1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco Kloter DHasil
pengamatan lapisan lapisan nata de coco yang dilakukan oleh kloter
D pada praktikum fermentasi susbstrat cair nata de coco dapat
dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco Kloter
DKelTinggimediaawal (cm)Ketebalan (cm)Presentase Lapisan (%)
H0H7H14H0H7H14
D1200,50,702535
D21,200,50,6041,6750
D31,300,40,5030,7738,46
D4100,40,504050
D52,500,40,602424
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat hasil ketebalan (cm) dan
persentase lapisan nata de coco pada setiap kelompok. Pada hari
ke-0 semua nata masih belum terbentuk. Pada hari ke-7 semua
kelompok mengalami peningkatan ketebalan dan persentase lapisan
nata. Pada kelompok D1-D2 ketebalan nata menjadi 0,5cm; D3-D4
menjadi 0,4cm; dan D5 menjadi 0,6cm. Presentase lapisan nata juga
ikut naik. Pada kelompok D1 presentase lapisan nata adalah sebesar
25%; D2 41,67%; D3 30,77%; D4 40%; D5 24%. Kemudian pada hari ke-14
semua kelompok mengalami kenaikan tinggi ketebalan nata kecuali
kelompok D5. Pada kelompok D1 ketebalan nata menjadi 0,7cm; D2
menjadi 0,6cm; D3-D4 menjadi 0,5cm; dan D5 tetap 0,6cm. Begitu pula
unutk presentase, semua kelompok mengalami kenaikan presentase
kecuali kelompok D5. Pada kelompok D1 presentase lapisan nata
adalah sebesar 35%; D2 50%; D3 33,46%; D4 50%; D5 24%.
1.2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco Kloter DHasil
pengamatan uji sensori pada nata de coco yang dibuat oleh kloter D
dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco Kloter
DKelompok Aroma WarnaTesktur
D1++++
D2++++++
D3+++++++
D4+++++
D5++++
Keterangan :Aroma Warna Tekstur++++: tidak asam ++++: putih++++:
sangat kenyal+++: agak asam +++: putih bening+++: kenyal++: asam
++: putih agak bening++: agak kenyal+ : sangat asam +: bening+:
tidak kenyal
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil uji sensori pada nata de coco
yang dibuat oleh kelompok D1 hingga D5, dilihat dari parameter
aroma, warna, dan tekstur. Untuk parameter aroma, kelompok D1-D2
menunjukkan aroma asam, D3 agak asam, D4 sangat asam, D5 asam.
Sedangkan untuk parameter warna, semua kelompok menunjukkan warna
kuning, kecuali kelompok D3 menunjukkan warna putih bening.
Kemudian untuk parameter tekstur, kelompok D1, D3, D5 menunjukkan
tekstur tidak kenyal dan kelompok D2, D4 menunjukkan tekstur
kenyal.
17
2. 16
3. PEMBAHASAN
Nata merupakan salah satu produk fermentasi berupa selulosa
padat, bertekstur kenyal, berwarna putih transparan, dan mengandung
air sekitar 98% (Rahman, 1992). Menurut Palungkun (1996), nata
berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim yang dibentuk
olehAcetobacter xylinum melalui proses fermentasi. Pada praktikum
kali ini bahan yang digunakan yakni air kelapa, untuk membuat nata
de coco. Air kelapa merupakan minuman yang manis dan menyegarkan
dari buah kelapa. Air kelapa mengandung sejumlah mineral (klorida,
zat besi, potasium, dan sulfur), gula (glukosa, fruktosa,
galaktosa, sukrosa, sorbitol, xylosa, dan mannosa), asam amino
(alanin, arginin, sistein, dan serin), sehingga biasanya digunakan
untuk minuman isotonik alami. Kandungan dalam air kelapa yang cukup
lengkap dapat digunakan sebagai media pertumbuhan Acetobacter
xylinum untuk menghasilkan produk fermentasi nata de coco. Air
kelapa juga memiliki faktor pertumbuhan yang dapat menstimulasi
strain bakteri yang berbeda dan kultur in vitro tanaman (Prades et
al., 2011).
