FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:Nama : Veronika Kris Hapsari NIM :
12.70.0059Kelompok : E1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI
PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
hasil pengamatanHasil pengamatan Fermentasi Substrat Padat
Fermentasi Kecap dapat dilihat Tabel 1.Tabel 1. Hasil pengamatan
Fermentasi Substrat Padat Fermentasi KecapKelompokBahan dan
PerlakuanAromaRasaWarnaKekentalan
E1Kedelai hitam + 0,5% inokulum++++++
E2Kedelai putih + 0,75% inokulum+++++++++
E3Kedelai hitam + 0,75% inokulum+++++++
E4Kedelai putih + 1% inokulum++++++++
E5Kedelai hitam + 1% inokulum++++++++
Keterangan:Aroma+: kurang kuat++: kuat+++: sangat kuat
Kekentalan+: kurang kental++: kental+++: sangat kental
Rasa+: kurang kuat++: kuat+++: sangat kuat
Warna+: kurang hitam++: hitam+++: sangat hitam
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok E1 sampai E5
menggunakan jenis kedelai dan jumlah inokulum yang berbeda-beda.
Kecap yang dihasilkan kelompok E1 dengan bahan kedelai hitam dengan
perlakuan 0,5% inokulum memiliki aroma kurang kuat, rasa kuat,
warna hitam, dan kurang kental. Kecap kelompok E2 menggunakan bahan
kedelai putih dengan perlakuan 0,75% inokulum memiliki aroma sangat
kuat, rasa kuat, warna hitam, dan kental. Kecap yang dihasilkan
kelompok E3 yang menggunakan bahan kedelai hitam dengan perlakuan
0,75% inokulum menghasilkan aroma kecap yang kurang kuat, rasa
sangat kuat, warna kurang hitam, dan kental. Kecap yang dihasilkan
kelompok E4 dengan bahan kedelai putih dengan perlakuan 1% inokulum
memiliki aroma sangat kuat, rasa kurang kuat, warna kurang hitam,
dan sangat kental. Sedangkan kecap kelompok E5 menggunakan bahan
kedelai hitam dengan perlakuan !% inokulum memiliki aroma kuat,
rasa sangat kuat, warna hitam, dan kurang kental.
pembahasan Pada praktikum ini dilakukan pembuatan kecap. Menurut
Astawan & Astawan (1991), kecap adalah saus yang dibuat dari
kedelai, memiliki konsistensi cair, beraroma daging, dan berwarna
coklat kehitaman. Penggunaan kecap umumnya ditambahkan ke dalam
masakan yang bertujuan untuk memperkuat dari rasa dan penambah
flavor dari masakan tersebut. Mutu dari kecap dipengaruhi oleh
beberapa hal. Kecap di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu kecap
manis dan kecap asin yang dibedakan berdasarkan rasa dan
kekentalannya. Mutu kualitas kecap dipengaruhi oleh, jenis kedelai
yang digunakan, lamanya fermentasi yang dilakukan dalam larutan
garam, kemurnian dari biakan kapang, jenis mikroorganisme yang
digunakan, dan proses pengolahan untuk membuat kecap tersebut.
Ditambahkan pula teori dari Setiawati (2008), kecap adalah produk
yang dibuat dengan cara fermentasi. Kecap memiliki tekstur cair
(asin), berwarna coklat kehitaman, dan memiliki aroma yang khas.
Bahan bakunya adalah kedelai hitam.
Untuk membuat kecap, dilakukan dengan tiga cara, yaitu,
hidrolisis asam, fermentasi, dan kombinasi dari fermentasi dan
hidrolisis asam. Apabila dibandingkan dari proses pembuatannya,
kecap yang dibuat dengan cara fermentasi akan memiliki rasa dan
aroma yang lebih baik dari kecap yang dibuat dari hidrolisis asam.
