R.A Kartini A. Biografi Kartini Asal Usul : -Raden Ajeng Kartini lahir dalam keluarga bangsawan Jawa di Tanah Jawa saat masih menjadi bagian dari koloni Belanda, Hindia Belanda. Ayah Kartini, Raden Mas Sosroningrat, menjadi Kepala Kabupaten Jepara, dan ibunya adalah istri pertama Raden Mas ‘, poligami adalah praktik umum di kalangan bangsawan. Ayah Kartini, RMAA Sosroningrat, pada awalnya kepala distrik Mayong. Ibunya MA Ngasirah, putri dari Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai Haji Siti Aminah. Pada waktu itu, peraturan kolonial ditentukan bahwa Kepala Kabupaten harus menikahi seorang anggota bangsawan dan karena MA Ngasirah bukanlah bangsawan yang cukup tinggi. Biografi R.A Kartini, Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan kedua ini, ayah Kartini diangkat untuk Kepala Kabupaten Jepara, menggantikan ayahnya sendiri istri keduanya, RAATjitrowikromo.
Biografi RA. Kartini Siswa SMPIT Al Mughni Setiabudi Jakarta Selatan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
R.A Kartini A. Biografi Kartini
Asal Usul :
-Raden Ajeng Kartini lahir dalam keluarga bangsawan Jawa di Tanah Jawa saat masih menjadi bagian dari koloni Belanda, Hindia Belanda. Ayah Kartini, Raden Mas Sosroningrat, menjadi Kepala Kabupaten Jepara, dan ibunya adalah istri pertama Raden Mas ‘, poligami adalah praktik umum di kalangan bangsawan.
Ayah Kartini, RMAA Sosroningrat, pada awalnya kepala distrik Mayong. Ibunya MA Ngasirah, putri dari Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara, dan Nyai Haji Siti Aminah. Pada waktu itu, peraturan kolonial ditentukan bahwa Kepala Kabupaten harus menikahi seorang anggota bangsawan dan karena MA Ngasirah bukanlah bangsawan yang cukup tinggi. Biografi R.A Kartini, Ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan kedua ini, ayah Kartini diangkat untuk Kepala Kabupaten Jepara, menggantikan ayahnya sendiri istri keduanya, RAATjitrowikromo.
Ibu Kita Kartini dilahirkan dalam keluarga dengan tradisi intelektual yang kuat. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun sementara Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang ahli bahasa. Keluarga Kartini mengizinkannya untuk menghadiri sekolah sampai dia berumur 12 tahun, di antara mata pelajaran lain, ia fasih berbahasa Belanda, suatu prestasi yang tidak biasa bagi wanita Jawa pada waktu itu. Setelah berusia 12 tahun ia harus berdiam diri di rumah, aturan di kalangan bangsawan Jawa pada masa tersebut, tradisi untuk mempersiapkan para gadis-gadis di usia muda untuk pernikahan mereka. Gadis pingitan yang tidak diizinkan untuk meninggalkan rumah orangtua mereka sampai mereka menikah, di mana titik otoritas atas mereka dialihkan kepada suami mereka. Ayah Kartini memberikan keringanan kepadanya selama pengasingan putrinya, memberikan hak istimewa seperti memberikan pelajaran menyulam dan kadang-kadang tampil di depan umum untuk acara khusus. Selama pengasingan itu, Kartini terus mendidik dirinya sendiri. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, ia mendapatkan beberapa teman pena Belanda. Salah satu dari mereka, seorang gadis bernama Rosa Abendanon, menjadi temannya sangat dekat. Buku, surat kabar dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa, dan memupuk keinginan untuk memperbaiki kondisi perempuan pribumi, yang pada waktu itu memiliki status sosial yang sangat rendah. Kartini membaca surat kabar Semarang De Locomotief, disunting oleh Pieter Brooshooft, serta leestrommel, sebuah majalah yang diedarkan oleh toko buku kepada para pelanggan. Dia juga membaca majalah budaya dan ilmiah serta majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie, yang ia mulai mengirim kontribusi yang diterbitkan. Dari surat-suratnya, jelas bahwa Kartini membaca segala sesuatu dengan banyak perhatian dan perhatian. Buku-buku yang telah dibacanya sebelum ia berusia 20 tahun dimasukkan oleh Max Havelaar dan Surat Cinta oleh Multatuli. Dia juga membaca De Stille Kracht (The Hidden Force) oleh Louis Couperus, karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-feminis Mrs Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah novel anti-perang oleh Berta von Suttner, Waffen Nieder mati! (Lay Down Your Arms!). Semua berada di Belanda. Keprihatinan Kartini tidak hanya dalam bidang emansipasi wanita, tetapi juga masalah-masalah masyarakatnya. Kartini melihat bahwa perjuangan bagi perempuan untuk memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum itu hanya bagian dari gerakan yang lebih luas. Orangtua Kartini diatur pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kepala Kabupaten Rembang, yang sudah memiliki tiga istri. Dia menikah pada tanggal 12 November 1903. Ini bertentangan dengan keinginan Kartini, tetapi dia setuju untuk menenangkan ayahnya yang sakit. Suaminya mengerti tujuan Kartini dan memungkinkannya untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks Kantor Kabupaten Rembang.
