Top Banner
1 EVOLUSI PEMAHAMAN ULAMA TERHADAP HADIS DHUBA< B (Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte) Amrulloh Unipdu Jombang [email protected] A. Pendahuluan Tak ada manusia yang terlahir dalam keadaan sempurna, baik fisik maupun akalnya. Semuanya mengalami proses: ada proses yang cepat dan ada juga proses yang lambat, tergantung faktor-faktor yang menyebabkannya cepat atau lambat. Intelektualitas seseorang, misalnya, tak lepas juga dari proses: tahap pertama adalah masa kanak-kanak di mana ia akan dengan „senang hati‟ menyerap berbagai informasi tanpa membedakan apakah itu mitos ataukah ilmiah; tahap kedua adalah masa remaja di mana ia mulai mempertanyakan aneka informasi yang tak masuk akal; tahap ketiga adalah masa kedewasaan di mana ia akan menolak segala informasi yang kebenarannya tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika faktor-faktor yang mengantarkan seseorang kepada tiga tahapan ini dianalisis dan dipahami, maka komentar-komentar bijak dan jauh dari sikap menghakimi akan mudah dihasilkan. Berkaitan dengan ini, Auguste Comte mempunyai teori yang sangat menarik, ia menyebutnya dengan “Hukum Tiga Tahap”. Bahwa setiap individu ataupun kelompok pasti melewati tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positivistik. Hukum tiga tahap Comte ini akan diaplikasikan dalam kasus pemahaman ulama atau masyarakat Muslim terhadap hadis-hadis ilmiah, dalam hal ini adalah hadis yang membicarakan tentang keunikan lalat. Analisis evolusi pemahaman ulama dan masyarakat Muslim menggunakan hukum tiga tahap ini akan membantu seseorang untuk memahami pendapat dan argumentasi masing-masing tahapan. Amrulloh, “Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte”, Kontemplasi: Journal Ke-Ushuluddinan, vol. 2, no. 1 (Agustus, 2014), 91- 104.
12

Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

Mar 28, 2023

Download

Documents

herman budi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

1

EVOLUSI PEMAHAMAN ULAMA TERHADAP HADIS DHUBA <B

(Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte)

Amrulloh

Unipdu Jombang

[email protected]

A. Pendahuluan

Tak ada manusia yang terlahir dalam keadaan sempurna, baik fisik maupun

akalnya. Semuanya mengalami proses: ada proses yang cepat dan ada juga proses

yang lambat, tergantung faktor-faktor yang menyebabkannya cepat atau lambat.

Intelektualitas seseorang, misalnya, tak lepas juga dari proses: tahap pertama adalah

masa kanak-kanak di mana ia akan dengan „senang hati‟ menyerap berbagai

informasi tanpa membedakan apakah itu mitos ataukah ilmiah; tahap kedua adalah

masa remaja di mana ia mulai mempertanyakan aneka informasi yang tak masuk

akal; tahap ketiga adalah masa kedewasaan di mana ia akan menolak segala informasi

yang kebenarannya tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika faktor-faktor yang

mengantarkan seseorang kepada tiga tahapan ini dianalisis dan dipahami, maka

komentar-komentar bijak dan jauh dari sikap menghakimi akan mudah dihasilkan.

Berkaitan dengan ini, Auguste Comte mempunyai teori yang sangat menarik, ia

menyebutnya dengan “Hukum Tiga Tahap”. Bahwa setiap individu ataupun

kelompok pasti melewati tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap

positivistik. Hukum tiga tahap Comte ini akan diaplikasikan dalam kasus pemahaman

ulama atau masyarakat Muslim terhadap hadis-hadis ilmiah, dalam hal ini adalah

hadis yang membicarakan tentang keunikan lalat. Analisis evolusi pemahaman ulama

dan masyarakat Muslim menggunakan hukum tiga tahap ini akan membantu

seseorang untuk memahami pendapat dan argumentasi masing-masing tahapan.

