Top Banner
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Didukung oleh: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH Australian Aid AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD) LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2013 Prof. Dr. Eddy Suratman (Universitas Tanjungpura) Prof. Dr. Candra Fajri Ananda (Universitas Brawijaya) Dr. Hamid Paddu (Universitas Hasanuddin) Dr. Artidiatun Adji (Universitas Gajah Mada) PENULIS EDITOR Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak (Universitas Indonesia) Dr. Hefrizal Handra (Universitas Andalas)
132

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

Mar 17, 2019

Download

Documents

vuthuy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADirektorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Didukung oleh:

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGANBIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2013

Prof. Dr. Eddy Suratman (Universitas Tanjungpura)

Prof. Dr. Candra Fajri Ananda (Universitas Brawijaya)

Dr. Hamid Paddu(Universitas Hasanuddin)

Dr. Artidiatun Adji (Universitas Gajah Mada)

PENULIS EDITOR

Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak(Universitas Indonesia)

Dr. Hefrizal Handra(Universitas Andalas)

Page 2: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanii

Page 3: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

AustralianAid

AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIPFOR DECENTRALISATION (AIPD)

Acknowledgement

Buku Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan

Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah ini

disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang

Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan

didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for

Decentralisation (AIPD).

Disclaimer

Pandangan dan pendapat dalam buku Evaluasi Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah dan Pengaruhnya Terhadap

Peningkatan Pendapatan Daerah ini bersumber dari Tim

Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal

(TADF) Republik Indonesia dan tidak menggambarkan

pandangan Pemerintah Australia.

Page 4: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbaniv

Page 5: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

v

Daftar Isi

Kata Pengantar Direktur Program AIPD ............................................. vii

Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan .............. ix

Daftar Tabel dan Diagram .................................................................. xi

Ringkasan Eksekutif ........................................................................... xiii

1. Pendahuluan ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 4

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 5

1.4. Manfaat Penelitian ................................................................ 5

2. Landasan Teori ............................................................................ 6

2.1. Administrasi Perpajakan ........................................................ 6

2.2. Tax Incidence ......................................................................... 8

2.3. Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah .......................... 11

2.4. Pengalaman Negara Lain ....................................................... 18

3. Metode Penelitian ....................................................................... 24

3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif .......................................... 24

3.2. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 25

Page 6: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .vi

3.3. Pemilihan Daerah Sampel ...................................................... 27

3.4. Analisis Data ......................................................................... 28

4. Gambaran Umum Daerah Sampel .............................................. 31

4.1. Potret Penerimaan Kabupaten/Kota di Indonesia................... 31

4.2. Gambaran Umum Daerah Sampel ......................................... 34

4.3. Analisis Belanja Daerah ......................................................... 39

5. Analisis Kualitatif: Permasalahan Dalam Implementasi

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009........................................... 43

5.1. Hasil Focus Group Discussion (FGD) ...................................... 43

5.2. Hasil Kuesioner ...................................................................... 55

6. Analisis Kuantitatif: Pengaruh Implementasi Uu No 28 Tahun

2009 Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah ....................... 62

6.1. Analisis Perkembangan Pajak Daerah .................................... 62

6.2. Analisis Perbandingan Kondisi Pajak Daerah di Daerah Sampel

Sebelum dan Sesudah Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009 ... 65

6.3. Analisis Kuantitatif Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009 .......... 83

7. Penutup ....................................................................................... 92

7.1. Kesimpulan ........................................................................... 92

7.2. Rekomendasi ......................................................................... 95

Daftar Pustaka .................................................................................... 99

Lampiran 103

1. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun

2009 ..................................................................................... 103

2. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun

2010 ..................................................................................... 104

3. Hasil Model Elastisitas Pajak 2009 ......................................... 104

4. Hasil Model Elastisitas Pajak 2011 ......................................... 108

Page 7: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

vii

Kata Pengantar Direktur Program AIPD

Sejak tahun 2012, Program AIPD mendukung Kementerian Keuangan,

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Tim Asistensi Ke-

menterian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF), terutama

untuk pengembangan kebijakan desentralisasi fiskal berbasis penelitian

(research based policy).

Pada tahun 2013 TADF mendapatkan mandat untuk melaksanakan em-

pat kajian dan penyusunan sejumlah policy brief. Hasil kajian tersebut telah

didokumentasikan dalam empat judul buku berikut ini:

1) Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK): Kondisi dan Strategi ke Depan;

2) Municipal Development Funds sebagai Alternatif Pembiayaan Infra-

struktur Daerah;

3) Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya ter-

hadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah;

4) Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pa-

jak Daerah dan Retribusi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Daerah.

Sedangkan hasil policy brief yang disusun oleh TADF didokumentasikan

dalam buku Policy Brief 2013.

Kami mengharapkan bahwa kelima buku tersebut dapat berkontribusi

untuk dialog kebijakan yang dapat memperkuat implementasi desentralisasi

fiskal di Indonesia, terutama untuk dampak peningkatan layanan publik bagi

masyarakat.

Jessica Ludwig-Maaroof

Direktur Program

Page 8: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanviii

Page 9: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ix

Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan

Dinamika hubungan keuangan pusat dan daerah yang juga dipe-

ngaruhi oleh perubahan kondisi global maupun dinamika politik

perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat karena

sangat berkaitan dengan berbagai kebijakan yang langsung berdampak pada

penyelenggaraan layanan publik oleh Daerah. Oleh karenanya, perbaikan

ke bijakan yang didasarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan

ilmiah harus dilakukan secara terus menerus.

Dalam rangka melakukan perbaikan kebijakan yang berbasis penelitian

atau research based policy, maka Kementerian Keuangan telah menjalin

kerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi

Fiskal (TADF). TADF beranggotakan para akademisi dari berbagai universitas

terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan

oto nomi daerah. Pada tahun 2013, TADF telah melakukan empat buah pene-

litian dan menghasilkan 7 (tujuh) buah policy brief dan 1 (satu) buah policy

note.

Salah satu hasil penelitian tersebut adalah “Evaluasi Pelaksanaan Un dang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah”. Penelitian ini

pada dasarnya berusaha untuk mengevaluasi permasalahan yang muncul

saat implementasi kebijakan UU No. 28 Tahun 2009. Tim Peneliti juga

Page 10: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .x

melakukan analisis pengaruh dari implementasi UU tersebut dari sisi penam-

bahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan

tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah.

Rekomendasi yang disampaikan dalam penelitian ini adalah agar pada

masa transisi hingga 2017, Direktorat Jenderal Pajak tetap melakukan pen-

dampingan dan memberikan bantuan teknis kepada daerah terkait dengan

pengelolaan dan penyelesaian piutang PBB-P2. Selain itu Pemerintah Pusat

juga diharapkan memberikan bantuan teknis dan dukungan capacity building

untuk SDM perpajakan daerah, agar administrasi perpajakan menjadi lebih

efisien. Beberapa rekomendasi revisi UU No. 28 Tahun 2009 yang juga perlu

mendapat perhatian adalah mengenai perlunya revisi pasal yang terkait de-

ngan klasterisasi NPOP-TKP serta pemberian insentif dari Pajak Hotel dan

Restoran untuk PHRI dalam rangka melakukan promosi wisata.

Selain memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat, penelitian

ini juga memberikan rekomendasi kepada Pemda diantaranya mengenai

perlu ditingkatkannya upaya Pemda untuk mendorong kesadaran masyarakat

dalam membayar pajak dan retribusi daerah, perlu komitmen yang kuat dari

Pemda untuk menetapkan peraturan terkait pemungutan dan pengelolaan

pajak daerah dan retribusi daerah, serta komitmen untuk menerapkan tarif

pajak daerah dan retribusi daerah yang lebih pro investasi. Pemda juga diha-

rapkan selalu melakukan evaluasi atas implementasi UU No. 28 Tahun 2009

dalam konteks untuk optimalisasi jenis pajak yang akan didorong untuk me-

ningkatkan PAD.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Australia

Indonesia Partnership for Decentralization yang telah mendukung terlaksana-

nya rangkaian kegiatan TADF 2013. Kami berharap bahwa hasil penelitian ini

bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung

pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di

Indonesia.

Direktur Jenderal,

Boediarso Teguh Widodo

Page 11: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

xi

Tabel 2.1. Pemungutan dan Pengelolaan Pajak Properti di Beberapa

Negara ............................................................................... 20

Tabel 3.1. Kriteria dan Jenis Pajak yang diteliti .................................... 26

Tabel 4.1. Total PAD Kabupaten/Kota berdasarkan Pulau di Indonesia

(Rp triliun) ......................................................................... 32

Tabel 4.2. Rata-rata Penerimaan Jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota

Seluruh Indonesia (Rp miliar) .............................................. 33

Tabel 4.3. .Jumlah Penduduk Daerah Sampel (jiwa) ............................ 35

Tabel 4.4. Luas Wilayah Daerah Sampel .............................................. 36

Tabel 4.5. Tingkat Kemiskinan Daerah Sampel 2007-2011 (%) ........... 38

Tabel 4.6. Total Belanja Daerah 2007-2011 (Rp miliar) ........................ 39

Tabel 4.7. Rasio Belanja Langsung terhadap Total Belanja Daerah

2007-2011(%) .................................................................... 40

Tabel 4.8. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah

2007-2011 (%) ................................................................... 41

Tabel 6.1. Pertumbuhan PAD Tahun 2008-2011 (%) ........................... 65

Tabel 6.2. Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Tahun 2008 - 2011 (%) 67

Tabel 6.3. Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah 2008 – 2011 (%) .. 67

Tabel 6.4. Pajak Per Kapita Daerah Sampel 2007-2011 (rupiah per jiwa) 70

Tabel 6.5. Rasio Pajak terhadap PDRB AHB Daerah Sampel 2007-

2011 (%) ............................................................................ 71

Daftar Tabel

Page 12: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .xii

Tabel 6.6. Rasio Pajak Terhadap PAD di Daerah Sampel Tahun 2007-

2012 (%) ............................................................................ 72

Tabel 6.7. Rasio PAD terhadap Total Penerimaan di Daerah Sampel

Tahun 2007-2012 (%) ......................................................... 73

Tabel 6.8. Rasio PAD terhadap Total Belanja di Daerah Sampel Tahun

2007-2012 (%) ................................................................... 74

Tabel 6.9. Rasio PAD terhadap PDRB AHB di Daerah Sampel Tahun

2007-2011 (%) ................................................................... 75

Tabel 6.10. Realisasi Jenis Pajak Kab. Malang (miliar rupiah) ................ 76

Tabel 6.11. Realisasi Jenis Pajak Kab. Deli Serdang (miliar rupiah) ........ 77

Tabel 6.12. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Bandung (miliar rupiah) .... 78

Tabel 6.13. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Badung (miliar rupiah) ...... 80

Tabel 6.14. Realisasi Jenis Pajak Kota Balikpapan (miliar rupiah) ........... 81

Tabel 6.15. Realisasi Jenis Pajak Kota Surabaya (miliar rupiah) .............. 82

Tabel 6.16. Koefisien Rasio Pajak Daerah .............................................. 86

Tabel 6.17. Elastisitas Pajak Daerah ..................................................... 89

Page 13: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

xiii

Gambar 1.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota ....... 3

Gambar 1.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota

se Provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta) ......................... 4

Gambar 2.1. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Elastisitas

Penawaran Sempurna)................................................... 9

Gambar 2.2. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Penawaran Elastis) . 10

Gambar 2.3. Kurva Laffer ................................................................... 14

Gambar 4.1. Rata-Rata Penerimaan Pajak Daerah Kota-Kab Per Pulau

di Indonesia (Rp Triliun) ................................................. 31

Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel dan Nasional .... 37

Gambar 5.1. Tren Penerimaan Realisasi Pajak Daerah Sampel,

Tahun 2007-2011 .......................................................... 60

Gambar 6.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota

Tahun 2012 .................................................................... 63

Gambar 6.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota

se-Provinsi tahun 2011 (tidak termasuk DKI Jakarta) ..... 64

Gambar 6.3. Perkembangan Pendapatan Daerah Sampel Tahun

2007-2012 ..................................................................... 69

Gambar 6.4. Perkembangan Belanja Daerah Sampel Tahun 2007-

2012 .............................................................................. 70

Daftar Gambar

Page 14: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanxiv

Page 15: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

xv

Ringkasan Eksekutif

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009

dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un-

dang-undang ini mengatur sebelas jenis pajak untuk Pemerintah Kab/Kota

dan lima jenis pajak untuk Pemerintah Provinsi. Penambahan jenis pajak,

per luasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak diharapkan akan

memberikan dampak positif bagi pemerintah daerah. Namun demikian, ha-

rus diakui bahwa setelah lebih dari dua tahun sejak diundangkan, penerapan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini masih menghadapi berbagai ma-

salah, seperti pemahaman dan penafsiran daerah yang masih beragam dan

mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai perolehan, batasan/ definisi pajak

yang diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2009 belum dapat diimple men tasi-

kan dengan baik oleh beberapa daerah. Penelitian ini bertujuan untuk 1)

meng identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengim-

plementasikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terutama terkait

dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan

penetapan tarif pajak, 2) menganalisis pengaruh implementasi Undang-Un-

dang Nomor 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pa jak

baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap

peningkatan pendapatan daerah, dan 3) memberikan rekomendasi terkait

Page 16: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .xvi

optimalisasi implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 untuk

meningkatkan pendapatan daerah.

Penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu metode kualitatif

dan metode kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga metode pe-

ngumpulan data, yaitu: desk study, focus groups discussion (FGD), dan kue-

sioner. FGD dan pengisian kuesioner dilakukan pada tujuh daerah yaitu Kota

Batam, Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Deli Serdang,

Kota Balikpapan, Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang. Metode kuantitatif

dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder penerimaaan pajak di

seluruh daerah di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah masih menghadapi berba-

gai masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Masalah

tersebut terbagi menjadi: (1) Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu an-

tara lain: pemahaman yang berbeda terhadap UU sehingga khawatir salah

dalam melaksanakannya dan adanya kesulitan secara teknis untuk menerapkan

perluasan basis pajak; (2) Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara

lain: kurangnya SDM yang kompeten dalam bidang keuangan daerah, mema-

hami karakteristik daerah dan mampu melakukan simulasi untuk menghitung

dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi dan penerimaan

daerah, adanya anggapan bahwa tarif dalam UU No. 28 Tahun 2009 merupa-

kan batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa perlu lagi melihat kondisi riil

masyarakat di daerahnya, kurangnya kesadaran bahwa daerah telah memiliki

kewenangan penuh dalam penetapan tarif sepanjang masih dalam batas

maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU, tingginya NPOP-

TKP (Rp 60 juta) dalam pemungutan BPHTB bagi pemerintah kabupaten, dan

proses penetapan tarif yang seringkali belum melibatkan stakeholders (seperti

PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang mendapat dukungan

dan komitmen dalam pelaksanaannya; (3) Masalah dalam pemungutan jenis

pajak baru, yaitu antara lain: minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola

BPHTB dan PBB-P2, ketidaksiapan struktur SKPD, proses validasi atau verifikasi

yang relatif lama, adanya SE BPN No. 5 tahun 2013 yang seolah menyatakan

tidak perlunya verifikasi, rendahnya NJOP dibanding harga pasar, masih mi-

nimnya kompetensi SDM (pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan),

kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, dan ketidakakuratan

Page 17: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

RINGKASAN EKSEKUTIF xvii

data piutang PBB; dan (4) Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya

pungutan diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, tidak

adanya insentif pajak Hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, belum efek-

tifnya proses evaluasi Raperda di provinsi, adanya monopoli bank dalam pem-

bayaran pajak daerah, masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam mem-

ba yar pajak, kurangnya kerjasama diantara stakeholders pajak daerah, belum

siapnya regulasi beserta hardware/software untuk menerima pelimpahan

data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak pratama, belum memadainya jum-

lah tenaga administrasi untuk pendataan dan pendaftaran, belum dijalan-

kannya mekanisme one stop service untuk pajak daerah, dan kurang aku rat-

nya data wajib pajak.

Selanjutnya, beberapa indikator seperti pertumbuhan PAD, pertumbuhan

realisasi pajak daerah, pajak per kapita, rasio pajak terhadap PDRB AHB, rasio

pajak terhadap PAD, rasio PAD terhadap total penerimaan, rasio PAD terhadap

total belanja daerah, dan rasio PAD terhadap PDRB AHB di daerah sampel

meng alami peningkatan di tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa UU No

28 Tahun 2009 telah mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Sementara

hasil regresi untuk data seluruh kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan

bahwa sektor ekonomi (PDRB), khususnya beberapa sub sektor yang menjadi

basis pajak daerah sampai tahun 2010 belum cukup kuat memberi pengaruh

terhadap rasio pajak. Sedangkan terhadap elastisitas pajak, tampak bahwa

dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak Hotel dan BPHTB mengalami peningkatan

elastisitas setelah penerapan UU No. 28 Tahun 2009. Sebaliknya, elastisitas

pajak restoran dan pajak penerangan jalan, meskipun kecil, namun cenderung

mengalami penurunan.

Penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi baik bagi Pemerintah

Pusat maupun bagi Pemerintah Daerah. Rekomendasi bagi Pemerintah Pusat

antara lain: (1) Dalam masa transisi, paling tidak hingga tahun 2017, sebaik-

nya diatur agar Direktorat Jenderal Pajak tetap terlibat dan berperan mem-

bantu pemerintah daerah dalam pengelolaan jenis pajak pusat yang dialihkan

ke daerah, sehingga KPP tetap bisa melakukan pendampingan dan mem beri-

kan bantuan teknis lainnya, terutama terkait dengan pengelolaan dan penye-

lesaian piutang PBB P2; (2) Pemerintah pusat harus memberikan ban tuan

ter hadap daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat rendah. Jenis

Page 18: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .xviii

bantuan yang diberikan sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-

faktor internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk

didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) agar daerah

secara cepat dapat menyesuaikan NJOP yang mendekati nilai transaksi (harga

pasar), pendampingan untuk perumusan regulasi, penyusunan SOP dan

program, pelatihan untuk peningkatan kualitas dan pengelolaan data, pen-

dampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT,

BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pelatihan untuk pemanfaatan teknologi

informasi; (3) Untuk pajak daerah yang bersifat self-asessment, dukungan

adminsitrasi perpajakan yang efisien sangatlah penting, termasuk pengem-

bangan system yang berbasis e-tax. Pengembangan system yang baik, tentu

perlu dukungan peraturan/regulasi dan SDM yang mumpuni; (4) Undang-

Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi

dengan menerapkan NPOP-TKP berdasarkan klaster agar daerah kabupaten

yang kurang memiliki potensi BPHTB tetap memperoleh penerimaan BPHTB;

(5) Revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebaiknya memuat

pasal yang mengatur tentang adanya insentif terhadap pajak hotel, pajak

res toran, dan pajak hiburan yang diberikan kepada PHRI dan hanya boleh

digunakan untuk promosi wisata; (6) Kegiatan pelatihan, pendidikan, work-

shop, sosialisasi, dan kegiatan sejenis yang berupaya meningkatkan kapasitas

aparatur Dispenda/DPPKAD perlu diperbanyak untuk meningkatkan kompe-

tensi aparatur Dispenda/DPPKAD; dan (7) Sepanjang daerah masih mengalami

kekurangan staf yang kompeten di bidang perpajakan, maka perlu diatur

agar aparat pemerintah daerah yang sudah memiliki kompetensi khusus di

bidang perpajakan tidak dipindahkan ke bidang lain yang tidak sesuai dengan

kompetensinya.

Sementara rekomendasi bagi Pemerintah Daerah antara lain: (1) Untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, pemerintah

daerah harus terlebih dahulu meningkatkan pelayanan publik yang diikuti

dengan menjalankan program sosialisasi pajak daerah secara sistematis dan

massive. Peningkatan layanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah

akan sangat membantu upaya meningkatkan kesadaran masyarakat; (2) Dae-

rah harus berani menetapkan kebijakan terkait dengan pengelolaan pajak

dae rah yang secara nyata sudah menjadi kewenangannya (seperti tarif, insti-

Page 19: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

RINGKASAN EKSEKUTIF xix

tusi, insentif, SOP, dan lain-lain) dan tidak selalu meminta agar diatur oleh

pe merintah pusat. Proses penetapan kebijakan dimaksud sebaiknya melibat-

kan stakeholders pajak daerah, termasuk akademisi; (3) Daerah harus meng-

kaji secara obyektif dan komprehensif tentang kebutuhan struktur SKPD

dikaitkan dengan beban pengelolaan pajak daerah, jika dianggap perlu pe-

misahan Dispenda dengan DPPKAD atau jika dianggap perlu penambahan

eselon 3 di Dispenda/DPPKAD silakan dilakukan. Tidak perlu menunggu atur-

an lagi dari pemerintah pusat karena hal itu sepenuhnya sudah menjadi ke-

wenangan daerah; (4) Daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat ren-

dah sebaiknya tidak menetapkan tarif pajak maksimum sebagaimana diatur

dalam UU No. 28 tahun 2009. Sebaliknya untuk lebih menarik bagi investor,

maka daerah tersebut harus menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah

dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif pajak daerah

yang bervariasi untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya; (5) Evaluasi

Raperda Pajak Daerah di provinsi selama ini terkesan hanya proses prosedural

saja dan belum efektif. Untuk lebih mengefektifkan proses evaluasi Raperda

ini, maka sebaiknya pemerintah provinsi membentuk tim evaluator indepen-

den yang memahami karakteristik daerah dan substansi pajak daerah; (6)

BPHTB dan PBB P2 merupakan pajak daerah yang memiliki potensi besar

memberi kontribusi pada PAD. Oleh karena itu, perbaikan basis data, pe nye-

suaian NJOP, dan perbaikan sistem informasi pajak BPHTB dan PBB P2 harus

menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah; dan (7) Pemerintah daerah

perlu melakukan kajian secara menyeluruh untuk mengetahui efektivitas

implementasi UU No. 28 Tahun 2009 di daerah, sekaligus juga untuk menge-

tahui jenis pajak mana yang sudah jenuh dan yang masih bisa dioptimalkan

penerimaannya.

Page 20: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

| Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korbanxx

1

Page 21: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009

dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un-

dang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan

perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dengan member-

lakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi

yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/

Kota sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah-nya. Pemerintah Provinsi diberi-

kan akses terhadap lima jenis pajak, sementara Pemerintah Kabupaten/Kota

diberikan akses terhadap sebelas jenis pajak.

Disamping adanya perluasan basis pajak (seperti dimasukkannya catering

sebagai bagian dari pajak restoran) dan adanya keleluasaan pemerintah dae-

rah dalam menetapkan tarif pajak, hal lain yang cukup penting dalam Un-

dang-Undang Nomor 28 tahun 2009 ini adalah dimasukkannya 2 jenis pajak

pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak

Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai

pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung desentrali-

sasi seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman internasional yang

1

Page 22: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .2

menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserahkan kepada daerah

sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.

Penambahan jenis pajak, perluasan basis pajak, dan keleluasaan pene-

tapan tarif pajak diharapkan akan memberikan dampak positif bagi pemerin-

tah daerah. Dampak positif dimaksud antara lain tampak dari adanya kelelu-

asaan daerah untuk menyesuaikan kebijakan perpajakan (seperti penetapan

tarif pajak) dengan kondisi daerah masing-masing, munculnya competitiveness

antar daerah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, terjalinnya

hu bungan kemitraan yang lebih baik dan akuntabel dengan pengusaha dan

masyarakat untuk memikul bersama beban pembangunan daerah, dan terse-

dia nya sumber pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pem-

bangunan infrastruktur.

Namun demikian, harus diakui bahwa setelah lebih dari dua tahun sejak

diundangkan, penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini masih

menghadapi berbagai masalah, seperti pemahaman dan penafsiran daerah

yang masih beragam dan mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai per-

oleh an, batasan/ definisi pajak yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009

belum dapat diimplementasikan, keterbatasan kemampuan aparat Pemerintah

Daerah dalam menyusun Perda PDRD, serta kurangnya kesiapan Pemerintah

Daerah dalam mengelola jenis pajak baru akibat belum tersedianya sarana

dan prasarana termasuk sistem, organisasi dan SOP, minimnya kompetensi

SDM untuk pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan, belum dilaku-

kannya pemutakhiran data objek, subjek, wajib pajak, dan piutang, dan kurang-

nya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.

Kondisi demikian mengakibatkan implementasi Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 belum mampu meningkatkan kontribusi pajak daerah terha-

dap Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan. Hal ini antara lain tampak

dari perkembangan rasio pajak daerah dan besaran pajak daerah per kapita.

Meskipun kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah terus mengalami

kenaikan, dari 18,6% (2010), 19,66% (2011), dan 20,4% (2012) akan tetapi

ra sio pajak (tax ratio) dan Pajak per Kapita (tax per capita) masih sangat ren-

dah. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah

penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam

Page 23: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

PENDAHULUAN 3

membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak

yang dimiliki. Sementara pajak per kapita merupakan perbandingan antara

jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah pen-

duduknya, yang menunjukkan kontribusi setiap penduduk terhadap pajak

daerah.

Pada tahun 2012, rata-rata rasio pajak daerah secara nasional (agregat

provinsi, kabupaten, dan kota) hanya sebesar 1,39%, menurun dari tahun

2011 yang besarnya mencapai 2,9%. Jika diperhatikan hanya untuk agregat

kabupaten/kota saja, rata-rata rasio pajaknya bahkan jauh lebih kecil lagi,

yaitu hanya 0,37%, juga menurun dari tahun 2011 yang besarnya mencapai

0,6%.

Gambar 1.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota

Sumber: Deskripsi dan Analisis APBD 2012, DJPK Kemenkeu, 2012

Sementara itu, besaran pajak per kapita juga masih sangat rendah, di mana

rata-rata nasional untuk agregat kabupaten dan kota dalam satu provinsi

pada tahun 2012 hanya sebesar Rp 79.643. Meskipun besaran rata-rata pajak

per kapita ini masih sangat rendah, ternyata penduduk di sebagian besar

dae rah (di 24 provinsi) justru mempunyai besaran pajak per kapita di bawah

rata-rata nasional tersebut.

Page 24: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .4

Gambar 1.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se Provinsi

(tidak termasuk DKI Jakarta)

Sumber: Deskripsi dan Analisis APBD 2012, DJPK Kemenkeu, 2012

Fakta di atas menunjukkan bahwa meskipun upaya pemerintah untuk

meningkatkan local taxing power dengan menerbitkan Undang-Undang No-

mor 28 Tahun 2009 yang telah menambah jenis pajak, memperluas basis pajak,

dan memberi keleluasaan penetapan tarif pajak sudah menunjukkan hasil

positif, namun realisasi pajak daerah sebenarnya masih jauh lebih rendah dari

potensinya. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kebijakan Undang-Undang No-

mor 28 Tahun 2009 ini dan pengaruh implementasinya terhadap peningkatan

pendapatan daerah perlu dilakukan melalui suatu penelitian.