Kartini melahirkan seorang anak hasil pernikahannya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kepala Kabupaten Rembang pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25. Dia dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Terinspirasi oleh contoh Kartini, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini yang membangun sekolah untuk perempuan, ‘Sekolah Kartini’ di Semarang pada 1912, diikuti oleh sekolah-sekolah perempuan lain di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Peringatan Hari Kartini pada tahun 1953 Pada tahun 1964, Presiden Sukarno menyatakan tanggal kelahiran Kartini, 21 April, sebagai ‘Hari Kartini’ – Hari Libur Nasional Indonesia. Keputusan ini telah dikritik. Telah diusulkan bahwa Hari Kartini harus dirayakan dalam hubungannya dengan Hari ibu Indonesia, pada tanggal 22 Desember sehingga pilihan Kartini sebagai pahlawan nasional tidak akan menaungi wanita lain yang tidak seperti Kartini, mengangkat senjata untuk melawan penjajah. Sebaliknya, orang-orang yang mengakui pentingnya Kartini berpendapat bahwa tidak hanya dia seorang feminis yang ditinggikan status perempuan di Indonesia, dia juga seorang tokoh nasionalis, dengan ide-ide baru yang berjuang atas nama orang-orang, termasuk di tingkat nasional perjuangan kemerdekaan. B. Jalan cerita hidup seorang Kartini Lulus dari Europese Lagere School (ELS), nasib buruk merundung Kartini. Ia harus menjalani pingitan. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS) ditampik sang ayah, Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Usianya menjelang 13 pada 1892 itu. Mendadak, "Dunia Kartini menjadi sangat sempit, terbatas antara dinding‐dinding gedung kabupaten yang tebal dan kuat, serta halaman yang luas dilingkari tembok tebal dan tinggi, dengan pintu‐pintu yang selalu tertutup rapat," tulis Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi. Ia pun harus belajar menjadi putri bangsawan sejati: bicara tak boleh keras; dilarang tertawa, hanya boleh tersenyum dengan bibir terkatup; berjalan perlahan‐lahan; menundukkan kepala saban ada anggota keluarga yang lebih tua melintas. Kartini marah. Kecewa luar biasa. Pada pagi hari, saat menyaksikan dua adiknya, Rukmini dan Kardinah, berangkat ke sekolah, Kartini kerap meneteskan air mata. Ingin rasanya ikut menghambur keluar, namun pintu segera tertutup untuknya. Pingitan lazim dilakukan atas gadis‐gadis ningrat. Menjelang remaja, mereka dianggap mesti menyiapkan diri memasuki kehidupan berumah tangga. Pingitan merupakan 'sekolah' untuk itu semua. "...pola kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh memiliki cita‐cita. Satu‐satunya impian yang boleh kami kandung adalah: hari ini atau esok dijadikan istri
kesekian dari seorang pria!" tulis Kartini ke sahabat penanya di Belanda, Estelle "Stella" Zeehandellar. Di rumah, Kartini coba curhat kepada 2 kakaknya, Sulastri dan Slamet. Tapi, sia‐sia. Ketika Kartini menyinggung‐nyinggung kebebasan yang dikecap para wanita seusianya di Eropa, Sulastri berujar, "Masa bodoh! Aku sih orang Jawa." Slamet dan Kartono Sikap Slamet, sang kakak tertua, bahkan lebih buruk. Ia menganggap derajat Kartini lebih rendah. Maka, jika Kartini sedang duduk di kursi dan Slamet melintas, Kartini harus cepat‐cepat turun, berjongkok, dan menundukkan kepala. Contoh lain, Kartini kudu berbicara dengan langgam Kromo Inggil (bahasa Jawa halus) kepada kakaknya itu. Bentrok keduanya sering terjadi. Kalau ayah mereka ada di rumah, Slamet jeri bersikap keras. Sayangnya, Pak Bupati banyak berada di luar rumah. Slamet pun menjadi‐jadi, sementara Kartini hanya bisa melawan dengan suara gemetar. Namun, Kartini punya Kartono, kakaknya yang 2 tahun lebih tua. Dari Kartono, ia menerima buku‐buku pemikiran modern. Misalnya tentang Revolusi Prancis. Sayang, Kartono tak setiap saat ada di sisi Kartini karena mesti bersekolah di HBS Semarang. Namun, tiap kali Kartono pulang ke Jepara, Kartini mendapat sosok yang bisa memahami jalan pikirannya. Bacaan juga disediakan ayahnya: buku, majalah, dan koran berbahasa Belanda. Berkat pendidikan di ELS, Kartini bisa berujar bahasa Belanda dengan fasih. Juga mampu menulis dan membaca teks bahasa Belanda dengan lancar. Semua bacaan itu lumayan menghibur Kartini. Wawasan dan pengetahuannya pun kian luas. Semakin sadar saja Kartini bahwa ada yang keliru dalam perlakuan terhadap kaum perempuan. Setelah 4 tahun dalam pingitan, situasi mulai dikendurkan. Kartini, juga Rukmini dan Kardinah yang belakangan ikut dipingit, boleh sesekali ke luar rumah meski dengan pengawasan ketat. Pada 2 Mei 1898, pingitan untuk 3 kakak‐beradik itu resmi selesai. Mereka bertiga diajak ke Semarang untuk menyaksikan penobatan ratu Belanda, Wilhelmina. Kepada Stella, Kartini menulis, "Ini merupakan kemenangan yang sangat‐sangat besar. Karena itu juga kami sangat menghargainya."
_
1899 menjadi tahun penting buat Raden Ajeng Kartini. Ia genap 20 tahun. Setahun sebelumnya, Kartini lepas dari masa pingitan yang menyebalkan. Kartini getol membaca sejak kecil. Ia rutin menyimak koran Semarang, De Locomotief. Ia juga menerima paket majalah yang diedarkan toko buku kepada para pelanggan. Di antaranya majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Dari hanya sebagai pembaca, Kartini kemudian beberapa kali mengirim tulisan ke majalah tersebut. Dan, dimuat.
De Hollandsche Lelie pula yang memuat iklan yang dipasangnya. Iklan kecil itu, dimuat pada edisi 15 Maret 1899, bertuliskan: "Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita' untuk saling surat-menyurat. Yang dicari ialah seorang gadis dari Belanda yang umurnya sebaya dengan dia dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa.” Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi, kepala perempuan ningrat itu penuh dengan rasa penasaran. Ia sangat ingin tahu tentang "pergerakan perempuan" di Eropa. "Apakah benar seperti yang digambarkan dalam buku-buku atau majalah-majalah?" tulis Sitisoemandari. Gayung pun bersambut. Estelle Zeehandellar merespons. Ia lahir dari keluarga Yahudi di Amsterdam, 5 tahun lebih tua dari Kartini, dan seorang aktivis femini. Kartini memanggilnya Stella. Sosok Stella yang idealis niscaya klop dengan perempuan kelahiran 21 April 1879 tersebut. Mereka pun segera saling berkirim surat. Pertemanan pena ini membuka jalan Kartini untuk "berkenalan" dengan sejumlah tokoh lain di Belanda. Dalam surat pertamanya untuk Stella, Kartini bercerita tentang berakhirnya masa pingitannya. Ia menulis,"Aku mau maju, maju terus! Bukan pesta-pesta atau memburu kesenangan yang kuinginkan, tetapi tujuanku adalah adalah kemerdekaan. Aku mau merdeka, mau berdiri sendiri, agar tidak perlu tergantung pada orang lain, agar tidak terpaksa harus kawin..." Kartini juga kerap membicarakan buku-buku yang dibacanya kepada Stella. Misalnya, Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker). Ia terpukau dengan riwayat penulisnya yang pernah menjadi Asisten Residen di Lebak tapi gelisah dengan penderitaan rakyat pribumi.