Pembuatan kecap di Indonesia, rata-rata menggunakan proses secara
tradisional yaitu dengan cara membiarkan kapang tumbuh secara
sponstan. Hal ini menyebabkan kecap yang dihasilkan akan memiliki
mutu yang berbeda (Septiani et al., 2004). Kecap organik diproduksi
dari bahan baku kedelai hitam organik, gula kelapa organik, garam,
rempah-rempah tanpa bahan pengawet dan bahan pengental selama
proses fermentasi (Setiawati, 2008). Fermentasi kecap termasuk
proses yang rumit, karena berkaitan dengan sakarifikasi pati,
degradasi gula, fermentasi alkohol, proteolisis, pembentukan aroma,
reaksi maillard, dan reaksi asam pantotenat. Enzim dari proses
fermentasi kecap akan dibutuhkan untuk menghidrolisis protein dan
pati, membentuk zat seperti asam amino dan gula (Mao et al.,
2013).
Jenis kecap yang dibuat pada praktikum ini adalah jenis kecap
manis. Bahan dasar dalam pembuatan kecap adalah kedelai hitam dan
kedelai putih. Menurut Astawan & Astawan (1991), kedelai putih
atau kedelai hitam adalah bahan dasar untuk membuat kecap. Teori
ini didukung oleh Kasmidjo (1990), yang mengatakan bahwa untuk
membuat kecap digunakan bahan utama kedelai hitam atau dapat pula
kedelai kuning, bentuk kedelai yang digunakan harus utuh, hancur
atau sudah hilang lemaknya. Kedelai menjadi pilihan untuk membuat
kecap dikarenakan kandungan protein yang terdapat pada kedelai
sekitar 40%, dimana kandungan tersebut tertinggi dibandingkan
dengan kacang-kacangan lain. Komposisi nutrisi kedelai hitam kering
adalah protein 420 mg/g, lemak 224 mg/g, karbohidrat 340 mg/g,
kalsium 6 mg/g, fosfor 5 mg/g, dan besi 0,1 mg/g.
Kedelai hitam Kedelai putih
Proses pembuatan kecap dengan fermentasi terdiri dari 2 tahap,
yaitu fermentasi padat / fermentasi koji dan fermentasi cair /
fermentasi moromi. Fermentasi moroni dilakukan di ruangan terbuka
yang terpapar sinar matahari (Astuti, 2014). Tahap koji sangat
penting karena tahap ini dilakukan fermentasi secara tradisional.
Mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi koji adalah
Aspergillus oryzae yang berguna untuk mencerna substrat dari
kedelai hitam. Melalui proses ini, kedelai yang memiliki kandungan
karbohirat dan protein dipecah oleh enzim amilase dan protease
(C.Chuenjit et al, 2012). Mula-mula bahan utama yang digunakan baik
kedelai hitam maupun kedelai putih sebanyak 250 gram yang masih
memiliki kulit ari direndam selama 12 jam hingga seluruh bagian
dari kedelai terendam semua. Setelah kedelai mekar, kedelai dicuci,
dan ditiriskan hingga kering. Menurut Kasmidjo (1990) tujuan dari
perendaman ini adalah membantu memudahkan kedalai menyerap air
sehingga memudahkan untuk menghilangkan kulit air yang masih
terdapat pada kedelai tersebut. Selama proses perendaman, kedelai
akan mengeluarkan faktor yang nantinya akan menghambat proses
pertumbuhan jamur, faktor yang menghambat ini akan dihilangkan
dengan cara dilarutkan dalam air rendaman. Dengan adanya proses
perendaman ini nantinya kedelai yang direbus akan membutuhkan waktu
lebih singkat karena telah memiliki tekstur yang lunak sebelumnya
dan telah menyerap air yang cukup banyak. Sedangkan pencucian
bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat
pada biji kedelai selama perendamanan.
Setelah itu, kedelai direbus hingga matang selama kurang lebih
10 menit kemudian ditiriskan hingga kering dengan cara di angin
anginkan diatas daun pisang. Menurut Peppler & Perlman (1979),
tujuan dari perebusan ini adalah untuk melunakan kedelai, merusak
protein inhibitor, menginaktifkan zat-zat antinutrisi dan
menghilangkan bau langu serta membunuh bakteri yang ada di
permukaan kedelai. Dengan kondisi kedelai yang lunak dan mengandung
sedikit bakteri akan memudahkan pertumbuhan kapang pada tahap
fermentasi koji. Hal ini juga sesuai dengan teori dari Atlas
(1984), dengan adanya kondisi yang agak lembat dari air yang
terserap dalam kedelai akan mumudahkan jamur tumbuh dipermukaan
kedelai. Sedangkan tujuan dari penirisan kedelai adalah untuk
menurunkan suhu kedelai. Menurut Santosa (1994), suhu kedelai
diturunkan setelah proses perebusan. Apabila suhu kedelai masih
panas akan menghambat pertumbuhan kapang sebab suhu tinggi akan
menyebabkan kapang tersebut mati. Selain untuk mendinginkan suhu
kedelai, penirisan juga berfungsi untuk mengurangi kandungan air
pada biji kedelai. Dengan kandungan air yang tinggi akan
menyebabkan kontaminasi oleh bakteri pembusuk (Bacillus subtilis)
yang ditandai timbulnya lendir di permukaan biji.
