-
Acara I
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR
FERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:
Fellycia Devi P. 12.70.0109
Kelompok F5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SEOGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
-
1
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Lapisan Nata de Coco
Data pengamatan lapisan nata de coco kloter F dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Lapisan nata de coco
Kel Tinggi awal
media (cm)
Tinggi ketebalan nata (cm) % lapisan nata (%)
0 7 14 0 7 14
F1 0,5 0 0,4 0,4 0 80 80
F2 2,0 0 0,2 0,2 0 10 10
F3 1,5 0 0,5 0,2 0 33,33 13,33
F4 1,5 0 0,3 0,3 0 20 20
F5 1,5 0 0,3 0,1 0 20 6,67
Berdasarkan Tabel 1., dapat dilihat bahwa tinggi ketebalan nata
serta % lapisan nata untuk
seluruh kelompok adalah berbeda. Perbedaan ini terlihat sejak
hari ke-0 hingga hari ke-7
yang mengalami peningkatan ketebalan nata. Setelah 14 hari,
tinggi ketebalan nata pada
kelompok F3 dan F5 mengalami menurunan, sedangkan untuk kelompok
lainnya tidak
mengalami penurunan/tetap. Persentase lapisan nata tertinggi dan
terendah dimiliki oleh
kelompok F1 dan F2 yaitu 80% dan 10%.
1.2. Uji Sensori Nata de Coco
Data pengamatan uji sensori nata de coco kloter F dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji sensori nata de coco
Kel Tinggi awal media (cm) Aroma Warna
F1 0,5 +++ +
F2 2 +++ +
F3 1,5 +++ +
F4 1,5 +++ +
F5 1,5 +++ + Keterangan:
Aroma Warna
+ : sangat asam + : kuning
++ : asam ++ : putih bening
+++ : agak asam +++ : putih agak bening
++++ : tidak asam ++++ : putih
-
2
Berdasarkan Tabel 2., dapat dilihat bahwa terdapat 2 atribut
yang diuji pada uji sensori
nata de coco yang meliputi atribut aroma dan warna. Aroma nata
de coco yang dihasilkan
pada seluruh kelompok adalah agak asam. Warna nata de coco yang
dihasilkan pada
seluruh kelompok adalah kuning.
-
3
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, praktikan akan membuat fermentasi
substrat cair fermentasi nata
de coco. Tujuan dilakukannya praktikum kali ini adalah untuk
memahami prinsip
pembuatan nata de coco, dan praktikan dapat memanfaatkan limbah
air kelapa sebagai
bahan pokok pembuatan nata de coco. Nata de coco atau bacterial
cellulose (BC)
merupakan komponen selulosa atau eksopolisakarida yang
didapatkan dari fermentasi air
kelapa dengan menggunakan bantuan bakteri Acetobacter xylinum
(Sutarminingsih, 2004
dalam Santosa et al., 2012; Jagannath et al., 2008; Halib et
al., 2012; Almeida et al.,
2013). Nata de coco biasanya digunakan untuk dessert, fruit
cocktail dan fruit jellies
(Jagannath et al., 2008). Nata de coco memiliki kandungan
dietary fiber yang tinggi
sehingga sangat dibutuhkan untuk tubuh, dimana dapat membantu
mengontrol berat
badan, melindungi tubuh dari penyakit dan kanker kolon serta
rektum (Mesomya et al.,
2006). Strain Acetobacter xylinum dapat memproduksi selulosa dan
biasanya dapat
tumbuh pada substrat yang mengadung glukosa, sukrosa, fruktosa,
gula invert, etanol dan
gliserol (White & Brown, 1989 dalam Jagannath et al., 2008).
Acetobacter xylinum dapat
hidup pada pH 3,5 (Lapuz et al., 1967 dalam Jagannath et al.,
2008). pH 4,0 5,0
merupakan pH yang optimal untuk pembentukan selulosa (Verschuren
et al., 2000 dalam
Jagannath et al., 2008). Nata de coco memiliki ciri-ciri seperti
berbentuk padat, berwarna
putih transparan, dan memiliki tekstur yang kenyal (Anastasia
& Afrianto, 2008).
