FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PELAPORAN BAHAYA PADA PEKERJA TEKNISI UNIT MAINTENANCE DI PT PELITA AIR SERVICE AREA KERJA PONDOK CABE, TANGERANG SELATAN TAHUN 2015 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat OLEH: Dwi Nurvita NIM : 1111101000039 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2015 M
211
Embed
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37719/1/DWI NURVITA-FKIK.pdf · faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pelaporan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN
PELAPORAN BAHAYA PADA PEKERJA TEKNISI UNIT
MAINTENANCE DI PT PELITA AIR SERVICE AREA KERJA
PONDOK CABE, TANGERANG SELATAN
TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH:
Dwi Nurvita
NIM : 1111101000039
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2015 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 3 Desember 2015
Dwi Nurvita
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Desember 2015
Dwi Nurvita, NIM : 1111101000039
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pelaporan Bahaya
pada Pekerja Teknisi Unit Maintenance di PT Pelita Air Service Area Kerja
keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja, pengaruh
penghargaan) pada pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air
Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang Selatan Tahun 2015?
4. Apakah ada hubungan antara faktor internal (usia, masa kerja, sikap,
persepsi terhadap bahaya) dengan kepatuhan pelaporan bahaya pada
pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air Service area kerja
Pondok Cabe, Tangerang Selatan Tahun 2015?
5. Apakah ada hubungan antara faktor eksternal (frekuensi paparan
pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja,
pengaruh penghargaan) dengan kepatuhan pelaporan bahaya pada
pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air Service area kerja
Pondok Cabe, Tangerang Selatan Tahun 2015?
10
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
pelaporan bahaya pada pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita
Air Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang Selatan Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran kepatuhan pelaporan bahaya pada pekerja
teknisi unit maintenance di PT Pelita Air Service area kerja Pondok
Cabe, Tangerang Selatan Tahun 2015.
b. Diketahuinya gambaran faktor internal (usia, masa kerja, sikap,
persepsi terhadap bahaya) pada pekerja teknisi unit maintenance di
PT Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang Selatan
Tahun 2015.
c. Diketahuinya gambaran faktor eksternal (frekuensi paparan
pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja,
pengaruh penghargaan) pada pekerja teknisi unit maintenance di PT
Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang Selatan
Tahun 2015.
d. Diketahuinya hubungan antara faktor internal (usia, masa kerja,
sikap, persepsi terhadap bahaya) dengan kepatuhan pelaporan
bahaya pada pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air
Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang Selatan Tahun 2015.
11
e. Diketahuinya hubungan antara faktor eksternal (frekuensi paparan
pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja,
pengaruh penghargaan) dengan kepatuhan pelaporan bahaya pada
pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air Service area kerja
Pondok Cabe, Tangerang Selatan Tahun 2015.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi PT Pelita Air Service
a. Sebagai sumber informasi mengenai pelaksanaan pelaporan
bahaya pada pekerja di PT Pelita Air Service.
b. Bahan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pelaporan bahaya
di PT Pelita Air Service dengan meninjau faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pekerja.
2. Bagi Pekerja PT Pelita Air Service
Sebagai gambaran dan bahan evaluasi diri pekerja mengenai
dukungan pekerja serta faktor-faktor yang berhubungan dalam pelaporan
bahaya.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan referensi dan kepentingan pengembangan penelitian
selanjutnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
pelaporan bahaya pada pekerja.
12
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan pelaporan bahaya pada pekerja teknisi unit
maintenance di PT Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang
Selatan Tahun 2015. Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja teknisi
unit maintenance di area kerja Pondok Cabe, PT Pelita Air Service.
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-Desember tahun 2015 di PT
Pelita Air Service. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara
mengumpulkan data primer melalui pengisian kuesioner dan data sekunder
melalui studi dokumen safety report untuk mengetahui pengisian pelaporan
bahaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi
cross sectional.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepatuhan
1. Definisi Kepatuhan
Kepatuhan (compliance) merupakan salah satu bentuk perilaku
yang dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal (Ruhyandi,
2008). Geller (2001) pada teori safety triad juga menyatakan kepatuhan
merupakan salah satu faktor pada komponen behavior yang dipengaruhi
oleh interaksi faktor pada komponen person dan environment. Ramdayana
(2009) mengemukakan bahwa kepatuhan akan menghasilkan perubahan
tingkah laku (behaviour change) yang bersifat sementara dan individu
yang berada di dalamnya akan cenderung kembali ke
perilaku/pandangannya yang semula jika pengawasan kelompok mulai
mengendur dan perlahan memudar atau jika individu tersebut dipindahkan
dari kelompok asalnya.
B. Pelaporan Bahaya
Kegiatan pelaporan bahaya dilakukan oleh pekerja dalam rangka
mencegah kecelakaan kerja serta untuk menciptakan lingkungan kerja
yang lebih aman.
1. Pelaporan
Pelaporan adalah pertukaran informasi secara lisan atau tulisan
sebagai pertanggungjawaban dari bawahan kepada atasan sesuai dengan
13
hubungan wewenang (authority) dan tanggung jawab (responibility) yang
ada antara mereka. Selain itu, pelaporan merupakan salah satu cara
pelaksanaan komunikasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Laporan mempunyai peranan yang penting pada suatu organisasi karena
hubungan antara atasan dan bawahan, ataupun antara sesama pekerja
dalam suatu organisasi yang terjalin baik dan dapat mewujudkan sebagian
dari keberhasilan organisasi tersebut (Haryanto, 2007).
2. Kondisi Bahaya
Bahaya adalah suatu objek atau situasi yang berpotensi
menyebabkan kerusakan, gangguan efek kesehatan yang mempengaruhi
sesuatu atau seseorang di bawah kondisi-kondisi tertentu di tempat kerja
(CCOHS, 2008). Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya
kecelakaan dan insiden yang membawa dampak terhadap manusia,
peralatan, material dan lingkungan (Ramli, 2010). Berdasarkan modifikasi
piramida kecelakaan dari Heinrich’s Accident Triangle bahwa situasi
berbahaya terdiri dari pelaporan kondisi tidak aman dan perilaku tidak
aman (WSH Council, 2014).
Kondisi tidak aman (unsafe condition) yaitu kondisi lingkungan
kerja yang mengandung potensi atau faktor bahaya yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja, antara lain:
a. Keadaan mesin, peralatan kerja, pesawat
b. Lingkungan kerja: licin, panas, terlalu dingin, terlalu panas, berdebu,
dan terdapat bahan beracun dan berbahaya (Ernawati, 2009).
14
Sedangkan tindakan tidak aman (unsafe action) yaitu suatu
tindakan atau tingkah laku yang tidak aman sehingga dapat menyebabkan
kecelakaan kerja, misalnya:
a. Cara kerja yang tidak benar
b. Sikap kerja yang tergesa-gesa
c. Kurang pengetahuan dan ketrampilan
d. Kelelahan dan kejenuhan, dll (Ernawati, 2009).
3. Pelaporan Bahaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja mengharuskan adanya
pelaporan bahaya di tempat kerja. Pelaporan dilaporkan kepada atasan atau
supervisor untuk dapat mengurangi potensi bahaya yang akan
menghasilkan dampak negatif (EHS Carleton Univesity, 2009).
Menurut CCOHS (2008) proses pelaporan bahaya memungkinkan
pekerja untuk melaporkan kondisi berbahaya yang mereka lihat secara
langsung dengan mengisi formulir sederhana yang tersedia. Prosedur ini
memungkinkan untuk pelaporan cepat dan tindakan perbaikan berikutnya
tanpa menunggu inspeksi rutin.
Penyelidikan dan analisis dari semua kejadian berbahaya adalah
cara yang efektif untuk mencegah kecelakaan di tempat kerja.
Penyelidikan dan analisis harus menghasilkan informasi yang mengarah ke
tindakan korektif yang mencegah atau mengurangi jumlah kejadian
berbahaya (Human Resources and Skills Development Canada, 2013).
15
Sehingga adanya kegiatan dalam pelaporan bahaya atas tindakan
dan kondisi tidak aman harus dilaksanakan dengan baik. Hal ini juga
sesuai dengan teori safety accident pyramid sebagai berikut :
Gambar 2.1
Safety Accident Pyramid
Teori ini menggunakan ratio perbandingan 1: 10 : 30 : 600 yang
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Rasio perbandingan 1 adalah untuk kecelakaan berat atau fatal
artinya bahwa setiap satu kali kecelakaan berat atau fatal terjadi,
sebelumnya ada sepuluh kali kejadian yang berakibat luka ringan.
b. Rasio perbandingan 10 adalah untuk kecelakaan dengan luka
ringan artinya bahwa sepuluh kali kecelakaan luka ringan terjadi,
sebelumnya ada tiga puluh kali kejadian kerusakan harta benda.
c. Rasio perbandingan 30 adalah untuk kecelakaan kerusakan harta
benda, artinya bahwa setiap tiga puluh kali kejadian kerusakan
harta benda yang timbul, sebelumnya ada enam ratus kali kejadian-
kejadian yang tidak berakibat luka atau cidera maupun kerusakan
harta benda (nyaris celaka).
16
d. Rasio perbandingan 600 adalah untuk kecelakaan yang tidak
berakibat luka atau kerusakan (nyaris celaka), artinya bahwa setiap
enam ratus kali kejadian-kejadian yang tidak berakibat orang luka
maupun kerusakan harta benda yang terjadi, kejadian seperti inilah
yang perlu kita kendalikan agar tidak terjadi yang rasio
perbandingan kecelakaan 30, 10 maupun 1.
Piramida tersebut menunjukkan bahwa kontribusi tindakan yang
tidak aman akan menyebabkan cidera yang parah, satu kecelakaan terjadi
akibat akumulasi nearmiss yang merupakan at risk behaviour dan keadaan
berbahaya yang terdiri dari perilaku kerja yang tidak aman maupun kondisi
tidak aman (Bird, 1986) dalam (Roughton, 2002). Sejalan dengan itu,
menurut WSH Council (2014) incident yang terjadi mencakup kejadian
near-miss incident dan hazardous situation (situasi berbahaya) terbagi
menjadi unsafe conditions dan at risk behaviour (WSH Council, 2014).
Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk mencegah situasi berbahaya
(perilaku dan kondisi tidak aman) sebelum terakumulasi dan menyebabkan
kecelakaan dan cidera lebih serius. Salah satunya dengan melaksanakan
kegiatan pelaporan bahaya yang ada di PT Pelita Air Service.
4. Dasar Hukum Kegiatan Pelaporan Bahaya
a. OHSAS tahun 2007
OHSAS 18001 tahun 2007 mendefinisikan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja sebagai kondisi dan faktor yang mempengaruhi atau
akan mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja (termasuk
pekerja kontrak dan kontraktor) dan juga tamu atau orang lain berada
17
di tempat kerja. Dalam OHSAS:18001 klausul 4.5.3.2 mengatakan
bahwa organisasi harus menerapkan prosedur untuk mencatat
ketidaksesuaian, tindakan perbaikan serta mendokumentasikan
tindakan pencegahan.
OHSAS menyatakan bahwa pelaporan bahaya harus
diterapkan disetiap perusahan melalui pencatatan ketidaksesuaian
yang ada di area kerja oleh pekerja sehingga dapat tercipta
lingkungan kerja yang aman.
b. PP No. 50 Tahun 2012
Agar memudahkan pelaksanaan K3 di tempat kerja,
Departemen Tenaga Kerja juga mengeluarkan berbagai peraturan
yang berhubungan dengan K3, salah satunya Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah di Indonesia dalam PP No. 50 Tahun 2012
tentang SMK3 menyatakan bahwa setiap perusahaan yang
mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik
proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan
kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. Tertera pada Pasal 12
menyatakan bahwa dalam melaksanakan kegiatan K3 harus
melibatkan seluruh pekerja. Serta dalam lampiran II poin 8.1
menyatakan bahwa prosedur pelaporan bahaya harus dimiliki
perusahaan dan prosedur tersebut diketahui oleh tenaga kerja.
PP No. 50 Tahun 2012 menyatakan bahwa prosedur pelaporan
bahaya harus dimiliki perusahan dan diketahui oleh tenaga kerja
18
sehingga pelaksanaan K3 diperusahaan melibatkan seluruh pekerja
agar tercipta lingkungan kerja yang aman.
c. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor
SKEP/223/X/2009
Direktur Jenderal Perhubungan Udara telah mengeluarkan Surat
Keputusan (SK) Nomor SKEP/223/X/2009 tentang petunjuk dan tata
cara pelaksanaan sistem manajemen keselamatan (safety
managemenet system) operasi bandar udara, bagian 139-01 pada poin
4.1 menyatakan bahwa setiap pegawai bertanggung jawab untuk
melakukan identifikasi bahaya dan melaporkan kepada safety
manager/officer. Identifikasi bahaya yang ada di bandar udara
dilakukan salah satunya berdasarkan kegiatan pelaporan bahaya
namun tidak ditetapkan metode yang harus digunakan. Metode
identifikasi hazard disesuaikan dengan ketetapan setiap bandar udara.
SK Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor
SKEP/223/X/2009 juga menyatakan bahwa setiap bandar udara harus
memiliki sistem manajemen keselamatan salah satunya adalah
identifikasi bahaya yang dilakukan oleh seluruh pekerja di bandar
udara. Metode identifikasi bahaya tidak ditentukan oleh Direktur
Jenderal Perhubungan Udara, perusahaan memiliki kewenangan
sendiri untuk prosedur dalam identifikasi bahaya, salah satunya adalah
dengan kegiatan pelaporan bahaya. Selain itu, setiap perusahaan
memiliki kewenangan untuk mengadopsi, memodifikasi atau
19
merancang sendiri kegiatan pelaporan bahaya pada perusahaannya
sendiri.
