan adalah bagian dari
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
12/85
12
dan dibentuk oleh organisasi pemerintah daerah dan hanya
terdapat di wilayah perkotaan.
Disamping itu, dengan menetapkan bahwa desa hanya terdapat di
kabupaten, maka banyak
desa-desa yang dikota secara dipaksakan diubah menjadi
kelurahan, tanpa memperhatikan
aspirasi dari masyarakat desa.
Adanya kelemahan pada UU No. 22 Tahun 1999 telah mendorong
pemerintah untuk
merevisinya dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Sangat
disayangkan, UU No. 32 Tahun 2004 inipun tidak terlalu
menyelesaikan permasalahan
tentang desa yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut,
karena desain desentralisasi
yang dimiliki UU No. 32 Tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan
yang dimiliki UU No. 22
Tahun 1999. Memang sudah ada sedikit perbaikan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No.72
tahun 2005 tentang Desa yang merupakan peraturan pelaksana dari
UU 32 Tahun 2004.
Pasal 9 ayat (1) PP itu menyebutkan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan urusan
yang menjadi
kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada
Desa ... diatur denganPeraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan
berpedoman pada Peraturan Menteri.
Namun ketentuan tersebut belum memberikan prinsip dasar yang
dimaksud dalam
uraian di atas (kesetaraan), yang seharusnya diatur dalam
peraturan pada tingkat undang-
undang, yang berlaku secara nasional. Selanjutnya, Pasal 10 ayat
(3) PP No.72 tahun 2005
menyatakan: Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai dengan pembiayaan,
prasarana dan sarana, serta
sumber daya manusia.11
Namun sekali lagi, ketentuan ini juga belum dianggap cukup
untuk memberikan prinsip dasar tentang kesetaraan tersebut,
karena hanya memberikan
11 Ketentuan ini sebelumnya diatur dalam Penjelasan Pasal 100 UU
No.22 Tahun 1999.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
13/85
13
aturan mengenai power untuk melakukan penolakan, belum untuk
meminta dan
mempertahankan.
Satu kelemahan lain yang cukup signifikan dalam UU No. 32 tahun
2004 adalah
ketentuan Pasal 200 ayat (3) yang menyebutkan:
Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau
disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa
bersama badan
permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.
Meskipun ketentuan ini telah mengadopsi perhatian terhadap usul
dan prakarsa
pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa, namun
pengaturan bahwa desa
dapat diubah menjadi kelurahan adalah tidak tepat, dan tidak ada
penjelasan mengapa
kelurahan diasumsikan lebih sesuai. Keresahan lainnya adalah
adanya ketentuan yang
cenderung meningkatkan kontrol pemerintah terhadap desa, yaitu
ketentuan Pasal 202 ayat
(3) yang menetapkan bahwa seorang sekretaris desa diisi oleh
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ketentuan ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan sekretaris desa
kepada kepala desa
sebagai atasannya, akan tetapi ia hanya akan patuh kepada
kekuasaan yang mengatur dan
bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai PNS, yang jelas-jelas
bukanlah kepala desa tapi
pejabat di jajaran perangkat pemerintah daerah.
Ketidak puasan masyarakat desa akan peraturan perundang-undangan
yang ada, kini
telah berujung pada tuntutan bahwa desa seharusnya tidak diatur
satu paket dalam undang-
undang tentang pemerintahan daerah, akan tetapi hendaknya diatur
dalam undang-undang
tersendiri yang khusus mengatur tentang Desa. Disamping alasan
yang telah diuraikan di
atas, berbagai alasan lain juga melatarbelakangi tuntutan itu,
seperti: dianggap bahwa desa
masih kurang diperhatikan oleh pemerintah; pemerintahan desa
tidak sama hakikatnya
dengan pemerintah daerah, yang otonominya diberikan secara total
oleh Pemerintah Pusat;
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
14/85
14
tidak jelasnya kedudukan desa dalam sistem pemerintahan negara;
serta sangat kurangnya
pengalokasian anggaran negara bagi penyelenggaraan pelayanan dan
pembangunan di desa.
Dengan fakta-fakta di atas yang dianggap menjadi alasan-alasan
utama, Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini mencoba
mencarikan jalan keluar
bagi permasalahan-permasalahan tersebut dengan merumuskan suatu
rancangan undang-
undang (RUU) tersendiri tentang desa. Adapun pokok-pokok
pemikiran yang ingin dimuat
dalam RUU tersebut adalah hal-hal yang menyangkut:
1. Ketentuan umum,
2. Keberadaan dan pembentukan desa,
3. Pembagian kewenangan antara daerah dan desa,
4. Sumber keuangan desa,
5. Penyelenggara Desa (Kepala Desa dan Dewan Perwakilan
Masyarakat Desa)
dan Pengurus Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa).
6. Musyawarah desa,
7. Pemilihan desa,
8. Lembaga-lembaga desa,
9. Peraturan desa dan keputusan kepala desa,
10. Pengelolaan keuangan dan kinerja desa,
11. Kerjasama,
12. Penyelesaian perselisihan,
13. Pengawasan, pembinaan dan pertimbangan otonomi desa,
14. Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah di desa,
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
15/85
15
15. Ketentuan pidana,
16. Ketentuan peralihan, dan
17.
Ketentuan penutup.
Selanjutnya naskah akademikini akan menguraikan hal-hal yang
akan diatur dalam
pokok-pokok pikiran tersebut, yang nantinya akan dituangkan
sebagai bab-bab dalam suatu
rancangan undang-undang.
1.2
Tujuan dibuatnya naskah akademik ini adalah:
1. Mengkaji dan menganalisa upaya memberdayakan desa agar
terwujud desa
sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat
secara politik,
berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.
2. Merumuskan konsep desa ideal yang menjamin terwujudnya desa
yang
berperan dalam pembangunan nasional.
3. Memberikan alasan-alasan ilmiah yang diperlukan bagi
pembentukan
Rancangan Undang-Undang tentang Desa (RUU Desa) yang memuat
peraturan
mengenai penyelenggaraan tata kelola desa, yang wilayahnya
merupakan
bagian dari kabupaten/kota yang didiami masyarakat sipil.
1.3
Pendekatan Penelitian dan Tipe Pemaparan
Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan Naskah Akademik ini
menggunakan 2
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
16/85
16
(dua) metode penelitian. Pertama, metode yuridis normatif yang
memusatkan perhatian
pada kajian tentang norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-
undangan tentang desa, yaitu peraturan perundang-undangan yang
berlaku sekarang
ditambah wawasan dari peraturan perundang-undang yang berlaku
sebelumnya, sejak
jaman pemerintahan Hindia Belanda, Orde Lama, Orde Baru hingga
Era Reformasi.
Dengan demikian penelitian Naskah Akademik ini merupakan
penelitian doktrinal dengan
optik prescriptive(bersifat memberi petunjuk atau menjelaskan)
guna menemukan kaidah
hukum yang menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban yuridis
dari subyek dan
obyek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu.
Kedua, di samping peraturan perundang-undangan diatas,
penelitian ini menjangkau
pula pandangan masyarakat terutama masyarakat desa dan peran
pemerintah dalam bentuk
kebijakan nasional tentang desa yang menjadi topik utama
penelitian. Pada tingkat ini,
penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Metode ini
mengacu pada prosedur
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang
data secara mendalam
dan holistik. Adapun tipe pemaparan yang digunakan naskah
akademis ini bersifat
deskriptif-analitis, sehingga kajian yang dilakukan dan uraian
yang diberikan dapat menjadi
acuan komprehensif bagi penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang
Desa.
Data Penelitian
Data dalam penelitian yang digunakan berupa data primer dan data
sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus Group
Dissucion(FGD) / konsinyering
dan pembahasan dengan anggota DPD RI yang mengundang secara
langsung para
pemangku kepentingan (stakeholders) desa, diantaranya pemerhati
desa dan ilmuwan
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
17/85
17
bidang hukum adat dan pemerintahan yang berasal dari beberapa
perguruan tinggi serta
konsultasi dengan nara sumber terpilih. Data primer juga diambil
dari pertemuan-
pertemuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengurus
permasalahan desa.12
Sedangkan data sekunder yangdigunakan dalam proses penyusunan
naskah akademik ini
adalah bahan-bahan kepustakaan yang bersifat yuridis normatif,
yang mencakup:
1. Bahan hukum primer, berupa ketentuan hukum dan
perundang-undangan
yangberlaku, khususnya UUD NRI Tahun 1945, UU No. 32 Tahun 2004
dan PP
72 Tahun 2005. Juga bahan hukum primer yang berupa ketentuan
hukum dan
perundang-undangan yang mengikat pada masa lampau, termasuk UU
No. 22
Tahun 1948, UU No. 19 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1979 dan UU No.
22
Tahun 1999.
2. Bahan kepustakaan akademis, seperti hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan
hukum, buku-buku, makalah-makalah, artikel-artikel dan
sebagainya;
3. Bahan kepustakaan lain, berupa kamus, internet, surat kabar,
dan sebagainya.
12 LSM yang hasil pertemuannya dijadikan masukan bagi Naskah
Akademis ini antara lain
adalah Forum Warga KAUKUS 17++ dan Asosiasi Pemerintah Desa
Seluruh Indonesia(Apdesi).
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
18/85
18
2
Yang dimaksud dengan penyempurnaan dari judul bab ini adalah
perubahan
terhadap ketentuan-ketentuan pengaturan tentang desa yang
terdapat dalam Bab XI UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terdiri atas
enam Bagian (Umum;
Pemerintah Desa; Badan Permusyawaratan Desa; Lembaga Lain;
Keuangan Desa; dan
Kerjasama Desa) dan 17 Pasal (200 216) serta penambahan segala
pengaturan yang baru
yang belum diatur oleh UU tersebut, yang mencakup hal-hal
dibawah ini dimana pasal-
pasal hasil perubahan dan penambahan tersebut dibuat sesuai
dengan prinsip-prinsip yang
akan dianut dalam UU tentang Desa. Dalam melakukan penyempurnaan
tersebut akan
diperhatikan segala ketentuan yang sudah ada dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 72
Tahun 2005 tentang Desa. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU
No.32 Tahun 2004 dan
PP No. 72 Tahun 2005 yang sudah sesuai dengan prinsip-prinsip
yang akan dianut dalam
UU tentang Desa akan tetap diadopsi. Sehingga UU tentang Desa
yang baru bukanlah suatu
produk peraturan baru yang mengadakan perubahan total terhadap
produk peraturan yang
lama, akan tetapi hanya memperbaiki aturan-aturan yang dianggap
kurang tepatdan
menambahkan aturan-aturan baru yang memang dibutuhkan dengan
menggunakan
prinsip-prinsip atau asas-asas penyelenggaraan tata kelola desa
yang tepat dan jelas,
demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa.
Dengan demikian,
secara singkat dapat dikatakan, bahwa isi UU tentang Desa adalah
gabungan dari
ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP
No. 72 Tahun 2005
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
19/85
19
yang telah mengalami penyempurnaan. Namun demikian, walaupun
sebagian ketentuan-
ketentuan dalam PP No. 72 Tahun 2005 akan menjadi bagian dari UU
tentang Desa, teori
tentang tentang materi muatan undang-undang tetap harus
diperhatikan. Artinyaketentuan-
ketentuan yang ada dalam PP tersebut yang bukan merupakan materi
muatan
undang-undang tidak dapat dimasukkan ke dalam UU tentang Desa
yang akan dibuat.
Ketentuan-ketentuan demikian akan tetap menjadi materi muatan
dari PP yang akan
menjadi peraturan pelaksana dari UU tentang Desa.
2.1
Definisi
Persoalan definisi yang akan menjadi Bab tentang Ketentuan Umum
dari UU
tentang Desa yang baru dapat dikatakan merupakan bagian yang
paling menentukan. Dalam
RUU tentang Desa nantinya, desa didefinisikan sebagai berikut.
Desa,yang disebut dengan
istilah sesuai dengan bahasa daerah setempat, adalah bagian
wilayah kecamatan dengan
batas-batas yurisdiksi tertentu, bersama masyarakat yang berdiam
didalamnya, yang
membentuk kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus
kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal usul/adat istiadat
dan/atau prakarsa masyarakat
setempat, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan yang diakui Pemerintah sebagai Desa. Dari
definisi yang diusulkan ini,
terdapat 3 hal yang baru.Pertama, bahwa yang menjadi dasar bagi
masyarakat desa dalam
mengurus rumah tangganya tidak hanya asal-usul/adat istiadat,
melainkan mereka juga
dapat menggunakan prakarsa atau inisiatif yang berkembang. Agar
dapat dijalankan, maka
asal-usul/adat istiadat dan prakarsa tersebut harus diakui dan
dihormati (recognised) oleh
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
20/85
20
negara/pemerintah dalam bentuk kesepakatan antara masyarakat
desa dengan pemerintah,
yang dituangkan dalam wujud peraturan daerah mengenai kewenangan
desa. Selanjutnya
tentu timbul pertanyaan, mengapa harus dengan kesepakatan?
Jawabannya adalah karena
desa bukanlah sub-ordinasi dari pemerintah. Artinya, kedudukan
desa berada di luar atau
tidak dibawah pemerintah. Akibatnya, sebagai organisasi yang
independen, kesatuan
masyarakat desa bebas melakukan kewenangan apa saja selama masih
dalam koridor
hukum positif nasional. Namun karena wilayah yang akan digunakan
untuk melakukan
kewenangan tersebut pada dasarnya adalah wilayah negara yang
diserahkan pengelolaannya
kepada daerah otonom (kapubaten/kota) tertentu, maka agar dapat
diakui, dihormati dan
dilindungi oleh negara, kewenangan masyarakat desa harus diatur
dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini, menurut hukum yang berlaku
saat ini (UU No. 32
Tahun 2004), peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kegiatan
masyarakat adalah domain dari pemerintah daerah, yaitu peraturan
daerah (perda).
Mengenai kewenangan apa saja yang dapat diakui, hal inilah yang
perlu dirumuskan
bersama antara pemerintah dengan masyarakat desa dalam kedudukan
yang sejajar. Dalam
hukum perdata, pemerintah dan masyarakat desa dapat diibaratkan
sebagai para pihak yang
membuat perjanjian.
Lebih jelasnya, pemikiran ini didasarkan bahwa penyelenggaraan
tata kelola desa
(disingkat penyelenggaraan desa), atau yang dikenal selama ini
sebagai pemerintahan
desa, sebenarnya bukanlah suatu bentuk pemerintahan daerah
sebagaimana halnya
provinsi dan kabupaten/kota, yang kewenangannya diperoleh karena
otonomi yang
diberikan secara total oleh Pemerintah. Di sini, desa yang
sebenarnya adalah lembaga yang
dibentuk oleh masayarakat sipil mempunyai kedudukan yang sejajar
dengan pemerintah.
Oleh karena itu bentuk hubungan kemitraanberlaku dalam hal
mengatur dan mengurus
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
21/85
21
urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang merupakan
kewenangan pemerintah - baik
pusat maupun daerah kabupaten/kota - dapat dinon-pemerintahkan
(dikembalikan kepada
masyarakat desa untuk dijadikan urusan desa) melalui kesepakatan
antara pemerintah
dengan penyelenggara desa, berdasarkan kemampuan, kinerja dan
kondisi desa. Demikian
pula sebaliknya, urusan desa yang dapat digolongkan sebagai
urusan pemerintahan yang
telah dilaksanakan secara turun-temurun sebagai urusan
asal-usul, juga harus disetujui
terlebih dahulu oleh pemerintah untuk dapat terus dipertahankan
guna dilaksanakan oleh
penyelenggara desa, baik supaya dapat diakui dan dihormati,
maupun agar dapat diberi
subsidi. Prinsip kesepakatan ini bahkan juga berlaku bagi urusan
adat istiadat yang
mendapat subsidi dari negara.
Sifat obyektif aspiratif dan bottom up yang merupakan ciri utama
demokrasi akan
lebih muncul jika dibandingkan dengan bila desa dianggap sebagai
bagian dari
Pemerintah/pemerintah daerah (di bawah kecamatan). Lagipula,
jika desa ditempatkan
sebagai bagian dari pemerintah daerah adalah sesuatu hal yang
tidak mungkin, karena di
desa terjadi proses demokrasi lewat pemilihan desa (pemilihan
kepala desa dan
pemilihan dewan perwakilan masyarakat desa (DPMD)13
dan aparat perangkat desa
bersama relawan berasal dari unsur-unsur masyarakat yang bukan
Pegawai Negeri Sipil
(PNS).14
Hal ini berbeda dengan kelurahan, yang menurut UU No. 32 Tahun
2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan wilayah kerja dari pemerintah
daerah (dalam hal ini
kelurahan merupakan bagian dari wilayah kecamatan), dimana
kepala dan perangkat
13 Dewan Perwakilan Masyarakat Desa (DPMD) adalah istilah yang
diusulkan untuk
mengganti Badan Permusyawaratan Desa, sebagaimana diatur dalam
UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan tujuan untuk
menghindari kerancuan dengan
penggunaan istilah pemerintahan yang sebenarnya.
14 Status kepegawaian di desa dapat disamakan dengan yang
berlaku pada lembaga swadayamasyarakat biasa.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
22/85
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
23/85
23
disingkat dengan Komisi Desa), yang para anggotanya terdiri dari
berbagai unsur
masyarakat yang berasal dari dalam dan luar desa17
, yang ingin bekerjasama secara sukarela
demi kepentingan, kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat desa yang
terdapat dalam suatu kabupaten/kota. Dengan penilaian secara
berkala yang obyektif,
diharapkan masyarakat desa benar-benar dapat mengatur dan
mengurus urusan yang
memang mampu mereka laksanakan berdasarkan kehendak sendiri dan
bukan merupakan
paksaan sepihak, baik dari sisi desa ataupun dari pihak
pemerintah. Kalaupun rakyat di desa
itu tidak atau belum/kurang menyadari potensi yang mereka
miliki, maka Komisi Desa
akan memberi rekomendasi kepada penyelenggara desa dan
pemerintah daerah tentang
dukungan (encouragement) dan pembinaan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan
kepercayaan diri mereka. Pola hubungan pemerintah daerah dengan
penyelenggara desa
tersebut diatas dapat digambarkan dengan skema berikut:
Gambar 1: Penyelenggara DESA sebagai lembaga masyarakat dengan
kekuasaan
sebagai MITRA dari pemerintah daerah
DAERAH DESA
17 Diusulkan dalam setiap Komisi Desa hanya perlu sekitar lima
sampai dengan sepuluh orang
anggota, dengan staf maksimal 20 orang untuk kabupaten/kota yang
besar dan 10 oranguntuk kabupaten/kota yang kecil.
CAMAT
Bupati/WalikotaDPRD Kepala Desa DPMD
MASYARAKAT
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
24/85
24
Kedua, hal baru yang terkandung dalam definisi yang diusulkan
tersebut adalah
selain memiliki kewenangan untuk mengelola hak dan kewajiban
yang berasal dari asal-
usul/adat-istiadat dan/atau prakarsa sendiri, masyarakat desa
juga dapat menyelenggarakan
urusan pelayanan dan pembangunan, yang juga harus diatur dengan
peraturan daerah
seperti proses yang diuraikan di atas (dengan kesepakatan).
Ketiga,keberadaan desa harus
secara nyata diakui oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan
perundang-undangan (dalam
hal ini Peraturan Daerah). Bila proses kesepakatan ini tidak
dilakukan, maka suatu desa
menjadi tidak berhak menerima bagian keuangan negara, baik dalam
bentuk Alokasi
Dana Desa (ADD) maupun dana-dana yang diberikan berdasarkan asas
pembantuan dan
hibah, termasuk dari pemerintah daerah. Permasalahan yang
mungkin timbul dari ketentuan
ini diantaranya adalah terdapatnya beberapa daerah yang
berdasarkan kebudayaan setempat
memiliki lebih dari satu sistem kesatuan masyarakat hukum adat
yang mempunyai wilayah,
seperti halnya di Sumatra Utara, dimana selain ada Huta juga ada
wilayah masyarakat
hukum adat yang disebut Kuria, yang mempunyai kedudukan lebih
tinggi daripada Huta.
Dalam hal ini tentunya harus dicari solusi yang terbaik
berdasarkan kesepakatan diantara
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri, seperti
pemilihan salah satu di antara
keduanya yang harus diputuskan untuk diakui oleh Pemerintah
sebagai Desa ataupun
dengan cara pembagian urusan diantara mereka sendiri. Keberadaan
desa adat dan desa
admistratif seperti di Balipun dapat diakomodir untuk
mendapatkan ADD yang disalurkan
lewat APBD, asalkan urusan-urusannya ditetapkan terlebih dahulu
melalui kesepakatan
antara desa-desa tersebut dengan pemerintah daerah.
Sementara itu sistem tata kelola desa secara internal harus
diatur dengan
memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Disamping
pengurus desa yang
berfungsi sebagai pemerintah desa, keberadaan lembaga-lembaga
lain dapat dipertahankan.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
25/85
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
26/85
26
pemerintah desa.18
Seharusnya hal ini dicantumkan dalam penjelasan tentang definisi
desa.
Ada pula satu catatan kecil yang mungkin penting diperhatikan
dari pencantuman istilah
atau terminologi di daerah sebagai padanan istilah desa, yaitu
mengenai dicantumkannya
Gampong yang ada di Provinsi NAD Aceh. Pencantuman Gampong di UU
Desa yang baru
sudah tidak relevan lagi, karena Aceh sudah memiliki sistem
pemerintahan terendah yang
diatur secara khusus dan berbeda. Pasal 1 Angka 19 dan 20 UU
No.11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menyebutkan, bahwa gampong adalah kesatuan
masyarakat hukum
yang berada di bawah mukim yang merupakan kesatuan masyarakat
hukum di bawah
kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Hal ini
berbeda dengan
pengaturan yang akan dimuat dalam UU Desa yang baru, dimana yang
setingkat dengan
desa di Aceh seharusnya adalah mukim. Akan tetapi, mukim juga
tidak sama dengan desa,
karena mukim adalah sub-ordinat/bawahan dari kecamatan,
sedangkan desa bukan
merupakan bawahan kecamatan.
Tujuan Pembentukan UU Desa
Dibentuknya Undang-Undang tentang Desa secara tersendiri, yang
merupakan
pemisahan peraturan perundang-undangan tentang desa dari
pemerintahan daerah dengan
misi memperbaiki dan menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang ada
di dalamnya,
adalah dengan tujuan utuk membentuk desa yang modern berbasis
masyarakat sebagai civil
society, dimana tersedia ruang publik dan kondisi yang
memungkinkan tumbuhnya
masyarakat dengan ciri-ciri mandiri, otonom, dan sukarela.
Selain itu Undang-undang
18 Pasal 202 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004: Desa yang dimaksud
dalam ketentuan ini
termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di
provinsi NAD, Lembang diSulawesi Selatan, Desa di Kalimantan
Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
27/85
27
tentang Desa juga akan memberikan legitimasi dan justifikasi
yang lebih kuat bagi self
governing community sesuai dengan kebutuhan dan menggunakan
prinsip-prinsip
demokrasi seperti checks & balances, tranparancy, dan
accountability.Pencapaian tujuan
tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki ketentuan-ketentuan
yang ada sekarang, yang
secara khusus dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Lebih mengakui dan menghormati upaya masyarakat desa untuk
mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri dan hubungan mereka dengan
masyarakat desa
lain;
b. Mengatur tata cara masyarakat desa mengatur dan mengurus
hal-hal
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Memperjelas aturan mengenai hubungan masyarakat desa dengan
Negara,
Pemerintah dan pemerintah daerah;
d. Memberi masyarakat desa alokasi dana sesuai dengan kebutuhan
untuk
mengatur dan mengurus hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf
a;
e. Mengatur tata cara pertanggungjawaban kinerja dan keuangan
pemerintah desa
dengan menggunakan prinsip profesionalisme;
f. Mengatur tata cara pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan
desa.
