Page 1
i
FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR
NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL
KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA PADA
TAHUN 2005
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
oleh
MUHAMMAD BINTANG AGASSI
108083000041
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
Page 2
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA
TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA PADA
TAHUN 2005
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 27 Juli 2015
Muhammad Bintang Agassi
Page 3
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan Ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa :
Nama : Muhammad Bintang Agassi
NIM : 108083000041
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah selesai penulisan skripsi dengan judul :
Faktor-Faktor Domestik Kebijakan Luar Negeri Belanda Terhadap Proposal
Keanggotaan Turki ke Uni Eropa Pada Tahun 2005
Telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 27 Juli 2015
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Badrus Sholeh, M.A M. Adian Firnas, M.Si
NIP. 19710211 199903 1 002
Page 4
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR NEGERI
BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI
EROPA PADA TAHUN 2005
OLEH
MUHAMMAD BINTANG AGASSI
108083000041
Telah dipertahankan dalam ujian sidang skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Juli
2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada program studi Hubungan Internasional.
Ketua,
Eva Mushoffa, MHSPS
Penguji I, Penguji II,
Andar Nubowo, DEA Rahmi Fitriyanti, M.Si
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 30 Juli 2015.
Ketua Program Studi Hubungan Internasional,
Badrus Sholeh, M.A
NIP. 19710211 199903 1 002
Page 5
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisa mengenai faktor-faktor domestik kebijakan luar negeri Belanda
terhadap proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005. Turki yang
berkeinginan untuk bergabung ke Uni Eropa sejak beberapa dekade lalu mendapat
berbagai halangan dan penolakan dari sebagian anggota Uni Eropa. Namun kemudian,
pemerintah Belanda yang memiliki sejarah keterkaitan kerjasama dengan Turki dalam
kurun waktu yang lama, menginginkan masuknya Turki ke Uni Eropa. Belanda
beranggapan bahwa Turki mampu menjembatani beberapa permasalahan seperti
permasalahan Transatlantic dan juga jembatan kepada Dunia Islam. Terjadi pro-kontra
terhadap permasalahan masuknya Turki ke Uni Eropa di-internal negara Belanda. Selain
partai dan kelompok kepentingan, sikap publik pun berubah terhadap masuknya Turki ke
Uni Eropa, yang semula mengikuti keinginan pemerintah, sejak serangan 11 September
dan serangkaian kejadian yang ada di Belanda, publik menjadi skeptis terhadap masuknya
Turki ke Uni Eropa.
Keyword: Belanda, Turki, Uni Eropa, Kebijakan Luar Negeri, Faktor Domestik
Page 6
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Karunia-Nya serta Nabi Muhammad SAW yang membawa kecerahan
pada dunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-
Faktor Domestik Kebijakan Luar Negeri Belanda Terhadap Proposal Keanggotaan
Turki ke Uni Eropa Pada Tahun 2005”.
Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini juga dikerjakan dengan tekun dan penuh
keseriusan, dan dibantu pula oleh dosen pembimbing untuk mengkoreksi serta
membimbing dalam pengerjaan skripsi ini. Untuk itu penulis berterima kasih
kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu
kepada :
1. Orang tua penulis, Ibunda Hernita dan Ayah Djoko Sidharto (alm.),
yang selalu memberikan dorongan moril serta materi, serta atas kasih
sayang, do’a dan kesabaran terhadap penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa, Kakanda penulis, Muhammad Fajar Ramadhan
yang penulis jadikan role model. Terima kasih atas dukungan dan do’a
kalian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak M. Adian Firnas, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi
penulis, yang telah memberikan bimbingannya dalam bentuk arahan, saran,
Page 7
vii
dan ilmunya serta kesabaran yang sangat membantu hingga penulisan
skripsi ini selesai dengan baik.
3. Nurul Putri Pratiwi yang senantiasa bersabar dan memberikan
dukungan terhadap penulis, terima kasih atas semangat dan motivasi
yang diberikan kepada penulis.
Terimakasih banyak, semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan
yang ada. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia akademis sebagai
tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang studi Ilmu Hubungan Internasional.
Jakarta, 27 Juli 2015
Muhammad Bintang Agassi
Page 8
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME………….……………………… ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI………………………………... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI……….………………………. iv
ABSTRAKSI………………………………………………………………….... v
KATA PENGANTAR………………………………...……………………….. vi
DAFTAR ISI………………………………………...……………………....... viii
DAFTAR TABEL………………………………...………………………….... x
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….. xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Pernyataan Masalah……………………………………………… 1
1.2. Pertanyaan Penelitian…………………………………………… 7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………. 7
1.4. Tinjauan Pustaka……………………………………………….. 8
1.5. Kerangka Teoritis……………………………………………….. 9
1.6. Metode Penelitian…………………………………………….... 14
1.7. Sistematika penulisan………………………………………...... 15
BAB II SISTEM POLITIK SERTA SIKAP POLITIK BELANDA
TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA
2.1. Sistem Pemerintahan Belanda………………………………… 17
2.1.1. Sistem Pemerintahan…………………………………..... 17
2.1.2. Konstitusi……………………………………………….. 20
Page 9
ix
2.1.3. Lembaga Pemerintahan…………………………………. 23
2.2. Partai Politik di Belanda………………………………………. 27
2.3. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Belanda………………………. 29
2.4. Posisi Belanda di Uni Eropa…………………………………... 30
2.5. Sikap Belanda Terhadap Proposal Keanggotaan Turki……….. 32
BAB III PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA
3.1. Perluasan dan Keanggotaan Negara Anggota Uni Eropa pasca
Maastricht Treaty………………………………………………………………. 33
3.2. Persyaratan untuk Menjadi Anggota Uni Eropa…………………… 37
3.3. Proposal Turki ke Uni Eropa………………………………………. 42
3.3.1. Sejarah Keanggotaan Turki ke Uni Eropa……………….. 42
3.3.2. Upaya Turki untuk Masuk ke Uni Eropa………………… 46
BAB IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR
NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI
KE UNI EROPA
4.1. Pemerintahan yang Tengah Menjabat……………………………... 51
4.2. Partai Politik……………………………………………………….. 54
4.3. Kelompok Kepentingan…………………………………………..... 57
4.4. Opini Publik dalam Isu Integrasi…………………………………... 59
BAB V PENUTUP…………...………………………………………………... 64
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 66
Page 10
x
DAFTAR TABEL
Tabel III.1 Perjanjian Penting dalam Uni Eropa...................................................33
Tabel III.2 Daftar Nama-Nama Negara Anggota Uni Eropa……………….........36
Tabel III.3 Turkey-EU Membership Timeline….…………………………….......45
Page 11
xi
DAFTAR SINGKATAN
ARP : Anti-Revolutionary Party
CDA : Christen Democratish Appèl
CILC : The Center for International Legal Cooperation
D66 : Democrat 66
ECSC : European Coal and Steel Community
EEC : European Economic Community
EU : European Union
HAM : Hak Asasi Manusia
KTT : Konferensi Tingkat Tinggi
LN : Luar Negeri
LPF : List Pim Fortuyn
ODA : Official Development Assistance
PKK : Kurdistan Worker’s Party
PvdA : Partij van de Arbeid
PvdD : Partij voor de Dieren
PVV : Partij Voor de Vrijheid
SP : Socialist Party
UU : Undang-Undang
VVD : Volkspartij voor Vrijheid en Democratie
Page 12
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pernyataan Masalah
Uni Eropa adalah suatu organisasi regional yang menghimpun negara-
negara di benua Eropa dalam suatu kerangka kerjasama yang bertujuan untuk
menghindari konflik (Christiansen, 2001:495). Organisasi ini terbentuk atas dasar
ide dari seorang diplomat asal Perancis, Jean Monet. Monet berpandangan bahwa
sebuah organisasi regional dapat mencegah berulangnya kehancuran Eropa seperti
yang terjadi pasca Perang Dunia I dan II. Kerjasama dalam organisasi tersebut
akan menciptakan sebuah ketergantungan antar negara sehingga potensi untuk
saling menginvasi satu sama lain menjadi lebih kecil (Christiansen, 2001:495).
Bermula dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC)
pada tahun 1952, organisasi ini terus berkembang hingga menjadi Uni Eropa di
tahun 1992 yang ditandai dengan ditandatanganinya Treaty of European Union di
Maastricht atau dikenal juga dengan sebutan Maastricht Treaty. Hingga saat ini,
Uni Eropa telah memiliki 27 negara anggota yang saling bekerjasama dalam
bidang ekonomi, moneter, politik, transportasi dll (European, 2008:34).
Untuk dapat menjadi anggota Uni Eropa, dalam Article 49 Treaty of
European Union, disebutkan bahwa suatu negara dapat mengajukan proposal
keanggotaan jika negara kandidat itu dapat memenuhi persyaratan yang berbunyi:
“Membership requires that the candidate country has achieved stability of
institutions guaranteeing democracy, the rule of law, human rights and respect for
Page 13
2
and protection of minorities, the existence of a functioning market economy as
well as the capacity to cope with competitive pressure and market forces within
the Union. Membership presupposes the candidate's ability to take on the
obligations of membership including adherence to the aims of political, economic
and monetary union” (Article 49 and Article 6 (1))
Artinya:
“Syarat keanggotaan mengharuskan negara kandidat untuk mencapai
stabilitas institusi negara yang menjamin berjalannya demokrasi, aturan hukum,
hak asasi manusia dan penghargaan serta penghormatan terhadap kaum minoritas.
Keberadaan dari fungsi ekonomi dan juga kapasitasnya untuk bekerjasama dengan
kompetitif serta berimbang dan calon negara anggota juga harus menunjukkan
komitmennya dalam rangka pencapaian tujuan Uni Eropa di bidang politik,
ekonomi, dan moneter”
Dalam kebijakan perluasannya (Enlargement policy), Uni Eropa
melakukan penerimaan anggota dalam jumlah terbesar di tahun 2004 yaitu hingga
10 negara. Pada tahun 2007, Romania dan Bulgaria ikut bergabung hingga jumlah
negara Uni Eropa mencapai 27 negara (Morelli, 2009:11). Adapun negara yang
baru saja diberikan status keanggotaannya pada Juli 2013 adalah Kroasia,
sedangkan negara yang tengah dalam proses negosiasi sebagai negara kandidat
(country candidate) adalah Turki, Serbia, Montenegro, dan Islandia (European
Union Enlargement, 2013).
Page 14
3
Dari keempat negara di atas, Turki adalah negara dengan proses
penerimaan terlama, yaitu sejak pengajuan proposal keanggotaan pertama di tahun
1959 (Khan & Yavuz, 2004:390). Pada tahun 1987 Turki kembali mengajukan
proposal keanggotaan dan baru dibahas oleh Uni Eropa pada tahun 1989 dengan
menyatakan bahwa Uni Eropa mendukung upaya Turki untuk berintegrasi, namun
Uni Eropa masih belum menetapkan tanggal pasti, kapan Turki akan menjadi
anggota penuh Uni Eropa. Dalam KTT Uni Eropa di Luxemburg di tahun 1997,
Uni Eropa menyatakan belum bisa menerima proposal keanggotaan Turki dengan
alasan Turki harus mereformasi sistem hukum dan politiknya seperti, hukuman
mati, Undang-Undang mengenai perempuan, dan juga campur tangan militer di
pemerintahan.
Baru pada tahun 1999 dalam KTT di Helsinski Uni Eropa akhirnya
menerima proposal keanggotaan Turki. Dengan diterimanya proposal keanggotaan
ini, Turki resmi menjadi negara kandidat (country candidate) di Uni Eropa.
Setelah status ini didapatkan, maka proses negosiasi dan diplomasi antara Turki
dan Uni Eropa mulai dilakukan pada tahun 2005 dan diperkirakan baru akan
berakhir dalam 10 sampai 15 tahun kemudian dengan tanpa kepastian kapan Turki
bisa menjadi anggota penuh Uni Eropa (Turkey’s EU Entry Talks, 2006).
Setelah proses penantian panjang oleh Turki, sekitar empat dekade, pada
KTT Brussel, akhirnya Uni Eropa membuka jalan untuk bernegosiasi dengan
Turki pada 3 Oktober 2005. Pengambilan keputusan ini menjadi proses yang
begitu rumit, dikarenakan arah proses negosiasi ini menjadi tak menentu, apakah
para Menteri Luar Negeri dari Uni Eropa yang notabene sebagai wakil masing-
Page 15
4
masing negara bisa mencapai sebuah kesepakatan bersama dan akhirnya turut
menetukan nasib keanggotaan Turki di Uni Eropa.
Namun demikian, pada satu hari sebelum negosiasi Uni Eropa dengan
Turki dibuka, hambatan masuknya Turki sudah dimulai dengan kerasnya sikap
Mentri Luar Negeri Austria dan Jerman, yang secara konsisten menolak
kemungkinan masuknya Turki ke Uni Eropa dengan memberikan pilihan atau opsi
lain sebagai asosiasi atau rekanan yg lebih lepas dan tanpa kejelasan, secara halus
dapat diartikan sebagai kerjasama istimewa (Privilage Partnership), daripada
memberikan keanggotaan penuh Turki di Uni Eropa. Tetapi kemudian, Perdana
Menteri Turki menolak opsi yang ditawarkan dengan menyatakan “Apapun selain
keanggotaan penuh di Uni Eropa, tidak dapat diterima.” (Turkish Press Review,
September 2005).
Setelah negosiasi bilateral yang cukup intens antara Kepemimpinan Uni
Eropa, yang saat itu diadakan di Inggris, dan Austria, serta 25 anggota Uni Eropa
saat itu, berakhir pada kebuntuan yang tidak berkesudahan. Maka dari itu, sesuai
mandat dari Dewan Uni Eropa pada saat diadakan pertemuan pada Desember
2004, anggota resmi Uni Eropa sepakat terhadap sebuah pernyataan tertulis yang
berjudul “Negotiating Framework” yang berisi peraturan dasar mengenai proses
negosiasi antara Uni Eropa dan Turki.
Meskipun demikian, berbagai macam proses negosiasi biasanya menuju
kepada sebuah solusi, yaitu, penawaran menjadi anggota penuh, tetapi dalam
negotiating framework dinyatakan secara jelas dan dengan penuh rasa hormat
kepada Turki, bahwa, negosiasi ini merupakan proses akhir yang terbuka, dengan
Page 16
5
hasil yang belum tentu bisa terjamin.
“The Negotiating Framework, which is covering all relevant international
organisations, cannot be interpreted as prejudicing the autonomy of decision-
making and rights of any of those international organisations or of their members,
or of the Member States of the European Union.” (Negotiating Framework for
Turkey, 2005).
Ketika proses tersebut berjalan, pemerintahan Belanda menjadi advokat
atas permintaan Turki untuk masuk sebagai anggota Uni Eropa. Faktanya, Perdana
Menteri Belanda ke-49, Jan Peter Balkenende, dan Menteri Luar Negeri Belanda,
Bernard Rudolph Bot, memiliki peranan penting saat memediasi Dewan Uni
Eropa dengan Turki pada tanggal 16 dan 17 Desember 2004.
Dibawah kepemimpinan Belanda, kesepakatan tercapai dengan kondisi
sebagai awal dari negosiasi dengan Turki pada 3 Oktober 2005. Dan pada
kenyataannya hal tersebut merupakan sebuah kondisi yang sejalan dengan
rekomendasi dari Dewan Uni Eropa, dan pemerintahan Belanda secara
menyatakan bahwa, jika Turki mampu untuk memenuhi syarat sesuai dengan
kriteria politik Copenhagen, maka, tidak ada lagi keberatan untuk memulai
pembicaraan mengenai masuknya Turki ke Uni Eropa. (European Commission,
2004).
