Top Banner
511 ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM * _______ _ Oleh: Soerjono Soekanto _______ _ Pengantar Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J .S. Poerwadarminta, tidak dijumpai is- tilah profesi maupun pengartiannya. Istilah profesional di dalam kamus terse but diartikan sebagai orang yang melakukan olah raga dengan mene- rima bayaran. Oleh karena itu menge- nai istilah profesi terse but harus di- earl dalam kamus-kamus lain, um- pamanya di dalam kamus bahasa asing. Hal itu penting sekali, agar supaya ada suatu pegangan menge- nai istilah-istilah, termasuk juga istilah etika (atau etik) maupun hukum ke- dokteran. Di dalam kamus van Dale's "Groot Woordenboek der Nederlandsche Taal" profesi diartikan sebagai " .. . beroep, bedriif, handwerk ", dan seterusnya. Rumusan tenta.Qg profesi terse but, akan diambil darl beberapa kamus lainnya, sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang r.elatif lengkap. Di dalam "A Modern Dictionary of Sociology" dinyatakan, bahwa suatu profesi adalah: " ... a high·status occupation of highly trained experts performing a very specialized role in society. A profession has exclusive possession of competence in certain types of knowledge and skills ' crucial to society and its indivi· dual clients". * Disampaikan pada Simposium Etika Profesi dan Hukum Kedokteran, IDI Cabang Jambi, 21 Oktober 1983. Selanjutnya di dalam "Dictionary of Sociology and Related Sciences" akan dapat dijumpai eiri-eiri profesi, sebagai berikut: ". . . a high degree of technical skill, entailing specialized preparation generally at recognized institutions of learning, official regulation and licensure, a strong feeling of class honor and soli- darity, manifested in vocational asso- ciations to secure a monopoly of services, and in codes of ethics enjoining the res- ponsibility of the profession to the collective it serves". Hans-Dieter Evers dan Daniel Regan yang mengadakan penelitian tentang peranan dokter se bagai pelopor per- ubahan di Indonesia dan Malaysia berpendapat, bahwa seorang profesi- onal (Hans-Dieter Evers and Daniel Regan 1978). ". . . practises a fulltime occupation; he is committed to a calling, i.e. he treats his occupation as an endurin$ set ofnormative and behavional expecta- tions; he is identified with his peers, often in formalized organizations; he is in the possession of useful knowledge and skills based on specialized training or education of exceptional duration; he is committed to rules of competence, conscientious performance and service and he enjoys autonomy due to a high degree of technical specialization ". Sebagai tambahan terhadap apa yang menjadi profesional terse but (atau fungsinya), maka Morse menyatakan bahwa (C. Morse 1961).
7

ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

Oct 17, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

511

ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU •

DARI SOSIOLOGI HUKUM *

_______ _ Oleh: Soerjono Soekanto _______ _

Pengantar

Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J .S. Poerwadarminta, tidak dijumpai is­tilah profesi maupun pengartiannya. Istilah profesional di dalam kamus terse but diartikan sebagai orang yang melakukan olah raga dengan mene­rima bayaran. Oleh karena itu menge­nai istilah profesi terse but harus di­earl dalam kamus-kamus lain, um­pamanya di dalam kamus bahasa asing. Hal itu penting sekali, agar supaya ada suatu pegangan menge­nai istilah-istilah, termasuk juga istilah etika (atau etik) maupun hukum ke­dokteran.

Di dalam kamus van Dale's "Groot Woordenboek der Nederlandsche Taal" profesi diartikan sebagai " .. . beroep, bedriif, handwerk ", dan seterusnya. Rumusan tenta.Qg profesi terse but, akan diambil darl beberapa kamus lainnya, sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang r.elatif lengkap. Di dalam "A Modern Dictionary of Sociology" dinyatakan, bahwa suatu profesi adalah:

" ... a high·status occupation of highly trained experts performing a very specialized role in society. A profession has exclusive possession of competence in certain types of knowledge and skills ' crucial to society and its indivi· dual clients".

* Disampaikan pada Simposium Etika Profesi dan Hukum Kedokteran, IDI Cabang Jambi, 21 Oktober 1983.

Selanjutnya di dalam "Dictionary of Sociology and Related Sciences" akan dapat dijumpai eiri-eiri profesi, sebagai berikut:

". . . a high degree of technical skill, entailing specialized preparation generally at recognized institutions of learning, official regulation and licensure, a strong feeling of class honor and soli­darity, manifested in vocational asso­ciations to secure a monopoly of services, and in codes of ethics enjoining the res­ponsibility of the profession to the collective it serves".

Hans-Dieter Evers dan Daniel Regan yang mengadakan penelitian tentang peranan dokter se bagai pelopor per­ubahan di Indonesia dan Malaysia berpendapat, bahwa seorang profesi­onal (Hans-Dieter Evers and Daniel Regan 1978).

". . . practises a fulltime occupation; he is committed to a calling, i.e. he treats his occupation as an endurin$ set ofnormative and behavional expecta­tions; he is identified with his peers, often in formalized organizations; he is in the possession of useful knowledge and skills based on specialized training or education of exceptional duration; he is committed to rules of competence, conscientious performance and service and he enjoys autonomy due to a high degree of technical specialization ".

Sebagai tambahan terhadap apa yang menjadi profesional terse but (atau fungsinya), maka Morse menyatakan bahwa (C. Morse 1961).

Page 2: ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

512

"The professional is expected above all to be loyal to the ideas, ethics, and standards of his profession rather than to the employer".

Dengan demikian dapatlah disim­pulkan, bahwa eiri-eiri suatu profesi (termasuk profesi kedokteran) terwu­jud di dalam asosiasi-asosiasi, dan kode etik. Apakah etika atau etik itu ?

Etika diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan ten tang azas-azas ahlak atau moral, oleh Poerwadarminta. Seeara sederhana hal itu dapat diru­muskan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan falsafah sikap tindak yang benar dan/atau yang salah. Rumusan ten tang etika yang seeara relatif lengkap, dapat dijumpai di dalam "Dictionary of Modern Socio­logy", di mana etika diartikan seba-

• gal:

"The normative study of norms; the philosophy specialty concerned with the systematic study of that which is defined as "the highest good", with ethical absolutism stressing the idea that there is a single, eternally true moral code that is applicable to all men regardless of time and culture, and with ethical relativity stressing the idea that there is no known moral standard which is equally applicable to all men ".

Dengan demikian dapatlah dikata­kan, bahwa etika tidak mungkin di­pisahkan dati profesi oleh karena eti­ka tersebut merupakan suatu per­wujudan datipada eiri-eiti profesi yang menyangkut tanggung jawab keahlian kepada masyarakat.

Hukum Kedokteran dapatlah dika­takan merupakan perangkat norm a­norma hukum yang mengatur pro­fesi kedokteran. Dalam hal ini, maka norma-norma hukum tersebut membe­rikan batas-batas atau patokan-patok­an mengenai sikap tindak yang dike­hendaki atau yang pantas. Terhadap patokan tersebut mungkin dilldakan

Hukum dan Pembangunan

pengeeualian-pengeeualian; namun ti­daklah mustahil, bahwa terjadi penye­lewengan. Dengan demikian, maka eti­ka menyangkut sikap tindak yang benar atau salah, sedangkan hukum betisikan larangan, suruhan dan kebo­lehan. Kalau etika berkaitan dengan hati nurani (geweten), maka norma hukum berkaitan dengan kedamaian (vrede).

Apabila hal-hal tersebut diatas di­tinjau dati sudut sosiologi hukum, maka masalahnya berkaitan dengan efektivitas dati efektivitas. Artinya, sampai sejauh manakah etika profesi dan hukum kedokteran (yang tertu­lis) efektif atau meneapai tuiuannya.

Hal tersebut kadang-kadang din am a-•

kan dampak yang positif ataupun negatif (dalam hal etika dan hukum tidak mencapai tujuan). Masalah itu akan dibahas secara garis besar di dalam tulisan ini.

Patokan dampak positif dan negatif

Dati sudut bahasa (Indonesia), maka "dampak" lazimnya diartikan sebagai suatu benturan, yang mempu­nyai konotasi negatif. Akan tetapi, apabila "dampak" merupakan terje­mahan dati "impact" (bahasa Ing­getis) , maka hal itu mungkin mempu­nyai pengaruh yang positif atau negatif. Di dalam hal ini, maka penga­ruh terse but tertuju pada perilaku manusia, setelah melalui pengetahuan dan pemahaman tertentu. Oleh karena itu sepanjang mengenai etika profesi dan hukum kedokteran dati sudut dampaknya, harus ditinjau dati tahap­tahap terse but.

Dampak yang positif akan meng­hasilkan suatu proses kepatuhan, se­hingga perilaku manusia menjadi sesuai dengan etika profesi atau hukum ke­dokteran. Misalnya, di dalam Kode

Page 3: ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

Hukum Kedokteran

Etik Kedokteran Indonesia antara lain dirumuskan, bahwa salah satu kewa­jiban dokter terhadap penderita adalah senantiasa mengingat kewajiban melin­dungi hidup makhluk insani. Contoh lain adalah, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, yaitu antara lain, bah wa setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sen­diri ingin diperlakukan. Di dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1963 ten tang Tenaga Kesehatan , antara lain diatur perihal perilaku yang dilarang bagi tenaga kesehatan (termasuk dok­ter; lihat pasal 11). Kalau larangan tersebut tidak dilanggar, maka dokter melakukan perilaku yang sesuai de­ngan hukum tertulis yang berlaku (artinya dia mematuhi peraturan ter­sebut).

Oleh karena itu dapatiah dikata­kan, bahwa dampak positif dari etika profesi maupun hukum kedokteran akan ada, apabila para pihak yang terkena mematuhinya. Akan tetapi, kepatuhan terse but mungkin terjadi karena pelbagai sebab atau faktor , yang kemudian akan dapat memberi­kan petunjuk sampai sejauh mana­kah taraf ketaatan terse.but. Secara garis besarnya, maka faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepa­patuhan adalah, sebagai berikut:

1. Untuk menghindarkan diri dari hukum atau sanksi negatif, sebagai akibat melanggar etika atau hukum,

2. Untuk mendapatkan kepuasan di dalam diri sendiri, yang terlepas dari suatu rasa kesetiaan, ataupun keadilan,

3. Untuk menyenangkan pihak-pihak lain, sehingga dihargai,

4. Untuk mendapatkan kehormatan, 'karena telah melakukan tugasj kewajiban,

5. Untuk mempertahankan stabilitas dalam masyarakat,

6. Untuk mempertahankan nilai-nilai

513

yang berlaku yang dianggap serasi baik diri sendiri, maupun bagi pihak-pihak lainnya.

Faktor yang keenam terse but diatas secara teoritis dianggap telluasuk kate­gori kepatuhan yang tinggi, oleh kare­na di dalam wujud perilaku nyata merupakan konkretisasi dari nilai, etika maupun norma hukum yang berlaku. Secara visual sistematis gam­barannya adalah, sebagai berikut:

Nilai berkaitan dengan apa yang baik ;

apa yang buruk

.j, Etika berkaitan dengan apa yang benar;

apa yang salah

Norma hukum berkaitan dengan su­ruhan; larangan ke bolehan

Dengan demikian dapatiah disimpul­kan, bahwa dampak yang positif dari etika profesi dan hukum kedok­teran menghasilkan perilaku yang se­suai dengannya. Dampak yang nega­tif akan menghasilkan perilaku nyata yang tidak sesuai atau bahkan berten­tangan etika profesi dan hukum ke­dokteran yang berlaku.

Peranan dokter di dalam kenya­taannya

Apabila pembicaraan mengenai dam­pak positif dan negatif dilanjutkan, maka tibalah .saatnya untuk mengada­kan identifikasi terhadap masalah apakah etika profesi maupun hukum kedokteran benar-benar diterapkan da­lam masyarakat. Artinya, apakah po1a perilaku yang nyata dari dokter­dokter cenderung mematuhi at au ti­dak mentaati etika profesi dan hukum kedokteran yang berlaku.

Nopember 1983

Page 4: ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

514

Untuk kepentingan identifikasi ter­sebut, akan diadakan analisa singkat, dengan jalan menghubungkan rumusan tertentu di dalam etika profesi dan pasal tertentu hukum kedokteran, dengan kenyataan yang ada. Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia me­ngenai kewajiban Umum di dalam. pasal' 8 dirumuskan, bahwa:

"Di dalam melakukan pekerjaannya. seorang , dokter harus mengutamakan/ mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pela· yanan kesehatan yang menyeluruh (pro· motif. preventif, kuratif, dan rehabili· tati!) serta berusaha menjadi pendidik dan, pengabdi masyarakat yang sebenar· nya".