2.1. Cara Membuat Nata de Coco
Terdapat 2 tahapan dalam membuat nata de coco, yaitu pembuatan
media dan proses
fermentasi. Pertama-tama, dilakukan proses penyaringan media
terlebih dahulu dengan
menggunakan kain saring. Media yang digunakan pada praktikum
kali ini adalah air
kelapa. Air kelapa dipilih karena cocok sebagai substrat untuk
tumbuhnya Acetobacter
xylinum (Volk & Wheeler, 1993). Media yang baik untuk strain
Acetobacter harus
memiliki karbohidrat, protein, vitamin dan garam inorganik
(Baruque-Ramos et al., 2001
dalam Almeida, et al., 2012) Tujuan penyaringan adalah untuk
memisahkan kotoran agar
didapatkan air kelapa yang bersih dan bebas dari kotoran (Pato
& Dwiloka, 1994).
Kemudian, dilakukan penambahan gula sebanyak 10% dan diaduk
hingga larut.
Penambahan gula ditujukan untuk memberi kondisi yang optimal
untuk pertumbuhan
-
4
Acetobacter xylinum (Hayati, 2003). Sukrosa merupakan sumber
karbon yang cocok
dalam pembuatan nata de coco karena harganya yang ekonomis dan
mudah untuk
didapatkan (Pambayun, 2002; Awang, 1991). Lalu, dilakukan
penambahan amonium
sulfat sebanyak 0,5%. Penambahan amonium sulfat dimaksudkan
untuk menjadi sumber
nitrogen untuk tumbuhnya Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002).
Awang (1991)
menambahkan bahwa medium yang baik untuk proses fermentasi harus
mengandung
sumber nitrogen karena dapat mendukung aktivitas bakteri pada
proses pembuatan nata
de coco. Selain amonium sulfat, sumber nitrogen lainnya adalah
protein, ekstrak yeast,
amonium fosfat, serta urea (Pambayun, 2002).
Gambar 1. Penyaringan, Penambahan Gula dan Amonium Sulfat pada
Media
Selanjutnya, dilakukan penambahan asam cuka glasial hingga pH
mencapai 4-5. Asam
cuka glasial diambil pada ruang asam. Pengecekan pH dilakukan
dengan menggunakan
pH meter. Penambahan asam cuka glasial bertujuan untuk
mendapatkan pH air kelapa
yang asam. Atlas (1984) menambahkan bahwa Acetobacter xylinum
tidak dapat tumbuh
baik pada pH yang terlalu asam karena energi akan dikeluarkan
secara berlebihan yang
dapat berakibat pada berhentinya proses fermentasi.
Gambar 2. Penambahan Asam Cuka Glasial pada Media
-
5
Selanjutnya, dilakukan pemanasan hingga seluruh bahan larut dan
dilakukan penyaringan
dengan menggunakan kertas saring. Proses pemanasan bertujuan
untuk membunuh
mikroorganisme kontaminan yang ada pada air kelapa (Tortora et
al., 1995). Selain dapat
membunuh mikroorganisme kontaminan, pemanasan juga dapat
membantu gula pasir
agar larut. Apabila gula pasir belum larut, maka gula akan sulit
diserap dan dihasilkan
lapisan atau selaput yang tebal. Mikroorganisme lain dapat
mengganggu aktivitas
pertumbuhan Acetobacter xylinum apabila proses pemanasan tidak
dilakukan (Astawan
& Astawan, 1991).
Gambar 3. Pemanasan dan Penyaringan Media
Setelah media air kelapa dibuat, lalu dilanjutkan dengan proses
fermentasi. Pertama-tama,
200 ml media steril dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup rapat.
Lalu, ditambahkan
biang nata (starter) sebanyak 10% secara aseptis. Starter yang
digunakan untuk membuat
nata de coco kali ini adalah bakteri Acetobacter xylinum.
Acetobacter xylinum merupakan
bakteri asam laktat yang memiliki kemampuan untuk mengoksidasi
alkohol serta gula
menjadi asam asetat (Trcek, 2005 dalam Halib et al., 2012).
Selama proses pembuatan
nata de coco, Acetobacter xylinum menggunakan glukosa pada air
kelapa sebagai sumber
karbon dan mengubahnya menjadi selulosa ekstraseluler sebagai
metabolitnya (Cannon
& Anderson, 1991 dalam Halib et al., 2012). Penambahan biang
nata pada umumnya
sekitar 1-10% dari berat media (Rahayu, et al., 1993). Atlas
(1984) dan Hadioetomo
(1993) menambahkan, mengenai cara untuk menghindari kontaminasi
adalah dengan
metode aseptis, seperti menggunakan masker, penyemprotan alkohol
pada tangan,
penggunaan api bunsen dan pemindahan kultur harus secara cepat
dan dekat dengan api
bunsen. Penyemprotan alkohol pada tangan serta meja dan sekitar
tempat pemindahan
kultur termasuk metode aseptis untuk mencegah kontaminasi dari
udara sekitar.