Setelah kesepakatan Dewan pada Oktober 2005, delegasi pemerintahan
Belanda menunjukan sikap optimis atas kesepakatan yang telah tercipta tersebut.
Sikap optimis Belanda dilontarkan oleh Sekertaris Eropa dari Negara Belanda,
Atzo Nicolaï, yang menyatakan bahwa, “Para pemimpin Uni Eropa seharusnya
Page 17
6
jangan ragu tentang keanggotaan penuh Turki.” (Turkish Press Review, 2005).
Pada saat kepemimpinan Belanda di Uni Eropa dibebani dengan kewajiban
untuk membawa proses negosiasi atas Turki berhasil, pemerintahan Belanda
menghadapi tantangan baru mengenai publiknya sendiri, masyarakat Belanda,
yang skeptis terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa. Peran sebagai
kepemimpinan Uni Eropa membuat pemerintahan Belanda sedikit tertekan atas
pendapat yang dikeluarkan oleh publiknya sendiri sebagai sebuah aspirasi yang
harus ditanggapi secara serius. Publik Belanda menilai keputusan untuk membuka
jalan Turki ke Uni Eropa bukan merupakan hal yang tepat. Pada tahun 2005,
terjadi peroses pembaharuan dari konstitusi Uni Eropa, dan salah satu isinya
mengenai perluasaan keanggotaan Uni Eropa.
Belanda menanggapi pengambilan kebijakan ini dengan mengikuti tradisi
serta kemauan publik Belanda, yaitu dengan referendum. Hasil dari referendum
tersebut membuat Perdana Menteri Belanda, Balkenende, merasa kecewa karena
publik Belanda memutuskan untuk menolak konstitusi Uni Eropa yang baru.
Menurut Maurice de Hond, Direktur Peil.nl, salah satu lembaga polling Belanda,
mengatakan bahwa keputusan menolak yang diajukan publik Belanda merupakan
sebuah sindiran bahwa para politikus sebaiknya mendengar opini publik.
(http//www.dw.de/dutch-reject-eu-constitution/a-1603076)
Publik menilai bahwa Turki harus memenuhi kriteria politik Copenhagen
terlebih dahulu sebelum memulai negosiasi atas masuknya Turki ke Uni Eropa.
Publik Belanda menegaskan mengenai kurangnya Hak Asasi Manusia (HAM)
yang ada pada Turki. Sebut saja permasalahan suku Kurdi dan konflik antara
Page 18
7
Yunani, Cyprus dan Turki, dimana terjadi banyak kekerasan yang melanggar
batasan HAM pada kriteria politik Copenhagen. Menurut Eurobarometer
mengenai opini publik Belanda, hanya 39% dari masyarakat Belanda yang
menyetujui masuknya Turki ke Uni Eropa, sedangkan 53% menolak, dan sisanya
abstain atau skeptis perihal masuknya Turki. (European Comission, 2005).
Dengan perbedaan yang mencolok ini dirasa menarik untuk diteliti
mengenai faktor-faktor yang lebih mendalam tentang sikap pemerintahan Belanda
dan sikap publik Belanda atas keinginan masuknya Turki ke Uni Eropa. Adapun
tingkat analisisnya, menurut Patrick Morgan yang dikutip dalam buku Mohtar
Masoed (1990), adalah individu, kelompok kepentingan, negara-bangsa,
kelompok negara-negara dalam suatu region, dan sistem global, yang menjadi
faktor penentu kebijakan Belanda terhadap Turki di Uni Eropa.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Faktor-faktor domestik apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
Belanda terhadap keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini untuk mengetahui Faktor-faktor domestik apa
saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap keanggotaan
Turki ke Uni Eropa dan juga sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh
gelar sarjana sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Manfaat penelitian skripsi ini sebagai tambahan informasi dalam bentuk
tulisan ilmiah mengenai Faktor-faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan
luar negeri Belanda terhadap keanggotaan Turki ke Uni Eropa
Page 19
8
1.4. Tinjauan Pustaka
Beberapa literatur mengenai keinginan masuknya Turki ke Uni Eropa lebih
menekankan kepada sisi agama di negara tersebut, seperti literatur hasil karya E.J.
Zürcher dan H. van der Linden (2004), The European Union, Turkey, and Islam.
Didalam literatur tersebut membahas mengenai perbedaan agama diantara
masyarakat Eropa dan Turki. Literatur ini juga menjelaskan mengenai Islam yang
ada di Turki dan integrasinya terhadap Eropa. Dimana Turki yang menganut
paham sekularisme serta tinjauan dalam penerapan di negaranya dibandingkan
dengan kebiasaan dan integritas masyarakat Eropa.
Kekerasaan yang muncul di Turki juga menjadi salah satu bahasan yang
penting, dimana didalam literatur tersebut, Islam dikategorikan sebagai salah satu
penyebab terjadinya kekerasaan di Turki. Dan kekerasaan atau apapun yang
menyangkut dengan HAM, tidak sejalan dengan kriteria politik Copenhagen yang
menjadi basis dasar dari syarat keanggotaan dari negara-negara yang ingin masuk
kedalam Uni Eropa.
Adapun literatur lain seperti jurnal yang ditulis oleh Talip Kucukcan dan
Veyis Gungor, Image of Turkey and Perception of European Identity among Euro-
Turks in Holland (2009) lebih menekankan kepada gambaran mengenai imigran
Turki. Pembentukan kelompok masyarakat Turki menjadi kelompok tersendiri
tetapi tetap mengedepankan proses integrasi antara imigran Turki dengan
masyarakat Belanda. Segala bentuk dukungan dan bantuan yang diberikan
imigran Turki untuk pembangunan Belanda dilakukan atas dasar keinginan untuk
tetap tinggal di Belanda.
Page 20
9
Rusaknya penggambaran mengenai imigran Turki muncul ketika Belanda
mulai kedatangan imigran Turki yang memiliki pendidikan rendah serta perbedaan
mekanisme bentuk kehidupan antara di Belanda dengan di Turki. Kultur Belanda
memiliki aturan norma tersendiri yang tidak sama dengan imigran Turki yang
datang kemudian. Rusaknya gambaran mengenai imigran Turki bergeser menjadi
keburukan dari Islam Turki. Pergeseran gambaran imigran Turki ini berdampak
kepada kebijakan yang diambil pemerintahan Belanda terhadap imigran,
khususnya imigran Turki.
Dari uraian diatas, literatur tersebut membahas hanya dari segi perbedaan
agama antara Turki dan masyarakat Eropa secara umum serta perbedaan kultur
antara Turki dan Belanda. Skripsi ini ingin meneliti faktor lain yang lebih terpusat
dan mendalam. Bukan hanya Uni-Eropa, tetapi juga salah satu negara anggotanya,
Belanda, dimana Belanda bersikap kooperatif, tetapi dilain sisi mendapatkan
pandangan berbeda dari dalam negerinya.
1.5. Kerangka Teoritis
Dalam proses pembahasan mengenai faktor-faktor domestik yang
mempengaruhi Kebijakan Luar Negeri Belanda terhadap Keanggotaan Turki di
Uni Eropa, dalam skripsi ini menggunakan konsep kebijakan luar negeri, analisa
tingkat negara dengan acuan sumber domestik kebijakan luar negeri, dan dengan
prespektif konstruktivisme. Menurut Andrew Morovscik (1993:159), kebijakan
luar negeri adalah upaya yang dilakukan suatu negara untuk mencapai
kepentingan nasionalnya berdasarkan pengaruh yang muncul dari dalam negeri
seperti identitas nasional, kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam negeri.
Page 21
10
Menurut Christopher Hill (2003:222) kebijakan luar negeri adalah
"Foreign policy is the sum of official external relations conducted by
independent actor (usually a state) in the international relations"
Artinya:
“Kebijakan luar negeri adalah hasil dari suatu hubungan luar negeri resmi
yang dibuat oleh aktor independen (biasanya negara) dalam hubungan
internasional”
Selanjutnya disebutkan Morovscik bahwa negara akan membuat kebijakan
luar negerinya berdasarkan kondisi dalam negeri. Sikap negara (state behavior)
tergantung pada hubungan yang saling mempengaruhi antara berbagai faktor di
dalam negara seperti institusi politik, konsepsi nasional dan kondisi sosial
ekonomi. Menciptakan kebijakan luar negeri yang sejalan dengan masukan (input)
yang didapat dari faktor-faktor tersebut sangat penting untuk menciptakan kondisi
domestik yang stabil dan saling mendukung satu sama lain (Morovscik,
1993:199).
Untuk membantu menganalisa faktor-faktor domestik apa sajakah yang
dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, dalam skripsi ini juga
menggunakan prespektif konstruktivisme yang dalam pendekatannya berfokus
kepada interaksi sosial dari aktor atau agent didalam dunia politik (Griffiths,
Martin, Steven C. Roach, & M. Scott Solomon, 2009:123). Interaksi sosial
merupakan hal mendasar dalam hubungan antar manusia yang pada akhirnya akan
membentuk sebuah identitas, kepentingan, dan nilai seiring berjalannya waktu.
Identitas, kepentingan, dan nilai yang terbentuk atas interaksi sosial akan
Page 22
11
menciptakan sebuah fakta sosial karena merupakan sebuah hasil kesepakatan dari
interaksi sosial yang terjalin (Flockhart, 2012:83).
Menurut Alexander Wendt (2003:1), struktur yang terbentuk di masyarakat
merupakan hasil dari pemikiran atau ide secara bersama tanpa ada tekanan, dan
identitas serta kepentingan yang menjadi tujuan aktor-aktor negara merupakan
sebuah konstruksi dari hasil pemikiran bersama daripada sesuatu yang telah
diberikan secara alami. Adanya sebuah kesepakatan antar manusia didalam
masyarakat yang menciptakan gagasan mengenai jati diri masyarakat tersebut
tanpa adanya unsur keterpaksaan melainkan konstruksi sosial yang dibentuk
secara bersama.
Triane Flockhart (2012:85) berpendapat bahwa, aksi dari agent atau aktor
didalam politik internasional dipengaruhi oleh identitas dan juga mengakui adanya
hal-hal penting seperti, sejarah, budaya, politik, dan konteks sosial. Pemerintahan
sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan dan serta
kebijakan politik baik dalam maupun luar negeri dalam proses pengambilan
keputusannya berdasarkan kepada konstruksi sosial yang telah terbentuk. Struktur
(pemerintahan, institusi, dll) saling berhubungan secara positif (mutually
constituted) dengan aktor-aktor atau agent dalam politik (Flockhart, 2012:86).
Dalam bukunya international conflict Three level of analysis, David Singer
menjelaskan bahwa state level of analysis adalah upaya untuk menganalisa suatu
kebijakan luar negeri yang dipengaruhi oleh struktur dalam negeri seperti kondisi
politik domestik (Soltani, 2014:167). Ketika merumuskan kebijakan luar negeri,
suatu negara harus mempertimbangkan tidak hanya posisinya di sistem yang lebih
Page 23
12
besar seperti dunia internasional, namun juga mempertimbangkan aktor-aktor
dalam negeri yang berbeda di masing-masing negara. Kebijakan luar negeri suatu
negara tidak hanya merupakan sebuah pilihan atau keputusan satu individu,
melainkan sebuah hasil secara keseluruhan dari interaksi yang terjadi (Wendt,
2003:149).
Proses terbentuknya suatu kebijakan di negara Demokrasi adalah suatu
proses yang kompleks, sulit dan tidak selalu berjalan mulus (Rourke, 2009:89).
Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya kepentingan yang muncul dari berbagai
aktor politik domestik untuk menentukan kebijakan mana yang akhirnya dibuat.
Namun, terciptanya sebuah kebijakan seharusnya merupakan sebuah kesepakatan
terhadap kesamaan pandangan terkait identitas dan ide bersama karena adanya
saling keterkaitan antara struktur dan aktor-aktor terkait (Wendt, 2003:156).
Diantara aktor-aktor domestik yang dapat mempengaruhi kebijakan luar
negeri adalah pemerintahan yang tengah menjabat (political executives), lembaga
legislatif, lawan politik (political opponent) kelompok kepentingan (interest
groups) dan opini publik (the peoples) (Rourke, 2009:82).
a. Pemerintahan yang tengah menjabat
Pemerintahan eksekutif (presiden, perdana menteri, dll) merupakan bagian
terpenting dalam proses pengambilan suatu keputusan atau kebijakan, terutama
dalam kebijakan keamanan dan luar negeri. Selain pemimpin pemerintahan,
eksekutif yang berpengaruh juga diantaranya adalah menteri luar negeri dan
menteri pertahanan. Namun di negara Demokrasi, pemerintahan yang menjabat
tidak bisa membuat kebijakannya sendiri melainkan harus mempertimbangkan
Page 24
13
masukan dari aktor negara yang lain.
b. Legislatif
Di negara demokratis, lembaga Legislatif memiliki peran yang besar
dalam pembuatan suatu kebijakan. Hal ini karena kewenangannya yang cukup
luas seperti membuat Undang-Undang, mengawasi kinerja pemerintah eksekutif
dan kewenangan lainnya. Dukungan dari lembaga legislatif sangat dibutuhkan
oleh pemerintah eksekutif karena suatu kebijakan akan lebih mudah
diimplementasikan jika kebijakan tersebut disetujui oleh Legislatif.
c. Kelompok kepentingan
Adalah suatu kelompok yang memiliki pandangan tertentu terhadap suatu
isu dan menekan pemerintah untuk mengadopsi pandangan tersebut. Biasanya,
kelompok kepentingan lebih banyak berperan aktif dalam pembuatan kebijakan
dalam negeri dari pada luar negeri. Diantara kelompok kepentingan adalah
cultural group seperti kelompok etnik, agama, ras dan kelompok kepentingan lain
yang memiliki kepentingan atas suatu isu tertentu. Selain cultural group,
kelompok kepentingan lain diantaranya adalah economic group, issue-oriented
group dan transnational interest groups.
d. Opini publik (public opinion)
Dalam negara Demokrasi opini publik memiliki pengaruh yang besar
dalam pembentukan suatu kebijakan (Everts & Isernia, 2001:65). Hal ini karena di
semua negara Demokrasi, pemerintahan yang menjabat dipilih melalui suatu
pemilihan umum yang secara langsung dipilih oleh rakyat. Karenanya, ada
pengaruh tidak langsung dari opini publik terhadap kebijakan yang dibuat melalui
Page 25
14
pemimpin yang dipilihnya. Meskipun tidak memiliki pengaruh langsung terhadap
proses pembentukan kebijakan, warga negara akan memilih pemimpin yang
memiliki kebijakan luar negeri yang sesuai dengan pandangannya.
Di pihak lain, pemerintah juga membutuhkan masukan dari warga negara
karena berbagai alasan. Pertama, public opinion adalah salah satu faktor utama
yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Kedua, para
pembuat kebijakan percaya bahwa suatu kebijakan dapat lebih sukses diterapkan
jika didukung oleh warga negaranya dan ketiga, para pembuat kebijakan ini harus
berhati-hati dalam membuat kebijakannya karena dapat mempengaruhi suara yang
di dapat dalam pemilu mendatang jika mereka mengabaikan public opinion yang
mayoritas.
e. Lawan politik (political opponents)
Sesuai dengan penjelasan dalam bagian public opinion, lawan politik juga
dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat karena mempunyai kepentingan
politiknya sendiri.Pemerintahan harus berhati-hati dalam menghadapi lawan
politik ini karena mereka berusaha mencari kesempatan untuk mengambil suara
dari pemerintahan yang tengah menjabat untuk pemilu selanjutnya.