1.2. Rumusan Masalah

Secara garis besar, pokok masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini

adalah :

1. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengimplemen-

tasikan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan

pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan

penetapan tarif pajak?

2. Bagaimana pengaruh implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun

2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan

Page 25: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

PENDAHULUAN 5

basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan

pendapatan daerah?

3. Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah agar mereka dapat

mengoptimalkan implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009

untuk meningkatkan pendapatan daerah?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam

mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama

terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan

keleluasaan penetapan tarif pajak.

2. Menganalisis pengaruh implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun

2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan

basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan

pendapatan daerah.

3. Memberikan rekomendasi terkait optimalisasi implementasi Undang-

Undang Nomor 28 tahun 2009 untuk meningkatkan pendapatan

daerah.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah, eksekutif dan

legislatif, terutama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan daerah

terkait dengan optimalisasi implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun

2009, agar pendapatan daerah mengalami peningkatan.

Page 26: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

6

Landasan Teori

2.1. Administrasi Perpajakan

Ray, Herschel dan Horrace mendefinisikan bahwa pajak merupakan

suatu peng alihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah,

yang bukan aki bat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan

berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu tanpa mendapat im-

balan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan

tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Pajak berfungsi sebagai

penerimaan (budgetary function) dan sebagai pengaturan (regulatory function).

Secara lebih spesifik, pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan

bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah dan sebagai piranti untuk meng-

atur atau melak sa na kan kebijakan pembangunan untuk kesejahteraan ma-

sya rakat. Pajak dapat berfungsi sebagai automatic stabilizer dan juga sebagai

piranti untuk mere distribusi pendapatan. Pajak dapat juga digunakan sebagai

piranti untuk mem pengaruhi perilaku masyarakat, misalnya penerapan pajak

dengan tarif yang tinggi untuk minuman mengandung etil alkohol diharapkan

dapat mengurangi tingkat konsumsi masyarakat akan minuman beralkohol.

Menurut golongannya, pajak dibagi menjadi pajak langsung dan pajak

tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak

dapat dilimpahkan kepada pihak lain tetapi menjadi beban langsung wajib

2

Page 27: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 7

pajak yang bersangkutan, misalnya pajak penghasilan. Pajak tidak langsung

adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain,

misalnya pajak pertambahan nilai. Menurut sifatnya, pajak dibedakan men-

jadi pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah pajak yang ber-

pangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat

objektifnya, yaitu memperhatikan keadaan wajib pajak, misalnya pajak peng-

ha silan. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

objeknya, tanpa memperhatikan keadaan wajib pajak, misalnya pajak per-

tambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Menurut pemungut

dan pengelolanya, pajak dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah.

Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan

untuk membiayai rumah tangga negara, misalnya pajak penghasilan, pajak

pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. Pajak daerah

ada lah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk

membiayai rumah tangga daerah, misalnya pajak reklame, pajak hiburan,

dan pajak bumi dan bangunan.

Dalam memungut pajak, diperlukan asas-asas pemungutan pajak yaitu

equity, certainty, dan convenience. Terdapat dua jenis equity dalam pemu-

ngut an pajak, yaitu horizontal equity dan vertical equity. Dalam horizontal

equity, semua wajib pajak yang memiliki keadaan yang sama akan dikenai

beban pajak yang sama besar. Dalam vertical equity, setiap wajib pajak dibe-

bani pajak sesuai dengan keadaan ekonominya. Yang dimaksud dengan certainty

adalah wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak

yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. Yang

dimaksud dengan convenience adalah timing pembayaran pajak oleh wajib

pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak,

misalnya pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan yang disebut pay

as you earn. Selain itu, biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban

pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin. Sementara itu, sis-

tem pemungutan pajak dibedakan menjadi official assessment, self assessment,

dan withholding system. Official assessment adalah sistem pemungutan pa-

jak yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besar-

nya pajak yang terutang. Self assessment adalah sistem pemungutan pajak

yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak

Page 28: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .8

untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri

besarnya pajak yang harus dibayar. Withholding system memberi wewenang

kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang

terutang oleh wajib pajak. Berikut ini merupakan mekanisme hapusnya utang

pajak: i) pembayaran, ii) kompensasi, iii) daluwarsa, iv). pembebasan, dan v)

penghapusan. Dalam pembayaran, utang pajak yang melekat pada wajib

pajak akan terhapus karena pembayaran pajak yang yang dilakukan ke kas

negara. Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan

tagihan seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kom-

pensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan

pembayaran pajak dan harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya

yang terutang. Yang disebut dengan kadaluwarsa adalah telah dilampauinya

waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya

masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Yang

dimaksud dengan pembebasan adalah utang pajak berakhir karena ditiada-

kan, biasanya terhadap sanksi administrasi. Penghapusan merupakan hal

yang hampir sama dengan pembebasan, tetapi penghapusan ini disebabkan

oleh keadaan wajib pajak.

2.2. Tax Incidence

Tax incidence hanya tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran

atas objek pajak. Sementara itu, statutory incidence (siapa yang seharusnya

membayar pajak menurut peraturan) sama sekali tidak relevan. Hanya econo-

mic incidence (siapa yang membayar pajak) yang relevan. Misalnya, diasumsi-

kan bahwa produksi mobil memiliki struktur biaya tetap sehingga kurva pe-

nawaran mobil sejajar dengan sumbu horisontal sebagaimana terlihat dalam

Gambar 1. Sebelum dikenakan pajak penjualan, harga mobil sebesar P dan

keseimbangan terjadi pada kuantitas mobil Q1 (titik potong kurva penawaran

S dengan kurva permintaan D). Setelah produksi mobil dikenakan pajak pen-

jualan dengan tarif t, maka kurva penawaran S bergeser ke atas menjadi S’

dengan tingkat harga (1 + t) P. Kenaikan kurva penawaran tersebut mengaki-

bat kan keseimbangan pasar terjadi pada kuantitas mobil yang lebih kecil,

sebesar Q2. Penerimaan pemerintah dari pajak penjualan mobil sebesar area

Page 29: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 9

abe’c. Pajak menciptakan wedge antara harga yang diterima oleh produsen

de ngan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Akibat adanya pajak penjual-

an sebesar t, harga mobil yang semula P naik menjadi (1 + t) P yang berarti

konsumen membayar mobil dengan harga yang lebih tinggi. Karena kurva

penawaran sejajar dengan sumbu mendatar (elastis sempurna) maka sebenar-

nya seluruh beban pajak ditanggung oleh konsumen, meskipun yang mem-

bayar pajak penjualan kepada pemerintah adalah produsen. Jadi, produsen

mobil selaku pihak wajib pajak dapat menggeserkan beban pajak penjualan

kepada konsumen dengan cara menaikkan harga penjualan. Dengan demi-

kian, hanya elastisitas yang relevan dalam menentukan economic incidence

pajak.

Surplus konsumen setelah pajak diterapkan adalah sebesar area ae’d,

sedangkan surplus konsumen semula adalah sebesar area aed. Dalam kasus

elastisitas penawaran yang elastik sempurna, produsen menggeser seluruh

beban pajak kepada konsumen. Sebagian surplus konsumen yang berkurang

merupakan transfer of surplus dari konsumen ke pemerintah yang berupa

penerimaan pajak. Bagian dari surplus konsumen yang tidak ditransfer ke

pe merintah, hilang dari perekonomian, dan disebut sebagai excess burden

atau deadweight loss (Gambar 2.1). Excess burden ini berasal dari distorsi

yang diakibatkan oleh adanya efek substitusi.

Gambar 2.1. Elastisitas dan Tax Incidence

(Kasus Elastisitas Penawaran Sempurna)

Page 30: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .10

Apabila kurva penawaran memiliki some degree of elasticity, maka

produsen dapat menggeserkan sebagian beban pajak kepada konsumen,

seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Sebelum adanya pajak, keseimbangan

terjadi di titik e, yaitu pada tingkat harga P1 dan jumlah produksi sebesar Q1

mobil per tahun. Adanya pajak menyebabkan kurva penawaran bergeser ke

kiri atas sehingga keseimbangan baru terjadi di titik e’. Keseimbangan baru

tersebut tercapai pada tingkat harga P2 dengan kuantitas sebesar Q2. Jarak

e’b menunjukkan besarnya pajak yang dikenakan pada setiap barang yang

dihasilkan. Awalnya, surplus konsumen adalah sebesar ged dan karena pe-

nge naan pajak berkurang menjadi ce’d. Sementara itu, surplus produsen

pada awalnya adalah sebesar gef lalu berubah menjadi ce’g. Penerimaan pa jak

oleh pemerintah sebesar area abe’c dimana produsen menanggung pa jak

sebesar abhg dan konsumen menanggung pajak sebesar ghe’c.

Gambar 2.2. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Penawaran Elastis)

Dari Gambar 2.1 dan 2.2 dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin elastis

kurva penawaran (dengan asumsi kurva permintaan tetap), maka semakin

besar beban pajak yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen.

Sebaliknya, semakin inelastis kurva penawaran suatu barang, akan semakin

kecil kemampuan produsen untuk menggeserkan beban pajak kepada kon-

Page 31: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 11

sumen. Semakin elastis kurva permintaan suatu barang, semakin kecil beban

pajak yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen. Sebaliknya,

semakin inelastis kurva permintaan barang tersebut, semakin besar beban

yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen. Elastisitas merupa-

kan satu-satunya faktor yang menentukan tax incidence.

2.3. Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Jika kita memperhatikan sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara

di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada

umum nya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpa-

jak an daerah sebagai berikut (Sidik, 2002):

1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat

mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masya-

rakat.

2. Adil dan merata secara vertikal, yaitu sesuai dengan tingkatan kelompok

masyarakat dan secara horizontal, yaitu berlaku sama bagi setiap ang gota

kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.

3. Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayan-

an memuaskan bagi si wajib pajak.

4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi

dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.

5. Non-distorsioner atau lumpsum terhadap perekonomian, yaitu tidak me-

nimbulkan excess burden atau deadweight loss dalam perekono mian.

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan dae-

rah harus memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:

1. Dapat dipungut, yaitu perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih

besar dibandingkan ongkos pemungutannya. .

2. Relatif stabil, yaitu penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu tajam.

3. Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip manfaat (be-

ne fit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

Page 32: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .12

Dalam desentralisasi fiskal, pemberian kewenangan untuk mengadakan

pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan,

juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah.

Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang mendukung pemberian kewe-

nangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Menurut

Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan

dalam tax assignment atau pemberian kewenangan perpajakan kepada pe-

merintah pusat, provinsi atau kabupaten/kota adalah:

1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok

untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung-

jawab Pemerintah Pusat.

2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu

“mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar

pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke

daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak

terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip

pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat.

Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan

utama untuk mempertahankan kewenangan pajak di tingkat pemerintah

yang lebih tinggi.

3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah seharusnya

diserahkan kepada Pemerintah Pusat, misalnya pajak penghasilan.

4. Pajak daerah seharusnya visible, yaitu pajak seharusnya jelas bagi pem-

bayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang

dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas

daerah.

5. Pajak di suatu daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada pendu-

duk daerah lain karena akan memperlemah hubungan antar pembayar

pajak dengan pelayanan yang diterima.

6. Pajak daerah seharusnya menjadi sumber penerimaan yang memadai

un tuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil pene-

rimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak

terlalu berfluktuasi.

Page 33: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 13

7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah proses

administrasinya atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi se-

cara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jum-

lah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan kompu-

terisasi.

8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secu-

kupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewe-

nangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang man-

faatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak daerah tersebut.

Ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berdasarkan Un-

dang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah dapat

mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk memungut pajak dan retribusi

di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, perda-perda yang akan dikeluarkan

oleh pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, terutama terhadap Undang-Undang No-

mor 28 tahun 2009. Menurut Saragih (2003), di samping jenis atau objek

pa jak daerah seperti yang telah disebutkan sebelumnya, daerah juga diberi

keleluasaan atau peluang untuk menciptakan pajak daerah lainnya asal sesuai

dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang

harus dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut:

1. Bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;

2. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepen-

tingan umum;

3. Potensinya memadai;

4. Tidak berdampak negatif terhadap perekonomian;

5. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;

6. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal

dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu: (i)

dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung

untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak

daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis

Page 34: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .14

tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung

pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan

tarif pajak lebih tinggi (Brenan.et.all, 1980). Formulasi ini dikenal sebagai

mo del Leviathan. Model ini mengasumsikan bahwa biaya administrasi perpa-

jakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik

yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang

dipengaruhi oleh besaran pajak.

Gambar 3.3 menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional

atas basis pajak tertentu. Kurva Laffer yang berbentuk parabola menghadap

sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan total penerimaan pajak maksimum yang

ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak

baik legal maupun ilegal dengan mengubah economic behavior dari wajib

pa jak. Gambar 3.3 juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak

ter ha dap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis

pajak dan tarif pajak lainnya. Total penerimaan pajak maksimum (T*) tercapai

dengan tingkat tarif t*, yaitu revenue maximizing tax rate.

Gambar 2.3. Kurva Laffer

Sumber: Sidik, 2002

Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa pening-

katan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan

tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang le-

bih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan

Page 35: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 15

penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pe-

ngenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai total penerimaan mak-

simum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hu-

bungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai

total penerimaan pajak maksimal.

Undang-undang No. 28 tahun 2009 mengatur tentang pajak dan retri-

busi daerah, dimana undang-undang ini menjelaskan bahwa pajak daerah

dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang

penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga pe-

netapannya ditetapkan oleh peraturan daerah. Pajak daerah merupakan

kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan

yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis pajak daerah dibagi

menjadi dua:

i. Pajak Provinsi, yang terdiri dari:

a. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau

penguasaan kendaraan bermotor, yang hasil penerimaannya dise-

rahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 30%.

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan

hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak

atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli,

tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan

usaha.

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas peng-

gunaan bahan bakar kendaraan bermotor, yang hasil penerimaannya

diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 70%.

d. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pe-

man faatan air permukaan, yang hasil penerimaannya diserahkan

kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 50%.

e. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh

Pe me rintah, yang hasil penerimaannya diserahkan kepada pemerin-

tah ka bu paten/kota sebesar 30%.

Page 36: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .16

ii. Pajak Kabupaten/kota, yang terdiri dari :

a. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.

b. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh

restoran.

c. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.

d. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.

e. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga lis trik,

baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan

pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber

alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

g. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar

badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha

maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan

tempat penitipan kendaraan bermotor.

h. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaat-

an air tanah.

i. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan

dan/atau pengusahaan sarang burung walet.

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas

bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau diman-

faat kan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digu-

nakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertam-

bangan.

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak

atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak

atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa

hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau

bangunan oleh orang pribadi atau Badan.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 yang menjadi sub-

jek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak se-

dang kan wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar

pa jak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan ke-

Page 37: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 17

wa jiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan daerah.

Salah satu ciri kewenangan pemerintah daerah baik provinsi maupun

kabupaten/kota dalam mengelola keuangan daerah adalah optimalisasi pen-

dapatan asli daerah untuk membiayai pengeluaran daerah, salah satu caranya

dengan meningkatkan local taxing power. Permasalahannya adalah banyak

daerah belum mampu mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya. Mahi

(2011) dengan menggunakan data tahun 2001, 2005, dan 2008 menunjukkan

bahwa pendapatan asli daerah tidak memberikan kontribusi yang signifikan

untuk mendukung pembiayaan belanja daerah. Dengan kata lain, pendapatan

asli daerah belum cukup untuk membiayai belanja daerah. Selisih antara

pen dapatan asli daerah dan belanja daerah membuat pemerintah daerah

bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat sehingga APBD dido-

minasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat. Struktur APBD yang

didominasi oleh dana perimbangan menjadikan APBD sangat rentan terhadap

perubahan eksternal misalnya jika terjadi keterlambatan pencairan dana

transfer dari pemerintah pusat maka akan mengganggu APBD dan kegiatan

pemerintah daerah menjadi terganggu. Dengan mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi pajak dan retribusi daerah maka pemerintah daerah

dapat mengetahui bagaimana cara mengoptimalkan pemungutan pajak dan

retribusi daerah. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan asli

daerahnya dengan mengoptimalkan dasar pengenaan pajaknya. Mahi meng-

gunakan dekomposisi elastisitas pajak dan menemukan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi pemungutan pajak dan retribusi daerah adalah pertum-

buhan ekonomi daerah, kelonggaran kebijakan tarif pajak dan regulasi dae-

rah. Perubahan kebijakan pajak daerah berada di bawah kontrol dari kemen-

terian keuangan sebagai otoritas pajak di Indonesia seperti perubahan tarif

pajak, perubahan dasar pengenaan pajak, perubahan pemungutan dan pe-

nye lenggaraan pajak. Kajian tersebut juga menemukan bahwa pajak dan

retri busi daerah yang ada di Indonesia tidak buoyant atau kenaikan pajak

dan retribusi daerah kurang berdampak positif terhadap kenaikan pertum-

buhan ekonomi karena dasar pengenaan pajak bagi konsumsi lokal seperti

makanan dan non makanan tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Salah satu keunggulan sistem pajak yang elastis adalah penerimaan pajak

Page 38: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .18

meningkat secara proporsional lebih cepat dibandingkan pendapatan se-

hingga pemerintah dapat membiayai peningkatan pelayanan publik dan

lebih stabil. Ketika periode ekspansi ekonomi, penerimaan pajak naik lebih

cepat dibandingkan pendapatan sehingga APBD surplus dan memperlambat

ekspansi ekonomi tetapi ketika kontraksi ekonomi, penerimaan pajak berku-

rang lebih cepat dibandingkan pendapatan sehingga APBD cenderung defisit

anggaran dan memperlambat kontraksi ekonomi. Pajak daerah yang lebih

elastis merupakan salah satu solusi untuk mendukung optimalisasi pajak

daerah.

Dengan melimpahkan lebih pajak yang buoyant kepada pemerintah

daerah, pemerintah daerah juga diharapkan dapat memperbaiki elastisitas

pajak dan retribusi daerahnya. Namun yang perlu diperhatikan dalam opti-

mali sasi pajak melalui pajak properti adalah kemungkinan terjadinya persa-

ingan pajak yang dapat terjadi antar pemerintah daerah seperti yang di

terjadi di Finlandia (Lyytikainen, 2012). Sumber interaksi fiskal yang strategis

antar daerah yang dapat menyebabkan persaingan diantaranya adalah: i)

benefit spillover, terjadi manakala penduduk suatu daerah dapat mengakses

pelayanan publik daerah lain dan tarif pajak di daerah tersebut lebih tinggi

dibandingkan pajak daerah lain, ii) distorsi pajak bagi pajak-pajak yang dinilai

mobile, pajak yang lebih tinggi pada suatu daerah menyebabkan eksternalitas

positif secara fiskal bagi daerah lain, iii) pertimbangan ekonomi politik dan

informasi yang asimetris. Pengalaman di Vietnam menunjukkan bahwa pajak

properti baik untuk lahan pertanian maupun non pertanian berdasarkan

produktivitas beras yang dihasilkan. Meskipun dasar pengenaan pajak pro-

perti berdasarkan lahan memiliki risiko unsustainable, kurang buoyant tetapi

paling tidak pajak ini membawa dampak positif bagi pembangunan daerah

yang berkelanjutan (McCluskey and Hong-Loan Trinh, 2013).

2.4. Pengalaman Negara Lain

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa berbagai negara memiliki

pendekatan yang berbeda dalam proses administrasi dan pengelolaan pajak.

Terdapat sistem sentralistik dimana semua pajak, baik pajak pusat maupun

pajak daerah dikelola oleh pemerintah pusat dan sistem desentralisasi yaitu

Page 39: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 19

pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola pajak pusat, pajak

daerah serta pemungutan pajak, penentuan tarif dasar pengenaan pajak.

Pendekatan ini dipengaruhi oleh tujuan pemungutan pajak dan hambatan

yang dihadapi untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan pokok tax administra-

tion adalah pertama, efisiensi yaitu memaksimalkan pendapatan dengan ba-

tasan biaya administrasi dan kepatuhan pembayar pajak; kedua, akuntabilitas

kepala daerah terhadap masyarakat pembayar pajak.

Menurut Martinez-Vazquez dan Timofeev (2005), meskipun sistem sen-

tralistik memiliki kelebihan karena skala dan cakupan yang besar memberikan

keuntungan berupa biaya operasional pemungutan pajak relatif lebih rendah,

lebih efisien dalam penggunaan input (kuantitas dan kualitas SDM serta

infrastruktur), sistem, standar, proses, prosedur dan IT yang digunakan sama

untuk seluruh wilayah nasional sehingga database pajak dapat terintegrasi

de ngan baik. Namun demikian, sentralistik tidak dapat mengakomodasi per-

be daan dan keberagaman kebutuhan, karakteristik dan kondisi antar daerah.

Oleh karena itu, pemisahan antara jenis pajak pusat-daerah berdasarkan

cakupannya beserta kelembagaannya (mixed model) menjadi salah satu al-

ternatif terbaik. Pemerintah pusat mengelola jenis pajak yang ada di level

pusat sedangkan pemerintah daerah mengelola jenis pajak daerahnya sendiri.

Mikesell (2003) menyatakan pemisahan pajak pusat-daerah berikut kelemba-

gaannya akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah pu-

sat-daerah karena semakin jelas bagi masyarakat pajak yang mereka bayarkan

masuk kemana dan siapa yang bertanggungjawab. Selain itu pemungutan

pajak lebih jelas, cepat, dan mekanisme kontrol lebih jelas (Vehorn and Ahmad,

1997). Pengalaman beberapa negara yang memberikan kewenangan kepada

pemerintah sub-nasionalnya (pemerintah daerah) untuk melakukan penge-

lolaan-pemungutan pajaknya sendiri, misalnya Australia, Canada, China, Uni-

ted States, United Kingdom, Japan dan India. Agar pengelolaan-pemungutan

pajak pusat-daerah oleh pemerintah pusat-daerah dapat sinkron dan berjalan

dengan baik berdasarkan pengalaman praktik internasional maka diperlukan

fleksibilitas, koordinasi yang baik, kerjasama dan saling berbagi informasi

an tara pemerintah pusat-daerah, maupun antar pemerintah daerah.

Page 40: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .20

Tabel 2.1. Pemungutan dan Pengelolaan Pajak Properti

di Beberapa Negara

Country Tax Base Rate Identifi-cation

Assess-ment

Billing and

Collec-tion

Paid to

United Kingdom

Residential-property

Local National National Local Locality

Non-Residential-property

Natio-nal

National National Local Redistri-bution pool

Germany Real estate Local State Local Local Locality

Japan Real estate Local National Local Local Locality

Indonesia Real estate Natio-nal

National National National Locality

Sumber: Martinez-Vasquez and Timofeev, 2005

Sjoquist (2003) terkait dengan pajak properti memiliki dua pertanyaan

yang mendasar yaitu tentang berapa tarif pajak properti yang seharusnya

dan bagaimana seharusnya beban pajak properti dibagikan. Jika tempat iba-

dah, sekolah, yayasan-yayasan sosial atau kantor milik pemerintah dikecualikan

dari pajak properti, siapa yang harus menanggung kerugian potensi pajak

properti tersebut? Jika dibebankan kepada wajib pajak properti, siapa wajib

pajak yang harus membayar lebih banyak dan berapa yang harus dibayar se-

suai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Pajak properti merupakan sa lah

satu pajak yang tidak disukai oleh pembayar pajak tetapi mau tidak mau mesti

dibayar karena menurut pandangan pembayar pajak, pajak pro perti terlalu

tinggi, nilainya naik terus menerus dengan kenaikan yang tinggi, peningkatan

perolehan dari pajak properti besar sehingga kemungkinan tidak dapat

dikon trol dengan baik, besarnya tarif pajak properti berbeda-beda dibandingkan

dengan pendapatan yang sama. Pajak properti memiliki beberapa keuntungan

meskipun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan

banyak keluhan. Beberapa keuntungan pajak properti antara lain: i) merupa-

kan satu-satunya bentuk pajak yang dapat dikaitkan dengan kekayaan, ii)

Page 41: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 21

banyak meningkatkan pendapatan daerah sehingga pemerintah daerah da-

pat membiaya pembangunan daerahnya, iii) dasar pengenaan pajak properti

relatif stabil, tidak mudah dipindahtangankan, terlihat jelas jadi mudah

diprediksi sebagai sumber pendapatan yang baik bagi pemerintah daerah,

iv) nilai properti mencerminkan nilai manfaat pelayanan publik yang diterima

oleh masyarakat yang dibiayai dari hasil penerimaan pajak properti. Pajak

properti merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting

karena jika dihilangkan/dikurangi maka pemerintah daerah harus menambah

jenis pajak baru yang relatif dapat dikontrol dan dapat menyebabkan biaya

tinggi atau mengganti pajak properti dengan pajak penghasilan. Rosengard

(2012) menyatakan bahwa ada empat prinsip dasar dalam reformasi pajak

properti yang harus diperhatikan terlepas dari alasan utama untuk melakukan

reformasi yaitu: i) sederhana dalam pelaksanaannya mengalahkan teori opti-

malisasi, ii) dasar ekonomi perpajakan mengalahkan dasar politik-matematik,

iii) perubahan perilaku pembayar pajak dan petugas pajak mengalahkan

administrasi, iv) tujuan untuk mendapatkan penerimaan mengalahkan tujuan

lainnya.

Sejalan dengan Bahl and Martinez-Vazquez (2007), Rosengard (2012)

me nyatakan bahwa terdapat empat strategi yang perlu dipertimbangkan

ke tika mendesain dan melaksanakan reformasi pajak properti: i) bagaimana

dasar pengenaan pajak, ii) bagaimana penetapan tarif pajak, iii) mengevaluasi

berbagai macam pilihan sistem administrasi dan memilih yang terbaik, iv)

ba gaimana cara untuk mengurangi dampak dari transisi sistem pajak pro-

perti.

Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) merupakan salah satu sumber

penerimaan yang penting bagi daerah, pajak ini pada dasarnya didesain un-

tuk mengurangkan beban pajak atas properti. Indonesia telah memberikan

kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut BPHTB. Distribusi

hasil pajak BPHTB dapat menjadi permasalahan tersendiri karena dimung kin-

kan menjadi sumber ketidakmerataan fiskal yang baru dan memperburuk

ketimpangan fiskal yang terjadi (Zhao dan Yilin, 2008). Zhao dan Yilin (2008)

dengan menggunakan metode RTS (Representative-Tax-System) dan IWE

(Income-With-Exporting) menemukan bahwa di negara bagian Georgia, Ame-

rika Serikat, sebaran pendapatan dari BPHTB dengan menggunakan metode

Page 42: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .22

RTS lebih tinggi daripada penerimaan pajak properti, dan akan tumbuh terus

menerus meskipun penambahan BPHTB terkait dengan pajak properti mung-

kin tidak akan mempertajam ketimpangan fiskal tetapi jika trend pertumbuhan

BPHTB antar daerah mengalami kesenjangan maka ketimpangan fiskal pun

akan terus terjadi. Analisis IWE menghasilkan kesimpulan bahwa penambahan

BPHTB terkait dengan income-based revenue akan mempertajam ketimpangan

pendapatan antar daerah. Daerah juga perlu mempertimbangkan kondisi

geografi-topologi (intra-regional) untuk menetapkan kebijakan pajak BPHTB

dan distribusi hasil pajak, misalnya daerah yang memiliki wilayah pedesaan

yang luas perlu maka daerah perlu memberikan insentif bagi pembangunan

desa hal ini tidak hanya untuk mendorong pembangunan ekonomi saja te-

tapi juga untuk mengantisipasi ketimpangan fiskal antara wilayah perkotaan

dan pedesaan.

Menurut Sjoquist (2005), kebijakan pajak properti harus mempertim-

bang kan keakuratan dan frekuensi penilaian terhadap nilai tanah dan ba ngun-

an sebagai objek pajak properti. Secara umum nilai tanah persil nya tidak

banyak berubah pada saat penilaian kembali nilai tanah dilakukan kecuali

tanah persil tersebut sudah dipecah, jika tanah persil sudah dipecah maka

pe ni laian berdasarkan nilai tanah persil terakhir sebelum dipecah. Pertum-

buhan antar daerah akibat pajak properti tidak sama karena kenaikan nilai

tanah antar daerah berbeda-beda. Akibatnya, liabilitas pajak properti menjadi

relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai pasar tanah pada waktu

yang sama, pada saat nilai pasarnya sudah berubah tetapi nilai pajak tidak

berubah oleh karena perlu menggunakan penghitungan rasio nilai pajak

terhadap nilai pasar. Selain itu, jika wajib pajak atau pemilik tanah mengetahui

bahwa liabilitas pajak tanahnya lebih besar daripada penduduk di daerah lain

(dengan luas tanah yang sama) maka hal tersebut akan mengurangkan

kepatuhan wajib pajak tersebut untuk membayar pajak (Alm, McClelland and

Schulze, 1999). Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk reformasi struktur

tarif antara lain: i) menghilangkan batas atas tarif pajak properti. Kewajiban

membayar pajak hingga batas atas menyebabkan struktur tarif menjadi tidak

rasional dan tidak adil sehingga perlu dihilangkan, ii) reformasi harus mem-

buat batas pengecualian atas pajak misalnya berapa luas tanah minimum

yang boleh mendapatkan pengecualian pajak; pajak juga dapat dikecualikan

Page 43: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LANDASAN TEORI 23

untuk tanah-tanah yang dimiliki oleh pemerintah, sekolah, tempat-tempat

ibadah dan yayasan-yayasan sosial; pengurangan pajak yang disebabkan

adanya peraturan misalnya ada peraturan yang membolehkan khusus untuk

tanah pertanian dan pemukiman dapat dinilai berdasarkan nilai pengguna-

annya yang berlaku bukan penggunaan yang optimal/terbaik, iii) reformasi

harus mengubah struktur tarif. Pajak progresif mendorong wajib pajak untuk

memecah propertinya agar tidak terkena pajak yang mahal.

Menurut Sjoquist (2005) untuk meningkatkan efektivitas pajak PBB

antara lain dapat dilakukan dengan cara: i) jangka waktu antar penilaian nilai

tanah dipersingkat agar meningkatkan pertumbuhan penerimaan dan meng-

hindari masalah yang mungkin timbul karena terjadinya peningkatan nilai

yang besar, ii) batas atas pembayaran pajak perlu dihilangkan dan dialihkan

kepada pengenaan batas pengecualian bagi tarif pajak yang flat.

Berikut ini merupakan cara bagaimana meningkatkan tingkat pemungut-

an pajak, ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan yaitu: i) memberikan

kemudahan bagi wajib pajak untuk membayar pajak contohnya untuk mem-

bayar pajak tidak harus datang ke kantor pajak atau dinas pendapatan daerah

tetapi bisa dibayarkan melalui kantor pos atau lembaga-lembaga lain yang

ditunjuk atau via online, ii) mengembalikan denda yang dibayarkan oleh wajib

pajak karena keterlambatan membayar pajak kepada masyarakat dalam ben-

tuk peningkatan pelayanan publik, iii) melekatkan pajak properti dengan jenis

pajak lainnya yang bersifat pokok seperti rekening air, pengajuan SIM, reke-

ning listrik, ijin usaha, ijin mendirikan bangunan dan ijin pengajuan lain nya.

Menurut Bird (2005), beberapa pelajaran penting dari penerapan pajak

pertambahan nilai di negara-negara berkembang antara lain: i) jika suatu

ne gara perlu atau ingin menerapkan pajak penjualan secara umum maka PPn

merupakan bentuk pajak yang baik, ii) penerapan PPn tidak selalu berjalan

dengan baik di beberapa negara berkembang karena faktor ketidaksiapan

me lakukan penilaian diri self-assessment, iii) PPn harus didasarkan prinsip

bahwa tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua sehingga harus dise-

suaikan dengan kondisi, karakteristik dan kemampuan-kebutuhan masing-

masing.

Page 44: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

24

Metode Penelitian

3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif

Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang diuraikan sebe-

lumnya, maka metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian

ini didesain untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dan

tujuan penelitian tersebut. Untuk itu, maka penelitian ini akan menggunakan

metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga me-

tode pengumpulan data, yaitu: Desk study, Focus Group Discussions (FGD), dan

kuesioner. Desk study akan dilakukan di tahap awal untuk mempelajari data

dan dokumen terkait dengan perkembangan pajak daerah, yang terdiri dari:

• Undang-UndangNomor28Tahun2009tentangPajakDaerahdanRetri-

busi Daerah beserta peraturan turunannya (PP dan PMK)

• DokumenPeraturanDaerah(Perda)terkaitsepertiPerdaBPHTB,Perda

PBB P2, Perda Pajak Hotel, Perda Pajak Restoran, dan Perda Pajak Pene-

rangan Jalan.

• Dokumenperencanaandanpenganggarandaerahpenelitian:RPJMD,

RKP, dan APBD.

Hasil dari studi dokumen ini akan digunakan untuk menyusun pedoman

FGD, serta merancang kerangka analisis.

3

Page 45: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

METODE PENELITIAN 25

Sementara itu, metode kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan

data sekunder penerimaaan pajak di seluruh daerah di Indonesia. Data ini akan

digunakan untuk menganalisis bagaimana pengaruh implementasi Undang-

Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis

pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak

terhadap peningkatan pendapatan daerah.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data se-

kun der. Adapun jenis dan sumber data yang akan dikumpulkan adalah seba-

gai berikut:

• Data primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari jawaban res-

ponden terhadap kuesioner dan data atau informasi yang diperoleh dari

kunjungan lapangan melalui proses dialog intensif dengan peng ambil

keputusan dan stakeholders terkait dengan penerapan Undang-Undang

No. 28 tahun 2009 di daerah, melalui focus group discussion (FGD) dan

in-depth interview kepada beberapa stakeholders terpilih terkait dengan

informasi yang perlu pendalaman.

• Data sekunder: berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Kementerian Keuangan, Biro Pusat Statistik, dan Pemerintah Daerah,

antara lain data tentang perkembangan pajak daerah (terutama lima

jenis pajak daerah), PAD, total belanja daerah, PDRB, PDRB sub sektor,

pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan lain-lain. Data yang

dikumpulkan adalah data tahun sebelumnya dan setelah implementasi

Undang-Undang No. 28 tahun 2009, yaitu data sebelum dan setelah

tahun 2010.

Adapun jenis pajak yang akan dikumpulkan datanya dan dianalisis se-

cara mendalam adalah jenis pajak yang terkait dengan penerapan Undang-

Undang No. 28 tahun 2009, dengan kriteria sebagai jenis pajak baru, meng-

alami perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak, seperti

tampak pada tabel berikut:

Page 46: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .26

Tabel 3.1. Kriteria dan Jenis Pajak yang diteliti

Kriteria Jenis Pajak

Pajak Baru 1. BPHTB 2. PBB P2

Perluasan Basis Pajak1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Penerangan Jalan

Keleluasaan Penetapan Tarif Pajak 1. BPHTB 2. PBB P2

Data primer dibutuhkan sebagai data pendukung untuk membantu

lebih memperkaya pembahasan penelitian ini. Data ini bersumber dari hasil

wawancara langsung melalui Focus Group Discussion (FGD) dan melalui kue-

sioner terhadap beberapa aktor atau pelaku yang terkait dengan proses pe-

ngelolaan pajak daerah pada pemerintah daerah. FGD dan Kuesioner diarah-

kan untuk menjawab:

a) Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengim ple-

mentasikan UU No 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan

jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif

pajak.

b) Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah dalam meng opti-

malkan implementasi UU No 28 Tahun 2009 untuk meningkatkan penda-

patan daerah.

Data sekunder merupakan data utama yang digunakan dalam analisis

kuantitatif. Data ini bersumber dari berbagai sumber data, seperti Biro Pusat

Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, laporan Bank Indonesia dan beberapa

sumber lainnya. Analisis kuantitatif diarahkan untuk menjawab bagaimana

pengaruh implementasi UU No 28 Tahun 2009, terutama terkait dengan pe-

nambahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan

tarif pajak, terhadap peningkatan pendapatan daerah. Data sekunder yang

digunakan merupakan data panel, yaitu data cross section dan time series

un tuk seluruh daerah kabupaten dan kota di Indonesia.

Page 47: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

METODE PENELITIAN 27

3.3. Pemilihan Daerah Sampel

Proses pengumpulan data primer dimulai dengan melakukan pemilihan dae-

rah sampel yang akan dikunjungi untuk melakukan Focus Group Discussion

(FGD), in-depth interview, dan pengisian kuesioner. Daerah sampel akan di-

pilih berdasarkan pertumbuhan penerimaan pajak daerah tahun 2012 dan

atau kemampuan melaksanakan pengalihan PBB P2 yang diukur dari pertum-

buhan penerimaan PBB P2 tahun 2012, yang dikategorikan menjadi:

a) Daerah berkemampuan tinggi, jika besaran pertumbuhan penerimaan

pajak daerah tahun 2012 lebih tinggi dari rata-rata Kab/kota secara nasi-

o nal dan atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 di atas 10%.

b) Daerah berkemampuan normal, jika besaran pertumbuhan penerimaan

pajak daerah tahun 2012 hampir sama besar dengan rata-rata kab/kota

secara nasional dan/atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 positif tapi

kurang dari 10%.

c) Daerah berkemampuan rendah, jika besaran pertumbuhan penerimaan

pajak daerah tahun 2012 lebih rendah dari rata-rata Kab/kota secara

nasional dan atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 menurun atau

negatif.

Di samping itu, pertimbangan sebagai daerah kerja AIPD juga diperhi-

tungkan dalam pemilihan daerah sampel. Berdasarkan ketiga kategori terse-

but, maka daerah yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari tujuh

daerah, yaitu 4 kabupaten dan 3 Kota. Adapun ketujuh lokasi FGD terpilih

adalah:

1. Kabupaten Badung

2. Kota Batam

3. Kabupaten Bandung

4. Kota Balikpapan

5. Kabupaten Deli Serdang

6. Kota Surabaya

7. Kabupaten Malang

Page 48: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .28

Responden yang akan diundang menghadiri FGD sekaligus sebagian

akan diminta menjawab pertanyaan dalam in-depth interview dan kuesioner

terdiri dari:

1. Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD

2. Pejabat Eselon 3 di Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD

3. Bappeda

4. Asisten Sekda bidang ekonomi dan keuangan

5. KPP

6. Kepala PTSP (Perizinan)

7. Notaris/PPAT

8. BPN di daerah

9. Dinas penanaman modal

10. APINDO

11. Kadin daerah

12. PHRI

13. Pengusaha Real Estate

14. Akademisi daerah

15. DPRD

16. LSM terkait dengan pengelolaan keuangan daerah

3.4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuali-

tatif dipergunakan untuk menemukan masalah yang dihadapi oleh daerah

dalam mengimplementasikan UU No. 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan

pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan pene-

tapan tarif pajak. Analisis kualitatif digunakan dengan dua cara, yaitu:

1. Menganalisis secara mendalam hasil-hasil FGD yang dilakukan di daerah

sampel termasuk menganalisis Perda-Perda pajak daerah yang dimiliki

daerah sampel.

2. Menganalisis jawaban responden (daerah sampel) terhadap kuesioner

yang disampaikan.

Page 49: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

METODE PENELITIAN 29

Sedangkan analisis kuantitatif dipergunakan untuk mengetahui penga-

ruh implementasi UU No. 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan

jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak

terhadap peningkatan pendapatan daerah. Analisis kuantitatif akan dilakukan

juga dengan dua cara, yaitu:

1. Membandingkan penerimaan pajak daerah, rasio pajak daerah, pajak

per kapita, rasio pajak daerah terhadap pendapatan dan belanja, per-

tum buhan ekonomi, dan lain-lain di daerah sampel sebelum dan sesudah

UU No. 28 Tahun 2009 diberlakukan;

2. Menghitung rasio pajak dan elastisitas pajak daerah di Indonesia ter-

utama untuk mengetahui dampak dari pelaksanaan UU No. 28 Tahun

2009 terhadap peningkatan pendapatan daerah. Persamaan yang di-

gunakan untuk menghitung rasio pajak adalah sebagai berikut:

δT/δY = α0 + α1Ym + α2YL + α3Yphr + α4Yb + α5TK + α6Daper+ α7BM + D + e

Sementara persamaan yang digunakan untuk menghitung elastisitas

pajak terdiri dari:

1) Thtl = β0 + β1Yphr + D +e2) Tres = χ0 + χ1Yphr +D +e3) Tppj = δ0 + δ1YL + D +e4) Tpbb = φ0 + φ1Yb + D +e5) Tbphtb = γ0 + γ1Yb + D +e

Di mana:

δT/δY = PAD / PDRB (harga belaku)

Thtl = Pajak Hotel

Tres = Pajak restoran

Tppj = Pajak PPJ

Tpbb = PBB

Tbphtb = BPHTB

Ym = PDRB Sub sektor Industri pengolahan

YL = PDRB Sub sektor listrik, gas, air bersih

Yphr = PDRB Sub sektor perdagangan, hotel, restoran

Page 50: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .30

Yb = PDRB Sub sektor bangunan

BM = Belanja Modal

DP = Dana perimbangan

D = Dummy 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten.

Berdasarkan kedua analisis itu akan dirumuskan rekomendasi kebijakan

yang tepat dalam mengoptimalkan implementasi UU No. 28 Tahun 2009 se-

hingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. 4

Page 51: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

31

Gambaran Umum Daerah Sampel

Pada Bab 3 sebelumnya telah dijelaskan bagaimana proses pemilihan

daerah sampel. Pada Bab 4 ini akan dijelaskan gambaran keadaan per-

ekonomian ketujuh daerah sampel tersebut.

4.1. Potret Penerimaan Kabupaten/Kota di Indonesia

Secara umum, total pajak mengalami kenaikan pada periode tahun 2007

sam pai dengan 2012. Penerimaan pajak pada daerah yang berada di Pulau

Jawa dan Pulau Sumatera mendominasi dibanding pulau-pulau lainnya de ngan

kontribusi sebesar lebih dari 60% seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.1.

Gambar 4.1.

Rata-Rata

Penerimaan

Pajak Daerah

Kota-Kab Per

Pulau di

Indonesia

(Rp Triliun)

Sumber: DJPK,

2012; *) target

4

Page 52: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .32

Gambar 4.1. di atas menunjukkan perkembangan rata-rata penerimaan

pajak pada daerah per pulau di Indonesia. Daerah-daerah di Pulau Jawa men-

do minasi penerimaan pajak daerah selama 2007-2011. Kemudian penerimaan

pajak tertinggi kedua ditempati oleh daerah di Pulau Bali dan Nusa Tenggara.

Tingginya rata-rata penerimaan pajak di wilayah Bali dan Nusa Tenggara di-

karenakan provinsi-provinsi di daerah tersebut seperti Bali dan Nusa Tenggara

Barat merupakan daerah destinasi wisatawan. Kota-Kabupaten di daerah

tersebut dapat memacu penerimaan pajak daerahnya lewat sektor yang

berhubungan dengan kepariwisataan.

4.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kemampuan daerah dalam meningkatkan PAD yang dilihat dari pertumbuhan

PAD antar tahun dapat digunakan sebagai indikator tingkat kemandirian suatu

daerah. Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota adalah

14,29%. Kabupaten/Kota yang berada di Pulau Jawa memiliki rasio paling

tinggi, disusul oleh Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera.

Tabel 4.1. Total PAD Kabupaten/Kota berdasarkan Pulau di Indonesia

(Rp triliun)

Pulau 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Sumatera 4.12 5.05 5.00 5.31 7.43 8.66

Jawa 8.02 9.22 10.46 11.69 17.85 18.12

Kalimantan 1.73 1.90 2.16 2.10 2.95 3.08

Sulawesi 1.15 1.36 1.53 1.64 2.09 2.44

Bali-Nusa Tenggara 1.38 1.78 2.06 2.44 3.63 3.54

Maluku 0.19 0.31 0.27 0.28 0.41 0.51

Papua 0.42 0.61 0.69 0.66 0.70 0.93

Total 17.00 20.22 22.17 24.11 35.08 37.27

Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target

Page 53: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 33

Selain pertumbuhan PAD, indikator lainnya dalam mengukur kemandirian

suatu daerah adalah rasio PAD terhadap belanja daerahnya dan rasio PAD

terhadap PDRB. Berdasarkan Tinjauan Tahunan Keuangan Daerah dan Kinerja

Pelayanan Publik (Kemenkeu, 2012), rata-rata rasio PAD dari total belanja

ka bupaten dan kota sepanjang tahun 2008-2010 cenderung tetap. Pada ta-

hun 2008 rata-rata rasio PAD dari total belanja adalah 6,13%, meningkat men-

jadi 6,10% di tahun 2009, dan meningkat sedikit menjadi 6,15% di tahun

2010. Di samping itu, indikator rasio PAD terhadap PDRB juga menunjukkan

angka yang kurang menggembirakan. Rasio PAD dari PDRB secara rata-rata

pada tahun 2008 adalah 2,38%, dan pada tahun 2010 turun menjadi 2,28%

(Kemenkeu, 2012).

4.1.2. Pajak Daerah

Semenjak diberlakukannya Undang-Undang No 28 Tahun 2009, diskresi pe-

merintah Kabupaten/Kota dalam memungut pajak daerah semakin besar.

Pe nambahan jenis pajak serta perluasan basis pajak seharusnya mampu me-

ningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sampai

sebelum pendaerahan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan

(PBB P2) serta Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), peneri-

maan Pajak Penerangan Jalan memiliki nilai yang paling tinggi di antara jenis

pajak yang lain. Secara rata-rata nasional, PPJ berkontribusi sebesar 41,09 per-

sen (Kemenkeu, 2012).

Tabel 4.2. Rata-rata Penerimaan Jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota

Seluruh Indonesia (Rp miliar)

Jenis Pajak 2008 2009 2010 2011*

Pajak Hotel 4,04 5,16 5,63 5,61

Pajak Penerangan Jalan 7,28 9,16 8,67 10,17

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C

1,15 2,00 1,74 1,86

Pajak Reklame 0,81 1,67 1,47 1,96

Page 54: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .34

Pajak Restoran 1,92 4,18 4,34 4,77

Pajak Hiburan 0,42 1,35 1,34 1,50

BPHTB 9,20 11,18 16,78

PBB P2 26,75 29,08

Sumber: DJPK, beberapa tahun; *)target

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 antara lain ditujukan untuk

membangun hubungan kebijakan dan koordinasi yang lebih baik antara pe-

merintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemungutan pajak daerah.

Pemerintah daerah diharapkan dapat membenahi administrasi perpajakan

de ngan adanya perubahan administrasi proses pemungutan pajak daerah di

mana mekanisme official assessment berubah menjadi self assessment. Ken-

dala utama yang muncul akibat perubahan ini adalah pemahaman dan kepa-

tuhan wajib pajak yang masih rendah sehingga pemungutan pajak daerah

tidak optimal.

4.2. Gambaran Umum Daerah Sampel

4.2.1. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan

besarnya potensi penerimaan pajak daerah. Terdapat dua hipotesis terkait

de ngan banyaknya penduduk dengan upaya penarikan pajak. Pertama, hipo-

tesis yang dikemukakan Rajaraman (2000) menyebutkan bahwa semakin

banyak jumlah penduduk maka Pendapatan Asli Daerah semakin meningkat.

Hal ini dimungkinkan karena potensi wajib pajak akan semakin besar. Kedua,

menurut hipotesis yang dijelaskan oleh Bahl (2003) menunjukkan bahwa

negara yang memiliki level pertumbuhan penduduk yang tinggi relatif ter-

tinggal dalam upaya pengumpulan pajak. Hal ini disebabkan sistem pajak

(tax system) tidak mampu untuk menangkap pembayar pajak yang baru.

Page 55: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 35

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Daerah Sampel (jiwa)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kab. Badung 408.126 416.194 424.228 543.332 601.256

Kota Batam 695.739 737.533 781.342 944.285 1.047.530

Kab. Bandung 2.778.879 2.816.904 2.854.177 3.178.543 3.327.469

Kota Balikpapan 500.812 512.128 523.368 557.579 578.006

Kab. Deli Serdang 1.686.366 1.738.437 1.788.351 1.790.431 1.807.173

Kota Surabaya 2.628.113 2.630.079 2.631.305 2.765.487 2.813.614

Kab. Malang 2.401.624 2.413.779 2.425.311 2.446.218 2.461.269

Rata-rata 1.585.666 1.609.293 1.632.583 1.746.553 1.805.188

Sumber: BPS, beberapa tahun.

Tabel 4.3. menunjukkan perkembangan jumlah penduduk di daerah

sampel. Secara rata-rata, jumlah penduduk di seluruh daerah sampel meng-

alami kenaikan. Kabupaten Bandung memiliki jumlah penduduk paling tinggi,

disusul Kota Surabaya dan Kabupaten Malang.

4.2.2. Luas Wilayah

Luas wilayah berpengaruh dalam upaya pemerintah daerah dalam pemu-

ngutan pajak daerah. Penelitian yang dilakukan Nikijuluw (2011) menunjukkan

bahwa setiap pertambahan luas wilayah maka akan menurunkan upaya pe-

mungutan pajak suatu daerah. Tabel 4.4. di bawah menunjukkan luas wilayah

daerah sampel. Kabupaten Malang memiliki luas wilayah paling besar, disusul

oleh Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Serdang.

Page 56: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .36

Tabel 4.4. Luas Wilayah Daerah Sampel

Daerah Luas Wilayah (km2)

Kab. Badung 420,09

Kota Batam 715,00

Kab. Bandung 2.284,61

Kota Balikpapan 503,03

Kab. Deli Serdang 2.808,91

Kota Surabaya 333.063

Kab. Malang 3.534,86

Sumber: BPS, beberapa tahun.

Pajak yang dipungut haruslah bersifat ekonomis yang artinya biaya yang

dikeluarkan pemerintah untuk memungut pajak tersebut haruslah sebanding

dengan hasil pajak yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan oleh aparat pemu-

ngut pajak akan lebih besar untuk memungut pajak pada daerah yang memi-

liki luas wilayah yang besar.

4.2.3. Pertumbuhan Ekonomi

Perkembangan PDRB dapat mencerminkan kinerja perekonomian suatu dae-

rah. Definisi dari PDRB adalah jumlah nilai tambah yang tercipta akibat dari

proses produksi, barang atau jasa, di suatu wilayah/regional pada suatu pe-

riode tertentu tanpa memperhatikan asal atau domisili pelaku produksi. Ke-

giatan-kegiatan basis dan nonbasis dalam perekonomian daerah akan mening-

katkan jumlah penerimaan daerah yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi

suatu daerah dapat diukur melalui perubahan dari Produk Domestik Regional

Bruto atas Harga Konstan (PDRB AHK). Penggunaan PDRB AHK untuk meng-

ukur pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk mengeluarkan efek dari inflasi.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan

penerimaan pajak daerah.

Page 57: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 37

Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel dan Nasional

Sumber: BPS, beberapa tahun.

Gambar 4.2. menunjukkan pertumbuhan ekonomi daerah sampel serta

pertumbuhan ekonomi nasional dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.

Secara umum, pertumbuhan ekonomi daerah bergerak fluktuatif namun

memiliki kecenderungan meningkat. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi

baik nasional maupun daerah sampel mengalami penurunan. Hal ini disebab-

kan karena efek melesunya perekonomian global akibat krisis finansial yang

terjadi di tahun 2008. Dua daerah sampel yakni Kota Balikpapan dan Kota

Batam memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pertumbuhan

ekonomi nasional. Kedua daerah tersebut pertumbuhan ekonominya kon-

sisten lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Seiring dengan

naiknya pertumbuhan ekonomi suatu daerah, maka terdapat peluang bagi

daerah untuk menggali potensi penerimaan pajak. PDRB AHK yang digunakan

sebagai basis perhitungan dapat merepresentasikan basis pajak yang dapat

dipungut. Ketika PDRB suatu daerah tumbuh maka basis pajak daerah juga

tumbuh sehingga pemerintah daerah seharusnya mampu mengoptimalkan

pemasukkan pajaknya.

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Badung didominasi sektor Perda-

gangan, Hotel, dan Restoran dengan kontribusi rata-rata antara tahun 2007

sampai 2011 sebesar 37,44%. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi

Page 58: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .38

di Kota Surabaya yang didominasi oleh sektor yang sama dengan kontribusi

rata-rata antara tahun 2007 sampai 2011 sebesar 45,52%. Pertumbuhan eko-

nomi di empat daerah sampel lainnya yaitu Kota Batam, Kabupaten Bandung,

Kota Balikpapan, dan Kabupaten Deli Serdang didominasi oleh Sektor

Pengolahan di mana rata-rata kontribusinya secara berurutan adalah 58,02%,

59,81%, 54,41%, dan 49, 41%. pada periode 2007 sampai 2011. Hanya Ka-

bu paten Malang yang pertumbuhan ekonominya masih didominasi oleh

Sektor Pertanian dengan kontribusi rata-rata antara tahun 2007 sampai 2011

sebesar 26,67%.

4.2.4. Tingkat Kemiskinan (Poverty Rate)

Kemiskinan merupakan salah satu isu penting yang selalu menjadi perhatian

bagi pemerintah daerah. Jika isu ini dikaitkan dengan upaya pemungutan

pajak, maka tingkat kemiskinan secara negatif mempengaruhi pertumbuhan

upaya pemungutan pajak kabupaten/kota (Nikijuluw, 2011). Perilaku ini da-

pat dijelaskan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama, kewajiban pem-

bayaran pajak bagi rumah tangga miskin akan sulit untuk dipungut oleh

pe merintah daerah daripada rumah tangga dengan pendapatan menengah

ke atas. Gambarannya, untuk pajak penerangan jalan yang dibayarkan seba-

gai bagian dari rekening listrik bulanan, keluarga miskin tetap memakai listrik

namun berstatus ilegal sehingga tidak membayar rekening listrik ataupun

membayar pajak yang merupakan bagian di dalamnya. Penjelasan kedua,

se cara umum konsumsi rumah tangga miskin yang jarang mengonsumsi

produk yang berkaitan dengan objek pajak daerah seperti restoran ataupun

hotel. Hal tersebut secara langsung berpengaruh terhadap penerimaan pajak

aktual yang rendah.

Tabel 4.5. Tingkat Kemiskinan Daerah Sampel 2007-2011 (%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kab. Badung 2,50 1,85 1,78 1,86 1,39

Kota Batam 13,55 12,79 12,45 12,62 10,28

Kab. Deli Serdang 3,41 3,18 3,24 3,01 2,77

Page 59: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 39

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kota Balikpapan 3,65 3,49 3,58 4,07 3,43

Kab. Bandung 21,66 15,26 13,23 16,51 16,17

Kota Surabaya 7,75 8,23 6,72 7,07 6,51

Kab. Malang 15,21 15,08 13,57 12,54 11,68

Rata-rata 9,68 8,56 7,79 8,24 7,46

Sumber: BPS, beberapa tahun.

Tabel 4.5. menunjukkan tren tingkat kemiskinan di daerah sampel. Ting-

kat kemiskinan rata-rata tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Bandung yaitu

se besar 16,57%, kemudian disusul oleh Kabupaten Malang sebesar 13,62%.

Rata-rata tingkat kemiskinan tahunan tertinggi untuk daerah sampel terjadi

pada tahun 2007 sebesar 9,68%.

4.3. Analisis Belanja Daerah

Ditinjau dari komposisi penggunaannya, belanja daerah dibagi menjadi be-

lanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung merupakan

gam baran dari belanja pelayanan publik di mana komposisi dari belanja lang-

sung antara lain belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja mo-

dal. Jenis belanja tidak langsung antara lain belanja pegawai, belanja bunga,

belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil

kepada provinsi/ kab-kota dan pemerintahan desa, belanja bantuan keuangan

kepada provinsi/ kab-kota dan pemerintahan desa, dan belanja tidak ter-

duga.

Tabel 4.6. Total Belanja Daerah 2007-2011 (Rp miliar)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kota Batam 801,82 744,08 1.009,99 1.211,90 1.196,71

Kab. Badung 931,86 1.054,77 1.429,45 1.319,06 1.572,21

Kab. Deli Serdang 994,24 1.184,50 1.253,44 1.333,25 1.654,87

Page 60: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .40

Kota Balikpapan 1.398,62 1.325,53 1.419,32 1.377,34 1.527,54

Kab. Bandung 1.911,38 1.480,10 1.784,09 2.106,02 2.460,24

Kota Surabaya 1.556,47 2.019,24 3.127,36 3.637,07 3.753,71

Kab. Malang 1.175,74 1.337,85 1.387,73 1.666,03 1.925,88

Rata-Rata 1.252,88 1.306,58 1.630,20 1.807,24 2.013,02

Sumber: DJPK (2008-2011)

Tabel 4.6. menunjukkan bahwa total belanja daerah sampel secara

umum mengalami kenaikan. Di tahun 2011, Kota Surabaya memiliki total

belanja paling besar diikuti oleh Kabupaten Bandung. Di sisi lain, total be-

lanja Kota Batam dan Kabupaten Badung menduduki posisi dua terbawah.

Kenyataan ini cukup kontradiktif di mana jika ditinjau dari kebutuhan penye-

dia an pelayanan publik, kedua kota tersebut seharusnya mengalokasikan

be lanja daerahnya lebih besar demi terciptanya pelayanan publik yang opti-

mal.

Tabel 4.7. Rasio Belanja Langsung terhadap Total Belanja Daerah

2007-2011(%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kota Batam 62,48 49,32 44,06 45,58 32,20

Kab. Badung 41,40 44,92 43,68 28,76 32,63

Kab. Deli Serdang 47,62 49,23 37,97 32,13 36,83

Kota Balikpapan 66,94 61,60 60,11 49,45 49,57

Kab. Bandung 39,11 33,68 25,91 28,94 30,40

Kota Surabaya 60,98 60,59 66,38 59,17 45,50

Kab. Malang 45,70 39,63 34,93 27,39 31,91

Rata-rata 52,03 48,42 43,11 37,72 37,00

Sumber: DJPK (2008-2011)

Page 61: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

GAMBARAN UMUM DAERAH SAMPEL 41

Tabel 4.7 menunjukkan rasio belanja langsung terhadap total belanja

daerah di mana daerah sampel mengalami penurunan dari tahun 2007 sam-

pai 2011. Hal ini cukup memprihatinkan karena seharusnya sebagian besar

penerimaan daerah digunakan untuk pemenuhan layanan publik agar wajib

pajak secara sukarela berkeinginan untuk membayar pajak.

Tabel 4.8. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah

2007-2011 (%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kota Batam 22,89 12,77 21,30 23,88 11,69

Kab. Badung 22,63 17,11 31,13 13,37 12,70

Kab. Deli Serdang 31,35 40,60 23,23 13,22 19,02

Kota Balikpapan 32,07 56,28 33,19 14,74 20,94

Kab. Bandung 19,40 27,81 8,35 9,41 7,01

Kota Surabaya 15,97 23,50 36,55 28,46 14,47

Kab. Malang 31,92 35,85 20,38 16,24 15,15

Rata-rata 25,18 30,56 24,88 17,04 14,43

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Belanja modal memiliki pengertian pengeluaran untuk pembayaran

perolehan aset dan/atau menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang mem-

beri manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal

kapitalisasi aset tetap/aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Belanja mo-

dal dipergunakan untuk membiayai belanja modal tanah, belanja modal

peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal

jalan, irigasi, dan jaringan, belanja modal Badan Layanan Umum (BLU), dan

belanja modal lainnya. Belanja modal yang tinggi menunjukkan bahwa pe-

ngeluaran pemerintah daerah juga ikut berkontribusi dalam menggerakkan

roda perekonomian daerah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana fisik

bagi rakyat di daerah tersebut.

Page 62: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .42

Tabel 4.8 menunjukkan persentase belanja modal terhadap total belanja

di daerah sampel. Tidak ada satupun daerah sampel yang memiliki persentase

di atas 50%. Dalam dua tahun terakhir, Kota Balikpapan memiliki persentase

paling tinggi di antara daerah sampel yang lain yaitu rata-rata sebesar 17,84%.

Sebaliknya Kab. Bandung hanya memiliki rata-rata persentase sebesar 8,21%

pada periode yang sama. Hal ini tidak terlepas dari konteks perencanaan na-

si onal dan karakteristik daerah yang turut menentukan tinggi atau rendahnya

rasio belanja modal suatu daerah. 5

Page 63: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

43

Analisis Kualitatif: Permasalahan Dalam Implementasi Undang-Undang No. 28 Tahun 2009

5.1. Hasil Focus Group Discussion (FGD)

Sebagaimana diuraikan pada Bab 3 bahwa penelitian ini akan meng-

gunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan

untuk menemukan masalah yang dihadapi oleh daerah dalam meng-

implementasikan UU No. 28 Tahun 2009, terutama terkait dengan pemungutan

jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif

pajak. Analisis kualitatif tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Menganalisis hasil FGD yang dilakukan di daerah sampel termasuk meng-

analisis Perda-Perda pajak daerah yang dimiliki daerah sampel; dan

2. Menganalisis jawaban responden (daerah sampel) terhadap kuesioner

yang disampaikan.

Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap hasil FGD termasuk

menghubungkannya dengan Perda pajak daerah yang dimiliki daerah sampel.

Dalam penelitian ini FGD telah dilaksanakan di tujuh daerah sampel, yaitu

Kota Batam (28 Agustus), Kabupaten Badung (5 September), Kabupaten Ban-

dung (12 September), Kota Balikpapan (19 September), Kabupaten Deliser-

5

Page 64: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .44

dang (26 September), Kota Surabaya (10 Oktober), dan Kabupaten Malang

(11 Oktober). Meskipun daerah kabupaten merasakan bahwa Undang-Un-

dang No. 28 Tahun 2009 masih terlalu bias perkotaan, namun secara umum

seluruh daerah sampel menyambut baik kehadiran UU ini, karena mampu

meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Akan tetapi, di tengah pandangan

yang demikian daerah sampel masih menghadapi berbagai masalah dalam

pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Masalah Dalam Perluasan Basis Pajak

Perluasan basis pajak dalam beberapa hal relatif sulit dilaksanakan oleh dae-

rah, sebagian karena pemahaman yang berbeda, sehingga khawatir salah

da lam melaksanakan aturan, sebagian lagi karena secara teknis perluasan

basis pajak tersebut sulit dilaksanakan. Hampir semua daerah sampel memiliki

kekhawatiran salah dalam menerapkan aturan misalnya terkait dengan

beberapa objek pajak restoran (objek jasa boga/katering) dan pajak hiburan

(panti pijat, mandi uap, fitness center) yang berpotensi bersinggungan de-

ngan PPN serta batasan/definisi PPJ yang kurang jelas/tegas untuk tenaga

listrik yang dihasilkan oleh sumber lain.

Beberapa daerah mengatakan bahwa secara teknis, perluasan basis

pajak relatif sulit dilaksanakan di daerahnya. Di Kota Batam, misalnya, hingga

saat ini belum melakukan pemungutan terhadap rumah kos (pajak hotel) dan

katering (pajak restoran) karena mendapat penolakan dari buruh. Pengenaan

pajak terhadap rumah kos dan katering akan berdampak langsung terhadap

peningkatan biaya hidup buruh, sehingga jika perluasan basis pajak tersebut

diberlakukan, mereka akan menuntut kenaikan upah. Di Kota Balikpapan,

perluasan basis pajak hotel, khususnya terhadap rumah kos, memang sudah

diberlakukan tetapi sulit dipungut karena pemilik kos pada umumnya hanya

menyediakan jumlah kamar kurang dari 10 untuk menghindari pengenaan

pajak. Padahal untuk kasus demikian seharusnya dapat diatasi dengan mem-

perhatikan nama dan alamat yang sama dari pemilik. Di Kabupaten Malang,

pajak restoran berupa objek jasa boga/katering sebagian besar tidak bisa

di pungut karena wajib pajak dari jasa boga/katering tersebut tidak berada di

Kabupaten Malang, tetapi melakukan aktivitasnya di Kabupaten Malang.

Sementara di Kota Balikpapan katering dapat dipungut tetapi dengan hasil

Page 65: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 45

yang jauh dari potensinya, karena banyak usaha katering yang tidak jujur

melaporkan omsetnya. Dispenda Kota Balikpapan mengaku sangat kesulitan

mendeteksi kebenaran dari Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dari

Pajak Restoran, tetapi mereka menduga bahwa penghitungan dan/atau pem-

ba yaran pajak restoran jauh di bawah omset yang sebenarnya.

Kabupaten Badung yang merupakan daerah tujuan wisata utama di

Indonesia punya cerita berbeda terkait dengan sulitnya melaksanakan perlu-

asan basis pajak hotel. PHRI Kabupaten Badung mengemukakan bahwa di

daerah ini lebih dari 1000 (seribu) vila dimiliki orang asing dengan penghuni

yang terus berganti. Namun karena transaksinya dilakukan di luar negeri,

maka Dispenda kesulitan memungut pajaknya. Disamping itu, ada banyak

rumah yang berubah jadi vila dengan kepemilikan yang tidak jelas (sering

berpindah) atau pembangunan vila baru yang proses izinnya untuk rumah

pribadi sehingga sulit memungut pajaknya atau bahkan seolah bebas dari

pajak. PHRI sangat keberatan dengan situasi ini karena mereka yang tidak ba-

yar pajak menjadi lebih kompetitif karena biaya operasional yang lebih rendah.

Padahal hotel-hotel yang sudah membayar pajak sebagian masih dibebani

lagi dengan pungutan “setengah resmi” lainnya yang berasal dari desa adat.

Sebagian desa adat di Kabupaten Badung menetapkan pungutan sebesar

Rp.2,5 juta per hotel per tahun atau US$ 1 per kamar per tahun un tuk mem-

bantu aktivitas sosial kemasyarakatan di desa serta adanya kewajiban mem-

bayar retribusi pengelolaan limbah sebesar Rp.100 ribu per kamar per bulan.

KOTAK 1.

POTENSI PERLUASAN BASIS PAJAK RESTORAN YANG BELUM

DIOPTIMALKAN DI KABUPATEN BADUNG

PHRI Badung juga menceritakan besarnya potensi perluasan basis pajak res-

toran yang tidak bisa direalisasikan karena ribuan turis datang ke Bali dalam

setiap bulan melalui biro jasa travel dengan pola pembayaran berdasarkan

pilihan paket tertentu. Di dalam paket tersebut sudah termasuk makan yang

biasanya diarahkan ke rumah (lokasi tertentu) yang juga dimiliki oleh peng-

usaha biro jasa travel yang bersangkutan. Lokasi tempat makan dimaksud

sebenarnya tidak punya izin restoran sehingga Dispenda tidak melakukan pe-

mungutan pajaknya.

Page 66: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .46

2. Masalah Dalam Penetapan Tarif Pajak

Salah satu perubahan penting dari UU No. 28 Tahun 2009 adalah adanya

keleluasaan dalam menetapkan tarif pajak. UU No. 28 Tahun 2009 memang

hanya mengatur batas maksimum atau minimum sehingga daerah diharapkan

dapat menetapkan tarif sendiri sesuai dengan karakteristik daerahnya. Jika

pemerintah daerah menganggap perlu kebijakan fiskal yang lebih lunak

untuk menarik investasi di daerahnya agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi,

maka daerah itu dapat saja menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah

dari batas maksimum atau bahkan nol (sementara tidak mengenakan pajak

daerah). Meskipun demikian, ternyata, berdasarkan informasi yang diperoleh

dalam FGD, sebagian besar daerah hanya sekedar mengikuti batasan maksi-

mum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Dae-

rah belum bisa menetapkan tarif pajak yang sesuai dengan karakteristiknya.

Sebagai gambaran, untuk pajak hotel, ketujuh daerah sampel mene-

tapkan tarif maksimum yaitu 10%. Hanya Kota Surabaya yang memberi se-

dikit variasi, itupun hanya dikenakan untuk rumah kos, dengan tarif lebih

rendah yaitu hanya 5%. Untuk pajak restoran semua daerah sampel juga

menetapkan tarif maksimum yaitu 10% dengan variasi pada omset penjualan,

dimana di Kota Surabaya hanya dikenakan pada restoran yang omsetnya di

atas Rp.15 juta dan di Kota Balikpapan di atas Rp.42 juta serta dengan tarif

hanya 5% khusus bagi restoran yang pola penjualannya tidak permanen.

Untuk pajak BPHTB semua daerah sampel juga menetapkan tarif pajak mak-

simum yaitu 5% dengan NPOP-TKP yang sebagian besar juga mengikuti UU

No. 28 Tahun 2009 yaitu minimal Rp.60 juta, kecuali Kota Surabaya (Rp.75

juta) dan Kota Batam (Rp.70 juta).

Khusus untuk PBB P2, pemerintah daerah sepertinya hanya saling meniru

dalam penetapan tarifnya dengan besaran tarif yang terkonsentrasi pada dua

kelas, yaitu NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

dikenakan tarif sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun dan NJOP di

atas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,2%

(nol koma dua persen) per tahun.

Page 67: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 47

KOTAK 2.

KREATIVITAS KOTA SURABAYA DAN KABUPATEN BADUNG

DALAM PENETAPAN TARIF PBB P2

Kota Surabaya mengatur variasi tarif yang sangat menarik, dimana:

Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan dapat menimbulkan

gangguan terhadap lingkungan, maka dikenakan tambahan tarif sebesar

50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang normal,

sehingga menjadi sebagai berikut :

a) untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar ru piah)

ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) per tahun;

b) untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetap-

kan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) per tahun.

Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan ramah lingkungan

dan/atau merupakan bangunan atau lingkungan cagar budaya, maka

dapat diberikan pengurangan sebesar 50 % (lima puluh persen) dari tarif

Pajak Bumi dan Bangunan yang normal, sehingga menjadi sebagai ber-

ikut:

a) untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar ru-

piah) ditetapkan sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen) per

tahun;

b) untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetap-

kan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun.

Variasi tarif PBB P2 yang sangat menarik juga ditemukan di Kabupaten

Badung, dimana Bupati memberikan keringanan PBB kepada petani berupa

pe ngurangan tarif sebesar 20% s.d. 80% tergantung pada zona wilayah dan

pembebasan PBB secara penuh di zona hijau.

Berdasarkan informasi yang diperoleh pada saat FGD, ternyata daerah

masih menghadapi beberapa masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu

an tara lain:

a) Sebagian daerah belum memiliki SDM yang kompeten dalam bidang

ke uangan daerah, memahami karakteristik daerah dan mampu me la ku-

Page 68: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .48

kan simulasi untuk menghitung dampak penetapan tarif pajak terhadap

kondisi ekonomi dan penerimaan daerah. Banyak daerah menganggap

semakin tinggi tarif akan semakin tinggi pendapatan dan semakin baik

keadaan ekonomi di daerahnya.

b) Masih cukup banyak daerah yang menerjemahkan tarif dalam UU No.

28 Tahun 2009 sebagai batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa perlu

lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya.

c) Ada daerah yang tidak menyadari bahwa UU No. 28 Tahun 2009 telah

memberikan kewenangan penetapan tarif kepada daerah sepanjang

masih dalam batas maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam

UU. Namun demikian, di dalam FGD terungkap ada daerah yang meng-

usulkan ke pemerintah pusat agar tarif untuk waris atau hibah wasiat

ditiadakan saja atau nol. Pasal 88 UU No. 28 Tahun 2009 telah mengatur

bahwa tarif BPHTB paling tinggi sebesar 5%, yang berarti daerah dapat

menetapkan 0%. Padahal jika daerah menginginkan demikian sebenarnya

tinggal diatur dalam perda saja dengan memberikan tarif nol persen

untuk waris atau hibah wasiat.

d) Penetapan batasan minimum NPOP-TKP yang sebesar Rp.60 juta dira sa-

kan terlalu tinggi bagi daerah kabupaten sehingga potensi penerimaan

mereka jauh lebih rendah. Namun, bagi daerah tertentu yang merupakan

kota besar dengan harga tanah dan bangunan yang relatif tinggi, NPOP-

TKP Rp.60 juta tentu saja masih rendah, tetapi ternyata banyak kota

besar yang tetap saja menggunakan NPOP-TKP Rp.60 juta dalam Perda

mereka.

e) Penetapan tarif pajak daerah seringkali belum melibatkan stakeholders

(seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang menda-

pat dukungan dan komitmen dalam pelaksanaannya.

3. Masalah Dalam Pemungutan Jenis Pajak Baru

Terkait dengan pemungutan dua jenis pajak baru, yaitu BPHTB dan PBB P2

daerah mengemukakan bahwa mereka masih menghadapi berbagai masalah

dalam pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain:

Page 69: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 49

a) Minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola BPHTB dan PBB-P2

Daerah mengatakan bahwa mereka memiliki kesiapan yang minim untuk

melakukan pemungutan BPHTB dan PBB-P2. Kesiapan yang minim tersebut

terutama disebabkan oleh terbatasnya waktu dan kurangnya SDM baik dari

aspek kualitas maupun kuantitas untuk mempersiapkan semua hal terkait

dengan pengalihan kedua jenis pajak ini. Akibatnya, Perda yang menjadi da-

sar pemungutan pajak daerah tersebut dalam beberapa bagian tampak me-

miliki kelemahan karena cenderung hanya meniru dari pusat atau perda dari

daerah lain yang karakteristiknya belum tentu sama.

Keluhan tentang kekurangan SDM dapat dipahami, tetapi keluhan lain

terutama terkait dengan minimnya waktu persiapan terasa sangat janggal

karena daerah sebenarnya memiliki waktu yang cukup untuk melakukan

persiapan. Pengalihan BPHTB dan PBB P2 tidak serta merta harus dilakukan

setelah UU No. 28 tahun 2009 disahkan. Sebenarnya, terdapat waktu per-

siapan yang cukup panjang, dimana untuk BPHTB diberikan waktu satu tahun

karena baru mulai wajib dipungut sejak 1 Januari 2011 serta PBB P2 memiliki

waktu persiapan lebih lama lagi karena baru wajib dipungut sejak 1 Januari

2014. Kejanggalan ini makin terasa mengingat ada beberapa daerah yang

telah melakukan pemungutan PBB P2 bahkan 3 tahun lebih awal dari yang

seharusnya (berarti waktu persiapannya jauh lebih pendek), seperti Kota

Sura baya dan Kabupaten Deli Serdang, dimana daerah tersebut sukses mem-

peroleh penerimaan yang lebih tinggi.

b) Ketidaksiapan struktur SKPD

Meskipun kewenangan sepenuhnya sudah ada di daerah, namun masih ada

beberapa daerah yang mengeluhkan ketidaksiapan struktur SKPD. Struktur

Dispenda yang ada sekarang dianggap belum cukup kuat untuk melaksanakan

pemungutan dua jenis pajak baru tersebut. Kabupaten Malang bahkan me-

ngeluhkan struktur yang ada sekarang dimana Dispenda dileburkan ke dalam

Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) sehingga

dengan struktur yang ada itu cukup berat untuk mengoptimalkan pelaksanaan

proses pemungutan BPHTB dan PBB P2. Keluhan terhadap struktur Dispenda

ini sebenarnya tidak perlu ada mengingat kewenangan merubah struktur

Page 70: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .50

SKPD sepenuhnya berada pada Pemerintahan Daerah. Jika daerah merasa

memerlukan pejabat setingkat eselon 3 untuk fokus melaksanakan pemu-

ngut an PBB P2 dan BPHTB, maka daerah tinggal melakukan revisi terhadap

Perda yang mengatur tentang struktur SKPD.

Beruntung bahwa struktur yang kurang siap itu secara umum mem-

peroleh bantuan dari KPP terutama dalam hal ketersediaan data, SOP, dan IT

serta peningkatan kompetensi dan atau melakukan pendampingan staf.

Ham pir semua daerah mengemukakan bahwa hubungan mereka dengan

KPP berjalan sangat baik. Di saat FGD sama sekali tidak diperoleh ungkapan

ketidakpuasan daerah terhadap KPP. Di Kota Batam malahan ada tim KPP

yang di SK kan walikota dan diberi honor untuk mensukseskan pemungutan

BPHTB dan PBB P2.

Gambaran ketidakpuasan sebaliknya justru datang dari KPP, khususnya

di Kabupaten Deli Serdang. Dimana KPP Deli Serdang merasa bahwa respon

Dispenda kurang optimal dengan mengatakan bahwa Dispenda jarang sekali

berkomunikasi dengan KPP dan saat menemukan masalah, biasanya Dispenda

hanya meminta Wajib Pajak (WP) untuk datang langsung ke KPP. Padahal,

setelah pengalihan BPHTB dan PBB P2 seharusnya tidak boleh lagi WP berko-

munikasi langsung dengan KPP terkait dengan persoalan pajak daerah. KPP

mengakui bahwa penyebab utama dari masalah ini adalah struktur Dispenda

yang terlalu lama tidak memiliki pimpinan definitif. Lebih dari 5 (lima) kali

kepala Dispenda Kabupaten Deli Serdang dijabat oleh seorang Pelaksana

Tugas (PLT) sehingga tidak fokus dalam memimpin Dispenda.

c) Validasi atau verifikasi penetapan BPHTB

Waktu validasi atau verifikasi penetapan BPHTB yang relatif lama menjadi

salah satu masalah yang dikeluhkan oleh Notaris dan REI di hampir semua

daerah sampel. Pada saat BPHTB dikelola oleh KPP waktu validasi paling lama

hanya 3 hari, tetapi sekarang setelah dikelola Dispenda waktu validasi bisa

mencapai 6 bulan. Lamanya proses validasi di Dispenda menyebabkan proses

penerbitan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga menjadi lebih

lama. Di Kota Balikpapan, notaris yang hadir saat FGD mengeluhkan lamanya

waktu validasi yang bahkan pernah mencapai 6 bulan, sehingga tahun 2012

sempat terjadi “salah pengertian” antara Notaris/PPAT dengan Dispenda.

Page 71: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 51

Disamping itu, notaris menganggap validasi sebagai bentuk ketidak-

percayaan Dispenda terhadap mereka. Padahal, notaris mengatakan bahwa

dalam jual beli tanah dan atau bangunan posisi mereka sebetulnya sekedar

mengikuti saja kesepakatan harga diantara penjual dan pembeli sehingga

sangat tidak pantas kalau mereka dicurigai sebagai pihak yang merekayasa

harga jual untuk mengurangi beban pajak. Notaris di Kota Balikpapan bahkan

mengatakan sangat tidak nyaman bekerja mengurus BPHTB di bawah ke-

curigaan Dispenda. Oleh karena itu, Notaris menyambut baik lahirnya Surat

Edaran Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Nomor 5 Tahun 2013 yang

tidak lagi mensyaratkan adanya pengecekan tanda bukti setoran BPHTB pada

kantor instansi yang berwenang.

Sebaliknya, Dispenda Batam justru melihat pentingnya validasi untuk

mengetahui harga riil tanah dan atau bangunan. Melalui mekanisme validasi

inilah bisa didekatkan jarak antara NJOP dengan harga pasar. Oleh karena itu

Dispenda Batam mengusulkan penguatan mekanisme validasi ini melalui se-

buah peraturan pusat misalnya Peraturan Pemerintah.

d) SE BPN No. 5 Tahun 2013 tentang tidak perlunya verifikasi

Meskipun SE BPN No. 5 Tahun 2013 hanya ditujukan untuk mengatur ke

dalam lingkup BPN saja, tetapi kehadiran SE ini sangat dikeluhkan oleh seba-

gian besar pemerintah daerah. Kota Balikpapan bahkan bereaksi sangat keras

dengan mengatakan bahwa SE tersebut bertentangan dengan UU No. 28 Tahun

2009 yang mensyaratkan adanya validasi/verfikasi. Hal yang sama disampaikan

oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, Kabupaten Malang, Kabupaten Badung,

dan Kota Batam.

Hanya Kota Surabaya dan Kabupaten Deli Serdang yang sama sekali

tidak mengeluhkan kehadiran SE BPN itu, dimana mereka memahami bahwa

SE itu hanya untuk mempercepat proses administrasi di lingkungan BPN. Me-

nu rut kedua daerah ini, tanpa adanya SE BPN pun sebenarnya daerah harus

bisa mempercepat proses validasi/verifikasi.

Page 72: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .52

e) NJOP terlalu rendah dari harga pasar

Meskipun kewenangan untuk menyesuaikan NJOP sudah menjadi tugas dae-

rah, tetapi keseluruhan daerah sampel masih saja mengeluhkan rendahnya

NJOP jika dibandingkan dengan harga pasar. NJOP yang rendah tersebut

menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya penerimaaan pajak daerah.

Padahal, jika NJOP dianggap terlalu rendah, daerah tinggal melakukan kajian

dengan melibatkan stakeholders pajak daerah untuk menyesuaikan nilainya.