Menurut Santosa (2012), nata de coco yakni salah satu produk
pangan yang rendah kalori dan kaya serat untuk menjaga melancarkan
pencernaan, sehingga sangat cocok dikonsumsi sebagai makanan diet
sehat. Nata de coco adalah komponen selulosa yang diproduksi selama
proses fermentasi air kelapa dengan menggunakan mikroba Acetobacter
xylinum. Menurut Czaja et al. (2004), selulosa merupakan golongan
biopolimer dari prokariotik, organisme non-fotosintetik,
Acetobacteryang memiliki kemampuan untuk mensintesa selulosa.
Selulosa tersebut memiliki kekuatan mekanik, kristalinitas, dan
kapasitas menahan air yang tinggi.
Produk nata de coco sering dikonsumsi sebagai minuman instan
yang kaya serat dengan metode pengeringan, penambahan komponen
dekstrin, dan dengan carboxy methyl cellulose (CMC) untuk
menstabilkan produk. Komponen dasar pembuatan nata de coco antara
lain gula, protein, dan mineral. Perbedaan karakteristik bahan baku
yang digunakan akan menghasilkan nata dengan perbedaan
karakteristik pula. Seperti bahan baku air kelapa akan menghasilkan
nata de coco, sari kedelai menghasilkan nata de soya, sari buah
mangga menghasilkan nata de mango , sari buah nanas menghasilkan
nata de pina, dll. Penyimpanan nata de coco tidaklah mudah, karena
memiliki kandungan air yang tinggi sehingga mudah rusak oleh
mikroorganisme (Pambayun, 2002).
Beberapa komponen dalam pembuatan nata de coco antara lain
sebagai berikut : Bahan utama : air kelapa Sumber karbon : sumber
karbon yang digunakan yakni monosakarida dan disakarida.
Monosakarida merupakan senyawa karbohidrat yang sederhana yang
meliputi glukosa, sukrosa, fruktosa, laktosa, maltosa, dan manosa.
Akan tetapi, sukrosa yang paling banyak digunakan karena paling
murah dan mudah ditemukan. Sukrosa dapat ditemukan dalam bentuk
gula pasir. Sumber nitrogen : sumber nitrogen digunakan untuk
mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata de coco. Sumber
nitrogen dapat diperoleh dari protein, ekstrak yeast (nitrogen
organik), ammonium fosfat (ZA), dan ammonium sulfat (nitrogen
anorganik). Ammoniun fosfat (ZA) sering digunakan dalam proses
pembutaan nata de coco karena ZA dapat menghambat pertumbuhan
Acetobacter acesi, dimana bakteri tersebut adalah bakteri pesaing
Acetobacter xylinum. Asam : pH optimal bakteri Acetobacter xylinum
yakni 4,3. Acetobacter xylinum tidak dapat tumbuh pada kondisi
basa. Jenis asam yang digunakan dalam pembuatan nata de coco adalah
asam cuka, sehingga dapat menurunkan pH dan meningkatkan keasaman.
Suhu : bakteri Aetobacter xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang
yakni sekitar 28-31oC . Pengaruh Aerasi (oksigen) dan Agitasi
Medium terhadap Pembentukan Nata de Coco : Inokulasi nata de coco
akan menurun atau tidak berproduksi sama sekali apabila dalam
keadaan kurang udara atau terjadinya agitasi (pengocokan). Bakteri
Acetobacter xylinum merupakan bakteri aerobik, yaitu yang
membutuhkan O2 dala pertumbuhannya. Akan tetapi O2 yang masuk ke
dalam cairan nata de coco tidak boleh bersentuhan langsung dengan
udara luar karena dapat menimbulkan kontaminasi. Sehingga harus
ditutup dengan kertas koran yang tidak terlalu tebal. Supaya O2
bisa tetap masuk ke dalam loyang yang berisi cairan nata dan tidak
kontak langsung dengan udara. Pengaruh Media dan Kondisi
Lingkungan. Medium yang digunakan untuk pertumbuhan mikrobia dalam
suatu proses fermentasi harus mengandung semua elemen yang
dibutuhkan mikrobia tersebut dalam pertumbuhannya baik untuk
keperluan sintesis maupun dalam proses metabolismenya. Selain itu
sanitasi dan kebersihan lingkungan kerja tidak kalah pentingnya,
mengingat kondisi medium fermentasi yang mudah terkontaminasi oleh
berbagai jenis mikroba dari udara. Hal ini dapat menyebabkan
menurun atau gagalnya pembentukan nata de coco (Pambayun,
2002).
