Top Banner
BAGIAN II FILSAFAT PENDIDIKAN SISTEMATIS Bab IV Sosialitas Manusia 4.1. Sosialitas Manusia pada Umumnya 4.1.1. Arti Umum Pertama, setiap manusia adalah aku, pribadi dan subjek yang sadar. Ini merupakan fakata mutlak dan kenyataan dasar yang tidak tersangkalkan. Sebagai pribadi setiap manusia memiliki cirri- ciri sebagai berikut: Pertama, tertentu dan khusus; kedua, utuh dan tak terbagi; ketiga, otonom dan unik. Kedua, aku selalu menyadari diri dalam hubungan dengan orang lain dan dengan dunia infra human (benda-benda inorganik, tumbuh-tumbuhan dan hewan), menurut semua aspek. Misalnya: guru dan murid, tukang ojek dan penumpang. Aku ditentukan oleh orang lain: nama dan fungsi. Yang lain memberikan tempat dan peranan. Saya menjadi aku yang konkret ini, sejauh saya mengakui keberadaan yang lain dan sejauh mereka mengakui saya. Aku menentukan mereka pula. Semua saua beri nama; misalnya: air, hutan, seorang petani, nelayan, mahasiswa mempunyai dunia lain. Orang lain tergantung padaku, merek saya tentukan. Duniaku adalah seperti saya artikan. Penilaianku terhadap orang lain menampakkan diriku. Ketiga, otonomi dan ko-relasiku (hubungan timbal balik dengan yang lain) saling menentukan. Ada kesesuaian mutlak antara kesadaranku akan diri dan pengakuanku akan yang lain dan pengakuan mereka akan aku sejauh saya terima. Otonomi dan korelasi saling menentukan. Aku ada, sejauh aku berperan dan berfungsi di antara yang lain. Aku hanya mempunyai identitas dalam relasi dengan yang lain. Tetapi aku baru berhubungan sejauh ’aku’ ini ’ada’. Bukan soal memilih, misalnya antara 30
40

Filsafat Pendidikan -Bagian II

Dec 30, 2015

Download

Documents

pukacenger
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Filsafat Pendidikan -Bagian II

BAGIAN II

FILSAFAT PENDIDIKAN SISTEMATIS

Bab IV

Sosialitas Manusia

4.1. Sosialitas Manusia pada Umumnya4.1.1. Arti UmumPertama, setiap manusia adalah aku, pribadi dan subjek yang sadar. Ini merupakan fakata mutlak dan kenyataan dasar yang tidak tersangkalkan. Sebagai pribadi setiap manusia memiliki cirri-ciri sebagai berikut: Pertama, tertentu dan khusus; kedua, utuh dan tak terbagi; ketiga, otonom dan unik.

Kedua, aku selalu menyadari diri dalam hubungan dengan orang lain dan dengan dunia infra human (benda-benda inorganik, tumbuh-tumbuhan dan hewan), menurut semua aspek. Misalnya: guru dan murid, tukang ojek dan penumpang.

Aku ditentukan oleh orang lain: nama dan fungsi. Yang lain memberikan tempat dan peranan. Saya menjadi aku yang konkret ini, sejauh saya mengakui keberadaan yang lain dan sejauh mereka mengakui saya. Aku menentukan mereka pula. Semua saua beri nama; misalnya: air, hutan, seorang petani, nelayan, mahasiswa mempunyai dunia lain. Orang lain tergantung padaku, merek saya tentukan. Duniaku adalah seperti saya artikan. Penilaianku terhadap orang lain menampakkan diriku.

Ketiga, otonomi dan ko-relasiku (hubungan timbal balik dengan yang lain) saling menentukan. Ada kesesuaian mutlak antara kesadaranku akan diri dan pengakuanku akan yang lain dan pengakuan mereka akan aku sejauh saya terima. Otonomi dan korelasi saling menentukan. Aku ada, sejauh aku berperan dan berfungsi di antara yang lain. Aku hanya mempunyai identitas dalam relasi dengan yang lain. Tetapi aku baru berhubungan sejauh ’aku’ ini ’ada’. Bukan soal memilih, misalnya antara watak atau lingkungan. Sosialitas ini bukan kekurangan atau kelemahan, yang hanya membantu saja. Adaikata begitu, maka sosialitas akan berkurang, sejauh aku ini otonom. Tetapi semakin otonom, semakin pula aku berkorelasi.

Keempat, maka kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain (juga kepentingan bersama) tidak saling bertentangan. Yang baik atau yang buruk bagi kita bersama, adalah baik dan buruk bagi aku pribadi dan sebaliknya. Demikian ditemukan suatu norma dosa. Cinta akan diri sendiri pada dasarnya sejajar dengan cinta akan orang lain; dan sebaliknya. Korban nyata itu bukan kerugian bagi diriku, dan kebahagiaanku bukan kerugian bagi orang lain. Dosa paling fundamental ialah iri hati (ingin agar orang lain tidak memiliki.....tidak berhasil dalam usaha).

4.1.2. Lingkaran dan Gradasi

30

Page 2: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Dalam hubungan dengan yang lain dibedakan macam-macam bidang lingkaran dan gradasi. 4.1.2.1. Hubungan dengan manusia lainPertama, ada bidang dan kesatuan hidup tertentu: kebudayaan dan bangsa, keluarga, negara sebagai kelompok sosial politik, kelompok agama atau ideologi. Ada antar-aksi besar antara semua kelompok tersebut.

Kedua, hubungan dengan orang lain mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Pertama, hubungan yang ekonomis, pragmatis, utilitaristis: hubungan fungsional, seperti perdagangan. Kedua, hubungan personal. Hubungan dalam keluarga, dengan sahabat. Tetapi taraf-taraf itu tidak dapat saling lepas karena saling membutuhkan.

4.1.2.2. Hubungan dengan dunia infra humanBerbeda dengan hubungan dengan manusia lain, sebab hewan, pohon dan batu bertaraf

lebih rendah daripada manusia. Manusia dan makhluk-makhluk infra human bertumbuh bersama-sama. Makhluk-makhluk infra human menjadi dasar dan landasan bagi kehidupan dan perkembangan pada taraf human.

4.1.2.3. Integrasi harmonisKesadaran akan adaku sebagai pribadi hanya dapat terbentuk harmonis, jikalau

manusia mengintegrasikan secara harmonis lingkaran dan gradasi yang terdapat dalam relasinya dengan yang lain ini merupakan suatu norma etis.

4.1.3. Komunikasi dan Partisipasi4.1.3.1. Sebagai kegiatan umum

Dalam hubungan satu dengan yang lain manusia saling mengadakan. Manusia tidak hanya mengembangkan dirinya secara imanen, melainkan juga secara transenden mengembangkan orang lain. Dalam hubungan dengan itu, ia memberikan dirinya sendiri kepada yang lain, namun tanpa kehilangan dirinya. Dan pemberian diri itu diterima oleh yang lain, namun menurut gayanya pribadi dan tanpa merasa terpaksa. Tetapi sebaliknya iapun memberikan dirinya sendiri kepada orang pertama, dan ditampung olehnya pula.

Dalam komunikasi diri itu, kedua belah pihak masing-masing aktif dan pasif.masing-masing hanya dapat memberi seukuran dengan menerima; dan hanya menerima sejajar dengan memberi. Dengan demikian terjadilah kesatuan benar (entah dalam kebahagian, entah dalam kemalangan), tanpa membahayakan otonomi masing-masing. Malahan semakin bersatu, semakin berbeda pula. Semakin berbeda, semakin mereka bersatu.

4.1.3.2. Pengertian (Pengartian)Pengertian ini tidak hanya merupakan observasi belaka, tetapi memahami orang lain

menurut apa adanya, berdasarkan keunikannya. Maka pengertian itu bukan saja bersifat pasif, melainkan aktif pula. Aku mengartikan yang lain, membagi dan menanamkan arti kepadanya. Dengan demikian aku sendiri menjadi aku, dan sekaligus aku mengadakan dia dan mempengaruhinya. Maka ilmu yang benar selalu bersifat praktis-operasional.

Tetapi pengertianku ini menyangkut inti orang lain yang paling dalam, misterinya yang tidak dapat dikuasai, melainkan hanya dapat diterima sebagai karunia. Manusialah objek utama bagi segala pengertian. Pemahaman akan orang lain sekaligus memuat kepastian dan penyerahan bebas. Hanya dengan kesediaan untuk terbuka, aku dapat melihat dia secara tepat.

4.1.3.3. Penghendakan (Penilaian)Penilaian adalah suatu pengambilan sikap yang menyeluruh dan menjadi konkret dalam

bentuk; cinta atau benci. Aku menerima atau menolak orang itu. Dan sikapku ini mengadakan orang lain, entah memajukan orang itu, entah mencelakakan dia. Aku menanamkan nilai

31

Page 3: Filsafat Pendidikan -Bagian II

dalam dia sesuai dengan adanya. Terutama dalam cinta aku berusaha menghidupkan keunikannya; bagi saya dia menjadi mutiara. Cinta sejati tidak mengobjekkan, melainkan menyerahkan diri, tanpa menghitung resiko atau waktu (setia). Cinta tidak pernah menutup komunikasi; tidak mengadili secara defenitif.

4.1.3.4. Komunikasi dengan dunia infra humanDengan dunia infra human manusia juga berkomunikasi; saling mengadakan. Dalam

komunikasi manusia mendunia. Dunia infra human membentuk manusia, dan manusia memanusiakan dunianya. Mereka bersatu. Hubungan itu terwujud secara menyolok dalam (ilmu) pengetahuan.

Manusia hanya dapat semakin menjadi manusia, kalau pengertian tentang dunia infra human ikut dikembangkan menjadi pertanian, teknik, dan transportasi serta komunikasi. Tetapi pengetahuan itu baru nyata, kalau berciri efektif. Manusia menghidupkan dunia infra human dalam karyanya; menerimanya sebagai patner kecil: makanan, alat, kebun, kerbau. Ia memberikan arti dan menghargai mereka menurut kekhususannya. Ia menerima pula bahwa mereka mengadakan dia, memberi tempat kepadanya dan memperkaya dia.

4.1.3.5. Beberapa Sifat KomunikasiKomunikasi timbal balik itu mempunyai beberapa ciri: Pertama, sasaran. Komunikasi

sejati selalu bertujuan pemanusiaan. Dalam hubungan mana saja selalu manusia mau memanusiakan diri dan yang lain dan memanusiakan dunia. Kedua, satu dan berbeda. Dalam setiap hubungan manusia menyatukan diri dengan yang lain. Dan sejajar dengan itu ia juga membedakan diri, dan menyendirikan yang lain. Ketiga, objektif dan subjektif. Manusia mengartikan dan menilai yang lain menurut adanya yang lain itu, yang berbeda dari aku. Aku bergerak menuju keberlainannya. Tetapi juga ia hanya diartikan dan dinilai menurut keterlibatanku, atau sejauh berarti dan bernilai bagiku. Keempat, singular – universal. Yang lain dinilai menurut keunikan dan kekhususannya. Tetapi yang lain itu sekaligus dialami dalam seluruh komunikasinya dengan lingkungannya; sebagai titik fokus dari seluruh dunianya. Dengan demikian yang singular itu mendapat status unibersal pula.

4.1.3.6. Antar Subjektivitas Komunikasi tersebut harus dihayati menurut harmoni yang maksimal, dengan semua

orang dan seluruh dunia infra human. Interpretasi pada filsuf berbeda-beda: J.P. Sartre mengatakan bahwa orang lain merupakan sumber dosa dan neraka bagiku; hanya dalam hubungan dengan dunia infra human aku tidak terancam dalam otonomi. Sementara Emmanueil Levinas mengatakan bahwa orang lain menuntut pelayananku sebagai keadilan; wajahnya mendorong saya meninggalkan duniaku yang tertutup dan aman. Selanjutnya G. Marcel dan M. Buber mengatakan bahwa hanya dengan keluar dari diri dan terbuka terhadap engkau saya dapat menjadi aku.

4.1.4. Kebebasan4.1.4.1. Pengertian Yang Salah

Kebebasan digambarkan sebagai lepas dari pengaruh yang lain, dari nasihat, peraturan, norma moral, semua ketentuan dan juga kebebasan orang lain, membatasi cita-cita itu. De facto, orang semakin jauh dari kebebasan itu. Dan secara prinsipil: jikalau ia mau memcapai cita-cita itu, ia harus menolak segala respons terhadap manusia lain dan dunia infra human, dan tidak boleh berbuat apa-apa. Kebebasan itulah yang disebut kekosongan.

4.1.4.2. Unsur-unsur Kebebasan SejatiPertama, mengambil sikap. Kebebasan adalah penghayatan diri yang otonom. Itu hanya mungkin dalam mengambil sikap terhadap yang lain (entah menerima atau menolak). Hanya dalam pertemuan, identitas seseorang jadi jelas. Kebebasan berarti bertanggung jawab

32

Page 4: Filsafat Pendidikan -Bagian II

terhadap yang lain. Rupanya ’saya’ hanya menyesuaikan diri dengan situasi terbatas: hanya bersatu dengan keadaan sekitar, tanpa ada pembaharuan. Namun setiap orang juga memberi cap pribadi kepada situasinya, membuat situasinya sendiri. Situasi selalu ikut saya bentuk sendiri.

Kedua, konfrontasi. Pengaruh, situasi, tuntutan, peraturan tidak merupakan ancaman bagi kebebasan, melainkan sarana dan kondisi yang menunjang perkembanganku. Baru dalam menghadapinya ’aku’ menjadi otonom. Anak tidak dididik menuju kebebasan, kalau dibiarkan saja (terserah), melainkan hanya kalau dihadapkan dengan arti dan nilai, dengan anjuran dan perintah. Hanya kalau dihadapkan dengan putusan-pilihan yang melibatkan yang lain. Kebebasan orang lain bukan merupakan ancaman bagiku, melainkan syarat mutlak bagi otonomiku. Kebebasan orang lain melengkapi kebebasanku. Kebebasan adalah keterlibatan.

Ketiga, bukan paksaan struktural. Tidak semua pengaruh, peraturan, atau larangan merupakan paksaan. Asal saja terarah kepadaku sebagai manusia, dengan mengizinkan pengambilan posisi pribadi; entah sebagai ajakan, panggilan, atau pula menghadapkan orang dengan putusan–pilihan.Pengaruh dapat menjadi paksaan struktural, jikalau menghampiri orang bukan secara utuh; misalnya paksaan fisik (dipenjara), paksaan biotis (dibius), paksaan psikis (hipnosis), paksaan moril (mengancam keselamatan saudaraku). Dengan jalan demikian diharap memaksa pengambilan posisi personal. Orang dipaksa untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan kehendak bebasnya.

4.2. Sosialitas Manusia dan Pendidikan Pada Umumnya4.2.1. Pengertian Pendidikan

Dengan pendidikan dimaksudkan sebagai hubungan antara orang dewasa dengan orang yang belum dewasa (anak), yaitu pengaruh yang mau mengarahkan anak menuju kedewasaan. Pada hakikatnya, pendidikan adalah humanisasi, menolong anak untuk menjalankan hidupnya sebagai manusia. Mendidik ialah memanusiakan manusia muda; memimpin pertumbuhan, sampai dapat bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat sendiri.

4.2.2. Arah Inti Pendidikan: SosialitasAnak harus dibimbing menuju harmoni yang seoptimal mungkin dari struktur

otonomi-korelasi. Hal-hal penting yang harus diperhatikan, sebagai berikut:

4.2.2.1. Otonomi-KorelasiAnak dididik agar menyadari bahwa otonominya hanya tumbuh dalam korelasi, dan

korelasi hanya dapat dijalankan berdasarkan otonomi. Kedua unsur ini harus diharmonikan, sehingga anak tidak mengalami pertentangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Harus dipupuk kesatuan antara kepribadian dan keanggotaan, dengan dihindari dua penyelewengan ekstrim:Pertama, individualisme. Sikap yang menekankan kepentingan pribadi yang terisolasi (‘asal saya menang’). Ini disebabkan karena semua keinginan anak dituruti; anak dimanjakan. Untuk mencegahnya anak harus dididik untuk memiliki kepekaan sosial dan rasa tanggung jawab. Kedua, kolektivisme. Sikap yang terlalu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan (’asal bapa senang’). Karena kebersamaan begitu ditekankan, maka orang sering membeo dan membebek. Untuk mencegahnya anak harus dididik menjadi pribadi yang mandiri dan berpikir kritis.

4.2.2.2. Integrasi dalam Lingkungan

33

Page 5: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Anak harus dididik menncapai integrasi dalam kelompok dan lingkungan, sebab hanya dengan demikian ia mencapai otonominya. Bidang-bidang khusus yang menentukan integrasi adalah:Pertama, kebudayaan. Konteks pendidikan yang utama tidak boleh bersifat terlalu sempit, terlalu pragmatis, misalnya hanya pembangunan kekuatan militer. Harus lebih integral. Integrasi ke dalam kebudayaan dapat berupa. Pertama, inkulturasi, yakni pemasukan anak ke dalam suatu kebudayaan dan pemasukan kebudayaan dalam diri anak. Anak diantar mengintegrasikan kebudayaan bangsanya; adat-istiadat, kesenian, bahasa, segala arti dan nilai, religiositas. Hal itu mutlak perlu agar anak mendapat identitas. Dan anak harus memberi sumbangan pribadinya. Hal itu mutlak perlu bagi kebudayaan. Kedua, alkulturasi. Komunikasi antar kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa lain. Sebab kebudayaan-kebudayaan lain juga menghayati nilai kemanusiaan.

Kedua, negara. Dari satu pihak, integrasi dalam negara sebagai kesatuan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan tidak boleh menguasai pendidikan. Itu akan mengarah kepada statosentrisme. Nilai kemanusiaan yang disatukan dalam negara hanya merupakan bagian saja. Mengabdikan anak seluruh kepada negara dan kebutuhannya (politik) itu merupakan tendensi totalitaristik. Dari pihak lain, sudut pragmatis harus ada pula. Anak harus belajar memberikan sumbangan bagi kehidupan negara. Ketiga, bidang-bidang lain. Juga aspek lain dalam anak hanya dapat dikembangkan sejauh berintegrasi; agama tau ideologi, bidang ekonomis, olah raga, dan sebagainya.

4.2.2.3. Komunikasi HidupDibedakan dua jenis komunikasi hidup; Pertama, komunikasi antar manusia. Anak

dididik melihat dunia insani sebagai dunia bersama, dan dirinya sebagai ada bersama. Segala hal menunjukkan kebersamaan; jalan, bahasa, alat. Harus diusahakan komunikasi yang harmonis; saling memahami, mencintai, saling melayani dalam keadilan. Kedua, komunikasi dengan dunia infra human. Anak harus dididik untuk mengenal dan menghargai makhluk-makhluk hidup lain dalam alam yang lain. Ia mempunyai tugas untuk melestarikan lingkungannya dan menerima sendiri tempatnya dalam dunia makhluk itu. Ia harus merasa diri ’at home’ dengan tehnik, dengan flora dan fauna. Ia harus mengetahui jalan-jalan, desa dan daerah.

4.2.2.4. Penggunaan KebebasanAnak didik menjadi orang bebas, yaitu orang yang dapat bertanggung jawab,

mengambil posisi pribadi. Di sini diperhatikan dua hal:Pertama, sikap berani. Sikap ini dimaksudkan agar anak tidak boleh bingung menghadapi tugas, tidak mudah merasa diri dikuasai oleh situasi, diintimidasi oleh orang lain; tidak mudah dipaksa agar bersikap pasrah saja. Ia harus perlahan-lahan berani dan tegas dalam mengambil keputusan, dalam penilaian dan tindakan. Dalam otonomi ia berani menerima tanggung jawab; bukan tinggal menerima saja tanpa sikap kritis.

Kedua, perlunya tantangan. Untuk mencapai sikap yang berani itu, anak tidak boleh ’dibebaskan’, diserahkan kepada kerelaan sendiri, kecuali dalam hal-hal yang kurang penting. Pendidikan harus menghadapkan anak dengan keyakinan jelas, dengan arti dan nilai tegas. Hanya dengan demikian anak sendiri dapat mencapai keyakinan dan sikap tegas, dan menjelaskan alasan mengapa orang menerima atau menolak hal tertentu. Pengarahan ’non directive’ hanya berlaku bagi situasi tertentu; dan itupun terutama bersifat terapeutis.Sedapat mungkin makin lama makin dijauhi sikap yang memaksa. Dalam hal tertentu anak harus diberi kemungkinan untuk berbuat kesalahan pula. Tetapi dalam arti ini pendidikan harus memperlihatkan bahwa ia terlibat secara pribadi; ia perlu mengajukan tuntutan; memperlihatkan emosi pribadi (marah, kecewa, senang), memberikan perintah dan peraturan.

34

Page 6: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Ia tidak perlu takut menghukum dan menurut pertanggungjawaban pribadi dari anak, yaitu dengan menjelaskan dan memberikan alasan atas perbuatannya. Tanpa tantangan itu anak tetap ragu-ragu, tidak mampu melibatkan diri, kurang mencapai keyakinan pribadi.

4.2.3. Sosialitas Proses Pendidikan. 4.2.3.1. Secara Umum

Proses pendidikan harus berlangsung dalam sosialitas. Arah dan harmoni tersebut di atas harus dilatih dalam hubungan antara pendidik dan anak. Otnomi, keunikan dan kebebasan anak harus dicermati.anak harus diberi fungsi dan peranan terhadap yang lain. Seluruh proses pendidikan perlu diresapi undur seperti: otonomi – korelasi, lingkaran, komunikasi, dan kebebasan.4.2.3.2. Pendidik UtamaPertama, orang tua. Suasana sosialitas total personal terutama diwujudkan dalam keluarga; dalam lingkungan ini perlu terjamin suasana cinta dan keterlibatan total. Hanya dalam hubungan total-personal demikian, anak mampu berkembangan dalam otonomi – korelasi secara harmonis. Maka yang pertama-tama berhak dan wajib mendidik anak adalah orang tua. Pendidikan menjadi pribadi itu merupakan kelangsungan propagasi fisik. Orang paling terlibat, sebab anak merupakan kesatuan dan kontinuitas dari hidup mereka.

Kedua, peranan negara. Objek formal kegiatan negara adalah keteraturan dan ketertiban hidup bersama menurut segi-segi pragmatis-praktis: Sos-pol-ek. Dengan hukum-hukumnya negara menentukan suatu batas minimal bagi hak dan kewajiban segala warga negara, sejauh itu perlu untuk memungkinkan hidup bersama itu. Pengaturan itu tidak boleh bersifat totalitaristik: harus tetap memperhatikan prinsip subsidiaritas dan pluriformitas yang wajar.Mengenai segi-segi lebih pribadi dan prinsipiil, negara bertugas mengawasi agar terjaminlah hak-hak azasi, baik bagi orang tua maupun bagi anak. Negara harus mengakui, melindungi dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua. Bukan bersifat laissez faire, laissez aller, membiarkan segala sesuatu berlangsung apa adanya. Terutama dalam hal pendidikan harus dihindari statosentrisme. Sebab negara menurut hakikatnya terutama menekankan segi pragmatis, politis, dan eknomis belaka. Itu hanya salah satu bagian dari hidup manusia.

4.2.3.3. Kualifikasi PendidikPendidik harus memiliki kematangan pribadi, bukan saja struktural, melainkan jug etis.

Ia harus telah menyadari kesimbangan dan harmoni dari otonomi-korelasi. Terutama dalam hubungan dengan anak ia harus sanggup hidup menurut pola itu, dan mengusahakan otonomi korelasi anak yang setinggi-tingginya.

4.3. Sosialitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah4.3.1. Pendidikan di Sekolah4.3.1.1. Kedudukan Sekolah

Pengertian pada umumnya penting untuk menjadi manusia dan untuk mendunia, dan perlu bagi kemajuan. Pengertian spontan tidak cukup untuk menghadapi kemajuan. Pengertian spontan harus dikembangkan dengan pengajaran yang sistematis dan metodis. Anak memerlukan pengajaran agar dapat mengerti kemanusiaannya, masyarakat, sejarah, bahasanya. Diperlukan pengetahuan sistematis metodis. Itu diberikan di sekolah. Sekolah hanya meliputi sebagian dari pendidikan. Tujuannya yang pokok hanya beberapa segi: pengertian dan keterampilan. Sekolah harus diberi tempat dalam lingkup pendidikan. Proses belajar di sekolah harus terarah pada memanusiakan anak sesuai dengan hakikatnya. Mata pelajaran-mata pelajaran (kurikulum) harus bersifat mendidik ke arah itu pula.

35

Page 7: Filsafat Pendidikan -Bagian II

4.3.1.2. Fungsi Edukatif dalam Mata PelajaranPengajaran harus berlangsung secara seimbang. Macam-macam mata pelajaran harus

melatih anak supaya mempunyai cara memandang dari macam-macam segi, selengkap mungkin. Fungsi edukatif dalam suatu mata pelajaran menyangkut akibat mata pelajaran tertentu pada tabiat anak, dan pengaruhnya pada pertumbuhan anak. Fungsi edukatif mencari tujuan mata pelajaran. Tujuan itu dapat dipandang secara kurang fundamental. Misalnya, menggambar dapat bermaksud mengajar menggambar, memenuhi dorongan estetika, atau melatih membuat bentuk. Pada filsafat pendidikan dicari fungsi paling fundamental ialah fungsi humanisasi.

4.3.1.3. Hubungan Pengertian dan Keterampilan Pengajaran tidak boleh dipisahkan dari hidup sehari-hari. Anak dididik agar

berintegrasi dengan masyarakatnya. Ia harus ikut serta menyelenggarakan masyarakatnya. Jadi ia harus bertumbuh dalam keadaan dan dari keadaan yang dialaminya. Bacaan, pelajaran, peraga-peraga harus mencerminkan masyarkatnya, dan membawa anak kembali kepadanya. Maka pelajaran perlu dihubungkan dengan latihan, untuk memperoleh keterampilan dalam bidang-bidang yang bersifat praktis. Harus terjadi dalam konteks kegiatan : pattern of behaviour: pola tingkah laku. Misalnya; pertama, penyelidikan dan observasi sederhana, dengan memberikan laporan. Kedua, ekskursi. Dengan penglihatan yang dipimpin dan diarahkan. Fungsi praktis ini terutama ditekankan dalam sekolah kejuruan dan sekolah pembangunan.

4.3.1.4. Kurikulum dan Sosialitas AnakTujuan fundamental bagi kurikulum ialah otonomi dan korelasi anak. Anak dapat

mencapai otonomi dewasa dalam hubungan dengan manusia dan dengan dunia infra human (dan sebaliknya). Segi sosial dari hubungan itu termuat pada segala macam mata pelajaran (misalnya sejarah, bahasa dan kebudayaan). Tetapi ada kelompok mata pelajaran yang secara khusus mengajar hal itu. Disebut tiga kelompok : Mata pelajaran sosial (Mit-sein), mata pelajaran ”tengah”, dan mata pelajaran eksakta (Mit-welt).

4.3.1.5. Mata Pelajaran Sosial4.3.1.5.1. Sifatnya

Mata pelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, tata negara, hukum. Langsung mempelajari kebersamaan manusia dan perbuatan manusia lain.

4.3.1.5.2. Fungsi EdukatifMata pelajaran ilmu-ilmu sosial bertujuan: Pertama, membantu anak untuk menghayati

dunia dan masyarkatnya menurut struktur otonomi-korelasi. Kedua, melatih anak untuk melihat dunia insani sebagai dunia bersama, dan dirinya sendiri sebagai berada bersama. Dipelajari stuktur, prinsip-prinsip yang sehat bagi hidup bersama, penghayatan hidup bersama yang harmonis, dan penghayatan yang menyeleweng dan merusak. Dengan contoh-contoh yang konkret diperlihatkan keharusan saling mencintai, saling membantu, gotong royong dan bertindak adil. Ketiga, membantu anak mencapai pengertian yang lebih lengkap dan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hidup bersama sehingga anak didik menjadi manusia yang bertanggung jawab dan rela terlibat.

4.3.1.6. Mata Pelajaran ”Tengah” Ada mata pelajaran yang tidak mempelajari hubungan antar-manusia secara langsung,

melainkan hubungan manusia sebagai kelompok dengan dunia infra human. Misalnya ilmu bumi sosial. Ilmu bumi pada umumnya menguraikan lingkungan hidup manusia. Tetapi ilmu bumi sosial membahas hubungan antara ruang hidup dan kelompok manusia yang hidup di

36

Page 8: Filsafat Pendidikan -Bagian II

dalamnya. Keadaan ruang hidup (gunung, rawa, sungai) mempengaruhi cara dan bentuk hidup, kemajuan, perkembangan dan peradaban. Manusia terpengaruh sebagai kelompok.

4.3.1.7. Mata Pelajaran Eksakta4.3.1.7.1. Objek dan MetodePertama, kekhasan ilmu eksakta ialah abstraksi dan penggunaan bahasa simbolis. Semua dapat dipelajari dengan metode ini, dan hasilnya mengagumkan: tehnik dan mekanisasi. Kedua, objek formal ilmu eksakta bersifat terbatas, dan metodenya sesuai dengan objek itu. Ada bahaya orang menganggap bahwa hanya metode eksakta ini sah, sebagai satu-satunya metode yang ilmiah, dan bahwa tingkah laku manusia hanya dapat dipelajari secara integral dan objektif dengan metode ini. Sikap ini disebut scietisme.

4.3.1.7.2. Fungsi EdukatifPengajaran mata pelajaran ilmu eksakta bertujuan untuk:

Pertama, membantu anak untuk menyelami dunia infra human. Menguasai alam secara progresif, namun belum sebagai sarjana. Kedua, membantu anak menjadi manusia penuh pengertian rasional tentang alam. Dengan menguasainya, ia dapat membuat hidupnya lebih manusiawi. Belum dimaksudkan pengetahuan berupa keahlian, melainkan sikap atau pendirian;sehingga anak merasa ’at home’ di dalam dunianya. Sekaligus anak belajar menghormati alam, mentaati hukum-hukumnya. Dengan demikian, ia juga harus menyelami arti dan nilai personal dari alam.

4.3.1.8. Segi KeterampilanSegi pengajaran dilengkapi dengan aspek praktis, baik untuk menyadari kebersamaan

dengan orang lain, maupun dengan dunia infra human. Anak dibimbing untuk membuka mata terhadap lingkungannya sendiri secara sadar dan refleksif. Perlu ditegaskan keterlibatan dan keaktifan untuk memperhatikan, memahami dan mengevaluasi. Di laboratorium mereka mendapat pengalaman terbatas dan terisolasi. Misalnya obyek observasi lain di kota, lain di desa. Diobservasi barang apa yang dibawa orang ke pasar dari daerah utara atau selatan. Lebih psikologis: observasi tentang cara dan reaksi orang tawar menawar di pasar atau diberi tugas menawar sendiri. Ekskursi ke kolam perikanan; berapa dalamnya, mengapa air mengalir. Sistem pengairan sawah; kekeringan.

4.3.2. Sosialitas Proses Lingkungan4.3.2.1. Lingkungan Pertama, sebagian dari waktu hidup anak dihabiskan di sekolah. Untuk waktu yang lama sekolah menjadi lingkungannya. Maka proses pengajaran dan hidup di sekolah harus melatih sosialitas anak. Harus dilatih pola tingkah laku ( pattern of behaviour) dan cara-cara bertindak (ways of doing). Sekolah baru adalah situasi baru yang harus diselami anak. Disiplin di kelas merupakan cara untuk mengatur cara bertingkah laku dalam hidup bersama yang baru.

Kedua, anak menemukan otonomi dan korelasinya pada bidang moral dan pribadi di sekolah. Karena itu di sekolah anak harus dilatih dalam hal kejujuran, kerjasama, persahabatan, kepemimpinan, keberanian dan dibina dengan hukuman dan ganjaran. Terutama juga kebebasan dan tanggung jawab. Ia harus dihadapkan dengan tawaran, tantangan, tuntutan dan keyakinan; dipengaruhi dan dibimbing. Di sekolah anak belajar mengorganisasi hidup bersama: demokrasi praksis, gotong royong, ekonomi dan perdagangan.

Ketiga, dalam mata pelajaran ia sendiri belajar membaca, menulis, mengukur. Pada laboratorium ia belajar bergaul dengan dunia infra human. Di pekarangan sekolah diadakan pertanian, peternakan, perikanan, kebersihan.

37

Page 9: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Keempat, pendidikan di sekolah harus dilandasi suasana sosialitas dan komunikasi.

4.3.2.2. Pengajar Utama4.3.2.2.1. Guru

Penanggung jawab utama bagi pengajaran dan tempatnya dalam pendidikan adalah orang tua, karena mereka membuat anak berintegrasi dengan masyarakat. Namun untuk pengajaran teratur, dibutuhkan keahlian khusus. Maka guru menjadi wakil orang tua, dan sedapat mungkin orang tua tetap ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam bidang pengajaran. Tetapi guru juga mempunyai tanggung jawab sendiri, dengan keterlibatan dan keyakinan pribadi. Ia bukanlah alat, melainkan partner yang terpercaya, dengan inisiatif pribadi. Tetapi ia tetap harus mengakui hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya.

4.3.2.2.2. NegaraOleh karena sifat personal dalam pengajaran, maka negara harus mengakui,

melindungi, mendorong dan membantu pelaksanaannya di mana proses pengajaran sudah terlaksana atas inisiatif pribadi, misalnya swasta. Negara harus menghindari manipulasi sekolah dengan maksud sempit yang merugikan pribadi anak; itu sikap totaliter. Keinginan monopoli dari negara itu secara prinsipil salah. Dalam hal pribadi dan prinsipilitu, guru harus lebih memihak kepada orang tua daripada negara.

Dari lain pihak, negara berhak dan wajib mengawasi dan mengkoordinasi proses pengajaran. Negara harus menjamin pula agar dibentuk tenaga yang cakap untuk menghidupkan negara. Dalam hal ini, negara dapat menentukan syarat-syarat minimal untuk pengajaran. Negara harus menjamin agar dibedakan secara tegas macam-macam fungsi dan macam-macam tipe sekolah.

4.3.2.2.3. Kualifikasi GuruBaik menurut aspek struktural maupun menurut segi normatif, guru harus mencapai

kedewasaan otonomi-korelasi. Ia harus menguasai keahliannya sebagai pengajar, dan terutama menyadari dan melaksanakan segi sosialitas di dalamnya.

38

Page 10: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Bab V

Historisitas Manusia

5.1. Historisitas Manusia pada Umumnya5.1.1. Dinamika Waktu5.1.1.1. Struktur Statis

Waktu yang merupakan dasar untuk historisitas (kesejarahan) manusia terdiri dari tiga dimensi: Masa sekarang, masa lampau dan masa depan. Pertama, satu-satunya dimensi waktu yang real hanyalah sekarang. Sekarang adalah batas antara masa lampau dan masa depan. Tetapi sekarang tidak kosong dan umum saja karena saat sekarang berisi aku, jadi sangat tertentu dan sangat pribadi.Kedua, saat sekarang ini seluruh isinya saya alami sebagai hasil warisan masa lampau: bahasaku, tingkah laku, kebudayaanku. Saya seakan-akan terlemparkan dalam masa sekarang. Masa lampauku hanya riil sejauh termuat pada sekarangku. Ketiga, sekarangku tidak tertutup atau tidak ’fixed’, melainkan terbuka ke masa depan yang merupakan suatu proyek. Sekarangku adalah janji, ramalan, harapan, dan tugas. Masa depanku hanya real sejauh termuat pada sekarangku. Yang serba baru itu mustahil.Keempat, ketiga dimensi waktu ini bersatu dalam sekarang. Seluruh masa lampau mengendap dalam sekarang dan seluruh masa depan mengalir dalam sekarang. Mereka saling berhubungan, dan sama padatnya. Misalnya bagi anak kecil, baik masa lampaunya (pengalaman) maupun masa depannya (proyek) masih kecil.

5.1.1.1.2. Dinamika SekarangPertama, sekarangku tidak statis, melainkan bergerak; selalu berubah menjadi sekarang yang baru. Di sini dapat dibedakan beberapa aspek penting. Pertama, yang ’baru’ mengalir dari aku yang telah tertentu. Kedua, aku sejauh telah jadi masuk dalam yang-baru. Ketiga, aku berkembang dalam yang baru. Keempat, aku berkembang dalam yang baru. Dan kemudian yang baru mengendap dan melarut dalam aku yang telah dipercaya, sehingga aku siap bagi sekarang berikutnya lagi. Jadi aku secara total hadi dalam sekarang baru itu; namun kekayaanku hanya dieksplisitasikan secara terbatas. Kedua, dalam tindakan baru masa –lampauku diolah kembali dan ditatar; jadi ikut berkembang dan diarahkan sesuai dengan tindakan itu. Tidak ada apa-apa yang hilang. Itu juga berlaku bagi dosa. Ketiga, masa depan, yaitu proyek atau prospek, ikut berkembang. Bukan menjadi rumusan statis (blue print), melainkan ditinjau kembali. Dapat disebut, cita-citaku induk, yaitu: untuk memanusia, tetapi dikonkritkan dalam cita-cita praktis, misalnya menjadi guru, dokter, juara. Cita-citaku selalu disegarkan dan ditatar.

5.1.2. Perkembangan5.1.2.1. Perkembangan selalu memuncakPertama, manusia tetap aku yang lama dan baru, kontinu dan diskontinu, stabil dan labil, nisbi dan relatif. Aku selalu serentak merupakan rutinitas dan kreasi, tradisi dan inovasi (pembaharuan).aku hanya dapat tinggal aku yang sama karena membaharui diri. Tetapi hanya dapat menjadi aku yang baru, karena berakar pada aku yang lama. Kedua, perkembangan struktural itu terus menerus memuncak. Tidak dapat dibalik menurun, tidak dapat merosot. Sebab semua mengendap dan yang baru bertambah. Aku menjadi makin luas dan padat. Setiap sekarang baru menemukan dasar gema yang semakin kaya. Aku seperti gunung api yang terus meninggikan kubahnya sendiri. Ketiga, di lain pihak tidak ada jalan pintas atau loncatan. Perkembangan membutuhkan landasan dan pematangan. Perkembangan membutuhkan waktu dan tidak dapat dipaksakan (Kairos: tidak dipercepat, juga tidak diperlambat).

39

Page 11: Filsafat Pendidikan -Bagian II

5.1.2.2. DiferensiasiPerkembangan manusia berlangsung antara kelahiran dan kematian. Walaupun

menurut segi-segi khusus perkembangan itu mengenal urut-urutan (makan, bergerak, bicara), namun menurut aspek-aspek hakiki, semua berkembang bersama. Tetapi perkembangan itu tidak selalu merata. Hal ini tergantung dari pada dan luasnya tindakan baru. Ada tindakan baru yang sentral, ada yang dangkal dan marginal. Misalnya kuliah, prasaran, baca roman, bermalas-malas. Waktu sendiri dirasa berjalan cepat atau pelan (misalnya waktu ujian).

5.1.2.3. Integrasi dan DesintegrasiPerkembangan bukan saja merupakan pembesaran linear, melainkan integrasi atau

sintesis segala endapan. Pada waktu tertentu sintesis lama terlalu sempit untuk menampung pengalaman baru. Harus terjadi desintegrasi, untuk memungkinkan sintesis lebih luas. Seperti seekor ular mengelupas kulitnya. Desintegrasi itu merupakan krisis, misalnya pubertas; tetapi terjadinya krisis itu normal.

5.1.2.4. KonsistensiHistorisitas tidak berarti bahwa manusia selalu hanya berubah-ubah. Manusia

berkembang dengan arah tertentu, yaitu menuju kemanusiaan. Menurut arti struktural ia makin menjadi manusia, makin menjadi aku. Dalam arah kodrat yang diambil ada konsistensi pula, walaupun juga mungkin bahwa toh terjadi perombakan. Tindakan-tindakan baru mengendap dalam aku, sehingga ada kecenderungan untuk melanjutkan arah yang telah diambil. Kalau orang toh membanting stir, pengarahan yang Cuma marginal lebih mudah dibalik (mis. Tukan kebun), dari pada arah yang sentral, misalnya menjadi guru.

5.1.2.5. Arah: Otonomi dan KorelasiDinamika dan arah ini pertama-tama berarti bahwa orang makin menjadi otonom

sambil makin berkorelasi (entah secara harmonis, entah dengan menyeleweng). Secara konkret integrasi dalam pelbagai lingkungan dan kelompok terus-menerus mengalami perkembangan, peralihan dan keterarahan itu; terutama integrasi dalam keluarga dan bangsa, tetapi juga dalam kelompok agama, sekolah, dunia ekonomi, dan dunia teknis.

Pertemuan dengan kebudayaan lain menggoncangkan integrasi yang telah tercapai. Misalnya, dalam adat-istiadat, kepemimpinan, ekonomi. Integrasi lama ditinggalkan. Banyak hal baru belum menjadi sikap pribadi. Masing-masing anggota bangsa main peranannya dalam pencarian integrasi baru.

5.1.2.6. Perkembangan KomunikasiPertama, manusia makin saling mengadakan dalam kegiatan timbal balik dalam pengartian dan dalam penilaian. Self centeredness dan other centeredness berkembang secara sejajar, walaupun mungkin dalam pertentangan. Pengertian itu bukan saja hafalan. Pemahaman akan masyarakat dan alam menjadi kebijaksanaan atau kebandelan. Penilaian terhadap orang dan dunia sekitar bersifat setia (kalau bercinta) atau menjadi ketegangan hati (kalau benci).Kedua, pada komunikasi dan partisipasi yang sadar ini tampaklah segi masa lampau dan masa depan: Pertama, ingatan ialah pengolahan dan penataran masa lampau dalam pergaulanku sekarang. Kedua, imaginasi adalah antisipasi dan persiapan masa depan yang terjadi dalam pertemuan baru. Mereka bersama menjadi kebiasaan dan pengarahan pada setiap kegiatan sadar yang baru.

5.1.3. Kebebasan dan Perkembangan5.1.3.1. Pemahaman Tradisional Menurut pendapat spontan, pengaruh dari masa lampau bertentangan dengan kebebasan, misalnya pengaruh pendidikan, pengalaman traumatis. Pada setiap langkah orang

40

Page 12: Filsafat Pendidikan -Bagian II

baru bebas, lalu ia lepas dari masa lampau, bebas dari konsekuensi, dan dapat menghadapi mada depan dengan serba segar dan baru. Cita-citanya ialah kreativitas murni. Orang setiap saat dapat memilih lain sekali (teman, rumah, karya), lepas dari segala rutinitas dan kebebasan.

Beberapa penilaian: Pertama, kebebasan itu merupakan sikap plin-plan. Orang tidak mempunyai arah dalam hidup. Kedua, orang makin jauh dari cita-cita itu; anak masih paling dekat. Menurut pandangan itu orang itu hanya bebas sebelum memilih; tetapi setiap pilihan menyempitkan bidang gerak; masuk teropong. ”sudah tidak bebas”. Ketiga, untuk mencapai cita-cita itu sebaiknya orang jangan pilih apa-apa. Namun itupun sudah merupakan pilihan.

5.1.3.2. Pengambilan Sikap yang TerarahKebebasan terjadi di dalam pengambilan sikap terhadap tawaran dan tantangan.

Intisari kebebasan bukanlah kekosongan melainkan penentuan sikap. Dalam penentuan sikap ini dikembangkan pengarahan dalam hubungan dengan yang lain. Endapan masa lampau memberikan arah dan kecenderungan tertentu. Tetapi pada setiap tindakan baru, arah itu ditinjau kembali. Jadi pengambilan sikap membawa konsekuensi: pilih sekolah, kerja, atau pacar. Pengambilan sikap itu menjadi landasan bagi kepentingan berikut. Maka langkah baru dapat diramalkan. Dalam situasi baru manusia tidak serba tak tertentu. Dengan spontan ia telah bergerak ke arah tertentul seakan-akan dikenal (Aha Erlebnis) tanpa mempertimbangkan lama-lama; misalnya; pacar, profesi, dll. Dan setiap penentuan baru menjadi kunci interpretasi lagi bagi hidup selanjutnya.

5.1.3.3. Masa Lampau Bukan AncamanMaka pengarah masa lampau bukan ancaman. Endapan itu merupakan bagian

integral dalam kebebasanku. Arah motivasi bawah-sadar yang telah dibentuk, bukan dengan sendirinya mencemarkan putusan melainkan sebaliknya menjamin kelancaran pilihan. Kebiasaan dan rutinitas melandasi kreativitas.

5.1.3.4. KestabilanKebebasan yang dewasa itu bukan bersifat plin-plan dan opotunis (misalnya seorang

guru bersikap lain terhadap anak bimbingan tertentu). Berdasarkan pengarahan historis, manusia bertendensi melangsungkan arah yang telah diambil. Jika diubah arahnya, dia mengalami krisis. Kebebasan yang dewasa makin stabil dalam sikap dan keterikatan pada orang dan situasi konkret, misalnya orang tua dan guru. Segala situasi baru akan dihadapi orang secara dinamis, namun dengan makin mantap dan konsekuen; ia dapat diandalkan.

5.2. Historisitas Manusia dan Pendidikan pada Umumnya. 5.2.1. Pendidikan Menuju Kedewasaan

Pendidikan dimaksudkan ssebagai pembinaan anak oleh orang dewasa, agar berkembang menuru kedewasaan. Pendidikan memperhitungkan bahwa perkembangan itu dapat diberi arah. Maka arah dasar pendidikan (utimate aims) adalah historisitas. Anaka harus dididik agar memilik kesadaran historis. Anak harus dibimbing menuju harmoni yang seoptimal mungkin dari struktur masa lampau dan masa depan, tradisi dan inovasi.

5.2.2. Dialektika Masa Lampau dan Masa DepanPertama, anak harus menerima warisan yang telah dibawa atau dibentuk dalam dirinya (fisik, psikis, human). Landasan ini memberikan arah. Namun ia tidak terpaku pada modal itu, melainkan harus mengembangkannya secara pribadi. Ia bukan fixed nature (saya memang begini), tetapi juga bukan serba dapat dimodifikasi. Intellingence Quotients (IQ) dapat berkembang, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu. Anak harus memeluk tradisinya sepenuh-penuhnya, dan sekaligus berusaha sekuat tenaga untuk membaharuinya. Tidak hanya mau mempertahankan tradisi (menjadi tradisionalis), tidka hanya mau mengambil jalan

41

Page 13: Filsafat Pendidikan -Bagian II

revolusioner (menjadi revolusioner). Bukan berubah-ubah saja, melainkan berkembang dengan kontinu dan secara harmonis.

Kedua, di satu pihak masa lampau dapat dirubah dalam tindakan murtad atau dalam tobat, dengan memperbaiki akibat-akibat tindakannya. Di pihak lain, masa depan atau cita-cita harus realistis, berdasarkan landasan ‘sekarang’; tetapi selalu ditinjau kembali dan diarahkan lagi dan dibersihkan dari khayalan dan harapan palsu. Tidak terlalu optimistis atau pesimistis.

Ketiga, pada permulaannya anak bukanlah suatu himpunan dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu yang liar dan kacau, sehingga itu kemudian harus diatur, disiplinkan. Bukan pula suatu kekosongan yang harus diisi saja. Sejak kelahirannya anak mempunyai segala unsur manusia yang hakiki. Ia membawa serta warisan dari orang tua dan dari nenek moyang. Tetapi pembawaan itu dihayati sebagai pribadi otentik; lama dan baru. Maka keseluruhan pribadi anak, menurut semua seginya, dari semula harus dikonfrontasikan dengan tawaran, pengaruh dan tantangan. Ia harus belajar bahwa tidak dapat berhenti.perkembangan itu hanya dapat memuncak. Tetapi perkembangan itu harus bertahap dan tidak dapat meloncati fase-fase tertentu. Ia harus berusaha maksimal, dan dengan sabar menunggu kematangan landasan bagi langkah baru.

5.2.3. DiferensiasiPertama, anak harus menyadari pentingnya setiap tindakan khusus dalam perkembangannya. Kalau ia terlalu tegang; akan retak; kalau ia terlalu santai, akan menjadi kacau. Ia harus belajar menemukan ritme yang cocok bagi dia, dan membawa hasil optimal.

Kedua, dalam desintegrasi, anak tidak kehilangan harapan akan integrasi baru. Ia harus menghadapi krisis dengan berani dan sabar.

Ketiga, secara konkret anak harus membangun arah yang konsisten dalam relasi dengan masyarakat dan dunianya, juga visi dan suara hatinya. Dari satu pihak, anak harus dididik supaya dapat memanusia pada akhir pendidikannya, sesuai dengan situasi masyarakat pada waktu itu; kebudayaan, ekonomi, keluarga, ilmu. Dari lain pihak, anak harus dibimbing agar memanusia sekarangpun. Ia harus hidup sekarang, tetapi dengan terarah ke masa depan. Jadi sekarang pun dalam komunikasi ia harus dihadapi dan dilatih dalam arti nilai yang benar-benar manusiawi. Tidak hanya asal dilatih dengan salah satu hal, tetapi dengan sendirinya akan terbuku dan terarah ke masa depan.

5.2.4. Inkulturasi dan AlkulturasiPertama, berhadapan dengan arti dan nilai bangsanya, anak harus menggembalai tradisi. Tetapi tidak boleh menganggap tradisi sebagai suatu susunan yang telah terbuka. Tidak boleh diterima dengan hanya mengulanginya secara steoreotip. Tradisi harus dihadapi dengan sikap kritis, dengan memberi jalan-jalan baru untuk menghayatinya dengan lebih efektif lagi untuk hidup bersama.

Kedua, anak harus dapat menghadapi tantangan yang sekarang belum jelas; harus mampu mengambil sikap terhadap situasi baru dan orang baru.

Ketiga, nilai tradisi tidak terletak dalam bentuk-bentuk yang telah jadi. Mencari jalan baru untuk mengungkapkan inspirasi asli, yang ada dalam bentuk-bentuk itu.

Keempat, anak harus dididik untuk berani berkomunikasi dengan kebudayaan lain.

42

Page 14: Filsafat Pendidikan -Bagian II

5.2.5. KomunikasiKomunikasi bersifat kreatif. Terutama dalam pelaksanaan spontan, harus diperhatikan

dua hal:Pertama, pengertian bukan saja ensiklopedis; tumpukan fakta, melainkan mengembangkan kesetiaan dan sikap konsisten. Anak harus belajar mengikatkan diri dalam janji dan tidak meninggalkan sesamanya. Tetapi kesetiaan itu tidak boleh dipahami harafiah saja, melainkan kreatif. Dalam situasi baru dicari jalan baru; partner yang berubah dicintai secara sesuai.

Kedua, dalam hubungan dengan ingatan dan imajinasi, anak harus dilatih mengintegrasikan masa lampau (ingatan) ke dalam pengalaman baru, dan harus dapat mengantisipasi masa depan dengan imajinasi; orang baru situasi baru.

5.2.6. KebebasanPertama, anak harus membentuk kebiasaan yang sehat dan efektif (terutama dalam komunikasi), melalui rutinitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia harus dilatih sehingga dapat membentuk suatu feelling (aha Erlebnis) yang dapat dipercaya. Kecuali itu, anak harus belajar membawa konsekuensi dari pilihan dan putusannya.

Kedua, anak dididik agar setiap kali mengambil sikap kreatif terhadap situasi. Ia perlu belajar meninjau kembali pengertian-pengertian yang lampau. Ia harus berani bertobat dan berani mengampuni orang lain yang memberikan masa depan dan harapan.

5.2.7. Historisitas Proses Pendidikan5.2.7.1. UmumPertama, proses pendidikan sendiripun harus menghayati historisitasnya. Hubungan anak didik mengalami pengaruh dari hubungan sebelumnya, terbuka secara kreatif bagi perkembangan relasi selanjutnya. Perkembangan itu akan memuncak tahap demi tahap. Kadang-kadang bersemangat, sering kali juga bersantai. Hubungan itu mengalami desintegrasi dan integrasi baru, juga krisis dan kelancaran. Hubugan itu harus setia dan penuh pemahaman (tidak menguasai anak); harus bersifat konsekuen, dan makin menimbulkan kepercayaan.

Kedua, pendidikan dengan tawaran dan tantangan selalu harus disesuaikan dengan perkembangan otonomi anak menurut fase-fasenya, juga sesuai dengan kemampuannya untuk memberikan respons. Itu berbeda untuk masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Andaikan terlalu berat, mustahil diolah anak, dan menghasilkan kegagalan, frustrasi, trauma dan neorosis. Ketidaksabaran orang tua terhadap perkembangan anaknya membuat rugi besar. Anak harus diberi waktu. Otonominya harus semakin diindahkan; ia harus diberi kemungkinan mengambil sikap pribadi (konflik-konflik sekitar ketaatan).

5.2.7.2. Pendidik UtamaPertama, pertama-tama orang tualah yang mampu membimbing proses historisasi anak dengan pengarahannya. Mereka mampu mengikuti perkembangan, menghantar akselerasi dan perubahan relasi mendidik. Mereka sendiri ikut berkembang dalam proses itu; sehingga relasi mendidik stabil dan tidak mengalami diskontinu. Sejarah orang tua adalah sejarah anak.

Kedua, mengenai kualifikasi pendidik. Pendidik sendiri harus menghayati historisitas, sehingga mempunyai keluwesan untuk mengembangkan relasi mendidik secara kontinu.

5.3. Historisitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah5.3.1. Kurikulum Harus Bertujuan Historisitas Anak

Tujuan fundamental bagi kurikulum ialah historisitas anak. Anak harus dapat mencapai identitas pribadi, dan diresapi dengan dinamika kreatif.

43

Page 15: Filsafat Pendidikan -Bagian II

5.3.2. Mata Pelajaran Sejarah

5.3.2.1. Sifat Mata Pelajaran SejarahSebenarnya banyak mata pelajaran mengandung aspek sejarah. Di samping penelitian

struktur-struktur, dipelajari pula perkembangan yang dialami pada objeknya. Paling minim itu terjadi pada ilmu pasti dan alam. Tetapi sudah ada dalam geologi, dalam ilmu hayat (evolusi), dalam ekonomi, sosiologi, politik, kebudayaan, dan sebagainya. Secara khusus segi sejarah dibicarakan pada ilmu sejarah (masa lampau), dan pada futurologi (masa depan). Namun di situpun diselidiki perkembangan pada bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

5.3.2.2. Fungsi Edukatif Mata Pelajaran SejarahIlmu sejarah membantu agar anak masuk dalam sejarah, dan sejarah masuk dalam anak.

Anak harus memahami diri sendiri dan masyarakatnya dalam perspektif historis. Dirinya dan masyarakatnya merupakan hasil perkembangan lama, dan bahwa sedang berkembang terus. Mata pelajaran ilmu sejarah tidak hanya mempelajari tahun-tahun, fakta-fakta, peristiwa-peristiwa, dan tokoh-tokoh, sebagai batu-batu lepas. Semua data dilihat dalam hubungan historis. Walaupun rupanya simpang siur urutannya, tetapi satu tergantung dari yang lain; bahkan ada ritme di dalamnya. Anak harus dilatih melihat bahwa ada proses yang berlangsung bahwa ada faktor-faktor riil yang menyebabkan peristiwa; bahwa tidak ada nasib atau penyelenggaraan ilahi saja.

5.3.2.3. Ilmu Sejarah dan Persitiwa Masa LampauPemahaman atas mitos memberikan keterangan dengan cerita-cerita; misalnya

Borobudur dibangun oleh anak raja dalam 3 hari, raksasa menumpukkan gunung, lakon wayang. Menurut pemahaman ini segala-galanya terjadi serentak dan dalam bentuk selesai. Tetapi ilmu sejarah menampakkan, bahwa revolusi Perancis mempunyai pra sejarah; begitu pula revolusi kemerdekaan Indonesia. Ada hubungan antara sistem-sistem kenegaraan dan ide-ide filosofis. Gelombang-gelombang imigran menyebabkan adanya banyak suku bangsa di Indonesia. Ada alasan bahwa bangsa Jawa bukanlah bangsa pelaut. Ada konstelasi politik yang memungkinkan G 30 S. Selalu dapat ditunjukkan alasan geologis, biologis, sosial, ekonomis, politis dan keagamaan.

5.3.2.4. Jaman Sekarang adalah Hasil Masa LampauTerutama anak harus belajar bahwa keadaan sekarang dihasilkan oleh masa lampau.

Masa lampau akhirnya selalu dipelajari dalam sorotan sekarang; dicari relevansinya bagi sekarang. Pemahaman mistis bersifat siklis; satu peristiwa asli menjadi eksemplaris (model atau contoh riil) bagi segala peristiwa sekarang. Sebenarnya tidak pernah ada lagi yang sungguh-sungguh baru, tetapi proses kosmis mengulang kembali dan semua peristiwa baru ditempatkan kembali dalam peristiwa asli. Peristiwa itu diceritakan dalam mythos; juga wayang mempunyai segi mitos itu. Anak belajar bahwa memang ada yang baru, tetapi berakar dalam yang lampau. Ada alasan yang menyebabkan sekarang; hal kebudayaan, konstelasi politik, ekonomi, sikap hidup. Pemahaman sejarah memberi perspektif. Misalnya oleh generasi muda, sejarah sebelum 1945 dianggap tidak ada. Sejarah dunia barat tidak dilihat dalam hubungan dengan keadaan Indonesia. Orang muda membaca surat khabar tanpa perspektif historis. ASEAN, konferensi hukum laut, kerjasama ekonomi internasional, keadaan ekonomis-politik di Indonesia.

Banyak orang mempergunakan hasil teknologi, AC, TV, Mobil, Hanphone, dll tetapi mereka tidak tahu menahu pra sejarahnya fase-fase latar belakang budaya. Lebih lagi dalam hal ide-ide dan nilai-nilai, seperti kebebasan, demokrasi, uang, kurang ada perspektif historis.

44

Page 16: Filsafat Pendidikan -Bagian II

5.3.2.5. Sejarah dan Masa DepanSituasi aktual dunia membuka pemahaman bagi yang akan datang; sosial, politik,

ekonomi, budaya, agama. Segi tersebut dipeljari dalam futurologi. Yang akan terjadi itu berakar pada sekarang dan dapat dibuat prognosis (usaha untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan berdasarkan kejadian-kejadian saat sekarang).

Banyak orang kurang menyadari bahwa masa depan berlandaskan sekarang, dan bahwa perkembangan membutuhkan waktu dan usaha. Selekas mungkin mau mendapat pekerjaan baik, gaji tinggi, mobil dan rumah. Diharapkan mukjizat, diharapkan banyak dari lotre, main angka untung. Begitu kematangan manusia mengambil waktu; kebaikan, kepercayaan, kewibawaan.

5.3.2.6. Ilmu Sejarah dan Peranan Tokoh-TokohDengan melihat pengaruh tokoh-tokoh besar, anak menyadari peranan individual

dalam terbentuknya sejarah. Sejarah itu bukan anonim, tidak begitu saja disebabkan oleh faktor-faktor di luar kemampuan manusia. Melainkan bersandarkan keunikan dan inisiatif perorangan, entah di bidang ilmu, politik, budaya dan agama.

5.3.3. Pembinaan Rasa Kesejarahan dan Segi KeterampilanSegi pengajaran di sekolah dilengkapi dengan aspek praktis untuk menyadari

historisitas. Hal ini dilaksanakan dengan:

5.3.3.1. Dalam Peristiwa BersekolahKarena anak berada di sekolah sekian banyak tahun, perlu ditumbuhkan rasanya bagi

perkembangan dalam rangka sekolah pula. Di sini perlu diperhatikan aspek-aspek berikut ini: Pertama, moral personal. Perkembangan hubungan antar pribadi dengan guru dan kawan dalam pengalaman konkret persahabatan; kepercayaan, tobat dan ampun. Pembentukan sikap akan membutuhkan waktu. Kedua, pengetahuan dan studi. Pengalaman bersekolah dari tahun ke tahun, memberi pemahaman bahwa bagi perkembangan pengetahuan dan kemampuan belajar tidak ada jalan pintas; membutuhkan waktu. Anak tidak mengalami secara refleksif, melainkan spontan. Baru lambat laun anak mampu mengutarakan pendapat orisinil, terutama dalam hal bahasa dengan sulit sekali dirasakan kemajuan. Anak mengalami hubungan antara hafalan (tradisi) dan pemecahan baru (inovasi).

5.3.3.2. Dalam Rangka Mata PelajaranPertama, untuk memberikan rasa kesejarahan, anak-anak diajak ikut berpikir dalam perencanaan perbaikan sekolah: tambahan lokal, pemakaian lapangan, lebih-lebih kalau berjalan bertahun-tahun lamanya. Dalam memelihari kebun, mereka belajar tentang lambatnya proses pertumbuhan. Dalam koperasi sekolah mereka melihat lambatnya tambahan modal.

Kedua, anak diberi pengalaman mengenai hal-hal rutin, dan kesempatan bagi kreativitas spontan.

Ketiga, sebagai pekerjaan rumah, anak diberi tugas untuk menanyakan sejarah mengenai candi tertentu; darimana? Menyelidiki sejarah desanya sendiri, keluarganya dan nama keluarga. Menanyakan bencana alam tertentu yang terjadi dulu dengan akibatnya bagi pertanian.

5.3.4. Historisitas Proses Pelajaran5.3.4.1. Lingkungan Sejarah

Kurikulum dan pengajaran harus disesuaikan dengan perkembangan anak; dalam hal urutan-urutan matapelajaran, tuntutan. Harus diperhitungkan proses belajar dalam anak; didaktik akan berkembang dari TK, SD, SMP, SMA. Pengetahuan bukan hanya ditumpuk

45

Page 17: Filsafat Pendidikan -Bagian II

saja, keberlangsungan pengajaran memperhatikan pengalaman anak, hasil lampau, arah depan. Pertanyaan-pertanyaan anak yang muncul, harus ditampung.

5.3.4.2. PengajarGuru menjadi wakil orang tua selama beberapa tahun. Ia mempunyai sejarahnya

pribadi, dan rasa (feeling) sejarah pribadi. Ia juga mengalami sejarah sambil mengajar. Negara hanya memperhatikan segi praktis efisien bagi masa depan negara. Terutama harus menjadi dan melindungi proses historis dalam anak; dan menentukan syarat-syarat minimal.

5.3.4.3. Kualifikasi GuruGuru harus mempunyai historisitas yang harmonis. Ia harus dapat menghayati arti

edukatif dalam mata pelajaran keahliannya.

46

Page 18: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Bab VI

Materialitas Manusia

6.1. Materialitas Manusia Pada Umumnya6.1.1. Jiwa dan Badan6.1.1.1. KesatuanPertama, dalam aku yang satu dan tertentu ditemukan dua aspek: Jiwa dan Badan. Aku sebagai pribadi merupakan kompleksitas meluas; pada saat yang sama aku terdiri dari banyak unsur dan segi; kegiatan dan relasi. Tetapi kompleksitas aku aku itu disusun dan disatukan oleh intesitas mendalam; dalam keanekaannya manusi tetap aku. Kompleksitas itu hanya dapat dipahami sebagai aku, sejauh diresapi oleh intensitas tadi. Dan sebaliknya intensitas hanya menjadi aku, sejauh Dibentuk dalam kompleksitas itu. Mereka bersatu sebagai wujuda dan gaya, sebagai not-not musik dan lagu. Mereka tidak dapat dipahami lepas satu sama lain; mereka menjadi dua segi dari satu kenyataan dan saling menentukan.

Kedua, dalam diri manusia, badan dan jiwa, materi dan roh berada dalam kesatuan; badan yang menjiwa, dan jiwa yang membadan. Menurut badan (kompleksitas, wujud) keunikan manusia itu individual sifatnya, seperti signalement polisi. Sedangkan menurut jiwa (intensitas, gaya), keunikan manusia bersifat personal; seperti fokus yang mapan. Tetapi individu dan persona tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain; yang satu hanya dapat ada dalam kesatuan dengan yang lainnya.

Ketiga, badan manusia bukan hanya kulit dan daging, melainkan juga meliputi cara bicara, cara bergaul, cara kerja, cara hidup (way of life). Badannya ialah kebudayaan pribadi. Kebudayaan adalah bentuk (gestalt) dari pribadi manusia. Jiwa manusia bukan saja kebatinan, melainkan juga meliputi cahaya wajah, pijar mata, dan sikap hidup (tune of life); yang dapat dilihat. Jiwanya adalah kepribadian manusia. Kebudayaan pribadi dan kepribadian itu bersatu sebagai ekspresi dan intensi; yang satu hanya ada, sejauh ada pula yang lain.

6.1.1.2. Jiwa dan Badan Selalu Ada Bersama: Sama RataJiwa dan badan (atau kepribadian dan kebudayaan pribadi) tidak dapat dilawankan

sebagai tinggi dan rendah, sebagai malaekat dan hewan. Jiwa tidak mengatasi badan itu; bukan transenden begitu, melainkan hanya riil sejauh terwujudkan dalam badan. Badan baru menjadi dewasa, sejauh digayakan dalam jiwa. Semua menjadi manusiwi; wajah, tangan, kaki; lebih supel, lebih pribadi, lebih berdikari. Terutama cara bergaul, bertingkah laku, makan dan minum, semuanya menjadi human. Maka jiwa dan badan itu sama rata dan selalu sejajar. Setiap kegiatan dan tindakan manusia selalu jasmani dan rohani.

6.1.1.3. Perkembangan Dalam setiap kegiatan khusus, jiwa dan badan mengkhususkan diri juga: bertamu,

belajar, makan, berdoa. Pelaksanaan itu mengendap kembali dalam jiwa-badan induk (kepribadian dan kebudayaan pribadi), dan mengembangkannya. Perkembangan itu baik, baru dan kreatif, kontinu dan berlangsung terus. Kerohanian dan kejasmanian sama-sama berkembang. Semakin badan (gaya) manusia menjadi padat dan kompak; semakin jiwa (wujud) muncul ekspresif dan menyolok. Kompleksitasnya makin halus dan terkoordinasi; intensitasnya makin berpusat dan terfokus. Manusia makin spiritual dan semakin material.

6.1.2. Kesatuan Taraf-Taraf6.1.2.1. Empat Taraf

47

Page 19: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Kesatuan jiwa dan badan tersebut tidak dapat menerangkan ketegangan yang dialami dalam diri manusia. Ketegangan itu harus diterangkan secara lain. Dalam jiwa dan badan manusia dialami taraf-taraf kesadaran yang berbeda. Ada empat (4) taraf: fisiko-kimis (anorganis), biotis (sel; jaringan), psikis (persepsi dan naluri), dan sadar refleksif (mengerti, mau). Keempat taraf itu ditemukan sebagai bagian rendah dan tinggi dalam kesatuan manusia. Mereka semua serupa dalam unsur-unsur hakiki, tetapi berbeda sebagai padat dan kempes.

6.1.2.2. Hubungan Taraf-TarafPertama, taraf-taraf dalam gejala dan kegiatannya cukup jelas dibedakan satu sama lain dan berdikari, misalnya bernafas, pencernaan, emosi-emosi, pikiran. Dari lain pihak mereka berhubungan erat dalam satu kesatuan, dan saling meresapi secara mendalam.

Kedua, taraf yang rendah mendasari yang tinggi dan mengarahkannya. Namun yang rendah tidak menentukan secara mutlak; tetapi memberikan ruang gerak yang luas. Misalnya sakit kepala, bercacat, rasa marah.

Ketiga, taraf yang tinggi mewarnai dan menatar yang rendah, sehingga lain dari besi, pohon, hewan (dalam hal peredaran darah, panca indera). Namun yang tinggi tidak dapat menyingkirkan yang rendah, dan harus menghormatinya.

Keempat, taraf-taraf itu mempunyai susunan subordinatif, dan saling membutuhkan. Yang paling rendahpun sudah manusiawi, dan yang paling tinggipun tetap berakar dalam alam. Sebetulnya menurut struktur manusia, mereka seimbang dan cocok satu sama lain: mensana in corpore sano. Begitu juga dalam seksualitas.

6.1.2.3. Perkembangan Taraf-TarafKeempat taraf berkembang bersama-sama, dengan adanya dua gerak. Yang rendah

seakan-akan terus memancarkan yang lebih tinggi. Tetapi juga yang lebih tinggi seakan-akan memancing dan mengatur yang rendah. Kesatuan mereka berkembang, tetapi sekaligus mereka mengakui dan mengandalkan yang lainnya.

6.1.2.4. Kemungkinan Ketegangan Perbedaan taraf-taraf memungkinkan ketegangan seperti lazimnya dikatakan antara

ada antara roh dan materi. Yang paling normal ialah ketegangan antara kecenderungan biotis, psikis (nafsu) dan kesadaran (pikiran sehat). Mungkin 4 tipe orang menurut penghayatan moril. Dalam batas-batas tertentu dapat ada ketegangan struktural, sedangkan manusia tetap dapat cukup normal, misalnya body builder yang bodoh, orang bercacat yang baik hati, orang tidak seimbang yang sehat. Banyak tergantung dari cara menghayatinya. Lebih berat lagi adalah ketegangan dalamm orang yang trans seksual. Akhirnya juga, kekurangan dalam taraf rendah membuat manusia idiot; atau kekurangan pikiran sehat (orang fanatik) menyebabkan ia bunuh diri. Ketegangan ini semua bukan antara jiwa dan badan, melainkan antara keempat taraf.

6.1.3. Kegiatan dan Komunikasi6.1.3.1. Tingkah Laku (Behaviour)

Manusia hanya mencapai otonominya dalam komunikasi. Dalam setiap kegiatan, pertemuan, komunikasi itu rohani dan jasmani, dan mengalir dari jiwa badan induk. Komunikasi merupakan ekspresi diri atau behaviour sebagai respons terhadap yang lain: tanah, bunga, sapi, manusia, dll. Kegiatanku ialah reaksiku total terhadap situasi, misalnya, melarikan diri dari bahaya: memukul orang. Membudaya ialah melaksanakan diri; dan melaksanakan diri adalah membudaya. Pertemuan itu juga selalu mengandung empat taraf, terjadi pada taraf fisiko-kismis, biotis, dan psikis pula.

48

Page 20: Filsafat Pendidikan -Bagian II

6.1.3.2. Pengertian dan PenghendakanPertama, pengertian menerima dan memberi arti dalam hubungan dengan yang lain. Baik subyek maupun obyek itu jasmani-rohani dan meliputi 4 taraf: reaksi fisiko kimis, inderawi, dan sadar (manusia, hewan, pohon, batu). Pengertian itu mengekspresikan diri menjadi behaviour pada 4 taraf pula: non-verbal dan verbal. Tetapi ekspresi non verbal, dalam tingkah laku, baru menjadi jelas dan formal dalam bahasa. Tanpa bahasa tidak ada pengertian.