Rumusan tersebut di atas dapat di­kaitkan dengan pasal 1 dan 2 dari Undang-Undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Di dalam pasal-pasal terse but antara lain dinyatakan, bah wa setiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang a dan kesehatan tersebut mencakup kesehatan badan, rohaniah dan so sial. Bagaimanakah ke­nyataannYil ?

Untuk menjelaskan hal tersebut di­atas, akan disajikan beberapa pokok hasil penelitian yang pernah dilaku­kan oleh Hans-Dieter Evers bersama dengan Daniel Regan yang kemudian dimuat di dalam buku Sosiologi Perkotaan (1982) dengan judul Peran­an para Dokter di Malaysia dan Indo­nesia. Studi terse but dilakukan terha­dap para dokter di kota-kota kecil di negara yang sedang berkembang dengan mengambil contoh Malaysia dan Indonesia. Kedua peneliti terse­but bertitik: pada asumsi, bahwa (Hans-Dieter Evers 1982).

"/(arena spesialisasi fungsional peranan mereka yang semakin meningkat, maka kIlum pT.ofesional itu cenderung berge­rak rnakin terasing dari pembaharuan-

,

Hukum dan Pembangunan

pembaharuan yang sedang berlangsung dari masyarakat luas. Spesialisasi yang meningkat mengurangi mantaat umum kelompok protesional dengan menyum­bat komunikasi an tara mereka dengan lapisan sosial lainnyti. Dalam hal ini para protesional itu condong menggunakan spesilisasi profe­sional dan tingkat kecakapan teknik yang tinggi untuk mengkonsolidir status dan kekuasaan mereka sendiri dan bukan untuk pengembangan dan modernisasi sosia!. Dengan demikian maka sumber daya kaum protesional seperti penge­tahuan modern dan kemampuan ber­organisasi bukannya dipergunakan untuk menyebarkan pembaharuan-pembaharu­an. melainkan untuk memonopolinya".

Secara sosiologis hal itu ada benarnya, oleh karena d6kter biasanya menik­mati suatu kedudukan tinggi, dan dari sudut peranannya dokter tersebut mempunyai unsur-unsur dominasi ter­tentu (kalau umpamanya, dihubung­kan dengan kedudukan dan peranan pasien). Dahulu pada masyarakat-ma­syarakat yang sekarang merupakan masyarakat berkembang, hubungan ke­percayaan antara dokter dengan pasien didasarkan pada fungsi curing. Dewasa ini tekanan diletakkan pada fungsi caring. sehingga mernerlukan pola hu­bungan kepercayaan yang agak ber­beda, oleh karena kedudukan ,dan peranan dokter adalah suatu unsur dari konteks kesehatan secara menye­luruh. (Ruud Verberne 1976).

Di dalam penelitiannya tersebut, Dieter Evers dan Regan menemukan kenyataan, bahwa para dokter pada umumnya memperiihatkan hanya sedi­kit keterlibatan mereka di dalam rna­salah-masalah sosial. Mereka cenderung untuk membatasi aktivitas modernisasi

(yang juga mencakup aspek kesehatan) pada spesialisasi profesi belaka. Bebe­rapa faktor yang menyabkannya ada-1ah sebagai berikut.

"Pelbagai aspek proses protesionalisasi

Page 5: ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

. .

Hukum Kedokteran

terutama lamanya jangka waktu pen­didikan yang diperlukan. semuanya ber­gabung dan menyebabkan orientasi indi­vidual ke arah masyarakat yang lebih luas sifatnya dan pada masyarakat se­tempat. Orientasi ke arah pusat pro­fesional metropolitan menyebabkan ham­batan terhadap keahlian mereka secara terus menerus di suatu kota kecil yang terpencil. Malahan, bagi para profesi-, onal yang terus tinggal. ada beberapa faktor yang menghalangi potensi mere­ka sebagai penggerak modernisasi".

Bagaimanakah hubungan antara ha­sil penelitian tersebut dengan rumusan dalam Kode Etik Kedokteran Indone­sia maupun Undang-Undang nomor 9 tahun 1960 yang disebutkan dimuka? Dari etika profesi maupun hukum kedokteran tersebut diambil beberapa pasal yang terutama menyangkut ke-· wajiban dokter untuk menjadi pendi­dik masyarakat dan bahwa warga ma­syarakat mempunyai hak untuk didi­dik (misalnya dalam bidang kesehatan oleh Dieter-Evers dan Regan dapat disimpulkan. bahwa aturan etika mau­pun hukum yang disebutkan di atas

belum mempunyai dampak yang posi-tif; artinya, belum efektif. Hal ini b ukanlah berarti bah wa dengan sen­dirinya terjadi dampak yang negatif, oleh karena perilaku dari dokter yang diharapkarr atau ditentukan, di dalam kenyataannya belum tentu ber­lawanan dengan n0Il11a yang ada, setidak-tidaknya dari sudut itikadnya. Ada kemungkinan bahwa justeru fak· tor-faktor lain yang menyebabkan pe­ranan mereka agak kurang besar. Hal itu diakui juga oleh Dieter-Evers maupun Regan, yang menyatakan se·· bagai berikut:

"Meskipun kepada para profesional yang trampil seperti dokter diberikan per­ala tan untuk melakukan tugas-tugasnya secara efisien, bertambahnya profesi­onalisasi cenderung . akan mengurangi ruang lingkup fungsi modernisasi mere-

515

ka. karena: a. Kaum profesional, seperti halnya para praktisi yang bekerja secara penuh, hanya sedikit mempunyai waktu untuk menerobos ke dalam kehidupan kota tempat mereka tinggal dan bekerja; b. Kepatuhan kepada norma-norma umum dalam suatu panggilan profesi berarti bahwa komitmen lain seorang dokter paling-paling hanyalah memper­oleh kepingan-kepingan perhatian yang kecil; c. Tuntutan untuk memperoleh otonomi profesi adalah bagian tuntutan

. para profesional untuk memperoleh ke­kuasaan mengatur sistem kualifikasinya dan juga untuk menentukan aktivitas mereka sendiri".

Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa beberapa unsur-unsur tertentu dari profesi atau profesionalisasi yang menghambat para dokter untuk melak­sanakan peranan yang diharapkan oleh etikamaupun hukum. Akibatnya antara lain adalah, bahwa masyarakat hanya dapat menuntut haknya sepan­jang hal itu memberikan otonomi atau kehormatan yang lebih besar atau setidak-tidaknya mempertahan­kan keadaan yang ada dari profesi yang dijalankan para dokter. Hal ini menghasilkan suatu dilema, oleh kare­na semakin berhasil para dokter mela­kukan penyesuaian diri pada standar profesional, semakin kurang berhasil kemanfaatannya di dalam mendidik masyarakat. Oleh karena itu kiranya penting diketengahkan beberapa ca­tatan penutup dari hasil penelitian yang telah disebutkan, sebagai berikut:

"Penelitian kami menunjukkan adanya tingkat keterlibatan yang rendah dari kalangan profesional dalam masalah­masalah kemasyarakatan, dan kontribusi rnereka kedl sekali bagi pembangunan sosial pada umumnya dan kemanfaat­an usaha modemisasi di luar batas-batas spesialisasi rnereka adalah rendah. Seba­liknya, pendidikan-yang sangat moderen dan modemitas perorangan kaum pro­fesional itu sendiri nampaknya rnerupa­kan hambatan utamanya. Sifatnya pro­fesionalisasi yang berlebihan . . . . . . .

Nopember 1983

Page 6: ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

S16

telah memba'Ml ketiga tahap proses diferensinsi, yaitu diferensiasi antara ak­tivitas profesional yang khas dan akti­vitas pergaulan umum; diferensiqsi sosial dan kultural antara kaum elite profe­sional dan kelas ba'Mlhan, serta diferen­siaSi antara pusat politik dan sosial dan daerah pinggiran propinsi. "

Bagaimana peranan pasien. ? Di dalam kenyataannya (secara

sosiologis), maka kedudukan pasien lebih rendah dari dokter; peranannya­pun lebih kurang dari dokter. Akan tetapi menurut etika profesi maupun hukum kedokteran, pasien juga mem­punyai hak-hak tertentu, sehingga se­benamya secara yuridis kedudukan dokter sarna dengan pasien.

Ruud Verbeme di dalam artikel­nya yang be:rjudul ':Patient en Arts" yang dimuat dalam Ars Aequi (No­vember 1976) menjelaskan tentang pelbagai hak pasien yang kalau dikaji

I

secara lebih mendalam , sebenarnya bertitik tolak pada etika profesi dan hukum kedokteran (dalam hal ini perundang-undangannya). Hak-hak ter­sebut adalah, antara Jain :

.

1. Hak untuk memberikan persetujuan atau menolak untuk diperiksa atau dirawat di dalam taraflanjutan ;

2. Hak untuk mendapatkan infonnasi yang lengkap mengenai penyakit­nya, perawatannya maupun akibat dari kedua-duanya ;

3. Hak atas kerahasiaan pertukaran infonnasi antara dokter dengan pa­sien atas dasar hubungan keper­cayaan;

4. Hak untuk mendapatkap pertolong­an;

S. Hak untuk mendapatkan perawatan yang proporsional.

Di Negeri Belanda, menurut Verber­.ne, banyak pasien yang tidak menge· tahui akanadanya hak-hak terse but, kecuali tentunya apabila teJjadi suatu

Hukum dan Pembangunan

perkara, sehingga pasien biasanya ti­dak siap. Kiranya hal itu juga berlaku di Indonesia, walaupun tentang mas­alah itu belum diadakan penelitian secara luas dan mendalam . Sepanjang pengamatan yang telah dilakukan , maka di dalam kebanyakan hal yang Ie bih banyak menonjol adalah pena­nganan hak-hak dokter dan kewajiban pasien untuk mernbayar sejurnlah uang se bagai honorarium hal mana rnerupa­kan masalah yang sangat sensitif oleh karena pada umurnnya daya beli warga masyarakat secara urn urn adalah rendah.

Di sam ping adanya hak-hak dari pasien, maka sudah tentu harus ada kewajiban-kewajibannya. Mungkin dari

• Bekian banyaknya kewajiban yang ada , lmaka yang hendaknya diperhatikan adalah kewajiban dari pasien untuk tidak menyalah gunakan hak-haknya terhadap dokter. Selain daripada itu, maka ada suatu kewajiban dari pasien, untuk ikut serta mernbantu dokter di dalam merawat dirinya pasien terse­but. Sudah tentu bahwa hal ini tidak dapat dipaksakan; akan tetapi setidak­tidaknya itikad semacarn ini harus di­tanamkan di dalam diri pasien.

Penutup Dari uraian singkat tersebut di

.atas kiranya jelas, bahwa darnpak yang positif dari etika profesi rnau­pun hukum kedokteran rnasih belum tampak di Indonesia. Mungkin hal itu disebabkan , oleh karena rnasalah tersebut dianggap masih baru , dan orang Indonesia pada urnurnnya masih memerlukan penyuluhan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya di dalarn hubungan-hubungan yang tl~rjadi dengan kalangan profesional sl!perti dokter. Mungkin pada taraf sekarang ini hal itu dapat dilakukan melalui Puskesmas-Puskesmas yang ter­se bar di Indonesia atau mungkin oleh

Page 7: ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI ...

" " Hukum Kedokteran

Perguruan Tinggi di dalam rangka mengadakan penyuluhan hukum mela­lui program-program K uliah Kerja Nyata.

Di samping hal-hal terse but di atas, maka segala hak dan kewajiban dokter maupun pasien hendaknya mendapatkan wadah yang mempunyai kewibawaan yang ditaati, oleh karena

517

benar-benar diterapkan secara ber­tanggung jawab. Disinilah muncul fungsi keIjasama antara kalangan me--disi dengan kalangan hukum, yang tentunya harus didahului dengan pem­benahan-pembenahan tertentu , misal-

. nya, telaah yang saksama terhadap perundang-undangan yang berlaku.

TINDAl< -n>5AS peMS£,.p~R FOro PI

RLILI , •

,

Nopember 1983

,