-
6
Kemudian dilakukan pengadukan secara perlahan dan ditutup dengan
menggunakan
kertas coklat. Penggunaan kertas coklat dimaksudkan untuk
memberi jalan O2 untuk
dapat masuk ke wadah untuk tumbuh Acetobacter xylinum (Pambayun,
2002).
Selanjutnya dilakukan proses inkubasi selama 14 hari pada suhu
ruang. Penginkubasian
selama 14 hari sudah sesuai dengan teori Rahman (1992) bahwa
proses fermentasi
optimal untuk nata de coco adalah antara 10-14 hari pada suhu
28-32 oC. Fermentasi
dapat dihentikan ketika terbentuk lapisan putih pada permukaan
media yang disebut nata
de coco (Halib et al., 2012).
Gambar 4. Pengkulturan Biang Nata dan Penutupan Wadah dengan
Kertas Coklat
Setelah itu, pengukuran ketebalan lapisan nata de coco pada hari
ke-7 dan ke-14 beserta
dengan persentase kenaikan ketebalan nata de coco. Setelah hari
ke-14, dilakukan sensori
dengan bantuan panelis. Atribut yang digunakan untuk pengujian
adalah aroma dan warna
nata de coco. Menurut Kartika et al., (1988) uji sensori
(sensory test methods) merupakan
cara untuk mengetahui kualitas suatu bahan pangan berdasarkan
pada penilaian oleh alat
inderawi manusia yang bersifat subjektif. Didukung pula oleh
teori Soekarto (1981)
mengatakan bahwa pengamatan secara organoleptik menggunakan
bantuan panelis yang
dimaksudkan untuk mengenalkan alat indera akan sifat suatu benda
dengan adanya
rangsangan yang diterima seperti warna, rasa, bau dan lainnya.
Setelah beberapa waktu,
akan terbentuk lembaran-lembaran gelatin pada permukaan
fermentasi air kelapa yang
telah diberi starter Acetobacter xylinum. Lembaran tadi akan
semakin tebal hingga
mencapai ketebalan 1 cm dan setelah itu dipotong menjadi kubus
(Halib et al., 2012).
Persentase lapisan nata dapat dihitung dengan menggunakan rumus
berikut.
% lapisan nata =tinggi ketebalan nata (cm)
tinggi media awal (cm) 100%
-
7
Gambar 5. Hari ke-0
Gambar 6. Hari ke-7
Gambar 7. Hari ke-14
-
8
2.2. Hasil Pengamatan
Berdasarkan pada data hasil pengamatan yang telah didapatkan,
tinggi ketebalan nata dan
persentase lapisan nata untuk seluruh kelompok memperoleh hasil
yang berbeda-beda.
Tinggi awal media pada seluruh kelompok pun berbeda dikarenakan
bentuk wadah yang
digunakan tidaklah seragam, sehingga volume dan tinggi awal
media yang ditambahkan
pastinya akan berbeda satu sama lain. Pada data hasil pengamatan
hari ke-0 ke hari ke-7,
didapati peningkatan tinggi ketebalan nata tiap kelompok F1
hingga F5 berturut-turut
yaitu 0,4 cm, 0,2 cm, 0,5 cm, 0,3 cm dan 0,3 cm. Anastasia &
Afrianto (2008) mengatakan
bahwa selama proses fermentasi berlangsung, Acetobacter xylinum
memecah gula pada
media, sehingga selulosa akan terbentuk. Proses inkubasi selama
14 hari dapat
menyebabkan lapisan selulosa semakin menebal. Ketinggian nata
yang optimal adalah
sekitar 1,5-2 cm dengan gel selulosa yang homogen serta memiliki
transparasi yang tinggi
(Seumahu et al., 2007). Berdasarkan teori tersebut, seluruh nata
kloter F tidak sesuai
dengan teori yang ada karena seluruh ketinggian nata masih
dibawah 0,5 cm. Wijayanti
et al., (2010) menambahkan bahwa hal tersebut dapat terjadi
karena kurangnya suplai O2
pada saat fermentasi berlangsung, sehingga pertumbuhan
Acetobacter xylinum dapat
terhambat.