Untuk itu, daerah dapat menciptakan mekanisme penyesuaian yang melibat-

kan appraisal serta dengan mendengarkan masukan dari para pemangku

kepentingan agar tidak terjadi gejolak sebagai akibat dari perubahan NJOP

tersebut.

f) Kompetensi SDM kurang (pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan)

Bisa dipahami jika banyak daerah yang mengeluh kekurangan tenaga terampil

untuk mengelola jenis pajak baru bagi daerah. Pengalihan BPHTB dan PBB P2

memang membutuhkan staf yang secara teknis bisa melakukan pendataan,

penilaian, pengadministrasian, dan pelayanan dengan baik kepada wajib

pajak. Staf yang memenuhi kualifikasi itu memang masih sangat terbatas di

daerah. Oleh karena itulah dalam masa transisi pendampingan atau kerjasama

dengan KPP menjadi sebuah keniscayaan. Lebih dari itu, beberapa staf Dis-

penda bahkan diikutkan dalam pelatihan dan atau pendidikan di STAN.

Namun demikian, fakta unik juga ditemukan di beberapa daerah dimana

terdapat tenaga fungsional yang sudah dilatih atau sudah menyelesaikan

pendidikan terkait dengan pengelolaan PBB P2 dan BPHTB tetapi tidak di-

fung sikan sesuai keahliannya. Di Kota Batam misalnya terdapat tenaga fung-

sional penilai PBB yang ditugaskan diluar keahliannya padahal tenaganya

sa ngat dibutuhkan oleh Dispenda. Di Kabupaten Deli Serdang, ada staf yang

setelah menyelesaikan pendidikan atau pelatihan justru dimutasi ke SKPD

lain yang tupoksinya tidak terkait dengan pengelolaan pajak daerah.

g) Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat

Pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah dan perubahan peraturan sebagai

akibat pengalihan itu perlu diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu

Page 73: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 53

dilakukan sosialisasi yang sistematis dan intensif terutama untuk menjelaskan

proses pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah sekaligus untuk meningkatkan

kesadaran masyarakat dalam membayar pajak daerah. Namun dari hasil FGD

diketahui bahwa secara umum daerah masih menganggap pengalihan ini

sebagai hal yang biasa saja yang tidak memerlukan respon kebijakan khusus.

Hanya Kota Surabaya dan Kabupaten Badung yang menceritakan bahwa

mereka melakukan pola sosialisasi yang berbeda sebagai akibat adanya

pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah.

KOTAK 3.

KREATIVITAS KOTA SURABAYA DAN KABUPATEN BADUNG

MELAKUKAN SOSIALISASI

Kota Surabaya melakukan sosialisasi yang unik “door to door” dengan meman-

faatkan semua petugas Dispenda, tanpa kecuali. Sosialisasi ini berlangsung

dengan sistematis dan masal sehingga menghasilkan peningkatan penerimaan

pajak daerah yang relatif tinggi. Namun demikian, diakui oleh Dispenda bahwa

keberhasilan kepemimpinan walikota Surabaya saat ini sangat memudahkan

mereka menggugah kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Ada ba-

nyak contoh kebijakan walikota yang secara luas sangat disenangi masyarakat

Surabaya.

Cara yang berbeda dilakukan oleh Kabupaten Badung, dimana mereka

melibatkan tokoh-tokoh adat dari setiap desa adat untuk melakukan sosialisasi.

Khusus untuk PBB P2, model sosialisasi yang dilakukan adalah berupa pekan

PBB di masing-masing banjar (desa adat) dengan memanfaatkan LPD (Lembaga

Perwakilan Desa). Keterlibatan tokoh adat ini tidak hanya saat sosialisasi tetapi

juga pada saat mendistribusikan SPT kepada wajib pajak. Sebagai imbal balik

dari keterlibatannya, para tokoh adat ini memperoleh insentif dari Dispenda

berupa upah pungut. Kerja sama dengan tokoh adat selama ini menjadi salah

satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya penerimaan pajak daerah

Kabupaten Badung.

Page 74: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .54

h) Piutang PBB

Pengalihan PBB P2 ke daerah sudah barang tentu juga diikuti oleh pengalihan

piutang PBB-nya. Meskipun daerah senang dengan adanya pengalihan PBB

P2 ini, tetapi hampir semuanya mengeluhkan adanya pengalihan piutang

yang relatif besar. Keluhan daerah terutama diarahkan pada ketidakakuratan

data yang sangat menyulitkan mereka dalam melakukan penagihan. Daerah

sangat khawatir piutang PBB ini membebani APBD karena terus tercatat se-

bagai piutang yang akan jadi temuan BPK dan dikemudian hari sangat poten-

sial menjadi masalah hukum.

4. Masalah lainnya

a) Pemungutan diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009

Meskipun bersifat closed list, tetap saja ada daerah yang melakukan pemu-

ngutan diluar yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Di Kabupaten Ba-

dung, misalnya, ada pungutan sebesar Rp.100 ribu per kamar per bulan

un tuk saluran limbah, pungutan setengah resmi untuk desa adat sebesar

Rp.2,5 juta per tahun per hotel atau US$ 1 per kamar per tahun. Artinya UU

ini dianggap belum mampu melindungi WP dari pungutan-pungutan selain

yang ditetapkan dalam UU. Di Kota Batam, Pajak Reklame masih terus dipu-

ngut oleh Badan Pengelola (BP) Otorita Batam dan PBB yang diberlakukan di

Bandara Batam juga dikelola BP Otorita Batam. Menurut BP Otorita Batam

bebas pajak, tapi di buku dispenda tetap jadi tunggakan pajak. Dispenda

Kota Batam tengah mempersiapkan untuk meneruskan masalah ini ke ranah

hukum.

Di Kabupaten Deli Serdang ditemukan hal yang berbeda dimana salah

satu obyek wisata disana menetapkan pungutan masuk yang sebagian dari

pungutan tersebut dinyatakan sebagai retribusi bagi pemerintah daerah. Hal

ini tidak tepat mengingat tidak adanya layanan pemerintah daerah dalam

pengelolaan obyek wisata tersebut serta pemungutan retribusinya yang tidak

dilakukan aparat pemerintah daerah, melainkan dipungut oleh swasta.

Page 75: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 55

b) Insentif pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan

Di beberapa daerah sampel yang didatangi diperoleh keluhan dari PHRI bah-

wa hampir tidak ada imbal balik dari pajak yang mereka kumpulkan untuk

meningkatkan pariwisata. Oleh karena itu, PHRI meminta adanya semacam

upah pungut atas pajak hotel, pajak restauran, dan pajak hiburan yang akan

digunakan untuk promosi wisata.

c) Proses evaluasi Raperda di Provinsi belum berjalan efektif

Proses evaluasi Raperda di tingkat provinsi meskipun terkesan hanya sekedar

formalitas saja tapi seringkali membutuhkan waktu yang relatif lama. Padahal,

hampir tidak ada usul perbaikan yang substansial diperoleh dari proses eva-

luasi tersebut.

d) Monopoli Bank

Di beberapa daerah, seperti di Kota Balikpapan dan Kabupaten Bandung,

proses pembayaran pajak daerah hanya diperbolehkan melalui bank daerah,

yaitu Bank Jabar untuk Kabupaten Bandung dan Bank Kaltim untuk Kota

Balikpapan. Monopoli bank seperti ini sangat dikeluhkan oleh notaris/PPAT

karena dapat memperlambat proses pembayaran. Menurut notaris/PPAT,

akan jauh lebih nyaman jika daerah juga menggunakan bank lain agar terjadi

kompetisi pelayanan diantara berbagai bank tersebut.

5.2. Hasil Kuesioner

1) Keberadaan Perda tentang Pajak Daerah yang Mengacu Pada UU No. 28 Tahun 2009 dan Kesesuaian Penetapan Target Penerimaan Pajak dengan Potensi Daerah

Seluruh daerah sampel penelitian, yaitu Kota Batam, Kabupaten Badung,

Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Sura-

baya, dan Kabupaten Malang telah menyusun Perda tentang pajak hotel,

pajak restoran, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, PBB P2, dan BPHTB

dengan mengacu pada UU No. 28/2009. Sebagian besar Dispenda atau DPP-

KAD di daerah sampel penelitian memiliki persepsi bahwa target penerimaan

Page 76: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .56

pajak tepat dengan potensi yang dimiliki daerah. Daerah-daerah tersebut

adalah Kota Batam, Kabupaten Bandung, Kabupaten Malang, dan Kota Sura-

baya. Sementara itu, Kabupaten Badung memiliki persepsi bahwa target pe-

nerimaan pajaknya telah diestimasi sangat tepat dengan potensi yang dimi-

likinya. Sebaliknya, Kabupaten Deli Serdang berpersepsi bahwa estimasi tar-

get penerimaan pajaknya kurang tepat dengan potensi penerimaan pajaknya.

Persepsi mengenai kesesuaian target penerimaan pajak dengan potensi yang

dimiliki masing-masing daerah ini tercermin juga dalam diskusi yang muncul

pada saat FGD.

2) Peluang dan Tantangan yang Dihadapi oleh Daerah dalam Merealisasikan Potensi Pajak Daerah

Berikut ini merupakan peluang dan tantangan yang dihadapi oleh daerah

sampel penelitian dalam merealisasikan potensi penerimaan pajaknya.

a. Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan

Persepsi daerah sampel penelitian tentang peluang dan tantangan yang

dihadapi Dispenda atau DPPKAD mengenai pajak hotel serupa dengan pajak

restoran dan pajak hiburan. Seluruh daerah sampel penelitian menyatakan

bahwa kesadaran masyarakat akan pembayaran pajak masih rendah. Kota

Batam mengalami kesulitan dalam memperoleh data riil tentang basis pajak

hotel. Kabupaten Badung melihat potensi yang perlu dioptimalisasi. Wajib

pajak di Kabupaten Badung masih kurang kesadarannya untuk melaksanakan

kewajiban pajaknya. Wajib pajak di Kabupaten Bandung juga memiliki peri-

laku yang sama. Meskipun demikian, terdapat fenomena meningkatnya pe-

ne rimaan pajak hotel. Kota Balikpapan tidak melihat adanya peluang lagi dari

sektor perhotelan dan kejujuran wajib pajak dalam memperhitungkan pajak

terhutang masih rendah. Kabupaten Deli Serdang memandang masih adanya

peluang dari pajak hotel, namun masyarakatnya berperilaku menghindari

pa jak dan pengetahuan masyarakat akan pajak masih rendah. Kabupaten

Malang memiliki banyak objek wisata sehingga potensi penerimaan pajak

hotel tinggi. Namun, belum ada hotel berbintang di kabupaten ini. Hotel-ho-

tel yang ada berklasifikasi melati atau di bawahnya. Kemudian, Kota Surabaya

telah memiliki tim pemeriksa pajak. Hal ini diharapkan akan lebih meningkatkan

Page 77: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 57

performa koleksi pajak hotel. Kota Surabaya juga masih memiliki peluang

un tuk pajak restoran dengan mengandalkan wisata kuliner. Sementara itu,

di Kabupaten Malang, sebagian besar tempat penjualan kuliner masih ber-

wujud warung sehingga belum memiliki sistem penjualan yang menggunakan

billing statement. Tantangan yang dihadapi dalam penerimaan pajak hiburan

di Kabupaten Malang adalah banyaknya objek wisata di Kota Batu sehingga

menurunkan jumlah pengunjung di objek wisata di Kabupaten Malang.

b. Pajak Penerangan Jalan

Kurangnya kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya merupakan

persepsi yang seragam di daerah sampel penelitian. Di Kabupaten Badung,

administrasi pajak penerangan jalan masih ditangani oleh PLN sehingga

diperlukan koordinasi yang lebih intensif agar penerimaannya optimal. Di

Kota Balikpapan, terdapat perbedaan data basis pajak, yaitu aset pemerintah

kota selalu lebih tinggi daripada data PLN. Kota Surabaya memiliki potensi

penerimaan yang meningkat dengan bertambahnya sumber daya dan pen-

daftar. Sementara itu, di Kabupaten Bandung, kesadaran wajib pajak untuk

jenis pajak penerangan jalan adalah yang paling rendah dibandingkan de-

ngan jenis pajak lainnya.

c. PBB P2 dan BPHTB

Kabupaten Badung menganggap bahwa dengan diserahkannya koleksi PBB

P2 ke daerah, maka potensi penerimaannya dapat digarap dengan lebih opti-

mal. Namun demikian, capacity building untuk SDM sangat diperlukan. Di

Kota Balikpapan, NJOP PBB terlalu rendah dibandingkan dengan harga pasar.

Di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Serdang, kesadaran masyarakat

dalam membayar pajak masih rendah. Di Kabupaten Malang, PBB P2 meru-

pakan objek pajak baru yang masih dapat dimaksimalkan terutama di area

dimana bermunculan bangunan-bangunan baru dan belum masuk dalam

database, sementara untuk objek pajak selain PBB, upaya peningkatannya

sudah klimaks sampai titik jenuh, yakni terbentur pada ketidakpatuhan wajib

pajak dalam memenuhi kewajiban. Di Kabupaten Badung, akan banyak tran-

saksi yang akan meningkatkan BPHTB karena Kabupaten Badung merupakan

daerah pariwisata. Sementara itu, koordinasi dengan Notaris dan BPN diper-

Page 78: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .58

lukan agar potensi lebih dapat digarap. Potensi di Kabupaten Deli Serdang

masih terbuka untuk digarap penerimaannya. Di Kota Balikpapan, tingkat

kejujuran dalam mengungkapkan harga masih sangat rendah. Demikian pula

yang terjadi di Kabupaten Malang. Wajib pajak berusaha memperkecil atau

melaporkan NPOP yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya dengan berpe-

doman pada NJOP PBB. Akibatnya, NJOP PBB di Kabupaten Malang saat ini

masih jauh di bawah harga pasar.

3) Persiapan Kabupaten/Kota dalam Pemungutan PBB P2 dan BPHTB

Seluruh daerah sampel penelitian melakukan upaya persiapan dalam pemu-

ngutan PBB P2 dan BPHTB. Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kota

Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang telah mulai memungut PBB P2.

Kabupaten Deli Serdang membuka loket-loket pembayaran di area potensial

di hari Sabtu-Minggu menjelang jatuh tempo. Di Kabupaten Malang, PBB P2

akan dipungut oleh mulai 1 Januari 2014. Pemkab Malang saat ini telah

meng antisipasi persiapan pengalihan PBB P2 menjadi pajak daerah dengan

mempersiapkan lembaga yang akan menangani secara khusus, mempersiapkan

payung hukum berupa peraturan daerah dan beberapa peraturan bupati

terkait dengan pelaksanaan pemungutan PBB P2 serta draft keputusan kepala

dinas SOP pelaksanaan pemungutan PBB P2, mempersiapkan hardware/soft-

ware untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak

pratama Singosari dan Kepanjen, mempersiapkan SDM terkait dengan penge-

lolaan PBB P2, mempersiapkan tempat-tempat pembayaran PBB P2 bekerja

sama dengan Bank Jatim. Dalam pemungutan BPHTB, surat edaran dari BPN

tentang verifikasi berdampak terhadap menurunnya penerimaan BPHTB.

Kabupaten Deli Serdang membentuk tim verifikasi untuk mengontrol besar-

kecil ketetapan pajak.

4) Persepsi Kabupaten/Kota dalam Administrasi Perpajakan

Mayoritas daerah sampel penelitian menyetujui pernyataan bahwa adminis-

trasi perpajakan dilaksanakan dengan baik. Namun demikian, bias akan per-

Page 79: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 59

sepsi ini sangat mungkin muncul karena responden kuesioner adalah aparat

Dispenda dan DPPKAD. Hanya Kota Batam dan Kabupaten Bandung yang

tidak setuju bahwa pendaftaran dan pendataan pajak telah berjalan dengan

baik di beberapa item seperti kesadaran wajib pajak. Persepsi tidak setuju

juga ditemukan di Kabupaten Malang dan Kabupaten Bandung tentang

memadainya jumlah tenaga administrasi untuk pendataan dan pendaftaran.

Secara lengkap, administrasi perpajakan tersebut meliputi: i) sistem pendataan

dan pendaftaran wajib pajak, ii) jumlah tenaga administratif untuk pendataan

dan pendaftaran wajib pajak, iii) kualitas tenaga administratif untuk pen-

dataan dan pendaftaran wajib pajak, iv) kelengkapan operasional untuk

pendataan dan pendaftaran wajib pajak, v) koordinasi antar lembaga terkait

dalam pendataan dan pendaftaran wajib pajak, vi) pengalaman tenaga ad-

ministrasi untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak, vii) kesadaran pe-

tugas pendataan dan pendaftaran wajib pajak, viii) kesadaran wajib pajak

untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak.

Untuk penetapan, pemungutan, pembukuan dan pelaporan pajak, mo-

dus persepsi daerah sampel penelitian adalah setuju bahwa pengadminis tra-

si annya telah berjalan baik. Hanya Kabupaten Bandung yang tidak menyetujui

bahwa koordinasi penetapan pajak dan sistem pengumpulan pajak telah

berjalan baik. Hanya Kabupaten Bandung pula yang tidak menyetujui bahwa

kualitas tenaga administrasi dan kelengkapan operasional pemungutan pajak

telah memadai.

5) Profil Kabupaten Kota dalam Peningkatan/Penurunan Penerimaan Pajak

Sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 seluruh daerah sampel peneli ti-

an menyatakan bahwa terjadi peningkatan penerimaan pajak. Seluruh ka bu-

paten/kota yang merupakan sampel penelitian mengalami trend penerimaan

pajak yang meningkat.

Page 80: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .60

Gambar 5.1. Tren Penerimaan Realisasi Pajak Daerah Sampel, Tahun 2007-2011

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

6) Realisasi Penerimaan Pajak Dibandingkan dengan Potensinya dan Faktor-faktor Penghambat yang Dialami Kabupaten/Kota

Dibandingkan dengan potensi penerimaan pajaknya, daerah yang realisasi

penerimaannya mendekati magnitude potensinya adalah Kota Batam,

Kabupaten Bandung, dan Kota Balikpapan. Sedangkan daerah yang realisasi

penerimaan pajaknya hampir sama dengan potensinya adalah Kabupaten

Badung, Kabupaten Deli Serdang, Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang.

Sementara itu, faktor-faktor yang merupakan penghambat yang dialami

mayoritas daerah sampel penelitian adalah: i) rendahnya kesadaran masya-

rakat dalam membayar pajak, ii) rendahnya pengetahuan masyarakat akan

pajak, iii) tingginya penghindaran pajak, iv) tingginya tunggakan pajak, v)

kurang tegasnya sanksi pajak, vi) kurangnya petugas pemungut pajak.

Page 81: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUALITATIF: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG . . . 61

7) Sistem Penghargaan, Penerimaan Pajak, Pelayanan Pembayaran Pajak, dan Pelayanan Publik

Hampir seluruh daerah menggunakan sistem upah pungut untuk jenis reward

dalam koleksi pajak. Hanya Kabupaten Malang yang menggunakan sistem

insentif pajak daerah. Selain Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Ser-

dang, semua kabupaten/kota sampel penelitian meyakini hubungan antara

penentuan pajak dan pelayanan publik. Sementara itu, kecuali Kabupaten

Deli Serdang, seluruh kabupaten/kota sampel penelitian meyakini bahwa

penerimaan pajak akan meningkat selaras dengan meningkatnya pelayanan

publik. Dalam penyelenggaraan one stop service untuk pajak daerah, hanya

Kota Batam dan Kabupaten Malang yang memilikinya. Kabupaten Badung,

Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota

Surabaya belum memilikinya.

Hal yang perlu dilakukan agar penetapan target penerimaan pajak lebih

tepat dengan potensinya serta realisasinya dapat dioptimalkan di daerah

sampel penelitian adalah: i) sosialisasi guna meningkatkan pemahaman wajib

pajak, ii) intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah, iii) pemutakhiran

data potensi pajak daerah, iv) penyusunan prognosis perkembangan realisasi

penerimaan pajak, v) peningkatan efisiensi dan efektifitas pemungutan pajak,

vi) kompilasi data potensi pajak antar instansi, vii) monitoring, evaluasi dan

koordinasi antar instansi.

Page 82: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

62

Analisis Kuantitatif: Pengaruh Implementasi UU No. 28 Tahun 2009 Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah

Bab ini akan menjelaskan gambaran umum pengelolaan pajak daerah

di nasional dan daerah penelitian. Hal ini diperlukan untuk melihat

gambaran umum dampak adanya UU No. 28 Tahun 2009 terhadap

pe ne rimaan daerah.

6.1. Analisis Perkembangan Pajak Daerah

Gambar 1 dibawah ini menggambarkan rata – rata rasio pajak agregrat pro-

vinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2012. Pada tahun 2012 rata-rata rasio

pajak agregrat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 1,39%, sedangkan pada

tahun 2011 rata rata tersebut masih tinggi yakni 2,39% (DJPK, 2013).

6

Page 83: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 63

Gambar 6.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun 2012

Sumber: DJPK, 2013

Hal ini menggambarkan betapa dinamika penerimaan pajak daerah

masih beragam.Provinsi Bali merupakan provinsi yang memiliki rasio pajak

agregrat tertinggi yakni sebesar 3,9%, sementara itu daerah yang memiliki

rasio pajak agregrat terendah adalah Provinsi Papua yakni hanya sebesar

0,4%. Provinsi Bali memiliki rasio pajak agegrat tertinggi karena Bali meru-

pakan salah satu daerah yang memiliki aktifitas ekonomi, khususnya sektor

pariwisata, yang sangat besar, sehingga dengan tingginya kegiatan dan out-

put ekonomi yang cukup besar tersebut akan berdampak signifikan terhadap

peningkatan penerimaan pajak di provinsi Bali. Sebaliknya Provinsi Papua,

menunjukkan aktifitas dan output ekonomi yang dimiliki belum mampu

men dorong penguatan penerimaan pajak daerahnya. Hal ini dapat terjadi

mengingat kegiatan perekonomian daerahnya masih didominasi oleh penge-

lolaan sumber daya alam, dimana pajak pusat (bukan pajak daerah) mendo-

minasi tax base kegiatan perekonomian daerahnya.

Page 84: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .64

Gambar 6.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota

se-Provinsi tahun 2011 (tidak termasuk DKI Jakarta)

Sumber: DJPK, 2013

Gambar 6.2 di atas menjelaskan tentang pajak perkapita pemerintah

kabupaten dan kota se provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta). Gambar tersebut

menjelaskan bahwa hanya enam daerah yang memiliki pajak perkapita di atas

rata-rata seluruh provinsi di Indonesia sedangkan sebanyak 24 daerah masih

memilki pajak perkapita dibawah rata-rata nasional. Daerah yang memiliki

pajak perkapita di atas rata-rata yakni kabupaten kota di wilayah Provinsi Jawa

Timur, D.I. Yogyakarta, Banten, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kepu-

lauan Riau. Hal ini bisa dikatakan bahwa perekonomian di enam daerah ter-

sebut memiliki dampak dan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan

penerimaan daerah. Namun, Gambar 2 diatas juga menggambarkan jumlah

daerah yang memiliki pajak perkapita dibawah rata-rata. Hal ini menunjukkan

masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang masih belum mampu

menggali potensi dan mengelola pajak daerahnya dengan baik.

Dua gambar di atas menggambarkan betapa dinamika pengelolaan pajak

daerah masih sangat tinggi. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa UU No.

Page 85: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 65

28 Tahun 2009 masih diperlukan untuk mendorong penerimaan daerah atau

meningkatkan kapasitas fiskal.

6.2. Analisis Perbandingan Kondisi Pajak Daerah di Daerah Sampel Sebelum dan Sesudah Penerapan UU No. 28 Tahun 2009

Di bawah ini akan dijelaskan tentang kondisi pajak daerah di daerah sampel,

khususnya dampak implementasi UU No. 28 tahun 2009 terhadap penerimaan

daerah. Gambaran deskriptif ini akan membantu kita untuk memahami

apakah UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut mampu meningkatkan

kapasitas fiskal daerah atau sebaliknya belum mampu mendorong penguatan

kapasitas fiskal daerah.

Tabel 6.1. Pertumbuhan PAD Tahun 2008-2011 (%)

Daerah 2008 2009 2010 2011 Rata-rata

Kab. Badung 96,79 11,89 15,18 43,62 41,87

Kota Batam 32,36 8,43 3,00 104,73 37,13

Kab. Bandung -5,39 5,45 30,23 46,51 19,20

Kota Balikpapan 26,00 23,46 -0,42 64,92 28,49

Kab. Deli Serdang 27,64 5,90 16,27 77,37 31,79

Kota Surabaya 20,01 11,05 12,21 107,62 37,72

Kab. Malang 18,94 53,02 -15,02 32,09 22,26

Rata-rata 30,91 17,03 8,78 68,12 31,21

Nasional 18,95 9,62 8,76 45,7 20,70

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari daerah sampel tahun

2008-2011(%) dijelaskan pada tabel 6.1 di atas. Data pada tabel tersebut

men je laskan bahwa pertumbuhan PAD pada tujuh daerah sampel antara ta-

hun 2008–2011, masih sangat berfluktuatif. Pada kurun waktu 2008 sampai

Page 86: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .66

2010, ketujuh daerah sampel mengalami perlambatan pertumbuhan PAD.

Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pajak–pajak baru, dinamika ekonomi

yang melambat (adanya krisis ekonomi 2008), serta belum diterapkannya UU

28 Tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2011 dimana UU No. 28 Tahun 2009

telah diimplementasikan, pertumbuhan PAD mengalami kenaikan yang cukup

signifikan, yakni dari sebesar 8,87% menjadi 68,12%.

Tabel 6.1 diatas juga menjelaskan perkembangan PAD tahun 2008-

2011(%) pada masing-masing daerah. Pada tahun 2008-2010, Kabupaten

Badung, Kota Batam, Kota Balikpapan, Kota Surabaya, merupakan daerah

yang memiliki pertumbuhan PAD yang menurun, sedangkan daerah yang

memiliki pertumbuhan PAD yang meningkat yakni Kabupaten Bandung.

Setelah penerapan UU no 28 tahun 2009, yakni pada tahun 2011 semua

daerah sampel memiliki pertumbuhan PAD yang meningkat. Kondisi ini

mendukung pendapat bahwa UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong

kapasitas fiskal daerah, walaupun belum optimal. Hal ini terlihat dari beberapa

daerah yang memiliki pertumbuhan PAD di atas rata-rata, yakni Kabupaten

Badung, Kota Batam, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Surabaya. Tiga

daerah lainnya walaupun mengalami peningkatan, tetapi masih berada di

bawah rata-rata. Secara rata-rata, realisasi PAD daerah sampel lebih tinggi

dibandingkan dengan rata-rata nasional.

