-
ETIKA TERAPAN | 1
ETIKA TERAPAN Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Secara umum etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika
khusus. Etika umum membicarakan mengenai norma dan nilai-nilai
moral, kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis,
bagaiman manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika,
lembaga-lembaga normatif (suara hati manusia) dan lainnya. Etika
umum sebagai ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika
teoretis, kendati istilah ini sesungguhnya tidak tepat karena
bagaimanapun juga etika selalu berkaitan dengan perilaku dan
kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam kehidupan sehari-hari
dan tidak hanya bersifat teoretis.1 Sementara itu etika khusus
merupakan penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma dan
prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan
manusia yang lebih khusus. Etika khusus di sini memberi pegangan,
pedoman dan orientasi praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan
kegiatan khusus tertentu yang dijalaninya. Etika khusus juga
merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus
tertentu yang mempersoalkan praktik, kebiasaan dan perilaku
tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai dengan
norma umum tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan
dan kegiatan tersebut di pihak lain.2 Etika khusus dibagi menjadi
etika individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan
etika sosial, yang merupakan bagian terbesar dari etika khusus.
Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota
umat manusia. Diagram di bawah ini menunjukkan pembagian etika,
sebagai berikut di bawah ini: 3
1 Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya,
(Yogyakarta:
Penebit Kanisus, 1998), hlm. 32 2 Ibid, hlm. 32-33 3 Frans
Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia,
1989),
hlm. 7-8
-
2 | ETIKA TERAPAN
Diagram Sistematika ETIKA
PENDAKATAN ETIKA TERAPAN Ada dua pendekatan Etika khusus atau
Etika Terapan, yaitu: pendekatan multidisipliner dan kasuistik yang
akan dijelaskan di bawah ini. Pendekatan Multidisipliner
Pada perkembangannyannya etika sebagai etika terapan atau
applied ethics ini memberikan kontribusi penting yang dapat
diberika etika sebagai bagian dari filsafat kepada bidang lintas
disiplin ilmu lainnya. Bukan hanya pada Fakultas Filsafat
berkembang mata kuliah-mata kuliah seperti etika biomedis, etika
bisnis, etika lingkungan hidup, etika media massa dan lain
sebagainya. Perkembangan yang sama terjadi juga di
fakultas-fakultas lainnya, misalnya etika biomedis diberikan di
Fakultas Kedokteran, etika bisnis di Fakultas Ekonomi dan
seterusnya. Dengan
ETIKA
UMUM Prinsip Moral dasar
KHUSUS terapan
ETIKA INDIVIDUAL
ETIKA SOSIAL
-
ETIKA TERAPAN | 3
demikian etika bagaikan magnet yang menghimpun ilmu-ilmu atau
bidang kajian lainnya.4
Kerja sama etika dengan disiplin ilmu lain tersebut diperlukan,
sehubungan dengan etika harus melakukan pertimbangan-pertimbangan
sesuatu yang di luar bidangnya. Seorang Etikawan tentunya akan
mengalami kesulitan untuk memberikan pertimbangan dengan baik, bila
tidak mendapatkan penjelasan-penjelasan yang memadai dan lengkap
yang hanya diperoleh dari disiplin ilmu yang membidanginya.5
Misalnya, seorang etikawan tidak akan mendapatkan penjelasan yang
memadai, ketika memberi pertimbangkan mengenai masalah bayi tabung,
apabila etikawan tersebut tidak mendapatkan penjelasan yang memadai
dari dunia kedokteran. Demikian juga para profesional seperti
halnya Ikatan dokter Indonesia pun menuliskan dampak teknologi
kedokteran bagi etika.6
Kasuistik Sehubungan dengan etika terapan menggeluti
masalah-masalah yang sangat konkret, tidak mengherankan bahwa di
sini telah berkembang kebiasaan untuk mempelajari kasus, seperti
yang telah dilakukan oleh ilmu kedokteran dengan etika biomedisnya
dan ilmu manajemen dengan etika bisnisnya kasus-kasus banyak
dibicarakan. Bahkan saat ini sudah ada buku-buku yang memuat
kasus-kasus dan pembahasan dari kasus tersebut, baik di bidang
etika biomedis maupun etika bisnis, misalnya kasus-kasus yang
membahas Susu Bayi Nestle, kasus mobil Ford Pinto dan kasus-kasus
lainnya di bidang etika bisnis.7 Kasuistik itu sendiri merupakan
usaha memacahkan kasus-kasus konkret di bidang moral dengan
menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Jadi, Kasuistik ini
sejalan dengan maksud umum dari etika
4 K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju
PT Mizan
Publika, 2005), hlm. 24-25 5 Antonius Atosokhi Gea, Relasi
Dengan Dunia Alam, Iptek dan Kerja,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005), hlm 24 6
Kartono Mohamad di dalam K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit
PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 274 7 K. Bertens,
Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 26
-
4 | ETIKA TERAPAN
terapan. Tidak mengherankan bila dalam suasana etis yang
menandai jaman kita saat ini, timbul minat baru untuk kasusistik
ini. Kasuistik itu sendiri memiliki sejarah panjang dan kaya yang
sebenarnya sudah ada sejak Aristoteles menyatakan etika sebagai
ilmu praktis.8 Pertimbangan moral yang praktis selalu bersifat
kasuistik. Dalam hal ini kasuistik secara khusus dapat membantu
menjembatani kesenjangan antara relativisme9 dan absolutisme. Pada
satu sisi adanya kasuistik mengandaikan secara tidak langsung bahwa
relativisme moral tidak bisa dipertahankan. Dalam hal ini
mengandaikan, bahwa setiap kasus memiliki kebenaran-kebenaranannya
masing-masing, maka dalam pandangan ini kasuistik sebenarnya tidak
diperlukan lagi. Di satu sisi norma-norma etis juga tidak juga
bersifat absolut begitu saja, sehingga sulit diterapkan tanpa
mempertimbangkan situasi konkret. Jadi faktor situasi konkret yang
disebut dengan circumstantiae merupakan faktor yang penting yang
menjadi pertimbangan, faktor inilah yang merupakan faktor khas yang
menandai situasi tersebut atau dalam bahasa Indonesia kita kenal
sebagai sikon. Sebuah rumusan klasik yang tetap berlaku hingga saat
ini untuk memahami kasuistik ini berupa rumusan: quis, quid, ubi,
quibus auxiliis, cur, quomodo, quando atau dalam bahasa Indonesia
yang sudah sangat populer dengan siapa, apa, di mana, dengan sarana
mana, mengapa, bagaimana, kapan kasuistik ini dirumuskan.10
METODE ETIKA TERAPAN Etika terapan merupakan pendekatan ilmiah
yang pasti tidak seragam. Etika sebagai ilmu yang praktis tidak ada
metode yang siap pakai yang dapat begitu saja digunakan oleh orang
yang berkecimpung dalam bidang ini. Pada etika terapan, variasi
metode dan variasi
8 K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007),
hlm. 275-276 9 Relativisme moral merupakan pendekatan filosofis
yang menyatakan bahwa
moralitas didasarkan terutama pada budaya, dan bahwa pada
kenyataannya tidak ada kebenaran dan kealahan mutlak.
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2004), hlm. 37
10 K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika,hlm.
33-35
-
ETIKA TERAPAN | 5
pendekatan berbeda-beda. Dalam hal ini paling tidak ada empat
unsur yang melalui salah satu cara selalu berperan dalam etika
terapan. Empat unsur tersebut mewarnai setiap pemikiran etis, jadi
metode etika terapan dalam hal ini sejalan dengan proses
terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya. Empat unsur yang
dimaksud disini adalah: Sikap awal, informasi, norma-norma moral,
logika. Berikut di bawah ini dipaparkan empat unsur tersebut,
sebagai berikut:11
1. Sikap Awal Selalu ada sikap awal dan tidak pernah bertolak
dari titik nol dalam membentuk suatu pandangan mengenai masalah
etis apa pun. Sikap moral ini dapat berupa pro atau kontra atau
juga netral, atau malah tidak peduli sama sekali, namun sikap-sikap
awal ini belum direfleksikan. Sikap awal ini terbentuk karena
berbagai faktor misalnya pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman
pribadi dll. Sikap awal akan bertahan sampai suatu saat berhadapan
dengan suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah reflesinya. Bisa
jadi sikap awal tersebut menjadi masalah ketika berjumpa dengan
orang yang memiliki sikap yang berbeda dengan dirinya. Pada awalnya
mungkin kita belum berpikir mengapa kita bersikap demikian,
misalnya dalam masyarakat yang sudah biasa menggunakan teknologi
nuklir sebagai sumber energinya, tanpa keberatan apa pun mereka
menerima begitu saja penggunaan energi nuklir tersebut. Akan tetapi
seiring dengan sikap negara yang menggunakan nuklir sebagai alat
persenjataannya, seperti Korea Utara yang sering kali melakukan uji
coba nukir ditambah dengan peristiwa gempa besar di Jepang yang
merusak reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir yang efeknya
begitu besar bagi manusia, peristiwa tersebut seperti membuka mata
masyarakat akan bahaya energi nuklir bagi kehidupan manusia. Dari
peristiwa ini sikap awal orang akan tergugah dan menjadi problema
etis.
2. Informasi Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang
diperlukan adalah informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah
etis
11 K. Bertens, ETIKA, hlm. 295-303
-
6 | ETIKA TERAPAN
yang terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi, seperti
masalah di atas. Bisa saja sikap awal yang diambil pro, karena
energi nuklir energi yang sangat murah namun menghasilkan energi
listrik yang besar. Sikap awal seringkali bersifat subjektif yang
tidak sesuai dengan kondisi objektifnya. Melalui informasi dapat
diperoleh, bahwa bahan sisa-sisa energi nuklir ternyata tidak mudah
musnah. Sampah nuklir mengandung radioaktif yang membutuhkan 6000
tahun untuk tidak aktif. Hal ini tentu sangat mencemari lingkungan,
air, tanah dan udara melalui radioaktif yang dilepaskan ke udara.
Tentu informasi-informasi ini diperoleh melalui data ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan, informasi tersebut diperoleh dari para
ahli di bidangnya. Dengan demikian etika terapan memerlukan
informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah etis tersebut,
hal ini sesuai dengan konteks yang sudah dijelaskan di atas etika
terapan mengadakan pendekatan multidisipliner.
3. Norma-norma Moral Metede etika terapan berikutnya adalah
norma-norma moral yang relevan untuk topik atau bidang
bersangkutan. Penerapan norma-norma moral ini merupakan unsur
terpenting dalam metode etika terapan. Penerapan norma-norma ini
bukan merupakan pekerjaan yang mudah, tidak seperti mata kuliah
teknik yang dapat menerapkan prinsip teori teknik secara langsung
dalam mengaplikasikannya ke dalam praktik, misalnya dalam membangun
sebuah bangunan. Hal ini lebih dikarenakan norma-norma tersebut
tidak dalam kondisi siap sedia dan tinggal diterapkan begitu saja,
akan tetapi norma-norma tersbut perlu diuji dan dibuktikan terlebih
dahulu, sebagai norma yang dapat diterima dan digunakan untuk kasus
tersebut, serta dapat diterima secara umum. Misalnya mengenai
masalah perbudakan, tidak serta merta semua orang menyadari bahwa
hal itu tidak sesuai norma. Hal ini melalui penerapan pada
sekelompok kecil yang akhirnya mempengaruhi orang secara
keseluruhan, bahwa perbudakan bukan hal yang baik untuk
kemanusiaan.