C. Teori Perubahan Perilaku
1. Teori Green dan Kreuter, 2000
Kepatuhan merupakan salah satu bentuk perilaku (Ruhyandi,
2008). Menurut Green dan Kreuter tahun 2000 perilaku dibentuk dan
dipengaruhi dari tiga faktor yaitu:
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) yang terwujud dalam
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, nilai dan faktor demografi.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factors) yang terwujud dalam
tersedianya sumber daya yang mendorong perilaku, aksesibilitas
sumber daya.
c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors) berupa dukungan keluarga,
teman sebaya, pemberi pekerjaan, penyedia layanan kesehatan dan
pengajar.
Dedobbeleer dan German pada tahun 1987 sudah mengaplikasikan
teori Green kedalam occupational settings yaitu faktor yang mempengaruhi
praktik keselamatan pekerja. Kepatuhan pelaporan bahaya merupakan
bagian dari praktik keselamatan pekerja. Teori ini bisa digeneralisasikan
kepada kepatuhan pekerja secara umum termasuk pekerja maintenance
pernerbangan. Faktor yang mempengaruhi praktek keselamatan terbagi tiga
faktor yaitu faktor predisposisi yang merupakan dasar dimana semua faktor
penentu lainnya mungkin memiliki efek dari faktor ini, serta merupakan
faktor yang berasal dari diri manusia itu sendiri yang juga mencakup faktor
20
demografi seperti umur dan masa kerja. Faktor pemungkin yang merupakan
faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau kepatuhan
keselamatan pekerja dan faktor penguat adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku termasuk kepatuhan.
Berikut adalah teori Green dan Kreuter yang sudah diaplikasikan ke
occupational settings oleh Dedobbeleer dan German tahun 1987 (Green,
2000) seperti pada bagan 2.2:
Bagan 2.1
Faktor yang mempengaruhi Praktik Keselamatan Pekerja
Faktor Predisposisi
Pengetahuan mengenai keselamatan
Sikap terhadap kinerja keselamatan
Persepsi terhadap cidera
Pengendalian keselamatan atas pekerjaan sendiri
Riwayat cidera
Adanya rekan kerja yang terluka
Faktor Pemungkin
Paparan pelatihan keselamatan
Instruksi pada awal pekerjaan
Ketersediaan peralatan yang sesuai dan aman
Paparan rapat keselamatan
Work pace (kecepatan kerja)
Praktik
Keselamatan
Pekerja
Faktor Penguat
Sikap manajemen puncak terhadap
keselamatan
Peraturan manajemen puncak
Pengawasan kearah keselamatan
Sikap rekan kerja kearah keselamatan
Sikap keluarga kearah keselamatan
21
2. Teori Geller, 2001
Perilaku taat atau patuh terhadap peraturan merupakan langkah awal
menuju budaya keselamatan E. Scott Geller tahun 2001 mengemukakan
model Total Safety Culture yang memperhatikan 3 faktor yang
dinamakan The Safety Triad seperti pada bagan 2.3:
Pengetahuan, Keterampilan, Mesin, Peralatan
Kemampuan, Intelegensi housekeeping,
Motif,Kepribadian Standar prosedur
operasi& engienee
Persetujuan, Pelatihan,
Pengenalan, Komunikasi,
Menunjukkan kepedulian yang aktif
Bagan 2.2
The Safety Triad
Tiga faktor tersebut bersifat dinamis dan interaktif. Perubahan pada
salah satu faktor dapat mempengaruhi faktor lainnya. Budaya
keselamatan yang baik merupakan hasil interaksi perilaku K3, faktor
pribadi dan juga faktor organisasi. Faktor perilaku dan personal orang
tersebut menunjukkan kedinamisan manusia dalam keselamatan kerja.
Kedua faktor tersebut sangat penting untuk mencapai budaya
keselamatan yang baik. Pendekatan ini berfungsi untuk memahami dan
mengelola elemen manusia untuk mencegah kecelakaan kerja (Geller,
2001).
Budaya
Keselamatan
Orang Lingkungan
Perilaku
22
Selain itu, ada aspek internal dan eksternal pada individu yang
dapat mempengaruhi kesuksesan program keselamatan kerja (Geller,
2001). Pendekatan ini digunakan untuk mengubah perilaku seseorang
seperti pada bagan 2.3:
Bagan 2.3
Aspek internal dan eksternal pada individu
yang mempengaruhi kesuksesan program keselamatan kerja
Selain itu, Geller (2001) juga menggunakan teori ABC (Antecedent
-Behavior-Consequence) atau (Aktivator-Perilaku-Konsekuensi) model
yang dikemukakan oleh B.F Skinner untuk mengintervensi perubahan
perilaku termasuk kepatuhan. Model ini dapat digunakan untuk
mendiagnosis faktor yang berkontribusi dalam insiden atau perilaku
berisiko maupun kepatuhan dan menentukan tindakan koreksi. Dalam
model ini aktivator dapat merangsang timbulnya perilaku dan
konsekuensi dapat memotivasi perilaku.
Manusia
Internal
Status ciri-ciri:
Sikap, kepercayaan, pemikiran,
kepribadian, persepsi, nilai-nilai
dan tujuan
Eksternal
Perilaku :
Pelatihan, pengenalan,
persetujuan, komunikasi, dan
kepedulian secara aktif
Pendidikan
Person Based
Teori Kognitif
Survey Persepsi
Pelatihan
Behaviour based
Ilmu perilaku
Audit perilaku
23
- Diskusi -Pengisian kartu -Umpan Balik
-Kebijakan -menggunakan APD -Positif/negatif
-Ceramah -mengingatkan -Hadiah/
-Demonstrasi rekan kerja hukuman
-Perjanjian
Bagan 2.4
The ABC Model
Antecedent ialah sesuatu yang datangnya lebih dahulu sebelum
terjadi perilaku atau behavior. Antecedent dapat dikatakan sebagai
pemicu suatu perilaku atau dapat dikatakan mengapa orang berperilaku
seperti itu. Consequence ialah sesuatu yang mengikuti perilaku atau
dengan kata lain akibat dari perilaku yang dilakukan (Irliyanti, 2014).
Teori dalam model perilaku ABC ini sesuai dengan The lawfullness
of behavior dalam ilmu perilaku yang disampaikan oleh Irliyanti (2014)
mengemukakan bahwa tingkah laku manusia timbul karena adanya
stimulus, tidak ada tingkah laku manusia yang terjadi tanpa adanya
stimulus, stimulus merupakan sebab terjadinya perilaku, dan semakin
besar stimulus yang ada maka semakin besar kemampuannya untuk
menggerakkan tingkah laku.
Penggunaan model perilaku ABC merupakan cara yang efektif
untuk memahami mengapa perilaku bisa terjadi dan merupakan cara yang
efektif untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan ataupun kepatuhan
karena dalam model perilaku ini terdapat konsekuensi yang digunakan
untuk memotivasi agar frekuensi perilaku yang diharapkan dapat
meningkat serta model perilaku ABC ini berguna untuk mendesain
Aktivator Perilaku Konsekuensi
24
intervensi yang dapat meningkatkan perilaku, individu, kelompok, dan
organisasi (Geller, 2005). Dalam hal ini perilaku yang diharapkan
frekuensinya meningkat ialah kepatuhan pengisian kartu pelaporan
bahaya untuk mendukung meningkatnya perilaku aman pada pekerja.
D. Dampak Pelaporan Bahaya Tidak Lengkap
Dampak yang timbul jika pelaporan bahaya tidak terlaksana dengan
baik adalah tidak akan teridentifikasi bahwa terdapat kondisi-kondisi tidak
aman maupun perilaku tidak aman di lingkungan kerja yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan ataupun kejadian yang lebih besar. Ketika cidera
tidak dilaporkan, pekerja terluka melepaskan hak-hak mereka untuk
mendapatkan kompensasi pekerja dan perusahaan tetap tidak menyadari
masalah keselamatan yang terjadi. Kedua, pekerja dapat terus melakukan
pekerjaan dengan cara yang tidak aman karena mereka tetap tidak yakin
bahwa perilaku seperti itu mungkin mengakibatkan kecelakaan. Namun,
pekerja keliru, perilaku yang tidak aman adalah penyebab utama kecelakaan
yang bisa menyebabkan kematian (Human Resources and Skills Development
Canada, 2013).
Menurut Tarwaka (2008) kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang
tidak dikehendaki dan sering kali tidak terduga yang dapat menimbulkan
kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun korban jiwa yang
terjadi di dalam suatu proses kerja industri atau yang berkaitan dengannya.
Banyak sekali kerugian yang ditimbulkan dari kecelakaan kerja diantaranya
adalah jumlah kerugian untuk korban kecelakaan kerja ditambah dengan
kerugian-kerugian lainnya (material/non-material) yang diakibatkan oleh
25
kecelakaan kerja diantaranya kerugian-kerugian (biaya-biaya) dari biaya
langsung kecelakaan kerja yaitu biaya pengobatan dan perawatan korban
kecelakaan kerja serta biaya kompensasi (yang tidak diasuransikan). Selain
itu, biaya tidak langsung dikarenakan adanya kerusakan bangunan, alat dan
mesin, kerusakan produk dan bahan atau material, gangguan dan terhentinya
produksi, biaya administratif, pengeluaran sarana dan prasarana darurat, sewa
mesin sementara, waktu untuk investigasi, pembayaran gaji untuk waktu yang
hilang, nama baik, dan sebagainya (Marettia, 2010).
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pelaporan Bahaya
Kepatuhan pelaporan bahaya pekerja dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam pelaporan bahaya merupakan salah satu yang harus
diperhatikan untuk mencapai keselamatan dan lingkungan kerja yang aman.
Faktor terbagi menjadi dua faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaporan
bahaya yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kepatuhan pelaporan bahaya
merupakan salah satu program Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
dilakukan untuk mencegah kecelakaan kerja di perusahaan. Setiap perusahaan
memiliki kartu pelaporan bahaya dengan sebutan yang berbeda diantaranya
Kartu Keselamatan Kesehatan Lingkungan (KKL), Safety Training
Observation Program (STOP), Safety Toyota ―0‖ Accident Project (STOP6)
dan kartu observasi bahaya.
26
1. Faktor Internal
a. Usia
Semakin matang usia seseorang biasanya cenderung bertambah
pengetahuan dan tingkat kedewasaannya. Penelitian Shiddiq (2013) di PT
Semen Tonasa juga mengatakan bahwa pada umumnya dengan
bertambahnya usia akan semakin rasional, makin mampu mengendalikan
emosi dan makin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang
membahayakan. Menurut Septiano (2004) proporsi kepatuhan pekerja
yang berumur <30 tahun memiliki kepatuhan yang lebih baik jika
dibandingkan dengan kepatuhan pekerja yang memiliki usia ≥ 30 tahun.
Sebaliknya, penelitian Asril (2003) yang mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam mengisi Kartu
Pengamatan KKL menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara kategori umur dengan perilaku pekerja dalam mengisi kartu
pengamatan KKL yang berfungsi untuk mencatat perilaku dan kondisi
tidak aman di PT Apexindo Pratama Duta Tbk. Selain itu, tenaga kerja
yang masih muda mempunyai kemampuan kerja yang lebih baik dari
tenaga kerja yang sudah tua. Umur yang terlalu tua dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan kerja lebih parah disebabkan oleh penurunan
kemampuan reaksi dan kesulitan dalam penyesuaian diri dengan pekerjaan
(Helda, 2007).
b. Masa Kerja
Masa kerja pekerja berkorelasi positif dengan perilaku pelaporan
bahaya karena pengalaman untuk waspada terhadap kecelakaan kerja
27
bertambah baik sesuai dengan pertambahan lama bekerja di tempat kerja
yang bersangkutan (Helda, 2007). Menurut Hadiyani (2010) masa kerja
pendek menyebabkan keterlibatan sosial yang dibangun juga masih rapuh,
sehingga komitmen organisasi yang dimiliki oleh pekerja dengan masa
kerja yang pendek cenderung lebih rendah. Semakin lama pekerja bekerja
di dalam suatu perusahaan, maka semakin besar kemungkinan pekerja
mengetahui keadaan sesungguhnya yang terjadi di dalam perusahaan
(Kusuma, 2011). Salah satu bentuk keterlibatan sosial di dalam organisasi
adalah bentuk kesadaran pekerja untuk dapat melaporkan kondisi dan
perilaku berbahaya di lingkungan kerja. Bertentangan dengan itu menurut
penelitian Suryatno (2012) di perusahaan MontD‟Or Oil Tungkat Ltd.
menunjukkan tidak ada hubungan masa kerja dengan kualitas
implementasi kartu observasi bahaya.
c. Sikap
Sebuah sikap merupakan suatu keadaan mental, yang dipelajari dan
diorganisasi menurut pengalaman, dan menyebabkan timbulnya pengaruh
khusus atas reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan
situasi-situasi dengan siapa dia berhubungan (Winardi, 2004). Menurut
Notoatmodjo (2010) sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak dan
berpersepsi. Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu yang melibatkan faktor pendapat dan emosi. Notoatmodjo
(2010) menguraikan sikap memiliki tiga komponen pokok, antara lain:
1) Kepercayaan, ide dan konsep terhadap objek
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
28
3) Kecederungan untuk bertindak
Ketiga komponen tersebut akan saling mendukung dan bersama-
sama akan membentuk suatu sikap secara utuh (Nasrullah, 2014).
Penelitian Anugraheni (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan
bermakna antara sikap dengan perilaku pekerja dalam pelaksanaan
STOP6 yang berfungsi untuk mencatat adanya perilaku dan kondisi
berbahaya. Selain itu, menurut penelitian penelitian Asril (2003)
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam
mengisi Kartu Pengamatan KKL di PT Apexindo Pratama Duta Tbk
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan
perilaku pekerja dalam pengisian kartu pengamatan KKL yang berfungsi
untuk mencatat perilaku dan kondisi tidak aman di PT Apexindo
Pratama Duta Tbk. STOP6 dan KKL merupakan salah satu jenis kegiatan
pelaporan bahaya.
d. Persepsi Terhadap Bahaya
Persepsi merupakan tahap paling awal dari serangkaian memproses
informasi. Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang
telah dimiliki (yang disimpan di dalam ingatan) untuk mendeteksi atau
memperoleh dan menginterprestasi stimulus (rangsangan) yang diterima
oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung (Shiddiq, 2013).
Persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan
dan menginterpretasikan kesan-kesan sensori mereka untuk memberi
makna lingkungannya (Sanusi, 2012). Persepsi terhadap bahaya
menunjukkan penilaian pekerja terhadap bahaya yang berpotensi
29
menyebabkan kecelakaan dan cidera yang bisa terjadi pada diri dan
sekitarnya. Penelitian Marettia (2011) yang menyatakan ada hubungan
bermakna antara persepsi pekerja terhadap bahaya dengan perilaku pekerja
dalam melaksanakan program STOP yang merupakan kartu untuk
mencatat perilaku tidak aman di lingkungan kerja.
e. Pengendalian Keselamatan atas Pekerjaan Sendiri
Pengendalian keselamatan atas pekerjaan sendiri merupakan
kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri dan menunjukkan
pribadi yang profesional dalam bekerja termasuk dalam melaksanakan
program perusahaan seperti kegiatan pelaporan bahaya atau kemampuan
seseorang dalam mengontrol emosinya dalam bekerja (Maulana, 2009).
Setiap pekerja dapat memberikan kontribusi bagi kesuksesan ataupun
kegagalan organisasi melalui upaya kontrol terhadap dirinya. Misalnya,
pekerja melakukan kontrol pada perilakunya yang berhubungan dengan
kinerja, seperti bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas atau
kegiatan yang ditetapkan perusahaan dan melakukan kontrol agar tidak
berperilaku merusak dan membahayakan (Fox dan Spector, 2005).
Penelitian Fausiah (2013) menyatakan bahwa kontrol perilaku
berpengaruh signifikan terhadap intensi pekerja di Unit PLTD PT PLN
(Persero) Sektor Tello. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan
Wardani, dkk (2012) bahwa usaha secara proaktif terhadap pengalaman
demi kepentingannya sendiri (opennes to experience) tidak berpengaruh
pada munculnya perilaku dalam organisasi, perilaku pelaporan bahaya
merupakan salah satu bentuk perilaku dalam organisasi.
30
f. Riwayat Cidera
Semakin tidak aman perilaku seseorang dalam bekerja maka
semakin tinggi tingkat kejadian kecelakaan kerja yang dapat terjadi.
Ketika pekerja tidak melakukan kegiatan pelaporan bahaya dengan baik
maka secara tidak langsung pekerja telah melalukan tindakan yang tidak
aman. Riwayat cidera merupakan kejadian kecelakaan akibat kerja yang
pernah dialami oleh pekerja. Adanya riwayat cidera dapat memberikan
kewaspadaan lebih untuk patuh untuk melakukan pelaporan bahaya pada
diri pekerja.
Kepatuhan pekerja dalam bekerja dapat menciptakan munculnya
risiko yang berkaitan dengan keselamatan kerja. Munculnya perilaku yang
berisiko atau tidak patuh menjadi manifestasi sehingga individu merasa
kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kerja dan performance kerja
yang dimunculkan tidak lagi sesuai dengan kemampuan sebenarnya
dan berdampak menimbulkan kecelakaan kerja (Wibisono, 2013).
Penelitian Al Faris (2014) menunjukkan bahwa perilaku tenaga kerja
berpengaruh secara signifikan terhadap kecelakaan yang terjadi dengan.
Sebaliknya, penelitian Utami (2014) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara cidera atau sakit dengan perilaku K3 pada pekerja
Departemen Operasi II PT Pusri Palembang.
2. Faktor Eksternal
a. Adanya Rekan Kerja yang Terluka
Attwood (2006) menunjukkan bahwa kecelakaan kerja dipengaruhi
oleh iklim keselamatan, respon supervisor dan respon rekan kerja.
31
Dengan memiliki rekan kerja yang baik, para pekerja akan saling
membantu dan memiliki rekan bicara dalam pekerjaan. Seringkali
pekerja berperilaku tidak melakukan pelaporan bahaya karena rekannya
yang lain juga berperilaku demikian.
Geller (2001) juga menyebutkan tekanan rekan kerja semakin
meningkat saat semakin banyak orang terlibat dalam perilaku tertentu dan
saat anggota grup yang berperilaku tertentu terlihat relatif kompeten atau
berpengalaman. Sejalan dengan itu Jayatri (2014) yang berjudul faktor
individu dan faktor pembentuk budaya keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) dengan perilaku k3 menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara peran rekan kerja dengan perilaku aman. Perilaku pelaporan bahaya
merupakan bagian dari perilaku aman pada pekerja.
b. Frekuensi Paparan Pelatihan Keselamatan
Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah pelatihan
yang disusun untuk memberi bekal kepada personil yang ditunjuk
perusahaan untuk dapat menerapkan K3 di tempat kerja (Kusuma,
2011). Pelatihan K3 bertujuan agar pekerja dapat memahami dan
berperilaku pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja, mengidentifkasi
potensi bahaya di tempat kerja, melakukan pencegahan kecelakaan kerja,
menggunakan alat pelindung diri, melakukan pencegahan dan
pemadaman kebakaran serta menyusun program pengendalian
keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan salah satunya kegiatan
pelaporan bahaya (Hargiyarto, 2008).
32
Menurut penelitian Marettia (2011) di PT SIM Plant Tambun II
menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan
perilaku pekerja dalam pelaksanaan STOP yang merupakan kartu untuk
mencatat perilaku tidak aman di lingkungan kerja. Semakin baik
pelatihan yang diberikan pada pekerja dapat meningkatkan perilaku aman
dalam pelaksanaan STOP. Penelitian Asril (2003) mengenai faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam mengisi Kartu
Pengamatan KKL di PT Apexindo Pratama Duta Tbk juga menyatakan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan perilaku
pekerja dalam mengisi kartu pengamatan KKL yang berfungsi untuk
mencatat perilaku dan kondisi tidak aman di PT Apexindo Pratama Duta
Tbk. Sebaliknya, penelitian Anugraheni (2003) menghasilkan yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pelatihan
dengan perilaku pekerja dalam pelaksanaan STOP 6 yang berfungsi
untuk mencatat perilaku dan kondisi berbahaya. STOP, STOP 6, dan
kartu KKL merupakan salah satu jenis kegiatan pelaporan bahaya yang
diterapkan di perusahaan.
c. Instruksi pada Awal Pekerjaan
Instruksi pada awal pekerjaan atau yang biasa disebut safety
briefing merupakan bentuk komunikasi terhadap pekerja. Menurut
Notoatmodjo (2007), komunikasi adalah proses pengoperasian
rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau
gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi orang lain. Disamping untuk
menyampaikan perintah dan pengarahan dalam pelaksanaan pekerjaan,
33
komunikasi keselamatan dan kesehatan kerja digunakan untuk
mendorong perilaku, sehingga pekerja termotivasi untuk bekerja dengan
selamat dan melakukan perilaku tertentu, termasuk perilaku pelaporan
bahaya (Noviandry, 2013). Penelitian Marettia (2011) menyatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan perilaku pekerja
dalam melaksanakan STOP yang merupakan kartu untuk mencatat
perilaku tidak aman di lingkungan kerja. STOP merupakan salah satu
jenis kegiatan pelaporan bahaya di perusahaan.
d. Ketersediaan Peralatan yang Sesuai dan Aman
Mesin atau peralatan sering juga menimbulkan potensi bahaya
maka seluruh peralatan kerja harus didesain, dipelihara dan digunakan
dengan baik. Pengendalian potensi bahaya dapat dipengaruhi oleh bentuk
peralatan, ukuran, berat ringannya peralatan, kenyamanan operator, dan
kekuatan yang diperlukan untuk menggunakan atau mengoperasikan
peralatan kerja dan mesin-mesin (Tarwaka, 2008). Penelitan Hayati
(2004) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
ketersediaan APD dengan perilaku kepatuhan Terhadap Pelaksanaan
Standar Operating Procedure pada Pekerja di Bagian Welding PT
Krama Yudha Ratu Motor.
Namun bertentangan dengan itu, hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sumbung (2000) dalam Iqbal (2014) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara ketersediaan APD dengan perilaku kepatuhan
penggunaan APD.
34
e. Paparan Rapat Keselamatan
Paparan rapat keselamatan atau safety meeting merupakan bentuk
dari komunikasi dalam K3. Menurut Notoatmodjo (2007), komunikasi
adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang
atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi orang
lain. Marettia (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara komunikasi dengan perilaku pekerja dalam
melaksanakan program STOP yang merupakan kartu untuk mencatat
perilaku tidak aman di lingkungan kerja. Program STOP merupakan salah
satu jenis pelaporan bahaya. Sebaliknya, penelitian Utami (2014)
menghasilkan bahwa tidak ada hubungan antara safety meeting dengan
perilaku aman (safe behavior) pekerja Departemen Operasi II PT Pusri
Palembang.
f. Work Pace (Kecepatan Kerja)
Work pace adalah jumlah absolut dari beban kerja dan kecepatan
kerja atau waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Putra
(2010) mengungkapkan bahwa work pace merupakan hal yang
mempengaruhi perilaku pekerja dan kesehatan mental pekerja termasuk
perilaku pelaporan bahaya. Kecepatan kerja merupakan bagian dari beban
kerja yaitu tugas yang harus diselesaikan sesuai dengan tanggung jawab
yang dimiliki yang terdiri dari kuantitatif dan kualitatif. Namun penelitian
Saputra (2008) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara beban kerja
dengan perilaku aman pengemudi dump truck PT X Tanjung Enim,
Sumatera Selatan.
35
g. Sikap Manajemen Puncak
Sikap manajemen puncak merupakan faktor penting dalam
mempengaruhi sikap pekerja untuk mengikuti praktik keselamatan
termasuk pada kegiatan pelaporan bahaya. Rundmo dan Hale (2003)
dalam Idirimanna (2011) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku K3 dengan melakukan studi terhadap sikap (attitude) manajemen
terhadap keselamatan dan pencegahan terjadi kecelakaan. Hasil studi
menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh sikap.
Sikap yang ideal untuk manajemen adalah komitmen yang tinggi,
kefatalan rendah, toleransi terhadap pelanggaran rendah, emosi dan
kekhawatiran tinggi dan prioritas keselamatan tinggi. Sejalan dengan itu,
penelitian Marettia (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan
signifikan antara sikap manajemen dan perilaku dalam pelaksanaan STOP
yang merupakan kartu untuk mencatat perilaku tidak aman di lingkungan
kerja. STOP merupakan salah satu jenis kartu pelaporan bahaya.
h. Peraturan Manajemen Puncak
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan
standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller,
2001). Dalam hal ini perilaku yang diharapkan adalah perilaku pelaporan
bahaya. Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku yang
dapat diterima dan tidak dapat diterima (Syaaf, 2008).
Sejalan dengan itu, penelitian Susryandini (2015) menyatakan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara peraturan dengan kepatuhan
pekerja dalam menggunakan APD. Namun menurut penelitian Marettia
36
(2011) menghasilkan bahwa tidak ada hubungan antara prosedur yang baik
atau yang tidak baik terhadap perilaku pekerja dalam pelaksanaan STOP
yang merupakan kartu untuk mencatat perilaku tidak aman di lingkungan
kerja. STOP merupakan salah satu jenis kartu pelaporan bahaya.
i. Respon Pihak Pengawas
Tujuan pengawasan adalah memastikan bahwa tujuan dan target
sesuai dengan kebutuhan, memastikan bahwa pekerja dapat
menanggulangi kesulitan yang mereka temui, meningkatkan motivasi,
membantu meningkatkan keterampilan dan kemampuannya (Geller, 2001).
Dalam penelitian ini respon pihak pengawas menggambarkan
bagaimana pendapat pekerja mengenai umpan balik yang dilakukan safety
officer dalam pelaksanaan pelaporan bahaya yaitu ada respon atau tidak
ada respon dari pihak pengawas. Apabila umpan balik yang dilakukan
safety officer sesuai dengan kebutuhan pekerja, dalam arti safety officer
melakukan umpan balik secara teratur terhadap pekerja, memberikan
perhatian, pengarahan, dan petunjuk serta memperbaiki kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja dalam pelaksanaan kegiatan
pelaporan bahaya, maka pekerja akan menyatakan ada respon pihak
pengawas sehingga dari adanya respon pihak pengawasakan menentukan
perilaku karyawan dalam bekerja seperti perilaku melakukan pelaporan
bahaya.
Sebaliknya jika respon pihak pengawas yang dilakukan safety
officer tidak sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh pekerja,
dalam arti tidak pernah memberikan umpan balik secara teratur, tidak
37
memberikan petunjuk dan pengarahan dalam pelaksanaan kegiatan
pelaporan bahaya, maka hal ini akan dinilai tidak ada respon pihak
pengawas oleh pekerja. Dari pendapat yang menyatakan tidak ada respon
oleh pekerja akan menentukan perilaku pengawas yaitu ditunjukan dengan
ketidakdisiplinan dalam kegiatan pelaporan bahaya.
Menurut penelitian Halimah (2010) di PT SIM Plant Tambun II
menyatakan bahwa ada hubungan antara peran pengawas dengan perilaku
pekerja, termasuk perilaku pelaporan bahaya pada pekerja. Namun
menurut penelitian Marettia (2011) menyatakan tidak ada hubungan antara
peran pengawasan terhadap perilaku pekerja dalam pelaksanaan STOP
yang merupakan kartu untuk mencatat perilaku tidak aman di lingkungan
kerja di PT X. Sejalan dengan itu, penelitian Anugraheni (2003) di PT
Toyota Astra Motor Jakarta yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara pengawasan dengan perilaku pekerja dalam pelaksanaan STOP 6
yang berfungsi untuk mencatat perilaku dan kondisi berbahaya. STOP dan
STOP 6 merupakan salah satu jenis kartu pelaporan bahaya yang
diterapkan di perusahaan.
j. Sikap Rekan Kerja
Rekan kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku
individu lainnya. Persepsi sesama pekerja kesehatan dan keselamatan
mempengaruhi tingkat individu tentang kepatuhan terhadap keselamatan
(Idirimanna, 2011). Seringkali pekerja tidak berperilaku pelaporan bahaya
dengan baik karena rekannya yang lain juga berperilaku demikian. Geller
(2001) juga menyebutkan tekanan rekan kerja semakin meningkat saat
38
semakin banyak orang terlibat dalam perilaku tertentu dan saat anggota
grup yang berperilaku tertentu terlihat relatif kompeten atau
berpengalaman.
Penelitian Karyani (2005) pada 113 pekerja di Schlumberger
Indonesia diperoleh bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap
perilaku aman setelah peran pengawas/supervisor adalah peran dari rekan
kerja. Peran rekan kerja yang tinggi menujukkan peluang pekerja untuk
berperilaku aman lebih besar dibandingkan pekerja yang mempunyai
peran rekan kerja yang rendah.
k. Sikap Keluarga
Faktor dalam pekerjaan akan mempengaruhi kehidupan keluarga
dan sebaliknya faktor dalam keluarga akan mempengaruhi pekerjaan.
Perilaku pelaporan bahaya merupakan salah satu kewajiban yang harus
dilakukan pekerja dalam menjalankan pekerjaannya. Beberapa penelitian
meneliti masalah konflik pekerjaan dan keluarga yang terdiri dari dua
komponen yaitu pekerjaan berpengaruh negatif maupun pengaruh positif
terhadap keluarga dan sebaliknya. Balmforth dan Gardner (2006)
mengatakan nilai positif pekerjaan dan keluarga terjadi ketika peran yang
dilakukan dalam pekerjaan dan peran yang dilakukan dalam keluarga
saling memberikan konstribusi positif dan keuntungan. Sebaliknya,
penelitian Susanti (2013) menyatakan tidak ada hubungan antara konflik
pekerjaan dan keluarga dengan peran pekerjaan.
39
l. Penghargaan dan Sanksi
Menurut Geller (2001) hukuman adalah konsekuensi yang diterima
individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak
diharapkan. Hukuman dapat menekan atau melemahkan perilaku termasuk
pada perilaku pelaporan bahaya. Hukuman tidak hanya berorientasi untuk
menghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai kontrol
terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindung dari insiden.
Sedangkan penghargaan adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada
individu atau kelompok dengan tujuan mengembangkan, mendukung dan
memelihara perilaku yang diharapkan (Geller, 2001).
Menurut penelitian Anugraheni (2003) menyatakan bahwa ada
hubungan bermakna antara sanksi dan penghargaan dengan perilaku
pekerja dalam melaksanakan STOP 6 yang berfungsi untuk mencatat
kondisi dan perilaku berbahaya. Namun sebaliknya penelitian Marettia
(2011) tidak ada hubungan antara reward/punishment terhadap perilaku
pekerja dalam pelaksanaan STOP yang merupakan kartu untuk mencatat
perilaku tidak aman di lingkungan kerja. Selain itu, penelitian penelitian
Asril (2003) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
pekerja dalam mengisi Kartu Pengamatan KKL di PT Apexindo Pratama
Duta tbk menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
kebutuhan akan penghargaan dengan perilaku pekerja dalam pelaksanaan
kartu pengamatan KKL yang berfungsi untuk mencatat perilaku dan
kondisi tidak aman di PT Apexindo Pratama Duta Tbk. STOP, STOP 6
40
dan kartu KKL merupakan jenis dari kartu pelaporan bahaya yang
diterapkan di perusahaan.
F. Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan pada tinjauan
pustaka, kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini dimodifikasi
berdasarkan teori Green dan Kreuter (2000) serta Geller (2001).
Dedobbeleer dan German (1987) sudah mengaplikasikan teori Green dan
Kreuter kedalam occupational settings yang tercantum dalam buku Green
dan Kreuter (2000) yaitu faktor yang mempengaruhi praktik keselamatan
pekerja. Kepatuhan pelaporan bahaya pekerja termasuk bagian dari praktik
keselamatan pekerja. Teori yang digunakan dalam penelitian Dedobbeleer
dan German tahun 1987 sudah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
penelitian di PT Pelita Air Service, sedangkan untuk teori Geller (2001)
merupakan teori yang dapat mendiagnosis faktor yang berkontribusi dalam
insiden atau perilaku berisiko serta adanya aspek internal dan eksternal pada
individu dapat mempengaruhi kesuksesan kegiatan keselamatan kerja
(Geller, 2001). Modifikasi teori tersebut dapat digambarkan seperti pada
bagan 2.5:
41
Green, Kreuter (2000) dan Geller (2001)
Bagan 2.5
Kerangka Teori
Praktik Keselamatan
Pekerja
(Kepatuhan Pelaporan
Bahaya)
Faktor Internal
1. Usia
2. Masa Kerja
3. Pengetahuan
4. Sikap
5. Persepsi terhadap Bahaya
6. Pengendalian Keselamatan atas
Pekerjaan Sendiri
7. Riwayat Cidera
Faktor Eksternal
1. Adanya Rekan Kerja yang
Terluka
2. Frekuensi Paparan Pelatihan
Keselamatan
3. Instruksi pada Awal Pekerjaan
4. Ketersediaan Peralatan yang
Sesuai dan Aman
5. Paparan Rapat Keselamatan
6. Work Pace (Kecepatan Kerja)
7. Sikap Manajemen Puncak
8. Peraturan Manajemen Puncak
9. Respon Pihak Pengawas
10. Sikap Rekan Kerja
11. Sikap Keluarga
12. Penghargaan dan Sanksi
42
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat
dibentuk suatu kerangka konsep untuk dapat mendeskripsikan variabel-
variabel yang akan diteliti dengan variabel dependen yaitu kepatuhan
pelaporan bahaya pada pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air
Service seperti pada bagan 3.1:
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Kepatuhan Pelaporan
Bahaya
Faktor Internal
1. Usia
2. Masa Kerja
3. Sikap
4. Persepsi terhadap
Bahaya
Faktor Eksternal
1. Frekuensi Paparan
Pelatihan Keselamatan
2. Respon Pihak Pengawas
3. Sikap Rekan Kerja
4. Pengaruh Penghargaan
43
Berdasarkan bagan 3.1, dijelaskan bahwa variabel-variabel yang akan
diteliti adalah usia, masa kerja, sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi
paparan pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja dan
pengaruh penghargaan.Variabel pengendalian keselamatan atas pekerjaan
sendiri, pengetahuan, adanya rekan kerja yang terluka di tempat kerja, riwayat
cidera, instruksi pada awal pekerjaan, ketersediaan peralatan yang sesuai dan
aman, paparan rapat keselamatan, work pace, sikap manajemen puncak,
peraturan manajemen puncak, sikap keluarga tidak diteliti dalam penelitian ini.
Peneliti tidak meneliti variabel sanksi karena PT Pelita Air Service
tidak menerapkan sistem sanksi/ punishment pada kegiatan pelaporan bahaya.
Variabel pengendalian keselamatan atas pekerjaan sendiri tidak diteliti karena
kepatuhan pelaporan bahaya dilakukan dengan fokus memperhatikan
keselamatan rekan kerja atau orang lain di sekitar pekerja bukan diri sendiri.
Walaupun pekerja juga memperhatikan kondisi tidak aman untuk keselamatan
diri pekerja sendiri.
Variabel adanya rekan kerja yang terluka di tempat kerja tidak diteliti
dikarenakan untuk pertanyaan ini pekerja dituntut untuk mengingat apa yang
terjadi pada rekan kerja bukan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan
bias informasi yang cukup besar dan variabel riwayat cidera tidak diteliti
dikarenakan sulit untuk memastikan bahwa yang dipersepsikan pekerja sebagai
cidera, benar-benar cidera atau bukan. Selain itu untuk variabel adanya rekan
kerja yang terluka dan riwayat cidera tidak dimungkinkan untuk dilakukan
studi dokumen karena dokumen pelaporan kecelakaan kerja di PT Pelita Air
Service hanya mencatat cidera yang masuk dalam klasifikasi cukup parah
44
sedangkan cidera ringan tidak termasuk, padahal variabel yang diteliti
mencakup cidera parah maupun cidera ringan.
Instruksi pada awal pekerjaan tidak diteliti dalam penelitian ini
dikarenakan variabel ini dianggap akan homogen karena instruksi selalu
dilakukan diawal pekerjaan secara bersamaan untuk seluruh pekerja teknisi
yang bertugas. Sejalan dengan itu, variabel paparan rapat keselamatan juga
tidak diteliti karena rapat keselamatan juga diadakan setiap minggu dan
diwakilkan oleh setiap pekerja teknisi yang akan dilakukan bergantian.
Variabel work pace (kecepatan kerja) juga tidak diteliti, walaupun
terdapat 5 tingkatan jabatan di divisi maintenance yaitu direksi, vice president
(VP), manajer, supervisor dan pekerja. Untuk populasi penelitian ini, jabatan
direksi, VP dan manajer tidak masuk dalam populasi penelitian dan beban kerja
tingkatan yang lain dirasa tidak jauh berbeda sehingga sampel dianggap akan
homogen karena supervisor dan pekerja teknisi memiliki tugas yang hampir
sama pada saat pre-flight dan post-flight pesawat serta pengaturan shift kerja
yang sudah diatur agar setiap pekerja mendapatkan beban kerja yang sama
walaupun tanggung jawabnya dimungkinkan berbeda. Variabel ketersediaan
peralatan yang sesuai dan aman tidak diteliti dikarenakan variabel ini juga
dianggap akan homogen, ketersediaan APD selalu dipantau setiap bulan oleh
safety officer serta pergantian APD oleh manajemen dilakukan setiap setahun
sekali.
45
Variabel pengetahuan tidak diteliti dikarenakan diduga homogen pada
populasi pekerja teknisi karena setelah dilakukan observasi diketahui bahwa
pekerja sudah mengetahui mengenai adanya kegiatan pengisian kartu pelaporan
bahaya.
Sikap manajemen puncak dan peraturan manajemen puncak tidak
diteliti karena variabel ini sudah dapat terlihat dengan adanya kegiatan
pelaporan bahaya. Kegiatan pelaporan bahaya menunjukkan adanya komitmen
dan langkah penegakan untuk praktik kerja aman melalui kegiatan pencegahan
kecelakaan dan cidera. Sikap keluarga tidak diteliti, menurut peneliti tidak
signifikan mempengaruhi perilaku pelaporan bahaya, keluarga tidak selalu
berinteraksi disaat pekerja bekerja. Untuk dukungan bagi para pekerja sudah
terdapat pada variabel sikap rekan kerja dan persepsi kegiatan pengawasan.
46
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Variabel Dependen
Kepatuhan Pelaporan Bahaya Pengisian kartu hazard report
dan safety observation form
yang dilakukan pekerja selama
satu tahun terakhir.
Studi dokumen Dokumen safety
report periode
2014-2015
0. Tidak, jika pekerja tidak
pernah mengisi form
1. Ya, jika pekerja pernah
mengisi form
Ordinal
Variabel Independen
Usia Masa hidup pekerja dalam
tahun dihitung dari tahun lahir
sampai tahun saat penelitian.
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner
Tahun
Rasio
Masa Kerja Jumlah waktu yang telah dilalui
pekerja di PT PAS, dimulai
dari tahun pertama bekerja
sampai tahun saat penelitian.
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner
Tahun
Rasio
47
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Sikap Kecenderungan pekerja
terhadap pernyataan mengenai
kepedulian terhadap
pelaporan bahaya
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner 0. Negatif, jika skor < mean
1. Positif, jika skor > mean
Ordinal
Persepsi terhadap bahaya Pendapat, penilaian, dan
penafsiran yang timbul dalam
diri pekerja mengenai
kerentanan terhadap bahaya
yang berpotensi menimbulkan
kecelakaan dan cidera pada diri
pekerja dan sekitarnya
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner 0. Negatif, jika skor < mean
1. Positif, jika skor > mean
Ordinal
Frekuensi Paparan Pelatihan
Keselamatan
Berapa kali dalam satu tahun
terakhir pekerja pernah
mengikuti kegiatan pemberian
informasi yang mengenai
pelaporan bahaya
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner 0. Jarang, jika pekerja < 2 kali
mengikuti pelatihan
1. Sering, jika pekerja > 2 kali
mengikuti pelatihan
Ordinal
Respon Pihak Pengawas Pendapat pekerja mengenai
kegiatan umpan balik yang
dilakukan safety officer
terhadap pekerja dalam
pelaksanaan pelaporan bahaya
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner
0. Tidak ada, jika skor < mean
1. Ada, jika skor > mean
Ordinal
Sikap rekan kerja Kecenderungan pekerja
terhadap pernyataan terkait
dukungan/ support dari rekan
kerja dalam kegiatan pelaporan
bahaya
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner 0. Kurang mendukung, jika skor
< median
1. Mendukung, jika skor >
median
Ordinal
48
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Pengaruh Penghargaan Pendapat pekerja terhadap
apresiasi yang diberikan
perusahaan kepada pekerja
dalam melaksanakan kegiatan
pelaporan bahaya
Menyebarkan
kuesioner
kepada
pekerja
Kuesioner
0. Tidak ada pengaruh, jika skor
< mean
1. Ada pengaruh, jika skor >
mean
Ordinal
49
C. Hipotesis
1. Adanya hubungan antara faktor internal (usia, masa kerja, sikap, persepsi
terhadap bahaya) dengan kepatuhan pelaporan bahaya pada pekerja teknisi
unit maintenance di PT Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang
Selatan Tahun 2015.
2. Adanya hubungan antara faktor eksternal (frekuensi paparan pelatihan
keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja, pengaruh
penghargaan) dengan kepatuhan pelaporan bahaya pada pekerja teknisi unit
maintenance di PT Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe, Tangerang
Selatan Tahun 2015.
50
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi
cross sectional dimana pengukuran variabel independen dan dependen
diambil pada waktu yang sama. Variabel independen dalam penelitian ini
adalah usia, masa kerja, sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi paparan
pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja dan
pengaruh penghargaan. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini
adalah kepatuhan pelaporan bahaya.
B. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di PT Pelita Air Service, area kerja Pondok
Cabe, Tangerang Selatan karena area kerja Pondok Cabe merupakan Based
Maintenance dan dilaksanakan pada bulan Mei-Desember tahun 2015.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja teknisi yang
tercatat sebagai pekerja tetap maupun pekerja kontrak yang bertugas di
hangar II dan hangar III PT Pelita Air Service, area kerja Pondok Cabe,
Tangerang Selatan. Jumlah Pekerja Teknisi unit maintenance berjumlah
136 pekerja sehingga total populasi sebesar 136 pekerja.
51
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh total populasi dari
pekerja teknisi yang bertugas di hangar II dan hangar III PT Pelita Air
Service, area kerja Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Berdasarkan jumlah
populasi yang ada, didapatkan jumlah responden pada penelitian ini
sebanyak 136 pekerja. Untuk mengetahui kekuatan dari jumlah sampel
tersebut, dilakukan perhitungan tingkat uji (Z1- β) menggunakan rumus berikut
ini:
( )2 (
√ ( ))2
]
( ) ( )]
Keterangan :
n = besar sample minimal
Z1 – α/2 = derajat kemaknaan
Z1 - β = tingkat kekuatan uji
P1 = Proporsi pekerja dengan sikap negatif dan berperilaku pelaporan bahaya
buruk berdasarkan penelitian sebelumnya (0,765) (Anugraheni, 2003)
P2 = Proporsi pekerja dengan sikap positif dan berperilaku pelaporan bahaya
buruk berdasarkan penelitian sebelumnya (0,529) (Anugraheni, 2003)
P = (P1+P2)/2= 0,647
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan tingkat kekuatan uji untuk
sampel sebanyak 136 pekerja teknisi sebesar 996,3% sehingga dapat
dikatakan bahwa jumlah sampel tersebut cukup kuat untuk digunakan
dalam menguji hipotesis penelitian ini.
52
D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengisian
kuesioner oleh pekerja teknisi unit maintenance area kerja Pondok Cabe, PT
Pelita Air Service. Sebelum mengisi kuesioner, peneliti meminta persetujuan
pekerja untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan memberikan informed
consent dan pekerja dijelaskan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta
cara pengisian kuesioner. Data yang dikumpulkan berupa usia, masa kerja,
sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi paparan pelatihan keselamatan,
respon pihak pengawas, sikap rekan kerja dan pengaruh penghargaan. Selain
itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan studi dokumen safety report
untuk mengetahui pengisian pelaporan bahaya yang dilakukan pada masing-
masing pekerja.
E. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang dibuat mencakup beberapa variabel yang diteliti, yaitu
variabel dependen dan variabel independen. Kuesioner dibagikan langsung
kepada para pekerja. Kuesioner yang digunakan ini sebelumnya pernah
digunakan oleh Anugraheni (2003) dan Marettia (2011) dan kuesioner ini
telah dimodifikasi oleh peneliti dan disesuaikan dengan lokasi kerja dan
perkembangan teori yang ada.
Dalam kuesioner ini dibagi menjadi beberapa kategori besar, seperti
kategori sikap dengan enam pertanyaan menggunakan empat skala likert yaitu
sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju dan sangat setuju. Kategori persepsi
53
terhadap bahaya dengan pertanyaan mengenai lima jenis bahaya yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan menggunakan tiga skala likert yaitu
sering terjadi, mungkin terjadi, tidak mungkin terjadi. Kategori frekuensi
paparan pelatihan keselamatan dengan satu pertanyaan dengan beberapa
alternatif jawaban dan lima pertanyaan mengenai materi pelatihan
keselamatan dengan dua skala likert yaitu ya dan tidak. Kategori pengaruh
penghargaan dengan dua pertanyaan dan beberapa alternatif jawaban. Serta
kategori respon pihak pengawas sebanyak 3 pertanyaan dengan beberapa
alternatif jawaban.
Untuk mengukur sikap rekan kerja menggunakan kuesioner dari
Gemma Batemann Tahun 2009 yang berisi empat pertanyaan dengan enam
skala pengukuran yaitu tidak pernah, sangat jarang, kadang-kadang, sering,
sangat sering, setiap saat (Batemann, 2009).
Selain kuesioner, peneliti juga melakukan studi dokumen safety report
periode 2014-2015 kepada tiap pekerja yang menjadi sampel penelitian. Studi
dokumen dilakukan tanpa sepengetahuan para pekerja dengan instrumen form
pelaporan bahaya. Form pelaporan bahaya digunakan untuk mengetahui
apakah pekerja pernah mengisi form atau tidak.
1. Kepatuhan Pelaporan Bahaya
Untuk variabel kepatuhan pelaporan bahaya peneliti melakukan
dengan studi dokumen, jika nama pekerja terdapat di dokumen safety
report pada periode 2014-2015 maka pekerja diberi skor 1 (satu)
sedangkan pekerja yang namanya tidak terdapat di dokumen safety report
maka pekerja diberi skor 0 (nol). Bila pekerja pernah mengisi form
54
pelaporan bahaya maka dikategorikan pekerja patuh dalam melakukan
pelaporan bahaya sedangkan bila pekerja tidak pernah mengisi form
pelaporan bahaya maka dikategorikan pekerja tidak patuh dalam
melakukan pelaporan bahaya.
2. Usia
Untuk variabel usia dilihat dari selisih tahun lahir pekerja dan
tahun dilakukan penelitian. Perhitungan nilai rata-rata untuk usia tiap
pekerja dilakukan dengan membagi antara total usia pekerja dengan
jumlah pekerja.
3. Masa Kerja
Untuk variabel masa kerja dilihat dari masa kerja pekerja dalam
tahun, dilihat dari selisih tahun pertama pekerja bekerja dan tahun
dilakukan penelitian. Perhitungan nilai rata-rata untuk masa kerja tiap
pekerja dilakukan dengan membagi antara total masa kerja pekerja
dengan jumlah pekerja.
4. Sikap
Untuk pertanyaan sikap dengan menggunakan skala likert dengan
menggunakan empat alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan
kuesioner. Pekerja dapat memilih salah satu dari empat alternatif jawaban
yang disediakan. Empat alternatif jawaban yang dikemukakan serta
pembobotannya seperti:
55
Tabel 4.1
Skoring Variabel Sikap
Favorable (+) Unfavorable (-)
Skor 1 bila jawaban STS Skor 4 bila jawaban STS
Skor 2 bila jawaban TS Skor 3 bila jawaban TS
Skor 3 bila jawaban S Skor 2 bila jawaban S
Skor 4 bila jawaban SS Skor 1 bila jawaban SS
Sumber : Azwar, 2009
Terdiri dari enam pernyataan dan memiliki skor maksimal 24 dan
skor minimal 6. Sebuah skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang
lebih tinggi dari sikap pekerja. Bila pekerja menjawab dengan jumlah
skor lebih dari sama dengan mean dikategorikan memiliki sikap yang
positif sedangkan bila pekerja menjawab dengan jumlah skor kurang
dari mean/median dikategorikan memiliki sikap negatif.
5. Persepsi Terhadap Bahaya
Untuk pertanyaan persepsi terhadap bahaya terdiri dari lima jenis
bahaya yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan cidera pada
pekerja dan sekelilingnya dengan menggunakan tiga skala likert yang
disebutkan dalam kuesioner. Pekerja dapat memilih salah satu dari tiga
skala likert yang disediakan. Tiga skala likert yang dikemukakan serta
pembobotannya seperti:
a. Skor 1 bila jawaban tidak mungkin terjadi
b. Skor 2 bila jawaban mungkin terjadi
c. Skor 3 bila jawaban sering terjadi
Terdiri dari lima pertanyaan dan memiliki skor maksimal 15 dan
skor minimal 5. Sebuah skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang
56
lebih tinggi mengenai penilaian terhadap bahaya. Bila pekerja menjawab
dengan jumlah skor lebih dari sama dengan mean dikategorikan memiliki
persepsi positif terhadap bahaya sedangkan bila pekerja menjawab
dengan jumlah skor kurang dari mean/median dikategorikan memiliki
persepsi negatif terhadap bahaya.
6. Frekuensi Paparan Pelatihan Keselamatan
Untuk variabel frekuensi paparan pelatihan keselamatan, setiap
jawaban dari pekerja akan dikategorikan, jika pada periode 2014-2015
pekerja mengikuti > 2 kali pelatihan maka diberi skor 1 (satu) sedangkan
jika pada periode 2014-2015 pekerja mengikuti < 2 kali pelatihan maka
diberi skor 0 (nol). Bila bila pekerja > 2 kali mengikuti pelatihan maka
dikategorikan sering sedangkan bila pekerja < 2 kali mengikuti pelatihan
maka dikategorikan pekerja jarang.
7. Respon Pihak Pengawas
Untuk variabel respon pihak pengawas, setiap jawaban dari
pertanyaan sesuai mendapatkan skor 1 (satu), jika jawaban tidak sesuai
maka akan mendapatkan skor 0 (nol). Bila pekerja menjawab dengan
jumlah skor lebih dari sama dengan mean dikategorikan ada respon pihak
pengawas sedangkan bila pekerja menjawab dengan jumlah skor kurang
dari mean dikategorikan tidak ada respon pihak pengawas.
8. Sikap Rekan Kerja
Untuk variabel sikap rekan kerja dengan menggunakan skala likert.
Skala likert menggunakan enam alternatif jawaban atau tanggapan atas
pernyataan kuesioner. Pekerja dapat memilih salah satu dari enam
57
alternatif jawaban yang disediakan. Enam alternatif jawaban yang
dikemukakan serta pembobotannya adalah:
a. Skor 6 bila jawaban setiap saat
b. Skor 5 bila jawaban sangat sering
c. Skor 4 bila jawaban sering
d. Skor 3 bila jawaban kadang-kadang
e. Skor 2 bila jawaban sangat jarang
f. Skor 1 bila jawaban tidak pernah
Terdiri dari empat pertanyaan dan memiliki skor maksimal 24 dan
skor minimal 4. Sebuah skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang
lebih tinggi dari sikap rekan kerja. Bila pekerja menjawab dengan jumlah
skor lebih dari sama dengan median dikategorikan sikap rekan kerja
mendukung sedangkan bila pekerja menjawab dengan jumlah skor
kurang dari median dikategorikan sikap rekan kerja tidak mendukung.
9. Pengaruh Penghargaan
Untuk variabel penghargaan, setiap jawaban dari pertanyaan
mendapatkan skor 1 (satu) jika menjawab ”butuh” dan “bermanfaat”,
sedang yang menjawab ”tidak butuh”, „biasa saja” dan “tidak
bermanfaat” mendapatkan skor 0 (nol). Bila pekerja menjawab dengan
jumlah skor lebih dari sama dengan mean dikategorikan ada pengaruh
penghargaan sedangkan bila pekerja menjawab dengan jumlah skor
kurang dari mean dikategorikan tidak ada pengaruh penghargaan.