Tabel 6.2 di bawah ini menjelaskan tentang pertumbuhan realisasi pajak

daerah di daerah sampel. Pajak daerah secara empiris merupakan penerimaan

terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertumbuhan realisasi pajak

daerah di periode tahun 2008-2011 menunjukkan perkembangan yang sa-

ngat menarik. Pada periode 2008-2010, perkembangan realisasi Pajak Daerah

menunjukkan peningkatan. Khusus untuk periode 2008–2009, sebagian

besar penerimaan pajak daerah menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya

perubahan UU dimana ada perbedaan terkait dengan tax base dan tarif pa-

jak, serta adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 yang berdampak

pada penerimaan pajak daerah 2009. Pada tahun 2011, dimana sebagian

besar daerah sudah melaksanakan UU No. 28 Tahun 2009, penerimaan Pajak

Daerahnya meningkat secara signifikan. Pada tahun tersebut, penerimaan

Pajak Daerah menunjukkan nilai di atas rata-rata penerimaan Pajak Daerahnya.

Hal ini menunjukkan betapa UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong

Page 87: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 67

penerimaan Pajak Daerah. Sejalan dengan nilai rata-rata realisasi PAD, nilai

rata-rata realisasi pajak daerah sampel lebih tinggi dibandingkan nilai rata-

rata nasional.

Tabel 6.2. Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Tahun 2008-2011 (%)

Daerah Realisasi 2008

Realisasi 2009

Realisasi 2010

Realisasi 2011 Rata-rata

Kab. Badung 88,33 11,10 13,06 46,06 39,64

Kota Batam 48,10 7,45 11,13 119,92 46,65

Kab. Bandung -17,64 -7,17 23,85 132,04 32,77

Kota Balikpapan 26,08 16,85 16,09 92,63 37,91

Kab. Deli Serdang 28,59 8,95 11,05 95,24 35,96

Kota Surabaya 16,77 11,27 18,64 183,28 57,49

Kab. Malang 14,03 12,25 16,52 64,34 26,78

Rata-rata 29,18 8,67 15,67 104,79 39,60

Nasional 20,87 11,6 13,67 106,69 38,21

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Tabel 6.3 di bawah ini akan menjelaskan tentang realisasi penerimaan

dari Retribusi Daerah dari daerah–daerah sampel. Retribusi sebagai bagian

penting di dalam UU No. 28 Tahun 2009 merupakan jenis user charge (fee)

yang diperbolehkan dipungut oleh pemerintah daerah, saat pemerintah

daerah menyediakan layanan atas pungutan tersebut.

Tabel 6.3. Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah 2008-2011 (%)

Daerah 2008 2009 2010 2011 Rata-rata

Kab. Badung 36,72 3,70 96,82 -15,54 30,42

Kota Batam 22,53 -17,31 -10,60 42,34 9,24

Kab. Bandung -19,40 13,32 47,43 -45,58 -1,06

Page 88: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .68

Daerah 2008 2009 2010 2011 Rata-rata

Kota Balikpapan 4,59 5,53 4,94 -5,64 2,35

Kab. Deli Serdang 46,61 -8,37 35,27 49,16 30,67

Kota Surabaya -2,95 -4,26 11,61 14,47 4,71

Kab. Malang -49,08 32,66 21,82 24,39 7,45

Rata-rata 5,57 3,61 29,61 9,09 11,97

Nasional 14,98 -0,36 2,08 6,30 5,75

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Tabel 6.3 di atas juga menjelaskan tentang perkembangan realisasi

retribusi daerah tahun 2008 sampai 2011 di masing–masing daerah sampel.

Pada tahun 2010 pertumbuhan realisasi retribusi daerah paling besar terdapat

di Kabupaten Badung sebesar 96,82% sedangkan rata-rata realisasi retribusi

daerah paling rendah terdapat di tahun 2009 sebesar 3,61%. Daerah dengan

pertumbuhan realisasi retribusi paling rendah adalah Kota Batam yang

pertumbuhan realisasi retribusnya sampai minus 17,31%. Rendahnya pene-

rimaan retribusi ini lebih banyak dikarenakan situasi perekonomian pada

periode tersebut mengalami gangguan. Hal ini dapat dilihat bagaimana

pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah pada periode tersebut juga me-

ngalami perlambatan. Secara umum, jika dilihat rata-rata penerimaan reali-

sasi retribusi tahun 2008-2011, maka Kabupaten Deli Serdang yang memiliki

rata-rata pertumbuhan realisasi retribusi daerah paling tinggi sebesar 30,67%

diikuti oleh Kabupaten Badung sebesar 30,42% sedangkan daerah yang

memiliki rata-rata pertumbuhan retribusi daerah paling kecil terdapat di

Kabupaten Bandung yakni minus 1,06%.

Page 89: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 69

Gambar 6.3. Perkembangan Pendapatan Daerah Sampel Tahun 2007-2012

Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target

Gambar 6.3 menunjukkan perkembangan pendapatan daerah sampel

tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa

hampir semua daerah sampel selalu mengalami perkembangan pendapatan

daerah yang selalu meningkat selama kurun waktu 2007 sampai dengan

2011. Untuk tahun 2012, data yang ditampilkan adalah data anggaran (tar-

get) bukan realisasi. Kabupaten Bandung, tahun 2008, pendapatannya meng-

alami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 sedangkan di Kota

Balikpapan pendapatan daerahnya mengalami penurunan di tahun 2009 dan

2010, dari beberapa daerah yang selalu mengalami kenaikkan pendapatan

setiap tahunnya, berdasarkan gambar grafik diatas dapat ditunjukkan bahwa

Kota Surabaya merupakan daerah yang pendapatan daerahnya selalu meng-

alami peningkatan sangat signifikan. Kota Surabaya dapat mengalami

peningkatan pendapatan yang signifikan dikarenakan perkembangan

perekonomiannya yang sangat pesat. Hal itu akhirnya diikuti oleh realisasi

pe nerimaan pajak daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan.

Page 90: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .70

Gambar 6.4. Perkembangan Belanja Daerah Sampel Tahun 2007-2012

Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target

Pada gambar 6.4 di atas menggambarkan perkembangan belanja daerah

sampel tahun 2007-2012. Gambar tersebut menjelaskan seluruh daerah

sampel mengalami peningkatan belanja sejak tahun 2007 sampai dengan

2012. Gambar 6.4 tersebut juga menjelaskan bahwa dari tujuh daerah sam-

pel, Kota Surabaya merupakan daerah dengan belanja daerah paling besar.

Sejak tahun 2009 belanja daerah Surabaya selalu diatas tiga triliun rupiah.

Belanja daerah Kota Surabaya yang besar ini tidak terlepas dari jumlah pen-

dapatan daerah Kota Surabaya yang juga sangat besar.

Tabel 6.4. Pajak Per Kapita Daerah Sampel 2007-2011 (rupiah per jiwa)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kab. Badung 908.769 1.678.316 1.829.295 1.614.857 2.131.384

Kota Batam 103.614 144.753 146.819 135.009 267.648

Kab. Bandung 22.569 18.337 16.800 18.683 41.413

Kota Balikpapan 103.260 127.310 145.569 158.618 294.754

Page 91: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 71

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kab. Deli Serdang

30.312 37.811 40.044 44.415 85.915

Kota Surabaya 129.688 151.323 168.301 189.986 528.984

Kab. Malang 10.990 12.468 13.929 16.091 26.283

Rata-rata 187.029 310.045 337.251 311.094 482.340

Nasional 23.578 29.994 33.216 36.808 74.168

Sumber: DJPK dan BPS, beberapa tahun.

Berdasarkan perkembangan pajak perkapita daerah sampel tahun 2007

sampai tahun 2011 dapat diketahui bahwa pajak perkapita Kabupaten Ba-

dung paling besar jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya yang

dijadikan sampel baik di tahun 2007, 2008, 2009, 2010 bahkan ditahun

2011. Kabupaten Badung memiliki pajak per kapita paling besar dalam lima

tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Kabupaten Badung

yang menjadikan sektor wisata sebagai mesin pertumbuhan ekonomi daerah,

sehingga dengan sektor pariwisata yang meningkat secara tajam, yang juga

mendorong sektor lain untuk tetap tumbuh, dan akhirnya berdampak pada

meningkatnya penerimaan pajak daerah (khususnya basis pajak daerah) yang

diperoleh. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa secara nasional, pajak

perkapita mengalami peningkatan.

Tabel 6.5. Rasio Pajak terhadap PDRB AHB Daerah Sampel 2007-2011 (%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kab. Badung 4,22 6,67 6,03 5,88 7,81

Kota Batam 0,22 0,28 0,28 0,25 0,51

Kab. Bandung 0,19 0,13 0,12 0,13 0,27

Kota Balikpapan 0,18 0,17 0,21 0,21 0,38

Kab. Deli Serdang 0,20 0,22 0,21 0,20 0,34

Kota Surabaya 0,27 0,27 0,27 0,26 0,63

Page 92: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .72

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kab. Malang 0,12 0,12 0,12 0,13 0,18

Rata-rata 0,77 1,12 1,03 1,01 1,45

Nasional 0,16 0,13 0,13 0,13 0,24

Sumber: DJPK dan BPS, beberapa tahun.

Tabel 6.5 adalah tabel yang menjelaskan rasio pajak terhadap PDRB AHB

daerah sampel mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Data menun-

jukkan bahwa Kabupaten Badung merupakan daerah sampel yang memiliki

nilai rasio paling tinggi jika dibandingkan dengan daerah-daerah sampel

yang lainnya. Rasio pajak daerah terhadap PDRB ini menunjukkan berapa

peranan penerimaan pajak dalam mendukung output perekonomian suatu

wilayah. Sebagai suatu daerah dengan sektor pariwisata yang sangat besar,

tentu mendorong sektor ekonomi lainnya untuk tumbuh dan berkembang,

sehingga output perekonomian daerah ini juga meningkat tajam. Tabel 6.5

di atas juga menjelaskan perkembangan rasio pajak terhadap PDRB AHB an-

tara tahun 2007 sampai tahun 2011, dimana hampir semua daerah mengalami

peningkatan rasio pajak terhadap PDRB AHB. Hal ini menunjukkan semua

daerah sampel mengalami peningkatan penerimaan pajak daerah, khususnya

untuk tahun 2011, perubahan rasionya cukup signifikan.

Tabel 6.6. Rasio Pajak Terhadap PAD di Daerah Sampel Tahun

2007-2012 (%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Kab. Badung 96,06 91,93 91,28 89,60 91,13 91,40

Kota Batam 67,02 74,99 74,31 80,17 86,12 77,16

Kab. Bandung 41,02 35,71 31,43 29,89 47,34 48,24

Kota Balikpapan 55,71 55,75 52,76 61,51 71,84 75,91

Kab. Deli Serdang 66,65 67,15 69,08 65,97 72,62 84,20

Kota Surabaya 56,09 54,58 54,69 57,82 78,89 81,14

Page 93: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 73

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Kab. Malang 31,29 30,00 22,00 30,17 37,54 33,28

Rata-rata 59,12 59,58 56,51 59,31 69,36 70,19

Nasional 32,42 32,59 33,55 35,06 49,81 46,10

Sumber:DJPK, beberapa tahun; *) target

Pada tabel 6.6 di atas, tergambarkan tentang rasio pajak daerah terhadap

PAD di daerah sampel tahun 2007 sampai tahun 2012. Rasio ini dipakai un-

tuk menunjukkan berapa besar pajak daerah mampu menyumbang kepada

pendapatan asli daerah, sehingga semakin tinggi nilainya tentu menggam-

barkan peran pajak yang semakin besar. Dari tabel di atas dapat kita lihat,

bahwa hanya ada dua daerah, yakni Kabupaten Bandung dan Kabupaten

Ma lang memiliki rasio lebih rendah dari 50%. Sementara itu, seluruh daerah

sampel lain memiliki rasio di atas 50% selama periode pengamatan. Untuk

daerah yang memiliki rasio kurang dari 50%, mengindikasikan perlunya dae-

rah tersebut melakukan diversifikasi kegiatan perekonomian dan mendorong

peningkatan kualitas layanan dan sarana prasarana pengelolaan perpajakan.

Secara umum, peningkatan rasio ini juga terjadi di level nasional.

Jika diperhatikan lebih lanjut, tentang pengaruh UU No. 28 Tahun 2009

terhadap penerimaan pajak daerah, maka dapat dikatakan bahwa semua dae-

rah sampel mengalami peningkatan penerimaan dalam bentuk meningkatnya

rasio yang terjadi pada tahun 2011.

Tabel 6.7. Rasio PAD terhadap Total Penerimaan di Daerah Sampel

Tahun 2007-2012 (%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Kab. Badung 50,04 60,61 60,09 68,69 75,98 68,25

Kota Batam 15,72 16,14 16,94 14,98 25,45 26,70

Kab. Bandung 8,21 9,86 7,81 9,72 11,86 11,25

Kota Balikpapan 8,26 8,50 11,30 11,57 13,14 17,61

Page 94: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .74

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Kab. Deli Serdang 7,49 8,30 8,30 9,22 13,16 18,64

Kota Surabaya 29,94 31,45 30,27 29,85 50,19 51,10

Kab. Malang 7,23 7,67 10,76 7,84 8,83 7,55

Rata-rata 18,00 20,00 21,00 22,00 28,00 29,00

Nasional 7,56 7,19 7,48 7,21 8,56 8,93

Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target

Berdasarkan pada tabel 6.7 di atas, rasio PAD terhadap total pendapatan

daerah sampel tahun 2007 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan se-

cara signifikan dalam periode pengamatan. Walaupun begitu, daerah yang

memiliki rasio diatas 25% hanya ada pada tiga daerah sampel, yakni Kabupa-

ten Badung, Kota Surabaya dan Kota Batam.

Banyaknya daerah yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan daerah

yang rendah, menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang terhadap daerah

khususnya tentang pengelolaan potensi daerah masih belum berjalan dengan

baik, dan masih perlu dikaji ulang tentang mengapa pajak daerah yang men-

jadi kewenangannya masih belum dioptimalkan.

Tabel 6.8. Rasio PAD terhadap Total Belanja di Daerah Sampel

Tahun 2007-2012 (%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Kab. Badung 41,43 72,03 59,48 74,23 89,45 64,39

Kota Batam 13,41 19,13 15,28 13,12 27,20 26,56

Kab. Bandung 8,00 9,77 8,55 9,43 11,83 10,40

Kota Balikpapan 6,64 8,82 10,17 10,44 15,52 15,90

Kab. Deli Serdang 7,71 8,26 8,27 9,04 12,92 18,66

Kota Surabaya 39,04 36,11 25,89 24,98 50,26 45,54

Kab. Malang 7,17 7,50 11,06 7,83 8,95 7,15

Page 95: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 75

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Rata-rata 18,00 23,00 20,00 21,00 31,00 27,00

Nasional 7,38 7,29 7,35 7,38 9,13 8,46

Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target

Tabel 6.8. menggambarkan rasio PAD terhadap total belanja di daerah

sampel. Rasio ini menggambarkan seberapa besar PAD mampu membiayai

belanja daerah. Jika nilai rasio ini semakin meningkat, menunjukkan mening-

katnya kemampuan daerah di dalam membiayai sendiri belanja daerahnya.

Daerah sampel yang mampu membiayai belanja daerahnya dengan PAD di

atas 50% yakni Kabupaten Badung (terjadi di tahun 2008 sampai tahun

2012) dan Kota Surabaya (hanya tahun 2011), selain kedua daerah ini belum

ada daerah yang PAD mampu membiayai belanja daerahnya di atas 50%. Hal

ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap

pemerintah pusat masih sangat besar.

Tabel 6.9. Rasio PAD terhadap PDRB AHB di Daerah Sampel

Tahun 2007-2011 (%)

Daerah 2007 2008 2009 2010 2011

Kab. Badung 4,39 7,25 6,6 6,56 8,57

Kota Batam 0,33 0,37 0,38 0,32 0,59

Kab. Bandung 0,46 0,38 0,37 0,43 0,57

Kota Balikpapan 0,33 0,3 0,39 0,35 0,53

Kab. Deli Serdang 0,29 0,33 0,3 0,3 0,47

Kota Surabaya 0,47 0,49 0,49 0,44 0,8

Kab. Malang 0,39 0,4 0,55 0,42 0,48

Rata-rata 0,95 1,36 1,30 1,26 1,72

Nasional 0,16 0,13 0,13 0,13 0,24

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Page 96: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .76

Tabel 6.9. menjelaskan tentang rasio PAD terhadap PDRB AHB daerah

sampel tahun 2007 sampai tahun 2011. Rasio ini menggambarkan tentang

seberapa besar PAD yang dapat diperoleh dari perkembangan perekonomian.

Dengan demikian, semakin tinggi rasio ini, bisa dikatakan daerah telah dapat

memanfaatkan peningkatan perekonomian untuk menambah pendapatan

daerah. Daerah sampel paling besar di dalam rasio PAD terhadap PDRB AHB

adalah Kabupaten Badung, sementara daerah lain belum mampu memanfaat-

kan secara signifikan penguatan perekonomian daerahnya untuk mening-

katkan PAD-nya.

Jika kita perhatikan tabel 6.9. di atas, sebenarnya hampir semua daerah

mengalami peningkatan nilai rasio yang dimiliki. Hal ini menunjukkan sebe-

narnya UU No. 28 Tahun 2009 ini telah mampu mendorong daerah untuk te rus

berusaha meningkatkan PAD-nya melalui beberapa perluasan basis pajak dan

tarif pajak daerah yang berbeda dari sebelumnya.

Kabupaten Malang

Tabel 6.10 menggambarkan realisasi jenis pajak di Kabupaten Malang. Tabel

6.10 tersebut juga menginformasikan bahwa realisasi pajak terbesar adalah

pajak penerangan jalan yang 5 tahun terakhir selalu berada di atas Rp.20

miliar.

Tabel 6.10. Realisasi Jenis Pajak Kab. Malang (miliar rupiah)

JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012

Pajak Hiburan 4,38 5,57 8,37 6,25 5,82

Pajak Hotel 0,56 0,51 0,52 0,88 1,4

Pajak Parkir 0,09 0,09 0,08 0,22 0,26

Pajak Penerangan Jalan 22,58 24,69 27,21 32,67 32,39

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C

0,45 0,39 0,33 0,33 0,4

Page 97: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 77

JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012

Pajak Reklame 1,71 1,92 2,12 2,34 2,14

Pajak Restoran 0,57 0,60 0,70 0,91 1,19

BPHTB - - - 19,00 25,43

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Besarnya pajak penerangan jalan ini, bisa dimengerti karena wilayah

Kabupaten Malang yang sangat luas serta jumlah penduduk yang terpadat.

Sedangkan untuk pajak daerah yang lain, bisa dikatakan bahwa pajak–pajak

tersebut belum mampu menjadi andalah penerimaan daerah, karena dalam

realisasi penerimaannya masih sangat berfluktuatif. Jika diperhatikan pada

jenis pajak baru, yakni BPHTB dan PBB P2, sepatutnya merupakan sebagai

sum ber penerimaan utama di tahun–tahun mendatang untuk Kabupaten

Malang, mengingat luasan wilayah serta dinamika perekonomiannya yang

terus berkembang.

Dari penjelasan data–data tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa

adanya UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong peningkatan pene-

rimaan daerah kabupaten Malang, dan diharapkan segala permasalahan

yang ada di dalam usaha peningkatan penerimaan, dapat diselesaikan di

masa mendatang.

Kabupaten Deli Serdang

Tabel 6.11 di bawah ini menjelaskan tentang dinamika penerimaan pajak

daerah di Kabupaten Deli Serdang selama beberapa tahun. Bagaimana dam-

pak UU No. 28 Tahun 2009 di Kabupaten Deli Serdang dapat kita lihat peranan

pajak-pajak baru terhadap penerimaan daerah.

Pajak–pajak lama (sebelum UU No. 28 Tahun 2009) yang mendominasi

adalah Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang memang ini sejalan dengan karak-

teristik daerah Kabupaten, wilayahnya luas serta jumlah penduduknya besar

dan tersebar. Sedangkan untuk pajak lain, relatif tetap tidak terlalu signifikan

perannya pada penerimaan daerah.

Page 98: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .78

Tabel 6.11. Realisasi Jenis Pajak Kab. Deli Serdang (miliar rupiah)

Jenis Pajak 2009 2010 2011* 2012*

Pajak Hiburan 0,27 0,33 0,30 0,40

Pajak Hotel 0,21 0,19 0,30 0,30

Pajak Parkir 0,08 0,25

Pajak Penerangan Jalan 66,53 74,11 88,00 90,00

PajakPengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C 2,48 0,53 6,00 10,00

Pajak Reklame 0,97 1,12 1,50 2,50

Pajak Restoran 1,08 3,17 3,50 4,00

BPHTB 75,00 75,00

Pajak Air Tanah 7,50 7,50

PBB P2 69,85 130,00

Sumber: DJPK , beberapa tahun

Sementara itu, berdasarkan tabel 11 tentang realisasi jenis pajak Ka bu-

paten Deli Serdang, pajak terbesar adalah pajak daerah baru sesuai amanah

UU No. 28 Tahun 2009, yakni BPHTB dan PBB P2. Sedangkan pajak hotel dan

resotoran yang merupakan perluasan basis pajak, juga berperan cukup besar

untuk mendorong penerimaan daerah.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Deliserdang,

keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 cukup mampu mendorong penerimaan

daerah meningkat secara signifikan.

Kabupaten Bandung

Tabel 6.12 di bawah ini menggambarkan tentang realisasi penerimaan pajak

daerah di Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung merupakan daerah de-

ngan wilayah yang cukup luas dan jumlah penduduk yang banyak dan

tersebar.

Page 99: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 79

Tabel 6.12. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Bandung (miliar rupiah)

Jenis Pajak 2008 2009 2010 2011 2012

Pajak Hiburan 1,82 2,15 2,06 0,96 0,71

Pajak Hotel 0,52 0,48 1,12 1,38 2,31

Pajak Parkir 0,08 0,14 0,29 0,60 0,45

Pajak Penerangan Jalan 45,33 41,04 50,23 64,71 83,89

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C

0,06 0,06 0,11 0,14 0,19

Pajak Reklame 1,82 1,60 2,02 2,55 2,71

Pajak Restoran 2,02 2,49 3,54 4,87 6,98

BPHTB 59,59 85,15

Pajak Air Tanah 3,01 3,25

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Berdasarkan karakteristik wilayah tersebut, kabupaten Bandung memiliki

sumber penerimaan pajak daerah yang terbesar dari pajak penerangan jalan,

yang nilainya terus meningkat dari Rp45 miliar rupiah tahun 2008 menjadi

Rp.64 miliar pada tahun 2011.

Sementara itu, untuk pajak baru sesuai dengan amanah UU No. 28 Ta-

hun 2009 seperti BPHTB telah menunjukkan angka yang cukup signifikan.

Pada tahun 2011, pendapatan dari BPHTB sekitar Rp.59 miliar dan diperkirakan

untuk tahun 2012 juga akan meningkat.

Oleh karena itu, berdasarkan data–data yang diuraikan pada tabel di

atas, bahwa pajak – pajak baru telah memberikan tambahan penerimaan

dae rah yang semakin besar dan signifikan.Sementara itu, untuk perluasan

basis pajak, seperti pajak restoran juga menunjukkan peningkatan yang sa-

ngat signifikan. Pajak Hiburan menurun di Kabupaten Bandung, dikarenakan

perubahan kepemimpinan dan kebijakannya, dengan visi religius yang

diusung, yang kemudian mendorong tingginya tarif pajak hiburan (regulative)

dan hal itu menjadi alasan mengapa penerimaan menurun. Walaupun demi-

Page 100: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .80

kian, secara umum UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong pening-

katan penerimaan daerah.

Kabupaten Badung

Kabupaten Badung merupakan daerah yang wilayahnya dipenuhi dengan

fasilitas sektor pariwisata seperti Hotel, Restoran, serta tempat hiburan yang

tersebar di wilayah Kabupaten. Dengan karakteristik daerah yang semacam

itu, maka dapat diperkirakan pajak–pajak daerah dari aktifitas ekonomi terse-

but akan mendominasi penerimaan daerah.

Tabel 6.13. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Badung (miliar rupiah)

JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012

Pajak Hiburan 9,48 12,18 13,83 12,40 22,61

Pajak Hotel 579,75 634,74 713,26 701,50 1037,25

Pajak Parkir 1,43 1,85 2,21 2,50 7,38

Pajak Penerangan Jalan 40,72 46,66 55,20 53,49 64,32

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C

4,50 0,67 0,40 0,30 0,38

Pajak Reklame 6,65 6,44 6,88 7.20 3,22

Pajak Restoran 55,98 73,48 85,62 83,50 163,48

BPHTB 75,34 355,64

Pajak Air Tanah 1,78 31,29

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Pada tabel 6.13 diatas dapat kita lihat realisasi jenis pajak Kabupaten

Badung. Pajak tertinggi adalah pajak hotel, hal ini mengingat Kabupaten

Badung merupakan daerah Pariwisata. Pajak Hotel di Kabupaten Badung se-

tiap tahunnya mampu merealisasikan pajak selalu diatas Rp.500 miliar rupiah.

Jumlah itu terus meningkat sejalan dengan perkembangan perekonomian

yang terus membaik. Pada tahun 2012, pemerintah Kabupaten Badung me-

Page 101: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 81

nargetkan penerimaan pajak Hotel ini meningkat drastis, menjadi sekitar

Rp.850 miliar. Pajak daerah terbesar kedua realisasinya adalah pajak restoran

yang selalu diatas Rp.55 miliar. Pajak restoran menjadi pajak terbesar kedua

dikarenakan pajak ini perkembangannya sangat terkait dengan dinamika ke-

giatan pariwisata.

Sementara itu, pajak Penerangan Jalan yang di beberapa kabupaten

me rupakan sumber penerimaan utama, di Kabupaten Badung sumber pajak

ini tidak seperti itu. Pajak Penerangan Jalan ini kalah dari dua pajak daerah

utama, yakni Hotel dan Restoran. Hal ini juga menunjukkan penyebaran hotel

dan penduduk sudah tidak terjadi lagi, dan ini terlihat dari perkembangan

penerimaan yang relatif stabil.

Untuk pajak baru, sesuai dengan amanah UU No. 28 Tahun 2009, yakni

BPHTB dan perluasan basis pajak, dapat dikatakan penerimaan pajak setelah

berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 tersebut meningkat secara signifikan. Pada

tahun 2011, penerimaan BPHTB sebesar Rp.75 miliar, dan diperkirakan pe-

nerimaan tahun 2012 akan meningkat diatas Rp.110 miliar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya UU No. 28 Tahun

2009 ini telah mampu mendorong peningkatan penerimaan daerah Kabu-

paten Badung secara signifikan, dan tentu beberapa potensi penerimaan

pajak daerah lain seperti PBB P2, perlu secepatnya di implementasikan.

Tabel 6.14. Realisasi Jenis Pajak Kota Balikpapan (miliar rupiah)

JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012*

Pajak Hiburan 1,01 2,33 0,10 5,33 6,11

Pajak Hotel 22,05 24,92 24,07 33,52 31,61

Pajak Parkir 1,12 2,25 2,11 4,84 5,12

Pajak Penerangan Jalan 25,78 27,67 26,71 39,92 39,66

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C

0,02 0,04 3,60 n.a. n.a.

Pajak Reklame 2,28 3,07 14,20 3,76 6,79

Pajak Restoran 12,16 14,33 n.a. 22,75 22,37

Page 102: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .82

JenisPajak 2008 2009 2010 2011 2012*

BPHTB 58,16 52,23

Pajak Air Tanah 0,07 2,66

Sumber: DJPK, beberapa tahun. *) target n.a.: data tidak tersedia

Tabel 6.14 di atas menggambarkan realisasi penerimaan pajak daerah

Kota Balikpapan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa BPHTB merupakan jenis

pajak yang mampu memiliki nilai realisasi paling besar yakni Rp.58,16 miliar

tahun 2011 dan ditargetkan Rp.52,23 miliar tahun 2012. Selanjutnya pajak

Penerangan Jalan, sebagaimana daerah lain merupakan pajak yang menyum-

bang realisasi penerimaan daerah yang sangat besar. Pada tahun 2008, nilai

Pajak Penerangan Jalan sekitar Rp.25 miliar, meningkat menjadi Rp.39,9

miliar pada tahun 2011. Pajak lain yang memiliki realisasi paling besar adalah

pajak hotel. Pada tahun 2008, penerimaan pajak Hotel adalah sebesar Rp.22

miliar dan meningkat secara tajam pada tahun 2011 menjadi Rp.33,5 miliar.

Begitu juga pajak Restoran mengalami dinamika yang sama dengan pajak

Hotel.

Secara umum, semua pajak Daerah menunjukkan tren yang terus me-

ningkat di Kota Balikpapan. Sebelum ada UU No. 28 Tahun 2009, peningkatan

pajak daerah yang ada tidak terlalu signifikan. Tetapi, sejak pada tahun 2011,

kenaikan pajak daerah seperti BPHTB, Pajak Hotel dan Restoran menunjukkan

peningkatan yang sangat signifikan. Dengan demikian, bisa kita simpulkan

bahwa keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 telah membantu kinerja pajak

dae rah di Kota Balikpapan serta dinamika perekonomian daerah.

Kota Surabaya

Tabel 6.15 menggambarkan tentang realisasi penerimaan pajak Daerah Kota

Surabaya. Secara umum data–data penerimaan realisasi pajak daerah me-

nunjukkan peningkatan yang signifikan. Sebelum adanya UU No. 28 Tahun

2009, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Hotel dan Restoran merupakan pajak

penyumbang terbesar pendapatan daerah. Sebagai suatu wilayah perkotaan,

tentu kegiatan jasa mendominasi perekonomian daerahnya. Sedangkan un-

Page 103: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 83

tuk Pajak Penerangan Jalan, merupakan pajak yang sangat dipengaruhi oleh

tingkat sebaran dan kepadatan penduduk serta luas daerahnya.

Tabel 6.15. Realisasi Jenis Pajak Kota Surabaya (miliar rupiah)

Jenis Pajak 2009 2010 2011 2012

Pajak Hiburan 22,89 26,61 29,9 35,4

Pajak Hotel 87,44 100,51 108,21 126,54

Pajak Parkir 15,92 19,06 21,84 27,29

Pajak Penerangan Jalan 146,24 165,06 192,09 224,32

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C

- - - -

Pajak Reklame 75,6 98,71 90,23 117,6

Pajak Restoran 94,76 115,46 131,14 172,88

BPHTB 215,28 416,31 575,35

PBB P2 333,13 498,64 572,29

Sumber: DJPK, beberapa tahun.

Sejak adanya UU No. 28 Tahun 2009, dimana BPHTB dan PBB P2 sudah didae-

rahkan, Kota Surabaya merupakan pemerintah daerah pioner untuk penge-

lolaan pajak BPHTB dan PBB P2 di daerah. Realisasi pajak pusat yang di dae-

rahkan ini sangat signifikan terhadap penerimaan daerah. Begitu juga untuk

pajak Hotel dan Restoran yang mengalami perluasan basis pajak (tax base)

sesuai dengan amanah UU No. 28 Tahun 2009, mengalami peningkatan yang

sangat signifikan bagi penerimaan pajak daerah Kota Surabaya.

Dengan melihat data–data tersebut, kita bisa simpulkan bahwa peneri-

maan pajak daerah di Kota Surabaya meningkat drastis dan signifikan setelah

adanya UU No. 28 Tahun 2009. Walaupun begitu, usaha–usaha perbaikan yang

mengarah pada efisiensi pengumpulan pajak dan peningkatan kualitas layan-

an publik, akan semakin mendorong partisipasi dan kesadaran masyarakat

untuk membayar pajak.

Page 104: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .84

6.3. Analisis Kuantitatif Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009

6.3.1. Rancangan Model

Pada bagian ini akan dianalisis bagaimana pengaruh penerapan UU No. 28

Tahun 2009 terhadap rasio pajak dan elastisitas pajak kabupaten/kota di In do-

nesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi sederhana

yang diolah dengan Stata versi 11, sedangkan plot data yang digunakan

merupakan jenis data cross section untuk seluruh daerah pada dua titik yaitu

tahun 2009 mewakili periode sebelum penerapan UU No. 28 Tahun 2009 dan

tahun 2011 mewakili periode sesudah UU No. 28 Tahun 2009 diimple men-

tasikan.

Model pertama, adalah persamaan regresi yang digunakan untuk meli-

hat peranan berbagai variabel khususnya basis pajak (tax base) yang di proksi

dengan menggunakan variabel sektor ekonomi (PDRB sektor) yaitu sektor

industri pengolahan (manufaktur), sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor

perdagangan, hotel, restoran dan sektor bangunan, serta variabel lainnya

ter hadap rasio pajak. Ke empat sektor tersebut dianggap mewakili perkem-

bangan basis pajak daerah.

Rasio pajak dalam perhitungan ini didefinisikan sebagai perbandingan

antara PAD terhadap PDRB atau perbandingan antara Pajak Daerah terhadap

PDRB. Oleh karena itu akan terdapat dua persamaan yang digunakan untuk

menganalisis tax ratio, yaitu sebagai berikut ;

δPAD/δY = α0 + α1Ym + α2YL + α3Yphr + α4Yb + α5TK +α6Daper +α7BM + D + e ….... (1)

δT/δY = β0 + β1Ym + β2YL + β3Yphr + β4Yb + β5TK + β6BM + β7BM + D + e ……..(2)

Model kedua, adalah persamaan untuk menganalisis perubahan elastisi-

tas masing-masing pajak sebagai akibat dari perbaikan tax base (PDRB sektor

listrik, industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi) masing-masing

pajak dan atau sebagai akibat dari perkembangan faktor lain seperti faktor

tingkat kemiskinan (bagian dari penduduk yang tidak mampu membayar

Page 105: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 85

pa jak dengan kebutuhan pelayanan publik yang besar) dan faktor alokasi

anggaran (pola belanja) pemerintah untuk belanja modal. Persamaan yang

digunakan untuk masing masing pajak daerah adalah sebagai berikut:

THtl = β0 + β1Yphr + D + e ........................................................ (3)TRes=χ0 + χ1Yphr + D + e .......................................................... (4)TPPJ =δ0 + δ1YL + D + e ............................................................. (5)TPBB = φ0 + φ1Yb + D + e .......................................................... (6)TBPHTB = γ0 + γ1Yb + D + e ........................................................ (7)

Dimana:

δPAD/δY = PAD / PDRB (harga berlaku)

δT/δY = Pajak daerah / PDRB (harga berlaku)

THtl = Pajak Hotel

TRes = Pajak restoran

TPPJ = Pajak PPJ

TPBB = PBB

TBPHTB = BPHTB

Ym = PDRB Sub sektor Industri pengolahan

YL = PDRB Sub sektor listrik, gas, air bersih

Yphr = PDRB Sub sektor perdagangan, hotel, restoran

Yb = PDRB Sub sektor bangunan

TK = Tingkat kemiskinan

BM = Belanja Modal

DP = Dana perimbangan

D = Dummy 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten.

6.3.2. Model Rasio Pajak

Hasil perhitungan dari model tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai ber ikut;

Rasio Pajak Daerah :

1. Rasio Pajak yang di proxy dengan dua cara yaitu dengan PAD/PDRB dan

Total Pajak Daerah/PDRB memberikan hasil yang berbeda. Model analisis

dengan Rasio pajak yang menggunakan Pajak daerah/PDRB memberikan

hasil yang lebih baik dibanding dengan model yang menggunakan rasio

Page 106: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .86

pajak PAD/PDRB. Hal ini memberi indikasi bahwa secara umum rasio

pe nerimaan PAD sesungguhnya lebih didominasi oleh pajak daerah yang

menjadi ciri daerah perkotaan.

Secara keseluruhan variabel sub sektor PDRB (manufaktur, listrik,

perdagangan dan bangunan), variabel belanja modal, dana perimbangan

dan tingkat kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap rasio

pa jak, namun hanya variabel PDRB sub sektor listrik, dana perimbangan,

dan variabel dummy yang koefisien arahnya sesuai dengan yang diha-

rapkan.

Interpretasi terhadap hasil data tahun 2009, sebelum perubahan UU

Pajak daerah adalah sebagai berikut :

• Rasio pajak (PAD/PDRB), variabel PDRB sub sektor manufaktur, listrik

dan dana perimbangan signifikan dengan koefisien arah yang

sesuai.

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Manufaktur maka rasio PAD per

PDRB Harga Berlaku akan naik sebesar 0,08% dengan asumsi varia-

bel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Listrik maka rasio PAD per PDRB

Harga Berlaku akan naik sebesar 0,103% dengan asumsi variabel

bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Bangunan maka rasio PAD per

PDRB Harga Berlaku akanvturun sebesar 0,271% dengan asumsi

variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Hotel dan Restoran maka rasio

PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,428% dengan

asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

• Setiap 1% kenaikan poverty rate maka rasio PAD per PDRB Harga

Berlaku akan turun sebesar 0,012% dengan asumsi variabel bebas

lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

• Setiap 1% kenaikan Belanja Modal maka rasio PAD per PDRB Harga

Berlaku akan turun sebesar 0,31% dengan asumsi variabel bebas

lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

Page 107: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 87

Tabel 6.16. Koefisien Rasio Pajak Daerah

• Setiap 1% kenaikan Dana Perimbangan maka rasio PAD per PDRB

Har ga Berlaku akan naik sebesar 1,23% dengan asumsi variabel

be bas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).

• Jika daerah sampel berupa kota (d_kota=1) maka rasio PAD per

PDRB Harga Berlaku akan lebih tinggi sebesar 0,34 dengan asumsi

variabel bebas lainnya bernilai tetap.

2009 2010 Koefisien Standard

Error p-value Koefisien Standard

Error p-value

PAD terhadap Total PDRB PDRB Sektor Manufaktur 0,08 0,038 0,045 -0,22 0,109 0,042

PDRB Sektor Listrik

0,103 0,05 0,062 0,28 0,132 0,033

PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran

-0,43 0,15 0,005 -0,596 0,201 0,174

PDRB Sektor Bangunan -0,27 0,06 <0,001 -0,87 0,13 <0,001

Tingkat Kemiskinan

-0,01 0,004 0,003 -0,021 0,016 0,174

Belanja Modal -0,32 0,06 <0,001 -0,24 0,274 0,381 Dana Perimbangan

1,23 0,31 <0,001 3,26 0,43 <0,001

Dummy Kota 0,04 3,12 0,001 1,16 0,36 0,001 Total Pajak terhadap Total PDRB

PDRB Sektor Manufaktur 0,078 0,027 0,003 -0,224 0,109 0,042

PDRB Sektor Listrik

0,103 0,03 0,002 0,281 0,132 0,03

PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran

-0,43 0,05 <0,001 -0,596 0,201 0,003

PDRB Sektor Bangunan -0,27 0,033 <0,001 -0,87 <0,001 <0,001

Tingkat Kemiskinan

-0,01 0,004 0,002 -0,021 0,016 0,174

Belanja Modal -0,32 0,082 <0,001 -0,24 0,274 0,381 Dana Perimbangan

3,26 0,429 <0,001 3,26 0,429 <0,001

Dummy Kota 0,34 0,086 <0,001 1,15 0,36 0,001

Page 108: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .88

Pada tahun 2010 (sebagai pengganti data tahun 2011 yang masih

data sementara) yang mewakili periode setelah implementasi UU 28

Tahun 2009 diperoleh gambaran sebagai berikut ;

• Terdapat dua variabel yang signifikan dengan koefisien arah yang

sesuai yaitu variabel PDRB sub sektor listrik dan dana perimbangan,

sementara variabel lainnya signifikan namun dengan koefisien arah

yang negatif.

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Manufaktur maka rasio PAD per

PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,22% dengan asumsi va-

riabel bebas lainnya tidak berubah.

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Listrik maka rasio PAD per PDRB

Harga Berlaku akan naik sebesar 0,281% dengan asumsi variabel

bebas lainnya tidak berubah.

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Konstruksi maka rasio PAD per PDRB

Harga Berlaku akan turun sebesar 0,87% dengan asumsi variabel

bebas lainnya tidak berubah.

• Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Hotel dan Restoran maka rasio PAD

per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,596% dengan asumsi

variabel bebas lainnya tidak berubah.

• Setiap 1% kenaikan poverty rate maka rasio PAD per PDRB Harga

Berlaku akan turun sebesar 0,021% dengan asumsi variabel bebas

lainnya tidak berubah.

• Setiap 1% kenaikan Belanja Modal maka rasio PAD per PDRB Harga

Berlaku akan turun sebesar 0,24% dengan asumsi variabel bebas

lainnya tidak berubah.

• Setiap 1% kenaikan Dana Perimbangan maka rasio PAD per PDRB

Harga Berlaku akan naik sebesar 3,28% dengan asumsi variabel

bebas lainnya tidak berubah.

• Jika daerah sampel berupa kota (d_kota=1) maka rasio PAD per

PDRB Harga Berlaku akan lebih tinggi sebesar 1,15 dengan asumsi

variabel bebas lainnya bernilai tetap.

Page 109: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 89

Dari hasil perhitungan statistik tersebut memberi gambaran bahwa

sesungguhnya sektor ekonomi (PDRB) khususnya beberapa sub sektor

yang menjadi basis pajak daerah sampai pada tahun 2010 belum cukup

kuat memberi pengaruh terhadap rasio pajak. Hal ini disebabkan oleh

PBB P2 dan BPHTB belum dipungut secara merata di seluruh daerah dan

juga sebagian besar pemungutan hanya didasarkan pada NJOP yang

se sungguhnya tidak menggambarkan nilai riil serta tidak terkait dengan

perkembangan ekonomi atau sektor ekonomi. Dengan demikian jika

terjadi perkembangan ekonomi pada sub sektor tersebut maka belum

banyak mempengaruhi besaran rasio pajak daerah. Pembangunan eko-

nomi yang lebih berkualitas dalam artian pembangunan ekonomi yang

dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan sendirinya juga akan

mendorong perbaikan pada rasio pajak daerah. Hanya saja besarnya

pengaruh sektor ekonomi terhadap rasio pajak daerah sebelum dan

sesudah UU No. 28 Tahun 2009 belum banyak berubah, akan tetapi po-

tensi untuk berkembang sangat nampak. Sebagian besar daerah me-

mang masih dalam tahap persiapan dan pembenahan berbagai aspek

admnistrasi maupun prosedur untuk dapat mengoptimalkan pelaksanaan

UU No. 28 Tahun 2009.

6.3.3. Model Elastisitas Pajak

Pada tabel berikut ini ditampilkan hasil perhitungan elastisitas pajak daerah,

yaitu pajak hotel, pajak restoran, PPJ, dan BPHTB. Elastisitas PBB P2 tidak di-

hi tung mengingat pada tahun 2011 baru satu daerah (Kota Surabaya) yang

sudah melakukan pemungutan terhadap PBB P2. Elastisitas pajak daerah

pada dasarnya menggambarkan pengaruh perubahan masing-masing pajak

daerah (pajak hotel, pajak restoran, PPJ, dan BPHTB) sebagai akibat dari per-

ubahan basis pajak (tax base).

Page 110: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .90

Tabel 6.17. Elastisitas Pajak Daerah

Variabel2009 2011

Kab Kota Kab+Kota Kab Kota Kab+Kota

Pajak Hotel

PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran

0,292(***) 0,618(**) 0,449(***) 0,334(***) 0,620(***) 0,476(***)

Pajak Restoran

PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran

0,195(**) 0,444(**) 0,340(***) 0,17(*) 0,427(**) 0,307(***)

Pajak Penerangan Jalan

PDRB Sektor Listrik

0,544(***) 0,410(***) 0,543(***) 0,499(***) 0,371(***) 0,495(***)

Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan

PDRB Sektor Bangunan

0,598(***) 0,250 0,542(***) 0,561(***) 0,419(*) 0,598(***)

Signifikansi (***)-> 1%, (**)-> 5%, (*)-> 10%

1. Elastisitas pajak hotel, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub

sek tor perdagangan, hotel, restoran) berpengaruh signifikan dengan

koefisien arah yang positif terhadap penerimaan pajak hotel, dimana

daerah kota lebih elastis (0,62) dibanding daerah kabupaten (0,29) di

tahun 2009. Elastisitas basis pajak sesudah implementasi UU 28 Tahun

2009 semakin besar baik kota maupun kabupaten yakni masing-masing

sebesar 0,334 dan 0,620. Secara nasional elastisitas pajak hotel meng-

alami peningkatan pada tahun 2011 meskipun dengan perubahan ko-

efisien yang belum terlalu besar.

2. Elastisitas pajak restoran, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub

sektor perdagangan, hotel, restoran) berpengaruh siginifikan dengan

koefisien arah yang positif terhadap penerimaan pajak hotel, namun

de ngan besaran elastisitas yang lebih kecil dibandingkan dengan

Page 111: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

ANALISIS KUANTITATIF: PENGARUH IMPLEMENTASI UU NO 28 TAHUN 2009 . . . 91

elastisitas pajak hotel. Kecenderungan yang juga nampak adalah bahwa

elastisitas pada tahun 2011 (setelah implementasi UU No 28 Tahun

2009) masih lebih kecil dibanding tahun 2009. Pajak restoran ini juga

memiliki elastisitas yang lebih besar pada daerah kota dibanding dengan

daerah kabupaten.

3. Elastisitas Pajak penerangan jalan, yang diwakili oleh variabel tax base

(PDRB sub sektor listrik) berpengaruh siginifikan dengan koefisien arah

yang positif terhadap penerimaan PPJ, namun dengan elastisitas yang

kurang dari 1. Elastisitas pada daerah kabupaten (0,54) lebih besar diban-

ding dengan elastistas pada daerah kota (0,49) pada tahun 2009, serta

dengan kecenderungan elastisitas yang lebih kecil pada tahun 2011

untuk daerah kota+kabupaten.

4. Elastisitas Pajak BPHTB, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub

sektor bangunan) berpengaruh signifikan dengan koefisien arah positif

baik sebelum maupun sesudah implementasi UU 28 Tahun 2009. Besaran

koefisien elastisitas cenderung membaik. Pasca implementasi UU No. 28

Tahun 2009, elastisitas BPHTB di daerah perkotaan (0,419) yang lebih

besar dibanding sebelum implemetasi UU (0,250). Secara umum, daerah

sudah dapat memanfaatkan implementasi UU No. 28 Tahun 2009 dilihat

dari elastisitas kota+kabupaten yang meningkat dari 0,542 menjadi

0,598.

Dari hasil perhitungan elastisitas empat jenis pajak daerah tersebut da-

pat disimpulkan bahwa dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak Hotel dan BPHTB

mengalami peningkatan elastisitas setelah penerapan UU No. 28 Tahun 2009.

Artinya, perluasan basis pajak hotel dan keleluasaan dalam menetapkan tarif

pajak hotel serta pengalihan pemungutan BPHTB ke daerah telah mampu

meningkatkan penerimaan pajak hotel dan BPHTB. Sementara elastisitas pa-

jak restoran dan pajak penerangan jalan, meskipun kecil, namun cenderung

mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan UU No.

28 Tahun 2009 belum dapat meningkatkan penerimaan pajak restoran dan

pajak penerangan jalan. Dengan kata lain, perluasan basis pajak restoran dan

pajak penerangan jalan belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh peme-

rintah daerah.

Page 112: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

92

Penutup

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif, diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan evaluasi pelaksa-

naan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebagai berikut:

1. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retri-

busi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai

berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Disamping adanya

perluasan basis pajak (seperti dimasukkannya catering sebagai bagian

dari pajak restoran) dan adanya keleluasaan pemerintah daerah dalam

menetapkan tarif pajak, hal lain yang cukup penting dalam Undang-Un-

dang No. 28 tahun 2009 adalah dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi

dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai

pajak daerah.

2. Meskipun daerah kabupaten merasakan bahwa Undang-Undang No. 28

Tahun 2009 masih terlalu bias perkotaan, namun secara umum seluruh

daerah sampel menyambut baik kehadiran UU ini karena mampu me-

ningkatkan kapasitas fiskal daerah.Implementasi UU ini telah mening-

7

Page 113: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

PENUTUP 93

katkan kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah, dari 18,6%

(2010), 19,66% (2011), dan 20,4% (2012). Meskipun kontribusi PAD

terus mengalami kenaikan, namun rasio pajak (Tax Ratio) dan Pajak per

Kapita (Tax per Capita) masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa

meskipun upaya pemerintah untuk meningkatkan local taxing power

dengan menerbitkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sudah me-

nunjukkan hasil positif, namun realisasi pajak daerah sebenarnya masih

jauh lebih rendah dari potensinya.

3. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa daerah masih menghadapi

berbagai masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 28 Tahun

2009. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:

a) Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu antara lain: pemahaman

yang berbeda terhadap UU sehingga khawatir salah dalam melak-

sana kannya dan adanya kesulitan secara teknis untuk menerapkan

perluasan basis pajak.

b) Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: kurangnya

SDM yang kompoten dalam bidang keuangan daerah, memahami

karakteristik daerah dan mampu melakukan simulasi untuk meng-

hitung dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi

dan penerimaan daerah, adanya anggapan bahwa tarif dalam UU

No. 28 tahun 2009 merupakan batasan terbaik untuk daerahnya,

tanpa perlu lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya, ku-

rang nya kesadaran bahwa daerah telah memiliki kewenangan pe-

nuh dalam penetapan tarif sepanjang masih dalam batas maksi mum

atau minimum sebagaimana diatur dalam UU, tingginya NPOP-TKP

(Rp60 juta) dalam pemungutan BPHTB bagi pemerintah kabupaten,

dan proses penetapan tarif yang seringkali belum melibatkan stake-

holders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga

kurang mendapat dukungan dan komitmen dalam pelaksana an-

nya.

c) Masalah dalam pemungutan jenis pajak baru, yaitu antara lain:

minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola BPHTB dan PBB-P2,

ketidaksiapan struktur SKPD, proses validasi atau verifikasi yang

re latif lama, adanya SE BPN No. 5 tahun 2013 yang seolah menya-

Page 114: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .94

takan tidak perlunya verifikasi, rendahnya NJOP dibanding harga

pasar, masih minimnya kompetensi SDM (pendataan, penilaian, ad-

ministrasi, dan pelayanan), kurangnya sosialisasi dan edukasi ke-

pada masyarakat, dan ketidakakuratan data piutang PBB.

d) Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya pungutan diluar

jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 tahun 2009, tidak adanya

insentif pajak Hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, belum efek-

tifnya proses evaluasi Raperda di provinsi, adanya monopoli bank

dalam pembayaran pajak daerah, masih rendahnya kesadaran ma-

syarakat dalam membayar pajak, kurangnya kerjasama diantara

stakeholders pajak daerah, belum siapnya regulasi beserta hardware/

software untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor

pe layanan pajak pratama, belum memadainya jumlah tenaga admi-

nistrasi untuk pendataan dan pendaftaran, belum dijalankannya

mekanisme one stop service untuk pajak daerah, dan kekurang-

akuratan data wajib pajak.

4. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa UU No 28 tahun 2009 te-

lah mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah, yang antara lain di-

tun jukkan oleh:

a) Pertumbuhan PAD daerah sampel yang jauh lebih tinggi yaitu

8,87% pada tahun 2010 menjadi 68,12% tahun 2011;

b) Pertumbuhan realisasi pajak daerah sampel yang jauh lebih tinggi

yaitu 15,67% pada tahun 2010 menjadi 104,79% tahun 2011;

c) Peningkatan pajak per kapita daerah sampel dari Rp311.094,00

pada tahun 2010 menjadi Rp484.340,00 pada tahun 2011;

d) Peningkatan rasio pajak daerah terhadap PDRB AHB sampel dari

1,01% pada tahun 2010 menjadi 1,45% pada tahun 2011;

e) Peningkatan rasio pajak terhadap PAD di daerah sampel dari 59,31%

pada tahun 2010 menjadi 69,36% pada tahun 2011;

f) Peningkatan rasio PAD terhadap total penerimaan di daerah sampel

dari 22% pada tahun 2010 menjadi 28% pada tahun 2011;

g) Peningkatan rasio PAD terhadap total belanja di daerah sampel dari

21% pada tahun 2010 menjadi 31% pada tahun 2011;

Page 115: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

PENUTUP 95

h) Peningkatan rasio PAD terhadap PDRB AHB di daerah sampel dari

1,26% pada tahun 2010 menjadi 1,72% pada tahun 2011;

5. Hasil regresi terhadap data seluruh kabupaten/kota di Indonesia menun-

jukkan bahwa sektor ekonomi (PDRB), khususnya beberapa sub sektor

yang menjadi basis pajak daerah sampai tahun 2010 belum cukup kuat

memberi pengaruh terhadap rasio pajak. Sementara terhadap elastisitas

pajak, dapat disimpulkan bahwa dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak

Hotel dan BPHTB mengalami peningkatan elastisitas setelah penerapan

UU No. 28 Tahun 2009. Artinya, perluasan basis pajak hotel dan kelelua-

saan dalam menetapkan tarif pajak hotel serta pengalihan pemungutan

BPHTB ke daerah telah mampu meningkatkan penerimaan pajak hotel

dan BPHTB. Sementara elastisitas pajak restoran dan pajak penerangan

jalan, meskipun kecil, namun cenderung mengalami penurunan. Hal ini

mengindikasikan bahwa penerapan UU No. 28 Tahun 2009 belum dapat

meningkatkan penerimaan pajak restoran dan pajak penerangan jalan.

Dengan kata lain, perluasan basis pajak restoran dan pajak penerangan

jalan belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah daerah.

7.2. Rekomendasi

Kajian ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Rekomendasi dimaksud adalah:

7.2.1. Bagi Pemerintah Pusat

1. Pemantapan Koordinasi

• Dalam masa transisi, paling tidak hingga tahun 2017, sebaiknya

diatur agar Direktorat Jenderal Pajak tetap terlibat dan berperan

mem bantu pemerintah daerah dalam pengelolaan jenis pajak pusat

yang dialihkan ke daerah, sehingga KPP tetap bisa melakukan pen-

dampingan dan memberikan bantuan teknis lainnya, terutama ter-

kait dengan pengelolaan dan penyelesaian piutang PBB P2.