4. Logika
-
ETIKA TERAPAN | 7
Etika terapan harus bersifat logis, dalam hal ini menuntut
uraian yang logis dan rasional dalam pemaparannya. Melalui bantuan
logika dapat memperlihatkan bagaimana suatu argumentasi mengenai
masalah moral, kaitan antara kesimpulan etis dengan
premis-premisnya dan apakah penyimpulannya tersebut tahan uji, jika
diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Melalui
logika dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan penalaran dan
inkonsistensi yang terjadi dalam argumentasi yang dipaparkan.
Logika juga dapat menilai definisi yang tepat tentang konsep yang
dibicarakan dalam etika terapan. Diskusi akan menjadi tidak terarah
apabila penyaji tidak berhasil mendefinisikan topik-topik yang
dibahas itu secara jelas. Misalnya penyaji harus terlebih dahulu
mendefinisikan mengenai topik perjudian, korupsi, suap dan
sebagainya secara jelas menurut aturan logika. Melalui
pendefinisian yang dibantu dengan logika tersebut perdebatan moral
menjadi lebih terarah dan menarik.
PENUTUP
Demikianlah etika terapan merupakan penerapan prinsip-prinsip
atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Dalam kaitan ini, norma dan prinsip moral ditinjau dalam konteks
kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih khusus. Etika
terapan juga bersifat multidisipliner, dalam hal ini memerlukan
ilmu-ilmu lain selain etika untuk menjelaskan masalah yang
disoroti, agar dalam penyimpulan etis dapat dilakukan dengan tepat.
Metode etika terapan terdapat empat unsur yang terdiri dari: sikap
awal, informasi, norma-norma moral, logika
DAFTAR PUSTAKA Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan
Relevansinya, (Yogyakarta:
Penebit Kanisus, 1998) Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan
Dunia Alam, Iptek dan Kerja,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005)
-
8 | ETIKA TERAPAN
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT
Gramedia,
1989) K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit
Teraju PT
Mizan Publika, 2005) K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas
Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama,
2007) Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2004)
-
ETIKA TERAPAN | 9
ETIKA SOSIAL oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN Pembagian lain dari Etika Terapan adalah pembedaan
antara etika individual dan etika sosial. Bidang kajian etika
individual membahas berbagai kewajiban manusia terhadap dirinya
sendiri, sementara itu etika sosial lebih menekankan kepada
pembahasan kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat. Pembagian
etika kedalam etika individual dan etika sosial ini pun sebenarnya
diragukan relevansinya, mengingat manusia secara individu merupakan
bagian dari masyarakat, dengan demikian agak sulit membedakan etika
yang semata-mata untuk individu manusia tertentu dan etika yang
semata-mata sosial. Sebut saja masalah yang berkaitan dengan
kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya bunuh diri
yang sama sekali tidak melibatkan orang lain diprosesnya, tetap
saja pada akhirnya merepotkan orang lain yang menemukan dirinya
yang sudah didapati tidak bernyawa, karena orang yang bersangkutan
memiliki famili, teman-teman, tetangga dan lain sebagainya.12
Dengan demikian tidak ada suatu masalah pun yang dapat dilepaskan
begitu saja dari konteks sosial, sehingga pembagian etika ke dalam
etika individual kehilangan relevansinya, mengingat manusia sebagai
mahluk sosial.
PEMBAGIAN ETIKA SOSIAL Secara khusus etika sosial membahas
menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, etika
sosial memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Etika sosial
menyangkut hubungan individu yang satu dengan individu yang
lainnya, serta menyangkut juga interaksi sosial secara
bersama-sama, termasuk dalam bentuk-bentuk kelembagaan
(Keluarga,
12 Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, 2007),
hlm. 272
-
10 | ETIKA TERAPAN
masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap paham yang
dianut, serta pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing.13
Selanjutnya Sonny Keraf membagi etika tersebut sebagai berikut di
bawah ini:14 Etika Umum
Etika Etika Individual
- Sikap terhadap sesama
- Etika Keluarga
Etika Khusus Etika Sosial
- Etika gender -Biomedis
- Bisnis
- Etika Profesi -- Hukum
Etika Lingkungan - Ilmu
- Etika Politik Pengetahuan
- Pendidikan
- Kritik Ideologi - dll
Dengan demikian, melihat sistematika pembagian etika khusus di
atas, hampir seluruh materi etika terapan yang diberikan dalam Mata
Kuliah Etika di Universitas Kristen Maranatha pada setengah
semester ini
13 A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1998), hlm.
34 14 Ibid, hlm. 34
-
ETIKA TERAPAN | 11
sebagian bersar merupakan bidang kajian dari Etika Sosial yang
terdiri atas: Etika Bisnis, Etika Politik dan Etika Seksual.
TEMA-TEMA ETIKA SOSIAL Berikut dipaparkan tema-tema yang
terdapat dalam kajian Etika Sosial, sebagai berikut di bawah
ini:
Menurut buku Manual of Social Etics15 terdiri atas: The Natural
Law, The Dignity of Man, Mans Natural Rights, The Rights to Life,
The Right to Bodily Integrity, The Family, The State, Lesser
Associations in the State, Vocational Organization, Trade Unionism,
Education, Property, Capitalism, Communism, Strikes, Wages,
Profit-Sharing and Co-Partnership.
Sedangkan menurut buku ETIKA Sosial karya Jenny Teichman16,
Bagian Pertama: Dasar Etika terdiri dari (Moralitas dan Humanitas;
Egoisme, Relativisme dan Konsekuensialisme); Bagian Kedua:
Pembelaan Humanisme (Manusia dan Pribadi, Manusia dan Binatang,
Manusia dan Mesin), Bagian Ketiga: Kematian dan Kehidupan
(Eutanasia- Pro dan Kontra, Eutanasia Logika dan Praktek, Aborsi,
Etika Profesional), Bagian Keempat: Ideologi dan Nilai (Feminisme
dan Maskulisme, Kebebasan Berpikir dan Berekspresi dan Kelompok
Kiri, Kanan dan Hijau)
DASAR ETIKA
Tindakan atau cara bertindak seseorang dipengaruhi oleh
keyakinannya mengenai apa yang baik dan yang jahat, ada anggapan
bahwa teori-teori etika tidak mempengaruhi tindak-tanduk seseorang.
Akan tetapi anggapan ini nampaknya keliru, teori yang berbeda akan
membuat tindakannya pun berbeda pula. Kelompok konsekuensialis
dalam hal ini utilitarian dan teman-temannya akan melihat sisi
manfaat
15 Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon),
Manual of
Social Ethics, (Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956) 16 Jenny
Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
-
12 | ETIKA TERAPAN
atau keuntungannya ketimbang sisi benar dan salah apa yang
dilakukannya.17 Demikian juga dengan Egoisme, dalam hal ini egoisme
teoritis merupakan teori yang menempatkan moralitas pada
kepentingan dirinya sendiri. Secara kodrati menurut faham ini
segala tindakan manusia didorong oleh motivasi cinta diri dan
tindakan-tindakan yang nampak sepertinya tidak menunjukan cinta
diri, namun ternyata ada motivasi lain dibalik tindakannya
tersebut. Misalnya hasrat menolong orang menurut faham ini didasari
oleh rasa cinta diri itu sendiri. Sementara itu Friedrich Nietzsche
menekankan bahwa pandangan egoisme itu harus dianut, manusia unggul
harus menganut egoisme agar dapat memajukan bangsanya
(ber-mensch).18 Adapun Relativisme moral merupakan aliran etika
yang menyatakan benar dan salahnya bergantung pada masyarakat
tempat dimana manusia itu hidup. Seperti kita maklumi bahwa
masing-masing kelompok masyarakat memiliki kode perilaku yang
berbeda-beda. Dengan demikian terdapat standar moralitas yang
berbeda-beda, seseorang tidak dapat menghakimi orang lain dari
komunitas lain yang berbeda standar moralnya, bila ini terjadi maka
ini berarti terjadi imperialisme kultur. Apabila berpegang pada
sudut pandang relativisme moral, kegiatan para Ku Klux Klan
dipandang sebagai tindakan yang jahat dan tidak adil dari sudut
pandang orang kulit hitam saja atau rasisme harus selalu dikutuk,
kecuali ditempat dimana masyarakat dapat menerima pandangan
membeda-bedakan menurut dasar ras. Maka dengan demikian, jika semua
nilai bersifat relatif bagi suatu masyarakat, maka tidak ada alasan
untuk mengatakan bahwa konsistensi yang logis sebagaimana adanya
lebih baik daripada rasisme atau tirani, semuanya bergantung pada
sudut pandang masyarakat bersangkutan.19 Menempatkan manusia pada
sisi harkat dan martabatnya diperlukan dalam mempelajari berbagai
teori-teori etika yang ada, agar kita dapat memiliki prinsip dalam
mengambil sebuah tindakan. Dan prinsip
17 Ibid, hlm. 3 18 Ibid, hlm. 5-10 19 Ibid, hlm 10-15
-
ETIKA TERAPAN | 13
tindakan itu adalah terletak pada penghargaan terhadap harkat
dan martabat manusia yang menjadi dasar yang utama dalam tindakan
seseorang. Jenny Teichman dengan tegas mengemukakan prinsip dasar
yang harus dipegang dalam etika sosial, prinsip pertama adalah
bahwa manusia secara intrinsik berharga, yakni kudus, dalam arti
religius ataupun sekuler dan kedua bahwa manusia mempunyai hak-hak
kodrati.20
KEHIDUPAN MANUSIA DAN NILAI INTRINSIK Lebih lanjut Jenny
Teichman dalam bukunya ETIKA SOSIAL mengemukakan mengenai nilai
intrinsik dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia dan nilai
intrinsiknya dapat kita ketahui melalui pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:21
1. Hampir setiap orang ingin hidup, apakah mereka bahagia atau
pun tidak dengan caranya masing-masing, menunjukkan kepada kita
bahwa hidup itu memiliki nilai yang lebih besar dari sekedar
keberadaan jiwa maupun raganya. Selain itu orang-orang di mana pun
menilai kehidupan mereka sendiri dan kehidupan orang-orang yang
mereka cintai lebih tinggi daripada apa pun yang lain di dunia
ini.
2. Kehidupan manusia hanya mempunyai nilai intrinsik jika layak
dihidupi. Kehidupan yang bagaimana yang layak dihidupi itu? Apakah
hidup yang tidak layak dijalani ada dalam penderitaan seperti dalam
keadaan sakit yang berkepanjangan atau bahkan keadaan koma. Namun
kehidupan dalam tahanan, kesedihan, ataupun kesakitan bahkan dalam
kekurangan makanan pun ternyata dinilai layak dijalani.
3. Kaum utilitaris berpendapat bahwa hanya keadaan jiwa seperti
dalam keadaan senang dan bahagia yang memiliki nilai intrinsik,
pendapat ini digambarkan seperti menaruh kereta di depan kuda.
Sementara itu apabila kita menilai sebilah pisau, kita
menilainya
20 Jenny Teichman, hlm 20 21 Ibid, hlm. 22-24
-
14 | ETIKA TERAPAN
hanya sebagai alat saja, lain halnya kita menilai sebuah Lukisan
Leonardo da Vinci, maka kita mengatakan lukisan tersebut memiliki
nilai intrinsik. Dengan demikian penilaian memiliki nilai intrinsik
tersebut dinilai dari kualitasnya bukan dilihat dari sisi
instrument yang memiliki kegunaan saja. Demikian juga halnya dengan
menilai manusia jika dilihat dari sisi kebergunaan sebagai
instrumen tadi, maka manusia yang ada dalam keadaan yang tidak
berdaya mungkin dinilai tidak ada gunanya.
4. Kalau begitu jika kehidupan manusia tidak mempunyai nilai
intrinsik, bagaimana manusia dapat memberikan nilai kepada hal-hal
lain? Bagaimana suatu yang bernilai sekunder dapat memahami dan
menciptakan sesuatu yang bernilai primer?
5. Bila masyarakat yang moral dan politiknya didasarkan atas
teori bahwa kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik akan
bertindak memperlakukan orang lain sebagai cecunguk yang layak
diinjak dan ditendang, misalnya perlakuan terhadap orang
Yahudi.
6. Jika ada tataran nilai di dunia ini dan manusia tidak berada
pada puncak tataran ini, lalu apakah yang ada di puncak?
Dalam poin-poin tersebut di atas dapatlah kita simpulkan bahwa
setiap manusia bernilai pada dirinya sendiri, dan sama sekali tidak
mengurangi nilainya manakala manusia ada dalam kehidupan tidak
bahagia sekali pun. Sehingga tidak ada alasa bagi kita memandang
rendah sesama kita, betapa pun secara kedudukan misalnya dia adalah
rakyat jelata dan miskin sekali pun, tetaplah kita harus
menghormati dia sebagai manusia. Karena manusia bernilai pada
dirinya sendiri, maka manusia pun merupakan tujuan pada dirinya
sendiri. Hal ini dapat diartikan, bahwa tidak ada alasan sedikit
pun bagi kita menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai
suatu tujuan. Tidak selayaknya mengorbankan orang-orang atau
golongan yang lemah demi kemajuan masyarakat, hal ini jelas
menyangkal manusiawinya sendiri.22
22 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama,
1982). Hlm. 90-91
-
ETIKA TERAPAN | 15
HAK-HAK ASASI UNIVERSAL Gagasan mengenai hak-hak manusia yang
universal atau hak-hak kodrati, merupakan konsep pokok yang
mendasari dan menginspirasi revolusi Amerika maupun Prancis. Ada
beberapa jenis hak yang berbeda, diantaranya: hak-hak warisan,
hak-hak legal, hak-hak sipil, dan hak-hak kodrati atau hak-hak
asasi manusia.23 Hak-hak warisan dalam hal ini tidak memerlukan
negara dalam pembelaannya, hak ini terbahas secara implisit dalam
saling pemahaman dan kepercayaan. Hak-hak legal mengandaikan adanya
sistem hukum. Adapun Hak-hak sipil dimiliki oleh semua warga
(dewasa) meliputi, hak-hak yang berkaitan dengan hak legal, dan
hak-hak yang berkaitan dengan pemerintah demokrasi seperti hak
memilih. Sementara itu Hak-hak kodrati meliputi hak-hak mutlak dan
universal. Hak-hak itu diakui sebagai dimiliki oleh semua manusia
tanpa kecuali.24 Mengenai hak kodrati ini, Thomas Hobbes
(1588-1679) mengemukakan dalam bukunya yang terkenal Leviathan,
bahwa manusia memiliki hak asasi yang masing-masing setiap individu
miliki, namun rangka pemenuhan haknya itu antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain terjadi yang namanya bellum omnes contra
omnia (perang semua melawan semua) dan homo homini lupus (manusia
adalah serigala bagi sesamanya). Untuk itulah, Hobbes membayangkan
sebuah keadaan asali atau the state of nature dimana saat semua
manusia mengadakan kontrak sosial, setiap manusia dalam kontrak
sosial itu menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodratinya kepada
sebuah lembaga yang disebut negara, agar ada lembaga yang memiliki
kekuatan mengamankan kepentingan manusia itu dan memaksakan
norma-norma dan ketertibannya.25 Berbeda dengan Hobbes yang
menggambarkan keadaan manusia yang saling bertentangan, karena
masing-masing memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. John Locke
(1632-1704) dalam bukunya The Second Treatise of Government,
menggambarkan keadaan asali manusia yang
23 Jenny Teichman, hlm. 24-25 24 Ibid, hlm 26-27 25 F. Budi
Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI
NIETZSCHE, (jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004),
hlm. 65-72
-
16 | ETIKA TERAPAN
hidup bermasyarakat diatur oleh hukum-hukum kodrat dan
masing-masing individu memiliki hak-hak yang tak boleh dirampas
darinya. Jadi dalam masyarakat asali itu ada kebebasan dan
kesamaan.26 Dalam pemaparan di atas kita sudah melihat sekilas ide
mengenai hak-hak asasi manusia yang universal ini dikemukakan oleh
para filsuf, dan di dalam pemaparan mengenai kehidupan manusia dan
nilai intrinsiknya telah dipaparkan bahwa manusia memiliki nilai
pada dirinya sendiri atau dengan kata lain berharga dan memiliki
martabat. Martabat manusia di hormati, apabila segenap anggota
masyarakat dihormati hak-hak asasinya. Hak Asasi Manusia Apa itu
hak asasi manusia? Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang
dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat
atau negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Hak-hak itu dimiliki manusia karena ia manusia. Sejak seseorang
berada dalam kandungan ibunya sampai dengan ia dilahirkan, ia sudah
memiliki hak-hak asasi tersebut. Dalam pemandangan hak asasi
manusia, bahwa hak-hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan
tidak berlaku oleh masyarakat atau negara.27 Hak asasi manusia
tersebut dapat dibedakan dalam tiga kelompok, sebagai
berikut:28
(1) Hak-hak kebebasan, hak-hak ini bersifat melindungi kebebasan
dan otonomi manusia dalam kehidupan pribadi. Hak-hak ini meliputi
diantaranya: (a) hak atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan
bergerak (pada dasarnya hak di dalam kebebasan fisik manusia); (b)
kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan beragama (dan hak-hak
lainnya yang meliputi kebebasan secara psikis); (c) perlindungan
terhadap hak milik, hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang
dan hak atas perlindungan hukum
26 Ibid, hlm 80-81 27 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm.
98-99 28 Ibid, hlm. 99-101
-
ETIKA TERAPAN | 17
lainnya (dan hak-hak lain yang berkaitan dengan kebebasan
normatif).
(2) Hak-hak demokratis, hak-hak ini berdasarkan keyakinan akan
kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak untuk mengurus diri sendiri
di dalamnya termasuk hak untuk memilih dengan bebas siapa yang akan
mewakili dalam lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang,
hak untuk menyatakan pendapat, kebebasan pers, hak untuk berkumpul
dan membentuk serikat (perkumpulan).
(3) Hak-hak sosial, hak-hak ini berdasarkan kesadaran bahwa
masyarakat dan negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini meliputi hak atas jaminan
sosial dasar seperti hak atas pekerjaan, mendapatkan upah yang
wajar, perlindungan terhadap pengangguran, hak atas pendidikan, hak
wanita atas perlakuan yang sama, dan hak untuk dapat ikut dalam
kehidupan kultur masyarakat.
Jelaslah hak-hak asasi manusia tersebut dapat dijabarkan dalam
pembagian di atas dan hak-hak tersebut perlu dirumuskan secara
konkrit, agar nilai-nilai dan filosofi hidup luhur yang menghargai
martabat manusia tersebut memiliki arti dan dikongkritkan dalam
kehidupan nyata. Dengan demikian menghormati hak-hak asasi manusia
beserta harkat dan martabatnya dapat diukur. Hak-hak asasi manusia
merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politi,
sosial, ekonomi, kultural dan ideologis yang melindasnya. Maka
sebaiknya pembangunan yang berperikemanusiaan dan bermartabat itu
jelas ukurannya adalah tidak melanggar hak asasi manusia.
MASALAH SOSIAL Dalam pemaparan di atas telah dijelaskan
prinsip-prinsip dasar etika dalam memandang manusia sebagai mahluk
sosial. Telah dijelaskan pula bagaimana manusia yang memiliki nilai
pada dirinya sendiri dan bagaimana implikasi etis dari setiap
teori-teori etika yang dianut terhadap perlakuan terhadap manusia.
Demikian juga dengan kenyataan bahwa
-
18 | ETIKA TERAPAN
manusia sebenarnya memiliki suatu hak asasi yang telah
dikembangkan oleh berbagai filsuf yang pada akhirnya tercetuslah
hak asasi manusia yang didalamnya terdapat: (1) hak kebebasan, (2)
hak demokratis dan (3) hak sosial. Sebagaimana pemaparan teori di
atas, bahwa manusia memiliki nilai pada dirinya sendiri,
bermartabat dan memiliki hak asasi, pada kenyataannya manusia
menghadapi berbagai masalah-masalah dalam kehidupan sosialnya.
Masalah-masalah sosial tersebut ditimbulkan oleh adanya gelombang
perubahan-perubahan cepat yang terjadi di masyarakat, hal inilah
yang dituturkan para futuris Alvin Toffler juga Francis Fukuyama.
Secara khas Fukuyama melihat bukan pada perubahan yang cepat itu,
namun lebih dari itu akibat-akibat yang ditimbulkan dari perubahan
tersebut pada tatanan masyarakat, berupa hubungan antar individu,
aturan-aturan yang diterima bersama baik berupa yang formal maupun
yang informal (berupa etika dan moralitas). Selanjutnya Fukuyama
mencontohkan gelombang perubahan besar yang terjadi di Amerika
Serikat sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, yang dicirikan oleh
meningkatnya secara tajam jumlah indikator patologi sosial, seperti
tingginya tingkat krimininalitas, perceraian dan kehancuran
kehidupan rumah tangga.29 Lebih lanjut Wasino menuturkan bahwa di
dalam perubahan sosial terdapat masalah sosial dan patologi sosial.
