Top Banner

of 25

FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP_VINA ANYERINA_12.70.0046_D4

Nov 05, 2015

Download

Documents

James Gomez

Kecap yakni produk fermentasi dengan substrat padat kedelai. Ciri fisik kecap yakni cair , kental, berwarna coklat kehitaman dan bercita rasa yang khas.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan praktikum fermentasi kecap yang merupakan fermentasi substrat padat pada kloter D dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.KelPerlakuanAromaRasaWarnaKekentalan

D1Kedelai hitam + 0,5% Inokulum+++++++

D2Kedelai putih + 0,75% Inokulum----

D3Kedelai hitam + 0,75% Inokulum++++++++

D4Kedelai putih + 1% Inokulum+++++++

D5Kedelai hitam + 1% Inokulum++++++

Keterangan:AromaKekentalan+: kurang kuat+: kurang kental++: kuat++: kental+++: sangat kuat+++: sangat kental

RasaWarna+: kurang kuat+: kurang hitam++: kuat++: hitam+++: sangat kuat+++: sangat hitam

Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat hasil pengamatan yang dilakukan berbeda-beda antar kelompok dalam kloter D. Pada kelompok D1 yang menggunakan kedelai hitam + 0,5%. Inokulum didapatkan hasil kecap dengan aroma kurang kuat, rasa kuat, warna kurang hitam, dan sangat kental. Pada kelompok D2 yang menggunakan kedelai putih + 0,75% inokulum didapatkan hasil kecap gagal. Pada kelompok D3 yang menggunakan kedelai hitam + 0,75% inokulum didapatkan hasil kecap dengan aroma kuat, rasa manis, warna kurang hitam, dan sangat kental. Pada kelompok D4 yang menggunakan kedelai putih + 0,75% inokulum didapatkan hasil kecap dengan aroma kurang kuat, rasa manis, warna hitam, dan kental. Pada kelompok D5 yang menggunakan 0,75% inokulum didapatkan hasil kecap dengan aroma kuat, rasa kurang manis, warna kurang hitam, dan kental.

23

2. 22

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum fermentasi kecap kloter D, produk kecap dengan cara fermentasi substrat padat. Kecap bisa dibuat dengan craa memfermentasikan substrat padat. Bahan yang biasanya digunakan yakni kacang kedelai. Ciri-ciri fisik kecap antara lain cair, agak kental, dan berwarna coklat kehitaman. pH kecap antara 4,9 5,0 dan biasanya digunakan sebagai campuran pada proses pembuatan makanan untuk memberi cita rasa dan warna yang menarik pada makanan. Kecap adalah produk makanan yang sangat mudah larut air dan mempunyai berat molekul rendah, sehingga produk kecap mudah dicerna oleh sistem pencernaan manusia (Rahman, 1992).

Pada praktikum kloter D, kecap manis dibuat dengan metode fermentasi. Hal ini sesuai dengan teori Winarno et al (1980), kecap dapat dibuat dengan 3 metode antara lain fermentasi, hidrolisis kimia, dan kombinasi dari kedua metode tersebut. Teori tersebut ditambahkan oleh Judoamidjojo (1987), selain kecap manis, di Indonesia terdapat pula jenis kecap asin yang cukup disukai oleh masyarakat. Perbedaan keduanya dapat diketahui dari sifat organoleptiknya. Kecap manis mempunyai rasa manis yang dominan karena banyak mengandung gula palma (26-61%), sedikit garam (3-6%), dan viskositas yang tinggi. Sementara kecap asin mempunyai rasa asin yang dominan karena tinggi kandungan garam (18-21%), encer, dan warnanya lebih muda karena mengandung lebih sedikit gula palma (4-19%).

Prinsipnya pembuatan kecap dengan metode fermentasi dalam praktikum kali ini adalah pemecahan makromolekul kompleks yang terkandung dalam kedelai menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selama proses fermentasi, terjadi pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino; lemak menjadi asam lemak; serta karbohidrat menjadi monosakarida. Proses pemecahan tersebut menyebabkan kecap memiliki aroma, rasa, flavor khas yang disukai konsumen (Hardjo, 1964). Ada 2 tahapan proses pembuatan kecap dengan metode fermentasi yakni fermentasi dengan kapang (koji) lalu dilanjutkan fermentasi dengan larutan garam (moromi) (Judoamidjojo, 1987). Selama proses fermentasi tersebut terjadi peningkatan total nitrogen terlarut, padatan terlarut, gula pereduksi, dan pembentukan pH kecap pada angka 4,9-5,0 (Rahman, 1992).Menurut Santoso (1994), proses pembuatan kecap melalui fermentasi terdiri atas 4 tahapan antara lain proses perebusan biji kedelai, tahap penjamuran, tahap penggaraman, dan proses perebusan akhir. Tahap perebusan dan penjamuran adalah proses yang terjadi dalam fermentasi koji. Sedangkan tahap penggaraman dan perebusan akhir termasuk dalam proses fermentasi moromi. Hal ini sesuai dengan cara kerja pembuatan kecap yang dilakukan pada praktikum kali ini proses fermentasi ada 2 proses yakni fermentasi koji dan fermentasi moromi.

Pada praktikum ini, pembuatan kecap dilakukan dengan cara fermentasi. Bahan utama yang digunakan dalam praktikum adalah kedelai putih dan kedelai hitam. Hal tersebut telah sesuai dengan teori bahwa pada pembuatan kecap menggunakan bahan dasar kedelai putih atau kedelai hitam dalam bentuk utuh atau hancur, atau sudah dihilangkan lemaknya (Kasmidjo, 1990). Purwoko et al. (2007) menambahkan bahwa kedelai putih dapat digunakan sebagai bahan dasar makanan turunan kedelai. Sedangkan kedelai hitam biasanya hanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap. Walaupun biasanya kecap terbuat dari kedelai hitam, kecap juga dapat dibuat dengan bahan baku kedelai putih.

Pada proses fermentasi koji (kapang), mula-mula praktikan merendam kedelai mentah sebanyak 250 gram ke dalam air selama 1 malam sampai mekar. Menurut Kasmidjo (1990), tujuan proses perendaman untuk memudahkan proses pelepasan kulit ari dari biji kedelai dan melunakkan biji kedelai. Tortora et al. (1995) berpendapat bahwa proses perendaman kedelai dapat melunakkan kedelai karena terjadi hidrasi air ke dalam biji kedelai, sehingga proses pemasakan biji kedelai dapat berjalan lebih singkat. Proses perendaman dilakukan menggunakan air dalam jumlah banyak, supaya kedelai dapat menyerap air dan beratnya meningkat hingga 2-3 kali lipat (Kasmidjo, 1990). Hari selanjutnya kedelai dicuci, dibuang kulit arinya, dan dibiarkan di udara terbuka sampai kering (Gambar 1).

Gambar 1. Kedelai Sudah Dicuci dan Dibuang Kulit Arinya

Kemudian kedelai mentah direbus sampai matang kira-kira selama 10 menit. Hal ini sesuai dengan teori Tortora et al. (1995), pada pembuatan kecap proses perebusan biji kedelai berfungsi untuk : merusak protein inhibitor menginaktifkan zat-zat antinutrisi mengurangi mikroorganisme memudahkan enzim pada kapang untuk menghidrolisis protein kedelai saat fermentasi berlangsung. melunakkan biji kedelai sehingga memudahkan proses pemasakan menghilangkan aroma langu pada kedelai dengan menginaktivasi enzim lipoksigenase

Gambar 2. Proses Perebusan Kedelai

Setelah proses perebusan selesai, kedelai ditiriskan dan dibiarkan di udara terbuka sampai dingin sebelum ditambahkan inokulum. Menurut Santoso (1994) hal tersebut bertujuan untuk mengurangi kadar air pada kedelai dan untuk mendinginkan kedelai, sehingga saat ditambahkan inokulum, inokulum tidak mati akibat suhu tinggi. Pengeringan dilakukan sampai kedelai menjadi setengah kering / masih agak lembab. Kondisi kedelai pada pembuatan kecap harus setengah lembab untuk mempermudah pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai, dapat mengakumulasi enzim proteinase (memecah protein menjadi asam amino) dan amilase (memecah karbohidrat menjadi gula sederhana (gula pereduksi) sehingga fermentasi menjadi lebih mudah dilakukan (Atlas, 1984).

Lalu kedelai ditaruh di atas wadah niru / tampah yang telah dialasi dengan daun pisang yang telah disemprotkan dengan alkohol. Penyemprotan alkohol pada besek dan pembersihan daun pisang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah adanya kontaminasi silang pada produk fermentasi koji (Hadioetomo, 1993). Proses penyemprotan besek dapat dilihat di Gambar 3. Kemudian ditaburi dengan ragi tempe. Tujuan pendinginan kedelai hingga hangat untuk menurunkan suhu kedelai supaya mendekati suhu ruang yakni 35-40oC yang merupakan suhu optimum untuk pertumbuhan jamur. Jika kondisi kedelai masih panas, jamur akan mati (Santoso, 1994). Atlas (1984) menambahkan bahwa kedelai dalam kondisi lembab mendukung pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat mengakumulasi beberapa enzim (proteinase dan amilase). Alasan penggunaan wadah tersebut karena memungkinkan oksigen masuk, sehingga fermentasi dapat berjalan lancar. Kemudian tiap kelompok menambahkan inokulum dengan konsentrasi yang berbeda. Pada kelompok D1 yang menggunakan kedelai hitam + 0,5% inokulum, kelompok D2 menggunakan kedelai putih + 0,75% inokulum, kelompok D3 menggunakan kedelai hitam + 0,75% inokulum, kelompok D4 yang menggunakan kedelai putih + 0,75% inokulum, kelompok D5 yang menggunakan 0,75% inokulum. Setelah diikonulasi, kedelai diaduk supaya inokulum rata, lalu tampah ditutup dan diinkubasi di suhu ruang selama 3 hari. Hal ini sesuai dengan teori Santoso (1994), pada fermentasi kecap dilakukan penambahan ragi tempe dan pengadukan (Gambar 4) hingga merata supaya inokulum yang ditambahkan akan tersebar merata pula di seluruh permukaan biji kedelai. Kedelai yang siap diinkubasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 3. Perlakuan Aseptis Dengan Menyemprotkan Besek Menggunakan Alkohol

Gambar 4. Proses Pengadukan Kedelai

Gambar 5. Kedelai yang Sudah Diinokulasi dan Siap Diinkubasi

Gambar 6. Proses Pembungkusan Kedelai Dengan Daun Pisang

Penggunaan ragi tempe pada praktikum kali ini sesuai dengan teori Santoso (1994), biasanya proses penjamuran tempe pada tahap koji menggunakan kapang Rhizopus sp. Setelah diberi inokulum, barulah dilakukan pengadukan agar inokulum dan kedelai tercampur rata. Menurut Kasmidjo (1990), biasanya fermentasi koji dilakukan dengan menghamparkan bahan yang akan diinokulasi pada wadah seperti nampan. Kemudian kedelai diinkubasi selama 3 hari dalam suhu ruang untuk memberi waktu bagi kapang untuk bertumbuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (1994), kedelai yang telah ditambahkan inokulum disimpan pada suhu ruang (25-30C) selama 3 hari sampai nampak pertumbuhan kapang. Astawan & Astawan (1991) juga menambahkan bahwa proses fermentasi harus dalam jangka waktu yang sesuai. Jika terlalu cepat, maka enzim yang dihasilkan kapang tidak akan memproduksi komponen-komponen penting yang kemudian akan digunakan selama proses fermentasi pada tahap berikutnya. Sedangkan jika terlalu lama, maka enzim yang dihasilkan berlebihan dan cita rasa kecap menjadi kurang baik dan kurang disukai konsumen. Enzim-enzim yang dihasilkan kapang selama proses fermentasi yakni amilase, maltase, fosfatase, lipase, dan proteinase akan memecah komponen gizi menjadi bagian yang lebih sederhana. Hasil pemecahan inilah yang akan mempengaruhi citarasa kecap yang dihasilkan. Hasil dari fermentasi koji adalah kedelai yang sudah berjamur (Astawan & Astawan, 1991).

Lalu pada tahap fermentasi moromi, mula-mula kedelai yang sudah berjamur diaduk dan dikeringkan pada dehumidifier selama 2-4 jam. Tujuan proses pengeringan untuk dapat menghilangkan kapang yang melekat pada permukaan substat dengan mudah (Tortora et al., 1995). Selain itu, pengeringan juga dapat menghambat pertumbuhan jamur karenapengeringan dapat menurunkan kadar air (Pepler & Perlman, 1979). Gambar 7 menunjukkan kedelai yang sudah berjamur pada tahap fermentasi koji. Kemudian Gambar 8 menunjukkan tahap pengeringan di dalam dehumidifier.

Gambar 7. Kedelai Sudah Siap Masuk Tahap Fermentai Moromi

Gambar 8. Tahap Pengeringan Dalam Dehumidifier

Menurut Peppler & Perlman (1979), tujuan pengeringan dengan dehumidifier untuk menurunkan kadar air kedelai, sehingga kapang yang masih hidup pertumbuhannya akan dihambat karena kandungan air kedelai rendah. Tortora et al. (1995) menambahkan bahwa proses pengeringan dapat mempermudah penghilangan kapang yang masih melekat pada permukaan kedelai, sebab kapang sudah tidak digunakan kembali pada tahap moromi.

Kemudian, kedelai yang sudah kering dimasukkan ke dalam toples plastik. Lalu ditambahkan larutan garam 20%. Larutan garam 20% dibuat dengan cara larutan garam 20% dengan cara melarutkan 200 gram garam kedalam 1 liter air. Kemudian direndam selama 7 hari / setiap siang hari diaduk sesekali dan dijemur selama 30 menit (Gambar 9)

Gambar 9. Kedelai Direndam Dalam Larutan Garam 20 %

Toples tempat untuk merendam kedelai dalam larutan garam dijemur dan diaduk setiap hari selama 30 menit. Hal ini sesuai dengan teori Tortora et al. (1995) bahwa tujuan perendaman dengan garam untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahap fermentasi kapang. Pembentukan flavor khas kecap ditentukan pula ketika perendaman garam, karena ketika perendaman berlangsung, bakteri halofilik akan tumbuh secara otomatis dan mempengaruhi flavor. Selain itu perendaman juga berfungsi untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme patogen, namun masih memungkinkan pertumbuhan khamir dan bakteri yang dibutuhkan untuk membentuk citarasa. Konsentrasi larutan garam yang digunakan adalah 20%. Menurut Astawan & Astawan (1991), penggunaan garam dengan konsentrasi tinggi akan menimbulkan tekanan osmotik menarik air keluar dari bahan pangan, sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Konsentrasi larutan garam ideal pada proses pembuatan kecap ialah 15-20%. Jika kadar garam kurang dari 15%, maka mikroorganisme masih dapat tumbuh pada kecap. Menurut Tortora et al. (1995), tujuan dari proses penjemuran dan pengadukan untuk memberikan aerasi pada larutan garam dan untuk menghomogenkan larutan. Proses pengadukan dapat meningkatkan kontak garam dengan substrat, sehingga pertumbuhan kapang dan bakteri dapat meningkat. Wu et al (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Effect of Temperature on Moromo Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration menambahkan bahwa suhu saat penjemuran akan mempengaruhi hasil akhir dari cita rasa kecap

Menurut Mao et al.(2013), proses pembuatan kecap dimulai dengan proses fermentasi Aspergillus sp pada campuran kedelai dengan rasio tertentu. Fermentasi aerobik (koji) dilakukan selama 2-3 hari dengan suhu 30oC, laluAspergillus menghasilkan enzim ekstraseluler. Peranan Aspergillus oryzaedalam fermentasi kecap adalah merombak pati dalam kedelai menjadi glukosa dan maltosa pada fermentasi koji (Rahayu et al., 2005).

Dalam proses penggaraman, enzim yang dihasilkan Aspergillus terus menghidrolisis kedelai sehingga diperoleh kecap. Selama proses fermentasi terjadi perubahan senyawa-senyawa tertentu karena adanya aktivitas enzim pada pembuatan kecap. Pada tahap koji, kapang yang berperan dalam proses fermentasi ini adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus soyae, Aspergillus niger, dan Rhizopus sp. Pada tahap moromi, khamir yang terlibat adalah Hansenulla dan Zigosaccharomyces, serta bakteri asam laktat seperti Lactobacillus delbrueckii (Astawan & Astawan, 1991). Hal ini didukung oleh kembali teori Astawan & Astawan (1991), penggunaan larutan garam pada konsentrasi tinggi menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, larutan garam yang baikdalam proses pembuatan kecap yakni sekitar 15-20%. Jika kadar garam yang ditambahkan kurang dari 15%, maka pada kecap yang dihasilkan masih dapat ditemukan adanya mikroorganisme. Tahap moromi dalam pembuatan kecap dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Tahap Moromi Dalam Pembuatan Kecap

Selama proses perendaman, larutan juga harus sesekali diaduk supaya garam homogen sehingga menyentuh permukaan substrat dan untuk memberikan udara yang akan merangsang pertumbuhan khamir dan bakteri (Torotora et al., 1995). Wu et al. (2009) menambahkan bahwa proses pengadukan termasuk dalam tahap aerasi (pemberian O2) supaya yeasttetap tumbuh baik karena terdapat oksigen. Apabila aerasi tidak dilakukan, maka pembentukan flavorakan berjalan lambat dan dihasilkan flavoryang buruk (unripe flavor). Garam dalam jumlah banyak memiliki tekanan osmotik tinggi sehingga akan menarik air dari bahan pangan yang akan melindungi kedelai cemaran lalat, belatung, dan pembusukan oleh bakteri pembusuk (Astawan & Astawan, 1991). Dengan menggunakan sinar matahari langsung, kapang yang melekat pada permukaan substrat dihilangkan (Rahayu et al., 1993). Hal ini sesuai dengan praktikum yakni kedelai dijemur dibawah sinar matahari langsung supaya dapat memberikan suhu yang lebih tinggi daripada suhu ruang, sehingga kecap yang dihasilkan lebih baik. Menurut Wu et al. (2010), suhu fermentasi moromi akan berpengaruh terhadap hasil akhir kecap. Hasil dari fermentasi moromi adalah cairan kedelai hasil rendaman garam selama 1 minggu yang siap diolah menjadi produk kecap.

Setelah 1 minggu, kedelai hasil rendaman dalam larutan garam dipres dan disaring (Gambar 11). Lalu dimasak bersama bumbu-bumbu yang akan digunakan untuk memasak kecap. Kemudian filtrat sebanyak 250 ml tersebut ditambah dengan air putih sebanyak 750 ml. Tujuan proses penyaringan yakni supaya kecap yang dihasilkan bebas dari kotoran kontaminan (Santoso, 1994)

Gambar 11. Kedelai Dipres dan Disaring

Bumbu yang digunakan dalam pemasakan kecap adalah gula jawa 1 kg, bunga pekak 1, kayu manis 20 gram, ketumbar 3 gram dan disangrai, serta laos 1 ruas jari kelingking, cengkeh 1 gram (kelompok D1-D2), sereh 1 buah (kelompok D3-D4), dan pala 1 buah (kelompok D5). Gula jawa menyebabkan kecap berwarna coklat karamel dan viskositasnya meningkat. Jenis gula pada kecap antara lain glukosa, galaktosa, maltosa, xylosa, arabinosa, dan komponen gula alkohol yakni gliseol dan manitol (Kasmidjo, 1990). Judoamidjojo (1987) juga menambahkan bahwa gula jawa berperan dalam reaksi maillard dan karamelisasi, dimana reaksi tersebut akan membentuk flavor dan karakteristik kecap manis. Menurut Fachruddin (1997), penggunaan bumbu-bumbutersebut bertujuan untuk meningkatkan flavor kecap yang dihasilkan. Bumbu-bumbu yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Bumbu bumbu yang Digunakan Pada Pembuatan Kecap

Gula merah ini dapat memberikan rasa manis, memberikan warna hitam pada kecap, memberikan aroma yang khas, dan mengentalkan kecap (Prabandari, 1995). Bungapekak atau bunga lawang berbentuk bintang dengan biji didalamnya. Aroma spesifik bunga pekak berasal dari -pinene, anethole, methyl chavicol dan anisketon. Ketumbar (Coriandum sativum) digunakan untuk bahan penyedap makanan, sayuran, dan obat-obatan. Ketumbar mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang cukup tinggi dimana didalam ketumbar mengandung pinene, dipentene-cymene, -erpinene, -linalool, geremol dan -borneal (Wahab & Hasanah, 1996). Laos / lengkuas yang digunakan dalam pemasakan kecap adalah bagian rimpangnya. Lengkuas terdapat 2 dua yaitu lengkuas putih dan lengkuas merah. Lengkuas putih banyak dimanfaatkan untuk bumbu penyedap makanan, sedangkan lengkuas merah dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Rimpang lengkuas mengandung resin yang disebut galangol, kaemferida dan galangin yang merupakan kristal berwarna kuning, kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum, serta beberapa senyawa flavonoid. Kayu manis (Cinnamomum zeylanicum) didapat dari kulit kayu pohon yang mengelupas, mengering, dan menggulung. Kayu manis banyak digunakan dalam produk sirup, kue, bumbu penyedap masakan, serta pengolahan buah-buahan. Penambahan bumbu yang digunakan akan mempengaruhi warna dan flavor kecap akhir. Gula jawa digunakan supaya menghasilkan flavor yang lebih baik. Warna kecap yang terbentuk karena adanya reaksi antar asam-asam amino dengan gula reduksi (Kasmidjo, 1990). Komponen aroma dan flavor dalam kecap juga berasal dari komponen nitrogen pendukung yaitu kadaverin, putresin, arginin, histidin, dan amonia. Flavor yang dihasilkan akan baik jika terbentuk senyawa garam dengan asam glutamat. Arginin, histidin, lisin, dan putresin akan menghasilkan flavor yang baik jika membentuk senyawa dengan asam suksinat. Akan tetapi, garam dari tiramin, klorin, asam laktat, format, fosfat, dan asetat akan menghasilkan rasa yang pahit (Tortora et al., 1995).

Cengkeh (Syzygium aromaticum)merupakan tanaman asli Indonesia yang tergolong ke dalam keluarga tanaman Myrtaceae pada ordo Myrtales. Aroma cengkeh yang khas dihasilkan oleh senyawa eugenol, yang merupakan senyawa utama (72-90%) penyusun cengkeh. Eugenol memiliki sifat antiseptik. Selain eugenol, cengkeh juga mengandung senyawa asetil eugenol,beta-caryophyllene, dan vanilin. Terdapat pula kandungan tanin, asam galotanat, metil salisilat (suatu zat penghilang nyeri), asam krategolat, beragam senyawa flavonoid (yaitu eugenin, kaemferol, rhamnetin, dan eugenitin), berbagai senyawa triterpenoid (yaitu asam oleanolat, stigmasterol, dan kampesterol), serta mengandung berbagai senyawa seskuiterpen (Alma et al., 2007). Senyawa eugenol merupakan cairan bening hingga kuning pucat, dengan aroma menyegarkan dan pedas seperti bunga cengkeh kering, memberikan aroma yang khas pada kecap, dimana senyawa ini banyak dibutuhkan oleh berbagai industri pangan (Kardinan, 2005). Dari senyawa eugenol dapat dibuat senyawa vanili sintetis, dimana vanili (C8H8O3) merupakan flavor penting sebagai bahan penyegar, penyedap makanan dan minuman seperti kecap, gula-gula, permen karet, kue, roti, dan es krim. Dalam bidang pengawetan pangan, senyawa vanili dipergunakan sebagai antimikroba dan antioksidan (Wibowo et al., 2002).

Serai (sereh) merupakan rempah yang umum digunakan dalam berbagai makanan Asia. Serai atau biasa disebut juga dengan Sereh sudah sangat familiar karena menjadi salah satu bahan penting yang dipergunakan dalam masak - memasak didapur. Sehingga dapat dikatakan pula sereh sangat berguna dalam pembuatan kecap untuk memberikan aroma sedap pada kecap yang dihasilkan. Sereh adalah gudang nutrisi aromatik penting yang memberikan berbagai manfaat kesehatan. Sereh adalah sumber vitamin penting seperti vitamin A, B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin) B5 (asam pantotenat), B6 (pyridoxine), folat dan vitamin C. Juga menyediakan mineral penting seperti potasium , kalsium, magnesium, fosfor, mangan, tembaga, seng dan besi yang dibutuhkan untuk fungsi tubuh yang sehat. Sereh tidak mengandung kolesterol berbahaya atau lemak. Senyawa aromatik yang terdapat pada sereh antara lain geranial, geranil butirat, lomonen, eugenol dan metileugenol (Suprianto, 2008).

Pala berasal dari kepuIauan rempah-rempah, yaitu Maluku. Aroma pala Indonesia dianggap lebih sedap dari pada aroma pala yang berasal dari Hindia Barat. Semua bagian tanaman pala bersifat aromatik. Lemak pala (fixed oil / nutmeg butter). Biji pala menghasilkan sekitar 24-30% lemak pala. Lemak pala berwarna merah oranye sampai coklat kemerahan dengan konsistensi seperti mentega pada suhu kamar. Kandungan utama lemak pala adalah trimiristin, yaitu trigliserida dari asam oleat dan linoleat, minyak volatil dan resin. Oleoresin pada pala didapat dengan cara ekstraksi biji pala menggunakan pelarut organik, dan terdiri dari minyak pala dan lemak pala. Oleoresin yang diekstrak dengan pelarut nonpolar mempunyai kandungan lemak yanq tinggi, sehingga banyak digunakan sebagai pemberi aroma misalnya pada produk kecap. Pada produk kecap, pala dapat memberikan aroma yang sedap dan memberikan rasa gurih / umami (Susilawati, 1987).

Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Pala per 100 gram BahanKomposisiJumlah

Air6,2 g

Kalori525 kkal

Protein5,8 g

Lemak35,3 g

Karbohidrat49,3 g

Serat4,0 g

Abu2,3 g

Ca184 mg

Fe3 mg

Mg183 mg

F213 mg

Potassium350 mg

Na16 mg

Zn2 mg

Niacin1 mg

Vitamin A102 Iu

(Susilawati, 1987).

Bumbu-bumbu tradisional yang ditambahkan akan memberikan aroma khas pada kecap. Pada proses pemasakan, kecap harus sering diaduk (Santoso, 1994). Proses yang telah dilakukan telah sesuai dengan teori Rahayu et al.(2005) yakni tahap pemasakan kecap meliputi penambahan air ke dalam moromi lalu campuran direbus sampai mendidih dan ditambahkan bumbu-bumbu. Campuran direbus sampai volumenya berkurang setengahnya. Setelah itu, kecap disaring lagi dengan kain saring dan diuji sensori. Tujuan penyaringan kembali untuk memisahkan kecap dari rempah-rempah yang digunakan namun belum larut sehingga didapatkan kecap yang bersih (Santoso, 1994). Proses pemasakan kecap dengan penambahan bumbu-bumbu dapat dilihat pada Gambar 13. Kemudian hasil akhir kecap dapat dilihat di Gambar 14.

Gambar 13. Pemasakan Kecap dengan Bumbu

D1D3 D4D5Gambar 14. Hasil Kecap Kloter D

Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek aroma, dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki aroma yang berbeda-beda, yaitu DI kurang kuat, D2 gagal, D3 kuat, D4 kurang kuat, dan D5 kuat. Hasil tersebut kurang sesuai dengan dasar teori. Karena seharusnya semakin banyak inokulum yang ditambahkan maka aroma yang dihasilkan semakin kurang kuat. Menurut Astawan & Astawan (1991) dan Rahayu et al. (1993) yang menyatakan bahwa jumlah inokulum mempengaruhi kecepatan degradasi protein dan karbohidrat pada kedelai. Semakin banyak jumlah kapang yang ditambahkan, maka semakin cepat proses degradasi protein dan karbohidrat berlangsung. Namun, apabila jumlah kapang yang ditambahkan terlalu banyak, maka flavor kecap yang dihasilkan menjadi kurang baik. Bau spesifik kecap ditentukan oleh jenis bumbu yang digunakan. Selain itu bau juga dipengaruhi oleh pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana oleh enzim dari kapang selama fermentasi koji. Berdasarkan teori Tortora et al. (1995), aroma juga dapat muncul karena reaksi kimiawi yang terjadi pada saat pemanasan yang menghasilkan senyawa nitrogen (kadaverin, putresin, arginine, histidin, dan amonia) yang dapat membentuk senyawa garam dengan asam glutamat sehingga menghasilkan flavor yang enak. Menurut Rahayu et al. (2005), aroma kecap yang dihasilkan akan semakin baik jika proses fermentasi semakin lama. Ketidaksesuaian antara hasil praktikum dengan teori dapat disebabkan oleh keterbatasan indera penciuman praktikan. Selain itu juga dapat disebabkan oleh perbedaan cara memasak yang akan mempengaruhi pembentukan aroma. Faktor yang mempengaruhi pembentukan flavor dan aroma saat reaksi Maillard yakni jenis asam amino dan gula, pH, suhu, waktu, kadar air, aktivitas air, oksigen, medium reaksi, sulfur dioksida, dan fosfat (Wong et al., 2008). Perbedaan penambahan bumbu pada kecap akan menyebabkan aroma yang berbeda pula. Penambahan cengkeh menghasilkan kecap dengan aroma yang kurang kuat. Kecap yang ditambahkan dengan sereh menghasilkan aroma yang sangat kuat. Sedangkan penambahan pala akan menghasilkan kecap dengan karakteristik aroma yang kuat (Guenther, 1948). Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan dasar teori dapat disebabkan oleh oleh perbedaan waktu memasak antar kelompok praktikum mempengaruhi rasa kecap. Jika waktu pemasakan terlalu cepat, maka aroma / flavor tidak akan dihasilkan secara maksimal (Amalia, 2008).

Aroma kecap juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bumbu yang digunakan (Kasmidjo, 1990). Dalam jurnal yang berjudul New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce kecap kedelai mengandung komponen flavor organik seperti alkohol, ester, fenol, asam dan heterocyclics yang membentuk flavor khas dari kecap (Feng et al, 2013). Lalu dalam jurnal yang berjudul Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagon Pea and Soy bean menyatakan bahwa flavor kecap juga dipengaruhi jenis dan jumlah asam amino yang ada pada kecap. Asam amino paling banyak terdapat pada kecap adalah asam amino glutamat (Muangthai et al, 2007).

Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek rasa, dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki rasa yang berbeda-beda. Perbedaan rasa juga disebabkan oleh perbedaan bahan yang digunakan. Kelompok D1-D2 menggunakan cengkeh, kelompok D3-D4 menggunakan sereh, kelompok D5 menggunakan pala. Perbedaan penambahan bumbu pada kecap akan menyebabkan rasa yang berbeda pula. Penambahan cengkeh menghasilkan kecap dengan rasa yang sangat kuat. Kecap yang ditambahkan dengan sereh menghasilkan rasa yang diberikan kurang kuat. Sedangkan penambahan pala akan menghasilkan kecap dengan rasa yang kuat (Guenther, 1948). Menurut Amalia (2008), perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan perbedaan waktu memasak antar kelompok praktikum mempengaruhi rasa kecap. Jika proses pemasakan kecap terlalu lama, maka kecap yang dihasilkan akan terasa pahit. Dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae mengatakan bahwa aktivitas bakteri asam laktat yakni Lactobacillus delbrueckii memproduksi asam-asam organik misalnya asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat. Asam-asam tersebut dapat menyebabkan penurunan pH kecap. Menurunnya pH kecap ini berhubungan dengan pertumbuhan kapang yang penting dalam pembentukan rasa dari kecap (Rahayu et al, 2005).

Menurut Prabandari (1995), gula merah berperan dalam memberikan rasa manis, memberikan warna hitam pada kecap dengan aroma khas, dan mengentalkan kecap. Rasa kecap yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah gula jawa yang ditambahkan. Rahman (1992) mengatakan bahwa berdasarkan rasa dan kekentalannya kecap dibedakan menjadi kecap asin dan kecap manis. Santoso (1994) berpendapat bahwa perbedaan antara kecap asin dan kecap manis yakni jumlah gula yang ditambahkan. Penambahan gula jawa menurut Kasmidjo (1990) bertujuan untuk memberikan rasa manis, warna coklat karamel, dan viskositas atau kekentalan pada kecap. Warna coklat caramel yang terbentuk berasal dari reaksi Maillard antara gula pereduksi dengan asam-asam amino dari kedelai. Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek warna, dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki rasa yang berbeda-beda. Namun tetap berwarna coklat kehitaman. Hal ini sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1991) bahwa warna coklat kehitaman pada kecap dikarenakan reaksi browning antara gula pereduksi dengan asam amino. Gula jawa berperan dalam pembentukan warna dalam pembuatan kecap karena reaksi Maillard dan karamelisasi. Menurut Kasmidjo (1990), warna coklat pada kecap akan semakin pekat jika kecap dimasak dengan suhu tinggi. Warna kecap yang dihasilkan pada kelompok D1 adalah kurang hitam, D2 gagal, D3 kurang hitam, D4 hitam, D5 kurang hitam. Hal ini menunjukan bahwa warna kecap kelompok D4 sesuai dengan selera konsumen (paling disukai). Hal ini didukung oleh teori Rahayu et al.(2005) bahwa warna kecap yang paling disukai adalah warna gelap mendekati kehitaman. Menurut Kasmidjo (1990), penambahan gula jawa akan mempengaruhi warna kecap yang dihasilkan karena gula dapat membentuk warna coklat karamel karena adanya reaksi antara gulapereduksi dengan asam-asam amino dari kedelai. Apabila proses pemasakan lebih lama akan dihasilkan kecap yang lebih kental sehingga warna kecap yang dihasilkan juga akan semakin hitam kecoklatan. Menurut Yeong Wu et al. (2010) dalam jurnal yang berjudul Effect Of Temperature On Moromi Fermentation Of Soy Sauce With Intermittent Aeration, suhu fermentasi dapat mempengaruhi warna yang dihasilkan dimana pada suhu 45oC menghasilkan warna kecap yang lebih coklat terutama pada proses fermentasi di dalam larutan garam pada hari ke-1.

Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek kekentalan, dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki kekentalan yang hampir sama yakni kental sampai sangat kental. Kecuali untuk kelompok D2, hasil kecapnya gagal. Hasil tersebut sudah dengan pernyataan dari Kasmidjo (1990), bahwa seharusnya penambahan gula jawa akan meningkatkan viskositas / kekentalan kecap. Gula yang ditambahkan pada pemasakan kecap sudah cukup untuk mengentalkan kecap. Dalam jurnal yang berjudul Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans menyatakan bahwa jumlah inokulum mempengaruhi kekentalan kecap. Semakin banyak inokulum yang digunakan, maka kecap akan semakin kental (Lim et al., 2009).

Menurut Yanfang & Wanyi (2009), selama proses fermentasi pembuatan kecap, kedelai menghasilkan asam amino yang memiliki perbedaan sifat yakni manis, asin, pahit, dan umami. Dengan proses fermentasi, kecap akan menghasilkan 82 komponen volatil walau tidak dapat diketahui secara jelas pada hasil akhir kecap. Penambahan bumbu-bumbu yang digunakan selama proses pemasakan menggunakan takaran yang hampir sama, namun sifat dan kandungan dari bahan pada setiap kelompok berbeda, misalnya tingkat kesegaran dari bahan yang digunakan. Penambahan ragi/inokulum komersial untuk tempe menggunakan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 0,5%, 0,75%, dan 1%. Tidak hanya itu, bahan utamanyapun juga berbeda yakni ada yang menggunakan kedelai putih dan kedelai hitam. Semakin tinggi konsentrasi ragi maka proses fermentasi akan semakin cepat. Jika konsentrasi yang ditambahkan terlalu sedikit atau terlalu banyak akan menjadi tidak optimal, yang akan menghasilkan kecap dengan kualitas yang kurang baik. Jumlah konsentrasi ragi yang ditambahkan akan berpengaruh pada senyawa-senyawa pada kecap seperti jumlah etanol dan asam laktat. Semakin banyak ragi yang ditambahkan, maka semakin banyak dan cepat etanol yang akan dihasilkan (Masashi, 2006).

Kegagalan yang dialami oleh kelompok D2 disebabkan oleh beberapa faktor. Sumague et al.(2008) menambahkan bahwa kontaminasi pada kecap disebabkan oleh Bacillaceae. Bakteri dalam kelompok ini dapat mengkontaminasi bahan ketika fermentasi koji maupun moromi. Bacillaceae bersifat halofilikatau bakteri yang tahan pada konsentrasi garam yang tinggi. Penggunaan garam yang dilakukan dalam praktikum sudah cukup menghambat pertumbuhan bakteri ini. Selain itu juga dapat disebabkan oleh perlakuan yang tidak aseptis saat melakukan inokulasi. Perlakuan secara aseptis untuk menghindari adanya kontaminasi lagi oleh mikroba kontaminan, sekaligus mencegah infeksi bakteri merugikan. Karena dengan menerapkan teknik aseptik maka organisme yang akan tumbuh dalam biakan hasil pemindahan hanya organisme yang diinginkan sehingga tidak terjadi terkontaminasi (Hadioetomo, 1993). Kemudian bisa juga karena proses perebusan yang terlalu lama, sehingga tekstur kedelai menjadi hancur dan tidak dapat diolah (Tortora et al.,1995).

Menurut Masashi (2006), konsentrasi ragi yang digunakan menentukan komponen kecap, yakni asam laktat dan etanol. Apabila konsentrasinya semakin tinggi, fermentasi akan semakin cepat. Sehingga etanol dan asam laktat semakin tinggi jumlahnya. Jika ragi yang ditambahkan berlebihan, dapat mempengaruhi sifat sensoris kurang baik karena asam laktat dan kadar etanol tinggi. Saat praktikum pengaruh inokulum ini terlihat pada aroma, sedangkan pada sifat sensorinya pengaruhnya tidak begitu menonjol. Hasil ini dapat disebabkan oleh adanya proses pemasakan dengan bumbu seperti rempah-rempah dan gula jawa yang memberikan sifat sensori yang lebih baik daripada sebelum dimasak.

Menurut Astawan & Astawan (1991), fermentasi moromi dilakukan selama 2-4 minggu. Apabila terlalu cepat, komponen pembentuk flavor belum terbentuk dengan baik. Fermentasi padat dengan menggunakan kapang (koji) dilakukan selama 3-5 hari. Sedangkan fermentasi cair dengan garam (moromi) dilakukan selama 14-28 hari. Hal ini diungkapkan oleh Purwoko & Handjajani (2007) di jurnal Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus.

Menurut Purwoko & Handjajani (2007), produksi kecap dapat menggunakan bumbu yang sederhana yaitu gula, jahe, lengkuas dan juga kayu manis atau dengan bumbu lengkap yakni kunyit, kemiri, bawang putih, ketumbar dan bumbu-bumbu sederhana. Tiap bumbu memiliki fungsi masing-masing dimana laos dan bunga pekak memberikan fungsi penyedap, ketumbar dan kayu manis kontributor aroma. Bunga pekak juga memberi aroma dan flavor khas. Mutu kecap manis yang sesuai standar memiliki protein minimal 6%, nitrogen 1-1,65% (45% peptida sederhana serta 45% asam amino), 17-19% NaCl, dan etanol 2-2,5%. Jika kecap manis dimasak tidak menggunakan bumbu dan fermentasi dengan garam memiliki protein lebih tinggi dibanding dengan bumbu dan moromi.4. 5. KESIMPULAN

Kecap yakni produk fermentasi dengan substrat padat kedelai. Ciri fisik kecap yaknicair , kental, berwarna coklat kehitaman dan bercita rasa yang khas. Tujuan perendaman kedelai untuk melunakkan dan mempermudah melepas kulit ari. Tujuan proses pengeringan dengan dehumidifier untuk menurunkan kadar air pada kedelai sehingga kapang yang masih hidup akan dihambat pertumbuhannya akibat sedikitnya kandungan air pada kedelai. Tujuan perendaman dengan garam untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahap fermentasi kapang. Tujuan proses penjemuran dan pengadukan untuk memberikan aerasi pada larutan garam dan untuk menghomogenkan larutan. Tujuan proses penyaringan supaya kecap yang dihasilkan bebas dari kotoran kontaminan. Gula jawa berfungsi untuk menciptakan flavor yang spesifik pada kecap dan meningkatkan viskositas kecap, untuk membentuk warna kecap menjadi coklat karamel melalui reaksi Maillard dan karamelisasi. Semakin banyak jumlah kapang yang ditambahkan, maka proses degradasi protein dan karbohidrat berjalan semakin cepat. Warna coklat pada kecap akan semakin pekat bila kecap dimasak dengan suhu tinggi dan penggunaan gula jawa dalam jumlah banyak. Semakin banyak inokulum yang digunakan, maka kecap akan semakin kental.

Semarang, 26 Juni 2015Asisten Dosen: Abigail Sharon Frisca Melia

Vina Anyerina12.70.00466. 7. DAFTAR PUSTAKA

Alma, M.H., M. Ertas, S. Nitz and H. Kollmannsberger. 2007. Chemical composition and content of essential oil from the bud of cultivated Turkish clove (Syzygium aromaticum L.). Bio Resources 2(2) : 265-269.

Amalia, T. 2008. Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta. Feng, J.; Xiao-Bei, Z.; Zhi-Yong, Z.; Dong, W.; Li-Min, Z.; and Chi-Chung L. 2013. New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3: 292305.

Guenther, Ernest. 1948. The Essential Oil Vol. 4 (Minyak Atsiri, terjemahan Ketaren, pokok bahasan: Sereh Dapur). Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hadioetomo, R. S. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Hardjo, S. 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Judoamidjojo, R.M. 1987. The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of Agriculture, Japan.

Kardinan, A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Agromedia Pustaka, Jakarta. 74 hlm.

Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lim, J. Y.; Kim, J.J.;. Lee, D.S.; Kim, G.H.; Shim, J.Y.; Lee, I. and Imm, J.Y. 2009. Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans. Food Chemistry.

Mao, Chunqi., Guoqing He, Xinyong Du, Meilin Cui and Shiyang Gao. 2013. Biochemical Changes in the Fermentation of the Soy Sauce Prepared with Bittern. Advance Journal of Food Science and Technology 5(2): 144-147, 2013 ISSN: 2042-4868; e-ISSN: 2042-7876. Masashi, Kasuga. 2006. Method of Brewing Soy Sauce. Diakses di http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html

Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2

Peppler, H. J. & Perlman, D. 1979. Microbial Technology : Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Prabandari, Ending. 1995. Cara Membuat Kecap . Semarang : Balai Pustaka

Purwoko, Tjahjadi; Noor S.H. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R.oligosporus. Biodiversitas 8(2):223-227.

Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. 2005. Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi 2(1): 14-20.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Sumague, M. J. V.; Reynaldo C. Mabesa; Erlinda I. Dizon; Ernesto V. Carpio; and Ninfa P. Roxas. 2008. Predisposing Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans. Philippine Journal of Science 137 (2): 105-114.

Suprianto. 2008. Potensi Ekstrak Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L.) sebagai Anti Streptococcus mutans. Program Studi Biokimia FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Susilawati, E. 1987.Pengaruh Penambahan Bubuk Biji Pala(Myristicafraqranshoutt.)Terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Penyebab Kerusakan Makanan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Wibowo, W., W.P. Suwarso, T. Utari dan H. Purwaningsih. 2002. Aplikasi reaksi katalisis heterogen untuk pembuatan vanili sintetik (3-hidroksi-2-metoksibenzaldhida) dari eugenol (4-allil-2-metoksifenol) minyak cengkeh. Makara Sains 6(3) : 142148.

Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wahab, I. dan M., Hasanah. 1996. Perkembangan penelitian aspek perbenihan tanaman ketumbar (Coriandrum sativum Linn). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol XV(1) 1-5.

Wong, Kam Huey; Suraini A.A; Suhaila M. 2008. Sensory Aroma from Maillard Reaction of Individual and Combinations of Amino Acids with Glucose in Acidic Conditions. International Journal of Food Science and Technology 43:1512-1519.

Wu, Ta Yeong; Mun Seng Kan; Lee Fong Siow; dan Lithnes Kalaivani Palniandy. 2009. Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce With Intermittent Aeration. African Journal of Biotechnology 9(5):702-706.

Wu, Ta Yeong; M.S. Kan; L.F. Siow; dan Lithnes Kalaivani P. 2010. Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce. African Journal of Biotechnoloy Vol. 8(4), pp. 673 681.

Yanfang, Zhang & Tao Wenyi. 2009. Flavor and Taste Compounds Analysis in Chinese Solid Fermented Soy Sauce. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673-681, 18 February, 2009. ISSN 16845315

8. 9. LAMPIRAN

9.1. Laporan Sementara9.2. Abstrak Jurnal