Namun, pada hari ke-14 didapati penurunan tinggi ketebalan nata
pada kelompok F3 dan
F5, sedangkan untuk kelompok F1, F2 dan F4 tinggi ketebalan
natanya tetap. Persentase
lapisan nata tertinggi dan terendah dimiliki oleh kelompok F1
dan F2 yaitu 80% dan 10%.
Hal ini kurang sesuai dengan teori Lapuz et al., (1967) yang
mengatakan bahwa ketebalan
nata dipengaruhi oleh waktu inkubasi proses fermentasi. Semakin
lama waktu inkubasi,
maka lapisan nata akan semakin tebal. Kemudian, penurunan
ketebalan nata pada
kelompok F3 dan F5 dapat terjadi karena adanya guncangan sewaktu
pengamatan
berlangsung. Sehingga, lapisan nata rusak dan tidak terbentuk
lagi. Rahman (1992)
menambahkan bahwa penurunan ketebalan nata dapat terjadi karena
pada saat pembuatan
media terjadi ketidaksesuaian, proses inkubasi terganggu,
kurangnya suplai O2,
kurangnya nutrien, serta wadah plastik yang digunakan. Wijayanti
et al., (2010)
menambahkan bahwa media fermentasi yang tidak sesuai seperti
terlalu pekatnya media
dapat menghambat pembentukan selulosa. Pekatnya media juga dapat
mengakibatkan
tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat terjadi lisis pada
sel bakteri. Seluruh hasil
-
9
nata de coco pada kloter F dinyatakan gagal atau tidak terbentuk
karena penggunaan
kultur yang digunakan tidak segar, lingkungan yang tidak steril,
kurang aseptisnya saat
pengkulturan, tidak digunakannya sarung tangan serta masker pada
saat pengkulturan.
Berdasarkan data hasil pengamatan uji sensori nata de coco pada
atribut aroma dan
warna, didapati hasil uji sensori yang sama. Seharusnya,
terdapat 4 atribut sensori yaitu
aroma, warna, tekstur dan rasa. Atribut tekstur dan rasa tidak
diuji pada praktikum kali
ini karena nata de coco yang dihasilkan tidak berhasil/gagal.
Pada atribut aroma, seluruh
kelompok memiliki aroma nata de coco yang agak asam. Aroma asam
yang ada pada
nata de coco dikarenakan penambahan asam cuka glasial pada
media. Selain itu,
pengubahan alkohol dan gula menjadi asam asetat oleh Acetobacter
xylinum selama
proses fermentasi juga dapat menyebabkan aroma nata de coco
menjadi asam (Fardiaz,
1992; Rahman, 1992; Trcek, 2005 dalam Halib et al., 2012).
Astawan & Astawan (1991)
menambahkan bahwa terbentuknya aroma asam dapat mengindikasikan
bahwa proses
fermentasi nata de coco telah berlangsung.
Kemudian, atribut selanjutnya adalah warna. Warna yang
dihasilkan pada seluruh nata
de coco kloter F adalah kuning. Data yang dihasilkan pada kloter
F adalah kurang sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Rahman (1992) bahwa nata de
coco merupakan
makanan yang berwarna putih transparan. Astawan & Astawan
(1991) menambahkan
bahwa pada saat proses fermentasi beralngsung, warna keruh pada
nata akan terjadi
sehingga warnanya akan menjadi putih tidak transparan.
Ketidaksesuaian data hasil
pengamatan dengan teori dikarenakan kegagalan pembuatan nata de
coco, sehingga
warnanya masih kuning. Selain itu, kesalahan juga bisa terjadi
karena keterbatasan indera
penglihatan panelis sewaktu melakukan sensori warna nata de coco
yang hampir serupa.
Pengamatan ini seharusnya dilakukan seobjektif mungkin agar
akurat. Seharusnya, untuk
meningkatkan keakuratan pengamatan pada warna, dapat dilakukan
dengan bantuan
chromameter untuk membantu panelis dalam mengamati warna pada
kecap. Menurut
Gonnet (1999), chromameter merupakan alat bantu yang digunakan
untuk mengukur
indeks warna LAB color yang diukur dengan cahaya masuk yang
ditembakkan kepada
bahan yang diukur dengan bantuan chromameter. Lightness dengan
nilai antara 0 dan 100
-
10
menunjukkan nilai gelap dan terang. Pada nilai a* (+) dan (-)
mengindikasikan warna
merah dan hijau. Pada nilai b* (+) dan (-) menunjukkan warna
biru dan kuning.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fermentasi nata
adalah:
a. pH
pH 4,0-5,0 merupakan pH yang optimal untuk pembentukan selulosa
atau nata
(Verschuren et al., 2000 dalam Jagannath et al., 2008).