Masalah sosial dapat meliputi masalah pendidikan dan kesehatan,
sedangkan patologi sosial meliputi tindakan kriminalitas, korupsi,
penyalahgunaan wewenang, narkoba dan masalah prostitusi.30
Masalah-masalah sosial inilah yang menjadi sorotan dalam etika
sosial ini, sehubungan masalah-masalah sosial ini berpotensi pada
pelanggaran terhadap martabat manusia dan pengingkaran pada nilai
manusia yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Pada dasarnya
masalah dan patologi sosial itu terjadi akibat ketidaksanggupan
manusia menghadapi gelombang perubahan (diantaranya modernisasi)
yang begitu
29 Lihat Pengantar Rizal Mallarangeng dalam Francis Fukuyama,
Guncangan
Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. xi-xiii
30 Wasino, KAPITALISME BUMI PUTRA: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran, (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2008), hlm. 303
-
ETIKA TERAPAN | 19
cepat, sehingga mengakibatkan ketidaksanggupan dalam memenuhi
hak-hak sosialnya (hak atas pekerjaan, mendapatkan upah yang wajar,
perlindungan terhadap pengangguran, hak atas pendidikan, hak wanita
atas perlakuan yang sama, dan hak untuk dapat ikut dalam kehidupan
kultur masyarakat). Belajar Pada Revolusi Industri Eropa Dalam
kurun waktu antara 1750 sampai dengan 1850, masyarakat di Eropa
mengalami suatu perubahan yang sangat radikal. Abad pencerahan dan
reformasi mendorong berbagai kemajuan peradaban manusia, mulai dari
penemuan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi yang mendorong
aplikasi penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dalam
industri. Industri sedemikian pesatnya digerakan dengan
mesin-mesin, sehingga menciptakan suatu revolusi industri di Eropa.
Industri membutuhkan tenaga kerja yang besar, hal ini mendorong
urbanisasi besar-besaran dari desa menuju kota besar. Dalam
beberapa tahun terciptalah kelas baru dalam masyarakat, yaitu kelas
kaum buruh.31 Kondisi para urban kaum buruh tidak dalam kondisi
yang baik, mereka ada dalam rumah-rumah petak yang kumuh dan serba
kekurangan. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan jaminan sosial
yang memadai dari pemerintah berupa jaminan kesehatan, semakin
memperparah keadaan. Mereka bekerja begitu monoton yang mematikan
kreativitas, bekerja di dalam kondisi pabrik yang kotor dan penuh
polusi, mengakibatkan kesehatan mereka terganggu. Kondisi ini
mendorong para keluarga buruh untuk memaksa anak-anak mereka ambil
bagian dalam pekerjaan sebagai buruh pabrik. Demikianlah sekilas
gambaran sosial Eropa dalam era revolusi industri tersebut, dan
dapat dipastikan kemacetan yang terjadi pada perusahaan-perusahaan
yang mempekerjakan mereka, maka timbul pengangguran masal yang
sudah pasti memperparah kondisi kehidupan sosial masyarakat pada
umumnya.32
31 Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono, SJ.,
Teologi Praktis
Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1999), hlm. 62
32 Ibid, hlm. 62-63
-
20 | ETIKA TERAPAN
Kondisi di atas sesuai dengan yang di ramalkan oleh Karl Marx
yang meramalkan eksploitasi kaum buruh sedemikian rupa akan
mengakibatkan krisis. Krisis ini disebabkan akibat penumpukan
kapital yang menyebabkan suatu perusahaan semakin besar yang dapat
menelan perusahaan yang lebih kecil, sampai pada akhirnya jumlah
kaum kapitalis ini semakin sedikit dan terciptalah pemiskinan
besar-besaran. Maka cepat atau lambat, pertumbuhan kapitalisme ini
secara otomatis menumbuhkan kesadaran revolusioner dari dikalangan
kaum buruh yang dieksploitasi dan miskin ini. Terciptalah
pengangguran bertambah, inflasi meningkat drastis, produk tak
terjual dan dengan sendirinya sistem kapitalis hancur, disinilah
munculnya masyarakat sosialis, yaitu suatu masyarakat tanpa kelas
sosial.33
Revolusi Industri yang melahirkan kaum kapitalis ini pada
kenyataannya ada dalam jaman dimana Eropa ada dalam era liberalisme
yang baru tumbuh. Era ini menempatkan individualisme, dimana
perkembangan dan kebahagiaan individu merupakan nilai tertinggi
pada manusia. Masyarakat semata-mata merupakan sarana demi
kepentingan individu ini. Dan pemikiran Marx (yang sangat
mengandrungi Hegel dengan cara berpikir dialektikanya), merupakan
antitesis dari pemikiran liberalisme yang menempatkan individu pada
tempat yang utama tersebut. Marx memimpikan suatu kondisi
masyarakat yang tanpa kelas tersebut dalam kolektivisme.
Kolektivisme ini kebalikan dari faham individualisme, dimana
menempatkan masyarakat menjadi tujuan pada dirinya sendiri.
Individu tidak bernilai pada dirinya sendiri, melainkan hanya
sejauh memajukan secara keseluruhan. 34
Faham individualisme melahirkan liberalisme dan faham
kolektivisme melahirkan komunisme, merupakan dua buah faham yang
saling berlawanan satu sama lain. Faham individualisme melahirkan
negara-negara di Eropa Barat dan faham kolektivisme ini melahirkan
negara di Eropa Timur.
33 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai
Nietzsche,
(JakartaL PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 243-244s 34
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 87-89
-
ETIKA TERAPAN | 21
Bagaimana penilaian kita pada faham individualisme dan
kolektivisme ini, jika dipandang dalam pandangan bahwa manusia
memiliki nilai intrinsik, martabat dan hak asasi di atas?
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa masalah-masalah
sosial tersebut ditimbulkan karena adanya perubahan-perubahan yang
cepat yang terjadi dimasyarakat. Masalah dan patologi sosial ini
juga mendorong perubahan secara ideologis dan cara pandang kita
pada masyarakat seperti telah dipaparkan di atas. Banyak sosiolog
mengungkapkan pemecahan bagi masalah dan patologi sosial ini, salah
satunya adalah melalui pendidikan. Tokoh yang mengusulkan hal ini
adalah Paulo Freire, berikut di bawah ini dipaparkan pemikirannya.
Mengatasi Masalah Sosial Melalui Pendidikan (Pedagogi Kaum
Tertindas Paulo Freire)
Brasil pada tahun 1929 mengalami kejatuhan finansial yang sangat
hebat, memaksa Freire kecil untuk memahami bagaimana rasanya
kelaparan, kehidupan ekonomi keluarganya yang merupakan keluarga
kelas menengah menjadi jatuh. Profesor Richard Shaull
mengungkapkan, bahwa pengalaman mendalam akan kelaparan waktu bocah
itulah yang membentuk tekad Freire untuk perjuangan melawan
kelaparan agar anak-anak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan
yang pernah dialaminya.35
Berangkat dari kondisi nyata masyarakat golongan terbawah yang
amat mengganggu suara hati Freire, telah mengarahkan dirinya pada
penemuan istilah yang ia gambarkan sebagai suatu kebudayaan bisu
atau culture of silence di kalangan orang-orang yang tersisih itu.
Freire berpendapat bahwa kebodohan dan kelalaian mereka adalah
akibat langsung dari keseluruhan situasi sosial ekonomi dan
pengekangan politik di mana merekalah yang menjadi korbannya.36
35 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertinda, (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia,
2008), hlm. x-xi 36 Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo
Freire, Pendidikan Kaum
Tertindas, (Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008), hlm. xxxi
-
22 | ETIKA TERAPAN
Kebudayaan bisu ini dihasilkan dari proses internalisasi sudut
pandang penindas sehingga orang-orang tertindas melihat diri mereka
sendiri dari sudut pandang atau kaca mata penindas. Hal ini terjadi
disebabkan karena pendidikan dan media massa yang dipakai kaum
elite untuk menanamkan gambaran sosio-budaya mereka sendiri ke
dalam orang miskin. Hasilnya adalah kedudayaan bisu, orang miskin
menjadi bisu dan hampir tidak sanggup lagi mengungkapkan pandangan
dan kepentingan mereka, dan sebaliknya para kaum elite bercita-cita
menjadi seperti panutan.37
Melihat kondisi demikian para kaum tertindas ini bukannya
memiliki keberanian dan kemampuan untuk memahami dan menjawab
realitas-realitas kongkret dari dunia mereka, melainkan tetap saja
tenggelam dalam keadaannya yang sebenarnya kritis. Persoalan ini
merupakan krisis identitas kaum tertindas sebagai akibat tekanan
langsung maupun tidak langsung oleh para penguasa. Akibatnya mereka
memandang ketidakberdayaan mereka dianggap sebagai suatu takdir
atau kondisi yang menekan kehidupannya itu mereka menjadi
fatalis.
Kemudian Paulo Freire mengembangkan sebuah konsep yang dinamakan
sebagai Pedagogi kaum tertindas. Dalam Konsep pendidikannya ini
dijelaskan sebagai sebuah perangkat agar mereka mengetahui secara
kritis bahwa baik diri mereka sendiri maupun kaum penindasnya
adalah pengejawantahan dari dehumanisasi. (an instrument for their
critical discovery that both they and their appressors are
manifestations of dehumanization)38
Untuk menguraikan konsep pendidikan Paulo Freire ini dimulai
dengan adanya kesadaran, yang Freire sendiri mengistilahkan sebagai
concientizacao. Concintizacao atau konsientisasi ini merupakan kata
kunci yang sering dipergunakan oleh Paulo Freire, konsientisasi itu
sendiri merupakan kesadaran untuk melakukan pembelaan
kemanusiaan.39
37 Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu,
(Jakarta: Penerbit
Gramedia, 2005), hlm. 262 38 Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, (New York: The Continuum
International Publishing, 2000), hlm 48 39 Endang Sumantri,
Pendidikan Umum di dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan,
(Bandung: Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007), hlm
235
-
ETIKA TERAPAN | 23
Secara ontologis konsep pendidikan Paulo Freire menjadikan para
peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya (humanisasi), manusia
yang lengkap dengan aspek-aspek kepribadiannya. Menurut Paulo
Freire bereksistensi tidak sekedar ada di dalam dunia, tetapi
terlibat dalam hubungan bersama dengan dunia, dengan mencipta,
mampu menyusun realitas kultural dan menambahkannya pada realitas
natural yang tidak dibuat oleh manusia. Untuk itulah manusia
dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah
realitas eksistensinya. Menjadi subjek atau mahluk yang lebih
manusiawi merupakan panggilan ontologis setiap manusia, menurut
Paulo Freire.
Pentingnya penyadaran ini berkaitan dengan kodrat manusia yang
utuh sebagai subyek utuh yang tidak hanya sekedar beradaptasi,
mempertahankan diri dari realitas dunia (seperti halnya binatang),
namun juga sanggup untuk mengubah realitas tersebut. Manusia dengan
kesadarannya memainkan peranannya dalam sejarah dengan menangkap
tema-tema jamannya tidak tinggal diam dan ikut menjadi subjek dalam
peranannya turut ambil bagian dalam sejarah tersebut. Mereduksi
sisi kesadaran manusia dengan hanya menempatkan manusia menjadi
objek dan menempatkannya hanya sebagai pengamat dari realitas
inilah yang merupakan dehumanisasi.40
Konsientisasi atau kesadaran di sini tidak sekedar berhenti pada
tahap refleksi, tetapi juga merembes sampai aksi nyata yang akan
selalu direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus
menerus. Praksis dalam pengertian Paulo Freire adalah proses
dialektis yang berjalan tiada henti antara aksi dan refleksi serta
antara refleksi dan aksi.