Proses perebusan dan penirisan kedelai hitam dan kedelai
putihKedelai kemudian diletakkan dalam besek yang telah dialasi
daun pisang, setelah itu ditambahkan inokulum komersial untuk
membuat tempe untuk masuk ke tahap fermentasi koji. Penambahan
inokulum dilakukan dengan 3 perlakuan yang berbeda yaitu 0,5%
inokulum komersial (kelompok E1), 0,75% inokulum komersial
(kelompok E2 dan E3), dan 1% inokulum komersial (kelompok E4 dan
E5). Setelah diinokulasi, besek ditutup dan diinkubasi selama 3
hari. Penambahan inokulum komersial untuk pembuatan tempe sudah
sesuai dengan teori dari Rahman (1992), beberapa industri kecap
skala kecil di Indonesia biasa digunakan ragi tempe sebagai
inokulum. Inokulum tempe komersial mengandung Rhizopus oryzae dan
Rhizopus oligosporus dengan perbandingan 1:2. Penambahan inokulum
tersebut bertujuan untuk menghasilkan asam-asam organik (asam
asetat, asam laktat, asam suksinat dan asam fosfat) yang berperan
dalam pembentukan citarasa, warna dan umur simpan Lamanya proses
inkubasi juga telah sesuai dengan teori dari Purwoko &
Handajani (2007) yaitu fermentasi padat memerlukan waktu selama 3-5
hari. Lamanya waktu inkubasi ini juga harus tepat, tidak boleh
terlalu lama dan tidak boleh terlalu singkat. Menurut Astawan &
Astawan (1991), apabila fermentasi kapang dilakukan terlalu singkat
maka tidak akan ada reaksi penting dari enzim yang dihasilkan oleh
kapang. Sebaliknya apabila dilakukan terlalu lama maka dihasilkan
enzim yang terlalu banyak dan mempengaruhi rasa yang
dihasilkan.
Proses penambahan inokulum
Selama proses fermentasi koji, enzim akan memecah substrat
kemudian diubah menjadi senyawa-senyawa terlarut. Enzim yang
terdapat pada kapang yaitu amilase, invertase, protease (protease
netral, protease asam, dan protease alkali), aminopeptidase,
karboksi peptidase dan glutaminase. Enzim protease menghidrolisis
protein kompleks yang tidak larut menjadi polipeptida dan
oligopeptida, kemudian dapat menghidrolisis polipeptida dan
oligopeptida menjadi asam-asam amino. (Tortora et al., 1995). Dari
hasil fermentasi koji menunjukkan kedelai semua kelompok berhasil
ditumbuhi jamur tempe baik kedelai hitam maupun kedelai putih.
Menurut (Peppler & Perlman, 1979), tahap fermentasi koji
berhasil jika pada permukaan kedelai ditumbuhi jamur tempe. Setelah
itu, kedelai yang telah berjamur dipotong kecil-kecil dan
dikeringkan dengan dehumifier selama 2-4 jam. Pengeringan ini
bertujuan untuk memudahkan penghilangan kapang yang melekat pada
substrat, menurunkan kadar air, dan mematikan mikroorganisme yang
masih terdapat pada substrat (Rahayu et al, 1993).
Hasil fermentasi koji kelompok E1 sampai E5
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa kelompok E4 dan E5
menggunakan ragi tempe paling banyak yaitu sebesar 1%. Sehingga
dihasilkan fermentasi koji yang paling bagus. Menurut Masashi
(2006), semakin tinggi konsentrasi ragi, maka proses fermentasi
akan berjalan lebih cepat. Akan tetapi, bila konsentrasi yang
ditambahkan ke dalamnya tidak optimal maka kecap yang dihasilkan
akan kurang baik.
Proses pemotongan kedelai yang telah berjamur dan kedelai yang
telah dikeringkan
Tahap selanjutnya setelah tahap koji adalah fermentasi dengan
larutan garam atau tahap moromi. Fermentasi moromi dilakukan dengan
cara kedelai yang sudah kering dimasukkan ke dalam toples plastik.
Kemudian ditambahkan larutan garam 20% dan direndam selama 1 minggu
(setiap hari dijemur dan diaduk). Proses perendaman dengan larutan
garam ini sudah sesuai dengan teori dari Septiani et al (2004),
fermentasi moromi biasanya dilakukan dengan perendaman menggunakan
larutan garam 20%. Penggunaan larutan garam ini bertujuan sebagai
bahan pengawet. Hal ini disebabkan garam yang tinggi akan berperan
untuk melindungi kedelai dari cemaran serangga, lalat, dan
pembusukan oleh bakteri. Hal serupa juga diungkapkan oleh Tortora
et al. (1995), proses perendaman berfungsi untuk ekstraksi senyawa
sederhana hasil hidrolisis yang diperoleh dari tahapan fermentasi
jamur. Ketika dilakukan perendaman larutan garam, akan tumbuh
bakteri halofilik yang perannya untuk membentuk flavor. Sedangkan
tujuan dari pengadukan adalah membuat larutan garam dapat homogen
dan menyentuk seluruh substrat. Selain itu, untk memberikan udara
yang dapat merangsang pertumbuhan khamir dan bakteri.
Proses perendaman kedelai kering dalam larutan garam
Setelah 1 minggu, kedelai dipres dan disaring menggunakan kain
saring. Filtrat yang diperoleh kemudian diambil sebanyak 250 ml dan
dicampur dengan 750 ml air lalu dimasak sampai agak mendidih.
Setelah itu, dimasukkan gula jawa 1 kg, dan ditambah bumbu atau
rempah-rempah berupa kayu manis 20 gram, ketumbar 3 gram, laos 1
jentik yang sudah digeprek, dan bunga pekak 1 biji, serta bahan
lain. Kemudain di panaskan sampai mengental. Bahan lain yang
ditambahkan untuk tiap kelompok berbeda-beda. Untuk kelompok E1 dan
E2 ditambahkan cengkeh 1 gram, kelompok E3 dan E4 ditambah daun
sereh 1 buah lalu digeprek dan diikat, dan untuk kelompok E5
ditambahkan pala 1 buah. Apabila dilihat dari bumbu yang digunakan
cukup bervariasi. Tetapi ada bahan utama yang digunakan yaitu gula
jawa atau gula kelapa. Gula kelapa digunakan karena kecap yang
dihasilkan pada praktikum ini termasuk jenis kecap manis.
Penggunaan gula kelapa sudah sesuai dengan teori dari Santosa
(1994), dengan penambahan gula kelapa pada proses pembuatan kecap
akan menghasilkan flavor spesifik kecap dan membentuk warna coklat
caramel serta viskositas dari kecap meningkat. Selama proses
fermentasi moromi, terjadi perubahan warna menjadi coklat kecap
yang dihasilkan dari adanya reaksi antar asam-asam amino dengan
gula pereduksi.
Proses penambahan bumbu dan pemasakan kecap
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa aroma sangat kuat
dihasilkan dari kecap yang dibuat menggunakan kedelai putih dengan
jumlah inokulum 0,75% dan 1%, sedangkan aroma kurang kuat
dihasilkan dari kecap yang dibuat dari kedelai hitam dengan jumlah
inokulum 0,5% dan 0,75%. Aroma yang dihasilkan dari kecap
dipengaruhi oleh beberapa faktor, contohnya jenis dan junlah bumbu
yang digunakan Astawan & Astawan (1991). Aroma kecap yang
dihasilkan juga dipengaruhi oleh jumlah ragi tempe yang
ditambahkan. Kecap yang dihasilkan dari penggunaan ragi tempe 0,75%
dan 1% menghasilkan aroma yang lebih kuat dibandingkan kecap yang
dihasilkan dari penggunaan ragi tempe 0,5%. Menurut Apriyantono
& Gono (2004), semakin banyak jumlah ragi tempe yang digunakan
maka menghasilkan aroma yang semakin kuat pula. Hal ini dikarenakan
dihasilkan komponen yang bersifat volatil semakin banyak. Aroma
kecap timbul dari reaksi kimia selama pemanasan. Menurut Tortora et
al., (1995), reaksi kimiawi selama pemanasan menghasilkan komponen
seperti kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia. Semua
komponen ini apabila membentuk senyawa garam dengan asam glutamat
akan menghasilkan aroma yang enak. Ditambahkan pula oleh jurnal
dari Rahayu., et al (2005), aroma kecap yang dihasilkan dipengaruhi
lama fermentasi. Semakin lama proses fermentasi maka aroma yang
dihasilkan semakin baik.
Dari segi parameter rasa dapat dilihat bahwa kecap yang memiliki
rasa sangat kuat dihasilkan dari kecap yang dibuat menggunakan
kedelai hitam dengan jumlah inokulum 0,75% dan 1%, sedangkan rasa
kurang kuat dihasilkan dari kecap yang dibuat dari kedelai putih
dengan jumlah inokulum 1%. Menurut Septiani et al, (2004), komponen
yang menyebabkan rasa sedap kecap adalah asam laktat, asam glutamat
dan asam suksinat yang dipengaruhi oleh protein dan lemak. Namun
dari ketiga jenis asam tersebut, asam glutamat lah yang paling
banyak berkontribusi terhadap rasa kecap. Semakin banyak jumlah
inokulum yang digunakan menyebabkan rasa kecap semakin kurang kuat.
Hal ini karenakan semakin banyak protein kedelai yang diubah oleh
kapang. Karena telah disebutkan sebelumnya bahwa pembentukan rasa
kecap dipengaruhi oleh protein dan lemak.
Hasil akhir kecap kelompok E1 sampai E5
Dari segi parameter warna dapat dilihat bahwa kecap yang
memiliki warna hitam dihasilkan dari penggunaan kedelai hitam,
sedangkan warna kurang hitam dihasilkan dari penggunaan kedelai
putih. Hal ini disebakan karena jenis kedelai mempengaruhi warna
kecap yang dihasilkan. Kedelai hitam akan menghasilkan warna yang
lebih hitam. Selain itu, warna kecap juga disebabkan oleh reaksi
Maillard atau browning non enzimatis. (Kasmidjo, 1990). Menurut
Dedin (2006), reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara
gugus asam amino dari suatu asam amino bebas dengan karbohidrat.
Reaksi ini terjadi apabila keduanya dipanaskan atau tersimpan dalam
waktu yang lama. Sedangkan reaksi pencoklatan non enzimatis
berkontribusi terhadap pembentukan warna dan flavor. Ditambahkan
pula oleh jurnal dari Rahayu., et al (2005), warna yang dihasilkan
dari proses pembuatan kecap berasal dari reaksi browning antara
asam amino dengan gula reduksi. Penambahan gula kelapa menyebabkan
warna coklat karamel dan viskositasnya naik. Kriteria warna yang
paling disukai konsumen adalah berwarna gelap mendekati
kehitaman.
Dari segi parameter kekentalan, dapat dilihat bahwa kecap sangat
kental dihasilkan dari penggunaan kedelai putih dengan jumlah
inokulum 1%, sedangkan kecap kurang kental dihasilkan dari
penggunaan kedelai hitam dengan jumlah inokulum 0,5% dan 1%.
Perbedaan kekentalan kecap yang dihasilkan disebabkan oleh
penggunaan gula kelapa yang meningkatkan viskositas dan penggunaan
api ketika proses pemasakan. Menurut Kasmidjo (1990), apabila api
yang digunakan pada saat pemasakan kecap besar maka kekentalan
kecal akan cepat terbentuk. hal ini disebabkan karena proses
karamelisasi antara gula dan gugus asam amino akan lebih cepat
terbentuk.
kesimpulan
Kecap adalah saus yang dibuat dari kedelai, memiliki konsistensi
cair, beraroma daging, dan berwarna coklat kehitaman. Untuk membuat
kecap, dilakukan dengan tiga cara, yaitu, hidrolisis asam,
fermentasi, dan kombinasi dari fermentasi dan hidrolisis asam.