Menurut Pambayun (2002), fase pertumbuhan bakteri adalah sebagai
berikut: a.Fase adaptasi : Bakteri akan beradaptasi saat
ditambahkan pada media. Maka bakteri tidak langsung tumbuh, tetapi
beradaptasi terlebih dulu. Fase adaptasi berlangsung selama 24 jam
setelah perlakuan inokulasi. b.Fase pertumbuhan awal : Bakteri
mulai membelah diri dengan kecepatan yang rendah.c.Fase pertumbuhan
eksponensial : Bakteri mengeluarkan banyak enzim ekstraseluler
polimerasi untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa. Fase
ini berlangsung selama 1 - 5 hari.d.Fase pertumbuhan lambat :
Pertumbuhan yang lambat terjadi karena nutrisi mulai berkurang,
umur sel sudah tua, atau karena adanya metabolit yang bersifat
toksik. Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak
dari sel yang mati. e.Fase perumbuhan tetap : Pada fase ini, jumlah
sel yang tumbuh menjadi sama dengan jumlah sel yang mati. f. Fase
menuju kematian : Bakteri mulai mati pada fase ini.g.Fase kematian
: Bakteri mati pada fase ini dan tidak dapat digunakan sebagai
bibit fermentasi nata. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan jamur
pada nata, dan fase ini terjadi pada hari ke-15.
Cara kerja praktikum kali ini yakni mula-mula air kelapa
disaring menggunakan kain saring untuk menghilangkan
kotoran-kotoran yang ada di air kelapa, misalnya ampas kelapa,
kerikil, serabut, dll sehingga nantinya nata yang dihasilkan dapat
memiliki karakteristik yang baik (Pato & Dwiloka, 1994). Proses
penyaringan air kelapa dapat dilihat di Gambar 1. Selanjutnya air
kelapa diambil 200 ml untuk tiap kelompok. Kemudian dilakukan
penambahan gula pasir sebanyak 20 gram, untuk menghasilkan air
kelapa dengan konsentrasi gula 10 %. Hal ini sesuai dengan teori
Awang (1991), jumlah gula optimum yang ditambahkan dalam pembuatan
nata de coco adalah 10%. Tujuan penambahan gula adalah sebagai
substrat untuk Acetobacter xylinum sehingga dapat menghasilkan
selulosa yang kemudian dapat menjadi produk nata de coco. Menurut
Rahman (1992), bakteri Acetobacter xylinum akan mengubah gula
menjadi selulosa. Selain gula pasir (sukrosa), sumber karbon lain
yang dapat digunakan yakni glukosa, fruktosa, laktosa, manosa, dan
maltosa (Pambayun, 2002).
Gambar 1. Proses Penyaringan Air Kelapa
Kemudian ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 0,5%. Tujuaannya
yakni untuk menyediakan sumber nitrogen. Selain ammonium sulfat,
sumber nitrogen juga dapat diperoleh dari nitrogen organik (ekstrak
yeast) atau nitrogen anorganik (urea, ammonium fosfat). Biasanya
dalam pembuatan nata de coco, ammonium fosfat paling sering dipakai
sebagai sumber nitrogen karena memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan bakteri Acetobacter acesi. Lalu ditambahkan pula asam
cuka glasial 95% sampai pH air kelapa 4-5 (Pambayun, 2002). Pada
praktikum ini, air kelapa yang digunakan menunjukkan hasil pH 4,74
ketika diukur dengan pHmeter. Pengukuran pH dapat dilihat pada
Gambar 2. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hayati (2003) bahwa pH
optimal pada pembuatan nata yaitu sekitar 4.3 4.5 yang dapat diukur
ketika penamabahan asam asetat glasial. Menurut Pambayaun (2002),
pengontrolan pH harus dilakukan untuk mengetahui derajat keasaman
air kelapa yang dipakai sebagai media. Hal ini dilakukan karena
Acetobacter xylinum tidak mampu tumbuh di pH basa. Menurut
Jagannath et al. (2008) dalam jurnalnya yang berjudul The effect of
pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production
of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum
menyatakan bahwa untuk menghasilkan nata yang optimal digunakan
sukrosa 10 %, ammonium sulfat 0,5 %, dengan pH terbaik adalah pH
4.
Gambar 2. Proses Pengecekan pH Nata de Coco
Setelah ditambahkan semua bahan tersebut, tahap selanjutnya
adalah pemanasan air kelapa sampai semua gula larut dan lalu
dilakukan penyaringan kedua. Menurut Palungkung (1996),
mikroorganisme kontaminan di media nata de coco dapat dinonaktifkan
dengan pemanasan ataupun perebusan air kelapa, supaya Acetobacter
xylinum dapat tumbuh dengan optimal dan menghasilkan nata de coco
dengan kualitas baik.
Setelah persiapan awal selesai dan air kelapa sudah tidak panas,
5 wadah plastik bersih disiapkan pada tiap kelompok. Lalu 100 ml
media steril dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup rapat dengan
kertas coklat. Penutupan dengan kertas coklat ini menurut Tujuannya
untuk menyediakan oksigen untuk pertumbuhan bakteri aerob
Acetobacter xylinum. Oksigen yang masuk tidak bersentuhan langsung
dengan permukaan nata. Selain kertas coklat juga berfungsi untuk
menghindari kontaminasi dari lingkungan di sekitar tempat pembuatan
nata de coco (Pambayun, 2002).
Lalu, 10% biang nata / starter ditambahkan ke dalam
masing-masing wadah secara aseptis dan dikocok dengan pelan sampai
semua starter homogen dan ditutup kembali dengan kain saring yang
sudah dioven sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori Hadioetomo
(1993), penambahan 10% biang starter harus dilakukan pada kondisi
aeptis untuk mencegah terjadinya kontaminasi ulang. Pato &
Dwiloka (1994) juga menambahkan bahwa jumlah starter untuk
pembuatan nata berkisar 4 10 %. Penambahan starter ini dilakukan
secara aseptis. Karena menurut Hadioetomo (1993), dengan menerapkan
teknik aseptik maka organisme yang akan tumbuh dalam biakan hasil
pemindahan hanya organisme yang diinginkan sehingga tidak terjadi
terkontaminasi. Bakteri Acetobacter xylinum yakni bakteri aerob
yang memerlukan oksigen. Akan tetapi, oksigen yang masuk ke dalam
substrat tidak boleh bersentuhan langsung dengan permukaan nata dan
tidak boleh terlalu kencang (Pambayun, 2002). Maka, air kelapa
ditutup dengan menggunakan kertas coklat yang memiliki ventilasi
yang cukup baik. Disamping itu, tujuan penutupan dengan kertas
coklat untuk melindungi nata dari kontaminasi lingkungan sekitar.
Media yang telah diberi starter diinkubasi pada suhu ruang (30C)
selama 2 minggu, dan setiap 7 hari dilakukan pengamatan. Hal ini
sesuai dengan teori Hayati (2003), suhu harus selalu diamati, dan
suhu yang baik untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yakni
sekitar 30C. Sedangkan jika suhu 40C dapat membunuh bakteri
Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Santosa et al (2012)
menambahkan bahwa dalam jurnalnya yang berjudul Dextrin
Concentration and Carboxy Methyl Cellulose in Making of Fiber Rich
Instant Beverage from Nata de Coco bahwa waktu fermentasi optimal
pembuatan nata adalah 10 14 hari. Proses inkubasi nata de coco
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses Inkubasi Nata de Coco
Setelah proses fermentasi selesai, lapisan nata akan semakin
terbentuk pada permukaan medium karena lapisan nata terangkat oleh
gas CO2 yang memiliki kecenderungan menempel pada lapisan selulosa
(Palungkun, 1996). Terdapat 2 metode dalam menghasilkan selulosa
bakteri yakni kultur stasioner dan kultur teragitasi. Pada kultur
stasioner, membran selulosa berkumpul di permukaan medium.
Sedangkan pada kultur teragitasi, selulosa disintesa di media dalam
bentuk suspensi berserat, pelet, atau massa yang tidak beraturan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa nata de coco dalam praktikum kali
ini menggunakan sistem kultur stasioner (Czaja et al, 2004).
Setelah 2 minggu proses fermentasi berlangsung, nata dipanen dan
dicuci di bawah air mengalir. Lalu, nata direndam di dalam aquades
selama 3 hari. Tujuannya untuk menghialngkan rasa asam pada nata.
Hal ini sesuai dengan teori Wahyudi (2003), setelah lapisan nata
dibentuk, nata dicuci dan direndam dengan air untuk menetralkan
rasa nata. Maka, nata dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan
produk pangan.
Kemudian nata dipotong kecil-kecil berbentuk dadu dan dimasak
dengan air dan gula untuk memberikan rasa manis. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari Halib et al (2012) dalam jurnalnya berjudul
Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco
from Local Food Industries as a Source of Cellulose bahwa nata de
coco biasanya disajikan dalam bentuk kotak dan dipotong berukuran 1
x 1 cm. Menurut Rahman (1992) tujuan perebusan nata dengan air dan
gula untuk menghilangkan asam dan memberi rasa manis. Perebusan
nata cukup dilakukan 1 kali. Akan tetapi, hal tersebut tidak
dilakukan saat praktikum karena nata yang dibuat gagal dan hasil
akhirnya dapat dilihat di Gambar 4.
Gambar 4. Hasil Nata de Coco Kelompok D4
Pengamatan nata diamati dari segi ketebalannya dan persentase
lapisannya dengan rumus :
Persentase Lapisan Nata =
Pada hari ke-0 semua nata masih belum terbentuk. Pada hari ke-7
semua kelompok mengalami peningkatan ketebalan dan persentase
lapisan nata. Pada hari ke-14 semua kelompok mengalami kenaikan
tinggi ketebalan nata kecuali kelompok D5 tetap. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari Palungkun (1996), semakin banyak gula yang
digunakan maka nata yang terbentuk akan semakin baik. Hal ini
dikarenakan gula digunakan sebagai substrat pertumbuhan oleh
sel-sel Acetobacter xylinum. Bakteri ini merupakan bakteri selulosa
murni yang tidak mengandung hemiselulosa, pektin, dan lignin.
Sementara itu pada hari ke 14 kelompok D5 tidak mengalami kenaikan
/ penurunan ketebalan dan persentase lapisan nata. Menurut Pambayun
(2002) hal ini bisa disebabkan oleh ketidaktepatan penambahan gula
pasir yakni gula tidak tercampur rata, sehingga bibit nata tidak
tumbuh normal dan hasil nata menjadi kurang maksimal. Kemungkinan
lain yaitu terjadi kontaminasi saat proses fermentasi sehingga
bakteri terhambat pertumbuhannya. Selain itu faktor lain yang dapat
mempengaruhi adalah suhu ruangan yang tidak stabil dan kurang cocok
untuk prtumbuhan bakteri Acetobacter xylinum.
Ketebalan lapisan nata dipengaruhi oleh waktu dan suhu
fermentasi (Rahayu et al., 1993), tingkat keaseptisan (Tranggono
& Sutardi, 1990), serta fluktuasi populasi inokulum selama
proses fermentasi (Seumahu et al., 2005). Menurut Jagannath et al.
(2008), ketebalan nata yang maksimum diperoleh pada kondisi pH
media 4,0 dengan kandungan sukrosa sebesar 10% dan ammonium sulfat
sebesar 0,5% seperti yang telah dilakukan selama praktikum
pembuatan nata. Namun ketebalan nata antar satu kelompok dan yang
lainnya tidak dapat langsung dibandingkan karena ukuran tempat yang
digunakan berbeda-beda. Layuk et al., (2007) dalam jurnalnya yang
berjudul Perbaikan Teknologi Pengolahan Nata de Coco di Tingkat
Petani menuliskan bahwa untuk menghasilkan rendemen yang tinggi dan
ketebalan yang baik sebaiknya menggunakan wadah segi empat atau
berbentuk nampan dengan tinggi 5-10 cm sehingga permukaannya cukup
luas. Untuk ukuran nampan adalah 30 cm x 20 cm x 5 cm, dengan wadah
yang sesuai pertukaran oksigen akan berlangsung dengan baik
sehingga bakteri Acetobacter xylinumn dapat tumbuh dengan
optimal.
Kegagalan pembentukan nata de coco pada praktikum ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : Pengaruh Media dan
Kondisi Lingkungan: misalnya dalam pembuatan media, gula yang
diberikan pada campuran cairan nata de coco kurang banyak, sehingga
kebutuhan karbon dalam pembentukan nata de coco kurang. Kemudian
kondisi lingkungan juga harus mendukung, suhu lingkungan tidak
boleh terlalu panas ataupun dingin, harus suhu ruang. Selain itu,
suhu lingkungan juga tidak boleh berubah-ubah karena hal tersebut
dapat mengganggu aktivitas pembentukan nata de coco. Sanitasi dan
kebersihan lingkungan kerja tidak kalah pentingnya, mengingat
kondisi medium fermentasi yang mudah terkontaminasi oleh berbagai
jenis mikroba dari udara. Hal ini dapat menyebabkan menurun atau
gagalnya pembentukan nata de coco Kontaminasi dari zat ataupun
unsur lain yang tidak seharusnya, wadah tempat menyimpan biakan
nata de coco terlalu sering terkena goncangan, wadah yang
menngalami goncangan akan merusak / memcah struktur nata yang sudah
terbentuk sehingga nata gagal.(Pambayun, 2002).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan nata yakni umur
dari starter dan umur dari air kelapa sangat memperngaruhi
keberhasilan fermentasi. Starter yang baik yakni saat bakterinya
memasuki fase log, sehingga aktivitas metabolismenya tinggi selama
fermentasi. Layuk et al., (2007) mengatakan di jurnal yang berjudul
Perbaikan Teknologi Pengolahan Nata de Coco di Tingkat Petani bahwa
starter yang baik untuk nata ialah dari kultur cair Acetobacter
xylinum yang telah disimpan selama 3-4 hari sejak inokulasi, pada
penyimpanan tersebut bakteri memasuki jumlah maksimal (fase log).
Umur starter maksimal ialah 12 hari. Jika lebih dari 12 hari, maka
akan menghasilkan nata yang baik karena umur starter terlalu tua.
Umur substrat juga perlu diperhatikan yakni substrat tidak boleh
terlalu tua karena nutrisinya sudah hilang (Pato & Dwiloted,
1994). Kontaminasi terjadi pada saat menambahkan starter nata jika
perlakuan tidak aseptis. Kondisi aseptis harus diterapkan dalam
pembuatan nata de coco untuk menghindari pertumbuhan bakteri lain
yang tidak diinginkan yang menjadi kompetitor bakteri Acetobacter
xylinum (Jagannath et al., 2008).
Untuk parameter aroma, kelompok D1-D2 menunjukkan aroma asam, D3
agak asam, D4 sangat asam, D5 asam. Menurut Halib et al. (2012)
dalam jurnalnya berjudul Physicochemical Properties and
Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a
Source of Cellulose hal ini disebabkan oleh bakteri Acetobacter
xylinum yang dapat mengubah gula menjadi selulosa dan dapat
membentuk asam asetat. Menurut pendapat Astawan & Astawan
(1991) aroma asam atau lebih seperti cuka menunjukkan bahwa pada
nata memiliki pH yang lebih asam dibanding yang tidak beraroma
asam. Aroma asam juga mengindikasikan proses fermentasi telah
berlangsung. Aroma asam ini juga berasal dari hasil oksidasi gula
oleh bakteri Acetobacter xylinum menjadi asam asetat. Selain gula,
bakteri Acetobacter xylinum juga mampu mengoksidasi berbagai jenis
alkohol menjadi asam asetat (Halib et al., 2012). Perbedaan aroma
pada tiap kelompok dapat disebabkan oleh proses pencucian yang
berbeda. Pencucian yang kurang bersih menyebabkan aroma asam masih
tertinggal pada nata.