Prinsip-prinsip penyelenggaraan desa
Dalam Bab tentang Ketentuan Umum RUU tentang Desa nantinya juga
akan
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
28/85
28
dicantumkan prinsip-prinsip atau asas-asas yang berlaku bagi
penyelenggaraan desa dimana
prinsip-prinsip tersebut harus yang berkaitan dengan kerangka
hubungan desa dengan
pemerintah, dimana pada dasarnya penyelenggara desa bukanlah
pemerintah dan
mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pemerintah dalam bentuk
kemitraan, sehingga
hubungan yang terbentuk adalah hubungan kerjasama, bukan
hubungan sub-ordinatif.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
- Kesetaraan dan kemitraan,
- Rekognisi (pengakuan dan penghormatan);
- Subsidiaritas,
- Demokrasi, dan
- Profesionalisme, khususnya dalam pengelolaan keuangan yaitu
penerapan
prinsip-prinsip keuangan modern, yang telah diadopsi oleh UU
No.17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
Selain prinsip-prinsip diatas juga masih dikenal penerapan
asas-asas pemerintahan
yang lain seperti desentralisasi dan tugas pembantuan. Namun
dalam penyelenggaraan desa,
penerapan asas desentralisasi agak berbeda dengan desentralisasi
yang kita kenal dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana walaupun negara
telah menyerahkan urusan
kepada daerah, urusan tersebut tetap menjadi milik negara, dalam
arti negara dapat
mengambil alih urusan tersebut setiap saat dengan perubahan
undang-undang terkait.
Sementara dalam penyelenggaraan desa, suatu urusan yang telah
diserahkan oleh
pemerintah kepada desa (melalui proses kesepakatan antara pihak
pemerintah daerah
dengan pihak desa) akan menjadi urusan desa (tidak lagi
merupakan urusan
pemerintahan). Dengan demikian urusan yang telah menjadi urusan
desa ini hanya dapat
diambil kembali oleh pemerintah dengan persetujuan dari
masyarakat desa dalam bentuk
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
29/85
29
kesepakatan antara pemerintah dengan penyelenggara desa, untuk
selanjutnya
diformalisasikan dalam peraturan daerah. Inilah yang disebut
dengan prinsip kesetaraan
dan kemitraan.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, dengan prinsip tersebut
desa bukanlah
merupakan sub-ordinat dari pemerintah, tapi mitra yang setara
dalam rangka memberikan
pelayanan kepada masyarakat desa dan melakukan pembangunan di
desa. Dengan prinsip
ini berarti desa dan pemerintah akan saling menghormati, yang
merupakan bagian dari
prinsip rekognisi (mengakui dan menghormati). Dalam prinsip
rekognisi, negara harus
mengakui keberadaan desa-desa beserta sistem pengelolaan
kemasyarakatan dan
lingkungannya. Namun pengakuan dan penghormatan itu tentunya
harus dilakukan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa-desa yang yang
harus diakui dan
dihormati tersebut mencakup desa-desa yang telah ada sebelum
Negara Kesatuan Republik
Indonesia diproklamasikan dan desadesa yang lahir berdasarkan
peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang desa yang pernah berlaku, yang
masih ada sampai saat
UU tentang Desa disahkan.
Sebenarnya konstitusi negara Indonesia pernah merumuskan secara
jelas tentang
pengakuan terhadap desa-desa di Indonesia, yakni dapat kita
lihat pada bagian Penjelasan
Umum Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang sekarang telah
dihapuskan. Prinsip
rekognisi juga berlaku bagi pengurus desa terhadap lembaga desa
lainnya yang
melaksanakan urusan asal-usulnya.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
30/85
30
Prinsip selanjutnya, yang merupakan suatu prinsip baru yang
diperkenalkan dalam
Undang-undang tentang Desa nantinya adalah prinsip
subsidiaritas.19
Prinsip ini berkaitan
dengan pembagian kewenangan antara desa dan pemerintah sebagai
kekuasaan supra desa.
Prinsip subsidiaritas didefinisikan sebagai prinsip bahwa segala
masalah seharusnya
diselesaikan pada tingkat paling kecil/rendah, kecuali ada
alasan yang memaksakan
masalah tersebut perlu diselesaikan pada tingkat yang lebih
luas.20
Prinsip subsidiaritas
bukan bersifat top-downseperti pada konsep pembagian urusan
dalam UU No. 32 Tahun
2004, yang banyak menentukan dimana Pemerintah (Pusat) selalu
membuat Peraturan
Pemerintah untuk membagi banyak urusan pemerintahan hingga
tingkat kabupaten/kota
bahkan desa. Prinsip subsidiaritas menekankan rekognisi terhadap
semua kewenangan asal-
usul yang dimiliki desa, sebelum pemerintah dapat mengambil alih
urusan yang menurut
mereka tidak dapat dilaksanakan oleh desa. Di samping itu,
apabila terdapat kewenangan
yang berasal dari hak asal-usul, tetapi kewenangan ini baru
ditemukan, maka pemerintah
harus pula me-rekognisi-nya. Asas subsidiaritas dapat dijelaskan
dalam diagram berikut:
Gambar 3: Perubahan Paradigma Kepemerintahan
19 Prinsip subsidiaritas ini dikenal dalam penyelenggaraan
organisasi internasional Uni Eropa,
yakni mengenai hubungan negara anggota dengan Uni Eropa secara
keseluruhan.
20 Owen Podger, Komentar atas Naskah Akademis dan RUU Desa versi
Depdagri, (TanpaTempat: April 2008), Makalah tidak dipublikasikan.
Hal. 9.
PERUBAHAN
PARADIGMA
KEPEMERINTAHAN
DARI
cara
tradisional
Tata Kelola
Pemerintah
Instansi-instansi
Pemerintah Pusat
Masyarakat
sebagai penerima
layanan
Kebijakan dan
peraturan
Instansi-instansi
provinsi
Instansi-instansikab/kot
Kepada Tata Kelola Pemerintah
berbasis kinerja
Masyarakat sebagai
Pelanggang (dan pemegang saham!)PEMKAB/KOTA sebagai pemberi
layanan langsung pada masyarakat
Peraturan perundang-undanganuntuk kepastian hukum
Pemerintah Provinsi dan PUSATsebagai fasilitator, denganpenyusun
kebijakan dan membina
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
31/85
31
Dari gambar di atas terlihat, bahwa campur tangan otoritas
publik harus datang dari
tingkat hirarki yang lebih dekat dengan warga, sehingga sedapat
mungkin komunitaslah
yang akan menangani masalah warganya. Tetapi jika komunitas
tidak dapat menyelesaikan
masalah, maka penguasa regional (supra) yang membantu. Jika
tidak mampu juga maka
Negara yang harus membantu. Hubungan desa dengan supra desa
harus menerapkan prinsip
subsidiaritas, karena meskipun dalam hal eksternalitas
diamanatkan adanya campur tangan
supra desa, akan tetapi apabila antara desa-desa yang akan atau
telah memiliki suatu
kerjasama tertentu, dan desa-desa tersebut telah memiliki
kompetensi untuk mengurus
kerjasamanya, maka peran supra desa tetap harus diminimalisir,
atau hanya sebatas sebagai
institusi pengawas bagi hubungan kerjasama tersebut.