Dibukukan dan Menarik Perhatian Buku lain yang diperbincangkan dengan Stella adalah Hilda van Suylenburg karya Goekoop-de Jong van Beek en Donk. "Roman feminis, yang di kala terbit menggoncangkan masyarakat Belanda ini, menceritakan tentang kepahitan dan penderitaan hidup seorang wanita yang menentang kekolotan..." tulis Sitisoemandari. Konon, Kartini membaca buku tersebut sampai 3 kali. Sekali, ia pernah mengunci diri dalam kamar agar bisa menyelesaikan buku itu dalam satu kesempatan. Kisah di sana memang sangat cocok dengan keprihatinan putri Bupati Jepara tersebut. Kartini banyak menulis tentang dirinya. Namun, ia juga banyak mengutarakan pandangan sosial-politisnya. Dalam sepucuk surat kepada istri Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, JH Abendanon, ia menulis, "Tetapi dapatkah Bunda menyangkal bahwa di samping
hal-hal yang indah dan mulia dalam masyarakat Bunda terdapat banyak juga hal-hal yang sama sekali tidak patut dinamakan 'peradaban'? Setelah Kartini wafat, JH Abendanon menghimpun dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya, bukan hanya Stella, di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang secara harafiah bermakna "Dari Kegelapan Menuju Cahaya." Terbit pertama kali pada 1911. Terbitnya surat-surat Kartini sangat membetot perhatian. Pikiran-pikiran Kartini mulai menggeser pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Itu semua berawal dari sebuah iklan kecil.
C. Silsilah Keluarga Kartini
I.R. Ngt. SITI SOENDARI & H. MOCHAMMAD NOER (R. TJITRO HADIDJOJO) ├───────> I.1.R. SOEDARSONO (MOCH. MASTOER) & R. Ngt. SOEROCHMI │ ├───────> I.1.1.R. Ngt. SOESIANI DARTATI & R.J. SOETOMO │ │ ├───────> I.1.1.1. R. F.J. FERIANTORO & R. Ngt. IRA A. │ │ │ └───────> I.1.1.1.1. R. FALI AKHRAM │ │ ├───────> I.1.1.2. R. Ngt. NOVIANI UTARYANTI & R. SRI U. │ │ └───────> I.1.1.3. Rr. OKTIVA ELNITYAWATI │ ├───────> I.1.2.R. Ngt. SOELISTIJOWATI & R. SOEHARTONO │ │ ├───────> I.1.2.1. R. ARI SETYO HARTANTO & R. Ngt. R.
│ │ │ └───────> I.1.2.1.1. R. NAFIFIA DRIAN H. │ │ ├───────> I.1.2.2. R. Ngt. VENITA CHERANI & R. AGUS H. │ │ │ ├───────> I.1.2.2.1. Rr. NABILA ULFA │ │ │ └───────> I.1.2.2.2. R. FARRAS ACHMAD F. │ │ ├───────> I.1.2.3. R. Ngt. NURHIDAYATI P. & R. M. FAJAR │ │ └───────> I.1.2.4. Rr. FARA NURAINI │ └───────> I.1.3.R. Ngt. SRI KANDARWATI & R. SOEBAGJO RAHARDJO │ ├───────> I.1.3.1. R. SANDI YUDHA B. & R. Ngt. WINNY I. │ │ └───────> I.1.3.1.1. R. MUHAMAD FARREL │ └───────> I.1.3.2. Rr. NIKEN PUSPI & R. SUGIHARTO └───────> I.2.R. Ngt. TOERIJAH SOERAHMI (SRI DJULASMI)
I.R. Ngt. SITI SOENDARI & R. PRAWIRO PRATOMO ├───────> I.3.R. SOETRISNO & R. Ngt. HASANAH (TAN YAN NIO) │ └───────> I.3.1.R. Ngt. MAYA SORAYA ANGELA & Rd. IRAWAN INDRA │ ├───────> I.3.1.1. Rr. FAUSIA FITRI MAYASARI │ └───────> I.3.1.2. Rr. WINIA OKI SAVITRI ├───────> I.3.R. SOETRISNO & R. Ngt. BETTY ROHAYATI └───────> I.7.R. ARJONO .S. & R. Ngt. CHATARINA SITI RUDATI ├───────> I.7.1. R. ARRY NUGROHO JATI & R. Ngt. YULIANITA │ ├───────> I.7.1.1. Rr. JUWITA RATRININGRUM │ └───────> I.7.1.2. Rr. KRISTANTI AYUNINGTYAS ├───────> I.7.2. BENY YULIYANTO & R. Ngt. NOVIANTI