Freire sangat kritis terhadap pendidikan tradisional di Brasil
yang menekankan pada hafalan dan sangat menggurui. Cara semacam ini
menurutnya akan mengalami kegagalan dalam mendewasakan manusia yang
seharusnya dapat menyadari keberadaan dirinya akan realitas dunia
yang dihadapi dan sanggup menentukan nasib sendiri. Pendidikan
dalam pandangan Freire merupakan praktik pembebasan yang bukan
hanya
40 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan,
(Jakarta: Penerbit
Gramedia, 1984), hlm. 3-6
-
24 | ETIKA TERAPAN
membebaskan orang-orang yang terdidik saja tetapi juga para
pendidik.41 Keduanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang
satu mulai menganggap dirinya cukup berharga (walaupun miskin, buta
huruf dan tidak menguasai teknologi) dan yang lain (gurunya)
belajar berdialog meski masih saja dibayangi oleh peranan pendidik
yang sangat menggurui dan hafalan seperti di atas.
Demikianlah peranan pendidikan dalam menjawab masalah-masalah
sosial, dimana pendidikan sangat berperan dalam penyadaran
masyarakat akan realitasnya dan menjadikan dirinya sebagai subjek
yang sanggup mengubah dunia walau sekecil apapun. Paulo Freire
melalui pedagogi kaum tertindas ini menimbulkan sikap kurang senang
dari para penguasa dan golongan status quo, karena kenyamanan
mereka dalam menindas anggota masyarakat lainnya terusik. Beberapa
saat kemudian pemerintah Brasil mencurigai program-program Paulo
Freire ini, yang kemudian menyeret Freire ke pembuangan dari negara
Brasil dan dikucilkan ke negara lain. Namun apa yang dilakukan
Freire untuk menggugah kaum tertindas untuk sadar dan keluar dari
ketertindasan ini, menjadi inspirasi bagi pengentasan masalah
sosial pada beberapa negara dan membawanya menjadi pembicara di
berbagai negara, bahkan menjadi dosen tamu di universitas terkemuka
di Amerika serikat, walau pun di negara asalnya dia ditolak.
Mengatasi Masalah Sosial Melalui Gerakan Ekonomi (model Grameen
Bank Mohamad Yunus)
Prof. Mohammad Yunus ekonom dari Bangladesh, beliau penerima
penghargaan Nobel tahun 206 sebagai pengakuan tertinggi atas
kiprahnya mengangkat harkat kaum miskin di Bangladesh melalui
Grameen Bank. Moh. Yunus merupakan guru besar Universitas
Cittagong, namun dengan rendah hati beliau mengatakan, Saya ingin
menjadi murid orang-orang miskin. Mereka adalah profeser
saya.42
41 Denis Goulet, Prakata di dalam Pendidikan Sebagai Praktek
Pembebasan,
(Jakarta, Penerbit Gramedia, 1984), hlm ix 42 Steve Gaspersz,
Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi
Indonesia, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009), hlm.
14
-
ETIKA TERAPAN | 25
Prof. Moh. Yunus mengentaskan salah satu masalah sosial, yaitu
kemiskinan sejak tahun 1974. Berawal dengan pertemuan dengan
seorang perempuan desa berusia 21 tahun bernama Sufia Begum yang
merupakan ibu dari tiga anak, ketika ditanya oleh Prof. Moh. Yunus
berapa penghasilannya dari perabotan anyaman bambu yang dibuatnya,
Ibu muda itu menjawab 5 Taka atau sekitar Rp. 1.500 dari seorang
pengijon untuk setiap barang yang dihasilkannya dan jumlah tersebut
merupakan seperlima dari jumlah yang seharusnya ia terima kalau ia
menjual sendiri perabotan rumah yang diproduksinya ini. Saya
terhenyak, ya Tuhan, untuk 5 taka saja wanita ini harus menjadi
budak, kata Prof. Moh Yunus. Hal inilah yang mendorongnya untuk
mengadakan riset dengan para mahasiswanya di desa Jobra tempat
perempuan itu tinggal dan ternyata mendapati ada 43 penduduk desa
yang meminjam uang totalnya sebesar 856 taka atau sekita Rp.
250.000,--. Saya tidak tahan, saya bayar utang mereka itu dan
mengatakan, kalian sekarang bebas!, kata Prof. Moh. Yunus. Kemudian
mereka dipersilahkan membayar kapan saja jika sudah punya uang.
Ternyata mereka semua mencicil setiap hari selama setahun dan
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Grameen Bank
atay Bank Pedesaan dalam bahasa Bengali pada tahun 1983. Jaringan
Grameen Bank saat ini begitu meluas dan telah menyalurkan kredit
hingga miliaran dollar US kepada orang miskin di sekitar 70.000
desa.43
Mekanisme pengajuan kredit Grameen Bank ini secara sederhana
dilakukan dengan cara setiap orang yang ingin meminjam harus
membentuk kelompok yang berjumlah sebanyak 5 orang. Bila ada yang
mengusulkan ingin meminjam uang, misalnya untuk membeli kambing,
maka anggota yang lain harus mendukung gagasan itu dan yakin bahwa
usahanya akan berhasil. Para anggota kelompok ini tidak memiliki
kewajiban atas pinjaman yang diajukan oleh anggota yang lain, namun
masing-masing memiliki kesempatan untuk mengajukan kredit dan dapat
mengajukan kembali setelah seluruh anggota dipastikan telah
mendapat gilirin mengajukan pinjaman. Gerakan kelompok kredit
melalui Grameen
43 Alexander Paulus, Your Thingking Determines Your Success:
Rahasia
Menemukan Makna Kehidupan Menuju Keberhasilan, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.166-167
-
26 | ETIKA TERAPAN
Bank ini telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di
Bangladesh secara tajam, serta pendapatan per kapita Bangladesh
meningkat dari USD 280 tahun 1985 menjadi USD 440 pada tahun
2006.44
PENUTUP
Pada dasarnya Etika Sosial ini menekankan penghargaan pada
manusia sebagai manusia dan memiliki martabat. Berbagai persoalan
yang melibatkan individu bila ditelusuri akan juga melibatkan
individu yang lainnya, sehingga persoalan individu tidak dapat
dilepaskan dari individu yang lainnya. Manusia dalam menghadapi
realitas yang ada terutama perubahan yang cepat, sering kali tidak
dapat mengikuti perubahan itu dengan baik, akibatnya terjadilah
yang dinamakan dengan masalah sosial dan patologi sosial. Prinsip
mengatasi masalah dan patologi sosial ini adalah mengedepankan
penghargaan manusia sebagai manusia itu sendiri, seperti apa yang
dilakukan dalam model pedagogi kaum tertindas Paulo Freire dan
Grameen Bank Prof. Moh. Yunus.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1998) Alexander Paulus, Your Thingking Determines Your Success:
Rahasia
Menemukan Makna Kehidupan Menuju Keberhasilan, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Endang Sumantri, Pendidikan Umum di dalam Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan,
(Bandung: Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007) F. Budi
Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI
NIETZSCHE, (jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Denis Goulet, Prakata di dalam Pendidikan Sebagai Praktek
Pembebasan,
(Jakarta, Penerbit Gramedia, 1984)
44 Ibid, hlm. 167-169
-
ETIKA TERAPAN | 27
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1982) Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono,
SJ., Teologi Praktis
Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1999)
Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1998) Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu,
(Jakarta: Penerbit
Gramedia, 2005) Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama, 2007) Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl.
Econ.Sc. (Oxon), Manual of
Social Ethics, (Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956) Rizal
Mallarangeng dalam Francis Fukuyama, Guncangan Besar Kodrat
Manusia
dan Tata Sosial Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1999) Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo Freire, Pendidikan
Kaum Tertindas,
(Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008) Paulo Freire, Pendidikan Kaum
Tertinda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008) Paulo Freire,
Pedagogy of the Oppressed, (New York: The Continuum
International Publishing, 2000) Paulo Freire, Pendidikan Sebagai
Praktek Pembebasan, (Jakarta: Penerbit
Gramedia, 1984) Steve Gaspersz, Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi
Kristen & Menjadi
Indonesia, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009) Wasino,
KAPITALISME BUMI PUTRA: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran, (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2008)
-
28 | ETIKA TERAPAN
ETIKA POLITIK oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Etika Politik merupakan cabang filsafat yang sudah sangat tua,
kehadirannya bisa disejajarkan dengan kelahiran etika itu sendiri
(filsafat moral). Etika politik menyediakan landasan bagi penerapan
filsafat untuk persoalan-persoalan praktik yang berkaitan dengan
masalah politik. Para filsuf membahas mengenai masalah politik ini
secara panjang lebar di dalam buku mereka masing-masing, misalnya
Plato menulis buku yang berjudul Republic, mengemukakan secara
sistematis dan rasional system politik yang ideal. Sementara
Aristoteles, menulis buku yang berjudul Politics, dalam buku ini
Aristoteles mengemukakan contoh yang relevansinya terbatas pada
sebuah model negara-kota Yunani kuno yang merupakan perintis system
politik demokrasi modern.45 Kedudukan etika politik itu sendiri di
dalam filsafat, kurang lebih dapat dijelaskan, bahwa filsafat di
bagi menjadi dua bagian yaitu filsafat teoretis dan filsafat
praktis. Etika dikategorikan sebagai filsafat praktis, adapun etika
itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu etika etika umum dan etika
khusus atau etika terapan. Sedangkan etika terapan itu dibagi lagi
menjadi beberapa bagian diantaranya etika sosial, di dalam etika
sosial itulah letak etika politik (lihat pembagian lebih lengkap di
dalam bagian etika sosial).
POLITIK Beberapa waktu terakhir ini politik menjadi suatu kata
yang paling populer, apalagi menjelang tahun pemilihan umum yang
kemudian dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Tahun pemilihan
umum tersebut, kemudian orang menyebutkannya sebagai tahun politik.
Pada tahun politik tersebut orang berharap-harap cemas akan apa
yang akan terjadi pada saat tahun politik ini, banyak orang yang
mengamati berbagai perkembangan
45 Dr. Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar
Filsafat,
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 336-337
-
ETIKA TERAPAN | 29
yang terjadi mulai dari businessman, aktivis partai, pejabat,
sampai rakyat biasa. Sehingga tidak mengherankan bila Aristoteles
menyebutkan politik merupakan master of science, dalam arti
pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahami
lingkungan. Selanjutnya bagi Aristoteles, dimensi politik dalam
keberadaan manusia merupakan dimensi terpenting sebab ia
mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Aristoteles
mengemukakan, politik berarti mengatur apa yang sebaiknya kita
lakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan.46 Penjelasan di
atas mungkin memperjelas mengenai apa itu politik, selanjutnya
Ramlan Surbakti menjelaskan mengenai politik ini paling tidak
melalui lima pandangannya mengenai politik, yaitu: (1) politik
merupakan usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan
dan mewujudkan kebaikan bersama; (2) segala hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (3) politik sebagai
segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat; (4) sebagai kegiatan yang berkaitan
dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum dan (5) politik
sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting.47 Dari penjelasan di atas,
maka dapat kita dapat simpulkan bahwa politik berkaitan dengan
usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama yang berkaitan
penyelenggaraan negara dalam rangka perumusan dan pelaksanaan
kebijakan umum serta mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting dan juga dalam rangka mempertahankan kekuasaan.
ETIKA POLITIK Etika politik sebagai bagian dari etika sosial
yang membahas mengenai kewajiban-kewajiban bidang kehidupan manusia
dalam bidangnya masing-masing, etika politik merupakan filsafat
moral
46 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit
Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 1-2 47 Ibid, hlm. 1-2
-
30 | ETIKA TERAPAN
mengenai kehidupan manusia dalam dimensi kehidupan politik.
Dengan demikian moral merupakan salah satu kunci untuk masuk dalam
pembahasan etika politik. Kata moral menunjuk pada manusia sebagai
manusia, sehingga apabila kita menambahkan di depan moral dengan
kewajiban. Maka kewajiban moral merupakan kewajiban manusia sebagai
manusia, adapun norma moral merupakan norma untuk mengukur betul
salah tindakan manusia sebagai manusia.48 Dengan demikian etika
politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai
manusia terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikannya sebagai warga
negara dalam hal ini tidak identik. Seperti yang Aristoteles
kemukakan, bahwa identitas antara manusia yang baik dan warga
negara yang baik hanya terdapat apabila negara sendiri baik.49
Dengan demikian apabila negara itu buruk, maka orang yang baik
sebagai warga negara dalam hal ini hidup sesuai dengan aturan
negara tersebut, dengan sendirinya menjadi buruk. Hal ini dapat
kita lihat, misalnya di Afrika Selatan sebelum hukum politik
aparteid dihapus, warga negara Afrika Selatan yang baik adalah
warga yang taat pada hukum yang berlaku di negara itu, maka warga
negara yang taat hukum dengan sendirinya menjadi orang yang tidak
baik, karena hukum dalam negara tersebut tidak baik. Seperti halnya
etika terapan yang lain, etika politik tidak berada pada tataran
mencampuri politik praktis, tetapi lebih berfungsi memberikan
alat-alat teoritis dan mempertanyakan berbagai hal mengenai
legitimasi politik secara bertanggung jawab. Perkembangan etika
politik didasari atas ambruknya legitimasi kekuasaan yang bersifat
religius dan eliter, serta munculnya kesadaran akan kesalahan
dikhotomi moral dan politik.50
48 Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral
Dasar
Kenegaraan Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
1987), hlm. 13-14 49 Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno,
ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip
Moral dasar Kenegaraan Modern, hlm. 14-15 50 Hand Out Mata
Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha
-
ETIKA TERAPAN | 31
LEGITIMASI KEKUASAAN Inti permasalahan etika politik adalah
masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam
pertanyaan, atas dasar hak moral apa seseorang atau sekelompok
orang memiliki wewenang untuk berkuasa? Seberapa pun besarnya
kekuasaan seseorang selalu akan diperhadapkan pada tuntuntan untuk
mempertanggungjawabkan. Adapun mengenai tanggung jawab ini
merupakan salah satu faktor penentu dari sah tidaknya kekuasaan
ini.51 Seorang penguasa yang tidak sanggup mempertanggungjawabkan
kekuasaannya, lambat laun ia tidak akan memperoleh dukungan
masyaraka dan pada akhirnya menggoyahkan kedudukannya sebagai
penguasa negara. Pada Prinsipnya ada tiga macam legitimasi
kekuasaan: (1) legitimasi religius, (2) legitimasi eliter dan (3)
legitimasi demokrasi.52 Legitimasi religius, merupakan legitimasi
kekuasaan yang paling kuno, dimana kekuasaan dipandang dan dihayati
bersumber dari alam gaib. Pemimpin rakyat atau raja dipandang
sebagai perwujudan dari kekuasaan yang ilahi, sebagai wadah yang
dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus alam semesta, sehingga
melalui dirinya mengalir keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan
keadilan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Implikasi dari
legitimasi kekuasaan religius ini, penguasa berada melebihi
penilaian moral, sehubungan raja sendiri merupakan perwujudan dari
kekuatan Ilahi yang tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.53
Legitimasi eliter, mendasarkan hak untuki memerintah pada kecakapan
khusus suatu golongan untuk memerintah. Anggapan ini didasari bahwa
perlu adanya kecakapan khusus yang harus dimiliki agar dapat
memimpin seluruh rakyat. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat
macam legitimasi eliter, yaitu legimasi aristokratis, pragmatis
dalam hal ini golongan militer, ideologis dan teknokratis.
Aristokratis secara tradisional merupakan suatu golongan, kasta
atau kelas dalam masyarakat yang dianggap lebih unggul dari
masyarakat yang lainnya, sehingga
51 Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral
Dasar
Kenegaraan Modern,hlm. 30-31 52 Ibid, hlm. 54 53 Frans Magnis
Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hlm. 1
-
32 | ETIKA TERAPAN
golongan ini dianggap paling berhak untuk memimpin. Adapun
Pragmatis, merupakan golongan atau kelompok secara de facto
menganggap diri paling tepat memegang kekuasaan dan sanggup untuk
merebut kekuasaan dalam hal ini golongan militer. Ideologis,
legitimasi ini mengadaikan adanya suatu ideologi negara yang
mengikat seluruh masyarakat. Para pengemban ideologi dianggap tahu
bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdsarkan
monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk
menentukannya. Dalam hal ini contohnya adalah pemimpin partai
komunis yang berkuasa. Sedang bentuk yang ketiga merupakan
legitimasi demokrasi, yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
LEGITIMASI KEKUASAAN MENURUT ETIKA POLITIK MODERN
Pada pemaparan di atas telah dijelaskan mengenai legitimasi
kekuasaan, di mana atas dasar kuasanya tersebut negara dapat
memaksakan apa yang dikehendakinya kepada warganya. Pemaksaan
kehendak negara kepada warganya tersebut apakah dapat dikatakan
absah atau legitim. Penggunaan kekuasaan negara hanya absah apabila
beberapa syarat mutlak dipenuhi. Dengan demikian sebenarnya tidak
ada hak atas kekuasaan yang mutlak dan tidak terbatas. Berikut di
bawah ini ada tiga prasyarat keabsahan atau legitimasi kekuasaan
negara menurut etika politik modern, yaitu: (1) negara harus
mengusahakan kesejahteraan umum; (2) negara harus bersifat
demokratis dan (3) negara harus bersifat negara hukum. Secara rinci
akan dijelaskan di bawah ini:54 Sebelum menjelaskan tiga prasyarat
legitimasi kekuasan negara menurut etika politik modern dijelaskan
terlebih dahulu dua prinsip kehidupan bersama manusia, yaitu
Prinsip solidaritas, bahwa dalam sebuah masyarakat, masing-masing
anggota bersama-sama mengupayakan kesejahteraan bagi anggota
masyarakat lainnya, senasib sepenanggungan.
54 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL Buku Panduan Mahasiswa PB
I
PBVI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 116-123
-
ETIKA TERAPAN | 33
Prinsip subsidiaritas, lembaga yang lebih tinggi kedudukannya
harus memberi bantuan kepada para anggotanya.
(1) Prinsip Kesejahteraan umum, tujuan negara yang terutama
adalah menciptakan kesejahteraan umum. Kondisi kesejahteraan umum
ini berkaitan dengan pemenuhan kondisi kehidupan sosial anggota
masyarakatnya, sehingga dapat mencapai keutuhan dan perkembangan
kehidupan yang lebih baik. Ada dua pengertian dalam kaitan negara
mengupayakan kesejahteraan umum ini, yaitu: (a) negara bukan tujuan
pada dirinya sendiri, melainkan negara adalah demi kesejahteraan
manusia dan masyarakat, dengan demikian tugas negara pada
hakikatnya adalah melayani. Dalam pengertian ini dipahami, apabila
negara mengadakan pungutan-pungutan berupa pajak kepada warganya,
bukan diartikan dalam kekuasaan negara kepada warganya, akan tetapi
lebih diartikan sebagai kesediaan warga yang lain berkorban demi
anggota masyarakat yang lainnya. (b) dalam pengertian kesejahteraan
umum ini, negara tidak menyelenggarakan kesejahteraan masing-masing
anggota masyarakatnya secara langsung, akan tetapi masing-masing
individu mengupayakannya secara sendiri-sendiri, adapun negara
mengupayakan melalui fungsi subsidier (membantu, menunjang),
mengusahakan adanya semua kondisi yang diperlukan agar para anggota
masyarakat sendiri dapat mengusahakan kesejahterannya.
(2) Negara Demokratis, Dalam negara demokratis ini ada beberapa
prinsip, yaitu Prinsip kedaulatan rakyat, mengatakan bahwa rakyat
sendiri berwenang untuk menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan
oleh siapa. Setiap warga memiliki kedudukannya yang sama sebagai
manusia dan warga negara, karenanya masing-masing tidak memiliki
hak untuk memerintah orang lain, sehingga untuk memerintah
masyarakat lainnya harus berdasarkan penugasan dan persetujuan para
warga masyarakat itu sendiri. Prinsip perwakilan, dalam hal ini
rakyat menjalankan kedaulatannya menurut prinsip perwakilan, karena
tidak mungkin dilakukan secara langsung oleh masing-masing warga.
Untuk
-
34 | ETIKA TERAPAN
memenuhi prinsip pewakilan ini pemilihan umum merupakan sarana
untuk memilih wakit-wakil rakyat. Ciri-ciri negara demokratis,
sebuah negara belum dapat disebut demokratis hanya dengan
mengadakan pemilihan umum dan mempunyai lembaga-lembaga perwakilan
rakyat.
(3) Negara Hukum. Tuntutan etis selain negara demokratis dalam
hal mengenai cara penyelenggaraan kekuasaan negara berikutnya
adalah negara harus taat pada hukum. Negara harus berwujud negara
hukum dan bukan negara kekuasaan. Pemerintah taat pada hukum,
pemerintah dalam hal ini harus selalu bertindak dalam batas-batas
hukum. Kalau pemerintah tidak berdasarkan hukum, masyarakat tidak
mempunyai pegangan dan akibatnya pemerintah menjadi
sewenang-wenang. Taat pada hukum berart: negara selalu bergerak
dalam abats hukum dan dikontrol oleh lembaga kehakiman. Kebebasan
hakim, kebebasan hakim merupakan pilar utama bagi sebuah Negara
hukum. Hakim memiliki kebebasan dalam menjatuhkan keputusan dari
tekanan kekuasaan eksekutif atau pemerintah. Hakim sepenuhnya
bertanggung jawab terhadap hukum yang berlaku menurut suara hatinya
sendiri. Kebebasan hakim dari tekanan, ancaman dan paksaan
pemerinatah merupakan tanda paling jelas sebuah negara yang
sungguh-sungguh berwujud negara hukum.
PENUTUP
Jelaslah bahwa politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara
dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum serta
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting dan juga dalam
rangka mempertahankan kekuasaan, hanya dalam pelaksanaannya yang
kita temui sering terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan di
dalam menjalankan kekuasaan dan dalam rangka mempertahankan
kekuasaannya. ETIKA POLITIK lebih kepada menyediakan sebuah kondisi
ideal berupa alat-alat teoritis yang berguna untuk pelaksanaan
menjalankan kekuasaan itu. Pada dasarnya legitimasi menurut
kekuasaan etika politik modern
-
ETIKA TERAPAN | 35
merupakan kondisi ideal yang ditawarkan dalam menjalan kekuasaan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA
POLITIK-Prinsip-
prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern Frans Magnis Suseno, ETIKA
POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
1987)
Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, 1995) Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL
Buku Panduan Mahasiswa PB I
PBVI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. Hand Out Mata
Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha Stephen Palmquist,
Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat,
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007) Ramlan Surbakti,
Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010)
-
36 | ETIKA TERAPAN
ETIKA BISNIS oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Bisnis dewasa ini sudah merupakan suatu profesi, sebagai
suatu
profesi pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang yang
profesional. Profesionalitas di sini tidak hanya diartikan dalam
kaitannya dengan keahlian dan keterampilan yang terkait dengan
bisnis seperti halnya dalam bidang manajemen operasi, pemasaran,
keuangan, sumber daya manusia dan lainnya, terutama dikaitkan dalam
prinsip efisiensi demi mendatangkan keuntungan
sebesar-besarnya.55
Sebagaimana telah dipaparkan dalam materi Etika Sosial, bahwa
Etika Bisnis merupakan salah satu bagian dari kajian Etika Sosial.
Hal ini dilihat lebih jauh oleh Kees Bertens yang menegaskan, bahwa
kompleksitas bisnis dewasa ini berkaitan langsung dengan
kompleksitas masyarakat modern dan bisnis juga dipandang sebagai
suatu kegiatan sosial dalam pengertian aspek hubungan antar
manusia.56
Dengan demikian kegiatan bisnis dipandang bukan saja dilihat
dari aspek bagaimana seorang pengusaha mengelola operasi perusahaan
yang mendatangkan keuntungan serta melakukan efisiensi, akan tetapi
kegiatan bisnis juga melibatkan hubungan antara pengusahaan dengan
karyawannya, pelanggan, masyarakat pada umumnya hingga pemerintah
(hubungan antar manusia). Sehingga, diperlukan komitmen pribadi
pengusaha yang tinggi, serius dalam menjalankan pekerjaannya,
bertanggung jawab agar tidak sampai merugikan pihal lain. Dengan
demikian sikap pengusaha yang diharapkan disini adalah orang yang
menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu yang
sangat baik dan tanggung jawab moral pribadinya.
55 A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1998), hlm.
46-47 56 Kees Bertens, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2001), hlm.
13
-
ETIKA TERAPAN | 37
Tiga Aspek Pokok dari Bisnis Kegiatan bisnis menurut K. Bertens
dapat disorot dalam tiga sudut pandang yang berbeda yang tidak
selalu dapat dipisahkan, yaitu: (1) sudut pandang ekonomi, (2)
sudut pandang hukum, dan (3) sudut pandang etika, sebagai berikut
di bawah ini:57
(1) Sudut pandang ekonomis. Dalam sudut pandang ekonomis ini,
bisnis dipandang sebagai suatu kegiatan tukar-menukar, jual-beli,
memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi manusia
lainnya, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Pencarian
keuntungan dalam bisnis disini tidak bersifat sepihak, tetapi
diadakan dalam interaksi, komunikasi sosial yang menguntungkan
kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis tersebut.
Dalam konteks seorang yang bekerja pada suatu perusahaan, motivasi
utama untuk bekerja di perusahaan tersebut adalah untuk mendapatkan
gaji. Walaupun seseorang bekerja pada perusahaan saudaranya,
motivasi saudaranya tersebut bukan dalam rangka membantu usahanya,
akan tetapi motivasi terbesar bekerja di sana adalah mendapatkan
gaji. Good Business atau bisnis yang baik dalam pandangan ekonomis
ini sedapat mungkin bisnis membawa paling besar keuntungan bagi
perusahaannya. Dengan demikian kita dapat memaklumi bila seorang
manajer operasi mempertahankan produktivitas perusahaannya
menghasilkan barang pada suatu titik tertentu yang dianggap optimal
agar biaya produksi dan biaya variabel lainnya menjadi bertambah
besar yang ujung-ujungnya akan menaikan harga.
(2) Sudut pandang moral. Dengan tidak meninggalkan motivasi
ekonomis dalam berbisnis, perlu ditambahkan adanya sudut pandang
lain yang tidak boleh diabaikan begitu saja, yaitu sudut pandang
dari aspek moral. Pertimbangannya adalah selalu ada masalah etis
dari perilaku kita yang terlibat dalam kegiatan bisnis tersebut.
Tidak semua yang dapat kita lakukan dalam rangka mencapai
keuntungan tersebut boleh kita lakukan. Kita harus
57 Ibid, hlm. 13-32
-
38 | ETIKA TERAPAN
menghormati kepentingan dan hak orang lain, dengan pertimbangan
kita pun tidak mau kepentingan dan hak kita dilanggar yang
berakibat kerugian bagi diri kita. Dengan demikian menghormati
kepentingan dan hak orang lain harus dilakukan dalam menjaga
kepentingan bisnis kita. Good Business dalam sudut pandan moral
ini, bukan saja bisnis yang menguntungkan. Namun bisnis yang juga
baik secara moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan
salah satu arti terpenting bagi kata baik. Perilaku yang baik di
sini merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral
(berperilaku etis).
(3) Sudut pandang hukum. Tidak disangkal lagi, bisnis terikat
juga oleh hukum. Hukum dagang atau Hukum bisnis merupakan cabang
penting dari ilmu hukum modern. Ada banyak masalah hukum dalam
praktik hubungan bisnis, baik dalam tataran nasional maupun
internasional. Seperti halnya etika, hukum merupakan sudut pandang
normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan. Tentunya antara hukum dan etika, jelas sangat
terkait. Quid leges sine moribus?, apa artinya undang-undang kalau
tidak disertai moralitas? Dengan demikian etika selalu harus
menjiwai hukum. Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting.
Bisnis harus menaati hukum dan peraturan yang berlaku. Bisnis yang
baik antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi
sudut pandngan hukum itu tidaklah cukup, perlu juga sudut pandang
moral. Tidak semua hal yang pantas dan tidak pantas dilakukan
diatur/dimuat dalam undang-undang, jadi perlu juga pandangan
moralitas dalam berbisnis. Kepatuhan pada hukum merupakan suatu
syarat yang minimum, patuh pada hukum dan tidak juga melanggar
moral itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap pebisnis. If its
morally wrong, its probably also illegal.
Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis
kita dapat dengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau
tidak, tentu dengan melihat kinerja perusahaan melalui laporan
keuangan. Begitu juga dengan apakah perusahaan ini melanggar atau
tidak dari sisi hukum, dapat
-
ETIKA TERAPAN | 39
dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
bahkan dapat menanyakan langsung kepada pengadilan dan meminta
putusan hakim. Namun, dari aspek moral sulit mengukurnya apakah
baik atau buruk secara moral dari bisnis yang dijalankan tersebut.
Sehingga untuk membantu mengukurnya ada tiga tolok ukur, yaitu:
hati nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum. Ukurang
pertama adalah melalui hati nurani. Hati nurani ini mengikat diri
kita, karena kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh hati
nurani dan bila mengabaikannya itu berarti kita sedang
menghancurkan integritas pribadi kita. Jadi dalam berbagai kasus
bisnis yang terjadi, misalnya memaksakan untuk menjaga tingkat
produktivitas yang diinginkan supervisor melangggar standar
keamanan. Yang pertama menilai dari masalah ini adalah hati nurani,
apakah hati nurani mengizinkan atau tidak, tentu jawabannya sangat
subjektif hanya ada pada seorang supervisor tersebut. Tentunya ini
sangat subjektif, dan bila hati nurani orang tersebut tidak dibina
atau terdidik, maka akan membentuk hati nurani yang tidak
semestinya, menjadi terlalu longgar atau bahkan tumpul sama sekali.
Kaidah emas, Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda
memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin
diperlakukan. Atau dalam rumusan yang negatif berbunyi,Janganlah
melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin
akan dilakukan terhadap diri Anda. Melalui prinsip kaidah emas ini,
masing-masing kita akan mengukur apa yang akan kita lakukan
terhadap orang lain dengan kaidah emas ini. Kalau kita tidak ingin
rugi, maka kita pun tidak boleh merugikan orang lain pula.
Penilaian umum, cara ketiga barang kali ampuh menentukan baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada
masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga audit
sosial. Kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian
masyarakat umum.
ETIKA BISNIS Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya
dimulai dengan menyelidiki dan menjernihkan kata seperti etika dan
etis yang dibedakan antara etika sebagai praksis dan etika sebagai
refleksi.
-
40 | ETIKA TERAPAN
Berikut ini dijelaskan etika sebagai praksis dan refleksi
tersebut, di bawah ini:58
Etika sebagai praksis59 adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai
atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat kita
lihat dari tema-tema pemberitaan di media, misalnya Ada unsur tidak
etis dalam proses akuisisi, Tegakkan etika bisnis dengan
Undang-undang Anti Korupsi, contoh kalimat tersebut menunjuk kepada
etika sebagai praksis, misalnya orang yang memikirkan masalah
korupsi, berpendapat bahwa undang-undang itu harus secara konsisten
dan ketat dijalankan sedemikian rupa sehingga nilai dan norma dalam
bisnis bisa ditegakkan. Dengan demikian Etika sebagai praksis sama
artinya dengan moral (apa yang boleh dan tidak untuk
dilakukan).
Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral.
Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau
mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Dalam surat kabar, majalah
maupun media lainnya dapat kita baca komentar atau analis-analis
dari berbagai peristiwa yang berkonotasi etis, misalnya masalah
suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir ini. Baik berita-berita di
koran, surat kabar maupun media lain berikut analisisnya, dan
demikian juga dengan kita yang membicarakan kasus etis tersebut
merupakan wujud dari etika sebagai refleksi pada taraf popular.
Etika sebagai refleksi dalam taraf ilmiah, dijalankan dan secara
kritis, metodis dan sistematis menjadikan refleksi ini mencapai
taraf ilmiah.
Etika merupakan cabang filsafat yang mempalajari baik
buruknya
perilaku manusia, karena itu etika sering disebut juga sebagai
filsafat
58 Ibid, hlm. 32 - 35 59 Praksis merupakan praktik yang
diterangi oleh refleksi dan sekaligus
merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis
berpadu antara teori dan praktik, dengan demikian praksis merupakan
pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang
ditindaklanjuti oleh pekerjaan.