Sedangkan untuk parameter warna, semua kelompok menunjukkan
warna kuning, kecuali kelompok D3 menunjukkan warna putih bening.
Hasil kelompok D3 sudah sesuai dengan pernyataan dari Rahman (1992)
bahwa warna nata de coco yang baik dan bagus adalah putih
transparan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Seumahu et al.
(2007) dalam jurnalnya yang berjudul The Dynamics of Bacterial
Communities During Traditional Nata de Coco Fermentationbahwa warna
nata de coco yang baik adalah nata yang memiliki transparansi yang
tinggi. Hal ini juga sudah sesuai dengan pernyataan Astawan &
Astawan (1991) yang menyatakan bahwa nata de coco memiliki bentuk
yang padat, kuat, kokoh, dan memiliki warna yang putih (Santosa et
al., 2012). Warna pada nata yang dihasilkan memang tidak putih
bening melainkan sedikit keruh sebab pada air kelapa yang ditumbuhi
Acetobacter xylinum dapat memberikan warna sedikit keruh akibat
fermentasi, gula dan kandungan asam. Warna kuning menunjukkan
adanya aktivitas mikrobia lain sebagai perusak. Mikrobia perusak
akan menyebabkan kebusukan yang ditandai dengan munculnya warna
kuning keruh dan kuning kecoklatan pada nata yang dihasilkan
(Tranggono & Sutardi, 1990).
Untuk parameter tekstur, kelompok D1, D3, D5 menunjukkan tekstur
tidak kenyal dan kelompok D2, D4 menunjukkan tekstur kenyal.
Menurut Astawan & Astawan (1991) tekstur kenyal berkaitan
dengan kandungan selulosa pada nata. Semakin banyak selulosa, maka
nata yang terbentuk akan semakin kenyal dan sebaliknya. Hal ini
diperkuat oleh teori Anastasia et al (2008) dalam jurnalnya Mutu
Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis
kekenyalan juga berhubungan dengan ketebalan nata yang dihasilkan.
Jika nata semakin tebal, berarti serat kasar semakin banyak maka
akan semakin banyak air yang mengisi rongga antar selulosa sehingga
kekenyalan nata menjadi turun. Menurut Herman (1979), kekenyalan
nata dipengaruhi oleh banyak sedikitnya serat (selulosa). Pada
jurnal berjudul The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate
concentrations on the production of bacterial cellulose
(Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum oleh Jagannath et al. (2008),
banyak strain Acetobacter xylinum yang mampu menghasilkan selulosa
dalam jumlah yang bermacam-macam dan tumbuh pada berbagai substrat
seperti glukosa, sukrosa, fruktosa, gula invert, etanol dan
gliserol .
4. 5. KESIMPULAN
Nata yakni produk hasil fermentasi yang mengandung selulosa,
dengan kadar yang air tinggi. Syarat terbentuknya nata yakni adanya
sumber karbon, nitrogen, asam, suhu ruang, oksigen. Konsentrasi
gula sukrosa 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4 dapat memberi
kondisi optimal bagi Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter
xylinum mengubah glukosa menjadi selulosa dan asam asetat pada
pembuatan nata de coco. Air kelapa adalah media yang tepat dalam
pembuatan nata de coco karena mengandung gula, mineral dan asam
amino untuk pertumbuhan A. xylinum. Tujuan penyaringan untuk
menghilangkan kotoran pada air kelapa. Tujuan penambahan gula pasir
optimum adalah 10 % yakni sebagai substrat untuk pertumbuhan
Acetobacter xylinum. Tujuan penambahan ammonium sulfat yakni
sebagai sumber nitrogen. Tujuan penambahan asam cuka glasial untuk
mengatur pH media supaya optimum (4 5). Tujuan pemanasan air kelapa
untuk membunuh mikroorganisme kontaminan. Tujuan penutupan dengan
kertas coklat untuk menyediakan oksigen yang cukup bagi bakteri
aerob Acetobacter xylinum namun tidak terlalu banyak, sehingga
tidak mengganggu pembentukan nata. Penamabahan starter yang optimum
yakni 10 % dari total volume media. Inkubasi yang baik dilakukan
pada suhu 30 C selama 10 14 hari. Nata terbentuk di lapisan
permukaan karena CO2 menempel di selulosa sehingga lapisan
terangkat ke atas. Nata de coco pada praktikum ini menggunakan
sistem kultur stasioner yakni nata berkumpul di permukaan media air
kelapa. Tujuan pencucian dan perendaman dengan akuades untuk
menghilangkan asam asetat yang terbentuk selama proses fermentasi.