Kedua, penghendakan menerima dan memberi nilai. Selalu terjadi dalam behaviour spiritual material. Selalu meliputi 4 taraf dan mengekspresikan diri dalam reaksi biotis, nafsu dan cinta atau benci, misalnya membelai, mencium, terutama sangat menyolok dalam seksualitas.

6.1.3.4. Pria dan WanitaPertama, dua penghayatan behaviour yang fundamental ialah penghayatan hidup sebagai pria dan wanita. Kepribadian dan kebudayaan pribadi selalu sebagai pria dan wanita; jiwa dan badan, seluruh sikap dan cara hidup. Dalam pria dan wanita selalu ada 4 taraf yang memainkan peranan, baik dalam dialog biasa (seksualitas umum), maupun dalam hubungan seksualitas khusus.

Kedua, dialog behaviour ini dapat dapat membentuk bermacam-macam, sesuai dengan kondisi dan situasi kebudayaan. Tetapi dialog inilah yang secara fundamental menentukan warna hidup bersama.

6.1.4. KebudayaanDialog dengan manusia lain dan dunia infra human, sejauh dikhususkan dalam sikap

dan cara hidup ini, menjadi kebudayaan.

6.1.4.1. Taraf dan BidangPertama, kebudayaan ialah hasil pengangkatan taraf-taraf lebih rendah, baik dalam manusia pribadi maupun dalam dunia infra human, ke dalam taraf human, sehingga diwarnai olehnya. Taraf-taraf diintegrasikan dalam kegiatan dan pergaulan human, jadi dimanusiakan. Taraf-taraf itu menjadi bagian integral dalam behaviour –nya.

Kedua, maka sesuai dengan keempat taraf dalam manusia, dan dalam pergaulannya dengan yang lain, kebudayaan meliputi sejumlah bidang. Taraf 4: bidang khas-human, seperti bahasa, ilmu, agama, etika. Taraf 3: bidang instingtif, seperti kekuasaan, nasionalisme, penjinakkan hewan, gensi dan iri hati. Taraf 2: bidang biotis, seperti pertanian, kedokteran, penataan alam (flora). Taraf 1: bidang pragmatis: seperti ekonomi, tehnik, perindustrian, perumahan.

6.1.4.2. Tiga Lingkaran Dalam ekspresi atau kebudayaan sendiri dapat dibedakan 3 lingkungan.

6.1.4.2.1. Arti LuasKebudayaan dalam arti luas meliputi setiap cara hidup, atau behaviour yang human

dalam pergaulan dengan yang lain. Misalnya, bicara dan bergaul dalam hidup sehari-hari. Contoh lain, menggali selokan, menanam pohon, membuat bendungan, membangun tempat berlindung, memasak, membuat tempat duduk, menjahit pakaian, bergerak biasa-biasa.

6.1.4.2.2. Arti Terbatas atau KhususKebudayaan mendapat arti khusus, jika ekspresi dan behaviour bukan hanya praktis-

pragmatis saja, melainkan mendapat bentuk lebih terperinci. Dengan kebudayaan manusia lebih mengekspresikan diri sebagai insani, dengan lebih terwujud, lebih bebas, lebih menguasai diri, lebih berarti dan bernilai. Misalnya, menyusun syair, menanam pohon,

49

Page 21: Filsafat Pendidikan -Bagian II

memahat arca, melaksanakan ibadat, mementaskan tarian, melakukan adat istiadat. Tampak bahwa ia memakai simbol.

6.1.4.2.3. Penghalusan Karya dan Gerak; SeniPuncak kebudayaan dalam arti luas dan terbatas ialah perhalusan sedemikian rupa

sehingga membuat kehidupan menjadi lancar dan lincah, sedap dan senang, nikmat dan lezat. Baik dalam hal praktis: masakan sebagai seni, perkakas, rumah tangga, pakaian, peralatan, perumahan. Sering nilai seni itu terlalu tinggi, sehingga hampir jarang dipakai lagi secara biasa. Juga dalam hal tingkah laku, bahasa, cara bergaul, tarian, sehingga menjadi seni yang tidak digunakan dalam hidup sehari-hari.

6.1.5. Materialitas dan Kebebasan6.1.5.1. Taraf-tarafPertama, menurut pendapat tradisional, taraf lebih rendah (menurut arti struktural: sub-conscious; bawah sadar) dipandang sebagai rintangan bagi kebebasan murni. Misalnya, taraf biotis, nafsu, panca indera. Dicita-citakan kebebasan melulu rohani. Demikian pula pendapat banyak psikolog.

Kedua, akan tetapi dalam kenyataan, kebebasan sedemikian itu masih ilusi, khalayan, karena memang tidak ada perlawanan struktural antara ke-4 taraf, antara bebas dan tidak bebas. Ke-4 taraf merupakan bagian integral bagi keakuan manusia. Taraf 1,2,3, bukan ancaman, melainkan syarat mutlak bagi kebebasan. Mereka mendasari dan mengarahkan kebebasan. Reaksi biotis dan instingtif menyiapkan putusan dan pilihan sadar, dan melancarkanya.

6.1.5.2. Gaya dan Wujud6.1.5.2.1. Pandangan Populer

Perwujudan dirasakan sebagai rintangan dan pembatasan bagi kerohanian. Setiap langkah yang khusus seperti membaca, makan, olah raga menyempitkan kekayaan kepribadian pada saat dan situasi tertentu. Dan pada umumnya manusia terpenjara dalam cara bergaul, bicara, tingkah laku yang tertentu. Dicita-citakan kebebasan rohani yang tidak terikat pada behaviour dan kebudayaan pribadi tertentu. Diinginkan improvisasi total dan ekspresi serba bebas.

6.1.5.2.2. Kesatuan Jiwa dan BadanPertama, baru dalam perwujudan dan kebudayaan pribadi saja kerohanian manusia menjadi real. Wujud itu bukan ancaman, melainkan syarat mutlak bagi kebebasan. Keterbatasan bukan berarti negatif, melainkan positif, yaitu untuk menjamin kejelasan dan ketepatan.

Kedua, intensitas unik hanya dapat ada dalam ekspresi ketat dan kompleks: cara berjalan, bicara, bergaul. Improvisasi hanya dapat lepas dari bentuk primitif, dan menjadi sungguh-sungguh personal, jika perwujudan benar-benar dikuasai dan didisiplinkan, maka kreativitas dan spontanitas hanya dapat berkembang, jika dengan latihan kontinu, perwujudan dan kebudayaan pribadi makin ditempa dan diperhalus, kontinu dan baru pula.

6.2. Materialitas Manusia dan Pendidikan pada Umumnya.Pendidikan dimaksudkan sebagai pembentukan anak menjadi orang dewasa. Arah

inti pendidikan (ultimate aims) adalah ke materialitas. Anak harus dibimbing menuju harmoni yag seoptimal mungkin, dalam hal ini keberadaannya. Dalam hal tertentu mendidik berarti membudayakan.

6.2.1. Empat TarafDalam pribadinya anak harus memupuk harmoni ke-4 taraf yang sebesar mungkin.

50

Page 22: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Pertama, taraf-taraf yang lebih rendah harus diberikan tempat yang wajar, diakui dan diintegrasi, supaya dapat menyediakan motorik dan dinamik spontan, dari bawah. Tidak ditolak, dihinakan dan ditindas. Harus diperhatikan dan ditaati kebijaksanaan masing-masing taraf: sakit kepala, rasa marah. Harus dibina dan dikembangkan, sebab bukan merupakan ancaman melainkan bagian integral bagi kebebasan. Semua itu berkaitan dengan kesehatan dan emosionalitas. Keterbatasan harus diterima. Aspek fisik; potongan badan, bentuk hidup, jenis kelamin. Aspek psikis; watak, nafsu, juga cacat, dan lain-lain.

Kedua, taraf tertinggi harus menguasai dan mendominasi taraf-taraf lainnya; mengatur, menyalurkan, supaya berkembang menjadi seefektif mungkin; dan agar janganlah salah satu taraf lebih rendah mendominasi, supaya anak didik mencapai disiplin dan tahu mengendalikan diri (askese). Supaya dia tidak hanya hidup menurut selera biotis, atau naluri atau nafsu.

6.2.2. Intensi dan EkspresiAnak dibimbing menuju harmoni kerohanian-kejasmanian atau intensi ekspresi. Tidak

boleh ada pertentangan.

Pertama, intensitas diekspresikan selengkap mungkin dalam gerak-gerik, dalam cara jalan dan duduk, memandang, berbicara, bergaul dan melayani. Tidak malu mempunyai tangan, mulut, kaki; dapat membawakan diri secara luwes dan atletis. Emosionalitas tidak disembunyikan, seakn ditelan, melainkan diwujudkan. Inteligensi dan tekad dinyatakan. Hanya dalam individualitas yang terbentuk, tercapai pula identitas yang jelas dan teratur. Kalau kurang diwujudkan dalam bentuk tertentu (gestalt), orang hanya tinggal kabur dan tanpa ketentuan; itu bukan kesederhanaan, melainkan sikap kasar. Anak harus dididik agar membentuk (gestalt) diri menjadi terdidik, halus, sopan, tepat dalam tindak-tanduknya.

Kedua, ekspresi anak harus dipusatkan dalam kebatinannya. Harus diperketat dan disinari dari dalam. Jangan asal saja bergerak, berteriak, dan mengeluarkan emosi; itu mungkin sekali masih primitif dan kasar. Tetapi semua bisa terkondisi dan terarah, baik dalam pergaulan dan pekerjaan harian; maupun dalam budaya menurut arti lebih khusus: berpidato, menari, bernyanyi, bermain sandiwara, wayang orang. Mencapai kehalusan bukan saja seperti cat pernis, melainkan bersinar dan mendalam; yang sekaligus kaya dan padat dan sederhana. Kebudayaan pribadi bukan saja seperti pakaian, kalau tidak dari dalam, hanya kosong dan semu.

Ketiga, bentuk (gestalt) pribadi itu terbatas, dan membatasi anak. Tetapi anak harus belajar bahwa keterbatasan itu tidak berarti negatif. Perkembangan perwujudan anak mulai dari nol. Setiap perwujudan sudah berarti kemajuan positif. Dalam gestalt yang terbatas, anak mengatasi keliaran dan kekaburan. Ia belajar meruncingkan dan menentukan kepribadiannya; memberikan volume dan kompleksitas pada arti dan idenya, pada nilai dan cita-citanya. Keterbatasan itu membuat anak menjadi utuh dan tegas. In der Beschraenkung zeigt sich der Meister; dalam keterbatasan tampaklah kemahiran alhi dan keberdaulatan sebagai pribadi yang matang. Tetapi perwujudan itu semakin berkembang pula.

6.2.3. Komunikasi

Pertama, perwujudan anak bersifat sosial. Kepribadian dan kebudayaannya pribadi harus dihayati dalam komunikasi harmonis yang setinggi mungkin. Hanya dalam komunikasi, anak dapat belajar mewujud; hanya dalam mewujud anak dapat berkomunikasi.

Kedua, tingkah lakunya menjadi social behaviour, dalam dialog multikompleks. Tingkah lakunya harus terbentuk dalam kesesuaian dengan lingkungan, -dengan identitas bangsa:

51

Page 23: Filsafat Pendidikan -Bagian II

misalnya adat-istiadat, pergaulan, perwujudan hidup bersama, perumusan cita-cita bersama. Harus ada keserupaan bersama. Untuk sementara masih mungkin anak berekspresi sendirian tanpa maksud tampil di depan umum. Namun itupun diintegrasikan dalam komunikasi. Terutama kesenian tanpa komunikasi akan menjadi steril dan mati.

Ketiga, ekspresi sosial itu akan bersifat cukup umum dan uniform pada taraf teknis dan praktis-pragmatis; makan, jabatan, cara bicara, pakaian. Namun pada taraf khas manusiawi akan makin personal pula: seni, sastra, agama, cinta dan seksualitas.

Keempat, pengertian diwujudkan dalam simbol-simbol bersama, terutama dalam bahasa bersama. Anak harus belajar bahasa, agar dapat berpikir. Bahasa itu hanya mungkin sebagai bahasa bersama, baik bahasa daerah maupun bahasa nasional.

Kelima, penilaian (penghendakan) diwujudkan dalam nilai-nilai konkret bersama pula; tentang kesusilaan, keindahan dan kesenangan.

Keenam, anak harus mewujudkan diri sebagai pria atau perempuan. Dalam hubungan seks, badan harus mencapai harmoni yang halus, yang spontan dan natural, sehingga menjadi ekspresi seluruh pribadinya. Hanya dapat direalisasikan dalam konteks hidup bersama, dalam tradisi kepriaan dan kewanitaan yang telah dibentuk.

6.2.4. Kreativitas

Pertama, tradisi. Anak dididik dalam kebudayaan yang hidup. Anak harus diajar dalam bentuk-bentuk, adat-istiadat, bahasa, seni. Hanya dalam konfrontasi dengan perwujudan, ia sendiri dapat belajar mengenal bentuk-bentuk, dan mencerminkan diri kembali dalam bentuk yang dapat dikenal juga. Janganlah bentuk kosong; tetapi hanya yang vital human. Pendidikan ini membutuhkan latihan yang lama. Anak harus menyelami warisan, harus dibimbing memperoleh suatu behaviour.

Kedua, spontanitas. Ada bahaya bahwa bentuk-bentuk itu hanya ada belaka, hanya mekanisme. Maka disamping latihan diberi kesempatan ekspresi bebas. Anak diajak berimprovisasi, agar segi pribadi dilatih, agar perwujudan yang tumbuh, juga berakar kembali. Misalnya; dalam permainan sandiwara, tarian, bicara. Ekspresi bebas ini bukan tujuan, melainkan sarana dan suatu segi saja. Tanpa tradisi dan latihan, maka ekspresi bebas hanya tinggal primitif, dan kepribadian anak sendiri tetap kasar.

Ketiga, kreativitas. Lama kelamaan, kreativitas pribadi anak muncul, terutama dalam kebudayaan khusus, dalam hal-hal khas human; pergaulan, mengarang, mencari, membaut syair. Meliputi semua empat taraf. Bukan saja sebagai ekspresi bebas dan improvisasi spontan, melainkan berkat penguasaan bentuk-bentuk yang ketat. Dengan demikian, tercapai spontanitas natural yang berbobot, dan kesederhanaan yang berakar mendalam. Baru sekarang dapat disadari relativitas segala bentuk dan ekspresi; selalu bersifat sementara. Dengan dinamis diatasi dan dibentuk kembali menjadi perwujudan lebih tepat kagi, dan halus; pluriform, namun dalam kesatuan dengan orang lain. Makin perwujudan mendalam, menjadi padat dan lebih berarti sebagai ekspresi intensitas.

6.2.5. Materialitas Proses Pendidikan

6.2.5.1. Umum

Proses pendidikan menuju harmoni jiwa dan badan sendiripun harus menghayati materialitas.

52

Page 24: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Pertama, hubungan dengan anak berlaku pada empat taraf: bau, kelembutan tubuh, memberi makan dan merawat, bergulat secara fisik, kadang-kadang menghukum fisik, komunikasi instingtif emosional dengan rasa senang dan marah; memahami dan mengungkapkan cinta-kasih. Pendidik harus mengatur kontak pada empat taraf itu secara harmonis.

Kedua, proses pendidikan seluruhnya berlangsung dalam behaviour. Komunikasi dengan anak terjadi dalam jiwa yang membadan; bergaul, berbicara, menegur, mengemong. Hanya didalam komunikasi behaviour itu juga pribadi-pribadi bertemu, terutama menurut kemanusiaan mereka. Maka pendidik ialah dialog behaviour.

6.2.5.2. Pendidik utama.

Pertama-tama orang tualah yang berhak dan wajib membimbing proses materialisasi dan spiritualiasi anak. Mereka mampu untuk mengarahkan proses pembudayaan itu dengan terlibat secara total dan pribadi. Dan mereka sendiripun akan terwujudkan dalam proses itu secara progresif.

6.2.5.3. Kualifikasi Pendidikan

Pendidik sendiri harus memiliki harmoni jiwa dan badan keempat taraf tersebut. Ia pun harus mampu melaksanakan dalam behaviour harmonis terhadap anak, dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak.

6.3. Materialitas Manusia dan Pendidikan di Sekolah

6.3.1. Kurikulum harus bertujuan materialitas Anak

Tujuan pokok kurikulum ialah materialitas anak. Anak harus dibimbing agar mencapai kepribadian dan kebudayaan pribadi dalam kesatuan yang semaksimal mungkin.

6.3.1.1. Sifat Mata Pelajaran Kebudayaan

Setiap mata pelajaran menyentuh kebudayaan; pasti-alam, teknologi, biologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan agama. Semua mata pelajaran mengantar ke pergaulan dan behaviour dalam hubungan dengan dunia infra human dan manusia. Semua juga memakai bahasa dan mendidik dalam hal bahasa. Namun ada mata pelajaran yang secara khusus mengarahkan perhatian pada perwujudan kemanusiaan sendiri, yaitu kelompok sastra dan budaya. Misalnya bahasa, antropologi budaya, kesenian, lebih konkret yang memperlajari; adat-istiadat, musik, tarian, lukisan, pakaian, pemakian alat-alat, rumah, cara mengolah tanah, dan sebagainya. Sebenarnya juga mata pelajaran oleh raga dan senam termasukk kelompok budaya ini, sebab berhubungan dengan kebudayaan pribadi pada taraf biotis.

6.3.1.2. Fungsi Edukatif dalam Mata Pelajaran Kebudayaan

Mata pelajaran kebudayaan membimbing anak supaya membentuk diri menurut bentuk-bentuk kebudayaan.

Pertama, anak dihadapkan dengan bentuk-bentuk kebudayaan. Dalam perwujudan itu ia memahami dan membaca suatu (atau lebih) konkretisasi kemanusiaan dan kepribadian komunal.

53

Page 25: Filsafat Pendidikan -Bagian II

Kedua, anak belajar berpikir dan mengartikan dengan cara lain daripada dalam dunia eksata atau dunia praktis belaka. Ia berpikir dengan verstehen (memahami), dengan interpretasi dan invensi.

Ketiga, anak diberi inspirasi bagi kebudayaannya pribadi, sehingga juga kepribadiannya dapat menjadi.

6.3.1.3. Fungsi Edukatif Mata Pelajaran Bahasa

Pertama, anak hanya dapat berpikir secara logis dan konsekuen, berpikir sejelas-jelasnya, sejauh cakap mewujudkan pengartian dan penilaian dalam bahasa yang tepat. Untuk itu ia harus belajar menggunakan bahasa tanpa kesalahan, baik dalam bicara, maupun dalam menulis.

Kedua, anak hanya dapat berkembang dengan cara cukup luas dan universal, jika ia belajar mengungkapkan diri dalam bahasa yang cukup umum (dipakai banyak orang) dan padat (dipelajari dan diselami secara ilmiah). Itu hanya terjadi dalam hal bahasa nasional. Bahasa nasional (lebih daripada bahasa daerah) tidak hanya mencerminkan alam pikiran dan kebudayaan bangsa sendiri, tetapi mencerminkan aliran dan cara berpikir bangsa lain pula.

6.3.1.4. Segi Keterampilan

6.3.1.4.1. Aspek Umum

Dalam aspek personal-moral ada pengaruh terbatas. Tetapi dalam pergaulan, macam-macam kebiasaan dan upacara, anak mengalami perkenalan dengan kebudayaan dan perhalusan budi dan tingkah laku. Misalnya pakian seragam, upacara penaikan bendera, pertemuan pesta, kebersihan. Segi keterampilan selalu meliputi empat taraf.

6.3.1.4.2. Pengajaran Secara Umum

Anak dididik agar duduk tertib dan bergaul secara baik. Ia harus berbicara dengan tepat, bila menjawab pertanyaan; membuat catatan dengan teratur dan rapi; memelihara buku pelajaran, membuat karangan tentang pokok tertentu. Demikian ia belajar mewujudkan diri.

6.3.1.5. Mata Pelajaran Ekspresif

Pertama, dalam setiap mata pelajaran keterampilan yang diberikan, anak belajar mengungkapkan dirinya dalam bidang tertentu; memakai tangan dalam menukang kayu, mencangkul, menjahit. Tetapi cara membawakan diri itu masih pada bidang praktis-eksklusif. Dalam rangka mata pelajaran kebudayaan sendiri anak dibimbing untuk melaksanakan ekspresi secara terperinci.

Kedua, mata pelajaran olah raga dan senam masih terutama terletak pada taraf ke-2 (biotis), walaupun secara tidak langsung juga menyangkut taraf lebih tinggi. Tetapi terutama ekspresi dilaksanakan dalam bidang-bidang yang meliputi secara langsung 4 taraf: menari, melukis, bernyanyi, mencerita, berpidato, mengarang, menulis syair. Namun olah raga membantu semua macam ekspresi itu pula. Terutama harus ada latihan di mana disampaikan bentuk-bentuk yang telah dikembangkan dengan susah payah.

Ketiga, anak harus melatih diri dengan tekun. Dari pihak lain anak harus diberi kesempatan bagi ekspresi bebas, yang bersifat sementara. Supaya inspirasi dan spontanitas tetap hidup. Dalam sintesis yang lama kelamaan muncul, anak tidak melekat pada rutinitas dan latihan

54

Page 26: Filsafat Pendidikan -Bagian II

belaka, melainkan menjiwainya dengan spontanitas pribadi. Dari lain pihak, tidak tertinggal pada taraf improvisasi primitif dan kasar, melainkan mencapai kebudayaan dan perhalusan sejati.

6.3.2. Materialitas Proses Pengajaran

6.3.2.1. Lingkungan Sekolah

Pertama, pengajar sendiri harus mewujudkan diri dalam bahasa dan behaviour yang komunikatif, pada semua taraf. Hanya dalam kontak kebudayaan secara pribadi ada pula kontak dan komunikasi kepribadian.

Kedua, pengajaran harus bersifat estetis pula pada semua taraf untuk mencapai perwujudan yang tepat. Pengajar harus tahu memperhatikan hal-hal pokok dan memotong hal yang kurang relevan; harus menyederhanakan bahan sehingga jelas. Mata pelajaran disajikan secara jelas dan dinamis, dalam bentuk yang menarik. Harus dicapai sintesis atas rutinitas (bahan yang sudah agak pasti) dan kreativitas (keunikan dalam pengajaran), agar dihindari dua ekstrem, yaitu rutinitas yang membosankan dan kreativitas yang kacau.

Ketiga, setiap pelajaran bagi anak harus menjadi suatu peristiwa personal, sedikit pesta; tetapi berdasarkan latihan yang lama dan persiapan yang teratur oleh pengajar. Pengajar harus selalu mencari bentuk dan contoh baru yang lebih tepat lagi.

6.3.2.2. Pengajar

Guru menjadi wakil orang tua. Ia menjadi sumber bagi perwujudan anak bagi pembentukan kepribadiannya. Maka ia harus mempunyai loyalitas terhadap kepentingan orang tua. Ia sendiri harus mempunyai kebudayaan pribadi, tetapi juga akan dibudayakan oleh pertemuan dengan sekian banyak anak. Negara hanya dapat menentukan syarat-syarat minimal bagi kebudayaan itu, yaitu dalam hal bahasa dan budaya.

6.3.2.3. Kualifikasi Guru

Guru harus mempunyai harmoni ke-4 taraf dan mencapai harmoni, kepribadian dan kebudayaan pribadi (jiwa dan badan). Dan ia harus dapat menghayati fungsi edukatif dalam mata pelajaran keahliannya.

55