Prinsip yang tak kalah penting yang harus dianut dalam
penyelenggaraan desa
adalah demokrasi, khususnya dalam penggunannya sebagai dasar
perubahan Badan
Permusyawaratan Desa (Bamusda) menjadi Dewan Perwakilan
Masyarakat Desa (DPMD).
Keberadaan DPMD adalah agar proses checks and balancesdapat
terjadi dengan sempurna
dalam mengimplementasikan demokrasi di tingkat desa. Di sini
yang sangat penting untuk
diingat adalah bahwa DPMD bukanlah suatu lembaga legislator yang
menjadi oposisi bagi
kepala desa seperti apa yang dikenal dalam teori ketatanegaraan,
tapi ia hanyalah suatu
lembaga yang bertujuan memberikan koreksi dan menciptakan
keseimbangan yang
memberikan dukungan secara langsung kepada kepala desa untuk
mencapai hasil-hasil dari
kesepakatan yang dibuat bersama oleh DPMD dan kepala desa.
Singkatnya, DPMD dan
kepala desa adalah satu lembaga yang disebut Penyelenggara Desa,
bukan dua lembaga
yang berseberangan satu sama lain.
Prinsip yang terakhir adalah profesionalisme, yang khususnya
diterapkan dalam
pengelolaan administrasi keuangan, yang harus dilakukan secara
modern menurutstandar
ilmu keuangan yang telah diadopsi oleh Undang-undang No.17 Tahun
2003
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
32/85
32
tentang Keuangan Negara, sehingga pemerintah tidak perlu lagi
membuat aturan-aturan
tersendiri tentang tata-cara pengelolaan keuangan desa. Dalam
prinsip ini pengelola
keuangan desa tidak perlu dirangkap lagi oleh sekretaris desa,
tapi pembukuan dapat
dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kompetensi yang memiliki
sertifikasi minimal
sesuai dengan kebutuhan sebagai ahli keuangan dengan persyaratan
tertentu sesuai
kebutuhan desa. Pesyaratan ini juga belaku bagi auditor keuangan
desa. Ketentuan
mengenai sertifikasi minimal ini dapat ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan
teknis/pelaksana. Selain itu dengan prinsip profesionalisme,
pembukuan keuangan desa
harus dilakukan dengan menggunakan sistem yang universal, dan
bila memungkinkan
dibuat on-lineagar senantiasa dapat dipantau oleh para
stakeholders-nya, sehingga dapat
mewujudkan transparansi manajemen sebagai salah satu perwujudan
sistem good
governance.
2.2
Rekognisi keberadaan dan pembentukan Desa
Usulan revisi komprehensif terhadap pengaturan tentang
keberadaan dan
pembentukan desa adalah sebagai berikut:
Kenyataan yang ada di Indonesia sehubungan dengan keberadaan
desa adalah
keberagaman, terutama dalam hal budaya tatacara mengelola
kehidupan bersama, yang
mempunyai filosofi yang spesifik bagi masing-masing desa.
Keberadaan desa tidak ada lagi diatur dalam ketentuan peralihan,
namun harus diatur
dalam bab khusus yang mencakup pengakuan terhadap desa-desa yang
ada serta aturan
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
33/85
33
main untuk pembentukan desa-desa baru ataupun penghapusan desa.
Rekognisi
terhadap desa seharusnya memang tidak diatur dalam Bab tentang
Peralihan, karena
rekognisi bukanlah isu peralihan, tetapi merupakan isu
konstitusional tentang
kesatuan masyarakat hukum termasuk masyarakat hukum adat.
Rekognisi terhadap
keberadaan desa juga akan menghormati dan mengakui adanya nama,
simbol dan
atribut desa.
Pembentukan desa baru harus bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan kepada
masyarakat secara efektif dan efisien. Desa dibentuk dengan
keputusan musyawarah
masyarakat desa, yang harus diakui daerah dengan peraturan
daerah, yang setelah itu
menjadi peraturan desa tentang pembentukan desa yang baru.Dalam
pembentukan desa
baru, perlu diperhatikan data kuantitatif tentang penduduk desa
di Indonesia dan
permasalahan sebagai berikut:
(1)Jumlah penduduk desa rata-rata di Indonesia: 3.170 penduduk
per desa/kelurahan
dengan 5% daerah kurang dari 500 penduduk per desa/kelurahan,
15% daerah
kurang dari 1.000 penduduk per desa/kelurahan, 50% daerah kurang
dari 2.740
penduduk per desa/kelurahan, dan 10% daerah: lebih dari 8.600
penduduk per
desa/kelurahan.
(2)Tidak ada data nasional yang definitif tentang pemekaran
desa, tetapi ada beberapa
contoh yang dapat diambil dari beberapa daerah. Misalnya pada
tahun 2004 diakui
ada 5.965 gampong di Aceh, dan pada tahun 2007 jumlah tersebut
bertambah
menjadi 6.381.
(3)Jumlah desa dalam satu kecamatan ada yang satu desa saja,
tetapi ada juga yang
lebih dari 70 desa. Sebagai perbandingan dapat diperhatikan data
tentang jumlah
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
34/85
34
Gampong maksimal dan minimal per Kecamatan per Kabupaten/Kota di
Aceh
berikut:
Gambar 4: Jumlah maskimal dan minimal gampongdalam kecamatan di
masing-masing kabupaten/kota di Aceh
Sumber: Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi
NAD 2007
Dalam hal pembentukan desa baru ada suatu pertanyaan penting
yang harus dapat
dijawab oleh RUU tentang Desa ini, yaitu apakah diperlukan
semacam moratorium
pembentukan desa dan kecamatan baru sampai ada semacam Grand
Designuntuk desa
dan kecamatan di setiap daerah?
Pengaturan khusus tentang lingkungan kawasan perairan (laut,
danau dan sungai) yang
ditempati oleh (sebagian) masyarakat desa. Ini diperlukan karena
undang-undang
tentang desa harus melindungi semua rakyat Indonesia. Munculnya
ide tentang
pengaturan ini karena mengingat, bahwa secara fisik batas
wilayah desa hanya dapat
ditetapkan di atas daratan. Batas wilayah desa di lingkungan
kawasan perairan tidak
bisa ditentukan secara fisik, tapi harus ditentukan dengan cara
membuat kesepakatan
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
35/85
35
antar masyarakat desa yang bersebelahan dan/atau yang
memanfaatkan perairan yang
sama. Dalam UU Desa nantinya diusulkan dimasukkan
ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
(1) Desa di lingkungan kawasan perairan mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
- Masyarakatnya membangun rumah di atas kawasan perairan;
- Masyarakatnya memanfaatkan hasil perairan;
-
Masyarakatnya menggunakan kawasan perairan untuk transportasi;
dan/atau
- Masyarakatnya hidup di perahu-perahu yang tidak menetap.
(2) Batas desa, yang masyarakatnya membangun rumah diatas
kawasan perairan, dapat
ditetapkan di kawasan perairan dengan membuat tanda-tanda
tertentu;
(3) Komunitas dari desa-desa yang bersebelahan bersepakat untuk
menetapkan tatacara
bersama dalam memanfaatkan perairan dan hasil perairan yang
sama.
(4) Batas desa, yang masyarakatnya hidup di perahu-perahu yang
tidak menetap,
dianggap di sekitar lokasi perahu-perahu berada, asalkan dengan
kesepakatan
bersama komunitas desa lain yang juga memanfaatkan hasil
perairan yang sama.
Pembahasan mengenai pembentukan desa juga dapat dilihat dari
definisi desa. Pada
undang-undang yang berlaku sekarang, definisi desa ditekankan
pada kesatuan
masyarakat.21
Formulasi demikian secara leksikal menyebabkan pengertian yang
agak
membingungkan. Desa seharusnya berarti wilayah kediaman
masyarakat tertentu dengan
21 Lihat definisi desa dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32
Tahun 2004.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
36/85
36
batas-batas tertentu, sedangkan kesatuan masyarakat yang berdiam
secara tetap didalamnya
dengan jumlah tertentu, yang mengelola urusan tertentu bagi
kepentingan mereka sendiri,
merupakan salah satu syarat bagi wilayah tersebut untuk dapat
diakui sebagai desa. Selain
itu, karena pertimbangan dinamika dan mobilitas masyarakat pada
jaman modern ini,
definisi desa seharusnya lebih ditekankan pada paradigma
teritorial, bukan kesatuan
masyarakat karena masyarakat tidak akan selalu tetap menjadi
satu seperti di masa yang
lampau. Perubahan paradigma seperti ini dilakukan dalam upaya
mensinergikan
perkembangan dan dinamika yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat.
