Page 1
EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS
PURWOYOSO DAN PUSKESMAS KARANGMALANG
KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Disusun Oleh:
Siti Chomaerah
NIM 6411415102
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
Page 2
i
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang
Februari 2020
ABSTRAK
Siti Chomaerah
Evaluasi program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di
Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas karangmalang
VI + 311 halaman + 2 tabel + 2 gambar + 10 lampiran
Penemuan kasus Tuberkulosis di Kota Semarang dari tahun 2016 sampai
2018 mengalami peningkatan, yaitu 211 kasus, 235 kasus, dan 257 kasus.
Keberhasilan pengobatan Kota Semarang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
belum mencapai target nasional (90%). Capaian terendah penemuan kasus dan
keberhasilan pengobatan TB yaitu Puskesmas Purwoyoso (9,65%) dan Puskesmas
Karangmalang (5,31%). Tujuan penelitian yaitu mengevaluasi kesesuaian
pelaksanaan program P2TB di Puskesmas berdasarkan Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis tahun 2016.
Jenis penelitian ini adalah Kualitatif. Teknik pengambilan informan secara
purposive Sampling. Jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 18 informan dari
Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang. Instrumen yang digunakan
adalah panduan wawancara, observasi dan dokumentasi. Data dianalsis dan
disajikan dalam bentuk narasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa promosi kesehatan Puskesmas
Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang masih belum menyeluruh, jumlah
media komunikasi yang digunakan belum mencukupi. Jumlah gasurkes dan kader
TB di Puskesmas Purwoyoso masih terbatas, sedangkan di Puskesmas
Karangmalang kader TB terlatih masih kurang. Pencatatan dan pelaporan di kedua
Puskesmas masih terhambat oleh provider jaringan dan penguasaan petugas
kesehatan terhadap sistem informasi. Peran serta masyarakat di kedua wilayah
Puskesmas belum dilakukan secara optimal.
Saran penelitian ini adalah memanfaatkan media massa untuk meningkatkan
sosialisasi dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan dan kader dalam
pelaksanaan program P2TB melalui pelatihan.
Kata Kunci: Evaluasi Program P2TB, Program P2TB di Puskesmas Purwoyoso,
Program P2TB di Puskesmas Karangmalang
Kepustakaan: 72 (2012-2019)
Page 3
ii
Department of Public Health Sciences
faculty of Sport Science
Semarang State University
February 2020
ABSTRACK
Siti Chomaerah
Evaluation of the Tuberculosis Prevention and Control program at Purwoyoso and
Karangmalang Healthcare Center in Semarang City
VI + 311 pages + 2 tables + 2 pictures + 10 attachments
Tuberculosis cases in Semarang City from 2016 to 2018 experienced an
increase, namely 211 cases, 235 cases and 257 cases. The success of Semarang
City treatment in the last 5 years has not reached the national target (90%). The
lowest achievement of case finding and the success of TB treatment were
Puskesmas Purwoyoso (9.65%) and Puskesmas Karangmalang (5.31%). The
purpose of the study was to evaluate the suitability of the implementation of the
P2TB program at the Puskesmas based on the 2016 Tuberculosis Control
Guidelines.
This type of research is qualitative. The technique of taking informants
by purposive sampling. The number of samples in the study were 18 informants
from Purwoyoso Community Health Center and Karangmalang Health Center.
The instruments used were interview guides, observations and documentation.
Data is analyzed and presented in narrative form.
The results showed that the health promotion of Purwoyoso Puskesmas
and Karangmalang Puskesmas was still not comprehensive, the number of
communication media used was insufficient. The number of gasurkes and TB
cadres in the Purwoyoso Puskesmas is still limited, while in Karangmalang
Puskesmas the trained TB cadres are still lacking. Recording and reporting in the
two Puskesmas is still hampered by the network provider and the control of health
workers over the information system. Community participation in the two
Puskesmas areas has not been carried out optimally.
The suggestion of this research is to use mass media to improve
socialization and improve the ability of health workers and cadres in
implementing the P2TB program through training.
Keywords: Evaluation of P2TB Program, P2TB Program at Puskesmas
Purwoyoso, P2TB Program at Puskesmas Karangmalang
Literature: 58 (2012-2019)
Page 6
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Tidak ada kesuksesan melainkan dengan pertolongan Allah swt. (Q.S.
Huud:88)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-mujadilah:
11)
Seperti apapun orang lain memperlakukanmu baik maupun buruk, tetaplah
berperilaku baik kepada semua orang
Persembahan
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Kedua orang tua saya yang selalu memberikan cinta
kasihnya, memanjatkan doa dan memberi dukungan
Kakak-kakakku yang selalu memberikan dukungan dan
motivasi
Almamater Universitas Negeri Semarang yang telah
membekali ilmu bermanfaat
Page 7
vi
PRAKATA
Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Karangmalang Kota Semarang’’ sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
S1 Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Semarang. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada yang terhormat :
1. Dekan Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Tandiyo
Rahayu, M.Pd., atas izin penelitian yang diberikan.
2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang, Dr. Irwan Budiono, M,Kes. (Epid)., atas izin
penelitian yang diberikan.
3. Dosen pembimbing, dr. Fitri Indrawati, M.P.H., yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Segenap dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan
ilmu bermanfaat.
5. Kepala Dinas Kesehatan Kota Kota Semarang yang telah memberikan ijin
kepada penulis untuk pengambilan data dalam penelitian.
6. Kedua orang tua saya (Bapak Jirin dan Ibu Jumini), kakak saya Supriyanto,
Nurul Hidayah, Eko Ahmad Ababil, dan Ariyanti Puspita Sari serta seluruh
keluarga tercinta yang telah memberi bantuan dan dorongan baik materil
Page 8
vii
maupun spiritual sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Para Sahabat PKL Bagjamumumu, Ayu Nur Laili, Trisna Hani Fauziah, Nila
Zahrotul Jannah, Devy Restiyani, Nandika Dwi Widyaningrum, serta
terkasih Ahmad Taufik Fahrozi atas bantuannya pada saat studi pendahuluan
dan penelitian serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh teman-teman Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri
Semarang angkatan 2015, rombel 5 (2015), peminatan AKK (2015) dan
Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga
penulis mengharapkan masukan-masukan dari semua pihak guna penyempurnaan
karya selanjutnya. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
meningkatkan pengetahuan pembaca.
Semarang, 12 Februari 2020
Penulis
Page 9
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................................................i
ABSTRACK ............................................................................................................................. ii
PERNYATAAN ........................................................................................................................ iii
PENGESAHAN ........................................................................................................................iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................................. v
PRAKATA.................................................................................................................................vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................ 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .......................................................................................... 7
1.3 TUJUAN ................................................................................................................... 8
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................................ 8
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................................................... 8
1.4 MANFAAT ................................................................................................................ 9
2.1.1 Manfaat Teoritis .................................................................................................... 9
2.1.2 Manfaat Praktisis ................................................................................................. 10
1.5 KEASLIAN PENELITIAN ..................................................................................... 10
1.6 RUANG LINGKUP PENELITIAN ........................................................................ 13
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat ....................................................................................... 14
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu ......................................................................................... 14
1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan ................................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 15
LANDASAN TEORI .............................................................................................. 15
2.1.1 Tuberkulosis ........................................................................................................ 15
2.1.2 Program Penanggulangan dan Pencegahan Tuberkulosis ................................... 23
2.1.3 Kebijakan Penanggulangan Tuberkulosis ............................................................ 39
2.1.4 Puskesmas ........................................................................................................... 40
2.1.5 Evaluasi Program ................................................................................................ 42
2.1.6 Dicrepancy Evaluation Model (DEM) ................................................................ 44
KERANGKA TEORI .............................................................................................. 47
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................................... 48
3.1 ALUR PIKIR ........................................................................................................... 48
3.2 FOKUS PENELITIAN ............................................................................................ 49
Page 10
ix
3.3 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN .......................................................... 50
3.4 SUMBER INFORMASI .......................................................................................... 51
3.4.1 Data Primer ......................................................................................................... 51
3.4.2 Data Sekunder ..................................................................................................... 52
3.5 INSTRUMEN PENELITIAN DAN TEKNIK PENGAMBILAN DATA ............... 52
3.5.1 Instrumen Penelitian ............................................................................................ 52
3.5.2 Teknik Pengambilan Data ................................................................................... 53
3.6 PROSEDUR PENELITIAN .................................................................................... 54
3.6.1 Tahap Persiapan ................................................................................................... 55
3.6.2 Tahap Pelaksanaan .............................................................................................. 55
3.6.3 Tahap Pasca Penelitian ........................................................................................ 56
3.7 PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA ................................................................ 56
3.8 TEKNIK ANALISIS DATA .................................................................................... 57
3.8.1 Reduksi Data ....................................................................................................... 57
3.8.2 Penyajian Data ..................................................................................................... 57
3.8.3 Kesimpulan/Verifikasi ......................................................................................... 58
BAB IV HASIL PENELITIAN................................................................................................ 59
4.1 PUSKESMAS PURWOYOSO ............................................................................... 59
4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas Purwoyoso ........................................................... 59
4.1.2 Kegiatan Pengendalian Tuberkulosis .................................................................. 62
4.1.3 Sumber Daya ....................................................................................................... 77
4.1.4 Sistem Informasi ................................................................................................. 82
4.1.5 Koordinasi, Jejaring Kerja, dan Kemitraan ......................................................... 85
4.1.6 Peran Serta Masyarakat ....................................................................................... 89
4.2 Puskesmas Karangmalang ....................................................................................... 94
4.2.1 Gambaran Umum Puskesmas Karangmalang ..................................................... 94
4.2.2 Kegiatan Pengendalian Tuberkulosis .................................................................. 96
4.2.3 Sumber Daya ..................................................................................................... 113
4.2.4 Sistem Informasi ............................................................................................... 118
4.2.5 Koordinasi, Jejaring Kerja, dan Kemitraan ....................................................... 122
4.2.6 Peran Serta Masyarakat ..................................................................................... 126
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................................... 131
5.1 PEMBAHASAN ................................................................................................... 131
5.1.1 Puskesmas Purwoyoso ...................................................................................... 131
5.1.2 Puskesmas karangmalang .................................................................................. 148
5.2 HAMBATAN DAN KELEMAHAN PENELITIAN ............................................. 165
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................... 167
Page 11
x
6.1 SIMPULAN ........................................................................................................... 167
6.2 SARAN ................................................................................................................. 168
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 171
Page 12
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Keaslian Peneitian................................................................................ 10
Tabel. 2.1. Hasil pengobatan pada pasien TB BTA positif................................... 31
Tabel 4.1 Sarana dan Prasarana Kesehatan di Puskesmas Purwoyoso…………. 59
Tabel 4.2 Jenis Layanan di Puskesmas…………………………………………. 60
Tabel 4.3 Sumber Daya Kesehatan, Sarana Pelayanan, dan Progra Kesehatan di
Puskesmas Karangmalang…………………………………………….97
Page 13
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Kerangka Teori Penelitian........................................................ 46
Gambar 3.1 : Alur pikir.................................................................................. 48
Page 14
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat tugas pembimbing................................................................ 179
Lampiran 2. Surat izin penelitian dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, UNNES.. 180
Lampiran 3. Surat izin penelitian dari Kesbangpol atau Bappeda atau tempat
penelitian....................................................................................... 181
Lampiran 4. Salinan ethical clearance............................................................... 183
Lampiran 5. Surat/bukti sudah melakukan penelitian/pengambilan data dari
institusi yang berwenang.................................................................. 184
Lampiran 6. Surat tugas panitia ujian................................................................. 186
Lampiran 7. Instrument penelitian...................................................................... 187
Lampiran 8. Transkip wawancara penelitian..................................................... 204
Lampiran 9. Dokumentasi penelitian Puskesmas Purwoyoso............................. 307
Lampiran 10. Dokumentasi penelitian Puskesmas Karangmalan....................... 309
Page 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tuberkulosis atau TBC adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian kuman TB tidak hanya menyerang
paru-paru, tetapi dapat menyerang berbagai organ dan jaringan tubuh lainnya.
Penularan dapat terjadi ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara, atau
meludah, mereka memercikkan kuman TB atau bacillia ke udara. Setelah kuman
TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya.
Dampak sosial dan psikologis yang dialami oleh penderita TB yaitu
timbulnya rasa tidak percaya diri penderita TB untuk bersosialisasi, penderita
tidak dapat bekerja secara maksimal, menjadi beban keluarga, dan mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat
tentang TB menyebabkan stigma negatif sulit dihilangkan (Sulidah, 2013).
Dampak ekonomi yang dialami oleh penderita yaitu kehilangan pendapatan dalam
jangka waktu tertentu.
Pada tahun 2017 Indonesia menduduki peringkat ke-3 diantara 5 negara
yang mempunyai beban tuberkulosis yang terbesar yaitu India, China, Indonesia,
Philippina and Pakistan. Berdasarkan Global Report Tuberculosis tahun 2017,
Page 16
2
secara global kasus baru tuberkulosis sebesar 6,3 juta, setara dengan 61% dari
insiden tuberkulosis (10,4 juta) (WHO, 2017). Tahun 2017 ditemukan jumlah
kasus tuberkulosis di Indonesia sebanyak 425.089 kasus, meningkat bila
dibandingkan tahun sebelumnya. Pada triwulan ke 3 tahun 2018 kejadian kasus
TB terdapat sebanyak 370.838 kasus yang ternotifikasi TB (Kemenkes RI, 2017).
Kenaikan kasus Tuberkulosis di Indonesia membuat pemerintah untuk
melakukan penanggulangan dengan cara membuat program yang disebut program
Pencegahan dan Penanggulangan TB (P2TB). Pencegahan dan Penanggulangan
TB (P2TB) adalah segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif
dan preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan
untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan
atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat dan mengurangi
dampak negatif yang ditimbulkan akibat Tuberkulosis (Kemenkes, 2016).
Permenkes Nomor 67 Tahun 2016 menyebutkan bahwa indikator utama
yang digunakan untuk menilai pencapaian strategi nasional penanggulangan TB di
tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat, antara lain: 1) Cakupan pengobatan
semua kasus TB (case detection rate/CDR) yang diobati; 2) Angka notifikasi
semua kasus TB (case notification rate/CNR) yang diobati per 100.000 penduduk;
3) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus; 4) Cakupan penemuan
kasus resistan obat; 5) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat; 6)
Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV. Dari ke-6 indikator tersebut,
pemerintah lebih menekankan pada pencapaian indikator penemuan kasus (CDR)
dan keberhasilan pengobatan Tuberkulosis sebagai tolak ukur dalam pencapaian
Page 17
3
keberhasilan program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis (P2TB) di
Indonesia.
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan
sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di
masyarakat. Selama 3 tahun terakhir angka penemuan kasus TB cenderung
terdapat peningkatan, yaitu pada tahun 2015 sebesar 32,9%, tahun 2016 sebesar
35,8%, dan tahun 2017 sebesar 42,4%, tetapi masih belum mencapai target
nasional penemuan kasus TB minimal 70%. Pada tahun 2017 angka keberhasilan
pengobatan semua kasus tuberkulosis sebesar 85,7%, mengalami peningkatan
dibandingkan pada tahun 2016 sebesar 85% dan tahun 2015 sebesar 85,8%,
sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90,0%.
Belum tercapainya indikator keberhasilan program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis (P2TB) di tingkat pusat, dipengaruhi oleh belum
tercapainya indikator penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan tuberkulosis
di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Jumlah kasus Tuberkulosis tertinggi
yang dilaporkan, terdapat di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
(Kemenkes RI, 2017). Provinsi Jawa Tengah memilki penemuan kasus dan
keberhasilan pengobatan TB yang masih rendah dibandingkan dengan 2 provinsi
yang lain. Penemuan untuk semua kasus TB di Jawa Tengah tahun 2018 sebesar
143,9 per 100.000 penduduk, mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017
yaitu 132,9 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan di
Jawa Tengah tahun 2018 sebesar 77,1% mengalami penurunan dibandingkan
Page 18
4
tahun 2017 sebesar 82,36%, masih belum mencapai target rencana strategi Dinas
Kesehatan Kota Provinsi Jawa Tengah, yaitu 90 persen (Dinkes Jateng, 2018).
Kota Semarang menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah penderita
Tuberkulosis terbanyak di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2017, yang pada
tahun 2015 dan 2016 menduduki peringkat ke-6. Penemuan kasus penderita
tuberkulosis di Kota Semarang setiap tahun mengalami peningkatan, yaitu tahun
2016 sebanyak 211 kasus, tahun 2017 sebanyak 235 kasus, dan tahun 2018
sebanyak 257 kasus. Meningkatnya penemuan kasus TB di Kota Semarang tidak
sejalan dengan angka keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis yang dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir belum mencapai target nasional yaitu sebesar 90%.
Tahun 2013 sampai 2015 rata-rata caiapannya masih dalam kisaran angka 83%,
kemudian pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 86%. Akan tetapi,
pada tahun 2017 turun kembali sebesar 84%.
Berdasarkan data Analisis Situasi Program P2TB Kota Semarang oleh Dinas
Kesehatan Kota Semarang tahun 2018 terdapat 2 Puskesmas yang memiliki
capaian terendah dalam penemuan kasus maupun keberhasilan pengobatan
tuberkulosis dalam pelaksanaan program P2TB yaitu Puskesmas Purwoyoso dan
Puskesmas Karangmalang. Penemuan kasus TB di Puskesmas Purwoyoso sebesar
9,65% dengan keberhasilan pengobatan sebesar 84,6%, sedangkan penemuan TB
di Puskesmas Karangmalang sebesar 5,31% dengan keberhasilan pengobatan
sebesar 77,8%.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan Maret
2019 di Dinas Kesehatan Kota Semarang, diketahui masih terdapat beberapa
Page 19
5
kendala yang dialami dalam pelaksanaan program P2TB. Beberapa diantaranya
yaitu penemuan kasus Tuberkulosis dilakukan dengan cara menunggu penderita
TB datang ke Puskesmas dan laporan dari kader kesehatan. selain itu, sosialisasi
oleh pihak Puskesmas terkait program TB jarang dilakukan sehingga pengetahuan
masyarakat terkait penyakit TB rendah. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya
kesadaran pasien terhadap penyakit TB. Selaras dengan penelitian terdahulu yang
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara penegtahuan dan sikap terhadap
upaya pencegahan TB (Rahman, Fauzi E, et al, 2017).
Kendala lain yang terjadi yaitu Follow up pasien yang belum optimal. Hal
tersebut terjadi karena petugas program TB yang merangkap tugas lain, seperti
menjadi adminitrasi di bagian pelayanan, kepala ruang rawat inap, pelaksana
program lain, dan lain-lain. Pekerja yang mempunyai beban kerja berlebih akan
menurunkan kualitas hasil kerja dan memungkinan adanya inefisiensi waktu,
sehingga kegiatan dalam penemuan tidak bisa dikerjakan secara maksimal
(Sutinbuk, Mawarni, & Kartika W, 2012). Berdasarkan penelitian terdahulu
menjelaskan bahwa adanya tugas rangkap oleh petugas pelaksana program
penanggulangan TB menyebabkan capaian program P2TB oleh Puskesmas masih
jauh dari terget yang ditentukan. Faktor penghambat lain yaitu belum
tercukupinya dana, tenaga terlatih dan beban kerja yang rangkap (Aditama,
Zulfikar, & Baning R., 2013).
Pengawas Minum Obat (PMO) yang belum berfungsi secara optimal. PMO
hanya bertugas mengantar penderita berobat atau mengambilkan obat ke
Puskesmas ketika penderita TB tidak dapat mengambil sendiri, dan tidak setiap
Page 20
6
hari mengawasi ketika minum obat. Hal tersebut terjadi karena PMO tidak
mendapat penyuluhan dari petugas kesehatan berkaitan dengan apa saja tugas
sebagai PMO dan bahaya penyakit TB, sangat mempengaruhi proses pengobatan
penderita TB. (Dewanty, et al, 2016). Penelitian terdahulu lainnya juga
menyebutkan bahwa kinerja PMO yang baik akan membantu meningkatkan angka
kesembuhan TB (Hayati & Musa , 2016) Masalah lainnya terletak pada
penggunaan media promosi kesehatan yang belum digunakan secara optimal oleh
petugas kesehatan. Kerjasama antar organisasi yang dilakukan belum sepenuhnya
terjalin sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.
Komunikasi, sumber daya, dan SOP mempunyai pengaruh dalam
keberhasilan program penanggulangan TB Paru terutama dalam penemuan kasus
pasien TB Paru (Tuharea, Suparwati, & Sriatmi, 2014). Penelitian lain
menyebutkan masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab yang dilakukan oleh petugas pemegang program P2TB puskesmas, petugas
laboratorium, kepala tata usaha dalam pencatatan dan pelaporan puskesmas sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh Kemenkes. Selain itu, sarana dan prasarana
juga belum memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Kemenkes RI (Nugraini,
2015).
Faktor-faktor yang dapat menghambat program pengendalian TB dalam
public private mix adalah keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, logistik
TB dan sarana prasarana unit DOTS serta ketergantungan sumber daya terhadap
pihak investasi, tidak adanya pedoman operasional yang mengatur mekanisme
kerjasama, kurangnya komitmen pemerintah dan mitra dalam implementasi
Page 21
7
pengendalian TB, kurangnya komunikasi dan koordinasi antara jejaring PPM
dalam menjaga pengobatan penderita (Tondong, Mahendradhata, & Ahmad,
2014). Mengevaluasi program adalah melaksanakan segala upaya untuk
mengumpulkan dan menggali data mengenai kondisi nyata terhadap pelaksanaan
suatu program, kemudian membandingkan dengan kriteria agar dapat diketahui
seberapa jauh ada dan tidaknya kesenjangan antara kondisi nyata pelaksanaan
program dengan kriteria yang ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan uraian tersebut, menjadikan alasan bagi peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai “Evaluasi Program Penanggulangan dan
Pencegahan Tuberkulosis Di Puskesmas Kota Semarang”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini yaitu “Bagaimana evaluasi program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Karangmalang Kota Semarang?”
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
1.2.2.1 Bagaimana evaluasi kesenjangan kegiatan pengendalian tuberkulosis
dalam pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan
Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang
Kota Semarang?
1.2.2.2 Bagaimana evaluasi kesenjangan kelengkapan sumber daya dalam
Page 22
8
pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di
Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang?
1.2.2.3 Bagaimana evaluasi kesenjangan sistem informasi dalam pelaksanaan
program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas
Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang?
1.2.2.4 Bagaimana evaluasi kesenjangan koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan
dalam pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan
Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang
Kota Semarang?
1.2.2.5 Bagaimana evaluasi kesenjangan peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di
Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui evaluasi kesenjangan
program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso
dan Puskesmas Karangmlang Kota Semarang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui evaluasi kesenjangan kegiatan pengendalian tuberkulosis
dalam pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan
Page 23
9
Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang
Kota Semarang?
1.3.2.2 Bagaimana evaluasi kesenjangan kelengkapan sumber daya dalam
pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di
Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang?
1.3.2.3 Bagaimana evaluasi kesenjangan sistem informasi dalam pelaksanaan
program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas
Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang?
1.3.2.4 Bagaimana evaluasi kesenjangan koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan
dalam pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan
Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang
Kota Semarang?
1.3.2.5 Bagaimana evaluasi kesenjangan peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di
Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang?
1.4 MANFAAT
2.1.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperluas wawasan, dan ilmu
pengetahuan sebagai acuan penelitian tentang evaluasi program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Karangmalang Kota Semarang.
Page 24
10
2.1.2 Manfaat Praktisis
2.1.2.1 Bagi Instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
untuk pengembangan perencanaan baru bagi instansi terkait diketahuinya
gambaran implementasi program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis
di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang.
2.1.2.2 Bagi Jurusan
Menambah bahan kepustakaan yang berhubungan dengan implementasi
program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso
dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang.
2.1.2.3 Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan,
wawasan dan pengalaman belajar bagi peniliti terkait dengan evaluasi
implementasi program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di
Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang.
1.5 KEASLIAN PENELITIAN
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No. Peneliti Judul Rancangan
Penelitian
Variabel Hasil Penelitian
1 Royke
Abraham
(2018).
(Abraham,
2018)
Implementasi
Kebijakan
Penanggulan
gan Penyakit
Tuberkulosis
di Puskesmas
Deskriptif
kualitatif
dengan
pendekatan
induktif
Komunikasi,
sumber daya,
disposisi,
struktur
birokrasi,
karakteristik
Peningkatan
penemuan kasus
Tuberkulosis di
Puskesmas
Kamonji Kota Palu
disebabkan oleh
Page 25
11
Kamonji
Kota Palu
badan
pelaksana,
dan
lingkungan.
komunikasi dan
struktur birokrasi
menjadi faktor
penghambat
implemntasi.
Faktor sumber daya
dan disposisi
menjadi fator
pendukung
implemntasi
kebijakan
penanggulangan
TB.
2 Adistha
Eka
Noveyani
& Santi
Martini
(2014).
(Noveyani
& Martini,
2014)
Evaluasi
Program
Oengendalian
Tuberkulosis
Paru dengan
Strategi
DOTS di
Puskesmas
Tanah
Kalikedindin
g Surabaya
Kualitatif
dengan
rancangan
deskriptif
penemuan
kasus,
pengobatan,
faktor
pendorong
dan faktor
penghambat,
pencatatan
dan
pelaporan,
dan capaian
berdasarkan
indikator
tuberkulosis.
Hasil penelitian
menunjukkan CDR
tahun 2013 adalah
112% memenuhi
target nasional ≥
70%. Faktor
pendorong berupa
penyuluhan rutin
oleh petugas di
Puskesmas. Fator
penghambat yaitu
jarak menuju
Puskesmas yang
sebagian besar
adalah > 1 km,
sehingga
dibutuhkan
kendaraan untuk
menuju ke
Puskesmas. Kurang
optimalnya peran
pengawaminum
obat penderita TB.
3 Tiemi
ArakawaI,
Gabriela
Tavares
Magnabos
coI, Rubia
Laine de
Paula
AndradeII,
et all
Tuberculosis
Control
Program In
The
Municipal
Context:
Performance
Evaluation
Evaluasi
program
dengan
desain
ekologis
Kinerja
kelompok,
Pengobatan
Teramati,
Pengawasan
DOTS
Kelompok dengan
kinerja terbaik
menunjukkan
tingkat
kesembuhan
tertinggi dan
menunjukkan
tingginya
pengobatan
teramati secara
Page 26
12
(2017).
(Arakawa,
et al.,
2017)
langsung.
Kelompkm kinerja
terburuk
menunjukkan
rendahnya insidensi
TB, TB HIV tinggi,
populasi kecil, dan
cakupan DOTS
rendah. pentingnya
Perawatan yang
diamati secara
langsung dalam
kaitannya dengan
hasil untuk
pengobatan dan
meningkatkan
refleksi dalam
kapasitas struktural
dan manajerial kota
dalam pelaksanaan
Program
Pengendalian
Tuberkulosis
4 Deswinda,
Rosfita
Rasyid,
dan
Firdawati
(2019).
(Deswinda
, Rasyid,
&
Firdawati,
2019)
Evaluasi
Penanggulan
gan
Tuberkulosis
Paru di
Puskesmas
dalam
Penemuan
Penderita
Tuberkulosis
Paru di
kabupaten
Sijunjung
Studi
kualitatif
Input, proses,
dan output
Input, Tenaga
kesehatan dalam
penemuan
penderita Tb
kurang, metode
yang digunakan
dalam penemuan
kasus adalah pasif
dan aktif, dana dan
sarana masih
kurang. Proses,
perencanaan
program sesuai
pedoman,
pergerakan-
pelaksanaan
berjalan dengan
baik. Output,
program
penanggulangan
TB di Kabupaten
Sijunjung belum
mencapai target
Page 27
13
yang ditetapkan.
5 Vivi
Sofiyatun
(2018)
(Sofiyatun
, 2019)
Analisis
Implementasi
Program
Penanggulan
gan
Tuberkulosis
Paru (Studi
Kasus di
Puskesmas
Tlogosari
Kulon Kota
Semarang)
Kualitatif
dengan
rancangan
deskriptif
Variabel
bebas adalah
kinerja PMO.
variabel
terikatnya
adalah
kesembuhan
TB.
Hasil penelitan
menunjukan bahwa
kekurangan
sumberdaya staf
dan fasilitas,
kurangnya
konsistensi dalam
komunikasi serta
komitmen
pelaksana program
terhadap pasien
yang kurang dapat
menghambat
implementasi
sehingga belum
dapat mencapa
target yang
ditentukan.
Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah sebagai berikut :
1. Penelitian terdapat perbedaan variabel, tempat dan waktu dengan
penelitian sebelumnya.
2. Fokus pada penelitian ini adalah untuk mengetahui variabel yang paling
berpengaruh terhadap evaluasi program Penanggulangan dan Pencegahan
Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang.
1.6 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Adapun ruang lingkup penelitian dalam penelitian meliputi tempat, waktu
dan materi penelitian.
Page 28
14
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program
Penanggulangan dan Pencegahan Tuberkulosis dilakukan di Puskesmas
Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota Semarang.
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Waktu penelitian ini dilakukan pada tahun 2019.
1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan
Penelitian ini termasuk dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, khusunya di
bidang Administrasi Kebijakan Kesehatan yaitu terkait materi evaluasi program.
Page 29
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
LANDASAN TEORI
2.1.1 Tuberkulosis
2.1.1.1 Pengertian Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB (Kementerian
Kesehatan RI, 2016).
Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
2. Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,
berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.
3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
4. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
Page 30
16
5. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.
Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C
akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
6. Kuman dapat bersifat dorman.
2.1.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan Global Report Tuberculosis tahun 2017, secara global kasus
baru tuberkulosis sebesar 6,3 juta, setara dengan 61% dari insiden tuberkulosis
(10,4 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia
dan kematian tuberkulosis secara global diperkirakan 1,3 juta pasien. Indonesia
menduduki peringkat ke 3 diantara 5 negara yang mempunyai beban tuberkulosis
yang terbesar yaitu India, Indonesia, China, Philippina and Pakistan (WHO,
2017).
Pada tahun 2017 di Indonesia ditemukan jumlah kasus tuberkulosis
sebanyak 425.089 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis
yang ditemukan pada tahun 2016 yang sebesar 360.565 kasus dan tahun 2015
sebesar 330.729 kasus. Pada triwulan ke 3 tahun 2018 kejadian kasus TB terdapat
sebanyak 370.838 kasus yang ternotifikasi TB. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut
sebesar 43% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia (Kemenkes RI,
2017)
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-
Page 31
17
laki sebanyak 245.298 orang lebih besar dibandingkan pada perempuan sebanyak
175.696 orang. Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-
laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Hal ini terjadi
kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya
merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan
bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya
3,7% partisipan perempuan yang merokok. Selama 10 tahun terakhir angka
notifikasi dan cakupan pengobatan kasus TBC cenderung terdapat peningkatan
yang signifikan. Akan tetapi, angka kesembuhan cenderung mempunyai gap
dengan angka keberhasilan pengobatan, sehingga kontribusi pasien yang sembuh
terhadap angka keberhasilan pengobatan menurun dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Dalam upaya pengendalian penyakit, fenomena menurunnya angka
kesembuhan ini perlu mendapat perhatian besar karena akan mempengaruhi
penularan penyakit TBC (Kemeterian Kesehatan RI, 2018).
2.1.1.3 Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang mengandung
kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik).
Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung
percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.tuberculosis.
Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000
M.tuberculosis (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Page 32
18
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit meliputi tahap paparan,
infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia, sebagai berikut:
2.1.1.3.1 Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan jumlah kasus menular di
masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, tingkat daya tular dahak
sumber penularan, intensitas batuk sumber penularan, kedekatan kontak dengan
sumber penularan, dan lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
2.1.1.3.2 Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah
infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam
lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung dari daya
tahun tubuh manusia. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening
dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.
2.1.1.3.3 Faktor Resiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia
seseorang yang terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh seseorang yang rendah
diantaranya orang yang terinfeksi HIV AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB Aktif (sakit TB), dan pada seseorang yang
terinfeksi TB, 10% diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang
dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang dengan HIV berisiko
20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Page 33
19
2.1.1.3.4 Meninggal Dunia
Faktor risiko kematian karena TB disebabkan oleh beberapa hal antara
lain: akibat dari keterlambatan diagnosis, pengobatan tidak adekuat, adanya
kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta, pada pasien TB tanpa
pengobatan 50% diantaranya akan meninggal dan risiko ini meningkat pada
pasien dengan HIV positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan
oleh TB.
2.1.1.4 Patogenesis
Ketika seorang penderita TB Paru batuk, bersin, atau berbicara, maka
secara tidak sengaja keluarlah dorplet nuklei da jatuh ke tanah, lantai, atau tempat
lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, dorplet nuklei
tersebut menguap. Mengupanya dorplet bakteri ke udara dengan pSergerakan
angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam dorplet nuklei
terbang ke udara. Apabila bakteri tersebut terhirup oleh orang sehat, maka orang
itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkulosis. penularanS bakteri lewat udara
disebut dengan istilah air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati
pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik
lokal dimana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri
(multiplying). Bakteri tuberkulosis dan fokus primer atau lesi primer atau fokus
Ghon. Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama dengan
fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6 minggu, inang
yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes
Mantoux ( (Muttaqin, 2012).
Page 34
20
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke suluruh
tubuh melalui berbagai jalan, yaitu :
2.1.1.4.1 Percabangan bronkhus
Penyebaran infeksi lewat percabangan bronkhus dapat mengenai area
paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring),
maupun ke saluran pencernaan.
2.1.1.4.2 Sistem saluran limfe
Penyebaran lewat saluran limfe menyebabkan adanya regional
limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan penyebaran lewat
darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis milier.
2.1.1.4.3 Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau
mengangkut material yang mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat
mencapai berbagai organ melalui aliran darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar
adrenal, otak, dan meningen.
2.1.1.4.4 Reaktivasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh kuat, maka infeksi primer tidak berkembang
lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tidaka dapat berkembang biak lebih lanjut dan
menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat kondisi tubuh melemah akbati sakit
lam/keras atau memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama,
maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif kembali. inilah yang disebut
reaktivasi infeksi primer atau infeksi pasca primer. Infeksi ini dapat terjadi
bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca primer juga
Page 35
21
dapat diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi
baru), bukan bakteri dorman yang aktif kembali. biasanya organ paru tempat
timbulnya infeksi pasca primer terutama berada di daerah apkes paru.
2.1.1.5 Klasifikasi
Berdasarkan Pedoman Pengendalian Tuberkulosis Nasional, penyakit
tuberkulosis dibagi menjadi beberapa klasifikasi antara lain :
2.1.1.5.1 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena
Berdasarkan organ tubuh yang terkena bakteri penyebab penyakit TB
dibedakan menjadi 2 klasifikasi yaitu Tuberkulosis Paru dan Tuberkulosis Ekstra
Paru. Tuberkulosis paru merupakan tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
Sedangakan tuberkulosis ekstra paru merupakan tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usu, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2.1.1.5.2 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis di bedakan pada
keadaan yang ditunjukkan pada tuberkulosis paru BTA positif dan tuberkulosis
paru BTA negatif. Keadaan yang ditujukan pada penderita tuberkulosis paru BTA
positif seperti: sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif, 1 spesimen dahal SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis, 1 spesimen dahak SPD hasilnya BTA positif
dan biakan kuman TB positif, serta 1 atau lebih speimen dahak hasilnya positif
Page 36
22
setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberia antibotik non OAT. Kriteria
diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi: paling tidak 3 spesimen
dahak SPS hasilnya negatif, foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran
tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT bagi
pasien dengan HIV negatif, dan ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk
diberi pengobatan.
2.1.1.5.3 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut
sebagai tipe pasien, yaitu: kasus baru, kasus yang sebelumnya diobati, kasus
pindahan, dan kasus lain. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif. Kasus pindahan (Transfer in) adalah
pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya. Kasus
yang sebelumnya diobati dibedakan menjadi 3 jenis kasus, yaitu: kasus kambuh
(relaps), dimana pasien yang sebelumya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur); kasus setelah putus berobat
(default), dimana pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif; dan kasus setelah gagal (failure), dimana pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan. Sedangkan kasus lain adalah semua kasus
yang tidak memenuhi ketentuan yang ketiga kasus yang sebelumnya karena tidak
Page 37
23
memenuhi riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui
hasil pengpbatannya, dan kembali diobati dengan BTA negatif.
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang,
harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.1.2 Program Penanggulangan dan Pencegahan Tuberkulosis
Penanggulangan Tuberkulosis adalah segala upaya kesehatan yang
mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif
dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat,
menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan,
mencegah resistensi oabta dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan
akibat Tuberkulosis. penangulangan TB diselenggarakan secara terpadu,
komprehensif dan berkesinambungan melibatkan semua pihak terkait baik
pemerintah, swasta maupun masyarakat. Penanggulanga Tuberkulosis merupakan
program nasional yang harus dilaksanakan di seluruh Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Fasyankes) termasuk Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik-klinik
kesehatan dan juga Dokter Praktek Swasta (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Target program Penanggulangan TB nasioal yaitu eleminasi TB dengan
tercapainya cakupan kasus TB 1 per 1 juta penduduk pada tahun 2035 dan
Indonesia bebas TB tahun 2050. Dalam mencapai target tersebut digunakan
strategi nasional yaitu strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shorcours
chemotherapy). DOTS merupakan strategi penanggulangan Tuberkulosis nasional
Page 38
24
yang dilaksanakan melalui pengobatan jangka pendek dengan pengawsan
langsung terhadap penderita TB yang dilaksanakan diseluruh unit pelayanan
kesehatan. Implementasi strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya.
3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yag mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB terdapat
indikator utama yang digunakan, yaitu:
1. Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection rate/CDR) yang
diobati.
2. Angka notofikasi semua kasus TB (case notification rate/CNR) yang
diobati per 100.000 penduduk.
3. Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus.
4. Cakupan penemuan kasus resisten obat.
5. Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resisten obat.
6. Presentase pasien TB yang mengetahui status HIV.
Penanggulangan TB diselenggarakan melalui beberapa kegiatan, antara lain:
promosi kesehatan, surveilans TB, pengendalian faktor risiko, penemuan dan
penanganan kasus TB, pemberian kekebalan, dan pemberian obat pencegahan
Page 39
25
(Kementerian Kesehatan RI, 2016).
2.1.2.1 Penemuan Kasus
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan
gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang
kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan
tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan
tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara
bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB
yang paling efektif di masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2011)
2.1.2.1.1 Strategi Penemuan
Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif,
aktif, dan masif. Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, sehingga
semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Pelibatan semua layanan
dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan
pengobatan.
Strategi penemuan kasus tuberkulosis dilakukan dengan 2 cara, yaitu
penemuan pasien TB secara pasif intensif dan penemuan pasien TB secara aktif
dan/atau masif. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif intensif di fasilitas
kesehatan dengan jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix (PPM), dan
kolaborasi berupa kegiatan TB-HIV, TB-DM (Diabetes Mellitus), TB-Gizi,
Pendekatan Praktis Kesehatan paru (PAL = Practical Approach to Lung health),
Page 40
26
ManajemenTerpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit
(MTDS). Sedangkan penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis
keluarga dan masyarakat, dapat dibantu oleh kader dari posyandu, pos TB desa,
tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan penemuan pasien TB dengan cara
ini dapat berupa: investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat
dengan pasien TB, penemuan di tempat khusus (seperti Lapas/Rutan, tempat
kerja, asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo), dan penemuan di
populasi berisiko: tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh (Kementerian
Kesehatan RI, 2016).
2.1.2.1.2 Pemeriksaan Dahak
Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
pemeriksaan dahak pada pasien terduga Tuberkulosis, antara lain: (1) pemeriksaan
dahak mikroskopis yang berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak dalah dua hari kunjungan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu; (2) pemeriksaan biakan dengan cara biakan dan
identifikasi M. Tuberkulosis pada pengedalian TB untuk menegakkan diagnosis
TB pada pasien tertentu, seperti pasien TB Ekstra Paru, pasien TB Anak, dan
pasien TB BTA Negatif; (3) uji kepekaan obat TB yang bertujuan untuk resistensi
M. Tuberkulosis terhadap OAT dilakukan di laboratorium untuk diagnosis pasien
TB yang memnuhi kriteria suspek TB MDR.
Saat ini pemerintah telah menemukan cara pemeriksaan dahak terbaru
yang dapat mendeteksi kuman TB lebih akurat menggunakan teknik PCR. Deteksi
Page 41
27
kuman TBC dengan teknik PCR mempunyai sensitivitas yang amat tinggi. PCR
merupakan cara amplifikasi DNA Mycrobacterium tuberkulosis, secara in vitro.
Proses ini memerlukan DNA cetakan untai ganda yang mengandung DNA target,
enzim DNA polymerase, nukleotida trifosfat, dan sepasang primer. Deteksi
Mycrobacterium tuberkulosis dilakukan dengan teknik PCR, mengingat
akurasinya yang baik dan membutuhkan waktu pemeriksaan leboh singkat.
Banyak Mycrobacterium tuberkulosis yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan
mikroskopis (BTA) tetapi dapat dideteksi dengan teknik PCR (Ramadhan, Fitria,
& Rosdiana, 2017).
2.1.2.2 Diagnostik
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada
pasien anak.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
Page 42
28
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). S (sewaktu) yaitu
dahak yang dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi) yaitu dahak yang dikumpulkan di rumah
pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di UPK.S(sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada
hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Program Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis harus bekerjasama
dengan laboratorium untuk memastikan pengiriman spesimen yang cepat ke
laboratorium dan pelaporan segera hasil apusan BTA, hasil kultur, dan hasil tes
kepekaan obat kepada dokter dan departemen kesehatan. Layanan laboratorium
harus tersedia untuk menyediakan pematauan respon bakteroilogis terhadap
terapi. Kurangnya alat diagnostik sederhana dalam perawatan primer akan
menunda diagnosis, membantu penyebaran dan pengembangan resisten pada
kasus TB yang menyebabkan biaya dan bahaya besar dalam mengelola kasus
Page 43
29
tersebut dengan diagnosis yang tertunda (Salahy, Essawy, Mohammad, Hendy, &
Abas, 2016).
2.1.2.3 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan Tb bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
2.1.2.3.1 Prinsip-prinsip dalam pengobatan Tuberkulosis
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini
untuk menjamin keptuhan pasien dalam menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO). Berdasarkan Permenkes RI No. 67 Tahun 2016, pengobatan yang
adekuat harus memenuhi prinsip sebagai berikut:
1. Pengobatan yang diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resisten.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO sampai selesai
pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam 2 tahap
yaitu tahap awal dan tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk
mencegah kekambuhan.
Pengobatan Tb harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal yaitu pengobatan yang diberikan setiap dengan tujuan agar
Page 44
30
secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sevagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten
sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama
2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama. Sedangkan pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk
membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
2.1.2.3.2 Panduan OAT lini pertama dan perutukannya
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di
Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan
3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah
direkomendasikan.
Paduan OAT kategori 1 di berikan untuk pasien baru dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Pasien TB Paru terkonfirmasi bakteriologis.
2. Pasien TB Paru terdiagnosis klinis.
3. Pasien TB Ekstra Paru.
4. Dosis harian (2(HRZE)/4(HR)).
Sedangkan paduan OAT kategori 2 di berikan untuk pasien BTA positif
yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang), yaitu:
1. Pasien kambuh.
Page 45
31
2. Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya.
3. Pasien yang diobatai kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
4. Dosis harian (2(HRZE)S/%(HRE)).
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien
untuk 1 (satu) masa pengobatan. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang
terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E)
yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
pasien yang tidak bisa menggunakan paduan OAT KDT.
2.1.2.4 Pemantauan dan Hasil Pengobatan
Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua
pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak
pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis merupakan suatu cara terpenting
untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Semua pasien TB baru yang tidak
konversi pada akhir 2 bulan pengobatan tahap awal, tanpa pemberian paduan
sisipan, pengobatan dilanjutkan ke paduan tahap lanjutan. Pemeriksaan ulang
dahak selanjutnya dilakukan pada akhir bulan ke 5 pengobatan. Apabila hasilnya
negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan
dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. Bilamana
hasil pemeriksaan mikroskopis nya positif pasien dianggap gagal pengobatan dan
Page 46
32
dimasukkan kedalam kelompok terduga TB-RO.
Tabel. 2.1. Hasil pengobatan pada pasien TB BTA positif
Hasil Pengobatan Definis
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan
lengkap
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir
pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama masa pengobatan; atau kapan saja dalam masa
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Putus berobat
(loss to follow-up)
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan atau
lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer
Page 47
33
out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang
ditinggalkan.
2.1.2.5 Pengawasan Menelan Obat
Dalam masa pengobatan akan muncul rasa bosan yang dialami oleh pasien
TB Paru. Selain itu, keadaan yang mulai sembuh dan hilangnya gejala-gejala yang
dirasakan membuat pasien TB Paru akan melakukan penghentian berobat di
fasilitas pelayanan kesehatan sebalum waktunya. Untuk mencegah terjadinya hal
tersebut maka perlu adanya pengawasan langsung oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO) untuk mengawasi pasien TB Paru dalam menelan seluruh
obat yang diberikan sesuai anjuran dan mencegah terjadinya resisten obat. Pilihan
tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan. Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat
dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila
tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.1.6.1.1 Persyaratan PMO
Untuk menjadi seorang PMO harus memenuhi beberapa persyaratan
yang ada, antara lain:
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
Page 48
34
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersamasama dengan
pasien.
Sebaiknya yang menjadi seorang PMO adalah petugas kesehatan yang ada di
wilayan penderita TB Paru, seperti bidan desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru
imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan,
PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, tokoh
masyarakat, atau anggota keluarga.
2.1.6.1.2 Tugas seorang PMO
Adapun tugas seorang PMO dalam mengawasi pasien TB Paru dalam meminum
obat, antara lain:
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
2.1.6.1.3 Informasi penting yang perlu di pahami PMO
Informasi penting yang perlu di pahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya, yaitu :
Page 49
35
1. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
2. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
6. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke Fasyankes.
Tidak adanya PMO dapat membuat pasien TB menghentikan
pengobatannya dikarenakan pasien tidak mengajak keluarganya saat pasien
melakukan pemeriksaan dan pengambilan obat, hal tersebut terjadi karena
penunjukan PMO oleh petugas BP4 hanya kepada keluarga pasien yang ikut
dengan pasien. Keberadaan PMO sangat penting baik untuk kesembuhan pasien
dan untuk memberi penyuluhan penyakit TB (Nugroho, 2011).
2.1.2.6 Efek Samping OAT
Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan
obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
2. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
Page 50
36
dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip
dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai
dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reakasi hipersensitivitas.
3. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan
TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti
obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu
diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
4. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT
yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)
dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif,
mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan
desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko
besar terjadi keracunan yang berat.
2.1.2.7 Sumber Daya
Tanggung jawab pelaksanaan Program Penanggulangan TB berada di
Kabupaten/Kota yang didukung fasilitas kesehatan primer yaitu Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTPRM), yaitu
puskesmas dengan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopis dahak dan menerima rujukan. Serta fasilitas kesehatan tingkat
Page 51
37
lanjutan yaitu Fasiltas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang dapat
melakukan pemeriksaan mikroskopis dan mengambil peran sebagai rujukan
mikroskopis. Didukung fasilitas kesehatan lainnya (seperti lapas, rutan, tempat
kerja dan klinik) yang telah menjadi bagian jejaring di wilayah Kabupaten/Kota.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab untuk mendiagnosis, mengobati
dan monitoring kemajuan pengobatan yang didukung Pengawas Menelan Obat
(PMO) serta anggota keluarga. Puskesmas harus menetapkan dokter, perawat, dan
analis laboratorium terlatih. Sarana dan prasarana yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan program Penanggulangan TB.
Kepala Dinas Kesehatan Kota sebagai penanggung jawab semua program
dan fasilitas kesehatan di wilayah kerjanya, termasuk Penanggulangan TB. Selain
itu, membentuk unit kerja yang terdiri dari tenaga kesehatan dengan kompetensi
di bidang kesehatan masyarakat dan tenaga non kesehatan dengan kompetensi
tertentu.
Di tingkat provinsi penanggulangan TB dilaksanakan berdasar struktur
yang ada sesuai tugas dan fungsinya dan dibantu Tim TB yang terdiri dari,
Petugas Pengelola Program TB Provinsi (wasor TB), Tim Pelatih Provinsi (TPP),
unit terkait di jajaran Dinas Kesehatan Kota provinsi dan petugas lainnya
(Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mohamed Gedi Qayad dan
Gianfranco Tarsitani (2017) di Somalia, menunjukkan bahwa rendahnya
dukungan sumber daya dan manajemen menyebabkan penurunan keberhasilan
pengobatan dalam program TB dengan banyaknya pasien yang tidak melanjutkan
Page 52
38
pengoabatan. Sumber daya dan tenaga masyarakat seperti LSM yang berdedikasi
dalam pengelolaan program pengendalian penyakit TB memiliki peran penting
dalapam upaya promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan program
pengendalian kesehatan lainnya (Qayad & Tarsitani, 2017).
2.1.2.8 Pelaporan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 46 tahun 2014 tentang Sistem
Informasi Kesehatan khusunya pada pasal 44 ayat 1 dapat diketahui bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi penyediaan sumber daya Sistem
Informasi Kesehatan untuk memperlancar penyelenggaraan Sistem Informasi
Kesehatan. Sumber daya yang dimaksud meliputi perangkat dan sumber daya
manusia. Berdasarkan Permenkes Nomor 67 tahun 2016 tentang penanggulangan
tuberkulosis, Data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari sistem
pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir baku secara manual
didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB
menggunakan sistem informasi elektronik. informasi.
Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di
wilayah tersebut. Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan
Sistem Informasi TB yang berbasis web dan diintegrasikan dengan sistem
informasi kesehatan secara nasional dan sistem informasi publik yang lain.
Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi masing-masing tingkatan
pelaksana.
Program pengendalian TB harus memelihara sistem catatan
terkomputerisasi (registry kasus) dengan informasi terkini tentang semua kasus
Page 53
39
TB di masyarakat. Hal ini untuk memastikan tindak lanjut dari semua pasien TB
dan orang-orang yang dicurigai menderita TB yang melakukan pengobatan di
pelayanan kesehatan. informasi yang tersedia berupa hasil apusan, kultum klinis,
hasil radigrafi dada, dan dosis obat yang diberikan harus diperoleh dan diperbarui
secara berkelanjutan (Elsayed, et al., 2015).
2.1.3 Kebijakan Penanggulangan Tuberkulosis
Pelaksanaan program Penanggulangan dan Pencegahan Tuberkulosis di
Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
67 Tahun 2016. Berdasarkan peraturan tersebut terdapat poin penting terkait
dengan pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis, antara lain:
1. Penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam
kerangka otonomi daerah dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat
manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana
dan prasarana).
2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan pedoman standar
nasional sebagai kerangka dasar dan memperhatikan kebijakan global untuk
PenanggulanganTB.
3. Penemuan dan pengobatan untuk penanggulangan TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang meliputi
Puskesmas, Klinik, dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) serta Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang meliputi: Rumah Sakit
Page 54
40
Pemerintah, non pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai
Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM).
4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB disediakan oleh
pemerintah dan diberikan secara cuma-cuma.
5. Keberpihakan kepada masyarakat dan pasien TB. Pasien TB tidak dipisahkan
dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. Pasien memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana individu yang menjadi subyek dalam
penanggulangan TB.
6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui penggalangan kerjasama dan
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan
masyarakat melalui Forum Koordinasi TB.
7. Penguatan manajemen program penanggulangan TB ditujukan memberikan
kontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan nasional.
8. Pelaksanaan program menerapkan prinsip dan nilai inklusif, proaktif, efektif,
responsif, profesional dan akuntabel.
9. Penguatan Kepemimpinan Program ditujukan untuk meningkatkan komitmen
pemerintah daerah dan pusat terhadap keberlangsungan program dan
pencapaian target strategi global penanggulangan TB yaitu eliminasi TB
tahun 2035.
2.1.4 Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
Page 55
41
promotif dan perventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Kebijakan yang mengatur Puskesmas
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat. Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan
oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan
nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah Puskesmas agar dapat
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan
Indonesia Sehat (Sjaaf & Darmawan, 2016).
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
membantu terwujudnya kecamatan sehat. Puskesmas menyelenggarakan fungsi
penyelenggaraan UKM tingkat pertama dan penyelanggaraan UKP tingakat
pertama di wilayah kerjanya
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada
seluruh masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas menjalankan beberapa usaha
pokok yang meliputi program: kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana,
pemberantasan penyakit menular, peningkatan gizi, kesehatan lingkungan,
pengobatan, penyuluhan kesehatan masyarakat, laboratorium, kesehatan sekolah,
perawatan kesehatan masyarakat, kesahatan jiwa, dan kesehatan gigi.
Tanggung jawab pelaksanaan Program Penanggulangan TB berada di
Kabupaten/Kota yang didukung fasilitas kesehatan primer yaitu Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTPRM), yaitu
Page 56
42
puskesmas dengan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopis dahak dan menerima rujukan. Dalam upaya penanggulangan
tuberkulosis, Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) terdiri dari:
1. Puskesmas Satelit (PS), puskesmas yang tidak memiliki laboratorium sendiri
dan berfungsi untuk melakukan pengambilan dahak, pembuatan sediaan
sampai fiksasi sediaan dahak.
2. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), puskesmas yang telah memiliki
laboratorium sendiri, berfungsi sebagai puskesmas rujukan dalam
pemeriksaan sediaan dahak dan pelaksanaan pemeriksaan dahak untuk TB.
3. Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), puskesmas pelaksana mandiri
berdasarakan geografis yang sulit dan berfungsi sama dengan puskesmas
rujukan hanya saja puskesmas ini tidak bekerja dengan puskesmas satelit.
Puskesmas harus menetapkan dokter, perawat, dan analis laboratorium
terlatih yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program Penanggulangan
TB. Penemuan dan pengobatan untuk penanggulangan TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Klinik dan dokter praktik
perorangan melakukan pencatatan dan pelaporan pasien TB kepada Puskesmas
setempat, kemudian Puskesmas harus melaporkan junlah pasien TB di wilayah
kerjanya kepada Dinas Kesehatan Kota Kabupaten/Kota.
2.1.5 Evaluasi Program
Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat
dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and
merit) dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk
Page 57
43
membantu membuat keputusan, membantu pertanggung jawaban dan
meningkatkan pemahaman terhadapa fenomena. Inti dari evaluasi adalah
penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan. Menurut Stark dan Thomas (1994:12), menyatakan
bahwa evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan,
analisis dan penyajian informasi yanga dapat digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan serta menyusus program selanjutnya.
Adapun tujuan dari evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang
akurat dan obyektif tentang suatu program. Informasi yang diperoleh dapat
berupa:
1. Evaluasi sebagai hasil yang difokuskan untuk pelaksanaan program itu
ssendiri, yaitu untuk mengambil keputuasan apakah program tersebut
dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan.
2. Evaluasi digunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya
maupun penyusunan kebijakan yang terkait dengan program.
Wujud dari hasil evaluasi yaitu adanya rekomendasi dari evaluator untuk
pengambilan keputusan. Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin
(2008:22), ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan
hasil evaluasi pelaksanaan program, yaitu:
1. Menghentikan program, karena dipandag bahwa program tersebut tidak ada
manfaatnya, atau tidak dapata terlaksanakan sebagaiamanyang diharapkan.
2. Merevisi program, karena terdapat bagian-bagaian yang kurang sesuai dengan
harapan (terdapat kesalahan tetapi sedikit).
Page 58
44
3. Melanjutkan program, karena pelaksana program menunjukkan bahwa segala
sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang
bermanfaat.
4. Menyebarkan program (melaksanakan program di tempat lain atau
mengulangi lagi laporan dilain waktu), karena program tersebut berhasil
dengan baik, maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu
yang lain.
Evaluasi program merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan
secara cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau keberhasila suatu
program dengan cara mengetahui efektivitas masing-masing komponennya, baik
terhadap progrma yang sedang berjalan aupun program yang telah berlalu.
Evaluasi program dapat dilakukan dengan melakukan penilaian secara sistematik,
rinci dan menggunakan prosedur yang telah diuji secara cermat. Dengan metode
tertentu akan diperoleh data yang handal, dapat dipercaya sehingga penentuan
kebijakan akan lebih tepat, dengan catatan data yang digunakan sebagai dasar
pertimbangan tersebut adalah data yang tepat, baik dari segi isi, cakupan, format
maupun tepat dari segi waktu penyampaian (Widoyoko, 2017).
Keberhasilan suatu program erat kaiatannya dengan kualitas masukan,
kualiatas proses, maupun kualitas hasil pelaksanaan program.
2.1.6 Dicrepancy Evaluation Model (DEM)
Dicrepancy Evaluation Model (DEM) merupakan model yang
dikembangkan oleh Malcolm Provous, yaitu model evaluasi yang berawal dari
asumsi bahwa untuk mengetahui kelayakan suatu program, evaluator dapat
Page 59
45
membandingkan antara apa yang seharunya dan diharapkan terjadi (Standard)
dengan apa yang sebenarnya terjadi (Performance), sehingga dapat diketahui ada
tidaknya kesenjangan (Discrepancy) antara keduanya yaitu standar yang
ditetapkan dengan kinerja sesungguhnya. Provus mengatakan “Evaluation is the
process of (a) agrreing upon program standar, (b) determining whether a
Discrepancy exist between some aspect of the program, and (c) using Discrepancy
information to identify the weaknesses of the program”. Evaluasi dilakukan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan antara beberapa aspek program dengan
standar yang ada dan informasi dari perbedaan tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi kelemahan program.
Model Provous ini bertujuan untuk menganalisis suatu program sehingga
dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan atau
sebaliknya dihentikan mementingkan terdefinisinya Standard, Performance, dan
Discrepancy secara rinci dan terukur. Evaluasi program yang dilaksankaan oleh
evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada disetiap komponen program
dengan terjabarnya kesenjangan disetiap komponen program maka langkah-
langkah perbaikan dapat dilakukan (Widoyoko, 2017).
Evaluasi dilakukan dengan mengukur penampilan (P = Performance) pada
setiap tahapan program, membandingkan dengan standar (S) yang telah
ditentukan, dan melakukan perbandingan adanya perbedaan (D = descrepancy),
kemudian pada setiap tahapan program yang akan diinterpretasikan untuk menilai
keberhasilan program disebut sebagai hasil evaluasi. Standar merupakan kriteria
yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan/program yang digunakan sebagai
Page 60
46
pedoman dalam pelaksanaan program tersebut. Performance merupakan hasil
pelaksanaan program yang dilakukan oleh implementor di suatu instansi.
Discrepancy merupakan kesenajangan yang dapat dievaluasi dalam program.
Discrepancy Evaluation Model (DEM) menjelaskan evaluasi sebagai proses yang
mencakup: (1) kesepakatan tentang standar-standar tertentu, (2) menentukan
ada/tidak kesenjangan yang muncul antara performasi dan sejumlah aspek
program dengan perangkat standar untuk performansi tersebut, (3) menggunakan
informasi tentang kesenjangan dalam memutuskan untuk mengembangkan atau
melanjutkan atau menghentikan program keseluruhan ataupun salah satu aspek
dari program tersebut (Naser & Utami, 2017).
Dalam model evaluasi ini, kebanyakan informasi yang diperoleh berbeda
dan dikumpulkan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Merencanakan bentuk penilaian, menentukan kemantapan suatu program.
2) Penilaian input, bertujuan membantu pihak pengurus dengan memastikan
sumber yang diperlukan mencukupi.
3) Proses penilaian, memastikan aktivitas yang direncanakan berjalan dengan
lancar dan memiliki mutu seperti yang diharapkan.
4) Penilaian hasil, judgement di tahap pencapaian suatu hasil yang
direncanakan.
Model ini merupakan suatu prosedur problem solving untuk
mengidentifikasi kelemahan (termasuk dalam pemilihan standar) dan untuk
mengambil tindakan korektif. Di dalam kasus suatu sistem yang kompleks
seperti suatu proyek, obyek evaluasi bisa belum jelas dan sukar untuk
Page 61
47
dipahami. Klarifikasi obyek evaluasi adalah sangat perlu untuk membuat
evaluasi tersebut terlaksana. Proses evaluasi pada langkah-langkah dan isi
kategori sebagai cara untuk mengidentifikasi perbandingan capaian program
dengan standar, pada waktu yang sama juga mengidentifikasi standar yang
digunakan untuk melakukan perbandingan di masa yang akan datang.
KERANGKA TEORI
Gambar 2.1 : Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Teori DEM (Discrepancy Evaluation Model) dalam Widoyoko (2017).
Evaluasi Program
Standar :
SOP pelaksanaan
program P2TB
1. Kegiatan Pengendalian
Tuberkulosis
2. Sumberdaya
3. Sistem Informasi
4. Koordinasi, Jejaring
kerja, dan Kemitraan
5. Peran Serta
Masyarakat
Performance:
Kesesuaian
kinerja petugas
kesehatan dengan
SOP program
P2TB
Discrepancy:
Hasil pelaksanaan program P2TB tidak
sesuai dengan Permenkes No. 67 Tahun
2016
Program pencegahan
dan penanggulangan
Tuberkulosis
1. Promosi kesehatan
2. Surveilans TB
3. Pengendalian
faktor resiko TB
4. Penemuan kasus
Tb
5. Penanganan kasus
TB
6. Pemberian
kekebalan
7. Pencatatan dan
pelaporan
8. Monitoring dan
evaluasi
9. Dukungan
masyarakat
Page 62
48
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 ALUR PIKIR
Gambar 3.1 Alur Pikir
Alur pikir dalam penelitian ini menggambarkan variabel-variabel yang akan
diukur dan diamati selama pnelitian. Variabel dalam kerangka teori semuanya
digunakan dalam penelitian ini, variabel yang diteliti diambil berdasarkan
permasalahan di tempat penelitian yang diketahui pada saat studi pendahuluan pra
penelitian dilakukan. Hal ini karena faktor-faktor dalam kerangka teori memiliki
Evaluasi Program
Standar :
1. Kegiatan
Pengendalian
Tuberkulosis
2. Sumberdaya
3. Sistem Informasi
4. Koordinasi, Jejaring
kerja, dan
Kemitraan
5. Peran Serta
Masyarakat
Performance:
Kesesuaian
kinerja petugas
kesehatan dengan
SOP program
P2TB
Discrepancy:
Hasil pelaksanaan program P2TB tidak
sesuai dengan Permenkes No. 67 Tahun
2016
Page 63
49
pengaruh yang besar terhadap evaluasi program yang berkaitan dengan interelasi
dan interaksi antara pembuat program dengan pelaksana program, maupun
komunikasi antara pelaksana program dengan kelompok sasaran.
3.2 FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian ini adalah evaluasi program pencegahan dan
penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Karangmalang. Penelitian dilaksanakan pada bulan september s/d november 2019.
Fokus dalam penelitian ini untuk menggambarkan kesenjangan dari kegiatan
pengendalian tuberkulosis; kelengkapan sumber daya; sistem informasi;
koordinasi, jejraing kerja dan kemitraan; serta peran serta masyarakat yang
dilakukan di Puskesmas dengan standar yang telah ditetapkan sebagai pedoman
pelaksanaan program P2TB. Fokus penelitian ini terdiri dari:
3.2.1 Standard
Standar dalam penelitian ini meliputi SOP kegiatan pengendalian
tuberkulosis; sumber daya (SDM, dana, sarana dan prasarana); sistem informasi;
koordinasi, jejearing kerja dan kemitraan; serta peran serta masyarakat. Standar
yang digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis dan Peraturan Walikota Semarang Nomor
39 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Tuberkulosis Tahun
2017-2021.
3.2.2 Performance
Page 64
50
Performance dalam penelitian ini menunjukkan petugas pelaksana program
P2TB di Puskesmas yang meliputi perawat/pemegang program, petugas
laboratorium, dan gasurekes yang melaksanakan program P2TB sudah atau belum
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah terkait
dengan kegiatan pengedalian tuberkulosis; kelengkapan sumber daya; sistem
informasi; koordinasi, jejaring kerja dan kemitraan; serta peran serta masyarakat
dalam melakukan kegiatan-kegitan program P2TB di Puskesmas Purwoyoso dan
Puskesmas Karangmalang Kota Semarang.
3.2.3 Discrepancy
Discrepancy/Kesenjangan yaitu hasil perbandingan antara standar dengan
performance dalam pelaksana program P2TB di Puskesmas Purwoyoso dan
Puskesmas Karangmalang Kota Semarang.
3.3 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif
yang dilaksanakan dengan melakukan telaah berbagai data sekunder yang
terkumpul (Nugraini, 2015). Penelitian deskriptif dilakukan terhadap sekumpulan
objek yang biasanya bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk
kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu. Pada umumnya
penelitian deskriptif digunakan untuk membuat penilaian terhadap suatu kondisi
dan penyelanggaraan suatu program di masa sekarang, kemudian hasilnya
digunakan untuk menyusun perencanaan perbaikan program tersebut
Page 65
51
(Notoatmodjo s. , 2012).
Peneliti bermaksud mengumpulkan data tentang evaluasi progran
Pencegahan dan Penanggulangan TB. Evaluasi yang dilakukan peneliti
mengetahui suatu obyek yang evaluasi dapat dipertahankan, ditingkatkan,
diperbaiki atau bahkan diberhentikan sejalan dengan data yang diperoleh.
Penelitian ini digunakan untuk membandingkan antara standar penanggulangan
TB dengan kinerja petugas di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Karangmalang.
3.4 SUMBER INFORMASI
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan data
sekunder yang akan diolah menjadi informasi sesuai yang dibutuhkan.
3.4.1 Data Primer
Data primer merupakan keterangan atau fakta-fakta yang didapat secara
langsung oleh peneliti dari objek atau informan yang diteliti. Penetapan informan
dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive
sampling merupakan penentuan informan yang didasarkan pada suatu
pertimbangan tertentu, dimana informan tersebut yang dianggap paling tahu
tentang apa yang diharapkan oleh peneliti atau informan tersebut sebagai
penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek yang diteliti
(Sugiyono, 2016). Infroman dalam penelitian ini adalah orang yang terlibat dalam
pelayanan program P2TB di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Page 66
52
Karangmalang yang terdiri informan utama dan informan Informan Triangulasi.
Infroman utama penelitian ini, antara lain:
1. Pemegang program P2TB
2. Petugas laboratorium
3. Gasurkes
4. Kader kesehatan Tuberkulosis
Infroman Informan Triangulasi penelitian ini, yaitu:
1. Pemegang prongram P2TB di Dinas Kesehatan Kota Kota Semarang
2. Pengawas Minum Obat penderita TB
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat oleh peneliti dari orang lain atau
pihak lain. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari Dinas
Kesehatan Kota Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Kota Kota Semarang,
Puskesmas di Kota Semarang, dan data lainnya yang relevan dengan kebutuhan
tujuan penelitian. Selain itu, juga didapatkan dari literatur-literatur yang relevan,
buku-buku, penelusuran data online dengan pencarian data melalui fasilitas
internet terkait dengan topik penelitian.
3.5 INSTRUMEN PENELITIAN DAN TEKNIK PENGAMBILAN DATA
3.5.1 Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah
peneliti itu sendiri yang berfungsi untuk menetapkan fokus penelitian, memilih
Page 67
53
informan sebagai narasumber data, melakukan pengumpulan data, menilai
kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan
temuannya. Permasalahan awal penelitia kualitatif belum jelas dan pasti, tetapi
setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan
instrumen, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan
data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara (Sugiyono, 2016).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu panduan wawancara
yang berisikan panduan pertanyaan untuk ditujukan kepada informan penelitian.
Lembar ceklist diberikan kepada petugas laboratorium untuk melakukan
pengecekan ketersediaan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan
Laboratorium di Puskesmas. Hali ini untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari
program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis telah tercapai, apakah
terdapat perbedaan pencapaian program tersebut dengan standar yang telah
ditentukan. Alat perekam yang digunakan untuk merekan proses wawancara,
lembar dokumentasi, lembar observasi, kamera telepon, dan alat tulis.
3.5.2 Teknik Pengambilan Data
Penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang
alamiah, yang mana sumber data lebih banyak diperoleh dari hasil observasi dan
wawancara mendalam dan dokumentasi (Sugiyono, 2016). Teknik pengambilan
data yang dilakukan dalam penelitian yaitu:
3.5.2.1 Wawancara Mendalam
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini `adalah wawancara
mendalam atau id-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila
Page 68
54
dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini adalah
untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak
wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara
peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mecatat apa yang dikemukakan oleh
informan.
3.5.2.2 Observasi
Tahap observasi ini peneliti telah menguraikan fokus yang ditemukan
sehingga datanya lebih rinci. Dengan melakukan analisis komponensial terhadap
fokus, maka pada tahap ini peneliti telah menemukan karakteristik, kontras-
kontras/perbedaan dan kesamaan antar kategori, serta menemukan hubungan
antara satu kategori dengan kategori yang lain. Peneliti akan lebih mampu
memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sehingga akan didapatkan
pandangan holistik atau menyeluruh (Sugiyono, 2016).
3.5.2.3 Dokumentasi
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi
dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil observasi penelitian, wawancara
mendalam, dan pemeberian angket akan lebih dapat dipercaya jika didukung
dengan gambar, tulisan, atau karya seni menumental dari objek yang diteliti
(Sugiyono, 2016).
3.6 PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan penelitian, yang meliputi
Page 69
55
tahap persiapan, tahap pra penelitian, dan tahap pasca penelitian.
3.6.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu:
1. Studi pendahuluan untuk mencari data awal melalui mengumpulkan
dokumen-dokumen yang relevan, profil kesehatan, dan informasi kesehatan.
2. Merumuskan permasalahan yang ingin diteliti, kemudian membuat
rancangan penelitiannya.
3. Menyusun proposal penelitian
4. Melakukan proses perizinan dan koordinasi dengan petugas di instansi
kesehatan baik Dinas Kesehatan Kota Kota Semarang maupun Puskesmas
terkait program P2TB
5. mempersiapkan lembar wawancara mendalam yang berisi pertanyaan
tentang program Penanggulangan dan Pencegahan Tuberkulosis serta
perlengkapan dokumentasi.
3.6.2 Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dalam penelitian ini meliputi:
1. Menyerahkan surat ijin penelitian dan koordinasi dengan pihak Puskesmas
terkait dengan penelitian yang akan dilakukan.
2. Melakukan proses pengambilan data baik onservasi lingkungan penelitian,
wawancara mendalam baik pada informan utama maupun informan
Informan Triangulasi, dan dokumentasi proses penelitian terkait program
P2TB di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang Kota
Semarang.
Page 70
56
3. Setelah semua data telah diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pengolaham
dan analisis data
3.6.3 Tahap Pasca Penelitian
Tahap pasca penelitian ini, data yang telah diperoleh dari hasil penlelitian
dilakukan tahap analisis data. Langkah selanjutnya melakukan penyajian data
secara kualitatif dan penarikan hasil kesimpulan penelitian.
3.7 PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA
Keabsahan data dalam penelitian kualitatif diuji untuk mengukur derajat
kepercayaan hasil penelitian yang dilakukan.pengujian keabsahan data kualitatif
menggunakan validitas internal pada aspek nilai kebenaran, validitas eksternal
pada aspek penerapan, dependability pada aspek konsistensi, dan obyektifitas
pada aspek netralitas (Sugiyono, 2017).
Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
Informan Triangulasi sumber. Teknik Informan Triangulasi sumber digunakan
untuk menguji kredibilitas data dengan melakukan pengecekan data yang telah
diperoleh melalui beberapa sumber. Informan Triangulasi akan dilakukan pada
pemegang program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di Dinas
Kesehatan Kota Kota Semarang, anggota Keluarga penderita TB yang menjadi
PMO, dan data sekunder.
Page 71
57
3.8 TEKNIK ANALISIS DATA
Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis dari data hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menysun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Analisis data
dalam penelitian ini menggunakan analisis data di lapangan Model Miles and
Huberman, meliputi reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan/verifikasi.
3.8.1 Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang merangkum,
memfokuskan, menggolongkan, mengarahkan, menghilangkan yang tidak
dibutuhkan, dan mengorganisasi dengan cara sedemikian rupa sehingga
kesimpulan akhir dapat daitarik dan verifikasi. Dengan demikian, data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan akan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila
diperlukan (Sugiyono, 2016).
3.8.2 Penyajian Data
Penyajian data dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hunungan natar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Penyajian data
yang sering digunakan berupa teks yang bersifat naratif, dengan demikian akan
memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, kemudian merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
Page 72
58
3.8.3 Kesimpulan/Verifikasi
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan berikutnya. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi
atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya belum jelas sehingga setelah diteliti
menjadi lebih jelas, dapat berupa hubngan kausal atau interaktif, hipotesis atau
teori. Kesimpulan akan kredibel bila didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten.
Page 73
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 PUSKESMAS PURWOYOSO
4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas Purwoyoso
Puskesmas Purwoyoso merupakan salah satu Puskesmas Induk non
perawatan di Kecamatan Ngaliyan dengan luas tanah 812M2 dengan luas wilayah
kerja 269,52 Km2. Adapun wilayah kerja Puskesmas Purwoyoso dibagi menjadi 2
keluarahan, yaitu:
4.1.1.1 Kelurahan Purwoyoso
4.1.1.2 Kelurahan Kalipancur, batas wilayah kerja Puskesmas Purwoyoso terdiri
dari:
1) Sebelah utara : Kelurahan Krapyak
2) Sebelah Selatan : Kelurahan Sadeng
3) Sebelah Timur : Kelurahan Kembang Arum
4) Sebelah Barat : Kelurahan Tambakaji dan Kelurahan Ngaliyan
Sebagai puskesmas BLUD (Badan layanan Umum Daerah) Puskesmas
Purwoyoso memiliki sarana dan prasarana untuk menunjang kinerja dan
pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Purwoyoso antara lain sebagai berikut :
Tabel 4.3 Sarana dan Prasarana Kesehatan di Puskesmas Purwoyoso
No JENIS SARANA JUMLAH
A. Sarana Kesehatan
1. Posyandu Balita 30
2. Posyandu Lansia 28
3. Dokter Praktek Swasta 12
Page 74
60
4. Dokter Gigi Praktek 1
5. Apotek 4
6. Laboratorium Klinik 5
7. Forum Kesehatan Kelurahan (FKK) 2
8. Bidan Praktek Mandiri (BPM) 11
9. Kader TB 10
B. Sarana Pendidikan
1. TK 20
2. SD 13
3. SMP 3
4. SMA 1
5. PT/ Akademi 0
Tabel 4.4 Jenis Layanan di Puskesmas
NO JENIS PELAYANAN JENIS KEGIATAN
A. Upaya Kesehatan Perorangan
1 Pemeriksaan Umum
Pengobatan, Konsultasi, Pelayanan Lansia,
Pemeriksaan Umum, Pelayanan TB Paru,
Rujukan Tindakan KIR Haji, KIR Kesehatan
2 Kesehatan Ibu dan
Anak/KB
Pemeriksaan Rutin, Pemeriksaan ANC
Konseling KB, Pelayanan KB, IUD, Implant,
Kondom, Suntik, Pil, konseling HIV/ AIDS dan
Hepatitis, Pemeriksaan IMS, Imunisasi Anak,
Imunisasi Capeng, Imunisasi Bumil, Imunisasi
WUS (Wanita Usia Subur), MTBS, MTBM,
gizi Konseling, Rujukan
3 Kesehatan Gigi dan
Mulut
Konsultasi, Pemeriksaan Gigi, Pengobatan,
Penambalan Gigi, Pencabutan Gigi,
Pembersihan Karang Gigi, Rujukan
4 Gawat Darurat Kegawat Daruratan
5 Konseling Konseling gizi, KBM, Sanitasi, menyusui,
remaja
6 Laboratorium
Darah Lengkap (Hb, Leukosit, Trombosit),
Kimia Darah (GDP, GDS, GD2JPP), Urine
Lengkap (Urine Makros, Urine Mikros),
HIV/AIDS, Hepatitis, Pemeriksaan Sputum,
IMS
Page 75
61
NO JENIS PELAYANAN JENIS KEGIATAN
7 Farmasi Peracikan obat dan pengambilan obat
B. Upaya Kesehatan Masyarakat Wajib
1 Promosi Kesehatan
a. UKS : Penjaringan Anak Sekolah
b. UKGMD : Penyuluhan di Posyandu
c. PHBS
d. Kelurahan Siaga
e. Refreshing kader
2 Kesehatan Lingkungan
Pemeriksaan Tempat-Tempat Umum,
Pemeriksaan Tempat Pengolahan Makanan,
Pemeriksaan Sanitasi Rumah, Pemeriksaan
Depo Air Minum, Pemeriksaan Kualitas Air,
Pengelolaan Sampah Medis, Pengelolaan
Sampah Non Medis
3 Gizi Masyarakat
Pelacakan Gizi Buruk, Vitamin A, PMT Ibu
Hamil KEK, PMT Balita Kurang, gizi buruk,
Gizi, Pemeriksaan Garam Beryodium,
Posyandu balita, Lansia : Senam Lansia,
Posyandu Lansia.
4 Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit
a. TB/ Kusta : Survey Kontak
b. P2B2 : Penyelidikan Epidemologi DBD,
c. Malaria, Fogging, Abatisasi, Survey Angka
Bebas Jentik
d. Diare : survailance
e. PTM : Posbindu
f. HIV/IMS : Screening Ibu Hamil
g. Imunisasi : BIAS (Bulan Imunisasi Anak
Sekolah)
h. Prolanis
i. VCT : Voluntary Consulting Test
Page 76
62
NO JENIS PELAYANAN JENIS KEGIATAN
5 KIA-KB Masyarakat
a. Kesehatan Anak : DDTK, Penjaringan
b. Kesehatan Remaja : Konseling Remaja,
Penyuluhan Narkoba dan HIV AIDS
a. Kesehatan Ibu : Kunjungan Ibu Nifas,
Kunjungan Ibu Hamil Resiko Tinggi, Kelas
Ibu Hamil
4.1.2 Kegiatan Pengendalian Tuberkulosis
Kegiatan pengendalian Tuberkulosis menurut Permenkes RI Nomor 67
Tahun 2016 terdiri dari promosi kesehatan, surveilans Tuberkulosis, pengendalian
faktor risiko, penemuan dan penangnan kasus, dan pemberian kekebalan. Petugas
Pelayanan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso terdiri dari pemagang program
Tuberkulosis, petugas laboratotium, gasurkes, dan kader TB.
Berikut merupakan hasil dari evaluasi kegiatan penanggulangan
Tuberkulosis berdasarkan wawancara yang telah dilakukan sebagai berikut:
4.1.2.1 Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dalam penanggulangan TB menurut Permenkes RI
Nomor 67 Tahun 2016 diselenggarakan dengan strategi pemberdayaan
masyarakat, advokasi dan kemitraan. Pemberdayaan masyarakat yaitu
memberikan informasi TB secara terus-menerus kepada pasien TB, keluarga dan
kelompok masyarakat melalui komunikasi efektif, demontrasi (praktek),
konseling dan bimbingan yang dilakukan baik di dalam layanan kesehatan
Page 77
63
ataupun saat kunjungan rumah dengan memanfaatkan media komunikasi seperti
lembar balik, leaflet, poster atau media lainnya. Berdasarkan hasil wawancara
dengan pemegang program TB di Dinas Kesehatan Kota diperoleh informasi
bahwa Dinas Kesehatan Kota Kota telah memberikan sosialisasi kepada petugas
Puskesmas terkait dengan program P2TB melalui event-event yang ditujukan
kepada pemegang program dan petugas laboratorium fasilitas kesehatan. Adapun
kutipan wawancara mendalam yang dilakukan kepada Informan Triangulasi 1
sebagai berikut:
“sosialisasi program TB di temen-temen pengelola program di Puskesmas itu
dilaksanakan melalui event-event. Banyak diikuti oleh pemegang program.
Termasuk petugas Labnya itu juga secara rutin dilaksanakan per 3 bulan, termasuk
programer TB baik yang ada di Puskesmas maupun Rumah Sakit”.
Informan Triangulasi 1
Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Kota kepada
pelaksana program P2TB di Puskesmas sudah berjalan dengan baik, tetapi dalam
pelaksanaannya masih terdapat kendala. Berikut kutipan hasil wawancara yang
dilakukan:
“Kendalanya adanya mutasi dari pengelola program lama ke pengelola program
baru ya. Kalau ada pergantian petugas yang baru, kan petugas yang baru itu belum
mendapatkan pemahaman yang memadai tentang program-program
penanggulangan TB”.
Informan Triangulasi 1
Informasi dari sosialisasi yang diberikan oleh DKK tersebut, kemudian
akan disampaikan kepada petugas kesehatan pelayanan TB di Puskesmas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama di Puskesmas terkait
Page 78
64
dengan promosi kesehatan yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa pemegang
program TB di Puskesmas telah melakukan sosialisasi ke pasien yang berobat di
Puskesmas dan masyarakat melalui pertemuan-pertemuan kelompok dengan
menggunkan media komunikasi langsung, leaflite, lembar balik, dan video audio
visual. Berikut merupakan kutipan wawancara dengan informan utama:
“Sosialisasi sendiri ada 3 tipe. Ada tipe yang langsung to the point ke masyarakat,
ada tipe yang kita lewat tenaga pendidik, ada dari kader, dan juga dari Pos TB di
Puskesmas.... kemudian teman-teman gasurkes ke masyarakat... kalau
dimasyarakat kita seringnya komunikasi secara langsung, ada beberapa media
seperti leaflet sama video buat ditunjukin ke masyarakatnya”.
Informan utama 1
“Kita penyuluhan ke warga memberikan informasi tentang TB. Forum
penyuluhannya itu ya di PKK, Kelurahan, RT, RW, sekolahan ke guru-guru...
media yang digunakan lembar balik, leaflet, kalau disekolah itu LCD buat PPT”.
Informan utama 3
“Kalau Puskesmas itu kita kan ada pertemuan kader Puskesmas, nah mereka
biasanya ada berbagai macam sosialisasi termasuk TB. Setelah program PKK
disampaikan kami memposisikan diri selaku kader di FKK menyampaikan
sosialisasi TB... biasanya kita ke pertemuan RT, RW, sama dawis... biasanya
leaflet terus pakai lembar balik ya itu aja”.
Informan utama 4
Menurut hasil wawancara dengan PMO diperoleh informasi bahwa pasien
TB dan PMO mendapat sosialisasi ketika periksa di Puskesmas, tidak mengetahui
adanya sosialisasi di lingkungan sekitarnya.
“Saya tahu penyakit TB saat periksa di Puskesmas mbak... kalau disekitar sini
saya tidak pernah tau ik mbak... medianya ndak ada mbak, ya ngomong kaya gitu
dikasih tahu”.
Informan Triangulasi 2
Page 79
65
“Saya dikasih tau kena sakit TB waktu periksa ke Puskesmas itu mbak... saya
ndak pernah tahu kalau penyuluhan tentang TB seperti itu di lingkungan saya...
ngomong langsung mbak, kaya gini ngobrol”.
Informan Triangulasi 3
Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa sosialisasi yang diterima
oleh Informan Triangulasi tentang penyakit TB, pada saat melakukan pemeriksaan
di Puskesmas. Informan Triangulasi tidak mengetahui adanya sosialisasi
pencegahan dan penanggulangan TB yang dilakukan oleh informan utama di
lingkungannya. Media komunikasi yang lebih sering digunakan yaitu komunikasi
langsung, sedangkan media yang lain kurang optimal dalam penggunaanya.
Tenaga kesehatan di Puskesmas Purwoyoso telah melakukan advokasi dan
kerjasama dengan pemangku kebijakan setempat. Adapun hasil wawancara yang
dilakukan dengan narasumber sebagai berikut:
“Kita e... kerjasama dengan Lurah, dengan Camat untuk e... apa namanya
melakukan penanggulangan ataua pengendalian TB. Biasanya memang e... apa ya,
antar instansi itu kita sudah ada scedule untuk rapat e... apa namanya P2M di
wilayah kecamatan ngaliyan. Nah itu, kami semua datang kesitu mengsharekan
ilmu kami, mengsharekan ini lho kebijkan-kebijakan TB ayng kita lakukan”.
Informan utama 1
“Oh ya pasti itu, kalau ndak kerjasama kita susah masuknya. Ya gitu aja kita ijin
pakai surat tugasnya, kalau ndak diijinkan ya ndak dilakukan kerjasama”.
Informan utama 3
“Oh iya pasti-pasti, kalau kerjasama ya pasti dengan Pak Lurah. Misalnya ada
program penanggulangan TB apa nih atau ada inovasi lain, kita pasti
diikutsertakan sedangkan petugas Puskesmas yang menembusi ke Pak Lurahnya”.
Informan utama 4
Page 80
66
Hasil wawancara yang dilakukan dengan PMO, diperoleh informasi bahwa
Informan Triangulasi tidak mengetahui adanya kerjasama yang dilakukan oleh
petugas Puskesmas dengan pemangku kebijakan setempat. Kutipan wawancara
yang dilakukan sebagai berikut:
“Mungkin ada ya mbak, saya sendiri kurang tahu kalau itu mbak”.
Informan Triangulasi 2
“Tidak tau mbak saya, ya mungkin bekerjasama ya mbak”.
Informan Triangulasi 3
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber
diketahui bahwa sosialisasi yang dilakukan masih belum optimal karena terdapat
hambatan dari hasil sosialisasi yang telah dilaksanakan yaitu (1) Informan
Triangulasi-1 memberikan sosialisasi berulang setiap terjadi pergantian petugas
lama dengan petugas yang baru agar memiliki pemahaman yang setara dan
memadai terhadap pengelolaan-pengelolaan program; (2) informasi dari
sosialisasi belum menyeluruh sehingga masyarakat tidak mengetahui tentang
penyakit TB dan penanggulangannya. Informan Triangulasi-2 dan Informan
Triangulasi-3 hanya mendapatkan sosialisasi ketika periksa di Puskesmas saja.
Ketika dilakukan wawancara singkat dengan warga yang tinggal di 4 rumah
sekitar penderita TB, diperoleh informasi bahwa belum ada petugas Puskesmas
ataupun kader kesehatan yang mengunjungi rumah warga untuk memberikan
penyuluhan tentang penyakit TB; (3) media komunikasi yang digunakan kurang
mencukupi sehingga komunikasi yang sering digunakan dalam sosialisasi yaitu
komunikasi langsung.
Page 81
67
4.1.2.2 Surveilans Tuberkulosis
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit TB, yang
diperoleh dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau diperoleh langsung dari
masyarakat atau sumber data lainnya. Beradasarkan hasil wawancara dengan
informan utama diketahui bahwa kegiatan surveilans TB dilakukan melalui sistem
Semar Betul yangmana didalamnya terdapat informasi tentang kondisi pasien dan
penemuan kasus TB yang berasal dari laporan gasurkes, masyarakat langsung
yang periksa ke Puskesmas, serta Rumah Sakit atau Balkesmas. Gasurkes dalam
melakukan kegiatan surveilans TB yaitu dengan melakukan skrining terjun
langsung dimasyarakat melalui kegiatan ketuk pintu ke rumah-rumah warga.
Gasurkes bekerjasama dengan kader TB dalam melakukan kegitan tersebut.
Berikut kutipan wawancara yang dilakukan sebagai berikut:
“...saya di sini punya sistem namanya Semar Betul, jadi e... sistem ini kita bisa
tahu dari mana apa namanya TB itu di kirimkan ke kami baik itu dari teman-
teman Gasurkes, entah itu dari masyarakat langsung atau dari instansi lain misal
Rumah Sakit atau Balkesmas mengirim ke kami, kami sudah bisa tahu kondisi
pasiennya... banyak masyarakat yang masih berstigma bahwa TB itu akan mati,
jadi e... HIV dan TB sangat sulit untuk kita temukan karena banyak masyarakat
yang masih berstigma TB-HIV pasti mati... Orang-orang TB kan biasanya oh...
punya penyakit miskin nih gitu kan, nanti dia nggak malu ke kita gitu...
kepedulian mereka masih sangat kurang tentang pasien TB…”.
Informan utama 1
“Oh kita tu skrining terjun langsung ke masyarakat, kita jadi wawancara gitu...
Jadi, skriningnya itu kita ketuk pintu ke rumah-rumah terus kalau kita di PKK
juga ngomong... Jadi, kita biasanya kerjasama sama kader TB kalau
menemukan dia laporan ke kita kalau kita menemukan juga laporan ke ibunya
ke kadernya saling kerjasama. Kadang kalau kader melakukan kunjungan
rumah ke penderita TB kita mendampingi…”.
Page 82
68
Informan utama 3
“Ketuk pintu itu gini, kita kan ada kader e.. kita kan ada pertemuan Paguyuban
Keluarga Berencana disitu yang hadir kan kader-kader kesehatan, nah mungkin
kita bisa mendampingi misal hari ini ada berapa rumah gitu itu tidak dilakukan
tidak hanya kita kader-kader yang tadi tapi ada bantuan dari warga... Ya itu tadi
mbak, gasuekesnya mendampingi tapi kadang-kadang.
Informan utama 4
“...kita kan kalau di PKK dawis, PKK RW, atau PKK Kelurahan kaya gitu
selalu ada Gasurkes yang menyampaikan terus nantikan disampiakan lagi ke
pihak RT ngoten to mbak... Biasanya bilang ke bu Bandono, saya, atau
Gasurkes yang kesana. Kalau ilmunya dari itu dari rakor PKK Kelurahan,
mereka kan memberi sosialisasi terus diturun kan ke RW terus ke RT baru ke
warga...”.
Informan utama 5
Menurut hasil wawancara dengan Informan Triangulasi diperoleh
informasi bahwa Informan Triangulasi 2 baru kali mendapatkan kunjungan rumah
oleh kader TB, sedangkan Informan Triangulasi 3 sudah mendapatkan 6 kali
kunjungan selama 3 bulan masa pengobatan. Berikut kutipan wawancara dengan
Informan Triangulasi:
“...pernah mbak sekali itu sama e... kadernya, itu ditanya keluhannya apa
setelah minum obatnya terus disaranin makannya yang banyak yang sehat gitu
gitu, setelah ini belum ada lagi mbak. Ya baru 1 kali itu ya berarti, di rumah itu
1 kali ini”.
Informan Informan Triangulasi 2
“Kalau di Puskesmasnya ya sekali itu, kalau sama bidannya yang dulu itu 6 kali
mbak datang kesini mbak.
Informan Informan Triangulasi 3
Page 83
69
Berdarsarkan hasil wawancara diketahui bahwa kegiatan surveilans
Tuberkulosis sudah dilaksanakan sesuai dengan standar. Akan tetapi kendala
dalam pelaksaannya masih belum bisa teratasi oleh petugas kesehatan karena
untuk meningkatkan kepedulian dan keterbukaan terhadap pasien TB masih
rendah. Selain itu, kunjungan yang dilakukan petugas kesehatan maupun kader
TB belum menyeluruh karena adanya ketidaksamaan jumlah kunjungan yang
diterima oleh pasien TB dalam masa pengobatan yang sama.
4.1.2.3 Pengendalian Faktor Risiko
Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk mencegah, mengurangi
penularan dan kejadian penyakit TB. Upaya yang dilakukan antara lain: a)
pengendalian kuman penyebab TB, b) pengendalian faktor risiko individu c)
pengendalian faktor lingkungan; d) pengendalian secara manajerial, dan e)
pengendalian secara administratif. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan
utama di Puskesmas diperoleh infromasi bahwa telah dilakukan beberapa upaya
untuk pengendalian faktor risiko TB baik pada individu, masyarakat, maupun
Puskesmas. Kutipan wawancara yang dilakukan dengan narasumber sebagai
berikut:
“Pertama kita obati pasiennya, kita beri sosialisasi mengenai bagaimana cara
penularan. Faktor resikonya, pertama setelah ada ditemukan pasien dengan TB
jadi kita akan melakukan investigasi kontak tiap-tiap rumah yang disekitar pasien.
Terdapat SOP mengenai alur pasien batuk dan alur pelaporan. Kami memberikan
penyuluhan etika batuk yang baik dan benar kepada pasien maupun pengunjung...
kendalanya itu pasien TB jarang yang menggunakan masker, mereka pakai masker
kalau keadaan tertentu saja”.
Informan utama 1
“Misal ada yang positif TB, kita skrining datang minimal 10 rumah. jadi, kalau
Page 84
70
kunjungan rumah itu yang dilihat lingkungannya juga, dilihat kondisi rumahnya
juga, terus tata letak rumahnya. Sosialisasi tentang bahaya TB dan cara
penanggulangannya gitu aja. Susahnya itu kalau sama yang pasien TB itu disuruh
pakai masker sulit”.
Informan utama 3
“Ya tetep kita sosialisasi... terus untuk rumah itu kan juga misalnya pagi hari
supaya udara masuk dibuka juga, terus memberi keluarga makanan yang sehat
sama pengolahannya yang baik. Kita tekankan tidak hanya penyakitnya tetapi
juga cara pencegahannya bagaimana biar tidak tertular itu yang penting”.
Informan utama 4
“Setiap hari suruh pakai masker terus jangan terlalu dekat sama si kecil karena
kan sangat rentan. Anak saya yang kecil ini juga dikasih vaksin sama petugas
Puskesmasnya. perlatan makan dipisah jangan digabung, kalau batuk bekas buat
bersihinnya itu dibuang di tempat pembuangan. Kalau pakai maskernya yang
jarang mbak Bapak, katanya ndak nyaman gitu. Kalau penyuluhan di lingkungan
sini saya ndak tau mbak kalau tentang TB. Iya pernah mbak lihat penyuluhan
batuk di Puskesmas”.
Informan Triangulasi 2
“Selalu pakai masker kalau kemana-mana, alat-alat makan sama minum itu
dipisahkan jangan dicampur sama keluarga yang lainnya. Ya ibu kadang-kadang
kalau pakai maskernya. Penyuluhan di sekitar sini saya tidak tahu mbak, saya
tidak perah ikut kaya kumpul-kumpul soalnyakan ngurus rumah. penyuluhan
batuk kalau saya ya dikasih tau mbak, tapi kalau orang lain saya ndak pernah tau”.
Informan Triangulasi 3
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan diketahui bahwa
kegiatan pengendalian yang dilakukan sudah sesuai dengan standar. Petugas TB
melakukan sosialisasi tentang cara pengendalian penyakit TB saat pasien
melakukan pengobatan di Puskesmas, sedangkan gasurkes dan kader TB
melakukan sosialisasi pada saat melakukan kunjungan rumah ketika investigasi
Page 85
71
kontak. informasi yang disampaikan yaitu cara mencegah penularan penyakit TB
didalam rumah, kondisi lingkungan, dan etika batuk yang benar. Akan tetapi,
kesadaran pasien TB dalam menggunakan masker masih kurang dan Informan
Triangulasi tidak pernah mengetahui adanya penyuluhan kesehatan tentang
penyakit TB dilingkungannya.
4.1.2.4 Penemuan dan Penanganan Kasus
Penemuan kasus TB dilakukan secara aktif dan pasif melalui investigasi
kontak dan skrining. Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB dilakukan
melalui kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata rantai penularan dan/atau
pengobatan pasien. Tata laksana penanganan kasus dapat dilaksanakan melalui
pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
pengawasan kepatuhan menelan obat, pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil
pengobatan, dan/atau pelacakan kasus mangkir. Berdasarkan hasil wawancara di
peroleh informasi bahwa penemuan kasus diperoleh dari beberapa laporan yang
didapat petugas kesehatan dilapangan. Pemberian obat dilaksanakan sesuai
dengan kategori sakit pasien TB, informan utama melakukan kerjasama dengan
PMO dalam pengawasan minum obat yang berasal dari anggota kelarga pasien
TB, pelacakan pasien mangkir dilakukan oleh gasurkes maupaun kader. Kutipan
wawancara dengan narasumber sebagai berikut:
“Penemuan kasus itu ada dari masyarakat yang terduga TB memeriksakan
dirinya ke Puskesmas, ada laporan dari kader bawa hasil skrining, ada yang dari
gasurkes, kemudian ada juga laporan dari Rumah Sakit... Kalau untuk di
Puskesmas sendiri kita melakukan TCM, jadi itu yang dilakukan utuk
pemeriksaan tes TB. Jadi, kita punya semacam sistem e... semacam kapan
mereka harus periksa dahak dan kapan mereka harus ambil obat jadwalnya
sudah ada. Pemberian obat sesuai dengan kategori sakit TBnya seperti yang ada
Page 86
72
di Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016. PMO pasien TB berasal dari keluarga
mereka kita kasih edukasi. Kami akan menugaskan gasurkes untuk kunjungan
rumah, kemudian menanyakan penyebab pasien mangkir...”.
Informan utama 1
“Pasien yang sudah batuk 2 minggu mereka di suruh datang ke sini terus
kita ambil sampel dahaknya… Satu yang bangun tidur dan yang satu
untuk sewaktu (SPS). Nah, yang bangun tidur itu e... dipakai untuk
pemeriksaan TCM. Saat ini yang memiliki TCM kebetulan hanya 2 yaitu
Rumah sakit Tugu dan Rumah Sakit Karyadi... Biasanya kalau sudah
pengobatan karena kan pengobatan itu ada 2 tahap yaitu tahap 1 dan ada
tahap 2. Begitu tahap 1 selesai dia cek mikroskopis, nah disitu kita
membutuhkan mikroskopisnya disitu setelah pengobatan… Selama
pengobatan itu kan yang pertama diagnosa, kedua follow up di bulan
kedua, bulan ketiga, bulan kelima, dan di akhir pengobatan. Jadi, ada 4
kali pemantauan pengobatan”.
Informan Utama 2
“Kita melakukan skrining untuk mendapatkan suspek dimasyarakat dengan cara
ketuk pintu ke rumah-rumah... kalau ada pasien mangkir, ya kita nanti
kunjungan rumah ke pasien mangkir tersebut”.
Informan utama 3
“Kalau saya mencari dengan dengan cara ketuk pintu ditiap RW. Jadi, ketuk
pintu itu misalnya ada yang batuk kita nanti skrining ringan. Selain jadi kader
kan kita juga dilatih untuk pemantauan minum obat kan...”
Informan utama 4
Berdasarkan hasil wawancara dengan PMO diperoleh informasi bahwa
terbatasnya informasi yang diketahui oleh PMO tentang upaya penemuan kasus
yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Sedangkan penanganan kasus yang
dilakukan oleh PMO sudah sesuai dengan saran yang diberikan oleh petugas
kesehatan di Puskesmas. Komunikasi yang terjalin antara petugas TB di
Page 87
73
Puskesmas dengan PMO berjalan dengan baik. Kutipan wawancara yang
dilakukan dengan Informan Triangulasi sebagai berikut:
“Kurang tau nek itu mbak, saya taunya sakit TB ya Bapak aja. Petugasnya
bilang, ya itu to periksa dahak, terus minum obatnya yang rutin, nanti beberapa
bulan lagi datang ke Puskesmas buat periksa dahaknya lagi. Ya lewat WA mbak
komunikasinya, jadi kalau Bapak ada keluhan apa nanti saya langsung tanya ke
petugas Puskesmasnya lewat WA tadi. Kadang saya yang kesana tapi kadang ya
Bapak yang kesana sendiri buat ambil obatnya. Pas saya nganter Bapak periksa
di Puskesmas dulu itu mbak, saya disuruh buat ngawasi terus pas minum obat
setiap hari, jangan sampai lupa ndak minum obat...”
Informan Triangulasi 2
“Penemuan penderita TB saya ndak tahu mbak nek itu. Ya dahaknya itu nanti
diperiksa dulu di laboratorium buat melihat itu sakit TB, terus kemarin setelah 3
bulan itu di tes lagi mbak dahaknya. Kan pertama periksa sama anak saya, ya
anak saya dibilangin suruh ngingetin saya buat rajin minum obat jangan sampai
lupa, terus dimintain nomor Hpnya kalau ada yang mau ditayakan disuruh sms
saja kalau pas lagi ndak periksa...”
Informan Triangulasi 3
Hasil wawancara dengan narasumber diketahui bahwa pelaksanaan
penemuan dan penangnanan kasus TB sudah dilaksanakan sesuai dengan standar.
Informan Triangulasi mengetahui dan mematuhi prosedur yang ada dalam
penanganan kasus TB, tetapi pengetahuan Informan Triangulasi terkait dengan
upaya penamuan kasus oleh petugas kesehatan masih kurang.
4.1.2.5 Perbekalan Kesehatan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan melalui
imunisasi BCG terhadap bayi. Sebagai salah satu upaya pencegahan TB aktif pada
ODHA, pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PPINH) dapat
diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi
Page 88
74
terhadap INH. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber diketahui bahwa
untuk pencegahan terjadinya penularan pasien TB terhadap bayi dilingkungannya,
maka petugas kesehatan memberikan imunisasi BCG. Pada ODHA diberikan
kombinasi pengobatan yaitu dengan pemberian obat ARV dan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Berikut kutipan wawancara yang dilakukan yaitu:
“Bagi adik-adik bayi wajib diimunisasi BCG, bagi yang berusia kurang dari 5
tahun yang berisiko tertular TB menggunakan PPINH. Kalau untuk ODHA itu
diberikan PPINH supaya tidak mengaktifkan adanya resiko penyakit TB”
Informan Triangulasi 1
“Kita ngasih imunisasi BCG untuk bayi, kalau di rumahnya ada penderita Tbnya
ya nanti kita kasih PPINH. Buat ODHAnya kita kasih pengobatan kombinasi,
maksudnya ngasih obatnya itu ARV sama AOT”.
Informan utama 1
“Waktu itu anak saya yang kecil, ini anak saya usianya baru 2 tahun mbak.
Kemarin di kasih vaksin sama petugas Puskesmasnya pas periksa kesana sama
Bapak”.
Informan Triangulasi 2
“Anak saya ndak dikasih suntikan vaksin mbak. Ini kan 2 anak saya umurnya 6
tahun.
Informan Triangulasi 3
Hasil wawancara yang telah dilakukan diketahui bahwa pemberian
kekebalan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas sudah dilakukan sesuai dengan
standar yang ada. Informan Triangulasi 2 mengatakan bahwa petugas TB di
Puskesmas memberikan vaksin kepada anaknya yang berusia dibawah 5 tahun
sebagai upaya pencegahan penularan TB, sedangkan anak dari Informan
Triangulasi 3 tidak diberikan vaksin karena berusia di atas 5 tahun.
Page 89
75
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), kegiatan
pengendalian Tuberkulosis dapat digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Promosi kesehatan
dilakukan disemua
tingkatan administrasi
baik pusat, provinsi,
kabupaten/kota
sampai dengan
fasilitas pelayanan
kesehatan. selain itu,
juga dapat dilakukan
oleh kader organisasi
kemasyarakatan
sebagai mitra. Saran
dalam promosi
kesehatan meliputi
pasien, individu sehat
(masyarakat),
keluarga, tokoh
masyarakat, dan
pembuat kebijakan
publik. Promosi
kesehatan dapat
dilakukan dengan
metode penyuluah
langsung maupun
tidak langsung dengan
menggunakan media
komunikasi atau alat
peraga seoerti obat
TB, pot sediaan
dahak, dan masker.
Selain itu dapat
menggunakan
gambar/media seperti
poster, leaflet. Lembar
balik. Lukisan
Informan utama-1 dan
informan utama-2 telah
melakukan sosialisasi ke
masyarakat dan instansi
pendidikan. Informan utama-4
hanya memberikan sosialisasi
ke masyarakat saja. media
yang digunkaan oleh infroman
utama-1, informan utama-3,
dan informan utama-4 yaitu
komunikasi langsung, leaflet,
dan video tetapi jarang
digunakan. Informan
Triangulasi-2 dan Informan
Triangulasi-3 menerima
sosialisasi langsung tanpa ada
media yang ditunjukkan.
Informan Triangulasi-2 hanya
mendapatkan sosialisasi ketika
periksa ke Puskesmas.
Informan utama-1, informan
utama-3, dan informan utama-4
juga melakukan advokasi
dengan pemangku kebijakan
setempat. Informan
Triangulasi-2 tidak mengetahui
adanya kerjasama antara
petugas Puskesmas dengan
pemangku kebijakan di
lingkungannya.
Promosi kesehatan
yang dilakukan
sudah sesuai dengan
standar, tetapi belum
optimal. Informasi
dari sosialisasi yang
dilakukan belum
tersampaikan secara
menyeluruh ke
semua masyarakat.
Selain itu, Informan
Triangulasi-2 dan
Informan
Triangulasi-3 hanya
mendapatkan
sosialisasi ketika
periksa di
Puskesmas saja.
media komukasi
yang digunakan
kurang mencukupi.
Page 90
76
animasi, foto,slide,
dan film.
2. Surveilans TB
merupakan
pemantauan dan
analisis sistematis
terus menerus
terhadap data dan
informasi tentang
kejadian penyakit TB,
yang diperoleh dari
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan atau
diperoleh langsung
dari masyarakat atau
sumber data lainnya.
Pengumpulan data diperoleh
dari warga yang periksa diri ke
Pusekesmas, laporan tenaga
kesehatan, laporan kader TB,
data PIS-PK, dan laporan dari
fasyankes lain.
Surveilans TB sudah
dilaksanakan sesuai
dengan standar.
3. Pengendalian faktor
risiko TB dilakukan
dengan cara:
pengendalian kuman
penyebab TB,
pengendalian faktor
resiko individu,
pengendalian faktor
lingkungan,
pengendalian secara
manajerial, dan
pengendalian secara
administratif.
Semua informan utama
melakukan pengendalian
kuman penyebab TB dengan
cara sosialisasi, skrining, dan
investigasi kasus. Terdapat
kejelasana dalam alur
pengambilan obat oleh pasien
dan etika batuk yang baik dan
benar. Informan Triangulasi-2
tidak mengetahui upaya
informan utama dalam
melakukan pengendalian faktor
risiko di lingkungannya.
Pengendalian faktor
risiko TB sudah
dilaksanakan sesuai
standar.
4. Penemuan kasus TB
dilakukan secara aktif
dan pasif. Secara aktif
dengan cara skrning
pada masyarakat dan
investigasi kontak
kasus TB. secara pasif
dengan cara
memeriksa pasien
yang datang ke
fasyankes.
Penemuan kasus oleh informan
utama-1 diperoleh dari warga
terduga TB yang periksa di
Puskesmas, laporan dari
informan utama-3 dan
informan-4 yang secara aktif
melakukan skrining maupun
investigasi kontak, serta
laporan dari Rumah Sakit.
Informan Triangulasi-2 tidak
mengetahui adanya kasus TB
Penemuan dan
penanganan kasus
sudah dilaksanakan
sesuai standar.
Page 91
77
Penanganan kasus
dilakukan melalui
kegiatan tata laksana
kasus untuk memutus
mata rantai penularan
dan/atau pengobatan
pasien.
lain dilingkungannya selain
dirinya sendiri.
Puskesmas bekerjasama
dengan PMO dalam
pengawasan minum obat dan
kemajuan pengobatan.
5. Pemberian kekebalan
berupa vaksinasi dan
pengobatan
pencegahan
(profilaksis).
Pada anak balita diberikan
imunisasi PPINH. Sedangkan
pada ODHA yang menderita
TB diberikan obat kombinas
yaitu ARV dan AOT.
Pemberian
kekebalan sudah
dilaksanakan sesuai
standar.
4.1.3 Sumber Daya
Menurut Peraturan Walikota Semarang Nomor 39 Tahun 2017, menyatakan
bahwa Dinas Kesehata Kota Semarang bertanggungjawab atas peningkatan
derajat keshatan masyarakat Kota Semarang dalam kontribusinya atas
terwujudnya pelaksanaan strategi DOTS yaitu memberikan dukungan secara
maksimal atas penyediaan logistik OAT dan non OAT, melakukan pembinaan
SDM dalam bentuk pelatihan bersertifikasi, seminar, symposium dan refreshing
program dengan mendatangkan tenaga ahli. Disamping itu juga
diselenggarakannya monitoring dan evaluasi P2TB bentuk pertanggungjawaban
kepada masyarakat atas keberhasilang program yang dilaksanakan. Hal tersebut
dilakukan sebagai upaya peningkatan sumber daya dalam pelaksanaan program
Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis Kota Semarang.
Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016, menyatakan bahwa Sumber daya
terdiri dari petugas sebagai sumber daya manusia (SDM), yang bertanggung
jawab untuk promosi, petugas di puskesmas dan sumber daya lain berupa sarana
Page 92
78
dan prasarana serta dana. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama
diperoleh informasi bahwa pelaksana program P2TB di Puskesmas dilaksanakan
oleh dokter, pemegang program, petugas laboratorium, gasurkes, bidang promosi
kesehatan dan bidang epidemiologi telah mecukupi. Akan tetapi menurut
gasurkes, jumlah gasurkes sendiri belum bisa menjangkau seluruh wilayah kerja
Puskesmas Purwoyoso dalam melakukan kegiatan di lapangan. Setiap petugas
pelaksana program P2TB sudah mendapatkan pelatihan yang bersertifikat dari
Dinas Kesehatan Kota, sedangkan untuk kader TB telah mendapatkan pelatihan
langsung oleh pemegang program di Puskesmas. Ketersediaan obat sudah
dipenuhi oleh Dinas Kesehatan Kota dengan menggunakan aplikasi dalam
pengajuannya. Dana selalu tersedia digunakan untuk pelaksanaan program oleh
petugas Puskesmas, sedangkan menurut gasurkes dan kader TB tidak ada dana
yang diberikan petugas Puskesmas dalam kegiatan P2TB di lapangan. Berikut
kutipan wawancara yang dilakukan dengan informan utama yaitu:
“Pelaksananya ada dokter, perawat sebagai pemegang program, petugas
laboratorium, gasurkes, promosi kesehatan, sama epidemiologi. Petugas yang
terlibat dalam program penanggulangan TB sudah memiliki sertifikat yang
berlaku selama 2 tahun. Kalau untuk obatnya sih sudah cukup ya karena setiap
pasien selalu diberikan obatnya. Sudah ada laptop, poli untuk TB meskipun
belum optimal polinya karena kurangnya sinar matahari yang masuk ke ruang
poli TB. Ada dana dari BOK”.
Informan utama 1
“Kalau sekarang sih mencukupi..., jadinya ya nek ketersediaan tenaga ya cukup.
Biasanya kalau sudah dapat sertifikat sudah sih. Waktu itu sih saya pelatihan
tahun 2016, sekarang belum ada update lagi”.
Informan utama 2
Page 93
79
“Menurut kami untuk petugas gasurkes kurang ya karena wilayahnya itu luas
sekali, meskipun 2 Kelurahan tapi tu luas sekali. Ya pernah dulu awal-awal
tahun, dulu sering tapi untuk tahun ini sih baru sekali. Ruangannya masih
bercampur sih masih berdekatan sama loket sama ruang aula, mungkin karena
Puskesmasnya juga luas wilayahnya masih terbatas sih ya. Ketersediaan
obatnya ya sudah lengkap. Ndak ada dana. Kalau penyuluhan itu swadaya
masyarakat.
Informan utama 3
“Kalau yang dari Puskesmas itu dikasihnya leaflet sama pot dahak buat
penyuluhan sama skrining kalau ditemukan orang diduga TB. Kemarin itu kita
merencanakan 3 bulan sekali tapi masih terlaksana 2 kali pertemuan. Ini
kayanya mau diadakan lagi. Tidak ada dana mbak.
Informan Utama 4
Menurut hasil wawancara dengan Informan Triangulasi 1, ketersediaan
SDM di Puskesmas sudah disesuaikan dengan standar yang ada, pelatihan yang
bersertifikat dilaksanakan secara bersamaan semua Puskesmas, ketersediaan
logistik untuk program P2TB selalu terjamin ketersediaannya, dan setiap tahun
dilakukan pendistribusian dana ke semua Puskesmas di Kota Semarang.
Wawancara dengan Informan Triangulasi 2 dan Informan Triagulasi 3 diperoleh
informasi bahwa pelayanan yang diberikan oleh petugas Puskesmas sudah
memenuhi kebutuhan pasien, obat selalu diberikan tanpa menunggu lama, serta
pasien tidak keberatan dalam membayar pelayanan pemeriksaan karena
menggunakan BPJS Kesehatan. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan
dengan Informan Triangulasi yaitu:
“... kemudian mengirim untuk pelatihan-pelatihan nasional yang bersertifikat
ya, maupun kegiatan-kegiatan e... review materi program penanggulangan
TB ,maupun refresing program penanggulangan TB ya... Kalau pelatihannya ini
simultan ya sifatnya, tetapi kalau pembinaan yang rutinitas yang kita
Page 94
80
laksanakan ya itu tadi per 3 bulan sekali itu untuk pemegang programnya...
kalau logistik OAT atau Non OAT itu kita terjamin e... keberadaannya. APBD
dan BOK, ya istilah lainnya itu APBN dan APBD”.
Informan Triangulasi 1
“Kalau saya kurang tahu mbak, saya konsultasinya ya sama bu Aisyah sama
pak Wisnu. Kalau sama yang lain saya kurang tahu ya mbak. Pelayanannya
sudah cukup baik sih. Jadi pas saya sudah sampai sana lalu ketemu sama
petugas nya itu langsung dikasih obatnya. Ndak nunggu lama itu obatnya sudah
disiapkan terus saya langsung ambil langsung pulang. Saya pakainya BPJS
mbak kalau kesana”.
Informan Triangulasi 2
“Saya ndak terlalu tahu ya mbak, mungkin sudah. Saya kalau kesana ya
langsung dilayani ndak perlu nunggu lama. Baik mbak pelayanannya disana.
saya kalau kesana ambil obat pasti selalu ada. Ya sudah lengkap ya mbak,
sudah bagus-bagus disana. Saya selalu bawa kartu BPJS mbak sama kartu yang
dari Puskesmas itu, jadi ndak bayar dan ndak memberatkan”.
Informan Triangulasi 3
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber
terkait dengan sumber daya, diketahui bahwa ketersediaan sumber daya (tenaga,
ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, dan pendanaan) sudah sesuai dengan
standar. Akan tetapi, jumlah gasurkes yang bertugas dilapangan masih belum
memadai sehingga dalam pelaksanaan tugasnya belum bisa menjangkau seluruh
masyarakat di wilayah kerja Puskemas Purwoyoso. Sarana dan prasarana terkait
dengan ruangan poli TB masih berdekatan dengan ruangan yang lain dan masih
terbatasnya cahaya matahari yang masuk ke dalam ruang TB sehingga
penggunaannya kurang optimal.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), sumber daya dapat
Page 95
81
digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Puskesmas harus
menetapkan dokter,
perawat, dan analis
laboratorium terlatih yang
bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan
program Penanggulangan
TB.
Informan utama-1,
informan utama-2, dan
informan utama-4
mengatakan hahwa SDM
sudah memadai, tetapi
informan utama-3
mengatakan SDM untuk
gasurkes belum
memadai. Informan
Triangulasi-2
mengatakan SDM sudah
memadai.
Kecukupan SDM
sudah memenuhi
standar, akan tetapi
dari kecukupan
SDM di lapangan
masih belum
mencukupi.
2. Pelatihan sebagai upaya
peningkatan sumber daya
manusia TB dengan cara
meningktkan
pengetahuan, sikap dan
keterampilan petugas
dalam rangka
meningkatkan kompetensi
serta kinerja petugas TB
Informan utama-1 dan
informan utama-2 telah
mendapatkan pelatihan
yang bersertifikat
sebanyak 1 kali.
Informan utama-3 telah
melakukan pelatihan
sebanyak 1 kali dalam
setahun. Informan utama-
4 telah mendapatkan
pelatihan dari Puskesmas
sebanyak 2 kali.
Pelatihan sudah
dilakukan sesuai
dengan standar
3. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas
ketersediaan obat dan
perbekalan kesehatan
dalam penyelenggaraan
Penanggulangan TB
Ketersediaan obat selalu
tercukupi dan tersedia.
Menurut informan
utama-1 dan informan
utama-3, sarana
prasarana sudah
mencukupi tapi
pemanfaatannya kurang
optimal.
Ketersediaan obat
sudah sesuai
dengan standar.
Akan tetapi, untuk
sarana dan
prasarananya
belum optimal.
4. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah wajib
menjamin ketersediaan
Tersedia dana dari
APBN, APBD, dan
BOK. Dana untuk
Pelaksanaan
program P2TB
tidak pernah
Page 96
82
anggaran Penanggulangan
TB.
kegiatan program yang
dilakukan oleh informan
utama-3 menggunkan
dana swadaya
masyarakat. Informan
utama-4 tidak
menggunakan dana untuk
pelaksanaan program
P2TB yang dilakukan.
Informan Triangulasi-2
menggunakan kartu
BPJS setiap periksa ke
Puskesmas.
menggunakan dana
yanga tersedia.
4.1.4 Sistem Informasi
Sistem informasi yang dimaksud dalam Permenkes RI Nomor 67 Tahun
2016 yaitu data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari sistem
pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir baku secara manual
didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB
menggunakan sistem informasi elektronik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama diperoleh informasi
bahwa pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas kepada
Dinas Kesehatan Kota menggunkan aplikasi yang bernama Semar Betul
(Semarang Bebas Tuberkulosis), sedangkan kepada pemerintah pusat
menggunakan aplikasi SITT (Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis). Bagi
gasurkes pencatatan dan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota dan pemegang
program TB. Kutipan hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan
informan utama sebagai berikut:
“Jadi, sistem ini sendiri sudah tahu kapan saya harus apa... kalau ada pasien dia
Page 97
83
akan langsung terdaftar di sini. Kita langsung daftarkan pasiennya ke Semar
Betul (Semarang Bebas Tuberkulosis). Pihak Dinas langsung dapat melihat
datanya. Jadi, setiap hari kalau ada pasien TB, dia langsung terdetek dan pihak
Dinas langsung mengetahui. Setiap hari dilakukan. Kalau kerusakan jaringan
itu biasanya yang bermasalah providernya ya, karena Semarang providernya
masih naik turun kadang ya menghambat juga.
Informan utama 1
“E... pakai itu Semar Betul sama dengan pemegang program P2TB karena kan
itu ngelink kaya gitu lho dek. Jadi, pakai Semar Betul Semua”.
Informan utama 2
“Kita setiap bulan melakukan pelaporan ke Dinas Kesehatan Kota, kalau ke
Puskesmas juga setiap bulan melalui pememaparan kinerja itu mbak. Dinas
Kesehatan Kota itu pencatatan dan pelaporannya bentuknya itu ada 3 macam,
yaitu ada yang ditulis dalam formnya, ada yang dikirim lewat email, terus yang
ke Plikasi Semar Betul itu juga melalui pemegang programnya kalau ke sistem
itu. Ribet mbak... Kita itu jadinya 3 kali kerja mbak.
Informan utama 3
“Kalau kita biasanya suspek, kita langsung bawa kesana ke Puskesmasnya, saya
kasihkan ke mas Wisnu”.
Informan utama 4
“Laporannya saya ke Aisyiyah tapi kan Puskesmas mengetahui karena jalurnya
ke Puskesmas dulu, tapi selama saya menjadi kader saya belum pernah
menemukan mbak…”.
Informan utama 5
Menurut hasil wawancara dengan Informan Triangulasi 1 diketahui bahwa
pencatatan dan pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota menggunakan
sistem aplikasi yang bernama Semar Betul (Semarang Bebas Tuberkulosis). Dinas
Kesehatan Kota dapat melihat data-data atas temuan kasus yang dilaksanakan oleh
Page 98
84
setiap Puskesmas Kota Semarang setiap saat, akan tetapi ketersediaan data dalam
Semar Betul tergantung pada keteraturan petugas TB di Puskesmas menginput
data ke Semar Betul. Sedangkan hasil wawancara dengan Informan Triangulasi 2
dan Informan Triangulasi 3 diperoleh informasi bahwa pencatatan yang dilakukan
oleh petugas Puskesmas hanya terkait dengan perkembangan kemajuan
pengobatan seperti keteraturan meminum OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan
keluhan yang dirasakan pasien TB selama pengobatan. Berikut kutipan
wawancara yang dilakukan dengan Informan Triangulasi yaitu:
“Menggunakan aplikasi yang namanya Semar Betul kegiatan pencatatan dan
pelaporannya. Semar Betul itu berjalan kurang lebih e... tahun 2019 tetapi
penekanannya itu mulai juni 2019. Dinas bisa langsung melihat laporan di
aplikasi itu, tapi tergantung dari yang menginput data-data atas temuan kasus-
kasusnya ke Semar Betul. Setiap saat mbak. Kalau kendala itu ya kaitannya
dengan penguasaan sistem aplikasinya ya...”.
Informan Triangulasi 1
“Ya waktu pertama periksa di Puskesmas itu aja mbak, kan kami datang kesana
buat periksa terus dicatet sama petugasnya nama, alamat, tanggal lahir, yang
dirasakan apa, sakitnya dimana kaya gitu-gitu. Kalau di rumah belum pernah
sih e... pernah mbak sekali itu sama e... kadernya…”
Informan Triangulasi 2
“Kalau didata itu ya pas awal periksa itu mbak, terus pas ada bidan kesini itu
juga dicatat dikertas gitu apa saya yang saya rasakan selama minum obat seperti
itu”.
Informan Triangulasi 3
Hasil wawancara yang telah dilakukan diketahui bahwa sistem informasi
program P2TB sudah dilakukan sesuai dengan standar, tetapi masih terdapat
hambatan yang dialami dalam pencatatan dan palaporan yaitu penguasaan aplikasi
Page 99
85
oleh petugas TB di Puskesmas yang masih kurang. Penguasaan aplikasi oleh
petugas Puskesmas saat ini bisa dikatakan baru sebesar 40%. Gasurkes merasa
kesulitan karena harus melakukan 3 kali kerja dalam melakukan pencatatan dan
pelaporan untuk diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kota.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), sumber daya dapat
digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Puskesmas harus
melaporkan jumlah pasien
TB di wilayah kerjanya
kepada Dinas Kesehatan
Kota kabupaten/kota
setempat. Pelaporan
disampaikan setiap 3 bulan
sekali.
Informan utama-1 dan
informan utama-2
melakukan pencatatan
dan pelaporan
menggunakan aplikasi
Semar Betul setiap hari.
Ketersediaan formulir
pencatatan tersedia di
Puskesmas.
Penguasaan
sistem pencatatan
dan pelaporan
oleh petugas TB
di Puskesmas
masih belum
optimal. Selain
itu, gasurkes
merasa kesulitan
karena harus
melakukan 3 kali
kerja dalam
kegiatan
pencatatan dan
pelaporan.
4.1.5 Koordinasi, Jejaring Kerja, dan Kemitraan
Permenkes RI Nomor 67 tahun 2016, menyatakan bahwa penyelenggaraan
Penangggulangan TB perlu didukung dengan upaya mengembangkan dan
memperkuat mekanisme koordinasi, serta kemitraan antara pengelola program
TB dengan instansi pemerintah lintas sektor dan lintas program, para pemangku
kepentingan, penyedia layanan, organisasi kemasyarakatan, asuransi kesehatan,
baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Peraturan Walikota Semarang
Page 100
86
Nomor 39 Tahun 2017, menyatakan dalam rangka efektifitas dan efesiensi
pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Penanggulangan TB untuk mencapai target
perlu pembentukan dan penguatan Forum Koordinasi Penanggulangan TB.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program TB di Puskesmas
diperoleh informasi bahwa Dinas Kesehatan Kota melakukan monitoring dan
evaluasi setiap 3 bulan sekali, bersamaan dengan dilakukannya supervisi ke
semua Puskesmas di Kota Semarang. Evaluasi yang dilakukan oleh pemegang
program TB ke Kepala Puskesmas dilaksanakan setiap bulan. Monitoring dan
evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota kepada petugas laboratotium
dilakukan setiap 3 bulan sekali terkait dengan pemantapan mutu eksternal
laboratorium, sedangkan untuk pelayanan laboratorium TB belum pernah
dilakukan. Kerjasama yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dengan lintas
sektoral yaitu menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan sekolah.
Monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh gasurkes kepada kepala Puskesmas
dilakukan saat pemaparan setiap 3 bulan sekali. Gasurkes melakukan kerjasama
dengan lintas program yaitu dengan petugas kesehatan lingkungan di Puskesmas
setiap melakukan investigasi kontak. Evaluasi yang dilakukan oleh petugas TB di
Puskesmas kepada kinerja kader TB belum pernah ada, koordinasi yang dilakukan
berupa pelaporan kasus TB oleh kader ke petugas Puskesmas melalui komunikasi
WA. Kutipan wawancara mendalam yang dilakukan dengan narasumber sebagai
berikut:
“Kita dikumpulkan untuk kemudian nanti dilakukan evaluasi. Biasanya
dilakukan 3 bulan sekali. Supervisi yang dilakukan biasanya pertiga bulan
sekali atau perempat bulan sekali. Evaluasi dengan Kepala Puskesmas
Page 101
87
dilakukan setiap bulan sekali. kerjasama lintas program iya, bahkan lintas
sektoralpun kita lakukan seperti kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan
sekolah”.
Informan utama 1
“Kalau untuk TB saya ndak tahu itu, evaluasi kalau dari Lab itu hanya dari sini
saja paling dari pemantapan mutu eksternal. Ya itu kan mereka nanti Dinas kan
mengevaluasikan kinerjanya kita... Setiap 3 bulan sekali”.
Informan utama 2
“Kita kerjasama dengan keslingnya ya mbak..., waktu investigasi kontak
meraka medampingi. Monitoring dan evaluasi di lakukan pada saat pemaparan
setiap 3 bulan sekali dalam pertemuan di Puskesmas”.
Informan utama 3
“Biasanya kita yang melaporkan langsung ke petugas Puskesmas. Tidak ada
forum khusus untuk evaluasi tapi kita tetep jalin komunikasi dengan WA tadi”.
Informan utama 4
“Kalau sama Aisyiyah itu 1 bulan sekali mbak, tapi kalau Puskesmas itu belum
e... masih kadang-kadang gitu mbak”.
Informan Utama 5
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Informan Triangulasi 1 diperoleh
informasi bahwa Dinas Kesehatan Kota melakukan monitoring dan evaluasi setiap
3 bulan sekali dalam bentuk capaian-capaian program, kinerja programer di
Puskesmas, dan permasalahan-permasalahan yang ada. Hambatan yang muncul
dalam kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota dengan petugas TB di Puskesmas
yaitu kurangnya koordinasi antara pemegang program baru dengan pemegang
program lama saat terjadi pergantian petugas.. Berikut kutipan wawancara yang
dilakukan dengan Informan Triangulasi 1, yaitu:
Page 102
88
“Monitoringnya dilaksanakan 3 bulan sekali dalam bentuk capaian-capaian
program... Kinerja programer yang ada di Puskesmas sekalian evaluasi
permasalahan-permasalahan apa yang didapatkan dan kenapa terget kasus yang
ditetapkan tidak terpenuhi. RAD penanggulangan TB itu juga mengharuskan
semua pihak, semua komponen, dan semua stakeholder yang ada di Kota
Semarang untuk berperan sesuai dnegan kapasitasnya masing-masing di dalam
program penanggulangan TBC. Ya kalau ada pergantian petugas yang baru, kan
petugas yang baru itu belum mendapatkan pemahaman yang memadai tentang
program-program penanggulangan TB seperti kompetensi yang sudah e...
dimiliki oleh petugas yang lama yaitu yang menjadi kendala kita”.
Informan Triangulasi 1
Hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber diketahui
bahwa koordinasi, jejeraing kerja, dan kemitraan sudah sesuai dengan Permenkes
Nomor 67 tahun 2016, tetapi masih terdapat hambatan seperti pemberian
informasi terkait pelaksanaan program P2TB kepada petugas TB yang baru selalu
disampaiakan secara berulang mulai dari tahap awal secara rinci, agar petugas TB
yang baru memiliki pemahaman dan kompetensi yang sama dengan petugas TB
yang lama. Hal ini seharusnya dapat disampaikan sendiri oleh petugas TB yang
lama kepada petugas TB yang baru. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh
Dinas Kesehatan Kota kepada petugas TB di Puskesmas baru dilakukan 1 kali
dalam 1 tahun, sedangkan forum khusus untuk melakukan evaluasi oleh petugas
TB di Puskemas kepada kader TB belum ada.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), koordinasi, jejaring
kerja, dan kemitraan dapat digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Dinas Kesehatan Kota
melakukan pembinaan,
Informan utama-
1 di tahun 2019
Monev tahun 2019 untuk
informan utama-1 dan
Page 103
89
monitoring dan evaluasi
kegiatan program TB di
fasyankes.
baru mengikuti
kegiatan monev 1
kali. Informan
utama-2 belum
melaksankan
pertemuan
monev. Informan
utama-3
melakukan
kegiatan monev
setiap 1 kali
dalam setahun.
Informan utama-
4 belum pernah
melakukan
monev dengan
Puskesmas saja.
informan utama-2 belum
optimal karena baru
dilaksanakan monev
sebanyak 1 kali yang
seharusnya dilaksanakan
sebanyak 4 kali dalam
setahun.
2. Hubungan
kerjasama/bauran
pemerintah-swasta, seperti:
kerja sama program
penanggulangan TB dengan
faskes milik swasta, kerja
sama dengan sector
industri/perusahaan/tempat
kerja, kerja sama dengan
lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Puskesmas
menjalin
kerjasama
dengan petugas
kelurahan, Dinas
Kesehatan, Dinas
Pendidikan dan
sekolah di sekitar
wilayah
Puskesmas.
Kerjasama sudah
dilakukan sesuai standar,
tetapi belum optimal
karena kerjasama dengan
sektor
indutri/perusahaan/tempat
kerja belum dilakukan.
4.1.6 Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016, yaitu
upaya pencegahan dan penanggulangan Tuberkulosis dapat mendorong
tercapainya target program. Masyarakat perlu terlibat aktif dalam kegiatan sesuai
dengan kondisi dan kemampuan, karena Tuberkulosis dapat ditanggulangi
Page 104
90
bersama. Pelibatan secara aktif masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan baik lintas program dan lintas sektor diutamakan pada 4 area dalam
program Penanggulangan TB yaitu: penemuan orang terduga TB, dukungan
pengobatan TB, pencegahan TB, dan mengatasi faktor sosial yang mempengaruhi
penanggulangan TB.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama di Puskesmas
diperoleh informasi bahwa pemegang program TB di Puskesmas telah melakukan
sosialisasi ke masyarakat melalui kader-kader, POS TB di sekolah-sekolah, dan
membuat video tentang alur dan merubah stigma negatif jika TB bisa
disembuhkan. Menurut gasurkes, masih banyak masyarakat yang malu apabila
sakit batuknya diketahui penyakit TB sehingga menolak pada saat dilakukan
wawancara terkait kesehatannya dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tes
dahak ke Puskesmas. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk
memeriksakan sakit batuknya ke Puskesmas, dalam satu bulan hanya ada 1 pasien
yang melakukan tes dahak. Kualitas dahak pasien yang kurang bagus juga
mempengaruhi pemeriksaan tes dahak sehingga kurang optimal. Beradsarkan
hasil skrining yang telah dilakukan gasurkes diperoleh penemuan kasus TB
sebanyak 87 pasien, tetapi hanya 12 pasien yang bersedia melakukan pengobatan
di Puskesmas. Jadi, jumlah yang ada tidak sesuai karena banyak pasien yang
merasa bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak memiliki sakit yang parah. Stigma
negatif tentang TB masih ada di lingkungan masyarakat yang dikaitkan dengan
tradisi karena pengetahuan tentang penyakit TB kurang. Berikut kutipan
wawancara yang dilakukan dengan narasumber:
Page 105
91
“Ya pertama kita bikin kader-kader, sosialisasi ke masyarakat, kita juga bikin
POS TB di sekolah-sekolah agar juga meningkatkan kepedulian mereka. dalam
minggu ini rencananya mau bikin video tentang masalah ini tentang alur dan
juga bahwa menggarisbahawi stigma bahwa TB itu bisa disembuhkan. Kita
sudah melakukan screening secara merata tetapi baik itu melalui PIS PK dan
juga Gasurkes, selama itu kita sudah berusaha semaksimal mungkin kita tidak
bisa memenuhi target penemuan kasus karena pada dasarnya kita menemukan
banyak kasus di masyarakat sekitar 87 pasien TB tapi yang bersedia berobat di
puskesmas hanya sejumlah 12 pasien TB”.
Informan utama 1
“Ya masyarakat ada yang terbuka tapi ada juga yang masih tertutup sama kita.
Ya kebanyakan sih masih apa ya, kurang terbuka lah mbak masih pada malu
mungkin kalai dia diketahui kena panyakit TB”.
Informan utama 3
“Stigma negatif disini masih, mereka itu pengetahuannya kurang terus bilang
nggak papa ok. Malah kalau batuk masih dikait-kaitkan kena sawan, kena ini,
kena itu, masih dikaitkan sama tradisi. Kasus mangkir itu banyak mbak kalau
seperti itu, makanya saya sering medeni mbak, kasih motivasi, kalau ndak
punya waktu ya nanti kita antar”.
Informan utama 4
“Stigma negatif itu nggak hanya dari masyarakat aja mbak, kadang yang dari
petugas kesehatan aja masih ada takutnya jadinya kita ya hanya bisa
memotivasi penderita yang tak kunjungi gitu. Memang penyakit TB itu kan
masih dianggap tabu sama msyarakat mbak...”.
Informan Utama 5
Hasil wawancara dengan Informan Triangulasi diperoleh informasi bahwa
peran serta masyarakat terhadap upaya penanggulangan TB masih kurang karena
pengetahuan mereka tentang program P2TB masih rendah sehingga masyarakat
sulit untuk diajak kerjasama dalam pencegahan penyakit TB baik terhadap diri
sendiri maupun lingkungan disekitarnya. Masyarakat banyak yang menganggap
Page 106
92
bahwa batuk yang dideritanya merupakan sakit batuk biasa karena gejala awal TB
sama seperti batuk biasa. Kutipan waancara mendalam yang dilakukan dengan
Informan Triangulasi sebagai berikut:
“Ya karena masyarakat dengan berbagai ragam kebutuhannya, kemudian
masyarakat dengan faktor ketidaktahuannya itu dibeberapa kasus masyarakat
itu tidak bisa diajak kerjasama untuk program-program penanggulangan TB
entah kaitannya dengan penciptaan lingkungan yang bersih dan sehat untuk
mencegah terjadinya TB entah dalam keluarganya, entah dalam penggunaan
masker ya, entah dalam mengkonsumsi obat secara disiplin sesuai aturan ya itu
yang menjadi kendala-kendala petugas kesehatan. Menurut saya ya itu tadi,
bermuara pada ketidaktahuan atau faktor eksnoren yang ada pada masyarakat
tentang cara pencegahan dan cara penanggulangan TB, sehingga itu menjadi
kendala-kendala dalam penanggulangan TB”.
Informan Triangulasi 1
“Ndak pernah mbak saya tahu ada yang skait seperti Bapak ini. Saya baru tahu
penyakit TB ya dari Bapak sakit kaya gini, sebelumnya ya ndak pernah tahu.
Bapak ya menut mbak kalau minum obat ya minum, waktunya periksa ya
periksa. Paling yang susah itu pakai maskernya mbak ndak mau, jarang-jarang
katanya ndak enak makainya. Tetangganya disini juga jarang sih mbak kumpul
setiap hari paling ya jarang-jarang gitu tapi ya mereka baik sama Bapak”.
Informan Triangulasi 2
“Saya tidak pernah tahu kalau ada orang lain yang sakitnya kaya saya, ya Cuma
saya aja tauhunya mbak. Kalau yang lain saya ndak tahu. Saya kurang enak
kalau ngomong terus pakai masker, nafasnya jadi ndak lancar gitu mbak.
Jadinya jarang pakai masker saya. Kalau tetangga disini ndak ada yang
mengucilkan sih mbak, ya mereka paling tanyanya kenapa pakai masker ya
saya bilang lagi batuk kaya gitu aja sih mbak”.
Informan Triangulasi 3
Hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber diketahui bahwa
peran serta masyarakat dalam pelaksanaan program P2TB belum optimal.
Sosialisasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan kader Tb masih belum
Page 107
93
menyeluruh ke semua masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Purwoyoso,
sehingga pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB masih rendah dan stigma
negatif masyarakat terkait pengakit TB masih tinggi. Hal ini menyebabkan masih
banyak masyarakat yang belum terbuka tentang penyakitnya terutama sakit batuk
kepada petugas kesehatan. kesadaran pasien TB sendiri dalam penggunaan masker
sebagai pencegahan penyakit TB ke orang lain masih rendah.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), peran serta masyarakat
dapat digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Masyarakat dapat
berperan serta dalam
upaya
Penanggulangan
Tuberkulosis
Puskesmas telah
melakukan sosialisasi
ke masyarakat melalui
kader dan gasurkes,
adanya POS TB, serta
ke instansi
pendidikan. Informan
Triangulasi-2 tidak
pernah tau ada pasien
TB selain keluarganya
dan melakukan
pencegahan hanya
pada keluarganya saja.
Tidak semua masyarakat
mendapatkan sosialisasi
yang di berikan oleh
petugas kesehatan. Masih
banyak masyarakat yang
kurang terbuka dengan
petugas kesehatan.
Informan Triangulasi-2
jarang menggunakan
masker ketika
berkomunikasi dengan
orang lain.
2. Mencegah stigma dan
diskriminasi terhadap
kasus TB
Puskesmas melakukan
sosialisasi melalui
kader TB dengan
menggunakan leaflet
dan video terkait
dengan penyakit TB
yang dapat
disembuhkan.
Informan utama-1
mengatakan bahwa
partisipasi masyarakat
dalam mengikuti
penanggulangan TB masih
rendah. Informan utama-3
dan informan-4
mengatakan stigma
negatif di masyarakat
terkait TB masih ada
sehingga masih banyak
Page 108
94
masyarakat yang kurang
terbuka dengan petugas
kesehatan terkait sakitnya.
Informan Triangulasi-1
mengatakan tingkat
pengetahuan masyarakat
tentang penyakit TB
masih rendah, sehingga
belum bisa diajak
kerjasama untuk program-
program penanggulangan
TB disekitarnya.Informan
Triangulasi-2 mengatakan
tidak ada pengucilan
karena tidak ada yang
menanyakan sakitnya.
4.2 Puskesmas Karangmalang
4.2.1 Gambaran Umum Puskesmas Karangmalang
Puskesmas Karangmalang adalah unit pelaksana pembagunan kesehatan di
wilayah Kecamatan Wijen sebagai pusat kesehatan tingkat pertama yang termasuk
salah satu Puskesmas rawat inap untuk umum dan bersalin, serta pelayanan 24
jam diwilayah kerjanya. Puskesmas Karangmalang memiliki luas wilayah kerja
1.033.871 Km2. Puskesmas Karangmalang mempunyai wilayah kerja 4
Kelurahan, 14 RW dan 52 RT yang menjadi binaan Puskesmas Karangmalang
yaitu:
4.2.1.1 Kelurahan Karangmalang
4.2.1.2 Kelurahan Bubakan
4.2.1.3 Kelurahan Polaman
4.2.1.4 Kelurahan Purwosari, dengan batas-batas wilayah Puskesmas
Page 109
95
Karangmalang antara lain:
1) Sebelah utara : Kelurahan Mijen dan Jatibarang
2) Sebelah Selatan : Kecamatan Boja
3) Sebelah Timur : Kecamatan Gunungpati
4) Sebelah Barat : Kelurahan Tambangan dan Kelurahan Cangkiran
Tabel 4.3 Sumber Daya Kesehatan, Sarana Pelayanan, dan Progra
Kesehatan di Puskesmas Karangmalang
No JENIS SARANA JUMLAH
A. Sumber Daya Ketenagaan
1. Dokter umum 2 orang
2. Dokter gigi 1 orang
3. SKM -
4. Perawat 5 orang
5. Perawat gigi 1 orang
6. Bidan 4 orang
7. Sanitarian 1 orang
8. Ka. TU 1 orang
9. Penyuluh kesehatan 1 orang
10. Nutrision/gizi 1 orang
11. Petugas Lab 2 orang
12. Petugas apotek 1 orang
13. Staf 3 orang
14. Petugas loket 1 orang
B. Sarana Pelayanan Kesehatan
1. Poli umum (BP) -
2. Poli gigi (BP gigi) -
3. Poli KIA -
4. Kamar obat -
5. Konseling gizi dan sanitasi -
6. Promkes -
7. IGD -
8. Rawat inap -
9. Rawat jalan -
10. Kelurahan siaga 4 kelurahan
11. Bidan kelurahan siaga 4 orang
12. Kelurahan percontohan 1 kelurahan
Page 110
96
13. Posyandu lansia 20 buah
14. Pos obat desa -
15. Upaya kesehatan kerja 6 buah
C. Program Kegiatan Kesehatan
1. Promosi kesehatan -
2. Kesehatan KIA/Keluarga Berencana (KB) -
3. Pengobatan -
4. Kesehatan lingkungan -
5. Upaya perbaikan gizi -
6. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular -
7. Laboratorioum -
8. Upaya kesehatan usila -
9. Kesehatan OR -
10. Kesehatan gigi dan mulut -
11. Perkesmas -
12. UKK -
13. PTM -
14. Kesehatan mitra -
15. Praktek mahasiswa -
16. Kesehatan mata -
17. Pap smear -
18. EKG -
4.2.2 Kegiatan Pengendalian Tuberkulosis
Kegiatan pengendalian Tuberkulosis menurut Permenkes RI Nomor 67
Tahun 2016 terdiri dari promosi kesehatan, surveilans Tuberkulosis, pengendalian
faktor risiko, penemuan dan penangnan kasus, dan pemberian kekebalan. Petugas
Pelayanan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso terdiri dari pemagang program
Tuberkulosis, petugas laboratotium, gasurkes, dan kader TB.
Berikut merupakan hasil dari evaluasi kegiatan penanggulangan
Tuberkulosis berdasarkan wawancara yang telah dilakukan sebagai berikut:
4.2.1.1 Promosi Kesehatan
Page 111
97
Promosi kesehatan dalam penanggulangan TB menurut Permenkes RI
Nomor 67 Tahun 2016 diselenggarakan dengan strategi pemberdayaan
masyarakat, advokasi dan kemitraan. Pemberdayaan masyarakat yaitu
memberikan informasi TB secara terus-menerus kepada pasien TB, keluarga dan
kelompok masyarakat melalui komunikasi efektif, demontrasi (praktek),
konseling dan bimbingan yang dilakukan baik di dalam layanan kesehatan
ataupun saat kunjungan rumah dengan memanfaatkan media komunikasi seperti
lembar balik, leaflet, poster atau media lainnya. Dinas Kesehatan Kota Kota telah
memberikan sosialisasi kepada petugas Puskesmas terkait dengan program P2TB
melalui event-event yang ditujukan kepada pemegang program dan petugas
laboratorium fasilitas kesehatan. Adapun kutipan wawancara mendalam yang
dilakukan kepada Informan Triangulasi 1 sebagai berikut:
“sosialisasi program TB di temen-temen pengelola program di Puskesmas itu
dilaksanakan melalui event-event. Banyak diikuti oleh pemegang program.
Termasuk petugas Labnya itu juga secara rutin dilaksanakan per 3 bulan,
termasuk programer TB baik yang ada di Puskesmas maupun Rumah Sakit”.
Informan Triangulasi 1
Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Kota kepada
pelaksana program P2TB di Puskesmas sudah berjalan dengan baik, tetapi dalam
pelaksanaannya masih terdapat kendala. Berikut kutipan hasil wawancara yang
dilakukan:
“kendala yang pertama adanya mutasi dari pengelola program lama ke
pengelola program baru ya. Kalau ada pergantian petugas yang baru, kan
petugas yang baru itu belum mendapatkan pemahaman yang memadai tentang
program-program penanggulangan TB”.
Page 112
98
Informan Triangulasi 1
Informasi dari sosialisasi yang diberikan oleh DKK tersebut, kemudian
akan disampaikan kepada petugas kesehatan pelayanan TB di Puskesmas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama di Puskesmas terkait
dengan promosi kesehatan yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa sosialisasi
dilakukan dengan memeberikan edukasi kepada pasien TB yang datang berobat ke
Puskesmas. Soasialisasi dimasyarakat dilakukan pada pertemuan kelurahan yang
diselenggarakan oleh FKK maupun PKK. Kunjungan rumah yang dilakukan
ketika ditemukan kasus TB. Gasurkes dan kader TB melakukan sosialisasi di
pertemuan Kelurahan wilayah masing-masing, RT, RW. Media yang digunakan
untuk sosiaslisasi antara lain ceramah, lembar balik, leaflet, dan PPT. Berikut
merupakan kutipan wawancara dengan informan utama:
“Kita edukasi untuk penyakitnya lalu pengobatannya sama apa namanya,
kontak indikasi tyang muncul... dimasyarakat kita juga sosialisasi, jadi
diundang ke kelurahan-kelurahan kita sosialisasi untuk penemuan kasus, lalu
kalau sudah ditemukan kasus juga ada kunjungan rumahnya.... pakai ini aja
power point... “.
Informan utama 1
“Ya sosialisasinya langsung terjun ke masyarakat kalau ada pertemuan maupun
koordinasi itu, rapat-rapat langsung dibicarakan. Rapat koordiasinya dilakukan
dengan FKK, PKK, kelurahan diwilayah masing-masing, RT, RW bersama
kader... Medianya bisa ceramah, lembar balik, tanya jawab gitu, sama PPT kita
kaya memberi apa namanya itu leaflet gitu lho...”.
Informan utama 3
“Pasti mbak, ketika ada pertemuan seperti forum FKK gitu kita pasti
mengundang petugas Puskesmas. Kalau sosialisasi itu ditingkat RT atau RW itu
Page 113
99
biasane gasurkes, kalau diwilayah kami ya saya ikut mendampingi mereka di
pertemuan FKK, RT, RW, arisan atau tahlil... sosialisasinya kita ya Cuma lisan
seperti ini... kalau leaflet kadang mbak, karena mungkin juga leaflet juga
terbatas...”.
Informan Utama 5
Menurut hasil wawancara dengan Informan Triangulasi 2 diperoleh
informasi bahwa pasien TB dan PMO mendapat sosialisasi ketika periksa di
Puskesmas, sedangkan Informan Triangulasi 3 mendapatkan sosialisasi dari Dinas
Kesehatan Kota secara langsung kemudian menyampaikan informasi tersebut ke
pasien TB, sehingga petugas TB di Puskesmas tidak memberikan sosialisasi
kembali ke gasurkes tersebut. Informan Triangulasi 3 merupakan seorang
gasurkes yang menjadi PMO salah satu pasien TB. Informan Triangulasi 2 tidak
mengetahui adanya sosialisasi di lingkungan sekitarnya.
“Bapak tau sakit TB itu pas sakit terus periksa di Rumah sakit, tapi ambil
obatnya sama priksanya di Puskesmas mbak. Setiap ke Puskesmas itu petugas
Puskesmas ya biasa ngasih tau cara penanggulangan sakit TB itu ... Kalau itu
kayanya ndak pernah, saya belum pernah tau kalau ada itu mbak. Disini
Posyandu itu sama yang lansia itu mbak ada...”.
Informan Triangulasi 2
“Kalau kemarin saya kan e... sebelumnya sudah dikasih tahu sama Dinas
Kesehatan Kota untuk PMO itu sendiri, jadi ya menjelaskan kembali kepada
saya terus saya meneruskan ke pasien yang sakit TB soalnya kan dia di rumah
sendiri. Kalau Puskesmas sendiri belum pernah, kalau Dinas Kesehatan Kota
pas ada pelatihan dikasih tau tetang penyakit TB dan program
penanggulangannya kaya gitu”.
Informan Triangulasi 3
Pelaksana program penanggulangan TB menurut Permenkes RI Nomor 67
dijelaskan bahwa promosi kesehatan tidak hanya dilakukan kepada masyarakat
Page 114
100
saja, tetapi juga melakukan advokasi kepada pemangku kebijakan wilayah untuk
menjalin kerjasama dalam penanggulangan TB. Hasil wawancara mendalam
dengan narasumber diperoleh informasi bahwa informan utama telah menjalin
kerjasama dengan pemangku kebijakan diwilayah kerja Puskesmas
Karangmalang, seperti Kepala Desa, Kepala RT/RW, organisasi PKK. Informan
Triangulasi 2 mengatakan bahwa tidak mengetahui adanya kerjasama antara
pemangku kebijakan dengan Puskesmas, sedangkan Informan Triangulasi 3
mengatakan bahwa ada kerjasama antara pemengku kebijakan dengan Puskesmas.
“Iya kerjasama, kita kan dari penyuluhan itu terus yang diundang dari PKK,
FKK, RT, RW, juga dari kelurahan juga itu ada semua. Ya koordinasi kalau
misalnya ada warganya yang ada tanda-tanda seperti gejala TB ya suruh ke
Puskesmas itu aja sih. Sebelumnya diberikan penyuluhan tentang penyakit
TB...”.
Informan utama 1
“Iya, he.em. kerjasamanya ya kita saling koordinasi langsung kalau ada kasus
ya kita koordsinasi dimama, wilayahnya mana terus cara penanggulangannya
gitu, saling suport satu sama lain... Melakukan advokasi ya memberi tahu apa
yang ada di wilayah kendalanya apa terus gimana caranya biar warga itu bisa
lebih terbuka sama kita kalau ada yng sakit itu jangan ditutup-tutupi, bilang
sama kadernya jangan malu kalau nggak nggeh langsung datang aja ke
Puskesmas”.
Informan utama 3
“Kalau Puskesmas ya kerjasama, saya iya kerjasama sama perangkat desa.
Informan utama 4
“Nggak tau mbak, ya mungkin ada itu soalnya kan Puskesmas itu dapat
informasi dari rakyat ya mugkin saja juga kerjasama gitu mbak tapi saya sendiri
ndak tau”.
Informan Triangulasi 2
Page 115
101
“Ya bekerjasama sama perangkat desa disini, ya kan juga ini berhubungan sama
warganya jadi mereka bisa tau bagaimana kondisi kesehatan di lingkungan
mereka...”.
Informan Triangulasi 3
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber
terkait dengan promosi kesehatan, diketahui bahwa promosi kesehatan yang
dilakukan sudah sesuai dengan standar, tetapi masih belum optimal karena
terdapat hambatan dari hasil sosialisasi yang telah dilaksanakan yaitu (1)
Informan Triangulasi-1 memberikan sosialisasi berulang setiap terjadi pergantian
petugas lama dengan petugas yang baru agar memiliki pemahaman yang setara
dan memadai terhadap pengelolaan-pengelolaan program; (2) terjadi
ketidaksamaan informasi terkait adanya sosialisasi program P2TB dilingkungan
masyarakat yang diketahui antara PMO yang berasal dari keluarga pasien TB dan
PMO dari gasurkes. Menurut hasil wawancara singkat dengan 4 rumah di sekitar
tempat tinggal pasien TB bahwa belum ada petugas kesehatan dari Puskesmas
yang datang untuk memberitahu tentang apa itu penyakit TB; (3) keterbatasan
media penyuluhan seperti leaflet yang digunakan dalam melakukan sosialisasi ke
masyarakat.
4.2.1.2 Surveilans Tuberkulosis
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus-
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit TB, yang
diperoleh dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau diperoleh langsung dari
masyarakat atau sumber data lainnya. Beradasarkan hasil wawancara dengan
informan utama diketahui bahwa kegiatan surveilans TB dilakukan dengan adanya
Page 116
102
kerjasama antara pemegang program TB di Puskesmas dengan gasurkes, petugas
epidemiologi, dan kader TB dari Aysyiyah. Gasurkes melakukan surveilans
dengan cara skrining di masyarakat setiap minggu dan mendapatkan infomasi dari
kader TB atau warga setempat. Kegiatan surveilans TB yaitu melalui sosialisasi
tentang TB, pasien terduga TB yang periksa ke Puskesmas, laporan dari gasurkes,
dan hasil skrining yang dilakukan oleh kader TB. Selain itu, pemantauan
pengobatan dilakukan dengan cara melakukan kunjungan rumah yang dilakukan
oleh gasurkes atau kader TB. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan dengan
informan utama yaitu:
“Ya itu bekerjasama sama Gasurkesnya, selain itu juga pasien yang periksa di
Puskesmas yang ada tanda-tanda gejala TB ya di kasih pot dahak... Kerjasama
dengan petugas epidemiologi, sama Gasurkes, terus sama kader Aisiyah yang
juga mencari suspek dahak... kadang ada yang sampek molor harusnya apa
namanya follow up bulan kedua tapi dia belum bisa mengeluarkan dahak tapi
terakhirnya bisa, maksudnya butuh waktu gitu lho nggak on time yang harusnya
waktu seminggu selesai masa awal diagnosis itu melebihi... Ya itu pasien
mengatakan susah mengeluarkan dahaknya itu lho, padahal kan kita
mendiagnosa dari dahaknya itu. Terus apa lagi ya, e... ya kalau pelaporan-
pelaporannya kita masih dalam ini sih penataan.
Informan Utama 1
“Jadi, e... penemuan kasus itu bisa dengan saya waktu skrining. Jadi, saya
waktu skrining kan skrining dilakukan e... setiap minggu ditergetkan kan 50
orang minimal... Kalau yang kedua dengan itu informasi dari kader atau
mungkin dari URP atau warga setempat yang mengetahui kalau ada orang yang
batuk lama lebih dari 2 minggu, lha itu saya kunjungi saya analisis apakah
bener atau tidak... jarang ditemu suspek gitu. Masih banyak masyarakat yang
kurang terbuka jadi jarang yang terduga suspek gitu...”.
Informan Utama 3
“Kalau udah skrining kan kalau ditemukan suspek, suspek yang masuk tanda
dan gejala TB berarti dia disarankan untuk periksa terus nanti kita beri pot
Page 117
103
dahak untuk dia nanti dibawa ke Puskesmas... Untuk kendalanya ya tadi itu
masyarakat e... banyak yang kurang terbuka untuk e... yang sakit batuk, terus ya
mungkin takut untuk periksa...”.
Informan Utama 4
“Iya itu mbak, ngasih tau lewat penyuluhan sosialisasi itu to tentang TB e...
kaya gejalane gitu-gitu mbak. Kalau Puskesmas itu ndak dampingi kalau di
pertemuan RT/RW, tapi kalau di Kelurahan itu ada”.
Informan Utama 5
“Setahu saya itu dari pasien yang periksa ke Puskesmas, terus laporan dari
gasurkes yang dilapangan itu mbak kan mereka nanti dari warga bilang ke
mereka. Saya juga kalau semisal menemukan pasien TB baru nanti saya bilang
dulu ke petugas Puskesmas kalau ini ada yang kemungkinan sakit TB...
Mendampingi lewat Gasurkes itu tadi”.
Informan Utama 6
Menurut hasil wawancara dengan Informan Triangulasi diperoleh
informasi bahwa Informan Triangulasi 2 baru satu kali mendapatkan kunjungan
rumah oleh petugas kesehatan, sedangkan Informan Triangulasi 3 melakukan
kunjungan rumah setiap 2 atau 3 hari sekali selama masa pengobatan. Berikut
kutipan wawancara dengan Informan Triangulasi:
“Petugas puskesmas yang datang ke rumah Cuma sekali mbak, waktu dulu itu
pas Bapak habis periksa ke Puskesmas awal-awal itu. Ya memang ditanyain
gimana perkembangannya, terus kalau ada keluhan apa disuruh langsung ke
Puskesmasnya gitu aja sih mbak”.
Informan Informan Triangulasi 2
“Ini kan karena saya yang jadi PMOnya jadi ya kesana buat ngecek minum
obatnya setiap 2 atau 3 hari sekali saya ke rumahnya…”.
Informan Informan Triangulasi 3
Page 118
104
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber
terkait dengan surveilans Tuberkulosis, diketahui bahwa kegiatan surveilans sudah
dilakukan sesuai dengan standar tapi masih belum optimal. Hambatan yang
muncul dalam kegiatan surveilans TB yaitu masyarakat banyak yag kurang
terbuka kepada petugas kesehatan terkait sakit batuknya karena takut diperiksa
dan diketahui jika terdiagnosa sakit TB dan saat dilakukan skrining pasien terduga
TB mengalami kesulitan ketika mengeluarkan dahaknya sehingga waktu diagnosis
menjadi lebih lama dan jarang ditemukan suspek.
4.2.1.3 Pengendalian Faktor Resiko
Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk mencegah, mengurangi
penularan dan kejadian penyakit TB. Upaya yang dilakukan antara lain: a)
pengendalian kuman penyebab TB, b) pengendalian faktor risiko individu c)
pengendalian faktor lingkungan; d) pengendalian secara manajerial, dan e)
pengendalian secara administratif. Berdasarakan hasil wawancara dengan
informan utama di Puskesmas diperoleh informasi bahwa pemegang program TB
di Puskesmas selalu memberikan edukasi kepada pasien tentang cara
penanggulangan penyakit TB, melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk
menjaga kesehatan lingkungan dan gizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh
dari kuman TB, terdapat SOP untuk semua pasien batuk, alur pelaporan, dan
serveilans di Puskesmas, serta penyuluhan etika batuk hanya diberikan kepada
pasien batuk saja. Gasurkes dan kader TB melakukan pengendalian faktor risiko
yaitu dengan skrining, mengadakan investigasi kontak jika ditemukan kasus TB,
dan penyuluhan baik ke pasien TB maupun masyarakat. Berikut kutipan
Page 119
105
wawancara yang dilakukan dengan Informan utama di Puskesmas, sebagai
berikut:
“Kita edukasi untuk apa cara-cara e... membuang dahak yang benar, cara-cara
apa namanya seperti pakai masker/APD juga untuk pasiennya gitu lho, terus
etika batuk seperti itu sih. Ya itu tadi penyuluhan ke warga terus e...
mengedukasi untuk menjaga lingkungan sama gizinya itu lho biar antibodynya
bagus gitu aja. SOP itu ada semua mbak. Salah satunya SOP untuk pasien batuk
itu harusnya menyediakan masker, di sini kalau ada yang batuk langsung
diberikan masker, semua sih petugas juga kalau batuk langsung diberikan
masker... Kalau pelaksanaan penyuluhan etika batuk itu situasuonal ik kalau
misalnya kita ada pasien batuk lha baru kita langsung memberikan penyuluhan.
Informan utama 1
“ ...misalkan di wilayah tersebut di RT si A ada kasus TB misalkan ada orang
terkena TB, lha itu kita diwajibkan dari Dinas Kesehatan Kota itu untuk
melakukan investigasi kontak di area sekitarnya e... 2 sampai 5 rumah disekitar
pasien yang kena TB yaitu e... diwawancara gitu, diskrining apakah batuk atau
tidak.... Upaya yang dilakukan ya kita penyuluhan aja biar mereka itu tau dan
sadar akan bahayanya TB itu biar saling terbuka terus bisa dikasih tau ke
keluarganya masing-masing...”.
Informan utama 3
“Kan nanti kita skrining mbak, nanti kita skrining kan otomatis kita cari suspek
walaupun itu positif atau negatif yang penting kita kan dapet suspek gitu aja...
Sosialisasinya tidak banyak orang mbak tapi kita bagi aja sesuai kelompok
tadi...”.
Informan utama 4
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Informan Triangulasi diperoleh
informasi bahwa Informan Triangulasi memahami dengan baik saran-saran yang
diberikan oleh petugas Puskesmas terkait dengan cara penanggulangan TB agar
tidak menular. Informan Triangulasi 2 tidak mengetahui adanya sosialisasi dan
skrining penyakit TB yang dilakukan oleh petugas kesehatan di lingkungannya,
Page 120
106
serta penyuluhan etika batuk untuk selain pasien TB di Puskesmas. Sedangkan
Informan Triangulasi 3 mengetahui dengan baik kegiatan pengendalian penyakit
TB baik di Puskesmas maupun di lingkungan masyarakat karena seorang
gasurkes.
“Kalau makan itu piring, sendok, sama gelas dilainkan ndak dijakan satu. Kalau
dicuci pakainya tempat sabun sendiri ndak disamakan tapi dipisah-pisah. Kalau
petugasnya keliling itu ya waktu ada periksa jentik-jentik nyamuk itu mbak,
kalau kasih tau ke warga soal sakit TB/batuk ini saya kayanya belum pernah
mbak. Kalau minggu ya saya tetap disuruh datang ke Puskesmas buat suntik itu
mbak. Kalau pas kesana ndak pernah tau ya mbak. Iya saya sama Bapak pernah
dikasih tau pas lagi ambil obat ke sana, kalau batuk ditutup pakai tissu atau
pakai masker gitu. Iya ada kayanya mbak, saya ndak terlalu lihat itu yang ada
di Puskesmas...”.
Informan Triangulasi 2
“Menyarankan kalau batuk ditutupi pakai masker, dahaknya dibersihkan pakai
tissu terus nanti tissunya dikumpulin jadi satu langsung dibuang di tempat
sampah… Kalau di masyarakat ya kalau ada gejala batuk-batuk dalam jangka
waktu yang lama disarankan untuk segera periksa ke Puskesmas, menutup
mulut ketika batuk atau ada orang yang batuk supaya tidak menular atau
tertular… Iya pernah, kan disini ada TV to mbak nah itu bisanya ada video
tentang tata cara batuk yang baik dan benar yang bisa dilihat pengunjung
Puskesmas di ruang tunggu... Iya ada disini”.
Informan Triangulasi 3
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber
terkait dengan pengendalian faktor risiko, diketahui bahwa pelaksanaan
pengendalian sudah dilakukan tetapi belum optimal. Kurangnya informasi yang
diterima Informan Triangulasi terkait dengan upaya pengendalian yang dilakukan
oleh petugas kesehatan di lingkungannya. Pemberian penyuluhan etika batuk
diberikan hanya kepada pasien batuk saja.
Page 121
107
4.2.1.4 Penemuan dan Penanganan Kasus
Penemuan kasus TB dilakukan secara aktif dan pasif melalui investigasi
kontak dan skrining. Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB dilakukan
melalui kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata rantai penularan dan/atau
pengobatan pasien. Tata laksana penanganan kasus dapat dilaksanakan melalui
pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
pengawasan kepatuhan menelan obat, pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil
pengobatan, dan/atau pelacakan kasus mangkir. Hasil wawancara dengan
narasumber di peroleh informasi bahwa pemegang program menemukan kasus TB
dari warga terduga TB yang periksa ke Puskesmas langsung, laporan dari gasurkes
yang berasal dari laporan kader TB, dan laporan dari Rumah Sakit Karyadi.
Pemeriksaan tes TB yang dilakukan yaitu tes mikroskopis dan TCM di Rumah
Sakit Karyadi atau Tugu. Pasien TB yang datang untuk mengambil obat atau
periksa tidak perlu mendaftar terlebih dahulu karena khusus pasien TB
didahulukan untuk meminimalkan terjadinya penularan. Pemegang program
bekerjasama dengan PMO untuk memastikan pasien rutin minum obat dan periksa
ke Puskesmas. Edukasi kepada PMO kurang optimal karena PMO tidak selalu
mendampingi pasien saat mengambil obat atau melakukan pemeriksaan.
Koordinasi dilakukan melalui nomor HP ketika pasien timbul keluhan dan
pemberitahuan waktu mengambil obat.
Berikut kutipan wawancara yang dilakukan dengan informan utama yaitu:
“Penemuan macem-macem, ada yang dari kader ke Gasurkes lalu ke
Puskesmas… Ada yang dari gasurkes ke Puskesmas, ada pasien yang nggak
bisa ke Puskesmas... Hanya TCM setelah positif TB, HIV, sama DM. Periksaan
Page 122
108
yang lainnya itu nggak ada, tidak ada... Ada PMO (Pengawas Minum Obat),
jadi e... kalau memang dari pasien nggak ada PMO kaya ini kan ada pasien
yang sendirian di rumah ndak ada keluarga kita alih kan ke Gasurkes yang
menjadi PMO. Kendalanya apa, ya kan kita ndak tau kaya TB anak itu e...
kadang obat masuk apa nggak, tapi ibunya bilang ya obatnya masuk. Saya
seringnya bilang meskipun sampai muntah ya di ini lagi diminum lagi obatnya,
itu aja sih.
Informan Utama 1
“Langka-langkah penemuan kasusnya tadi kita skrining dulu ke warga. Dimulai
dari skrining terus ada tanda gejala yang masuk atau ndak, kalau ada nanti
disarankan tapi kalau nggak ya nggak. Kalau ditemukan warga yang positif TB,
kita nanti investigasi kontak untuk melihat apakah yang lainnya juga tertular
TB atau tidak.
Informan Utama 3
“Penemuan kasusnya tadi kita skrining dulu ke warga. Dimulai dari skrining
terus, terus nanti kita bawa hasil dahak ke pemegang program TB di
Puskesmas. Kalau hasilnya positif TB, kita melakukan investigasi kontak
dilingkungan sekitarnya”.
Informan Utama 4
“Kan nanti kita skrining mbak, nanti kita skrining kan otomatis kita cari suspek
walaupun itu positif atau negatif yang penting kita kan dapet suspek gitu aja.
Semisal kita ada indeks kasus nanti kita skrining, kalau ndak semisal kita PJN
itu to mbak e... kita kan PJN to mbak ke RT/RW itu seminggu sekali tapi kalau
kita ke kelurahan itu 1 bulan sekali, jadi pada saat itu kita juga skrining mbak…
Sosialisasinya tidak banyak orang mbak tapi kita bagi aja sesuai kelompok tadi.
Informan Utama 5
“Saya dapet suspek 1 itu tahun ini 2019, ya sekitar 2 bulan itu diwilayah sini
ada… Saya tau ada yang batuk itu dari orang-orang sama keluarga itu e... pas
posyandu, terus saya kunjungan kesana sama Gasurkes terus bawa pot sekalian
terus langsung tak tanya-tanya to lha batuk udah sekitar berapa hari atau bulan.
Saya kasih pot dahak terus tak arahin mbak, bawa dahaknya itu ke Puskesmas
ke laborat pagi-pagi biar tau positif atau tidaknya...”.
Page 123
109
Informan Utama 6
Hasil wawancara dengan traingulasi 2 dan Informan Triangulasi 3 diperoleh
informasi bahwa terbatasnya informasi yang diketahui oleh Informan Triangulasi
2 tentang upaya penemuan kasus yang dilakukan oleh petugas kesehatan,
sedangkan Informan Triangulasi 3 mengetahui upaya tersebut. Penanganan kasus
yang dilakukan oleh kedua Informan Triangulasi sudah sesuai dengan saran yang
diberikan oleh petugas kesehatan di Puskesmas. Kutipan wawancara yang
dilakukan dengan Informan Triangulasi sebagai berikut:
“Kalau itu saya tidak tau. Iya kemarin dikasih tau suruh nunggu 5 hari setelah
periksa dahaknya itu, soalnya kan periksanya disana e... tesnya itu dibawa ke
Karyadi terus hasilnya dikasih tau kalau positif sama petugas Puskesmasnya
itu... Saya dikasih taunya suruh ngingetin Bapak rajin minum obatnya sama
periksa ke Puskesmas buat suntik gitu aja mbak, kalau obatnya mau habis
tinggal berapa gitu ya saya ke Puskesmas buat ambil. Iya nanti pas ketemu sapa
pak Supri atau bu Rini biasanya ditanya Bapaknya rutin minum obatnya apa
tidak, ya saya jawabnya rutin kan pasti saya yang ngingetin mbak ke Bapaknya
gitu”.
Informan Triangulasi 2
“Hasil dari skrining yang dilakukan gasurkesnya mbak itu kan nanti dapat
suspek terus di tes di labnya buat mastiin positif atau negatif. Ada juga laporan
dari masyarakatnya sendiri bilang ke kami gasurkesnya kalau ada warga yang
batuk-batuk lama terus nanti gasurkes mangunjungi untuk skrining. Pasien sih
dikasih tahu nya gini, jadi nanti dahaknya itu di bawa ke laboratorium buat di
tes apakah positif atau negatif TB. Nunggu ya paling lama seminggu nanti baru
keluar hasilnya... Ini kan kebetulan saya sendiri yang jadi PMOnya mbak, jadi
ya ini orangnya kalau ada keluhan apa-apa setelah minum obat langsung
ngubungi saya lewat WA terus nanti saya yang sampaikan ke petugas TB
Puskesmas terkait keluhannya tadi gitu...”.
Informan Triangulasi 3
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber
Page 124
110
terkait dengan penemuan dan penanganan kasus TB, diketahui bahwa
pelaksanaannya sudah sesuai dengan standar. Akan tetapi, dibagian pengawasan
kepatuhan menelan obat belum sesuai standar, sosialisasi yang seharusnya
disampaikan ke PMO tidak tersampaikan dan keteraturan minum obat pasien yang
dilaporkan masih diragukan oleh pemegang program TB terutama pasien yang
PMOnya gasurkes.
4.2.1.5 Pemberian Kekebalan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan melalui
imunisasi BCG terhadap bayi. Sebagai salah satu upaya pencegahan TB aktif pada
ODHA, pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PPINH) dapat
diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi
terhadap INH. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber diketahui bahwa
untuk pencegahan terjadinya penularan pasien TB terhadap bayi dilingkungannya,
maka petugas kesehatan memberikan imunisasi BCG. Sedangkan bagi ODHA
diberikan kombinasi pengobatan yaitu dengan pmberian obat ARV dan OAT (Obat
Anti Tuberkulosis). Berikut kutipan wawancara yang dilakukan yaitu:
“Bagi adik-adik bayi wajib diimunisasi BCG, bagi yang berusia kurang dari 5
tahun yang berisiko tertular TB menggunakan PPIMR. Kalau untuk ODHA itu
diberikannya PPINH”
Informan Triangulasi 1
“Anak bayi diimunisasi BCG pada usia 9 bulan. Bila ada 1 rumah terkena TB,
maka anak balita diberi PPINH selama 6 bulan. Kalau disini belum ada sih mbak
pasie ODHA dengan TB, ya semoga aja tidak ada ya mbak. Kalau kaya gitu nanti
jadinya tatalaksananya ODHA dengan TB berarti”.
Informan utama 1
Page 125
111
Hasil wawancara dengan narasumber tersebut diketahui bahwa
pelaksanaan pemberian kekebalan kepada balita dilaksanakan sesuai dengan
standar yang ada.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), kegiatan
pengendalian Tuberkulosis dapat digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Promosi kesehatan
dilakukan disemua
tingkatan
administrasi baik
pusat, provinsi,
kabupaten/kota
sampai dengan
fasilitas pelayanan
kesehatan. selain itu,
juga dapat dilakukan
oleh kader organisasi
kemasyarakatan
sebagai mitra.
Dari Informan Triangulasi-1
memberikan sosialisasi kepada
petugas Puskesmas terkait
program TB. Informan utama-
1,3, dan 4 telah melakukan
sosialsasi ke pasien TB,
pertemuan FKK atau PKK, dan
pertemuan tingkat RT/RW.
Informan utama-3 dan
informan utama-4
menggunkana media
komunikasi langsung dan
leaflet jika dibutuhkan karena
jumlahnya terbatas. Informan
Triangulasi-2 menerima
sosialisasi secara langsung
tanpa melihat media
komunikasi yang lain.
Selain itu, juga menjalin
kerjasama dengan pemangku
kebijakan wilayah kerja
Puskemas. Akan tetapi,
informan Informan Triangulasi
2 menyatakan bahwa tidak
pernah mengetahui ada
sosialisasi TB di
lingkungannya dan tidak
mengetahui kerjasama antara
petugas Puskesmas dengan
pemangku kebijakan di tempat
Promosi kesehatan
yang dilakukan sudah
sesuai dengan standar,
tetapi belum optimal.
Informasi dari
sosialisasi yang
dilakukan belum
tersampaikan secara
menyeluruh ke semua
masyarakat. Selain
itu, Informan
Triangulasi-2 dan
Informan Triangulasi-
3 hanya mendapatkan
sosialisasi ketika
periksa di Puskesmas
saja. media komukasi
yang digunakan
kurang mencukupi.
Page 126
112
tinggalnya.
2. Surveilans TB
merupakan
pemantauan dan
analisis sistematis
terus menerus
terhadap data dan
informasi tentang
kejadian penyakit
TB, yang diperoleh
dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
atau diperoleh
langsung dari
masyarakat atau
sumber data lainnya.
Pemegang program TB
bekerjasama dengan petugas
epidemiologi, gasurkes, Rumah
Sakit dan kader Aisyiyah
dalam pengumpulan data
melalui kegiatan skrining
untuk memperoleh suspek dan
follow up pasien. Selain itu,
data juga diperoleh dari
laporan masyarakat sekitar
Puskesmas.
Akan tetepi, Informan
Triangulasi 2 tidak mengetahui
kegiatan penemuan kasus yang
dilakukan oleh Puskesmas.
Pelaksanaan
surveilans sudah
dilakukan sesuai
dengan standar.
3. Pengendalian faktor
risiko TB ditujukan
untuk mencegah,
mengurangi
penularan dan
kejadian penyakit
TB.
Semua informan utama telah
melakukan sosialisasi terkait
cara pananggulangan TB, dan
penyuluhan etika batuk yang
baik dan benar.
Pengendalian faktor
risiko TB sudah
dilaksanakan sesuai
standar.
4. Penemuan kasus TB
dilakukan secara
aktif dan pasif.
Penanganan kasus
dilakukan melalui
kegiatan tata laksana
kasus untuk memutus
mata rantai penularan
dan/atau pengobatan
pasien.
Informan utama-1 mendapat
laporan kasus TB dari
informan utama-3 dan
informan utama-4 ketika
melakukan skrining dan
investigasi kontak, pasien TB
yang periksa di Puskesmas,
dan laporan dari Rumah Sakit.
koordinasi antara informan
utama-1 dan Informan
Triangulasi-2 kurang optimal,
karena tidak setiap
pengambilan obat PMO datang
ke Puskesmas.
Penemuan dan
penanganan kasus
sudah sesuai dengan
standar. Akan tetapi,
dibagian pengawasan
kepatuhan menelan
obat belum sesuai
standar, sosialisasi
yang harusnya
disampaikan ke PMO
tidak tersampaikan
dan keteraturan
minum obat pasien
masih diragukan oleh
informan utama-1
terutama pasien TB
yang PMOnya
Page 127
113
gasurkes.
5. Pemberian kekebalan
berupa vaksinasi dan
pengobatan
pencegahan
(profilaksis).
Pemberian imunisasi BCG dan
PPINH pada anak balita.
Pemberian kekebalan
sudah sesuai dengan
standar.
4.2.3 Sumber Daya
Menurut Peraturan Walikota Semarang Nomor 39 Tahun 2017, menyatakan
bahwa Dinas Kesehata Kota Semarang bertanggungjawab atas peningkatan
derajat keshatan masyarakat Kota Semarang dalam kontribusinya atas
terwujudnya pelaksanaan strategi DOTS yaitu memberikan dukungan secara
maksimal atas penyediaan logistik OAT dan non OAT, melakukan pembinaan
SDM dalam bentuk pelatihan bersertifikasi, seminar, symposium dan refreshing
program dengan mendatangkan tenaga ahli. Disamping itu juga
diselenggarakannya monitoring dan evaluasi P2TB bentuk pertanggungjawaban
kepada masyarakat atas keberhasilang program yang dilaksanakan. Hal tersebut
dilakukan sebagai upaya peningkatan sumber daya dalam pelaksanaan program
Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis Kota Semarang.
Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016 menyatakan bahwa Sumber daya
terdiri dari petugas sebagai sumber daya manusia (SDM), yang bertanggung
jawab untuk promosi, petugas di puskesmas dan sumber daya lain berupa sarana
dan prasarana serta dana. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama
diperoleh informasi bahwa ketersedian sumber daya manusia di Puskesmas sudah
sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku terdiri dari programer
TB/pemegang program TB, dokter, perawat, petugas laboratorium. Pemegang
Page 128
114
program juga melakukan kerjasama dengan bidang lain, seperti petugas
epidemiologi, gasurkes pengendalian penyakit, dan bidan. Pemegang program TB
belum mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan Kota terkait dengan
peyelenggaraan program P2TB. Petugas laboratorium sudah mendapatkan
pelatihan pada tahun 2017 terkait dengan pemeriksaan mikroskopis, sedangkan
gasurkes telah mendapat pelatihan sebanyak 1 kali diawal tahun bekerja sebagai
gasurkes oleh Dinas Kesehatan Kota.
“Sumber daya manusia di Puskesmas sudah sih, sudah cukup. Sudah sesuai sih
sama peraturan, seperti perawatnya yang jadi programer TB, petugas
laboratorium, dokter, perawat. Pemegang program TB juga bekerjasama dengan
bidang lain, seperti petugas epidemiologi, gasurkes pengendalian penyakit, dan
bidan... Pelatihannya itu ndak mesti tergantung Dinas yang mengadakan. Kalau
dari Puskesmasnya sendiri ndak ada pelatihan, menuggu dari Dinas. Berapa kali
ya, saya selama disini belum pernah ada pelatihan...”.
Informan utama 1
“Kalau pelatihannya ndak mesti ada, terakhir ada pelatihan itu tahun 2017.
Kemarin itu pelatihan terkait mikroskopisnya, jadi kita membuat sediaan sama
membaca hasilnya.
Informan utama 2
“Ya sudah soalnya disisni kan wilayahnya kecil, jadi e... sudah pas gitu lho itu
sudah sesuai. Ya pernah, jadi setiap kita awal tahun atau awal pertama kali
kerja gitu kaya dikasih pengetahuan baru sama Dinas Kesehatan Kota. Kalau
tahun ini sudah pernah dilakukan, ya itu tadi awal tahun”.
Informan utama 3
“Sudah memadai sih insyaallah sih sudah. Pernah pelatihan sekali dalam
setahun kegiatannya itu dalam 2 hari. Pelatihannya itu dari Dinas Kesehatan
Kota yang ngadain. Sekali dalam setahun”.
Informan Utama 4
Page 129
115
“Ndak ada yang saya bawa pas sosialisasi, ya cuma hanya ngomong aja. Paling
pot dahak itu mbak, kalau ada yang gejala TB kalau ndak ada ya saya ndak
bawa. Ndak ada dana mbak buat sosialisasi itu. Pelatihan untuk kader TB ada
mbak, dari Aisyiyah itu 1 tahun sekali ada mbak di Kecamatan itu khusus untuk
TB tahun ini baru 1 kali mbak”.
Informan Utama 5
“Kalau saya kan dari Aisiyah mbak, jadi itu biasane kalau di PKK atau apa itu
mesti saya bawa karena memang 1 itu mbak leafletnya ya untuk semua. Kalau
dari Puskesmas saya belum diberikan, tapikan karena mungkin dari Aisiyah
juga sudah ada kan mungkin juga sama... Soal e emang ndak ada dana. Ndak
ada mbak, kita kan sosialisasi sendiri… Kalau Puskesmas buat pelatihan kader
TB kayane belum ada”.
Informan Utama 6
Hasil wawancara dengan informan utama di Puskesmas diperoleh informasi
bahwa ketersedian Obat Anti Tuberkulosis (OAT), perbekalan kesehatan, sarana
dan prasarana dipenuhi oleh Dinas Kesehatan Kota. Ketersdian dana berasal dari
BOK. Pelaksanaan sosialisasi ke masyarakat tidak pernah menggunakan dana,
karena yang mengadakan sosialisasi pihak FKK kelurahan dengan melakukan
kontrak waktu saja. Kutipan wawancara yang dilakukan dengan informan utama
sebagai berikut :
“Jadi kita kalau misalnya obatnya e... perlu obat yang pasien baru sudah ada
stoknya.... Lebih mudah sekarang karena aplikasi ya. Sarana dan prasarana
sudah cukup. APD juga sudah cukup ya. Tidak ada dana, dari Dinas semua.
Obat dari Dinas, pelaporan kita online. Dana dari BOK, tapi kalau kita ada
penyuluhan itu yang mendanai dari FKK soalnya kita menunggu di undang”
Informan utama 1
“Kalau peralatannya sudah mencukupi tapi kalau untuk tempatnyakan harusnya
kan jendelanya besar tempatnya juga harusnya luas. Pengadaan itu kita pakai
dana BLUD. Sudah cukup, biasanya APD yang digunakan itu jas Lab, masker
Page 130
116
sama sarung tangan”.
Informan utama 2
“Jadi e... dari Puskesmas itu ya juga apa ya memfasilitasi misalkan apa butuh
apa kaya butuh pot dahak pun langsung dikasih nggak nggak dipersulit, soalnya
targetnya pun disini masih kurang. Kalau dana saya selama dilapangan untuk
sosialisasi dan skrining tidak pernah menggunakan dana.
Informan Utama 3
“Sarana dan prasarananya sudah cukup memadai. Kalau masalah dana saya
kurang tau. Sosialisasi saya tidak pernah menggunakan dana, hanya kontrak
waktu saja”.
Informan utama 4
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Informan Triangulasi 2 dan
Informan Triangulasi 3 diperoleh informasi bahwa pelayanan yang diberikan oleh
petugas di Puskesmas sudah memenuhi kebutuhan pasien dalam melakukan
pemeriksaan. Pasien TB selalu mendapatkan OAT sesuai dengan kebutuhannya
tanpa menunggu waktu yang lama. Selain itu, pasien tidak merasa keberatan
dalam membayar biaya pemeriksaan karena menggunakan BPJS Kesehatan.
berikut kutipan wawancara yang dilakukan:
“Saya kira cukup, tapi nggak tau kalau sama orang lain tapi kalau saya cukup...
Baik gitu mbak terus sering ngasih saran buat Bapak gitu-gitu... Kalau untuk
saya pasti sudah ada, jadi kalau obat saya habis sudah ada disana saya langsung
dikasih... Kalau itu saya kurang tau ya mbak soalnya kan saya ndak pernah
masuk di ruang sana sih. Masuknya hanya sampai didepan aja itu mbak, kalau
Bapak kan lewatnya langsung lewat samping itu ada pintu disitu ada bel terus
pencet bel nya itu langsung nanti petugasnya keluar terus ngasih obat... Kalau
saya pakainya BPJS mbak, jadi ndak bayar ke Puskesmasnya”.
Informan Triangulasi 2
“Sudah cukup. Ya sudah bagus pelayanan petugasnya. Ndak pernah kekurangan
Page 131
117
obat kalau disini. E.... baik sudah memadai ruangannya bagus. Kalau ini saya
kurang tahu mbak soalnya kalau ambil obat diambil sendiri sama pasiennya…”.
Informan Triangulasi 3
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber
terkait dengan sumber daya, diketahui bahwa ketersediaan sumber daya (tenaga,
ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, dan pendanaan) sudah sesuai dengan
standar. Akan tetapi, pemegang program mengatakan belum pernah mendapatkan
pelatihan terkait dengan pelaksanaan program P2TB selama memegang program
tersebut. Kader TB belum pernah mendapatkan pelatihan yang dilaksanakan
Puskesmas, pelatihan yang diterima dari LSM Asyiyah.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), sumber daya dapat
digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Puskesmas harus
menetapkan dokter,
perawat, dan analis
laboratorium terlatih yang
bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan program
Penanggulangan TB.
Jumlah SDM sudah
memenuhi dan sesuai
Ketersediaan
sumber daya
sudah sesuai
dengan standar.
2. Pelatihan sebagai upaya
peningkatan sumber daya
manusia TB dengan cara
meningkatkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan
petugas dalam rangka
meningkatkan kompetensi
serta kinerja petugas TB
Infroman utama-2,
informan utama-3, dan
informan utama-4 sudah
mengikuti pelatihan,
tetapi informan utama-1
belum pernah mendapat
pelatihan.
Pelatihan belum
dilakukan sesuai
standar. Salah satu
informan utama
belum pernah
medapatkan
pelatihan selama
menjabat menjadi
pemegang
program TB.
Page 132
118
3. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas
ketersediaan obat dan
perbekalan kesehatan dalam
penyelenggaraan
Penanggulangan TB
Ketersediaan obat selalu
tercukupi dan tersedia.
Sarana dan prasarana
sudah tercukupi.
Informan Triangulasi-2
Ketersediaan obat
sesuai dengan
standar.
4. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah wajib
menjamin ketersediaan
anggaran Penanggulangan
TB.
Terdapat dana BOK,
tetapi pelaksanaan
program P2TB tidak
pernah menggunakan
dana tersebut.
Ketersediaan dana
sesuai dengan
standar
4.2.4 Sistem Informasi
Sistem informasi yang dimaksud dalam Permenkes RI Nomor 67 Tahun
2016 yaitu data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari sistem
pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir baku secara manual
didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB
menggunakan sistem informasi elektronik.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan informan utama di
Puskesmas diperoleh informasi bahwa pemegang program melakukan pencatatan
dan palaporan ke Kementerian Kesehatan RI menggunakan aplikasi SITT (Sistem
Informasi Terpadu Tuberkulosis), sedangkan pencatatan dan pelaporan kepada
Dinas Kesehatan Kota menggunakan aplikasi Semar Betul. Setiap ada pasien baru
melakukan pemeriksaan langsung diinput ke sistem tersebut, sehingga Dinas
Kesehatan Kota dapat melihat data tersebut setiap saat. Pelaporan ke Puskesmas
dilakukan setiap bulan menggunakan aplikasi SIK Puskesmas. Pencatatan dan
pelaporan juga ditulis dalam formulir-formulir pasien TB yang ada di Puskesmas
Page 133
119
sesuai dengan hasil pemeriksaan pasien TB. Petugas laboratorium melaporkan
hasil pemeriksaan laboratorium pasien TB ke pemegang program TB langsung.
Koordinasi antar petugas ada sedikit hambatan dalam penyediaan data pasien TB
yaitu pencatatan dan pelaporan pasien TB baru yang dilakukan oleh pemegang
program dan petugas laboratorium mengalami keterlambatan dalam menginput
data ke sistem Semar Betul. Gasurkes melakukan pelaporan ke Dinas Kesehatan
Kota dan Puskesmas setiap bulan dalam bentuk laporan hardfile dan softfile
(mengirim melalui email). Berikut kutipan wawancara yang dilakukan dengan
informan utama yaitu:
“Pencatatan dan pelaporan kita online, ada aplikasinya namanya SITT (Sistem
Informasi Terpadu Tuberkulosis) itu sudah sampai pusat, terus ada lagi si Semar
Betul dari Dinas Kesehatan Kota.... Selain itu, ada pelaporan bulanan SIK
(Sistem Informasi Puskesmas) disitu kita kita juga ngisi jumlah pasien kita
bulan itu... Jadi, dia kemarin mengejar kita petugas TBnya karena kita belum
sampai ke pendiagnosaan. Kita sampai ke pendiagnosaan itu setelah mendata
pasien terus dikonfirmasi sama apa namanya, petugas laboratorium kita
mendiagnosa jadi memang alurnya keluar masuk dari aplikasi gitu lho...”.
Informan utama 1
“Pelaporannya khusus TB, saya leporan ke pemegang programnya terus nanti
yang laporan ke Dinasnya pemegang program”.
Informan utama 2
“Kalau Dinas Kesehatan Kota ya itu dengan pelaporan SPJ itu setiap bulan kita
pelaporan, ada formnya, mangkir obat berapa, kunjungan rumah pasien TB
berapa gitu. Jadi, ada SPJ nya dan itu ada juga dionlinenya juga, ada sistem
kalau di Dinas Ksehatan itu Semar Betul”.
Informan Utama 3
“.... Kalau laporan untuk hardfile dan softfile itu perbulan ke Puskesmasnya.
Kalau Dinas Kesehatan Kota laporannya itu hardfile dan softfile perbulan”.
Page 134
120
Informan utama 4
“Saya kalau semisal menemukan terduga punya penyakit TB, nanti saya bilang
ke gasurkesnya kalau disini ada yang punya ciri-ciri TB kalau ndak ya ke
petugas yang di Puskesmasnya itu, nanti gasurkesnya langsung ke tempat
penderita TB tadi”.
Informan utama 5
“E... ini saya nganu mbak ya, saya itu langsung ke Gasurkes. Kan antar
Gasurkes sama Puskesmas kan kerjasama terus sekarang kan sama kader
kerjasama...”.
Informan Utama 6
Hasil wawancara dengan Informan Triangulasi diketahui bahwa pencatatan
dan pelaporan dari pelaksana program P2TB di Puskesmas ke Dinas Kesehatan
Kota melalui aplikasi Semar Betul yang dapat diakses setiap hari. Informan
Triangulasi 2 dan Informan Triangulasi 3 pencatatan atau pendataan dilakukan
sekali diawal pasien melakukan pemeriksaan di Puskesmas. Kutipan wawancara
yang dilakukan dengan Informan Triangulasi sebagai berikut:
“Menggunakan aplikasi yang namanya SEMAR BETUL kagiatan pencatatan
dan pelaporannya. Semar Betul itu berjalan kurang lebih e... tahun 2019 tetapi
penekanan penggunaannya itu mulai Juni 2019 sebelumnya pakai SITT sejak
tahun 2013. Setiap saat bisa melaporkan kasus-kasusnya ke Semar Betul. Dinas
bisa langsung melihat laporan di aplikasi itu, tapi tergantung dari yang
menginput data-data atas temuan kasus-kasusnya ke Semar Betul... Kalau
kedala itu ya kaitannya dengan penguasaan sistem aplikasinya ya, kalau tidak
menguasai ya menjadi kendala dalam menginput data-data ya...”.
Informan Triangulasi 1
“Nggak, ya waktu dulu itu ada petugas yang datang kesini mbak pas awal tau
bapak sakit TB gitu tapi ya sekali itu aja mbak dicatatnya... Ya sekali waktu
dulu itu aja”.
Page 135
121
Informan Triangulasi 2
“Kalau pencatatan itu dilakukan di awal ketika dia sudah diperiksa dahaknya di
Puskesmas kan itu pasti ditanyakan tentang identitasnya, keluhan sakitnya apa
saja, terus berapa lama sakitnya kaya gitu-gitu. Diawal pas periksa itu, ya sekali
berarti”.
Informan Triangulasi 3
Hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber diketahui bahwa
sistem informasi program P2TB masih terdapat hambatan yang dialami dalam
pencatatan dan palaporan yaitu penguasaan aplikasi oleh petugas TB di
Puskesmas yang masih kurang. Penguasaan aplikasi oleh petugas Puskesmas saat
ini bisa dikatakan baru sebesar 40%. Koordinasi antar petugas di Puskesmas ada
sedikit hambatan yaitu adanya keterlambatan diagnosis yang dilakukan oleh
petugas TB karena harus menunggu konfirmasi dari petugas laboratoriumnya
terlebih dahulu, sehingga pencatatan dan pelaporan tidak bisa langsung diinput ke
dalam sistem dan petugas epidemiologi harus menunggu beberapa waktu untuk
melakukan kunjungan rumah menggunakan data dari petugas TB tersebut.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), sistem informasi dapat
digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Puskesmas harus
melaporkan jumlah
pasien TB di wilayah
kerjanya kepada Dinas
Kesehatan Kota
kabupaten/kota setempat.
Pelaporan disampaikan
setiap 3 bulan sekali.
Pencatatan dan pelaporan
dilakukan secara online
melalui aplikasi Semar
Betul oleh informan
utama-1 dan informan
utama-2, sedangkan
informan utama 3
melakukan pencatatan
Informan utama-1
dan informan
utama-2 masih
mengalami
kesulitan dalam
menggunkan
aplikasi
pencatatan dan
Page 136
122
dan pelaporan secara
manual.
pelaporan,
sehingga
beberapa data ada
yang belum
diinputkan.
4.2.5 Koordinasi, Jejaring Kerja, dan Kemitraan
Permenkes RI Nomor 67 tahun 2016, menytakan bahwa penyelenggaraan
Penangggulangan TB perlu didukung dengan upaya mengembangkan dan
memperkuat mekanisme koordinasi, serta kemitraan antara pengelola program
TB dengan instansi pemerintah lintas sektor dan lintas program, para pemangku
kepentingan, penyedia layanan, organisasi kemasyarakatan, asuransi kesehatan,
baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Berdasarkan Praturan Walikota
Semarang Nomor 39 Tahun 2017, menyatakan dalam rangka efektifitas dan
efesiensi pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Penanggulangan TB untuk mencapai
target perlu pembentukan dan penguatan Forum Koordinas Penanggulangan TB.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program TB di Puskesmas
diperoleh informasi bahwa Dinas Kesehatan Kota melakukan monitoring dan
evaluasi setiap 3 bulan sekali, untuk tahun 2019 baru dilaksanakan 1 kali.
Supervisi dilaksanakan setiap satu tahun sekali oleh Dinas Kesehatan Kota di
Puskesmas. Monitoring dan evaluasi di Puskesmas dilaksanakan setiap bulan oleh
pemegang program TB, petugas laboratorium, dan gasurkes dalam mini lokal
karya yaitu pemaparan capaian kinerja dan target-targetnya. Dalam melaksanakan
program P2TB, pemegang program TB di Puskesmas menjalin kerjasama lintas
program dengan petugas epidemiologi dan petugas KIA, sedangkan kerjasama
lintas sektoral dilakukan dengan pihak kelurahan. Petugas laboratorium telah
Page 137
123
mengirimkan crosschek laboratorium sebanyak 2 kali setiap triwulan ke Dinas
Kesehatan Kota, tetapi untuk pertemuan monitoring dan evaluasi di tahun 2019
belum pernah dilaksanakan. Monitoring dan evaluasi oleh gasurkes kepada Dinas
Kesehatan Kota dilaksanakan setiap 1 tahun sekali di awal tahun. Kutipan hasil
wawancara yang dilakukan dengan informan utama sebagai beriku:
“Setahun sekali supervisi dilakukan di Puskesmas... Dari Dinas em... ndak
mesti ya mbak, jadikan kemarin itu kita diundang tapi sekarang belum ada
undangan lagi. Jadi, dari Dinas kita ngikutinnya ndak tau jadwalnya berapa
sekali setahun… Kalau di Puskesmas ada minlok (mini lokal karya) itu kita jadi
melaporkan kinerja kita setiap bulan kepada Kepala Puskesmas, kalau dengan
kader atau Gasurkes ada sebulan sekali.... Terus misalnya TB anak itu kan
harus kerjasama dengan KIA, e... sama ini epid jadi petugas epidnya itu kan dia
yang melakukan kunjungan rumah kita kerjasama untuk pasien TB biar bisa
tertangani... Ya untuk penyuluhan-penyuluhan itu to di kelurahan.
Inforan utama 1
“Kegiatannya kalau yang monev itu untuk tahun kemarin setahun bisa 4 kali
setiap triwulan terus kita ngirim crosschek lab itu kalau ada itu dikirim ke Balai
Lakes Provinsi lewat DKK secara online dan juga slidenya kalau ada. Kalau
sekarang pertemuannya ndak ada, kita cuma crosschek aja. Triwulan pertama
kita ngirim, triwulan kedua kita ndak ada yang periksa... Ada tiap lokmin tiap
satu bulan sekali... “.
Informan utama 2
“Kalau monevnya kita setiap bulan paparan sama kepala Puskesmas sama
pemegang program sama epidemiologi, jadi kita kaya paparan gitu per
Kelurahan jumlah orangnya yang TB itu berapa, suspeknya berapa yang positif.
Kalau monev sama Dinas Kesehatan Kota sudah pernah diawal tahun
kemarin”.
Informan Utama 3
“Tiap bulan ada monev dari Puskesmas, kalau dari Dinasnya sudah pernah
diawal tahun. Berapa kali dalam setahun itu kurang tau, pihak Dinasnya yang
ngasih tau jadi nggak direncanakan misalkan direnacanakannya dalam
Page 138
124
undangan gitu, kita belum tau tapi sudah pernah diawal tahun”.
Informan utama 4
“Kalau evaluasi sama Puskesmasnya belum pernah mbak, paling saya Cuma
laporan kalau ada warga yang terduga TB ke mereka atau sama gasurkesnya”.
Informan Utama 5
“Kalau evaluasi itu ndak ada.. Pelatihan untuk kader TB ada mbak, kalau
khusus untuk TB tahun ini baru 1 kali mbak. Tapi kalau pertemuan kader
kesehatan secara umum di Puskesmas itu kadang ya di sampaikan mbak sedikit.
Pelatihan dari Aisyiyah itu 1 tahun sekali ada mbak di Kecamatan itu”.
Informan utama 6
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Informan Triangulasi 1 diperoleh
informasi bahwa Dinas Kesehatan Kota melakukan monitoring dan evaluasi setiap
3 bulan sekali dalam bentuk capaian-capaian program, kinerja programer di
Puskesmas, dan permasalahan-permasalahan yang ada. Hambatan yang muncul
dalam kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota dengan petugas TB di Puskesmas
yaitu kurangnya koordinasi antara pemegang program baru dengan pemegang
program lama saat terjadi pergantian petugas. Berikut kutipan wawancara yang
dilakukan dengan Informan Triangulasi 1, yaitu:
“Monitoringnya dilaksanakan 3 bulan sekali dalam bentuk capaian-capaian
program... Kinerja programer yang ada di Puskesmas sekalian evaluasi
per,masalahan-permasalahan apa yang didapatkan dan kenapa terget kasus yang
ditetapkan tidak terpenuhi. RAD penanggulangan TB itu juga mengharuskan
semua pihak, semua komponen, dan semua Stakeholder yang ada di Kota
Semarang untuk berperan sesuai dnegan kapasitasnya masing-masing di dalam
program penanggulangan TBC. Akan tetapi masih ada hambatannya yaitu
kalau ada pergantian petugas yang baru, kan petugas yang baru itu belum
mendapatkan pemahaman yang memadai tentang program-program
penanggulangan TB seperti kompetensi yang sudah e... dimiliki oleh petugas
yang lama yaitu yang menjadi kendala kita”.
Page 139
125
Informan Triangulasi 1
Hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber diketahui bahwa
koordinasi, jejeraing kerja, dan kemitraan belum optimal karena masih terdapat
hambatan yaitu kurangnya koordinasi antara pemegang program baru dengan
pemegang program lama saat terjadi pergantian petugas terkait dengan kesetaraan
pemahaman program penanggulangan Tuberkulosis. Monitoring dan evaluasi oleh
Dinas Kesehatan Kota kepada petugas TB di Puskesmas baru dilaksankan 1 kali
dalam setahun. Petugas laboratorium belum pernah menghadiri pertemuan
monitoring dan evaluasi di Dias Kesehatan Kota, hanya mengirimkan crosschek
laboratorium saja ke Dinas Kesehatan Kota. Evaluasi antara petugas TB di
Puskesmas dengan kader TB terkait program penanggulangan TB belum pernah
dilakukan.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), koordinasi, jejaring
kerja, dan kemitraan dapat digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Dinas Kesehatan Kota
melakukan pembinaan,
monitoring dan evaluasi
kegiatan program TB di
fasyankes.
Informan utama-
1 di tahun 2019
baru mengikuti
kegiatan monev
1 kali. Informan
utama-2 belum
melaksankan
pertemuan
monev, hanya
mengirimkan
crosschek
laboratorium saja
ke Dinas
Monev tahun 2019 untuk
informan utama-1 dan
informan utama-2 belum
optimal karena baru
dilaksanakan 1 kali,
seharusnya dapat
dilaksanakan sebanyak 4
kali dalam setahun.
Page 140
126
Kesehatan Kota.
Informan utama-
3 melakukan
kegiatan monev
setiap 1 kali
dalam setahun.
Informan utama-
4 belum pernah
melakukan
monev dengan
Puskesmas.
2. Hubungan
kerjasama/bauran
pemerintah-swasta,
seperti: kerja sama
program penanggulangan
TB dengan faskes milik
swasta, kerja sama dengan
sector
industri/perusahaan/tempat
kerja, kerja sama dengan
lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Puskesmas
bekerjasama
dengan pihak
kelurahan dan
kader Aisyiyah
dalam
pelaksanaan
program P2TB
Jejaring kerja dan
kemitraan belum optimal
karena belum melibatkan
kerjasama dengan sector
industry/perusahaan/tempat
kerja yang ada di sekitar
wilayah Puskesmas
Karangalang.
4.2.6 Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016, yaitu
upaya pencegahan dan penanggulangan Tuberkulosis dapat mendorong
tercapainya target program. Masyarakat perlu terlibat aktif dalam kegiatan sesuai
dengan kondisi dan kemampuan, karena Tuberkulosis dapat ditanggulangi
bersama. Pelibatan secara aktif masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan baik lintas program dan lintas sektor diutamakan pada 4 area dalam
program Penanggulangan TB yaitu: penemuan orang terduga TB, dukungan
pengobatan TB, pencegahan TB, dan mengatasi faktor sosial yang mempengaruhi
Page 141
127
penanggulangan TB.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama di Puskesmas
diperoleh informasi bahwa pemegang program TB, gasurkes, dan kader TB telah
melakukan sosialisasi penyakit TB dan cara penanggulangannya ke masyarakat.
Belum semua masyarakat dapat menerima informasi yang disampaikan dalam
sosialisasi tersebut. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan dengan informan
utama, yaitu:
“Kalau selama ini kan kita memang e... pasien dirahasiakan indentitasnya itu ka
etika ya ada kode etiknya untuk pasien TB, jadi karena itu kita ada keterbatasan
dari peran serta masyarakat dalam pengobatan. Masyarakat ndak tau kalau ada
tetangganya yang sakit TB to gitu, jadi ya paling ya hanya itu kalau ada yang
batuk suruh priksa gitu aja... Ya itu peran serta masyarakat minim karena kan
ada keterbatasan informasi to untuk tau ada pasien TB di lingkungannya, jadi
kases sosialnya juga susah.”
Informan utama 1
“Kalau masyarakatanya sendiri ya ada yang mendukung tapi ada juga yang
belum terbuka dan mendukung. Lebih mendukung ya kadernya...”.
Informan utama 3
“Ya masyarakat yang terbuka sama kita ikut mewaspadai terus ikut
mengingatkan kalau itu yang penyakit TB pengobatannya teratur kaya gitu, ikut
saling mengingatkan. Bagi masyarakat yang belum mau terbuka sama sakitnya
ya masih banyak juga disini”.
Informan Utama 4
“Ya kendalane ya itu mbak..., intinya sok malu gitu dari orang lain jangan
sampai tahu punya penyakit TB. Lingkungan ndak mengucilkan, tapi malah
keluarga yang menutupi biar orang lain ndak tahu... penderita juga jarang yang
pakai masker gitu mbak, kalau diingatkan ya ngeyel...”.
Informan utama 5
Page 142
128
“Kalau kita bilang Tb itu seolah-olah TB itu sesuatu yang pokok e momok. Ya
itu tadi kita harus menghilangkan stigma itu tadi mbak stigma itu masih, itu
dimana-mana mbak soal e kalau di kota itu banyaknya seperti itu mereka ndak
open... dimana-mana lah dia ndak pakai APD... Kalau waktu saya skrining itu
dikasih pot, tapi kebanyakan itu tidak mau yang saya alami lho...”.
Informan Utama 6
Hasil wawancara dengan Informan Triangulasi diperoleh informasi bahwa
pengetahuan masyarakat tentang program P2TB masih rendah sehingga
masyarakat sulit untuk diajak kerjasama dalam pencegahan penyakit TB baik
terhadap diri sendiri maupun lingkungan disekitarnya. Keluarga tahu penyakit TB
setelah salah satu anggota keluarganya dinyatakan menderita penyakit tersebut,
bukan karena keikutsertaan mereka dalam sosialisasi yang diselenggarakan oleh
petugas kesehatan maupun kader kesehatan. kutipan wawancara yang dilakukan
dengan Informan Triangulasi, yaitu:
“Ya karena masyarakat dengan berbagai ragam kebutuhannya, kemudian
masyarakat dengan faktor ketidaktahuannya itu dibeberapa kasus masyarakat
itu tidak bisa diajak kerjasama untuk program-program penanggulangan TB
entah kaitannya dengan penciptaan lingkungan yang bersih dan sehat untuk
mencegah terjadinya TB entah dalam keluarganya, entah dalam penggunaan
masker ya, entah dalam mengkonsumsi obat secara disiplin sesuai aturan ya itu
yang menjadi kendala-kendala petugas kesehatan. Menurut saya ya itu tadi,
bermuara pada ketidaktahuan atau faktor eksnoren yang ada pada masyarakat
tentang cara pencegahan dan cara penanggulangan TB, sehingga itu menjadi
kendala-kendala dalam penanggulangan TB”.
Informan Triangulasi 1
“Nggak ada mbak, saya taunya yang sakit ya saya sendiri kalau yang lainnya
ndak pernah tau. Di Puskesmasnya juga kalau saya kesana cuma ada saya aja.
Kalau Bapak ya kadang sama saya kesana mbak, wong pengen sembuh gitu
jadi ya kesana sendiri ambil obat terus periksa. Habis selesai ya pulang mbak...
kalau sholat jamaah di mushola ya biasa aja mbak ndak ada yang menjauhi.
Page 143
129
Kalau dari Puskesmas itu sarannya suruh pakai masker gitu, tapi kalau disini
sehari-harinya kadang pakai kadang nggak.
Informan Triangulasi 2
“Pakai masker setiap kali ada yang batuk entah itu batuk biasa atau yang sakit
TB, bukannya kurang sopan atau giman-gimana ya mbak karena ya buat
pencegahan aja biar ndak tertular bagitu. Tapi meski sudah dibilangi kaya gitu,
dari merekanya yang susah buat pakai masker waktu sama orang lain. Ya kaya
orang yang sehat biasanya, itu yang susah mbak... Stigma negatif ada ya
namanya juga penyakit menular ya mbak, tapi sebisa mungkin kita menjaga
penyakitnya itu”.
Informan Triangulasi 3
Hasil wawancara yang telah dilakukan dengan narasumber diketahui bahwa
peran serta masyarakat dalam pelaksanaan program P2TB masih belum optimal.
Sosialisasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan kader TB masih belum
menyeluruh ke semua masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Karangmalang,
sehingga pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB masih rendah dan stigma
negatif masyarakat terkait pengakit TB masih tinggi. Hal ini menyebabkan masih
banyak masyarakat yang belum terbuka tentang penyakitnya terutama sakit batuk
kepada petugas kesehatan. Kesadaran pasien TB sendiri dalam penggunaan
masker sebagai pencegahan penyakit TB ke orang lain masih rendah.
Berdasarkan Discrepancy Evaluation Model (DEM), peran serta masyarakat
dapat digambarkan sebagai berikut:
No. Standard Performance Dicrepancy
1. Masyarakat dapat berperan
serta dalam upaya
Penanggulangan Tuberkulosis
informan utama-1,
informan utama-3,
dan informan utam-4
melakukan sosialisasi
Masih terdapat
keterbatasan dari
peran serta
masyarakat dalam
Page 144
130
ke masyarakat dan
kader kesehatan
dengan selalu
mengingatkan untuk
melaporkan warga
yang batuk dan saling
mengingatkan periksa
jika mempunyai
tanda dan gejala TB.
pengobatan,
kurang terbukanya
masyarakat pada
petugas kesehatan,
dan keterbatasan
informasi yang
tidak bisa
menjangkau
seluruh
masyarakat.
2. Mencegah stigma dan
diskriminasi terhadap kasus
TB
informan utama-1,
informan utama-3,
dan informan utam-4
melakukan sosialisasi
ke masyarakat dan
kader kesehatan
dengan selalu
mengingatkan untuk
melaporkan warga
yang batuk dan saling
mengingatkan periksa
jika mempunyai
tanda dan gejala TB.
Stigma negatif
masih ada,
sehingga
masyarakat
kurang terbuka
dengan petugas
kesehatan baik
saat melakukan
penyuluhan
maupun
kunjungan rumah
untuk skrining.
Page 145
131
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 PEMBAHASAN
5.1.1 Puskesmas Purwoyoso
Evaluasi hasil pelaksanaan penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Purwoyoso dilihat dari: (1) kegiatan pengendalian tuberkulosis; (2) sumber daya;
(3) sistem informasi; (4) koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan; (5) peran serta
masyarakat. Kegiatan pengendalian tuberkulosis meliputi promosi kesehatan,
surveilans tuberkulosis, pengendalian faktor resiko, penemuan dan penanganan
kasus, serta pemberian kekebalan. Sumber daya meliputi sumber daya manusia,
ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, serta pendanaan. Sistem informasi
meliputi sumber data dari pencatatan dan pelaporan kasus TB yang ditemukan.
Koordinasi, jejeraing kerja, dan kemitraan meliputi monitoring dan evaluasi yang
dilakukan antara pelaksana program P2TB di Puskesmas Purwoyoso dengan
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Peran serta masyarakat meliputi penemuan
orang terduga TB, dukungan pengobatan TB, pencegahan TB, dan mengatasi
faktor sosial yang mempengaruhi penanggulangan TB.
Berikut evaluasi hasil pelaksanaan program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Purwoyoso, sebagai berikut:
5.1.2.1 Kegiatan Pengendalian Tuberkulosis
Peningkatan akses layanan TB yang bermutu, merupakan hal yang penting
untuk mendukung keberhasilan penanggulangan program TB di Kota Semarang.
Peran penting para pihak (stakeholder kesehatan dan non kesehatan) dalam rangka
Page 146
132
peningkatan temuan kasus sangat penting. Advokasi dilakukan sebagai upaya atau
proses terencana untuk memperoleh komitmen dan dukungan dari pemangku
kebijakan yang dilakukan secara persuasif, menggunakan informasi yang akurat
dan tepat. Pemegang program TB dan gasurkes melakukan advokasi melalui
penyuluhan kesehatan ke petugas Kelurahan Purwoyoso tentang program P2TB
dengan tujuan menjalin kerjasama dalam melakukan penemuan kasus TB dan
penacegahan penularan penyakit TB di masyarakat.
Sosialisasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota kepada petugas
TB di Puskesmas melalui event-event setiap 3 bulan sekali, sedangkan sosialisasi
yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas telah dijalankan dengan
diadakannya penyuluhan kepada pasien dan masyarakat, baik penyuluhan secara
langsung maupun penyuluhan secara tidak langsung. Penyuluhan TB secara
langsung dilaksanankan dengan sosialisasi oleh gasurkes dan kader TB dalam
forum kesehatan kelurahan atau pertemuan RW, sedangkan pemegang program
TB melakukan penyuluhan face to face dengan pasien TB saat periksa ke
Puskesmas. Secara tidak langsung dengan pemutaran film di tempat pelayanan
kesehatan. Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian promosi kesehatan
merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung pelaksanaan kebijakan yang
berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana
individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan
cara memelihara, melindungi dan meningkatan kesehatan. Penyuluhan TB ini
perlu dilakukan karena masalah TB banyak berkaitan dengan masalah
pengetahuan dan perilaku masyarakat (Faradis & Indarjo, 2018).
Page 147
133
Akan tetapi, sosialisasi tersebut masih belum optimal karena terdapat
hambatan dari hasil sosialisasi yang telah dilaksanakan yaitu (1) Informan
Triangulasi-1 memberikan sosialisasi berulang setiap terjadi pergantian petugas
lama dengan petugas yang baru agar memiliki pemahaman yang setara dan
memadai terhadap pengelolaan-pengelolaan program; (2) Sosialisasi belum
menyeluruh sehingga tidak semua masyarakat tidak mengetahui tentang penyakit
TB dan penanggulangannya. Informan Triangulasi-2 dan Informan Triangulasi-3
hanya mendapatkan sosialisasi ketika periksa di Puskesmas saja. Ketika dilakukan
wawancara singkat dengan warga yang tinggal di 4 rumah sekitar penderita TB,
diperoleh informasi bahwa belum ada petugas Puskesmas ataupun kader
kesehatan yang mengunjungi rumah warga untuk memberikan penyuluhan tentang
penyakit TB; (3) media komunikasi yang digunakan kurang mencukupi sehingga
komunikasi yang sering digunakan dalam sosialisasi yaitu komunikasi langsung.
Sebagian besar petugas P2TB hanya mengetahui beberapa metode promosi
kesehatan seperti ceramah, diskusi, wawancara, penyuluhan, bincang bersama dan
metode papan. Sedangkan pengetahuan petugas P2TB rendah mengenai
pengetahuan media yang bisa digunakan untuk promosi kesehatan, seperti alat
peraga (6,7%) sebagai media promosi kesehatan guna memenuhi kebutuhan
petugas kesehatan agar mudah dimengerti oleh masyarakat ketika melakukan
promosi kesehatan (Setyowati, Idha et all;, 2018).
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit TB, yang
diperoleh dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau diperoleh langsung dari
Page 148
134
masyarakat atau sumber data lainnya. Beradasarkan hasil penelitian dengan
pemegang program TB diketahui bahwa kegiatan surveilans TB dilakukan melalui
sistem Semar Betul yangmana didalamnya terdapat informasi tentang kondisi
pasien dan penemuan kasus TB yang berasal dari laporan gasurkes, pasien terduga
TB yang memeriksakan dirinya langsung ke Puskesmas, laporan dari kader TB
serta Rumah Sakit atau Balkesmas. Gasurkes dalam melakukan kegiatan
surveilans TB yaitu dengan melakukan skrining dilingkungan masyarakat yang
terdapat pasien TB melalui kegiatan ketuk pintu ke rumah-rumah warga. Gasurkes
bekerjasama dengan kader TB dalam melakukan kegitaan tersebut, dengan cara
saling memberikan laporan satu sama lain dan terkadang mendampingi kader
ketika melakukan kunjugan rumah ke pasien TB. Sejalan dengan penelitian
Ersanti dkk. (2016), menyatakan bahwa pengumpulan data baik di Dinas
Kesehatan maupun di Puskesmas dilakukan secara pasif, yaitu data diperoleh dari
laporan rutin fasilitas kesehatan maupun sumber pelapor lainnya (Ersanti,
Nugroho, & Hidajah, 2016).
Pelaksaan surveilans TB masih terdapat kendala yaitu masih banyak
masyarakat yang berstigma negatif tentang penyakit TB dan rasa malu jika
dinyatakan sakit sehingga kepedulian masyarakat untuk terbuka akan
kesehatannya dengan petugas kesehatan masih rendah terutama terkiat dengan
sakit batuk yang terduga tanda gejala penyakit TB. Selain itu, kunjungan yang
dilakukan petugas kesehatan maupun kader TB belum menyeluruh. Menurut
Informan Triangulasi-2 baru 1 kali mendapatkan kunjungan rumah oleh kader TB,
sedangkan Informan Triangulasi-3 sudah mendapatkan 6 kali kunjungan selama 3
Page 149
135
bulan masa pengobatan.
Pengendalian faktor resiko penyakit TB telah dilakukan baik didalam
maupun diluar Puskesmas Purwoyoso. Informasi yang disampaikan yaitu cara
pencegahan penularan penyakit TB di dalam rumah dan etika batuk yang benar.
Akan tetapi, kesadaran pasien TB dalam menggunakan masker masih kurang dan
Informan Triangulasi 2 dan 3 tidak pernah mengetahui adanya penyuluhan
kesehatan tentang penyakit TB di lingkungannya. Ketika bersosialisasi dengan
orang-orang dilingkungannya jarang menggunakan masker karena merasa tidak
nyaman. Purba, dkk. (2019) menyatakan promosi untuk membudayakan etika
berbatuk selalu dilakukan melalui penyuluhan pada saat workshop TB walaupun
pada kenyataannya belum semua pasien TB melaksanakannya, setiap pasien TB
disarankan ketika berbatuk harus menutup mulut dengan sapu tangan dan jangan
membuang dahaknya di sembarangan tempat, tetapi membudayakan etika
berbatuk belum sepenuhnya dilakukan di masyarakat walaupun sudah selalu di
promosikan, karena masyarakat belum menyadari bahaya penularan penyakit TB
tersebut ketika berbatuk ( (Purba, Elfida et all;, 2019).
Hasil penelitian kegiatan penemuan dan penanganan kasus TB diketahui
bahwa petugas kesehatan di Puskesmas Purwoyoso dalam menemukan kasus TB
telah dilakukan secara pasif dan aktif sesuai dengan Permenkes Nomor 67 Tahun
2016 sebagai pedoman penanggulangan Tuberkulosis. Secara pasif yaitu
penemuan kasus TB berasal dari warga terduga TB yang melakukan pemeriksaan
ke Puskesmas. Secara aktif yaitu penemuan kasus TB berasal dari laporan dari
gasurkes, laporan kader TB, dan laporan dari Rumah Sakit Karyadi. Kegiatan
Page 150
136
penemuan kasus yang dilakukan oleh gasurkes dan kader TB di masyarakat yaitu
melakukan skrining kepada msyarakat dengan cara ketuk pintu ke setiap rumah,
penyuluhan kesehatan di forum kesehatan kelurahan dan pertemuan warga.
Penanganan kasus TB oleh petugas TB di Puskesmas dimulai dari
penegakan diagnosis melalui pemeriksaan dahak pada pasien terduga TB yang
dengan tes mikrospkopis dan uji Tes Cepat Molekuler (TCM) di Rumah Sakit
Karyadi atau Rumah Sakit Tugu. Apabila ditemukan pasien terduga TB oleh
petugas kesehatan akan disarankan untuk melakukan pemeriksaan dahak ke
Puskesmas, baik didampingi oleh petugas kesehatan tersebut maupun oleh
anggota keluarga. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Faizah dkk.
(2019) menyatakan bahwa proses penemuan suspek Tb ketika sudah ditemukan
biasanya langsung disarankan periksa ke Puskesmas, atau dilaporkan ke
Puskesmas sehingga oleh Tim TB akan dilakukan kunjungan rumah. Pada tahap
awal akan dilakukan pemeriksaan dahak, pasien diminta mengumpulkan dahak
sewaktu-pagi (SP). hasil pemeriksaan sudah ada dilanjutkan dengan diberikan
OAT sesuai dengan hasil pemeriksaan (Faizah & Raharjo, 2019).
Apabila hasil pemeriksaan dahak pasien terduga TB tersebut menunjukkan
positif TB, maka petugas TB akan memberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
sesuai dengan kategori penyakit TB yang tercantum dalam Permenkes RI Nomor
67 Tahun 2016. Pemegang program TB melakukan kerjasama dengan anggota
keluarga yang ditunjuk sebagai PMO dalam pemantauan minum obat, dengan cara
melakukan komunikasi melalui media pesan singkat. Adyaningrum (20190,
menyatakan adanya keterbatasan jumlah petugas kesehatan dan kader TB,
Page 151
137
penunjukkan PMO untuk pasien TB lebih diutamakan untuk anggota keluarga
pasien itu sendiri sehingga kader TB dan petugas kesehatan dalam hal ini
pemegang program hanya sebagai pemonitor terhadap pasien melalui PMO
(Adyaningrum, 2019).
PMO akan langsung menghubungi pemegang program TB di Puskesmas
apabila muncul efek samping obat yang dialami oleh pasien TB agar segara
dilakukan tindakan pencegahan. Komunikasi antar petugas kesehatan dan pasien
TB terjalin dengan baik dari awal pengobatan di puskesmas, terbukti selalu ada
persetujuan dalam pemilihan PMO dari pasien dan petugas kesehatan. PMO selalu
mengingatkan dan mendampingi pasien TB saat menelan obat (Noveyani &
Martini, 2014). Apabila terjadi kasus mangkir, gasurkes yang akan melakukan
kunjungan rumah ke pasien mangkir tersebut.
Kegiatan pemberian kekebalan yang dilakukan di Puskesmas Purwoyoso
yaitu pemberian imunisasi BCG pada bayi dan kepada anak usia dibawah 5 tahun
yang melakukan kontak erat dengan pasien TB dan PPINH diberikan kepada
ODHA yang tidak memiliki penyakit TB, sedangkan untuk penderita HIV-TB
diberikan pengobatan kombinasi yaitu ARV dan OAT. Hal tersebut dibenarkan
oleh Informan Triangulasi 2 yang mengatakan bahwa anaknya yang berusia 2
tahun diberikan suntikan vaksin saat melakukan pemeriksaan di Puskesmas.
Sedangkan Informan Triangulasi 3 mengatakan bahwa anaknya tidak diberikan
suntikan atau imunisasi oleh petugas TB di Puskesmas karena usianya diatas 5
tahun. Pemberian kekebalan yang dilakukan telah sesuai dengan Permenkes
Nomor 67 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa pemberian kekebalan dalam
Page 152
138
rangka Penanggulangan TB dilakukan melalui imunisasi BCG terhadap bayi 0-2
bulan, PP INH diberikan kepada anak umur dibawah lima tahun (balita) yang
mempunyai kontak dengan pasien TB tetapi tidak terbukti sakit TB, dan
pemberian PP INH kepada ODHA yang tidak riwayat memiliki penyakit TB aktif
(Kemenkes, 2016).
5.1.2.2 Sumber Daya
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksana program P2TB di
Puskesmas Purwoyoso dilaksanakan oleh 1 orang dokter, 1 orang perawat sebagai
pemegang program, 1 petugas laboratorium, bidang promosi kesehatan, dan
bidang epidemiologi. SDM di Puskesmas Purwoyoso sudah sesuai dengan
Permenkes Nomor 67 Tahun 2016 bahwa kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih untuk pelaksanaan program P2TB di Puskesmas terdiri dari 1 dokter, 1
perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. Pemegang program TB juga
melakukan kerjasama dengan beberapa kader TB, tetapi hanya 2 orang yang aktif
melakukan skrining TB dimasyarakat. Menurut gasurkes, jumlah gasurkes sendiri
belum bisa menjangkau seluruh wilayah kerja Puskesmas Purwoyoso dalam
melakukan kegiatan di lapangan. Kurangnya jumlah gasurkes dengan beban tugas
yang banyak dan wilayah yang luas mengakibatkan pelaksanaan penemuan kasus
TB, penyuluhan kesehatan, pencatatan dan pelaporan menjadi kurang optimal. Hal
ini sesuai dengan penelitian Pratam dkk (2019), bahwa Jumlah petugas yang
sedikit, dan pekerjaan yang banyak menjadi permasalahan dalam melakukan
penemuan kasus secara aktif dan pelaksanaan program menjadi tidak optimal
(Pratama, Muchti Y et all, 2019). Setiap petugas pelaksana program P2TB sudah
Page 153
139
mendapatkan pelatihan bersertifikat yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kota,
sedangkan pelatihan untuk meningkatkan kemapuan kader TB diberikan oleh
pemegang program TB di Puskesmas. Sesuai dengan penelitian oleh Sumartini
(2014) menyatakan bahwa adanya hubungan signifikan antara pelatihan
TB/DOTS dengan peran kader kesehatan dalam penemuan kasus TB dalam
penelitian ini disebabkan karena kader kesehatan merupakan salah satu bentuk
partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan sehingga pelatihan TB/DOTS
merupakan syarat mutlak agar kader kesehatan memiliki bekal pengetahuan dan
keterampilan untuk dapat menjalankan peran dalam penanggulangan TB termasuk
dalam penemuan kasus TB (Sumartini, 2014). Dengan demikian, adanya pelatihan
sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas
kesehatan dan kader sehingga dapat melakukan perannya dalam pelaksanaan
program P2TB agar angka penemuan kasus dan pengobatan TB dapat meningkat.
Sejalan dengan penelitian Pongoh dkk. (2015), menyatakan bahwa dalam
melaksanakan penanganan penyakit TB harus dilakukan pelatihan khusus terlebih
dahulu agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi dan juga
menambah jadwal penyuluhan pengobatan TB pada masyarakat (Pongoh, Natasha
et all, 2015).
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 3 Tahun 2019 menyatakan bahwa dana
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan salah satu sumber pendanaan
untuk menunjang operasional pelayanan di Puskesmas yang bersumber dari
APBN untuk kegiatan non fisik. Pemanfaatan BOK di puskesmas digunakan
untuk operasional pelaksanaan kegiatan promotive dan preventif upaya kesehatan
Page 154
140
masyarakat (UKM) termasuk untuk program pengendalian TB yaitu diantaranya
untuk mendanai operasional petugas, membiayai transport petugas untuk melacak
kasus TB mangkir dan pencarian kontak TB. Hasil penelitian diketahui bahwa
dana yang digunakan dalam pelaksanaan program P2TB berasal dari BOK untuk
melaksanakan kegiatan program P2TB yang telah direncanakan 1 tahun sebelum
kegiatan tersebut dilaksanakan di tahun sekarang. Menurut gasurkes dan kader
TB, tidak ada dana yang diberikan petugas Puskesmas dalam melaksanakan
kegiatan penyuluhan penyakit TB dan penemuan kasus TB di wilayah kerja
Puskesmas Purwoyoso. Kegiatan penyuluhan dilaksanakan dengan mengikuti
jadwal petemuan warga yang diadakan oleh forum kesehatan kelurahan (FKK)
atau pertemuan warga di tingkat RT/RW. Apabila ada pengeluaran anggaran untuk
penyuluhan, sumber anggaran tersebut berasal dari swadaya masyarakat itu
sendiri. Sedangkan biaya yang digunakan oleh Informan Triangulasi 1 dan
Informan Triangulasi 2 setiap melakukan pemeriksaan ke Puskemas menggunakan
kartu BPJS Kesehatan. Puskesmas dalam melaksanakan program P2TB dengan
metode DOTS memiliki biaya penyelenggaraan pengobatan paru paling kecil
sehingga terbukti Puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang paling efektif
untuk penanganan TB Paru (Ulya & Thabrany, 2017). Adanya ketersediaan dana
menjadi faktor pendukung dalam terlaksananya sebuah program termasuk juga
program penanggu langan TB paru. Ketersediaan dana yang cukup akan
menunjang proses pelaksanaan program agar efektif dan efisien (Ariyani &
Maryati, 2018).
Kebutuhan OAT disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota Provinsi Jawa
Page 155
141
Tengah, kemudian akan didistribusikan ke Dinas Kesehatan Kota Kota sesuai
dengan kebutuhan setiap FKTP dan FKTL. Distribusi OAT untuk setiap FKTP
dilakukan jika ada permintaan ke Dinas Kesehatan Kota Kota sesuai dengan
jumlah kasus TB yang ditemukan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas
Purwoyoso tersedia dalam jumlah yang cukup dan jenis sesuai dengan kebutuhan
pasien TB. Menurut Informan Triangulasi 2 dan Informan Triangulasi 3
menyatakan bahwa setiap 1 minggu sekali datang ke Puskesmas, langsung
dilayani oleh pemegang program TB untuk mengambil obat tidak pernah harus
menunggu lama di ruang pemeriksaan TB dan OAT selalu tersedia. Kegiatan
pelaksanaan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Purwoyoso telah sesuai
dengan pedoman penanggulangan tuberkulosis yaitu Permenkes RI Nomor 67
tahun 2016. Ruangan pemeriksaan TB didalamnya tersedia buku pedoman
penanggulangan Tuberkulosis, komputer, formulir untuk pencatatan dan pelaporan
pasien TB tersedia lengkap di Puskesmas. Laboratorium di Puskesmas Purwoyoso
sudah terdapat sebuah mikroskop yang berfungsi dengan baik, reagen dan pot
dahak sesuai standar tersedia dalam jumlah yang cukup sebagai media
pemeriksaan laboratorium untuk pasien TB yang didistribusikan dari Dinas
Kesehatan Kota. Sejalan dengan penelitian Suarayasa dkk. (2019), menyatakan
bahwa logistik penanggulangan TB mulai dari bahan diagnosis dan obat
disediakan melalui program penanggulangan TB dari dana APBN. Penyediaannya
dilakukan sesuai permintaan dinas kesehatan kabupaten Sigi (Surayasa, Ketut et
all, 2019).
OAT untuk pasien TB disimpan dalam ruangan khusus penyimpanan obat,
Page 156
142
bersamaan dengan persediaan obat-obatan untuk pengobatan lainnya. Akan tetapi,
sarana dan prasarana masih ada kendala yaitu Puskesmas Purwoyoso sudah
mempunyai poli TB, tetapi poli untuk TB tersebut belum optimal karena sinar
matahari yang masuk ke ruang poli TB terbatas karena berdekatan dengan
ruangan loket dan aula. Pencahayaan yang menerangi ruangan adalah
pencahayaan langsung berasal dari cahaya matahari yang intensitasnya minimal
60 lux dan tidak menyilaukan. Bakteri Tuberkulosis cepat mati dengan cahaya
matahari langsung. Cahaya matahari yang masuk dalam ruangan juga membantu
mengurangi penyebaran bakteri Tuberkulosis (Anggraeni, et all, 2015). Penelitian
dari Kasim dkk (2012), menyatakan bahwa belum tersedianya ruangan khusus
untuk pasien TB karena kekurangan ruangan sehingga bergabung dengan ruangan
yang lain menjadikan salah satu kendala dalam melaksanakan program
penanggulangan tuberkulosis dengan startegi DOTS (Kasim, Soen, & Hendranata,
2012).
5.1.2.3 Sistem Informasi
Sistem Informasi yang dimaksud dalam Permenkes RI Nomor 67 Tahun
2016 yaitu data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari sistem
pancatatan dan pelaporan TB. Pencatatan dan pelaporan TB mulai dari FKPTP,
FKPTL, Dinas Kesehatan Kota Kabupaten/Kota, dan Dinas Kesehatan Kota
Provinsi kepada Dinas Kesehatan Kota Pusat menggunakan aplikasi SITT (Sistem
Informasi Terpadu Tuberkulosis). Dinas Kesehatan Kota Kota Semarang memiliki
sistem pelaporan sendiri yang bernama SEMAR BETUL (Semarang Bebas
Tuberkulosis) yang digunakan sejak bulan juni 2019. Menurut Petugas P2PTB di
Page 157
143
Dinas Kesehtan Kota Semarang sebagai Informan Triangulasi 1 menyatakan
bahwa sistem Semar Betul merupakan sistem pencatatan dan palaporan yang
dilakukan oleh Puskesmas atau Rumah Sakit terkait program P2TB kepada Dinas
Kesehatan Kota Kota Semarang. Dinas Kesehatan Kota dapat dengan mudah
melihat perkembangan data-data penemuan kasus oleh setiap Puskesmas Kota
Semarang setiap saat melalui sistem SEMAR BETUL. Hal ini sesuai dengan
Pedoman Nasional Penanggulangan TB tahun 2011 bahwa pencatatan dan
pelaporan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan, diperlukan
suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan
benar, dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis,
diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan (Kementerian
Kesehatan RI, 2011). Akan tetapi, ketersediaan data dalam Semar Betul
tergantung pada keteraturan petugas TB di Puskesmas menginput data ke Semar
Betul. Pelaksanaan pencatatan dan pelaporan kasus TB ke sistem Semar Betul
terdapat hambatan yaitu penguasaan aplikasi oleh petugas TB di Puskesmas masih
kurang. Penguasaan aplikasi oleh petugas Puskesmas saat ini bisa dikatakan
sebesar 40%. Pencatatan dan pelaporan yang lengkap dan baik tentunya akan
berhubungan dengan kualitas petugas TB yang baik (Noveyani & Martini, 2014).
Hasil penelitian dengan petugas TB di Puskesmas Purwoyoso diketahui
bahwa setiap ditemukan pasien TB dari yang melakukan pemeriksaan di
Puskesmas, laporan gasuker, laporan kader TB, maupun laporan Rumah sakit atau
Balkesmas akan dilakukan pencatatan pada formulir pasien TB dan diinputkan ke
sistem Semar Betul sehingga data kasus penyakit TB dapat dikatahui secara
Page 158
144
langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Pemantauan kemajuan pengobatan pasien TB juga dilakukan melalui
sistem Semar Betul. Sistem tersebut terdapat informasi identitas pasien TB, nomor
HP keluarga pasien TB, jadwal rutin pasien TB melakukan pemeriksaandahak dan
pengambilan OAT di Puskesmas. Hal tersebut memudahkan pemegang program
dalam memantau keteraturan pengobatan dan efek samping yang dikeluhkan oleh
pasien TB. Sejalan dengan penelitian dari Setiawan dkk (2017), setelah sistem
informasi pencatatan pengobatan manual dikembangkan menjadi berbasis website
dengan pemrograman menggunakan PHP dengan sistem operasi MS Windows.
petugas menjadi lebih mudah dalam memantau jadwal pengobatan pasien karena
pasien sudah terbagi berdasarkan tanggal pengobatan, baik dalam jadwal minum
obat, jadwal pengambilan obat maupun jadwal pemeriksaan dahak ulang. Selain
itu dalam mengirim pesan petugas lebih mudah karena nomor hp pasien sudah
tersimpan dalam basis data (Setiawan, 2017).
Apabila ada pasien yang mangkir atau putus berobat, petugas TB akan
langsung mengetahuinya dari sistem tersebut. Pencatatan dan pelaporan dengan
sistem Semar Betul dilakukan setiap hari oleh pemegang program TB di
Puskemas. Gasurkes menyerahkan penemuan kasus TB ke pemegang program TB
dan Dinas Kesehatan Kota. Hambatan yang dialami oleh pemegang program TB
dalam menggunkan sistem Semar betul terletak pada masalah providernya yang
masih terjadi gangguan. Bagi gasurkes Informan Utama-3, pencatatan dan
pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota mengalami kendala karena dilakukan
sebanyak 3 kali yaitu pencatatan secara manual, pencatatan dalam bentuk softfile,
Page 159
145
dan pencatatan ke dalam sistem Semar Betul.
5.1.2.4 Koordinasi, Jejaring Kerja, dan Kemitraan
Peraturan Walikota Semarang Nomor 39 Tahun 2017 tentang Rencana
Aksi Daerah Kota Semarang dalam penanggulangan TB mewajibkan semua
pihak, semua komponen, dan semua stakeholder yang ada di Kota Semarang
untuk berperan sesuai dnegan kapasitasnya masing-masing di dalam program
penanggulangan TB. Berdasarkan hasil penelitian, koordinasi yang dilakukan
antara Dinas Kesehatan Kota dengan pemegang program TB di Puskesmas yaitu
adanya monitoring dan evaluasi program P2TB yang dilakukan setiap 3 bulan
sekali, bersamaan dengan dilakukannya supervisi di semua Puskesmas Kota
Semarang. Supervisi yang dilakukan secara rutin oleh pihak Dinas Kesehatan
kepada kinerja petugas di Puskesmas dapat memberikan manfaat atau perbaikan
petugas dalam melaksanakan penemuan dan pengobatan kasus TB, sehingga
proporsi berkinerja baik lebih banyak dibandingkan petugas yang menyatakan
jarang supervisi dalam bekerja (Husein & Sormin, 2012).
Monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota
kepada petugas TB di Puskesmas baru dilaksankan 1 kali dalam setahun.
Monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota kepada
petugas laboratorium dilakukan setiap 3 bulan sekali terkait dengan pemantapan
mutu eksternal laboratorium, sedangkan untuk pelayanan laboratorium TB belum
pernah dilakukan. Laboratorium dahak merupakan komponen kunci untuk
menegakkan diagnosis, evaluasi hasil pengobatan dan tindak lanjut pengobatan,
sehingga diperlukan adanya jaminan mutu laboratorium, baik internal maupun
Page 160
146
eksternal . Hambatan yang muncul dalam kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota
dengan petugas TB di Puskesmas yaitu kurangnya koordinasi antara pemegang
program baru dengan pemegang program lama saat terjadi pergantian petugas.
Pemegang program yang baru belum mendapatkan pemahaman yang memadai
tentang program-program penanggulangan TB dari pemegang program lama,
sehingga petugas Dinas Kesehatan Kota harus memberikan pemahaman mulai
dari awal kembali.
Evaluasi yang dilakukan di Puskesmas Purwoyoso sudah optimal. Evaluasi
yang dilakukan oleh pemegang program TB ke Kepala Puskesmas dilaksanakan
setiap bulan, sedangkan oleh gasurkes kepada kepala Puskesmas dilakukan saat
pemaparan setiap 3 bulan sekali. Akan tetapi, evaluasi yang dilakukan oleh
pemegang program TB di Puskesmas kepada kinerja kader TB belum pernah ada,
koordinasi yang dilakukan berupa pelaporan kasus TB oleh kader ke petugas
Puskesmas melalui komunikasi WA.
Kemitraan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dengan lintas program
yaitu menjalin kerjasama dengan petugas epidemiologi, gasurkes, petugas
kesehatan lingkungan, Rumah Sakit, dan Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Kerjasama dengan lintas sektor yaitu dengan camat, lurah, tokoh agama, Dinas
Pendidikan dan sekolah untuk mendapatkan dukungan yang baik dalam
penanggulangan TB. Hal ini dapat disimpulkan bahwa koordinasi, jejaring kerja
dan kemitraan sudah sesuai dengan Permenkes Nomor 67 tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis. Akan tetapi, kerjasama lintas sektor dengan sektor
industri/perusahaan/tempat kerja kurang optimal karena masih banyak instansi-
Page 161
147
instansi yang belum berperan dalam penanggulangan TB.
5.1.2.5 Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016, yaitu
Pelibatan secara aktif masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan baik
lintas program dan lintas sektor diutamakan pada 4 area dalam program
Penanggulangan TB yaitu: penemuan orang terduga TB, dukungan pengobatan
TB, pencegahan TB, dan mengatasi faktor sosial yang mempengaruhi
penanggulangan TB. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan program P2TB masih belum optimal. Informan
Triangulasi 2 dan Informan Triangulasi 3 sebelumnya tidak mengetahui penyakit
TB, mereka tahu tentang penyakit TB setelah salah satu anggota keluarganya
menderita penyakit TB tersebut. Terbatasnya informasi tentang penderita TB
dilingkungan masyarakat. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB masih
rendah dan stigma negatif masyarakat terkait penyakit TB masih tinggi. Sejalan
dengan penelitian Yanuar dkk (2017), kurangnya pengetahuan tentang TB dan
nilai-nilai budaya setempat seperti memandang penderita TB jangan sampai
diketahui oleh banyak pihak karena anggapan TB merupakan penyakit yang
memalukan (Yanuar, Isma et all, 2017). Pengetahuan yang baik dan menyeluruh
tentang penyakit TB dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencegah
penularannya penyakit TB. Selain itu, pengetahuan juga berhubungan dengan
persepsi bahwa penyakit TB merupakan penyakit yang berbahaya dan menular
(Moa, Teofilus et all, 2018).
Hal ini menyebabkan masih banyak masyarakat yang belum terbuka
Page 162
148
tentang penyakitnya terutama sakit batuk kepada petugas kesehatan. Menurut
gasurkes, masih banyak masyarakat yang malu apabila sakit batuknya diketahui
penyakit TB sehingga menolak pada saat dilakukan wawancara terkait
kesehatannya dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tes dahak ke
Puskesmas. Hasil skrining yang telah dilakukan gasurkes diperoleh penemuan
kasus TB sebanyak 87 pasien, tetapi hanya 12 pasien yang bersedia melakukan
pengobatan di Puskesmas. Kesadaran pasien TB sendiri dalam penggunaan
masker sebagai pencegahan penyakit TB ke orang lain masih rendah.
Menggunakan masker saat berinteraksi langsung sangat penting untuk mencegah
penyebaran kumat tuberkulosis ke orang lain sehingga mencegah terjadinya
peningkatan penderita TB paru (Majara, Duriana et all, 2018).
5.1.2 Puskesmas karangmalang
Evaluasi hasil pelaksanaan penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Karangmalang dilihat dari: (1) kegiatan pengendalian tuberkulosis; (2) sumber
daya; (3) sistem informasi; (4) koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan; (5) peran
serta masyarakat. Kegiatan pengendalian tuberkulosis meliputi promosi
kesehatan, surveilans tuberkulosis, pengendalian faktor resiko, penemuan dan
penanganan kasus, serta pemberian kekebalan. Sumber daya meliputi sumber
daya manusia, ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, serta pendanaan.
Sistem informasi meliputi sumber data dari pencatatan dan pelaporan kasus TB
yang ditemukan. Koordinasi, jejeraing kerja, dan kemitraan meliputi monitoring
dan evaluasi yang dilakukan antara pelaksana program P2TB di Puskesmas
Karangmalang dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang. Peran serta masyarakat
Page 163
149
meliputi penemuan orang terduga TB, dukungan pengobatan TB, pencegahan TB,
dan mengatasi faktor sosial yang mempengaruhi penanggulangan TB.
Berikut evaluasi hasil pelaksanaan program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Karangmalang, sebagai berikut:
5.1.2.1 Kegiatan Pengendalian Tuberkulosi
Promosi kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan terhadap
masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan mereka sendiri. Proses pemberian informasi tentang TB
secara terus menerus serta berkesinambungan untuk menciptakan kesadaran,
kemauan dan kemampuan pasien TB, keluarga dan kelompok masyarakat. Metode
yang dilakukan adalah melalui komunikasi efektif, demontrasi (praktek),
konseling dan bimbingan yang dilakukan baik di dalam layanan kesehatan
ataupun saat kunjungan rumah dengan memanfaatkan media komunikasi seperti
lembar balik, leaflet, poster atau media lainnya. Berdasarkan hasil wawancara
dengan pemegang program P2PTB Dinas Kesehatan Kota (DKK), pihak DKK
telah memberikan sosialisasi kepada petugas Puskesmas terkait program P2TB
melalui event-event yang ditujukan kepada pemegang program dan petugas
laboratorium fasilitas kesehatan. Event yang pertama yaitu event resmi yang
berkaitan dengan program peningkatan kapasitas SDM, kemudian event yang
kedua itu yang berkaitan dengan pertemuan-pertemuan yang memang dibutuhkan
ditiap-tiap faskes.
Sosialisasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota kepada petugas
TB di Puskesmas melalui event-event setiap 3 bulan sekali kepada pemegangn
Page 164
150
program TB dan petugas laboratorium. Informasi yang disampaikan pihak DKK
tersebut, oleh pemegang program TB di Puskesmas akan disampaikan ke
pelakasana program P2TB lainnya. Sosialisasi yang dilakukan di Puskesmas
Karangmalang yaitu ketika pasien TB melakukan pemeriksaan atau mengambil
obat di Puskesmas. Pemegang program TB memberikan edukasi kepada pasien
TB dan PMO tentang cara pengendalian penyakit TB, pengobatan, dan efek
samping obat yang timbul. Sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat yaitu
penyuluhan kesehatan oleh gasurkes dan kader TB dalam kegiatan FKK, PKK,
maupun pertemuan di tingkat RT atau RW di setiap Kelurahan.
Pihak Kelurahan akan mengundang petugas kesehatan dari Puskesmas
untuk memberikan promosi kesehatan melalui pertemuan tersebut dengan metode
ceramah. Media komunikasi yang digunakan dalam sosialisasi tersebut yaitu
penayangan film, materi dari PPT, dan leaflet. Akan tetapi, menurut gasurkes dan
kader TB menyatakan leaflet jarang digunakan pada saat melakukan sosialisasi
kepada msyarakat kerana jumlahnya yang terbatas. Hasil wawancara dengan
Informan Triangulasi 2, petugas kesehatan hanya memberikan sosialisasi ketika
pasien TB melakukan pemeriksaan di Puskesmas dan tidak mengetahui adanya
sosialisasi tentang penyakit TB yang dilakukan oleh petugas kesehatan di
lingkungan sekitarnya. Selain itu, hasil wawancara singkat dengan orang yang
berada di 4 rumah sekitar tempat tinggal pansien TB, mereka mengatakan belum
ada petugas kesehatan yang datang kerumah untuk memberikan informasi tentang
penyakit TB.
Bagi Informan Triangulasi 3, Puskesmas belum pernah memberikan
Page 165
151
sosialisasi tentang penyakit TB kepadanya tetapi sosialisasi tersebut diperolehnya
pada saat pelatihan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kota. Informan
Triangulasi 3 merupakan gasurkes yang diberikan tugas untuk menjadi PMO
pasien TB yang tidak memiliki keluarga. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
sosialisasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas karangmalang
belum menyeluruh ke semua warga. Menurut penelitian dari Listiono (2019),
penyuluhan mengenai pencegahan kejadian TB Paru di masyarakat dari pihak
Puskesmas Pemulutan walaupun tidak semua masyarakat mengikuti kegiatan
penyuluhan tersebut, namun demikian kegiatan tersebut tentunya sedikit
memberikan andil dalam peningkatan pengetahuan masyarakat dalam pencegahan
TB Paru (Listiono, 2019). Terbatasnya leaflet sebagai media promosi kesehatan
penanggulangan penyakit TB sehingga tidak semua masyarakat mengatahui
penyakit TB. Sejalan dengan penelitian dari Saputra, dkk. (2018), Keterbatasan
media tersebut juga berakibat dengan keterbatasan pengetahuan masyarakat
terkait penyakit tuberkulosis. Dengan keterbatasan tersebut masyarakat tidak
dapat melakukan kegiatan pencegahan penyakit tuberkulosis, baik bagi orang
sekitar maupun orang lain (Saputra, Muhammad H. et all, 2018). Hambatan yang
lain yaitu Informan Triangulasi-1 selalu memberikan sosialisasi berulang setiap
terjadi pergantian petugas lama dengan petugas yang baru agar memiliki
pemahaman yang setara dan memadai terhadap pengelolaan-pengelolaan program.
Strategi promosi kesehatan dalam pelaksanaan program P2TB dengan
melakukan advokasi sebagai upaya atau proses terencana untuk memperoleh
komitmen dan dukungan dari pemangku kebijakan yang dilakukan secara
Page 166
152
persuasif, dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat. Pemegang
program TB dan gasurkes melakukan advokasi ke petugas Kelurahan tentang
program P2TB dengan tujuan menjalin kerjasama dalam melakukan penemuan
kasus TB dan penacegahan penularan penyakit TB di masyarakat. Bentuk
kerjasama yang terjalin diantara keduanya yaitu adanya sosialisasi rutin yang
diadakan oleh pihak FKK tentang kesehatan dengan mengundang petugas
kesehatan dari Puskesmas Karangmalang di setiap Kelurahan. Advokasi yang
dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas sudah sesuai dengan standar
pengendalian Tuberkulosis yang ada.
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus-
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit TB, yang
diperoleh dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau diperoleh langsung dari
masyarakat atau sumber data lainnya. Beradasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa kegiatan surveilans TB dilakukan kerjasama antara pemegang program TB
di Puskesmas dengan gasurkes, petugas epidemiologi, dan kader TB dari Asyiyah.
Gasurkes melakukan surveilans dengan cara skrining di masyarakat setiap minggu
dan mendapatkan infomasi dari kader atau warga setempat apabila mengetahui
ada orang yang batuk lama lebih dari 2 minggu. Kader TB melakukan kerjasama
dengan gasurkes dalam melakukan penemuan kasus TB. Upaya yang dilakukan
dalam kegiatan surveilans TB yaitu melalui sosialisasi tentang TB, pasien terduga
TB yang periksa ke Puskesmas, laporan dari gasurkes, dan hasil skrining yang
dilakukan oleh kader TB. Selain itu, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
cara melakukan kunjungan rumah yang dilakukan oleh gasurkes atau kader TB.
Page 167
153
Sesuai dengan pernyataan Informan Triangulasi 2 dan Informan Triangulasi 3
bahwa mereka mendapatkan kunjungan rumah oleh petugas kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan narasumber, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan surveilans sudah dilakukan sesuai dengan Permenkes
RI Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pengendalian Tuberkulosis, tetapi masih belum
optimal karena terdapat hambatan. Hambatan dalam kegiatan surveilans TB yaitu
masyarakat banyak yang kurang terbuka kepada petugas kesehatan terkait sakit
batuknya karena takut diperiksa dan diketahui jika terdiagnosa sakit TB. sejalan
dengan penelitian dari Rahaman, dkk. (2017), sikap negatif tersebut akan
memunculkan sikap apatis dari seseorang yang tidak ingin melakukan pencegahan
terhadap penyakit tuberkulosis (Rahman, Fauzie et all, 2017). Saat dilakukan
skrining pasien terduga TB mengalami kesulitan ketika mengeluarkan dahaknya
sehingga waktu diagnosis menjadi lebih lama dan jarang ditemukan suspek.
Pencegahan dan pengendalian risiko TB bertujuan mengurangi sampai
dengan mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat. Upaya
yang dilakukan antara lain: pengendalian kuman penyebab TB, pengendalian
faktor risiko individu, pengendalian faktor lingkungan, pengendalian secara
manajerial, dan pengendalian secara administratif. Berdasarakan hasil penelitian
bahwa pemegang program TB di Puskesmas selalu memberikan edukasi kepada
pasien tentang cara penanggulangan penyakit TB untuk mengendalikan kuman
penyebab TB pada dirinya setiap melakukan pemeriksaan. Pemegang program
melakukan sosialisasi ke masyarakat dalam forum kesehatan kelurahan setiap
bulan sekali, mengedukasi masyarakat untuk menjaga kesehatan lingkungan dan
Page 168
154
gizi keluarga dengan tujuan meningkatkan daya tahan tubuh dari kuman TB.
Pengendalian secara manajerial dan administrasi yaitu adanya SOP penemuan
kasus dan alur semua pasien batuk, SOP alur pelaporan kasus TB, SOP surveilans
tuberkulosis, penyuluhan etika batuk dan masker hanya diberikan kepada pasien
batuk saja. Tersedianya SOP berperan penting sebagai petunjuk pelaksanaan
program yang lengkap dan jelas dalam bertindak dan menghindari
ketidakseragaman dalam mengimplementasi suatu kebijakan (Lestari, Ita et all,
2019). Gasurkes dan kader TB melakukan pengendalian faktor risiko yaitu dengan
skrining, mengadakan investigasi kontak jika ditemukan kasus TB, dan
penyuluhan baik ke pasien TB dan anggota keluarganya maupun masyarakat.
Hasil penelitian dengan Informan Triangulasi diketahui bahwa kedua
Informan Triangulasi memahami dengan baik saran-saran yang diberikan oleh
petugas Puskesmas terkait dengan cara penanggulangan TB agar tidak menular.
Informan Triangulasi 2 tidak mengetahui adanya sosialisasi dan skrining penyakit
TB yang dilakukan oleh petugas kesehatan di lingkungannya dan penyuluhan
etika batuk untuk selain pasien TB di Puskesmas. Sedangkan Informan
Triangulasi 3 mengetahui dengan baik kegiatan pengendalian penyakit TB baik di
Puskesmas maupun di lingkungan masyarakat karena seorang gasurkes. Terdapat
perbedaan informasi kegiatan pengendalian faktor risiko yang dilakukan oleh
petugas kesehatan di Puskesmas Karangmalang.
Penemuan kasus yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas
Karangmalang dilakukan secara pasif dan aktif. Penemuan kasus secara pasif
yaitu pemegang program menemukan kasus TB dari warga terduga TB yang
Page 169
155
periksa ke Puskesmas langsung. Penemuan kasus secara aktif yaitu penemuan
kasus TB dimasyarakat dari hasil skrining dan investigasi kontak yang dilakukan
oleh gasurkes dan kader TB, serta laporan Rumah Sakit. Langkah penemuan kasus
TB yaitu skrining dan investigasi kontak pada masyarakat yang dilingkungannya
terdapat pasien TB. Apabila petugas kesehatan menemukan orang dengan gejala
klinis yaitu batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, maka orang tersebut
harus diberikan arahan dan motivasi untuk melakukan pemeriksaan dahak
mikroskopis untuk kepentingan diagnosis secara dini indikasi penyakit TB
(Rahmah, Siti et all, 2017). Gasurkes atau kader TB akan memeberikan pot dahak
kepada pasien terduga TB apabila ditemukan pada saat skrining. Jika terduga
pasien TB tidak bisa datang langsung ke Puskesmas, maka hasil dahak akan
dibawa gasurkes atau kader TB ke Puskesmas. Dahak tersebut diserahkan ke
pemegang program TB dan diperiksa oleh petugas laboratorium, kemudian
dikirimkan ke Rumah Sakit Kariyadi untuk tes TCM. Pemeriksaan TCM
digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan pemantauan kemajuan
pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis di Puskesmas.
Apabila hasil tes dahak menunjukkan positif TB, maka oleh pemegang program
akan diberikan OAT sesuai dengan kategori dan jenis penyakit TB yang
dideritanya. Pasien TB diwajibkan untuk rutin dalam megkonsumsi OAT selama 6
bulan masa pengobatan dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan. Pemegang program menunjuk salah
satu anggota keluarga pasien TB untuk menjadi PMO. Hal ini bertujuan agar
setiap hari pasien TB ada yang mengingatkan untuk minum obat dan melakukan
Page 170
156
pemeriksaan rutin ke Puskesmas. Keluarga sebagai PMO dapat mendukung
perilaku pasien dalam proses pengobatan, keteraturan berobat, dan kemauan untuk
sembuh (Febrina & Rahmi, 2018). Informan Triangulasi 2 merupakan istri dari
pasien TB yang ditunjuk langsung oleh pemegang program TB untuk menjadi
PMO bagi suaminya, sedangkan Informan Triangulasi 3 merupakan gasurkes yang
ditunjuk untuk menjadi PMO bagi salah satu pasien yang tinggal sendirian. Hal
ini sesuai dengan Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016 bahwa sebaiknya PMO
adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian,
Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa penemuan dan penanganan kasus sudah sesuai dengan standar. Akan tetapi,
dibagian pengawasan kepatuhan menelan obat belum sesuai standar karena
sosialisasi yang seharusnya disampaikan ke PMO tidak tersampaikan dan
keteraturan minum obat pasien yang dilaporkan masih diragukan oleh pemegang
program TB terutama pasien yang pengawas minum obatnyanya gasurkes. Selama
ini pembekalan untuk PMO dari petugas kesehatan hanya dilakukan pada saat
anggota keluarga mengantarkan obat ke puskesmas, tetapi PMO tidak selalu ikut
mendampingi. Sejalan dengan penelitian dari Yanuar dkk (2017), informasi yang
terbatas dan tidak ada pelatihan atau pembekalan untuk PMO, maka peran PMO
menjadi kurang optimal (Yanuar, Isma et all, 2017). Adanya PMO yang memiliki
pengetahuan cukup tinggi tentang penyakit TB dan pengobatannya dapat
Page 171
157
menimbulkan perilaku untuk selalu mengingatkan dan mengawasi pasien TB saat
melakukan pengobatan serta memberikan motivasi kepada pasien TB untuk tetap
patuh pada pengobatan (Rachmah, Sissa et all, 2019).
Pemeberian kekebalan yang dilakukan oleh pemegang program TB di
Puskesmas Karangmalang dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberian
kekebalan kepada balita sudah dilaksanakan sesuai dengan standar yang ada.
Pemegang program memberikan imunisasi BCG pada balita yang
dilingkungannya terdapat pasien TB untuk mencegah terjadinya penularan. Hal ini
tidak sejalan dengan penelitian dari Oktavia dkk (2016), riwayat imunisasi tidak
berhubungan dengan kejadian TB paru (Oktavia, Surakhmi et all, 2016).
Pemberian vaksin PP INH belum pernah dilakukan karena belum ada pasien HIV
TB di Puskesmas Karangmalang.
5.1.2.2 Sumber Daya
Puskesmas harus menetapkan dokter, perawat, dan analis laboratorium
terlatih yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program Penanggulangan
TB. Hasil wawancara dengan pemegang program TB, tenaga kesehatan yang
terlibat dalam program P2TB di Puskesmas Karangmalang terdiri dari 1 perawat
sebagai programer TB, 1 dokter, 1 petugas laboratorium. Pemegang program juga
melakukan kerjasama dengan bidang lain, seperti petugas epidemiologi, gasurkes
pengendalian penyakit, dan bidan. Pemegang program TB juga melakukan
kerjasama dengan 2 orang kader TB di lingkungan masyarakat. Adanya kader
yang dekat dengan masyarakat dapat meningkatkan jumlah temuan kasus TB
Paru, promosi kesehatan dapat diterapkan secara langsung serta meningkatnya
Page 172
158
pelaporan CDR TB (Pratiwi, Rita et all, 2017). Ketersediaan sumber daya
manusia di Puskesmas Karangmalang sudah sesuai dengan standar
penanggulangan TB yaitu Pemenkes RI Nomor 67 Tahun 2016. Pemegang
program TB belum mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan Kota terkait
dengan peyelenggaraan program P2TB karena belum lama menjabat sebagai
pemegang program. Petugas laboratorium sudah mendapatkan pelatihan pada
tahun 2017 terkait dengan pemeriksaan mikroskopis, sedangkan gasurkes telah
mendapat pelatihan sebanyak 1 kali diawal tahun bekerja sebagai gasurkes oleh
Dinas Kesehatan Kota. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Putri, at all. (2018),
Peningkatan pelatihan dapat meningkatkan pengalaman petugas TB di Puskesmas
dalam melaksanakan program P2TB sehingga angka penemuan pederita TB Paru
akan meningkat mencapat target global (Putri, Wana et all, 2018). Kader TB
belum pernah mendapatkan pelatihan program P2TB yang diadakan oleh
Puskesmas Karangmalang, kader TB pernah mendapatkan pelatihan yang
diadakan oleh organisasi Aisyiyah. Pelatihan yang diberikan oleh kader TB akan
memberikan pengetahuan yang baik sehingga kader TB dapat melaksanakan
perannya dengan baik dalam implementasi program-program TB (Yani, et all,
2018).
Pembiayaan kegiatan program TB, saat ini didapatkan dari sumber
pembiayaan melalui APBN, APBD, dana hibah dan jaminan kesehatan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan Triangulasi 1, pendanaan untuk
program P2TB di Puskesmas berasal dari APBD dan BOK yang setiap tahunnya
didistribusikan ke setiap Puskesmas. Alokasi dana digunakan untuk pembinaan
Page 173
159
SDM maupun untuk penyediaan logistik TB yaitu OAT maupun Non OAT.
Menurut pemegang proram TB dan gasurkes menyatakan bahwa dalam
pelaksanaan program P2TB terutama kegiatan sosialisasi dan skrining penemuan
kasus TB tidak menggunakan dana yag berasal dari BOK. Kegiatan tersebut
dilakukan dengan mengikuti jadwal rutin yang diselenggarakan oleh FKK dan
melakukan kontrak waktu. Kader TB dalam melakukan kegiatan sosialisasi dan
skrining kasus TB tidak menggunakan dana yang diberikan pihak Puskesmas. Hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa pendanaan program P2TB sudah sesuai dengan
standar yang ada dan penggunaan dana dapat dioptimalkan oleh petugas TB di
Puskesmas. Pendanaan yang digunakan oleh Informan Triangulasi 1 dan Informan
Triangulasi 2 dalam melakukan pengobatan di Puskesmas menggunakan kartu
BPJS Kesehatan,sehingga pasien TB tidak merasa terbebani dengan besar biaya
yang dikeluarkan dalam masa pengobatan.
Hasil wawancara dengan pemegang prgram TB di Puskesmas
Karangmalang, alur permintaan OAT saat ini menggunakan sistem online melalui
aplikasi SIMANIS. Sebelum OAT yang tersedia di Puskesmas Karangmalang
habis, pemegang program TB akan melakukan pengajuan melalui aplikasi
Simanis ke Instalasi Farmasi, kemudian menunggu sampai pengajuan tersebut di
konfirmasi oleh Instalasi Farmasi dan Dinas Kesehatan Kota. Apabila sudah
dikonfirmasi oleh keduanya, maka pengajuan baru bisa dicetak dan dibawa ke
Instalasi Farmasi untuk memita OAT. Ketersediaan OAT sudah mencukupi dan
terjamin dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kategori penyakit pasien TB di
Puskemas Karangmalang. Bukan hanya OAT saja, tetapi ketersedian buku
Page 174
160
pedoman penanggulangan TB, formulir pencatatn dan pelaporan pasien TB,
vaksin BCG atau PPINH dan peralatan kesehatan seperti APD dan masker juga
tercukupi dan didistribusi oleh Dinas Kesehatan Kota. sesuai dengan pernyataan
dari Informan Triangulasi 2 dan Informan Triangulasi 3 yang menyatakan bahwa
setiap pasien TB datang ke Puskesmas untuk mengambil obat, pemegang program
TB akan langsung memberikan OAT tersebut tanpa harus mengantri seprti pasien
umum yang lain.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementerian Kesehatan RI No.67 tahun
2016 tentang Penanggulangan Tb paru disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan obat dan perbekalan
kesehatan dalam penyelenggaraan Penanggulangan TB, yang meliputi: a. obat
Anti Tuberkulosis lini 1 dan lini 2; b. vaksin untuk kekebalan; c. obat untuk
pencegahan Tuberkulosis; d. alat kesehatan; dan e. reagensia. Logistik untuk
melakukan pemeriksaan mikroskopis seperti ruang laboratorium, bilik dahak, pot
untuk penampungan dahak, kaca slide, mikroskop, formulir pencatatan dan
pelaporan pemeriksaan lab pasien TB, reagen, seperangkat komputer dan lainya
sudah tersedia dengan lengkap (Kemenkes, 2016). Akan tetepi, untuk kondisi
ruangan laboratorium bagi petugas lab masih belum memadai seperti ventilasinya
yang kurang besar dan ruangan laboratorium yang kurang luas. Menurut Informan
Triangulasi 2, pasien TB setiap mengambil obat ke Puskesmas tidak pernah lewat
pintu depan sebagaiamana pasien umum lainnya tetapi melalui pintu samping
ruangan pemeriksaan TB langsung.
Page 175
161
5.1.2.3 Sistem Informasi
Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pencatatan
menggunakan formulir baku secara manual didukung dengan sistem informasi
secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi
elektronik. Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan
Sistem Informasi TB yang berbasis web dan diintegrasikan dengan sistem
informasi kesehatan secara nasional dan sistem informasi publik yang lain.
Berdasarkan hasil penelitian sistem pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di
Puskesmas Karangmalang dilakukan dengan 2 cara yaitu secara offline dan online
sesuai dengan Permenkes Nomor 67 tahun 2016 tentang penanggulangan
Tuberkulosisi. Secara offline, pemegang program TB melakukan pencatatan dan
pelaporan pasien TB dalam formulir-formulir pasien TB. Secara online, pemegang
program TB melakukan pencatatan dan palaporan ke Kementerian Kesehatan RI
menggunakan aplikasi SITT (Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis), sedangkan
pencatatan dan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota menggunakan aplikasi
Semar Betul. Setiap ada pasien TB baru yang melakukan pemeriksaan di
Puskemas Karangmalang akan langsung diinput ke sistem Smar Betul, sehingga
Dinas Kesehatan Kota dapat melihat data tersebut setiap saat. Hal ini sesuai
dengan Pedoman Nasional Penanggulangan TB tahun 2011 bahwa pencatatan dan
pelaporan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan, diperlukan
suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan
benar, dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis,
diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan (Kemenkes,
Page 176
162
2011). Password untuk mengakses sistem Semar Betul digunakan oleh pemegang
program TB dan petugas laboratorium saja, sedangkan gasurkes menggunakan
password milik pemegang program TB.
Setiap Informan Triangulasi 2 dan Informan Triangulasi 3 melakukan
pemeriksaan di Puskemas, pemegang program selalu menanyakan keteraturan
minum obat dan keluhan yang dirasakan oleh pasien TB. Hal tersebut dilakukan
sebagai kegiatan pemantauan kemajuan pengobatan pasien TB yang kemudian
akan dimasukan kedalam sistem Semar Betul. Pencatatan dan pelaporan
penemuan kasus TB oleh kader TB diserahkan langsung kepada pemegang
program TB di Puskesmas, sedangkan gasurkes menyerahkan hasilnya ke
pemegang program TB dan Dinas Kesehatan Kota. Gasurkes melakukan
pelaporan ke Dinas Kesehatan Kota dan Puskesmas setiap bulan dalam bentuk
laporan hardfile dan softfile (mengirim melalui email).
Hambatan yang dialami dalam pencatatan dan palaporan yaitu penguasaan
petugas TB di Puskesmas terkait dengan sistem informasi TB yang baru masih
dalam penataan. Koordinasi antar petugas di Puskesmas ada sedikit hambatan
yaitu adanya keterlambatan diagnosis yang dilakukan oleh petugas TB karena
harus menunggu konfirmasi dari petugas laboratoriumnya terlebih dahulu,
sehingga pencatatan dan pelaporan tidak bisa langsung diinput ke dalam sistem
dan petugas epidemiologi harus menunggu beberapa waktu untuk melakukan
kunjungan rumah menggunakan data dari petugas TB tersebut. Menurut petugas
Dinas Kesehatan, penguasaan aplikasi oleh petugas TB di Puskesmas yang masih
kurang. Penguasaan aplikasi oleh petugas Puskesmas saat ini bisa dikatakan baru
Page 177
163
sebesar 40%. Aboy (2013) menyatakan bahwa sebagian besar perawat belum
memahami sepenuhnya prosedur penanggulangan dan kurang mendapatkan
pelatihan serta sistem pelaporan yang belum maksimal, akibatnya kegiatan
pelayanan terhadap penderita TB Paru menjadi terhambat (Aboy, E. 2013).
5.1.2.4 Koordinasi, Jejaring Kerja, dan Kemitraan
Peraturan Walikota Semarang Nomor 39 Tahun 2017 tentang Rencana
Aksi Daerah Penanggulangan Tuberkulosis mewajibkan semua pihak, semua
komponen, dan semua stakeholder yang ada di Kota Semarang untuk berperan
sesuai dnegan kapasitasnya masing-masing di dalam program penanggulangan
TB. Koordinasi yang dilakukan antara Dinas Kesehatan Kota Kota dengan
pemegang program TB di Puskesmas yaitu adanya monitoring dan evaluasi yang
dilaksanakan setiap 3 bulan sekali, tetapi pelaksanaan monev oleh Dinas
Kesehatan Kota dengan pemegang program P2TB di Puskesmas baru 1 kali dalam
setahun. Petugas laboratorium belum pernah menghadiri pertemuan monitoring
dan evaluasi di Dinas Kesehatan Kota, hanya mengirimkan crosschek
laboratorium saja ke Dinas Kesehatan Kota. Evaluasi antara petugas TB di
Puskesmas dengan kader TB terkait kegiatan penemuan kasus TB belum pernah
dilakukan. Monitoring dan evaluasi seharusnya tidak hanya dilakukan kepada
koordinator pengelola TB paru di Puskesmas saja, tetapi juga harus memonitoring
kepada bidang lain baik yang terlibat dalam penemuan penderita TB paru. Hal ini
bertujuan untuk melihat sejauh mana pelaksanaan penemuan penderita TB paru
dan permasalahan apa saja yang menghampat capaian program (Zarwinta, Deri et
all, 2019).
Page 178
164
Dalam melaksanakan program P2TB, pemegang program TB di
Puskesmas menjalin kerjasama lintas program dengan petugas epidemiologi dan
petugas KIA, Rumah Sakit, dan Dinas Kesehatan Kota Semarang. Sedangkan
kerjasama lintas sektor dilakukan dengan camat, lurah, serta tokoh agama untuk
mendapatkan dukungan yang baik dalam penanggulangan TB, tetapi kerjasama
lintas sektor dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja kurang optimal
karena masih banyak instansi-instansi yang belum berperan dalam
penanggulangan TB. Keterbatasan kerjasama lintas sektor dan masyarakat dapat
mempengaruhi kegiatan promosi kesehatan yang mengakibatkan penemuan
penderita TB masih rendah (Wijayanti, 2016).
5.1.2.5 Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016, yaitu
Pelibatan secara aktif masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan baik
lintas program dan lintas sektor diutamakan pada 4 area dalam program
Penanggulangan TB yaitu: penemuan orang terduga TB, dukungan pengobatan
TB, pencegahan TB, dan mengatasi faktor sosial yang mempengaruhi
penanggulangan TB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran serta masyarakat
dalam penemuan dan pengobatan TB masih terbatas, keluarga dan pasien TB
masih tertutup terhadap petugas kesehatan yang mengunjungi, tingkat
pengetahuan tentang penyakit TB masih rendah, keterbatasan informasi terkait
dengan pasien TB di lingkungannya sehingga akses sosial untuk menjangkau
masyarakat secara menyeluruh masih sulit, dan stigma negatif tentang TB yang
tidak bisa disembuhkan masih ada di masyarakat. Hal ini tidak sejalan dengan
Page 179
165
penelitian dari Hakam dan Maharani (2018), tidak ada stigma ataupun
diskriminasi yang diterima pasien, lingkungan sekitarnya memberikan dukungan
dan semangat agar pasien menyelesaikan pengobatan dan sembuh. Bahkan
keluarga juga mendukung serta setiap hari mengingatkan minum obat (Hakam &
Maharani, 2018). Program penanggulangan TB juga menghendaki dukungan
masyarakat terhadap program, antara lain dalam bentuk kesediaan melakukan
pemeriksaan kontak, melaporkan indikasi penemuan TB, melakukan pengobatan
penderita, hingga menunjukkan sikap bersahabat dan empati kepada penderita TB.
Semakin baik dukungan masyarakat akan semakin tinggi pula peluang
keberhasilan program tersebut, demikian pula sebaliknya (Sulidah & Parman,
2017).
Kesadaran pasien TB dalam melakukan pencegahan dan pengobatan
terhadap dirinya sendiri sudah baik, tetapi pencegahan agar tidak menular ke
orang lain masih kurang karena pasien TB jarang menggunakan masker saat
berinteraksi dengan orang lain. Sejalan dengan penelitian dari Saftarina & Fitri.
(2019), prioritas utama penyebab TB yaitu rendahnya kepatuhan masyarakat
dalam menggunakan masker terutama pasien TB di Kelurahan Perumnas Way
Kandis karena kurang nyaman dan harganya yang mahal (Saftarina & Fitri, 2019).
5.2 HAMBATAN DAN KELEMAHAN PENELITIAN
5.2.1 Hambatan
Hambatan yang dialami oleh peneliti pada saat melakukan penelitian antara
Page 180
166
lain:
1. Wawancara dengan informan utama dilakukan di Puskesmas pada saat jam
kerja sehingga wawancara tidak bisa dilakukan dalam waktu yang lama dan
jawaban yang diberikankan singkat pada peneliti.
2. Jumlah informan triangulasi sedikit karena tidak semua anggota keluarga
maupun pasien TB bersedia untuk dijadikan responden dalam penelitian.
5.2.2 Kelemahan
Kelemahan dalam penelitian ini adalah penelitian lebih ditekankan hanya
pada obyek sasaran dan kesenjangan yang timbul dalam pelaksanaan program
P2TB. Informan akan cenderung menonjolkan sisi positif dari pelaksanaan
program yang dilakukan dan jawaban yang diutarakan lebih bersifat subjektif,
sehingga peneliti harus menganalisis hasil penelitian yang diperoleh dengan
sumber data lain baik melalui triangulasi data maupun data sekuder untuk lebih
terperinci.
Page 181
167
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 SIMPULAN
1. Kesenjangan pada kegiatan penanggulangan tuberkulosis dalam program
P2TB di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang terdapat
pada pelaksanaan promosi kesehatan dimana sosialisasi belum dilaksanakan
secara menyeluruh, ketersediaan media komunikasi yang belum mencukupi,
dan kesadaran pasien TB untuk menggunakan masker masih kurang. Selain
itu, di Puskesmas Karangmalang juga terdapat kesenjangan dalam
pengawasan kepatuhan menelan obat penderita TB yang masih diragukan
oleh pemegang program TB.
2. Sumber daya manusia, dana, ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan
yang tersedia di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang
sudah mencukupi sesuai dengan Permenkes Nomor 67 tahun 2016.
Puskesmas Purwoyoso masih memiliki kendala pada ruang poli untuk
pasien TB yang belum optimal, sinar matahari yang masuk ke ruang poli TB
masih terbatas. Sedangkan di Puskesmas Karangmalang, pemegang program
TB belum mendapatkan pelatihan pelaksanaan program TB dari Dinas
Kesehatan. Pemanfaatan dana BOK belum dilakukan secara optimal oleh ke
dua Puskesmas untuk mendukung petugas kesehatan melaksanakan kegiatan
surveilans dan penemuan kasus TB.
3. Pencatatan dan pelaporan kasus TB di Puskesmas Purwoyoso dan
Puskesmas Karangmalang menggunakan sistem Semar Betul untuk
Page 182
168
memonitoring kemajuan pengobatan pasien TB dan melaporkan kasus TB
secara online, tetapi pelaksanaannya belum bisa tepat waktu. Masih terdapat
kendala yang dialami petugas TB di Puskesmas yaitu masalah provider
sistem Semar Betul masih terjadi gangguan, penguasaan petugas TB di
Puskesmas terkait dengan sistem informasi TB yang dalam penataan, dan
keterlambatan diagnosis pasien TB.
4. Koordinasi, jejaring kerja dan kemitraan dalam pelaksanaan program P2TB
di Puskesmas Purwoyosos dan Puskesmas Karangmalang sudah dilakukan
baik kerjasama lintas program maupun lintas sektoral, tetapi kerjasama
dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja untuk menjaminketersediaan
akses layanan TB yang merata belum dilakukan sesuai dengan peraturan
pemerintah. Belum ada forum khusus untuk melakukan monitoring evaluasi
kinerja kader TB di Puskesmas.
5. Peran serta masyarakat dalam penanggulangan Tuberkulosis belum
dilaksanakan dengan baik sesuai Permenkes Nomor 67 tahun 2016. Banyak
masyarakat yang malu apabila sakit batuknya diketahui penyakit TB,
keluarga dan pasien TB masih tertutup terhadap petugas kesehatan,
pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB masih rendah dan stigma
negatif masyarakat terkait penyakit TB masih tinggi.
6.2 SARAN
1. Dinas Kesehatan Kota Semarang melakukan pelatihan penguasaan sistem
Page 183
169
Semar Betul kepada petugas pelaksana program P2TB di Puskesmas Kota
Semarang.
2. Dinas Kesehatan Kota Semarang saat mengadakan monitoring dan evaluasi
memberikan arahan kepada pemegang program di Puskesmas untuk
meningkatkan koordinasi diantara petugas kesehatan terutama saat terjadi
pergantian pemegang program TB.
3. Meningkatkan informasi P2TB dengan memanfaatkan media massa seperti
menyebarkan poster yang dapat diberikan ke masyarakat saat sosialisasi
atau kunjungan ke puskesmas, memasang poster atau spanduk di wilayah
kerja Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang, dan
mengingatkan pasien TB untuk selalu menggunakan masker ketika
bersosialisasi dengan orang lain.
4. Pemegang program TB di Puskesmas Purwoyoso mengganti beberapa
genting atap poli TB dengan genting kaca agar cahaya matahari yang masuk
lebih banyak dan memberikan motivasi ke semua kader TB yang ada untuk
meingkatkan kinerjanya dalam penemuan kasus dan pengobatan pasien TB
secara aktif. Memanfaatkan dana BOK untuk biaya transport petugas
kesehatan dalam rangka pelacakan kasus TB yang mangkir dan pencarian
kontak TB.
5. Meningkatkan koordinasi antar petugas pelayanan P2TB baik di Puskesmas
Purwoyoso maupun Puskesmas Karangmalang agar pencatatan dan
pelaporan antar petugas dapat dilakukan dengan cepat.
6. Petugas kesehatan di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas Karangmalang
Page 184
170
manjalin kerjasama lintas sektor baik formal maupun informal yang ada di
wilayah kerja masing-masing seperti perusahaan swasata, industri
peternakan atau pertanian untuk menigkatkan penanggulangan penyakit TB.
Pemegang program TB di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Karangmalang mengadakan monitoring dan evaluasi untuk program P2TB
bersama dengan kader dan gasurkes setiap 3 bulan sekali, sehigga kinerja
setiap kader maupun gasurkes dapat terpantau dan masalah yang ada dapat
diselesaikan secara langsung.
7. Pemegang program TB di Puskesmas Purwoyoso dan Puskesmas
Karangmalang melakukan penjadwalan ulang sosialisasi dalam bentuk
sharing untuk memancing pengetahuan masyarakat dengan didampingi
tenaga kesehatan, kader TB, dan pemegang kebijakan setempat sehingga
partisipasi masyarakat dapat bertindak dalam rangka membantu pasien
terduga TB/pasien TB untuk melakukan pengobatan.
Page 185
171
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, R. (2018). Implementasi Kebijakan Penanggulangan Penyakit
Tuberkulosis di Puskesmas Kamonji Kota Palu. Katalogis, 6(5), 118-123.
Aboy E. Implementasi program penanggulangan tuberkolosis di puskesmas
Kampung Dalam Kota Pontianak. Jurnal Publika. 2013; 2(3):101-7.
Aditama, W., Zulfikar, & Baning R. (2013). Evaluasi Program Penanggulangan
Tuberkulosis Paru di Kabupaten Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
7 (6), 243-250.
Adyaningrum, N. (2019). Analisis Pengawasan Menelan Minum Obat Pasien
Tuberkulosis (TB) dalam Program Penanggulangan TB di Puskesmas
Sempor II Kabupaten Kebumen. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7 (4),
542-555.
Anggraeni, Saffira K., Raharjo, M., Nurjazuli. (2015). Hubungan Kualitas
Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku Kesehatan dengan Kejadian TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi Kecamatan Gondanglegi
Kabupaten Malang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3 (1), 559-568.
Arakawa, T., Magnabosco, G. T., Andrede, R. L., Burnello, M. E., Monroe, A. A.,
Netto, A. R., . . . Villa, T. C. (2017). Tuberculosis Control Program in the
Municipal Context: Performance Evaluation. Revista de Saude Publica, 51
(23), 1-9.
Ariyani, E., & Maryati, H. (2018). Analisis Pelaksanaan penanggulangan TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Cipaku. HEARTY Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 6 (1).
Deswinda, Rasyid, R., & Firdawati. (2019). Evaluasi Penanggulangan
Tuberkulosis Paru di Puskesmas dalam Penemuan Penderita Tuberkulosis
Paru di Kabupaten Sijunjung. Jurnal Kesehatan Andalas, 8 (2), 211-219.
Dinkes Jateng. (2017). Profil Kesehatan Jawa Tengah 2017. Semarang: Dinkes
Jateng.
Dinkes Kota Semarang. (2017). Profil Kesehatan Kota Semarang 2017.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Dinkes Kota Semarang. (2018). Profil Kesehatan Kota Semarang 2018.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Elsayed, D., Salahy, M., Hibah, N. A., Mehy, G. F., Essawy, T. S., & Eldesouky,
R. S. (2015). Evaluation of Primary Health Care Service Participation in
Page 186
172
the National Tuberculosis Control Program in Qalyubia Governorate,
Egypt. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis, 64, 921-928.
Ersanti, A. M., Nugroho, A., & Hidajah, A. C. (2016). Gambaran Kualitas Sistem
Surveilans TB di Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik Berdasarkan
Pendekatan Sistem dan Penilaian Atribut. Journal of Information System
for Public Health, 1 (2), 9-15.
Faizah, I. L., & Raharjo, B. B. (2019). Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short course). HIGEIA, 3
(3), 430-441.
Faradis, N. A., & Indarjo, S. (2018). Implementasi Kebijakan Permenkes Nomor
67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Higeia Journal Of
Public Health Research And Development, 2 (2), 307-319.
Febrina, W., & Rahmi, A. (2018). Analisis Peran Keluarga sebagai Pengawas
Minum Obat (PMO) Pasien TB Paru. Jurnal Human Care, 3 (2), 118-129.
Hakam, F., & Maharani, N. E. (2018). Analisis Kebijakan Penanggulangan
Tuberkulosis (Tb) Di Kabupaten Sukoharjo Menggunakan Pendekatan
Gap Analysis Dan Critical Succsess Factor (Csf). Jurnal Manajemen
Informasi dan Administrasi Kesehatan (J-MIAK), 1 (2), 29-38.
Hayati, D., & Musa , E. (2016). Hubungan Kinerja Pengawas Menelan Obat
Dengan Kesembuhan Tuberkulosis Di Upt Puskesmas Arcamanik Kota
Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan, IV(1), 10-18.
Husein, R. D., & Sormin, T. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kinerja Petugas Program TB Paru Terhadap Penemuan Kasus Baru di
Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Keperawatan, 8 (1), 52-59.
Indonesia, K. K. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Indonesia.
Kasim, F., Soen, M., & Hendranata, K. F. (2012). Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse sebagai
Upaya Penanggulangan Tuberklosis di Puskesmas yang Berada dalam
Lingkungan Pembinaan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia, 1 (3), 134-143.
Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Kemenkes, R. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Page 187
173
Kemenkes.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kemeterian Kesehatan RI. (2018). Infodatin Tuberkulosis 2018. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Khan, A. J., Khowaja, S., Khan, F. S., Qazi, F., Ismat, L., Habib, A., . . .
Keshavjee, S. (2012). Engaging the private sector to increase tuberculosis
case detection: an impact evaluation study. The Lancet Infectious Disease,
12(8), 606-616.
Khariza , H. A. (2015). Program Jaminan Kesehatan Nasional: Studi Deskriptif
Tentang Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Keberhasilan
Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Rumah Sakit Jiwa
Menur Surabaya. Kebijakan dan Manajemen Publik, 3 (1), 1-7.
Lestari, Ita., Widagdo, L., Adi, S. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Implementasi Program Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas
Wilayah Kebupaten Magelang. Pro Health Jurnal Ilmiah Kesehatan, 1(2),
1-6.
Listiono, H. (2019). Analisa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal
Ilmiah Multi Science kesehatan, 11, 19-34.
Majara, Duriana M., Prastiwi, S., Andinawati, M. (2018). Pengaruh Konseling
Personal Terhadap Kesadaran Pencegahan Penularan TB Paru di Wilayah
Puskesmas Janti Kota Malang. Nursing News, 3 (1), 120-132.
Maulidia, F. M. (2017). Pengaruh Struktur Birokrasi Terhadap Implementasi
Kebijakan Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) (Studi di
Puskesmas Kabupaten Gunungkidul). JURNAL ILMIAH KESEHATAN
MEDIA HUSADA, 6 (2), 183-192.
Minardo, J. (2014). Analisis Determinan Motivasi Petugas Tuberkulosis Paru
dalam Penemuan Kasus di Kabupaten Semarang (Studi Kasus di Beberapa
Puskesmas) Tahun 2012 . Prosiding Konferensi Nasional (hal. 253-261).
Semarang: PPNI Jawa Tengah.
Moa, Teofilus., Zainuddin., Nursina, A. (2018). Perilaku Masyarakat Terhadap
Upaya Pencegahan Penularan Penyakit TB. Journal Health Community
Enpowerment, 1 (1), 49-62.
Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Makassar: Salemba Medika.
Page 188
174
Naser, M. N., & Utami, F. P. (2017). Evaluasi Program Bimbingan Karier
Discrepancy Model dalam Meningkatkan Kualitas Kinerja Konselor.
Prosiding Seminar Bimbingan Konseling, 1 (1), 292-302.
Notoatmodjo, s. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Noveyani, A. E., & Martini, S. (2014). Evaluasi Program Pengandalian
Tuberkulosis Pari Dengan Strategi DOTS di Puskesmas Tanah
Kalikedinding Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2 (2), 251-262.
Nugraini, K. E., Cahyati, W. H., Farida, E. (2015). Evaluasi Input capaian Case
Detection rate (CDR) TB Paru dalam Program Penanggulangan Penyakit
TB Paru (P2TB) Puskesmas Tahun 2012 (Studi Kualitatif di Kota
Semarang). UJPH, 5(2), 143-152.
Nugroho, R. A. (2011). Studi Kualitatif Faktor yang Melatarbelakangi Drop Out
Pengobatan Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), 83-90.
Oktavia, Surakhmi., Rahmi, M., Destriatania, S. (2016). Analisis Faktor Risiko
Kejadian TB Paru di wilayah Kerja Puskesmas Kertapati Palembang.
Jurnal Ilmu Kesehatn Masyarakat, 7 (2), 124-138.
Pongoh, N. E., Palandeng, H. M., & Rombot, D. V. (2015). Gambaran Perilaku
Tenaga Kesehatan terhadap Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Puskesmas
Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik, 3 (2), 108-116.
Pratama , M. Y., Gurning , F. P., & Suharto. (2019). Implementasi
Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.
Jurnal Kesmas Asclepius, 1 (2), 196-205.
Pratiwi, Rita. D., Pramono, D., Junaedi, J. (2017). Peningkatan Kemapuan Kader
Kesehatan TB dalam Active Case Finding untuk Mendukung Case
Detection. Journal of Health Education, 2 (2), 211-219.
Purba, E., Hidayat, W., & Silitonga, E. (2019). Analisis Implementasi Kebijakan
Penanggulangan TB Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita TB
Paru Di Puskesmas Tigabaru Kabupaten Dairi Tahun 2018. Jurnal Ilmiah
Simantek , 3 (3), 72-86.
Putri, Wana W., Martini., Adi, Mateus S., Sarawati, Lintang D. (2018). Gambaran
Penemuan Kasus Tuberkulosis Paru oleh Petugas Puskemas di Kabupaten
Sukoharjo. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(1), 336-342.
Qayad, M. G., & Tarsitani, G. (2017). Evaluation of Borama tuberculosis control
program in Somaliland, Somalia. The Journal of Infection in Developing
Page 189
175
Contries, 11 (2), 115-122.
Rachmah, Sissa. A., Saraawati, Lintang D., Ginandjar, Praba . (2019). Hubungan
Antara Tingkat Pengetahuan Kader Masyarakat Peduli Paru Sehat dengan
Kepatuhan Berobat Paisen Tuberkulosis di Balai Kesehatan Masyarakat
Wilayah Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7 (3), 1-7.
Rahmah, Siti., Indriani, C., Wisnuwijoyo, Agus P. (2017). Skrining Tuberkulosis
(TB) Paru. Jurnal Kesehatan MANARANG, 3 (2), 69-74.
Rahman, Fauzie., Adenan, Adenan., Yulidasari, F., Laily, N., Rosadi, N., Azmi,
Aulia N.. (2017). Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Upaya
Pencegahan Tuberkulosis. Jurnal MKMI, 13 (2), 183-189.
Ramadhan, R., Fitria, E., & Rosdiana. (2017). Deteksi Mycobacterium
Tuberkulosis dengan Pemeriksaan Mikroskopis dan Teknik PCR pada
Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Darul Imarah. SEL Jurnal
Penelitian Kesehatan, 4(2), 73-80.
Saftarina, F., & Fitri, A. D. (2019). Studi Fenomenologi tentang Faktor Risiko
Penularan Tuberculosis Paru di Perumnas Way Kandis Lampung. JMJ, 7
(1), 8-16.
Salahy, M. M., Essawy, T. S., Mohammad, O. I., Hendy, R. M., & Abas, A. O.
(2016). Evaluation of Primary Health Care service Participation in teh
National Tuberculosis Control Program in Menofya Governorate. Egyptian
Journal of Chest Diseases and Tuberculosis, 65, 642-648.
Saputra, Muhammad H., Syurandhi, Dwi H., Inayah, Lailiya I. (2018). Analisis
Masalah Program P2TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Puri Kabupaten
Mojokerto. Medica Majapahit, 10 (1), 61- 70.
Setiawan, A., Jati, S., Agushybana, F. (2017). Sistem Pemantauan Pengobatan
Pasien TB Paru di Puskesmas Kabupaten Kudus. Manajemen Kesehatan
Indonesia, 5 (3), 11-18.
Setyowati, I., Saraswati, L. D., & Adi, M. S. (2018). Gambaran Faktor-Faktor
yang Terkait dengan Kinerja Petugas dalam Penemuan Kasus pada
Program Tuberkulosis Paru di Kabupaten Grobokan. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 6 (1), 264-273.
Sjaaf, A. C., & Darmawan, E. S. (2016). Administrasi Kesehatan Masyarakat
Teori dan Praktik. Jakarta: Rajawali Pers.
Sofiyatun, V. (2019). Implemetasi Program Penenggulangan Tuberkulosis Paru.
HIGEIA, 3(1), 74-86.
Page 190
176
Suarayasa, K., Pakaya, D., & Felandina, Y. (2019). Analisis Situasi
Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Kabupaten Sigi. Jurnal Kesehatan
Tadulako, 5 (1), 1-62.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Jakarta:
Alfabeta.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Sulidah, & Parman, D. H. (2017). Pemberdayaan Survivor TB dalam Program
DOTs. Jurnal Medika Respati, 12 (4), 28-39.
Sumartini, N. P. (2014). Penguatan Peran Kader Kesehatan dalam Penemuan
Kasus Tuberkulosis (TB) BTA Positif Melalui Edukasi dengan Pendekatan
Theory of Planned Behaviour (TPB). Jurnal Kesehatan Prima, 8 (1),
1246-8661.
Sutinbuk, D., Mawarni, A., & Kartika W, L. R. (2012). Analisis Kinerja
Penanggung Jawab Program Tb Puskesmas Dalam Penemuan Kasus Baru
Tb Bta Positif Di Puskesmas Kabupaten Bangka Tengah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 11
(2), 142-150.
Tondong, M. A., Mahendradhata, Y., & Ahmad, R. A. (2014). Evaluasi
Implementasi Public Private Mix Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten
Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur 2012. Jurnal Kebijakan Kesehatan
Indenosia, 03(01), 37-42.
Tuharea, R., Suparwati, A., & Sriatmi, A. (2014). Analisis Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Implementasi Penemuan Pasien Tb Paru dalam
Program Penanggulangan Tb di Puskesmas Kota Semarang. Manajemen
Kesehatan Indonesia, 02(02), 168-178.
Ulya, F., & Thabrany, H. (2017). Efektivitas Biaya Strategi DOTS Program
Tuberkulosis antara Puskesmas dan Rumah Sakit Swasta Kota Depok.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 3 (1), 109-117.
Vidyastari, Y. S., Riyanti, E., & Cahyo, K. (2019). Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Pencapaian Target Cdr (Case Detection Rate) Oleh
Koordinator P2tb Dalam Penemuan Kasus Di Puskesmas Kota Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7 (1), 535-544.
WHO. (2017). Global Tuberculosis Report 2017. Geneva: WHO.
Page 191
177
Widoyoko, E. P. (2017). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wijayanti, R. A. (2016). Analisis Faktor Manajemen di Puskesmas Dalam
Meningkatkan Case Detection Rate (CDR)) Tuberkulosis. Jurnal
Kesehatan, 4 (1), 61-69.
Yanuar, Isma., Sari, Kanthi P., Yudha, Hendry T. (2017). Analisis Situasi
Tuberkulosis (TB) di Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, 3 (1), 42-51.
Zarwinta, Deri., Rasyid, Rosfita., Abdian. (2019). Analisis Implementasi
Penemuan Pasien TB Paru dalam Program Oenanggulangan TB Paru di
Puskesmas Balai Selasa. Jurnal Kesehatan Andalas, 8 (3), 689-699.
Page 193
179
Lampiran 1. Surat Tugas Pembimbing
Page 194
180
Lampiran 2. Surat izin penelitian dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, UNNES
Page 195
181
Lampiran 3. Surat izin penelitian dari Kesbangpol
Page 197
183
Lampiran 4. Salinan ethical clearance
Page 198
184
Lampiran 5. Surat/bukti sudah melaksanakan penelitian/pengambilan data
dari institusi yang berwenamg
Page 200
186
Lampiran 6. Instrumen penelitian
INSTRUMEN PENELITIAN
EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PURWOYOSO DAN PUSKESMAS
KARANGMALANG KOTA SEMARANG
A. Identitas Informan (Pemegang Program P2TB di Dinas Kesehatan)
1. Nama informan :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Pendidikan terakhir :
5. Jabatan :
6. Lama bekerja :
B. Daftar Pertanyaan
1. KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
(PROMOSI KESEHATAN)
1) Bagaiamana Anda memberikan sosialisasi kepada petugas Tim program
P2TB di Puskesmas?
2) Apak sajakah media yang digunakan saat melakukan sosialisasi kepada
petugas Tim TB di Puskesmas?
3) Menurut Anda, Apa sajakah kendala/hambatan yang ada terkait
sosialisasi program P2TB yang dilakukan oleh petugas Tim TB di
Puskesmas Kota Semarang?
(SUEVEILANS TUBERKULOSIS)
4) Bagaiaman pelaksanaan surveilans yang dilakukan oleh petugas Tim
P2TB di Puskesmas Kota Semarang ?
5) Menurut Anda, Apa sajakah kendala/hambatan yang ada terkait
sueveilans program P2TB yang dilakukan oleh petugas Tim TB di
Puskesmas Kota Semarang?
(PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO)
6) Bagaiman upaya yang dilakukan oleh petugas Tim P2TB di Puskesmas
dalam pengendalian penyakit pada penderita Tb agar tidak terjadi
penularan di wilayah kerjanya?
7) Bagaiaman upaya yang dilakukan petugas Tim P2TB di Puskesmas
dalam pengendalian faktor risiko pada masyarakat yang
dilingkungannya terdapat penderita TB?
Page 201
187
8) Apakah terdapat Standar Prosedur Operasional (SPO) mengenai alur
pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans di
Puskesmas Kota Semarang?
9) Bagaiaman cara petugas memberikan penyuluhan etika batuk kepada
petugas kesehatan, pasien TB maupun pengunjung Puskesmas yang
lain?
10) Menurut Anda, Apa sajakah kendala/hambatan yang ada terkait
pengendalian faktor risiko yang dilakukan oleh petugas Tim TB di
Puskesmas Kota Semarang?
(PENEMUAN DAN PENANGANAN KASUS)
11) Bagaiamana langkah penemuan kasus penderita TB yang dilakukan oleh
petugas tim TB di Puskesmas Kota Semarang?
12) Menurut Anda, Apa sajakah kendala/hambatan yang ada terkait
penemuan kasus program P2TB yang dilakukan oleh petugas Tim TB di
Puskesmas Kota Semarang?
13) Bagaiamana prosedur pengambilan obat untuk pasien TB di Puskesmas?
(PEMBERIAN KEKEBALAN)
14) Bagaimana pemberian kekebalan yang diberikan kepada balita untuk
mencegah tingkat penularan penyakit TB?
15) Bagaimana pemberian kekebalan yang diberikan kepada ODHA yang
menderita penyakit TB?
2. SUMBER DAYA
(SUMBER DAYA MANUSIA)
1) Apakah jumlah sumber daya manusia di Puskesmas sudah memadai?
2) Bagaimanakah pelatihan yang diterima oleh petugas pelaksana
(pemegang program, petugas laboratorium, dan dokter) program
Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas?
3) Seberapa seringkah petugas mendapatkan pelatihan tersebut?
(KETERSEDIAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN)
4) Bagaiamanakah ketersediaan obat anti tuberkulosis yang ada di
Puskesmas?
5) Bagaiamana ketersediaan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
program P2TB di Puskesmas?
(PENDANAAN)
6) Bagaiamana ketersediaan dana dalam pelaksanaan program Pencegahan
dan Penggulangan Tuberkulosis di Puskesmas?
7) Bagaiamana alokasi dana yang digunakan untuk penyelenggaraan
program P2TB di Puskesmas?
Page 202
188
8) Menurut Anda, Apa sajakah kendala/hambatan yang ada terkait dalam
sumberdaya program P2TB yang dilakukan oleh petugas Tim TB di
Puskesmas Kota Semarang?
3. SISTEM INFORMASI
1) Bagaiamana pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh Puskesmas
kepada Dinas Kesehatan Kota Semarang?
2) Seberapa sering kegiatan tersebut dilakukan?
3) Apakah terdapat kendala/hambatan yang dialami petugas dalam
pelaksanaan pencatatan dan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota
Semarang?
4. KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1) Bagamana supervisi yang dilakukan oleh Dinas kesehatan Kota
Semarang di Puskesmas?
2) Bagaiaman pertemuan monitoring dan evaluasi yag dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam pelaksanaan program P2TB di
Puskesmas? Seberapa sering dilakukan!
3) Bagaiamana bentuk kerjasama yang Anda lakukan dengan lintas sektoral
(fasilitas kesehatan milik swasta, kerja sama dengan sektor
industri/perusahaan/tempat kerja, dan kerja sama dengan lembaga
swadaya masyarakat (LSM))?
4) Menurut Anda, Apa sajakah kendala/hambatan yang ada terkait
koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan program P2TB yang dilakukan
oleh petugas Tim TB di Puskesmas Kota Semarang?
5. PERAN SERTA MASYARAKAT
1) Bagaiaman peran serta masyarakat dalam penemuan kasus, pengobatan,
dan pencegahan penyakit TB?
2) Bagaiamana peran serta masyarakat dalam mengatasi faktor sosial yang
berpengaruh pada penanggulangan TB?
3) Menurut Anda, Apa sajakah kendala/hambatan yang ada terkait peran
serta masyarakat terhadap program P2TB yang dilakukan oleh pihak
Puskesmas Kota Semarang?
Page 203
189
INSTRUMEN PENELITIAN
EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PURWOYOSO DAN PUSKESMAS
KARANGMALANG KOTA SEMARANG
C. Identitas Informan (Pemegang Program P2TB di Puskesmas)
7. Nama Puskesmas :
8. Nama informan :
9. Umur :
10. Jenis kelamin :
11. Pendidikan terakhir :
12. Jabatan :
13. Lama bekerja :
D. Daftar Pertanyaan
6. KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
(PROMOSI KESEHATAN)
16) Bagaiamana Anda memberikan sosialisasi kepada pasien TB yang
memeriksakan dirinya ke Puskesmas?
17) Bagaiamana Anda melakukan sosialisasi tentang program Pencegahan
dan Penanggulangan Tuberkulosis kepada masayarakat di wilayah kerja
Puskesmas?
18) Apaka sajakah media yang digunakan saat melakukan sosialisasi kepada
msyarakat sekitar?
19) Apakah pihak Puskesmas melakukan kerjasama dengan pemangku
kebijakan yang ada di sekitar wilayah kerja Puskesmas, seperti Kepala
Desa, Kepala RT/RW, pemuka agama setempat, organisasi masyarakat?
Bagaimana bentuk kerjasama tersebut?
20) Bagaimana cara Puskesmas melakukan advokasi kepada pemangku
kebijakan tersebut?
21) Apa sajakah kendala/hambatan yang dialami dalam melakukan
sosialisasi terkait dengan program P2TB?
(SUEVEILANS TUBERKULOSIS)
22) Bagaiaman pelaksanaan surveilans yang Anda lakukan oleh penemuan
kasus TB?
23) Apa sajakah kendala/hambatan yang dialami petugas dalam pelaksanaan
surveilans tersebut?
(PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO)
24) Bagaiaman upaya yang dilakukan dalam pengendalian penyakit pada
pasien TB agar tidak terjadi penularan?
Page 204
190
25) Bagaiaman upaya yang dilakukan dalam pengendalian faktor risiko pada
masyarakat yang dilingkungannya terdapat pasien TB?
26) Apakah Puskesmas juga melakukan screening terhadap petugas yang
ikut serta dalam pelaksanaan program P2TB?
27) Apakah terdapat Standar Prosedur Operasional (SPO) mengenai alur
pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans di
Puskesmas?
28) Apakah Anda memberikan penyuluhan etika batuk kepada petugas
kesehatan, pasien TB maupun pengunjung Puskesmas yang lain?
29) Apa sajakah kendala/hambatan yang dialami dalam melakukan
pengendalian faktor risiko Tuberkulosis?
(PENEMUAN DAN PENANGANAN KASUS)
30) Bagaiamana langkah penemuan kasus penderita TB yang dilakukan oleh
Puskesmas?
31) Bagaimana upaya yang Anda lakukan untuk menjamin pasien TB selalu
memeriksakan diri dan mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
secara rutin?
32) Apa sajakah kendala/hambatan yang Anda alami dalam melakukan
penemuan kasus Tb di masyarakat?
33) Bagaiamana prosedur pengambilan obat untuk pasien TB?
34) Bagaiaman cara Anda menentukan orang yang menjadi PMO (Pengawas
Minum Obat) untuk setiap pasien TB?
35) Bagaiamankah Anda menyampaikan tugas manjadi seorang PMO?
36) Bagaiaman koordinasi Anda dengan PMO pasien TB dalam upaya
melakukan pengawasan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)?
(PEMBERIAN KEKEBALAN)
37) Bagaimana pelaksanaan pemberian kekebalan kepada balita yang
dilingkungannya terdapat penderita TB?
38) Bagaimana pemberian kekebalan kepada ODHA yang terkena penyakit
TB?
7. SUMBER DAYA
(SUMBER DAYA MANUSIA)
9) Apakah jumlah sumber daya manusia di Puskesmas ini sudah memadai?
Siapa sajakah petugas yang terlibat dalam pelaksanaan program P2TB?
10) Apakah beban kerja rangkap mempengaruhi pelaksanaan program P2TB
di Puskesmas?
11) Bagaimanakah pelatihan yang diterima oleh petugas pelaksana
(pemegang program, petugas laboratorium, dan dokter) program
Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas ini?
12) Seberapa seringkah petugas mendapatkan pelatihan tersebut?
Page 205
191
13) Apakah terdapat kendala/hambatan dalam menjaga kualitas sumber daya
manusia terkait program P2TB di Puskesmas?
(KETERSEDIAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN)
14) Bagaiamanakah ketersediaan obat anti tuberkulosis yang ada di
Puskesmas?
15) Bagaiamana ketersediaan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
program P2TB di Puskesmas?
16) Apakah terdapat kendala/hambatan dalam pengadaan ketersediaan
obat/alat kesehatan/sarana dan prasana terkait program P2TB di
Puskesmas?
(PENDANAAN)
17) Bagaiamana ketersediaan dana dalam pelaksanaan program Pencegahan
dan Penggulangan Tuberkulosis?
18) Bagaiamana alokasi dana yang digunakan untuk penyelenggaraan
program P2TB?
8. SISTEM INFORMASI
4) Bagaiamana pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh Puskesmas
kepada Dinas Kesehatan Kota Semarang?
5) Seberapa sering kegiatan tersebut dilakukan?
6) Apakah terdapat kendala/hambatan yang dialami petugas dalam
pelaksanaan pencatatan dan pelaporan?
9. KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
5) Bagamana supervisi yang dilakukan oleh Dinas kesehatan Kota
Semarang di Puskesmas?
6) Bagaiaman pertemuan monitoring dan evaluasi yag dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kota Semarang? Seberapa sering dilakukan!
7) Bagaiaman kegiatan monitoring dan evalasi yang dilakukan di
Puskesmas?
8) Bagaiamana bentuk kerjasama yang Anda dilakukan dengan lintas
program yang ada di Puskesmas?
9) Bagaiamana bentuk kerjasama yang Anda lakukan dengan lintas sektoral
(fasilitas kesehatan milik swasta, kerja sama dengan sektor
industri/perusahaan/tempat kerja, dan kerja sama dengan lembaga
swadaya masyarakat (LSM))?
10. PERAN SERTA MASYARAKAT
4) Bagaiaman upaya Puskesmas untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam penemuan kasus TB?
5) Menrut Bapak, seberapa besar peran serta masyarakat dalam mendukung
pencegahan dan pengobatan penyakit TB?
Page 206
192
6) Bagaiamana upaya Puskesmas untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam mengatasi faktor sosial yang berpengaruh pada
penanggulangan TB?
7) Apakah terdapat kendala/hambatan dalam peran serta masyarakat
terhadap program P2TB di Puskesmas?
Page 207
193
INSTRUMEN PENELITIAN
EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PURWOYOSO DAN PUSKESMAS
KARANGMALANG KOTA SEMARANG
E. Identitas Informan (Petugas Laboratorium di Puskesmas)
14. Nama Puskesmas :
15. Nama informan :
16. Umur :
17. Jenis kelamin :
18. Pendidikan terakhir :
19. Jabatan :
20. Lama bekerja :
F. Daftar Pertanyaan
1) Apakah Anda menyampaikan infromasi tentang penyakit TB kepada pasien
terduga TB ketika melakukan pemeriksaan mikroskopis di Puskesmas?
2) Bagaiamana pelaksanaan pemeriksaan sputum yaitu sewaktu pagi sewaktu
sebagai screening awal penyakit TB di Puskemas ini?
3) Apakah pasien secara rutin melakukan pemeriksaan tersebut? Berapa kali
pemeriksaan dilakukan?
4) Bagaiamana ketersediaan sumber daya manusia dalam pelaksanaan
pelayanan Laboratorium di Puskesmas ini, apakah sudah mencukupi atau
belum?
5) Bagaiamna cara melakukan penegakan diagnosis awal seorang terduga
pasien TB di Puskesmas ini?
6) Bagaiamana pelatihan yang diperoleh oleh petugas Laboratorium untuk
meningkatkan keahliannya daam melaksanakan tugas? Berapa kali
dilakukan pelatihan!
7) Bagaiamana keadaan fasilitas dan peralatan yang diperlukan untuk
pelaksanaan pemeriksaan penyakit Tuberkulosis di Puskesmas ini?
8) Bagaiaman ketersediaan alat pelindung diri yang terdapat di Puskesmas ini?
9) Bagaiamana pelaksanaan pemantapan mutu internal Laboratorium di
Puskesmas ini?
10) Bagaiamana ketersediaan Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses
kegiatan pemeriksaan Laboratorium di Puskesmas ini?
11) Bagaiamana pemeliharaan, pengadaan, dan uji fungsi yang dilakukan dalam
peningkatan mutu Laboratorium di Puskesmas ini?
12) Bagaiaman ketersediaan standar operasional prosedur terkait dengan
keamanan dan keselamatan kerja di Puskesmas ini?
Page 208
194
13) Apakah dilakukan screening terhadap petugas yang terlibat dalam
pelaksanaan program P2TB di Puskesmas ini?
14) Bagaiaman alokasi dana yang digunakan untuk Laboratorium dalam
pelaksanaan program P2TB di Puskesmas ini?
15) Bagaiamana koordinasi yang dilakukan oleh petugas Laboratorium di
Puskesmas dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam melakukan?
16) Bagaiaman pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh petugas
Laboratorium dengan Dinas Kesehatan?
17) Bagaiaman monitoring dan evaluasi pelayanan Laboratorium yang
dilakukan dengan Dinas Kesehatan?
18) Bagaiaman monitoring dan evaluasi pelayanan Laboratorium yang
dilakukan di puskesmas ini?
19) Apakah terdapat kendala/hambatan yang Anda dialami dalam pelaksanaan
program P2TB?
Page 209
195
INSTRUMEN PENELITIAN
EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PIRWOYOSO DAN PUSKESMAS
KARANGMALANG KOTA SEMARANG
A. Identitas Informan (Petugas Surveilans di Puskesmas)
1. Nama Puskesmas :
2. Nama informan :
3. Umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pendidikan terakhir :
6. Jabatan :
7. Lama bekerja :
B. Daftar Pertanyaan
1. KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
(PROMOSI KESEHATAN)
1) Bagaiaman Anda melakukan sosialisasi tentang program Pencegahan
dan Penanggulangan Tuberkulosis kepada masayarakat di wilayah kerja
Puskesmas?
2) Apaka sajakah media yang Anda digunakan saat melakukan sosialisasi
kepada msyarakat sekitar?
3) Apakah Anda melakukan kerjasama dengan pemangku kebijakan yang
ada di sekitar wilayah kerja Puskesmas, seperti Kepala Desa, Kepala
RT/RW, pemuka agama setempat, organisasi masyarakat dalam
penemuan kasus TB? Bagaimana bentuk kerjasama tersebut?
4) Bagaimana cara Anda melakukan advokasi kepada pemangku kebijakan
tersebut?
5) Apa sajakah kendala/hambatan yang dialami dalam melakukan
sosialisasi terkait dengan program P2TB?
(SURVEILANS TUBERKULOSIS)
6) Bagaiaman pelaksanaan surveilans yang dilakukan untuk menemukan
kasus TB di masyarakat?
7) Apa sajakah kendala/hambatan yang dialami petugas dalam pelaksanaan
surveilans tersebut?
(PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO)
8) Bagaiaman upaya yang dilakukan dalam menyusun rancangan rencana
tindak dan respon cepat terhadap faktor risiko penyakit TB?
9) Bagaiaman Anda menganalisis potensi ancaman penyakit, sumber dan
cara penularan, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penularan
penyakit TB?
Page 210
196
10) Bagaiaman upaya yang dilakukan dalam pengendalian faktor risiko pada
masyarakat yang dilingkungannya terdapat penderita TB?
11) Apa sajakah kendala/hambatan yang dialami dalam melakukan
pengendalian faktor risiko Tuberkulosis?
(PENEMUAN DAN PENANGANAN KASUS)
12) Bagaiamana langkah penemuan kasus penderita TB yang dilakukan di
masyarakat?
13) Apa sajakah kendala/hambatan yang Anda alami dalam melakukan
penemuan kasus Tb di masyarakat?
2. SUMBER DAYA
(SUMBER DAYA MANUSIA)
1) Apakah jumlah sumber daya petugas surveilans di Puskesmas ini sudah
memadai?
2) Apakah petugas yang menjadi tenaga surveilans sudah sesuai dengan
ketentuan standar kompetensi di bidang epidemiologi?
3) Bagaimanakah pelatihan yang diterima oleh petugas surveilans untuk
meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan program P2TB di Puskesmas
ini?
4) Seberapa seringkah petugas mendapatkan pelatihan tersebut?
(KETERSEDIAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN)
5) Bagaiamana ketersediaan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
program P2TB di Puskesmas untuk mendukung pelaksanaan surveilans
penyakit TB?
6) Apakah terdapat kendala/hambatan dalam pengadaan ketersediaan
obat/alat kesehatan/sarana dan prasana terkait program P2TB di
Puskesmas?
(PENDANAAN)
7) Bagaiamana ketersediaan dana dalam pelaksanaan surveilans program
Pencegahan dan Penggulangan Tuberkulosis?
8) Bagaiamana alokasi dana yang digunakan untuk penyelenggaraan
surveilans program P2TB?
3. SISTEM INFORMASI
1) Bagaiamana ketercapaian indikator kinerja yang dilakukan oleh petugas
surveilans dalam pelaksanaan program P2TB di Puskesmas?
2) Bagaimana pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh Gasurkes
kepada Pusesmas dan Dinsa Kesehatan?
3) Apakah terdapat kendala/hambatan yang dialami petugas dalam
pelaksanaan pencatatan dan pelaporan?
4. KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
Page 211
197
1) Bagaiamana bentuk kerjasama yang Anda dilakukan dengan petugas
surveilans pada lintas program yang ada di Puskesmas?
2) Bagaiaman keberhasilan pelaksanaan penanggulangan TB di
Puskesmas?
3) Bagaiaman monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh petugas
Puskesmas kepada Kepala Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam
melakukan penemuan kasus? Seberapa sering hal tersebut dilakukan!
4) Apa saja kendala/hambatan yang dialami dalam melakukan koordinasi
dalam penemuan kasus TB baik dengan Puskesmas maupun
masyarakat?
5. PERAN SERTA MASYARAKAT
1) Bagaiamana peran masyarakat dalam penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan untuk meningkatkan kualitas data dan informasi terkait
dengan penyakit TB?
2) Bagaiamana peran masyarakat dalam penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan TB di lingkungannya?
Page 212
198
INSTRUMEN PENELITIAN
EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PURWOYOSO DAN PUSKESMAS
KARANGMALANG KOTA SEMARANG
C. Identitas Informan (Kader Kesehatan di Puskesmas Purwoyoso)
8. Nama Puskesmas :
9. Nama informan :
10. Umur :
11. Jenis kelamin :
12. Pendidikan terakhir :
13. Jenis Pekerjaan :
14. Lama bekerja :
D. Daftar Pertanyaan
1) Bagaiamana petugas TB di Puskesmas melakukan sosialisasi tentang
penyakit TB kepada Anda? Sebarapa sering petugas TB melakukan
sosialisasi tersebut!
2) Apaka sajakah media yang digunakan saat melakukan sosialisasi tersebut?
3) Apakah petugas Tb di Puskesmas memberikan informasi terkait dengan
program P2TB kepada Anda?
4) Bagaiamana upaya penemuan kasus pasien TB yang dilakukan oleh
Puskesmas?
5) Bagaiaman upaya Anda dalam menemukan pasien terduga TB yang ada di
lingkungan masyarakat?
Ketuk pintu itu gini, kita kan ada kader e.. kita kan ada pertemuan
Paguyuban Bagaiamana upaya Anda dalam mendukung pengobatan
penderita TB?
6) Bagiamana upaya yang Anda lakukan dalam pencegahan penularan penyakit
TB kepada masyarakat di lingkungan?
7) Bagaiamana upaya Anda dalam mengatasi masalah sosial yang berpengaruh
pada upaya pengobatan pasien TB dan pemutusan penularan TB?
8) Bagaiamana sistem pelaporan yang Anda lakukan dalam pelaksanaan
program P2TB kepada pihak Puskesmas?
9) Bagaiamana ketersedian sarana dan parasaran yang Anda gunakan dalam
pelaksanaan program P2TB?
10) Bagaiaman alokasi dana yang Anda gunakan dalam pelaksanaan program
P2TB? Berasal darimana dana tersebut!
11) Apakah petugas TB di Puskesmas melakukan pendampingan saat kali Anda
melakukan penemuan kasus atau sosialisasi kepada warga masyarakat di
ligkungan Anda?
Page 213
199
12) Apakah pihak Puskesmas melakukan kerjasama dengan Kepala Desa,
Kepala RT/RW, pemuka agama setempat, atau organisasi masyarakat di
lingkungan Anda? Bagaimana bentuk kerjasama tersebut?
13) Apakah kader pernah mendapatkan pelatihan yang dilakukan oleh
Puskesmas terkait program P2TB?
14) Bagaiamana evaluasi yang dilakukan oleh petugas TB di Puskesmas dengan
Anda terkait program P2TB?
15) Apa sajakah kendala/hambatan yang Anda alami dalam pelaksanaan
program P2TB?
Page 214
200
INSTRUMEN PENELITIAN
EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS PURWOYOSO DAN PUSKESMAS
KARANGMALANG KOTA SEMARANG
E. Identitas Informan (Pengawas Minum Obat)
15. Nama Puskesmas :
16. Nama informan :
17. Umur :
18. Jenis kelamin :
19. Pendidikan terakhir :
20. Jenis Pekerjaan :
21. Lama bekerja :
F. Daftar Pertanyaan
6. KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
(PROMOSI KESEHATAN)
14) Bagaimanaa petugas Puskesmas memberikan sosialisasi kepada Anda
ketika memeriksakan diri ke Puskesmas?
15) Bagaimana petugas Puskesmas melakukan sosialisasi tentang program
Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis di lingkungan tempat
tinggal Anda?
16) Seberapa sering petugas Puskesmas melakukan sosialisasi tersebut?
17) Apaka sajakah media yang digunakan saat melakukan sosialisasi
tersebut?
(SURVEILANS TUBERKULOSIS)
18) Bagaimanaa petugas TB melakukan pematauan terhadap kemajuan hasil
pengobatan yang dijalani pasien TB?
(PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO)
19) Bagaimana upaya yang dilakukan petugas Puskesmas dalam melakukan
pengendalian penyakit pada pasien TB agar tidak terjadi penularan?
20) Bagaimana upaya yang dilakukan petugas Puskesmas dalam
pengendalian penyakit TB kepada masyarakat dilingkungan Anda?
21) Bagaimana alur pemeriksaan pasien untuk semua pasien batuk di
Puskesmas?
22) Apakah Anda pernah melihat petugas memberikan penyuluhan etika
batuk kepada petugas kesehatan, pasien TB maupun pengunjung
Puskesmas yang lain?
23) Apakah poster, spanduk, browsur atau leftlet tentang penyakit TB yang
ada di Puskesmas?
(PENEMUAN DAN PENANGANAN KASUS)
Page 215
201
24) Bagaimanaa upaya penemuan kasus pasien TB yang dilakukan oleh
Puskesmas?
25) Apa sajakah yang petugas Puskesmas jelaskan terkait dengan proses
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dalam mendiagnosis pasien
TB?
26) Bagaimana upaya petugas Puskesmas lakukan untuk menjamin pasien
TB selalu memeriksakan diri dan mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) secara rutin?
27) Apa sajakah kendala/hambatan yang dialami petugas Puskesmas dalam
melakukan penemuan kasus TB di masyarakat?
(PEMBERIAN KEKEBALAN)
28) Bagaimanaa alur pengambilan obat untuk pasien TB?
29) Bagaimanaa petugas Puskesmas menyampaikan tugas manjadi seorang
PMO?
30) Bagaimana bentuk kerjasama petugas Puskesmas dengan PMO pasien
TB dalam upaya melakukan pengawasan minum Obat Anti Tuberkulosis
(OAT)?
7. SUMBER DAYA
(SUMBER DAYA MANUSIA)
9) Menurut Anda, apakah jumlah petugas kesehatan terkait program P2TB
di Puskesmas ini sudah memadai?
10) Bagaimanaa pelayanan yang dilakukan oleh petugas TB di Puskesmas
ini?
(KETERSEDIAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN)
11) Apakah pernah terjadi kekurangan obat anti tuberkulosis yang ada di
Puskesmas, saat Anda melakukan pemeriksaan atau mengambil obat?
12) Bagaimanaa ketersediaan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
program P2TB di Puskesmas?
(PENDANAAN)
13) Bagaimanaa pembiayaan yang dikeluarkan oleh pasien TB dalam
melakukan pengobatan?
8. SISTEM INFORMASI
4) Bagaimanaa pencatatan/pendataan dalam kunjungan rumah yang
dilakukan oleh Puskesmas?
5) Seberapa sering kegiatan tersebut dilakukan?
9. KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1) Apakah pihak Puskesmas melakukan kerjasama dengan Kepala Desa,
Kepala RT/RW, pemuka agama setempat, atau organisasi masyarakat di
lingkungan Anda? Bagaimana bentuk kerjasama tersebut?
2) PERAN SERTA MASYARAKAT
Page 216
202
3) Bagaimana peran Anda dalam melaksanakan kegiatanan penemuan
kasus TB di lingkungan mayarakat?
4) Bagaimanaa peran Anda sebagai masyarakat dalam mendukung
pengobatan penderita TB?
5) Bagaimanaa peran Anda dalam melakukan pencegahan penyakit TB
agar tidak tertular?
6) Bagaimanaa peran Anda dalam mengatasi masalah sosial yang
berpengaruh pada upaya pengobatan pasien TB dan pemutusan
penularan TB
Page 217
203
Lampiran 7. Transkip Wawancara Penelitian
HASIL WAWANCARA DENGAN PEMEGANG PROGRAM P2TB DI DINAS KESEHATAN KOTA SEMARANG
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Promosi Kesehatan
1. Bagaiamana Anda memberikan
sosialisasi kepada petugas Tim
program P2TB di Puskesmas?
Jadi gini, sosialisasi program Tb di teman-teman pengelola program di Puskesmas itu
dilaksanakan melalui event-event. Event yang pertama yaitu event resmi yang berkaitan
dengan program peningkatan kapasitas SDM, kemudian event yang kedua itu yang berkaitan
dengan pertemuan-pertemuan yang memang dibutuhkan ditiap-tiap faskes. Kalau secara
terprogram kita menyelenggarakannya tiap 3 bulan sekali program yang dimiliki oleh DKK
kaitannya dengan peningkatan kapasitas pengelola program TB di Puskesmas maupun di
Rumah sakit. Banyak diikuti oleh pemegang program karena pemegang program itu
merupakan representasi kebutuhan Dinas Kesehatan ditiap-tiap faskes jadi lebih diutamakan
kepada pemegang program. Termasuk petugas Lab nya juga itu juga secara rutin
dilaksanakan per 3 bulan, termasuk programer TB baik yang ada di Puskesmas maupun di
Rumah Sakit.
2. Apak sajakah media yang
digunakan saat melakukan
sosialisasi kepada petugas Tim
TB di Puskesmas?
e... media yang dipakai ya kita menggunakan dalam bentuk slide, dalam bentuk materi-
materi, dalam bentuk metode ceramah, tanya jawab, storning, keudian studi kasus itu adalah
metode-metode yang dipakai. Kalau media yang dipakai ya media menggunakan audio
visual.
3. Menurut Anda, Apa sajakah
kendala/hambatan yang ada
Kendalanya itu yang pertama adanya mutasi dari pengelola program lama ke pengelola
program baru ya, bilaman pengelola program yang lama itu tidak mengkomunikasikan
Page 218
204
terkait sosialisasi program P2TB
yang dilakukan oleh petugas
Tim TB di Puskesmas Kota
Semarang?
secara memadai tentang program penaggulangan TB yang selama ini didapatkan baik
melalui peningkatan kapasitas SDM secara rutin, per 3 bulan, maupun dalam bentuk UHT
atau supervisi sehingga perlu mebuat pemahaman yang setara terhadap pengelola-pengelola
program yang baru karena proses mutasi itu. Akan tetapi, disisi yang lain supaya pemegang
program yang baru itu segera untuk bisa menyesuaikan diri dengan pengelola-pengelola
program yang lainnya dengan cara belajar mandiri/autodidak.
Surveilans Tuberkulosis
4. Bagaiaman pelaksanaan
surveilans yang dilakukan oleh
petugas Tim P2TB di Puskesmas
Kota Semarang ?
Nah, kegiatan surveilans yang dilakukan ya kaitannya dengan e... permasalahan kasus
artinya penangnanan kasus yang didapatkan ya. Permasalahn kasus ini banyak sekali
ragamnya, apakah itu kasus baru, atukah kasus kambuh, apakah itu kasus yang DO, ataukah
kasus yang meninggal, ataukah kasus yang mangkir ya, jadi semuanya itu kita pantau yang
dilaksanakan setiap 1 bulan sekali, kemudian dilakukan 13 kali, dilakukan 1 semester, dan
dilakukan 1 tahun. Nah, untuk yang sifatnya somatik kegiatan surveilansnya itu yang
dilakukan setiap tahun sekali dalam bentuk laporan tahunan, kalau supervisi yang dilakukan
formatif itu tadi beragam ada yang 1 bulan, 3 bulan, ada yang 6 bulan untuk memantau
perkembangan kasus yang terjadi. Nah, data-data yang didapatkan dari kegiatan surveilans
itu dipakai untuk perencanaan program di tahun-tahun mendatang jadi begitu.
Gasurkes itu adalah program dari Dinas Kesehatan sehingga e... gasurkes ini melakukan
kegiatan surveilans kaitannya dengan e... screening ya.
5. Menurut Anda, Apa sajakah
kendala/hambatan yang ada
terkait sueveilans program P2TB
yang dilakukan oleh petugas
Tim TB di Puskesmas Kota
Kendalanya itu pada suspek yang sudah diidentifikasi itu ada yang datang dan ada yang
tidak datang ke faskes untuk dilakukan kegiatan diagnosis. Kendala yang berikutnya itu
adalah karena sasarannya itu adalah orang, nah ini kendalanya beberapa kasus beberapa
kejadian itu tidak bisa bertemu dengan sasaran pada saat waktu dan tempat yang telah
disepakati. Kendala yang berikutnya kaitannya dengan manifestasi klinik yang muncul pada
Page 219
205
Semarang? pasien, dimana pada TB itu yang diharapkan supaya bisa diperiksa dahaknya tetapi
dibeberapa kasus itu tidak bisa di periksa dahaknya, entah dengan berbagai macam sebab
yang terjadi dengan pasien.
Pengendalian Faktor Risiko
6. Bagaiman upaya yang dilakukan
oleh petugas Tim P2TB di
Puskesmas dalam pengendalian
penyakit pada penderita Tb agar
tidak terjadi penularan di
wilayah kerjanya?
Jadi pengendalian faktor resiko itu menggunakan strategi TEMPO (Temukan Pisahkan
Obati), strategi pengendaliaannya itu adalah sejak pasien datang ke layanan itu sudah
dilakukan triase artinya yang kasus-kasus batuk itu dilayani secara terpisah dengan kasus-
kasus yang lain sehingga mekanisme penularan pada pasien yang baru bisa diminimalkan.
Disamping itu juga setiap pasien batuk yang datang ke Puskesmas harus menggunakan
masker.
7. Bagaiaman upaya yang
dilakukan petugas Tim P2TB di
Puskesmas dalam pengendalian
faktor risiko pada masyarakat
yang dilingkungannya terdapat
penderita TB?
Ya pertama adalah meyarankan penggunaan masker untuk menutup pada saat batuk atau
bersin dengan cara yang benar, kemudian yang kedua membuang dahak pada tempatnya,
yang ketiga bilamana pasien itu TBC harus ada kepedulian masyarakat kalau pasien itu
berobat dan disiplin dalam minum obat ya, kemudian yang berikutnya adalah dengan PHBS
diantaranya e... menyiapkan ruangan dengan kelembapan yang rendah dibawah 60% dengan
mengkondisikan ruangan bisa dimasuki sinar matahari dan ada ventilasi ya, berolahraga,
mengkonsumsi makan sesuai program germas, bagi adik-adik bayi wajib imunisasi BCG,
bagi yang berusia kurang dari 5 tahun yang beresiko tertular TB menggunakan PPIMR ya.
Hal tersebut yang digunakan untuk mengendalikan faktor resiko penularan TB.
8. Apakah terdapat Standar
Prosedur Operasional (SPO)
mengenai alur pasien untuk
semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans di
SOP ada, seperti SOP penemuan kasus, SOP pengobatan ya, sama SOP pemutusan mata
rantai penularan. SOP itu ada yang membuat dari Dinasn Kesehatan tapi ada juga yang oleh
Puskesmas.
Page 220
206
Puskesmas Kota Semarang?
9. Bagaiaman cara petugas
memberikan penyuluhan etika
batuk kepada petugas kesehatan,
pasien TB maupun pengunjung
Puskesmas yang lain?
Ya dikasih mbak, tadi lewat sosialisasi-sosialisasi di pertemuan yang sudah saya jelaskan
tadi itu disampaikan semuanya terkait TB.
10. Menurut Anda, Apa sajakah
kendala/hambatan yang ada
terkait pengendalian faktor
risiko yang dilakukan oleh
petugas Tim TB di Puskesmas
Kota Semarang?
Ya ada, semua program itu tentunya memiliki kendala misalnya saja memasyarakat
penggunaan masker kendalanya adalah merasa tidak sopan berbicara dengan orag lain
dengan mulut ditutupi itu termasuk kendala, kemudian kendala e... kelembapan ventilasi dan
pencahayaan masyarakat menganggap itu tidak perlu ya karena faktor eksnoren. Faktor
eksnoren itu adalah faktor ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana penyakit
Tuberkulosis itu bisa menular, jadi kendalanya yang utama itu ya tadi faktor eksnoren.
Penemuan dan Penanganan Kasus
11. Bagaiamana langkah penemuan
kasus penderita TB yang
dilakukan oleh petugas tim TB
di Puskesmas Kota Semarang?
Sama dengan mempedomani permenkes tadi ya, entah dalam kaitannya penemuan kasusnya,
kaitannya dalam pemantauan pasien selama pengobatan maupun kegiatan yang berhubungan
dosis obat yang diminum yaitu menggunakan Permenkes Nomor 67 Tahun 2016 dan juga
Perwal Nomor 39 Tahun 2017. Buku pedomannya itu banyak e... banyak ketentuan-
ketentuan teknis yang dipakai dalam penatalaksanaan pasien baik dari segi pencegahannya,
baik dari segi pengobatannya, maupun dari segi rehabilitasinya.
12. Menurut Anda, Apa sajakah
kendala/hambatan yang ada
terkait penemuan kasus program
P2TB yang dilakukan oleh
Hambatanya ya itu masyarakatnya kadang tidak mau untuk di periksa padahal sudah jelas
dia punya tanda gejala TB, ya hal ini karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentag apa
itu Tuberkulosis, seberapa besar bahayanya, dan cara penularannya bagaimana. Masalahnya
itu gejala awal TB kan sama kaya batuk biasa jadi kalau baru gejala batuk belum sampai
Page 221
207
petugas Tim TB di Puskesmas
Kota Semarang?
dahaknya yang campur darah itu, mereka mengganggap bahwa batuknya itu sakit biasa gitu.
kemudia juga untuk mengeluarkan dahaknya itu terkadang susah, nda bisa langsung saat itu
juga keluar jadi butuh waktu yang lama.
13 Bagaiamana prosedur
pengambilan obat untuk pasien
TB di Puskesmas?
Ya pasien Tb datang ke Puskesmas memeriksakan diri ke fasilitas elayanan kesehatan, untuk
pertama itu pasien terduga TB akan dilakukan tes dahak menggunakan tes TCM karena
hasilnya itu lebih akurat daripada tes mikroskopis. Lha tes TCM ini di Kota Semarang
alatnya hanya ada di Rumah Sakit Karyadi dan Rumah Sakit Tugu, baru 2 tempat itu saja.
Hasil tes dahak itu kalau postif ya nanti dia akan langsung.
14 Bagaiaman cara menentukan
orang yang menjadi PMO
(Pengawas Minum Obat) untuk
setiap pasien TB?
PMO itu yang utama petugas kesehatan di Puskesmas, misalnya pemeganng program TB,
bidan, perawat, gasurkes, petugas kesehatan lingkungan, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO bisa dari kader kesehatan, anggota PKK, atau anggota
keluarga.
Pemberian Kekebalan
16 Bagaimana pemberian
kekebalan yang diberikan
kepada balita untuk mencegah
tingkat penularan penyakit TB?
Yaitu dengan pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi
diberikan pada bayi 0-2 bulan untuk mencegah penularan TB, diberikan apabila dirumahnya
terdapat pasien TB.
17. Bagaimana pemberian
kekebalan yang diberikan
kepada ODHA yang menderita
penyakit TB?
Kalau untuk ODHA itu diberikan PPINH, nanti pengobatan untuk ODHA ada 2 yaitu
pengobatan untuk sakit HIV dan sakit TB.
SUMBER DAYA
Sumber Daya Manusia
Page 222
208
1. Apakah jumlah sumber daya
manusia di Puskesmas sudah
memadai?
Sudah sesuai karena memang sudah disiapkan oleh Dinas Kesehatan dan dilakukan
pembinaan untuk peningkatan kapasitas SDM nya melalui tadi pertemuan-pertemuan rutin
ya, kemudian mengirim untuk pelatihan-pelatihan nasional yang bersertifikat ya, maupun
kegiatan-kegiatan e... review materi program penanggulangan TB ,maupun refresing
program penanggulangan TB ya semuanya itu merupakan upaya-upaya untuk meningkatkan
sumber daya dalam hal ini adalah SDM pengelola program TBC.
2. Bagaimanakah pelatihan yang
diterima oleh petugas pelaksana
(pemegang program, petugas
laboratorium, dan dokter)
program Pencegahan dan
Pengendalian Tuberkulosis di
Puskesmas?
Kalau pelatihannya ini simultan ya sifatnya, tetapi kalau pembinaan yang rutinitas yang kita
laksanakan ya itu tadi per 3 bulan sekali itu untuk pemegang programnya. Kalau yang buat
petugas Lab itu sama tapi dalam pertemuan yang berbeda.
3. Seberapa seringkah petugas
mendapatkan pelatihan tersebut?
Sifatnya simultan itu tadi, kalau pertemuannya rutin per 3 bulan sekali
Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
4. Bagaiamanakah ketersediaan
obat anti tuberkulosis yang ada
di Puskesmas?
Ndak pernah, kalau logistik OAT atau Non OAT itu kita terjamin e... keberadaannya.
Distribusinya itu ndak lama, jadi mereka melalui mekanisme pengajuan kebutuhan. Nah,
pengajuan kebutuhan itu difasilitasi oleh aplikasi yang namanya SIMANIS itu.
5. Bagaiamana ketersediaan sarana
dan prasarana dalam
penyelenggaraan program P2TB
Selalu tersedia mbak, selalu terjamin keberadaannya.
Page 223
209
di Puskesmas?
Pendanaan
6. Bagaiamana ketersediaan dana
dalam pelaksanaan program
Pencegahan dan Penggulangan
Tuberkulosis di Puskesmas?
APBD dan BOK, ya istilah lainnya itu APBN dan APBD. APBD itu ada 2 yaitu APBD
tingkat 1 itu Provinsi dan APBD tingkat 2 itu Kota Semarang. Setiap tahunnya ada dan
didistribusikan ke Puskesmas.
7. Bagaiamana alokasi dana yang
digunakan untuk
penyelenggaraan program P2TB
di Puskesmas?
Alokasinya itu untuk pembinaan SDM maupun untuk penyediaan logistik TB yaitu OAT
maupun Non OAT intinya gitu
8. Menurut Anda, Apa sajakah
kendala/hambatan yang ada
terkait dalam sumberdaya
program P2TB yang dilakukan
oleh petugas Tim TB di
Puskesmas Kota Semarang?
Kalau kendalanya itu pengalokasian dana tentunya terbatas tidak bisa mencakup semua
program yang ada di institusi baik yang ada di DKK maupun yang ada di Puskesmas,
sehingga ya ada kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan dengan dukungan dari sumber
lain selain APBD atau APBN seperti bisa dari CSA, dari perusahaan-perusahaan, kemudian
dari lembaga mitra ya itu pendanaan yang saat ini ada.
SISTEM INFORMASI
1. Bagaiamana pencatatan dan
pelaporan yang dilakukan oleh
Puskesmas kepada Dinas
Kesehatan Kota Semarang?
Menggunakan aplikasi yang namanya SEMAR BETUL kagiatan pencatatan dan
pelaporannya. Semar Betul itu Semarang Berantas Tuberkulosis menggunakan itu, kalau
pencatatn dan pelaporan ke Provinsi dan Kementerian Kesehatan menggunakan SITT. Semar
Betul itu berjalan kurang lebih e... tahun 2019 tetapi penekanan penggunaannya itu mulai
Juni 2019 sebelumnya pakai SITT sejak tahun 2013. Setiap saat bisa melaporkan kasus-
Page 224
210
kasusnya ke Semar Betul. Dinas bisa langsung melihat laporan di aplikasi itu, tapi
tergantung dari yang menginput data-data atas temuan kasus-kasusnya ke Semar Betul.
2. Seberapa sering kegiatan
tersebut dilakukan?
Setiap saat mbak, jadi Dinas bisa langsung melihat data hasil temuan kasusnya tapi
tergantung itu tadi petugas yang menginput data ke Semar Betul.
3. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang dialami
petugas dalam pelaksanaan
pencatatan dan pelaporan kepada
Dinas Kesehatan Kota
Semarang?
Kalau kedala itu ya kaitannya dengan penguasaan sistem aplikasinya ya, kalau tidak
menguasai ya menjadi kendala dalam menginput data-data ya. Nah, oleh karena itu Dinas
Kesehatan memberikan pelatihan-pelatihan tentang bagaimana caranya menginput data di
sistem pelaporan Semar Betul. Kalau sekarang penguasaan aplikasi oleh petugas
Puskesmasnya bisa dikatakan 40% ya, tapi ya sudah dianggap sudah menguasai aplikasi itu.
KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1. Bagamana supervisi yang
dilakukan oleh Dinas kesehatan
Kota Semarang di Puskesmas?
Dinas Kesehatan datang ke Puskesmas dengan melihat permasalahan yang dilaporkan
melalui semar Betul atau SITT dan juga kita mendiskusikan permasalahan-permasalahan
yang dijumpai yang muncul di teman-teman pemegang program yang ada di Puskesmas.
Pelaksanaannya tergantung kebutuhan dari pihak Dinasnya.
2. Bagaiaman pertemuan
monitoring dan evaluasi yag
dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kota Semarang dalam
pelaksanaan program P2TB di
Puskesmas? Seberapa sering
dilakukan!
Monitoringnya dilaksanakan 3 bulan sekali dalam bentuk capaian-capaian program
diantaranya ada capaian CDR dengan target yang ditentukan, capaian TSR dengan target
yang ditentukan, maupun capaian CNR dalam target yang ditentukan yaitu kaitannya kita
dalam memonitor e... kinerja programer yang ada di Puskesmas sekalian evaluasi
permasalahan-permasalahan apa yang didapatkan dan kenapa target kasus yang ditetapkan
tidak terpenuhi.
3. Bagaiamana bentuk kerjasama Dengan adanya RAD (Rencana Aksi Daerah) kerjasama lintas sektoral itu sudah ya
Page 225
211
yang Anda lakukan dengan
lintas sektoral (fasilitas
kesehatan milik swasta, kerja
sama dengan sektor
industri/perusahaan/tempat
kerja, dan kerja sama dengan
lembaga swadaya masyarakat
(LSM))?
katakanlah sudah tidak menjadi hal utama karena RAD penanggulangan TB itu juga
mengharuskan semua pihak, semua komponen, dan semua Stakeholder yang ada di Kota
Semarang untuk berperan sesuai dnegan kapasitasnya masing-masing di dalam program
penanggulangan TBC. Kalau koordinasi dengan Puskesmasnya ya itu tadi kaitannya dnegna
pertemuan yang dilakukan 3 bulan sekali itu, monevnya itu ya.
Menurut Anda, Apa sajakah
kendala/hambatan yang ada
terkait koordinasi, jejaring kerja,
dan kemitraan program P2TB
yang dilakukan oleh petugas
Tim TB di Puskesmas Kota
Semarang?
Ya kalau ada pergantian petugas yang baru, kan petugas yang baru itu belum mendapatkan
pemahaman yang memadai tentang program-program penanggulangan TB seperti
kompetensi yang sudah e... dimiliki oleh petugas yang lama yaitu yang menjadi kendala kita.
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Bagaiaman peran serta
masyarakat dalam penemuan
kasus, pengobatan, dan
pencegahan penyakit TB?
Ya selama ini memang ada kasus-kasus TB yang dimana masyarakat itu secara automatically
datang ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan dirinya, disamping itu juga masyarakat
juga memberikan anjuran-anjuran kepada masyarakat yang ada disekitarnya bilamana
muncul tanda gejala batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih harus memeriksakan
dahanya ke Puskesmas ya gitu.
2. Bagaiamana peran serta
masyarakat dalam mengatasi
Jadi masyarakatanya itu tidak boleh melakukan diskriminasi atau menstigma pasien TB
dengan stigma-stigma yang negatif yang negatif ya yang itu dilakukan oleh masyarakat
Page 226
212
faktor sosial yang berpengaruh
pada penanggulangan TB?
dalam menjaga status sosial kaitannya dengan program penanggulangan TB.
3. Menurut Anda, Apa sajakah
kendala/hambatan yang ada
terkait peran serta masyarakat
terhadap program P2TB yang
dilakukan oleh pihak Puskesmas
Kota Semarang?
Ya karena masyarakat dengan berbagai ragam kebutuhannya, kemudian masyarakat dengan
faktor ketidaktahuannya itu dibeberapa kasus masyarakat itu tidak bisa diajak kerjasama
untuk program-program penanggulangan TB entah kaitannya dengan penciptaan lingkungan
yang bersih dan sehat untuk mencegah terjadinya TB entah dalam keluarganya, entah dalam
penggunaan masker ya, entah dalam mengkonsumsi obat secara disiplin sesuai aturan ya itu
yang menjadi kendala-kendala petugas kesehatan.
HASIL WAWANCARA DI PUSKESMAS PURWOYOSO
Infoman Utama 1 No. Pertanyaan Hasil Wawancara
KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Promosi Kesehatan
1. Bagaimana Anda memberikan
sosialisasi kepada pasien TB
yang memeriksakan dirinya ke
Puskesmas?
Jadi kalau pasien, pasien awal mula mau di Puskesmas kita beri sosialisasi. Dia sudah apa
namanya 2 minggu batuk dan sebagainya kita sarankan untuk melakukan pemeriksaan TCM.
Nah... habis itu, kita juga punya video yang bisa kita siarkan ke mereka, itu aja sih. Video
audio visual.
2. Bagaiamana Anda melakukan
sosialisasi tentang program
Jadi gini, a... sosialisasi sendiri itu ada beberapa tipe. Ada tipe yang langsung to the point ke
masyarakat, ada tipe yang kita lewat ke tenaga pendidik, ada dari kader, dan juga dari POS
Page 227
213
Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis
kepada masayarakat di wilayah
kerja Puskesmas?
TB atau inovasi saya ya itu POS TB (Pusat Observasi Strategis TB) di Puskesmas, a...
wilayah kerja Puskesmas Purwoyoso. Jadi, ketika e....apa... informasi tentang TB itu
biasanya kita dapat dari kader TB. Kita punya kader TB, di sana kita sharekan informasi
tentang TB, kemudian teman-teman Gasurkes ke masyarakat. Teman-teman Gasurkes, jadi
saya menemani Gasurkes itu e... memberikan informasi mengenai TB ke masyarakat dan
saya sendiri melakukan sosialisasi TB ke tenaga pendidik, jadi e... ada beberapa tipe
sosialisasi yang kita galakan ke masyarakat. Jadi, bukan Cuma ke masyarakat tetapi juga ada
yang ke sekolah, ke masyarakat langsung, tenaga pendidik.
3. Apaka sajakah media yang
digunakan saat melakukan
sosialisasi kepada msyarakat
sekitar?
Kalau di masyarakat kita seringnya komunikasi secara langsung, ada beberapa media seperti
leaflet sama video buat ditunjukan ke masyarakatnya.
4. Apakah pihak Puskesmas
melakukan kerjasama dengan
pemangku kebijakan yang ada di
sekitar wilayah kerja Puskesmas,
seperti Kepala Desa, Kepala
RT/RW, pemuka agama
setempat, organisasi
masyarakat? Bagaimana bentuk
kerjasama tersebut?
Iya. Kita e... kerjasama dengan Lurah, dengan Camat untuk e... apa namanya melakukan
penanggulagan atau pengendalian TB. Kita e... beberapa bulan sekali kita lakukan apa
namanya koordinasi dengan kelurahan dan juga dengan kecamatan untuk penanggulangan
dini.
5. Bagaimana cara Puskesmas Biasanya memang e... apa ya, antar instansi itu sudah kita schedule bahwa ini ada schedule
Page 228
214
melakukan advokasi kepada
pemangku kebijakan tersebut?
untuk rapat e... apa namanya P2M di wilayah Kecamatan Ngaliyan. Nah itu, kami semua
datang ke situ mengsharekan ilmu kami, mengsharekan ini lho kebijakan-kebijakan dari apa
namanya TB yang kita lakukan ini. Mulai dari pemograman yang kita lakukan, jadi itu e...
langsung antar instansi terkait. Biasanya e... tiap 3 bulan itu ada, tiap setengah tahun itu ada
(kalau setengah tahun itu per e..., per antar Puskesmas dan Kelurahan biasanya tiap setengah
tahun), Kecamatan sama juga setahun sekali itu ada, terus nanti ke masyarakat juga ada, ke
kadernya pun juga ada. Kalau ke kader biasanya setahun 2 sampai 3 kali.
6. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
sosialisasi terkait dengan
program P2TB?
Advokasi selama ini sih tidak ada kendala ya karena e... kita di dukung dari setiap lini
masyarakat untuk dapat melakukan sosialisasi TB, tetapi mungkin masalah-masalah atau
hmabtan-hambatan yang terkait ini adalah pertama e... kurang terbukanya masyarakat
sehingga e... kita perlu juga meningkatkan kepedulian masyarakat tentang masalah TB ini
bahwa TB ini penting lho untuk ke depannya masyarakat, mungkin itu juga cara yang harus
kita lakukan untuk pengendalian TB. Bisa meningkatkan kepedulian masyarakat itulah hal
yang masih menjadi PR buat kita.
Surveilans Tuberkulosis
7. Bagaiaman pelaksanaan
surveilans yang Anda lakukan
oleh penemuan kasus TB?
Kalau penenmua kasus sendiri e... saya di sini punya sistem namanya Semar Betul, jadi e...
sistem ini kita bisa tahu dari mana apa namanya TB itu di kirimkan ke kami baik itu dari
teman-teman Gasurkes, entah itu dari masyarakat langsung atau dari instansi lain misal
Rumah Sakit atau Balkesmas mengirim ke kami, kami sudah bisa tahu kondisi pasiennya.
Jadi, kita tau oh pasien ini dari mana dan apa yang dikeluhkan atau mungkin dari bisa
langsung dari e... terjun langsung ke masyarakat. Kami punya beberapa data yang dari
masyarakat misal e... pertama dari PIS-PK dan yang kedua dari Gasurkes, jadi 2 ini yang e...
kita bisa gunakan untuk pencarian kasus-kasus TB.
8. Apa sajakah kendala/hambatan Ya itu tadi, kepedulian masyarakat menjadi hal yang sangat e... krusial ya karena gini e...
Page 229
215
yang dialami petugas dalam
pelaksanaan surveilans tersebut?
banyak masyarakat yang masih berstigma bahwa TB itu akan mati, jadi e... HIV dan TB
sangat sulit untuk kita temukan karena banyak masyarakat yang masih berstigma TB-HIV
pasti mati. Orang-orang TB kan biasanya oh... punya penyakit miskin nih gitu kan, nanti dia
nggak malu ke kita gitu. Ndak papa kami lebih terbuka dengan orang-orang yang seperti itu,
kadang banyak mereka nggak mau karena e... kepedulian mereka masih sangat kurang
tentang pasien TB. Stigma masyarakat mengenai masalah TB dan HIV di wilayah Kota
Semarang ini sangat, nyuwun sewu sangat rendah.
Pengendalian Faktor Resiko
9. Bagaiaman upaya yang
dilakukan dalam pengendalian
penyakit pada pasien TB agar
tidak terjadi penularan?
Ya ... kita. Pertama kita obati pasiennya kita obati, kita beri sosialisasi mengenai bagiamana
cara mereka tertular, bagaiaman cara bersosialisasi dengan masyarakat, apa saja yang tidak
disukai kuman TB contohnya kuman TB paling tidak suka dengan sinar matahari, mereka
boleh berbicara tapi pakai masker di udara terbuka, setiap pagi kita buka jendela buka pintu
agar matahari masuk dan sebagainya.
10. Bagaiaman upaya yang
dilakukan dalam pengendalian
faktor risiko pada masyarakat
yang dilingkungannya terdapat
pasien TB?
Faktor resikonya, pertama setelah ada ditemukan pasien dengan TB jadi kita akan
melakukan investigasi kontak. Investigasi kontak itu jadi e... tiap-tiap rumah yang disekitar
pasien itu kita akan cek semua itu dengan TCM ya, apakah ada yang terindikasi untuk
terkena apa namanya TB itu. Setalah itu, kita memeberikan edukasi kepada mereka bahwa
TB itu bisa disembuhkan dan e... bisa diselesaikan.
11. Apakah Puskesmas juga
melakukan screening terhadap
petugas yang ikut serta dalam
pelaksanaan program P2TB?
Kalau untuk screening itu biasanya dilakukan e... kita kerjasama dengan pihak instansi lain
ya dalam hal ini adalah e... biasanya kita kerjasama dengan isntansi pendidikan dengan cara
pengambilan darah untuk di cek.
12. Apakah terdapat Standar Ya, ada-ada SOP. Kalau alur untuk pasien batuk ada di depan dan di belakang bagaiman cara
Page 230
216
Prosedur Operasional (SPO)
mengenai alur pasien untuk
semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans di
Puskesmas?
batuk sudah diajarkan. Alur pelaporan itu sudah kita sharekan ke masyarakat tinggal
hubungi Gasurkes kami, hubungi programer kami, nanti kita akan masukkan data-data
mereka ke sistem kami yaitu sitem Semarang Berantas Tuberkulosis (Semar Betul). Jadi,
dari sini kita bisa tahu berapa jumlah pasien saya, anytime anywhere e... saya bisa tahu.
13. Apakah Anda memberikan
penyuluhan etika batuk kepada
petugas kesehatan, pasien TB
maupun pengunjung Puskesmas
yang lain?
Ya kami memberikan.
14. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
pengendalian faktor risiko
Tuberkulosis?
Kendalanya itu pasien TB jarang yang menggunakan masker, mereka kebanyakan pakai
masker kalau keadaan tertentu saja tidak setiap saat setiap hari mau pakai masker.
Penemuan dan Penanganan Kasus
15. Bagaiamana langkah penemuan
kasus penderita TB yang
dilakukan oleh Puskesmas?
Penemuan kasus TB itu ada dari masyarakat yang terduga TB memeriksakan dirinya ke
Puskesmas, ada laporan dari kader bahwa hasil screening mereka terdapat suspek yang
positif TB, ada yang dari gasurkes, kemudian ada juga laporan dari Rumah Sakit kalau
warga di wilayah Puskesmas Purwoyoso merupakan pasien TB kemudian untuk
pengambilan obatnya nanti disini bagitu.
16. Apa sajakah pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan
Kalau untuk di Puskesmas sendiri kita melakukan TCM (Tes Cepat Molekuler), jadi itu yang
dilakukan untuk pemeriksaan tes TB kecuali kalau memang pasien itu didiagnosisnya di
tempat lain misalnya di Rumah Sakit, biaiasanya mereka membawa hasil Ronxen atau hasil
Page 231
217
dalam mendiagnosis pasien TB? apa. Nah, di sini pun kita akan melakukan tes ulang ujinya.
17. Bagaimana upaya yang Anda
lakukan untuk menjamin pasien
TB selalu memeriksakan diri
dan mengkonsumsi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) secara
rutin?
Jadi gini, e... sistem yang kami buat bersama-sama ini dan kami kembangkan bersama-sama
ini bisa mengontrol pasien. Jadi, kita punya e.. semacam kapan mereka harus periksa dahak
dan kapan mereka harus ambil obat jadwalnya sudah ada. Ketika mereka tidak mengambil
obat atau mereka tidak periksa dahak, Gasurkes kami akan mengunjungi.
18. Apa sajakah kendala/hambatan
yang Anda alami dalam
melakukan penemuan kasus Tb
di masyarakat?
Tidak ada hambatan.
19. Bagaiamana prosedur
pengambilan obat untuk pasien
TB?
Kalau prosedur pengambilan obat, pasien datang atau keluarga datang biasanya e... kalau
untuk tahap pertama biasanya satu minggu dulu sampai satu bulan selesai baru kita berikan
dua minggu. Bagaiamana upaya penanganan yang dilakukan petugas terhadap pasien gagal
dan putus berobat?
20. Bagaiaman cara Anda
menentukan orang yang menjadi
PMO (Pengawas Minum Obat)
untuk setiap pasien TB?
PMO pasien TB berasal dari keluarga mereka
21. Bagaiamankah Anda
menyampaikan tugas manjadi
seorang PMO?
Tidak, jadi ketika mereka datang kita beri tahu bahwa ini PMO mereka karena nomor HP
pun kita masukan ke e... sistem kami, jadi semuanya e... sudah dapat dilihat di sistem kapan
mereka mengambil obat dan apa yang harus dilakukan sebagai PMO.
Page 232
218
22. Bagaiaman koordinasi Anda
dengan PMO pasien TB dalam
upaya melakukan pengawasan
minum Obat Anti Tuberkulosis
(OAT)?
Baisanya kalau pasien datang itu biasanya dari yang mendampingi itu kita kasih edukasi
Pemberian Kekebalan
23. Bagaimana pelaksanaan
pemberian kekebalan kepada
balita yang dilingkungannya
terdapat penderita TB?
Kita ngasih imunisasi BCG untuk bayi, kalau di rumahnya ada penderita Tbnya ya nanti kita
kasih PPINH.
24. Bagaimana pemberian
kekebalan kepada ODHA yang
terkena penyakit TB?
Buat ODHAnya kita kasih pengobatan kombinasi, maksudnya ngasih obatnya itu ARV sama
AOT.
SUMBER DAYA
Sumber Daya Manusia
1. Apakah jumlah sumber daya
manusia di Puskesmas ini sudah
memadai? Siapa sajakah petugas
yang terlibat dalam pelaksanaan
program P2TB?
Sudah. Pelaksananya ada dokter, pemegang program, petugas laboratorium, gasurkes,
promosi kesehatan, sama epidemiologi.
2. Apakah beban kerja rangkap
mempengaruhi pelaksanaan
Ya, ada beban rangkapnya. Kalau mempengaruhi kinerja karena e... sekarang kita dituntut
untuk cepat dan tepat ya, jadi kinerja tidak turun tapi tetap melaksanakan tugasnya.
Page 233
219
program P2TB di Puskesmas?
3. Bagaimanakah pelatihan yang
diterima oleh petugas pelaksana
(pemegang program, petugas
laboratorium, dan dokter)
program Pencegahan dan
Pengendalian Tuberkulosis di
Puskesmas ini?
Petugas yang terlibat dalam program penanggulangan TB sudah memiliki sertifikat yang
berlaku selama 2 tahun. Pelatihan yang diterima itu dari Bapelkes Jateng.
4. Seberapa seringkah petugas
mendapatkan pelatihan tersebut?
Pelatihan untuk program penanggulangan TB belum tentu dilaksanakan setiap tahunnya, jadi
tergantung pihak yang menyelenggarakan.
5. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam
menjaga kualitas sumber daya
manusia terkait program P2TB
di Puskesmas?
Tidak ada kendalanya
Ketersediaan Obat Dan Perbekalan Kesehatan
6. Bagaiamanakah ketersediaan
obat anti tuberkulosis yang ada
di Puskesmas?
Kalau untuk obatnya sih sudah cukup ya karena setiap ada pasien selalu diberikan obatnya
7. Bagaiamana ketersediaan sarana
dan prasarana dalam
penyelenggaraan program P2TB
Kalau untuk saya sih e... saya cukup ya, sudah ada laptop, poli untuk TB meskipun belum
optimal polinya karena kurangnya sinar matahari yang masuk ke ruang poli TB.
Page 234
220
di Puskesmas?
8. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam
pengadaan ketersediaan obat/alat
kesehatan/sarana dan prasana
terkait program P2TB di
Puskesmas?
Kalau hambatan sih ndak ada, selama ini dari Dinas pun medukung
Pendanaan
9. Bagaiamana ketersediaan dana
dalam pelaksanaan program
Pencegahan dan Penggulangan
Tuberkulosis?
Ada dari BOK
10. Bagaiamana alokasi dana yang
digunakan untuk
penyelenggaraan program
P2TB?
Jadi dana kita bikin proposal anggaran itu bikinnya satu tahun sebelum pelaksanaan program
misal kita membuat proposal anggaran di tahun 2019 nanti aplikasi pelaksanaan programnya
di tahun 2020.
SISTEM INFORMASI
1. Bagaiamana pencatatan dan
pelaporan yang dilakukan oleh
Puskesmas kepada Dinas
Kesehatan Kota Semarang?
Ya ini, sistem ini tadi. Jadi, sistem ini sendiri sudah tahu kapan saya harus apa... kalau ada
pasien dia akan langsung terdaftar di sini. Kita langsung daftarkan pasiennya ke Semar Betul
(Semarang Bebas Tuberkulosis). Pihak Dinas langsung dapat melihat datanya. Jadi, setiap
hari kalau ada pasien TB, dia langsung terdetek dan pihak Dinas langsung mengetahui.
2. Seberapa sering kegiatan Setiap hari dilakukan.
Page 235
221
tersebut dilakukan?
3. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang dialami
petugas dalam pelaksanaan
pencatatan dan pelaporan?
Kalau kerusakan jaringan itu biasanya yang bermasalah providernya ya, karena Semarang
providernya masih naik turun kadang ya menghambat juga.
KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1. Bagamana supervisi yang
dilakukan oleh Dinas kesehatan
Kota Semarang di Puskesmas?
Jadi, supervisi yang dilakukan biasanya per tiga bulan sekali atau per empat bulan sekali.
Saat supervisi kita langsung kumpul semua petugas TB dari Puskesmas dan Rumah Sakit,
kita bawa laptop masing-masing, bawa sistem masing-masing bisa langsung dilakukan.
2. Bagaiaman pertemuan
monitoring dan evaluasi yag
dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kota Semarang? Seberapa sering
dilakukan!
Jadi, ya kaya gitu tadi. Kita dikumpulkan untuk kemudian nanti dilakukan evaluasi.
Biasanya dilakukan tiga bulan sekali itu e... sekalian merekap data.
3. Bagaiaman kegiatan monitoring
dan evalasi yang dilakukan di
Puskesmas?
Monitoring dilakukan setiap hari dengan melihat data di Semar Betul, sedangkan untuk
evaluasi biasanya kita lakukan setiap 1 sampai 2 minggu sekali.
4. Bagaiamana bentuk kerjasama
yang Anda dilakukan dengan
lintas program yang ada di
Puskesmas?
Kerjasama lintas program iya, bahkan lintas sektoralpun kita lakukan seperti kita kerjasama
dengan Dinas Pendidikan dan juga kerjasama dengan sekolah.
Page 236
222
Bagaiamana bentuk kerjasama
yang Anda lakukan dengan
lintas sektoral (fasilitas
kesehatan milik swasta, kerja
sama dengan sektor
industri/perusahaan/tempat
kerja, dan kerja sama dengan
lembaga swadaya masyarakat
(LSM))?
Memberikan informasi dan edukasi tentang penyakit TB dan penanggulangan penyakit itu
sendiri.
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Bagaiaman upaya Puskesmas
untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam penemuan
kasus TB?
Ya pertama kita bikin kader-kader, sosialisasi ke masyarakat, kita juga bikin POS TB di
sekolah-sekolah agar juga meningkatkan kepedulian mereka.
2. Menurut Bapak, seberapa besar
peran serta masyarakat dalam
mendukung pencegahan dan
pengobatan penyakit TB?
Sangat besar, kami hanya sebagai fasilitator jadi keberhasilan program dari ini hanya 30%.
Masyarakat sendirilah yang menjadi e... motor atau menjadi inti dari perogram ini, kalau
masyarakat sendiri tidak terbuka bagaiaman kita bisa meningkat menjadi 100% untuk
pengendalian TB
3. Bagaiamana upaya Puskesmas
untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam mengatasi
faktor sosial yang berpengaruh
Ya kita e... dalam minggu ini rencananya mau bikin video tentang masalah ini tentang alur
dan juga bahwa menggarisbahawi stigma bahwa TB itu bisa disembuhkan. Jadi, dari video
itu kita sebarkan ke kader yang diharapkan kader bisa disebarkan kemasyarakat sekitar
Page 237
223
pada penanggulangan TB?
4. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam peran
serta masyarakat terhadap
program P2TB di Puskesmas?
Ya kendalanya ada di masyarakat mau berubah apa ndak. Semua sosialisasi yang kita
berikan dan semua video yang kita berikan dapat diikuti oleh masyarakat atau tidak. Peran
serta masyarakat sendiri sangat penting dalam pengendalian penyakit TB. Kita sudah
melakukan screening secara merata tetapi baik itu melalui PIS PK dan juga Gasurkes,
selama itu kita sudah berusaha semaksimal mungkin kita tidak bisa memenuhi target
penemuan kasus karena pada dasarnya kita menemukan banyak kasus di masyarakat sekitar
87 pasien TB tapi yang bersedia berobat di puskesmas hanya sejumlah 12 pasien TB. Jadi,
jumlah yang ada tidak sesuai karena banyak pasien yang merasa bahwa dirinya baik-baik
saja dan tidak memiliki sakit yang parah.
Infoman Utama 2
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
1. Apakah Anda menyampaikan
infromasi tentang penyakit TB
kepada pasien terduga TB ketika
melakukan pemeriksaan
mikroskopis di Puskesmas?
Pasien yang sudah batuk 2 minggu mereka di suruh datang ke sini terus kita ambil sampel
dahaknya, satu yang bangun tidur dan yang satu untuk sewaktu (SPS). Nah, yang bangun
tidur itu e... dipakai untuk pemeriksaan TCM. TCM itu lebih akurat dari pada mikroskopis,
TCM itu Tes Cepat Molekuler jadi yang diperiksa adalah DNA. Nah, itu kita ambil
dahaknya pagi sama sewaktu karena kebetulan di Puskesmas tidak ada tes TCM, jadi kita
rujuk ke Rumah Sakit Tugu. Saat ini yang memiliki TCM kebetulan hanya 2 yaitu Rumah
sakit Tugu dan Rumah Sakit Karyadi, hanya 2 jadi semua Puskesmas di Semarang merujuk
Tes TCM ke dua Rumah tersebut. Akurasinya dari tes TCM itu sangat tinggi sampai 90%
tapi kalau tes mikroskopis itu lebih rendah karena kualitas dahaknya ndak bagus atau
dahaknya juga ndak pas.
2. Bagaiamana pelaksanaan Nah... sekarang sudah dihilangkan sewaktu pagi sewaktu itu sudah ndak ada, adanya pagi
Page 238
224
pemeriksaan sputum yaitu
sewaktu pagi sewaktu sebagai
screening awal penyakit TB di
Puskemas ini?
dan sewaktu.
3. Apakah pasien secara rutin
melakukan pemeriksaan
tersebut? Berapa kali
pemeriksaan dilakukan?
Selama pengobatan itu kan yang pertama diagnosa, kedua follow up di bulan kedua, bulan
ketiga, bulan kelima, dan di akhir pengobatan. Jadi, ada 4 kali pemantauan pengobatan.
4. Bagaiamana ketersediaan
sumber daya manusia dalam
pelaksanaan pelayanan
Laboratorium di Puskesmas ini,
apakah sudah mencukupi atau
belum?
Kalau sekarang sih mencukupi karena nggak begitu banyak sampel, jadi yang terduga itu
masih berapa persen gitu dek belum menjaring semua akar-akarnya itu belum. Pasien yang
datang ke sini itu juga jarang ada, jadinya ya nek ketersediaan tenaga ya cukup.
5. Bagaiamna cara melakukan
penegakan diagnosis awal
seorang terduga pasien TB di
Puskesmas ini?
Pertama kan pasien dari BP di periksa dulu sam dokter, kalau dia dicurigai TB langsung di
suruh buat tes dahaknya. Dahaknya itu nanti diperiksa disini secara mikroskopis buat di
pastikan apakah ini postif atau negatif. Nah, kalau hasilnya positif berarti nanti dia menjalani
pengobatan TB selama 6 bulan itu, kalau negatif ya sudah di ndak menjalani pengobatan.
6. Bagaiamana pelatihan yang
diperoleh oleh petugas
Laboratorium untuk
meningkatkan keahliannya daam
Jadi, kita pelatihan itu selama 1 minggu di Balai Kesehatan Laboratorium untuk
pemeriksaan TB itu. Jadi, selama seminggu kita bikin dahak, bikin mikroskopis, membaca
slide kaya gitu. Biasanya kalau sudah dapat sertifikat sudah sih, nanti tinggal pertemuan-
pertemuan aja update materi. Waktu itu sih saya pelatihan tahun 2016 sekarang belum ada
Page 239
225
melaksanakan tugas? Berapa
kali dilakukan pelatihan!
update lagi. Mungkin kalau ada pelatihan itu yang belum pernah dilatih nah itu ada
pelatihan.
7. Bagaiamana keadaan fasilitas
dan peralatan yang diperlukan
untuk pelaksanaan pemeriksaan
penyakit Tuberkulosis di
Puskesmas ini?
Bikin surat, karenakan kita di fasilitasi pemerintah jadi kalau misalnya reagen kita habis
tinggal minta nanti dikasih oleh dinas kesehatan.
8. Bagaiaman ketersediaan alat
pelindung diri yang terdapat di
Puskesmas ini?
Menurut saya sudah mecukupi
9. Bagaiamana pelaksanaan
pemantapan mutu internal
Laboratorium di Puskesmas ini?
Ya ini udah bagus karena setiap triwulan ya kita menyerahkan hasil slidenya itu ke BAK ya
nanti mereka croschek ya nanti kita diberikan hasil per tiga bulan, jadi satu tahun 4 kali.
Biasanya kita kan triwulan pertama ngirim nanti kita dapet hasil di triwulan kedua, jadi 3
bulan baru dapat hasilnya
10. Bagaiamana ketersediaan
Prosedur Tetap (Protap) untuk
seluruh proses kegiatan
pemeriksaan Laboratorium di
Puskesmas ini?
SOP ada, kita juga pakai itu apa... Permenkes Nomor 37 tahun 2012 itu sih.
11. Bagaiamana pemeliharaan,
pengadaan, dan uji fungsi yang
dilakukan dalam peningkatan
Setiap tahun melakukan itu apa namanya, kalibrasi. Paling yang dikalibrasi cuma mikroskop
Page 240
226
mutu Laboratorium di
Puskesmas ini?
12. Bagaiaman ketersediaan standar
operasional prosedur terkait
dengan keamanan dan
keselamatan kerja di Puskesmas
ini?
SOP tersedia
13. Apakah dilakukan screening
terhadap petugas yang terlibat
dalam pelaksanaan program
P2TB di Puskesmas ini?
Sudah dilakukan, kemarin dari itu kimia farma dia malakukan ada alat baru apa namanya
aku lupa yang bekerjasama dengan mahasiswa UNDIP dengan cara mengambil sampel
darah petugas tapi hasilnya sampai sekarang belum diberikan
14. Bagaiaman alokasi dana yang
digunakan untuk Laboratorium
dalam pelaksanaan program
P2TB di Puskesmas ini?
Saya sih nggak mendapatkan dana
15. Bagaiamana koordinasi yang
dilakukan oleh petugas
Laboratorium di Puskesmas
dengan Dinas Kesehatan Kota
Semarang dalam melakukan?
Saya rasa sudah bagus, sekarang sudah ada grup WA itu toh jadi lebih mudah koordinasinya
misalnya akan ada rapat atau mau diadakan apa kaya gitu lebih gampang. Sering sekali
dilakukan rapat tapi ndak mesti ya karena yang menjadwalkan kan Dinas toh, nek pertemuan
rutinnya ndak ada. Paling kalau ada update-upadate kaya gitu misalnya mau ada aplikasi
baru nah itu baru rapat. Kalau ilmu teknik pembuatan slide itu ndak ada update dari 2016,
tapi kalau update aplikasi atau update penulisan kaya gitu sih paling nggak mesti
16. Bagaiaman pencatatan dan
pelaporan yang dilakukan oleh
E... pakai itu Semar Betul sama dengan pemegang program P2TB karena kan itu ngelink
kaya gitu lho dek. Jadi, mulai dari poli TB, dari laboratorium, terus dari poli obat, dari
Page 241
227
petugas Laboratorium dengan
Dinas Kesehatan?
petugas lapangan itu sudah ngelink semua. Jadi, pakai Semar betul semua.
17. Bagaiaman monitoring dan
evaluasi pelayanan
Laboratorium yang dilakukan
dengan Dinas Kesehatan?
Kalau untuk TB saya ndak tahu itu, evaluasi kalau dari Lab itu hanya dari sini aja paling dari
pemantapan mutu eksternal. Ya itu kan mereka nanti Dinas kan mengevaluasikan kinerjanya
kita, nah kalau untuk evaluasi dari pengobatan sampai diagnosa sampai itu kan bagian poli
TB kalau kita ya teknis aja pelaksanaannya.
18. Bagaiaman monitoring dan
evaluasi pelayanan
Laboratorium yang dilakukan di
puskesmas ini?
Setiap bulan itu ada rapat buat monev di Puskesmas sama Kepala Puskesmas gitu, ya kalau
bagian laboratorium paling terkait alat-alat kaya gitu. kalau TB sendiri sih jarang ya Lab itu
ada masalah, ya paling kualitas dahak dari pasiennya itu sih bagus apa tdak.
19. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang Anda
dialami dalam pelaksanaan
program P2TB?
Kendalanya kerana itu belum ngelink sama SITT ya. SITT itu dari Kemenkes kalau Semar
Betul itu dari Semarang bikin sendiri. SITT itu tidak ada laporan laboratoriumnya, kalau
Semar betul lebih lengkap memang. Kendalanya paling ya disitu belum neglink sama SITT.
Kalau pelaporan ke Dinasnya ya tinggal tarik data dia, sewaktu-waktu juga bisa ambil data
setiap saat di aplikasi ini. Hemm kalau kendala teknis itu paling kualitas dahak. Kualitas
dahak pasien itu kan mempengaruhi hasil kan, jadi kadang dari pasien susah mengeluarkan
dahak kaya gitu lho. Pemeriksaannya jadi tidak optimal karena kualitas dahaknya kurang
bagus, kalau logistik nggak, SDM juga nggak. Ya itu, terus sama penjaringan yang kurang ya
jadi yang terdeteksi itu masih kita hanya nunggu pasien itu datang paling sebulan itu satu.
20. Apa sajakah yang perlu
dilakukan oleh Puskesmas untuk
meningkatkan kualitas
pelayananan Laboratorium
Sering diadakan acara-acara apa itu namanya, sosialisasi TB kaya gitu lho dek, jadi kaya
penularannya itu gimana. Sering diadakannya acara cara menganggulangi TB atau nggak
acara penjaringan TB atau nggak e... tapi saya ndak tau dek pengukuran TB di nyatakan
berhasil itu dari mananya, perasaan di sekitar kita itu sudah nggak ada gitu lho. Soalnya
Page 242
228
untuk penyakit TB? yang kita jaring itu selama satu tahun 6 bulan saya disini cuma dapat 2 ik yang positif
dahaknya. Kalau nggak penjaringan kalau nggak sosialisasi itu ditingkatkan.
Informan Utama 3
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Promosi Kesehatan
1. Bagaiaman Anda melakukan
sosialisasi tentang program
Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis
kepada masayarakat di wilayah
kerja Puskesmas?
Kita penyuluhan ke warga memberikan informasi tentang TB, tanda gejalanya,
penyebabnya, apa itu TB ya seperti kita sharing. Forum penyuluhannya itu ya di PKK,
Kelurahan, RT, RW, sekolahan ke guru-guru soalnya adik-adiknya umurnya masih kecil,
sama Puskesmas. Berdasarkan targetnya satu bulan itu 7 kali penyuluhan. Jumlah peserta
yang datang ya banyak mbak minimal 10 orang kaya di dawsi-dawis gitu.
2. Apaka sajakah media yang Anda
digunakan saat melakukan
sosialisasi kepada msyarakat
sekitar?
Lembar balik, leaflet, kalau di sekolah itu LCD buat PPT
3. Apakah pihak Anda melakukan
kerjasama dengan pemangku
kebijakan yang ada di sekitar
wilayah kerja Puskesmas, seperti
Kepala Desa, Kepala RT/RW,
pemuka agama setempat,
organisasi masyarakat dalam
Oh iya pasti itu, kalau ndak kerjasama kita susah masuknya.
Page 243
229
penemuan kasus TB?
Bagaimana bentuk kerjasama
tersebut?
4. Bagaimana cara Anda
melakukan advokasi kepada
pemangku kebijakan tersebut?
Ya gitu aja kita ijin pakai surat tugasnya, kalau ndak diijinkan ya ndak dilakukan kerjasama
5. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
sosialisasi terkait dengan
program P2TB?
Oh kalau kendala itu pasti banyak, ada yang orangnya itu pasif, ada yang tidak
mendengarkan, sama antisipasinya kurang. Macem-macem ya mbak, kan tiap orang itu
macem-macem karternya.
Surveilans Tuberkulosis
6. Bagaiaman pelaksanaan
surveilans yang dilakukan untuk
menemukan kasus TB di
masyarakat?
Oh kita tu screening terjun langsung ke masyarakat, kita jadi wawancara gitu. kalau ada
salah satu tanda gejalanya kita rujuk, utamanya paling ndak batuk lebih dari 2 minggu
berdahak terus kok gejala-gejala yang nuncul baru kita rujuk ke Puskesmas sih kaya gitu.
Jadi, screeningnya itu kita ketuk pintu ke rumah-rumah terus kalau kita di PKK juga
ngomong “bu, kalau nanti ada saudaranya atau tetangganya yang batuk-batuk nanti disuruh
periksa di Puskesmas” gitu. kita ada e... apa namanya kader TB. Jadi, kita biasanya
kerjasama sama kader TB kalau menemukan dia laporan ke kita kalau kita menemukan juga
laporan ke ibunya ke kadernya saling kerjasama. Kadang kalau kader melakukan kunjungan
rumah ke penderita TB kita mendampingi, tergantung waktu untuk kita karena waktu kita
ndak hanya mengurusi TB aja kan kita juga mengurus yang lain, kitakan dibawahnya P2P
jadikan banyak programnya ndak cuma TB saja.
7. Apa sajakah kendala/hambatan Orang-orangnya yang susah mbak kalau disuruh buat tes dahak karena kan dahak itu ndak
Page 244
230
yang dialami petugas dalam
pelaksanaan surveilans tersebut?
gampang juga buat dikeluarin ya mbak. Masalah batuk di masyarakat juga meskipun itu
sudah tanda gejala TB tapi merekanya menganggap itu hanya batuk biasa terus dibiarkan
nanti sembuh kalau ndak ya minum obat warung. Kalau ssakitnya belum parah belum mau
periksa ke Puskesmas.
Pengendalian Faktor Resiko
8. Bagaiman upaya yang dilakukan
dalam menyusun rancangan
rencana tindak dan respon cepat
terhadap faktor risiko penyakit
TB?
Misal ada yang positif TB, kita screening dateng minimal 10 rumah radius 100 meter kanan
kiri depan belakang dari pasien TB itu wajib di screening.
9. Bagaiaman Anda menganalisis
potensi ancaman penyakit,
sumber dan cara penularan, serta
faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap penularan penyakit
TB?
Jadi kalau kunjungan rumah itu yang dilihat lingkungannya juga, dilihat kondisi rumahnya
juga, terus letak rumahnya dempet-dempet atau tidak gitu sih. Kalau ini kan kita sekarang
lebih detail nanyanya mulai dari identitas warga yang dirumah, terus riwayat penyakitnya,
tanda gejalanya kaya gitu. Awalnya mereka sempat protes karena kelamaan tapi kita kasih
tau tentang program ini terus ya mereka mungkin karena sudah terbiasa jadi ya menerima.
10. Bagaiaman upaya yang
dilakukan dalam pengendalian
faktor risiko pada masyarakat
yang dilingkungannya terdapat
penderita TB?
Paling ini sih mbak, kalau ada orang yang batuk ditutup biar ndak tertular batuknya, jaga
kesehatan tubuh dengan aktivitas sehat sama makan makanan yang bersih dan sehat, terus
sosialisasi tentang bahaya TB dan cara penanganannya gitu aja.
11. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
Susahnya itu kalau sama yang pasien TB itu disuruh pakai masker sulit, ya mungkin malu ya
mbak kalau pakai masker terus nanti banyak tetangga yang tanya kenapa dan jawabnya juga
Page 245
231
pengendalian faktor risiko
Tuberkulosis?
malu kalau kena sakit TB. Ada juga masyraakat yang masih belum terbuka sama kita kalau
dia sakit, apalagi sakit TB jadi kalau diminta buat periksa ke Puskesmas ndak mau.
Kebanyakan bilangany ya wong Cuma sakit batuk biasa nanti pasti sembuh, kaya gitu-giu.
Penemuan dan Penanganan Kasus
12. Bagaiamana langkah penemuan
kasus penderita TB yang
dilakukan di masyarakat?
Kita melakukan screening untuk mendapatkan suspek di masyarakat dengan cara ketuk pintu
di rumah-rumah terus kita wawancara sama anggota keluarga di rumah tetang kesehatannya,
kalau ada yang batuk terus tanda gejalanya mengarah ke TB nanti kita langsung rujuk ke
Puskesmas buat tes dahak. Selain itu, kita juga sosialisasi ke ibu-ibu melalui FKK tadi
menjelaskan ke mereka apa itu penyakit TB, terus jika ada anggota keluarga, sudara, atau
tetangganya yang punya tanda gejala seperti TB kita membaritahukan untuk segera
menyarankan orang tersebut periksa ke Puskesmas atau kalau ndak ya menghubingi kader
atau kami juga bisa.
13 Apa sajakah kendala/hambatan
yang Anda alami dalam
melakukan penemuan kasus Tb
di masyarakat?
Kendalanya ada banyak mbak, kendala saat kita penemuan kasus misal kita dapet pasien
diwilayah A kadang ndak terbuka sama kita dan juga takut nanti tetangganya tau terus
dikucilkan dijauhi. Meskipun mereka sudah tau sih TBC itu dari bakteri tapi namanya orang
dikamping itu ya susah-susah gampang, ada yang terbuka ada yang tertutup gitu. kalau ada
keluarga yang tertutup ya kita kerjasama sama Puskesmas kolaborasi gitu, kita ndak
mungkin kerja sendiri. Kalau kami jarang sama kader soalnya kan ada tetangga sendiri yang
jadi kader nanti mereka malu, jadi kita gandengnya sama pemegang Puskesmas nanti kita
ketuk pintu kasih tau gitum ya secara pelan-pelan sih nanti mereka terbuka sendiri sama kita
ya.
SUMBER DAYA
Sumber daya Manusia
1. Apakah jumlah sumber daya Menurut kami untuk petugas gasurkes kurang ya karena wilayahnya itu luas sekali,
Page 246
232
petugas surveilans di Puskesmas
ini sudah memadai?
meskipun 2 Kelurahan tapi tu luas sekali. Dulu ada 4 orang petugas kerana ada pengurangan
jadi sekarang 3 orang.
2. Apakah petugas yang menjadi
tenaga surveilans sudah sesuai
dengan ketentuan standar
kompetensi di bidang
epidemiologi?
Ndak sih, nyatanya kami perawat semua. Dulu yang dicari itu ka tenaga kesehatan (perawat
sama SKM) sama bagian P2P.
3. Bagaimanakah pelatihan yang
diterima oleh petugas surveilans
untuk meningkatkan kinerja
dalam pelaksanaan program
P2TB di Puskesmas ini?
Ya pernah dulu awal-awal tahun, dulu sering tapi untuk tahun ini sih baru sekali. waktu
pelatihan itu kegiatannya ya jelasin tanda gejala TB, cara komunikasi, kendalanya, cara
menghadapi warga gitu-gitu sih lebih ke tehniknya ya tehnik surveilans. Kalau Puskesmas
sendiri ndak pernah melakukan pelatihan sih.
Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
4. Bagaiamana ketersediaan sarana
dan prasarana dalam
penyelenggaraan program P2TB
di Puskesmas untuk mendukung
pelaksanaan surveilans penyakit
TB?
Ruangannya masih bercampur sih masih berdekatan sama loket sama ruang aula, mungkin
karena Puskesmasnya juga luas wilayahnya masih terbatas sih ya. Ketersediaan obatnya ya
sudah lengkap.
5. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam
pengadaan ketersediaan obat/alat
Tidak ada, kalau kaya gitukan bukan ranahnya Gasurkes ya, kita kembalikan ke
Puskesmasnya, kita hanya tugasnya screening, membawa pasien kesini, e... pemantauan
pengobatan, selebihnya Puskesmas.
Page 247
233
kesehatan/sarana dan prasana
terkait program P2TB di
Puskesmas?
Pendanaan
6. Bagaiamana ketersediaan dana
dalam pelaksanaan surveilans
program Pencegahan dan
Penggulangan Tuberkulosis?
Ndak ada dana. Kalau penyuluhan itu swadaya masyarakat.
7. Bagaiamana alokasi dana yang
digunakan untuk
penyelenggaraan surveilans
program P2TB?
Ndak ada mbak.
SISTEM INFORMASI
1. Bagaiamana ketercapaian
indikator kinerja yang dilakukan
oleh petugas surveilans dalam
pelaksanaan program P2TB di
Puskesmas?
Target penyuluhan sudah terpenuhi, cuma kalau suspek kan kurang soalnya banyak yang
menolak juga sih. Dinas Kesehatan yang menentukan targetnya, kalau penyuluhan 7 kali,
kalau screening itu sebulannya 150, pemeriksaan suspek 8 kali sebulan. Kalau masyarakat
kan susah ya buat periksa dahak, kalau ditanya paling ya cuma batuk-batuk biasa jawabnya.
Target yang sudah tercapai itu penyuluhan sama screening.
2. Bagaiaman pelaksanaan
pencatatan dan palaporan yang
dilakukan oleh gasurkes kepada
Dinas Kesehatan dan Kepala
Kita mencatat hasil skrining di forulmulit TB terus dibuku kita sendiri juga ada.
Pelaporannya untuk ke kepala puskesmas itu setiap 3 bulan sekali, kalau ke Dinas perbulan
buat formulirnya maupun disistemnya semar betul.
Page 248
234
Puskesmas? Seberapa sering
kegiatan tersebut dilakukan?
3. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang dialami
petugas dalam pelaksanaan
pencatatan dan pelaporan?
Ribet mbak soalnya ada form yang ditulis tangan, terus masih diketik yang buat online, terus
pakai aplikasi sistem terbaru Semar Betul kan juga harus masuk. Kita itu jadinya 3 kali kerja
mbak.
KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1. Bagaiamana bentuk kerjasama
yang Anda dilakukan dengan
lintas program yang ada di
Puskesmas?
Kita kerjasamanya sama keslingnya ya mbak soalnya ndak ada epidnya. Kerjasamanya itu
ya waktu investigasi kontak mereka mendampingi gitu.
2. Bagaiaman keberhasilan
pelaksanaan penanggulangan
terjadinya KLB/wabah TB?
Jadi e... orang tipenya beda-beda ya mbak, dia mau berobat sampai tuntas ata ndak kaya gitu
misalkan orangnya itu gampang terus mau berobat berarti kaya gitu berhasil gitu, kalau ada
pasien TB yang pindah kaya gitu berarti ndak berhasil. Kalau yang ditangani disini sampai
selesai ya berhasil mbak soalnya kan kita jadi tau mulai pengawasan dari awal sampai
selesai ya dikatakan berhasil, tapi kalau pasien mangkir atau pindah kita udah ndak tau.
Pasien mangkir disini ya ada tapi mangkirnya itu karena pindah tempat berobat ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang lainnya.
3. Bagaiaman pelaksanaan
monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan surveilans di
Puskesmas? Seberapa sering
Ada monev perbulan kalau Purwoyoso, paparan perbulan kinerja kita. Pertiga bulan kalau
sama Dinas Kesehatan.
Page 249
235
kegiatan tersebut dilakukan?
4. Bagaiaman monitoring dan
evaluasi yang dilakukan oleh
petugas surveilans kepada
Kepala Puskesmas dalam
melakukan penemuan kasus?
Seberapa sering hal tersebut
dilakukan!
Dilakukan pada saat pemaparan setiap 3 bulan sekali dalam pertemuan di Puskesmas.
5. Apa saja kendala/hambatan yang
dialami dalam melakukan
koordinasi dalam pelaksanaan
program TB baik dengan
Puskesmas maupun masyarakat?
Ada, ya tadi to mbak kesulitan membawa suspek sampai sini. Kalau dari DKK batuk 2
minggu itu harus disuspek, padahalkan tidak semua orang batuk 2 minggu itu terjangkit TB
ya , nah kalau kaya gitu disuruh langsung buat periksa dahak kan pasti ndak mau banyak
yang ndak mau.
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Bagaiamana peran masyarakat
dalam penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan untuk
meningkatkan kualitas data dan
informasi terkait dengan
penyakit TB?
Ya masyarakat kalau ada entah itu keluarga, saudara, atau orang lain yang batuk lebih dari 2
minggu atau lama gitu mereka bilang ke kita pas di FKK atau pas kita ketuk pintu ke rumah-
rumah gitu. kami nanti langsung berkunjung ke orang tersebut dan melakukan wawancara
terkait kesehatannya, kalau memang benar punya tanda gejala TB ya kita rujuk, kalau ndak
ya kadang kita sarankan juga buat periksa ke Puskesmas.
2. Bagaiamana peran masyarakat
dalam penyelenggaraan
Ya masyarakat ada yang terbuka tapi ada juga yang masih tertutup sama kita. Ya kebanyakan
sih masih apa ya, kurang terbuka lah mbak masih pada malu mungkin kalau dia diketahui
Page 250
236
Surveilans Kesehatan penemuan
pasien TB di lingkungannya?
kena penyakit TB. Tapi kalau masyarakat yang sudah terbuka ke kita ya mereka ikut
mendukung program penanggulangan TB ini seperti menutupi hidung kala ada yang batuk-
batuk, menjaga kebersihan lungkungan rumah, hidup sehat kaya gitu.
Informan Utama 4 dan 5
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
1. Bagaiamana petugas TB di
Puskesmas melakukan
sosialisasi tentang penyakit TB
kepada Anda? Sebarapa sering
petugas TB melakukan
sosialisasi tersebut!
Informan Utama 4
Kalau Puskesmas itu kita kan ada pertemuan kader Puskesmas setiap hari rabu minggu
ketiga, nah mereka biasanya ada berbagai macam sosialaisasi termasuk TB, jadikan kami ini
kader-kader kesehatan mewakili RW masing-masing di rabu ketiga. Kalau e... dari
Puskesmas untuk saya itu ya biasanya tiap 3 bulan sekali kan diseling-seling, ada TB, ada
leptospirosis, dan lain-lain.Setiap ada kesempatan sesuai kebutuhan kita masuk, biasanya
pokwil (kelompok wilayah pembinaan di kelompok wilayah) itu 1-2 bulan sekali. Biasanya
kita ke pertemuan RT, RW, sama Daswis itu kita masuki.
Informan Utama 5
Tetep ada kalau sosialisasi itu meski ndak tiap bulan, tapi e... kalau kita ini sedang ini sama
pemegang programnya dibentuk grup kader TB, lha itu baru pertemuan sekali terus minggu
ini mau ada pertemuan kalau jadi. Kalau yang di Aisyiyah itu peretemuannya 2 bulan sekali,
tapi ada grupnya jadi kalau ada kendala bisa langsung komunikasi ke grupnya.
2. Apaka sajakah media yang
digunakan saat melakukan
sosialisasi tersebut?
Informan Utama 4
Biasanya leaflet terus pakai itu lembar balik ya itu aja, terus pakai materi melalui LCD gitu.
Informan Utama 5
Ya ngomong langsung aja mbak ke masyarakatnya, e... sama ada pakai leaflet kaya gitu
3. Apakah petugas Tb di Informan Utama 4
Page 251
237
Puskesmas memberikan
informasi terkait dengan
program P2TB kepada Anda?
Iya memberitahu saat pertemuan-pertemuan di Puskesmas itu dikasih tau, tapi ya ndak TB
aja sama penyajit-penyakit lainnya dikasih tau.
Informan Utama 5
Iya memberi tahu, ya saat ada pertemuan di Kelurahan kaya gitu mbak terus kemarin kan
juga sempat kader-kader TB itu dikumpulkan sama pak Wisnunya menjelaskan tentang
penyakit TB itu gimana. Kendala apa saja yang dilapangan sering muncul kaya gitu.
4. Bagaiamana upaya penemuan
kasus pasien TB yang dilakukan
oleh Puskesmas?
Informan Utama 4
Kalau Puskesmas itu biasanya orang datang sendiri, tapi kalau saya mencari dengan cara
ketuk pintu ditiap RW. Kita pertemuan RW datang mensosialisasikan TB itu karena program
kami seperti itu, istilahnya kalau kami pokwil itu kita bawa. Jadi ketuk pintu itu misalnya
ada yang batuk kita nanti screening ringan dengan cara menemukan nanti positif atau negatif
itu kan dari pemeriksaan mikroskopi yang dilakukan oleh Puskesmas jadi kita bawa pot
dahak itu ke Puskesmas. Warga kalau sakit kan kalau kita ada seperti ini malu diambil
dahaknya kita menyarankan Bapak atau ibu ke Puskesmas nanti kita yang mengarahkan.
Hambatan dalam pelaksanaannya banyak mbak. Hampir seluruh masyarakan kan tertutup
tentang ini jadi kita gencar sosialisasi, karena orang kadang nggak mau terbuka. Ditolak juga
pernah, sering kaya gitu ya kita pakai trik aja pendekatan ke tokoh masyarakat. Nanti kalau
kesulitan ya terpaksa kita minta bantuan Puskesmas yang terakhir karena kan wilayahnya dia
juga seperti itu.
Informan Utama 5
Urutannya itu begini mbak, dari warga nanti melapor ke saya atau kader-kader yang lain,
terus kami nanti ke Gasurkes atau bisa langsung ke Puskesmasnya mbak. Nah dari situ
Puskesmas menemukan kasus.
5. Bagaiaman upaya Anda dalam Informan Utama 4
Page 252
238
menemukan pasien terduga TB
yang ada di lingkungan
masyarakat?
Ketuk pintu itu gini, kita kan ada kader e.. kita kan ada pertemuan Paguyuban Keluarga
Berencana disitu yang hadir kan kader-kader kesehatan, nah mungkin kita bisa mendampingi
misal hari ini ada berapa rumah gitu itu tidak dilakukan tidak hanya kita kader-kader yang
tadi tapi ada bantuan dari warga. Nanti mereka laporan ke kita lalu kita langsung datang
kesana, kalau nggak biasanya sasaran yang terdekat dengan pasien TB, kita seperti itu. Kan
kita keliling semua wilayah nggak memungkinkan, jadi kalau prioritas kami misalnya di RW
5 ini ada penderita, kita screening kanan, kiri, depan, dan belakang. Jadi, kita pendekatan ke
keluarganya atau dengan orang yang paling di segani si suspek ini. Kita sebelumnya sudah
diberikan pot dahak oleh Puskesmas, kalau kita habis kita minta ke Puskesmas. Misi kita ya
itu TB karena disitukan tujuannya untuk mencari suspek dan membuat masyarakat itu
merubah mainsetnya bahwa kalau penyakit TBC jangan disepelekan, hanya batuk itu banyak
terjadi bahkan tidak hanya TB bahkan tiba-tiba batuk berdarah dia kena kanker paru. Kaya
gitu kan pemaham masyarakat kan perlu diberi penyuluhan berulang-ulang, kalau Cuma satu
kali kan saya anggap mereka nggak itu kesadaran masyarakat kan sulit.
Informan Utama 5
Saya belum menemukan penderita TB yang positif ya mbak, kalau suspek ya banyak tapi itu
hasilnya negatif. Saya malah kadang tidak tahu ada terduga atau ada penemuan malah kita
ndak tahu nanti dari Aisyiyah diberitahukan kalau diwilayah saya ada yang menderita TB
gitu. Jadi, saling terkait pokoknya mbak, kalau saya diberitahu ada yang menderita TB ya
langsung saya sama Gasurkes kunjungan kesana kalau kami ndak bisa nanti bisa digantikan
bu Bandono atau yang lainnya kaya gitu. kalau saya melakukan kunjungan itu ada
laporannya, kan ada form kunjungan ke pasien TB terus nanti saya wawancara apa aja itu
ada. Setelah itu nanti dikasihkan ke Puskesmas dulu tanda tanga mas Wisnu yang megang
programnya itu, terus nanti saya kumpulkan ke Aisyiyahnya.
Page 253
239
6. Bagaiamana upaya Anda dalam
mendukung pengobatan
penderita TB?
Informan Utama 4
Selain jadi petugas kan kami juga dilatih untuk pemantauan menelan obat kan, nah itu kita
lakukan jika tidak ada e... keluarga, maksudnya keluarga terdekat yang benar-benar ada jadi
kita 2 hari sekali kesana. Saya juga jadi itu PMO beberapa pasien, kita sudah banyak mbak
ada yang sembuh ada yang meninggal. Kalau yang meninggal itu rata-rata komplikasi
dengan DM, sekarang kan kuman TB itu seneng bersarangnya di orang DM karena daya
tahan menurun kan. Kalau kita ada keluarga yang terdekat misalnya yang sakit istrinya,
suami atau anaknya kita beri penyuluhan kan kita ndak bisa setiap hari memantau, itu aja
sudah dipantau kadang mereka ngapusi. Kalau sudah diedukasi seperti itu kita kerjasama
dengan cara kita ngeWA misalnya ada kesempatan kesana kita mampir kerumahnya. Kita
tidak hanya tanya tapi juga sampai menghitung obatnya kan biasanya kita ada tabelnya tapi
tidak semua karena kan yang berobat di e... TB itu kan banyak. Kalau pasien yang jauh saya
biasanya saya selalu tiap hari kirim WA, mengingatkan sudah minum obat apa belum, kita
gali kejujurannya. Selama ini kita lakukan pendampingan, alhamdulillah keluarga pasien
ikut juga penanggulangan TB.
Informan Utama 5
Ya itu ajuan kita kan rayuan itu semampu kita dengan bahasa kita bagaiaman pengobatannya
terus nanti kita laporkan ke programer, nanti yang menindaklanjuti yang kesana lagi itu
Gasurkes. Jadi, saya hanya kesana sekali terus yang selanjutnya kesana kitu Gasurkesnya
mbak.
7. Bagiamana upaya yang Anda
lakukan dalam pencegahan
penularan penyakit TB kepada
masyarakat di lingkungan?
Informan Utama 4
Ya tetap kita sosialisasi misalnya ada penderita ya itu tadi dikasihnya yang lebih jangan
sampai, ya ini kan dibawa oleh udara jadi kan kita ndak tau. Contohnya ada orang batuk
sementara dijauhi atau makai masker, kita menyarankannya seperti itu. Terus untuk rumah
Page 254
240
itu kan juga misalnya pagi hari supaya udara masuk dibuka juga terus memberi keluarga
makanan yang sehat sama pengolahannya yang baik. Sebenarnya kalau penyuluhan itu ada
kader survelians ya biasanya mereka menyebar ke RW-RW, kayanya kalau Tb itu hampir
tiap bulan disampaikan dari laporan mereka kan kita jadi tau. Ketika ditemukan terduga
batuk nanti kita diberitahu terus kita dateng silahturahmi ngomong-ngmong nanti dikasih
tahu, kan tidak semua orang langsung menerima kita mbak jadi orang untuk masalah TB kan
agak cenderung tertutup. Padahal sudah tau dan sudah diomongi kalau itu menular kan gitu,
nggak papa untuk saat ini tapi kami selalu memberitahu. Mereka rodo kolotlah mbak, piye
carane bisa kasih mereka edukasi ringan.
Informan Utama 5
waktu investigasi itu saya memberitahukan, terkadang kan ada yang menyepelekan batuk lha
itu kalau batuknya sudah lama dan gejala-gejalanya sama kaya gejala TB itu kan berkeringat
dingin pokoknya dan lain-lian kaya gitu. kita kan kalau di PKK dawis, PKK RW, atau PKK
Kelurahan kaya gitu selalu ada Gasurkes yang menyampaikan terus nantikan disampiakan
lagi ke pihak RT ngoten to mbak, jadi insyaallah masyarakat sudah tahu cuma kadang-
kadang itu menyepelekan. Paling tidak kader-kader wilayah Rt itu menberikan laoparan ke
saya, Kalau ilmunya dari itu dari rakor PKK Kelurahan, mereka kan memberi sosialisasi
terus diturun kan ke RW terus ke RT baru ke warga.
8. Bagaiamana upaya Anda dalam
mengatasi masalah sosial yang
berpengaruh pada upaya
pengobatan pasien TB dan
pemutusan penularan TB?
Informan Utama 4
Stigma negatif disini masih, mereka itu pengetahuannya kurang terus bilang nggak papa ok.
Malah kalau batuk masih dikait-kaitkan kena sawan, kena ini, kena itu, masih dikaitkan
sama tradisi. Sekarang nggak ada yang namanya batuk kaya itu, kalau batuk ya batuk
menular lha itu TB. Bahkan kita pun kalau dimintain tolong e... misalnya ada yang batuk
tapi ndak diwilayah Purwoyoso, kita juga menyempatkan kesana. Kita kasih edukasi,
Page 255
241
penemuan ditempat lain misalnya periksanya di Puskesmas mana ya nanti dianterin. Rata-
rata sih mereka patuh ya, kita dampingi lalu mereka patuh ya sembuh.
Kasus mangkir itu banyak mbak kalau seperti itu, makanya saya sering medeni mbak, kasih
motivasi, kalau ndak punya waktu ya nanti kita antar. Kalau ada keluarganya ya nanti kita
tetap dampingi ke Puskesmas.
Informan Utama 5
Stigma negatif itu nggak hanya dari masyarakat aja mbak, kadang yang dari petugas
kesehatan aja masih ada takutnya jadinya kita ya hanya bisa memotivasi penderita yang tak
kunjungi gitu. Memang penyakit TB itu kan masih dianggap tabu sama msyarakat mbak.
Kita memotivasi mereka biar tidak terputus pengobatannya. Kita memang tidak didampingi
sama petugas Puskesmas cuma Gasurkes saja, tapai kalau ada kendala kita mesti kesini
untuk konsultasi.
9. Bagaiamana sistem pelaporan
yang Anda lakukan dalam
pelaksanaan program P2TB
kepada pihak Puskesmas?
Informan Utama 4
Kalau kita biasanya suspek, kita langsung bawa kesana ke Puskesmasnya, saya kasihkan ke
mas Wisnu. Kalau Asiyah itu saya ndak paham, kalau itu kan kader yang satunya lagi.
Terutama yang Asiyah itu ada pedanaanya mbak daine nek Asiyah rutin harus cari suspek
karena ada pendanaannya mbak. Kita kan kerjasamanya lebih ke Puskesmasnya.
Kita kader khusus TB ada sendiri, paguyuban khusus TB itu ada sendiri di Puskesmas
Purwoyoso itu. Kemarin itu kan kita kerjasama sama Gasurkes, kalau Gasurkes itu kan
tugasnya jentik nyamuk mbek screening misalnya mereka lapor ada yang positif kita
langsung kesana.
Informan Utama 5
Laporannya saya ke Aisyiyah tapi kan Puskesmas mengetahui karena jalurnya ke Puskesmas
dulu, tapi selama saya menjadi kader saya belum pernah menemukan mbak. Saya cuma
Page 256
242
screening warga kanan kiri itu, belum pernah mendapatkan yang positif kalau suspek ya
mendapatkan tapi hasilnya negatif. pelaporannya itu ndak mesti e mbak, sebisa saya gitu.
10. Bagaiamana ketersedian sarana
dan parasaran yang Anda
gunakan dalam pelaksanaan
program P2TB?
Informan Utama 4
Kita pakai lembar balik, pakai leaflet, sama pakai materi ringan yang saya buat sendiri.
Kalau yang dari Puskesmas itu dikasihnya leaflet sama pot dahak buat penyuluhan sama
skrining kalau ditemukan orang diduga TB.
Informan Utama 5
Ndak ada mbak, kalau mau fotocopy apa-apa gitu nggak ada mbak.
11. Bagaiaman alokasi dana yang
Anda gunakan dalam
pelaksanaan program P2TB?
Berasal darimana dana tersebut!
Informan Utama 4
Tidak ada dana mbak.
Informan Utama 5
Dananya nggak ada mbak.
12. Apakah petugas TB di
Puskesmas melakukan
pendampingan saat kali Anda
melakukan penemuan kasus atau
sosialisasi kepada warga
masyarakat di ligkungan Anda?
Informan Utama 4
Ya itu tadi mbak, gasuekesnya mendampingi tapi kadang-kadang.
Informan Utama 5
Yang mendampingi biasanya Gasurkes, kadang kita teman sesama kader.
13. Apakah pihak Puskesmas
melakukan kerjasama dengan
Kepala Desa, Kepala RT/RW,
pemuka agama setempat, atau
organisasi masyarakat di
Informan Utama 4
Oh iya pasti-pasti, kalau bekerjasama ya pasti dengan Pak Lurah misalnya ada program
penanggulangan TB apa nih atau ada inovasi lain. Kita pasti diikutsertakan sedangkan
mereka yang menembusi ke Pak Lurahnya. Sosialisasi tidak hanya dipertemuan ibu-ibu,
bapak-bapak juga dilakukan nah kita masuk melalui LPMK (Lembaga Pemberdayaan
Page 257
243
lingkungan Anda? Bagaimana
bentuk kerjasama tersebut?
Masyarakat Kelurahan) ada disini. Setiap bulan itu kita pasti dateng, programnya apa pasti
kita sampaikan. Kalau pasiennya ditemukan di tempat lain misalnya di Permata Medika
terus ingin pindah pengobatan ya bisa, nanti kita koordinasi sama Pueskesmas. Kalau yang
di Tugu atau Permata Medika itu dia sudah pengobatan lama, kita waktu menemukan sudah
pengobatan tapi tetap kita pantau.
Informan Utama 5
Iya bekerjasama mbak, mereka tahu kegiatan kita mbak baik PKK atau kader tahu.
14. Apakah kader pernah
mendapatkan pelatihan yang
dilakukan oleh Puskesmas
terkait program P2TB?
Informan Utama 4
Nek kita pelatihan di Puskesmas sering ok mbak, wong kita sering melu Kota ok mbak
khusus TB. Kemarin itu kita merencanakan 3 bulan sekali tapi masih terlaksana 2 kali
pertemuan. Ini kayanya mau diadakan lagi. Jadi, kader TB yang dilatih dari luar-luar itu
dikumpulkan nanti kita shering, ada kendala apa tidak gitu. biasanya kalau ada kendala di
lapangan kita yang turunkan dulu.
Informan Utama 5
Kalau sama Aisyiyah itu 1 bulan sekali mbak, tapi kalau Puskesmas itu belum e... masih
kadang-kadang gitu mbak.
15. Bagaiamana evaluasi yang
dilakukan oleh petugas TB di
Puskesmas dengan Anda terkait
program P2TB?
Informan Utama 4
Kalau evaluasi itu kayanya ya maksudnya tidak dalam forum itu tidak, biasanyakan ada grup
kaya gitu kan, gimana e... perkembangannya. Itu yang sering malah Gasurkes, dia kan harus
cari suspek kalau yang negatif-negatifkan kita abaikan kalau yang positifkan kita ajak
kerjasama. Biasanya kita yang melaporkan ke petugas Puskesmas. Paling ya gitu aja sih,
maksudnya tidak ada forum khusus untuk evaluasi tapi kita tetap jalin komunikasi dengan
WA tadi, kan ada grup TB Kelurahan Purwoyoso.
Informan Utama 5
Page 258
244
Kendalanya saya ndak bisa naik motor jadi ndak bisa sewaktu-waktu penjaringan sendiri
mbak, jadi saya ketika PSN itu sekalian melakukan penjaringan gitu. kalau kebetulan
diwilayah itu ada penderita TB nanti saya ya sekalian kunjungan gitu.
16. Apa sajakah kendala/hambatan
yang Anda alami dalam
pelaksanaan program P2TB?
Informan Utama 4
Ya kalau hambatan dilapangan itu pasti, orang itu satu kalau disuspek mengeluarkan dahak
sulit, banyak yang mangkir minum obat, nek pendanaan ki ra ono pendanaan.
Informan Utama 5
Kalau Puskesmas ke programn nya bagus tapi kalau pelaksanaannya itu kurang karena kan
masyarakat itu kan beda-beda mbak, ada yang terbuka senang dengan pelayanan Puskesmas
dan ada juga yang merasa pelayanannya kurang.
Informan Triangulasi 2 dan 3
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Promosi Kesehatan
1. Bagaimanaa petugas Puskesmas
memberikan sosialisasi kepada
Anda ketika memeriksakan diri
ke Puskesmas?
Informan Triangulasi 2
Saya tahu penyakit TB saat periksa di Puskesmas mbak. Sarannya ya harus pakai masker,
istirahatnya yang cukup sama tiap hari minum obat terus jangan sampai lupa minum obatnya
setiap kali datang ke Puskesmasnya mbak.
Informan Utama 3
Saya dikasih tau kena sakit TB waktu periksa ke Puskesmas itu mbak, lalu petugasnya
bilang suruh pakai masker, minum obatnya setiap hari ndak boleh lupa, berjemur setiap pagi
sampai jam 10 an katanya kumannya itu mati kalau kena sinar matahari, jendela-jendela
dibuka biar sinar mataharinya masuk, terus kalau minum obat tapi mutah ya obatnya harus
Page 259
245
diminum lagi jangan sampai ndak. Terus 3 bulan kemarin juga ada kaya bidan atau siapa itu
sering kesini mbak buat tanya-tanya obatnya diminum apa tidak, yang dirasakan apa setelah
minum obatnya, terus batuknya sekarang gimana rasanya. Mereka kesininya itu ada 9 kali
kayanya mbak, sering ok mbak kesininya, ya ngasih tau penyakit TB itu apa terus gejalanya
gitu mbak.
2. Bagaimana petugas Puskesmas
melakukan sosialisasi tentang
program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis di
lingkungan tempat tinggal
Anda?
Informan Utama 2
Saya tidak pernah tau ik mbak itu, tidak pernah.
Informan Utama 3
Saya ndak tau kalau itu mbak, saya ndak pernah tau kalau penyuluhan seperti itu.
3. Seberapa sering petugas
Puskesmas melakukan
sosialisasi tersebut?
Informan Utama 2
Berapa kalinya ya kurang tau mbak, setiap ke Puskesmasnya itu pasti dikasih tahu tentang
itu tadi e... penyakit TB nya itu.
Informan Utama 3
Kalau yang bidannya itu 9 kali itu mbak kesini selama 3 bulan.
4. Apaka sajakah media yang
digunakan saat melakukan
sosialisasi tersebut?
Informan Utama 2
Ndak ada mbak, ya ngomong kaya gitu dikasih taunya.
Informan Utama 3
Ngomong langsung mbak kaya gni.
Pengendalian Faktor Resiko
5. Bagaimana upaya yang
dilakukan petugas Puskesmas
dalam melakukan pengendalian
Informan Utama 2
Setiap hari pakai masker terus jangan terlalu dekat sama si kecil karena kan sangat rentan.
Anak saya yang kecil ini juga di kasih vaksin sama petugas Puskesmasnya. peralatan
Page 260
246
penyakit pada pasien TB agar
tidak terjadi penularan?
makannya dipisah jangan di gabung dengan yang lain. Kalau batuk bekas buat bersihinnya
itu dibuang di tempat pembuangan, jangan sampai di baung begitu aja sembarangan.
Informan Utama 3
Selalu pakai masker kalau mau kemana-mana, e... alat-alat makan sama minum itu
dipisahkan janga dicamour sama keluarga yang lainnya, kalau batuk diusap pakai tissu, sama
ya itu obatnya diminum terus.
6. Bagaimana upaya yang
dilakukan petugas Puskesmas
dalam pengendalian penyakit TB
kepada masyarakat dilingkungan
Anda?
Informan Utama 2
Iya saya pernah tau sekali mbak, tapi itu kalau ndak salah bukan tentang TB mbak.
Informan Utama 3
Tidak tau mbak, saya tidak pernah ikut kaya kumpul-kumpul soalnya kan ngurus rumah,
belanja buat jualan, nyiapin bumbu-bumbu buat jualan kan kalau sore itu saya jualan mie
ayam didepan sana mbak.
7. Apakah anda tahu alur
pemeriksaan pasien untuk semua
pasien batuk dan/atau alur
pelaporan yanga ada di
Puskesmas?
Informan Utama 2
Kita datang kesana terus daftar dulu mbak habis itu disuruh masuk ke ruangan ketemu sama
petugasnya itu ditanyain yang dirasakan apa aja, sakitnya bagaimana, sama sudah berapa
lama sakit yang dirasa itu. Habis itu di suruh ngluarin dahak, dahaknya lansgung dibawa ke
lab terus suruh nunggu dulu mbak selama seminggu apa ya terus datang lagi ke Puskesmas
buat ambil hasilnya. Hasilnya itu Bapak dinyatakan sakit TB, sama petugasnya dikasih obat
yang warna merah itu mbak sdisuruh tiap hari minumnya ndak boleh lupa. Setelah tau sakit
itu kalau ambil obatnya langsung ndak perlu daftar dulu, langsung nemuin petugas yang
bisanya itu mbak.
Informan Utama 3
Pertama kali kesana kan periksa batuk itu ke pendaftaran mbak, nyerahin kartu identitas
sama ditanya sama petugas yang didepan itu mau periksa apa. Saya jawab mau periksa batuk
Page 261
247
saya terus sama petugasnya suruh nunggu dikasih nomor antrian. Habis itu saya masuk
ketemu sama petugas yang di dalam Pak Wisnu itu, saya ditanyain identitas lagi terus sama
sakitnya apa aja. Setelah itu saya kan batuk ya mbak, disuruh buat periksa dahaknya, dikasih
botol kecil buat wadah dahanya itu. Ya saya ngluarin dahaknya terus saya diantar ke
Laboratorium buat ngasih dahak saya ke petugas disana.petugasnya bilang nanti semiggu
lagi hasilnya baru keluar nanti dihubungi buat ke Puskesmas lihat hasilnya itu. Ya saya habis
seminggu itu dihubungi suruh ke Puskesmas, nyampe sana dikasih tau kalau kena sakit TB
mbak. Ya terus saya dikasih tau buat pengobatan selama 6 bulan habis itu dikasih obat TB
yang warnanya merah itu buat seminggu, nanti sebelum habis suruh kesana lagi buat ambil
obat lagi .
8. Apakah Anda pernah melihat
petugas memberikan penyuluhan
etika batuk kepada petugas
kesehatan, pasien TB maupun
pengunjung Puskesmas yang
lain?
Informan Utama 2
Iya pernah mbak.
Informan Utama 3
Kalau saya ya dikasih tau mbak batuknya itu harus gimana-gimana caranya dikasih tau, tapi
kalau orang lain saya ndak pernah tau.
9. Apakah poster, spanduk,
browsur atau leftlet tentang
penyakit TB yang ada di
Puskesmas?
Informan Utama 2
Ada mbak disana.
Informan Utama 3
Ada mbak.
Penemuan dan Penanganan Kasus
10. Bagaimanaa upaya penemuan
kasus pasien TB yang dilakukan
Informan Utama 2
Kurang tau mbak nek itu saya.
Page 262
248
oleh Puskesmas? Informan Utama 3
Saya ndak tau mbak nek itu.
11. Apa sajakah yang petugas
Puskesmas jelaskan terkait
dengan proses pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan
dalam mendiagnosis pasien TB?
Informan Utama 2
Ya itu to periksa dahak, terus minum obatnya yang rutin, nanti beberapa bulan lagi datang ke
Puskesmas buat periksa dahaknya lagi.
Informan Utama 3
Ya dahaknya itu nanti di periksa dulu di laboratorium buat melihat itu sakit TB, terus
kemarin setelah 3 bulan itu di tes lagi mbak dahaknya. Waktu tes awal itu iya ada apa itu e....
kumannya, terus kemarin itu di tes lagi katanya kumannya itu sudah ndak ada mbak tapi
masih tetap minum obat sampai 6 bulan biar kumannya itu benar-benar hilang terus ndak
sakit lagi.
12. Bagaimana upaya petugas
Puskesmas lakukan untuk
menjamin pasien TB selalu
memeriksakan diri dan
mengkonsumsi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) secara
rutin?
Informan Utama 2
Ya lewat WA mbak komunikasinya, jadi kalau Bapak ada keluhan apa nanti saya langsung
tanya ke petugas Puskesmasnya lewat WA tadi terus langsung di balas mbak.kadang ya
dikasih tau kalau saya lupa obatnya belum diambil kaya gitu, di WA suruh ambil obat ke
Puskesmas nanti saya atau Bapak langsung kesana. Kalau datang kesana ya pasti ditanyain
obatnya teratur diminum apa tidak kaya gitu-gitu.
Informan Utama 3
Saya kalau ada sakit apa gitu kalau lagi ndak periksa ke Puskesmas, sama anak saya di
hubungi lewat e... WA itu lho mbak. Kalau mau ambil obat biasanya anak saya juga sms
dulu ke petugasnya lewat itu tadi. Bisanya ya langsung kesana mbak, langsung ketemu sama
pak Wisnu itu buat ambil obat.
13. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami petugas Puskesmas
Informan Utama 2
Kurang tau ya mbak.
Page 263
249
dalam melakukan penemuan
kasus TB di masyarakat?
Informan Utama 3
Saya ndak tau mbak apa ada kendala apa gimana.
14. Bagaimanaa alur pengambilan
obat untuk pasien TB?
Informan Utama 2
Kadang saya yang datang kesana tapi kadang ya Bapak yang kesana sendiri buat ambil
obatnya. Ya nanti ke pendaftaran dulu buat ngasih kartu Kuning sama kartu BPJS itu baru
masuk keruagan ketemu pak Wisnu, tapi kalau Bapak langsung ketemu sama pak Wisnu
mbak ndak perlu daftar soalnya sudah tau.
Informan Utama 3
Ya saya ke Puskesmas terus langsung ketemu sama pak wisnu itu, terus bialng mau ambil
obat saya. Bapaknya sudah tau mbak, langsung dikasih kan obatnya ndak perlu ngantri kaya
pertama periksa disni.
15. Bagaimanaa petugas TB
melakukan pematauan terhadap
kemajuan hasil pengobatan yang
dijalani pasien TB?
Informan Utama 2
Kalau ambil obat ke Puskesmas sambil periksa itu sering ditanya keluhannya apa aja yang
dirasakan, terus obatnya diminum teratur apa tidak, sama kalau habis minum obat semisal
muntah harus tetap minum lagi itu aja mbak.
Informan Utama 3
Setiap periksa selalu ditanyain keadaannya setelah minum obat lebih sehat apa tidak,
obatnya diminum teratur apa tidak, batuknya bagiamana ditanyain semua mbak sama dicatet
kaya gitu.
16. Bagaimana cara petugas
Puskesmas menentukan orang
yang akan menjadi PMO
(Pengawas Minum Obat) untuk
Informan Utama 2
Pas saya nganter Bapak periksa di Puskesmas dulu itu mbak, saya disuruh buat ngawasi
terus pas minum obatnya setiap hari, jangan sampai lupa ndak minum obat. Kalau obatnya
mau habis terus Bapaknya ndak bisa datang kesana ya saya nanti yang ngambiloin obatnya
kesana, terus kalau ada keluhan apa-apa yang dirasakan saya nanti ngubungi petugas
Page 264
250
setiap pasien TB? Puskesmasnya lewat WA gitu nanti langsung dibalas ndak perlu langsung ke Puskesmasnya.
Merhatikan makanannya, apa aja yang penting bersih terus teratur makannya dan minum
obatnya jadi suruh diatur lagi makannya gitu.
Informan Utama 3
Kan pertama periksa kesana sama anak saya, ya anak saya dibilangin suruh ngingetin saya
buat rajin minum obat jangan sampe lupa ndak minum, terus dimintain nomor HPnya kalau
ada yang mau ditanyakan disuruh sms saja kalau pas lagi ndak periksa.
Pemberian Kekebalan
17. Bagaimana bentuk kerjasama
petugas Puskesmas dengan PMO
pasien TB dalam upaya
melakukan pengawasan minum
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)?
Informan Utama 2
Ya harus selalu diawasi kalau pas jamnya itu minum obat, biasanya yang ditanya itu. Kadang
kita komunikasinya pakai WA itu, kalau ada keluhan apa-apa ya saya tanyanya lewat WA ke
petugas Puskesmasnya.
Informan Utama 3
Ya itu tadi mbak, saya sama anak saya dibilangin buat saya minum obatnya setiap hari ndak
boleh ndak diminum. Kalau mau ambil obat boleh sms dulu atau datang langsung kesana
ndak usah sms ndak apa-apa, kalau lupa belum ambil obat nanti petugasnya yang sms buat
mengingatkan gitu.
Pemberian Kekebalan
18. Bagaimana pelaksanaan
pemberian kekebalan kepada
balita yang dilingkungannya
terdapat penderita TB?
Informan Utama 2
Waktu itu anak saya yang kecil ini di kasih vaksin sama petugas Puskesmasnya pas periksa
kesana sama Bapak, setelah tau kalau Bapak itu sakit TB.
Informan Utama 3
Anak saya ndak dikasih suntikan vaksin mbak. Ini kan 2 anak saya umurnya 6 tahun.
SUMBER DAYA
Page 265
251
Sumber Daya Manusia
1. Menurut Anda, apakah jumlah
petugas kesehatan terkait
program P2TB di Puskesmas ini
sudah memadai?
Informan Utama 2
Kalau saya kurang tau mbak, saya konsultasinya ya sama bu Aisyah sama pak Wisnu. Kalau
sama yang lainnya saya kurang tahu ya mbak, jadi ya ndak tau.
Informan Utama 3
Saya ndak terlalu tahu ya mbak, mungkin sudah. Saya kalau kesana ya langsung dilayani
ndak perlu nunggu lama.
2. Bagaimanaa pelayanan yang
dilakukan oleh petugas TB di
Puskesmas ini?
Informan Utama 2
Pelayanannya sudah cukup baik sih.
Informan Utama 3
Baik mbak pelayanannya disana.
Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
3. Apakah pernah terjadi
kekurangan obat anti
tuberkulosis yang ada di
Puskesmas, saat Anda
melakukan pemeriksaan atau
mengambil obat?
Informan Utama 2
Kalau setiap saya kesana buat ambil obat sih ndak pernah mbak, jadi pas saya sudah sampai
sana lalu ketemu sama petugas nya itu langsung dikasih obatnya. Ndak nunggu lama itu
obatnya sudah disiapkan terus saya langsung ambil langsung pulang.
Informan Utama 3
Kayanya ndak pernah ya mbak, saya kalau kesana ambil obat pasti selalu ada.
4. Bagaimanaa ketersediaan sarana
dan prasarana dalam
penyelenggaraan program P2TB
di Puskesmas?
Informan Utama 2
Ya sudah bagus sih mbak, saya juga kalau kesana langsung menuju ke ruangan yang khusus
buat orang seperti saya gini mbak, yang khusus TB.
Informan Utama 3
Ya sudah lengkap ya mbak, sudah bagus-bagus disana.
Pendanaan
Page 266
252
5. Bagaimanaa pembiayaan yang
dikeluarkan oleh pasien TB
dalam melakukan pengobatan?
Informan Utama 2
Saya pakainya BPJS mbak kalau kesana, terus nanti dikasih ke petugasnya yang biasanya
itu.
Informan Utama 3
Saya selalu bawa kartu BPJS mbak sama kartu yang dari Puskesmas itu, jadi ndak bayar dan
ndak memberatkan.
SISTEM INFORMASI
1. Bagaimanaa
pencatatan/pendataan yang
dilakukan oleh Puskesmas?
Informan Utama 2
Ya waktu pertama periksa di Puskesmas itu aja mbak, kan kami datang kesana buat periksa
terus dicatet sama petugasnya nama, alamat, tanggal lahir, yang dirasakan apa, sakitnya
dimana kaya gitu-gitu. Kalau di rumah belum pernah sih e... pernah mbak sekali itu sama e...
kadernya, itu ditanya keluhannya apa setelah minum obatnya terus disaranin makannya yang
banyak yang sehat gitu gitu, setelah ini belum ada lagi mbak.
Informan Utama 3
Kalau didata itu ya pas awal periksa itu mbak, terus pas ada bidan kesini itu juga dicatat
dikertas gitu apa saja yang saya rasakan selama minum obat seperti itu.
2. Seberapa sering kegiatan
tersebut dilakukan?
Informan Utama 2
Ya baru 1 kali itu ya berarti, di rumah itu 1 kali ini.
Informan Utama 3
Kalau di Puskesmasnya ya sekali itu, kalau sama bidannya yang dulu itu 6 kali mbak datang
kesini mbak.
3. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang dialami
petugas dalam pelaksanaan
Informan Utama 2
Tidak ada.
Informan Utama 3
Page 267
253
pencatatan pasien TB? Ndak tau kalau itu mbak.
KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1. Apakah pihak Puskesmas
melakukan kerjasama dengan
Kepala Desa, Kepala RT/RW,
pemuka agama setempat, atau
organisasi masyarakat di
lingkungan Anda? Bagaimana
bentuk kerjasama tersebut?
Informan Utama 2
Mungkin ada ya mbak, saya sendiri kurang tau kalau itu mbak. Bapak sakit seperti ini aja ya
baru ini, saya tau penyakit ini ya pas Bapak sakit ini mbak, sebelumnya saya ndak tau.
Informan Utama 3
Tidak tau mbak saya, ya mungkin bekerjasama ya mbak. Kalau Posyandu itu sutin mbak,
terus kalau Posyandu juga ada bu RT/RW disana ya mungkin bekerjasama juga sama-sama
kesehatan ya mbak.
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Bagaimana peran Anda dalam
melaksanakan kegiatanan
penemuan kasus TB di
lingkungan mayarakat?
Informan Utama 2
Nggak pernah mbak saya tau ada yang sakit seperti Bapak ini, saya baru tau peyakit TB ya
dari Bapak sakit kaya gini sebelumnya ya ndak pernah tau. Nggak pernah tau mbak saya.
Informan Utama 3
Saya tidak pernah tahu kalau ada orang lain yang sakitnya kaya saya, ya Cuma saya aja
tauhunya mbak. Kalau yang lain saya ndak tahu.
2. Bagaimanaa peran Anda sebagai
masyarakat dalam mendukung
pengobatan penderita TB?
Informan Utama 2
Kalau sama bapak ya saya sering ngingetin minum obatnya setiap hari, ngambil oat ke
Puskesmas kalau sudah mau habis kalau Bapaknya ndak bisa ke Puskesmas sendiri, terus
melakukan saran yang dikasih sama petugas Puskesmanya kaya gitu aja sih mbak.
Informan Utama 3
Saya sendiri ya selalu minum obat setiap hari, jadwalnya periksa atau ambil obat itu ke
Puskesmas ya berangkat kesana mbak, pas batuk selalu saya tutupi pakai tissu terus saya
Page 268
254
buang ke tempat sampah, sama makan yang sehat kaya gitu mbak.
3. Bagaimanaa peran Anda dalam
melakukan pencegahan penyakit
TB agar tidak tertular?
Informan Utama 2
Kalau Bapak batuk ya agak menjauh aja mbak, terus ini si kecil juga jangan dekat-dekat
dulu sama Bapak pas lagi batuk, piring sama gelasnya saya sendirikan, sama makan yang
sehat biar sehat terus mbak. Bapak ya menut mbak kalau minum obat ya minum, waktunya
periksa ya periksa. Paling yang susah itu pakai maskernya mbak ndak mau, jarang-jarang
katanya ndak enak makainya.
Informan Utama 3
Ya pakai masker aja mbak kalau lagi batuk biar ndak menular ke yang lain sama minum
obatnya tadi biar cepat sembuh, tapi ya jarang-jarang mbak. Saya kurang enak kalau
ngomong terus pakai masker, nafasnya jadi ndak lancar gitu mbak. Jadinya jarang pakai
masker saya.
4. Bagaimanaa peran Anda dalam
mengatasi masalah sosial yang
berpengaruh pada upaya
pengobatan pasien TB dan
pemutusan penularan TB?
Informan Utama 2
Disini orangnya baik sih mbak, ndak ngucilkan apa gimana gitu. Tetangganya disini juga
jarang sih mbak kumpul setiap hari paling ya jarang-jarang gitu tapi ya mereka baik sama
Bapak.
Informan Utama 3
Kalau tetangga disini ndak ada yang mengucilkan sih mbak, ya mereka paling tanyanya
kenapa pakai masker ya saya bilang lagi batuk kaya gitu aja sih mbak. Soalnya saya tahunya
sakit TB ya baru saya ini jadi kalau yang lain saya ndak tauhu, kalau saya sendiri ya baik
saja mbak msyarakat disini.
Page 269
255
HASIL WAWANCARA DI PUSKESMAS KARANGMALANG
Informan Utama 1
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Promosi Kesehatan
1. Bagaimana Anda memberikan
sosialisasi kepada pasien TB
yang memeriksakan dirinya ke
Puskesmas?
Kita edukasi untuk penyakitnya lalu pengobatannya sama apa namanya, kontrak indikasi
yang muncul ataupun reaksi obat gitu lho sepertu itu, terus apa namanya untuk terpenuhi
gizinya itu lho, biar gizinya terpenuhi gitu-gitu sih.
2. Bagaiamana Anda melakukan
sosialisasi tentang program
Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis
kepada masayarakat di wilayah
kerja Puskesmas?
Dimasyarakat kita juga sosialisasi, jadi diundang ke kelurahan-kelurahan kita sosialisasi
untuk penemuan kasus, lalu kalau sudah ditemukan kasus juga ada kunjungan rumahnya.
Nanti dari e... bagian penyuluh kesehatan, dari epidemiologi juga ke rumah untuk investigasi
kasusnya. Setiap ada pasien baru, kasus baru dikunjungi dan memberikan edukasi ke
masyarakat. Kunjungan rumah ya bareng sama bagian sanitariannya. Sosialisasi di kelurahan
ya, ini baru berjalan sudah lama dari tahun-tahun yang lalu, setiap kita diundang pasti
penyuluhan. Terus ada lagi Gasurkes itu juga ada target penyuluhannya termasuk
penyuluhan TB, jadi dari Dinas Kesehatan itu merekrut Gasurkes itu tenaga surveilens
kesehatan lha itu surveilansnya selain DB itu mencakup ada TB, HIV dan penyakit-penyakit
yang menular lainnya. Kalau targetnya saya kurang paham ik yang target Gasurkesnya,
kalau dari Puskesmas target suspek TB sebulan 12 orang.
Page 270
256
3. Apaka sajakah media yang
digunakan saat melakukan
sosialisasi kepada msyarakat
sekitar?
Pakai ini aja power point, film cara mengeluarkan dahak yan benar, sama laptop
4. Apakah pihak Puskesmas
melakukan kerjasama dengan
pemangku kebijakan yang ada di
sekitar wilayah kerja Puskesmas,
seperti Kepala Desa, Kepala
RT/RW, pemuka agama
setempat, organisasi
masyarakat? Bagaimana bentuk
kerjasama tersebut?
Iya kerjasama, kita kan dari penyuluhan itu terus yang diundang dari PKK, FKK, RT, RW,
juga dari kelurahan juga itu ada semua. Ya koordinasi kalau misalnya ada warganya yang
ada tanda-tanda seperti gejala TB ya suruh ke Puskesmas itu aja sih. Sebelumnya diberikan
penyuluhan tentang penyakit TB.
5. Bagaimana cara Puskesmas
melakukan advokasi kepada
pemangku kebijakan tersebut?
Iya kerjasama, kita kan dari penyuluhan itu terus yang diundang dari PKK, FKK, RT, RW,
juga dari kelurahan juga itu ada semua. Ya koordinasi kalau misalnya ada warganya yang
ada tanda-tanda seperti gejala TB ya suruh ke Puskesmas itu aja sih. Sebelumnya diberikan
penyuluhan tentang penyakit TB.
6. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
sosialisasi terkait dengan
program P2TB?
Tidak ada sih mbak.
Page 271
257
Surveilans Tuberkulosis
7. Bagaiaman pelaksanaan
surveilans yang Anda lakukan
oleh penemuan kasus TB?
Ya itu bekerjasama sama Gasurkesnya, selain itu juga pasien yang periksa di Puskesmas
yang ada tanda-tanda gejala TB ya di kasih pot dahak. Terus juga dari kontak eratnya pasien
TB juga dikasih pot dahak untuk pemeriksaan TCM. Kerjasama dengan petugas
epidemiologi, sama Gasurkes, terus sama kader Aisiyah yang juga mencari suspek dahak.
Kalau kepatuhan pasien mengembalikan dahak ya ini sih berjalan dengan baik, jadi kalau
misalnya kadang ada yang sampek molor harusnya apa namanya follow up bulan kedua tapi
dia belum bisa mengeluarkan dahak tapi terakhirnya bisa, maksudnya butuh waktu gitu lho
nggak on time yang harusnya waktu seminggu selesai masa awal diagnosis itu melebihi itu
tapi pihak Puskesmas selalu mengingatkan.
8. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami petugas dalam
pelaksanaan surveilans tersebut?
Ya itu pasien mengatakan susah mengeluarkan dahaknya itu lho, padahal kan kita
mendiagnosa dari dahaknya itu. Bilangnya ndak keluar dahak terus, jadikan kita nggak bisa
mensuspek itu sih. Terus apa lagi ya, e... ya kalau pelaporan-pelaporannya kita masih dalam
ini sih penataan.
Pengendalian Faktor Resiko
9. Bagaiaman upaya yang
dilakukan dalam pengendalian
penyakit pada pasien TB agar
tidak terjadi penularan?
Kita edukasi untuk apa cara-cara e... membuang dahak yang benar, cara-cara apa namanya
seperti pakai masker/APD juga untuk pasiennya gitu lho, terus etika batuk seperti itu sih.
10. Bagaiaman upaya yang
dilakukan dalam pengendalian
Ya itu tadi penyuluhan ke warga terus e... apa namanya, jadi dia biar lebih waspada gitu lho.
Kita kan ndak boleh mengasih tahu kalau ada yang sakit d situ, kita maksimalnya ya itu
Page 272
258
faktor risiko pada masyarakat
yang dilingkungannya terdapat
pasien TB?
mengedukasi untuk menjaga lingkungan sama gizinya itu lho biar antibodynya bagus gitu
aja. Partisipasinya sih ya pada ini ya antusias, kooperatif semua gitu untuk mereka sih sudah
sadar untuk itu lho misal batuk guti kan harus periksa gitu-gitum kalau ada ada tetangga atau
saudaranya yang batuk-batuk harus diperiksakan.
11. Apakah Puskesmas juga
melakukan screening terhadap
petugas yang ikut serta dalam
pelaksanaan program P2TB?
SOP itu ada semua mbak. Salah satunya SOP untuk pasien batuk itu harusnya menyediakan
masker, di sini kalau ada yang batuk langsung diberikan masker, semua sih petugas juga
kalau batuk langsung diberikan masker. Di sini juga ada tempat untuk berdahak di belakang
ya itu pjok dahaknya itu ada. Pelaporan itu kalau batuk itu ada namanya ISPA yang kita
ambil pasien batuk dewasa sama pasien batuk balita, tapi karena dari Dinas dan Provinsi itu
mengarahkannya yang pneumonia bukan yang ke TB. Jadi, yang dilaporkan adalah batuk
yang kearah pneumonia.
12. Apakah terdapat Standar
Prosedur Operasional (SPO)
mengenai alur pasien untuk
semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans di
Puskesmas?
Ya selama ini he.eh, dari petugas juga kalau batuk ditutp gitu-gitu. Kalau pelaksanaan
penyuluhan etika batuk itu situasuonal ik kalau misalnya kita ada pasien batuk lha baru kita
langsung memberikan penyuluhan. Tidak terus kita membuat jadwal untuk penyuluhan etika
batuk gitu nggak.
13. Apakah Anda memberikan
penyuluhan etika batuk kepada
petugas kesehatan, pasien TB
maupun pengunjung Puskesmas
yang lain?
Ya itu, kesadaran dari pasien itu sendiri tidak apa ya untuk biar tidak menularkan gitu-gitu to
masih kurang. Jadi di masyarakat, di rumah dia ndak pakai masker gitu-gitu lho, meludah
sembarangan masih seperti orang biasa ya g ndak kena TB gitu lho yang susah jadi itu kan
mainset gitu kan susah untuk dirubah. Harusnya pasien itu harus pakai masker biar tidak
menularkan ke orang lain gitu kan.
Page 273
259
14. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
pengendalian faktor risiko
Tuberkulosis?
Penemuan macem-macem, ada yang dari kader ke Gasurkes lalu ke Puskesmas, ada yang
ditemukan dari petugas Puskesmas kaya kemarin kan ini yang megang program Pak Pri jadi
menyarankan pasien untuk periksa dahak ke Puskesmas dengan pemeriksaan TCM terus
ditemukan jadi kan dari Puskesmas. Ada yang dari gasurkes ke Puskesmas, ada pasien yang
nggak bisa ke Puskesmas kemudian kita bawa pot dahak ke rumahnya terus diambil lagi jadi
kaya ojek dahak gitu lho.
Kalau ada pasien baru kita obati dengan OAT kategori 1 tapi kalau itu kambuhan kita kasih
OAT kategori 2 itu aja sih. Kalau memang dia yang MDR ndak tau, kita juga mengobati
yang MDR cuma rujukan dari Karyadi.
Penemuan dan Penanganan Kasus
15. Bagaiamana langkah penemuan
kasus penderita TB yang
dilakukan oleh Puskesmas?
Pasien yang batuk selama 2 minggu kita kasih pot dahak itu ndak langsung hari berikutnya
dia datang memberikan hasil dahaknya, ya sedatangnya dia, setelah itu dilakukan tes TCM
dahaknya. Kita koordinasi sama Gasurkesnya kalau lama ndak ngasih hasil dahaknya, kaya
kemarin itu ada pasien TB anak terus kita kasih pot 3 kita kontrol terus sama Gasurkes sudah
mengumpulkan dahak belum. Jadi, kita kerjasama sama Gasurkes karena dia yang di
lapangan gitu.
16. Apa sajakah pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan
dalam mendiagnosis pasien TB?
Hanya TCM setelah positif TB, HIV, sama DM. Periksaan yang lainnya itu nggak ada, tidak
ada.
17. Bagaimana upaya yang Anda
lakukan untuk menjamin pasien
TB selalu memeriksakan diri
Ada PMO (Pengawas Minum Obat), jadi e... kalau memang dari pasien nggak ada PMO
kaya ini kan ada pasien yang sendirian di rumah ndak ada keluarga kita alih kan ke Gasurkes
yang menjadi PMO. Setiap hari harus mengawasi minum obatnya di rumah. Dia yang
Page 274
260
dan mengkonsumsi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) secara
rutin?
memastikan obat itu masuk diminum oleh pasien sehari sekali. Waktu meminum obat harus
sama, kalau pagi ya pagi terus. Kalau malem ya malem terus, satu waktu itu. Gasurkes yang
dia jadi PMO diarahkan minumnya pagi, soalnyakan kalau malem piye carane... susah to.
18. Apa sajakah kendala/hambatan
yang Anda alami dalam
melakukan penemuan kasus Tb
di masyarakat?
Kendalanya apa, ya kan kita ndak tau kaya TB anak itu e... kadang obat masuk apa nggak,
tapi ibunya bilang ya obatnya masuk. Saya seringnya bilang meskipun sampai muntah ya di
ini lagi diminum lagi obatnya, itu aja sih.
Sementara ini kalau ada pasien yang mengeluh tentang efek samping obatnya, mereka beli
obat sendiri di apotek seperti obat anti mual kaya gitu ndak apa-apa. Kalau ndak ya mereka
periksa kesini untuk e... efek sampingnya tapi obat tetep masuk.
19. Bagaiamana prosedur
pengambilan obat untuk pasien
TB?
Pasien kalau dateng kesini didaftar tanpa mengantri terus menunggu diambilkan obat oleh
petugasnya, biasanya perawat yang mengambilkan. Kalau pasien baru kan tetep dia sudah di
tes TCM to sudah didaftarkan, jadi ya sama perlakuannya sama.
20. Bagaiaman cara Anda
menentukan orang yang menjadi
PMO (Pengawas Minum Obat)
untuk setiap pasien TB?
Ini karena saya disinikan baru, jadi selama ini sejauh ini belum ada yang seperti itu tetapi
berdasarkan pengalaman saya di Puskesmas lain yang dulu-dulu kita kunjungan mangkir
namanya. Jadi, kita kunjungan mangkir terus menanyakan kenapa kok ndak berobat, ada
masalah apa, alasannya apa. Petugas TB yang langsung mengunjungi rumah pasien mangkir.
Saat pasien mangkir tetap tidak mau melanjutkan pengobatan ya kita ndak bisa berbuat apa-
apa ya karena dia sudah menolak tapi apa... kita tetap edukasi terus-menerus bahwa jangan
putus semangat gitu-gitu sih, maksudnya lebih ke motivasi-motivasi ke pasien biar berobat
lagi gitu.
21. Bagaiamankah Anda
menyampaikan tugas manjadi
Kita kan edukasinya harus apa namanya diawasi terus minum obatnya jangan sampai lupa
paling gitu-gitu sih, ya jangan sampai hari itu ndak minum. Sosialisasi kepada PMO tentang
Page 275
261
seorang PMO? tugas dan perannya itu harusnya iya ada, cuma kadangkan pasien ada yang kesini tanpa
PMO jadi kita ya edukasinya kurang hanya ke pasiennya saja gitu. PMO taunya hanya
mengambil obat terus mengawasi minum obatnya.
22. Bagaiaman koordinasi Anda
dengan PMO pasien TB dalam
upaya melakukan pengawasan
minum Obat Anti Tuberkulosis
(OAT)?
Koordinasiya kita kan ada nomor HP PMO, jadi kita bisa kalau misalnya PMO nya
jadwalnya ambil obat kok belum ambil jadi kita baru menghubungi secara pribadi, gimana
ya sakit begitu masak mau di buat grup ini kan ndak etika ini kan ndak bisa.
Pemberian Kekebalan
23. Bagaimana pelaksanaan
pemberian kekebalan kepada
balita yang dilingkungannya
terdapat penderita TB?
Anak bayi diimunisasi BCG usia 9 bulan. Bila ada 1 rumah terkena TB, maka anak balita
diberi PPINH selama 6 bulan.
24. Bagaimana pemberian
kekebalan kepada ODHA yang
terkena penyakit TB?
Saya belum dan semoga tidak menangani ODHA dengan TB.
SUMBER DAYA
Sumber Daya Manusia
1. Apakah jumlah sumber daya
manusia di Puskesmas ini sudah
memadai? Siapa sajakah petugas
yang terlibat dalam pelaksanaan
Sumber daya manusia di Puskesmas sudah sih, sudah cukup. Sudah sesuai sih sama
peraturan, seperti programer TB, petugas laboratorium, dokter, perawat. Pemegang program
TB juga bekerjasama dengan bidang lain, seperti petugas epidemiologi, gasurkes
pengendalian penyakit, dan bidan.
Page 276
262
program P2TB?
2. Apakah beban kerja rangkap
mempengaruhi pelaksanaan
program P2TB di Puskesmas?
Ya... ya, kalau disini kan kita dobel-dobel. Kalau sementara ini saya hanya memegang
program TB sih, kalau yang kemarin saya rangkap jadi bendahara barang jadi kan memang
mempengaruhi. Kalau sekarang ini saya ndak, ini saya hanya pegang program TB saja.
3. Bagaimanakah pelatihan yang
diterima oleh petugas pelaksana
(pemegang program, petugas
laboratorium, dan dokter)
program Pencegahan dan
Pengendalian Tuberkulosis di
Puskesmas ini?
Iya kita ada apa namanya... ya kita ada pelatihan-pelatihan. Pelatihannya itu ndak mesti
tergantung Dinas yang mengadakan.kalau dari Puskesmasnya sendiri ndak ada pelatihan,
menuggu dari Dinas. Berapa kali ya, saya selama disini belum pernah ada pelatihan.
4. Seberapa seringkah petugas
mendapatkan pelatihan tersebut?
Saya selama disini belum pernah ada pelatihan.
5. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam
menjaga kualitas sumber daya
manusia terkait program P2TB
di Puskesmas?
Kendalanya ndak ada.
Ketersediaan Obat Dan Perbekalan Kesehatan
6. Bagaiamanakah ketersediaan
obat anti tuberkulosis yang ada
Jadi kita kalau misalnya obatnya e... perlu obat yang pasien baru sudah ada stoknya.
Permintaan obatnya itu ke IF (Instalansi Farmasi), online semua mbak sekarang. Alurnya itu
dari Puskesmas kita ke IF dulu permintaan obat lewat aplikasinya simanis namanya, setalah
Page 277
263
di Puskesmas? kita permintaan obat diaplikasi simanis kita nunggu dikonfirmasi sama DKK dan juga IF.
Setelah itu, disimanis itu diaplikasi sudah dikonfirmasi sudah tanda centang itu kita baru
bisa cetak, cetak permintaan obat. Cetak permintaan obat baru kita ambil di IF dengan
membawa e... cetak form permintaan obat itu dengan tanda tanga Kepala Puskesmas dan
bagian Farmasi Puskesmas. Jadi, kemarin sudah minta itu to sudah diacc kita tinggal
ngambil, lebih mudah sekarang karena aplikasi ya.
7. Bagaiamana ketersediaan sarana
dan prasarana dalam
penyelenggaraan program P2TB
di Puskesmas?
Sarana dan prasarana sudah cukup. APD juga sudah cukup ya.
8. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam
pengadaan ketersediaan obat/alat
kesehatan/sarana dan prasana
terkait program P2TB di
Puskesmas?
Tidak ada.
Pendanaan
9. Bagaiamana ketersediaan dana
dalam pelaksanaan program
Pencegahan dan Penggulangan
Tuberkulosis?
Tidak ada dana, dari Dinas semua. Obat dari Dinas, pelaporan kita online. Dana dari BOK,
tapi kalau kita ada penyuluhan itu yang mendanai dari FKK soalnya kita menunggu di
undang.
10. Bagaiamana alokasi dana yang
digunakan untuk
Nggak pakai dana, ya seperti yang sudah saya katakan tadi mbak.
Page 278
264
penyelenggaraan program
P2TB?
SISTEM INFORMASI
1. Bagaiamana pencatatan dan
pelaporan yang dilakukan oleh
Puskesmas kepada Dinas
Kesehatan Kota Semarang?
Pencatatan dan pelaporan kita online, ada aplikasinya namanya SITT (Sistem Informasi
Terpadu Tuberkulosis) itu sudah sampai pusat, terus ada lagi si Semar Betul dari Dinas
Kesehatan. jadi, nanti rencananya kan ini aplikasinya kita sekali ngisi bisa langsung ke
laporan yang ke pusat (Dinas Kesehatan) pakai Semar Betul. Setiap ada pasien baru itu kita
masukkan ke Semar Betul, seperti kemarin itu sudah terlaporkan semua pasien yang bulan
itu, jadi setiap bulan ada pelaporan. Selain itu, ada pelaporan bulanan SIK (Sistem Informasi
Puskesmas) disitu kita kita juga ngisi jumlah pasien kita bulan itu, kemudian di kirimkan ke
Dinkes. Jadi, distu kita ngisinya itu pasien untuk bulan ini berapa misalnya kemarin bulan
agustus kita pelaporan maksimal tanggal 2 harus pelaporan ke Dinkesnya.
2. Seberapa sering kegiatan
tersebut dilakukan?
Setiap saat mbak, kalau ada pasien berobat langsung diinput ke sistemnya tadi Semar Betul,
kalau ke pusatnya pakai SITT.
3. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang dialami
petugas dalam pelaksanaan
pencatatan dan pelaporan?
Ya ini hambatannya karena apa ya kemarin itu kita belum melaporkan Semae Betul lho, jadi
sekarang sudah sih kurang koordinasinya yang masih kurang tapi sekarang sudah bisa
teratasi. Kurang karenakan itu kalau kita ngisis aplikasi harus dari petugas TB ke
laboratorium (laboratorium masuk sendiri), terus dari laboratorium ke petugas TB lagi, jadi
aplikasinya itu kita punya ini sendiri user sam password sendiri-sendiri gitu lho antar
petugas. Koordinasi antar petugas ada sedikit hambatan, kemarin yang peidemiologi harus
kunjungan rumah tapi nunggu kita. Jadi, dia itu satu kasus TB harus ada kunjungan di
sekitarnya 20 apa ya, 20 orang disekitar pasien kasus TB itu. Jadi, dia kemarin mengejar kita
petugas Tbnya karena kita belum sampai ke pendiagnosaan. Kita sampai ke pendiagnosaan
Page 279
265
itu setelah mendata pasien terus dikonfirmasi sama apa namanya, petugas laboratorium kita
mendiagnosa jadi memang alurnya keluar masuk dari aplikasi gitu lho. Pelaporan
membutuhkan waktu 2 harian kayanya ya, sekarang sudah tinggal penjadwalan karena kita
juga harus mengisi penjadwalan juga. Diagnosa awal dari petugas TB ke petugas laborat itu
1 haru bisa, jika petugas laboratnya ada.
KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1. Bagamana supervisi yang
dilakukan oleh Dinas kesehatan
Kota Semarang di Puskesmas?
Setahun sekali supervisi dilaksanakan di Puskesmas, tapi untuk sekarang ndak tau ya karena
online semua untuk penjadwalan supervisi ndak tau saya. Tahun kemarin sudah dilakukan
sekali.
2. Bagaiaman pertemuan
monitoring dan evaluasi yag
dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kota Semarang? Seberapa sering
dilakukan!
Dari Dinas em... ndak mesti ya mbak, jadikan kemarin itu kita diundang tapi sekarang belum
ada undangan lagi. Jadi, dari Dinas kita ngikutinnya ndak tau jadwalnya berapa sekali
setahun, kalau dulu waktu masih ada KNCV bisa dilakukan 10 sampai 12 kali dek dalam
setahun. Kalau untuk sekarang mungkin 2 bulan sekali atau 3 bulan sekali.
3. Bagaiaman kegiatan monitoring
dan evalasi yang dilakukan di
Puskesmas?
Kalau di Puskesmas ada minlok (mini lokal karya) itu kita jadi melaporkan kinerja kita
setiap bulan kepada Kepala Puskesmas, kalau dengan kader atau Gasurkes ada sebulan
sekali. Kegiatannya ya presentasi capaian kinerja dan target-targetnya, untuk capaian target
Gasurkes yang menargetkan dari Dinas.
4. Bagaiamana bentuk kerjasama
yang Anda dilakukan dengan
lintas program yang ada di
Puskesmas?
Ya jelas to. Misalnya di program apa ya e... PTM (Penyakit Tidak Menular itu kan ada DM
gitu-gitu kan, itu juga yang dicurigai TB juga jadi kita misalnya apa namanya penyakit DM
kalau misalnya batuk sebisa mungkin harus dicek dahak juga karena lebih rentang. Terus
misalnya TB anak itu kan harus kerjasama dengan KIA, e... sama ini epid jadi petugas
epidnya itu kan dia yang melakukan kunjungan rumah kita kerjasama untuk pasien TB biar
Page 280
266
bisa tertangani.
Bagaiamana bentuk kerjasama
yang Anda lakukan dengan
lintas sektoral (fasilitas
kesehatan milik swasta, kerja
sama dengan sektor
industri/perusahaan/tempat
kerja, dan kerja sama dengan
lembaga swadaya masyarakat
(LSM))?
Ya jelas to. Misalnya di program apa ya e... PTM (Penyakit Tidak Menular itu kan ada DM
gitu-gitu kan, itu juga yang dicurigai TB juga jadi kita misalnya apa namanya penyakit DM
kalau misalnya batuk sebisa mungkin harus dicek dahak juga karena lebih rentang. Terus
misalnya TB anak itu kan harus kerjasama dengan KIA, e... sama ini epid jadi petugas
epidnya itu kan dia yang melakukan kunjungan rumah kita kerjasama untuk pasien TB biar
bisa tertangani.
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Bagaiaman upaya Puskesmas
untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam penemuan
kasus TB?
E... masyarakat yang ada keluhan batuk... itu dari kader Aisiyah itu juga aktif nyari suspek,
dari Gasurkes juag jadi masyarakat sudah sadar kesehatan sih maksud e oh iya tonggoku
batuk gitu selanjutnya cel]k dahak. Jadi, udah aktif sih masyarakatnya, kritis gitu lho mbak.
2. Menurut Bapak, seberapa besar
peran serta masyarakat dalam
mendukung pencegahan dan
pengobatan penyakit TB?
Kalau selama ini kan kita memang e... pasien dirahasiakan indentitasnya itu ka etika ya ada
kode etiknya untuk pasien TB, jadi karena itu kita ada keterbatasan dari peran serta
masyarakat dalam pengobatan. Masyarakat ndak tau kalau ada tetangganya yang sakit TB to
gitu, jadi ya paling ya hanya itu kalau ada yang batuk suruh priksa gitu aja. Kalau misalnya
masyarakat dia tau dia menyemangati ndak mungkin to.
3. Bagaiamana upaya Puskesmas
untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam mengatasi
Ya itu tadi pencegahannya kalau ada yang batuk periksa terus e... kaya untuk kebersihan
gitu-gitu to, sanitasi di rumah ditingkatkan. E... apa ya juga di ini kan di warga itu kan
RT/RW nya juga dateng kan waktu penyuluhan, jadi dia menyalurkan lagi ke warganya.
Page 281
267
faktor sosial yang berpengaruh
pada penanggulangan TB?
4. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam peran
serta masyarakat terhadap
program P2TB di Puskesmas?
Ya itu tadi pencegahannya kalau ada yang batuk periksa terus e... kaya untuk kebersihan
gitu-gitu to, sanitasi di rumah ditingkatkan. E... apa ya juga di ini kan di warga itu kan
RT/RW nya juga dateng kan waktu penyuluhan, jadi dia menyalurkan lagi ke warganya.
Informan Utama 2
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
1. Apakah Anda menyampaikan
infromasi tentang penyakit TB
kepada pasien terduga TB ketika
melakukan pemeriksaan
mikroskopis di Puskesmas?
Iya, kita kan kalau di laboratorium kan erimanya rujukan dari BP misalnya untuk
pemeriksaan dahak biasanya menyampaikan bahwa ini Anda diperiksa dahaknya untuk
mengetahui apakah ada kuman TBC didalam paru-parunya.
Pemeriksaan sputum dahak kalau untuk yang terduga itu kita Cuma packing, jadi yang
periksa itu kita rujuk ke Karyadi. Kalau untuk pemeriksaan ulang bulan kedua, bulan kelima,
dan akhir pengobatan kita periksa sendiri pakai apusan dan pengecekan spesimen. Lama
pemeriksaan yang dilakukan paling lama ya satu jam. Kalau follow up pasien biasanya kan
sama ngambil obat kemudian dia sama dikasih pot dahak, hari berikutnya dia bawa pot
dahak tersebut ditinggal lalu menyampaikannya ketika dia mengambil obat kembali. kita
bisanya ya kadang sekitar 3 hari baru kesini lagi buat menyerahkan dahak. Kalau terduga TB
biasanya tidak kembali lagi menyerahkan kembali pot dahaknya, itu ada.
2. Bagaiamana pelaksanaan
pemeriksaan sputum yaitu
sewaktu pagi sewaktu sebagai
Dari dahaknya itu kan yang keluar dipagi hari di cek disini, terus nanti dilihat hasilnya
positif atau negatif, karena sekarang kan ada alat yang lebih cepat lagi dalam melihat
dahaknya itu di Karyadi alatnya. Kami kirim dahak kesana, besoknya udh bisa keluar
Page 282
268
screening awal penyakit TB di
Puskemas ini?
hasilnya lewat aplikasi.
3. Apakah pasien secara rutin
melakukan pemeriksaan
tersebut? Berapa kali
pemeriksaan dilakukan?
Kalau pasien TB itu ya bulan kedua, bulan kelima, sama bulan terakhir pengobatan.
4. Bagaiamana ketersediaan
sumber daya manusia dalam
pelaksanaan pelayanan
Laboratorium di Puskesmas ini,
apakah sudah mencukupi atau
belum?
Ada 2 petugas laboratorium di sini sudah mencukupi.
5. Bagaiamna cara melakukan
penegakan diagnosis awal
seorang terduga pasien TB di
Puskesmas ini?
Iya itu tadi lewat TCM (Tes Cepat Molekuler) yang ada di Karyadi sama Tugu Rejo, tapi
saya merujuknya ke Karyadi. Dahak akan dibawa oleh kurir ke sana, kurirnya ada sendiri.
Kalau kurirnya ndak bisa biasanya mas Hendi yang kirim. Kalau hasil TCM untuk
lembarannya kita biasanya ngambilnya kalau pas kita kesana, cuma kan aplikasinya SITRAS
itu kan kita bisa lihat biasanya hari berikutnya sudah keluar.
6. Bagaiamana pelatihan yang
diperoleh oleh petugas
Laboratorium untuk
meningkatkan keahliannya daam
melaksanakan tugas? Berapa
Kalau pelatihannya ndak mesti ada, terakhir ada pelatihan itu tahun 2017. Kemarin itu
pelatihan terkait mikroskopisnya, jadi kita membuat sediaan sama membaca hasilnya.
Page 283
269
kali dilakukan pelatihan!
7. Bagaiamana keadaan fasilitas
dan peralatan yang diperlukan
untuk pelaksanaan pemeriksaan
penyakit Tuberkulosis di
Puskesmas ini?
Kalau peralatannya sudah mencukupi tapi kalau untuk tempatnyakan harusnya kan
jendelanya besar tempatnya juga harusnya luas. Pengadaan itu kita pakai dana BLUD.
8. Bagaiaman ketersediaan alat
pelindung diri yang terdapat di
Puskesmas ini?
Sudah cukup, biasanya APD yang digunakan itu jas Lab, masker sama sarung tangan.
9. Bagaiamana pelaksanaan
pemantapan mutu internal
Laboratorium di Puskesmas ini?
Untuk Tb kita juga jarang sih mbak soalnya, baru tahun ini kita dapat pasien positif TB 6
orang biasanya cuma 2 orang. Jadi kita yang untuk pengecekan kan cuma follow up, tahun
ini aja baru sekali. Kita periksanya kan cuma yang follow up-follow up saja. ini ada pasien
baru 5 orang tapi belum saatnya follow up
10. Bagaiamana ketersediaan
Prosedur Tetap (Protap) untuk
seluruh proses kegiatan
pemeriksaan Laboratorium di
Puskesmas ini?
Pakainya SOP digunakan
11. Bagaiamana pemeliharaan,
pengadaan, dan uji fungsi yang
dilakukan dalam peningkatan
mutu Laboratorium di
Ya itu to pakainya kalibrasi satu tahun sekali, kalau peralatan sehiri-hari ya tiap hari kita
bersihkan.
Page 284
270
Puskesmas ini?
12. Bagaiaman ketersediaan standar
operasional prosedur terkait
dengan keamanan dan
keselamatan kerja di Puskesmas
ini?
SOP ada.
13. Apakah dilakukan screening
terhadap petugas yang terlibat
dalam pelaksanaan program
P2TB di Puskesmas ini?
Belum pernah, kita kan paling pemeriksaannya PTM saja yang setiap dua kali setahun.
14. Bagaiaman alokasi dana yang
digunakan untuk Laboratorium
dalam pelaksanaan program
P2TB di Puskesmas ini?
Dananya dari dana BLUD biasanya digunakan untuk kalibrasi alat, kalau TB kita reagen
dapat dari Dinas Kesehatan.
15. Bagaiamana koordinasi yang
dilakukan oleh petugas
Laboratorium di Puskesmas
dengan Dinas Kesehatan Kota
Semarang dalam melakukan?
Kegiatannya kalau yang monev itu untuk tahun kemarin setahun bisa 4 kali setiap triwulan
terus kita ngirim crosschek lab itu kalau ada itu dikirim ke Balai Lakes Provinsi lewat DKK
secara online dan juga slidenya kalau ada. Kalau sekarang pertemuannya ndak ada, kita
cuma crosschek aja. Triwulan pertama kita ngirim, triwulan kedua kita ndak ada yang
periksa. Kalau hambatan sih untuk saya ndak ada.
16. Bagaiaman pencatatan dan
pelaporan yang dilakukan oleh
petugas Laboratorium dengan
Ada tiap lokmin tiap satu bulan sekali. Kalau kita lokmin kan kita sampaiakan capaian
kinerja kita misalnya bulan ini dapat suspek berapa, terus capaiannya dari bulan januari
sampai bulan ini berapa jadi kita kan target itu kurang berapa dari pemegang programnya
Page 285
271
Dinas Kesehatan? yang menyampaikan
17. Bagaiaman monitoring dan
evaluasi pelayanan
Laboratorium yang dilakukan
dengan Dinas Kesehatan?
Kendalanya sih ndak ada, paling ya nyari suspeknya itu yang susah.
18. Bagaiaman monitoring dan
evaluasi pelayanan
Laboratorium yang dilakukan di
puskesmas ini?
Ya ketersediaan itu bahankalau reagen itu tahun kemarin sampai numpuk-numpuk 4 kardus
itu ndak kepakai semua sampai expaiyed, sekarang malah ndak ada/ndak dapat reagen. Dulu
kan dapet terus sampai turah-turah lah. Kalau yang dari DKK biasanya kita sudah diplot
dapetnya sekian. Tahun ini kayanya cuma reagen, kalau slide itu masih banyak.
19. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang Anda
dialami dalam pelaksanaan
program P2TB?
Pelaporannya khusus TB, saya leporan ke pemegang programnya terus nanti yang laporan ke
Dinasnya pemegang program.
20. Apa sajakah yang perlu
dilakukan oleh Puskesmas untuk
meningkatkan kualitas
pelayananan Laboratorium
untuk penyakit TB?
Ya kalau ada pembaharuan, kalau analis paling setahun berapa kali ya. Kalau tahun kemarin
itu kan masih ada bantuan yang dari LSM Belanda yaitu KNCV itu kan 3 bulan sekali
kegiatannya itu biasanya sosialisasi juga lalu monitoring juga. Kalau pemegang program tiap
bulan malahan. Monev itu dari Dinkes, Balai Lake, sama KNCV itu. Kita kan rujuknya ini
ke Balai Lakes Provinsi.
Informan Utama 3 dan 4
Page 286
272
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Promosi Kesehatan
1. Bagaiaman Anda melakukan
sosialisasi tentang program
Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis
kepada masayarakat di wilayah
kerja Puskesmas?
Informan Utama 3
Kan dilakukan dengan penyuluhan mbak, jadi kan bisa dengan penyuluhan kaya gitu. Setiap
Gasurkes kan memiliki daerah binaan, kalau saya dapetnya di Kelurahan Bubakan, jadi nah
setiap Kelurahan itu mempunyai jadwal untuk pertemuan. Entah itu pertemuan di Kelurahan
atau di Rt/Rw, nah disitu saya menyampaikan penyuluhannya dari situ. Bisa juga kalau
waktu pemantauan jentik juga screening, pada saat screening itu juga ditanya tentang
keluhan TB tanda gejalanya itu sekalian tak kasih penyuluhan gitu, jadi ada 2 gitu metode
yaitu waktu pertemuan saya masuk sama waktu kunjungan rumah. Jadi, dari Dinas
Kesehatan itu kalau screening di target, setiap minggu itu harus melakukan screening ke 50
orang gitu. Jadi sekalian pemantauan jentik sekalian screening, kalau screening itu tidak
hanya TB aja meliputi HIV dan kusta gitu sekalian ditanya gitu. target penyuluhan dari
Informan Utama 4
Ya sosialisasinya langsung terjun ke masyarakat kalau ada pertemuan maupun ada
koordinasi itu, rapat-rapat langsung dibicarakan. Rapat koordiasinya dilakukan dengan FKK,
PKK, Kelurahan diwilayah masing-masing, RT, RW, sama kader. Kalau saya di Kelurahan
Polaman sama Karangmalang karena pembagian langsung dari Kepala Puskemas kebetulan
saya dikasihnya 2 sementara yang lain sih 1.
Perencanaannya ya kita sebelumnya kontrak waktu dulu. Biasanya awal kontrak waktu kalau
udah tau jadwalnya nanti kader yang ngasih tau kita, ya udah dateng mau ngisi apa
soasialisasi apa nggak TB aja.
2. Apaka sajakah media yang Anda Informan Utama 3
Page 287
273
digunakan saat melakukan
sosialisasi kepada msyarakat
sekitar?
E... paling sering makai leaflet tapi saya seringnya bicara langsung gitu, tapi kan jarang
kalau pakai PPT kan jarang disini. Langsung aja, paling sama leaflet gitu kalau butuh.
Informan Utama 4
Medianya bisa ceramah, lembar balik, tanya jawab gitu, sama PPT terus kita kaya memberi
apa namanya itu leaflet gitu lho dikasihkan aja biar nanti disampaiakan ke masyarakatnya
masing-masing. Kan kalau kita penyampaian informasinya ke kelompok-kelompok
masyarakat tadi to terus meraka pada nulis baru nanti disampaikan ke warganya.
3. Apakah pihak Anda melakukan
kerjasama dengan pemangku
kebijakan yang ada di sekitar
wilayah kerja Puskesmas, seperti
Kepala Desa, Kepala RT/RW,
pemuka agama setempat,
organisasi masyarakat dalam
penemuan kasus TB?
Bagaimana bentuk kerjasama
tersebut?
Informan Utama 3
Iya, kan contohnya kan di setiap Kelurahan itu ada FKK. Lha dari situ jadi saling membantu
gitu, mungkin kalau ndak dapet suspek ndak dapet orang yang maksudnya suspek batuk gitu
lho kaya nanti ada yang ngasih tau. Kalau kendalanya dari kelurahan tidak ada, tapi kalau
kendalanya dari masyarakat itu masyarakat kurang terbuka misalkan ya kan setiap mungkin
dia merasa canggung atau gimana ya kalau discreening itu belum bisa mengatakan semua
keluhannya.
Informan Utama 4
Iya, he.em. kerjasamanya ya kita saling koordinasi langsung kalau ada kasus ya kita
koordsinasi dimama, wilayahnya mana terus cara penanggulangannya gitu, saling suport
satu sama lain. Kan ini kita setiap hari ketemu, kaya ini saya setiap hari ke kantor Kelurahan
ada Pak Lurahnya, ada Humsosnya.
4. Bagaimana cara Anda
melakukan advokasi kepada
pemangku kebijakan tersebut?
Informan Utama 3
Kita awalnya sosialisasi ke Pak Lurah beserta jajarannya tentang penyakit TB terus
penanggulangannya seperti apa sama langkah-langkah yang perlu dilakukan kalau
menemukan pasien terduga TB harus apa kaya gitu-gitu aja sih. Disini juga ada FKK nya
jadi otomatis mereka juga sering mengundang petugas Puskesmas buat sosialisasi untuk
Page 288
274
meningkatkan kesehatan warganya.
Informan Utama 4
Melakukan advokasi ya memberi tahu apa yang ada di wilayah kendalanya apa terus gimana
caranya biar warga itu bisa lebih terbuka sama kita kalau ada yng sakit itu jangan ditutup-
tutupi, bilang sama kadernya jangan malu kalau nggak nggeh langsung datang aja ke
Puskesmas.
5. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
sosialisasi terkait dengan
program P2TB?
Informan Utama 3
Tidak ada mbak.
Informan Utama 4
Hambatannya ya ada warga yang kurang terbuka kaya gitu terus masih ini ya kalau yang
sakit itu jarang pakai masker, itu aja sih hambatannya.
Surveilans Tuberkulosis
6. Bagaiaman pelaksanaan
surveilans yang dilakukan untuk
menemukan kasus TB di
masyarakat?
Informan Utama 3
Jadi, e... penemuan kasus itu bisa dengan saya waktu screening. Jadi, saya waktu screening
kan screening dilakukan e... setiap minggu ditergetkan kan 50 orang minimal. Lha misalkan
di rumah ini terdapat lebih, satu rumah kan nggak mungkin satu orang itu kan jarang sekali,
itu kan minimal 2 atau 3 atau sampai 6 orang. Lha dari situ kan nanti sekalian pematanuan
jentik sekalian ditanya disitu keluhannya apa ditanya. Lha sudah itu, berarti kalau udah
menjurus ke satu itu yang pentingkan batuk berdahak sudah lebih dari 2 minggu, lha dari
situ kok misalkan. Lha nanti kan saya itu dapat suspek, itu dapat suspek satu misalkan. Lha
pot dahak itu saya kasih ke yang suspek itu, kalau nggak bisa ke Puskesmas ya saya e... apa
buat tampungan dahak tak kasihkan ke orangnya nanti saya pagi ambil langsung tak kasih ke
Puskesmas. Kalau orangnya bisa ke Puskesmas, saya suruh ke Puskesmas itu dengan cara
screening. Kalau yang kedua dengan itu informasi dari kader atau mungkin dari URP atau
Page 289
275
warga setempat yang mengetahui kalau ada orang yang batuk lama lebih dari 2 minggu, lha
itu saya kunjungi saya analisis apakah bener atau tidak. Kalau bisa ke Puskesmas priksa dulu
ke Puskesmas tapi kalau tidak ya tak kasih pot dahak itu. Lha nanti batuknya itu bangun
tidur nanti ditaruhkan, lha paginya langsung tak ambil tak bawa ke Puskesmas.
Informan Utama 4
Penemuan kasusnya, pelaksanaannya ya yang pertama kita screening. Kalau udah screening
kan kalau ditemukan suspek, suspek yang masuk tanda dan gejala TB berarti dia disarankan
untuk periksa terus nanti kita beri pot dahak untuk dia nanti dibawa ke Puskesmas.
Pengembalian pot dahaknya itu kebanyakan pasiennya sendiri yang membawa kalau nggak
pasien ya keluarganya, soalnya kan kebanyakan pada bekerja jadi menentukan jamnya
mereka sendiri. Saya kalau advokasi buat periksa mereka patuh.
7. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami petugas dalam
pelaksanaan surveilans tersebut?
Informan Utama 3
Banyak e... jarang ditemu suspek gitu. Masih banyak masyarakat yang kurang terbuka jadi
jarang yang terduga suspek gitu. Mungkin kalau yang terbuka itu yang deket sama petugas
atau kader yang udah tau, tapi ada juga yang emang bener-bener kalau itu nggak tau kalau
itu sakit tiba-tiba udah pengobatan di Rumah Sakit.
Informan Utama 4
Untuk kendalanya ya tadi itu masyarakat e... banyak yang kurang terbuka untuk e... yang
sakit batuk, terus ya mungkin takut untuk periksa. Periksanya ya mungkin keluar ndak di
Puskesmas, biasanya gitu di Rumah sakit atau dimana gitu.
Pengendalian Faktor Resiko
8. Bagaiman upaya yang dilakukan
dalam menyusun rancangan
rencana tindak dan respon cepat
Informan Utama 3
Lha tadi dengan penyuluhan tadi kan diajarkan e... kalau ada pasien dengan positif TB
disarankan untuk memakai masker, terus yang kedua kalau batukpun juga e... pakai tissu
Page 290
276
terhadap faktor risiko penyakit
TB?
atau nggak ya minimalkan jangan langsung disemburkan ke orag lain sama kalau e...
dirumahnya itu seminim mungkin ada fentilasinya, ya harus e... pintu tapi juga jendela tapi
juga atapnya juga ada yang terbuka buat fentilasinya gitu, pencahayaannya gitu.
Informan Utama 4
Rancangan tindakan ya itu kalau ada yang sakit batuk di sekitarnya atau di keluarganya itu
juga disarankan untuk periksa, untuk penanggulangannya seperti itu sih, investigasi
kontaknya di sekitarnya.
9. Bagaiaman Anda menganalisis
potensi ancaman penyakit,
sumber dan cara penularan, serta
faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap penularan penyakit
TB?
Informan Utama 3
E... ya itu sebisa mungkin e... jadi kalau e... misalkan di wilayah tersebut di RT si A ada
kasus TB misalkan ada orang terkena TB, lha itu kita diwajibkan dari Dinas Kesehatan itu
untuk melakukan investigasi kontak di area sekitarnya e... 2 sampai 5 rumah disekitar
pasien yang kena TB yaitu e... diwawancara gitu, discreening apakah batuk atau tidak. Kan
bisa juga penularannya kan nggak tau, kalau TB kan lewat udara. Biasanya dari situ
mengantisispasinya dari situ, jadi investigasi kontak disekitar orang yang terkena TB.
Informan Utama 4
Kalau analisis sumber penularan nggak, cuma kita wawancara aja itu yang melakukan bukan
saya tapi yang melakukan itu epid. Jadi, seperti dia bekerjanya dimana, apakah ditempat
bekerjanya tertularnya disana atau nggak kaya gitu, terus kerjanya apa. Petugas epid yang
melakukan analisis itu.
10. Bagaiaman upaya yang
dilakukan dalam pengendalian
faktor risiko pada masyarakat
yang dilingkungannya terdapat
penderita TB?
Informan Utama 3
Yang pertama sih kita ke pasiennya sendiri yang terkena TB harus pakai masker gitu, jangan
meludah sembarangan soalnya TB kan menularnya lewat udara.
Informan Utama 4
Upaya yang dilakukan ya kita penyuluhan aja biar mereka itu tau dan sadar akan bahayanya
Page 291
277
TB itu biar saling terbuka terus bisa dikasih tau ke keluarganya masing-masing. Stigma
negatif tentag TB di masyarakat nggak ada sih mbak, e... mereka tau kalau itu sakit tapi ya
ndak ada perbedaan atau apa masih sama. Soalnya yang sakitpun udah sadar oh iya sakit
terus harus pakai masker.
11. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami dalam melakukan
pengendalian faktor risiko
Tuberkulosis?
Informan Utama 3
Tidak ada kendala.
Informan Utama 4
Hambatannya mungkin nggak ada sih mbak, nggak ada. Pada minum obat teratur semua.
Penemuan dan Penanganan Kasus
12. Bagaiamana langkah penemuan
kasus penderita TB yang
dilakukan di masyarakat?
Informan Utama 3
Penemuan kasusnya tadi kita screening dulu ke warga. Dimulai dari screening terus, terus
nanti kita bawa hasil dahak ke pemegang program TB di Puskesmas. Kalau hasilnya positif
TB, kita melakukan investigasi kontak dilingkungan sekitarnya.
Informan Utama 4
Langka-langkah penemuan kasusnya tadi kita screening dulu ke warga. Dimulai dari
screening terus ada tanda gejala yang masuk atau ndak, kalau ada nanti disarankan tapi kalau
nggak ya nggak. Kalau ditemukan warga yang positif TB, kita nanti investigasi kontak untuk
melihat apakah yang lainnya juga tertular TB atau tidak.
13 Apa sajakah kendala/hambatan
yang Anda alami dalam
melakukan penemuan kasus Tb
Informan Utama 3
Seperti yang sudah saya katakan tadi, masyarakatnya kurang terbuka ndak mau periksa di
Puskesmas, kalau mau periksa mungkin di luar Puskesmas Karangmalang.
Page 292
278
di masyarakat? Informan Utama 4
Seperti yang sudah saya katakan tadi, masyarakatnya kurang terbuka ndak mau periksa di
Puskesmas, kalau mau periksa mungkin di luar Puskesmas Karangmalang.
SUMBER DAYA
Sumber daya Manusia
1. Apakah jumlah sumber daya
petugas surveilans di Puskesmas
ini sudah memadai?
Informan Utama 3
Ya sudah soalnya disisni kan wilayahnya kecil, jadi e... sudah pas gitu lho itu sudah sesuai.
Kan satu Gasurkes itu merapel 2-3 Kelurahan, kalau disini ya sudah pas sesuai.
Informan Utama 4
Sudah memadai sih insyaallah sih sudah.
2. Apakah petugas yang menjadi
tenaga surveilans sudah sesuai
dengan ketentuan standar
kompetensi di bidang
epidemiologi?
Informan Utama 3
Iya sesuai.
Informan Utama 4
Sudah.
3. Bagaimanakah pelatihan yang
diterima oleh petugas surveilans
untuk meningkatkan kinerja
dalam pelaksanaan program
P2TB di Puskesmas ini?
Informan Utama 3
Ya pernah, jadi setiap kita awal tahun atau awal pertama kali kerja gitu kaya dikasih
pengetahuan baru sama Dinas Kesehatan. kalau tahun ini sudah pernah dilakuakn, ya itu tadi
awal tahun.
Informan Utama 4
Pernah pelatihan sekali dalam setahun kegiatannya itu dalam 2 hari. Kita diberitahu gimana
caranya sosialisasi yang benar, terus cara apabila ada kendala yang mangkir obat atau putus
obat atau yang pernah sakit terus kambuh lagi. Pelatihannya itu dari Dinas Kesehatan yang
ngadain. Sekali dalan setahun.
Page 293
279
Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
4. Bagaiamana ketersediaan sarana
dan prasarana dalam
penyelenggaraan program P2TB
di Puskesmas untuk mendukung
pelaksanaan surveilans penyakit
TB?
Informan Utama 3
Jadi e... dari Puskesmas itu ya juga apa ya memfasilitasi misalkan apa butuh apa kaya butuh
pot dahak pun langsung dikasih nggak nggak dipersulit, soalnya targetnya pun disini masih
kurang. Kalau untuk wilayah Puskesmas ini kalau nggak salah 80 dalam satu tahun itu
cakupannya kan dalam satu tahun. Kalau disini sudah ditemukan ada 40 an lah penemuan
kasusnya itu hampir 50% dari target, itu meliputi 4 Kelurahan. Kalau keberhasilan program
TB nya ya belum sih ya, soalnya ada pasien yang mangkir obat. Ya kalau TB itu kan
pengobatan 6 bulan kaya gitu ada sih ndak semuanya tapi beberapa yang memang belum
tuntas tapi berhenti.
Informan Utama 4
Sarana dan prasarana sudah mencukupi.
5. Apakah terdapat
kendala/hambatan dalam
pengadaan ketersediaan obat/alat
kesehatan/sarana dan prasana
terkait program P2TB di
Puskesmas?
Informan Utama 3
Tidak ada kendala.
Informan Utama 4
Tidak ada kendalanya.
Pendanaan
6. Bagaiamana ketersediaan dana
dalam pelaksanaan surveilans
program Pencegahan dan
Penggulangan Tuberkulosis?
Informan Utama 3
Kalau dana saya selama dilapangan untuk sosialisasi dan skrining tidak pernah
menggunakan dana.
Informan Utama 4
Kalau masalah dana saya kurang tau. Sosialisasi saya tidak pernah menggunakan dan, hanya
Page 294
280
kontrak waktu saja.
7. Bagaiamana alokasi dana yang
digunakan untuk
penyelenggaraan surveilans
program P2TB?
Informan Utama 3
Ya... tidak ada alokasinya mbak.
Informan Utama 4
Kurang tau juga kalau itu.
SISTEM INFORMASI
1. Bagaiamana ketercapaian
indikator kinerja yang dilakukan
oleh petugas surveilans dalam
pelaksanaan program P2TB di
Puskesmas?
Informan Utama 3
Kalau capaiannya kerja ya sebetulnya sesuai target, cuma ya itu suspeknya itu e... nggak
memenuhi target. Balik lagi ke orang-orangnya yang kurang terbuka tapi emang ya disini
emang jarang yang kena TB, mungkin satu Kelurahan mungkin paling banyak 5 gitu. Ya kita
tau tiba-tiba waktu pengobatan, kita ndak tau tiba-tiba dia ke Rumah sakit di tes e... BTA nya
positif jadi pengobatannya di Rumah Sakit kaya gitu.
Informan Utama 4
Kalau capaian sih targetnya satu bulan sih,kita sistemnya target kayanya satu bulan itu
menemukan kalau nggak 2 ya 3. Ada yang memenuhi target ada yang belum, soalnyakan
disini juga wilayahnya jarang yang sakit batuk. Target yang menentukan itu pihak Dinas
sesuai tupoksi.
2. Bagaiaman pelaksanaan
pencatatan dan palaporan yang
dilakukan oleh gasurkes kepada
Dinas Kesehatan dan Kepala
Puskesmas? Seberapa sering
kegiatan tersebut dilakukan?
Informan Utama 3
Jadi kita setiap bulan itu ada pelaporan. Ada SPJ nya gitu lho mbak, jumlah screening
berapa, jumlah suspek berapa, jumlah e... suspek yang sudah periksa berapa, yang belum
periksa berapa, hasil dari periksanya itu positif atau negatif, selanjutnya ada PMO. Kalau
Dinas Kesehatan ya itu dengan pelaporan SPJ itu setiap bulan kita pelaporan, ada formnya,
mangkir obat berapa, kunjungan rumah pasien TB berapa gitu. Jadi, ada SPJ nya dan itu ada
juga dionlinenya juga, ada sistem kalau di Dinas Ksehatan itu Semar Betul. Pokoknya semar
Page 295
281
Betul itu yang tentang Tuberkulosis itu, disitu tu mencakup semua. Disitu ada pasien yang
terkena TB, pasien pengobatan, penyuluhan disitu itu.
Informan Utama 4
kalau kita pelaporannya tiap hari laporan kegiatan itu lewat WA, kalau laporan file itu
laporan email per minggu ada. Kalau laporan untuk hardfile sama softfile itu perbulan ke
Puskesmasnya. Kalau Dinas Kesehatan laporannya itu hardfile sama softfile perbulan.
3. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang dialami
petugas dalam pelaksanaan
pencatatan dan pelaporan?
Informan Utama 3
Ya kendalanya paling suspek itu tok. Suspeknya kan kurang jadi targetnya kita kan 80 baru
mencapai 50 %, jadi belum memenuhi target kalau suspeknya.
Informan Utama 4
tidak ada.
KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1. Bagaiamana bentuk kerjasama
yang Anda dilakukan dengan
lintas program yang ada di
Puskesmas?
Informan Utama 3
Iya, kan kalau biasanya yang sakit TB itu di cek HIV. Kalau yang HIV itu dicurigai TB atau
tidak, jadi saling berhubungan.
Informan Utama 4
Iya, sama pemegang program TB jadi apabila ada psien yang sudah periksa itu dia ngasih
tau terus hasinya positif apa negatif itu kita diberitahu.
2. Bagaiaman keberhasilan
pelaksanaan penanggulangan
terjadinya KLB/wabah TB?
Informan Utama 3
Ya selama ini kalau TB belum pernah yang sampai KLB ya mbak. Soalnya disini
diteukannya pasien TB juga sedikit sih ya mdak banyak gitu. Kalau untuk programnya
sendiri ya sudah bagus lah mbak, dari sosialisasinya terus pengobatannya disini pasien TB
nya juga raji-rajin buat berobat.
Informan Utama 4
Page 296
282
Sudah berhasil, rata-rata pasien pengobatannya berjalan nggak ada yang mangkir obat.
3. Bagaiaman pelaksanaan
monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan surveilans di
Puskesmas? Seberapa sering
kegiatan tersebut dilakukan?
Informan Utama 3
Kalau monevnya kita setiap bulan paparan sama kepala Puskesmas sama pemegang program
sama epidemiologi, jadi kita kaya paparan gitu per Kelurahan jumlah orangnya yang TB itu
berapa, suspeknya berapa yang positif. Kalau monev sama Dinas Kesehatan sudah pernah
diawal tahun kemarin.
Informan Utama 4
Tiap bulan ada monev dari Puskesmas, kalau dai Dinasnya sudah pernah diawal tahun.
Berapa kali dalam setahun itu kurang tau, pihak Dinasnya yang ngasih tau jadi nggak
direncanakan misalkan direnacanakannya dalam undangan gitu, kita belum tau tapi sudah
pernah diawal tahun. Tahun ini sudah pernah diawal tahun kemarin.
4. Bagaiaman monitoring dan
evaluasi yang dilakukan oleh
petugas surveilans kepada
Kepala Puskesmas dalam
melakukan penemuan kasus?
Seberapa sering hal tersebut
dilakukan!
Informan Utama 3
Kalau monevnya kita setiap bulan paparan sama kepala Puskesmas sama pemegang program
sama epidemiologi, jadi kita kaya paparan gitu per Kelurahan jumlah orangnya yang TB itu
berapa, suspeknya berapa yang positif. Kalau monev sama Dinas Kesehatan Kota sudah
pernah diawal tahun kemarin
Informan Utama 4
Tiap bulan ada monev dari Puskesmas, kalau dai Dinasnya sudah pernah diawal tahun.
Berapa kali dalam setahun itu kurang tau, pihak Dinasnya yang ngasih tau jadi nggak
direncanakan misalkan direnacanakannya dalam undangan gitu, kita belum tau tapi sudah
pernah diawal tahun. Tahun ini sudah pernah diawal tahun kemarin.
5. Apa saja kendala/hambatan yang
dialami dalam melakukan
koordinasi dalam pelaksanaan
Informan Utama 3
Tidak ada sih, semuanya terjalin dengan baik.
Informan Utama 4
Page 297
283
program TB baik dengan
Puskesmas maupun masyarakat?
Tidak ada mbak.
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Bagaiamana peran masyarakat
dalam penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan untuk
meningkatkan kualitas data dan
informasi terkait dengan
penyakit TB?
Informan Utama 3
Kalau masyarakatanya sendiri ya ada yang mendukung tapi ada juga yang belum terbuka
dan mendukung. Lebih mendukung ya kadernya. Jadi, saya memberi motivasi untuk kader
supaya meningkatkan e... giaman caranya kalau ada masyarakat yang batuk itu bisa ke
Puskesmas. Yang pertama lebih ke kadernya kalau le individunya nggak semua pertemuan
itu ada orangnya disitu satu RT gitu kan, yang sering dateng kan kadernya jadi saya
menghimbau untuk kadernya dan yang dateng ke penyuluhan tersebut. Bisa juga waktu saya
screening itu saya menghimbau misalkan ada keluhan apapun entah itu ndak batuk aja saya
suruh ke puskesmas
Informan Utama 4
Peran serta masyarakat itu, masyarakat ikut screening TB. Jadi, dia ikut mewaspadai gitu
kalau ada yang sakit batuk dikit aja bisa lapor ke saya kan udah punya kontak saya. Kalau
screening biasanyakan disini ada PSN, apabila kita PSN itu sekalian kita screening. Kalau
nggak waktu penyuluhan itu bisa dilakukan screening.
2. Bagaiamana peran masyarakat
dalam penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan penemuan
pasien TB di lingkungannya?
Informan Utama 3
Ya kalau penemuan kasusnya kan saya sering sosialisasi setiap pertemuan RT, RW, atau
tingka Kelurahan saya kan memberikan infromasi. Jadi, menghimbau mungkin ada
tetangganya atau saudaranya yang batuk lebih dari 2 minggu tak suruh ke Puskesmas. Kalau
misalkan ndak bisa ke Puskesmas ya ngomong sama saya, nanti saya kunjungan rumah.
Informan Utama 4
Ya masyarakat yang terbuka sama kita ikut mewaspadai terus ikut mengingatkan kalau itu
Page 298
284
yang penyakit TB pengobatannya teratur kaya gitu, ikut saling mengingatkan. Bagi
masyarakat yang belum mau terbuka sama sakitnya ya masih banyak juga disini.
Informan Utama 5 dan 6
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
1. Bagaiamana petugas TB di
Puskesmas melakukan
sosialisasi tentang penyakit TB
kepada Anda? Sebarapa sering
petugas TB melakukan
sosialisasi tersebut!
Informan Utama 5
Kalau dari TB untuk melakukan sosialisasi dari Puskesmas. Saya menemukan kasus MDR
langsung kunjungan ke pasien TB itu di wilayah Polaman RT/RW.01/02, kemudian saya
melakukan screening di sekitar yang kena TB itu kan 30 keluarga tetangga itu bisa gitu.
Puskesmas juga ngasih sosialisasi tentang TB kalau ada pertemuan di Puskesmas kadang-
kadang itu, terus di Kelurahan, PKK, sama FKK itu. pertemuannya itu kadang e... bulan ini
di Puskesmas terus besok berapa bulan lagi di FKK. Kemarin itu baru aja di FKK bulan ini
dari Puskesmas.
Informan Utama 6
Pasti mbak, ketika ada perkumpulan seperti forum FKK gitu kita pasti mengundang petugas
Puskesmas. Kalau sosialisasi itu ditingkat RT atau RW itu biasane Gasurkes, kalau diwilayah
kami ya saya ikut mendampingi mereka di pertemuan FKK, RT, RW, arisan atau tahlil.
Untuk pelaksanaannya ndak mesti mbak, kalau PKK kan kebetulan wilayah saya disini itu 2
minggu sekali berarti sosialisasi itu 2 minggu sekali, tapi kalau pas tahlilan atau acara apa itu
kan di kami itu apa ya, ya seminggu sekali mbak. Dalam seminggu itu kan pertemuan
banyak, paling kita ambil nanti jamaahnya yang paling banyak nanti kita sama Gasurkes
masuk.
2. Apaka sajakah media yang
digunakan saat melakukan
Informan Utama 5
Iya menggunkan itu to mbak seperti poster itu to yang ditempel itu lho.
Page 299
285
sosialisasi tersebut? Informan Utama 6
Sosialisasinya kita ya Cuma lisan seperti itu, terus pokoknya lengkap mbak semisal batuk
kita nanti kita harus ya pokok e seperti itu. Kalau leaflet kadang mbak, karena mungkin juga
leaflet juga terbatas. Dari kami Aisiyah juga mbak leaflet sama browsur itu dikasih, tapikan
Cuma 1 untuk berkali-kali
3. Apakah petugas Tb di
Puskesmas memberikan
informasi terkait dengan
program P2TB kepada Anda?
Informan Utama 5
Iya itu mbak, ngasih tau lewat penyuluhan sosialisasi itu to tentang TB e... kaya gejalane
gitu-gitu mbak.
Informan Utama 6
Iya pernah mbak, waktu ada pertemuan kader kesehatan di Puskesmas itu tapi ndak banyak
mbak. Saya tau banyak tentang TB ya ikut pertemuan yang dilakukans ama pihak Aisyiyah
itu, saya ditunjuk buat jadi kader TB
4. Bagaiamana upaya penemuan
kasus pasien TB yang dilakukan
oleh Puskesmas?
Informan Utama 5
E... ini saya nganu mbak ya, saya itu langsung ke Gasurkes. Kan antar Gasurkes sama
Puskesmas kan kerjasama terus sekarang kan sama kader kerjasama. Sekarang tu disarankan
ya dianjurkan dari pihak Dinas Kesehatan minta itu, ya Puskesmas minta itu ya memang
kalau bisa antara Puskesmas, Gasurkes, kader itu harus kerjasama. Saya dapet suspek 1 itu
tahun ini 2019, ya sekitar 2 bulan itu diwilayah sini ada. Terus saya kan langsung sama
Gasurkes langsung ke rumah itu yang kasus TB tak kasih pot untuk itu to dahak, langsung
cek ke laborat. Lha hasilnya 1 minggu baru tau kalau itu positif TB. Saya tau ada yang batuk
itu dari orang-orang sama keluarga itu e... pas posyandu, terus saya kunjungan kesana sama
Gasurkes terus bawa pot sekalian terus langsung tak tanya-tanya to lha batuk udah sekitar
berapa hari atau bulan.
Informan Utama 6
Page 300
286
Setahu saya itu dari pasien yang periksa ke Puskesmas, terus laporan dari gasurkes yang
dilapangan itu mbak kan mereka nanti dari warga bilang ke mereka. Saya juga kalau semisal
menemukan pasien TB baru nanti saya bilang dulu ke petugas Puskesmas kalau ini ada yang
kemungkinan sakit TB. Saya dapatnya dari itu screening mbak, habis itu saya juga laporan
ke pihak Aisyiyahnya jadi keduanya itu sama-sama saya bilang ke mereka terus sama-sama
tahu gitu.
5. Bagaiaman upaya Anda dalam
menemukan pasien terduga TB
yang ada di lingkungan
masyarakat?
Informan Utama
Penemuan kasusnya tadi kita skrining dulu ke warga. Dimulai dari skrining terus, terus nanti
kita bawa hasil dahak ke pemegang program TB di Puskesmas. Kalau hasilnya positif TB,
kita melakukan investigasi kontak dilingkungan sekitarnya
Informan Utama 6
Kan nanti kita screening mbak, nanti kita screening kan otomatis kita cari suspek walaupun
itu positif atau negatif yang penting kita kan dapet suspek gitu aja. Semisal kita ada indeks
kasus nanti kita screening, kalau ndak semisal kita PJN itu to mbak e... kita kan PJN to mbak
ke RT/RW itu seminggu sekali tapi kalau kita ke kelurahan itu 1 bilan sekali, jadi pada saat
itu kita juga screening mbak. Nanti kan ada itu, sekalian jentik itu DBD juga kami
sosialisasikan itu malah door to door mbak saya bersama Gasurkes. Kalau diwilayah kami
itu kader, Gausrkes, pak RT, pak RW, sama pak Lurah. Sosialisasinya tidak banyak orang
mbak tapi kita bagi aja sesuai kelompok tadi.
6. Bagaiamana upaya Anda dalam
mendukung pengobatan
penderita TB?
Informan Utama 4
Untuk dari kader ya harus tanya-tanya pengobatannya rajin atau tidak. Saya melakukan
kunjungan rumah sama Gasurkes, saya sendiri juga kunjungan tapi ndak terlalu sering yang
penting kita pantau dari lingkungan atau keluarga kan bisa tanya-tanya.
Informan Utama 5
Page 301
287
Kita mau berobat tapi oh ini nggak ada transportasinya kok sulit nanti Puskesmas yang
menjemput. Kalau TB dengan gizi buruk mbak itu mbak, kalau tidak yo pokoknya sekarang
Puskesmas ya untuk TB itu sekarang pokok e emang prioritas. Kalau kemajuan pengobatan
ya tidak begitu anu ya mbak, tapi kan saya hanya menanyakan tanggal berapa kira-kira
ambil obat atau obat habis kapan kan bisa saya bantu karena untuk lebih dalemnya kan saya
ndak bisa semisal untuk berapa orang kan saya otomatis yo baginya susah mbak waktunya.
Saya Cuma tau obatnya habis tinggal segini atau berapa nanti kalau bisa saya anter ya tak
anter, kalau ndak tak bilangke ke gasurkesnya nanti semisal mau ke Puskesmas dibantu
Gasurkes.
7. Bagiamana upaya yang Anda
lakukan dalam pencegahan
penularan penyakit TB kepada
masyarakat di lingkungan?
Informan Utama 5
Warga harus hati-hati dan waspada apalgi kalau itu yang kena penyakit TB batuknya kan
kumannya banyak, jadi haus hati-hati biar ndak tertular ya pakai masker dan jaga dirilah
untuk jada kesehatan kita sendiri. Entah itu ditingkat kecamatan entah itu di mana to itu bisa
saya sampaikan ke dawis RT terus ke PKK RW itu atau jamaah minggu itu bisa sampaikan
untuk ngasih tau kepada warganya supaya tau untuk penyakit TB itu. Pertemuan-pertemuan
kaya gitu bisanya setengah bulan sekali
Informan Utama 6
Ya itu tadi semisal penderita ya kalau bisa pakai APD mbak, minimalkan masker untuk
mengurangi penularan terus untuk anggota keluarganya pasti mbak karena untuk pertama
kali kan itu anggota keluarga. Apalagi kalau ada balitanya itu kan wajib diberikan PPINH
nya itu kan mbak, itu wajib e... ke berobat ke Puskesmas. Sebenarnya itu mereka belum
begitu paham mbak tapi kalau kita bilang paru atau flek itu tidak asing lagi, tapi kalau kita
bilang TB itu seolah-olah TB itu sesuatu yang pokok e momok. Ya itu tadi kita harus
menghilangkan stigma itu tadi mbak stigma itu masih, itu dimana-mana mbak soal e kalau di
Page 302
288
kota itu banyaknya seperti itu mereka ndak open. Kalau mereka open itu pasti kan TB itu
ditemukan cepet mbak, wong sudah terkena TB aja kita datengi ndak ada TB ndak ada
penyakit, kebanyakan seperti itu. Edukasinya maksud e untuk e... ya kita sosialisasi tapi
mereka itu sepertinya belum apa ya mbak e... ora ngeh banget nek TB itu bahaya, tapi bisa
disembuhkan jangan mengucilkan orang yang berpenyakit TB kan gitu. ya itu tadi mbak,
nek orang desa bilang TB itu suatu momoklah, tapi kalau paru atau mungkin flek itu masih
bisa diobati mereka itu seperti itu.
8. Bagaiamana upaya Anda dalam
mengatasi masalah sosial yang
berpengaruh pada upaya
pengobatan pasien TB dan
pemutusan penularan TB?
Informan Utama 5
Ya karena penyakit TB itu meular ya, dari keluarga kasus TB itu nganu mbak dari pasiennya
sendiri itu kadang sok malu. Dikunjungi itu dia ndak mau contohnya disini kan ada 5 orang,
kaya kemarin saya investigasi kontak kan saya kesana dianya ndak mau ditemui. Ada juga
yang kebetulan saudaranya Gasurkes, kalau ndak saudaranya itu ndak mau dikunjungi.
Informan Utama 6
Kalau saya sosialisasi ya terus menerus mbak, setiap kali pertemuan itu pasti saya
sosialisasikan. Kalau waktu saya skrining itu dikasih pot, tapi kebanyakan itu tidak mau
yang saya alami lho, “buat apa sih?”atau “nggo opo? Wong koyo ngono. Aku nek loro kan
berobat dewe”. Orang-orang yang mungkin e... kuranglah mbak anune, wis nek wong deso
ki mungkin pergaulane kurang atau mungkin e... penegtahuannya itu kurang gitu mbak.
Budaya itu pengaruh sekali mbak.
9. Bagaiamana sistem pelaporan
yang Anda lakukan dalam
pelaksanaan program P2TB
kepada pihak Puskesmas?
Informan Utama 5
Lapornya itu terutama ya dari Puskesmas dulu mbak, biar pihak Puskesmas itu tahu terus
setelah itu saya buat laporan untuk ke Aisyiyah.
Informan Utama 6
Saya kalau semisal menemukan terduga punya penyakit TB, nanti saya bilang ke
Page 303
289
gasurkesnya kalau disini ada yang punya ciri-ciri TB kalau ndak ya pe petugas yang di
Puskesmasnya itu. Nanti gasurkesnya langsung ke tempat penderita TB tadi.
10. Bagaiamana ketersedian sarana
dan parasaran yang Anda
gunakan dalam pelaksanaan
program P2TB?
Informan Utama 5
Ndak ada yang saya bawa pas sosialisasi, ya cuma hanya ngomong aja. Paling pot dahak itu
mbak, kalau ada yang gejala TB kalau ndak ada ya saya ndak bawa.
Informan Utama 6
Sebenarnya iya mbak, tapikan kalau kita sosialisasi ya sudah gitu aja. Lebih banyak bicara,
paling kita lebih banyak liatke itu kan leaflet nanti gambarnya kan sperti ini, Kalau saya kan
dari Aisiyah mbak, jadi itu biasane kalau di PKK atau apa itu mesti saya bawa karena
memang 1 itu mbak leafletnya ya untuk semua. Kalau dari Puskesmas saya belum diberikan,
tapikan karena mungkin dari Aisiyah juga sudah ada kan mungkin juga sama.
11. Bagaiaman alokasi dana yang
Anda gunakan dalam
pelaksanaan program P2TB?
Berasal darimana dana tersebut!
Informan Utama 5
Ndak ada dana mbak buat sosialisasi itu.
Informan Utama 6
Kalau dana yang dibutuhkan, kalau sosialisasi kita ya sosialisasi mbak. Jadi, setiap kali ada
pertemuan kita nimbrung disitu karena kalau dana memang ndak ada untuk sosialisasi TB
semisal saya ada anggaran sendiri buat ngumpulin orang itu ndak. Soal e emang ndak ada
dana. Ndak ada mbak, kita kan sosialisasi sendiri.
12. Apakah petugas TB di
Puskesmas melakukan
pendampingan saat kali Anda
melakukan penemuan kasus atau
sosialisasi kepada warga
masyarakat di ligkungan Anda?
Informan Utama 5
Kalau Puskesmas itu ndak dampingi kalau di pertemuan RT/RW, tapi kalau di Kelurahan itu
ada. Datangnya Puskesmas itu kesini paling ya Posyandu itu setiap bulannya.
Informan Utama 6
Mendampingi lewat Gasurkes itu tadi. Pertemuan kader TB di Puskesmas e... karena kitakan
ya itu tadi mbak kita ada forum sendiri-sendiri, jadi kita memang kegiatan kita kalau forum
Page 304
290
TB kita ya ke komunitas TB itu mbak. Kumpul komunitas TB nya itu ndak mesti ok mbak,
kita kemarin ada kumpul di Kecamatan. Kalau yang dari Aisiyah ya itu tadi, kita setiap 2
bulan sekali itu monev, kalau di Puskesmas itu kan ndak banyak mbak yang kader TB
khusus itu ndak ada. Saya paling nimbrungnya ke Gasurkes pas ada pertemuan itu, nah saya
diundang kesitu nanti oh tau laporan-laporan mereka jadi saya mengikuti. Kalau Gasurkes
setiap satu bulan sekali mereka laporan ke Kapus, kalau ke Aisiyah kan 2 bukan sekali kita
monev. Nanti kan kita e... ya kadang plus laporan juga mbak, nanti apa yang perlu dilakukan
atau apa kita bisa sharing sendiri mbak. Kalau Puskesmas buat pelatihan kader TB kayane
belum ada, cuma kemarin itu ada di Puskesmas Mijen mbak tapi keseluruhan. Jadi, memang
e... kita undangannya itu di Puskesmas Mijen gitu, itu juga sama dulu pas e... Puskesmas
Karangmalang mengirimkan kami ke Hotel Muria oleh Aisiyah yang 4 hari itu. Aisyah
memberi undangan ke Puskesmas Karangmalang terus mengirim kami ke kegiatannya
Aisiyah. Kuta dilatih jadi kader Aisiyah, otomatis kan kita dikirim dari Puskesmas
Karangmalang itu kita sekali itu kita pelatihan tapi kita ndak cukup sampai disitu mbak, kita
ada kelanjutannya jadi kita lanjut. Kita ada FKTB itu terus kita juga ada monev, otomatis
kita kan saling nyambung komunikasinya sampai sekarang.
13. Apakah pihak Puskesmas
melakukan kerjasama dengan
Kepala Desa, Kepala RT/RW,
pemuka agama setempat, atau
organisasi masyarakat di
lingkungan Anda? Bagaimana
bentuk kerjasama tersebut?
Informan Utama 5
Kalau Puskesmas ya kerjasama, saya iya kerjasama sama perangkat desa.
Informan Utama 6
Iya bekerjasama mbak.
14. Apakah kader pernah Informan Utama 5
Page 305
291
mendapatkan pelatihan yang
dilakukan oleh Puskesmas
terkait program P2TB?
Kalau dari Puskesmas ngasih pelatihan itu ndak pernah, saya pelatihan untuk TB pertama itu
saat ikut organisasi Aisyiyah.
Informan Utama 6
Pelatihan untuk kader TB ada mbak, dari Aisyiyah itu 1 tahun sekali ada mbak di Kecamatan
itu khusus untuk TB tahun ini baru 1 kali mbak.
15. Bagaiamana evaluasi yang
dilakukan oleh petugas TB di
Puskesmas dengan Anda terkait
program P2TB?
Informan Utama 5
Kalau evaluasi itu ndak ada, tapi saat Posyandu itu to mbak mereka juga tanyai tentang
warga TB itu perkembangannya gimana gitu-gitu. Kalau target ndak ada dari Puskesmas itu
mbak. Pelatihan untuk kader TB ada mbak, kalau pelatihan dari Aisyiyah itu 1 tahun sekali
ada mbak di Kecamatan itu khusus untuk TB tahun ini baru 1 kali mbak. Tapi kalau
pertemuan kader kesehatan secara umum di Puskesmas itu kadang ya di sampaikan mbak
sedikit.
Informan Utama 6
Kalau evaluasi sama Puskesmasnya belum pernah mbak, paling saya Cuma laporan kalau
ada warga yang terduga TB ke mereka atau sama gasurkesnya.
16. Apa sajakah kendala/hambatan
yang Anda alami dalam
pelaksanaan program P2TB?
Informan Utama 5
Ya kendalane ya itu mbak, Kebanyakan yang saya alami itu gitu mbak, intinya sok malu gitu
dari orang lain jangan sampai tau punya penyakit TB. Lingkungan ndak mengucilkan tapi
malah keluarga yang menutupi biar orang lain ndak tau. Saya mau kunjungan langsung ke
penderita TB to dari keluarga menutupi kaya gitu mbak. Jadi, saya mau kunjungan ya maju
mundarlah ya, terus saya investigasi kontak aja gitu dari pada nanti akibat dibelakang rame.
Memang dari kadre lain juga gitu, dari keluarga ya gitu ndak mau terbuka. Penderita juga
jarang yang pakai masker gitu mbak, kalau diingatkan juga ngeyel. Ya kita harus hati-hati
memberi saran ke keluarga sama penderita TB, kita harus pandai-pandainya kasih saran
Page 306
292
supaya kita diterima dnegan baik.
Informan Utama 6
Ya itu tadi, mereka itu ndak open terus sosialisasi ke meraka itu padahal kita sudah sering
tapi mereka menangkapnya kan lain mbak. Jadi, mungkin kalau banyak lebih gencar lagi
bisa membantu kami menuntaskan TB.
Informan Triangulasi 2 dan 3
No. Pertanyaan Hasil Wawancara
KEGIATAN PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Promosi Kesehatan
1. Bagaimanaa petugas Puskesmas
memberikan sosialisasi kepada
Anda ketika memeriksakan diri
ke Puskesmas?
Informan Triangulasi 2
Bapak tau sakit TB itu pas sakit terus periksa di Rumah sakit, tapi ambil obatnya sama
priksanya di Puskesmas mbak. Setiap ke Puskesmas itu petugas Puskesmas ya biasa ngasih
tau cara penanggulangan sakit TB itu ... kaya minum obat terus rajin periksa datang ke
Puskesmas untuk suntik 2 bulan berturut-turut terus minum obat setiap pagi. Disaranke tidak
boleh minum yang manis-manis, sehari sekali minum susunya tiap pagi gitu. Saya ditanya
punya sakit apa, tapi pas itu saya lagi batuk terus disusuruh periksa Lab di Puskesmas tapi
negatif ndak ketularan. Anak saya juga di suruh periksa juga mbak, tapi hasilnya sama kaya
saya negatif. saya juga menyuruh bapak buat pakai masker kalau sama cucunya biar ndak
ketularan kan kasihan
Informan Triangulasi 3
Kalau kemarin saya kan e... sebelumnya sudah dikasih tahu sama Dinas Kesehatan untuk
PMO itu sendiri, jadi ya menjelaskan kembali kepada saya terus saya meneruskan ke pasien
yang sakit TB soalnya kan dia di rumah sendiri. Ya sebisa mungkin saya jelaskan seminimal
Page 307
293
mungkinlah intinya setiap hari minum obat gitu, kan ini baru tahap pertama. Saya seringnya
bilang “ini obatnya diminum setiap pagi, kalau bisa sebelum makan kaya gitu”. Lha tapi
saya untuk PMOnya sendiri, saya datang 2 hari atau 3 hari untuk mengecek apakah obatnya
diminum atau tidak gitu.
2. Bagaimana petugas Puskesmas
melakukan sosialisasi tentang
program Pencegahan dan
Penanggulangan Tuberkulosis di
lingkungan tempat tinggal
Anda?
Informan Triangulasi 2
Nggak ada, Cuma ya menghimbau untuk ventilasinya dan pencahayaannya sebisa mungkin
tu cahaya matahari bisa masuk gitu sehingga kuman yang ada di tubuhnya bisa mati karena
kan kuman TB kalau kena panas matahari bisa mati. Jadi, ya kita ndak boleh menyebarkan
diagnosa ke siapapun, ya kalau orangnya itu menerima kalau ndak terima kan malah kita
yang dituntut. Kalau waktu pengambilan dahak saya jelaskan cara batuk yang benar, tapi
kalau waktu ndak pengambilan dahak ya batuk biasa disaran pakai masker. Pasiennya sendiri
ya kadang menggunakan kadang nggak, kan mungkin karena faktor ekonomi juga kan...
masker kan kalau beli diindomaretkan 8.000 dapat 5 jadi kan yo ndak memaksa hanya
menghimbau sebisa mungkin pakai masker. Saya menyarankan pasien tersebut kalau
misalkan emang bisa kesini ya tak suruh kesini, kalau ndak bisa kesini saya kasih pot dahak
tadi semisal nanti batuknya itu pagi saat itu juga tak ambil tak kasih ke Puskesmas gitu.
Kaya gitu karena suspeknya dikita rendah, jadi sebisa mungkin kita nyari gitu lho nggak
harus pasien kesini, kita pun bisa suruh ngambil gitu. Kalau sebagai pasien TB tau
pengambilannya disini gitu.
Informan Triangulasi 3
Nggak ada, Cuma ya menghimbau untuk ventilasinya dan pencahayaannya sebisa mungkin
tu cahaya matahari bisa masuk gitu sehingga kuman yang ada di tubuhnya bisa mati karena
kan kuman TB kalau kena panas matahari bisa mati. Kalau ini kan pasiennya baru ya, dia
melakukan pengobatan ini baru 6 hari ini jadi ya masih teratur minum obatnya. Ini kan
Page 308
294
penyakit TB ya, jadi sebisa mungkin saya e... kalau kita privasesitas ya sebisa mungkin
jangan sampai orang lain tau kalau terdiagnosa TB. Jadi, ya kita ndak boleh menyebarkan
diagnosa ke siapapun, ya kalau orangnya itu menerima kalau ndak terima kan malah kita
yang dituntut. Kalau waktu pengambilan dahak saya jelaskan cara batuk yang benar, tapi
kalau waktu ndak pengambilan dahak ya batuk biasa disaran pakai masker. Pasiennya sendiri
ya kadang menggunakan kadang nggak, kan mungkin karena faktor ekonomi juga kan...
masker kan kalau beli diindomaretkan 8.000 dapat 5 jadi kan yo ndak memaksa hanya
menghimbau sebisa mungkin pakai masker. Saya menyarankan pasien tersebut kalau
misalkan emang bisa kesini ya tak suruh kesini, kalau ndak bisa kesini saya kasih pot dahak
tadi semisal nanti batuknya itu pagi saat itu juga tak ambil tak kasih ke Puskesmas gitu.
Kaya gitu karena suspeknya dikita rendah, jadi sebisa mungkin kita nyari gitu lho nggak
harus pasien kesini, kita pun bisa suruh ngambil gitu. Kalau sebagai pasien TB tau
pengambilannya disini gitu
3. Seberapa sering petugas
Puskesmas melakukan
sosialisasi tersebut?
Informan Triangulasi 2
Kalau Puskesmas sendiri belum pernah, kalau Dinas Kesehatan pas ada pelatihan dikasih tau
tetang penyakit TB dan program penanggulangannya kaya gitu.
Informan Triangulasi 3
Kalau Puskesmas sendiri belum pernah, kalau Dinas Kesehatan pas ada pelatihan dikasih tau
tetang penyakit TB dan program penanggulangannya kaya gitu
4. Apaka sajakah media yang
digunakan saat melakukan
sosialisasi tersebut?
Informan Triangulasi 2
Ya, jadi ke pengawasnya sama BP itu dikasih tau TB itu seperti apa terus dianjurkan pakai
masker kaya gitu
Informan Triangulasi 3
Ya, jadi ke pengawasnya sama BP itu dikasih tau TB itu seperti apa terus dianjurkan pakai
Page 309
295
masker kaya gitu
Pengendalian Faktor Resiko
5. Bagaimana upaya yang
dilakukan petugas Puskesmas
dalam melakukan pengendalian
penyakit pada pasien TB agar
tidak terjadi penularan?
Informan Triangulasi 2
Kalau makan itu piring, sendok, sama gelas dilainkan ndak dijakan satu. Kalau dicuci
pakainya tempat sabun sendiri ndak disamakan tapi dipisah-pisah.
Informan Triangulasi 3
Menyarankan kalau batuk ditutupi pakai masker, dahaknya dibersihkan pakai tissu terus
nanti tissunya dikumpulin jadi satu langsung dibuang di tempat sampah, konsumsi makanan
yang seimbang, minum obat secara teratur, sama sering berjemur supaya kuman TB nya mati
kena sinar matahari
6. Bagaimana upaya yang
dilakukan petugas Puskesmas
dalam pengendalian penyakit TB
kepada masyarakat dilingkungan
Anda?
Informan Triangulasi 2
Kalau petugasnya keliling itu ya waktu ada periksa jentik-jentik nyamuk itu mbak, kalau
kasih tau ke warga soal sakit TB/batuk ini saya kayanya belum pernah mbak. Kalau
Posyandu itu sering mbak tiap bulan itu ada..
Informan Triangulasi 3
Kalau di masyarakat ya kalau ada gejala batuk-batuk dalam jangka waktu yang lama
disarankan untuk segera periksa ke Puskesmas, menutup mulut ketika batuk atau ada orang
yang batuk supaya tidak menular atau tertular, sama kalau ada orang lain yang menunjukkan
tanda gejala TB ya segera lapor ke gasurkesnya atau petugas Puskesmasnya itu bisanya
disampaikan pas gasurkesnya kunjungan ke rumah-rumah gitu
7. Apakah anda tahu alur
pemeriksaan pasien untuk semua
pasien batuk dan/atau alur
pelaporan yanga ada di
Informan Triangulasi 2
Ya itu suruh ya nanti di tensi terus ditimbang, baru ketemu sama bu Rini kalau nggak itu
sama pak Supri terus nanti dikasih obatnya itu yang warna merah. Kalau minggu ya saya
tetap disuruh datang ke Puskesmas buat suntik itu mbak. Ini kan Bapaknya tau kalau sakit
Page 310
296
Puskesmas? TB waktu dibawa ke Rumah Sakit Karyadi itu mbak, tapi ngambil obatnya e... obat jalannya
di Puskesmas Karangmalang. Obat sama suntiknya di Puskesmas sini, kalau dulu periksa
sakitnya pas awal itu di Rumah Sakit.
Informan Triangulasi 3
Pertama-tama di cek dulu dahaknya di Puskesmas, kalau ini kan kemarin orangnya tidak
bisa ke Puskesmas jadi saya kasih pot dahak lalu paginya pot dahak itu saya bawa ke
Puskesmas. Setelah 5 hari hasil tesnyakan keluar dan ternyata positif TB, waktu lihat tesnya
itu orangnya bisa ke Puskesmas jadi sama petugasnya langsung di berikan obat TB sama di
kasih tau penyakit Tb penanganannya seperti apa baik dirumah maupun diluar rumah,
minum obatnya secara teratur, kemudian nanti saya yang akan menegcek apakah obatnya
diminum teratur apa ndak, sama kalau obat habis jika ndak bisa ngambil ke Puskesmas nanti
saya yang akan mengambilkan gitu. Kalau ke Puskesmas nanti ndak perlu antri di depan tapi
langsung saja menemui petugas Tbnya di BP gitu
8. Apakah Anda pernah melihat
petugas memberikan penyuluhan
etika batuk kepada petugas
kesehatan, pasien TB maupun
pengunjung Puskesmas yang
lain?
Informan Triangulasi 2
Kalau pas kesana ndak pernah tau ya mbak. Iya saya sama Bapak pernah dikasih tau pas lagi
ambil obat ke sana, kalau batuk ditutup pakai tissu atau pakai masker gitu.
Informan Triangulasi 3
Iya pernah, kan disini ada TV to mbak nah itu bisanya ada video tentang tata cara batuk yang
baik dan benar yang bisa dilihat pengunjung Puskesmas di ruang tunggu
9. Apakah poster, spanduk,
browsur atau leftlet tentang
penyakit TB yang ada di
Puskesmas?
Informan Triangulasi 2
Iya ada kayanya mbak, saya ndak terlalu lihat itu yang ada di Puskesmas.
Informan Triangulasi 3
Ada disini
Page 311
297
Penemuan dan Penanganan Kasus
10. Bagaimanaa upaya penemuan
kasus pasien TB yang dilakukan
oleh Puskesmas?
Informan Triangulasi 2
Kalau ini saya tidak tau.
Informan Triangulasi 3
Hasil dari skrining yang dilakukan gasurkesnya mbak itu kan nanti dapat suspek terus di tes
di labnya buat mastiin positif atau negatif. Ada juga laporan dari masyarakatnya sendiri
bilang ke kami gasurkesnya kalau ada warga yang batuk-batuk lama terus nanti gasurkes
mangunjungi untuk skrining
11. Apa sajakah yang petugas
Puskesmas jelaskan terkait
dengan proses pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan
dalam mendiagnosis pasien TB?
Informan Triangulasi 2
Iya kemarin dikasih tau suruh nunggu 5 hari setelah periksa dahaknya itu, soalnya kan
periksanya disana e... tesnya itu dibawa ke Karyadi terus hasilnya dikasih tau kalau positif
sama petugas Puskesmasnya itu. Saya disuruh ke Puskesmanya tiap hari buat suntik itu
mbak 2 bulan penuh, walaupun hari minggu juga kesini, kalau obatnya habis ya suruh ambil
disini.
Informan Triangulasi 3
Pasien sih dikasih tahu nya gini, jadi nanti dahaknya itu di bawa ke laboratorium buat di tes
apakah positif atau negatif TB. Nunggu ya paling lama seminggu nanti baru keluar hasilnya,
lha pas hasilnya keluar nanti kalau itu pasiennya bisa datang ke Puskesmas ya dikasih tau
langsung sama petugas Puskesmasnya tapi kalau ndak bisa datang kesini ya gasurkesnya
yang nyampaiin ke rumah, kasih tahu hasilnya baru nanti pasiennya ke Puskesmas buat
periksa sama dikasih obat kalau dia ternyata positif TB
12. Bagaimana upaya petugas
Puskesmas lakukan untuk
menjamin pasien TB selalu
Informan Triangulasi 2
Saya dikasih taunya suruh ngingetin Bapak rajin minum obatnya sama periksa ke Puskesmas
buat suntik gitu aja mbak, kalau obatnya mau habis tinggal berapa gitu ya saya ke
Page 312
298
memeriksakan diri dan
mengkonsumsi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) secara
rutin?
Puskesmas buat ambil. Iya nanti pas ketemu sama pak Supri atau bu Rini biasanya ditanya
Bapaknya rutin minum obatnya apa tidak, ya saya jawabnya rutin kan pasti saya yang
ngingetin mbak ke Bapaknya gitu.
Informan Triangulasi 3
Ini kan kebetulan saya sendiri yang jadi PMOnya mbak, jadi ya ini orangnya kalau ada
keluhan apa-apa setelah minum obat langsung ngubungi saya lewat WA terus nanti saya
yang sampaikan ke petugas TB Puskesmas terkait keluhannya tadi gitu. selama ini sih
alhamdulillah lancara mbak, ndak ada keluhan bagaimana-bagaimana sama minum obatnya
teratur
13. Apa sajakah kendala/hambatan
yang dialami petugas Puskesmas
dalam melakukan penemuan
kasus TB di masyarakat?
Informan Triangulasi 2
Kurang tau kalau itu mbak.
Informan Triangulasi 3
Tidak ada kendala sih mbak
14. Bagaimanaa alur pengambilan
obat untuk pasien TB?
Informan Triangulasi 2
Ya bawa itu, bawa BPJS itu ngambil obatnya ke Puskesmas. Kalau suntiknya harus nunjukin
kartu BPJS, KTP, sama kartu Puskesmas di kasih ke petugas Puskesmasnya disana saya kasi
ke pak Supri. Baru setelah itu saya dikasih obatnya sama Bapaknya disuntik.
Informan Triangulasi 3
Pasien datang ke Puskesmas buat ambil obat, ndak perlu daftar dulu kaya pasien selain TB
tapi langsung aja menemui petugas Puskesmas di BP itu kan soalnya petugas juga sudah tau
mbak kalau dia itu pasien TB jadi di langsungkan. Bisanya juga dari petugasnya itu
sebelumnya juga mengingatkan kalau besok nih semisal jadwalnya buat ambil obat.
Ngingetinnya di sms kalau ndak ya di WA mbak kan petugas TB nya juga punya nomer
pasiennya
Page 313
299
15. Bagaimanaa petugas TB
melakukan pematauan terhadap
kemajuan hasil pengobatan yang
dijalani pasien TB?
Informan Triangulasi 2
Ya petugasnya bilangnya nanti kalau obatnya sudah habis Bapaknya diajak kesini buat
diperiksa lagi. Waktu dulu sudah pernah habis obatnya mbak, terus saya bawa ke Puskesmas
buat periksa lagi di tes lagi, terus hasilnya sudah baik
Informan Triangulasi 3
16. Bagaimana cara petugas
Puskesmas menentukan orang
yang akan menjadi PMO
(Pengawas Minum Obat) untuk
setiap pasien TB?
Informan Triangulasi 2
Saya cuma disuruh ngingetin Bapak buat minum obatnya aja sama ngambil obatnya ke
Puskesmas gitu mbak, terus makannya yang sehat, nyuruh Bapak buat berjemur tiap pagi,
sama jendela rumanya dibuka biar matahari bisa masuk sinarnya ke rumah.
Informan Triangulasi 3
Biasanya anggota keluarga yang ditunjuk jadi PMO, tapi karena orang ini saudaranya jauh-
jauh jadi saya gasurkes diwilayah kelurahan yang di tunjuk jadi PMO nya.
Pemberian Kekebalan
17. Bagaimana bentuk kerjasama
petugas Puskesmas dengan PMO
pasien TB dalam upaya
melakukan pengawasan minum
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)?
Informan Triangulasi 2
Ya petugasnya bilangnya nanti kalau obatnya sudah habis Bapaknya diajak kesini buat
diperiksa lagi. Waktu dulu sudah pernah habis obatnya mbak, terus saya bawa ke Puskesmas
buat periksa lagi di tes lagi, terus hasilnya sudah baik.
Informan Triangulasi 3
Ya diingakan sama mengecek obatnya, obatnya dicek diminum atau tidak
Pemberian Kekebalan
18. Bagaimana pelaksanaan
pemberian kekebalan kepada
balita yang dilingkungannya
Informan Triangulasi 2
Tidak ada mbak, saya serumah sama bapak aja
Informan Triangulasi 3
Page 314
300
terdapat penderita TB?
SUMBER DAYA
Sumber Daya Manusia
1. Menurut Anda, apakah jumlah
petugas kesehatan terkait
program P2TB di Puskesmas ini
sudah memadai?
Informan Triangulasi 2
Saya kira cukup, tapi nggak tau kalau sama orang lain tapi kalau saya cukup.
Informan Triangulasi 3
Sudah cukup
2. Bagaimanaa pelayanan yang
dilakukan oleh petugas TB di
Puskesmas ini?
Informan Triangulasi 2
Ya sudah cukup, baik gitu mbak terus sering ngasih saran buat Bapak gitu-gitu.
Informan Triangulasi 3
Ya sudah bagus pelayanan petugasnya.
Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
3. Apakah pernah terjadi
kekurangan obat anti
tuberkulosis yang ada di
Puskesmas, saat Anda
melakukan pemeriksaan atau
mengambil obat?
Informan Triangulasi 2
Ndak pernah, kalau Puskesmas ini selalu ada. Kalau untuk saya pasti sudah ada, jadi kalau
obat saya habis sudah ada disana saya langsung dikasih.
Informan Triangulasi 3
Ndak pernah kekurangan obat kalau disini.
4. Bagaimanaa ketersediaan sarana
dan prasarana dalam
penyelenggaraan program P2TB
Informan Triangulasi 2
Kalau itu saya kurang tau ya ,bak soalnya kan saya ndak pernah masuk di ruang sana sih.
Masuknya hanya sampai didepan aja itu mbak, kalau Bapak kan lewatnya langsung lewat
samping itu ada pintu disitu ada bel terus pencet bel nya itu langsung nanti petugasnya
Page 315
301
di Puskesmas? keluar terus ngasih obat. Katanya sih kala TB memang lewatnya situ gitu, jadi saya ndak
pernah masuk ke dalam atau ruang lain mbak.
Informan Triangulasi 3
E.... baik sudah memadai ruangannya bagus.
Pendanaan
5. Bagaimanaa pembiayaan yang
dikeluarkan oleh pasien TB
dalam melakukan pengobatan?
Informan Triangulasi 2
Kalau saya pakainya BPJS mbak, jadi ndak bayar ke Puskesmasnya. saya bayarnya ke BPJS
itu mbak, saya kan bayar sendiri BPJSnya.
Informan Triangulasi 3
Kalau ini saya kurang tahu mbak soalnya kalau ambil obat diambil sendiri sama pasiennya,
saya hanya memastikan minum obatnya aja sih sama kalau ada keluhan sering saya tanyakan
gitu.
SISTEM INFORMASI
1. Bagaimanaa
pencatatan/pendataan yang
dilakukan oleh Puskesmas?
Informan Triangulasi 2
Nggak, ya waktu dulu itu ada petugas yang datang kesini mbak pas awal tau bapak sakit TB
gitu tapi ya sekali itu aja mbak dicatatnya. Katanya sih di wilayah polaman ini ada 9 orang
yang sakitnya sama kaya saya tapi ndak tau siapa-siapa ndak tau mbak. Kalau saya kesitu ya
cuma saya sendiri nggak ada yang lainnya habis periksa ya saya langsung pulang gitu.
Informan Triangulasi 3
Kalau pencatatan itu dilakukan di awal ketika dia sudah diperiksa dahaknya di Puskesmas
kan itu pasti ditanyakan tentang identitasnya, keluhan sakitnya apa saja, terus berapa lama
sakitnya kaya gitu-gitu.
2. Seberapa sering kegiatan Informan Triangulasi 2
Ya sekali waktu dulu itu aja.
Page 316
302
tersebut dilakukan? Informan Triangulasi 3
Diawal pas periksa itu, ya sekali berarti.
3. Apakah terdapat
kendala/hambatan yang dialami
petugas dalam pelaksanaan
pencatatan pasien TB?
Informan Triangulasi 2
Tidak ada.
Informan Triangulasi 3
Tidak ada mbak.
KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN
1. Apakah pihak Puskesmas
melakukan kerjasama dengan
Kepala Desa, Kepala RT/RW,
pemuka agama setempat, atau
organisasi masyarakat di
lingkungan Anda? Bagaimana
bentuk kerjasama tersebut?
Informan Triangulasi 2
Nggak tau mbak, ya mungkin ada itu soalnya kan Puskesmas itu dapat informasi dari rakyat
ya mugkin saja juga kerjasama gitu mbak tapi saya sendiri ndak tau.
Informan Triangulasi 3
Ya bekerjasama sama perangkat desa disini, ya kan juga ini berhubungan sama warganya
jadi mereka bisa tau bagaimana kondisi kesehatan di lingkungan mereka, warganya ada
berapa yang sakit TB, terus kan sebisa mungkin biar ndak ada yang mengucilkan pasien TB,
sama dari perangkat desa kan juga bisa menyebarkan informasi tantang TB ke warganya.
PERAN SERTA MASYARAKAT
1. Bagaimana peran Anda dalam
melaksanakan kegiatanan
penemuan kasus TB di
lingkungan mayarakat?
Informan Triangulasi 2
Nggak ada mbak, saya taunya yang sakit ya saya sendiri kalau yang lainnya ndak pernah tau.
Di Puskesmasnya juga kalau saya kesana cuma ada saya aja. Di Puskesmasnya juga kalau
saya kesana cuma ada saya aja
Informan Triangulasi 3
Melakukan sosialisasi di perkumpulan warga disini tentang penyakit TB, tanda gelanya apa
saja, saling kasih tau kalau ada yang punya tanda-tanda TB buat laporan ke kgasurkesnya,
melakukan screening seringnya seperti itu soalnya kan saya gasurkes ya mbak.
Page 317
303
2. Bagaimanaa peran Anda sebagai
masyarakat dalam mendukung
pengobatan penderita TB?
Informan Triangulasi 2
Kalau Bapak ya kadang sama saya kesana mbak, wong pengen sembuh gitu jadi ya kesana
sendiri ambil obat terus periksa. Habis selesai ya pulang mbak.
Informan Triangulasi 3
Diingatkan minum obatnya secara teruatur setiap hari, saya selalu tanya ada keluhan apa
yang diarasakan, terus menyarankan untuk selalu hidup bersih dan sehat.
3. Bagaimanaa peran Anda dalam
melakukan pencegahan penyakit
TB agar tidak tertular?
Informan Triangulasi 2
Ya kalau malam batuk saya pakai tempata sendiri sama tissu, habis itu saya paginya
bersihkan sendiri biar ndak tertular ke keluarga yang lainnya.
Informan Utama 3
Pakai masker setiap kali ada yang batuk entah itu batuk biasa atau yang sakit TB, bukannya
kurang sopan atau giman-gimana ya mbak karena ya buat pencegahan aja biar ndak tertular
bagitu. Tapi meski sudah dibilangi kaya gitu, dari merekaya yang susah buat pakai masker
waktu sama orang lain. Ya kaya orang yang sehat biasanya, itu yang susah mbak.
4. Bagaimanaa peran Anda dalam
mengatasi masalah sosial yang
berpengaruh pada upaya
pengobatan pasien TB dan
pemutusan penularan TB?
Informan Triangulasi 2
Kalau ngucilkan ndak ada mbak, kalau sholat jamaah di mushola ya biasa aja mbak ndak ada
yang menjauhi. Kalau dari Puskesmas itu sarannya suruh pakai masker gitu, tapi kalau disini
sehari-harinya kadang pakai kadang nggak..
Informan Triangulasi 3
Kalau stigma disini ya ada mbak, tapi kan saya sebgai gasurkes selalu mensosialisasikan
bahwa penyakit TB itu meskipun menular tapi masih bisa disemubuhkan. Saya juga sering
bilang kalau biar tidak tertular ya selalu hidup bersih dan sehat baik diri sendiri maupun
lingkungan. Tata cara batuk yang baik dan benar biar tidak menular ke yang lain. Kita juga
menjaga kerahasian pasien TB sih mbak, jadi kan ndak semua masyarakat itu tau siapa aja
yang sakit TB jadi ndak ada yang mengucilkan tau stigma negati. Stigma negatif ada ya
namanya juga penyakit menular ya mbak, tapi sebisa mungkin kita menjaga penyakitnya itu.
Page 318
304
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian Puskesmas Purwoyoso
Pemegang Program TB Kader TB 2
PMO 2 Gasurkes
PMO 1 Petugas Laboratorium
Page 319
305
Formulir pasien TB Reagen uji dahak
Obat Anti Tuberkulosis Poli TB
Pencahayaan poli TB
Page 320
306
Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian Puskesmas Karangmalang
Petugas Laboratorium Pemegang Program TB
Gasurkes 1 PMO 1
Kader 1 Kader 2
Page 321
307
Gasurkes 2 Lemari Penyimpanan OAT
Reagen uji dahak Poli TB
MASKER Pemegang program P2TB Dinas Kesehatan