Teori dan konsep diatas diharapkan mampu membantu dalam menganalisa
faktor domestik apa saja yang mempegaruhi kebijakan luar negeri yang dibuat
oleh pemerintah Belanda tarhadap isu upaya masuknya Turki ke Uni Eropa.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang mengandung
pengertian bahwa dalam melakukan penelitian dalam Hubungan Internasional,
Page 26
15
seorang peneliti harus melihat permasalahan yang ada dan mengkaitkan
permasalahan itu dengan teori dalam Hubungan Internasional (Mas’oed,
1990:223). Sedangkan metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
studi pustaka.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui teknik penelitian kepustakaan (Library Resarch) yang berkaitan dengan
penggunaan data seperti buku, koran, jurnal, artikel dan bahan bacaan lainnya.
Untuk mendapatkan berbagai sumber dalam skripsi ini dilakukan melalui
pencarian data dengan kunjungan ke berbagai perpustakaan yang ada di Jakarta
seperti perpustakaan Universitas Indonesia dan perpustakaan nasional RI serta
melalui media teknologi.
Selanjutnya data yang telah dikumpulkan akan dibahas dengan
menggunakan teknik Pengumpulan data, yaitu penelitian kepustakaan yang
dilakukan guna mencari data dari berbagai referensi untuk kemudian data itu
dianalisis untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian (Nazir, 1998:54). Teknik
analisa data tersebut diharapkan dapat membantu penulisan skripsi ini mengenai
faktor-faktor domestik kebijakan luar negeri Belanda terhadap proposal
keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005.
1.7. Sistematika Penulisan
Bab pertama skripsi ini membahas mengenai pernyataan masalah yang
berisikan perbedaan pandangan antara pemerintah Belanda dengan publik Belanda
terkait proposal Turki ke Uni Eropa, pertanyaan penelitian mengenai faktor-faktor
domestik apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap
Page 27
16
proposal Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka pemikiran yang berdasarkan kepada konsep kebijakan
luar negeri dengan prespektif konstruktivis serta menggunakan analisa berdsarkan
sumber domestik kebijakan luar negeri di level negara, metode penelitian, serta
sistematika penulisan. Pada bab berikutnya dibahas mengenai sistem politik
Belanda dan sikap politiknya terhadap proposal Turki ke Uni Eropa yang mengacu
kepada poin-poin seperti, sistem pemerintahan Belanda, partai politik di Belanda,
prinsip kebijakan luar negeri Belanda, posisi Belanda di Uni Eropa, dan sikap
Belanda terhadap proposal keanggotaan Turki.
Bab ketiga dalam skripsi ini membahas proposal keanggotaan Turki ke Uni
Eropa dengan membahas mengenai perluasaan dan keanggotaan negara anggota
Uni Eropa pasca Maastricht Treaty, persyaratan untuk menjadi anggota Uni
Eropa, dan proposal Turki ke Uni Eropa yang membahas mengenai sejarah
proposal keanggotaan Turki serta upaya Turki untuk masuk ke Uni Eropa. Bab
keempat menganalisa faktor-faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan luar
negeri Belanda terhadap proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun
2005 dengan melihat dari pemerintahan yang tengah menjabat, pandangan partai
politik, kelompok kepentingan, serta opini publik dalam isu integrasi Turki. Dan
pada bab terakhir sebagai penutup yang berupa kesimpulan.
Page 28
17
BAB II
SISTEM POLITIK DAN SIKAP POLITIK BELANDA TERHADAP
PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA
2.1. Sistem Pemerintahan Belanda
2.1.1. Sistem Pemerintahan
Secara geografis, Belanda merupakan negara yang relatif kecil dengan
tingkat kependudukan yang cukup padat. Di Barat dan Utara Belanda berbatasan
dengan samudera Atlantik, North Sea, di Timur berbatasan dengan negara industri,
Jerman, dan dibagian Selatan berbatasan dengan Belgia (Local Government in
The Netherlands, 2008:7). Sejak abad ke-17, Belanda merupakan salah satu dari
kekuatan ekonomi di dunia. Hal tersebut dikarenakan lokasi strategis yang
dimiliki Belanda, sehingga bukan sebuah kebetulan jika pasca Perang Dunia 2,
Belanda memiliki peranan aktif dalam pembentukan serta pendirian yang
sekarang dikenal dengan Uni Eropa (Local Government in The Netherlands,
2008:10).
Banyaknya industri dan agrikultur yang baik, membuat Belanda memiliki
tingkat produktivitas ekonomi yang tinggi. Belanda juga memiliki pendapatan per
kapita senilai USD 45.000, sehingga Belanda menjadi salah satu negara dengan
pendapatan per kapita tertinggi di dunia (http://amsterdam.info/netherlands).
Dengan pendapatan per kapita yang cukup besar tersebut, Belanda secara konstan
berhasil dalam membangun sistem kesejahteraan menyeluruh, baik pendidikan,
kesehatan, dan bahkan dana pensiun, dengan cara membuat efisiensi dalam
Page 29
18
pemerintahan (Ministry of Foreign Affairs of The Netherlands, 2013).
Sejak tahun 1815 saat kerajaan Belanda secara resmi dibentuk melalui
perkumpulan kekuatan besar Eropa melalui kongres yang dilaksanakan di Wina,
Belanda menggunakan sistem pemerintahan Monarki Konstitusional (Politics in
Netherlands, 2013:11). Kepemimpinan tertinggi pemerintahan Belanda berada
pada kekuasaan Raja atau Ratu Belanda, dengan peraturan yang diatur melalui
konstitusi.
Kekuasaan Raja atau Ratu Belanda mengalami perubahan melalui
amandemen pada konstitusi. Proses amandemen terbesar yang terjadi pada
konstitusi Belanda terjadi pada tahun 1848, dan amandemen terhadap konstitusi
Belanda pada saat itu menjadi penanda awal terciptanya Demokrasi Parlementer
yang ada di Belanda (Politics in Netherlands, 2013:11). Amandemen tersebut
dimaksudkan untuk menyeimbangkan kekuasaan eksekutif dengan parlemen serta
lembaga-lembaga hukum dan pemerintahan lainnya.
Gagasan mengenai penyeimbangan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan
parlemen dikenal dengan istilah konstitusionalisme (Constitutionalism). Menurut
Carl J. Fredrich dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (Budiardjo, 2008:112),
Konstitusionalisme adalah:
“A set of activities organized and operated on behalf of the people but
subject to a series of restraints which attempt to ensure that the power which is
needed for such governance is not abused by those who are called upon to do the
govering”
Page 30
19
Artinya:
“Suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi
yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan
bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh
mereka yang mendapat tugas untuk memerintah”.
Pembatasan kekuasaan tersebut dimaksudkan agar sistem pemerintahan yg
berjalan tidak bertindak sewenang-wenang. Monarki Belanda tetap merupakan
anggota resmi dari pemerintahan hal tersebut tertulis dalam Konstitusi Belanda
tetapi tidak memiliki kewajiban politik. Pada artikel 42 dalam Konstitusi Belanda
disebutkan bahwa, 1. Pemerintahan terdiri dari Raja dan para Menteri. 2. Para
Menteri, dan bukan Raja, bertanggung jawab atas berjalannya pemerintahan
(Politics in Netherlands, 2013:12). Hal ini menjadikan Parlemen sebagai badan
tertinggi di Belanda, yang bahkan Raja atau Ratu Belanda, menjadi subordinate
parlemen.
Pada dasarnya, sebuah kekuasaan merupakan tugas yang diberikan atas
unsur kepercayaan oleh satu orang atau kelompok, kepada orang tertentu yang
diberikan kewenangan untuk membawa kelompok tersebut menjadi lebih baik.
Monarki Konstitusional yang ada di Belanda, sebelumnya disebutkan untuk
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan, seperti pemikiran Lord Acton,
seorang ahli sejarah Inggris menyatakan, “Power tends to corrupt, but absolute
power corrupts absolutely”, yang artinya “kekuasaan cenderung disalahgunakan,
tetapi, kekuasaan tak terbatas pasti akan disalahgunakan secara tak terbatas”
(Budiardjo, 2008:107).
Page 31
20
Dengan Demokrasi Parlementer atau Konstitusional, hal tersebut bisa
diminimalisir, karena amandemen yang terjadi di Belanda pada tahun 1848
bertujuan untuk mencegah hal tersebut, dan lebih bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat. Menurut Talcott Parson, kekuasaan adalah
kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat,
oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif (Budiardjo,
2008:63).
Dengan kekuasaan yang lebih mengarah kepada kepentingan masyarakat
atau Demokrasi, Belanda berusaha menjamin adanya hak-hak yang tetap dimiliki
masyarakat tanpa campur tangan dari pemerintah dan meminimalisir terjadinya
perusakan kekuasaan oleh penguasa. Dengan menggunakan sistem Rules of Law
yang menjamin supremasi hukum atas hak-hak warga negaranya.
2.1.2. Konstitusi
Pada tahun 1815 ketika Kerajaan Belanda berdiri untuk pertama kalinya
dan juga munculnya konstitusi serta adanya Parlemen Belanda (States General),
dengan adanya permintaan dari bagian selatan Belanda (pada era modern,
kebanyakan pada akhirnya menjadi Belgia), didirikan dua lembaga perwakilan,
yang pertama adalah Senat, yang dipilih oleh Raja Belanda, dan yang kedua
adalah Dewan Perwakilan yang dipilih oleh orang-orang kaya di Belanda (The
Binnenhof, 2013:14).
Meskipun sudah ada Dewan Perwakilan Rakyat, proses pemilihan untuk
perwakilan rakyat tersebut dinilai kurang mewakili karena hanya dipilih oleh
kalangan atas, di Kerajaan Belanda. Namun kemudian, pada 1848, dengan melihat
Page 32
21
fenomena yang terjadi di masyarakat, Menteri Kerajaan Belanda, Johan Rudolph
Thorbecke, merancang kembali konstitusi Belanda dengan amandemen sehingga
mengurangi pengaruh politik Raja Belanda (Michels, 2007:8). Langkah yang
diambil oleh Thorbecke menjadi sebuah langkah penting dalam sistem
perpolitikan serta sistem parlemen Belanda. Dengan melakukan hal tersebut,
Thorbecke membuat sebuah gebrakan baru dalam perkembangan sistem
demokrasi di Belanda yang bertahan sampai sekarang.
Prinsip konstitusi yang digunakan oleh parlemen Belanda berdasarkan
kepada Konstitusi Belanda. Konstitusi tersebut berisikan mengenai aturan-aturan
kewarganegaraan, aturan dalam hak memilih, aturan Kotamadya, dan aturan untuk
Provinsi yang ada di Belanda. Politik fundamental dan hak sosial masyarakat
Belanda tertuang pada bagian pertama dari Konstitusi Belanda. Pada Artikel 1
disebutkan bahwa:
“All persons in the Netherlands shall be treated equally in equal cases.
Discrimination on the grounds of religion, philosophy of life, political persuasion,
race, sex or any other ground is not permitted” (The Dutch Political System in
Nutshell, 2008:10).
Artinya:
“Setiap orang di negara Belanda harus diperlakukan setara dalam segala
bentuk. Diskriminasi terhadap hal yang berkaitan dengan agama, tata cara
pandangan hidup, pandangan politik, ras, perbedaan gender atau yang lainnya
tidak diperkenankan”.
Page 33
22
Dengan demikian pemerintahan Belanda memberikan kebebasan dalam
menjalankan kehidupan masyarakatnya. Kebebasan beragama, kebebasan
berekspresi, hak untuk memilih dan dipilih, kebebasan pers, kebebasan berkumpul
dan berserikat, hak atas kebebasan pribadi, hak atas kepemilikan dan yang
terpenting hak untuk merdeka, meskipun kedua hak terakhir bisa dicabut melalui
pengadilan (The Dutch Political System in Nutshell, 2008:11).
Kebebasan yang didapat oleh warga negara Belanda tersebut merupakan
hak-hak perorangan yang tidak dapat diganggu gugat. Hal tersebut adalah Rules of
Law yang dijlankan oleh pemerintahan Belanda. Dikemukakan bahwa syarat-
syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah
Rules of Law (Budiardjo, 2008:116) adalah:
a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa, konstitusi, selain
menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara
prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and
impartial tribunals).
c. Pemilihan umum yang bebas.
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
f. Pendidikan kewarganegaraan (civil education).
Page 34
23
2.1.3. Lembaga pemerintahan
Sejak tahun 1918, setiap warga negara Belanda berhak memilih dan dipilih
dalam lingkup Parlemen (Lower House), Dewan Provinsi, Dewan Kotamadya,
dan sejak tahun 1979, berhak atas Parlmen Eropa (European Parliament) (Local
Government in The Netherlands, 2008:16). Dewan perwakilan yang dipilih oleh
warga negara Belanda berdasarkan kepada sistem representasi yang telah
ditetapkan oleh konstitusi.
Sebagai wakil dari masyarakat, diharapkan Dewan Perwakilan mewakili
suara rakyat Belanda. Tercantum dalam UU Belanda artikel 50 (Grondwet, 2008)
bahwa Parlemen harus mewakili seluruh masyarakat Belanda. Parlemen (States
General) yang ada di Belanda dibagi menjadi dua, Upper House (Eerste Kamer)
dan Lower House (Tweede Kamer). Lower House memiliki total 150 anggota di
parlemen, sedangkan Upper House hanya memiliki 75 anggota (Summary of
Statutory Regulations, 2008:9).
Lower House (Tweede Kamer)
“Lower House shall consist of one hundred and fifty members”
(Grondwet, 2008). Lower House dipilih langsung oleh publik Belanda yang
memiliki hak pilih yang sah. Artikel 54 UU Belanda menyatakan mengenai
pemilih yang sah adalah,
1. “The member of Lower House shall be elected directly by Dutch
nationals who attained the age of eighteen, with the exception of any Dutch
nationals who may be excluded by act of Parliement by virtue of the fact they are
not resident in the Netherlands”
Page 35
24
2. “Anyone who has commited an offence designated by Act of Parliement
and has been sentenced as a result by a final and conclusive judgement of a court
of law to a custodial sentence of not less than one year and simultaneously
disqualified from voting, shall not be entitled to vote” (Grondwet, 2008).
Lower House memiliki 150 anggota yang dipilih langsung oleh masyarakat
Belanda yang memiliki hak pilih yang sah, dan memiliki masa jabatan selama
empat tahun, terkecuali jika parlemen mengalami kejatuhan yang kemudian
diharuskan melakukan pemilihan ulang (The Dutch Political System in Nutshell,
2008:31).
Lower House atau House of Representatives memiliki peranan yang lebih
besar dibandingkan dengan Upper House atau Senat. Tugas utama dari Lower
House adalah membantu dalam pembuatan undang-undang dan memastikan
pemerintah menjalankan tugasnya dengan tepat (Tweede Kamer, 2013:4). dengan
demikian rancanan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah hanya bisa di
setujui oleh Lower House, dan Lower House berhak untuk melakukan amandemen
terhadap RUU ataupun UU yang berlaku (The Dutch Political System in Nutshell,
2008:33).
Upper House (Eerste Kamer)
Anggota dari Senat atau Upper House dipilih oleh anggota Dewan
Provonsi tak lebih dari tiga bulan setelah pemilihan Dewan Provinsi (Politics in
The Netherlands, 2013:34). Pemilihan terhadap Senat pada awalnya dilakukan
oleh Raja Belanda, tetapi setelah amandemen yang dilakukan Thorbecke pada
tahun 1848, merubah cara pemilihan Senat menjadi berada ditangan Dewan
Page 36
25
Provinsi. Dewan Provinsi dipilih dalam waktu empat tahun sekali, berbarengan
dengan pemilihan Lower House. Upper House atau Senat, dipilih secara tidak
langsung oleh anggota Dewan Provinsi (Tweede Kamer, 2013:5).
Meskipun Upper House tidak memiliki tugas sebesar Lower House, Upper
House memiliki kontribusi penting dalam pengesahan UU yang di ajukan
pemerintah atau pengesahan dalam amandemen yang diajukan oleh Lower House.
Upper House juga memiliki tempat khusus dalam pemerintahan Belanda dan
memiliki fungsi prinsip dalam memberikan opini secara menyeluruh terhadap
RUU pada akhir proses yang dilakukan legislatif (Eerste Kamer der Staten-
Generaal, 2009:6). Meskipun tidak dapat melakukan amandemen terhadap UU,
Upper House memiliki hak yang cukup vital dalam UU, yaitu mengesahkan atau
membatalkan.
Namun demikian, sebelum Upper House melakukan pengesahan atau
penolakan terhadap UU, ada proses yang harus dicapai, yaitu “nouvelle”. Meski
Upper House tidak memiliki hak amandemen seperti Lower House, Upper House
masih bisa memberikan tekanan kepada perintah dengan mengkritisi secara
beralasan mengenai UU yang diajukan, dan proses ini dinamakan “nouvelle”
(Eerste Kamer der Staten-Generaal, 2009:8). Pemerintah yang mengajukan UU
atau Lower House yang ingin mengamandemen UU diharuskan memberikan
alasan yang konkrit kepada Upper House, sehingga permintaan dalam UU yang
diajukan menjadi pertimbangan bagi Upper House untuk mengesahkan atau tidak.
Page 37
26
The Government
Berdasarkan kepada Konstitusi Belanda, The Government atau
pemerintahan Belanda terdiri dari Raja dan para Menteri. Ketika Raja berasal dari
garis keturunan Raja William I, Pangeran Orange-Nassau, maka lain halnya
dengan para menteri. Para menteri ditunjuk atau diberhentikan langsung oleh
Raja. Hal tersebut tercantum dalam Konstitusi Belanda chapter 2 artikel 43, yang
berisi,
“The Prime Minister and the other Ministers shall be appointed and
dismissed by Royal decree” (Grondwet, 2008).
Artinya
“Perdana Menteri dan para Menteri lainnya ditunjuk dan diberhentikan
oleh keputusan (titah) kerajaan”.
Tugas dan tanggung jawab para menteri ini tidak hanya tugas mengenai
kementerian, tetapi juga mengenai tindakan dan perkataan yang dilakukan oleh
Raja dan anggota kerajaan. Bisa dikatakan bahwa, menurut Konstitusi, Raja tidak
memiliki kewenangan dalam masalah politik karena hal tersebut dijalankan oleh
Perdana Menteri dan jajaran menteri lainnya. Perintah juga memiliki para
sekertaris negara yang mendampingi para menteri. Sekertaris negara ini memiliki
tugas yang lebih spesifik, biasanya berkaitan langsung dengan parlemen (Politics
in The Netherlands, 2013:65). Perdana Menteri, jajaran menteri, dan jajaran
sekertaris negara inilah yang disebut sebagai kabinet pemerintahan di Belanda
yang bertugas menjalankan pemerintahan Belanda dan bertanggung jawab atas
segala aksinya di dan dalam pemerintahan.
Page 38
27
2.2. Partai Politik di Belanda
Kemunculan partai politik pertama di Belanda terjadi pada pertengahan
abad ke-19. Partai politik di Belanda muncul dengan tujuan untuk mewakili
pandangan masyarakat terhadap skema politik yang ada di Belanda.
1. Christian Democratic Appeal
Christian Democratic Appeal atau Christen Democratish Appèl (CDA)
terbentuk dari penggabungan tiga partai pertama yang ada di Belanda. Pertama
adalah Anti-Revolutinary Party (ARP), The Reformed Protestan Church, dan
Roman Catholic Party. CDA memiliki empat prinsip utama yang menjadi
pedoman dasar, yaitu, keadilan, saling berbagi tanggung jawab atas pemerintahan
dan masyarakat, solidaritas, serta pelayanan (saling berbagi tanggung jawab atas
lingkungan dan kultur) (Politics in The Netherlands, 2013:20). CDA merupakan
partai besar yang ada di Belanda serta memiliki tujuan untuk saling berbagi dalam
hal apapun. CDA berpedoman erat kepada Injil (Bible), sehingga dapat dengan
mudah berintegrasi dengan masyarakat Belanda.
2. The Labour Party
The Labour Party atau Partij van de Arbeid (PvdA) merupakan partai
dengan pandangan mengenai solidaritas, yang lebih spesifik mengenai masyarakat
yang tidak memiliki posisi menguntungkan di masyarakat, bertujuan untuk
membela kelas pekerja yang ada di Belanda (Politics in The Netherlands,
2013:20). PvdA pada awalnya berusaha masuk ke segmen masyarakat secara
menyeluruh, baik lapisan masyarakat yang memiliki pandangan sekuler maupun
agamis. Namun demikian, hal tersebut gagal dilakukan, dan dengan kegagalan
Page 39
28
tersebut, PvdA lebih memilih untuk berusaha memberikan gambaran mengenai
partainya secara bertahap, sehingga asumsi mengenai partai buruh yang agak ke-
kiri-an bisa memudar.
3. People’s Party for Freedom and Democracy
People’s Party for Freedom and Democracy atau Volkspartij voor Vrijheid
en Democratie (VVD) bergerak atas dasar pergerakan Dutch Liberal (Politics in
The Netherlands, 2013:21). Awalnya para Liberal menolak mendirikan partai.
Tetapi kemudian, karena mulai merebaknya berbagai kejadian yang ada di
Belanda, para Liberal ini memutuskan untuk membuat partai agar dapat mengawal
kebebasan yang ada di Belanda. Pandangan serta tujuan VVD adalah untuk
membatasi intervensi pemerintah dalam hal yang berkaitan dengan sosial dan
ekonomi. VVD juga senantiasa mengingatkan dan mengedepankan isu mengenai
hak kebebasan tiap individu di Belanda menjadi tujuan utamanya yang mengacu
kepada Konstitusi Belanda.
Ketiga partai tersebut adalah partai terbesar yang ada di Belanda. Masih
ada partai-partai lain yang muncul beriringan setelah itu. Sebut saja Socialist
Party (SP) yang kemudian menjadi rival dari PvdA. SP memiliki pandangan yang
berbeda dengan partai-partai lainnya dan mencanangkan isu tempat tinggal dan
kesehatan sebagai isu penting. Ada pula partai lain seperti, The Party Green Left
yang merupakan hasil peleburan partai-partai kecil di Belanda. Partai ini berisikan
orang-orang berideologi Pacifist, Katolik radikal, Evangelist, dan Komunis.
Kemudian partai Democrat 66 (D66) yang lebih mengarah kepada pandangan
serta pemikiran sosial dan liberal. Muncul partai yang bertujuan untuk
Page 40
29
menghentikan imigrasi dan melakukan penentangan terhadap Islam, yaitu
Freedom Party (PVV), dipimpin oleh poitikus kontroversi, Geert Wilders, yang
senantiasa melancarkan berbagai kritikan terhadap Islam. Dan yang terakhir
adalah Party of the Animals (PvdD) yang bertujuan untuk mensejahterakan serta
melindungi hak hewan atau binatang (The Dutch Political System in Nutshell,
2008:14).
2.3. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Belanda
Prinsip kebijakan luar negeri Belanda berasaskan kepada tiga hal, yaitu
kebijakan mengenai keamanan dan HAM, unifikasi Uni Eropa atau integrasi Uni
Eropa, serta bantuan untuk pembangunan kepada negara-negara berkembang
(Baehr, 1980:223). Sudah dalam kurun waktu yang lama Belanda melakukan
serangkaian aksi dalam mepromosikan sistem internasional yang stabil.
Mempromosikan Hak Asasi Manusia keseluruh dunia juga merupakan hal yang
telah dilakukan Belanda, seperti penentangan terhadap terorisme, diskriminasi dan
lainnya.
Proteksi atas kehidupan manusia serta memberikan jaminan secara utuh,
adalah merupakan HAM yang relevan bagi setiap orang di dunia. Salah satu cara
Belanda menjalankan prinsip kebijakan luar negerinya adalah dengan bantuan dari
The Center for International Legal Cooperation (CILC). CILC merupakan
organisasi non-profit yang membantu Belanda dalam memberikan perkembangan
serta menjalankan prinsip kebijakan LN Belanda (Annual Report 2007:6).
Selain itu Belanda juga memiliki agenda mengenai bantuan kepada negara-
negara berkembang. Dalam hal ini pemerintahan Belanda membentuk sebuah
Page 41
30
lembaga yang bertanggung jawab atas hal tersebut, yaitu Official Development
Assistance (ODA). Fokus dari ODA adalah menjadi donatur bagi negara-negara
miskin. Belanda akan selalu bersama negara termiskin (Considerations on ODA,
2013). Maksud dari perkataan tersebut menjurus kepada perhatian Belanda secara
khusus terhadap negara-negara berkembang atau bahkan negara-negara miskin.
Belanda akan terus berjuang melawan kemiskinan dan menciptakan kesetaraan
menyeluruh bagi setiap masyarakat di dunia.
Ketiga, mengenai unifikasi serta integrasi Uni Eropa, Belanda memiliki
tanggung jawab terhadap kestabilan serta selalu memberikan dukungannya secara
penuh terhadap Uni Eropa. Dukungan Belanda ini tercermin dari sikap serta aksi
politiknya dengan cara melalui lembaga-lembaga yang ada dan atau bekerjasama
dengan Uni Eropa. Sebut saja, NATO, Lembaga Ekonomi Eropa, dan bahkan
sampai pengembangan terhadap Rules of Law bagi negara-negara yang sedang
mengalami krisis internal atau eksternal serta negara-negara yang menginginkan
masuk ke Uni Eropa, tetapi masih memiliki permasalahan pada sektor tersebut,
yang dinamakan dengan Program Matra.
2.4. Posisi Belanda di Uni Eropa
Secara historis, Belanda merupakan salah satu pendiri Uni Eropa bersama
dengan Belgia, Perancis, Jerman, Italia, Luxemburg (http://europa.eu). Meskipun
Belanda tidak sebesar Jerman atau Perancis, Belanda memiliki pengaruh yang
cukup signifikan dalam hal ide dan pemikiran terhadap Uni Eropa, baik dari segi
pembuat perundang-undangan Uni Eropa. Belanda juga merupakan salah satu
kekuatan ekonomi besar di dunia. Belanda juga merupakan pemberi sumbangan
Page 42
31
terbesar untuk Uni Eropa. Dasar dari pengaruh Belanda di Uni Eropa, ditunjukan
dengan keseriusan Belanda terhadap Uni Eropa, dengan menjadikan Uni Eropa
sebagai salah satu dasar prinsip dari kebijakan politik luar negeri Belanda.
Berdasarkan hasil keputusan dari pertemuan Uni Eropa di Kopenhagen
pada tahun 2002, bahwa proses masuknya Turki akan dilakukan kembali, dan jika
pada Desember 2004 Turki memenuhi kriteria yang diajukan, Uni Eropa akan
membuka accession negotiations terhadap Turki tanpa adanya penundaan
(Council of European Union, 2003). Hasil tersebut sebenarnya sejalan dengan
keinginan pemerintah Belanda yang menginginkan Turki menjadi anggota dari
Uni Eropa.
Ada sebuah keuntungan sekaligus hambatan bagi Belanda, yaitu, pada
tahun 2004, kepresidenan Uni Eropa di jabat oleh Belanda. Terjadi sedikit
keraguan atau bahkan ketidakjelasan atas apa yang akan dilakukan Belanda
mengenai langkah dalam membawa Turki ke Uni Eropa (Hollander, 2007:17).
Meskipun demikian, ada keinginan Belanda yang lain, yaitu mensuksekan proses
kepemimpinan Belanda hingga akhir.
Pada masa Belanda sebagai pemimpin Uni Eropa (pada tahun 2004),
Belanda semaksimal mungkin menjadi mediator atas pre-accession Turki. Hal
tersebut ditunjukan dari sikap yang dilakukan oleh Perdana Menteri Belanda, Jan
Peter Balkenende, dan Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Bot meyakinkan
negara-negara Uni Eropa lainnya untuk meloloskan Turki menjadi anggota tetap
Uni Eropa. Bisa dikatakan bahwa, pemerintah Belanda sebagai “penyambung
lidah” antara Uni Eropa dan Turki.
Page 43
32
2.5. Sikap Belanda Terhadap Proposal Keanggotaan Turki
Salah satu dari prinsip kebijakan luar negeri Belanda adalah mengenai Uni
Eropa. Baik mengenai penyatuan hingga perluasaan (enlargment) adalah sebuah
perhatian khusus yang diberikan Belanda terhadap Uni Eropa. Kerjasama antara
Belanda dan Turki merupakan kerjasama yang sudah melalui waktu yang cukup
panjang. Pada 2012, kerjasama Belanda dan Turki sudah memasuki tahun ke-400
(Netherlands Ministry of Foreign Affairs, 2012) dalam hal ini ditunjukan dengan
kedekatan Belanda terhadap Turki. Keinginan Turki untuk masuk ke Uni Eropa
dibantu oleh Belanda. Ketika Uni Eropa mempertanyakan mengenai HAM yang
ada di Turki, Belanda pun berupaya dalam membantu prosesi penyelarasan Hak
Asasi Manusia yang ada di Turki dengan bantuan yang diberikan pemerintah
Belanda melalui program Matra (http://government.nl/issues/matra).
Dengan bantuan yang diberikan Belanda terhadap Turki, bertujuan agar
Turki dengan secepatnya menjadi anggota Uni Eropa. Penantian panjang Turki
untuk menjadi anggota Uni Eropa mulai tercerahkan dibawah kendali Belanda.
Namun demikian, Belanda berusaha berupaya profesional. Meski memberikan
perhatian lebih atas Turki, tetapi Belanda juga berusaha menjadi figur yang
mencerminkan Uni Eropa secara keseluruhan dikarenakan tugas yang diembannya
tersebut. Pemerintah Belanda selalu percaya mengenai besarnya Turki, mampu
menjadi keuntungan tersendiri bagi Uni Eropa. Bisa dikatakan, menurut Belanda,
Uni Eropa akan sempurna jika benar-benar mengabaikan perbedaan Uni Eropa
dengan Turki.
Page 44
33
BAB III
PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI DI UNI EROPA
3.1. Perluasan dan Keanggotaan Negara Anggota Uni Eropa Pasca
Maastricht Treaty
Uni Eropa terbentuk resmi pada tahun 1992 ketika para negara anggota
menyetujui Perjanjian Maastricht atau Maastricht Treaty yang menandakan
perubahan European Community menjadi Uni Eropa. Perjanjian ini antara lain
mengatur kebijakan mata uang tunggal, yaitu, Euro sebagai satu-satunya mata
uang bagi negara-negara Uni Eropa.
Perjanjian ini juga mengatur mengenai perjanjian kerjasama negara-negara
Uni Eropa di bidang pendidikan seperti pembentukan Erasmus dan pemberian
wewenang yang lebih besar kepada pemerintahan Eropa seperti Parlemen Eropa,
Mahkamah Eropa, Badan Pemeriksa Keuangan Eropa dan Komisi Ekonomi dan
Sosial Eropa. Perjanjian kerjasama yang terbentuk selanjutnya seperti Amsterdam
Treaty (1997), Nice Treaty (2000) dan Lisbon Treaty (2007) merupakan
pengaturan teknis yang menyempurnakan perjanjian yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam Maastricht Treaty (Treaty of Maastricht, 2010).
Tabel III.1
Perjanjian Penting dalam Sejarah Uni Eropa
Tahun Perjanjian Pembahasan utama
1952 Perjanjian Paris
(Paris treaty)
Mengatur tentang produksi batu bara dan
besi antara masing-masing negara anggota.
Page 45
34
1957 Perjanjian Roma
(Rome Treaty)
Merencanakan terbentuknya pasar bersama
dan tercapainya perjanjian untuk
menghilangkan tarif imasuk untuk barang-
barang yang diproduksi oleh negara anggota.
1985 Perjanjian Schangen
(Schengen agreement)
Penghapusan kontrol di perbatasan antar
negara dan kebijakan visa tunggal
1987 Single European Act Penghapusan biaya perpindahan bagi orang,
barang, servis maupun modal di antara
negara anggota.
1992 Perjanjian Maastricht
(Maastricht Treaty)
Tercapainya kesepakatan penyatuan (union)
dalam tiga hal
Ekonomi berlakunya mata uang tunggal
(Euro)
Politik perubahan nama dari European
Community menjadi European Union
Keamanan dan kebijakan di dalam UE
pembentukan pilar dan struktur Uni Eropa
Sumber Christiansen, important events in the history of the EU. 2001
Secara geografis, negara-negara Uni Eropa terletak di benua Eropa.
Namun tidak semua negara yang terletak di Benua Eropa merupakan anggota dari
Uni Eropa. Beberapa negara di sebelah Timur Eropa seperti Rusia, Ukraina dan
Belarusia bukan anggota Uni Eropa. Sedangkan 19 dari ke-27 negara anggota Uni
Eropa yang terletak di Eropa Barat memiliki letak yang berdekatan sehingga
hanya dibatasi oleh perbatasan darat. Negara-negara Uni Eropa meliputi 66.000
km garis pantai yang meliputi Laut Atlantik, Laut Meditterania, Laut Hitam dan
laut Baltik. Sedangkan dataran tinggi yang terletak di Uni Eropa adalah Gunung
Alpen, Gunung Carpathian, gunung Balkan dan Gunung Skandinavia dengan titik
tertinggi adalah Mont Blanc di Swiss (let’s explore Europe!, 2008:5).
Perluasan Uni Eropa di mulai dengan bergabungnya sembilan negara ke
Uni Eropa yaitu Inggris, Denmark, Irlandia, Yunani, Portugal, Spanyol Austria,
Page 46
35
Finlandia dan Swedia. Peristiwa diruntuhkannya tembok Berlin yang
melambangkan penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990 juga
menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Uni Eropa. Peristiwa ini
menandakan berakhirnya kontrol Uni Soviet di Eropa sehingga memunculkan
gelombang demokratisasi di negara-negara Eropa yang sebelumnya Komunis
(Christiansen, 2001:496).
Uni Eropa pun menerima banyak negara yang sebelumnya merupakan
bekas Komunis untuk ikut bergabung dengan Uni Eropa seperti Bulgaria,
Polandia, Rep. Ceko, Slovenia, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Slovakia dan
Rumania, Cyprus dan Malta. Dengan perkembangan ini, maka Uni Eropa
beranggotakan 27 negara yang terdiri dari bagian timur, tengah dan barat Eropa.
Pada tahun 2013, Kroasia menjadi anggota terbaru Uni-Eropa, sekaligus
menjadi negara ke-28, yang disetujui pada 1 Juli 2013 (European Commission,
2013). Kroasia pertama kali mengajukan proposal keanggotaan pada tahun 2003.
Selama proses sejak pengajuan hingga diterimanya keanggotaan Kroasia secara
resmi, pada tahun 2011 Uni Eropa melakukan penilaian tentang kondisi Kroasia.
Hal ini diperlukan karena Kroasia harus memenuhi kriteria Kopenhagen yang
menjadi syarat utama keanggotaan Uni Eropa. Dengan masuknya Kroasia pada
2013, maka negara ini menjadi negara bekas Yugoslavia kedua yang menjadi
anggota Uni Eropa setelah Slovenia di tahun 2004 (Europa, 2013).
Page 47
36
Tabel III.2
Daftar Nama Negara-Negara Anggota Uni Eropa
No. Negara Tahun masuk
1 Netherlands 1953
2 Germany 1953
3 France 1953
4 Italy 1953
5 Belgium 1953
6 Luxembourg 1953
7 United Kingdom 1973
8 Denmark 1973
9 Ireland 1973
10 Greece 1981
11 Portugal 1986
12 Spain 1986
13 Swedan 1995
14 Austria 1995
15 Finland 1995
16 Cyprus 2004
17 Czech Republic 2004
18 Estonia 2004
19 Hungary 2004
20 Latvia 2004
21 Lithuania 2004
22 Malta 2004
23 Poland 2004
24 Slovakia 2004
25 Slovenia 2004
26 Bulgaria 2007
27 Romania 2007
28 Croatia 2013
Sumber Europa.eu, list of member countries. http//europa.eu/about-eu/countries/
Selain ke-28 negara yang sudah disebutkan diatas, Uni Eropa juga tengah
memproses proposal keanggotaan yang diajukan oleh negara-negara ex-
Yugoslavia seperti Albania, Bosnia Herzegovina, Macedonia, Kosovo,
Montenegro, Serbia, serta dua negara non-Balkan yaitu Turki dan Islandia.
Page 48
37
3.2. Persyaratan untuk Menjadi Anggota Uni Eropa
Pada bulan Juni 1993 Uni Eropa mengadakan Sidang Dewan Eropa di
Kopenhagen, pada sidang tersebut Dewan Eropa memutuskan bahwa negara-
negara di Eropa Tengah maupun Eropa Timur yang ingin menjadi anggota Uni
Eropa dapat diproses serta menjadi anggota Uni Eropa. Status keanggotaan Uni
Eropa akan diberikan jika negara yang ingin bergabung menjadi anggota Uni
Eropa mampu memenuhi beberapa kriteria baik Ekonomi maupun Politik. Kriteria
tersebut dicantumkan dalam Kriteria Kopenhagen, yang dideklarasikan pada
Sidang Dewan Eropa Juni 1993.
Dalam Kriteria Kopenhagen, disebutkan beberapa kriteria yang harus
dipenuhi jika suatu negara ingin menjadi anggota Uni Eropa (European
Comission, 1998). Adapun bunyi Kriteria Kopenhagen ini adalah
“Membership requires that the candidate country”
a. “Has achieved stability of institution guarenting Democracy, the
rule of law, human rights and respects for and protection of
minority”
b. “The existence of a functioning market economy as well as the
capacity to cope with competitive pressures and market forces
within the Union”
c. “Has the ability to take on the obligations of membership including
adherence to the aim of political, economic and monetary union.”
Negara calon anggota harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. “Telah mencapai stabilitas pemerintahan yang demokratis,
Page 49
38
berjalannya aturan hukum dan penghormatan terhadap HAM
serta perlindungan kepada kaum minoritas”
b. “Ekonomi pasar yang berfungsi dengan baik serta kemampuan
negara dalam menghadapi tekanan dan kekuatan pasar yang
kompetitif di dalam Uni Eropa”.
c. “Memiliki kemampuan dan komitmen dalam rangka pencapaian
tujuan Uni Eropa di bidang politik, ekonomi dan moneter”.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa keanggotaan Uni Eropa
diberikan ketika suatu negara telah memenuhi tiga kriteria, yaitu kriteria politik,
ekonomi dan kriteria untuk memiliki visi yang sama dengan Uni Eropa dalam
pencapaian cita-cita bersama. Kriteria-kriteria tersebut akan dibahas lebih lanjut
dalam penjabaran berikut ini (Communication from The Commission to The
European Parliament and The Council, 2009-2010:3):
a. Kriteria Politik
Dalam laporan yang diberikan oleh Komisi Eropa ke Parlemen dan dewan
Eropa (Communication from The Commission to The European Parliament and
The Council, 2009-2010:6), di jelaskan bahwa kriteria politik bagi negara calon
anggota Uni Eropa mengharuskan negara tersebut telah mencapai suatu tingkat
institusi kenegaraan yang stabil serta dapat menjamin berjalannya pemerintahan
secara demokratis dan terlaksananya aturan-aturan hukum dan menjaga
kehormatan serta perlindungan terhadap kaum minoritas.
Sejak pengajuan proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun
1959, Turki mengalami berbagai macam instabilitas politik seperti kudeta yang
Page 50
39
dilancarkan oleh elit militer (1960, 1971 dan 1980), invasi ke Cyprus Utara pada
tahun 1974 dan peperangan dengan Kurdistan Worker’s Party (PKK), kelompok
separatisme suku Kurdi yang ingin memisahkan diri dari Turki. Operasi militer
yang dilancarkan oleh tentara Turki ini melibatkan hingga 45 ribu tentara dan
menyebabkan 15 ribu suku Kurdi kehilangan tempat tinggalnya dan menjadi
pengungsi di Irak (Turkey Timeline, 2012).
Negara-negara yang menginginkan menjadi anggota Uni Eropa, terutama
Turki, diharapkan tidak hanya mengakui prinsip Demokrasi dan aturan hukum
yang berlaku, tetapi juga harus mempraktekkan prinsip-prinsip tersebut kedalam
kehidupan sehari-hari baik dalam bernegara maupun dalam ranah sosial
masyarakat. Negara calon anggota juga harus menjamin bahwa lembaga-lembaga
negara yang ada bisa beroperasi dengan stabil. Dengan adanya stabilitas dalam
lembaga-lembaga otoritas publik seperti kehakiman, keamanan dan pemerintahan
lokal, maka nilai-nilai Demokrasi dapat diterapkan.
Selain kehidupan yang demokratis, kriteria Kopenhagen juga menekankan
terhadap penghormatan atas kaum minoritas. Penghormatan ini merupakan salah
satu hal yang wajib dipenuhi dalam pemenuhan kriteria untuk menjadi anggota
Uni Eropa karena merupakan salah satu unsur perlindungan HAM yang tercantum
dalam Konvensi Dewan Eropa mengenai perlindungan HAM. Selain itu, adanya
integrasi antara populasi minoritas dan mayoritas di suatu negara adalah syarat
bagi terbentuknya negara yang Demokrasi (Communication from The
Commission to The European Parliament and The Council, 2009-2010:13).
Page 51
40
b. Kriteria Ekonomi
Kriteria Ekonomi yang tercantum dalam Kriteria Kopenhagen
mengharuskan negara calon anggota Uni Eropa untuk memastikan ekonomi
pasarnya berfungsi dengan baik dan mampu bersaing dengan negara-negara Uni
Eropa lainnya (Communication from The Commission to The European
Parliament and The Council, 2009-2010:33). Untuk menjamin berfungsinya
ekonomi pasar, maka beberapa kondisi berikut perlu dipenuhi oleh negara calon
anggota. Yaitu:
1. Tercapainya keseimbangan antara penawaran dan permintaan
yang muncul akibat adanya kebebasan bersaing dari
kekuatan pasar.
2. Tidak adanya hambatan terhadap keluar masuknya barang
atau jasa kedalam suatu negara (free trade area).
3. Berlakunya sistem hukum termasuk pengaturan atas hak
cipta sehingga kontrak bisnis dapat dilakukan.
4. Tercapainya stabilitas makro ekonomi termasuk stabilitas
keuangan publik.
5. Adanya konsensus bersama dari masyarakat terkait kebijakan
ekonomi.
Selain kelima kondisi diatas, negara calon anggota Uni Eropa juga harus
memiliki daya saing ekonomi yang kuat, sehingga mampu bersaing saat
menghadapi tekanan persaingan dengan negara-negara anggota di dalam Uni
Eropa.
Page 52
41
Untuk mencapai hal tersebut, suatu negara juga harus mempertimbangkan
faktor-faktor lain seperti,
1. Tingkat stabilitas ekonomi makro yang baik, sehingga
pelaku ekonomi dapat mengambil keputusan dalam
nuansa perekonomian yang stabil.
2. Jumlah modal finansial dan manusia yang cukup,
termasuk juga tersedianya infrastruktur yang memadai
untuk menjamin berlangsungnya pendidikan dan
penelitian dengan jumlah biaya yang sesuai.
3. Adanya batasan-batasan, sejauh mana pemerintah dapat
mempengaruhi daya saing perekonomian melalui
kebijakan perdagangan, persaingan, bantuan negara,
bahkan dukungan bagi usaha kecil menengah.
4. Banyaknya barang serta jenis barang yang telah
diperdagangkan dengan negara anggota.
5. Proporsi perusahaan kecil dalam ekonomi.
c. Kriteria untuk memiliki visi yang sama dengan Uni Eropa dalam
pencapaian cita-cita bersama
Dalam proses untuk dapat menjadi negara anggota Uni Eropa, negara
calon anggota harus dapat menerima tujuan yang tercantum dalam Treaty on
European Union termasuk juga tujuan Uni-Moneter, Uni-Ekonomi dan Uni-
Politik. Negara-negara calon anggota juga harus turut serta dalam berpartisipasi
dan ikut mendukung upaya Uni Eropa untuk membentuk kebijakan keamanan
Page 53
42
dalam dan luar negeri bersama yang merupakan cita-cita Uni Eropa
(Communication from The Commission to The European Parliament and The
Council, 2009-2010:39).
3.3. Proposal Turki ke Uni Eropa
3.3.1. Sejarah Proposal Keanggotaan Turki ke Uni Eropa
Turki merupakan negara Islam dengan sistem pemerintahan khalifah, Pada
tahun 1923, sejak menjadi Republik, Turki melakukan revolusi dibawah
pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk (Aydinli & Waxman, 2001:381). Turki
berubah menjadi negara sekuler dan lebih condong ke negara-negara barat.
Attaturk bersama pengikutnya yang tergabung dalam partai Republik (Republican
People’s Party) meyakini bahwa faktor utama yang harus dilakukan jika ingin
menjadi negara yang maju seperti negara-negara barat adalah dengan memisahkan
ajaran Islam (agama) dari kehidupan bernegara. Seiring dengan diberlakukannya
prinsip ini, Turki akhirnya menginginkan untuk menjadi anggota Uni Eropa
sebagai tujuan utama kebijakan luar negerinya.
Proses Turki untuk menjadi negara anggota Uni Eropa dimulai ketika
negara itu mengajukan proposal keanggotaan untuk pertama kalinya pada tahun
1959 ketika Uni Eropa masih berbentuk European Economic Communities
(Europa, 2012). Sebagai respon, ditandatanganilah perjanjian Ankara (Ankara
Agreement) antara Uni Eropa dan Turki pada tahun 1963 yang bertujuan untuk
mempersiapkan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa.
Selanjutnya pada tahun 1987 Turki mengajukan proposal keanggotaan
penuh saat di pimpin oleh Presiden Turgut Ozal. Presiden Ozal meyakini bahwa
Page 54
43
keanggotaan Turki di Uni Eropa akan mampu mendorong pemodal asing untuk
berinvestasi di Turki. Dua tahun kemudian, yaitu pada 1989, komisi Uni Eropa di
Brussels memberi jawaban atas aplikasi keanggotaan yang diajukan Turki yang
berisi dukungan atas usaha Turki untuk bisa berintegrasi dengan Eropa. Namun
jawaban ini tidak menetapkan tanggal pasti kapan Turki akan diterima menjadi
anggota Uni Eropa.
Dalam jawabannya komisi Eropa menyebutkan beberapa alasan mengapa
belum bisa menerima Turki ke Uni Eropa, diantaranya adalah Uni Eropa belum
siap untuk memperluas keanggotaannya dan menilai bahwa Turki belum siap
menjadi anggota Uni Eropa. Penolakan ini berkaitan dengan permasalahan HAM
yang terjadi di Turki dimana terjadi pembantaian terhadap etnis minoritas Kurdi
dan kondisi ekonomi Turki yang masih dibawah standar Uni Eropa (Aydinli &
Waxman, 2001:382).
Dengan adanya keputusan ini, maka Komisi Eropa meyarankan agar
sebaiknya hubungan Turki dan Uni Eropa dikuatkan lagi dengan tetap
menggunakan Ankara Association Agreement sebagai kerangka kerjasama untuk
upaya integrasi Turki ke Uni Eropa di masa depan. Usul ini kemudian disetujui
oleh Turki pada tahun 1990 di Dublin, Irlandia.
Pada KTT Luxemburg di tahun 1997, Turki dikejutkan dengan tidak
dimasukannya Turki ke dalam daftar negara kandidat anggota oleh Uni Eropa.
Padahal kerjasama pemenuhan Ankara Association Agreement antara kedua belah
pihak telah berlangsung cukup lama sejak perjanjian terakhir di tahun 1990. Hal
ini memunculkan protes dari pihak Turki karena menilai negara-negara lain yang
Page 55
44
masuk kedalam daftar negara kandidat seperti Slovakia, Bulgaria dan Rumania
yang baru berubah dari sistem Komunis ke Demokrasi memiliki kondisi politik
dan ekonomi yang lebih lemah dibandingkan Turki (Aydinli & Waxman,
2001:383).
Baru pada tahun 1999 dalam KTT Helsinski Uni Eropa secara formal
menerima proposal keanggotaan Turki dan memberikan status “negara kandidat”
kepada Turki. Dengan diberikannya status ini, maka proses negosiasi dan
diplomasi antara Turki dan Uni Eropa dilanjutkan kembali meskipun masih tanpa
kepastian kapankah Turki akan bergabung dan menjadi anggota penuh Uni Eropa.
Dengan diberikannya status ini, Turki berusaha mereformasi pemerintahannya
agar sesuai dengan Kriteria Kopenhagen yang telah disyaratkan oleh Uni Eropa
(Aydinli & Waxman, 2001:382).
Pada tahun 2001, disetujuilah European Union Acession Partnership
antara Turki dan Uni Eropa (Yavuz & Kahn, 2004:392). Dokumen ini berisi hasil
penilaian atas proses pemenuhan Kriteria Kopenhagen yang telah dilakukan oleh
Turki berdasarkan pada Ankara Agreement yang menjadi kerangka dasar penilaian
atas kedua belah pihak. Dalam penilaian ini, Uni Eropa menegaskan mengenai
pelaksanaan HAM dan demokratisasi yang dinilai belum memenuhi syarat untuk
menjadi negara anggota Uni Eropa.
Pada November 2002, Turki menggelar pemilu demokratis pertamanya
dan hasilnya adalah kemenangan partai oposisi yang didirikan oleh Racep Tayyip
Erdogan, dan ini dimaksudkan pula untuk merubah keadaan yang terus
menghambat keanggotaan Turki. Sedangkan partai Republik yang diisi oleh elit
Page 56
45
Militer dan Kemalist berada di posisi kedua. Hal ini kemudian mengantarkan
Erdogan menjadi Perdana Menteri Turki (Yavuz & Kahn, 2004:392).
Dalam menjalankan pemerintahannya, Erdogan melakukan reformasi
politik dengan mengamandemen Undang-Undang terkait peran militer di
pemerintahan dan membatasi campur tangan militer dalam Badan Keamanan
Negara. Perdana Menteri Erdogan bahkan mengalihkan anggaran militer yang
sebelumnya diatur oleh militer menjadi oleh sipil. Dalam hal etnis Kurdi, Erdogan
juga membolehkan siaran radio dalam bahasa Turki yang sebelumnya dilarang.
Sebulan setelah pemilu, Uni Eropa yang mengadakan pertemuan
Copenhagen Summit di Denmark mendeklarasikan bahwa negosiasi keanggotaan
Turki bisa dimulai pada tahun 2004 jika Turki berhasil memenuhi persyaratan
hukum yang diminta. Pada tahun 2004, Uni Eropa menepati janjinya dengan
menyetujui rencana negosiasi keanggotaan Turki agar dibuka kembali dan akan
dimulai pada tahun 2005. Hal ini menjadi babak baru bagi pemerintahan Turki
yang telah begitu lama mengharapkan keanggotaan Uni Eropa.
Tabel III. 3
Turkey-EU Membership Timeline
Tahun Peristiwa
1959 Turki mengajukan proposal keanggotaan EU untuk pertama
kalinya, saat itu EU masih bernama EEC
1963 Disetujuinya perjanjian Ankara “Ankara agreement” sebagai
kerangka dasar bagi hubungan Turki-EU
1987 Turki mengajukan keanggotaan penuh di EEC
1995 Disetujuinya perjanjian custom union antara Turki dan Uni
Eropa
1997 UE menyatakan Turki memenuhi syarat untuk menjadi
anggota Uni Eropa
Page 57
46
1999 Turki mendapatkan status “country candidate”
2004 Uni Eropa setuju untuk membuka accession negotiations
dengan Turki
2005 Acession Negotiations antara Turki dan EU resmi dimulai
Sumber: http://ec.europa.eu/enlargement/countries/detailed\-
countryinformation/turkey/index.en
3.3.2. Upaya Turki Untuk Masuk ke Uni Eropa
Sejak berubah menjadi negara sekuler Turki menjadikan keanggotaan Uni
Eropa sebagai tujuan dari kebijakan luar negerinya. Sebagai dasar ideologi negara,
Turki juga mengadopsi nilai-nilai dari Attaturkisme (Dinan, 2000:467) yang berisi
prinsip-prinsip Republikanisme, Nasionalisme, Sekularisme, Demokrasi serta
Reformasi. Namun sejak pengajuan proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa
pada tahun 1959, Turki mengalami berbagai macam instabilitas politik (Turkey
Timeline, 2012). Kondisi seperti ini tentu saja menghambat keanggotaan Turki di
Uni Eropa.
Pada tahun 1987, Komisi Eropa menyatakan bahwa Acession talks antara
Turki dan Uni Eropa belum bisa dimulai karena ketidakstabilan kondisi ekonomi
dan politik Turki serta hubungan buruk Turki dengan Yunani dan konflik dengan
Cyprus (Turkey 2007 Progress Report, 2007:6). Sikap ini ditegaskan kembali
dalam accession talks yang dibuka oleh Dewan Uni Eropa pada tahun 1997 yang
hanya melibatkan Cyprus tetapi belum melibatkan Turki.
Di tahun 2001, pengadilan HAM Uni Eropa menyatakan Turki bersalah
karena telah melanggar HAM penduduk Cyprus-Yunani selama masa pendudukan
Turki di Cyprus. Di tahun yang sama Uni Eropa juga menangguhkan penerimaan
Turki karena Uni Eropa menilai Turki telah melanggar HAM atas suku minoritas
Page 58
47
Kurdi (Turkey 2007 Progress Report, 2007:12)
Seiring dengan masih belum diterimanya proposal keanggotaan Turki,
Pemerintahan Turki yang baru dibawah pimpinan Presiden Abdullah Gul dan
Perdana menteri Racep Tayyip Erdogan dari partai Justice and Development party
(AKP) kemudian menyadari bahwa meskipun sekularisme budaya penting, namun
nilai-nilai dasar demokratisasi seperti pemerintahan yang tidak otoriter dan
penghargaan terhadap HAM juga merupakan aspek penting yang harus dipenuhi
jika Turki ingin menjadi anggota Uni Eropa (Khan & Yavuz, 2003:122).
Faktor tersebut yang belum mampu dipenuhi oleh pemerintahan Kemalist
yang militeristik dan otoriter. Karenanya, partai AKP yang dipimpin oleh
Abdullah Gul dan Recep Tayyip Erdogan yang berhasil menduduki pemerintahan
lewat pemilu pada tahun 2002 memiliki visi yang lebih demokratis, toleran dan
civilian-ruled demi memenuhi persyaratan demokrasi yang diberlakukan oleh Uni
Eropa. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk memenuhi kriteria dalam Acession
Partnership yang disetujui dengan Uni Eropa, namun juga untuk mendapatkan
keanggotaan penuh yang juga menjadi tujuan kebijakan luar negeri pemerintahan
Erdogan (Khan & Yavuz, 2003:122).
Dalam upaya mereformasi pemerintahan baru dibawah Perdana Menteri
Erdogan, dimulai dengan mengamandemen Undang-Undang yang membatasi
peran militer di pemerintahan dan mengalihkan urusan keuangan yang
sebelumnya diatur oleh militer menjadi diatur oleh sipil (Khan & Yavuz,
2004:392). Dalam hal suku Kurdi, Parlemen Turki juga mencabut larangan
penggunaan bahasa Kurdi sejak tahun 2003 dan terus mengurangi personil militer
Page 59
48
yang ditempatkan di wilayah Kurdi, yaitu di Turki selatan.
Untuk membantu integrasi suku Kurdi dengan bangsa Turki, pemerintah
juga meluncurkan program “Kurdish Initiative” yang memberikan hak bahasa dan
kebudayaan kepada suku Kurdi (Turkey Profile, 2013). Pada tahun 2004 untuk
pertama kalinya Turki membolehkan siaran televisi berbahasa Kurdi di Turki dan
di tahun yang sama juga Turki mencabut praktek hukuman mati dimana hal ini
kemudian mendapatkan sambutan positif dari Uni Eropa.
Upaya perubahan ini memberikan hasil positif bagi Turki dimana dalam
laporan accession pertamanya sejak proses acession dimulai pada tahun 2004,
disebutkan bahwa Turki telah mengalami perubahan yang fundamental terutama
dalam bidang HAM, hak-hak wanita, hak minoritas dan hak penduduk non-
Muslim. Hubungan Turki dengan Yunani juga membaik, ditandai dengan semakin
banyaknya perjanjian bilateral yang dibuat oleh kedua negara. Sedangkan dalam
hal permasalahan dengan Cyprus, Turki juga telah menunjukkan kemajuan positif
dengan ikut mendukung upaya PBB dalam mengakhiri konflik Cyprus (EU
commission progress report on Turkey, 2005). Akhirnya pada 3 Oktober 2005
proses negosiasi (acession process) antara Turki dan Uni Eropa secara resmi
dimulai.
Pada tahun 2006, negosiasi antara Uni Eropa dan Turki menemui jalan
buntu ketika Turki menolak mengakui kemerdekaan Cyprus (europa.eu, 2012).
Akhirnya, negosiasi baru dimulai lagi pada tahun 2010 serta membahas mengenai
keamanan pangan, veternitarian dan kebijakan kesehatan. Negosiasi-negosiasi lain
mengenai seluruh persyaratan yang tercantum dalam accession partnership
Page 60
49
document ini akan terus berlanjut dalam proses yang tidak terbatas pada waktu
dan dapat berubah kapan saja (open-ended process).
Dalam bidang politik, komisi Uni Eropa menilai Turki terus berupaya
memenuhi kriteria politik Uni Eropa dengan terus melakukan perubahan.
Perubahan ini diantaranya adalah pada September 2010, Turki mengamandemen
undang-undangnya yang berhubungan dengan hak dasar dan yang berkaitan
dengan administrasi publik. Undang-Undang ini juga merubah sistem militer
Turki dengan membatasi campur tangan militer di pemerintahan dan merubah
kembali struktur sistem pengadilan. Selain itu, Undang-Undang ini juga menjamin
perlindungan hukum bagi anak-anak dan wanita, perlindungan data penduduk dan
pendirian Ombudsman atau Advokat publik yang ditunjuk oleh pemerintah (EU
Commission Progress Report on Turkey, 2010).
Dalam bidang ekonomi, hasil evaluasi komisi Uni Eropa yang dilaporkan
pada tahun 2010 itu menyebutkan bahwa Uni Eropa memiliki sistem pasar yang
berfungsi (functioning market economy) dan pertumbuhan ekonomi terus
meningkat setiap tahunnya. Turki juga memberikan kemudahan investasi hingga
perkembangan ekonomi baik di sektor publik maupun swasta mengalami
pertumbuhan. Laporan ini juga menyebutkan bahwa Turki telah berhasil membuat
perubahan yang substansial dalam pemerintahannya dalam rangka finalisasi
negosiasi antara Turki dan Uni Eropa (EU Commission Progress Report on
Turkey, 2010).
Sejak dibukanya negosiasi masuknya Turki ke Uni Eropa yang dimulai
pada tahun 2005 hingga tahun 2012, Turki dan Uni Eropa sudah membuka 13 sesi
Page 61
50
negosiasi dari 35 sesi yang harus dipenuhi Turki sebelum akhirnya keputusan
akhir diambil. Dari ke-13 sesi itu, hanya satu yang sudah selesai pembahasannya
yaitu dalam hal ilmu pengetahuan dan penelitian. Setelah pembahasan itu selesai
pada tahun 2010, pembicaraan terkait accession Turki belum dilanjutkan kembali
dan belum ada sesi baru yang dibuka. Sedangkan ada sekitar 18 sesi yang
dibekukan oleh Uni Eropa karena sikap Turki yang menolak kapal laut dari
Cyprus mendarat dipelabuhannya dan 10 sesi lainnya di-veto oleh pemerintah
Perancis dan Cyprus (Head, 2012).
Page 62
51
BAB IV
ANALISA FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK YANG MEMPENGARUHI
KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL
KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA PADA TAHUN 2005
Bagian ini akan mencoba memberikan analisa mengenai faktor-faktor
domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda pada tahun 2005
terkait proposal keanggotaan Turki di Uni Eropa. Telah dijelaskan di bagian
sebelumnya, bahwa, faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
berasal dari pemerintah yang menjabat, partai politik, kelompok kepentingan, dan
juga opini publik.
4.1. Pemerintahan yang Tengah Menjabat
Belanda merupakan negara dengan sistem Monarki Konstitusional.
Dengan kepala pemerintahan Perdana Menteri. Perdana Menteri Belanda pada
tahun 2005 adalah Jan Peter Balkenende, anggota dari partai CDA yang memiliki
cara pandangan objektif terhadap masalah di Uni Eropa, terutama masalah
accession Turki ke Uni Eropa. Pemerintahan yang berjalan di Belanda pada tahun
2004-2005 merupakan pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum yang
ada di Belanda pada tahun 2002, dimana pemilu ini merupakan pemilu yang
berbeda dari pemilu Belanda yang terjadi pada masa sebelumnya (Jones,
2002:62).
Perbedaan pemilu ini dengan pemilu sebelumnya adalah adanya partai List
Pim Fortuyn (LPF) dengan pemimpinnya Pim Fortuyn yang memiliki sudut
Page 63
52
pandang populis atau ekstrim-kanan serta membawa pemikiran mengenai anti-
imigran yang sudah terlalu merebak di Belanda dan juga kematian Fortuyn yang
tewas dibunuh beberapa hari sebelum hasil pemilu keluar (Jones, 2002:67).
Meskipun terjadi sedikit gejolak, dikarenakan terjadinya pembunuhan atas
seorang politisi tidak pernah terjadi di Belanda sejak Kerajaan Belanda berdiri, hal
tersebut tetap membuat pemerintahan terus berjalan. Ditunjuknya Jan Peter
Balkenende sebagai Perdana Menteri oleh Ratu Beatrix, meyakinkan Balkenende
sebagai penerus dari kebijakan luar negeri Belanda yang sudah ada dari masa lalu.
Keinginan Belanda dari masa pemerintahan sebelumnya adalah menjaga
kestabilan Uni Eropa dan membuka jalan bagi siapapun yang ingin masuk ke Uni
Eropa melalui pertimbangan khusus, terutama posisi negara yang berada di Eropa
dan sisanya mengikuti kriteria yang telah disepakati sebelumnya.
Keinginan pemerintah terkait perluasan (enlargment) Uni Eropa, bersifat
lebih leluasa. Pemerintah Belanda selalu mendukung enlargment Uni Eropa, dan
menerima proposal negara-negara yang ingin masuk ke Uni Eropa. Salah satunya
adalah Turki. Pemerintahan Belanda berpandangan bahwa masuknya Turki ke Uni
Eropa akan membawa perubahan besar. Perubahan ini berkaitan dengan pengaruh
yang dimiliki Turki terhadap kasus-kasus Transatlantic, Timur-Tengah, dan
bahkan pemerintah Belanda percaya bahwa Turki mampu menjadi jembatan Uni
Eropa kepada dunia Islam (Yackley, 2008:10).
Pada masa kepresidenan Belanda pada tahun 2004, Belanda berhasil
menyelesaikan tampuk kepemimpinannya dengan baik. Namun demikian,
kepercayaan diri dari pemerintahan Belanda ini masih terkesan sepihak.
Page 64
53
Dikarenakan, dalam sejarahnya, opini publik selalu mengikuti arus pemerintah.
Seiring berjalannya Uni Eropa yang sudah cukup lama, yaitu sekitar tujuh tahun
(perhitungan berdirinya Uni Eropa tahun 1992 sampai 2004), Publik mulai
mempertanyakan mengenai keputusan yang pemerintah ambil di Uni Eropa,
dikarenakan setiap keputusan yang pemerintah Belanda ambil, akan diterapkan
menjadi bagian dari publik.
Hal ini sedikit demi sedikit membuat publik merasa terbebani dengan
keputusan yang diambil oleh pemerintah Belanda di Uni Eropa dikarenakan ada
beberapa keputusan yang diambil, seperti, pemberlakuan mata uang Euro yang
disinyalir mempermudah dan menguntungkan, malah membuat publik kecewa
karena segala sesuatunya (kebutuhan hidup) menjadi lebih mahal, sehingga publik
Belanda tidak menginginkan kejadian yang sama terhadap apa yang akan terjadi
di Uni Eropa yang akan merugikan publik Belanda (Dekker, van der Horst, Kok,
van Noije, & Wennekers, 2008:39).
Pada tahun 2005, Uni Eropa mengadakan ratifikasi terhadap Konstitusi
Uni Eropa yang baru, dimana konstitusi tersebut berisi mengenai beberapa hal,
dan salah satunya mengenai perluasaan Uni Eropa. Publik Belanda memiliki andil
dalam proses ini, dikarenakan pemerintahan Belanda menggunakan skema
referendum. Publik Belanda akan memilih, apakah akan menyetujui konstitusi Uni
Eropa atau tidak, dikarenakan hal ini cukup penting, karena akan mempengaruhi
kebijakan yang akan pemerintah Belanda ambil terutama mengenai Turki di Uni
Eropa.
Page 65
54
4.2. Partai Politik
Atzo Nicolai menyatakan dalam pidatonya dalam simposium “Turkey and
The EU: Looking Beyond Prejudice” pada 4 April 2004, bahwa,
“Turkey can count on the Netherlands, during its Presidency, to do its
utmost to ensure a fair and objective decision.” “Religion will not be an issue.
Our motto will be, “a deal is a deal”” (Nicolai, 2004:16)
Artinya:
“Turki bisa mengandalkan Belanda, ketika masa Belanda sebagai
pemimpin Uni Eropa, dan dengan sepenuhnya memastikan keputusan yang adil
dan objektif.” “Agama tidak akan menjadi isu. Motto kami akan menjadi,
“kesepakatan adalah kesepakatan””.
Meskipun ada janji secara lisan yang disampaikan oleh anggota kabinet
Belanda, para anggota di dalam kabinet Belanda yang lain, ada yang tidak
meyakini dengan pesan yang disampaikan oleh Nikolai. Bahkan beberapa dari
anggota kabinet tetap melakukan penolakan terhadap masuknya Turki ke Uni
Eropa. Dua tokoh CDA, Cees Veerman, Menteri Pertanian, dan Aart Jan de Geus,
Menteri Sosial, berpendapat bahwa accession dari sebuah negara Islam besar
seperti Turki, tidak konsisten dengan warisan Kristen di Eropa (Hollander,
2007:18).
Tak luput juga, dari anggota VVD pun demikian. Menteri Dalam Negeri,
Johan Remkes, Menteri Kesehatan, Hans Hoogevorst, dan Menteri Keuangan,
Gerrit Zalm, menolak masuknya Turki karena faktor ekonomi, yang
dikhawatirkan memungkinkan terjadinya imigrasi besar-besaran oleh Turki ke
Page 66
55
negara anggota Uni Eropa dan menambah beban bagi negara anggota yang
memiliki pendapatan yang lebih tinggi (Hollander, 2007:18).
The Christian Democratic Party (CDA)
Partai pengusung dua orang terpenting di Belanda, Perdana Menteri Jan
Peter Balkenende dan Menteri Luar Negeri Bernard Bot, memiliki kritik terhadap
keanggotaan Turki di Uni Eropa. Meski Balkenende dan Bot, sama-sama
mendukung accession negotiations Turki ke Uni Eropa secara konsisten mengenai
keanggotaan resmi Turki. Namun demikian, tetap ada pandangan kontra, meski
pandangan kontra yang dibawa anggota partai CDA lainnya berfokus kepada
pandangan agama Turki yang merupakan Islam (ketakutan terhadap Islam ekstrim
atau Islamophobia).
Kekhawatiran yang ditakutkan oleh anggota CDA tersebut ditentang oleh
Maxime Verhagen, ketua dari fraksi parlemen, menyatakan dengan jelas bahwa
agama bukan sesuatu hal yang dijadikan perdebatan atas accession Turki ke Uni
Eropa (Hollander, 2007:18). Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan oleh
senior CDA, Arie Oostlander, bahwasanya permasalahan antara Turki dan Uni
Eropa semata-mata permasalahan politik dan sistem pemerintahan yang berlaku
(Beyond Enlargement Fatigue, 2006:6).
The Liberal Party (VVD)
Partai besar lainnya yang terbagi dalam pro-kontra accession Turki adalah
VVD. Atzo Nikolai yang merupakan sekertaris urusan Eropa, secara konsisten
mendukung keanggotaan Turki, dan juga memainkan peranan penting dalam
memediasi Turki, hal tersebut tidak hanya terlihat dari perkataannya yang telah
Page 67
56
disebutkan sebeumnya, tetapi dari aksi nyata yang Nikolai lakukan dalam
membawa misi penyuksesan accession Turki ke Uni Eropa. Meski pun Nikolai
menjadi bagian yang mendukung, lain halnya dengan para koleganya di partai
dimana Nikolai berada. Anggota VVD, para kolega Nikolai, baik yang berada di
kabinet dan fraksi liberal parlemen tidak teryakini dengan perkataan Nikolai, dan
menunjuk bahwa Turki hanya akan menambah beban keuangan di Belanda
(Hollander, 2007:21). Namun akhirnya, VVD tetap menyepakati dan mengikuti
kemauan pemerintah, yaitu mendukung accession Turki ke Uni Eropa.
The Labour Party (PvdA)
Ketika dua partai besar di Belanda masih memiliki sedikit keraguan
terhadap Turki, lain halnya dengan PvdA yang justru mendukung accession Turki
secara penuh. Pada tahun 2004, Frans Timmermans, anggota PvdA pernah
menyatakan bahwa, “Jika kita menolak Turki atas dasar Islam, sama saja dengan
mengatakan kepada jutaan penduduk Muslim yang tinggal disini, bahwa, 'kalian
tidak diterima disini'” (Beyond Enlargement Fatigue, 2006:16).
Pernyataan Timmermans tersebut cukup tegas dalam dukungannya
terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa. Hal serupa pun ditunjukan oleh
koleganya yang merupakan pemimpin PvdA, Wouter Bos yang menyatakan dalam
tulisannya dalam surat kabar Volkskrant bahwa, Turki merupakan milik Uni
Eropa, dan Turki yang memiliki fokus terhadap Uni Eropa adalah pendukung
dalam menjaga perdamaian dan keamanan di benua Eropa (Beyond Enlargement
Fatigue, 2006:16).
Page 68
57
Pernyataan secara langsung dari pimpinan partai biasanya merupakan
pernyataan yang cukup krusial jika ada perbedaan diantara anggotanya, tapi tidak
demikian dengan PvdA, yang mengikuti instruksi dari pimpinannya dalam
mendukung accession Turki ke Uni Eropa.
Dari ketiga partai besar tersebut, hampir mengatakan hal senada, yaitu,
mendukung bergabungnya Turki ke Uni Eropa. Hal yang menjadi pertimbangan
bahwa ketiga partai ini mendukung Turki ke Uni Eropa adalah mengenai
multikultural yang ada di Belanda. Sejak awal berdirinya, Kerajaan Belanda
merupakan sebuah melting pot atau tempat pertemuan berbagai perbedaan budaya
yang saling berasimilasi dan berakulturasi dengan baik. Selain itu, Turki dinilai
mampu untuk menanggulangi permasalahan transatlantic dan juga sebagai
jembatan Uni Eropa terhadap dunia Islam.
Berbeda pandangan dengan partai-partai minoritas di Belanda, yang
menjadi oposisi dari tiga partai besar tersebut. SP, LPF, dan partai minoritas lain,
menolak atas apa yang di ajukan oleh pemerintah dalam mendukung accession
Turki ke Uni Eropa. Basis atau dasar yang diutarakan oleh partai-partai ini adalah
mengenai perihal imigrasi besar-besaran yang akan menyerang Belanda, yang
nantinya dapat menyebabkan krisis identitas Eropa khususnya Belanda. Ketakutan
terhadap Islam juga menjadi pemikiran partai-partai ini dalam menolak Turki ke
Uni Eropa. Partai-partai tersebut juga berpendapat bahwa Uni Eropa merupakan
kebudayaan Kristen.
Page 69
58
4.3. Kelompok Kepentingan
Ketika partai-partai kecil menolak accession Turki ke Uni Eropa, begitu
pula dengan Geert Wilders. Mantan anggota parlemen yang keluar dari partai
VVD pada tahun 2004 karena ketidaksepahaman Wilders dengan VVD mengenai
accession Turki ke Uni Eropa. Setelah keluarnya Wilders dari VVD, Wilders
mendirikan Grup Wilders (Groep Wilders) yang berpandangan mengenai anti-
imigrasi, penolakan atas perluasaan Uni Eropa, dan masuknya Turki ke Uni Eropa
(Harmsen, 2007).
Groep Wilders merupakan cikal bakal berdirinya Freedom Party atau PVV
pada tahun 2005. Grup Wilders pada mulanya mengkritisi pemerintah Belanda
terhadap kontribusi pendanaan pemerintah yang terlalu besar. Namun, Grup
Wilders melihat bahwa imigran yang ada di Belanda semakin banyak, dan mulai
mendominasi Belanda. Grup Wilders dengan pemikirannya menjadi penerus dari
pemikiran Fortuyn yang tewas pada 2002, sebuah pemikiran konservatif anti-
imigran. Wilders pernah mengatakan bahwa, "Turki terlalu besar, terlalu miskin,
dan terlalu muslim. Bahkan secara geografis dan sejarah, Turki bukan bagian dari
Uni Eropa" (Hollander, 2007:22).
Sebuah pernyataan yang diberikan oleh Wilders tersebut cukup
kontroversi. Pernyataan tersebut merupakan sindiran terhadap Turki. Sejak
serangan 11 September di Amerika Serikat, pembunuhan Fortuyn (2002), dan
bahkan pembunuhan atas sutradara Theo Van Gogh (2004), menjadi kebangkitan
kembali atas ketakutan terhadap Islam di Belanda. Wilders menilai bahwa
semakin banyaknya imigran yang hadir di Belanda, akan menciptakan krisis
Page 70
59
identitas di Belanda.
Pada tahun 2005 akan diadakannya ratifikasi terhadap konstitusi Uni
Eropa, dan disini Wilders melihat bahwa, dari segi perluasaan Uni Eropa, harus
mendapat perhatian khusus, karena perluasaan yang terjadi di Uni Eropa akan
membawa dampak besar apalagi jika Turki dapat dengan mudah masuk ke Uni
Eropa. Jika Turki masuk ke Uni Eropa, akan merubah skema Uni Eropa. Uni
Eropa yang pengambilan keputusan kebijakannya melalui jajak pendapat serta
dari banyaknya jumlah penduduk, akan dengan mudah di dominasi oleh Turki.
Jumlah penduduk Turki bahkan lebih banyak dari negara-negara yang memiliki
dominasi di Uni Eropa, yaitu Jerman, Perancis, dan Inggris.
Dengan adanya hal tersebut, pada tahun 2005, Wilders mengkampanyekan
untuk menolak konstitusi Uni Eropa yang dinilai lebih banyak merugikan publik
Belanda. Dengan mengkampanyekan penolakan terhadap konstitusi Uni Eropa,
Wilders berharap bahwa accession Turki bisa diredam dan dipikirkan ulang oleh
pemerintah Belanda. Penjabaran yang dilakukan oleh Wilders dapat dikatakan
sebagai pandangan eurosceptical atau keraguan terhadap Eropa terkait
permasalahan Turki yang berkaitan dengan imigrasi dan Islam fundamental serta
permasalahan etnik dan budaya.
4.4. Opini Publik Dalam Isu Integrasi Turki
Sejak beberapa tahun terakhir, topik mengenai perluasaan Uni Eropa
menjadi perhatian khusus, terutama sejak tahun 1999 dan seterusnya yang
membahas mengenai accession Turki ke Uni Eropa (Hollander, 2007:25).
Eurosceptism sudah menjangkit publik Belanda terhadap masuknya Turki ke Uni
Page 71
60
Eropa. Awalnya, publik tidak memiliki permasalahan khusus mengenai masuknya
Turki di Uni Eropa, bahkan menurut Eurobarometer, publik Belanda mendukung
kebijakan pemerintah Belanda dalam membantu accession Turki ke Uni Eropa.
Namun, Hasil dari referendum dalam pengesahan Konstitusi Uni Eropa yang baru,
menunjukan bahwa publik menolak konstitusi tersebut dengan persentase 62%
(http//www.dw.de/dutch-reject-eu-constitution/a-1603076).
Penolakan tersebut berkaitan dengan permasalahan perluasan didalam
Konstitusi Uni Eropa yang juga berkaitan dengan krisis identitas yang mungkin
terjadi, serta kebijakan pemerintah Belanda yang akan diambil kedepan terutama
mengenai sikap Belanda terhadap Turki. Publik menilai bahwa Uni Eropa
bergerak terlalu cepat dan terburu-buru.
Setelah dikejutkan atas pembunuhan Pim Fortuyn pada tahun 2002 dan
pembunuhan Theo Van Gogh, seorang sutradara film kontroversi yang dibunuh
oleh militan Islam pada tahun 2004 (Mohd Zin, Ahmad & Sakat, 2011:2966).
Publik juga mengalami sebuah shock-theraphy, dimana ditemukannya jaringan
militan Islam di Belanda (Leidschendam, 2002). Ketika berbicara mengenai
Islam, publik Belanda akan mengacu kepada dua elemen imigran, Turki dan
Maroko. Turki sebagai salah satu imigran terbesar di Belanda, mendapat perhatian
khusus publik Belanda (McLaren, 2007:258).
Imigran Turki yang menjadi newcomers menjadi perhatian yang dinilai
perlu dipertimbangkan oleh pemerintah Belanda dikarenakan imigran Turki yang
menjadi newcomers di Belanda merupakan sebuah krisis yang dialami publik
Belanda. Perbedaan dari cara hidup, budaya, dan cara pandang Turki, bisa
Page 72
61
dikategorikan sebagai perusakan dalam tatanan hidup yang telah ada di Belanda.
Menurut Tajfel dan Turner, terkait dengan teori identitas sosial adalah bahwa,
psikologi sosial terkait kebiasaan, yang memberikan pemikiran bahwa identitas
dari satu anggota kelompok mewakili seluruh anggotanya (Alexander, Levin &
Henry, 2005:33). Dengan kematian Fortuyn, Fortuyn berhasil dalam
“mengembalikan” ingatan publik Belanda terhadap banyaknya imigran yang
datang ke Belanda.