Pada dasarnya dalam merancang ketentuan-ketentuan tentang
pembentukan desa
yang akan dimuat dalam UU tentang Desa dapat diadopsi
pasal-pasal mengenai hal yang
sama yang ada dalam PP No.72 tahun 2005 tentang Desa, yakni
pasal 2, 3 dan 4. Sementara
prinsip-prinsip tentang pembentukan desa berlaku sama bagi
penghapusan, penggabungan
ataupun pemekaran desa. Sehingga dalam implementasinya,
pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat melakukan pembentukan, penghapusan,
penggabungan atau
pemekaran desa didalam batas-batas yurisdiksinya yang
selanjutnya ditetapkan dengan
peraturan daerah menurut tata cara yang ditetapkan dengan
peraturan pemerintah, dengan
memperhatikan aspirasi dan adat-istiadat masyarakat setempat
serta rekomendasi dari suatu
lembaga independen, yaitu Komisi Penilai Kinerja dan Kondisi
(Komisi Desa).
Tidak Perlu Terjadi Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan
Pasal 200 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan, Desa di
kabupaten/kota
secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi
kelurahan sesuai usul dan
prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang
ditetapkan dengan
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
37/85
37
Perda. Ketentuan ini tidak sesuai dengan apa yang telah
diuraikan di atas, karena
bertentangan dengan upaya mendorong masyarakat sipil untuk
melaksanakan asas
subsidiaritas. Ketentuan yang mengamanatkan perubahan desa
menjadi kelurahan
harus ditiadakan dalam Undang-Undang tentang Desa. Beberapa
landasan pikiran
untuk meniadakan ketentuan perubahan desa menjadi kelurahan
dapat dipaparkan sebagai
berikut: Pertama, kelurahan menurut Pasal 127 Ayat (2) dipimpin
oleh lurah dan
melaksanakan tugasnya berdasarkan delegasi dari
bupati/walikota.22
Ketentuan ini berarti
menempatkan desa (yang telah berubah menjadi kelurahan) sebagai
subsistem
kabupaten/kota. Dengan demikian ketentuan ini tidak lagi cocok
dengan konsep yang
dikehendaki dalam Undang-Undang tentang Desa yang baru, yang
ingin merevitalisasi
konsep civil society sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi
pelayanan dan
pembangunan yang independen dari struktur pemerintah daerah.
Kedua, perubahan desa
menjadi kelurahan juga menuai konsekuensi hilangnya kekayaan dan
sumber alam desa
untuk diambil alih oleh kabupaten/kota.23
Kelurahan sebagai subsistem kabupaten/kota
harus menyerahkan semua hak-hak dan kekayaannya untuk diatur dan
dikelola oleh
kabupaten/kota, sehingga hak-hak desa atas wilayahnya menjadi
hilang. Ketiga, harus
dipahami bahwa terlepas dari jumlah dan besarnya urusan, selama
masih ada urusan yang
masih dapat dilaksanakan oleh pengurus desa, harus tetap ada
desa. Dengan kata lain,
Undang-Undang tentang Desa yang baru harus mempertegas
pelembagaan asas
subsidiaritas. Pelembagaan asas subsidiaritas akan bertentangan
bila dikaitkan dengan
22 Pasal 127 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004: Kelurahan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan dari
Bupati/Walikota.
23 Pasal 201 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004: Dalam hal desa
berubah statusnya menjadi
kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh
kelurahan yangbersangkutan.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
38/85
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
39/85
39
cabang dari kantor kecamatan atau dinas tertentu, namun tentunya
dengan kewenangan
yang sangat bervariasi, tergantung pada variasi kewenangan yang
dimiliki oleh desa di
wilayah tersebut. Dengan demikian kewenangan cabang kantor
kecamatan (kantor
kelurahan) atau suku dinas yang dibentuk merupakan residu dari
kewenangan
pemerintahan yang telah diserahkan pemerintah daerah kepada
desa. Sehingga dengan
konsep ini keberadaan suatu kantor kelurahan atau suku dinas
tidak bersifat compulsary.
2.3
Menurut teori ilmu pemerintahan, daerah otonom memperoleh
kewenangan dengan
menggunakan asas desentralisasi(otonomi yang diberi oleh
Pemerintah). Berbeda dengan
desa yang merupakan self governing communitymenggunakan asas
subsidiaritas, dimana
sebagian besar kewenangan itu aslinya memang sudah ada di
masyarakat, bukan
pemberian. Dalam desentralisasi, bila daerah tidak mampu,
kewenangannya diambil
kembali oleh Pemerintah, sementara dalam subsidiaritas, bila ada
eksternalitas, maka
masyarakatlah yang meminta pemerintah untuk mengambil alih. Hal
ini sesuai dengan
amanat Pembukaan UUD NRI 1945, dimana pembentukan Pemerintah
Negara Indonesia
dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus hal-hal yang tidak bisa
diselenggarakan oleh
masyarakat sendiri (lihat kalimat Kemudian daripada itu
melindungi segenap
bangsa )
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, tidak diatur secara jelas tentang
kedudukan dan
tata hubungan kewenangan desa dengan supra desa, termasuk
pembinaan,
pengawasan, dan pelayanan kebutuhan dasar. Dalam UU ini, pada
satu sisi semua
kewenangan ada di tangan negara, dengan sebagian besarnya
diserahkan kepada pemerintah
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
40/85
40
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota (termasuk
kecamatan) untuk diatur
dan diurus, sehingga tidak ada yang tersisa untuk diserahkan
kepada desa. Pada sisi kedua,
desa mempunyai otonomi asli, dan UU ini memberi hak untuk desa
melanjutkan otonomi
yang masih hidup. Dua sisi ini sebenarnya tidak bisa disatukan
(kontradiktif). Untuk itu
diperlukan suatu konsep yang dapat mencarikan solusi terhadap
permasalahan ini.
Pembahasan mengenai topik ini dilatarbelakangi oleh kewenangan
desa yang
mencakup:
1. Urusan-urusan pemerintahan (pelayanan dan pembangunan) yang
harus disepakati
dengan Pemda Kabupaten/Kota:
a. urusan-urusan yang lahir karena hak dan kewajiban asal-usul
dan/atau prakarsa
masyarakat setempat, dan
b. urusan-urusan pemerintahan yang telah disepakati antara
masyarakat desa dengan
pemerintah daerah untuk dijadikan urusan desa.
Karena penyelenggaraan desa bukanlah suatu pemerintahan, maka
setelah disepakati
oleh kedua belah pihak, kedua urusan diatas tidak lagi disebut
sebagai urusan
pemerintahan, melainkan akan disebut urusan desa.
2. Urusan-urusan yang tidak harus mendapat kesepakatan dengan
Pemda Kabupaten/Kota:
a. urusan-urusan yang lahir dari tugas pembantuan dan kewenangan
atributif yang
lahir karena peraturan perundang-undangan (tingkat
pusat/provinsi), dan
b. urusan penegakan hukum untuk masyarakat hukum adat tertentu
yang harus dapat
kesepakatan dengan pengadilan negeri dan kesepakatan dari Polri
untuk
bekerjasama dengan polisi sebagai upaya ADR (Alternative Dispute
Resolution
).
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
41/85
41
Pelaksanaan urusan desa selalu direview oleh Komisi Desa) yang
memberi
rekomendasi kepada bupati/walikota untuk:
(1) menambah atau mengurangi urusan; dan
(2) menyempurnakan formulir Alokasi Dana Desa (ADD) sesuai
dengan
kebutuhan.