58
F. Validitas dan Reabilitas Kuesioner
1. Validitas
Validitas merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan
alat ukur dapat mengukur objek secara tepat atau tidak. Pengujian validitas
kuesioner dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun
tidak valid untuk membuat keputusan tetap mempertahankan atau
menghapus setiap item. Item kuesioner yang tidak valid tidak dapat
digunakan untuk dilakukan pengukuran dan pengujian.
Pengujian validitas dapat menggunakan rumus statistik koefisien
cronbach alpha pada setiap item pertanyaan untuk jenis pertanyaan berupa
skala likert seperti variabel sikap, variabel persepsi terhadap bahaya, dan
variabel sikap rekan kerja sedangkan untuk jenis pertanyaan pilihan
dengan alternatif jawaban yang berbeda disetiap pertanyaan seperti
variabel frekuensi paparan pelatihan keselamatan, variabel respon pihak
pengawas dan variabel pengaruh penghargaan pengujian validitas dengan
menggunakan validitas isi dengan mengevaluasi tanggapan dari pekerja
untuk masing-masing item pada instrumen dengan melihat rentang waktu
pekerja menjawab dan ada tidaknya pengulangan pembacaan item
kuesioner untuk melihat apakah pekerja mengerti atas item pertanyaan
yang diberikan oleh peneliti.
Pada nilai koefisien cronbach alpha, setiap item pertanyaan dapat
dianggap valid jika hasil perhitungan statistik koefisien cronbach alpha
pada tiap pertanyaan memiliki rentang nilai 0,4–0,7 karena korelasi masih
59
dapat diterima, jika koefisien cronbach alpha 0,3 menunjukkan validitas
sedang, cenderung menunjukkan korelasi kecil sampai sedang, dan rentang
koefisien cronbach alpha <0,2 menunjukkan korelasi rendah (Di Lorio,
2005).
Pada hasil pengujian validitas isi dilihat dari tanggapan pekerja
menjawab, setiap item pertanyaan dapat dianggap valid jika pekerja bisa
langsung menjawab tanpa adanya keraguan dalam memahami maksud
item pertanyaan serta tidak meminta adanya pengulangan pembacaan
pertanyaan, jika rentang waktu pekerja dalam menjawab pertanyaan cukup
lama dan juga adanya permintaan pengulangan pertanyaan karena pekerja
kurang memahami item pertanyaan maka item tersebut dinyatakan tidak
valid dan harus dilakukan modifikasi item untuk memperjelas makna pada
item pertanyaan atau membuang item jika item pertanyaan tidak penting.
Untuk variabel pada kuesioner akan dilakukan uji validitas kepada
subjek yang karakteristik hampir mirip dengan populasi pekerja teknisi
yang ada di area kerja Pondok Cabe dan memiliki kegiatan pelaporan
bahaya yaitu pada pekerja teknisi PT Garuda Maintenance Facilities
(GMF) AeroAsia karena dikhawatirkan jika di populasi yang sama maka
sampel yang ada pada populasi akan semakin berkurang.
2. Reabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu
alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Reliabilitas biasanya
menunjukkan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat terlihat konsisten
60
bila dilakukan berulang kali dengan menggunakan kuesioner yang sama.
Pengujian reliabilitas salah satunya dapat dilakukan dengan melihat
konsistensi internal menggunakan rumus statistik cronbach alpha
keseluruhan dengan melihat nilai koefisien alpha. Hasil analisis reliabilitas
tersebut nantinya memiliki rentang 0-1 dengan nilai standar koefisien
alpha sebesar 0,7. Apabila hasil perhitungan statistik koefisien alpha
keseluruhan >0,7 maka alat ukur yang digunakan dianggap memliki
keandalan tinggi jika koefisien alpha di rentang 0,6 keandalan masih bisa
diterima, jika <0,6 maka alat ukur dianggap memiliki keandalan rendah
(Di Lorio, 2005).
Untuk variabel sikap rekan kerja menggunakan instumen dari
Batemann (2009) yang telah memiliki reabilitas 0,89. Untuk reliabilitas
variabel lain juga akan dilakukan uji reabilitas kepada subjek yang
karakteristik hampir mirip dengan populasi pekerja teknisi yang ada di
area kerja Pondok Cabe dan memiliki kegiatan pelaporan bahaya yaitu
pada pekerja teknisi PT Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia
karena dikhawatirkan jika di populasi yang sama maka sampel yang ada
pada populasi akan semakin berkurang.
H. Manajemen Data
Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan diolah
dengan menggunakan program komputer meliputi:
1. Editing
Proses ini meliputi pengecekan data terhadap lembaran kuisioner
yang dilakukan selama proses pengumpulan data yang bertujuan untuk
61
memastikan semua variabel, baik variabel independen (usia, masa kerja,
sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi paparan pelatihan keselamatan,
respon pihak pengawas, sikap rekan kerja dan pegaruh penghargaan) terisi.
Pengecekan data tehadap lembaran form pelaporan bahaya yang
dilakukan selama proses pengumpulan data melalui studi dokumen dari
variabel dependen perilaku pelaporan bahaya. Selama proses tersebut
dilakukan penyuntingan data oleh peneliti agar data yang salah atau
meragukan dapat langsung ditelusuri kembali kepada pekerja yang
bersangkutan.
2. Coding
Proses pengkodean dilakukan terhadap setiap variabel yang ada
dalam penelitian ini untuk memudahkan peneliti dalam mengolah data.
Berikut ini merupakan kode variabel penelitian:
Tabel 4.2 Kode Variabel
Variabel Kode
Identitas Pekerja IR1-IR3
KepatuhanPelaporan Bahaya B1
Faktor Internal A1-A6
Usia A1
Masa Kerja A2
Sikap A51 – 156
Persepsi terhadap bahaya A61 – 165
Faktor Eksternal C1-C4
Frekuensi Paparan pelatihan keselamatan C11-C12
Respon Pihak Pengawas C31-C33
Sikap Rekan Kerja C41-C44
Pengaruh Penghargaan C21-C22
3. Entry
Data yang sudah dikode kemudian dimasukkan dalam program
software statistik SPSS untuk dilakukan analisis data. Data yang di entry
62
adalah nama pekerja, departemen, nomor telepon, kepatuhaan pelaporan
bahaya, usia, masa kerja, sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi
paparan pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja
dan pengaruh penghargaan.
4. Cleaning
Pembersihan data atau pengecekan kembali dilakukan untuk
memastikan tidak ada kesalahan dalam melakukan pengkodean ataupun
pada saat melakukan entry data. Variabel yang dilakukan pengecekan
adalah nama pekerja, departemen, nomor telepon, kepatuhan pelaporan
bahaya, usia, masa kerja, sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi
paparan pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja
dan pengaruh penghargaan. Proses ini dilakukan dengan cara melakukan
tabulasi frekuensi dari setiap variabel baik variabel independen maupun
variabel dependen penelitian agar terlihat apabila terdapat data yang tidak
sesuai.
I. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi
frekuensi dari masing-masing variabel penelitian baik variabel dependen
(kepatuhan pelaporan bahaya) dan variabel independen (usia, masa kerja,
sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi paparan pelatihan keselamatan,
respon pihak pengawas, sikap rekan kerja dan pengaruh penghargaan).
63
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat perlu dilakukan untuk melihat hubungan antara
variabel dependen dengan variabel independen. Dalam penelitian ini
dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui adakah hubungan antara usia,
masa kerja, sikap, persepsi terhadap bahaya, frekuensi paparan pelatihan
keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja dan pengaruh
penghargaan dengan kepatuhan pelaporan bahaya.
Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan dua jenis uji yaitu uji chi-square dan uji T-test Independen.
Uji chi-square dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
kategorik dengan variabel kategorik yaitu sikap, persepsi terhadap bahaya,
paparan pelatihan keselamatan, persepsi kegiatan pengawasan, sikap rekan
kerja dan penghargaan. Sedangkan uji T-test Independen dilakukan untuk
melihat hubungan antara variabel kategorik dengan variabel numerik yaitu
usia dan masa kerja.
Adapun rumus uji chi-square adalah sebagai berikut:
( )
df = (k-1)(b-1)
Keterangan:
O = Nilai observasi
E = Nilai ekspektasi (harapan)
k = Jumlah kolom
b = Jumlah baris
Untuk mengetahui adanya kemaknaan hubungan antara dua
variabel maka dilihat nilai Pvalue dengan menggunakan α 5%. Bila Pvalue
64
< α, Ho ditolak, berarti data sampel mendukung adanya hubungan yang
bermakna. Sebaliknya jika nilai Pvalue > α , Ho gagal ditolak, berarti data
sampel tidak mendukung adanya hubungan yang bermakna.
Uji chi-square hanya dapat mengetahui ada atau tidak perbedaan
proporsi antara kelompok atau hubungan dua variabel kategorik. Uji chi-
square tidak dapat menentukan kelompok mana yang memiliki risiko lebih
besar dibandingkan kelompok lain. Untuk melihat kekuatan hubungan
antara variabel dependen dan independen maka dilihat nilai Odds Ratio
(OR).
J. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan untuk menyusun informasi secara baik dan
akurat sehingga memudahkan pengambilan kesimpulan. Hasil analisis
penelitian ini disajikan dalam tabel silang analisis perilaku pelaporan bahaya
dengan variabel-variabel independen dengan mencantumkan nilai Pvalue
dan OR disertai uraian mengenai isi tabel tersebut.
65
BAB V
HASIL
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian
PT Pelita Air Sevice merupakan perusahaan penerbangan terkemuka
yang melayani jasa charter baik bagi perusahan minyak maupun masyarakat
umum. Beralamat di Jalan Abdul Muis No. 52-56 Jakarta didirikan pada
tanggal 22 Januari 1970. PT. Pelita Air Service memiliki beberapa area kerja
di Balikpapan, Halim, Pondok Cabe, Matak dan Dumai. Area Kerja Pondok
Cabe merupakan based Maintenance PT Pelita Air Service.
1. Profil PT Pelita Air Service
Eksplorasi dan produksi industri minyak modern memerlukan
dukungan penerbangan dalam menghadapi setiap kegiatan. Adanya
kebutuhan mengenai dukungan penerbangan mendorong Pertamina
mendirikan organisasi penerbangan untuk mendukung perusahaan di tahun
1968 yang bernama PT Pelita Air Service. Berikut sejarah singkat PT
Pelita Air Service:
a. Pada tahun 1970 perusahaan memulai dengan daerah operasi
dari Provinsi Aceh di barat sampai Merauke di Papua Timur
yang berbasis kegiatan dan melayani penerbangan regional.
b. Pada tahun 1981 PT Pelita Air Service memperoleh kemandirian
finansial dari Pertamina untuk meningkatkan daya saing di luar
industri penerbangan domestik komersial dan bersaing
internasional.
66
c. Pada tahun 1987, PT Pelita Air Service mendirikan anak
perusahaan yang bernama PT Indopelita Aircraft Service.
d. Pada tahun 2000 hingga 2005 PT Pelita Air Service memperluas
bidang dengan melayani penerbangan reguler untuk masyarakat
dan alat transportasi udara untuk presiden.
e. Pada tahun 2005 sampai sekarang PT Pelita Air Service
memutuskan untuk berkonsentrasi pada penerbangan charter
bagi perusahaa minyak dan menutup penerbangan reguler.
2. Visi dan Misi PT Pelita Air Service
Demi mencapai pekerjaan yang profesional, berfokus pada kualitas
dan keamanan layanan PT Pelita Air Service memiliki visi dan misi
sebagai berikut:
Visi
Menjadi Perusahaan Penerbangan Terpandang di Wilayah (To Be The
Respectful Aviation Service In The Region).
Misi
Memberikan Layanan Prima Sesuai Kebutuhan (Deliver High Quality &
Customized Services) (Pelita Air Service, 2015).
3. Gambaran Area Kerja Pondok Cabe
PT Pelita Air Service memiliki sarana dan prasarana sendiri untuk
pemberangkatan penumpang dan tempat pemeliharaan pesawat (Based
Maintenance) yang terletak di area kerja Pondok Cabe, 20 km sebelah
selatan Jakarta, dengan luas area 179 ha dan sebuah landasan pesawat
sepanjang 2120 m, memiliki dua hangar utama yang digunakan dalam
67
proses maintenance yaitu hangar II dan hangar III. Dilengkapi dengan area
GSE (Ground Support Equipment) yang merupakan unit produksi
peralatan kerja.
Penelitian dilakukan di area hangar II dan hangar III karena pekerja
baik di kantor maupun pekerja teknisi di hangar memiliki tingkat paparan
sumber bahaya dan karakteristik pekerjaan yang berbeda. Berdasarkan
hasil observasi peneliti dan identifikasi bahaya yang dilakukan oleh
Departemen Quality Management & Safety Health Environment
(QM&SHE), paparan bahaya dan risiko yang diterima oleh para pekerja
berbeda terutama paparan bahaya fisik (kebisingan), bahaya kimia dan
bahaya mekanik yang memiliki intensitas paparan cukup tinggi. Paparan
yang tinggi terutama terjadi dalam proses preflight dan postflight yang
dilakukan di area kerja Pondok Cabe dapat menimbulkan peluang
kecelakaan kerja lebih besar dibandingkan dengan area kerja lain.
Perbedaan area kerja dan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja juga
dapat menyebabkan kesadaran pekerja dalam melakukan pelaporan bahaya
berbeda.