Hal ini memicu penurunan dukungan publik terhadap Turki. Publik
menilai bahwa, jika memang Turki menginginkan masuk ke Uni Eropa, sebaiknya
Turki melakukan perubahan terhadap HAM dan juga berkaitan pula dengan hak-
hak perempuan. Publik Belanda menilai dalam hal politik ataupun ekonomi, Turki
dinilai masih belum mampu untuk memenuhinya. Sebanyak 96% publik Belanda
menilai Turki harus memperbaiki sistem HAM dan sebanyak 86% merasa Turki
harus mengembangkan ekonominya (Eurobarometer 63.4, 2005:4).
Pada tahun 2005, ketika Uni Eropa memutuskan untuk memperbaharui
konstitusi Uni Eropa, dan kepercayaan diri yang tinggi dari pemerintahan bahwa
publik akan mendukung keputusan pemerintah, mendapat sambutan lain dari
publik Belanda. Publik lebih menekankan terhadap penyelarasan sistem Turki
dengan Kriteria Kopenhagen sedangkan pemerintah Belanda yang terlalu
menginginkan Turki, seakan mengabaikan pandangan publik.
Publik yang sudah merasa cukup atas kebijakan yang diambil oleh
pemerintah Belanda, merasa perlu mengambil tindakan agar pemerintah
menyadari bahwa suara masyarakat atau publik Belanda harus di dengar (Best,
Page 73
62
2007:181). Imigran yang semakin banyak di Belanda juga dinilai publik sebagai
hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena mulai menipisnya lapangan
pekerjaan serta tidak memakmurkan publik Belanda sendiri.
Islam, sejak terjadinya serangan 11 September, dikenal sebagai
fundamental di Eropa. Hal ini yang dikhawatirkan pula oleh publik Belanda, dan
membawa terror tersendiri serta mengembalikan pandangan mengenai
Islamophobia bagi publik Belanda (Saz, 2011:481). Walaupun Turki sebagai
negara sekuler, publik masih beranggapan bahwa Islam merupakan hal utama di
Turki.
Pandangan tersebut menciptakan image tersendiri bagi publik Belanda.
Image dari sebuah negara adalah kumpulan dari kepercayaan pemikiran
masyarakat, ide, dan kesan terhadap sebuah negara (Jenes, 2012:4). Image Turki
sebagai masyarakat yang masih memiliki kekurangan dalam hal ekonomi, politik,
dan HAM, membuat publik berpandangan hal serupa terhadap Islam (Saz,
2011:482). Perbedaan mengenai kultur, budaya, serta sejarah Turki juga membuat
pandangan publik bahwa, Turki bukan bagian Eropa dan hanya sebagian dari
geografis Turki yang masuk ke Eropa. Sebayak 55% dari publik Belanda sepakat
bahwa perbedaan budaya antara Turki dan Eropa terlalu besar (Eurobarometer 66,
2006:6).
Publik juga beranggapan bahwa penolakan terhadap konstitusi Uni Eropa,
bukan penolakan terhadap Uni Eropa, melainkan, penolakan terhadap kinerja Uni
Eropa, terutama kinerja pemerintah Belanda dan penolakan terhadap accession
Turki ke Uni Eropa (Grosskopf, 2007:6). Penolakan ini mengejutkan
Page 74
63
pemerintahan Belanda, dimana pemerintah merasa optimis pada awalnya, tetapi
mendapat hasil yang mengecewakan. Dengan penolakan ini pula, pemerintah
melihat sikap publik sebagai sebuah perhatian khusus.
Pemerintah Belanda pada akhirnya meredam keinginan untuk memaksakan
masuknya Turki ke Uni Eropa. Terjadi kesepahaman antara publik dan perintah.
Pemerintah Belanda, dalam menjaga integritas politiknya pun mengambil langkah
yang pas. Langkah politik tersebut bisa dikategorikan sebagai win-win solution.
Kedekatan pemerintah Belanda dengan Turki serta keinginan publik Belanda,
menjadi perhatian khusus pemerintah Belanda, sehigga Belanda mengambil
keputusan untuk mengembalikan proses masuknya Turki ke Uni Eropa kepada
Kriteria Kopenhagen sesuai dengan keinginan publik Belanda.
Page 75
64
BAB V
PENUTUP
Sejak pengajuan Turki menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 1959, Turki
mengalami pasang surut dalam proses penerimaannya sebagai anggota Uni Eropa.
Turki mengalami penolakan terhadap permasalahan yang diemban Turki terutama
permasalahan Cyprus, HAM, serta perkembangan ekonomi Turki. Belanda yang
notabene sebagai pendukung accession Turki ke Uni Eropa melakukan berbagai
upaya dalam melancarkan proses Turki bergabung dengan Uni Eropa. Bantuan
yang diberikan pun tidak hanya melalui program bantuan pemerintah, tetapi juga
ikut berdiplomasi dengan negara-negara Uni Eropa lainnya dalam accession Turki
ke Uni Eropa. Pemerintah pun berpandangan bahwa masuknya Turki menjadi
sebuah keuntungan besar bagi Uni Eropa.
Dengan gencarnya perlakuan pemerintah Belanda terhadap Turki, Publik
melihat dari sudut pandangan yang berbeda, ketika terjadi pembunuhan terhadap
politisi Belanda yang melakukan aksi anti-imigrasi, serta pembunuhan terhadap
sutradara film kontroversi oleh militan Islam, publik akhirnya me-review ulang
apakah accession Turki ke Uni Eropa merupakan hal yang bisa dilakukan. Publik
menilai bahwa accession Turki ke Uni Eropa bukan hal yang tepat, dikarenakan
publik melihat Turki belum mampu untuk memenuhi Kriteria Kopenhagen
disamping permasalahan imigran dan Islam.
Penolakan terhadap konstitusi Uni Eropa yang mengejutkan pemerintah
Belanda terhadap sikap Publik, membuat pemerintah harus mengambil langkah
yang tepat dalam dukungan penuh pemerintah Belanda terhadap accession Turki
Page 76
65
ke Uni Eropa. Sehingga membuat pemerintah Belanda melakukan pengambilan
kebijakan mengikuti kemauan publik Belanda, dengan memberikan dukungan
penuh terhadap Turki, jika Turki mampu untuk memenuhi Kriteria Kopenhagen.
Maka dapat disimpulkan bahwa opini publik merupakan sebuah
pertimbangan penting dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Opini publik merupakan cerminan keinginan masyarakat dalam pengambilan
keputusan pemerintah. Publik Belanda mengambil hal yang tepat, agar suara
publik bisa di dengar. Arogansi dari pemerintah Belanda terhadap suara publik
bisa teredam dengan penolakan yang terjadi, sehingga pemerintah Belanda
mengambil langkah bijak untuk mengembalikan dukungan internasionalnya
kepada publik Belanda, terutama karena Uni Eropa bergantung kepada masyarakat
Eropa, khususnya publik Belanda.
Page 77
66
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiardjo, M. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi.
Christiansen, Thomas. 2001. European and Regional Integration in John Baylis
and Steve Smith,eds., The Globalization of World Politics: An Introduction
to International Relations, 2nd edition. Oxford: Oxford University Press
Considerations on ODA. 2013. Dutch Ministry of Foreign Affair
Dinan, D. 2000. Encyclopedia of the European Union. London: McMillan Press
Eerste Kamer der Staten-Generaal.2009. Den Haag: Communicatie en Protocol
Eerste Kamer der Staten-Generaal
Griffiths, Martin, Steven C. Roach, & M. Scott Solomon. 2009. Fifty Key Thinkers
in International Relations. 2nd
ed. New York: Routledge
Hill, C. 2003. The Changing Politics of Foreign Policy. Palgrave McMillan
Leidschendam. 2002. Recruitment for the Jihad in the Netherlands: From Incident
to Trend. Den Haag: Algemene Inlichtingen en Veiligheidsdienst
Lets Explore Europe!. 2008. Luxembourg: Office for Official Publication of the
European Communities
Local Government in The Netherlands. 2008. The Hague: VNG, Association of
Netherlands Municipalities
Mas’oed, M. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metedologi.
Jakarta: LP3ES
Michels, Ank. 2007. Theories and Core Principles of Dutch Democracy. Eurogov
Page 78
67
Moravcsik, A. 1993. Preferences and Power in the European Community: A
Liberal Intergovernmentalist Approach. Common Market Studies, 31st
edition
Morelli, V. 2009. European Union Enlargement: a status report on Turkey’s
accession negotiation. Congressional Research Service
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Press
Political System in Nutshell. 2008. The Hague: Instituut voor Publiek en Politiek
Politics in Netherlands. 2013. The Hague: ProDemos, Huis voor Democratie en
Rechstaat
Rourke, J. 2009. Level of Analysis and Foreign Policy on International politics on
the world stages.10th
ed. McGrawhill Education.
Summary of Statutory Regulations: for Chief Officers and Chief Engineers. 2008.
2nd
ed. Ministerie van Verkeer en Waterstaat.
The Binnenhof. 2013. Netherlands Ministry
Turkey Europe: More Than Promise?. 2004. Brussel: British Council & Open
Society Institute
Turkish Press Review. September 2005. “Anything besides full EU Membership is
unacceptable”
Tweede Kamer: House of Representative. 2013. Huis voor Democratie en
Rechstaat
Van Keulen, M. & Alfred Pijpers. 2005. Chairing the Enlarged Union: The
Netherlands 2004 EU Council Presidency. The Hague: Netherlands
Institute of Internaional Relations Clingendael.
Page 79
68
Wendt, Alexander. 2003. Social Theory of International Politics. Cambridge:
Cambridge University Press.
JURNAL
Alexander, Michele G., Shana Levin & P. J. Henry. 2005. Image Theory, Social
Identity, and Social Dominance: Structural Characteristics and Individual
Motives Underlying International Images. Political Psychology 26(1):27-
45.
Annual report 2007. 2007. Amsterdam: The Center For International Legal
Cooperation
Aydinli, E & D Waxman. 2001. A Dream Become Nightmare? Turkey's Entry into
The European Union. Current History Journal 100(649):381-388.
Baehr, Peter R 1980. Dutch Foreign Policy. International Studies Quarterly
24(2):223-261
Best, Edward. 2005. After the French and Dutch Referendums: What Is to Be
Done?. Intereconomics Forum:180-200
Beyond Enlargment Fatigue: Part 1 - The Dutch Debate on Turkey Accession.
2006. ESI
Communication from The Commission to The European Parliament and The
Council: Enlargment Strategy and Main Challanges. 2009-2010. Brussel
Communication from The Commission to The European Parliament and The
Council: Eu Commission Progress Report On Turkey. 2004-2005. Brussel
Page 80
69
Communication from The Commission to The European Parliament and The
Council: Turkey 2007 Progress Report. 2007. Brussel
Communication from The Commission to The European Parliament and The
Council: Turkey 2009 Progress Report. 2009. Brussel
Communication from The Commission to The European Parliament and The
Council: Turkey 2010 Progress Report. 2010. Brussel
Dekker, Paul, Albert van der Horst, Suzzane Kok, Lonneke van Noije, dan
Charlotte Wennekers. 2008. Europe’s Neighbour: European
Neighbourhood Policy and Public Opinion on the European Union. The
Hague: The Netherlands Institute for Social Research, SCP, CPB.
Eurobarometer 66. 2006. National Report Executive Summary The Netherlands.
TNS Opinion & Social.
Eurobarometer 70. 2008. National Bericht Deutschland, Executive Report.
European Unification in The Wake of Maastricht. Journal of Common Market
Studies, Vol. 32, No. 4, 1994
Flockhart, Trine. 2012. Constructivism and Foreign Policy. Foreign Policy:
Oxford University Press:78-93
Grosskopf, Anke. 2007. Why ‘non’ and ‘nee’ to the EU Constitution?:
Reconsidering The Shock of the Dutch and French Referenda. Montreal:
Long Island University, C.W. Post Campus
Harmsen, Robert. 2007. Refarming a National Narrative of European Integration:
The Shifting Contours of The Dutch European Debate. Presentation Paper.
Montreal: Queen's University
Page 81
70
Hollander, Ms. S. 2007. The Accession of Turkey in European Union: The
Political Decision-Making Process on Turkey in Netherlands. The Hague:
WRR
Jenes, Barbara. 2012. Theoretical and Practical Issues in Measuring Country
Image: Dimensions and Measurement Model of Country Image and
Country Brand. Theses of Ph.D. Dissertation. Budapest: Doctoral School
of Business Administration
Jones, Erik. 2002. Politics Beyond Accomodation? The May 2002 Dutch
Parliamentary Elections. Dutch Crossing: Journal of Low Countries
Studies 26(1):61-78
McLaren, Lauren M. 2007. Explaining Opposition to Turkish Membership of the
EU. Journal of European Union Politics 8 (2): 251–278.
Mohd Zin, Mohammad Zaid, Anzaruddin Ahmad & Ahamad Asmadi Sakat. 2011.
European Union’s Refusal on Turkey’s Membership: Another Episode of
Western Religious Agenda. Australian Journal of Basic and Applied
Sciences 5(12): 2965-2972.
Nicolai, Atzo. 2004. Turkey and The European Union: Looking Beyond Prejudice.
Keynote Speech. Maastricht: Maastricht School of Management
Recommendation of the European Commission on Turkey’s. 2004. European
Commission
Saz, Gokhan. 2011. Turkophobia and Rising Islamophobia in Europe: A
Quantification for the Negative Spillovers on the EU Membership Quest of
Turkey. European Journal of Social Sciences 19(4): 479-491
Page 82
71
Soltani, Fakhreddin, Saeid Naji, & Reza Ekhtiari Amiri. 2014. Level Analysis in
International Relations and Regional Security Complex Theory. Journal of
Public Administration and Governance 4(4):166-171
Standard Eurobarometer Report number 63. 2005. European Commission
Who is Who? in the Debate on Turkey: The Netherlands. 2006. ESI
Yackley, Joseph. 2008. Turkey, The EU and Democracy: How Public Opinion
Divides Ankara and Brussel. Zurich: International Relations and Security
Network, ETH.
Yavuz, H & Mujeeb R. K. 2003. Bringing Turkey into Europe. Current History
Journal 102(662):119-123.
------. 2004. Turkey and Europe: Will East meet west?. Current History Journal
103(676):389-393.
DOKUMEN
Negotiating Framework for Turkey. 2005. Brussel: The Council of European
Union.
The Maastricht Treaty: Provisions Amending The Treaty Establishing The
European Economic Community With a View To Establishing The
European Community.. 1992. The Council of European Union
Bookje Grondwet: The Constitution of Kingdom of the Netherlands. 2008.
Ministry of the Interior and Kingdom Relations, Constitutional Affairs and
Legislation Division in collaboration with the Translation Department of
the Ministry of Foreign Affairs.
Page 83
72
WEB
Dutch Rejection Towards EU Constitution. 2005. diunduh pada 23 Januari
2015 (http//www.dw.de/dutch-reject-eu-constitution/a-1603076)
Head, J. 2012: 28 Mei. Turkey Long Wait to Join Eu Club (www.bbc.co.uk)
diunduh pada 12 Maret 2015 (http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-
18108049)
http://amsterdam.info/netherlands
http://europa.eu
Membership Criteria: Who Can Join?. 2008: 26 Februari. europa.eu (online)
diunduh pada 5 Januari 2015
(http://ec.europa.eu/enlargement/policy/conditions-
membership/index_en.htm)
Programme of Matra http://government.nl/issues/matra
Q&A: Turkey’s EU Entry Talks. 2006: 11 Desember. bbc.co.uk. diunduh pada
18 November 2014 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/4107919.stm).
Turkey Timeline. 2012: 22 Maret. A Chronology of Key Events (www.bbc.co.uk)
diunduh pada 21 Desember 2014
(http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/country_profiles/1023189.stm)