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja,
(Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 88
-
ETIKA TERAPAN | 41
praktis. Secara keseluruh etika membicarakan berbagai hal
mengenai pemikiran moral yang lebih terarah kepada masalah-masalah
konkret dan membuka diri pada topik-topik konkret dan aktual
sebagai objek penyelidikannya. Dalam hal etika yang membuka diri
dalam topik konkret inilah sering kita sebut sebagai etika
terapan
Etika bisnis sebagai etika terapan karena memfokuskan diri pada
masalah-masalah moral aktual dibidang bisnis. Sebagaimana etika
terapan etika bisnis dapat dijalankan dalam taraf makro, meso dan
mikro. Dalam taraf makro, etika bisnis membicarakan masalah moral
skala besar, misalnya keadilan dalm suatu masyarakat terutama
berkaitan dengan kaum buruh. Sementara dalam taraf meso (menengah),
etika bisnis meneliti masalah etis di bidang organisasi misalnya
perusahaan, lembaga dan lainnya. Sementara dalam tataran mikro,
memfokuskan diri pada masalah-masalah moral dalam bisnis di
kalangan manajer, karyawan, produsen, konsumen dll.60
Bisnis dan Etika
Telah dijelaskan di atas secara panjang lebar mengenai etika
sebagai filsafat praktis yang mengkaji masalah-masalah moral,
sampai dengan pembahasan etika bisnis sebagai etika terapan yang
mengkhususkan dirinya mengkaji masalah-masalah moral di bidang
bisnis. Dalam bagian ini penekanan tulisannya lebih kepada
bagaimana bisnis tersebut dijalankan secara etis? Dan apakah memang
benar bisnis memerlukan etika? Dan bagaimana hubungan antara bisnis
dan etika? Mitos Bisnis Amoral Business is business, sering kita
dengar ungkapan ini yang intinya menekankan bahwa urusan bisnis
tidak ingin dicampuri dengan berbagai hal yang tidak berhubungan
dengan bisnis. Ungakan ini menurut De George dalam buku Etika
Bisnis Sonny Keraf disebut sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan
ini menggambarkan, bahwa orang berbisnis adalah semata-mata
berbisnis dan bukan sedang beretika. Singkat kata, mitos bisnis
amoral ini menyatakan bahwa kegiatan bisnis tidak ada
60 K. Bertens, ETIKA BISNIS, hlm. 35-37
-
42 | ETIKA TERAPAN
hubungannya dengan masalah etika atau moralitas. Keduanya adalah
dua bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu bisnis tidak
boleh dicampuradukkan, bisnis hanya dapat dinilai dengan kategori
dan norma-norma bisnis dan bukan dengan kategori dan norma-norma
etika.61 Dalam pandangan bisnis adalah bisnis tidak berkaitan
dengan etika, maka yang menjadi fokus dari bisnis itu sendiri tidak
lain dari memperoleh keuntungan. Maka kegiatan operasi perusahaan
berfokus pada menekankan biaya serendah mungkin, mengejar output
produksi yang optimal, bisa saja untuk mengejar produksi yang
optimal pebisnis memaksa kerja mesin dan termasuk orang di dalamnya
tanpa memperhatikan kepentingan tenaga kerja tersebut. Sementara
itu di bidang pemasaran, tim pemasaran ditekan sedemikian rupa
dengan target-target penjualannya, tidak peduli bagaimana cara
mencapai target tersebut yang penting target terpenuhi. Demikian
pun dengan bagian sumber daya manusia, bisa saja mengabaikan
aturan-aturan normatif dibidang ketenagakerjaan demi mempertahankan
tingkat efisiensi produksi. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya
bisnis tersebut dijalankan dengan menghalalkan berbagai cara ini,
pasti pebisnis tersebut akan menemui berbagai persoalan di
dalamnya. Dengan demikian pandangan mitos bisnis amoral, kita tidak
dapat terima sepenuhnya. Walau pun bagaimana bisnis tetap memiliki
kaitan dengan masalah moral.
KEADILAN Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun
memanfaatkan sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat
diaplikasikan dalam kegiatan bisnis. Hal ini dapat diperhatikan
sekitar abad ke 19, di Eropa Barat telah berkembang pemikiran di
bidang kegiatan ekonomi yang cenderung mengadopsi cara berpikir
utilitarianisme. Seperti halnya sudah dipahami bersama, bahwa cara
berpikir utilitarianisme ini didasarkan pada sudut kemanfaatan
(Utility) yang paling besar bagi kebahagiaan manusia. Dengan
demikian sesuatu dianggap baik dan
61 A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, hlm. 55-56
-
ETIKA TERAPAN | 43
memadai ukurannya adalah manfaat yang mendatangkan kebahagiaan
yang terbesar yang menjadi pilihan tindakannya.62 Sumbangan
pemikiran seperti di atas cukup menolong para pebisnis, mengingat
kompleksitas bisnis saat ini. Melalui prinsip utilitarianisme
tersebut tampaknya merupakan cara sederhana dalam memecahkan
permasalahan yang kompleks dalam dunia bisnis, artinya cukup
berprinsip dari segi kemanfaatan pebisnis dapat mengambil
pilihannya. Pada kenyataannya prinsip pemikiran ini kurang memadai,
mengingat ukuran manfaat, kebaikan atau kebahagiaan bagi sebanyak
mungkin orang yang berbeda-beda pemahamannya yang ujung-ujunganya
dapat menjadi perbedaan bagi satu sama lain.
Dengan demikian sumbangan utilitarianisme ini kurang memadai
dalam mengatasi kompleksitas di bidang bisnis tersebut. Apalagi
kegiatan bisnis ini berkaitan dengan masalah kelangkaan (scarcity),
sehingga perlu ada pemikiran lain yang membantu mengatasi masalah
ini, diantaranya adalah teori keadilan. Teori Keadilan John Rawls63
John Rawls mengemukakan teorinya, ia meminta untuk membayangkan
sebuah keadaan, di mana sekelompok orang sedang memperbincangkan
mengenai isi dan bentuk suatu masyarakat yang adil dengan kondisi
belum ada apa-apa. Jadi masyarakat yang adil tersebut diciptakan
dari nol. Selanjutnya menurut Rawls, dalam situasi yang memiliki
tingkat objektivitas yang maksimal, setiap orang akan memikirkan
suatu masyarakat yang mampu memberikan manfaat dan berkat bagi
dirinya sendiri. Dalam situasi demikian menurut Rawls akhirnya,
bila orang-orang itu berakal sehat maka, masyarakat itu harus
bertindak fair kepada setiap anggotanya siapa pun dia. Dengan kata
lain, dalam masyarakat tersebut tidak ada anggotanya diperlakukan
secara tidak fair. Rawls
62 Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua:
Bisnis, Ekonomi,
dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001),
hlm. 35-36 63 Ibid, hlm. 37-40
-
44 | ETIKA TERAPAN
menyimpulkan bahwa bersikap adil adalah bersifat fair. Justice
as fairness. Kemudian apakah fairness itu? Rawls menjelaskan dua
prinsip. Pertama, Equality atau kesamaan. Setiap orang berhak
mendapat perlakuan yang sama. Fair berarti setiap orang harus
tunduk pada peraturan main yang sama dan peraturan main itu tidak
dirumuskan hanya untuk menguntungkan sebagian orang. Kedua,
Kesamaan tidaklah sama dengan persamaan. Karena, memang orang tidak
sama. Memperlakukan semua orang secara mutlak sama, justru tidak
menguntungkan semua orang, khususnya mereka yang berada dalam
keadaan tidak menguntungkan. Dengan demikian, maka pembedaan adalah
tidak adil, sedangkan perbedaan itu diperlukan demi keadilan.
Kemudian, perbedaan manakah yang dikatakan adil atau fair tersebut?
Rawls menyatakan, perbedaan dapat dikatakan fair apabila hasilnya
mendatangkan keuntungan bagi semua orang, khususnya anggota-anggota
masyarakat yang paling lemah kedudukannya. Dengan demikian
perbedaan diharamkan bila ia hanya menguntungkan sekelompok kecil
orang yang kedudukannya kuat. Jadi, perbedaan dapat diterima, bila
mereka yang berada di tingkat paling bawah menganggap perbedaan itu
menguntungan mereka. Rawl mengatakan, Bukanlah suatu ketidakadilan
bila keuntungan yang lebih besar dinikmati oleh yang sedikit,
dengan syarat bahwa melalui itu keadaan mereka yang lemah mengalami
perbaikan. Selanjutnya Rawls berkeyakinan, bawah prinsip-prinsip
fair ini merupakan dasar yang adil dapat diterima oleh setiap orang
yang berakal sehat. Apa yang disampaikan Rawls di atas merupakan
apa yang seharusnya merupakan nilai yang luhur dan berharga,
sehingga orang dengan sukarela dan sungguh-sungguh mau mengikatkan
dirinya. Sehingga dalam keputusan etis yang diambil dalam praktik
berbisnis bukan saja dari segi manfaat yang paling besar yang akan
diperoleh, tetapi juga memenuhi unsur keadilan (fairness) di
dalamnya.
KEUNTUNGAN Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan,
adalah: berapa besar orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan
bagaimana pula
-
ETIKA TERAPAN | 45
ukuran-ukuran etisnya? Pandangan umum mengatakan bahwa dalam
dunia bisnis adalah wajar bila orang berusaha untuk mengeruk
keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Pada jaman kejayaan liberalisme
klasik, bahwa maksimalisasi keuntungan atau profit maximization
merupakan satu-satunya tujuan bagi perusahaan.64 Hal ini dapat kita
lihat dalam teks buku-buku pegangan mahasiswa ekonomi, profit
maximization ini masih dipelajari sampai saat ini. Mari kita lihat
sebagai misal bagaimana maksimalisasi laba itu diperoleh dalam
kondisi industri kompetitif sempurna, yang mana produksi akan
mencapai titik di mana harga outpunya tepat sama dengan biaya
marginal jangka pendek, atau lebih dikenal dengan rumus MR=MC,
pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku pegangan mahasiswa
Ekonomi Akuntansi dan Manajemen sekarang.65
Tidak masalah memang topik ini dipelajari oleh seluruh mahasiswa
ekonomi sampai saat ini, namun perlu disadari topik ini bukan
menjadi satu-satunya pegangan dalam menjalankan berbisnis
dikemudian hari. Beberapa hal yang harus dikritis dalam memang
prinsip maksimalisasi profit secara ketat dan merupakan
satu-satunya tujuan di dalam praktik berbisnis, diantaranya
berimplikasi kepada pengerahan semua sumber daya perusahaan agar
mencapai profit yang maksimum. Pengerahan sumber daya ini termasuk
juga tenaga kerja yang terlibat di dalamnya, jangan-jangan demi
profit maksimum ini perusahaan menjadikan karyawan hanya sebagai
alat semata. Tidak heran bila beberapa waktu yang lalu kita
menemukan sebuah perusahaan yang memproduksi kuali mempekerjakan
buruhnya dengan semena-mena, bahkan beberapa diantaranya ada yang
belum cukup umur (masih usia anak-anak)66.
Menjadikan manusia sebagai sarana atau menjadi alat belaka jelas
sangat ditentang oleh filsuf terkemuka dari Jerman abad ke-18,
yaitu Immanuel Kant. Kant menuturkan dalam bukunya Foundations of
the
64 Kees Bertens, Keprihatinan Moral Telaah atas Masalah Etika,
(Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 70 65 Karl E. Case dan Ray C.
Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa
Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 212
66http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Guga
t.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
-
46 | ETIKA TERAPAN
Metaphysics of Moral (1785), Bertindaklah sedemikian sehingga
engkau memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri atau
orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.67
Dengan demikian, sebagai pebisnis tetaplah harus memperlakukan
karyawannya sebagaimana manusia yang m