TINJAUAN PUSTAKA Dispepsia Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas (Chang 2006). Ketidaknyamanan tersebut dapat berkaitan dengan masalah organik pada saluran cerna bagian atas, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), gastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus (nonulcer dyspepsia) merupakan ketidaknyamanan perut bagian atas, yang menetap atau kambuhan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara organik atau tidak disertai dengan gangguan pada organ pencernaan atas. Mekanisme dasar pada dispepsia nonulkus mungkin berhubungan dengan hipersensitivitas visceral terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, dan motilitas atau pengosongan lambung yang abnormal. Diet, stres, dan faktor gaya hidup lainnya dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala dispepsia (Beyer 2004). Remaja rentan mengalami dispepsia karena pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus (mengkonsumsi makanan cepat saji, dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary menginginkan segala sesuatu yang mudah, serta rentan stres). Prevalensi dispepsia secara global bervariasi antara 7-45%. Prevalensi dispepsia di Amerika Serikat 23,0-25,8%, di India 30,4%, Hongkong 18,4%, Australia 24,4-38,2%, dan China sebesar 23,3%. Penelitian Reshetnikov et al. (2001) menemukan 27% remaja putri dan 16% remaja putra mengalami dispepsia. Penelitian mengenai dispepsia di Indonesia lebih banyak dilakukan di rumah sakit (hospital based). Depkes (2006) menunjukkan bahwa dispepsia menempati urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak. ). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008). Gejala dispepsia meliputi rasa nyeri pada epigastrum (ulu hati), panas seperti terbakar di dada, kembung, perut penuh atau cepat kenyang, mual, muntah, dan sering bersendawa (Wibawa 2006). Menurut konsensus Roma tahun 1999, klasifikasi klinis praktis dispepsia didasarkan pada keluhan yang dominan. Pada kriteria tersebut, dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan
21
Embed
Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian ... filegastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN PUSTAKA
Dispepsia
Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai
rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas (Chang
2006). Ketidaknyamanan tersebut dapat berkaitan dengan masalah organik pada
saluran cerna bagian atas, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD),
gastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu (kolesistitis), atau patologi
teridentifikasi lainnya. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus (nonulcer
dyspepsia) merupakan ketidaknyamanan perut bagian atas, yang menetap atau
kambuhan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara organik atau tidak
disertai dengan gangguan pada organ pencernaan atas. Mekanisme dasar pada
dispepsia nonulkus mungkin berhubungan dengan hipersensitivitas visceral
terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan
pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, dan motilitas atau
pengosongan lambung yang abnormal. Diet, stres, dan faktor gaya hidup lainnya
dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala dispepsia (Beyer 2004). Remaja
rentan mengalami dispepsia karena pola makan yang tidak teratur dan gaya
hidup yang cenderung mudah terbawa arus (mengkonsumsi makanan cepat saji,
dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary menginginkan segala
sesuatu yang mudah, serta rentan stres).
Prevalensi dispepsia secara global bervariasi antara 7-45%. Prevalensi
dispepsia di Amerika Serikat 23,0-25,8%, di India 30,4%, Hongkong 18,4%,
Australia 24,4-38,2%, dan China sebesar 23,3%. Penelitian Reshetnikov et al.
(2001) menemukan 27% remaja putri dan 16% remaja putra mengalami
dispepsia. Penelitian mengenai dispepsia di Indonesia lebih banyak dilakukan di
rumah sakit (hospital based). Depkes (2006) menunjukkan bahwa dispepsia
menempati urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak. ). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan
bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per
tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008).
Gejala dispepsia meliputi rasa nyeri pada epigastrum (ulu hati), panas
seperti terbakar di dada, kembung, perut penuh atau cepat kenyang, mual,
muntah, dan sering bersendawa (Wibawa 2006). Menurut konsensus Roma
tahun 1999, klasifikasi klinis praktis dispepsia didasarkan pada keluhan yang
dominan. Pada kriteria tersebut, dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan
satu atau lebih gejala yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal.
Salah satu subtipe dispepsia adalah dispepsia dengan gejala-gejala menyerupai
ulkus atau tukak peptik. Keluhan yang menonjol pada subtipe tersebut antara lain
nyeri epigastrum episodik yang terlokalisasi, nyeri tersebut hilang setelah
pemberian antasida (Chang 2006). Gangguan lambung berupa gastritis dan
tukak peptik menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang mengganggu
penderitanya.
Gangguan Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk
seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu
oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase.
Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik.
Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein,
sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Fungsi motorik lambung terdiri
atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum,
pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus,
dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan
yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan
Lester 1994). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia,
fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri
atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan
serosa (Ganong 2003).
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung
dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk
gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk
membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke
duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan
lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan
pepsinogen. HCl membunuh sebagan besar bakteri yang masuk, membantu
pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna
protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup
pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa
lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong
2003).
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem
saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan
parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin,
asetilkolin, dan histamine. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam
lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun
makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan.
Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang
mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam,
selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses
sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi
asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan
makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi
tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi
lambung terkontrol (Ganong 2003).
Gangguan lambung yang umum terjadi adalah gastritis dan tukak peptik
(tukak lambung dan tukak duodenum). Gastritis dan tukak peptik merupakan
penyakit yang erat kaitannya dengan asam lambung dan pepsin. Patofisiologi
dasar dari gastritis dan tukak peptik adalah gangguan keseimbangan faktor
agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa).
Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya, obat-obatan
kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa
lambung. Gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau
ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (dispepsia) (Beyer
2004).
Gastritis
Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung. Bila peradangan terjadi di duodenum, maka disebut
duodenitis. Gejalanya seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan
menurun, perut kembung akibat regangan lambung, dan kadang-kadang disertai
kejang perut serta perdarahan. Sekumpulan gejala mual, muntah, nyeri
epigastrum, dan perut kembung disebut sebagai sindrom dispepsia. Pada
endoskopi, gastritis tampak sebagai perubahan warna mukosa lambung,
sedangkan dalam gambaran radiologis gastritis tampak sebagai perubahan relief
dari mukosa (Nurman 1990 diacu dalam Mulyani 2007). Gastritis dapat bersifat
akut dan kronis. Gastritis akut yang tidak diobati akan berkembang menjadi
kronis, disertai dengan borok-borok luka pada dinding yang disebut tukak
lambung. Gastritis memegang peranan penting sebagai faktor penyebab ulkus
atau tukak dan karsinoma. Gastritis kronis dapat menyebabkan fungsi lambung
terganggu. Kondisi ini akan mengurangi asupan makanan ke tubuh sehingga
berat badan turun, penyerapan vitamin B12 ikut terganggu sehingga dapat
menyebabkan anemia (Uripi 2004).
Meningkatnya produksi asam lambung dan berkurangnya daya tahan
dinding lambung terhadap pengaruh dari luar akan menimbulkan gastritis.
Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu penyakit ini, antara lain faktor
makanan, obat-obatan atau zat kimia, dan faktor psikologis (Uripi 2004). Faktor
makanan seperti penyimpangan cara makan, jenis makanan, dan jeda waktu
makan dapat menyebabkan gastritis. Meningkatnya cairan lambung disebabkan
oleh makanan dan minuman seperti cuka, cabe, kopi, alkohol, dan makanan lain
yang bersifat merangsang (Uripi 2004). Kebiasaan makan tidak teratur akan
membuat lambung sulit untuk beradaptasi untuk mengeluarkan asam lambung.
Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.
Penyebab gastritis yang paling umum sebenarnya adalah infeksi bakteri
Helicobacter pylori (H. pylori). Bakteri H. pylori adalah bakteri gram negatif yang
bergerak dengan flagela. Infeksi bakteri ini termasuk infeksi yang umum terjadi
pada manusia (Beyer 2004). Prevalensi H. pylori di negara berkembang
dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Di negara berkembang, prevalensi
H. pylori berkisar antara 30-80% sedangkan di negara maju diperkirakan
sebesar 10% (Fardah, Ganuh dan Subijanto 2006). Bakteri H. pylori hidup secara
berkoloni di bawah lapisan selaput lendir (mukosa) dinding bagian dalam
lambung dan menghasilkan urea sehingga mampu bertahan dalam suasana
asam. Fungsi selaput lendir pada lambung adalah untuk melindungi dinding
lambung dari kerusakan akibat asam yang diproduksi lambung.
Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)
Tukak peptik atau ulkus peptikum didefinisikan sebagai kerusakan atau
hilangnya mukosa, submukosa sampai lapisan otot dari saluran cerna bagian
atas yang berkaitan dengan asam dan pepsin dalam patogenesisnya. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun
sering disebut juga sebagai tukak. Tukak peptik dapat ditemukan pada bagian
saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu distal oesofagus,
lambung, duodenum, dan jejunum (Wilson dan Lester 1994).