Amrulloh, “Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga

Tahap Auguste Comte”, Kontemplasi: Journal Ke-Ushuluddinan, vol. 2, no. 1 (Agustus, 2014), 91-

104.

Page 2: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

2

B. Sekilas Biografi Auguste Comte1

Auguste Comte lahir di Mounpelier, Prancis, 19 Januari 1798 M. Ia dibesarkan

dalam keluarga yang berstatus kelas menengah, dan ayahnya adalah seorang pejabat

lokal kantor pajak. Ketika telah beranjak dewasa, ia melanjtkan studi formalnya ke

Ecole Polytecnique. Namun, karirnya akademisnya tak berjalan mulus sebab ia

tersandung masalah pemberontakan dan gagasan politik yang agaknya berseberangan

dengan pemerintah setempat. Akibatnya, ia tak pernah mendapatkan ijazah perguruan

tinggi. Yang terjadi kemudian adalah ia menjadi sekertaris—sekaligus anak angkat—

Saint Simon, seorang filsuf ternama di zamannya. Hubungan Comte dengan Saint

Simon awalnya terjalin harmonis. Namun pada akhirnya keduanya saling berseteru

sebab—menurut pengakuan Comte—Saint Simon telah menghapus namanya dari

salah satu karya sumbangannya.

Dalam pergaulan masyarakat sekitarnya, dapat dibilang bahwa Comte terasing.

Oleh karenanya, sebagian sarjana berpendapat bahwa keterasingan itu adalah faktor

utama perkawinannya dengan seorang pelacur miskin, Caroline Massin, yang

berlangsung lebih dari lima belas tahun, dari 1825 M hingga 1841 M. Namun yang

jelas, Comte tetap percaya diri yang yakin dengan kapasitas intelektualitasnya.

Sehingga, ia pernah berceramah di hapadan kaum terpandang tentang gagasan-

gagasan filosofisnya. Karena terserang gangguan syaraf, ceramah filosofisnya hanya

berlangsung tiga kali. Mungkin, karena gangguan syaraf yang memporakporandakan

karir filosofisnya itu lah, ia kemudia melakukan percobaan bunuh diri dengan

mencerbur ke Sungai Saine. Untungnya ia selamat.

Salah satu karya monumental yang membuatnya terkenal adalah Cour de

Philosophie Positive dalam enam jilid yang diterbitkan secara utuh pada 1842 M. Di

dalam karyanya itu Comte menuangkan gagasan-gagasan sosiologisnya dan

1Lebih lanjut, lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi

Keenam, terj. Alimandan (Jakarta: Kencana, 2004), 18-19.

Page 3: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

3

menyatakan bahwa sosiologi merupakan ultimate science. Selanjutnya, pada tahun

1851, ia merampungkan karyanya yang berjudul Systeme de Politique Positive. Di

dalamnya ia menawarkan rencana besar untuk mereorganisasi masyarakat. Comte

meninggal pada 5 September 1857.

C. Hukum Tiga Tahap

Sebelum beranjak kepada pembahasan hukum tiga tahap yang diusung Comte,

penting kiranya terlebih dahulu memahami latar belakang pemikirannya itu, yang

dipengaruhi oleh mazhab Positivisme yang ia anut. Kelompok Positivisme

mempercayai bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, untuk itu metode-

metode penelitian empiris dapat dimanfaatkan guna menemukan hukum-hukum

sosial dalam masyarakat manapun. Aliran Positivisme dipengaruhi oleh aliran

Empirisme yang agaknya optimis terhadap kemajuan-kemajuan yang akan dihasilkan

dari pecahnya revolusi Prancis.2 Berkenaan dengan Positivisme Comte, Saint

Simon—guru, teman diskusi dan sekaligus ayah angkat Comte—adalah orang yang

mempunyai andil signifikan dalam membentuk pemikiran Comte yang positivis.3

Pada gilirannya, latar belakang Positivismenya ini akan banyak mempengaruhi segala

pemikirannya tentang sosiologi. Masyarakat, dalam pandangan Comte, akan

senantiasa berkembang dari peradaban yang paling primitif menuju peradaban

positivis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ilmiah berdasarkan kebenaran fakta-

fakta.

Latar belakang Comte sebenarnya adalah fisika, maka pemikirannya tentang

sosiologi pada gilirannya juga dipenuhi oleh „bahasa fisika‟. Dalam hal ini, Comte

mengajukan tiga metode penelitian empiris yang juga digunakan oleh bidang-bidang

ilmu fisika dan biologi. Tiga metode itu adalah: (1) pengamatan, yakni mengadakan

2Revolusi Prancis terjadi antara tahun 1789-1799 M. Revolusi ini terjadi demi meruntuhkan

monarki absolut kerajaan Prancis dan memaksa Gereja Katolik Roma untuk melakukan restrukturisasi

yang radikal. 3Lihat Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Dari Klasik, Modern, Posmodern dan

Poskolonial (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 33.

Page 4: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

4

suatu pengamatan fakta dan mencatat informasi-informasi yang dianggap penting; (2)

eksperimen, yakni dengan melibatkan diri, atupun tidak; (3) perbandingan, yakni

upaya membandingkan keadaan yang satu dengan keadaan yang lain.4

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk membicarakan hukum tiga tahap

Comte. Manusia, baik sebagai individu ataupun kelompok yang berskala kecil

maupun besar, dalam hal intelektualitas pemikiran, pasti mengalami tiga tahapan. Ini

sebagai konsekuensi logis dari perubahan alami manusia dari masa ke masa: masa-

masa paling primitif menuju masa-masa yang dianggap paling maju dari sebelum-

sebelumnya—tentunya setiap kelompok masyarakat mempunyai skala perubahan

yang berbeda-beda. Sebagaimana dalam karya Comte, Cour de Philosophie Positive,

hukum tiga tahapnya dapat disederhanakan sebagaimana di bawah ini:5

1. Tahap Teologis

Tahap teologis atau kadang juga dinamakan tahap mitos adalah tahap di mana

manusia masih hanya mempercayai dan meyakini bahwa manusia dan semua

fenomena diciptakan oleh zat adikodrati, sehingga mereka tidak menanyakan sebab

akibat dari gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya. Dalam tahap yang paling

lama menghinggapi kehidupan manusia ini, Comte membaginya lagi menjadi tiga

periode, yaitu: (a) Fetisisme, yakni suatu bentuk pikiran yang dominan dalam

masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan

kekuatan hidupnya sendiri. Manusia pada tahap ini mulai meyakini kekuatan jimat;

(b) Politeisme, pada periode ini muncul anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang

mengatur kehidupan atau gejala alam. Pada tahap ini sudah muncul kehidupan kota,

kepemilikan tanah menjadi institusi sosial, muncul sistem kasta, dan perang dianggap

satu-satunya cara untuk menciptakan kehidupan politik yang kekal; (c) Monoteisme,

4Lihat Ibid., 34.

5Ibid., 34-35; lihat juga Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik hingga

Posmodern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 13-14; Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu

Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 30.

Page 5: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

5

yakni kepercayaan dewa mulai digantikan dengan kepercayaan yang tunggal, dan

puncaknya ditunjukkan dengan adanya Katolisisme.

2. Tahap Metafisik

Tahap metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan tahap

positivistik. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang

asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Pada tahap ini, manusia menganggap

bahwa pikiran bukanlah ciptaan zat adikodrati, namun merupakan ciptaan “kekuatan

abstrak”, sesuatu yang dianggap benar-benar ada yang melekat dalam seluruh diri

manusia dan mampu menciptakan semua fenomena.

3. Tahap Positivistik

Pada tahap positivistik pikiran manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut, yang

asli menakdirkan alam semesta dan yang menjadi penyebab fenomena, yaitu

menemukan rangkaian hubungan yang tidak berubah dan memiliki kesamaan. Tahap

ini ditandai adanya kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan

terakhir, tetapi pengetahuan itu bersifat sementara alias tidak mutlak. Analisis

rasional berkenaan dengan data empiris akhirnya dapat memungkinkan manusia

untuk mendapatkan hukum-hukum yang bersifat uniformitas.

Selanjutnya Comte menyatakan bahwa tahap teologis merupakan masa kanak-

kanak intelektualitas individu atau kelompok, tahap metafisik merupakan masa

remaja, dan tahap positivistik merupakan masa kedewasaan. Comte juga mengakui

walaupun seseorang atau kelompok telah berada pada posisi positivistik, mereka tetap

tak dapat terlepas dari tahap-tahap sebelumnya, yakni teologis dan metafisik. Bahkan

di kalangan tertentu, pikiran yang bersifat teologis sudah mendarah daging dan,

dengan demikian, menjadi habit of mind.

Page 6: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

6

D. Aplikasi Hukum Tiga Tahap

Imam Abu> „Abd Alla >h Muh }ammad ibn Isma >‘i >l al-Bukha >ri > dalam S {ah}i >h}-nya

menuturkan:

ا ل حاد ا ح احا ا ب د ا ح ب ح د ا ح د ح ح ا د ح ب ح اد ا ب د ا د ب ل د ا ح احا:ا ح د ح ح ا ح ال د ا:ا ح د ح ل ا د ب ح دا ب د ا ب د نل ا د ح ب د أح ب حرح

دا ح ب د ا ح د ادا:ا د ح ب د ا ح احا ا د اأح ح ا درح برح حا ح ل ح ا ح د ا دا ح ح ب لا ح ح د حا:ا ح ل ب د ا ا د ل ي ا:ا ح اح إلذح ا ح حعح

رح ا ل ح اءا ا ح اد ب ا ل اإل ب ح ا ح ح ح ب لا ح اء اال ح ب ل ب د ا ح لاد ا ح ب ح ب ل ب دا د د رح الاأح ح ل د ب ا ل ا ح . الي ح اد

Kha>lid ibn Makhlad menceritakan kepada kami, Sulayma >n ibn Bila>l menceritakan

kepada kami, „Utbah ibn Muslim menceritakan kepadaku, ia berkata: „Ubayd ibn

H{unayn mengabarkan kepadaku, ia berkata: Aku mendengar Abu > Hurayrah Ra, ia

berkata: Nabi Saw bersabda: “Jika seekor lalat terjatuh dalam tempat minuman

kalian, maka tenggelamkanlah lalat itu, kemudian buanglah, sesungguhnya di salah

satu sayapnya terdapat penyakit, sedang di sayap lainnya terdapat obat.”6

Hadis riwayat al-Bukha>ri > dan imam-imam hadis lainnya di atas termasuk dari

sekelumit hadis-hadis Rasulullah yang berbicara tentang ilmu pengetahuan yang tak

biasa pada waktu hadis tersebut dituturkan. Namun, substansi hadis di atas tak akan

dijelaskan di sini, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengetahui berbagai

pemahaman ulama pada masa mereka masing-masing. Pemahaman mereka dapat

dibagi menjadi tiga tahap: tahap teologis, yakni pemahaman para sahabat sampai

sebelum masa munculnya syarah-syarah kitab hadis; tahap metafisik, yakni dari masa

munculnya syarah-syarah kitab hadis sampai masa sebelum perkembangan ilmu

pengetahuan, terutama kedokteran; dan tahap positivistik, yakni dari masa

perkembangan ilmu kedokteran sampai sekarang.

6Riwayat al-Bukha >ri> dalam S {ah }i>h } al-Bukha>ri>, vol. 4, no. 3320 (Damaskus: Da >r T {u>q al-Naja>h,

1422), 130; vol. 7, no. 5782/ 140; Abu> Da >wud dalam Sunan Abi > Da >wud, vol. 3, no. 3844 (Beirut: al-

Maktabah al-„As}riyyah, t.th), 365; al-Nasa >‟i dalam Sunan al-Nasa >’i, vol. 7, no. 4262 (Halab: Maktab

al-Mat}bu>‘a >t al-Isla >miyyah, 1986), 178; Ibn Ma >jah dalam Sunan Ibn Ma >jah, vol. 2, no. 3505 (Beirut:

Da >r Ih}ya >‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, t.th), 1159.

Page 7: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

7

Diriwayatkan bahwa Thama >mah bertutur:

ا:ا ا اا.ا ااأنسا ا ا اذاكا إلن اا ا عا ال اا اإن ا ا ا اأنس

ا.إاا اا ا ا ا ا اأ ر اأاا اذاك:ا اا ا

Kami sedang bersama Anas, kemudian seekor lalat terjatuh ke dalam sebuah bejana,

lalu Anas pun menenggelamkan lalat itu dengan jarinya sebanyak tiga kali, kemudian

ia berucap: Dengan menyebut nama Allah, dan juga berkata: Sesungguhnya

Rasulullah Saw memerintahkan mereka (para sahabat) melakukan itu.7

Apa yang dilakukan dan dinyatakan Anas di atas dapat dianggap mewakili

pemahaman para sahabat Rasulullah lainnya terhadap hadis lalat. Meskipun substansi

hadis tersebut termasuk dalam pembahasan sains, dalam hal ini adalah kedokteran,

namun pemahaman para sahabat masih bersifat teologis murni. Mereka tak tertarik

dan tak merasa perlu untuk mengkaji lebih jauh tentang hakikat lalat beserta kedua

sayapnya yang—menurut hadis di atas—mengandung penyakit sekaligus

penawarnya. Bagi mereka, cukup mengetahui bahwa itu adalah hadis Rasulullah

yang tentunya terilhami dari wahyu. Oleh karenanya, mereka pun akan

menenggelamkan seekor lalat karena alasan teologis: karena Rasulullah

melakukannya, dan apa yang dinyatakan dan dilakukan beliau adalah berdasarkan

wahyu ilahi.

Pemahaman yang sangat sederhana dari para sahabat terhadap hadis lalat ini

tak lain karena konteks masyarakat kala itu adalah masyarakat teologis dan sama

sekali tak berurusan dengan sains. Filosofi kehidupan mereka hanya didasarkan pada

al-Quran dan sunah. Keduanya sudah dianggap mampu untuk mengantarkan manusia

menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kira-kira pada pertengahan abad kelima Hijriah, dimulailah „gerakan‟

penyarahan kitab-kitab hadis kanonik yang kemudian melahirkan nama-nama

7Ah}mad ibn „Ali ibn H {ajar al-„Asqala >ni>, Fath } al-Ba>ri> bi Sharh} S{ah }i>h } al-Bukha>ri >, vol. 10

(Beirut: Da >r al-Ma„rifah, 1373 H), 250.

Page 8: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

8

penyarah besar seperti Ibn al-Bat }t }a>l (w. 449 H/ 1057 M) yang juga menyarahi S{ah}i >h}

al-Bukha>ri >, Muh }y al-Di >n al-Nawawi > (631-676 H/ 1234-1278 M) yang menyarahi

S{ah}i >h} Muslim, Ibn H {ajar al-„Asqala>ni > (773-852 H/ 1372-1448 M) yang juga

menyarahi S{ah }i >h} al-Bukha >ri >>, dan lain-lain. Walaupun dengan penjelasan yang

sederhana, namun para penyarah sudah meninggalkan penjelasan teologis dan

beranjak menuju penjelasan metafisik, yakni masa transisi antara penjelasan teologis

dan penjelasan positivistik.

Mengenai hakikan lalat serta dua sayapnya yang mengandung penyakit

sekaligus penawarnya, Ibn H{ajar bertutur:

Al-Jauwhari> menyatakan bahwa binatang terbang yang menjilat hanyalah lalat.