Proses pembuatan kecap yaitu fermentasi padat (fermentasi koji) dan
fermentasi cair (fermentasi moromi). Perendaman dan perebusan
kedelai berfungsi untuk melunakan tekstur kedelai. Fermentasi koji
menggunakan inokulum komersial tempe. Tujuan dari penirisan kedelai
adalah untuk menurunkan suhu kedelai. Tahap fermentasi koji
berhasil jika pada permukaan kedelai ditumbuhi jamur tempe. Proses
perendaman air garam berfungsi untuk ekstraksi senyawa sederhana
hasil hidrolisis yang diperoleh dari tahapan fermentasi jamur
Penambahan gula kelapa dan bumbu pada proses pembuatan kecap akan
menghasilkan flavor spesifik kecap dan membentuk warna coklat
caramel serta viskositas dari kecap meningkat. Komponen yang
menyebabkan rasa sedap kecap adalah asam laktat, asam glutamat dan
asam suksinat yang dipengaruhi oleh protein dan lemak. Warna kecap
juga disebabkan oleh reaksi maillard atau browning non
enzimatis.
Semarang, 9 Juli 2015 Praktikan, Asisten Dosen,
Veronika Kris Hapsari- Frisca Melia 12.70.0059- Abigail
Sharondaftar pustaka
Apriyantono, Anton & Yulianawati, Gono Dewi. (2004).
Perubahan Komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan Vol XV No 2 hal 100-112.
Astawan, M & Astawan.W.M. (1991). Teknologi Pengolahan
Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.
Astuti, Beti Cahyani. (2014). Pengaruh Perbedaan Suhu Fermentasi
Moromi Terhadap Sifat Kimia Dan Mikroflora Moromi Kecap Koro Pedang
(Canavalia ensiformis L.). Jurnal Teknologi Pertanian
9(1):8-15.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application.
Collier Mcmillan Inc. New York.
Chuenjit C. (2012). Enzyme Production and Growth of Aspergillus
oryzae S on Soybean Koji Fermentation. Elsevier B.V. Taiwan.
Dedin, FR, Dedi Fardiaz, Anton Apriyantono, dan Nuri Andarwulan.
(2006). Isolasi dan Karakteristik Melanoidin Kecap Kecap dan
Peranannya Sebagai Antioksidan. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan Vol XVIII (3).
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: mikrobiologi dan Biokimia
Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Mao C., Guoqing He, Xinyong Du, Meilin C. and Shiyang G. (2013).
Biochemical Changes in the Fermentation of the Soy Sauce Prepared
with Bittern. Advance Journal of Food Science and Technology 5(2):
144-147, 2013 ISSN: 2042-4868; e-ISSN: 2042-7876.
Masashi, Kasuga. (2006). Method of Brewing Soy Sauce. Diakses di
http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.htmlPeppler,
H. J. & D. Perlman. (1979). Microbial Technology, fermentation
Technology. Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, Tjahjadi & Handajani, Noor Soesanti. (2007).
Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil
Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Biodiversitas Volume
8, Nomor 2 , halaman: 223-227.
Rahayu, Anny ; Suranto, dan T. Purwoko. (2005). Analisis
Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung
(Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae.
Bioteknologi 2 (1): 14-20.
Rahayu, E. S.; Utami, E. Haryati. (1993). Bahan Pangan Hasil
Fermentasi. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta.
Rahman,A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.
Santosa, H.B. (1994). Kecap dan Tauco Kedelai. Kanisius.
Yogyakarta.
Septiani, Yona; Tjahjadi Purwoko; Artini Pangastuti. (2004).
Kadar Karbohidrat, Lemak, dan Protein pada Kecap dari Tempe.
Bioteknologi 1 (2) hal 48-53.
Setiawati, B.B. (2008). Penentuan Komponen Kualitas Dan Bahan
Baku Optimal Produk Kecap Organik Berbasis Off Line Quality
Control. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Volume 4, Nomor 1.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology.
The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
lampiranLaporan SementaraJurnal