NOER │ ├───────> I.7.2.1. R. BAGUS YUNIANTO │ └───────> I.7.2.2. Rr. KRISTANTI AYUNINGTYAS ├───────> I.7.3. R. Ngt. CORRY AGUS CAHYA NINGSIH & MUHAMAD SOLEH │ ├───────> I.7.3.1. R. EKO WAHYUDI PUTRO │ ├───────> I.7.3.2. R. DANANG DWI PUTRANTO │ └───────> I.7.3.3. Rr.TRI WAHYANTI PUTRI ├───────> I.7.4. R. Ngt. DONNY SULISTYO & R. EKAYANA │ └───────> I.7.4.1. R. ANDY CHRISTIAN ├───────> I.7.5. R. ESTY PRIHANTO & R. Ngt. FAJARYANTI │ ├───────> I.7.5.1. Rr. AYU VALENTIN PUTRI │ └───────> I.7.5.2. R. IBNU DEWANTORO ├───────> I.7.6. R. GIRI YUDIYANTO & R. Ngt. TITIK HANDAYANI │ ├───────> I.7.6.1. Rr. SEPTI SETYANINGRUM │ ├───────> I.7.6.2. Rr. RETNO YUNITA AMBARWATI │ ├───────> I.7.6.3. Rr. LISDA AYU PITARTI │ └───────> I.7.6.4. R. WAHYU ARI WIBAWA ├───────> I.7.7. Rr. IDA PITARTI RAHAYU ├───────> I.7.8. R. YUDO TEGUH PITARTO ├───────> I.7.9. Rr. KUN HANDAYANINGRUM
├───────> I.7.10.R. LILIK ARDIYANTO & R. Ngt. YULI ASRINI │ └───────> I.7.10.1. R. DIMAS PRASETYO └───────> I.7.11.R. Ngt. MISRINI ARDIYANTI & R. DADANG SUHENDRA ├───────> I.7.11.1. Rr. ANDITA PUTRI ARDIYANI └───────> I.7.11.2. Rr. GITA PUSPITORINI I.R. Ngt. SITI SOENDARI & R. TJITRO SARDJONO ├───────> I.4.R. Ngt. SARTINI & R. ISTAMAR │ ├───────> I.4.1. R. EKO WIBOWO & R. Ngt. SALFIDA │ │ ├───────> I.4.1.1. Rr. ESA LANGGENG MUKTI WIBOWO │ │ └───────> I.4.1.2. Rr. MUKTI ADRIATI │ ├───────> I.4.2. R. TRI WAHYUDI & R. Ngt. HERMIN HASTUTI │ │ ├───────> I.4.2.1. Rr. PRAHASTUTI WAHYUNINGTYAS │ │ └───────> I.4.2.2. R. ARY FIRMANTO │ ├───────> I.4.3. Rr. TUR WAHYUNI │ ├───────> I.4.4. Rr. TUR WAHYUTI │ ├───────> I.4.5. R. Ngt. ENDANG PRATIWI & R. ENDRO MANTORO │ │ ├───────> I.4.5.1. Rr. SUCI ENDARWATI │ │ └───────> I.4.5.2. R. RADITYA HENDRAWAN │ ├───────> I.4.6. R. ENDANG SETYO WARDANI & R. MUKHLAS SATIBI │ │ └───────> I.4.5.2. R. BAGUS RESPATI │ └───────> I.4.7. R. Ngt. YIYIK ISBANDIYAH & R. SUBONGSO │ ├───────> I.4.7.1. R. BOGGI RIZAL SATRIAWAN │ └───────> I.4.6.2. Rr. BELVIANA DYAS TAMARANI ├───────> I.5.R. SOEDARMADI & R. Ngt. SRININGSIH │ └───────> I.5.1. R. NUGROHOJATI ├───────> I.6.R. Ngt. SRI AJATI & R. SOEDARSONO │ ├───────> I.6.1. R. Ngt. DYAH PURNOMOWATI & R. BAMBANG S. │ │ └───────> I.6.1.2. Rr. AYU WULANDARI │ ├───────> I.6.2. R. LILIK EKO ANANTOPUTRO & R. Ngt. INDRAWATI │ │ ├───────> I.6.2.1. Rr. RATIH PUSPA DEWI │ │ └───────> I.6.2.2. Rr. SHINTA AYU FITRIANTI │ ├───────> I.6.3. R. TYAS PUJO UTOMO & R. Ngt. INDRIASTUTI │ │ └───────> I.6.3.1. Rr. GABRIELLA ASTRI ASTASARI │ ├───────> I.6.4. R. JOKO MUHAMMAD NUR & R. Ngt. YAYUK W. │ │ ├───────> I.6.4.1. Rr. RAHMIDIAN ASTRI DEVINTA │ │ ├───────> I.6.4.2. R. RAHADYAN AJIE DEVANDRA │ │ └───────> I.6.4.3. Rr. NADIA ALYA DAMAYANTI │ └───────> I.6.5. R. Ngt. ENDAH SETYOWATI & R. MARKUS SUNARNO │ ├───────> I.6.5.1. R. DANIEL WIDITA WIDAYAKA │ ├───────> I.6.5.2. Rr. GRACE NADIA MELWINONA │ └───────> I.6.5.3. R. ARIELLE DANA RIZKYNANDA
└───────> I.6.R. Ngt. SRI AJATI & R. KI ADI SAMIDI ├───────> I.6.6. R. Ngt. ENDANG MUSTIKA RAHAYU & R. SAYOKO │ └───────> I.6.6.1. R. WAHYU SASONGKO ADI └───────> I.6.7. R. ANJAR SUSANTO BROTO & R. Ngt. SULISTYORINI C.
I.R. Ngt. SITI SOENDARI & H. SOELAEMAN └───────> I.8.R. Ngt. SITI ZOELAEKAH & R. SOEGIJANTO POERWOATMODJO ├───────> I.8.1. R. ANDAR PRAMINTO & R. Ngt. DEWI WORO S. │ ├───────> I.8.1.1. Rr. GANIS AMBARANI │ └───────> I.8.1.2. Rr. FARLY ANDARY ├───────> I.8.2. R. Ngt. BUDI MULARTI & R. TATANG ADHI TJ. │ ├───────> I.8.2.1. R. ANDITA PRIMANTOKO │ └───────> I.8.2.2. Rr. RIRI YUTANTRIAS └───────> I.8.3. R. Ngt. SRI SUBEKTI & R. TITO WIBOWO SUSETYO
Silsilah Keturunan Putri Ke-2 R. Ngt Soeprapti
II.R. Ngt. SOEPRAPTI & R. SOEDJONO SOEMODIHARJO ├───────> II.1. R. S SOEWONDO & R. Ngt. SOEGIATMI │ ├───────> II.1.1. R. Ngt. PRADEWI IEDARWATI & Rd. M.K. SRI HARYONO │ │ ├───────> II.1.1.1. Rr. ASTRIANI DEWI ANINDITA
│ ├───────> IV.3.3. Rr. SITI SYAHRIYANTI │ └───────> IV.3.4. R. RACHMAD WAHYUDI & NYIMAS DEWI SOPIAH │ └───────> IV.3.4.1 ALIKHA ARIESTY WAHYUDI ├───────> IV.4.R. BAMBANG SOEDJATMIKO P. & R. Ngt. EVI RATNA N. │ ├───────> IV.4.1. ADON PRASETYO HUTOMO │ ├───────> IV.4.2. Rr. ARINTA LAKSMI INDRIANI │ └───────> IV.4.3. R. ANUNG ANDITYO NUGROHO ├───────> IV.5.Rr. SOEGIANTINI ├───────> IV.6.Rr. SRI WIDIJATI ├───────> IV.7.Rr. RETNO POERBONINGSIH └───────> IV.8.R. SOEDIRO BASOEKI POERWO S. & R. Ngt. NUNING MUTRI G ├───────> IV.8.1. Rr. ANY HAPSARI └───────> IV.8.2. Rr. BESTARI FITRIANI
Silsilah Keturunan Putri Ke-5 R. Ngt Soekaeni
V. R. Ngt. SOEKAENI & R. SOENOTO MERTO HADINOTO ├───────> V.1.R. Ngt. ENDANG SRI HANDAYA N. & R. SRI JOKO MULYO │ ├───────> V.1.1. R. JOKO SULISTIYONO │ ├───────> V.1.2. Rr. ENDANG SULISTYANINGRUM │ ├───────> V.1.3. R. ANAK AGUNG SAMBARA │ ├───────> V.1.4. Rr. GONES NILASARI │ └───────> V.1.5. R. DANANG SAMBARA └───────> V.2.R. Ngt. ENDANG SITI PURWATININGSIH & R. M. ALI