Urusan desa dapat diselenggarakan oleh pengurus desa atau oleh
lembaga adat,
lembaga ekonomi dan lembaga kemasyarakatan di desa.
2.4
Sumber keuangan desa secara umum terdiri atas pendapatan asli
desa (PADes) dan Alokasi
Dana Desa (ADD) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN)
yang disalurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). PADes terdiri
atas:
1. Retribusi desa:
Pemerintah desa dapat menagih ongkos pelayanan yang diberi.
2. Hasil usaha desa:
Karena kebiasaan rent-seekingterhadap sumber pendapatan ini,
hasil usaha desa
jangan masuk ke dalam rekening pengurus desa, kecuali ada
asal-usul pendapatan
asli desa dari usaha tertentu.
Hasil usaha desa seharusnya masuk ke rekening usaha itu, dan
keuntungan dibagi
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
42/85
42
sesuai dengan pemilikan saham dan keputusan pemilik saham. Jadi
jika usaha desa
itu dimiliki desa, akan ada hasil kekayaan pemerintah desa.
3. Hasil kekayaan pemerintah desa:
- Dapat menjadi sumber pendapatan desa.
- Jika ada usaha desa yang menghasilkan keuntungan, investasi
pemerintah desa
bisa dapat bagian dari keuntungannya.
4. Hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong:
- Harus disepakati masyarakat desa, bukan karena perintah elit
desa.
- Jadi selalu harus ada musyawarah desa untuk mendapatkan
kesepakatan
masyarakat dulu.
5. Lain-lain pendapatan asli desa yang sah:
Hanya sah kalau ada peraturan perundang-undangan yang membuatnya
sah.
6. Pungutan yang telah dilaksanakan oleh desa (pemerintah desa
atau kesatuan
masyarakat lain di desa) tidak dibenarkan diambil alih oleh
pemerintah atasan:
- Jika terbukti pada tahun 1979 (tahun berlakunya UU No. 5 tahun
1979 tentang
desa) masih ada pungutan tradisional desa yang sejak tahun 1979
diambil
pemerintah atasan, pungutan itu harus dikembalikan.
- Jika sekarang ada lebih dari satu lembaga desa yang
melaksanakan fungsi
yang menjadi sumber pungutan, pungutan tersebut diberi kepada
lembaga itu,
dan tidak dibenarkan dipungut oleh yang lain.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
43/85
43
7. Sumber yang sudah dipungut oleh daerah tidak dibenarkan
menjadi sumber
pungutan tambahan oleh pemerintah desa, kecuali retribusi
berkaitan dengan urusan
yang diserahteruskan kepada desa, yang harus juga
diserahteruskan bersama
urusannya.
8. Pinjaman, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga:
Setiap pemberian pinjaman, hibah atau penyertaan modal yang
diteruspinjamkan
atau diterushibahkan terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
Jika
sumbangan berbentuk barang, perlu dicatat sebagai barang
inventaris kekayaan
milik desa.
Pinjaman yang diterima Pemerintah Pusat dari luar negeri
dapat
diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah untuk diteruspinjamkan
atau
diterushibahkan kepada Pemerintah Desa/ atau ke BUMDes.
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan pinjaman atau
penyertaan
modal kepada BUMDes.
Hibah dan sumbangan tidak boleh mengikat, dan tidak mengurangi
kewajiban-
kewajiban pihak penyumbang kepada desa.
Hibah dari luar negeri:
Hibah dari negara donor atau lembaga multilateral (UN, Bank
Dunia, ADB, IDB
dll) perlu dicatat dalam anggaran negara seperti hibah kepada
daerah, dan
diterushibahkan ke desa melalui daerah kabupaten/kota. Karena
desa bukan
bagian dari pemerintah, hibah dari lembaga internasional lain
tidak perlu dicatat
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
44/85
44
dalam anggaran negara seperti hibah kepada daerah, akan tetapi
perlu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan izin kerja
donor tsb
dan dilaporkan dalam laporan keuangan desa dan laporan keuangan
donor, dan
dua-duanya diaudit.
9. Dana Darurat:
Pemerintah Desa yang mengeluarkan dana untuk keperluan mendesak
dapat
menerima bagian dari Dana Darurat kabupaten/kota, provinsi atau
negara, jika tidak
dapat ditanggulangi oleh pemerintah desa sendiri. Keadaan yang
dapat digolongkan
sebagai bencana dan peristiwa luar biasa ditetapkan oleh
Bupati/Walikota
berdasarkan peraturan Badan Penanggulangan Bencana Nasional.
Bagi Hasil dan Dana Perimbangan
Dalam UU tentang Desa seharusnya tidak ada sumber keuangan desa
yang berasal dari
dana yang merupakan bagi hasil dan dana perimbangan dari
penghasilan daerah atau
negara, karena peran pemerintah desa bukan untuk mengumpulkan
kekayaan, tetapi untuk
melayani masyarakat. Prinsip bagi hasil dan dana perimbangan
sebenarnya telah melanggar
Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa sumber daya
alam dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Yang menjadi inti
permasalahan dari penyebab kemiskinan desa bukanlah karena desa
tidak menerima dana
bagi hasil atau dana perimbangan, akan tetapi adalah pembagian
uang yang tidak tepat oleh
Pemerintah. Dalam paradigma yang baru, rakyat desa seharusnya
dapat menikmati hasil
dari sumber daya alamnya yang dibagi merata secara nasional
sesuai dengan kebutuhan
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
45/85
45
masyarakat. Yang penting disini adalah masyarakat jangan dipaksa
untuk melepaskan
haknya karena alas an tidak punya surat-surat yang sah, padahal
tanah itu secara tradisional
turun temurun menjadi milik masyarakat. Jadi bila ada pihak dari
luar desa yang akan
mengusahakan sumber daya alam, mereka dapat menyewa tanah
tersebut, supaya
masyarakat dapat menikmati manfaat atas tanah yang digunakan.
Selain itu, agar
masyarakat juga dapat menikmati keuntungan dari tanah mereka
yang dimanfaatkan oleh
negara melalui pihak swasta yang mengusahakan sumber daya alam,
maka pihak swasta
tersebut harus menyalurkan dana Corporate Social
Responsibility(CSR) sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas pada Bab V
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Pasal 74 yang
menyatakan:
(1)Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial
dan
Lingkungan.
(2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikankepatutan dan kewajaran.
(3)Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Solusi lain karena dihapusnya dana bagi hasil dan dana
perimbangan tersebut
dapat juga dengan cara sebagai berikut:
Jika desa membantu suatu pelayanan yang dibayar dengan retribusi
(baik tugas
pembantuan maupun urusan yang dikelola desa) desa perlu diberi
bagian dari retribusi
yang cukup besar untuk menutupi ongkosnya.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
46/85
46
Jika masyarakat desa dengan usah paya menghasilkan sumber
keuangan pemerintah
atau pemerintahan daerah, seharusnya desa dapat sebagian dari
hasil tersebut.
Lain daripada itu, sebaiknya sistem alokasi dana kepada desa
tidak dibuat terlalu
rumit dengan banyak formulir bagi hasil.
Selanjutnya masalah yang crucial dalam hal sumber keuangan desa
untuk
memperbaiki sistem yang ada sekarang adalah persoalan Alokasi
Dana Desa (ADD). ADD
seharusnya diberikan kepada desa sesuai dengan kebutuhan karena
jika ADD kurang, maka
masyarakat tidak dapat dilayani dan sebaliknya jika ADD
berlebih, berarti terjadi
pemborosan keuangan negara. Penetapan ADD yang tidak fair
berpotensi memicu
konspirasi pemda dan perangkat desa yang berujung pada rencana
anggaran yang dimark-
up.