Gambar 5.1
Area Kerja Pondok Cabe PT Pelita Air Service
Hangar II
Hangar
III
GSE
68
Pada proses maintenance yang dilakukan di area kerja Pondok
Cabe terbagi menjadi dua proses yaitu Pre-Flight dan Post Flight. Pre
Flight merupakan tahap penyiapan pesawat sebelum pesawat lepas landas.
pengecekan pesawat (Preflight Check) pertama dilakukan oleh teknisi dan
Preflight Check kedua dilakukan oleh pilot yang bertugas. Setelah
pengecekan selesai pesawat dibawa kebagian luar hangar untuk dilakukan
proses mengisi baterai pesawat (Ground Power Battery) sekaligus
dilakukan proses barbage and cargo handling dimana barang-barang
penumpang diletakan dipesawat. Setelah proses barbage and cargo
handling selesai dilakukan pengisian bahan bakar pesawat (Hot
Refueling). Selanjutnya start enginee dan pesawat siap diberangkatkan.
Berikut adalah bagan proses pre-flight :
Bagan 5.1
Proses Pre-Flight Pesawat
Sedangkan proses Post-Flight dilakukan setelah pesawat lepas
landas dan kembali ke hangar. Kegiatan yang dilakukan adalah compresor
wash yaitu melakukan pencucian pada mesin pesawat dan dilakukan
pendinginan pesawat terlebih dahulu. Setelah itu start enginee selama 15
Preflight check
(teknisi)
(1)
Preflight check (pilot)
(2)
Ground Power Battery
(3)
Barbage dan
Cargo Handling
(4)
Hot Refueling
(5)
Start Enginee
(6)
Flight
(7)
69
detik, selanjutnya memasukan pesawat ke dalam hangar untuk
maintenance mesin pesawat dilanjutkan melakukan perbaikan jika ada
complain pilot selama penerbangan dan terakhir dilakukan proses
pencucian badan pesawat eksternal (cleaning wash). Berikut adalah bagan
proses post-flight :
Bagan 5.2
Proses Post Flight Pesawat
4. Kebijakan K3
Berbagai proses yang dilakukan di seluruh area kerja PT. Pelita
Air Service, terutama area kerja Pondok Cabe yang merupakan based
maintenance memiliki risiko tinggi dan berpotensi menyebabkan
kecelakan kerja. PT Pelita Air Service membentuk departemen yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengkajian penelitian, audit,
pengawasan, evaluasi dan penyusunan pedoman K3 agar tercapai
keselamatan dan kesehatan kerja serta lindung lingkungan dikegiatan
operasional perusahaan yaitu Departemen Quality Management & Safety
Health Environment (QM&SHE). QM&SHE merupakan departemen yang
berfokus terhadap masalah K3.
Pendingan mesin
pesawat
(1)
Compresor Wash
(2)
Start Enginee
(3)
Postflight Check
(4)
Service Complain
pilot
(5)
Cleanning Wash
(6)
70
Sebagai komitmen untuk terciptanya keselamatan dan kesehatan
kerja serta lindung lingkungan, maka PT Pelita Air Service menetapkan
arah kebijakan pada tanggal 5 Oktober 2009 sebagai berikut :
a. Pelita Air Service bertekad untuk mencapai kinerja terbaik dalam
pengoperasian dan perawatan pesawat sesuai persyaratan
keselamatan dan keamanan serta mutu pelayanan terbaik yang
terfokus pada kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
b. Pelita Air Service juga bertekad untuk menciptakan tempat kerja
yang sehat dan aman bagi seluruh pekerjanya dan melindungi
lingkungan dalam melaksanakan semua aspek kegiatan operasional
perusahaan.
Selain itu, Departemen QM & SHE juga memiliki sasaran kerja
dalam pelaksanaan kerjanya, diantaranya:
a. Memunculkan budaya keselamatan ―Safety Culture‖ kepada
seluruh pekerja dari level rendah sampai tingkat manajemen.
b. Meningkatkan kesadaran pekerja untuk selalu dalam kondisi aman
dan nyaman melalui sistem pelaporan pekerja.
c. Memberikan situasi dan lingkungan kerja yang aman, melalui
pemberian APD sebagai tindakan pengamanan bagi kondisi kerja
yang dimiliki potensi bahaya cukup besar (high risk).
d. Mengurangi tingkat kecelakaan kerja terhadap pekerja/ aset yang
meliputi pengawasan dan monitoring terhadap pekerjaan, cara kerja
aman sesuai prosedur ataupun regulasi.
71
e. Mencanangkan gerakan penghematan energi “go green”. dengan
mengurangi penggunaan energi dalam keseharian.
f. Meningkatkan keselamatan dalam bidang OSHA dengan
memanfaatkan Web base OSMS Platinum, Safety & Hazard
Observation Report.
g. Meningkatkan keselamatan dengan memakai modul Hazard
Identification and Risk Analysis (HIRA) dari OSMS Platinum.
5. Pelaporan Bahaya di PT Pelita Air Service
Pelaporan bahaya merupakan bentuk komitmen dari PT Pelita Air
Service dalam pelaksanaan K3 di lingkungan kerjanya. Khususnya sebagai
upaya preventif terjadinya kecelakaan dengan melibatkan partisipasi
pekerja dalam identifikasi bahaya melalui pelaporan perilaku dan kondisi
tidak aman. Pelaporan bahaya merupakan kegiatan tahunan dari
Departemen QM & SHE dalam mengobservasi tindakan/ kondisi yang
tidak aman yang dilakukan orang lain disekitar lingkungan kerja.
Kegiatan ini diaplikasikan dalam bentuk form yang dapat diisi dan
dilaporkan oleh pekerja. Form yang disediakan PT Pelita Air Service
diadaptasi dari STOP Card milik DuPont yang sudah disesuaikan dengan
kondisi di lingkungan kerja perusahaan. PT Pelita Air Service hanya
mengadaptasi namun tidak menggunakan STOP Card sebagai alat
pelaporan perilaku tidak aman karena PT Pelita Air Service
mempertimbangkan biaya yang tinggi yang harus dibayarkan untuk setiap
lembar STOP Card. Namun Form ini juga digunakan untuk mencatat
perilaku atau keadaan yang sudah aman. Memberikan wewenang setiap
72
orang untuk melakukan intervensi dari tindakan maupun kondisi untuk
dapat menekan tindakan tidak aman di tempat kerja
6. Tujuan, Prinsip dan Manfaat Kegiatan Pelaporan Bahaya
Prinsip dari pelaporan bahaya ini yaitu semua cidera dan penyakit
akibat kerja dapat dicegah, keselamatan kerja merupakan tanggung jawab
dari seluruh pekerja, proses kerja aman harus diperkuat dan semua
tindakan tidak aman ataupun kondisi tidak aman harus segera diperbaiki.
Tujuan aplikasi dari kedua jenis kartu ini tertera dalam Safety Observation
Form F-QSE/07/2001 Rev. 3 disebutkan bahwa kartu ini didesain sebagai
sistem proaktif yang membantu dimana pekerja dapat menghentikan
kejadian atau kondisi yang tidak diinginkan dan kejadian yang dapat
menyebabkan kecelakaan serta untuk meningkatkan tingkat kesadaran
keselamatan pada pekerja. Selain itu, untuk jangka panjang diharapkan
program ini dapat membentuk safety culture pada pekerja.
Manfaat kegiatan ini adalah memberikan peringatan dini terhadap
potensi bahaya kecelakaan baik dari perilaku maupun kondisi yang ada
dan mendorong keterlibatan pekerja pada kegiatan K3, mengarahkan
konsep berfikir pada pencegahan kecelakaan, serta dapat meningkatkan
keahlian pengamatan dan kualitas komunikasi di organisasi.
7. Personil dan Tempat Pelaksanaan Pelaporan Bahaya
Kegiatan pelaporan bahaya ditujukan untuk seluruh pekerja di PT
Pelita Air Service dilakukan oleh seluruh pekerja dan semua orang yang
berada di area kerja. Mengobservasi tindakan tidak aman orang lain dan
kondisi tidak aman dilakukan di lingkungan kerja maupun disekitar
73
lingkungan kerja sehingga perilaku dan kondisi tidak aman dapat
terdeteksi di seluruh area.
Pada Safety, Health & Environment Manual Chapter 3 poin 3.4.2
identification of workplace hazard menyatakan bahwa pekerja harus
segera melaporkan segala bentuk bahaya di tempat kerja, baik tindakan
tidak aman dan kondisi tidak aman. Mengidentifikasi bahaya di tempat
kerja dapat dilakukan dengan mengirimkan dan menyerahkan laporan dari
pekerja melalui Hazard Report dan Safety Observation Form.
8. Jenis Formulir Pelaporan Bahaya
Form yang digunakan dalam pelaporan bahaya di PT Pelita Air
Service terbagi menjadi dua kategori yaitu pengisian Safety Observation
Form dan pengisian Hazard Report. Ketika melakukan pengamatan nama
orang yang diobservasi tidak boleh dicantumkan dalam form. Perbedaan
kedua form ini hanya pada cakupannya dimana Hazard Report hanya
berfokus pada kondisi tidak aman sedangkan Safety Observation Form
(SOF) dilakukan fokus untuk perilaku tidak aman/ aman namun dilengkapi
untuk kondisi tidak aman.
SOF sendiri diadaptasi dari STOP Card milik dupont. Form ini
sudah dirubah sesuai dengan kebutuhan. SOF terdiri dari dua sisi, sisi
pertama berisi identitas pelapor dan sisi kedua dilengkapi dengan pedoman
pengisian. Berikut adalah Safety Observation Form yang ada di PT Pelita
Air Service seperti pada gambar 5.2:
74
Gambar 5.2
Safety Observation Form
Sedangkan untuk Hazard Report dirancang sendiri oleh PT Pelita
Air Service dan didokumentasikan di AQS (Aviation Quality System).
Hazard Report ini hanya terdiri dari satu sisi. Berisikan identitas pengirim,
penjelasan mengenai keadaan bahaya serta tindakan perbaikan yang
disarankan, jika memungkinkan disertai dengan bukti gambar. Berikut
adalah Hazard Report yang ada di PT Pelita Air Service seperti pada
gambar 5.3:
PEDOMAN FORMULIR OBSERVASI KESELAMATAN
Perbuatan Tidak Aman Pelanggaran aturan HSE, tidak mengikuti
prosedur, perilaku yang tidak baik.
Kondisi Tidak Aman Paparan bahaya / pelindung yang tidak dapat diterima berdasarkan standar operasi Penerbangan & HSE di tempat kerja.
Perbuatan / Perilaku Aman
Aktivitas kerja individu dan / atau kelompok dilakukan secara aman dan kondisi lingkungan kerja yang aman sesuai standar operasi Penerbangan dan HSE di tempat kerja.
1. Kartu Observasi ini didesain untuk melayani dua tujuan berikut :
a. Sebagai sistem proaktif, yang membantu anda dimana kita dapat
menghentikan kejadian yang tidak kita inginkan dan dapat
menyebabkan kecelakaan seperti cedera, pencemaran lingkungan
atau kerusakan.
b. Menjelaskan adanya perbuatan aman yang sangat baik/prosedur
kerja aman yang baik diketahui oleh Pengamat dimana ia perhatian
terhadap kinerja orang.
2. Untuk melaksanakan pengamatan, lakukanlah dengan cara melihat dan
memperhatikan apakah adanya perbuatan dan/atau kondisi aman atau
tidak aman, lalu berpikir dan bertindak untuk menghentikan situasi yang
tidak aman, lakukan diskusi masalah, kesepakatan peningkatan prilaku
aman dan laporkan pengamatan anda dalam kartu ini.
3. Sampaikan kartu yang telah diisi kepada Pengawas di tempat kerja,
atau kepada Safety Officer, atau memasukannya ke dalam “Safety
Drop Box” yang ada di tempat kerja anda.
Terima Kasih Untuk Partisipasi Anda
SAFETY OBSERVATION FORM ( Formulir Observasi Keselamatan )
DESCRIPTION OF HAZARD Penjelasan tentang Keadaan Bahaya
SUGGESTED CORRECTIVE ACTION Tindakan Perbaikan Yang Disarankan
INSTRUCTIONS:
Use the reverse side for the Description of Hazard if the above column is not sufficient, then send to Q&SHES Division. Bila kolom di atas tidak mencukupi, gunakan sisi sebaliknya, kemudian kirimkan ke Divisi Q&SHES.
Thank you for your interest in Aviation Safety Program. Terima kasih atas perhatian anda untuk Keselamatan Penerbangan.
FOR OFFICIAL USE ONLY Untuk digunakan oleh Petugas
Ref. No. Response by Action Date
Rev 2, Jan. 2009
76
Penilaian kepatuhan pelaporan bahaya pekerja di PT Pelita Air
Service dilihat dari pengisian form yang dilakukan pekerja. Ketika pekerja
bekerja dan mengetahui ada perilaku kerja yang tidak aman maka
pekerjaan tersebut harus segera dihentikan agar tidak terjadi akumulasi
dari perilaku ataupun kondisi tidak aman disekitar pekerja, serta harus
segera diperbaiki perilaku atau kondisi tersebut dengan demikian
kecelakaan kerja dapat dicegah pada saat itu. Sehingga ketika pekerja
melihat rekan kerja ataupun orang lain berperilaku tidak aman dan adanya
kondisi tidak aman disekitar lingkungan kerja, pekerja harus melakukan
pengisian form yang telah disediakan agar dapat mencegah perilaku dan
kondisi tidak aman terulang dengan mengikuti siklus intervensi yang ada.
Pengisian kartu pelaporan bahaya pekerja melalui 5 siklus
intervensi agar tujuan dari kegiatan dapat tercapai dengan baik. Berikut
adalah siklus intervensi pengisian form yang dilakukan pekerja seperti
pada bagan 5.3:
Bagan 5.3
Siklus Intervensi Kartu
5 1
Melaporkan Melihat
4 2
Berdiskusi Berfikir
3
Bertindak
77
a. Dimulai ketika pekerja melihat terdapat perilaku tidak aman yang
terjadi pada orang lain atau kondisi berbahaya. Kemudian
mengamati lebih dekat orang dan kondisi agar dapat melihat jelas
apa yang sedang dilakukan ataupun keadaan yang terjadi,
memperhatikan dengan seksama, sistematis apa perbuatan yang
dilakukan yang menunjukkan perilaku atau kondisi tidak aman.
b. Berfikir apakah benar-benar terdapat tindakan atau kondisi yang
tidak aman. Pekerja harus memutuskan apakah keadaan yang
diamati merupakan tindakan yang tidak aman atau aman. Jika tidak
aman, disarankan untuk bertindak membenarkan situasi dan
pencegahan penanggulangannya.
c. Pekerja harus bertindak dengan melakukan intervensi kepada objek
pengamatan ketika perilaku tersebut adalah perilaku tidak aman.
Untuk kondisi tidak aman dapat dilakukan intervensi dengan
memperbaiki kondisi tidak aman dengan cara sederhana terlebih
dahulu, jika tidak dapat diperbaiki tidak dipaksakan karena tidak
semua kondisi berbahaya dapat diperbaiki langsung terutama yang
berhubungan dengan biaya. Untuk perilaku tidak aman dapat
dilakukan dengan menghentikan pekerjaan dan melakukan
pembenaran terhadap perilaku tersebut.
d. Untuk perilaku tidak aman, pengamat harus melakukan diskusi
dengan pekerja yang melakukan perilaku tidak aman. Saat
berdiskusi mencakup berbicara dengan mendiskusikan masalah
tindakan yang dilakukan sampai dia mengerti mengapa tindakan
78
atau perilaku tersebut berbahaya. Setelah berdiskusi memperbaiki
perilaku tidak aman pekerja dengan objek pengamatan (pekerja
lain), pekerja mengadakan kesepakatan mengenai tindakan
perbaikan guna mencegah terjadinya pengulangan.
e. Tahapan terakhir adalah melaporkan keadaan yang dihadapi
pekerja pada form yang tersedia. Untuk pengamatan kondisi tidak
aman dapat menggunakan hazard report dan safety observation
form namun untuk pengamatan perilaku tidak aman hanya dapat
menggunakan safety observation form. Tetapi bila memungkinkan
setiap pengisian Hazard Report pada kondisi berbahaya dilengkapi
dengan bukti gambar.
B. Gambaran Kepatuhan Pelaporan Bahaya pada Pekerja Teknisi Unit
Maintenance di PT Pelita Air Service Area Kerja Pondok Cabe Tahun
2015
Pada penelitian ini kepatuhan pelaporan bahaya yang diteliti yaitu
kepatuhan pelaporan bahaya yang diterapkan di PT Pelita Air Service dilihat
dari pengisian form yang dilakukan pekerja. Kategori kepatuhan pelaporan
bahaya ditentukan dari pernah atau tidak pernahnya pekerja mengisi kartu
pelaporan bahaya. Data diperoleh dari hasil studi dokumen yang dilakukan
peneliti. Ketidakpatuhan pelaporan bahaya dapat memicu kondisi dan
perilaku tidak aman terulang dan menyebabkan kejadian kecelakaan kerja
serta kerugian lainnya. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi
berdasarkan kepatuhan pelaporan bahaya pada pekerja teknisi unit
maintenance di PT Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe Tahun 2015
seperti pada tabel 5.1:
79
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepatuhan Pelaporan Bahaya
pada Pekerja Teknisi Unit Maintenance di PT Pelita Air Service
Area Kerja Pondok Cabe Tahun 2015
Kepatuhan
Pelaporan Bahaya
Jumlah Pekerja Persentase
n %
Tidak 107 78,7
Ya 29 21,3
Total 136 100,0
Berdasarkan tabel 5.1, terlihat bahwa lebih banyak pekerja di PT
Pelita Air Service yang tidak patuh dalam melakukan pelaporan bahaya
dibandingkan dengan pekerja yang melakukan pelaporan bahaya, yaitu
sebanyak 107 pekerja (78,7%) dari 136 pekerja.
C. Gambaran Faktor Internal (Usia, Masa Kerja, Sikap dan Persepsi
Terhadap Bahaya) pada Pekerja Teknisi Unit Maintenance di PT Pelita
Air Service Area Kerja Pondok Cabe Tahun 2015
Pendeskripsian faktor internal yang berkaitan dengan kepatuhan
pelaporan bahaya terdiri dari empat variabel, antara lain usia, masa kerja,
sikap dan persepsi terhadap bahaya dimana data tersebut didapatkan dari
jawaban pada kuesioner yang diisi oleh pekerja. Berikut ini adalah hasil
analisis distribusi frekuensi faktor internal pada pekerja teknisi unit
maintenance di PT Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe Tahun 2015
seperti pada tabel 5.2 dan tabel 5.3:
80
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Internal (Usia, Masa
Kerja) pada PekerjaTeknisi Unit Maintenance di PT Pelita Air Service
Area Kerja Pondok Cabe Tahun 2015
Faktor Eksternal Mean ± SD Min- Max 95% CI n
Usia 43,11 ± 13,75 22- 62 40,78-45,44 136
Masa Kerja 19,22 ± 14,19 1- 39 16,81-21,63 136
1. Usia
Berdasarkan tabel 5.2, terlihat bahwa rata-rata usia pekerja di PT
Pelita Air Service yaitu 43 tahun dengan tingkat kepercayaan 95% berada
pada rentang nilai 40,78-45,44. Usia termuda adalah 22 tahun sedangkan usia
tertua adalah 62 tahun.
2. Masa Kerja
Berdasarkan tabel 5.2, terlihat bahwa rata-rata masa kerja pekerja
di PT Pelita Air Service yaitu 19 tahun dengan tingkat kepercayaan 95%
berada pada rentang nilai 16,81-21,63. Masa kerja terendah adalah 1 tahun
sedangkan masa kerja tertinggi adalah adalah 39 tahun.
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Internal (Sikap dan
Persepsi Terhadap Bahaya) pada Pekerja Teknisi Unit Maintenance
di PT Pelita Air Service Area Kerja Pondok Cabe
Tahun 2015
Faktor Internal Jumlah Persentase
n %
Sikap
Negatif 72 52,9
Positif 64 47,1
Total 136 100,0
Persepsi Terhadap
Bahaya
Negatif 80 58,8
Positif 56 41,2
Total 136 100,0
81
3. Sikap
Berdasarkan tabel 5.3, terlihat bahwa lebih banyak pekerja di PT
Pelita Air Service yang memiliki sikap negatif dibandingkan pekerja yang
memiliki sikap positif, yaitu sebanyak 72 pekerja (52,9%) dari 136
pekerja.
4. Persepsi Terhadap Bahaya
Berdasarkan tabel 5.3, terlihat bahwa lebih banyak pekerja di PT
Pelita Air Service yang memiliki persepsi negatif terhadap bahaya
dibandingkan pekerja yang memiliki persepsi positif terhadap bahaya,
yaitu sebanyak 80 pekerja (58,8%) dari 136 pekerja.
D. Gambaran Faktor Eksternal (Frekuensi Paparan Pelatihan
Keselamatan, Respon Pihak Pengawas, Sikap Rekan Kerja dan
Pengaruh Penghargaan) pada Pekerja Teknisi Unit Maintenance di PT
Pelita Air Service Area Kerja Pondok Cabe Tahun 2015
Pendeskripsian faktor eksternal yang berkaitan dengan kepatuhan
pelaporan bahaya terdiri dari empat variabel, antara lain frekuensi paparan
pelatihan keselamatan, respon pihak pengawas, sikap rekan kerja dan
pengaruh penghargaan dimana data didapatkan dari jawaban pada kuesioner
yang diisi pekerja. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi faktor
eksternal pada pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air Service area
kerja Pondok Cabe Tahun 2015 pada tabel 5.4:
82
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Eksternal (Frekuensi
Paparan Pelatihan Keselamatan, Respon Pihak Pengawas, Sikap Rekan
Kerja dan Pengaruh Penghargaan) pada Pekerja Teknisi
Unit Maintenance di PT Pelita Air Service
Area Kerja Pondok Cabe Tahun 2015
Faktor Eksternal Jumlah Pekerja Persentase
n %
Frekuensi Paparan
Pelatihan Keselamatan
Jarang 112 82,4
Sering 24 17,6
Total 136 100,0
Respon Pihak Pengawas
Tidak ada 40 29,4
Ada 96 70,6
Total 136 100,0
Sikap Rekan Kerja
Kurang Mendukung 45 33,1
Mendukung 91 66,9
Total 136 100,0
Pengaruh Penghargaan
Tidak Ada Pengaruh 51 37,5
Ada Pengaruh 85 62,5
Total 136 100,0
1. Frekuensi Paparan Pelatihan Keselamatan
Berdasarkan tabel 5.4, terlihat bahwa lebih banyak pekerja di PT
Pelita Air Service yang memiliki frekuensi paparan pelatihan keselamatan
jarang dibandingkan pekerja dengan frekuensi paparan pelatihan
keselamatan yang sering, yaitu sebanyak 112 pekerja (82,4%) dari 136
pekerja.
83
2. Respon Pihak Pengawas
Berdasarkan tabel 5.4, terlihat bahwa lebih banyak pekerja di PT
Pelita Air Service yang menyatakan ada respon pihak pengawas
dibandingkan pekerja yang menyatakan tidak ada respon pihak pengawas,
yaitu sebanyak 96 pekerja (70,6%) dari 136 pekerja.
3. Sikap Rekan Kerja
Berdasarkan tabel 5.4, terlihat bahwa lebih banyak pekerja di PT
Pelita Air Service yang menyatakan sikap rekan kerja mendukung
dibandingkan pekerja yang menyatakan bahwa sikap rekan kerja kurang
mendukung, yaitu sebanyak 91 pekerja (66,9%) dari 136 pekerja.
4. Pengaruh Penghargaan
Berdasarkan tabel 5.4, terlihat bahwa lebih banyak pekerja di PT
Pelita Air Service yang menyatakan adanya pengaruh dari penghargaan
dibandingkan pekerja yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh dari
penghargaan, yaitu sebanyak 85 pekerja (62,5%) dari 136 pekerja.
E. Hubungan antara Faktor Internal (Usia, Masa Kerja, Sikap dan Persepsi
Terhadap Bahaya) dengan Kepatuhan Pelaporan Bahaya pada Pekerja
Teknisi Unit Maintenance di PT Pelita Air Service Area Kerja Pondok
Cabe Tahun 2015
Faktor internal merupakan faktor dalam diri pekerja yang dapat
mempengaruhi kepatuhan pelaporan bahaya. Adapun faktor internal yang
dapat mempengaruhi kepatuhan pelaporan bahaya, yaitu usia, masa kerja,
sikap dan persepsi terhadap bahaya. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat
hubungan antara faktor-faktor internal dengan kepatuhan pelaporan bahaya
84
pada pekerja teknisi unit maintenance di PT Pelita Air Service area kerja
Pondok Cabe Tahun 2015 seperti pada tabel 5.5 dan tabel 5.6:
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Internal (Usia, Masa
Kerja) dengan Kepatuhan Pelaporan Bahaya pada Pekerja Teknisi Unit
Maintenance di PT Pelita Air Service Area Kerja Pondok Cabe
Tahun 2015
Faktor
Internal
Kategori
Dependen Mean SD n 95% CI Pvalue
Usia Tidak patuh 42,53 13,94 107 -8,404-2,987 0,349
Patuh 45,24 13,02 29
Masa Kerja Tidak patuh 18,43 14,24 107 -9,361-1,945 0,139
Patuh 22,14 13,14 29
1. Hubungan antara Usia dengan Kepatuhan Pelaporan Bahaya
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa rata-rata usia pekerja
yang patuh dalam melakukan pelaporan bahaya lebih besar yaitu 45 tahun
dengan nilai standar deviasi sebesar 13,02. Sedangkan rata-rata usia
pekerja yang tidak patuh dalam melakukan pelaporan bahaya yaitu 43
tahun dengan standar deviasi 13,94. Berdasarkan hasil uji statistik T-test
Independen, didapatkan nilai Pvalue sebesar 0,349 yang menyatakan
bahwa pada α 5%, tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan
kepatuhan pelaporan bahaya pada pekerja teknisi unit maintenance di PT
Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe Tahun 2015.
2. Hubungan antara Masa Kerja dengan Kepatuhan Pelaporan Bahaya
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa rata-rata masa kerja
pekerja yang patuh dalam melakukan pelaporan bahaya lebih besar yaitu
22 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 13,14. Sedangkan rata-rata
masa kerja pekerja yang tidak patuh melakukan pelaporan bahaya yaitu 18
85
tahun dengan standar deviasi 14,24. Berdasarkan hasil uji statistik T-test
Independen, didapatkan nilai Pvalue sebesar 0,139 yang menyatakan
bahwa pada α 5%, tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja
dengan kepatuhan pelaporan bahaya pada pekerja teknisi unit maintenance
di PT Pelita Air Service area kerja Pondok Cabe Tahun 2015.
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Internal (Sikap, Persepsi
Terhadap Bahaya) dengan Kepatuhan Pelaporan Bahaya pada Pekerja