Tujuan perebusan dengan gula untuk memberikan rasa manis pada nata
de coco. Kekenyalan nata dipengaruhi oleh jumlah selulosa. Nata
yang baik beraroma tidak asam, berwarna putih transparan, dan
kenyal (kandungan selulosa banyak). Wadah yang digunakan akan
mempengaruhi ketebalan nata yang dihasilkan di mana jika wadah luas
permukaannya, nata yang dihasilkan akan lebih tinggi atau
tebal.
Semarang, 8 Juli 2015Asisten Dosen:Praktikan,- Wulan Apriliana
Nies Mayangsari
Vina Anyerina12.70.0046
6. 7. DAFTAR PUSTAKA
Anastasia, N. & Eddy, A. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam
Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional
Sains dan Teknologi II. Universitas Padjajaran. Bandung.
Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S. A. (1991). Kelapa Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media.
Jakarta.
Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004).
Structural investigations of microbial cellulose produced in
stationary and agitated culture. Cellulose 11: 403-411.
Hadioetomo, R.S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek :
Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta
Halib, N; M. Cairul & I. Ahmad. (2012). Physicochemical
Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food
Industries as a Source of Cellulose. Malaysiana Journal.
Malaysia.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa.
Yogyakarta.
Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan
Ahli Teknologi Pangan Indonesia 4(1) Halaman 9 17.
Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa.
(2008). The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate
concentrations on the production of bacterial cellulose
(Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol
(2008) 24:25932599
Layuk, P.; H. Salamba.; R. Djuri. (2007). Perbaikan Teknologi
Pengiolahan Nata de Coco di Tingkat Petani. Seminar Regional
Inovasi Teknologi Pertanian, Mendugkung Program Pembangunan
Pertanian Propinsi Sulawesi Utara.
Palungkun R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco.
Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. & Dwiloka, B. (1994). Proses & Faktor faktor
yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70
77.
Prades, A., M. Dornier, N. Diop, and J. P. Pain. (2011). Coconut
Water Uses, Composition and Properties: a Review. Fruits Journal
vol. 67, p. 87-107
Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N.
Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM.
Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin
Concentration and Carboxy Methyl Cellulose in Making of Fiber Rich
Instant Beverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of
Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar. 2012, 6 -11.
ISSN : 2252 5297.
Seumahu, C. A.; Antonius S.; Debora H.; dan Maggy T. S. (2007).
The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de
Coco Fermentation. Microbiology Indonesia. August 2007, p 65-68.
ISSN 1978-3477.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca
Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.
Wahyudi. (2003). Memproduksi Nata.
http://ww2.pustaka.ictsleman.net/pertanian/agro_industri_pangan/3_memproduksi_nata_de_coco.pdf.
Diakses 1 Juni 2014.
8. 9. LAMPIRAN
9.1. Perhitungan
Persentase Lapisan Nata =
Kelompok D1
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 25%
H14 Persentase Lapisan Nata = = 35 %
Kelompok D2
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 41.67 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 50 %
Kelompok D3
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 30.77 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 38.46 %
Kelompok D4
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 40 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 50 %
Kelompok D5
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 24 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 24 %
9.2. Laporan Sementara9.3. Hasil Viper9.4. Abstrak Jurnal