TINJAUAN PUSTAKA ERUPSI OBAT ALERGIK Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis. l Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (RSO), yang dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas. Insidens RSO yang berat mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %. Sedangkan Pada pasien rawat jalan insidensnya diperkirakan 15 - 30% pernah mengalami RSO. 2 Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.5 ROA merupakan masalah utama yang dapat timbul akibat pemberian obat. ROA terjadi pada 6 - l0 % kasus RSO.4 Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. RSO dapat bermanifestasi pada organ - organ dalam atau kulit dan mukosa. RSO yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat. Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA). 1,2 Erupsi Obat yang terjadi pada Kulit (Erupsi Obat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN PUSTAKA
ERUPSI OBAT ALERGIK
Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah
keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi si
pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis.l
Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan
pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (RSO), yang
dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas. Insidens RSO yang berat
mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %. Sedangkan
Pada pasien rawat jalan insidensnya diperkirakan 15 - 30% pernah mengalami RSO.2
Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari
respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.5 ROA merupakan masalah
utama yang dapat timbul akibat pemberian obat. ROA terjadi pada 6 - l0 % kasus
RSO.4 Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. RSO
dapat bermanifestasi pada organ - organ dalam atau kulit dan mukosa. RSO yang
bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat. Mekanisme terjadinya
erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian
besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi obat dengan mekanisme imunologik
disebut erupsi obat alergik (EOA).1,2
Erupsi Obat yang terjadi pada Kulit (Erupsi Obat Alergik : EOA) merupakan
manifestasi tersering dari ROA. Satu macam erupsi dapat disebabkan oleh berbagai
macam obat, sedangkan satu macam obat dapat menimbulkan berbagai macam
erupsi.3
REAKSI SIMPANG OBAT
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respons terhadap obat
yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada
penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi
fungsi fisiologis. Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu
tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi,
bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada
tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus RSO. Reaksi tipe B
merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung
pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya
terjadi pada individu yang rentan.Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi,
reaksi alergi (hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B
merupakan reaksi obat alergik.3,4
Belakangan ditambahkan dua tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan dengan dosis
dan waktu (tipe C) dan reaksi lambat (tipe D). Reaksi tipe C tidak Iazim terjadi, dan
berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya pada ketergantungan benzodiazepin,
nefropati analgetikl0 serta penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh
kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan
dengan waktu (yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E).
Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau
kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan
teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera
setelah penghentian obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Baru - baru ini
ditambahkan kategori tipe yang keenam (tipe F), yaitu kegagalan terapi yang tidak
diharapkan. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali
disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak
adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik.4
REAKSI OBAT ALERGIK
ROA merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).3 ROA memiliki beberapa
karakteristik klinis tertentu, yaitu :
▪ Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
▪ Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
▪ umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
▪ Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah
kisaran dosis terapeutik.
▪ Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses alergi.
▪ Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.
FAKTOR RISIKO REAKSI OBAT ALERGIK
Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor
yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta
faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya,
penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).
Sifat obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, kimopapain,
streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang
potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.2-5Obat- obatan dengan berat
molekul dibawah 1000 dalton merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.2
Pajanan obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersenstisasi,
sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitiasi. Aplikasi
topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian parenteral,
misalnya pada pemberian oral. Pemberian oral atau nasal menstimulasi produksi
imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik
spesifik obat. pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya
pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia
hemolitik yang diinduksi penisilin.
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan dengan
pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.4 Frekuensi pemberian obat dapat
berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval
pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.2
Usia
Umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa,
walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak - anak. Bayi dan
usia lanjut jarang mengalami alergi obat, dan kalaupun terjadi lebih ringan, hal
tersebut dikaitkan dengan irnaturitas atau involusi sistem imun. Ruam yang terjadi
akibat infeksi virus pada anak - anak dapat dikelirukan dengan anggapan bahwa hal
tersebut terjadi akibat pemberian antibiotika sebagai pengobatan.4
Genetik
ROA hanya terjadi pada sebagian kecil pasien yang mendapat pengobatan. Banyak
faktor, baik genetik dan lingkungan, yang dapat berperan untuk berkembangnya suatu
reaksi alergi.
Proses asetilasi diperlukan untuk metabolisme beberapa obat, misalnya sulfonamid,
INH, dapson, hidralazin, prokainamid, klonazepan. Asetiase obat-obatan tersebut
dikatalisis oleh enzim N-asetiliransferase(N AT). Fenotipe utama yang telah diketahui
adalah asetilator lambat dan asetilator cepat. Pasien yang secara genetik merupakana
setilator lambat lebih berpeluang berkembang menjadi LE yang diinduksi obat,
sehubungan dengan pemberian hidralizin dan prokainamid.ROA terhadap sulfonamid
dapat lebih berat di antara asetilator lambat. Penurunan kapasitas N-acetilating
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya EOA yang serius. Kapasitas N-
acetilating yang rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi tertentu
obat dalam seru dan penurunan detoksifikasi, hal ini terlihat pada pasien sindroma
Stevens Johnson (SSJ) dan nekrosis epidermal toksik (NET).
Gen FILA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat. Kerentanan
terhadap terjadinya nefropati yang diinduksi obat pada pasien dengan rematoida rtitis
yang diobati dengang arame masa taup enisilinb erhubungand engan fenotipe HLA -
DRw3 dan HLA-88. Selain itu, gen HLA spesifik juga dihubungkan dengan I-E yang
diinduksi hidrazalin, agranulositosis yang diinduksi levamisol, dan NET yang
diinduksi sulfonarnid.
Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang
orangtuanya rentan terhadap reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami
reaksi alergi terhadap agen antimikrobial ; sedangkan individu dengan orangtua tanpa
reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi.4
Reaksi obat sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya.
Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Telah
diketahui bahwa setelah reaksi alergi terhadap fenisilin, waktu paruh antibodi IgE
antipenisiloil dalam serum berkisar 55 hari hingga jangka waktu lebih dari 2000 hari.
Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok
sulfonamid. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi
untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi
penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap
antimikroba non-β-laktam. Limapuluh tujuh persen bereaksi silang dengan
sulfonamid. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.4
Penyakit medis yang menyertai
Anak - anak dengan fibrosis kistik lebih mudah mengalarni ROA terutama selama
desensitisasi obat. Ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin terjadi lebih
sering selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan leukemia
limfatik. Pasien-pasien dengan HIV memiliki peningkatan risiko ROA. Defisiensi
imunitas dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ROA. Pasien dalam keadaan
tertekan sistem imunnya mengalami defisiensi limfosit T supresor yang mengatur
sintesis antibodi IgE.2
Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap obat.
IMUNOPATOGENESIS
Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan
klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu :
▪ Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :
IgE : eritema, urtikaria, angioedema.
IgG : purpura (vaskulitis), erupsi morbiliformis.
▪ Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas
▪ Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik