Page 1
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADirektorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Didukung oleh:
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGANBIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2013
Prof. Dr. Eddy Suratman (Universitas Tanjungpura)
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda (Universitas Brawijaya)
Dr. Hamid Paddu(Universitas Hasanuddin)
Dr. Artidiatun Adji (Universitas Gajah Mada)
PENULIS EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak(Universitas Indonesia)
Dr. Hefrizal Handra(Universitas Andalas)
Page 2
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanii
Page 3
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
AustralianAid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)
Acknowledgement
Buku Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan
Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah ini
disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan
didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for
Decentralisation (AIPD).
Disclaimer
Pandangan dan pendapat dalam buku Evaluasi Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dan Pengaruhnya Terhadap
Peningkatan Pendapatan Daerah ini bersumber dari Tim
Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal
(TADF) Republik Indonesia dan tidak menggambarkan
pandangan Pemerintah Australia.
Page 4
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbaniv
Page 5
v
Daftar Isi
Kata Pengantar Direktur Program AIPD ............................................. vii
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan .............. ix
Daftar Tabel dan Diagram .................................................................. xi
Ringkasan Eksekutif ........................................................................... xiii
1. Pendahuluan ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................ 5
2. Landasan Teori ............................................................................ 6
2.1. Administrasi Perpajakan ........................................................ 6
2.2. Tax Incidence ......................................................................... 8
2.3. Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah .......................... 11
2.4. Pengalaman Negara Lain ....................................................... 18
3. Metode Penelitian ....................................................................... 24
3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif .......................................... 24
3.2. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 25
Page 6
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .vi
3.3. Pemilihan Daerah Sampel ...................................................... 27
3.4. Analisis Data ......................................................................... 28
4. Gambaran Umum Daerah Sampel .............................................. 31
4.1. Potret Penerimaan Kabupaten/Kota di Indonesia................... 31
4.2. Gambaran Umum Daerah Sampel ......................................... 34
4.3. Analisis Belanja Daerah ......................................................... 39
5. Analisis Kualitatif: Permasalahan Dalam Implementasi
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009........................................... 43
5.1. Hasil Focus Group Discussion (FGD) ...................................... 43
5.2. Hasil Kuesioner ...................................................................... 55
6. Analisis Kuantitatif: Pengaruh Implementasi Uu No 28 Tahun
2009 Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah ....................... 62
6.1. Analisis Perkembangan Pajak Daerah .................................... 62
6.2. Analisis Perbandingan Kondisi Pajak Daerah di Daerah Sampel
Sebelum dan Sesudah Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009 ... 65
6.3. Analisis Kuantitatif Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009 .......... 83
7. Penutup ....................................................................................... 92
7.1. Kesimpulan ........................................................................... 92
7.2. Rekomendasi ......................................................................... 95
Daftar Pustaka .................................................................................... 99
Lampiran 103
1. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun
2009 ..................................................................................... 103
2. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun
2010 ..................................................................................... 104
3. Hasil Model Elastisitas Pajak 2009 ......................................... 104
4. Hasil Model Elastisitas Pajak 2011 ......................................... 108
Page 7
vii
Kata Pengantar Direktur Program AIPD
Sejak tahun 2012, Program AIPD mendukung Kementerian Keuangan,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Tim Asistensi Ke-
menterian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF), terutama
untuk pengembangan kebijakan desentralisasi fiskal berbasis penelitian
(research based policy).
Pada tahun 2013 TADF mendapatkan mandat untuk melaksanakan em-
pat kajian dan penyusunan sejumlah policy brief. Hasil kajian tersebut telah
didokumentasikan dalam empat judul buku berikut ini:
1) Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK): Kondisi dan Strategi ke Depan;
2) Municipal Development Funds sebagai Alternatif Pembiayaan Infra-
struktur Daerah;
3) Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya ter-
hadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah;
4) Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pa-
jak Daerah dan Retribusi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Daerah.
Sedangkan hasil policy brief yang disusun oleh TADF didokumentasikan
dalam buku Policy Brief 2013.
Kami mengharapkan bahwa kelima buku tersebut dapat berkontribusi
untuk dialog kebijakan yang dapat memperkuat implementasi desentralisasi
fiskal di Indonesia, terutama untuk dampak peningkatan layanan publik bagi
masyarakat.
Jessica Ludwig-Maaroof
Direktur Program
Page 8
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanviii
Page 9
ix
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Dinamika hubungan keuangan pusat dan daerah yang juga dipe-
ngaruhi oleh perubahan kondisi global maupun dinamika politik
perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat karena
sangat berkaitan dengan berbagai kebijakan yang langsung berdampak pada
penyelenggaraan layanan publik oleh Daerah. Oleh karenanya, perbaikan
ke bijakan yang didasarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan
ilmiah harus dilakukan secara terus menerus.
Dalam rangka melakukan perbaikan kebijakan yang berbasis penelitian
atau research based policy, maka Kementerian Keuangan telah menjalin
kerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi
Fiskal (TADF). TADF beranggotakan para akademisi dari berbagai universitas
terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan
oto nomi daerah. Pada tahun 2013, TADF telah melakukan empat buah pene-
litian dan menghasilkan 7 (tujuh) buah policy brief dan 1 (satu) buah policy
note.
Salah satu hasil penelitian tersebut adalah “Evaluasi Pelaksanaan Un dang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah”. Penelitian ini
pada dasarnya berusaha untuk mengevaluasi permasalahan yang muncul
saat implementasi kebijakan UU No. 28 Tahun 2009. Tim Peneliti juga
Page 10
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .x
melakukan analisis pengaruh dari implementasi UU tersebut dari sisi penam-
bahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan
tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah.
Rekomendasi yang disampaikan dalam penelitian ini adalah agar pada
masa transisi hingga 2017, Direktorat Jenderal Pajak tetap melakukan pen-
dampingan dan memberikan bantuan teknis kepada daerah terkait dengan
pengelolaan dan penyelesaian piutang PBB-P2. Selain itu Pemerintah Pusat
juga diharapkan memberikan bantuan teknis dan dukungan capacity building
untuk SDM perpajakan daerah, agar administrasi perpajakan menjadi lebih
efisien. Beberapa rekomendasi revisi UU No. 28 Tahun 2009 yang juga perlu
mendapat perhatian adalah mengenai perlunya revisi pasal yang terkait de-
ngan klasterisasi NPOP-TKP serta pemberian insentif dari Pajak Hotel dan
Restoran untuk PHRI dalam rangka melakukan promosi wisata.
Selain memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat, penelitian
ini juga memberikan rekomendasi kepada Pemda diantaranya mengenai
perlu ditingkatkannya upaya Pemda untuk mendorong kesadaran masyarakat
dalam membayar pajak dan retribusi daerah, perlu komitmen yang kuat dari
Pemda untuk menetapkan peraturan terkait pemungutan dan pengelolaan
pajak daerah dan retribusi daerah, serta komitmen untuk menerapkan tarif
pajak daerah dan retribusi daerah yang lebih pro investasi. Pemda juga diha-
rapkan selalu melakukan evaluasi atas implementasi UU No. 28 Tahun 2009
dalam konteks untuk optimalisasi jenis pajak yang akan didorong untuk me-
ningkatkan PAD.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Australia
Indonesia Partnership for Decentralization yang telah mendukung terlaksana-
nya rangkaian kegiatan TADF 2013. Kami berharap bahwa hasil penelitian ini
bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di
Indonesia.
Direktur Jenderal,
Boediarso Teguh Widodo
Page 11
xi
Tabel 2.1. Pemungutan dan Pengelolaan Pajak Properti di Beberapa
Negara ............................................................................... 20
Tabel 3.1. Kriteria dan Jenis Pajak yang diteliti .................................... 26
Tabel 4.1. Total PAD Kabupaten/Kota berdasarkan Pulau di Indonesia
(Rp triliun) ......................................................................... 32
Tabel 4.2. Rata-rata Penerimaan Jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota
Seluruh Indonesia (Rp miliar) .............................................. 33
Tabel 4.3. .Jumlah Penduduk Daerah Sampel (jiwa) ............................ 35
Tabel 4.4. Luas Wilayah Daerah Sampel .............................................. 36
Tabel 4.5. Tingkat Kemiskinan Daerah Sampel 2007-2011 (%) ........... 38
Tabel 4.6. Total Belanja Daerah 2007-2011 (Rp miliar) ........................ 39
Tabel 4.7. Rasio Belanja Langsung terhadap Total Belanja Daerah
2007-2011(%) .................................................................... 40
Tabel 4.8. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah
2007-2011 (%) ................................................................... 41
Tabel 6.1. Pertumbuhan PAD Tahun 2008-2011 (%) ........................... 65
Tabel 6.2. Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Tahun 2008 - 2011 (%) 67
Tabel 6.3. Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah 2008 – 2011 (%) .. 67
Tabel 6.4. Pajak Per Kapita Daerah Sampel 2007-2011 (rupiah per jiwa) 70
Tabel 6.5. Rasio Pajak terhadap PDRB AHB Daerah Sampel 2007-
2011 (%) ............................................................................ 71
Daftar Tabel
Page 12
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .xii
Tabel 6.6. Rasio Pajak Terhadap PAD di Daerah Sampel Tahun 2007-
2012 (%) ............................................................................ 72
Tabel 6.7. Rasio PAD terhadap Total Penerimaan di Daerah Sampel
Tahun 2007-2012 (%) ......................................................... 73
Tabel 6.8. Rasio PAD terhadap Total Belanja di Daerah Sampel Tahun
2007-2012 (%) ................................................................... 74
Tabel 6.9. Rasio PAD terhadap PDRB AHB di Daerah Sampel Tahun
2007-2011 (%) ................................................................... 75
Tabel 6.10. Realisasi Jenis Pajak Kab. Malang (miliar rupiah) ................ 76
Tabel 6.11. Realisasi Jenis Pajak Kab. Deli Serdang (miliar rupiah) ........ 77
Tabel 6.12. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Bandung (miliar rupiah) .... 78
Tabel 6.13. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Badung (miliar rupiah) ...... 80
Tabel 6.14. Realisasi Jenis Pajak Kota Balikpapan (miliar rupiah) ........... 81
Tabel 6.15. Realisasi Jenis Pajak Kota Surabaya (miliar rupiah) .............. 82
Tabel 6.16. Koefisien Rasio Pajak Daerah .............................................. 86
Tabel 6.17. Elastisitas Pajak Daerah ..................................................... 89
Page 13
xiii
Gambar 1.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota ....... 3
Gambar 1.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se Provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta) ......................... 4
Gambar 2.1. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Elastisitas
Penawaran Sempurna)................................................... 9
Gambar 2.2. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Penawaran Elastis) . 10
Gambar 2.3. Kurva Laffer ................................................................... 14
Gambar 4.1. Rata-Rata Penerimaan Pajak Daerah Kota-Kab Per Pulau
di Indonesia (Rp Triliun) ................................................. 31
Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel dan Nasional .... 37
Gambar 5.1. Tren Penerimaan Realisasi Pajak Daerah Sampel,
Tahun 2007-2011 .......................................................... 60
Gambar 6.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Tahun 2012 .................................................................... 63
Gambar 6.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Provinsi tahun 2011 (tidak termasuk DKI Jakarta) ..... 64
Gambar 6.3. Perkembangan Pendapatan Daerah Sampel Tahun
2007-2012 ..................................................................... 69
Gambar 6.4. Perkembangan Belanja Daerah Sampel Tahun 2007-
2012 .............................................................................. 70
Daftar Gambar
Page 14
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanxiv
Page 15
xv
Ringkasan Eksekutif
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009
dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un-
dang-undang ini mengatur sebelas jenis pajak untuk Pemerintah Kab/Kota
dan lima jenis pajak untuk Pemerintah Provinsi. Penambahan jenis pajak,
per luasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak diharapkan akan
memberikan dampak positif bagi pemerintah daerah. Namun demikian, ha-
rus diakui bahwa setelah lebih dari dua tahun sejak diundangkan, penerapan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini masih menghadapi berbagai ma-
salah, seperti pemahaman dan penafsiran daerah yang masih beragam dan
mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai perolehan, batasan/ definisi pajak
yang diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2009 belum dapat diimple men tasi-
kan dengan baik oleh beberapa daerah. Penelitian ini bertujuan untuk 1)
meng identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengim-
plementasikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terutama terkait
dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan
penetapan tarif pajak, 2) menganalisis pengaruh implementasi Undang-Un-
dang Nomor 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pa jak
baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap
peningkatan pendapatan daerah, dan 3) memberikan rekomendasi terkait
Page 16
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .xvi
optimalisasi implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 untuk
meningkatkan pendapatan daerah.
Penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu metode kualitatif
dan metode kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga metode pe-
ngumpulan data, yaitu: desk study, focus groups discussion (FGD), dan kue-
sioner. FGD dan pengisian kuesioner dilakukan pada tujuh daerah yaitu Kota
Batam, Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Deli Serdang,
Kota Balikpapan, Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang. Metode kuantitatif
dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder penerimaaan pajak di
seluruh daerah di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah masih menghadapi berba-
gai masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Masalah
tersebut terbagi menjadi: (1) Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu an-
tara lain: pemahaman yang berbeda terhadap UU sehingga khawatir salah
dalam melaksanakannya dan adanya kesulitan secara teknis untuk menerapkan
perluasan basis pajak; (2) Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara
lain: kurangnya SDM yang kompeten dalam bidang keuangan daerah, mema-
hami karakteristik daerah dan mampu melakukan simulasi untuk menghitung
dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi dan penerimaan
daerah, adanya anggapan bahwa tarif dalam UU No. 28 Tahun 2009 merupa-
kan batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa perlu lagi melihat kondisi riil
masyarakat di daerahnya, kurangnya kesadaran bahwa daerah telah memiliki
kewenangan penuh dalam penetapan tarif sepanjang masih dalam batas
maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU, tingginya NPOP-
TKP (Rp 60 juta) dalam pemungutan BPHTB bagi pemerintah kabupaten, dan
proses penetapan tarif yang seringkali belum melibatkan stakeholders (seperti
PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang mendapat dukungan
dan komitmen dalam pelaksanaannya; (3) Masalah dalam pemungutan jenis
pajak baru, yaitu antara lain: minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola
BPHTB dan PBB-P2, ketidaksiapan struktur SKPD, proses validasi atau verifikasi
yang relatif lama, adanya SE BPN No. 5 tahun 2013 yang seolah menyatakan
tidak perlunya verifikasi, rendahnya NJOP dibanding harga pasar, masih mi-
nimnya kompetensi SDM (pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan),
kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, dan ketidakakuratan
Page 17
RINGKASAN EKSEKUTIF xvii
data piutang PBB; dan (4) Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya
pungutan diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, tidak
adanya insentif pajak Hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, belum efek-
tifnya proses evaluasi Raperda di provinsi, adanya monopoli bank dalam pem-
bayaran pajak daerah, masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam mem-
ba yar pajak, kurangnya kerjasama diantara stakeholders pajak daerah, belum
siapnya regulasi beserta hardware/software untuk menerima pelimpahan
data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak pratama, belum memadainya jum-
lah tenaga administrasi untuk pendataan dan pendaftaran, belum dijalan-
kannya mekanisme one stop service untuk pajak daerah, dan kurang aku rat-
nya data wajib pajak.
Selanjutnya, beberapa indikator seperti pertumbuhan PAD, pertumbuhan
realisasi pajak daerah, pajak per kapita, rasio pajak terhadap PDRB AHB, rasio
pajak terhadap PAD, rasio PAD terhadap total penerimaan, rasio PAD terhadap
total belanja daerah, dan rasio PAD terhadap PDRB AHB di daerah sampel
meng alami peningkatan di tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa UU No
28 Tahun 2009 telah mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Sementara
hasil regresi untuk data seluruh kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan
bahwa sektor ekonomi (PDRB), khususnya beberapa sub sektor yang menjadi
basis pajak daerah sampai tahun 2010 belum cukup kuat memberi pengaruh
terhadap rasio pajak. Sedangkan terhadap elastisitas pajak, tampak bahwa
dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak Hotel dan BPHTB mengalami peningkatan
elastisitas setelah penerapan UU No. 28 Tahun 2009. Sebaliknya, elastisitas
pajak restoran dan pajak penerangan jalan, meskipun kecil, namun cenderung
mengalami penurunan.
Penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi baik bagi Pemerintah
Pusat maupun bagi Pemerintah Daerah. Rekomendasi bagi Pemerintah Pusat
antara lain: (1) Dalam masa transisi, paling tidak hingga tahun 2017, sebaik-
nya diatur agar Direktorat Jenderal Pajak tetap terlibat dan berperan mem-
bantu pemerintah daerah dalam pengelolaan jenis pajak pusat yang dialihkan
ke daerah, sehingga KPP tetap bisa melakukan pendampingan dan mem beri-
kan bantuan teknis lainnya, terutama terkait dengan pengelolaan dan penye-
lesaian piutang PBB P2; (2) Pemerintah pusat harus memberikan ban tuan
ter hadap daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat rendah. Jenis
Page 18
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .xviii
bantuan yang diberikan sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-
faktor internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk
didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) agar daerah
secara cepat dapat menyesuaikan NJOP yang mendekati nilai transaksi (harga
pasar), pendampingan untuk perumusan regulasi, penyusunan SOP dan
program, pelatihan untuk peningkatan kualitas dan pengelolaan data, pen-
dampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT,
BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pelatihan untuk pemanfaatan teknologi
informasi; (3) Untuk pajak daerah yang bersifat self-asessment, dukungan
adminsitrasi perpajakan yang efisien sangatlah penting, termasuk pengem-
bangan system yang berbasis e-tax. Pengembangan system yang baik, tentu
perlu dukungan peraturan/regulasi dan SDM yang mumpuni; (4) Undang-
Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi
dengan menerapkan NPOP-TKP berdasarkan klaster agar daerah kabupaten
yang kurang memiliki potensi BPHTB tetap memperoleh penerimaan BPHTB;
(5) Revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebaiknya memuat
pasal yang mengatur tentang adanya insentif terhadap pajak hotel, pajak
res toran, dan pajak hiburan yang diberikan kepada PHRI dan hanya boleh
digunakan untuk promosi wisata; (6) Kegiatan pelatihan, pendidikan, work-
shop, sosialisasi, dan kegiatan sejenis yang berupaya meningkatkan kapasitas
aparatur Dispenda/DPPKAD perlu diperbanyak untuk meningkatkan kompe-
tensi aparatur Dispenda/DPPKAD; dan (7) Sepanjang daerah masih mengalami
kekurangan staf yang kompeten di bidang perpajakan, maka perlu diatur
agar aparat pemerintah daerah yang sudah memiliki kompetensi khusus di
bidang perpajakan tidak dipindahkan ke bidang lain yang tidak sesuai dengan
kompetensinya.
Sementara rekomendasi bagi Pemerintah Daerah antara lain: (1) Untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, pemerintah
daerah harus terlebih dahulu meningkatkan pelayanan publik yang diikuti
dengan menjalankan program sosialisasi pajak daerah secara sistematis dan
massive. Peningkatan layanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah
akan sangat membantu upaya meningkatkan kesadaran masyarakat; (2) Dae-
rah harus berani menetapkan kebijakan terkait dengan pengelolaan pajak
dae rah yang secara nyata sudah menjadi kewenangannya (seperti tarif, insti-
Page 19
RINGKASAN EKSEKUTIF xix
tusi, insentif, SOP, dan lain-lain) dan tidak selalu meminta agar diatur oleh
pe merintah pusat. Proses penetapan kebijakan dimaksud sebaiknya melibat-
kan stakeholders pajak daerah, termasuk akademisi; (3) Daerah harus meng-
kaji secara obyektif dan komprehensif tentang kebutuhan struktur SKPD
dikaitkan dengan beban pengelolaan pajak daerah, jika dianggap perlu pe-
misahan Dispenda dengan DPPKAD atau jika dianggap perlu penambahan
eselon 3 di Dispenda/DPPKAD silakan dilakukan. Tidak perlu menunggu atur-
an lagi dari pemerintah pusat karena hal itu sepenuhnya sudah menjadi ke-
wenangan daerah; (4) Daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat ren-
dah sebaiknya tidak menetapkan tarif pajak maksimum sebagaimana diatur
dalam UU No. 28 tahun 2009. Sebaliknya untuk lebih menarik bagi investor,
maka daerah tersebut harus menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah
dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif pajak daerah
yang bervariasi untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya; (5) Evaluasi
Raperda Pajak Daerah di provinsi selama ini terkesan hanya proses prosedural
saja dan belum efektif. Untuk lebih mengefektifkan proses evaluasi Raperda
ini, maka sebaiknya pemerintah provinsi membentuk tim evaluator indepen-
den yang memahami karakteristik daerah dan substansi pajak daerah; (6)
BPHTB dan PBB P2 merupakan pajak daerah yang memiliki potensi besar
memberi kontribusi pada PAD. Oleh karena itu, perbaikan basis data, pe nye-
suaian NJOP, dan perbaikan sistem informasi pajak BPHTB dan PBB P2 harus
menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah; dan (7) Pemerintah daerah
perlu melakukan kajian secara menyeluruh untuk mengetahui efektivitas
implementasi UU No. 28 Tahun 2009 di daerah, sekaligus juga untuk menge-
tahui jenis pajak mana yang sudah jenuh dan yang masih bisa dioptimalkan
penerimaannya.
Page 20
| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanxx
1
Page 21
1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009
dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un-
dang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan
perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dengan member-
lakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi
yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/
Kota sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah-nya. Pemerintah Provinsi diberi-
kan akses terhadap lima jenis pajak, sementara Pemerintah Kabupaten/Kota
diberikan akses terhadap sebelas jenis pajak.
Disamping adanya perluasan basis pajak (seperti dimasukkannya catering
sebagai bagian dari pajak restoran) dan adanya keleluasaan pemerintah dae-
rah dalam menetapkan tarif pajak, hal lain yang cukup penting dalam Un-
dang-Undang Nomor 28 tahun 2009 ini adalah dimasukkannya 2 jenis pajak
pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak
Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai
pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung desentrali-
sasi seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman internasional yang
1
Page 22
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .2
menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserahkan kepada daerah
sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.
Penambahan jenis pajak, perluasan basis pajak, dan keleluasaan pene-
tapan tarif pajak diharapkan akan memberikan dampak positif bagi pemerin-
tah daerah. Dampak positif dimaksud antara lain tampak dari adanya kelelu-
asaan daerah untuk menyesuaikan kebijakan perpajakan (seperti penetapan
tarif pajak) dengan kondisi daerah masing-masing, munculnya competitiveness
antar daerah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, terjalinnya
hu bungan kemitraan yang lebih baik dan akuntabel dengan pengusaha dan
masyarakat untuk memikul bersama beban pembangunan daerah, dan terse-
dia nya sumber pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pem-
bangunan infrastruktur.
Namun demikian, harus diakui bahwa setelah lebih dari dua tahun sejak
diundangkan, penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini masih
menghadapi berbagai masalah, seperti pemahaman dan penafsiran daerah
yang masih beragam dan mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai per-
oleh an, batasan/ definisi pajak yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
belum dapat diimplementasikan, keterbatasan kemampuan aparat Pemerintah
Daerah dalam menyusun Perda PDRD, serta kurangnya kesiapan Pemerintah
Daerah dalam mengelola jenis pajak baru akibat belum tersedianya sarana
dan prasarana termasuk sistem, organisasi dan SOP, minimnya kompetensi
SDM untuk pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan, belum dilaku-
kannya pemutakhiran data objek, subjek, wajib pajak, dan piutang, dan kurang-
nya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
Kondisi demikian mengakibatkan implementasi Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 belum mampu meningkatkan kontribusi pajak daerah terha-
dap Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan. Hal ini antara lain tampak
dari perkembangan rasio pajak daerah dan besaran pajak daerah per kapita.
Meskipun kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah terus mengalami
kenaikan, dari 18,6% (2010), 19,66% (2011), dan 20,4% (2012) akan tetapi
ra sio pajak (tax ratio) dan Pajak per Kapita (tax per capita) masih sangat ren-
dah. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah
penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam
Page 23
PENDAHULUAN 3
membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak
yang dimiliki. Sementara pajak per kapita merupakan perbandingan antara
jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah pen-
duduknya, yang menunjukkan kontribusi setiap penduduk terhadap pajak
daerah.
Pada tahun 2012, rata-rata rasio pajak daerah secara nasional (agregat
provinsi, kabupaten, dan kota) hanya sebesar 1,39%, menurun dari tahun
2011 yang besarnya mencapai 2,9%. Jika diperhatikan hanya untuk agregat
kabupaten/kota saja, rata-rata rasio pajaknya bahkan jauh lebih kecil lagi,
yaitu hanya 0,37%, juga menurun dari tahun 2011 yang besarnya mencapai
0,6%.
Gambar 1.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Sumber: Deskripsi dan Analisis APBD 2012, DJPK Kemenkeu, 2012
Sementara itu, besaran pajak per kapita juga masih sangat rendah, di mana
rata-rata nasional untuk agregat kabupaten dan kota dalam satu provinsi
pada tahun 2012 hanya sebesar Rp 79.643. Meskipun besaran rata-rata pajak
per kapita ini masih sangat rendah, ternyata penduduk di sebagian besar
dae rah (di 24 provinsi) justru mempunyai besaran pajak per kapita di bawah
rata-rata nasional tersebut.
Page 24
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .4
Gambar 1.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se Provinsi
(tidak termasuk DKI Jakarta)
Sumber: Deskripsi dan Analisis APBD 2012, DJPK Kemenkeu, 2012
Fakta di atas menunjukkan bahwa meskipun upaya pemerintah untuk
meningkatkan local taxing power dengan menerbitkan Undang-Undang No-
mor 28 Tahun 2009 yang telah menambah jenis pajak, memperluas basis pajak,
dan memberi keleluasaan penetapan tarif pajak sudah menunjukkan hasil
positif, namun realisasi pajak daerah sebenarnya masih jauh lebih rendah dari
potensinya. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kebijakan Undang-Undang No-
mor 28 Tahun 2009 ini dan pengaruh implementasinya terhadap peningkatan
pendapatan daerah perlu dilakukan melalui suatu penelitian.
1.2. Rumusan Masalah
Secara garis besar, pokok masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini
adalah :
1. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengimplemen-
tasikan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan
pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan
penetapan tarif pajak?
2. Bagaimana pengaruh implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan
Page 25
PENDAHULUAN 5
basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan
pendapatan daerah?
3. Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah agar mereka dapat
mengoptimalkan implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009
untuk meningkatkan pendapatan daerah?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama
terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan
keleluasaan penetapan tarif pajak.
2. Menganalisis pengaruh implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan
basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan
pendapatan daerah.
3. Memberikan rekomendasi terkait optimalisasi implementasi Undang-
Undang Nomor 28 tahun 2009 untuk meningkatkan pendapatan
daerah.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah, eksekutif dan
legislatif, terutama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan daerah
terkait dengan optimalisasi implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009, agar pendapatan daerah mengalami peningkatan.
Page 26
6
Landasan Teori
2.1. Administrasi Perpajakan
Ray, Herschel dan Horrace mendefinisikan bahwa pajak merupakan
suatu peng alihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah,
yang bukan aki bat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu tanpa mendapat im-
balan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan
tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Pajak berfungsi sebagai
penerimaan (budgetary function) dan sebagai pengaturan (regulatory function).
Secara lebih spesifik, pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan
bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah dan sebagai piranti untuk meng-
atur atau melak sa na kan kebijakan pembangunan untuk kesejahteraan ma-
sya rakat. Pajak dapat berfungsi sebagai automatic stabilizer dan juga sebagai
piranti untuk mere distribusi pendapatan. Pajak dapat juga digunakan sebagai
piranti untuk mem pengaruhi perilaku masyarakat, misalnya penerapan pajak
dengan tarif yang tinggi untuk minuman mengandung etil alkohol diharapkan
dapat mengurangi tingkat konsumsi masyarakat akan minuman beralkohol.
Menurut golongannya, pajak dibagi menjadi pajak langsung dan pajak
tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak
dapat dilimpahkan kepada pihak lain tetapi menjadi beban langsung wajib
2
Page 27
LANDASAN TEORI 7
pajak yang bersangkutan, misalnya pajak penghasilan. Pajak tidak langsung
adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain,
misalnya pajak pertambahan nilai. Menurut sifatnya, pajak dibedakan men-
jadi pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah pajak yang ber-
pangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat
objektifnya, yaitu memperhatikan keadaan wajib pajak, misalnya pajak peng-
ha silan. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan wajib pajak, misalnya pajak per-
tambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Menurut pemungut
dan pengelolanya, pajak dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah.
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara, misalnya pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. Pajak daerah
ada lah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah, misalnya pajak reklame, pajak hiburan,
dan pajak bumi dan bangunan.
Dalam memungut pajak, diperlukan asas-asas pemungutan pajak yaitu
equity, certainty, dan convenience. Terdapat dua jenis equity dalam pemu-
ngut an pajak, yaitu horizontal equity dan vertical equity. Dalam horizontal
equity, semua wajib pajak yang memiliki keadaan yang sama akan dikenai
beban pajak yang sama besar. Dalam vertical equity, setiap wajib pajak dibe-
bani pajak sesuai dengan keadaan ekonominya. Yang dimaksud dengan certainty
adalah wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak
yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. Yang
dimaksud dengan convenience adalah timing pembayaran pajak oleh wajib
pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak,
misalnya pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan yang disebut pay
as you earn. Selain itu, biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban
pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin. Sementara itu, sis-
tem pemungutan pajak dibedakan menjadi official assessment, self assessment,
dan withholding system. Official assessment adalah sistem pemungutan pa-
jak yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besar-
nya pajak yang terutang. Self assessment adalah sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak
Page 28
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .8
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar. Withholding system memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak. Berikut ini merupakan mekanisme hapusnya utang
pajak: i) pembayaran, ii) kompensasi, iii) daluwarsa, iv). pembebasan, dan v)
penghapusan. Dalam pembayaran, utang pajak yang melekat pada wajib
pajak akan terhapus karena pembayaran pajak yang yang dilakukan ke kas
negara. Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan
tagihan seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kom-
pensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan
pembayaran pajak dan harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya
yang terutang. Yang disebut dengan kadaluwarsa adalah telah dilampauinya
waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya
masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan pembebasan adalah utang pajak berakhir karena ditiada-
kan, biasanya terhadap sanksi administrasi. Penghapusan merupakan hal
yang hampir sama dengan pembebasan, tetapi penghapusan ini disebabkan
oleh keadaan wajib pajak.
2.2. Tax Incidence
Tax incidence hanya tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran
atas objek pajak. Sementara itu, statutory incidence (siapa yang seharusnya
membayar pajak menurut peraturan) sama sekali tidak relevan. Hanya econo-
mic incidence (siapa yang membayar pajak) yang relevan. Misalnya, diasumsi-
kan bahwa produksi mobil memiliki struktur biaya tetap sehingga kurva pe-
nawaran mobil sejajar dengan sumbu horisontal sebagaimana terlihat dalam
Gambar 1. Sebelum dikenakan pajak penjualan, harga mobil sebesar P dan
keseimbangan terjadi pada kuantitas mobil Q1 (titik potong kurva penawaran
S dengan kurva permintaan D). Setelah produksi mobil dikenakan pajak pen-
jualan dengan tarif t, maka kurva penawaran S bergeser ke atas menjadi S’
dengan tingkat harga (1 + t) P. Kenaikan kurva penawaran tersebut mengaki-
bat kan keseimbangan pasar terjadi pada kuantitas mobil yang lebih kecil,
sebesar Q2. Penerimaan pemerintah dari pajak penjualan mobil sebesar area
Page 29
LANDASAN TEORI 9
abe’c. Pajak menciptakan wedge antara harga yang diterima oleh produsen
de ngan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Akibat adanya pajak penjual-
an sebesar t, harga mobil yang semula P naik menjadi (1 + t) P yang berarti
konsumen membayar mobil dengan harga yang lebih tinggi. Karena kurva
penawaran sejajar dengan sumbu mendatar (elastis sempurna) maka sebenar-
nya seluruh beban pajak ditanggung oleh konsumen, meskipun yang mem-
bayar pajak penjualan kepada pemerintah adalah produsen. Jadi, produsen
mobil selaku pihak wajib pajak dapat menggeserkan beban pajak penjualan
kepada konsumen dengan cara menaikkan harga penjualan. Dengan demi-
kian, hanya elastisitas yang relevan dalam menentukan economic incidence
pajak.
Surplus konsumen setelah pajak diterapkan adalah sebesar area ae’d,
sedangkan surplus konsumen semula adalah sebesar area aed. Dalam kasus
elastisitas penawaran yang elastik sempurna, produsen menggeser seluruh
beban pajak kepada konsumen. Sebagian surplus konsumen yang berkurang
merupakan transfer of surplus dari konsumen ke pemerintah yang berupa
penerimaan pajak. Bagian dari surplus konsumen yang tidak ditransfer ke
pe merintah, hilang dari perekonomian, dan disebut sebagai excess burden
atau deadweight loss (Gambar 2.1). Excess burden ini berasal dari distorsi
yang diakibatkan oleh adanya efek substitusi.
Gambar 2.1. Elastisitas dan Tax Incidence
(Kasus Elastisitas Penawaran Sempurna)
Page 30
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .10
Apabila kurva penawaran memiliki some degree of elasticity, maka
produsen dapat menggeserkan sebagian beban pajak kepada konsumen,
seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Sebelum adanya pajak, keseimbangan
terjadi di titik e, yaitu pada tingkat harga P1 dan jumlah produksi sebesar Q1
mobil per tahun. Adanya pajak menyebabkan kurva penawaran bergeser ke
kiri atas sehingga keseimbangan baru terjadi di titik e’. Keseimbangan baru
tersebut tercapai pada tingkat harga P2 dengan kuantitas sebesar Q2. Jarak
e’b menunjukkan besarnya pajak yang dikenakan pada setiap barang yang
dihasilkan. Awalnya, surplus konsumen adalah sebesar ged dan karena pe-
nge naan pajak berkurang menjadi ce’d. Sementara itu, surplus produsen
pada awalnya adalah sebesar gef lalu berubah menjadi ce’g. Penerimaan pa jak
oleh pemerintah sebesar area abe’c dimana produsen menanggung pa jak
sebesar abhg dan konsumen menanggung pajak sebesar ghe’c.
Gambar 2.2. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Penawaran Elastis)
Dari Gambar 2.1 dan 2.2 dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin elastis
kurva penawaran (dengan asumsi kurva permintaan tetap), maka semakin
besar beban pajak yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen.
Sebaliknya, semakin inelastis kurva penawaran suatu barang, akan semakin
kecil kemampuan produsen untuk menggeserkan beban pajak kepada kon-
Page 31
LANDASAN TEORI 11
sumen. Semakin elastis kurva permintaan suatu barang, semakin kecil beban
pajak yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen. Sebaliknya,
semakin inelastis kurva permintaan barang tersebut, semakin besar beban
yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen. Elastisitas merupa-
kan satu-satunya faktor yang menentukan tax incidence.
2.3. Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Jika kita memperhatikan sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara
di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada
umum nya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpa-
jak an daerah sebagai berikut (Sidik, 2002):
1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat
mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masya-
rakat.
2. Adil dan merata secara vertikal, yaitu sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan secara horizontal, yaitu berlaku sama bagi setiap ang gota
kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayan-
an memuaskan bagi si wajib pajak.
4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi
dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
5. Non-distorsioner atau lumpsum terhadap perekonomian, yaitu tidak me-
nimbulkan excess burden atau deadweight loss dalam perekono mian.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan dae-
rah harus memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:
1. Dapat dipungut, yaitu perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih
besar dibandingkan ongkos pemungutannya. .
2. Relatif stabil, yaitu penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu tajam.
3. Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip manfaat (be-
ne fit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
Page 32
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .12
Dalam desentralisasi fiskal, pemberian kewenangan untuk mengadakan
pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan,
juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah.
Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang mendukung pemberian kewe-
nangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Menurut
Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan
dalam tax assignment atau pemberian kewenangan perpajakan kepada pe-
merintah pusat, provinsi atau kabupaten/kota adalah:
1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok
untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung-
jawab Pemerintah Pusat.
2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu
“mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar
pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke
daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak
terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip
pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat.
Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan
utama untuk mempertahankan kewenangan pajak di tingkat pemerintah
yang lebih tinggi.
3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah seharusnya
diserahkan kepada Pemerintah Pusat, misalnya pajak penghasilan.
4. Pajak daerah seharusnya visible, yaitu pajak seharusnya jelas bagi pem-
bayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang
dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas
daerah.
5. Pajak di suatu daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada pendu-
duk daerah lain karena akan memperlemah hubungan antar pembayar
pajak dengan pelayanan yang diterima.
6. Pajak daerah seharusnya menjadi sumber penerimaan yang memadai
un tuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil pene-
rimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak
terlalu berfluktuasi.
Page 33
LANDASAN TEORI 13
7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah proses
administrasinya atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi se-
cara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jum-
lah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan kompu-
terisasi.
8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secu-
kupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewe-
nangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang man-
faatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak daerah tersebut.
Ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berdasarkan Un-
dang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah dapat
mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk memungut pajak dan retribusi
di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, perda-perda yang akan dikeluarkan
oleh pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, terutama terhadap Undang-Undang No-
mor 28 tahun 2009. Menurut Saragih (2003), di samping jenis atau objek
pa jak daerah seperti yang telah disebutkan sebelumnya, daerah juga diberi
keleluasaan atau peluang untuk menciptakan pajak daerah lainnya asal sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang
harus dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut:
1. Bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;
2. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepen-
tingan umum;
3. Potensinya memadai;
4. Tidak berdampak negatif terhadap perekonomian;
5. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
6. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal
dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu: (i)
dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung
untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak
daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis
Page 34
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .14
tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung
pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan
tarif pajak lebih tinggi (Brenan.et.all, 1980). Formulasi ini dikenal sebagai
mo del Leviathan. Model ini mengasumsikan bahwa biaya administrasi perpa-
jakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik
yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang
dipengaruhi oleh besaran pajak.
Gambar 3.3 menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional
atas basis pajak tertentu. Kurva Laffer yang berbentuk parabola menghadap
sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan total penerimaan pajak maksimum yang
ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak
baik legal maupun ilegal dengan mengubah economic behavior dari wajib
pa jak. Gambar 3.3 juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak
ter ha dap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis
pajak dan tarif pajak lainnya. Total penerimaan pajak maksimum (T*) tercapai
dengan tingkat tarif t*, yaitu revenue maximizing tax rate.
Gambar 2.3. Kurva Laffer
Sumber: Sidik, 2002
Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa pening-
katan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan
tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang le-
bih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan
Page 35
LANDASAN TEORI 15
penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pe-
ngenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai total penerimaan mak-
simum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hu-
bungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai
total penerimaan pajak maksimal.
Undang-undang No. 28 tahun 2009 mengatur tentang pajak dan retri-
busi daerah, dimana undang-undang ini menjelaskan bahwa pajak daerah
dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga pe-
netapannya ditetapkan oleh peraturan daerah. Pajak daerah merupakan
kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis pajak daerah dibagi
menjadi dua:
i. Pajak Provinsi, yang terdiri dari:
a. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor, yang hasil penerimaannya dise-
rahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 30%.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan
hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak
atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli,
tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan
usaha.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas peng-
gunaan bahan bakar kendaraan bermotor, yang hasil penerimaannya
diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 70%.
d. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pe-
man faatan air permukaan, yang hasil penerimaannya diserahkan
kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 50%.
e. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh
Pe me rintah, yang hasil penerimaannya diserahkan kepada pemerin-
tah ka bu paten/kota sebesar 30%.
Page 36
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .16
ii. Pajak Kabupaten/kota, yang terdiri dari :
a. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
b. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.
c. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
d. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga lis trik,
baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber
alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
g. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha
maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan
tempat penitipan kendaraan bermotor.
h. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaat-
an air tanah.
i. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau diman-
faat kan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digu-
nakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertam-
bangan.
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak
atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 yang menjadi sub-
jek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak se-
dang kan wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar
pa jak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan ke-
Page 37
LANDASAN TEORI 17
wa jiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
Salah satu ciri kewenangan pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota dalam mengelola keuangan daerah adalah optimalisasi pen-
dapatan asli daerah untuk membiayai pengeluaran daerah, salah satu caranya
dengan meningkatkan local taxing power. Permasalahannya adalah banyak
daerah belum mampu mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya. Mahi
(2011) dengan menggunakan data tahun 2001, 2005, dan 2008 menunjukkan
bahwa pendapatan asli daerah tidak memberikan kontribusi yang signifikan
untuk mendukung pembiayaan belanja daerah. Dengan kata lain, pendapatan
asli daerah belum cukup untuk membiayai belanja daerah. Selisih antara
pen dapatan asli daerah dan belanja daerah membuat pemerintah daerah
bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat sehingga APBD dido-
minasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat. Struktur APBD yang
didominasi oleh dana perimbangan menjadikan APBD sangat rentan terhadap
perubahan eksternal misalnya jika terjadi keterlambatan pencairan dana
transfer dari pemerintah pusat maka akan mengganggu APBD dan kegiatan
pemerintah daerah menjadi terganggu. Dengan mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi pajak dan retribusi daerah maka pemerintah daerah
dapat mengetahui bagaimana cara mengoptimalkan pemungutan pajak dan
retribusi daerah. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan asli
daerahnya dengan mengoptimalkan dasar pengenaan pajaknya. Mahi meng-
gunakan dekomposisi elastisitas pajak dan menemukan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi pemungutan pajak dan retribusi daerah adalah pertum-
buhan ekonomi daerah, kelonggaran kebijakan tarif pajak dan regulasi dae-
rah. Perubahan kebijakan pajak daerah berada di bawah kontrol dari kemen-
terian keuangan sebagai otoritas pajak di Indonesia seperti perubahan tarif
pajak, perubahan dasar pengenaan pajak, perubahan pemungutan dan pe-
nye lenggaraan pajak. Kajian tersebut juga menemukan bahwa pajak dan
retri busi daerah yang ada di Indonesia tidak buoyant atau kenaikan pajak
dan retribusi daerah kurang berdampak positif terhadap kenaikan pertum-
buhan ekonomi karena dasar pengenaan pajak bagi konsumsi lokal seperti
makanan dan non makanan tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Salah satu keunggulan sistem pajak yang elastis adalah penerimaan pajak
Page 38
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .18
meningkat secara proporsional lebih cepat dibandingkan pendapatan se-
hingga pemerintah dapat membiayai peningkatan pelayanan publik dan
lebih stabil. Ketika periode ekspansi ekonomi, penerimaan pajak naik lebih
cepat dibandingkan pendapatan sehingga APBD surplus dan memperlambat
ekspansi ekonomi tetapi ketika kontraksi ekonomi, penerimaan pajak berku-
rang lebih cepat dibandingkan pendapatan sehingga APBD cenderung defisit
anggaran dan memperlambat kontraksi ekonomi. Pajak daerah yang lebih
elastis merupakan salah satu solusi untuk mendukung optimalisasi pajak
daerah.
Dengan melimpahkan lebih pajak yang buoyant kepada pemerintah
daerah, pemerintah daerah juga diharapkan dapat memperbaiki elastisitas
pajak dan retribusi daerahnya. Namun yang perlu diperhatikan dalam opti-
mali sasi pajak melalui pajak properti adalah kemungkinan terjadinya persa-
ingan pajak yang dapat terjadi antar pemerintah daerah seperti yang di
terjadi di Finlandia (Lyytikainen, 2012). Sumber interaksi fiskal yang strategis
antar daerah yang dapat menyebabkan persaingan diantaranya adalah: i)
benefit spillover, terjadi manakala penduduk suatu daerah dapat mengakses
pelayanan publik daerah lain dan tarif pajak di daerah tersebut lebih tinggi
dibandingkan pajak daerah lain, ii) distorsi pajak bagi pajak-pajak yang dinilai
mobile, pajak yang lebih tinggi pada suatu daerah menyebabkan eksternalitas
positif secara fiskal bagi daerah lain, iii) pertimbangan ekonomi politik dan
informasi yang asimetris. Pengalaman di Vietnam menunjukkan bahwa pajak
properti baik untuk lahan pertanian maupun non pertanian berdasarkan
produktivitas beras yang dihasilkan. Meskipun dasar pengenaan pajak pro-
perti berdasarkan lahan memiliki risiko unsustainable, kurang buoyant tetapi
paling tidak pajak ini membawa dampak positif bagi pembangunan daerah
yang berkelanjutan (McCluskey and Hong-Loan Trinh, 2013).
2.4. Pengalaman Negara Lain
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa berbagai negara memiliki
pendekatan yang berbeda dalam proses administrasi dan pengelolaan pajak.
Terdapat sistem sentralistik dimana semua pajak, baik pajak pusat maupun
pajak daerah dikelola oleh pemerintah pusat dan sistem desentralisasi yaitu
Page 39
LANDASAN TEORI 19
pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola pajak pusat, pajak
daerah serta pemungutan pajak, penentuan tarif dasar pengenaan pajak.
Pendekatan ini dipengaruhi oleh tujuan pemungutan pajak dan hambatan
yang dihadapi untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan pokok tax administra-
tion adalah pertama, efisiensi yaitu memaksimalkan pendapatan dengan ba-
tasan biaya administrasi dan kepatuhan pembayar pajak; kedua, akuntabilitas
kepala daerah terhadap masyarakat pembayar pajak.
Menurut Martinez-Vazquez dan Timofeev (2005), meskipun sistem sen-
tralistik memiliki kelebihan karena skala dan cakupan yang besar memberikan
keuntungan berupa biaya operasional pemungutan pajak relatif lebih rendah,
lebih efisien dalam penggunaan input (kuantitas dan kualitas SDM serta
infrastruktur), sistem, standar, proses, prosedur dan IT yang digunakan sama
untuk seluruh wilayah nasional sehingga database pajak dapat terintegrasi
de ngan baik. Namun demikian, sentralistik tidak dapat mengakomodasi per-
be daan dan keberagaman kebutuhan, karakteristik dan kondisi antar daerah.
Oleh karena itu, pemisahan antara jenis pajak pusat-daerah berdasarkan
cakupannya beserta kelembagaannya (mixed model) menjadi salah satu al-
ternatif terbaik. Pemerintah pusat mengelola jenis pajak yang ada di level
pusat sedangkan pemerintah daerah mengelola jenis pajak daerahnya sendiri.
Mikesell (2003) menyatakan pemisahan pajak pusat-daerah berikut kelemba-
gaannya akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah pu-
sat-daerah karena semakin jelas bagi masyarakat pajak yang mereka bayarkan
masuk kemana dan siapa yang bertanggungjawab. Selain itu pemungutan
pajak lebih jelas, cepat, dan mekanisme kontrol lebih jelas (Vehorn and Ahmad,
1997). Pengalaman beberapa negara yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah sub-nasionalnya (pemerintah daerah) untuk melakukan penge-
lolaan-pemungutan pajaknya sendiri, misalnya Australia, Canada, China, Uni-
ted States, United Kingdom, Japan dan India. Agar pengelolaan-pemungutan
pajak pusat-daerah oleh pemerintah pusat-daerah dapat sinkron dan berjalan
dengan baik berdasarkan pengalaman praktik internasional maka diperlukan
fleksibilitas, koordinasi yang baik, kerjasama dan saling berbagi informasi
an tara pemerintah pusat-daerah, maupun antar pemerintah daerah.
Page 40
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .20
Tabel 2.1. Pemungutan dan Pengelolaan Pajak Properti
di Beberapa Negara
Country Tax Base Rate Identifi-cation
Assess-ment
Billing and
Collec-tion
Paid to
United Kingdom
Residential-property
Local National National Local Locality
Non-Residential-property
Natio-nal
National National Local Redistri-bution pool
Germany Real estate Local State Local Local Locality
Japan Real estate Local National Local Local Locality
Indonesia Real estate Natio-nal
National National National Locality
Sumber: Martinez-Vasquez and Timofeev, 2005
Sjoquist (2003) terkait dengan pajak properti memiliki dua pertanyaan
yang mendasar yaitu tentang berapa tarif pajak properti yang seharusnya
dan bagaimana seharusnya beban pajak properti dibagikan. Jika tempat iba-
dah, sekolah, yayasan-yayasan sosial atau kantor milik pemerintah dikecualikan
dari pajak properti, siapa yang harus menanggung kerugian potensi pajak
properti tersebut? Jika dibebankan kepada wajib pajak properti, siapa wajib
pajak yang harus membayar lebih banyak dan berapa yang harus dibayar se-
suai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Pajak properti merupakan sa lah
satu pajak yang tidak disukai oleh pembayar pajak tetapi mau tidak mau mesti
dibayar karena menurut pandangan pembayar pajak, pajak pro perti terlalu
tinggi, nilainya naik terus menerus dengan kenaikan yang tinggi, peningkatan
perolehan dari pajak properti besar sehingga kemungkinan tidak dapat
dikon trol dengan baik, besarnya tarif pajak properti berbeda-beda dibandingkan
dengan pendapatan yang sama. Pajak properti memiliki beberapa keuntungan
meskipun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan
banyak keluhan. Beberapa keuntungan pajak properti antara lain: i) merupa-
kan satu-satunya bentuk pajak yang dapat dikaitkan dengan kekayaan, ii)
Page 41
LANDASAN TEORI 21
banyak meningkatkan pendapatan daerah sehingga pemerintah daerah da-
pat membiaya pembangunan daerahnya, iii) dasar pengenaan pajak properti
relatif stabil, tidak mudah dipindahtangankan, terlihat jelas jadi mudah
diprediksi sebagai sumber pendapatan yang baik bagi pemerintah daerah,
iv) nilai properti mencerminkan nilai manfaat pelayanan publik yang diterima
oleh masyarakat yang dibiayai dari hasil penerimaan pajak properti. Pajak
properti merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting
karena jika dihilangkan/dikurangi maka pemerintah daerah harus menambah
jenis pajak baru yang relatif dapat dikontrol dan dapat menyebabkan biaya
tinggi atau mengganti pajak properti dengan pajak penghasilan. Rosengard
(2012) menyatakan bahwa ada empat prinsip dasar dalam reformasi pajak
properti yang harus diperhatikan terlepas dari alasan utama untuk melakukan
reformasi yaitu: i) sederhana dalam pelaksanaannya mengalahkan teori opti-
malisasi, ii) dasar ekonomi perpajakan mengalahkan dasar politik-matematik,
iii) perubahan perilaku pembayar pajak dan petugas pajak mengalahkan
administrasi, iv) tujuan untuk mendapatkan penerimaan mengalahkan tujuan
lainnya.
Sejalan dengan Bahl and Martinez-Vazquez (2007), Rosengard (2012)
me nyatakan bahwa terdapat empat strategi yang perlu dipertimbangkan
ke tika mendesain dan melaksanakan reformasi pajak properti: i) bagaimana
dasar pengenaan pajak, ii) bagaimana penetapan tarif pajak, iii) mengevaluasi
berbagai macam pilihan sistem administrasi dan memilih yang terbaik, iv)
ba gaimana cara untuk mengurangi dampak dari transisi sistem pajak pro-
perti.
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) merupakan salah satu sumber
penerimaan yang penting bagi daerah, pajak ini pada dasarnya didesain un-
tuk mengurangkan beban pajak atas properti. Indonesia telah memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut BPHTB. Distribusi
hasil pajak BPHTB dapat menjadi permasalahan tersendiri karena dimung kin-
kan menjadi sumber ketidakmerataan fiskal yang baru dan memperburuk
ketimpangan fiskal yang terjadi (Zhao dan Yilin, 2008). Zhao dan Yilin (2008)
dengan menggunakan metode RTS (Representative-Tax-System) dan IWE
(Income-With-Exporting) menemukan bahwa di negara bagian Georgia, Ame-
rika Serikat, sebaran pendapatan dari BPHTB dengan menggunakan metode
Page 42
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .22
RTS lebih tinggi daripada penerimaan pajak properti, dan akan tumbuh terus
menerus meskipun penambahan BPHTB terkait dengan pajak properti mung-
kin tidak akan mempertajam ketimpangan fiskal tetapi jika trend pertumbuhan
BPHTB antar daerah mengalami kesenjangan maka ketimpangan fiskal pun
akan terus terjadi. Analisis IWE menghasilkan kesimpulan bahwa penambahan
BPHTB terkait dengan income-based revenue akan mempertajam ketimpangan
pendapatan antar daerah. Daerah juga perlu mempertimbangkan kondisi
geografi-topologi (intra-regional) untuk menetapkan kebijakan pajak BPHTB
dan distribusi hasil pajak, misalnya daerah yang memiliki wilayah pedesaan
yang luas perlu maka daerah perlu memberikan insentif bagi pembangunan
desa hal ini tidak hanya untuk mendorong pembangunan ekonomi saja te-
tapi juga untuk mengantisipasi ketimpangan fiskal antara wilayah perkotaan
dan pedesaan.
Menurut Sjoquist (2005), kebijakan pajak properti harus mempertim-
bang kan keakuratan dan frekuensi penilaian terhadap nilai tanah dan ba ngun-
an sebagai objek pajak properti. Secara umum nilai tanah persil nya tidak
banyak berubah pada saat penilaian kembali nilai tanah dilakukan kecuali
tanah persil tersebut sudah dipecah, jika tanah persil sudah dipecah maka
pe ni laian berdasarkan nilai tanah persil terakhir sebelum dipecah. Pertum-
buhan antar daerah akibat pajak properti tidak sama karena kenaikan nilai
tanah antar daerah berbeda-beda. Akibatnya, liabilitas pajak properti menjadi
relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai pasar tanah pada waktu
yang sama, pada saat nilai pasarnya sudah berubah tetapi nilai pajak tidak
berubah oleh karena perlu menggunakan penghitungan rasio nilai pajak
terhadap nilai pasar. Selain itu, jika wajib pajak atau pemilik tanah mengetahui
bahwa liabilitas pajak tanahnya lebih besar daripada penduduk di daerah lain
(dengan luas tanah yang sama) maka hal tersebut akan mengurangkan
kepatuhan wajib pajak tersebut untuk membayar pajak (Alm, McClelland and
Schulze, 1999). Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk reformasi struktur
tarif antara lain: i) menghilangkan batas atas tarif pajak properti. Kewajiban
membayar pajak hingga batas atas menyebabkan struktur tarif menjadi tidak
rasional dan tidak adil sehingga perlu dihilangkan, ii) reformasi harus mem-
buat batas pengecualian atas pajak misalnya berapa luas tanah minimum
yang boleh mendapatkan pengecualian pajak; pajak juga dapat dikecualikan
Page 43
LANDASAN TEORI 23
untuk tanah-tanah yang dimiliki oleh pemerintah, sekolah, tempat-tempat
ibadah dan yayasan-yayasan sosial; pengurangan pajak yang disebabkan
adanya peraturan misalnya ada peraturan yang membolehkan khusus untuk
tanah pertanian dan pemukiman dapat dinilai berdasarkan nilai pengguna-
annya yang berlaku bukan penggunaan yang optimal/terbaik, iii) reformasi
harus mengubah struktur tarif. Pajak progresif mendorong wajib pajak untuk
memecah propertinya agar tidak terkena pajak yang mahal.
Menurut Sjoquist (2005) untuk meningkatkan efektivitas pajak PBB
antara lain dapat dilakukan dengan cara: i) jangka waktu antar penilaian nilai
tanah dipersingkat agar meningkatkan pertumbuhan penerimaan dan meng-
hindari masalah yang mungkin timbul karena terjadinya peningkatan nilai
yang besar, ii) batas atas pembayaran pajak perlu dihilangkan dan dialihkan
kepada pengenaan batas pengecualian bagi tarif pajak yang flat.
Berikut ini merupakan cara bagaimana meningkatkan tingkat pemungut-
an pajak, ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan yaitu: i) memberikan
kemudahan bagi wajib pajak untuk membayar pajak contohnya untuk mem-
bayar pajak tidak harus datang ke kantor pajak atau dinas pendapatan daerah
tetapi bisa dibayarkan melalui kantor pos atau lembaga-lembaga lain yang
ditunjuk atau via online, ii) mengembalikan denda yang dibayarkan oleh wajib
pajak karena keterlambatan membayar pajak kepada masyarakat dalam ben-
tuk peningkatan pelayanan publik, iii) melekatkan pajak properti dengan jenis
pajak lainnya yang bersifat pokok seperti rekening air, pengajuan SIM, reke-
ning listrik, ijin usaha, ijin mendirikan bangunan dan ijin pengajuan lain nya.
Menurut Bird (2005), beberapa pelajaran penting dari penerapan pajak
pertambahan nilai di negara-negara berkembang antara lain: i) jika suatu
ne gara perlu atau ingin menerapkan pajak penjualan secara umum maka PPn
merupakan bentuk pajak yang baik, ii) penerapan PPn tidak selalu berjalan
dengan baik di beberapa negara berkembang karena faktor ketidaksiapan
me lakukan penilaian diri self-assessment, iii) PPn harus didasarkan prinsip
bahwa tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua sehingga harus dise-
suaikan dengan kondisi, karakteristik dan kemampuan-kebutuhan masing-
masing.
Page 44
24
Metode Penelitian
3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang diuraikan sebe-
lumnya, maka metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian
ini didesain untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dan
tujuan penelitian tersebut. Untuk itu, maka penelitian ini akan menggunakan
metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga me-
tode pengumpulan data, yaitu: Desk study, Focus Group Discussions (FGD), dan
kuesioner. Desk study akan dilakukan di tahap awal untuk mempelajari data
dan dokumen terkait dengan perkembangan pajak daerah, yang terdiri dari:
• Undang-UndangNomor28Tahun2009tentangPajakDaerahdanRetri-
busi Daerah beserta peraturan turunannya (PP dan PMK)
• DokumenPeraturanDaerah(Perda)terkaitsepertiPerdaBPHTB,Perda
PBB P2, Perda Pajak Hotel, Perda Pajak Restoran, dan Perda Pajak Pene-
rangan Jalan.
• Dokumenperencanaandanpenganggarandaerahpenelitian:RPJMD,
RKP, dan APBD.
Hasil dari studi dokumen ini akan digunakan untuk menyusun pedoman
FGD, serta merancang kerangka analisis.
3
Page 45
METODE PENELITIAN 25
Sementara itu, metode kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan
data sekunder penerimaaan pajak di seluruh daerah di Indonesia. Data ini akan
digunakan untuk menganalisis bagaimana pengaruh implementasi Undang-
Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis
pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak
terhadap peningkatan pendapatan daerah.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data se-
kun der. Adapun jenis dan sumber data yang akan dikumpulkan adalah seba-
gai berikut:
• Data primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari jawaban res-
ponden terhadap kuesioner dan data atau informasi yang diperoleh dari
kunjungan lapangan melalui proses dialog intensif dengan peng ambil
keputusan dan stakeholders terkait dengan penerapan Undang-Undang
No. 28 tahun 2009 di daerah, melalui focus group discussion (FGD) dan
in-depth interview kepada beberapa stakeholders terpilih terkait dengan
informasi yang perlu pendalaman.
• Data sekunder: berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan, Biro Pusat Statistik, dan Pemerintah Daerah,
antara lain data tentang perkembangan pajak daerah (terutama lima
jenis pajak daerah), PAD, total belanja daerah, PDRB, PDRB sub sektor,
pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan lain-lain. Data yang
dikumpulkan adalah data tahun sebelumnya dan setelah implementasi
Undang-Undang No. 28 tahun 2009, yaitu data sebelum dan setelah
tahun 2010.
Adapun jenis pajak yang akan dikumpulkan datanya dan dianalisis se-
cara mendalam adalah jenis pajak yang terkait dengan penerapan Undang-
Undang No. 28 tahun 2009, dengan kriteria sebagai jenis pajak baru, meng-
alami perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak, seperti
tampak pada tabel berikut:
Page 46
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .26
Tabel 3.1. Kriteria dan Jenis Pajak yang diteliti
Kriteria Jenis Pajak
Pajak Baru 1. BPHTB 2. PBB P2
Perluasan Basis Pajak1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Penerangan Jalan
Keleluasaan Penetapan Tarif Pajak 1. BPHTB 2. PBB P2
Data primer dibutuhkan sebagai data pendukung untuk membantu
lebih memperkaya pembahasan penelitian ini. Data ini bersumber dari hasil
wawancara langsung melalui Focus Group Discussion (FGD) dan melalui kue-
sioner terhadap beberapa aktor atau pelaku yang terkait dengan proses pe-
ngelolaan pajak daerah pada pemerintah daerah. FGD dan Kuesioner diarah-
kan untuk menjawab:
a) Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengim ple-
mentasikan UU No 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan
jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif
pajak.
b) Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah dalam meng opti-
malkan implementasi UU No 28 Tahun 2009 untuk meningkatkan penda-
patan daerah.
Data sekunder merupakan data utama yang digunakan dalam analisis
kuantitatif. Data ini bersumber dari berbagai sumber data, seperti Biro Pusat
Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, laporan Bank Indonesia dan beberapa
sumber lainnya. Analisis kuantitatif diarahkan untuk menjawab bagaimana
pengaruh implementasi UU No 28 Tahun 2009, terutama terkait dengan pe-
nambahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan
tarif pajak, terhadap peningkatan pendapatan daerah. Data sekunder yang
digunakan merupakan data panel, yaitu data cross section dan time series
un tuk seluruh daerah kabupaten dan kota di Indonesia.
Page 47
METODE PENELITIAN 27
3.3. Pemilihan Daerah Sampel
Proses pengumpulan data primer dimulai dengan melakukan pemilihan dae-
rah sampel yang akan dikunjungi untuk melakukan Focus Group Discussion
(FGD), in-depth interview, dan pengisian kuesioner. Daerah sampel akan di-
pilih berdasarkan pertumbuhan penerimaan pajak daerah tahun 2012 dan
atau kemampuan melaksanakan pengalihan PBB P2 yang diukur dari pertum-
buhan penerimaan PBB P2 tahun 2012, yang dikategorikan menjadi:
a) Daerah berkemampuan tinggi, jika besaran pertumbuhan penerimaan
pajak daerah tahun 2012 lebih tinggi dari rata-rata Kab/kota secara nasi-
o nal dan atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 di atas 10%.
b) Daerah berkemampuan normal, jika besaran pertumbuhan penerimaan
pajak daerah tahun 2012 hampir sama besar dengan rata-rata kab/kota
secara nasional dan/atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 positif tapi
kurang dari 10%.
c) Daerah berkemampuan rendah, jika besaran pertumbuhan penerimaan
pajak daerah tahun 2012 lebih rendah dari rata-rata Kab/kota secara
nasional dan atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 menurun atau
negatif.
Di samping itu, pertimbangan sebagai daerah kerja AIPD juga diperhi-
tungkan dalam pemilihan daerah sampel. Berdasarkan ketiga kategori terse-
but, maka daerah yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari tujuh
daerah, yaitu 4 kabupaten dan 3 Kota. Adapun ketujuh lokasi FGD terpilih
adalah:
1. Kabupaten Badung
2. Kota Batam
3. Kabupaten Bandung
4. Kota Balikpapan
5. Kabupaten Deli Serdang
6. Kota Surabaya
7. Kabupaten Malang
Page 48
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .28
Responden yang akan diundang menghadiri FGD sekaligus sebagian
akan diminta menjawab pertanyaan dalam in-depth interview dan kuesioner
terdiri dari:
1. Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD
2. Pejabat Eselon 3 di Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD
3. Bappeda
4. Asisten Sekda bidang ekonomi dan keuangan
5. KPP
6. Kepala PTSP (Perizinan)
7. Notaris/PPAT
8. BPN di daerah
9. Dinas penanaman modal
10. APINDO
11. Kadin daerah
12. PHRI
13. Pengusaha Real Estate
14. Akademisi daerah
15. DPRD
16. LSM terkait dengan pengelolaan keuangan daerah
3.4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuali-
tatif dipergunakan untuk menemukan masalah yang dihadapi oleh daerah
dalam mengimplementasikan UU No. 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan
pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan pene-
tapan tarif pajak. Analisis kualitatif digunakan dengan dua cara, yaitu:
1. Menganalisis secara mendalam hasil-hasil FGD yang dilakukan di daerah
sampel termasuk menganalisis Perda-Perda pajak daerah yang dimiliki
daerah sampel.
2. Menganalisis jawaban responden (daerah sampel) terhadap kuesioner
yang disampaikan.
Page 49
METODE PENELITIAN 29
Sedangkan analisis kuantitatif dipergunakan untuk mengetahui penga-
ruh implementasi UU No. 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan
jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak
terhadap peningkatan pendapatan daerah. Analisis kuantitatif akan dilakukan
juga dengan dua cara, yaitu:
1. Membandingkan penerimaan pajak daerah, rasio pajak daerah, pajak
per kapita, rasio pajak daerah terhadap pendapatan dan belanja, per-
tum buhan ekonomi, dan lain-lain di daerah sampel sebelum dan sesudah
UU No. 28 Tahun 2009 diberlakukan;
2. Menghitung rasio pajak dan elastisitas pajak daerah di Indonesia ter-
utama untuk mengetahui dampak dari pelaksanaan UU No. 28 Tahun
2009 terhadap peningkatan pendapatan daerah. Persamaan yang di-
gunakan untuk menghitung rasio pajak adalah sebagai berikut:
δT/δY = α0 + α1Ym + α2YL + α3Yphr + α4Yb + α5TK + α6Daper+ α7BM + D + e
Sementara persamaan yang digunakan untuk menghitung elastisitas
pajak terdiri dari:
1) Thtl = β0 + β1Yphr + D +e2) Tres = χ0 + χ1Yphr +D +e3) Tppj = δ0 + δ1YL + D +e4) Tpbb = φ0 + φ1Yb + D +e5) Tbphtb = γ0 + γ1Yb + D +e
Di mana:
δT/δY = PAD / PDRB (harga belaku)
Thtl = Pajak Hotel
Tres = Pajak restoran
Tppj = Pajak PPJ
Tpbb = PBB
Tbphtb = BPHTB
Ym = PDRB Sub sektor Industri pengolahan
YL = PDRB Sub sektor listrik, gas, air bersih
Yphr = PDRB Sub sektor perdagangan, hotel, restoran
Page 50
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .30
Yb = PDRB Sub sektor bangunan
BM = Belanja Modal
DP = Dana perimbangan
D = Dummy 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten.
Berdasarkan kedua analisis itu akan dirumuskan rekomendasi kebijakan
yang tepat dalam mengoptimalkan implementasi UU No. 28 Tahun 2009 se-
hingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. 4
Page 51
31
Gambaran Umum Daerah Sampel
Pada Bab 3 sebelumnya telah dijelaskan bagaimana proses pemilihan
daerah sampel. Pada Bab 4 ini akan dijelaskan gambaran keadaan per-
ekonomian ketujuh daerah sampel tersebut.
4.1. Potret Penerimaan Kabupaten/Kota di Indonesia
Secara umum, total pajak mengalami kenaikan pada periode tahun 2007
sam pai dengan 2012. Penerimaan pajak pada daerah yang berada di Pulau
Jawa dan Pulau Sumatera mendominasi dibanding pulau-pulau lainnya de ngan
kontribusi sebesar lebih dari 60% seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.1.
Gambar 4.1.
Rata-Rata
Penerimaan
Pajak Daerah
Kota-Kab Per
Pulau di
Indonesia
(Rp Triliun)
Sumber: DJPK,
2012; *) target
4
Page 52
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .32
Gambar 4.1. di atas menunjukkan perkembangan rata-rata penerimaan
pajak pada daerah per pulau di Indonesia. Daerah-daerah di Pulau Jawa men-
do minasi penerimaan pajak daerah selama 2007-2011. Kemudian penerimaan
pajak tertinggi kedua ditempati oleh daerah di Pulau Bali dan Nusa Tenggara.
Tingginya rata-rata penerimaan pajak di wilayah Bali dan Nusa Tenggara di-
karenakan provinsi-provinsi di daerah tersebut seperti Bali dan Nusa Tenggara
Barat merupakan daerah destinasi wisatawan. Kota-Kabupaten di daerah
tersebut dapat memacu penerimaan pajak daerahnya lewat sektor yang
berhubungan dengan kepariwisataan.
4.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kemampuan daerah dalam meningkatkan PAD yang dilihat dari pertumbuhan
PAD antar tahun dapat digunakan sebagai indikator tingkat kemandirian suatu
daerah. Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota adalah
14,29%. Kabupaten/Kota yang berada di Pulau Jawa memiliki rasio paling
tinggi, disusul oleh Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera.
Tabel 4.1. Total PAD Kabupaten/Kota berdasarkan Pulau di Indonesia
(Rp triliun)
Pulau 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Sumatera 4.12 5.05 5.00 5.31 7.43 8.66
Jawa 8.02 9.22 10.46 11.69 17.85 18.12
Kalimantan 1.73 1.90 2.16 2.10 2.95 3.08
Sulawesi 1.15 1.36 1.53 1.64 2.09 2.44
Bali-Nusa Tenggara 1.38 1.78 2.06 2.44 3.63 3.54
Maluku 0.19 0.31 0.27 0.28 0.41 0.51
Papua 0.42 0.61 0.69 0.66 0.70 0.93
Total 17.00 20.22 22.17 24.11 35.08 37.27
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Page 53
GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 33
Selain pertumbuhan PAD, indikator lainnya dalam mengukur kemandirian
suatu daerah adalah rasio PAD terhadap belanja daerahnya dan rasio PAD
terhadap PDRB. Berdasarkan Tinjauan Tahunan Keuangan Daerah dan Kinerja
Pelayanan Publik (Kemenkeu, 2012), rata-rata rasio PAD dari total belanja
ka bupaten dan kota sepanjang tahun 2008-2010 cenderung tetap. Pada ta-
hun 2008 rata-rata rasio PAD dari total belanja adalah 6,13%, meningkat men-
jadi 6,10% di tahun 2009, dan meningkat sedikit menjadi 6,15% di tahun
2010. Di samping itu, indikator rasio PAD terhadap PDRB juga menunjukkan
angka yang kurang menggembirakan. Rasio PAD dari PDRB secara rata-rata
pada tahun 2008 adalah 2,38%, dan pada tahun 2010 turun menjadi 2,28%
(Kemenkeu, 2012).
4.1.2. Pajak Daerah
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang No 28 Tahun 2009, diskresi pe-
merintah Kabupaten/Kota dalam memungut pajak daerah semakin besar.
Pe nambahan jenis pajak serta perluasan basis pajak seharusnya mampu me-
ningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sampai
sebelum pendaerahan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan
(PBB P2) serta Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), peneri-
maan Pajak Penerangan Jalan memiliki nilai yang paling tinggi di antara jenis
pajak yang lain. Secara rata-rata nasional, PPJ berkontribusi sebesar 41,09 per-
sen (Kemenkeu, 2012).
Tabel 4.2. Rata-rata Penerimaan Jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota
Seluruh Indonesia (Rp miliar)
Jenis Pajak 2008 2009 2010 2011*
Pajak Hotel 4,04 5,16 5,63 5,61
Pajak Penerangan Jalan 7,28 9,16 8,67 10,17
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
1,15 2,00 1,74 1,86
Pajak Reklame 0,81 1,67 1,47 1,96
Page 54
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .34
Pajak Restoran 1,92 4,18 4,34 4,77
Pajak Hiburan 0,42 1,35 1,34 1,50
BPHTB 9,20 11,18 16,78
PBB P2 26,75 29,08
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *)target
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 antara lain ditujukan untuk
membangun hubungan kebijakan dan koordinasi yang lebih baik antara pe-
merintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemungutan pajak daerah.
Pemerintah daerah diharapkan dapat membenahi administrasi perpajakan
de ngan adanya perubahan administrasi proses pemungutan pajak daerah di
mana mekanisme official assessment berubah menjadi self assessment. Ken-
dala utama yang muncul akibat perubahan ini adalah pemahaman dan kepa-
tuhan wajib pajak yang masih rendah sehingga pemungutan pajak daerah
tidak optimal.
4.2. Gambaran Umum Daerah Sampel
4.2.1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan
besarnya potensi penerimaan pajak daerah. Terdapat dua hipotesis terkait
de ngan banyaknya penduduk dengan upaya penarikan pajak. Pertama, hipo-
tesis yang dikemukakan Rajaraman (2000) menyebutkan bahwa semakin
banyak jumlah penduduk maka Pendapatan Asli Daerah semakin meningkat.
Hal ini dimungkinkan karena potensi wajib pajak akan semakin besar. Kedua,
menurut hipotesis yang dijelaskan oleh Bahl (2003) menunjukkan bahwa
negara yang memiliki level pertumbuhan penduduk yang tinggi relatif ter-
tinggal dalam upaya pengumpulan pajak. Hal ini disebabkan sistem pajak
(tax system) tidak mampu untuk menangkap pembayar pajak yang baru.
Page 55
GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 35
Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Daerah Sampel (jiwa)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kab. Badung 408.126 416.194 424.228 543.332 601.256
Kota Batam 695.739 737.533 781.342 944.285 1.047.530
Kab. Bandung 2.778.879 2.816.904 2.854.177 3.178.543 3.327.469
Kota Balikpapan 500.812 512.128 523.368 557.579 578.006
Kab. Deli Serdang 1.686.366 1.738.437 1.788.351 1.790.431 1.807.173
Kota Surabaya 2.628.113 2.630.079 2.631.305 2.765.487 2.813.614
Kab. Malang 2.401.624 2.413.779 2.425.311 2.446.218 2.461.269
Rata-rata 1.585.666 1.609.293 1.632.583 1.746.553 1.805.188
Sumber: BPS, beberapa tahun.
Tabel 4.3. menunjukkan perkembangan jumlah penduduk di daerah
sampel. Secara rata-rata, jumlah penduduk di seluruh daerah sampel meng-
alami kenaikan. Kabupaten Bandung memiliki jumlah penduduk paling tinggi,
disusul Kota Surabaya dan Kabupaten Malang.
4.2.2. Luas Wilayah
Luas wilayah berpengaruh dalam upaya pemerintah daerah dalam pemu-
ngutan pajak daerah. Penelitian yang dilakukan Nikijuluw (2011) menunjukkan
bahwa setiap pertambahan luas wilayah maka akan menurunkan upaya pe-
mungutan pajak suatu daerah. Tabel 4.4. di bawah menunjukkan luas wilayah
daerah sampel. Kabupaten Malang memiliki luas wilayah paling besar, disusul
oleh Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Serdang.
Page 56
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .36
Tabel 4.4. Luas Wilayah Daerah Sampel
Daerah Luas Wilayah (km2)
Kab. Badung 420,09
Kota Batam 715,00
Kab. Bandung 2.284,61
Kota Balikpapan 503,03
Kab. Deli Serdang 2.808,91
Kota Surabaya 333.063
Kab. Malang 3.534,86
Sumber: BPS, beberapa tahun.
Pajak yang dipungut haruslah bersifat ekonomis yang artinya biaya yang
dikeluarkan pemerintah untuk memungut pajak tersebut haruslah sebanding
dengan hasil pajak yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan oleh aparat pemu-
ngut pajak akan lebih besar untuk memungut pajak pada daerah yang memi-
liki luas wilayah yang besar.
4.2.3. Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan PDRB dapat mencerminkan kinerja perekonomian suatu dae-
rah. Definisi dari PDRB adalah jumlah nilai tambah yang tercipta akibat dari
proses produksi, barang atau jasa, di suatu wilayah/regional pada suatu pe-
riode tertentu tanpa memperhatikan asal atau domisili pelaku produksi. Ke-
giatan-kegiatan basis dan nonbasis dalam perekonomian daerah akan mening-
katkan jumlah penerimaan daerah yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dapat diukur melalui perubahan dari Produk Domestik Regional
Bruto atas Harga Konstan (PDRB AHK). Penggunaan PDRB AHK untuk meng-
ukur pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk mengeluarkan efek dari inflasi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
penerimaan pajak daerah.
Page 57
GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 37
Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel dan Nasional
Sumber: BPS, beberapa tahun.
Gambar 4.2. menunjukkan pertumbuhan ekonomi daerah sampel serta
pertumbuhan ekonomi nasional dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.
Secara umum, pertumbuhan ekonomi daerah bergerak fluktuatif namun
memiliki kecenderungan meningkat. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi
baik nasional maupun daerah sampel mengalami penurunan. Hal ini disebab-
kan karena efek melesunya perekonomian global akibat krisis finansial yang
terjadi di tahun 2008. Dua daerah sampel yakni Kota Balikpapan dan Kota
Batam memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi nasional. Kedua daerah tersebut pertumbuhan ekonominya kon-
sisten lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Seiring dengan
naiknya pertumbuhan ekonomi suatu daerah, maka terdapat peluang bagi
daerah untuk menggali potensi penerimaan pajak. PDRB AHK yang digunakan
sebagai basis perhitungan dapat merepresentasikan basis pajak yang dapat
dipungut. Ketika PDRB suatu daerah tumbuh maka basis pajak daerah juga
tumbuh sehingga pemerintah daerah seharusnya mampu mengoptimalkan
pemasukkan pajaknya.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Badung didominasi sektor Perda-
gangan, Hotel, dan Restoran dengan kontribusi rata-rata antara tahun 2007
sampai 2011 sebesar 37,44%. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi
Page 58
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .38
di Kota Surabaya yang didominasi oleh sektor yang sama dengan kontribusi
rata-rata antara tahun 2007 sampai 2011 sebesar 45,52%. Pertumbuhan eko-
nomi di empat daerah sampel lainnya yaitu Kota Batam, Kabupaten Bandung,
Kota Balikpapan, dan Kabupaten Deli Serdang didominasi oleh Sektor
Pengolahan di mana rata-rata kontribusinya secara berurutan adalah 58,02%,
59,81%, 54,41%, dan 49, 41%. pada periode 2007 sampai 2011. Hanya Ka-
bu paten Malang yang pertumbuhan ekonominya masih didominasi oleh
Sektor Pertanian dengan kontribusi rata-rata antara tahun 2007 sampai 2011
sebesar 26,67%.
4.2.4. Tingkat Kemiskinan (Poverty Rate)
Kemiskinan merupakan salah satu isu penting yang selalu menjadi perhatian
bagi pemerintah daerah. Jika isu ini dikaitkan dengan upaya pemungutan
pajak, maka tingkat kemiskinan secara negatif mempengaruhi pertumbuhan
upaya pemungutan pajak kabupaten/kota (Nikijuluw, 2011). Perilaku ini da-
pat dijelaskan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama, kewajiban pem-
bayaran pajak bagi rumah tangga miskin akan sulit untuk dipungut oleh
pe merintah daerah daripada rumah tangga dengan pendapatan menengah
ke atas. Gambarannya, untuk pajak penerangan jalan yang dibayarkan seba-
gai bagian dari rekening listrik bulanan, keluarga miskin tetap memakai listrik
namun berstatus ilegal sehingga tidak membayar rekening listrik ataupun
membayar pajak yang merupakan bagian di dalamnya. Penjelasan kedua,
se cara umum konsumsi rumah tangga miskin yang jarang mengonsumsi
produk yang berkaitan dengan objek pajak daerah seperti restoran ataupun
hotel. Hal tersebut secara langsung berpengaruh terhadap penerimaan pajak
aktual yang rendah.
Tabel 4.5. Tingkat Kemiskinan Daerah Sampel 2007-2011 (%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kab. Badung 2,50 1,85 1,78 1,86 1,39
Kota Batam 13,55 12,79 12,45 12,62 10,28
Kab. Deli Serdang 3,41 3,18 3,24 3,01 2,77
Page 59
GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 39
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kota Balikpapan 3,65 3,49 3,58 4,07 3,43
Kab. Bandung 21,66 15,26 13,23 16,51 16,17
Kota Surabaya 7,75 8,23 6,72 7,07 6,51
Kab. Malang 15,21 15,08 13,57 12,54 11,68
Rata-rata 9,68 8,56 7,79 8,24 7,46
Sumber: BPS, beberapa tahun.
Tabel 4.5. menunjukkan tren tingkat kemiskinan di daerah sampel. Ting-
kat kemiskinan rata-rata tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Bandung yaitu
se besar 16,57%, kemudian disusul oleh Kabupaten Malang sebesar 13,62%.
Rata-rata tingkat kemiskinan tahunan tertinggi untuk daerah sampel terjadi
pada tahun 2007 sebesar 9,68%.
4.3. Analisis Belanja Daerah
Ditinjau dari komposisi penggunaannya, belanja daerah dibagi menjadi be-
lanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung merupakan
gam baran dari belanja pelayanan publik di mana komposisi dari belanja lang-
sung antara lain belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja mo-
dal. Jenis belanja tidak langsung antara lain belanja pegawai, belanja bunga,
belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil
kepada provinsi/ kab-kota dan pemerintahan desa, belanja bantuan keuangan
kepada provinsi/ kab-kota dan pemerintahan desa, dan belanja tidak ter-
duga.
Tabel 4.6. Total Belanja Daerah 2007-2011 (Rp miliar)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kota Batam 801,82 744,08 1.009,99 1.211,90 1.196,71
Kab. Badung 931,86 1.054,77 1.429,45 1.319,06 1.572,21
Kab. Deli Serdang 994,24 1.184,50 1.253,44 1.333,25 1.654,87
Page 60
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .40
Kota Balikpapan 1.398,62 1.325,53 1.419,32 1.377,34 1.527,54
Kab. Bandung 1.911,38 1.480,10 1.784,09 2.106,02 2.460,24
Kota Surabaya 1.556,47 2.019,24 3.127,36 3.637,07 3.753,71
Kab. Malang 1.175,74 1.337,85 1.387,73 1.666,03 1.925,88
Rata-Rata 1.252,88 1.306,58 1.630,20 1.807,24 2.013,02
Sumber: DJPK (2008-2011)
Tabel 4.6. menunjukkan bahwa total belanja daerah sampel secara
umum mengalami kenaikan. Di tahun 2011, Kota Surabaya memiliki total
belanja paling besar diikuti oleh Kabupaten Bandung. Di sisi lain, total be-
lanja Kota Batam dan Kabupaten Badung menduduki posisi dua terbawah.
Kenyataan ini cukup kontradiktif di mana jika ditinjau dari kebutuhan penye-
dia an pelayanan publik, kedua kota tersebut seharusnya mengalokasikan
be lanja daerahnya lebih besar demi terciptanya pelayanan publik yang opti-
mal.
Tabel 4.7. Rasio Belanja Langsung terhadap Total Belanja Daerah
2007-2011(%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kota Batam 62,48 49,32 44,06 45,58 32,20
Kab. Badung 41,40 44,92 43,68 28,76 32,63
Kab. Deli Serdang 47,62 49,23 37,97 32,13 36,83
Kota Balikpapan 66,94 61,60 60,11 49,45 49,57
Kab. Bandung 39,11 33,68 25,91 28,94 30,40
Kota Surabaya 60,98 60,59 66,38 59,17 45,50
Kab. Malang 45,70 39,63 34,93 27,39 31,91
Rata-rata 52,03 48,42 43,11 37,72 37,00
Sumber: DJPK (2008-2011)
Page 61
GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 41
Tabel 4.7 menunjukkan rasio belanja langsung terhadap total belanja
daerah di mana daerah sampel mengalami penurunan dari tahun 2007 sam-
pai 2011. Hal ini cukup memprihatinkan karena seharusnya sebagian besar
penerimaan daerah digunakan untuk pemenuhan layanan publik agar wajib
pajak secara sukarela berkeinginan untuk membayar pajak.
Tabel 4.8. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah
2007-2011 (%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kota Batam 22,89 12,77 21,30 23,88 11,69
Kab. Badung 22,63 17,11 31,13 13,37 12,70
Kab. Deli Serdang 31,35 40,60 23,23 13,22 19,02
Kota Balikpapan 32,07 56,28 33,19 14,74 20,94
Kab. Bandung 19,40 27,81 8,35 9,41 7,01
Kota Surabaya 15,97 23,50 36,55 28,46 14,47
Kab. Malang 31,92 35,85 20,38 16,24 15,15
Rata-rata 25,18 30,56 24,88 17,04 14,43
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Belanja modal memiliki pengertian pengeluaran untuk pembayaran
perolehan aset dan/atau menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang mem-
beri manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal
kapitalisasi aset tetap/aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Belanja mo-
dal dipergunakan untuk membiayai belanja modal tanah, belanja modal
peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal
jalan, irigasi, dan jaringan, belanja modal Badan Layanan Umum (BLU), dan
belanja modal lainnya. Belanja modal yang tinggi menunjukkan bahwa pe-
ngeluaran pemerintah daerah juga ikut berkontribusi dalam menggerakkan
roda perekonomian daerah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana fisik
bagi rakyat di daerah tersebut.
Page 62
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .42
Tabel 4.8 menunjukkan persentase belanja modal terhadap total belanja
di daerah sampel. Tidak ada satupun daerah sampel yang memiliki persentase
di atas 50%. Dalam dua tahun terakhir, Kota Balikpapan memiliki persentase
paling tinggi di antara daerah sampel yang lain yaitu rata-rata sebesar 17,84%.
Sebaliknya Kab. Bandung hanya memiliki rata-rata persentase sebesar 8,21%
pada periode yang sama. Hal ini tidak terlepas dari konteks perencanaan na-
si onal dan karakteristik daerah yang turut menentukan tinggi atau rendahnya
rasio belanja modal suatu daerah. 5
Page 63
43
Analisis Kualitatif: Permasalahan Dalam Implementasi Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
5.1. Hasil Focus Group Discussion (FGD)
Sebagaimana diuraikan pada Bab 3 bahwa penelitian ini akan meng-
gunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan
untuk menemukan masalah yang dihadapi oleh daerah dalam meng-
implementasikan UU No. 28 Tahun 2009, terutama terkait dengan pemungutan
jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif
pajak. Analisis kualitatif tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Menganalisis hasil FGD yang dilakukan di daerah sampel termasuk meng-
analisis Perda-Perda pajak daerah yang dimiliki daerah sampel; dan
2. Menganalisis jawaban responden (daerah sampel) terhadap kuesioner
yang disampaikan.
Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap hasil FGD termasuk
menghubungkannya dengan Perda pajak daerah yang dimiliki daerah sampel.
Dalam penelitian ini FGD telah dilaksanakan di tujuh daerah sampel, yaitu
Kota Batam (28 Agustus), Kabupaten Badung (5 September), Kabupaten Ban-
dung (12 September), Kota Balikpapan (19 September), Kabupaten Deliser-
5
Page 64
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .44
dang (26 September), Kota Surabaya (10 Oktober), dan Kabupaten Malang
(11 Oktober). Meskipun daerah kabupaten merasakan bahwa Undang-Un-
dang No. 28 Tahun 2009 masih terlalu bias perkotaan, namun secara umum
seluruh daerah sampel menyambut baik kehadiran UU ini, karena mampu
meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Akan tetapi, di tengah pandangan
yang demikian daerah sampel masih menghadapi berbagai masalah dalam
pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masalah Dalam Perluasan Basis Pajak
Perluasan basis pajak dalam beberapa hal relatif sulit dilaksanakan oleh dae-
rah, sebagian karena pemahaman yang berbeda, sehingga khawatir salah
da lam melaksanakan aturan, sebagian lagi karena secara teknis perluasan
basis pajak tersebut sulit dilaksanakan. Hampir semua daerah sampel memiliki
kekhawatiran salah dalam menerapkan aturan misalnya terkait dengan
beberapa objek pajak restoran (objek jasa boga/katering) dan pajak hiburan
(panti pijat, mandi uap, fitness center) yang berpotensi bersinggungan de-
ngan PPN serta batasan/definisi PPJ yang kurang jelas/tegas untuk tenaga
listrik yang dihasilkan oleh sumber lain.
Beberapa daerah mengatakan bahwa secara teknis, perluasan basis
pajak relatif sulit dilaksanakan di daerahnya. Di Kota Batam, misalnya, hingga
saat ini belum melakukan pemungutan terhadap rumah kos (pajak hotel) dan
katering (pajak restoran) karena mendapat penolakan dari buruh. Pengenaan
pajak terhadap rumah kos dan katering akan berdampak langsung terhadap
peningkatan biaya hidup buruh, sehingga jika perluasan basis pajak tersebut
diberlakukan, mereka akan menuntut kenaikan upah. Di Kota Balikpapan,
perluasan basis pajak hotel, khususnya terhadap rumah kos, memang sudah
diberlakukan tetapi sulit dipungut karena pemilik kos pada umumnya hanya
menyediakan jumlah kamar kurang dari 10 untuk menghindari pengenaan
pajak. Padahal untuk kasus demikian seharusnya dapat diatasi dengan mem-
perhatikan nama dan alamat yang sama dari pemilik. Di Kabupaten Malang,
pajak restoran berupa objek jasa boga/katering sebagian besar tidak bisa
di pungut karena wajib pajak dari jasa boga/katering tersebut tidak berada di
Kabupaten Malang, tetapi melakukan aktivitasnya di Kabupaten Malang.
Sementara di Kota Balikpapan katering dapat dipungut tetapi dengan hasil
Page 65
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 45
yang jauh dari potensinya, karena banyak usaha katering yang tidak jujur
melaporkan omsetnya. Dispenda Kota Balikpapan mengaku sangat kesulitan
mendeteksi kebenaran dari Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dari
Pajak Restoran, tetapi mereka menduga bahwa penghitungan dan/atau pem-
ba yaran pajak restoran jauh di bawah omset yang sebenarnya.
Kabupaten Badung yang merupakan daerah tujuan wisata utama di
Indonesia punya cerita berbeda terkait dengan sulitnya melaksanakan perlu-
asan basis pajak hotel. PHRI Kabupaten Badung mengemukakan bahwa di
daerah ini lebih dari 1000 (seribu) vila dimiliki orang asing dengan penghuni
yang terus berganti. Namun karena transaksinya dilakukan di luar negeri,
maka Dispenda kesulitan memungut pajaknya. Disamping itu, ada banyak
rumah yang berubah jadi vila dengan kepemilikan yang tidak jelas (sering
berpindah) atau pembangunan vila baru yang proses izinnya untuk rumah
pribadi sehingga sulit memungut pajaknya atau bahkan seolah bebas dari
pajak. PHRI sangat keberatan dengan situasi ini karena mereka yang tidak ba-
yar pajak menjadi lebih kompetitif karena biaya operasional yang lebih rendah.
Padahal hotel-hotel yang sudah membayar pajak sebagian masih dibebani
lagi dengan pungutan “setengah resmi” lainnya yang berasal dari desa adat.
Sebagian desa adat di Kabupaten Badung menetapkan pungutan sebesar
Rp.2,5 juta per hotel per tahun atau US$ 1 per kamar per tahun un tuk mem-
bantu aktivitas sosial kemasyarakatan di desa serta adanya kewajiban mem-
bayar retribusi pengelolaan limbah sebesar Rp.100 ribu per kamar per bulan.
KOTAK 1.
POTENSI PERLUASAN BASIS PAJAK RESTORAN YANG BELUM
DIOPTIMALKAN DI KABUPATEN BADUNG
PHRI Badung juga menceritakan besarnya potensi perluasan basis pajak res-
toran yang tidak bisa direalisasikan karena ribuan turis datang ke Bali dalam
setiap bulan melalui biro jasa travel dengan pola pembayaran berdasarkan
pilihan paket tertentu. Di dalam paket tersebut sudah termasuk makan yang
biasanya diarahkan ke rumah (lokasi tertentu) yang juga dimiliki oleh peng-
usaha biro jasa travel yang bersangkutan. Lokasi tempat makan dimaksud
sebenarnya tidak punya izin restoran sehingga Dispenda tidak melakukan pe-
mungutan pajaknya.
Page 66
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .46
2. Masalah Dalam Penetapan Tarif Pajak
Salah satu perubahan penting dari UU No. 28 Tahun 2009 adalah adanya
keleluasaan dalam menetapkan tarif pajak. UU No. 28 Tahun 2009 memang
hanya mengatur batas maksimum atau minimum sehingga daerah diharapkan
dapat menetapkan tarif sendiri sesuai dengan karakteristik daerahnya. Jika
pemerintah daerah menganggap perlu kebijakan fiskal yang lebih lunak
untuk menarik investasi di daerahnya agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi,
maka daerah itu dapat saja menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah
dari batas maksimum atau bahkan nol (sementara tidak mengenakan pajak
daerah). Meskipun demikian, ternyata, berdasarkan informasi yang diperoleh
dalam FGD, sebagian besar daerah hanya sekedar mengikuti batasan maksi-
mum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Dae-
rah belum bisa menetapkan tarif pajak yang sesuai dengan karakteristiknya.
Sebagai gambaran, untuk pajak hotel, ketujuh daerah sampel mene-
tapkan tarif maksimum yaitu 10%. Hanya Kota Surabaya yang memberi se-
dikit variasi, itupun hanya dikenakan untuk rumah kos, dengan tarif lebih
rendah yaitu hanya 5%. Untuk pajak restoran semua daerah sampel juga
menetapkan tarif maksimum yaitu 10% dengan variasi pada omset penjualan,
dimana di Kota Surabaya hanya dikenakan pada restoran yang omsetnya di
atas Rp.15 juta dan di Kota Balikpapan di atas Rp.42 juta serta dengan tarif
hanya 5% khusus bagi restoran yang pola penjualannya tidak permanen.
Untuk pajak BPHTB semua daerah sampel juga menetapkan tarif pajak mak-
simum yaitu 5% dengan NPOP-TKP yang sebagian besar juga mengikuti UU
No. 28 Tahun 2009 yaitu minimal Rp.60 juta, kecuali Kota Surabaya (Rp.75
juta) dan Kota Batam (Rp.70 juta).
Khusus untuk PBB P2, pemerintah daerah sepertinya hanya saling meniru
dalam penetapan tarifnya dengan besaran tarif yang terkonsentrasi pada dua
kelas, yaitu NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dikenakan tarif sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun dan NJOP di
atas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,2%
(nol koma dua persen) per tahun.
Page 67
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 47
KOTAK 2.
KREATIVITAS KOTA SURABAYA DAN KABUPATEN BADUNG
DALAM PENETAPAN TARIF PBB P2
Kota Surabaya mengatur variasi tarif yang sangat menarik, dimana:
Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan dapat menimbulkan
gangguan terhadap lingkungan, maka dikenakan tambahan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang normal,
sehingga menjadi sebagai berikut :
a) untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar ru piah)
ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) per tahun;
b) untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetap-
kan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) per tahun.
Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan ramah lingkungan
dan/atau merupakan bangunan atau lingkungan cagar budaya, maka
dapat diberikan pengurangan sebesar 50 % (lima puluh persen) dari tarif
Pajak Bumi dan Bangunan yang normal, sehingga menjadi sebagai ber-
ikut:
a) untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar ru-
piah) ditetapkan sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen) per
tahun;
b) untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetap-
kan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun.
Variasi tarif PBB P2 yang sangat menarik juga ditemukan di Kabupaten
Badung, dimana Bupati memberikan keringanan PBB kepada petani berupa
pe ngurangan tarif sebesar 20% s.d. 80% tergantung pada zona wilayah dan
pembebasan PBB secara penuh di zona hijau.
Berdasarkan informasi yang diperoleh pada saat FGD, ternyata daerah
masih menghadapi beberapa masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu
an tara lain:
a) Sebagian daerah belum memiliki SDM yang kompeten dalam bidang
ke uangan daerah, memahami karakteristik daerah dan mampu me la ku-
Page 68
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .48
kan simulasi untuk menghitung dampak penetapan tarif pajak terhadap
kondisi ekonomi dan penerimaan daerah. Banyak daerah menganggap
semakin tinggi tarif akan semakin tinggi pendapatan dan semakin baik
keadaan ekonomi di daerahnya.
b) Masih cukup banyak daerah yang menerjemahkan tarif dalam UU No.
28 Tahun 2009 sebagai batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa perlu
lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya.
c) Ada daerah yang tidak menyadari bahwa UU No. 28 Tahun 2009 telah
memberikan kewenangan penetapan tarif kepada daerah sepanjang
masih dalam batas maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam
UU. Namun demikian, di dalam FGD terungkap ada daerah yang meng-
usulkan ke pemerintah pusat agar tarif untuk waris atau hibah wasiat
ditiadakan saja atau nol. Pasal 88 UU No. 28 Tahun 2009 telah mengatur
bahwa tarif BPHTB paling tinggi sebesar 5%, yang berarti daerah dapat
menetapkan 0%. Padahal jika daerah menginginkan demikian sebenarnya
tinggal diatur dalam perda saja dengan memberikan tarif nol persen
untuk waris atau hibah wasiat.
d) Penetapan batasan minimum NPOP-TKP yang sebesar Rp.60 juta dira sa-
kan terlalu tinggi bagi daerah kabupaten sehingga potensi penerimaan
mereka jauh lebih rendah. Namun, bagi daerah tertentu yang merupakan
kota besar dengan harga tanah dan bangunan yang relatif tinggi, NPOP-
TKP Rp.60 juta tentu saja masih rendah, tetapi ternyata banyak kota
besar yang tetap saja menggunakan NPOP-TKP Rp.60 juta dalam Perda
mereka.
e) Penetapan tarif pajak daerah seringkali belum melibatkan stakeholders
(seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang menda-
pat dukungan dan komitmen dalam pelaksanaannya.
3. Masalah Dalam Pemungutan Jenis Pajak Baru
Terkait dengan pemungutan dua jenis pajak baru, yaitu BPHTB dan PBB P2
daerah mengemukakan bahwa mereka masih menghadapi berbagai masalah
dalam pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain:
Page 69
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 49
a) Minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola BPHTB dan PBB-P2
Daerah mengatakan bahwa mereka memiliki kesiapan yang minim untuk
melakukan pemungutan BPHTB dan PBB-P2. Kesiapan yang minim tersebut
terutama disebabkan oleh terbatasnya waktu dan kurangnya SDM baik dari
aspek kualitas maupun kuantitas untuk mempersiapkan semua hal terkait
dengan pengalihan kedua jenis pajak ini. Akibatnya, Perda yang menjadi da-
sar pemungutan pajak daerah tersebut dalam beberapa bagian tampak me-
miliki kelemahan karena cenderung hanya meniru dari pusat atau perda dari
daerah lain yang karakteristiknya belum tentu sama.
Keluhan tentang kekurangan SDM dapat dipahami, tetapi keluhan lain
terutama terkait dengan minimnya waktu persiapan terasa sangat janggal
karena daerah sebenarnya memiliki waktu yang cukup untuk melakukan
persiapan. Pengalihan BPHTB dan PBB P2 tidak serta merta harus dilakukan
setelah UU No. 28 tahun 2009 disahkan. Sebenarnya, terdapat waktu per-
siapan yang cukup panjang, dimana untuk BPHTB diberikan waktu satu tahun
karena baru mulai wajib dipungut sejak 1 Januari 2011 serta PBB P2 memiliki
waktu persiapan lebih lama lagi karena baru wajib dipungut sejak 1 Januari
2014. Kejanggalan ini makin terasa mengingat ada beberapa daerah yang
telah melakukan pemungutan PBB P2 bahkan 3 tahun lebih awal dari yang
seharusnya (berarti waktu persiapannya jauh lebih pendek), seperti Kota
Sura baya dan Kabupaten Deli Serdang, dimana daerah tersebut sukses mem-
peroleh penerimaan yang lebih tinggi.
b) Ketidaksiapan struktur SKPD
Meskipun kewenangan sepenuhnya sudah ada di daerah, namun masih ada
beberapa daerah yang mengeluhkan ketidaksiapan struktur SKPD. Struktur
Dispenda yang ada sekarang dianggap belum cukup kuat untuk melaksanakan
pemungutan dua jenis pajak baru tersebut. Kabupaten Malang bahkan me-
ngeluhkan struktur yang ada sekarang dimana Dispenda dileburkan ke dalam
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) sehingga
dengan struktur yang ada itu cukup berat untuk mengoptimalkan pelaksanaan
proses pemungutan BPHTB dan PBB P2. Keluhan terhadap struktur Dispenda
ini sebenarnya tidak perlu ada mengingat kewenangan merubah struktur
Page 70
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .50
SKPD sepenuhnya berada pada Pemerintahan Daerah. Jika daerah merasa
memerlukan pejabat setingkat eselon 3 untuk fokus melaksanakan pemu-
ngut an PBB P2 dan BPHTB, maka daerah tinggal melakukan revisi terhadap
Perda yang mengatur tentang struktur SKPD.
Beruntung bahwa struktur yang kurang siap itu secara umum mem-
peroleh bantuan dari KPP terutama dalam hal ketersediaan data, SOP, dan IT
serta peningkatan kompetensi dan atau melakukan pendampingan staf.
Ham pir semua daerah mengemukakan bahwa hubungan mereka dengan
KPP berjalan sangat baik. Di saat FGD sama sekali tidak diperoleh ungkapan
ketidakpuasan daerah terhadap KPP. Di Kota Batam malahan ada tim KPP
yang di SK kan walikota dan diberi honor untuk mensukseskan pemungutan
BPHTB dan PBB P2.
Gambaran ketidakpuasan sebaliknya justru datang dari KPP, khususnya
di Kabupaten Deli Serdang. Dimana KPP Deli Serdang merasa bahwa respon
Dispenda kurang optimal dengan mengatakan bahwa Dispenda jarang sekali
berkomunikasi dengan KPP dan saat menemukan masalah, biasanya Dispenda
hanya meminta Wajib Pajak (WP) untuk datang langsung ke KPP. Padahal,
setelah pengalihan BPHTB dan PBB P2 seharusnya tidak boleh lagi WP berko-
munikasi langsung dengan KPP terkait dengan persoalan pajak daerah. KPP
mengakui bahwa penyebab utama dari masalah ini adalah struktur Dispenda
yang terlalu lama tidak memiliki pimpinan definitif. Lebih dari 5 (lima) kali
kepala Dispenda Kabupaten Deli Serdang dijabat oleh seorang Pelaksana
Tugas (PLT) sehingga tidak fokus dalam memimpin Dispenda.
c) Validasi atau verifikasi penetapan BPHTB
Waktu validasi atau verifikasi penetapan BPHTB yang relatif lama menjadi
salah satu masalah yang dikeluhkan oleh Notaris dan REI di hampir semua
daerah sampel. Pada saat BPHTB dikelola oleh KPP waktu validasi paling lama
hanya 3 hari, tetapi sekarang setelah dikelola Dispenda waktu validasi bisa
mencapai 6 bulan. Lamanya proses validasi di Dispenda menyebabkan proses
penerbitan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga menjadi lebih
lama. Di Kota Balikpapan, notaris yang hadir saat FGD mengeluhkan lamanya
waktu validasi yang bahkan pernah mencapai 6 bulan, sehingga tahun 2012
sempat terjadi “salah pengertian” antara Notaris/PPAT dengan Dispenda.
Page 71
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 51
Disamping itu, notaris menganggap validasi sebagai bentuk ketidak-
percayaan Dispenda terhadap mereka. Padahal, notaris mengatakan bahwa
dalam jual beli tanah dan atau bangunan posisi mereka sebetulnya sekedar
mengikuti saja kesepakatan harga diantara penjual dan pembeli sehingga
sangat tidak pantas kalau mereka dicurigai sebagai pihak yang merekayasa
harga jual untuk mengurangi beban pajak. Notaris di Kota Balikpapan bahkan
mengatakan sangat tidak nyaman bekerja mengurus BPHTB di bawah ke-
curigaan Dispenda. Oleh karena itu, Notaris menyambut baik lahirnya Surat
Edaran Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Nomor 5 Tahun 2013 yang
tidak lagi mensyaratkan adanya pengecekan tanda bukti setoran BPHTB pada
kantor instansi yang berwenang.
Sebaliknya, Dispenda Batam justru melihat pentingnya validasi untuk
mengetahui harga riil tanah dan atau bangunan. Melalui mekanisme validasi
inilah bisa didekatkan jarak antara NJOP dengan harga pasar. Oleh karena itu
Dispenda Batam mengusulkan penguatan mekanisme validasi ini melalui se-
buah peraturan pusat misalnya Peraturan Pemerintah.
d) SE BPN No. 5 Tahun 2013 tentang tidak perlunya verifikasi
Meskipun SE BPN No. 5 Tahun 2013 hanya ditujukan untuk mengatur ke
dalam lingkup BPN saja, tetapi kehadiran SE ini sangat dikeluhkan oleh seba-
gian besar pemerintah daerah. Kota Balikpapan bahkan bereaksi sangat keras
dengan mengatakan bahwa SE tersebut bertentangan dengan UU No. 28 Tahun
2009 yang mensyaratkan adanya validasi/verfikasi. Hal yang sama disampaikan
oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, Kabupaten Malang, Kabupaten Badung,
dan Kota Batam.
Hanya Kota Surabaya dan Kabupaten Deli Serdang yang sama sekali
tidak mengeluhkan kehadiran SE BPN itu, dimana mereka memahami bahwa
SE itu hanya untuk mempercepat proses administrasi di lingkungan BPN. Me-
nu rut kedua daerah ini, tanpa adanya SE BPN pun sebenarnya daerah harus
bisa mempercepat proses validasi/verifikasi.
Page 72
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .52
e) NJOP terlalu rendah dari harga pasar
Meskipun kewenangan untuk menyesuaikan NJOP sudah menjadi tugas dae-
rah, tetapi keseluruhan daerah sampel masih saja mengeluhkan rendahnya
NJOP jika dibandingkan dengan harga pasar. NJOP yang rendah tersebut
menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya penerimaaan pajak daerah.
Padahal, jika NJOP dianggap terlalu rendah, daerah tinggal melakukan kajian
dengan melibatkan stakeholders pajak daerah untuk menyesuaikan nilainya.
Untuk itu, daerah dapat menciptakan mekanisme penyesuaian yang melibat-
kan appraisal serta dengan mendengarkan masukan dari para pemangku
kepentingan agar tidak terjadi gejolak sebagai akibat dari perubahan NJOP
tersebut.
f) Kompetensi SDM kurang (pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan)
Bisa dipahami jika banyak daerah yang mengeluh kekurangan tenaga terampil
untuk mengelola jenis pajak baru bagi daerah. Pengalihan BPHTB dan PBB P2
memang membutuhkan staf yang secara teknis bisa melakukan pendataan,
penilaian, pengadministrasian, dan pelayanan dengan baik kepada wajib
pajak. Staf yang memenuhi kualifikasi itu memang masih sangat terbatas di
daerah. Oleh karena itulah dalam masa transisi pendampingan atau kerjasama
dengan KPP menjadi sebuah keniscayaan. Lebih dari itu, beberapa staf Dis-
penda bahkan diikutkan dalam pelatihan dan atau pendidikan di STAN.
Namun demikian, fakta unik juga ditemukan di beberapa daerah dimana
terdapat tenaga fungsional yang sudah dilatih atau sudah menyelesaikan
pendidikan terkait dengan pengelolaan PBB P2 dan BPHTB tetapi tidak di-
fung sikan sesuai keahliannya. Di Kota Batam misalnya terdapat tenaga fung-
sional penilai PBB yang ditugaskan diluar keahliannya padahal tenaganya
sa ngat dibutuhkan oleh Dispenda. Di Kabupaten Deli Serdang, ada staf yang
setelah menyelesaikan pendidikan atau pelatihan justru dimutasi ke SKPD
lain yang tupoksinya tidak terkait dengan pengelolaan pajak daerah.
g) Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
Pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah dan perubahan peraturan sebagai
akibat pengalihan itu perlu diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu
Page 73
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 53
dilakukan sosialisasi yang sistematis dan intensif terutama untuk menjelaskan
proses pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah sekaligus untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak daerah. Namun dari hasil FGD
diketahui bahwa secara umum daerah masih menganggap pengalihan ini
sebagai hal yang biasa saja yang tidak memerlukan respon kebijakan khusus.
Hanya Kota Surabaya dan Kabupaten Badung yang menceritakan bahwa
mereka melakukan pola sosialisasi yang berbeda sebagai akibat adanya
pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah.
KOTAK 3.
KREATIVITAS KOTA SURABAYA DAN KABUPATEN BADUNG
MELAKUKAN SOSIALISASI
Kota Surabaya melakukan sosialisasi yang unik “door to door” dengan meman-
faatkan semua petugas Dispenda, tanpa kecuali. Sosialisasi ini berlangsung
dengan sistematis dan masal sehingga menghasilkan peningkatan penerimaan
pajak daerah yang relatif tinggi. Namun demikian, diakui oleh Dispenda bahwa
keberhasilan kepemimpinan walikota Surabaya saat ini sangat memudahkan
mereka menggugah kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Ada ba-
nyak contoh kebijakan walikota yang secara luas sangat disenangi masyarakat
Surabaya.
Cara yang berbeda dilakukan oleh Kabupaten Badung, dimana mereka
melibatkan tokoh-tokoh adat dari setiap desa adat untuk melakukan sosialisasi.
Khusus untuk PBB P2, model sosialisasi yang dilakukan adalah berupa pekan
PBB di masing-masing banjar (desa adat) dengan memanfaatkan LPD (Lembaga
Perwakilan Desa). Keterlibatan tokoh adat ini tidak hanya saat sosialisasi tetapi
juga pada saat mendistribusikan SPT kepada wajib pajak. Sebagai imbal balik
dari keterlibatannya, para tokoh adat ini memperoleh insentif dari Dispenda
berupa upah pungut. Kerja sama dengan tokoh adat selama ini menjadi salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya penerimaan pajak daerah
Kabupaten Badung.
Page 74
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .54
h) Piutang PBB
Pengalihan PBB P2 ke daerah sudah barang tentu juga diikuti oleh pengalihan
piutang PBB-nya. Meskipun daerah senang dengan adanya pengalihan PBB
P2 ini, tetapi hampir semuanya mengeluhkan adanya pengalihan piutang
yang relatif besar. Keluhan daerah terutama diarahkan pada ketidakakuratan
data yang sangat menyulitkan mereka dalam melakukan penagihan. Daerah
sangat khawatir piutang PBB ini membebani APBD karena terus tercatat se-
bagai piutang yang akan jadi temuan BPK dan dikemudian hari sangat poten-
sial menjadi masalah hukum.
4. Masalah lainnya
a) Pemungutan diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009
Meskipun bersifat closed list, tetap saja ada daerah yang melakukan pemu-
ngutan diluar yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Di Kabupaten Ba-
dung, misalnya, ada pungutan sebesar Rp.100 ribu per kamar per bulan
un tuk saluran limbah, pungutan setengah resmi untuk desa adat sebesar
Rp.2,5 juta per tahun per hotel atau US$ 1 per kamar per tahun. Artinya UU
ini dianggap belum mampu melindungi WP dari pungutan-pungutan selain
yang ditetapkan dalam UU. Di Kota Batam, Pajak Reklame masih terus dipu-
ngut oleh Badan Pengelola (BP) Otorita Batam dan PBB yang diberlakukan di
Bandara Batam juga dikelola BP Otorita Batam. Menurut BP Otorita Batam
bebas pajak, tapi di buku dispenda tetap jadi tunggakan pajak. Dispenda
Kota Batam tengah mempersiapkan untuk meneruskan masalah ini ke ranah
hukum.
Di Kabupaten Deli Serdang ditemukan hal yang berbeda dimana salah
satu obyek wisata disana menetapkan pungutan masuk yang sebagian dari
pungutan tersebut dinyatakan sebagai retribusi bagi pemerintah daerah. Hal
ini tidak tepat mengingat tidak adanya layanan pemerintah daerah dalam
pengelolaan obyek wisata tersebut serta pemungutan retribusinya yang tidak
dilakukan aparat pemerintah daerah, melainkan dipungut oleh swasta.
Page 75
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 55
b) Insentif pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan
Di beberapa daerah sampel yang didatangi diperoleh keluhan dari PHRI bah-
wa hampir tidak ada imbal balik dari pajak yang mereka kumpulkan untuk
meningkatkan pariwisata. Oleh karena itu, PHRI meminta adanya semacam
upah pungut atas pajak hotel, pajak restauran, dan pajak hiburan yang akan
digunakan untuk promosi wisata.
c) Proses evaluasi Raperda di Provinsi belum berjalan efektif
Proses evaluasi Raperda di tingkat provinsi meskipun terkesan hanya sekedar
formalitas saja tapi seringkali membutuhkan waktu yang relatif lama. Padahal,
hampir tidak ada usul perbaikan yang substansial diperoleh dari proses eva-
luasi tersebut.
d) Monopoli Bank
Di beberapa daerah, seperti di Kota Balikpapan dan Kabupaten Bandung,
proses pembayaran pajak daerah hanya diperbolehkan melalui bank daerah,
yaitu Bank Jabar untuk Kabupaten Bandung dan Bank Kaltim untuk Kota
Balikpapan. Monopoli bank seperti ini sangat dikeluhkan oleh notaris/PPAT
karena dapat memperlambat proses pembayaran. Menurut notaris/PPAT,
akan jauh lebih nyaman jika daerah juga menggunakan bank lain agar terjadi
kompetisi pelayanan diantara berbagai bank tersebut.
5.2. Hasil Kuesioner
1) Keberadaan Perda tentang Pajak Daerah yang Mengacu Pada UU No. 28 Tahun 2009 dan Kesesuaian Penetapan Target Penerimaan Pajak dengan Potensi Daerah
Seluruh daerah sampel penelitian, yaitu Kota Batam, Kabupaten Badung,
Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Sura-
baya, dan Kabupaten Malang telah menyusun Perda tentang pajak hotel,
pajak restoran, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, PBB P2, dan BPHTB
dengan mengacu pada UU No. 28/2009. Sebagian besar Dispenda atau DPP-
KAD di daerah sampel penelitian memiliki persepsi bahwa target penerimaan
Page 76
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .56
pajak tepat dengan potensi yang dimiliki daerah. Daerah-daerah tersebut
adalah Kota Batam, Kabupaten Bandung, Kabupaten Malang, dan Kota Sura-
baya. Sementara itu, Kabupaten Badung memiliki persepsi bahwa target pe-
nerimaan pajaknya telah diestimasi sangat tepat dengan potensi yang dimi-
likinya. Sebaliknya, Kabupaten Deli Serdang berpersepsi bahwa estimasi tar-
get penerimaan pajaknya kurang tepat dengan potensi penerimaan pajaknya.
Persepsi mengenai kesesuaian target penerimaan pajak dengan potensi yang
dimiliki masing-masing daerah ini tercermin juga dalam diskusi yang muncul
pada saat FGD.
2) Peluang dan Tantangan yang Dihadapi oleh Daerah dalam Merealisasikan Potensi Pajak Daerah
Berikut ini merupakan peluang dan tantangan yang dihadapi oleh daerah
sampel penelitian dalam merealisasikan potensi penerimaan pajaknya.
a. Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan
Persepsi daerah sampel penelitian tentang peluang dan tantangan yang
dihadapi Dispenda atau DPPKAD mengenai pajak hotel serupa dengan pajak
restoran dan pajak hiburan. Seluruh daerah sampel penelitian menyatakan
bahwa kesadaran masyarakat akan pembayaran pajak masih rendah. Kota
Batam mengalami kesulitan dalam memperoleh data riil tentang basis pajak
hotel. Kabupaten Badung melihat potensi yang perlu dioptimalisasi. Wajib
pajak di Kabupaten Badung masih kurang kesadarannya untuk melaksanakan
kewajiban pajaknya. Wajib pajak di Kabupaten Bandung juga memiliki peri-
laku yang sama. Meskipun demikian, terdapat fenomena meningkatnya pe-
ne rimaan pajak hotel. Kota Balikpapan tidak melihat adanya peluang lagi dari
sektor perhotelan dan kejujuran wajib pajak dalam memperhitungkan pajak
terhutang masih rendah. Kabupaten Deli Serdang memandang masih adanya
peluang dari pajak hotel, namun masyarakatnya berperilaku menghindari
pa jak dan pengetahuan masyarakat akan pajak masih rendah. Kabupaten
Malang memiliki banyak objek wisata sehingga potensi penerimaan pajak
hotel tinggi. Namun, belum ada hotel berbintang di kabupaten ini. Hotel-ho-
tel yang ada berklasifikasi melati atau di bawahnya. Kemudian, Kota Surabaya
telah memiliki tim pemeriksa pajak. Hal ini diharapkan akan lebih meningkatkan
Page 77
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 57
performa koleksi pajak hotel. Kota Surabaya juga masih memiliki peluang
un tuk pajak restoran dengan mengandalkan wisata kuliner. Sementara itu,
di Kabupaten Malang, sebagian besar tempat penjualan kuliner masih ber-
wujud warung sehingga belum memiliki sistem penjualan yang menggunakan
billing statement. Tantangan yang dihadapi dalam penerimaan pajak hiburan
di Kabupaten Malang adalah banyaknya objek wisata di Kota Batu sehingga
menurunkan jumlah pengunjung di objek wisata di Kabupaten Malang.
b. Pajak Penerangan Jalan
Kurangnya kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya merupakan
persepsi yang seragam di daerah sampel penelitian. Di Kabupaten Badung,
administrasi pajak penerangan jalan masih ditangani oleh PLN sehingga
diperlukan koordinasi yang lebih intensif agar penerimaannya optimal. Di
Kota Balikpapan, terdapat perbedaan data basis pajak, yaitu aset pemerintah
kota selalu lebih tinggi daripada data PLN. Kota Surabaya memiliki potensi
penerimaan yang meningkat dengan bertambahnya sumber daya dan pen-
daftar. Sementara itu, di Kabupaten Bandung, kesadaran wajib pajak untuk
jenis pajak penerangan jalan adalah yang paling rendah dibandingkan de-
ngan jenis pajak lainnya.
c. PBB P2 dan BPHTB
Kabupaten Badung menganggap bahwa dengan diserahkannya koleksi PBB
P2 ke daerah, maka potensi penerimaannya dapat digarap dengan lebih opti-
mal. Namun demikian, capacity building untuk SDM sangat diperlukan. Di
Kota Balikpapan, NJOP PBB terlalu rendah dibandingkan dengan harga pasar.
Di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Serdang, kesadaran masyarakat
dalam membayar pajak masih rendah. Di Kabupaten Malang, PBB P2 meru-
pakan objek pajak baru yang masih dapat dimaksimalkan terutama di area
dimana bermunculan bangunan-bangunan baru dan belum masuk dalam
database, sementara untuk objek pajak selain PBB, upaya peningkatannya
sudah klimaks sampai titik jenuh, yakni terbentur pada ketidakpatuhan wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban. Di Kabupaten Badung, akan banyak tran-
saksi yang akan meningkatkan BPHTB karena Kabupaten Badung merupakan
daerah pariwisata. Sementara itu, koordinasi dengan Notaris dan BPN diper-
Page 78
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .58
lukan agar potensi lebih dapat digarap. Potensi di Kabupaten Deli Serdang
masih terbuka untuk digarap penerimaannya. Di Kota Balikpapan, tingkat
kejujuran dalam mengungkapkan harga masih sangat rendah. Demikian pula
yang terjadi di Kabupaten Malang. Wajib pajak berusaha memperkecil atau
melaporkan NPOP yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya dengan berpe-
doman pada NJOP PBB. Akibatnya, NJOP PBB di Kabupaten Malang saat ini
masih jauh di bawah harga pasar.
3) Persiapan Kabupaten/Kota dalam Pemungutan PBB P2 dan BPHTB
Seluruh daerah sampel penelitian melakukan upaya persiapan dalam pemu-
ngutan PBB P2 dan BPHTB. Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kota
Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang telah mulai memungut PBB P2.
Kabupaten Deli Serdang membuka loket-loket pembayaran di area potensial
di hari Sabtu-Minggu menjelang jatuh tempo. Di Kabupaten Malang, PBB P2
akan dipungut oleh mulai 1 Januari 2014. Pemkab Malang saat ini telah
meng antisipasi persiapan pengalihan PBB P2 menjadi pajak daerah dengan
mempersiapkan lembaga yang akan menangani secara khusus, mempersiapkan
payung hukum berupa peraturan daerah dan beberapa peraturan bupati
terkait dengan pelaksanaan pemungutan PBB P2 serta draft keputusan kepala
dinas SOP pelaksanaan pemungutan PBB P2, mempersiapkan hardware/soft-
ware untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak
pratama Singosari dan Kepanjen, mempersiapkan SDM terkait dengan penge-
lolaan PBB P2, mempersiapkan tempat-tempat pembayaran PBB P2 bekerja
sama dengan Bank Jatim. Dalam pemungutan BPHTB, surat edaran dari BPN
tentang verifikasi berdampak terhadap menurunnya penerimaan BPHTB.
Kabupaten Deli Serdang membentuk tim verifikasi untuk mengontrol besar-
kecil ketetapan pajak.
4) Persepsi Kabupaten/Kota dalam Administrasi Perpajakan
Mayoritas daerah sampel penelitian menyetujui pernyataan bahwa adminis-
trasi perpajakan dilaksanakan dengan baik. Namun demikian, bias akan per-
Page 79
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 59
sepsi ini sangat mungkin muncul karena responden kuesioner adalah aparat
Dispenda dan DPPKAD. Hanya Kota Batam dan Kabupaten Bandung yang
tidak setuju bahwa pendaftaran dan pendataan pajak telah berjalan dengan
baik di beberapa item seperti kesadaran wajib pajak. Persepsi tidak setuju
juga ditemukan di Kabupaten Malang dan Kabupaten Bandung tentang
memadainya jumlah tenaga administrasi untuk pendataan dan pendaftaran.
Secara lengkap, administrasi perpajakan tersebut meliputi: i) sistem pendataan
dan pendaftaran wajib pajak, ii) jumlah tenaga administratif untuk pendataan
dan pendaftaran wajib pajak, iii) kualitas tenaga administratif untuk pen-
dataan dan pendaftaran wajib pajak, iv) kelengkapan operasional untuk
pendataan dan pendaftaran wajib pajak, v) koordinasi antar lembaga terkait
dalam pendataan dan pendaftaran wajib pajak, vi) pengalaman tenaga ad-
ministrasi untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak, vii) kesadaran pe-
tugas pendataan dan pendaftaran wajib pajak, viii) kesadaran wajib pajak
untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak.
Untuk penetapan, pemungutan, pembukuan dan pelaporan pajak, mo-
dus persepsi daerah sampel penelitian adalah setuju bahwa pengadminis tra-
si annya telah berjalan baik. Hanya Kabupaten Bandung yang tidak menyetujui
bahwa koordinasi penetapan pajak dan sistem pengumpulan pajak telah
berjalan baik. Hanya Kabupaten Bandung pula yang tidak menyetujui bahwa
kualitas tenaga administrasi dan kelengkapan operasional pemungutan pajak
telah memadai.
5) Profil Kabupaten Kota dalam Peningkatan/Penurunan Penerimaan Pajak
Sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 seluruh daerah sampel peneli ti-
an menyatakan bahwa terjadi peningkatan penerimaan pajak. Seluruh ka bu-
paten/kota yang merupakan sampel penelitian mengalami trend penerimaan
pajak yang meningkat.
Page 80
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .60
Gambar 5.1. Tren Penerimaan Realisasi Pajak Daerah Sampel, Tahun 2007-2011
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
6) Realisasi Penerimaan Pajak Dibandingkan dengan Potensinya dan Faktor-faktor Penghambat yang Dialami Kabupaten/Kota
Dibandingkan dengan potensi penerimaan pajaknya, daerah yang realisasi
penerimaannya mendekati magnitude potensinya adalah Kota Batam,
Kabupaten Bandung, dan Kota Balikpapan. Sedangkan daerah yang realisasi
penerimaan pajaknya hampir sama dengan potensinya adalah Kabupaten
Badung, Kabupaten Deli Serdang, Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang.
Sementara itu, faktor-faktor yang merupakan penghambat yang dialami
mayoritas daerah sampel penelitian adalah: i) rendahnya kesadaran masya-
rakat dalam membayar pajak, ii) rendahnya pengetahuan masyarakat akan
pajak, iii) tingginya penghindaran pajak, iv) tingginya tunggakan pajak, v)
kurang tegasnya sanksi pajak, vi) kurangnya petugas pemungut pajak.
Page 81
ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 61
7) Sistem Penghargaan, Penerimaan Pajak, Pelayanan Pembayaran Pajak, dan Pelayanan Publik
Hampir seluruh daerah menggunakan sistem upah pungut untuk jenis reward
dalam koleksi pajak. Hanya Kabupaten Malang yang menggunakan sistem
insentif pajak daerah. Selain Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Ser-
dang, semua kabupaten/kota sampel penelitian meyakini hubungan antara
penentuan pajak dan pelayanan publik. Sementara itu, kecuali Kabupaten
Deli Serdang, seluruh kabupaten/kota sampel penelitian meyakini bahwa
penerimaan pajak akan meningkat selaras dengan meningkatnya pelayanan
publik. Dalam penyelenggaraan one stop service untuk pajak daerah, hanya
Kota Batam dan Kabupaten Malang yang memilikinya. Kabupaten Badung,
Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota
Surabaya belum memilikinya.
Hal yang perlu dilakukan agar penetapan target penerimaan pajak lebih
tepat dengan potensinya serta realisasinya dapat dioptimalkan di daerah
sampel penelitian adalah: i) sosialisasi guna meningkatkan pemahaman wajib
pajak, ii) intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah, iii) pemutakhiran
data potensi pajak daerah, iv) penyusunan prognosis perkembangan realisasi
penerimaan pajak, v) peningkatan efisiensi dan efektifitas pemungutan pajak,
vi) kompilasi data potensi pajak antar instansi, vii) monitoring, evaluasi dan
koordinasi antar instansi.
Page 82
62
Analisis Kuantitatif: Pengaruh Implementasi UU No. 28 Tahun 2009 Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah
Bab ini akan menjelaskan gambaran umum pengelolaan pajak daerah
di nasional dan daerah penelitian. Hal ini diperlukan untuk melihat
gambaran umum dampak adanya UU No. 28 Tahun 2009 terhadap
pe ne rimaan daerah.
6.1. Analisis Perkembangan Pajak Daerah
Gambar 1 dibawah ini menggambarkan rata – rata rasio pajak agregrat pro-
vinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2012. Pada tahun 2012 rata-rata rasio
pajak agregrat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 1,39%, sedangkan pada
tahun 2011 rata rata tersebut masih tinggi yakni 2,39% (DJPK, 2013).
6
Page 83
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 63
Gambar 6.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun 2012
Sumber: DJPK, 2013
Hal ini menggambarkan betapa dinamika penerimaan pajak daerah
masih beragam.Provinsi Bali merupakan provinsi yang memiliki rasio pajak
agregrat tertinggi yakni sebesar 3,9%, sementara itu daerah yang memiliki
rasio pajak agregrat terendah adalah Provinsi Papua yakni hanya sebesar
0,4%. Provinsi Bali memiliki rasio pajak agegrat tertinggi karena Bali meru-
pakan salah satu daerah yang memiliki aktifitas ekonomi, khususnya sektor
pariwisata, yang sangat besar, sehingga dengan tingginya kegiatan dan out-
put ekonomi yang cukup besar tersebut akan berdampak signifikan terhadap
peningkatan penerimaan pajak di provinsi Bali. Sebaliknya Provinsi Papua,
menunjukkan aktifitas dan output ekonomi yang dimiliki belum mampu
men dorong penguatan penerimaan pajak daerahnya. Hal ini dapat terjadi
mengingat kegiatan perekonomian daerahnya masih didominasi oleh penge-
lolaan sumber daya alam, dimana pajak pusat (bukan pajak daerah) mendo-
minasi tax base kegiatan perekonomian daerahnya.
Page 84
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .64
Gambar 6.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Provinsi tahun 2011 (tidak termasuk DKI Jakarta)
Sumber: DJPK, 2013
Gambar 6.2 di atas menjelaskan tentang pajak perkapita pemerintah
kabupaten dan kota se provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta). Gambar tersebut
menjelaskan bahwa hanya enam daerah yang memiliki pajak perkapita di atas
rata-rata seluruh provinsi di Indonesia sedangkan sebanyak 24 daerah masih
memilki pajak perkapita dibawah rata-rata nasional. Daerah yang memiliki
pajak perkapita di atas rata-rata yakni kabupaten kota di wilayah Provinsi Jawa
Timur, D.I. Yogyakarta, Banten, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kepu-
lauan Riau. Hal ini bisa dikatakan bahwa perekonomian di enam daerah ter-
sebut memiliki dampak dan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan
penerimaan daerah. Namun, Gambar 2 diatas juga menggambarkan jumlah
daerah yang memiliki pajak perkapita dibawah rata-rata. Hal ini menunjukkan
masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang masih belum mampu
menggali potensi dan mengelola pajak daerahnya dengan baik.
Dua gambar di atas menggambarkan betapa dinamika pengelolaan pajak
daerah masih sangat tinggi. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa UU No.
Page 85
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 65
28 Tahun 2009 masih diperlukan untuk mendorong penerimaan daerah atau
meningkatkan kapasitas fiskal.
6.2. Analisis Perbandingan Kondisi Pajak Daerah di Daerah Sampel Sebelum dan Sesudah Penerapan UU No. 28 Tahun 2009
Di bawah ini akan dijelaskan tentang kondisi pajak daerah di daerah sampel,
khususnya dampak implementasi UU No. 28 tahun 2009 terhadap penerimaan
daerah. Gambaran deskriptif ini akan membantu kita untuk memahami
apakah UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut mampu meningkatkan
kapasitas fiskal daerah atau sebaliknya belum mampu mendorong penguatan
kapasitas fiskal daerah.
Tabel 6.1. Pertumbuhan PAD Tahun 2008-2011 (%)
Daerah 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Kab. Badung 96,79 11,89 15,18 43,62 41,87
Kota Batam 32,36 8,43 3,00 104,73 37,13
Kab. Bandung -5,39 5,45 30,23 46,51 19,20
Kota Balikpapan 26,00 23,46 -0,42 64,92 28,49
Kab. Deli Serdang 27,64 5,90 16,27 77,37 31,79
Kota Surabaya 20,01 11,05 12,21 107,62 37,72
Kab. Malang 18,94 53,02 -15,02 32,09 22,26
Rata-rata 30,91 17,03 8,78 68,12 31,21
Nasional 18,95 9,62 8,76 45,7 20,70
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari daerah sampel tahun
2008-2011(%) dijelaskan pada tabel 6.1 di atas. Data pada tabel tersebut
men je laskan bahwa pertumbuhan PAD pada tujuh daerah sampel antara ta-
hun 2008–2011, masih sangat berfluktuatif. Pada kurun waktu 2008 sampai
Page 86
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .66
2010, ketujuh daerah sampel mengalami perlambatan pertumbuhan PAD.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pajak–pajak baru, dinamika ekonomi
yang melambat (adanya krisis ekonomi 2008), serta belum diterapkannya UU
28 Tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2011 dimana UU No. 28 Tahun 2009
telah diimplementasikan, pertumbuhan PAD mengalami kenaikan yang cukup
signifikan, yakni dari sebesar 8,87% menjadi 68,12%.
Tabel 6.1 diatas juga menjelaskan perkembangan PAD tahun 2008-
2011(%) pada masing-masing daerah. Pada tahun 2008-2010, Kabupaten
Badung, Kota Batam, Kota Balikpapan, Kota Surabaya, merupakan daerah
yang memiliki pertumbuhan PAD yang menurun, sedangkan daerah yang
memiliki pertumbuhan PAD yang meningkat yakni Kabupaten Bandung.
Setelah penerapan UU no 28 tahun 2009, yakni pada tahun 2011 semua
daerah sampel memiliki pertumbuhan PAD yang meningkat. Kondisi ini
mendukung pendapat bahwa UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong
kapasitas fiskal daerah, walaupun belum optimal. Hal ini terlihat dari beberapa
daerah yang memiliki pertumbuhan PAD di atas rata-rata, yakni Kabupaten
Badung, Kota Batam, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Surabaya. Tiga
daerah lainnya walaupun mengalami peningkatan, tetapi masih berada di
bawah rata-rata. Secara rata-rata, realisasi PAD daerah sampel lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Tabel 6.2 di bawah ini menjelaskan tentang pertumbuhan realisasi pajak
daerah di daerah sampel. Pajak daerah secara empiris merupakan penerimaan
terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertumbuhan realisasi pajak
daerah di periode tahun 2008-2011 menunjukkan perkembangan yang sa-
ngat menarik. Pada periode 2008-2010, perkembangan realisasi Pajak Daerah
menunjukkan peningkatan. Khusus untuk periode 2008–2009, sebagian
besar penerimaan pajak daerah menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan UU dimana ada perbedaan terkait dengan tax base dan tarif pa-
jak, serta adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 yang berdampak
pada penerimaan pajak daerah 2009. Pada tahun 2011, dimana sebagian
besar daerah sudah melaksanakan UU No. 28 Tahun 2009, penerimaan Pajak
Daerahnya meningkat secara signifikan. Pada tahun tersebut, penerimaan
Pajak Daerah menunjukkan nilai di atas rata-rata penerimaan Pajak Daerahnya.
Hal ini menunjukkan betapa UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong
Page 87
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 67
penerimaan Pajak Daerah. Sejalan dengan nilai rata-rata realisasi PAD, nilai
rata-rata realisasi pajak daerah sampel lebih tinggi dibandingkan nilai rata-
rata nasional.
Tabel 6.2. Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Tahun 2008-2011 (%)
Daerah Realisasi 2008
Realisasi 2009
Realisasi 2010
Realisasi 2011 Rata-rata
Kab. Badung 88,33 11,10 13,06 46,06 39,64
Kota Batam 48,10 7,45 11,13 119,92 46,65
Kab. Bandung -17,64 -7,17 23,85 132,04 32,77
Kota Balikpapan 26,08 16,85 16,09 92,63 37,91
Kab. Deli Serdang 28,59 8,95 11,05 95,24 35,96
Kota Surabaya 16,77 11,27 18,64 183,28 57,49
Kab. Malang 14,03 12,25 16,52 64,34 26,78
Rata-rata 29,18 8,67 15,67 104,79 39,60
Nasional 20,87 11,6 13,67 106,69 38,21
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Tabel 6.3 di bawah ini akan menjelaskan tentang realisasi penerimaan
dari Retribusi Daerah dari daerah–daerah sampel. Retribusi sebagai bagian
penting di dalam UU No. 28 Tahun 2009 merupakan jenis user charge (fee)
yang diperbolehkan dipungut oleh pemerintah daerah, saat pemerintah
daerah menyediakan layanan atas pungutan tersebut.
Tabel 6.3. Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah 2008-2011 (%)
Daerah 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Kab. Badung 36,72 3,70 96,82 -15,54 30,42
Kota Batam 22,53 -17,31 -10,60 42,34 9,24
Kab. Bandung -19,40 13,32 47,43 -45,58 -1,06
Page 88
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .68
Daerah 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Kota Balikpapan 4,59 5,53 4,94 -5,64 2,35
Kab. Deli Serdang 46,61 -8,37 35,27 49,16 30,67
Kota Surabaya -2,95 -4,26 11,61 14,47 4,71
Kab. Malang -49,08 32,66 21,82 24,39 7,45
Rata-rata 5,57 3,61 29,61 9,09 11,97
Nasional 14,98 -0,36 2,08 6,30 5,75
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Tabel 6.3 di atas juga menjelaskan tentang perkembangan realisasi
retribusi daerah tahun 2008 sampai 2011 di masing–masing daerah sampel.
Pada tahun 2010 pertumbuhan realisasi retribusi daerah paling besar terdapat
di Kabupaten Badung sebesar 96,82% sedangkan rata-rata realisasi retribusi
daerah paling rendah terdapat di tahun 2009 sebesar 3,61%. Daerah dengan
pertumbuhan realisasi retribusi paling rendah adalah Kota Batam yang
pertumbuhan realisasi retribusnya sampai minus 17,31%. Rendahnya pene-
rimaan retribusi ini lebih banyak dikarenakan situasi perekonomian pada
periode tersebut mengalami gangguan. Hal ini dapat dilihat bagaimana
pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah pada periode tersebut juga me-
ngalami perlambatan. Secara umum, jika dilihat rata-rata penerimaan reali-
sasi retribusi tahun 2008-2011, maka Kabupaten Deli Serdang yang memiliki
rata-rata pertumbuhan realisasi retribusi daerah paling tinggi sebesar 30,67%
diikuti oleh Kabupaten Badung sebesar 30,42% sedangkan daerah yang
memiliki rata-rata pertumbuhan retribusi daerah paling kecil terdapat di
Kabupaten Bandung yakni minus 1,06%.
Page 89
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 69
Gambar 6.3. Perkembangan Pendapatan Daerah Sampel Tahun 2007-2012
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Gambar 6.3 menunjukkan perkembangan pendapatan daerah sampel
tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa
hampir semua daerah sampel selalu mengalami perkembangan pendapatan
daerah yang selalu meningkat selama kurun waktu 2007 sampai dengan
2011. Untuk tahun 2012, data yang ditampilkan adalah data anggaran (tar-
get) bukan realisasi. Kabupaten Bandung, tahun 2008, pendapatannya meng-
alami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 sedangkan di Kota
Balikpapan pendapatan daerahnya mengalami penurunan di tahun 2009 dan
2010, dari beberapa daerah yang selalu mengalami kenaikkan pendapatan
setiap tahunnya, berdasarkan gambar grafik diatas dapat ditunjukkan bahwa
Kota Surabaya merupakan daerah yang pendapatan daerahnya selalu meng-
alami peningkatan sangat signifikan. Kota Surabaya dapat mengalami
peningkatan pendapatan yang signifikan dikarenakan perkembangan
perekonomiannya yang sangat pesat. Hal itu akhirnya diikuti oleh realisasi
pe nerimaan pajak daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan.
Page 90
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .70
Gambar 6.4. Perkembangan Belanja Daerah Sampel Tahun 2007-2012
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Pada gambar 6.4 di atas menggambarkan perkembangan belanja daerah
sampel tahun 2007-2012. Gambar tersebut menjelaskan seluruh daerah
sampel mengalami peningkatan belanja sejak tahun 2007 sampai dengan
2012. Gambar 6.4 tersebut juga menjelaskan bahwa dari tujuh daerah sam-
pel, Kota Surabaya merupakan daerah dengan belanja daerah paling besar.
Sejak tahun 2009 belanja daerah Surabaya selalu diatas tiga triliun rupiah.
Belanja daerah Kota Surabaya yang besar ini tidak terlepas dari jumlah pen-
dapatan daerah Kota Surabaya yang juga sangat besar.
Tabel 6.4. Pajak Per Kapita Daerah Sampel 2007-2011 (rupiah per jiwa)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kab. Badung 908.769 1.678.316 1.829.295 1.614.857 2.131.384
Kota Batam 103.614 144.753 146.819 135.009 267.648
Kab. Bandung 22.569 18.337 16.800 18.683 41.413
Kota Balikpapan 103.260 127.310 145.569 158.618 294.754
Page 91
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 71
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kab. Deli Serdang
30.312 37.811 40.044 44.415 85.915
Kota Surabaya 129.688 151.323 168.301 189.986 528.984
Kab. Malang 10.990 12.468 13.929 16.091 26.283
Rata-rata 187.029 310.045 337.251 311.094 482.340
Nasional 23.578 29.994 33.216 36.808 74.168
Sumber: DJPK dan BPS, beberapa tahun.
Berdasarkan perkembangan pajak perkapita daerah sampel tahun 2007
sampai tahun 2011 dapat diketahui bahwa pajak perkapita Kabupaten Ba-
dung paling besar jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya yang
dijadikan sampel baik di tahun 2007, 2008, 2009, 2010 bahkan ditahun
2011. Kabupaten Badung memiliki pajak per kapita paling besar dalam lima
tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Kabupaten Badung
yang menjadikan sektor wisata sebagai mesin pertumbuhan ekonomi daerah,
sehingga dengan sektor pariwisata yang meningkat secara tajam, yang juga
mendorong sektor lain untuk tetap tumbuh, dan akhirnya berdampak pada
meningkatnya penerimaan pajak daerah (khususnya basis pajak daerah) yang
diperoleh. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa secara nasional, pajak
perkapita mengalami peningkatan.
Tabel 6.5. Rasio Pajak terhadap PDRB AHB Daerah Sampel 2007-2011 (%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kab. Badung 4,22 6,67 6,03 5,88 7,81
Kota Batam 0,22 0,28 0,28 0,25 0,51
Kab. Bandung 0,19 0,13 0,12 0,13 0,27
Kota Balikpapan 0,18 0,17 0,21 0,21 0,38
Kab. Deli Serdang 0,20 0,22 0,21 0,20 0,34
Kota Surabaya 0,27 0,27 0,27 0,26 0,63
Page 92
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .72
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kab. Malang 0,12 0,12 0,12 0,13 0,18
Rata-rata 0,77 1,12 1,03 1,01 1,45
Nasional 0,16 0,13 0,13 0,13 0,24
Sumber: DJPK dan BPS, beberapa tahun.
Tabel 6.5 adalah tabel yang menjelaskan rasio pajak terhadap PDRB AHB
daerah sampel mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Data menun-
jukkan bahwa Kabupaten Badung merupakan daerah sampel yang memiliki
nilai rasio paling tinggi jika dibandingkan dengan daerah-daerah sampel
yang lainnya. Rasio pajak daerah terhadap PDRB ini menunjukkan berapa
peranan penerimaan pajak dalam mendukung output perekonomian suatu
wilayah. Sebagai suatu daerah dengan sektor pariwisata yang sangat besar,
tentu mendorong sektor ekonomi lainnya untuk tumbuh dan berkembang,
sehingga output perekonomian daerah ini juga meningkat tajam. Tabel 6.5
di atas juga menjelaskan perkembangan rasio pajak terhadap PDRB AHB an-
tara tahun 2007 sampai tahun 2011, dimana hampir semua daerah mengalami
peningkatan rasio pajak terhadap PDRB AHB. Hal ini menunjukkan semua
daerah sampel mengalami peningkatan penerimaan pajak daerah, khususnya
untuk tahun 2011, perubahan rasionya cukup signifikan.
Tabel 6.6. Rasio Pajak Terhadap PAD di Daerah Sampel Tahun
2007-2012 (%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Kab. Badung 96,06 91,93 91,28 89,60 91,13 91,40
Kota Batam 67,02 74,99 74,31 80,17 86,12 77,16
Kab. Bandung 41,02 35,71 31,43 29,89 47,34 48,24
Kota Balikpapan 55,71 55,75 52,76 61,51 71,84 75,91
Kab. Deli Serdang 66,65 67,15 69,08 65,97 72,62 84,20
Kota Surabaya 56,09 54,58 54,69 57,82 78,89 81,14
Page 93
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 73
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Kab. Malang 31,29 30,00 22,00 30,17 37,54 33,28
Rata-rata 59,12 59,58 56,51 59,31 69,36 70,19
Nasional 32,42 32,59 33,55 35,06 49,81 46,10
Sumber:DJPK, beberapa tahun; *) target
Pada tabel 6.6 di atas, tergambarkan tentang rasio pajak daerah terhadap
PAD di daerah sampel tahun 2007 sampai tahun 2012. Rasio ini dipakai un-
tuk menunjukkan berapa besar pajak daerah mampu menyumbang kepada
pendapatan asli daerah, sehingga semakin tinggi nilainya tentu menggam-
barkan peran pajak yang semakin besar. Dari tabel di atas dapat kita lihat,
bahwa hanya ada dua daerah, yakni Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Ma lang memiliki rasio lebih rendah dari 50%. Sementara itu, seluruh daerah
sampel lain memiliki rasio di atas 50% selama periode pengamatan. Untuk
daerah yang memiliki rasio kurang dari 50%, mengindikasikan perlunya dae-
rah tersebut melakukan diversifikasi kegiatan perekonomian dan mendorong
peningkatan kualitas layanan dan sarana prasarana pengelolaan perpajakan.
Secara umum, peningkatan rasio ini juga terjadi di level nasional.
Jika diperhatikan lebih lanjut, tentang pengaruh UU No. 28 Tahun 2009
terhadap penerimaan pajak daerah, maka dapat dikatakan bahwa semua dae-
rah sampel mengalami peningkatan penerimaan dalam bentuk meningkatnya
rasio yang terjadi pada tahun 2011.
Tabel 6.7. Rasio PAD terhadap Total Penerimaan di Daerah Sampel
Tahun 2007-2012 (%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Kab. Badung 50,04 60,61 60,09 68,69 75,98 68,25
Kota Batam 15,72 16,14 16,94 14,98 25,45 26,70
Kab. Bandung 8,21 9,86 7,81 9,72 11,86 11,25
Kota Balikpapan 8,26 8,50 11,30 11,57 13,14 17,61
Page 94
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .74
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Kab. Deli Serdang 7,49 8,30 8,30 9,22 13,16 18,64
Kota Surabaya 29,94 31,45 30,27 29,85 50,19 51,10
Kab. Malang 7,23 7,67 10,76 7,84 8,83 7,55
Rata-rata 18,00 20,00 21,00 22,00 28,00 29,00
Nasional 7,56 7,19 7,48 7,21 8,56 8,93
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Berdasarkan pada tabel 6.7 di atas, rasio PAD terhadap total pendapatan
daerah sampel tahun 2007 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan se-
cara signifikan dalam periode pengamatan. Walaupun begitu, daerah yang
memiliki rasio diatas 25% hanya ada pada tiga daerah sampel, yakni Kabupa-
ten Badung, Kota Surabaya dan Kota Batam.
Banyaknya daerah yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan daerah
yang rendah, menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang terhadap daerah
khususnya tentang pengelolaan potensi daerah masih belum berjalan dengan
baik, dan masih perlu dikaji ulang tentang mengapa pajak daerah yang men-
jadi kewenangannya masih belum dioptimalkan.
Tabel 6.8. Rasio PAD terhadap Total Belanja di Daerah Sampel
Tahun 2007-2012 (%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Kab. Badung 41,43 72,03 59,48 74,23 89,45 64,39
Kota Batam 13,41 19,13 15,28 13,12 27,20 26,56
Kab. Bandung 8,00 9,77 8,55 9,43 11,83 10,40
Kota Balikpapan 6,64 8,82 10,17 10,44 15,52 15,90
Kab. Deli Serdang 7,71 8,26 8,27 9,04 12,92 18,66
Kota Surabaya 39,04 36,11 25,89 24,98 50,26 45,54
Kab. Malang 7,17 7,50 11,06 7,83 8,95 7,15
Page 95
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 75
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Rata-rata 18,00 23,00 20,00 21,00 31,00 27,00
Nasional 7,38 7,29 7,35 7,38 9,13 8,46
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Tabel 6.8. menggambarkan rasio PAD terhadap total belanja di daerah
sampel. Rasio ini menggambarkan seberapa besar PAD mampu membiayai
belanja daerah. Jika nilai rasio ini semakin meningkat, menunjukkan mening-
katnya kemampuan daerah di dalam membiayai sendiri belanja daerahnya.
Daerah sampel yang mampu membiayai belanja daerahnya dengan PAD di
atas 50% yakni Kabupaten Badung (terjadi di tahun 2008 sampai tahun
2012) dan Kota Surabaya (hanya tahun 2011), selain kedua daerah ini belum
ada daerah yang PAD mampu membiayai belanja daerahnya di atas 50%. Hal
ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat masih sangat besar.
Tabel 6.9. Rasio PAD terhadap PDRB AHB di Daerah Sampel
Tahun 2007-2011 (%)
Daerah 2007 2008 2009 2010 2011
Kab. Badung 4,39 7,25 6,6 6,56 8,57
Kota Batam 0,33 0,37 0,38 0,32 0,59
Kab. Bandung 0,46 0,38 0,37 0,43 0,57
Kota Balikpapan 0,33 0,3 0,39 0,35 0,53
Kab. Deli Serdang 0,29 0,33 0,3 0,3 0,47
Kota Surabaya 0,47 0,49 0,49 0,44 0,8
Kab. Malang 0,39 0,4 0,55 0,42 0,48
Rata-rata 0,95 1,36 1,30 1,26 1,72
Nasional 0,16 0,13 0,13 0,13 0,24
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Page 96
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .76
Tabel 6.9. menjelaskan tentang rasio PAD terhadap PDRB AHB daerah
sampel tahun 2007 sampai tahun 2011. Rasio ini menggambarkan tentang
seberapa besar PAD yang dapat diperoleh dari perkembangan perekonomian.
Dengan demikian, semakin tinggi rasio ini, bisa dikatakan daerah telah dapat
memanfaatkan peningkatan perekonomian untuk menambah pendapatan
daerah. Daerah sampel paling besar di dalam rasio PAD terhadap PDRB AHB
adalah Kabupaten Badung, sementara daerah lain belum mampu memanfaat-
kan secara signifikan penguatan perekonomian daerahnya untuk mening-
katkan PAD-nya.
Jika kita perhatikan tabel 6.9. di atas, sebenarnya hampir semua daerah
mengalami peningkatan nilai rasio yang dimiliki. Hal ini menunjukkan sebe-
narnya UU No. 28 Tahun 2009 ini telah mampu mendorong daerah untuk te rus
berusaha meningkatkan PAD-nya melalui beberapa perluasan basis pajak dan
tarif pajak daerah yang berbeda dari sebelumnya.
Kabupaten Malang
Tabel 6.10 menggambarkan realisasi jenis pajak di Kabupaten Malang. Tabel
6.10 tersebut juga menginformasikan bahwa realisasi pajak terbesar adalah
pajak penerangan jalan yang 5 tahun terakhir selalu berada di atas Rp.20
miliar.
Tabel 6.10. Realisasi Jenis Pajak Kab. Malang (miliar rupiah)
JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012
Pajak Hiburan 4,38 5,57 8,37 6,25 5,82
Pajak Hotel 0,56 0,51 0,52 0,88 1,4
Pajak Parkir 0,09 0,09 0,08 0,22 0,26
Pajak Penerangan Jalan 22,58 24,69 27,21 32,67 32,39
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
0,45 0,39 0,33 0,33 0,4
Page 97
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 77
JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012
Pajak Reklame 1,71 1,92 2,12 2,34 2,14
Pajak Restoran 0,57 0,60 0,70 0,91 1,19
BPHTB - - - 19,00 25,43
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Besarnya pajak penerangan jalan ini, bisa dimengerti karena wilayah
Kabupaten Malang yang sangat luas serta jumlah penduduk yang terpadat.
Sedangkan untuk pajak daerah yang lain, bisa dikatakan bahwa pajak–pajak
tersebut belum mampu menjadi andalah penerimaan daerah, karena dalam
realisasi penerimaannya masih sangat berfluktuatif. Jika diperhatikan pada
jenis pajak baru, yakni BPHTB dan PBB P2, sepatutnya merupakan sebagai
sum ber penerimaan utama di tahun–tahun mendatang untuk Kabupaten
Malang, mengingat luasan wilayah serta dinamika perekonomiannya yang
terus berkembang.
Dari penjelasan data–data tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa
adanya UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong peningkatan pene-
rimaan daerah kabupaten Malang, dan diharapkan segala permasalahan
yang ada di dalam usaha peningkatan penerimaan, dapat diselesaikan di
masa mendatang.
Kabupaten Deli Serdang
Tabel 6.11 di bawah ini menjelaskan tentang dinamika penerimaan pajak
daerah di Kabupaten Deli Serdang selama beberapa tahun. Bagaimana dam-
pak UU No. 28 Tahun 2009 di Kabupaten Deli Serdang dapat kita lihat peranan
pajak-pajak baru terhadap penerimaan daerah.
Pajak–pajak lama (sebelum UU No. 28 Tahun 2009) yang mendominasi
adalah Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang memang ini sejalan dengan karak-
teristik daerah Kabupaten, wilayahnya luas serta jumlah penduduknya besar
dan tersebar. Sedangkan untuk pajak lain, relatif tetap tidak terlalu signifikan
perannya pada penerimaan daerah.
Page 98
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .78
Tabel 6.11. Realisasi Jenis Pajak Kab. Deli Serdang (miliar rupiah)
Jenis Pajak 2009 2010 2011* 2012*
Pajak Hiburan 0,27 0,33 0,30 0,40
Pajak Hotel 0,21 0,19 0,30 0,30
Pajak Parkir 0,08 0,25
Pajak Penerangan Jalan 66,53 74,11 88,00 90,00
PajakPengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C 2,48 0,53 6,00 10,00
Pajak Reklame 0,97 1,12 1,50 2,50
Pajak Restoran 1,08 3,17 3,50 4,00
BPHTB 75,00 75,00
Pajak Air Tanah 7,50 7,50
PBB P2 69,85 130,00
Sumber: DJPK , beberapa tahun
Sementara itu, berdasarkan tabel 11 tentang realisasi jenis pajak Ka bu-
paten Deli Serdang, pajak terbesar adalah pajak daerah baru sesuai amanah
UU No. 28 Tahun 2009, yakni BPHTB dan PBB P2. Sedangkan pajak hotel dan
resotoran yang merupakan perluasan basis pajak, juga berperan cukup besar
untuk mendorong penerimaan daerah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Deliserdang,
keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 cukup mampu mendorong penerimaan
daerah meningkat secara signifikan.
Kabupaten Bandung
Tabel 6.12 di bawah ini menggambarkan tentang realisasi penerimaan pajak
daerah di Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung merupakan daerah de-
ngan wilayah yang cukup luas dan jumlah penduduk yang banyak dan
tersebar.
Page 99
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 79
Tabel 6.12. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Bandung (miliar rupiah)
Jenis Pajak 2008 2009 2010 2011 2012
Pajak Hiburan 1,82 2,15 2,06 0,96 0,71
Pajak Hotel 0,52 0,48 1,12 1,38 2,31
Pajak Parkir 0,08 0,14 0,29 0,60 0,45
Pajak Penerangan Jalan 45,33 41,04 50,23 64,71 83,89
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
0,06 0,06 0,11 0,14 0,19
Pajak Reklame 1,82 1,60 2,02 2,55 2,71
Pajak Restoran 2,02 2,49 3,54 4,87 6,98
BPHTB 59,59 85,15
Pajak Air Tanah 3,01 3,25
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Berdasarkan karakteristik wilayah tersebut, kabupaten Bandung memiliki
sumber penerimaan pajak daerah yang terbesar dari pajak penerangan jalan,
yang nilainya terus meningkat dari Rp45 miliar rupiah tahun 2008 menjadi
Rp.64 miliar pada tahun 2011.
Sementara itu, untuk pajak baru sesuai dengan amanah UU No. 28 Ta-
hun 2009 seperti BPHTB telah menunjukkan angka yang cukup signifikan.
Pada tahun 2011, pendapatan dari BPHTB sekitar Rp.59 miliar dan diperkirakan
untuk tahun 2012 juga akan meningkat.
Oleh karena itu, berdasarkan data–data yang diuraikan pada tabel di
atas, bahwa pajak – pajak baru telah memberikan tambahan penerimaan
dae rah yang semakin besar dan signifikan.Sementara itu, untuk perluasan
basis pajak, seperti pajak restoran juga menunjukkan peningkatan yang sa-
ngat signifikan. Pajak Hiburan menurun di Kabupaten Bandung, dikarenakan
perubahan kepemimpinan dan kebijakannya, dengan visi religius yang
diusung, yang kemudian mendorong tingginya tarif pajak hiburan (regulative)
dan hal itu menjadi alasan mengapa penerimaan menurun. Walaupun demi-
Page 100
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .80
kian, secara umum UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong pening-
katan penerimaan daerah.
Kabupaten Badung
Kabupaten Badung merupakan daerah yang wilayahnya dipenuhi dengan
fasilitas sektor pariwisata seperti Hotel, Restoran, serta tempat hiburan yang
tersebar di wilayah Kabupaten. Dengan karakteristik daerah yang semacam
itu, maka dapat diperkirakan pajak–pajak daerah dari aktifitas ekonomi terse-
but akan mendominasi penerimaan daerah.
Tabel 6.13. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Badung (miliar rupiah)
JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012
Pajak Hiburan 9,48 12,18 13,83 12,40 22,61
Pajak Hotel 579,75 634,74 713,26 701,50 1037,25
Pajak Parkir 1,43 1,85 2,21 2,50 7,38
Pajak Penerangan Jalan 40,72 46,66 55,20 53,49 64,32
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
4,50 0,67 0,40 0,30 0,38
Pajak Reklame 6,65 6,44 6,88 7.20 3,22
Pajak Restoran 55,98 73,48 85,62 83,50 163,48
BPHTB 75,34 355,64
Pajak Air Tanah 1,78 31,29
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Pada tabel 6.13 diatas dapat kita lihat realisasi jenis pajak Kabupaten
Badung. Pajak tertinggi adalah pajak hotel, hal ini mengingat Kabupaten
Badung merupakan daerah Pariwisata. Pajak Hotel di Kabupaten Badung se-
tiap tahunnya mampu merealisasikan pajak selalu diatas Rp.500 miliar rupiah.
Jumlah itu terus meningkat sejalan dengan perkembangan perekonomian
yang terus membaik. Pada tahun 2012, pemerintah Kabupaten Badung me-
Page 101
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 81
nargetkan penerimaan pajak Hotel ini meningkat drastis, menjadi sekitar
Rp.850 miliar. Pajak daerah terbesar kedua realisasinya adalah pajak restoran
yang selalu diatas Rp.55 miliar. Pajak restoran menjadi pajak terbesar kedua
dikarenakan pajak ini perkembangannya sangat terkait dengan dinamika ke-
giatan pariwisata.
Sementara itu, pajak Penerangan Jalan yang di beberapa kabupaten
me rupakan sumber penerimaan utama, di Kabupaten Badung sumber pajak
ini tidak seperti itu. Pajak Penerangan Jalan ini kalah dari dua pajak daerah
utama, yakni Hotel dan Restoran. Hal ini juga menunjukkan penyebaran hotel
dan penduduk sudah tidak terjadi lagi, dan ini terlihat dari perkembangan
penerimaan yang relatif stabil.
Untuk pajak baru, sesuai dengan amanah UU No. 28 Tahun 2009, yakni
BPHTB dan perluasan basis pajak, dapat dikatakan penerimaan pajak setelah
berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 tersebut meningkat secara signifikan. Pada
tahun 2011, penerimaan BPHTB sebesar Rp.75 miliar, dan diperkirakan pe-
nerimaan tahun 2012 akan meningkat diatas Rp.110 miliar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya UU No. 28 Tahun
2009 ini telah mampu mendorong peningkatan penerimaan daerah Kabu-
paten Badung secara signifikan, dan tentu beberapa potensi penerimaan
pajak daerah lain seperti PBB P2, perlu secepatnya di implementasikan.
Tabel 6.14. Realisasi Jenis Pajak Kota Balikpapan (miliar rupiah)
JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012*
Pajak Hiburan 1,01 2,33 0,10 5,33 6,11
Pajak Hotel 22,05 24,92 24,07 33,52 31,61
Pajak Parkir 1,12 2,25 2,11 4,84 5,12
Pajak Penerangan Jalan 25,78 27,67 26,71 39,92 39,66
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
0,02 0,04 3,60 n.a. n.a.
Pajak Reklame 2,28 3,07 14,20 3,76 6,79
Pajak Restoran 12,16 14,33 n.a. 22,75 22,37
Page 102
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .82
JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012*
BPHTB 58,16 52,23
Pajak Air Tanah 0,07 2,66
Sumber: DJPK, beberapa tahun. *) target n.a.: data tidak tersedia
Tabel 6.14 di atas menggambarkan realisasi penerimaan pajak daerah
Kota Balikpapan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa BPHTB merupakan jenis
pajak yang mampu memiliki nilai realisasi paling besar yakni Rp.58,16 miliar
tahun 2011 dan ditargetkan Rp.52,23 miliar tahun 2012. Selanjutnya pajak
Penerangan Jalan, sebagaimana daerah lain merupakan pajak yang menyum-
bang realisasi penerimaan daerah yang sangat besar. Pada tahun 2008, nilai
Pajak Penerangan Jalan sekitar Rp.25 miliar, meningkat menjadi Rp.39,9
miliar pada tahun 2011. Pajak lain yang memiliki realisasi paling besar adalah
pajak hotel. Pada tahun 2008, penerimaan pajak Hotel adalah sebesar Rp.22
miliar dan meningkat secara tajam pada tahun 2011 menjadi Rp.33,5 miliar.
Begitu juga pajak Restoran mengalami dinamika yang sama dengan pajak
Hotel.
Secara umum, semua pajak Daerah menunjukkan tren yang terus me-
ningkat di Kota Balikpapan. Sebelum ada UU No. 28 Tahun 2009, peningkatan
pajak daerah yang ada tidak terlalu signifikan. Tetapi, sejak pada tahun 2011,
kenaikan pajak daerah seperti BPHTB, Pajak Hotel dan Restoran menunjukkan
peningkatan yang sangat signifikan. Dengan demikian, bisa kita simpulkan
bahwa keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 telah membantu kinerja pajak
dae rah di Kota Balikpapan serta dinamika perekonomian daerah.
Kota Surabaya
Tabel 6.15 menggambarkan tentang realisasi penerimaan pajak Daerah Kota
Surabaya. Secara umum data–data penerimaan realisasi pajak daerah me-
nunjukkan peningkatan yang signifikan. Sebelum adanya UU No. 28 Tahun
2009, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Hotel dan Restoran merupakan pajak
penyumbang terbesar pendapatan daerah. Sebagai suatu wilayah perkotaan,
tentu kegiatan jasa mendominasi perekonomian daerahnya. Sedangkan un-
Page 103
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 83
tuk Pajak Penerangan Jalan, merupakan pajak yang sangat dipengaruhi oleh
tingkat sebaran dan kepadatan penduduk serta luas daerahnya.
Tabel 6.15. Realisasi Jenis Pajak Kota Surabaya (miliar rupiah)
Jenis Pajak 2009 2010 2011 2012
Pajak Hiburan 22,89 26,61 29,9 35,4
Pajak Hotel 87,44 100,51 108,21 126,54
Pajak Parkir 15,92 19,06 21,84 27,29
Pajak Penerangan Jalan 146,24 165,06 192,09 224,32
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
- - - -
Pajak Reklame 75,6 98,71 90,23 117,6
Pajak Restoran 94,76 115,46 131,14 172,88
BPHTB 215,28 416,31 575,35
PBB P2 333,13 498,64 572,29
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Sejak adanya UU No. 28 Tahun 2009, dimana BPHTB dan PBB P2 sudah didae-
rahkan, Kota Surabaya merupakan pemerintah daerah pioner untuk penge-
lolaan pajak BPHTB dan PBB P2 di daerah. Realisasi pajak pusat yang di dae-
rahkan ini sangat signifikan terhadap penerimaan daerah. Begitu juga untuk
pajak Hotel dan Restoran yang mengalami perluasan basis pajak (tax base)
sesuai dengan amanah UU No. 28 Tahun 2009, mengalami peningkatan yang
sangat signifikan bagi penerimaan pajak daerah Kota Surabaya.
Dengan melihat data–data tersebut, kita bisa simpulkan bahwa peneri-
maan pajak daerah di Kota Surabaya meningkat drastis dan signifikan setelah
adanya UU No. 28 Tahun 2009. Walaupun begitu, usaha–usaha perbaikan yang
mengarah pada efisiensi pengumpulan pajak dan peningkatan kualitas layan-
an publik, akan semakin mendorong partisipasi dan kesadaran masyarakat
untuk membayar pajak.
Page 104
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .84
6.3. Analisis Kuantitatif Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009
6.3.1. Rancangan Model
Pada bagian ini akan dianalisis bagaimana pengaruh penerapan UU No. 28
Tahun 2009 terhadap rasio pajak dan elastisitas pajak kabupaten/kota di In do-
nesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi sederhana
yang diolah dengan Stata versi 11, sedangkan plot data yang digunakan
merupakan jenis data cross section untuk seluruh daerah pada dua titik yaitu
tahun 2009 mewakili periode sebelum penerapan UU No. 28 Tahun 2009 dan
tahun 2011 mewakili periode sesudah UU No. 28 Tahun 2009 diimple men-
tasikan.
Model pertama, adalah persamaan regresi yang digunakan untuk meli-
hat peranan berbagai variabel khususnya basis pajak (tax base) yang di proksi
dengan menggunakan variabel sektor ekonomi (PDRB sektor) yaitu sektor
industri pengolahan (manufaktur), sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor
perdagangan, hotel, restoran dan sektor bangunan, serta variabel lainnya
ter hadap rasio pajak. Ke empat sektor tersebut dianggap mewakili perkem-
bangan basis pajak daerah.
Rasio pajak dalam perhitungan ini didefinisikan sebagai perbandingan
antara PAD terhadap PDRB atau perbandingan antara Pajak Daerah terhadap
PDRB. Oleh karena itu akan terdapat dua persamaan yang digunakan untuk
menganalisis tax ratio, yaitu sebagai berikut ;
δPAD/δY = α0 + α1Ym + α2YL + α3Yphr + α4Yb + α5TK +α6Daper +α7BM + D + e ….... (1)
δT/δY = β0 + β1Ym + β2YL + β3Yphr + β4Yb + β5TK + β6BM + β7BM + D + e ……..(2)
Model kedua, adalah persamaan untuk menganalisis perubahan elastisi-
tas masing-masing pajak sebagai akibat dari perbaikan tax base (PDRB sektor
listrik, industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi) masing-masing
pajak dan atau sebagai akibat dari perkembangan faktor lain seperti faktor
tingkat kemiskinan (bagian dari penduduk yang tidak mampu membayar
Page 105
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 85
pa jak dengan kebutuhan pelayanan publik yang besar) dan faktor alokasi
anggaran (pola belanja) pemerintah untuk belanja modal. Persamaan yang
digunakan untuk masing masing pajak daerah adalah sebagai berikut:
THtl = β0 + β1Yphr + D + e ........................................................ (3)TRes=χ0 + χ1Yphr + D + e .......................................................... (4)TPPJ =δ0 + δ1YL + D + e ............................................................. (5)TPBB = φ0 + φ1Yb + D + e .......................................................... (6)TBPHTB = γ0 + γ1Yb + D + e ........................................................ (7)
Dimana:
δPAD/δY = PAD / PDRB (harga berlaku)
δT/δY = Pajak daerah / PDRB (harga berlaku)
THtl = Pajak Hotel
TRes = Pajak restoran
TPPJ = Pajak PPJ
TPBB = PBB
TBPHTB = BPHTB
Ym = PDRB Sub sektor Industri pengolahan
YL = PDRB Sub sektor listrik, gas, air bersih
Yphr = PDRB Sub sektor perdagangan, hotel, restoran
Yb = PDRB Sub sektor bangunan
TK = Tingkat kemiskinan
BM = Belanja Modal
DP = Dana perimbangan
D = Dummy 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten.
6.3.2. Model Rasio Pajak
Hasil perhitungan dari model tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai ber ikut;
Rasio Pajak Daerah :
1. Rasio Pajak yang di proxy dengan dua cara yaitu dengan PAD/PDRB dan
Total Pajak Daerah/PDRB memberikan hasil yang berbeda. Model analisis
dengan Rasio pajak yang menggunakan Pajak daerah/PDRB memberikan
hasil yang lebih baik dibanding dengan model yang menggunakan rasio
Page 106
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .86
pajak PAD/PDRB. Hal ini memberi indikasi bahwa secara umum rasio
pe nerimaan PAD sesungguhnya lebih didominasi oleh pajak daerah yang
menjadi ciri daerah perkotaan.
Secara keseluruhan variabel sub sektor PDRB (manufaktur, listrik,
perdagangan dan bangunan), variabel belanja modal, dana perimbangan
dan tingkat kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap rasio
pa jak, namun hanya variabel PDRB sub sektor listrik, dana perimbangan,
dan variabel dummy yang koefisien arahnya sesuai dengan yang diha-
rapkan.
Interpretasi terhadap hasil data tahun 2009, sebelum perubahan UU
Pajak daerah adalah sebagai berikut :
• Rasio pajak (PAD/PDRB), variabel PDRB sub sektor manufaktur, listrik
dan dana perimbangan signifikan dengan koefisien arah yang
sesuai.
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Manufaktur maka rasio PAD per
PDRB Harga Berlaku akan naik sebesar 0,08% dengan asumsi varia-
bel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Listrik maka rasio PAD per PDRB
Harga Berlaku akan naik sebesar 0,103% dengan asumsi variabel
bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Bangunan maka rasio PAD per
PDRB Harga Berlaku akanvturun sebesar 0,271% dengan asumsi
variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Hotel dan Restoran maka rasio
PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,428% dengan
asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
• Setiap 1% kenaikan poverty rate maka rasio PAD per PDRB Harga
Berlaku akan turun sebesar 0,012% dengan asumsi variabel bebas
lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
• Setiap 1% kenaikan Belanja Modal maka rasio PAD per PDRB Harga
Berlaku akan turun sebesar 0,31% dengan asumsi variabel bebas
lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
Page 107
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 87
Tabel 6.16. Koefisien Rasio Pajak Daerah
• Setiap 1% kenaikan Dana Perimbangan maka rasio PAD per PDRB
Har ga Berlaku akan naik sebesar 1,23% dengan asumsi variabel
be bas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
• Jika daerah sampel berupa kota (d_kota=1) maka rasio PAD per
PDRB Harga Berlaku akan lebih tinggi sebesar 0,34 dengan asumsi
variabel bebas lainnya bernilai tetap.
2009 2010 Koefisien Standard
Error p-value Koefisien Standard
Error p-value
PAD terhadap Total PDRB PDRB Sektor Manufaktur 0,08 0,038 0,045 -0,22 0,109 0,042
PDRB Sektor Listrik
0,103 0,05 0,062 0,28 0,132 0,033
PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
-0,43 0,15 0,005 -0,596 0,201 0,174
PDRB Sektor Bangunan -0,27 0,06 <0,001 -0,87 0,13 <0,001
Tingkat Kemiskinan
-0,01 0,004 0,003 -0,021 0,016 0,174
Belanja Modal -0,32 0,06 <0,001 -0,24 0,274 0,381 Dana Perimbangan
1,23 0,31 <0,001 3,26 0,43 <0,001
Dummy Kota 0,04 3,12 0,001 1,16 0,36 0,001 Total Pajak terhadap Total PDRB
PDRB Sektor Manufaktur 0,078 0,027 0,003 -0,224 0,109 0,042
PDRB Sektor Listrik
0,103 0,03 0,002 0,281 0,132 0,03
PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
-0,43 0,05 <0,001 -0,596 0,201 0,003
PDRB Sektor Bangunan -0,27 0,033 <0,001 -0,87 <0,001 <0,001
Tingkat Kemiskinan
-0,01 0,004 0,002 -0,021 0,016 0,174
Belanja Modal -0,32 0,082 <0,001 -0,24 0,274 0,381 Dana Perimbangan
3,26 0,429 <0,001 3,26 0,429 <0,001
Dummy Kota 0,34 0,086 <0,001 1,15 0,36 0,001
Page 108
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .88
Pada tahun 2010 (sebagai pengganti data tahun 2011 yang masih
data sementara) yang mewakili periode setelah implementasi UU 28
Tahun 2009 diperoleh gambaran sebagai berikut ;
• Terdapat dua variabel yang signifikan dengan koefisien arah yang
sesuai yaitu variabel PDRB sub sektor listrik dan dana perimbangan,
sementara variabel lainnya signifikan namun dengan koefisien arah
yang negatif.
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Manufaktur maka rasio PAD per
PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,22% dengan asumsi va-
riabel bebas lainnya tidak berubah.
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Listrik maka rasio PAD per PDRB
Harga Berlaku akan naik sebesar 0,281% dengan asumsi variabel
bebas lainnya tidak berubah.
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Konstruksi maka rasio PAD per PDRB
Harga Berlaku akan turun sebesar 0,87% dengan asumsi variabel
bebas lainnya tidak berubah.
• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Hotel dan Restoran maka rasio PAD
per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,596% dengan asumsi
variabel bebas lainnya tidak berubah.
• Setiap 1% kenaikan poverty rate maka rasio PAD per PDRB Harga
Berlaku akan turun sebesar 0,021% dengan asumsi variabel bebas
lainnya tidak berubah.
• Setiap 1% kenaikan Belanja Modal maka rasio PAD per PDRB Harga
Berlaku akan turun sebesar 0,24% dengan asumsi variabel bebas
lainnya tidak berubah.
• Setiap 1% kenaikan Dana Perimbangan maka rasio PAD per PDRB
Harga Berlaku akan naik sebesar 3,28% dengan asumsi variabel
bebas lainnya tidak berubah.
• Jika daerah sampel berupa kota (d_kota=1) maka rasio PAD per
PDRB Harga Berlaku akan lebih tinggi sebesar 1,15 dengan asumsi
variabel bebas lainnya bernilai tetap.
Page 109
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 89
Dari hasil perhitungan statistik tersebut memberi gambaran bahwa
sesungguhnya sektor ekonomi (PDRB) khususnya beberapa sub sektor
yang menjadi basis pajak daerah sampai pada tahun 2010 belum cukup
kuat memberi pengaruh terhadap rasio pajak. Hal ini disebabkan oleh
PBB P2 dan BPHTB belum dipungut secara merata di seluruh daerah dan
juga sebagian besar pemungutan hanya didasarkan pada NJOP yang
se sungguhnya tidak menggambarkan nilai riil serta tidak terkait dengan
perkembangan ekonomi atau sektor ekonomi. Dengan demikian jika
terjadi perkembangan ekonomi pada sub sektor tersebut maka belum
banyak mempengaruhi besaran rasio pajak daerah. Pembangunan eko-
nomi yang lebih berkualitas dalam artian pembangunan ekonomi yang
dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan sendirinya juga akan
mendorong perbaikan pada rasio pajak daerah. Hanya saja besarnya
pengaruh sektor ekonomi terhadap rasio pajak daerah sebelum dan
sesudah UU No. 28 Tahun 2009 belum banyak berubah, akan tetapi po-
tensi untuk berkembang sangat nampak. Sebagian besar daerah me-
mang masih dalam tahap persiapan dan pembenahan berbagai aspek
admnistrasi maupun prosedur untuk dapat mengoptimalkan pelaksanaan
UU No. 28 Tahun 2009.
6.3.3. Model Elastisitas Pajak
Pada tabel berikut ini ditampilkan hasil perhitungan elastisitas pajak daerah,
yaitu pajak hotel, pajak restoran, PPJ, dan BPHTB. Elastisitas PBB P2 tidak di-
hi tung mengingat pada tahun 2011 baru satu daerah (Kota Surabaya) yang
sudah melakukan pemungutan terhadap PBB P2. Elastisitas pajak daerah
pada dasarnya menggambarkan pengaruh perubahan masing-masing pajak
daerah (pajak hotel, pajak restoran, PPJ, dan BPHTB) sebagai akibat dari per-
ubahan basis pajak (tax base).
Page 110
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .90
Tabel 6.17. Elastisitas Pajak Daerah
Variabel2009 2011
Kab Kota Kab+Kota Kab Kota Kab+Kota
Pajak Hotel
PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
0,292(***) 0,618(**) 0,449(***) 0,334(***) 0,620(***) 0,476(***)
Pajak Restoran
PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
0,195(**) 0,444(**) 0,340(***) 0,17(*) 0,427(**) 0,307(***)
Pajak Penerangan Jalan
PDRB Sektor Listrik
0,544(***) 0,410(***) 0,543(***) 0,499(***) 0,371(***) 0,495(***)
Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan
PDRB Sektor Bangunan
0,598(***) 0,250 0,542(***) 0,561(***) 0,419(*) 0,598(***)
Signifikansi (***)-> 1%, (**)-> 5%, (*)-> 10%
1. Elastisitas pajak hotel, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub
sek tor perdagangan, hotel, restoran) berpengaruh signifikan dengan
koefisien arah yang positif terhadap penerimaan pajak hotel, dimana
daerah kota lebih elastis (0,62) dibanding daerah kabupaten (0,29) di
tahun 2009. Elastisitas basis pajak sesudah implementasi UU 28 Tahun
2009 semakin besar baik kota maupun kabupaten yakni masing-masing
sebesar 0,334 dan 0,620. Secara nasional elastisitas pajak hotel meng-
alami peningkatan pada tahun 2011 meskipun dengan perubahan ko-
efisien yang belum terlalu besar.
2. Elastisitas pajak restoran, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub
sektor perdagangan, hotel, restoran) berpengaruh siginifikan dengan
koefisien arah yang positif terhadap penerimaan pajak hotel, namun
de ngan besaran elastisitas yang lebih kecil dibandingkan dengan
Page 111
ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 91
elastisitas pajak hotel. Kecenderungan yang juga nampak adalah bahwa
elastisitas pada tahun 2011 (setelah implementasi UU No 28 Tahun
2009) masih lebih kecil dibanding tahun 2009. Pajak restoran ini juga
memiliki elastisitas yang lebih besar pada daerah kota dibanding dengan
daerah kabupaten.
3. Elastisitas Pajak penerangan jalan, yang diwakili oleh variabel tax base
(PDRB sub sektor listrik) berpengaruh siginifikan dengan koefisien arah
yang positif terhadap penerimaan PPJ, namun dengan elastisitas yang
kurang dari 1. Elastisitas pada daerah kabupaten (0,54) lebih besar diban-
ding dengan elastistas pada daerah kota (0,49) pada tahun 2009, serta
dengan kecenderungan elastisitas yang lebih kecil pada tahun 2011
untuk daerah kota+kabupaten.
4. Elastisitas Pajak BPHTB, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub
sektor bangunan) berpengaruh signifikan dengan koefisien arah positif
baik sebelum maupun sesudah implementasi UU 28 Tahun 2009. Besaran
koefisien elastisitas cenderung membaik. Pasca implementasi UU No. 28
Tahun 2009, elastisitas BPHTB di daerah perkotaan (0,419) yang lebih
besar dibanding sebelum implemetasi UU (0,250). Secara umum, daerah
sudah dapat memanfaatkan implementasi UU No. 28 Tahun 2009 dilihat
dari elastisitas kota+kabupaten yang meningkat dari 0,542 menjadi
0,598.
Dari hasil perhitungan elastisitas empat jenis pajak daerah tersebut da-
pat disimpulkan bahwa dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak Hotel dan BPHTB
mengalami peningkatan elastisitas setelah penerapan UU No. 28 Tahun 2009.
Artinya, perluasan basis pajak hotel dan keleluasaan dalam menetapkan tarif
pajak hotel serta pengalihan pemungutan BPHTB ke daerah telah mampu
meningkatkan penerimaan pajak hotel dan BPHTB. Sementara elastisitas pa-
jak restoran dan pajak penerangan jalan, meskipun kecil, namun cenderung
mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan UU No.
28 Tahun 2009 belum dapat meningkatkan penerimaan pajak restoran dan
pajak penerangan jalan. Dengan kata lain, perluasan basis pajak restoran dan
pajak penerangan jalan belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh peme-
rintah daerah.
Page 112
92
Penutup
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif, diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan evaluasi pelaksa-
naan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retri-
busi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai
berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Disamping adanya
perluasan basis pajak (seperti dimasukkannya catering sebagai bagian
dari pajak restoran) dan adanya keleluasaan pemerintah daerah dalam
menetapkan tarif pajak, hal lain yang cukup penting dalam Undang-Un-
dang No. 28 tahun 2009 adalah dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi
dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai
pajak daerah.
2. Meskipun daerah kabupaten merasakan bahwa Undang-Undang No. 28
Tahun 2009 masih terlalu bias perkotaan, namun secara umum seluruh
daerah sampel menyambut baik kehadiran UU ini karena mampu me-
ningkatkan kapasitas fiskal daerah.Implementasi UU ini telah mening-
7
Page 113
PENUTUP 93
katkan kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah, dari 18,6%
(2010), 19,66% (2011), dan 20,4% (2012). Meskipun kontribusi PAD
terus mengalami kenaikan, namun rasio pajak (Tax Ratio) dan Pajak per
Kapita (Tax per Capita) masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun upaya pemerintah untuk meningkatkan local taxing power
dengan menerbitkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sudah me-
nunjukkan hasil positif, namun realisasi pajak daerah sebenarnya masih
jauh lebih rendah dari potensinya.
3. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa daerah masih menghadapi
berbagai masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 28 Tahun
2009. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:
a) Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu antara lain: pemahaman
yang berbeda terhadap UU sehingga khawatir salah dalam melak-
sana kannya dan adanya kesulitan secara teknis untuk menerapkan
perluasan basis pajak.
b) Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: kurangnya
SDM yang kompoten dalam bidang keuangan daerah, memahami
karakteristik daerah dan mampu melakukan simulasi untuk meng-
hitung dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi
dan penerimaan daerah, adanya anggapan bahwa tarif dalam UU
No. 28 tahun 2009 merupakan batasan terbaik untuk daerahnya,
tanpa perlu lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya, ku-
rang nya kesadaran bahwa daerah telah memiliki kewenangan pe-
nuh dalam penetapan tarif sepanjang masih dalam batas maksi mum
atau minimum sebagaimana diatur dalam UU, tingginya NPOP-TKP
(Rp60 juta) dalam pemungutan BPHTB bagi pemerintah kabupaten,
dan proses penetapan tarif yang seringkali belum melibatkan stake-
holders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga
kurang mendapat dukungan dan komitmen dalam pelaksana an-
nya.
c) Masalah dalam pemungutan jenis pajak baru, yaitu antara lain:
minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola BPHTB dan PBB-P2,
ketidaksiapan struktur SKPD, proses validasi atau verifikasi yang
re latif lama, adanya SE BPN No. 5 tahun 2013 yang seolah menya-
Page 114
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .94
takan tidak perlunya verifikasi, rendahnya NJOP dibanding harga
pasar, masih minimnya kompetensi SDM (pendataan, penilaian, ad-
ministrasi, dan pelayanan), kurangnya sosialisasi dan edukasi ke-
pada masyarakat, dan ketidakakuratan data piutang PBB.
d) Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya pungutan diluar
jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 tahun 2009, tidak adanya
insentif pajak Hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, belum efek-
tifnya proses evaluasi Raperda di provinsi, adanya monopoli bank
dalam pembayaran pajak daerah, masih rendahnya kesadaran ma-
syarakat dalam membayar pajak, kurangnya kerjasama diantara
stakeholders pajak daerah, belum siapnya regulasi beserta hardware/
software untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor
pe layanan pajak pratama, belum memadainya jumlah tenaga admi-
nistrasi untuk pendataan dan pendaftaran, belum dijalankannya
mekanisme one stop service untuk pajak daerah, dan kekurang-
akuratan data wajib pajak.
4. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa UU No 28 tahun 2009 te-
lah mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah, yang antara lain di-
tun jukkan oleh:
a) Pertumbuhan PAD daerah sampel yang jauh lebih tinggi yaitu
8,87% pada tahun 2010 menjadi 68,12% tahun 2011;
b) Pertumbuhan realisasi pajak daerah sampel yang jauh lebih tinggi
yaitu 15,67% pada tahun 2010 menjadi 104,79% tahun 2011;
c) Peningkatan pajak per kapita daerah sampel dari Rp311.094,00
pada tahun 2010 menjadi Rp484.340,00 pada tahun 2011;
d) Peningkatan rasio pajak daerah terhadap PDRB AHB sampel dari
1,01% pada tahun 2010 menjadi 1,45% pada tahun 2011;
e) Peningkatan rasio pajak terhadap PAD di daerah sampel dari 59,31%
pada tahun 2010 menjadi 69,36% pada tahun 2011;
f) Peningkatan rasio PAD terhadap total penerimaan di daerah sampel
dari 22% pada tahun 2010 menjadi 28% pada tahun 2011;
g) Peningkatan rasio PAD terhadap total belanja di daerah sampel dari
21% pada tahun 2010 menjadi 31% pada tahun 2011;
Page 115
PENUTUP 95
h) Peningkatan rasio PAD terhadap PDRB AHB di daerah sampel dari
1,26% pada tahun 2010 menjadi 1,72% pada tahun 2011;
5. Hasil regresi terhadap data seluruh kabupaten/kota di Indonesia menun-
jukkan bahwa sektor ekonomi (PDRB), khususnya beberapa sub sektor
yang menjadi basis pajak daerah sampai tahun 2010 belum cukup kuat
memberi pengaruh terhadap rasio pajak. Sementara terhadap elastisitas
pajak, dapat disimpulkan bahwa dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak
Hotel dan BPHTB mengalami peningkatan elastisitas setelah penerapan
UU No. 28 Tahun 2009. Artinya, perluasan basis pajak hotel dan kelelua-
saan dalam menetapkan tarif pajak hotel serta pengalihan pemungutan
BPHTB ke daerah telah mampu meningkatkan penerimaan pajak hotel
dan BPHTB. Sementara elastisitas pajak restoran dan pajak penerangan
jalan, meskipun kecil, namun cenderung mengalami penurunan. Hal ini
mengindikasikan bahwa penerapan UU No. 28 Tahun 2009 belum dapat
meningkatkan penerimaan pajak restoran dan pajak penerangan jalan.
Dengan kata lain, perluasan basis pajak restoran dan pajak penerangan
jalan belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah daerah.
7.2. Rekomendasi
Kajian ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Rekomendasi dimaksud adalah:
7.2.1. Bagi Pemerintah Pusat
1. Pemantapan Koordinasi
• Dalam masa transisi, paling tidak hingga tahun 2017, sebaiknya
diatur agar Direktorat Jenderal Pajak tetap terlibat dan berperan
mem bantu pemerintah daerah dalam pengelolaan jenis pajak pusat
yang dialihkan ke daerah, sehingga KPP tetap bisa melakukan pen-
dampingan dan memberikan bantuan teknis lainnya, terutama ter-
kait dengan pengelolaan dan penyelesaian piutang PBB P2.
• Pemerintah pusat harus memberikan bantuan terhadap daerah de-
ngan penerimaan pajak daerah sangat rendah. Jenis bantuan yang
Page 116
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .96
diberikan sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor
internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM terma-
suk didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal)
agar daerah secara cepat dapat menyesuaikan NJOP yang mendekati
nilai transaksi (harga pasar), pendampingan untuk perumusan re-
gulasi, penyusunan SOP dan program, pelatihan untuk peningkatan
kualitas dan pengelolaan data, pendampingan untuk merumuskan
mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan
lain-lain, serta pelatihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.
2. Perbaikan Administrasi Perpajakan
Untuk pajak daerah yang bersifat self-asessment, dukungan adminsitrasi
perpajakan yang efisien sangatlah penting, termasuk pengembangan
system yang berbasis e-tax. Pengembangan system yang baik, tentu perlu
dukungan peraturan/regulasi dan SDM yang mumpuni.
3. NPOP-TKP Klaster
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5)
perlu direvisi dengan menerapkan NPOP-TKP berdasarkan klaster agar
daerah kabupaten yang kurang memiliki potensi BPHTB tetap memperoleh
penerimaan BPHTB.
4. Insentif Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan
Revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebaiknya memuat
pasal yang mengatur tentang adanya insentif terhadap pajak hotel, pa-
jak restoran, dan pajak hiburan yang diberikan kepada PHRI dan hanya
boleh digunakan untuk promosi wisata.
5. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
• Kegiatan pelatihan, pendidikan, workshop, sosialisasi, dan kegiatan
sejenis yang berupaya meningkatkan kapasitas aparatur Dispenda/
DPPKAD perlu diperbanyak untuk meningkatkan kompetensi apara-
tur Dispenda/DPPKAD.
Page 117
PENUTUP 97
• Sepanjang daerah masih mengalami kekurangan staf yang kom pe-
ten di bidang perpajakan, maka perlu diatur agar aparat pemerintah
daerah yang sudah memiliki kompetensi khusus di bidang perpa-
jakan tidak dipindahkan ke bidang lain yang tidak sesuai dengan
kompetensinya.
7.2.2. Bagi Pemerintah Daerah
1. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,
pemerintah daerah harus terlebih dahulu meningkatkan pelayanan
publik yang diikuti dengan menjalankan program sosialisasi pajak daerah
secara sistematis dan massive. Peningkatan layanan publik yang diberikan
oleh pemerintah daerah akan sangat membantu upaya meningkatkan
kesadaran masyarakat.
2. Daerah harus berani menetapkan kebijakan terkait dengan pengelolaan
pajak daerah yang secara nyata sudah menjadi kewenangannya (seperti
tarif, institusi, insentif, SOP, dan lain-lain) dan tidak selalu meminta agar
diatur oleh pemerintah pusat. Proses penetapan kebijakan dimaksud
sebaiknya melibatkan stakeholders pajak daerah, termasuk akademisi.
3. Daerah harus mengkaji secara obyektif dan komprehensif tentang ke-
butuhan struktur SKPD dikaitkan dengan beban pengelolaan pajak dae-
rah, jika dianggap perlu pemisahan Dispenda dengan DPPKAD atau jika
dianggap perlu penambahan eselon 3 di Dispenda/DPPKAD silakan dila-
kukan. Tidak perlu menunggu aturan lagi dari pemerintah pusat karena
hal itu sepenuhnya sudah menjadi kewenangan daerah.
4. Daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat rendah sebaiknya tidak
menetapkan tarif pajak maksimum sebagaimana diatur dalam UU No.
28 tahun 2009. Sebaliknya untuk lebih menarik bagi investor, maka dae-
rah tersebut harus menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah
dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif pajak daerah
yang bervariasi untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya.
5. Evaluasi Raperda Pajak Daerah di provinsi selama ini terkesan sekedar
pro ses prosedural saja dan belum efektif. Untuk lebih mengefektifkan
proses evaluasi Raperda ini, maka sebaiknya pemerintah provinsi mem-
Page 118
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .98
bentuk tim evaluator independen yang memahami karakteristik daerah
dan substansi pajak daerah.
6. BPHTB dan PBB P2 merupakan pajak daerah yang memiliki potensi besar
memberi kontribusi pada PAD. Oleh karena itu, perbaikan basis data,
penyesuaian NJOP, dan perbaikan sistem informasi pajak BPHTB dan PBB
P2 harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah.
7. Pemerintah daerah perlu melakukan kajian secara menyeluruh untuk
mengetahui efektivitas implementasi UU No. 28 Tahun 2009 di daerah,
sekaligus juga untuk mengetahui jenis pajak mana yang sudah jenuh
dan yang masih bisa dioptimalkan penerimaannya.
Page 119
DAFTAR PUSTAKA 99
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2008-2012. Indikator Makroekonomi Tahun 2008-2012
Indonesia. Jakarta: BPS Indonesia
Bahl, R. and Martinez-Vazquez, J. (2007) The Property Tax in Developing
Countries: Current Practice and Prospects, Working Paper WP07RB1,
Cambridge, MA: Lincoln Institute of Land Policy.
Bird, Richard M. (2005) Value-Added Taxes in Developing and Transitional
Countries: Lessons and Questions, Working Paper 05-05, Andrew
Young School of Policy Studies, Georgia State University.
Bondonio, Daniele. (2000) Evaluating decentralized policies: How to compare
the performance of state and local economic development programs
across different regions, September 8, 2000. Paper to be presented at
the Fourth EES Conference. Lausanne, October 12-14th, 2000.
Brotodiharjo, R Santoso. (1995) Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
2008-2012. Laporan Keuangan Daerah Historis.
Ebel, Robert. (2002) Subnational Revenues & Intergovernmental Relations.
World Bank Staff Learning May 13-15, 2002., Bank Institute.
Fisher, Ronald C. (2010) The State of State and Local Government Finance.
Federal Reserve Bank of St. Louis Regional Economic DevelopmenT,
6(1), pp. 4-22.
Page 120
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .100
Gunadi. (2004) Reformasi Administrasi Perpajakan dalam Rangka Kontribusi
Menuju Good Governance. Pidato Guru Besar Perpajakan, FISIP, Univer-
sitas Indonesia. Jakarta.
Liberty, Pandiangan. (2008) Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan
Berdasarkan UU Terbaru. Jakarta : Gramedia.
Lyytikainan, Teemu. (2012) “Tax Competition Among A Local Governments:
Evidence from a Property Tax Reform in Finland”. Journal of Public
Economics 96 page 584-595.
Mahi, Raksaka. (2011) “Local Revenue Mobilization in Decentralized
Indonesia”, Journal of Indonesian Economics and Business.
Mardiasmo. Perpajakan. (2008) Yogyakarta : Penerbit ANDI
Martinez-Vazquez. J and Timofeev, Andrey. (2005). Choosing between Cen-
tralized and Decentralized Models of Tax Administration, Working Pape
05-02, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State Univer-
sity.
McCluskey, William J., and Hong-Loan Trinh. (2013) “Property Tax Reform in
Vietnam: Options, Direction and Evaluation”, Land Use Policy 30 page
276-285.
Mikesell, John L. (2003) International Experiences With Administration of
Local Taxes: A Review of Practices and Issues. Tax Policy and Adminis-
tration Thematic: The World Bank.
Nasucha, Chaizi. (2004) Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktek.
Jakarta : PT Gramedia.
Nasution, Darmin. (2009) Reformasi Perpajakan. Makalah Pribadi : Jakarta
Nikijuluw, Ruth. (2011) Analisis Pengaruh Transfer Pemerintah Pusat terhadap
Upaya Pemungutan Pajak Kabupaten/ Kota. Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Oates, Wallace E. (2001) “Property Taxation and Local Government Finance;
An Overview and Some Reflections,” in Property Taxation and Local
Government Finance, edited by Wallace E. Oates, Cambridge, Lincoln
Institute of Land Policy.
Page 121
DAFTAR PUSTAKA 101
Pomp, Richard D. (2004) Section IV: Tax-Exempt Property from “State Tax
Reform: Proposals for Wisconsin”. Marquette Law Review 87, Fall
2004, pp. 83-89.
Rajaraman, G. V. (2000) Impacts of Grants on Tax Effort of Local Government.
National Institute of Public Finance and Policy.
Rosengard, Jay K. (2012) The Tax Everyone Loves to Hate: Principles of
Property Tax Reform, Mossavar-Rahmani Center for Business and
Government Faculty Working Paper Series I2012-10: Harvard Kennedy
School.
Saragih, Juli Panglima. (2003) Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah
Dalam Otonomi. Jakarta : Gahalia Indonesia.
Shoven, John B. (1976) The incidence and Efficiency Effect of Taxes on Income
From Capital. Journal of Political Economy.
Sidik, Machfud. (2002) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai
Pelaksana Desentralisasi Fiskal Malakah Seminar Setahun Implementasi
Kebijaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia. Yogyakarta. 13 Maret
2012.
Sjoquist, David L. (2003) Getting Serious About Property Tax Reform in
Georgia, Fiscal Research Center Report No. 86, Andrew Young School
of Policy Studies, Georgia State University.
Sjoquist, David L. (2005) The Land Use Value Tax in Jamaica: An Analysis and
Options for Reform, Working Paper 05-11, Andrew Young School of
Policy Studies, Georgia State University.
Kementerian Keuangan RI (2012) Tinjauan Tahunan Keuangan Daerah dan
Kinerja Pelayanan Publik.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Vehorn, Charles L dan Ehtisham Ahmad. (1997) Tax Administration, in Teresa
Ter-Minassian, Ed, Fiscal Federalism in Theory and Practice, Washington,
International Monetary Fund.
Wasylenko, Michael. (1997) “Taxation and Economic Development: The State
of the Economic Literature”. New England Economic Review, March/
April 1997.
Page 122
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .102
Zhao, Zhirong Jerry and Hou, Yilin. (2008) Local Option Sales Taxes and Fiscal
Disparity: The Case of Georgia Counties, Manuskrip The Hubert H.
Humphrey Institute of Public Affairs, University of Minnesota.
Page 123
103
Lampiran
1. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun 2009
_ c ons - 10 . 70915 1 . 937787 - 5 . 53 0 . 000 - 14 . 51762 - 6 . 900685 d_ k ot a . 3392709 . 0864033 3 . 93 0 . 000 . 1694564 . 5090854 l n_ be l moda l - . 3166845 . 0821417 - 3 . 86 0 . 000 - . 4781234 - . 1552457 l n_ da pe r 1 . 232905 . 1162586 10 . 60 0 . 000 1 . 004414 1 . 461396 pov r a t e - . 0120636 . 0038377 - 3 . 14 0 . 002 - . 0196062 - . 004521 l n_ y _ hot e l - . 4280104 . 0491867 - 8 . 70 0 . 000 - . 5246806 - . 3313402 l n_ y _ k ons t - . 2712877 . 0334484 - 8 . 11 0 . 000 - . 3370263 - . 2055492 l n_ y _ l i s . 1034704 . 0332092 3 . 12 0 . 002 . 038202 . 1687389 l n_ y _ ma n . 0780747 . 0265338 2 . 94 0 . 003 . 0259259 . 1302235 pa d_ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ]
T ot a l 374. 651011 448 . 836274579 Root MS E = . 65352 Adj R- s qua r e d = 0 . 4893 Re s i dua l 187. 918822 440 . 427088232 R- s qua r e d = 0 . 4984 Mode l 186. 732189 8 23 . 3415237 Pr ob > F = 0 . 0000 F ( 8 , 440) = 54 . 65 S our c e S S df MS Numbe r of obs = 449
> ot a. r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k
_ c ons - 10 . 70915 3 . 121045 - 3 . 43 0 . 001 - 16 . 84316 - 4 . 575145 d_ k ot a . 3392709 . 0635304 5 . 34 0 . 000 . 2144102 . 4641317 l n_ be l moda l - . 3166845 . 1056239 - 3 . 00 0 . 003 - . 5242745 - . 1090946 l n_ da pe r 1 . 232905 . 3149548 3 . 91 0 . 000 . 6139026 1 . 851908 pov r a t e - . 0120636 . 0040159 - 3 . 00 0 . 003 - . 0199563 - . 004171 l n_ y _ hot e l - . 4280104 . 1511635 - 2 . 83 0 . 005 - . 7251027 - . 1309182 l n_ y _ k ons t - . 2712877 . 0626411 - 4 . 33 0 . 000 - . 3944007 - . 1481748 l n_ y _ l i s . 1034704 . 055325 1 . 87 0 . 062 - . 0052637 . 2122046 l n_ y _ ma n . 0780747 . 0387513 2 . 01 0 . 045 . 0019141 . 1542353 pa d_ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ] Robus t
Root MS E = . 65352 R- s qua r e d = 0 . 4984 Pr ob > F = 0 . 0000 F ( 8 , 440) = 4 . 83L i ne a r r e gr e s s i on Numbe r of obs = 449
> ot a , r o. r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k
Page 124
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .104
2. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun 2010
3. Hasil Model Elastisitas Pajak 2009
. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 375 F( 2, 372) = 40.70 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3128 Root MSE = 1.9687
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .9580621 .1157151 8.28 0.000 .7305244 1.1856 ln_belmodal | .1212795 .1650898 0.73 0.463 -.2033467 .4459057 _cons | -9.897007 4.374413 -2.26 0.024 -18.49868 -1.29533------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
_ c ons - 43 . 43794 8 . 535269 - 5 . 09 0 . 000 - 60 . 20995 - 26 . 66593 d_ k ot a 1 . 158533 . 3603542 3 . 21 0 . 001 . 4504286 1 . 866638 l n_ be l moda l - . 2407626 . 2745328 - 0 . 88 0 . 381 - . 7802263 . 298701 l n_ da pe r 3 . 265589 . 4293343 7 . 61 0 . 000 2 . 421936 4 . 109241 pov r a t e - . 0218891 . 0160894 - 1 . 36 0 . 174 - . 0535052 . 009727 l n_ y _ hot e l - . 596182 . 2017021 - 2 . 96 0 . 003 - . 9925316 - . 1998324 l n_ y _ k ons t - . 8731671 . 135639 - 6 . 44 0 . 000 - 1 . 139701 - . 6066332l n_ y _ l i s t r i k . 281905 . 1320362 2 . 14 0 . 033 . 0224508 . 5413593 l n_ y _ ma n - . 2241805 . 1097782 - 2 . 04 0 . 042 - . 4398973 - . 0084637 pa d_ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ]
T ot a l 5655. 05088 478 11 . 8306504 Root MS E = 2 . 8092 Adj R- s qua r e d = 0 . 3329 Re s i dua l 3709. 18516 470 7 . 89188332 R- s qua r e d = 0 . 3441 Mode l 1945. 86572 8 243. 233215 Pr ob > F = 0 . 0000 F ( 8 , 470) = 30 . 82 S our c e S S df MS Numbe r of obs = 479
> d_ k ot a. r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l
_ c ons - 5 . 245812 2 . 008366 - 2 . 61 0 . 009 - 9 . 192299 - 1 . 299325 d_ k ot a . 333915 . 1168233 2 . 86 0 . 004 . 1043544 . 5634756 l n_ be l moda l - . 0433138 . 0326528 - 1 . 33 0 . 185 - . 1074774 . 0208499 l n_ da pe r . 4739502 . 1542429 3 . 07 0 . 002 . 1708592 . 7770412 pov r a t e - . 0004922 . 004633 - 0 . 11 0 . 915 - . 0095961 . 0086117 l n_ y _ hot e l - . 189503 . 0508952 - 3 . 72 0 . 000 - . 2895134 - . 0894926 l n_ y _ k ons t - . 1205429 . 0386353 - 3 . 12 0 . 002 - . 1964623 - . 0446235l n_ y _ l i s t r i k . 0295707 . 0186803 1 . 58 0 . 114 - . 0071366 . 066278 l n_ y _ ma n . 0436483 . 0182439 2 . 39 0 . 017 . 0077987 . 0794979 pa j a k _ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ] Robus t
Root MS E = . 4785 R- s qua r e d = 0 . 3201 Pr ob > F = 0 . 0099 F ( 8 , 470) = 2 . 55L i ne a r r e gr e s s i on Numbe r of obs = 479
> a l d_ k ot a , r o. r e g pa j a k _ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l mod
Page 125
LAMPIRAN 105
Linear regression Number of obs = 79 F( 2, 76) = 96.74 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.6123 Root MSE = 1.3821
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | 1.156888 .1349493 8.57 0.000 .8881132 1.425663 ln_belmodal | .5061509 .3255985 1.55 0.124 -.1423346 1.154636 _cons | -23.75546 6.323316 -3.76 0.000 -36.34943 -11.16148------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 296 F( 2, 293) = 23.11 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2103 Root MSE = 1.9058
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .6926827 .1198975 5.78 0.000 .4567133 .9286522 ln_belmodal | .3631759 .1858918 1.95 0.052 -.0026766 .7290284 _cons | -9.509342 5.014904 -1.90 0.059 -19.37914 .360458------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 383 F( 2, 380) = 35.48 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2648 Root MSE = 1.8202
------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .7983234 .0950052 8.40 0.000 .6115216 .9851251 ln_belmodal | -.1640452 .1666942 -0.98 0.326 -.4918037 .1637132 _cons | 2.420979 4.555078 0.53 0.595 -6.535336 11.37729------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression Number of obs = 78 F( 2, 75) = 109.45 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.6370 Root MSE = 1.05
------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .928005 .0906415 10.24 0.000 .7474378 1.108572 ln_belmodal | .397635 .2246035 1.77 0.081 -.0497981 .8450681 _cons | -13.9828 4.633837 -3.02 0.003 -23.21387 -4.751722------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Page 126
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .106
Linear regression Number of obs = 305 F( 2, 302) = 16.77 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1509 Root MSE = 1.7458
------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .5363027 .0945439 5.67 0.000 .3502544 .7223509 ln_belmodal | .0644462 .1917269 0.34 0.737 -.3128435 .441736 _cons | 3.049868 5.212874 0.59 0.559 -7.208286 13.30802------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 383 F( 2, 380) = 94.06 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5873 Root MSE = 1.0643
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .6747508 .0546483 12.35 0.000 .5672999 .7822018 ln_belmodal | .3181799 .1034587 3.08 0.002 .1147568 .5216031 _cons | -1.968619 2.678768 -0.73 0.463 -7.235683 3.298444------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 304 F( 2, 301) = 57.50 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5271 Root MSE = 1.1381
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .6508492 .0679439 9.58 0.000 .5171441 .7845543 ln_belmodal | .3464426 .1253017 2.76 0.006 .0998642 .5930209 _cons | -2.221621 3.282762 -0.68 0.499 -8.681692 4.23845------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression Number of obs = 79 F( 2, 76) = 233.37 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.7393 Root MSE = .65341
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .6069442 .0351226 17.28 0.000 .5369915 .6768969 ln_belmodal | .5110046 .1419554 3.60 0.001 .228276 .7937332 _cons | -5.000083 3.336701 -1.50 0.138 -11.6457 1.645533------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal,ro
Page 127
LAMPIRAN 107
Linear regression Number of obs = 433 F( 2, 430) = 74.86 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4056 Root MSE = 1.6968
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | 1.074495 .1078834 9.96 0.000 .8624507 1.286539 ln_belmodal | .4050957 .1717653 2.36 0.019 .0674917 .7426998 _cons | -16.5818 4.120761 -4.02 0.000 -24.68114 -8.482457------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Linear regression Number of obs = 87 F( 2, 84) = 36.66 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4340 Root MSE = 1.4058
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .7840246 .1501377 5.22 0.000 .4854593 1.08259 ln_belmodal | .4781072 .3298095 1.45 0.151 -.1777553 1.13397 _cons | -9.971749 6.457807 -1.54 0.126 -22.81381 2.870307------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 346 F( 2, 343) = 48.37 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3709 Root MSE = 1.666
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .9842874 .135558 7.26 0.000 .7176578 1.250917 ln_belmodal | .6919261 .1938652 3.57 0.000 .3106119 1.07324 _cons | -21.93947 4.915796 -4.46 0.000 -31.60837 -12.27057------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 395 F( 2, 392) = 50.44 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3813 Root MSE = 1.2744
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .8174076 .0894009 9.14 0.000 .6416423 .9931728 ln_belmodal | .2797674 .1399087 2.00 0.046 .0047022 .5548327 _cons | -6.04507 3.787451 -1.60 0.111 -13.49133 1.401187------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Page 128
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .108
Linear regression Number of obs = 82 F( 2, 79) = 48.00 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5478 Root MSE = 1.1259
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .7996615 .1418926 5.64 0.000 .5172314 1.082092 ln_belmodal | .4612578 .3038396 1.52 0.133 -.1435198 1.066035 _cons | -9.814736 5.683026 -1.73 0.088 -21.12652 1.497044------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 313 F( 2, 310) = 25.33 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2975 Root MSE = 1.2909
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .7282676 .1127789 6.46 0.000 .5063586 .9501766 ln_belmodal | .3422904 .1625715 2.11 0.036 .0224074 .6621735 _cons | -5.512304 4.724018 -1.17 0.244 -14.8075 3.78289------------------------------------------------------------------------------
4. Hasil Model Elastisitas Pajak 2011
. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 348 F( 2, 345) = 25.25 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1720 Root MSE = 2.161
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .4491704 .1084887 4.14 0.000 .235788 .6625528 ln_belmodal | .9049074 .2519706 3.59 0.000 .4093155 1.400499 _cons | -16.47427 5.92404 -2.78 0.006 -28.12605 -4.822487------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Linear regression Number of obs = 74 F( 2, 71) = 36.58 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3912 Root MSE = 1.746
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .4410613 .1289815 3.42 0.001 .1838794 .6982432 ln_belmodal | 1.602647 .4019975 3.99 0.000 .8010872 2.404208
Page 129
LAMPIRAN 109
_cons | -32.24368 8.595672 -3.75 0.000 -49.38296 -15.10439------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 274 F( 2, 271) = 19.09 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1409 Root MSE = 1.9663
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .3228988 .1180193 2.74 0.007 .0905477 .55525 ln_belmodal | 1.007347 .2428303 4.15 0.000 .5292737 1.485421 _cons | -16.19364 5.886377 -2.75 0.006 -27.78249 -4.604803------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 356 F( 2, 353) = 23.77 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1323 Root MSE = 1.8907
------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .2933364 .0887235 3.31 0.001 .1188432 .4678296 ln_belmodal | .894026 .2268835 3.94 0.000 .4478127 1.340239 _cons | -10.92557 5.212149 -2.10 0.037 -21.17634 -.6747965------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression Number of obs = 75 F( 2, 72) = 59.98 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4366 Root MSE = 1.3649
------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .259918 .105065 2.47 0.016 .0504748 .4693613 ln_belmodal | 1.71625 .3319359 5.17 0.000 1.054548 2.377952 _cons | -29.30188 6.60212 -4.44 0.000 -42.46296 -16.14079------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 281 F( 2, 278) = 16.40 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1051 Root MSE = 1.7158
Page 130
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .110
------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .1826946 .090754 2.01 0.045 .0040423 .3613469 ln_belmodal | .9437789 .2236369 4.22 0.000 .5035421 1.384016 _cons | -9.67712 5.346618 -1.81 0.071 -20.20212 .8478794------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 357 F( 2, 354) = 86.50 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5150 Root MSE = 1.1111
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .5218674 .0511501 10.20 0.000 .4212711 .6224638 ln_belmodal | .3952331 .1382503 2.86 0.005 .123338 .6671283 _cons | -.4649487 3.180456 -0.15 0.884 -6.719914 5.790016------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 282 F( 2, 279) = 48.37 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5207 Root MSE = 1.0916
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .5398269 .0611738 8.82 0.000 .419406 .6602478 ln_belmodal | .2358658 .1455458 1.62 0.106 -.0506417 .5223732 _cons | 3.086275 3.590557 0.86 0.391 -3.981747 10.1543------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression Number of obs = 75 F( 2, 72) = 71.46 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5519 Root MSE = .8803
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .2820702 .0767077 3.68 0.000 .1291561 .4349843 ln_belmodal | 1.188658 .2263177 5.25 0.000 .7375017 1.639814 _cons | -14.37611 4.600153 -3.13 0.003 -23.54635 -5.205871------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 455
Page 131
LAMPIRAN 111
F( 2, 452) = 41.39 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2190 Root MSE = 2.0066
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .5713063 .1168453 4.89 0.000 .341679 .8009337 ln_belmodal | .8648203 .2471871 3.50 0.001 .3790418 1.350599 _cons | -16.14446 5.22503 -3.09 0.002 -26.41282 -5.876092------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Linear regression Number of obs = 91 F( 2, 88) = 37.31 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3419 Root MSE = 1.7521
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .231164 .1473153 1.57 0.120 -.0615942 .5239222 ln_belmodal | 2.061522 .3606467 5.72 0.000 1.344813 2.778232 _cons | -36.38217 7.485244 -4.86 0.000 -51.25752 -21.50682------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 364 F( 2, 361) = 33.20 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2297 Root MSE = 1.8874
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .6025976 .1301015 4.63 0.000 .3467456 .8584496 ln_belmodal | .8093697 .2580731 3.14 0.002 .3018542 1.316885 _cons | -15.86514 5.572857 -2.85 0.005 -26.82448 -4.905799------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal,ro
Linear regression Number of obs = 415 F( 2, 412) = 26.84 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1946 Root MSE = 1.519
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .3756823 .0860202 4.37 0.000 .206589 .5447755 ln_belmodal | .6842331 .1997857 3.42 0.001 .2915067 1.076959 _cons | -5.534784 4.61492 -1.20 0.231 -14.60651 3.536943------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Page 132
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .112
Linear regression Number of obs = 86 F( 2, 83) = 47.36 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4172 Root MSE = 1.3314
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .1431627 .1109035 1.29 0.200 -.0774198 .3637453 ln_belmodal | 1.784114 .2731555 6.53 0.000 1.240819 2.32741 _cons | -26.70506 5.573565 -4.79 0.000 -37.79066 -15.61946------------------------------------------------------------------------------
. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression Number of obs = 329 F( 2, 326) = 16.79 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1736 Root MSE = 1.4608
------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .3881893 .094001 4.13 0.000 .2032642 .5731145 ln_belmodal | .477997 .2086257 2.29 0.023 .0675744 .8884196 _cons | -.762351 5.014112 -0.15 0.879 -10.62645 9.101749------------------------------------------------------------------------------
1