• Pemerintah pusat harus memberikan bantuan terhadap daerah de-

ngan penerimaan pajak daerah sangat rendah. Jenis bantuan yang

Page 116: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .96

diberikan sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor

internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM terma-

suk didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal)

agar daerah secara cepat dapat menyesuaikan NJOP yang mendekati

nilai transaksi (harga pasar), pendampingan untuk perumusan re-

gulasi, penyusunan SOP dan program, pelatihan untuk peningkatan

kualitas dan pengelolaan data, pendampingan untuk merumuskan

mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan

lain-lain, serta pelatihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.

2. Perbaikan Administrasi Perpajakan

Untuk pajak daerah yang bersifat self-asessment, dukungan adminsitrasi

perpajakan yang efisien sangatlah penting, termasuk pengembangan

system yang berbasis e-tax. Pengembangan system yang baik, tentu perlu

dukungan peraturan/regulasi dan SDM yang mumpuni.

3. NPOP-TKP Klaster

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5)

perlu direvisi dengan menerapkan NPOP-TKP berdasarkan klaster agar

daerah kabupaten yang kurang memiliki potensi BPHTB tetap memperoleh

penerimaan BPHTB.

4. Insentif Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan

Revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebaiknya memuat

pasal yang mengatur tentang adanya insentif terhadap pajak hotel, pa-

jak restoran, dan pajak hiburan yang diberikan kepada PHRI dan hanya

boleh digunakan untuk promosi wisata.

5. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia

• Kegiatan pelatihan, pendidikan, workshop, sosialisasi, dan kegiatan

sejenis yang berupaya meningkatkan kapasitas aparatur Dispenda/

DPPKAD perlu diperbanyak untuk meningkatkan kompetensi apara-

tur Dispenda/DPPKAD.

Page 117: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

PENUTUP 97

• Sepanjang daerah masih mengalami kekurangan staf yang kom pe-

ten di bidang perpajakan, maka perlu diatur agar aparat pemerintah

daerah yang sudah memiliki kompetensi khusus di bidang perpa-

jakan tidak dipindahkan ke bidang lain yang tidak sesuai dengan

kompetensinya.

7.2.2. Bagi Pemerintah Daerah

1. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,

pemerintah daerah harus terlebih dahulu meningkatkan pelayanan

publik yang diikuti dengan menjalankan program sosialisasi pajak daerah

secara sistematis dan massive. Peningkatan layanan publik yang diberikan

oleh pemerintah daerah akan sangat membantu upaya meningkatkan

kesadaran masyarakat.

2. Daerah harus berani menetapkan kebijakan terkait dengan pengelolaan

pajak daerah yang secara nyata sudah menjadi kewenangannya (seperti

tarif, institusi, insentif, SOP, dan lain-lain) dan tidak selalu meminta agar

diatur oleh pemerintah pusat. Proses penetapan kebijakan dimaksud

sebaiknya melibatkan stakeholders pajak daerah, termasuk akademisi.

3. Daerah harus mengkaji secara obyektif dan komprehensif tentang ke-

butuhan struktur SKPD dikaitkan dengan beban pengelolaan pajak dae-

rah, jika dianggap perlu pemisahan Dispenda dengan DPPKAD atau jika

dianggap perlu penambahan eselon 3 di Dispenda/DPPKAD silakan dila-

kukan. Tidak perlu menunggu aturan lagi dari pemerintah pusat karena

hal itu sepenuhnya sudah menjadi kewenangan daerah.

4. Daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat rendah sebaiknya tidak

menetapkan tarif pajak maksimum sebagaimana diatur dalam UU No.

28 tahun 2009. Sebaliknya untuk lebih menarik bagi investor, maka dae-

rah tersebut harus menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah

dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif pajak daerah

yang bervariasi untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya.

5. Evaluasi Raperda Pajak Daerah di provinsi selama ini terkesan sekedar

pro ses prosedural saja dan belum efektif. Untuk lebih mengefektifkan

proses evaluasi Raperda ini, maka sebaiknya pemerintah provinsi mem-

Page 118: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .98

bentuk tim evaluator independen yang memahami karakteristik daerah

dan substansi pajak daerah.

6. BPHTB dan PBB P2 merupakan pajak daerah yang memiliki potensi besar

memberi kontribusi pada PAD. Oleh karena itu, perbaikan basis data,

penyesuaian NJOP, dan perbaikan sistem informasi pajak BPHTB dan PBB

P2 harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah.

7. Pemerintah daerah perlu melakukan kajian secara menyeluruh untuk

mengetahui efektivitas implementasi UU No. 28 Tahun 2009 di daerah,

sekaligus juga untuk mengetahui jenis pajak mana yang sudah jenuh

dan yang masih bisa dioptimalkan penerimaannya.

Page 119: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

DAFTAR PUSTAKA 99

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2008-2012. Indikator Makroekonomi Tahun 2008-2012

Indonesia. Jakarta: BPS Indonesia

Bahl, R. and Martinez-Vazquez, J. (2007) The Property Tax in Developing

Countries: Current Practice and Prospects, Working Paper WP07RB1,

Cambridge, MA: Lincoln Institute of Land Policy.

Bird, Richard M. (2005) Value-Added Taxes in Developing and Transitional

Countries: Lessons and Questions, Working Paper 05-05, Andrew

Young School of Policy Studies, Georgia State University.

Bondonio, Daniele. (2000) Evaluating decentralized policies: How to compare

the performance of state and local economic development programs

across different regions, September 8, 2000. Paper to be presented at

the Fourth EES Conference. Lausanne, October 12-14th, 2000.

Brotodiharjo, R Santoso. (1995) Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

2008-2012. Laporan Keuangan Daerah Historis.

Ebel, Robert. (2002) Subnational Revenues & Intergovernmental Relations.

World Bank Staff Learning May 13-15, 2002., Bank Institute.

Fisher, Ronald C. (2010) The State of State and Local Government Finance.

Federal Reserve Bank of St. Louis Regional Economic DevelopmenT,

6(1), pp. 4-22.

Page 120: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .100

Gunadi. (2004) Reformasi Administrasi Perpajakan dalam Rangka Kontribusi

Menuju Good Governance. Pidato Guru Besar Perpajakan, FISIP, Univer-

sitas Indonesia. Jakarta.

Liberty, Pandiangan. (2008) Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan

Berdasarkan UU Terbaru. Jakarta : Gramedia.

Lyytikainan, Teemu. (2012) “Tax Competition Among A Local Governments:

Evidence from a Property Tax Reform in Finland”. Journal of Public

Economics 96 page 584-595.

Mahi, Raksaka. (2011) “Local Revenue Mobilization in Decentralized

Indonesia”, Journal of Indonesian Economics and Business.

Mardiasmo. Perpajakan. (2008) Yogyakarta : Penerbit ANDI

Martinez-Vazquez. J and Timofeev, Andrey. (2005). Choosing between Cen-

tralized and Decentralized Models of Tax Administration, Working Pape

05-02, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State Univer-

sity.

McCluskey, William J., and Hong-Loan Trinh. (2013) “Property Tax Reform in

Vietnam: Options, Direction and Evaluation”, Land Use Policy 30 page

276-285.

Mikesell, John L. (2003) International Experiences With Administration of

Local Taxes: A Review of Practices and Issues. Tax Policy and Adminis-

tration Thematic: The World Bank.

Nasucha, Chaizi. (2004) Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktek.

Jakarta : PT Gramedia.

Nasution, Darmin. (2009) Reformasi Perpajakan. Makalah Pribadi : Jakarta

Nikijuluw, Ruth. (2011) Analisis Pengaruh Transfer Pemerintah Pusat terhadap

Upaya Pemungutan Pajak Kabupaten/ Kota. Skripsi. Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Oates, Wallace E. (2001) “Property Taxation and Local Government Finance;

An Overview and Some Reflections,” in Property Taxation and Local

Government Finance, edited by Wallace E. Oates, Cambridge, Lincoln

Institute of Land Policy.

Page 121: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

DAFTAR PUSTAKA 101

Pomp, Richard D. (2004) Section IV: Tax-Exempt Property from “State Tax

Reform: Proposals for Wisconsin”. Marquette Law Review 87, Fall

2004, pp. 83-89.

Rajaraman, G. V. (2000) Impacts of Grants on Tax Effort of Local Government.

National Institute of Public Finance and Policy.

Rosengard, Jay K. (2012) The Tax Everyone Loves to Hate: Principles of

Property Tax Reform, Mossavar-Rahmani Center for Business and

Government Faculty Working Paper Series I2012-10: Harvard Kennedy

School.

Saragih, Juli Panglima. (2003) Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah

Dalam Otonomi. Jakarta : Gahalia Indonesia.

Shoven, John B. (1976) The incidence and Efficiency Effect of Taxes on Income

From Capital. Journal of Political Economy.

Sidik, Machfud. (2002) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai

Pelaksana Desentralisasi Fiskal Malakah Seminar Setahun Implementasi

Kebijaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia. Yogyakarta. 13 Maret

2012.

Sjoquist, David L. (2003) Getting Serious About Property Tax Reform in

Georgia, Fiscal Research Center Report No. 86, Andrew Young School

of Policy Studies, Georgia State University.

Sjoquist, David L. (2005) The Land Use Value Tax in Jamaica: An Analysis and

Options for Reform, Working Paper 05-11, Andrew Young School of

Policy Studies, Georgia State University.

Kementerian Keuangan RI (2012) Tinjauan Tahunan Keuangan Daerah dan

Kinerja Pelayanan Publik.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Vehorn, Charles L dan Ehtisham Ahmad. (1997) Tax Administration, in Teresa

Ter-Minassian, Ed, Fiscal Federalism in Theory and Practice, Washington,

International Monetary Fund.

Wasylenko, Michael. (1997) “Taxation and Economic Development: The State

of the Economic Literature”. New England Economic Review, March/

April 1997.

Page 122: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .102

Zhao, Zhirong Jerry and Hou, Yilin. (2008) Local Option Sales Taxes and Fiscal

Disparity: The Case of Georgia Counties, Manuskrip The Hubert H.

Humphrey Institute of Public Affairs, University of Minnesota.

Page 123: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

103

Lampiran

1. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun 2009

_ c ons - 10 . 70915 1 . 937787 - 5 . 53 0 . 000 - 14 . 51762 - 6 . 900685 d_ k ot a . 3392709 . 0864033 3 . 93 0 . 000 . 1694564 . 5090854 l n_ be l moda l - . 3166845 . 0821417 - 3 . 86 0 . 000 - . 4781234 - . 1552457 l n_ da pe r 1 . 232905 . 1162586 10 . 60 0 . 000 1 . 004414 1 . 461396 pov r a t e - . 0120636 . 0038377 - 3 . 14 0 . 002 - . 0196062 - . 004521 l n_ y _ hot e l - . 4280104 . 0491867 - 8 . 70 0 . 000 - . 5246806 - . 3313402 l n_ y _ k ons t - . 2712877 . 0334484 - 8 . 11 0 . 000 - . 3370263 - . 2055492 l n_ y _ l i s . 1034704 . 0332092 3 . 12 0 . 002 . 038202 . 1687389 l n_ y _ ma n . 0780747 . 0265338 2 . 94 0 . 003 . 0259259 . 1302235 pa d_ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ]

T ot a l 374. 651011 448 . 836274579 Root MS E = . 65352 Adj R- s qua r e d = 0 . 4893 Re s i dua l 187. 918822 440 . 427088232 R- s qua r e d = 0 . 4984 Mode l 186. 732189 8 23 . 3415237 Pr ob > F = 0 . 0000 F ( 8 , 440) = 54 . 65 S our c e S S df MS Numbe r of obs = 449

> ot a. r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k

_ c ons - 10 . 70915 3 . 121045 - 3 . 43 0 . 001 - 16 . 84316 - 4 . 575145 d_ k ot a . 3392709 . 0635304 5 . 34 0 . 000 . 2144102 . 4641317 l n_ be l moda l - . 3166845 . 1056239 - 3 . 00 0 . 003 - . 5242745 - . 1090946 l n_ da pe r 1 . 232905 . 3149548 3 . 91 0 . 000 . 6139026 1 . 851908 pov r a t e - . 0120636 . 0040159 - 3 . 00 0 . 003 - . 0199563 - . 004171 l n_ y _ hot e l - . 4280104 . 1511635 - 2 . 83 0 . 005 - . 7251027 - . 1309182 l n_ y _ k ons t - . 2712877 . 0626411 - 4 . 33 0 . 000 - . 3944007 - . 1481748 l n_ y _ l i s . 1034704 . 055325 1 . 87 0 . 062 - . 0052637 . 2122046 l n_ y _ ma n . 0780747 . 0387513 2 . 01 0 . 045 . 0019141 . 1542353 pa d_ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ] Robus t

Root MS E = . 65352 R- s qua r e d = 0 . 4984 Pr ob > F = 0 . 0000 F ( 8 , 440) = 4 . 83L i ne a r r e gr e s s i on Numbe r of obs = 449

> ot a , r o. r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k

Page 124: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .104

2. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun 2010

3. Hasil Model Elastisitas Pajak 2009

. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 375 F( 2, 372) = 40.70 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3128 Root MSE = 1.9687

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .9580621 .1157151 8.28 0.000 .7305244 1.1856 ln_belmodal | .1212795 .1650898 0.73 0.463 -.2033467 .4459057 _cons | -9.897007 4.374413 -2.26 0.024 -18.49868 -1.29533------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1 ,ro

_ c ons - 43 . 43794 8 . 535269 - 5 . 09 0 . 000 - 60 . 20995 - 26 . 66593 d_ k ot a 1 . 158533 . 3603542 3 . 21 0 . 001 . 4504286 1 . 866638 l n_ be l moda l - . 2407626 . 2745328 - 0 . 88 0 . 381 - . 7802263 . 298701 l n_ da pe r 3 . 265589 . 4293343 7 . 61 0 . 000 2 . 421936 4 . 109241 pov r a t e - . 0218891 . 0160894 - 1 . 36 0 . 174 - . 0535052 . 009727 l n_ y _ hot e l - . 596182 . 2017021 - 2 . 96 0 . 003 - . 9925316 - . 1998324 l n_ y _ k ons t - . 8731671 . 135639 - 6 . 44 0 . 000 - 1 . 139701 - . 6066332l n_ y _ l i s t r i k . 281905 . 1320362 2 . 14 0 . 033 . 0224508 . 5413593 l n_ y _ ma n - . 2241805 . 1097782 - 2 . 04 0 . 042 - . 4398973 - . 0084637 pa d_ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ]

T ot a l 5655. 05088 478 11 . 8306504 Root MS E = 2 . 8092 Adj R- s qua r e d = 0 . 3329 Re s i dua l 3709. 18516 470 7 . 89188332 R- s qua r e d = 0 . 3441 Mode l 1945. 86572 8 243. 233215 Pr ob > F = 0 . 0000 F ( 8 , 470) = 30 . 82 S our c e S S df MS Numbe r of obs = 479

> d_ k ot a. r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l

_ c ons - 5 . 245812 2 . 008366 - 2 . 61 0 . 009 - 9 . 192299 - 1 . 299325 d_ k ot a . 333915 . 1168233 2 . 86 0 . 004 . 1043544 . 5634756 l n_ be l moda l - . 0433138 . 0326528 - 1 . 33 0 . 185 - . 1074774 . 0208499 l n_ da pe r . 4739502 . 1542429 3 . 07 0 . 002 . 1708592 . 7770412 pov r a t e - . 0004922 . 004633 - 0 . 11 0 . 915 - . 0095961 . 0086117 l n_ y _ hot e l - . 189503 . 0508952 - 3 . 72 0 . 000 - . 2895134 - . 0894926 l n_ y _ k ons t - . 1205429 . 0386353 - 3 . 12 0 . 002 - . 1964623 - . 0446235l n_ y _ l i s t r i k . 0295707 . 0186803 1 . 58 0 . 114 - . 0071366 . 066278 l n_ y _ ma n . 0436483 . 0182439 2 . 39 0 . 017 . 0077987 . 0794979 pa j a k _ pdr b Coe f . S t d. E r r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt e r v a l ] Robus t

Root MS E = . 4785 R- s qua r e d = 0 . 3201 Pr ob > F = 0 . 0099 F ( 8 , 470) = 2 . 55L i ne a r r e gr e s s i on Numbe r of obs = 479

> a l d_ k ot a , r o. r e g pa j a k _ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l mod

Page 125: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LAMPIRAN 105

Linear regression Number of obs = 79 F( 2, 76) = 96.74 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.6123 Root MSE = 1.3821

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | 1.156888 .1349493 8.57 0.000 .8881132 1.425663 ln_belmodal | .5061509 .3255985 1.55 0.124 -.1423346 1.154636 _cons | -23.75546 6.323316 -3.76 0.000 -36.34943 -11.16148------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 296 F( 2, 293) = 23.11 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2103 Root MSE = 1.9058

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .6926827 .1198975 5.78 0.000 .4567133 .9286522 ln_belmodal | .3631759 .1858918 1.95 0.052 -.0026766 .7290284 _cons | -9.509342 5.014904 -1.90 0.059 -19.37914 .360458------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 383 F( 2, 380) = 35.48 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2648 Root MSE = 1.8202

------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .7983234 .0950052 8.40 0.000 .6115216 .9851251 ln_belmodal | -.1640452 .1666942 -0.98 0.326 -.4918037 .1637132 _cons | 2.420979 4.555078 0.53 0.595 -6.535336 11.37729------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1,ro

Linear regression Number of obs = 78 F( 2, 75) = 109.45 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.6370 Root MSE = 1.05

------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .928005 .0906415 10.24 0.000 .7474378 1.108572 ln_belmodal | .397635 .2246035 1.77 0.081 -.0497981 .8450681 _cons | -13.9828 4.633837 -3.02 0.003 -23.21387 -4.751722------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Page 126: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .106

Linear regression Number of obs = 305 F( 2, 302) = 16.77 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1509 Root MSE = 1.7458

------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .5363027 .0945439 5.67 0.000 .3502544 .7223509 ln_belmodal | .0644462 .1917269 0.34 0.737 -.3128435 .441736 _cons | 3.049868 5.212874 0.59 0.559 -7.208286 13.30802------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 383 F( 2, 380) = 94.06 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5873 Root MSE = 1.0643

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .6747508 .0546483 12.35 0.000 .5672999 .7822018 ln_belmodal | .3181799 .1034587 3.08 0.002 .1147568 .5216031 _cons | -1.968619 2.678768 -0.73 0.463 -7.235683 3.298444------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 304 F( 2, 301) = 57.50 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5271 Root MSE = 1.1381

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .6508492 .0679439 9.58 0.000 .5171441 .7845543 ln_belmodal | .3464426 .1253017 2.76 0.006 .0998642 .5930209 _cons | -2.221621 3.282762 -0.68 0.499 -8.681692 4.23845------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==1,ro

Linear regression Number of obs = 79 F( 2, 76) = 233.37 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.7393 Root MSE = .65341

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .6069442 .0351226 17.28 0.000 .5369915 .6768969 ln_belmodal | .5110046 .1419554 3.60 0.001 .228276 .7937332 _cons | -5.000083 3.336701 -1.50 0.138 -11.6457 1.645533------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal,ro

Page 127: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LAMPIRAN 107

Linear regression Number of obs = 433 F( 2, 430) = 74.86 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4056 Root MSE = 1.6968

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | 1.074495 .1078834 9.96 0.000 .8624507 1.286539 ln_belmodal | .4050957 .1717653 2.36 0.019 .0674917 .7426998 _cons | -16.5818 4.120761 -4.02 0.000 -24.68114 -8.482457------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro

Linear regression Number of obs = 87 F( 2, 84) = 36.66 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4340 Root MSE = 1.4058

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .7840246 .1501377 5.22 0.000 .4854593 1.08259 ln_belmodal | .4781072 .3298095 1.45 0.151 -.1777553 1.13397 _cons | -9.971749 6.457807 -1.54 0.126 -22.81381 2.870307------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 346 F( 2, 343) = 48.37 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3709 Root MSE = 1.666

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .9842874 .135558 7.26 0.000 .7176578 1.250917 ln_belmodal | .6919261 .1938652 3.57 0.000 .3106119 1.07324 _cons | -21.93947 4.915796 -4.46 0.000 -31.60837 -12.27057------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 395 F( 2, 392) = 50.44 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3813 Root MSE = 1.2744

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .8174076 .0894009 9.14 0.000 .6416423 .9931728 ln_belmodal | .2797674 .1399087 2.00 0.046 .0047022 .5548327 _cons | -6.04507 3.787451 -1.60 0.111 -13.49133 1.401187------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro

Page 128: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .108

Linear regression Number of obs = 82 F( 2, 79) = 48.00 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5478 Root MSE = 1.1259

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .7996615 .1418926 5.64 0.000 .5172314 1.082092 ln_belmodal | .4612578 .3038396 1.52 0.133 -.1435198 1.066035 _cons | -9.814736 5.683026 -1.73 0.088 -21.12652 1.497044------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 313 F( 2, 310) = 25.33 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2975 Root MSE = 1.2909

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .7282676 .1127789 6.46 0.000 .5063586 .9501766 ln_belmodal | .3422904 .1625715 2.11 0.036 .0224074 .6621735 _cons | -5.512304 4.724018 -1.17 0.244 -14.8075 3.78289------------------------------------------------------------------------------

4. Hasil Model Elastisitas Pajak 2011

. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 348 F( 2, 345) = 25.25 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1720 Root MSE = 2.161

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .4491704 .1084887 4.14 0.000 .235788 .6625528 ln_belmodal | .9049074 .2519706 3.59 0.000 .4093155 1.400499 _cons | -16.47427 5.92404 -2.78 0.006 -28.12605 -4.822487------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1 ,ro

Linear regression Number of obs = 74 F( 2, 71) = 36.58 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3912 Root MSE = 1.746

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .4410613 .1289815 3.42 0.001 .1838794 .6982432 ln_belmodal | 1.602647 .4019975 3.99 0.000 .8010872 2.404208

Page 129: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LAMPIRAN 109

_cons | -32.24368 8.595672 -3.75 0.000 -49.38296 -15.10439------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 274 F( 2, 271) = 19.09 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1409 Root MSE = 1.9663

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .3228988 .1180193 2.74 0.007 .0905477 .55525 ln_belmodal | 1.007347 .2428303 4.15 0.000 .5292737 1.485421 _cons | -16.19364 5.886377 -2.75 0.006 -27.78249 -4.604803------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 356 F( 2, 353) = 23.77 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1323 Root MSE = 1.8907

------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .2933364 .0887235 3.31 0.001 .1188432 .4678296 ln_belmodal | .894026 .2268835 3.94 0.000 .4478127 1.340239 _cons | -10.92557 5.212149 -2.10 0.037 -21.17634 -.6747965------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1,ro

Linear regression Number of obs = 75 F( 2, 72) = 59.98 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4366 Root MSE = 1.3649

------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .259918 .105065 2.47 0.016 .0504748 .4693613 ln_belmodal | 1.71625 .3319359 5.17 0.000 1.054548 2.377952 _cons | -29.30188 6.60212 -4.44 0.000 -42.46296 -16.14079------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 281 F( 2, 278) = 16.40 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1051 Root MSE = 1.7158

Page 130: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .110

------------------------------------------------------------------------------ | Robustln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_hotel | .1826946 .090754 2.01 0.045 .0040423 .3613469 ln_belmodal | .9437789 .2236369 4.22 0.000 .5035421 1.384016 _cons | -9.67712 5.346618 -1.81 0.071 -20.20212 .8478794------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 357 F( 2, 354) = 86.50 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5150 Root MSE = 1.1111

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .5218674 .0511501 10.20 0.000 .4212711 .6224638 ln_belmodal | .3952331 .1382503 2.86 0.005 .123338 .6671283 _cons | -.4649487 3.180456 -0.15 0.884 -6.719914 5.790016------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 282 F( 2, 279) = 48.37 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5207 Root MSE = 1.0916

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .5398269 .0611738 8.82 0.000 .419406 .6602478 ln_belmodal | .2358658 .1455458 1.62 0.106 -.0506417 .5223732 _cons | 3.086275 3.590557 0.86 0.391 -3.981747 10.1543------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==1,ro

Linear regression Number of obs = 75 F( 2, 72) = 71.46 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.5519 Root MSE = .8803

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_lis | .2820702 .0767077 3.68 0.000 .1291561 .4349843 ln_belmodal | 1.188658 .2263177 5.25 0.000 .7375017 1.639814 _cons | -14.37611 4.600153 -3.13 0.003 -23.54635 -5.205871------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 455

Page 131: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

LAMPIRAN 111

F( 2, 452) = 41.39 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2190 Root MSE = 2.0066

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .5713063 .1168453 4.89 0.000 .341679 .8009337 ln_belmodal | .8648203 .2471871 3.50 0.001 .3790418 1.350599 _cons | -16.14446 5.22503 -3.09 0.002 -26.41282 -5.876092------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro

Linear regression Number of obs = 91 F( 2, 88) = 37.31 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.3419 Root MSE = 1.7521

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .231164 .1473153 1.57 0.120 -.0615942 .5239222 ln_belmodal | 2.061522 .3606467 5.72 0.000 1.344813 2.778232 _cons | -36.38217 7.485244 -4.86 0.000 -51.25752 -21.50682------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_bphtb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 364 F( 2, 361) = 33.20 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.2297 Root MSE = 1.8874

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .6025976 .1301015 4.63 0.000 .3467456 .8584496 ln_belmodal | .8093697 .2580731 3.14 0.002 .3018542 1.316885 _cons | -15.86514 5.572857 -2.85 0.005 -26.82448 -4.905799------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal,ro

Linear regression Number of obs = 415 F( 2, 412) = 26.84 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1946 Root MSE = 1.519

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .3756823 .0860202 4.37 0.000 .206589 .5447755 ln_belmodal | .6842331 .1997857 3.42 0.001 .2915067 1.076959 _cons | -5.534784 4.61492 -1.20 0.231 -14.60651 3.536943------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro

Page 132: EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/152571...undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah

EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK . . .112

Linear regression Number of obs = 86 F( 2, 83) = 47.36 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.4172 Root MSE = 1.3314

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .1431627 .1109035 1.29 0.200 -.0774198 .3637453 ln_belmodal | 1.784114 .2731555 6.53 0.000 1.240819 2.32741 _cons | -26.70506 5.573565 -4.79 0.000 -37.79066 -15.61946------------------------------------------------------------------------------

. reg ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro

Linear regression Number of obs = 329 F( 2, 326) = 16.79 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.1736 Root MSE = 1.4608

------------------------------------------------------------------------------ | Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]-------------+---------------------------------------------------------------- ln_y_konst | .3881893 .094001 4.13 0.000 .2032642 .5731145 ln_belmodal | .477997 .2086257 2.29 0.023 .0675744 .8884196 _cons | -.762351 5.014112 -0.15 0.879 -10.62645 9.101749------------------------------------------------------------------------------

1