Plato juga menyatakan bahwa lalat adalah binatang yang paling tamak, ia

melemparkan dirinya ke tempat apapun, walaupun kadang tempat itu

menyebabkan kematiannya. Lalat sering terlihat di tempat-tempat busuk, dan

memang dari situlah ia diciptakan, dan kemudian beranak-pinak. Lalat

merupakan binatang yang paling sering melakukan persetubuhan (hubungan

seks). Mungkin juga, mayoritas lalat, sampai sekarang, berjenis kelamin

wanita.8

Saya sama sekali tidak mendapatkan jalur-jalur [sanad hadis] yang menentukan

mana sayap yang mengandung obat dan mana sayap yang mengandung

penyakit. Namun, para ulama, setelah melakukan perenungan, menyimpulkan

bahwa seseorang harus berhati-hati dengan sayap kiri. Oleh karenanya,

diketahuilah bahwa sayap kanan mengandung obat.9 Dan sesungguhnya

maksud dari kata da>’ (penyakit) adalah summ (racun).10

Tentunya penjelasan Ibn H {ajar di atas masih dimotori oleh semangat teologis

yang berkeyakinan bahwa itu adalah ucapan Rasulullah yang terilhami dari wahyu.

Maka, pembuktian bahwa dalam salah satu sayap seekor lalat terdapat penyakit dan

8Ibid.

9Ibid., 251.

10Ibid. Apa yang dinyatakan Ibn H {ajar ini secara substantif senada dengan apa yang dinyatakan

para penyarah kitab hadis lainnya. Lihat Ibn al-Bat }t}a >l, Sharh } S {ah}i>h } al-Bukha>ri>, vol. 9 (Riyad:

Maktabat al-Rushd, 2003), 456; Abu > Muh}ammad Mah }mu>d ibn Ah}mad al-„Ayni >, ‘Umdat al-Qa>ri > Sharh} S {ah}i>h } al-Bukha>ri >, vol. 15 (Beirut: Da >r Ih}ya >‟ al-Tura >th al-„Arabi >, t.th), 200; Muh}ammad Ashraf

ibn Ami >r Aba >di>, ‘Awn al-Ma‘bu>d Sharh} Sunan Abi> Da >wud, vol. 10 (Beirut: Da >r al-Kutub al-„Ilmiyyah,

1415 H), 231.

Page 9: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

9

dalam sayap lainnya terdapat obat masih luput dari perhatiannya. Untuk menjelaskan

bahwa salah satu sayap lalat mengandung penyakit, Ibn H {ajar cukup menyatakan

karena lalat sering terlihat di tempat-tempat busuk. Untuk menentukan sayap kiri

adalah sayap yang berpenyakit, Ibn H {ajar pun cukup mengandalkan perenungan para

ulama bahwa kanan adalah lambang kebaikan dan kebersihan, sebaliknya kiri adalah

lambang keburukan dan kekotoran.

Pemahaman semacam ini terbilang progresif jika dibandingkan pemahaman

teologis para sahabat. Juga, zaman keemasan penyarahan kitab-kitab hadis tak

ditemukan pengetahuan dan alat-alat untuk melakukan eksperimen ilmiah.

Penjelasan-penjelasan abstrak sebagaimana di atas juga merupakan keniscayaan yang

timbul dari tingkat perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat.

Di masa-masa modern di mana ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat

pesat, muncullah beberapa ilmuan Muslim yang mengenyam pendidikan umum atau

non-agama (biologi, geologi, fisika, kimia dan lain-lain). Kehadiran mereka

memberikan warna tersendiri terhadap khazanah intelektual Islam. Di antara mereka

adalah Zaghlu >l Ra>ghib al-Najja>r, seorang profesor geologi kelahiran Tanta Mesir

yang mendapatkan gelar Ph.D-nya dari Walles University of England. Dalam

bukunya, al-I‘ja >z al-‘Ilmi > fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, al-Najja>r menjelaskan hadis

lalat secara ilmiah dengan panjang lebar.

Lalat merupakan jenis serangga yang paling banyak tersebar di seluruh pelosok

dunia. Serangga ini memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan cara mengonsumsi sisa-

sisa sampah yang mengandung bahan-bahan organik yang sudah membusuk.

Sampah-sampah itu tentunya mengandung berjuta kuman, bakteri, virus dan berbagai

macam mikroba lainnya. Namun, dengan kekuasaan-Nya, Allah menciptakan segala

sesuatu dengan berpasang-pasangan: ia menciptakan bakteri dan antibakteri, virus

dan antivirus dan seterusnya. Dengan kata lain, terdapat dua macam virus: virus

ganas (virulent bacteriophage) dan virus netral (temperate bacteriophage). Ketika

Page 10: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

10

lalat hinggap pada sampah dan kotoran yang mengandung berjuta bakteri dan

antibakteri, virus dan antivirus serta kuman yang lengkap dengan penangkalnya,

Allah memberikan kemampuan kepada lalat untuk membawa kuman pada salah satu

sayapnya dan membawa obat pada sayapnya yang lain. Jika saja lalat tak mampu

membawa penawar terhadap mikroba-mikroba yang dibawanya, niscaya lalat-lalat di

dunia ini akan musnah.11

Yang membuat mereka dapat bertahan tak lain adalah

penawar terhadap beraneka ragam mikroba yang dibawanya.

Setiap ekor lalat membawa virus yang menjadi penyebab timbulnya berbagai

penyakit. Virus yang ganas (virulent bacteriophage) akan membunuh dan

memusnahkan sel induknya dalam jangka waktu yang singkat. Sementara virus

pasangannya, yaitu virus bakteri yang jinak, akan menjaga kelangsungan hidup sel

induknya, karena ia memiliki kekebalan dari virus pasangannya atau ia memproduksi

virus baru yang sejenis. Fenomena ini menjelaskan mengapa seekor lalat membawa

penyakit pada salah satu sayapnya sekaligus membawa penawar pada sayapnya yang

lain.12

Di penghujung penjelasannya, al-Najja>r mengungkapkan eksperimen yang

dilakukan oleh para ilmuan Mesir dan Saudi Arabia dalam masalah lalat ini. Mereka

sengaja menaruh aneka macam minuman dalam bejana-bejana yang sengaja dibuka

supaya lalat-lalat dapat hinggap diatas minuman-minuman itu. Di sebagian bejana,

lalat-lalat yang hinggap dibiarkan terbang bebas, sementara di sebagian bejana

lainnya, lalat-lalat yang hinggap ditenggelamkan. Setelah bejana-bejana itu diteliti

menggunakan bantuan mikroskop, bejana-bejana yang lalat-lalatnya tidak

ditenggelamkan mempunyai berjuta mikroba, sedang bejana-bejana yang lalat-

11

Zaghlu>l Ra >ghib al-Najja>r, Mukjizat Ilmiah Hadis Nabi: Menyibak Fakta-fakta Ilmiah dalam

Sabda Rasulullah yang Kebenarannya Baru Terungkapkan di Era Kemajuan Sains dan Teknologi, terj.

Yodi Indrayadi dan Tim Penerjemah Zaman (Jakarta: Zaman, 2001), 331-332. 12

Ibid., 332-333.

Page 11: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

11

lalatnya ditenggelamkan tidak terdapat mikroba sama sekali.13

Dari awal, eksperimen

ini memang didorong oleh semangat pembuktian kebenaran hadis ilmiah Rasulullah.

Penjelasan yang diberikan al-Najja>r di atas tentunya lebih memuaskan

dibandingkan sikap teologis para sahabat dan sikap metafisik para penyarah kitab-

kitab hadis zaman klasik. Sebab penjelasan-penjelasan yang didasari oleh semangat

teologis dan metafisik hanya menggunakan bahasa-bahasa agama dan asumsi-asumsi

abstrak. Penjelasan semacam ini tak akan mampu memuaskan akal manusia zaman

modern yang telah mengenyam dan menyerap beraneka ragam perkembangan sains

dan teknologi. Penjelasan positivistik lebih dapat diterima karena ia menggunakan

bahasa-bahasa ilmu pengetahuan yang didasarkan pada eksperimen yang kasat mata.