Keluhan yang sering diutarakan penderita adalah nyeri di daerah
epigastrum (ulu hati) berupa nyeri yang tajam dan menyayat, atau terasa
tertekan, penuh atau terasa perih seperti pada seseorang yang lapar. Nyeri pada
bagian kanan atau kiri epigastrum terjadi 30 menit setelah makan dan dapat
menjalar ke punggung. Nyeri akan terasa berkurang setelah makan atau minum
antasida. Dispepsia juga dialami oleh penderita tukak peptik. Rasa nyeri pada
perut bagian atas merupakan gejala khas tukak, rasa nyeri diakibatkan oleh
asam lambung asam lambung dan pepsin yang merangsang serabut syaraf di
dasar tukak. Selain itu, motilitas otot-otot dapat menambah rasa nyerinya. Gejala
lain seperti rasa asam di mulut, mual, muntah, kembung, bersendawa, dan
berkurangnya nafsu makan (Hadi 2002 dalam Harahap 2009). Luka yang timbul
pada tukak peptik dapat mengakibatkan perdarahan. Bila jumlahnya sedikit,
darah tersebut akan keluar bersama feses. Feses akan berubah warna menjadi
kehitaman, keadaan ini disebut melena. Bila jumlahnya sangat banyak, darah
akan dimuntahkan, keadaan ini disebut hematemesis (Uripi 2004).
Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan
antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono 2001). Wilson dan Lester
(1994) menyatakan bahwa tukak duodenum menyusun 80% dari keseluruhan
tukak peptik dan menyerang sekitar 10-12% populasi. Tukak duodenum
umumnya menyerang pada kelompok umur yang lebih muda. Terjadinya tukak
duodenum pada umumnya disebabkan oleh hipersekresi asam lambung.
Penyebab kenaikan asam lambung diantaranya: jumlah sel parietal lebih banyak,
sel parietal lebih sensitif terhadap rangsangan, sekresi gastrin yang berlebihan,
dan hiperfungsi kelenjar. Kelainan lain yang ditemukan pada tukak duodenum
adalah pengosongan asam lambung terlalu cepat sehingga beban asam
lambung pada mukosa duodenum tinggi. Pada tukak lambung, sering ditemukan
kelainan berupa keterlambatan pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa
regurgitasi isi duodenum yang mengandung empedu dapat mencetuskan trauma
mukosa lambung yang kemudian berlanjut dengan ulserasi lambung (Wilson dan
Lester 1994).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan tukak peptik adalah
perimbangan antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor
pertahanan (defensif) dari mukosa. Normalnya, mukosa lambung dan duodenum
terlindung dari asam lambung dan pepsin melalui sekresi mukus, produksi
bikarbonat, pembersihan kelebihan asam lambung (difusi ion hidrogen) melalui
aliran darah, dan regenerasi sel epitelial. Produksi mukus distimulasi oleh
prostaglandin (Beyer 2004). Selain faktor agresif dan defensif, terdapat
beberapa hal yang menjadi faktor kontibusi untuk terjadinya tukak peptik antara
lain jenis kelamin, faktor stres, herediter, merokok, obat-obatan, dan infeksi
bakteri (Julius 1992). Beyer (2002) menyatakan bahwa penyebab primer tukak
peptik adalah infeksi H. pylori, gastritis, penggunaan aspirin dan obat
antiinflamasi non steroid, kortikosteroid, dan stres. Konsumsi alkohol berlebihan
dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan
mengganggu penyembuhan tukak peptik. Merokok dapat mengganggu faktor
defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa),
memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan
karena infeksi H. pylori. Patofisiologi tukak peptik dipaparkan dalam gambar 1.
Gambar 1 Etiologi, patogenesis, dan manajemen tukak peptik atau peptic ulcer
(Beyer 2004)
Gastritis
Manajemen Gizi
Status gizi yang baik (normal)
membantu menurunkan risiko infeksi bakteri dan
penyakit degeneratif
Aspirin & OAINS
lainnya
Infeksi
H. pylori Stres
TUKAK PEPTIK
ETIOLOGI
Erosi lapisan mukosa, submukosa, atau lapisan otot dinding saluran cerna atas
Manajemen Medis Manajemen Perilaku
Meningkatkan intik asam lemak rantai pendek dan rantai
sedang (MCT) yang memiliki efek perlindungan
PATOGENESIS
* OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Mengurangi atau menghindari OAINS
Menggunakan antibiotik, antasida
Menekan asam lambung dengan: Proton pump inhibitor atau blok reseptor H2
Menghindari rokok
Mengurangi konsumsi alkohol,
bumbu tajam, kopi dan kafein
Kebiasaan Merokok
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam
sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan
seperti racun. Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia
berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene,