1 EVOLUSI PEMAHAMAN ULAMA TERHADAP HADIS DHUBA< B (Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte) Amrulloh Unipdu Jombang [email protected]A. Pendahuluan Tak ada manusia yang terlahir dalam keadaan sempurna, baik fisik maupun akalnya. Semuanya mengalami proses: ada proses yang cepat dan ada juga proses yang lambat, tergantung faktor-faktor yang menyebabkannya cepat atau lambat. Intelektualitas seseorang, misalnya, tak lepas juga dari proses: tahap pertama adalah masa kanak-kanak di mana ia akan dengan „senang hati‟ menyerap berbagai informasi tanpa membedakan apakah itu mitos ataukah ilmiah; tahap kedua adalah masa remaja di mana ia mulai mempertanyakan aneka informasi yang tak masuk akal; tahap ketiga adalah masa kedewasaan di mana ia akan menolak segala informasi yang kebenarannya tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika faktor-faktor yang mengantarkan seseorang kepada tiga tahapan ini dianalisis dan dipahami, maka komentar-komentar bijak dan jauh dari sikap menghakimi akan mudah dihasilkan. Berkaitan dengan ini, Auguste Comte mempunyai teori yang sangat menarik, ia menyebutnya dengan “Hukum Tiga Tahap”. Bahwa setiap individu ataupun kelompok pasti melewati tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positivistik. Hukum tiga tahap Comte ini akan diaplikasikan dalam kasus pemahaman ulama atau masyarakat Muslim terhadap hadis-hadis ilmiah, dalam hal ini adalah hadis yang membicarakan tentang keunikan lalat. Analisis evolusi pemahaman ulama dan masyarakat Muslim menggunakan hukum tiga tahap ini akan membantu seseorang untuk memahami pendapat dan argumentasi masing-masing tahapan. Amrulloh, “Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte”, Kontemplasi: Journal Ke-Ushuluddinan, vol. 2, no. 1 (Agustus, 2014), 91- 104.
12
Embed
Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
menyatakan bahwa sosiologi merupakan ultimate science. Selanjutnya, pada tahun
1851, ia merampungkan karyanya yang berjudul Systeme de Politique Positive. Di
dalamnya ia menawarkan rencana besar untuk mereorganisasi masyarakat. Comte
meninggal pada 5 September 1857.
C. Hukum Tiga Tahap
Sebelum beranjak kepada pembahasan hukum tiga tahap yang diusung Comte,
penting kiranya terlebih dahulu memahami latar belakang pemikirannya itu, yang
dipengaruhi oleh mazhab Positivisme yang ia anut. Kelompok Positivisme
mempercayai bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, untuk itu metode-
metode penelitian empiris dapat dimanfaatkan guna menemukan hukum-hukum
sosial dalam masyarakat manapun. Aliran Positivisme dipengaruhi oleh aliran
Empirisme yang agaknya optimis terhadap kemajuan-kemajuan yang akan dihasilkan
dari pecahnya revolusi Prancis.2 Berkenaan dengan Positivisme Comte, Saint
Simon—guru, teman diskusi dan sekaligus ayah angkat Comte—adalah orang yang
mempunyai andil signifikan dalam membentuk pemikiran Comte yang positivis.3
Pada gilirannya, latar belakang Positivismenya ini akan banyak mempengaruhi segala
pemikirannya tentang sosiologi. Masyarakat, dalam pandangan Comte, akan
senantiasa berkembang dari peradaban yang paling primitif menuju peradaban
positivis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ilmiah berdasarkan kebenaran fakta-
fakta.
Latar belakang Comte sebenarnya adalah fisika, maka pemikirannya tentang
sosiologi pada gilirannya juga dipenuhi oleh „bahasa fisika‟. Dalam hal ini, Comte
mengajukan tiga metode penelitian empiris yang juga digunakan oleh bidang-bidang
ilmu fisika dan biologi. Tiga metode itu adalah: (1) pengamatan, yakni mengadakan
2Revolusi Prancis terjadi antara tahun 1789-1799 M. Revolusi ini terjadi demi meruntuhkan
monarki absolut kerajaan Prancis dan memaksa Gereja Katolik Roma untuk melakukan restrukturisasi
yang radikal. 3Lihat Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Dari Klasik, Modern, Posmodern dan
Poskolonial (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 33.
4
suatu pengamatan fakta dan mencatat informasi-informasi yang dianggap penting; (2)
eksperimen, yakni dengan melibatkan diri, atupun tidak; (3) perbandingan, yakni
upaya membandingkan keadaan yang satu dengan keadaan yang lain.4
Sekarang adalah waktu yang tepat untuk membicarakan hukum tiga tahap
Comte. Manusia, baik sebagai individu ataupun kelompok yang berskala kecil
maupun besar, dalam hal intelektualitas pemikiran, pasti mengalami tiga tahapan. Ini
sebagai konsekuensi logis dari perubahan alami manusia dari masa ke masa: masa-
masa paling primitif menuju masa-masa yang dianggap paling maju dari sebelum-
sebelumnya—tentunya setiap kelompok masyarakat mempunyai skala perubahan
yang berbeda-beda. Sebagaimana dalam karya Comte, Cour de Philosophie Positive,
hukum tiga tahapnya dapat disederhanakan sebagaimana di bawah ini:5
1. Tahap Teologis
Tahap teologis atau kadang juga dinamakan tahap mitos adalah tahap di mana
manusia masih hanya mempercayai dan meyakini bahwa manusia dan semua
fenomena diciptakan oleh zat adikodrati, sehingga mereka tidak menanyakan sebab
akibat dari gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya. Dalam tahap yang paling
lama menghinggapi kehidupan manusia ini, Comte membaginya lagi menjadi tiga
periode, yaitu: (a) Fetisisme, yakni suatu bentuk pikiran yang dominan dalam
masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan
kekuatan hidupnya sendiri. Manusia pada tahap ini mulai meyakini kekuatan jimat;
(b) Politeisme, pada periode ini muncul anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang
mengatur kehidupan atau gejala alam. Pada tahap ini sudah muncul kehidupan kota,
kepemilikan tanah menjadi institusi sosial, muncul sistem kasta, dan perang dianggap
satu-satunya cara untuk menciptakan kehidupan politik yang kekal; (c) Monoteisme,
4Lihat Ibid., 34.
5Ibid., 34-35; lihat juga Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik hingga
Posmodern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 13-14; Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu
Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 30.
5
yakni kepercayaan dewa mulai digantikan dengan kepercayaan yang tunggal, dan
puncaknya ditunjukkan dengan adanya Katolisisme.
2. Tahap Metafisik
Tahap metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan tahap
positivistik. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang
asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Pada tahap ini, manusia menganggap
bahwa pikiran bukanlah ciptaan zat adikodrati, namun merupakan ciptaan “kekuatan
abstrak”, sesuatu yang dianggap benar-benar ada yang melekat dalam seluruh diri
manusia dan mampu menciptakan semua fenomena.
3. Tahap Positivistik
Pada tahap positivistik pikiran manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut, yang
asli menakdirkan alam semesta dan yang menjadi penyebab fenomena, yaitu
menemukan rangkaian hubungan yang tidak berubah dan memiliki kesamaan. Tahap
ini ditandai adanya kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir, tetapi pengetahuan itu bersifat sementara alias tidak mutlak. Analisis
rasional berkenaan dengan data empiris akhirnya dapat memungkinkan manusia
untuk mendapatkan hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
Selanjutnya Comte menyatakan bahwa tahap teologis merupakan masa kanak-
kanak intelektualitas individu atau kelompok, tahap metafisik merupakan masa
remaja, dan tahap positivistik merupakan masa kedewasaan. Comte juga mengakui
walaupun seseorang atau kelompok telah berada pada posisi positivistik, mereka tetap
tak dapat terlepas dari tahap-tahap sebelumnya, yakni teologis dan metafisik. Bahkan
di kalangan tertentu, pikiran yang bersifat teologis sudah mendarah daging dan,
dengan demikian, menjadi habit of mind.
6
D. Aplikasi Hukum Tiga Tahap
Imam Abu> „Abd Alla >h Muh }ammad ibn Isma >‘i >l al-Bukha >ri > dalam S {ah}i >h}-nya
menuturkan:
ا ل حاد ا ح احا ا ب د ا ح ب ح د ا ح د ح ح ا د ح ب ح اد ا ب د ا د ب ل د ا ح احا:ا ح د ح ح ا ح ال د ا:ا ح د ح ل ا د ب ح دا ب د ا ب د نل ا د ح ب د أح ب حرح
دا ح ب د ا ح د ادا:ا د ح ب د ا ح احا ا د اأح ح ا درح برح حا ح ل ح ا ح د ا دا ح ح ب لا ح ح د حا:ا ح ل ب د ا ا د ل ي ا:ا ح اح إلذح ا ح حعح
رح ا ل ح اءا ا ح اد ب ا ل اإل ب ح ا ح ح ح ب لا ح اء اال ح ب ل ب د ا ح لاد ا ح ب ح ب ل ب دا د د رح الاأح ح ل د ب ا ل ا ح . الي ح اد
Kha>lid ibn Makhlad menceritakan kepada kami, Sulayma >n ibn Bila>l menceritakan
kepada kami, „Utbah ibn Muslim menceritakan kepadaku, ia berkata: „Ubayd ibn
H{unayn mengabarkan kepadaku, ia berkata: Aku mendengar Abu > Hurayrah Ra, ia
berkata: Nabi Saw bersabda: “Jika seekor lalat terjatuh dalam tempat minuman
kalian, maka tenggelamkanlah lalat itu, kemudian buanglah, sesungguhnya di salah
satu sayapnya terdapat penyakit, sedang di sayap lainnya terdapat obat.”6
Hadis riwayat al-Bukha>ri > dan imam-imam hadis lainnya di atas termasuk dari
sekelumit hadis-hadis Rasulullah yang berbicara tentang ilmu pengetahuan yang tak
biasa pada waktu hadis tersebut dituturkan. Namun, substansi hadis di atas tak akan
dijelaskan di sini, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengetahui berbagai
pemahaman ulama pada masa mereka masing-masing. Pemahaman mereka dapat
dibagi menjadi tiga tahap: tahap teologis, yakni pemahaman para sahabat sampai
sebelum masa munculnya syarah-syarah kitab hadis; tahap metafisik, yakni dari masa
munculnya syarah-syarah kitab hadis sampai masa sebelum perkembangan ilmu
pengetahuan, terutama kedokteran; dan tahap positivistik, yakni dari masa
perkembangan ilmu kedokteran sampai sekarang.
6Riwayat al-Bukha >ri> dalam S {ah }i>h } al-Bukha>ri>, vol. 4, no. 3320 (Damaskus: Da >r T {u>q al-Naja>h,
1422), 130; vol. 7, no. 5782/ 140; Abu> Da >wud dalam Sunan Abi > Da >wud, vol. 3, no. 3844 (Beirut: al-
Maktabah al-„As}riyyah, t.th), 365; al-Nasa >‟i dalam Sunan al-Nasa >’i, vol. 7, no. 4262 (Halab: Maktab
al-Mat}bu>‘a >t al-Isla >miyyah, 1986), 178; Ibn Ma >jah dalam Sunan Ibn Ma >jah, vol. 2, no. 3505 (Beirut:
Da >r Ih}ya >‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, t.th), 1159.