Paralel dengan transfer kewenangan, APBDes harus didukung dengan
ADD yang
cukup, sehingga tidak boleh lagi terjadi penjeratan terhadap
masyarakat desa melalui
mobilisasi swadaya. ADD bukan lagi sebagai bantuan alakadarnya
atau stimulan untuk
memobilisasi swadaya masyarakat, tetapi sebagai bentuk hak dasar
yang harus diterima
sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat
desa.26
Pemberian ADD harus ditentukan dalam proses perencanaan yang
dibuat
berdasarkan formulir yang dibuat berdasarkan standar perhitungan
urusan yang dikelola
desa, yang ditentukan melalui proses verifikasi sbb:
26 Sutoro Eko, et al., Kaya Peraturan Miskin Kebijakan, Village
Papers Hasil Kajian
KritisUU No.32/2004 dan PP No.72/2005 (Paper dalam Forum
PengembanganPembaharuan Desa, Jakarta: Kerjasama FPPD dan
LGSP-USAID, 2006), hal. 8
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
47/85
47
Komisi Desa dengan masukan dari masing-masing dinas terkait pada
setiap
kabupaten/kota menilai ongkos pengelolaan setiap urusan;
Penilaian ongkos tersebut direviewoleh pemerintah provinsi dan
hasil review
tersebut dikonsultasikan oleh Pemerintah (Pusat) dan provinsi
seluruh Indonesia
untuk menjamin konsistensi secara nasional;
Setelah direview oleh Komisi Desa, formulir ADD dinilai,
disetujui dan
ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
ADD ditetapkan dalam APBN sebagai bagian Dana Alokasi Umum
(DAU).
Ada beberapa hal penting yang menjadi inovasi dalam hal sumber
keuangan desa,
yaitu:
- ADD dibagi atas ADD untuk operasional dan pemeliharaan dan ADD
untuk
investasi.
- Dalam sumber keuangan desa seharusnya tidak ada bagian dari
bagi hasil, karena
ADD dianggap cukup, kecuali dalam hal desa melaksanakan tugas
pembantuan
maka bagian desa harus cukup untuk melaksanakan tugas
tersebut.
- Untuk dana bantuan yang berasal dari Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota, perlu dirancang ongkos tugas
pembantuan, dana
darurat, proses untuk memberi bantuan kepada pengurus desa luar
daripada ADD,
dan proses untuk memberi bantuan kepada lembaga desa yang lain
diluar
pendapatan desa.
- Karena proses perencanaan negara tahunan dimulai sebelum
perencanaan daerah
dan sebelum perencanaan desa, maka seharusnya penentuan ADD
dan
perencanaan desaharus multi tahunan. Penetapan formulir ADD
harus
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
48/85
48
dinamis dalam arti dapat disempurnakan secara langsung,
tergantung pada kinerja
yang lalu dan kinerja yang direncanakan. Namun permasalahannya
adalah sampai
berapa jauh (detil) konsep ini harus diatur dalam undang-undang?
Jika perlu diatur
secara detil, DPD RI akan berkonsultasi lebih lanjutan dengan
Departemen
Keuangan dan Departemen Dalam Negeri.
2. ( )
Pembahasan tentang Penyelenggara Tata Kelola Desa (disingkat
Penyelenggara
Desa) akan diawali dengan penjelasan tentang beberapa perubahan
istilah kelembagaan
yang akan digunakan dalam UU tentang Desa dalam rangka
menghindari kerancuan dengan
istilah-istilah yang digunakan dalam pemerintahan, karena desa
adalah suatu bentuk dari
civil society yang mirip dengan lembaga swadaya masyarakat, yang
berarti
penyelenggaraan tata kelola (pengelolaan)nya bukanlah suatu
bentuk penyelenggaraan
pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam UUD NRI 1945.
Pertama, istilah
Pemerintahan Desa diganti dengan Penyelenggara Desa, yang
terdiri atas Kepala Desa dan
Dewan Perwakilan Masyarakat Desa (DPMD). Kedua, istilah Pengurus
Desa
menggantikan istilah Pemerintah Desa yang tetap terdiri atas
Kepala Desa dan Perangkat
Desa, sedangkan DPMD menggantikan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD atau
Bamusdes).
Dalam UU tentang Desa yang baru nantinya, tidak ada perubahan
status dan fungsi
dari lembaga yang disebut dengan sebutan baru sebagai
Penyelenggara Desa, Pengurus
Desa, Kepala Desa dan Perangkat Desa. Namun DPMD berbeda dengan
Bamusdes.
Bamusdes adalah suatu lembaga permusyawaratan yang
anggota-anggotanya tidak dipilih
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
49/85
49
secara langsung oleh masyarakat desa,27
sedangkan DPMD adalah suatu lembaga yang
mirip dengan DPR pada tingkat pusat atau DPRD pada tingkat
daerah. Perbedaannya,
anggota-anggota DPMD tidak berasal dari partai politik, tidak
berpolitik, dan bertindak
berdasarkan hasil Musyawarah Desa (sebagaimana dibahas dibawah).
Keberadaan DPMD
tidaklah dimaksudkan untuk mengundang perbedaan pendapat
diantara masyarakat desa,
tapi tujuannnya lebih kepada mewakili masyarakat untuk menjamin
bahwa penyelenggara
desa bekerja untuk kepentingan semua anggotanya, karena
penyelenggara desa yang terdiri
atas DPMD dan Kepala Desa adalah satu kesatuan, bukan dua
lembaga yang terpisah
sebagaimana halnya dalam teori pemisahan kekuasaan negaranya
John Locke atau
Montesquieu. DPMD adalah bentuk penyempurnaan dari Badan
Perwakilan Desa (BPDes)
yang dikenal dalam UU No. 22 Tahun 1999.28
Pengembalian fungsi lembaga pendamping
bagi pengurus desa (pemerintah desa) ini adalah dengan tujuan
mengembalikan lembaga
tersebut sebagai lembaga penyeimbang yang demokratis dalam tubuh
penyelenggara desa,
yakni bagi kepala desa. Ada inconsistency yang terdapat dalam UU
No. 32 Tahun 2004
yang telah mengubah BPDes menjadi Bamusdes. Hal ini dapat
dilihat dari penjelasan Pasal
209 UU tersebut, yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam ketentuan
ini adalah
sebutan nama Badan Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Sebenarnya ada kejanggalan dalam kebijakan politik yang
menetapkan cara
penentuan anggota Bamusdes menurut perumusan UU No.32 tahun 2004
dan PP No.72
27 Pasal 210 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004: Anggota badan
permusyawaratan desa adalah
wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan
cara musyawarah dan
mufakat.
28 Pasal 105 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999: Anggota Badan
Perwakilan Desa dipilih daridan oleh penduduk desa yang memenuhi
persyaratan.
-
8/9/2019 Naskah AKADEMIK PERDA
50/85
50
tahun 2005. Mereka tidak dipilih oleh rakyat melalui proses
pemilihan umum yang terbuka,
tetapi berhak membuat peraturan perundang-undangan yang mengikat
masyarakat desa.
Secara materi hukum, kekuatan dari produk perundang-undangan
(peraturan desa) yang
dihasilkannya tentu tidaklah dapat disamakan antara yang dibuat
oleh BPDes (atau DPMD)
dengan yang dibuat Bamusdes, yang berarti secara demokrasi,
legitimasi peraturan desa
yang dibuat BPDes (atau DPMD) jelas lebih kuat daripada yang
dibuat oleh Bamusdes.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa digunakan kata dewan? Hal
ini
mempunyai alasan sebagai berikut. Secara manajemen
ketatanegaraan, kata dewan
mengandung arti suatu lembaga yang terdiri atas anggota-anggota
yang merupakan wakil
dari pemangku kepentingan (stake holders) dengan kedudukan yang
setara diantara para
anggota tersebut dan berfungsi sebagai legislator. Padanan kata
dewan dalam bahasa
Inggris adalah council, yang dalam Kamus Blacks Law29
mempunyai beberapa arti
sebagai berikut:
- an assembly of persons for the purpose of concerting measures
of state or
municipal policy;
- The leg