E. Penutup

Situasi dan kondisi atau setting sosio-kultural, serta perkembangan sains dan

teknologi, tak dapat dipungkiri, sangat mempengaruhi cara berpikir manusia dari

waktu ke waktu. Maka, suatu individu atau kelompok masyarakat tertentu yang

berpikir teologis, hakikatnya disebabkan oleh konteks yang mengantarkan demikian.

Demikian pula yang terjadi pada pemikiran metafisik dan positivistik. Walaupun pada

akhirnya, pemikiran yang paling progresif sekalipun, dalam hal ini adalah

positivistik, tetap tak akan dapat melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran

sebelumnya, teologis dan metafisik—sebagaimana dinyatakan Comte sendiri.[]

13

Ibid. Bandingkan penjelasan al-Najja>r ini dengan penjelasan para sarjana Muslim lainnya.

Lihat Nizar Ali, Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil (Yogyakarta: Teras, 2008), 30-

36; Yu>suf al-Qarad }a >wi >, Min Hady al-Isla >m: Fata>wa > Mu‘a >s}irah, vol. 1 (Kuwait dan Kairo: Da >r al-

Qalam, 2005), 104-109.

Page 12: Evolusi Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Dhubab: Perspektif Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

12

Daftar Pustaka

Aba>di >, Muh }ammad Ashraf ibn Ami >r. ‘Awn al-Ma‘bu>d Sharh } Sunan Abi > Da>wud.

Beirut: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1415 H.

Ali, Nizar. Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil. Yogyakarta: Teras,

2008.

„Ayni > (al), Abu> Muh }ammad Mah}mu>d ibn Ah}mad. ‘Umdat al-Qa>ri > Sharh } S {ah}i >h} al-

Bukha>ri >. Beirut: Da>r Ih }ya>‟ al-Tura>th al-„Arabi >, t.th.

„Asqala>ni > (al), Ah}mad ibn „Ali ibn H{ajar. Fath } al-Ba>ri > bi Sharh} S{ah}i >h} al-Bukha>ri >. Beirut: Da>r al-Ma„rifah, 1373 H.

Bat }t }a>l (al), Ibn. Sharh } S{ah}i >h} al-Bukha>ri >. Riyad: Maktabat al-Rushd, 2003.

Bukha>ri > (al). S{ah}i >h} al-Bukha >ri >. Damaskus: Da>r T{u>q al-Naja>h, 1422 H.

Da>wud, Abu>. Sunan Abi > Da>wud. Beirut: al-Maktabah al-„As }riyyah, t.th.

Haryanto, Sindung. Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik hingga Posmodern.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial: Dari Klasik, Modern, Posmodern dan

Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Ma>jah, Ibn. Sunan Ibn Ma >jah. Beirut: Da>r Ih }ya >‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, t.th.

Nasa>‟i (al). Sunan al-Nasa >’i. Halab: Maktab al-Mat }bu>‘a>t al-Isla >miyyah, 1986.

Najja>r (al), Zaghlu >l Ra>ghib. Mukjizat Ilmiah Hadis Nabi: Menyibak Fakta-fakta

Ilmiah dalam Sabda Rasulullah yang Kebenarannya Baru Terungkapkan di Era

Kemajuan Sains dan Teknologi, terj. Yodi Indrayadi dan Tim Penerjemah

Zaman. Jakarta: Zaman, 2001.

Qarad}a>wi > (al), Yu>suf. Min Hady al-Isla>m: Fata >wa > Mu‘a>s }irah. Kuwait dan Kairo: Da >r

al-Qalam, 2005.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam, terj.

Alimandan. Jakarta: Kencana, 2004.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.