b. Temperatur
Proses fermentasi optimal untuk nata de coco adalah antara 10-14
hari pada suhu 28-
32 oC. Pada suhu dan waktu fermentasi yang tepat, maka akan
dihasilkan nata yang
tebal (Rahman, 1992). Fermentasi dapat dihentikan ketika
terbentuk lapisan putih pada
permukaan media yang disebut nata de coco (Halib et al.,
2012).
c. Gula
Gula digunakan untuk sebagai substrat dan dapat memberi kondisi
yang optimal untuk
tumbuhnya Acetobacter xylinum. Penambahan gula yang tepat yaitu
10% dari berat
media cair (Hayati, 2003). Sukrosa adalah sumber karbon yang
cocok dalam
pembuatan nata de coco karena harganya yang ekonomis dan mudah
untuk didapatkan
(Pambayun, 2002; Awang, 1991).
d. Sumber nitrogen
Amonium sulfat digunakan sebagai sumber nitrogen untuk tumbuhnya
Acetobacter
xylinum (Pambayun, 2002). Medium yang baik untuk proses
fermentasi harus
mengandung sumber nitrogen karena dapat mendukung aktivitas
bakteri pada proses
pembuatan nata de coco (Awang, 1991). Selain amonium sulfat,
sumber nitrogen
lainnya adalah protein, ekstrak yeast, amonium fosfat, serta
urea (Pambayun, 2002).
-
11
3. KESIMPULAN
Nata de coco adalah hasil produk fermentasi dari bakteri
Acetobacter xylinum pada
media air kelapa yang diinkubasi selama 14 hari pada suhu
ruang.
Prinsip pembuatan nata de coco adalah dengan membuat media air
kelapa dan
melakukan proses fermentasi.
Limbah air kelapa dapat digunakan sebagai bahan utama pembuatan
nata de coco.
Proses fermentasi yang terjadi selama pembuatan nata de coco
adalah terbentuknya
lapisan nata di permukaan media karena adanya Acetobacter
xylinum.
Acetobacter xylinum mengkonversi gula dan alkohol menjadi asam
asetat selama
proses fermentasi.
Tinggi ketebalan nata de coco yang optimal adalah sekitar 1,5-2
cm.
Selama proses fermentasi dan pengkulturan, kondisi aseptis
sangat direkomendasikan
agar tidak terjadi kontaminasi.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses fermentasi adalah
pH, temperatur,
gula serta kandungan nitrogen.
Semarang, 10 Juli 2015
Praktikan Asisten Praktikum,
- Nies Mayangsari
- Wulan Apriliana
Fellycia Devi Paramitha
12.70.0109
-
12
4. DAFTAR PUSTAKA
Almeida, D. M., R. A. Prestes., A. D. da Fonseca., A. L.
Woiciechowski., dan G.
Wosiacki. (2013). Minerals consumption by Acetobacter xylinum on
cultivation
medium on coconut water. Brazilian Journal of Microbiology
44(1): 197-206.
Anastasia, N. dan Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed
dalam Berbagai
Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains
dan Teknologi II.
Universitas Lampung.
Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Nabati Tepat Guna Edisi
Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology: Fundamentals and
Applications. MacMillan
Publishing Company. New York.
Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media.
Yogyakarta.
Baruque-Ramos J, Hiss H, Vicentin MA, Paz MF, Peixoto A, Leal
MBB, Sato RA,
Vassoler UM, Raw I (2001) Nitrogen consumption during batch
cultivation of
Neisseria meningitides (serogroup C) in frantz medium. Braz J
Microbiol 32:305-310.
Cannon, R.E. & Anderson, S.M. 1991. Biogenesis of Bacterial
Cellulose. Critical
Reviews in Microbiology 17(6): 435-447.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia.
Jakarta.
Gonnet, J. (1999). Colour effects of co-pigmentation of
anthocyanins revisited 2. A
colorimetric look at the solutions of cyanin co-pigmented by
rutin using the CIELAB
scale. Food Chemistry.
Hadioetomo, R. S., (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT
Gramedia Pustaka.
Jakarta.
Halib, N., M. C. Iqbal., M. Amin., dan I. Ahmad. (2012).
Physicochemical properties and
characterization of nata de coco from local food industries as a
source of cellulose.
Sains Malaysiana. 41(2): 205-211.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa.
Yogyakarta.
-
13
Jagannath, A., A. Kalaiselvan., dan S. S. Manjunatha. (2008).
The effect of pH, sucrose
and ammonium sulphate concentration on production of bacterial
cellulose (nata-de-
coco) by Acetobacter xylinum. World J. Microbiol. Biotechnol.
24:2593-2599.
Kartika, B; P. Hastuti dan W. Supartono. (1988). Pedoman Uji
Inderawi Bahan Pangan.
PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Lapuz MM, Gallardo EG, Palo MA (1967) The nata organismcultural
requirements,
characteristics and identity. Philipp J Sci 96(2):91108.
Mesomya, W., V. Pakpeankitvatana., S. Komindr., P. Leelahakul.,
Y. Cuptapun., D.
Hengsawadi., P. Tammarate., dan P. Tangkanakul. (2006). Effect
of health food from
cereal and nata de coco on serum lipids in human. Songklanakarin
J. Sci. Technol., 28:
23-28.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco.
Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang
Mempengaruhi Pembentukan
Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.
Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan
Cahyanto, M.N. (1993). Bahan
Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar
Universitas Pangan dan
Gizi IPB. Bandung.
Santosa, B., Kgs. Ahmadi., dan D. Taeque. (2012). Dextrin
concentration and carboxy
melthyl cellulosa (CMC) in making of fiber-rich instant beverage
from nata de coco.
IEESE Int. J. of Sci. and Technol. Vol 1. No. 1. 6-11.
Seumahu, Cecilia Anna, Antonius Suwanto, Debora Hadisusanto, dan
Maggy
Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial
Communities During
Traditional Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia,
August 2007, p 65-
68.
Soekarto, S. T. (1981). Penilaian Organoleptik untuk Industri
Pangan dan Hasil Pertanian.
PUSBANGTEPA / Food Technology Development Center. IPB.
Bogor.
Sutarminingsih. (2004). Business Opportunity Nata de Coco.
Publisher Canisius.
Yogyakarta
-
14
Tortora, G.J., Funke, R. and Case, C.L. (1995). Microbiology.
The Benjamin/Cummings
Publishing Company, Inc. USA.
Trcek, J. 2005. Quick identification of acetic acid bacteria
based on nucleotide sequences
of the 16S-23S rDNA internal transcribed spacer region and of
the PQQ-dependent
alcohol dehydrogenase gene. Systematic and Applied Microbiology
28(8): 735-745.
Verschuren PG, Carodona TD, Nout MJR, de Gooijer KD, van den
Heuvel JC (2000)
Location and limitation of cellulose production by Acetobacter
xylinum established
from oxygen profiles. J Biosci Bioeng 89(5):414419.
doi:10.1016/S1389-1723(00) 89089-1.
Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar.
Erlangga. Jakarta.
White DG, Brown RM Jr (1989) Prospects for the commercialization
of the biosynthesis
of microbial cellulose. In: Schuerech C (ed) Cellulose and
wood-chemistry and
technology. Wiley, New York.
Wijayanti, F; Sri K; dan Masud E. (2010). Pengaruh Penambahan
Sukrosa dan Asam Asetat Glacial terhadap Kualitas Nata dari Whey
Tahu dan Substrat Air Kelapa. Jurnal
Industria 1(2) : 86-93.
-
15
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Persentase Lapisan Nata = 100%x Awal Media Tinggi
NataKetebalan Tinggi
Kelompok F1
H0 % Lapisan Nata = 100%x 0,5
0 = 0
H7 % Lapisan Nata = 100%x 0,5
0,4 = 80
H14 % Lapisan Nata = 100%x 0,5
0.4
= 80
Kelompok F2
H0 % Lapisan Nata = 100%x 2
0 = 0
H7 % Lapisan Nata = 100% x 2
0,2 = 10
H14 % Lapisan Nata = 100% x 2
0,2 = 10
Kelompok F3
H0 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0 = 0
H7 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,5 = 33,33
H14 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,2
= 13,33
Kelompok F4
H0 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0 = 0
H7 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,3 = 20
H14 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,3
= 20
Kelompok F5
H0 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0 = 0
H7 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,3
= 20
H14 % Lapisan Nata = 100%x 1,5
0,1
= 80
5.2. Laporan Sementara
5.3. Jurnal