EPISTEMOLOGI SINTESISME RASIONALISME EMPIRISME IMMANUEL KANT DAN RELEVANSINYA BAGI ILMU PENDIDIKAN ISLAM Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik Mata Kuliah: Filsafat Ilmu Dosen Pengampu : Dr. Shofiyullah Muzamil, M.Ag Disusun oleh: Afik Ahsanti (1320411038) 1 PAI A (Non Reguler) PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA TAHUN AKADEMIK 2013/2014 BAB I PENDAHULUAN
43
Embed
Epistemologi Immanuel Kant (Afik Ahsanti 1320411038)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
EPISTEMOLOGI SINTESISME RASIONALISME EMPIRISMEIMMANUEL KANT DAN RELEVANSINYABAGI ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas AkademikMata Kuliah: Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Dr. Shofiyullah Muzamil, M.Ag
Disusun oleh:Afik Ahsanti (1320411038)1 PAI A (Non Reguler)
PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAMKONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTATAHUN AKADEMIK
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan masa sekarang ini
adalah sebuah hasil dari berbagai polemik
pemikiran-pemikiran baik dari kalangan profesional
pendidikan atau pun dari pengkajian para filosof
yang tak henti-hentinya mengembangkan pemikiran–
pemikiran mengenai kemajuan dalam berfikir kritis
ataupun berfikir tentang segala hal yang ada di
dunia dengan problemanya yang sangat kompleks.
Timbulnya pemikiran-pemikiran dari Aristoteles,
Plato dan para fiolosof lainnya sampai dengan
pemikir era kontemporer merupakan bukti bahwa ilmu
pengetahuan senantiasa berubah dan tidak berhenti
pada kebenaran yang absolut.
Pada abad ke-18 di Jerman yang disebut dengan
Aufklarung atau zaman pencerahan di Inggris yang
dikenal dengan Enlightenment. Pemberian nama itu
dikarenakan pada zaman itu manusia berusaha mencari
cahaya baru dalam rasionya.1 Pada zaman ini orang
harus memilih salah satu semangat filosofis yang
berlawanan secara paradigmatik. Kedua filsafat
tersebut adalah rasionalisme dan empirisme.
Immanuel Kant berkeyakinan bahwa pilihan salah satu
dari keduanya adalah tidak realistis, karena
terjebak dalam kepalsuan pengetahuan.
1 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika (Jakarta: Kencana,2003), hal 113.
2
Immanuel Kant hidup pada abad dimana kaum
empiris Inggris seperti Jhon Loke, Berkeley dan
David Hume, mendominasi serta lambat laun menyebar
ke Jerman, dimana Immanuel Kant tinggal. Sebelum
pengaruh empirisme terutama Hume merasuk ke Jerman,
Jerman lebih didominasi oleh kaum rasionalis
Leibniz, lebih-lebih ketika faham tersebut
disebarluaskan oleh Wolf dengan memasukkannya dalam
kurikulum wajib seluruh Universitas Jerman. Jadi,
Kant hidup pada zaman pertempuran antara faham
rasionalis dan kaum empirisme.
Munculnya rasionalisme dan empirisme menjadi
indikator lahirnya periode modern dalam alam
pikiran Barat. Masing-masing ingin menang sendiri,
rasionalisme meragukan pandangan empirisme.
Demikian juga, empirisme memandang rasionalisme
penuh dengan subjektivitas dan sangat
personalistik.2 Oleh karena itu, Immanuel Kant
berusaha untuk mendamaikan keduanya.
Upaya menyintesiskan kedua sumber pengetahuan
tersebut menjadi paradigma episteme yang baru
merupakan prior research-nya Kant. Dari upaya pemaduan
ini, Kant memberikan argumentasi-argumentasi
logisnya untuk membuktikan penemuannya itu. Dari
2 Beni Ahmad Saebani. Filsafat Ilmu : Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-Beluk Sumber, Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, ( Bandung: CV. Pustaka Setia,2009), hal, 96
3
sini pula, kita bisa mengetahui pemikiran logika
Kant.3
Filsuf Jerman ini dikenal juga sebagai tokoh
Kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya
bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara
kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant,
baik rasionalisme maupun Empirisme belum berhasil
membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan yang
pasti, berlaku umum, dan terbukti dengan jelas.4
Dengan filsafat kritisisme Kant tersebut
memberikan relevansi terhadap ilmu pendidikan
Islam, yang bertujuan untuk melatih peserta didik
agar berfikir kritis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Immanuel Kant?
2. Bagaimana epistemologi sintesisme
rasionalisme empirisme Immanuel Kant?
3. Bagaimana relevansi pemikiran Immanuel Kant
terhadap Ilmu Pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN3 Zubaedi dkk, Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
kecil di Prussia Timur, pada tanggal 22 April 1724.
Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium
Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat
Peitisme. Di sekolah ini ia dididik dengan disiplin
sekolah yang keras. Sebagai seorang anak, Kant
diajar untuk menghormati pekerjaan dan
kewajibannya, suatu sikap yang kelak amat dijunjung
tinggi sepanjang hidupnya. Di sekolah ini pula Kant
mendalami bahasa Latin, bahasa yang sering dipakai
oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu
untuk mengungkapkan pemikiran mereka.5
Immanuel Kant belajar hampir semua mata kuliah
yang diberikan di universitas kotanya. Karena
alasan keuangan, Kant kuliah sambil bekerja. Kant
menjadi guru pribadi di beberapa keluarga kaya di
Konigsberg. Di universitasnya dia berkenalan baik
dengan Martin Knutzen (1713-1751), dosen yang
mempunyai pengaruh besar terhadap Kant. Knutzen
adalah seorang murid dari Chistian Von Wolff (1679-
1754), dan seorang profesor logika dan metafisika.5 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, Cetakan
keenam, 2010), hal 69.
5
Meskipun demikian, ia menaruh minat khusus pada
ilmu alam, dan sanggup mengajarkan fisika,
astronomi dan matematika. Dalam bidang filsafat
Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang memang
merajalela di universitas-universitas Jerman kala
itu. 6
Pada tahun 1755, Immanuel Kant memperoleh gelar
“Doktor” dengan disertasi yang berjudul
“Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api”
(Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatio), sebuah
karya di bidang ilmu alam. Setelah itu, Immanuel
Kant bekerja sebagai privatdozent di Konigsberg dengan
mengajarkan mata kuliah: metafisika, geografi,
pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat,
teologi, ilmu falak, dan mineralogi. Kant dijuluki
dengan “Sang Guru yang Cakap” (Der Schone Magister)
karena cara mengajarnya hidup dengan kepandaian
seorang orator. Immanuel Kant mampu menggerakkan
pikiran dan perasaan para pendengarnya dan dengan
ketajaman pikirannya.
Pikiran dan tulisan-tulisannya yang sangat
penting dan membawa revolusi yang jauh jangkauannya
dalam filsafat modern. Ia terpengaruh oleh lahiran
Piettisme dari ibunya, tetapi ia hidup dalam zaman
Scepticism serta membaca karangan-karangan Voltaire
6 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,cet. 15, 1998), hal, 59.
6
dan Hume. Akibat dari itu semua ialah bahwa ia
mempunyai problema: what can we know? (Apa yang dapat
kita ketahui?) what is nature and what are the limits of human
knowledge? (Apakah alam ini dan apakah batas-batas
pengetahuan manusia itu?) Sebagian besar hidupnya
telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of
thought (proses penalaran logis), the external world
(dunia eksternal) dan the reality of things ( realitas
segala wujud).7
Kehidupannya sebagai filsuf dibagi menjadi dua
periode yaitu zaman pra-kritis dan zaman kritis.
Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian
rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff, dkk. Tetapi
karena terpengaruh oleh Hume, berangsur-angsur Kant
meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan
bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur
dogmatisnya. Pada zaman kritisnya, Kant merubah
wajah filsafatnya secara radikal. Ia menanamkan
filsafatnya sekaligus mempertanggungjawabkannya
dengan dogmatismenya.8 Kritisismenya
dipertentangkan dengan rasionalisme-dogmatis
sekaligus empirisme-skeptis.9
Karyanya yang terkenal dan menampakkan
kritisismenya ialah Kritik Der Reinen Vernuft Reason dan
Critique Of Pure Reason yang membicarakan tentang reason7 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika..Op, Cit, hal, 115.8 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 115.9 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ibid, hal, 59
7
dan the knowing process yang ditulisnya selama lima
belas tahun. Buku ini amat terkenal di dunia
filsafat. Dalam literatur bahasa Indonesia biasanya
disebut “kritik atas rasio praktis”. Buku kedua
adalah Kritik Der Practischen Vernuft (1781) atau biasa
disebut Critique Of Partical Reason alias kritik atas
rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya.
Ketiga, buku Kritik Der Arteilskraft (1970) atau Critique Of
Judgement alias kritik atas daya pertimbangan.10
Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1804 Kant
meninggal dunia pada usia 80 tahun dalam keadaan
pikun. Banyak pelayat berdatangan dari segenap
penjuru Konigsberg, dan seluruh Jerman. Jenazahnya
dikuburkan di perkuburan kota. Kubur itu kemudian
rusak dan diperbaiki pada tahun 1881, pada tahun
1924, pada peringatan 200 tahun kelahiran Kant,
sisa-sisa tulang-belulangnya dipindahkan ke serambi
katedral di pusat kota Konigsberg. 11 Di suatu
tikungan, dekat jembatan besar menuju ke kuburan
Kant, orang memasang sebuah lempeng besi yang
memuat kutipan dari buku Kritik Der Praktischen Vernunft
(KpV, A 289)
“Zwei ding erfullen das Gemut mit immer neuer und
zunehmender Bewunderung und Ehrfucht, je ofter und
10 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 11511 http://www.referensimakalah.com/2012/11/biografi-
immanuel-kant.html diakses pada tanggal 24 Oktober 2013.
anhaltender sich das Nachdenken damit beschaftigt : der
bestirte Himmel iiber mir und das moralische Gezetz in mir.”
(Dua hal memenuhi hati sanubari dengan rasa
takjub dan takzim yang senantiasa baru dan semakin
bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran
menyibukkan diri tanpa henti: Langit berbintang dia
atasku dan hukum moral di dalam diriku).12
B. Epistemologi Sintesisme Rasionalisme Empirisme
Immanuel Kant
1. Tujuan Filsafat Kant
Melalui filasafatnya, Kant bermaksud memugar
sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar
maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan
diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat
sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah
menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri
subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun
empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan
dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme,
sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni
tentang pengalaman, tetap melalui idealisme
subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang
radikal.
12 Simon Petrus L, Tjahjadi, Petualangan Intelektual: KonfrontasiDengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern (Yogyakarta:Kanisius, 2008), hal,280
9
Menurut Kant, syarat dasar bagi ilmu
pengetahuan adalah:
a. Bersifat umum dan mutlak
b. Memberi pengetahuan baru.13
Immanuel Kant memandang rasionalisme dan
empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai
akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan
sistesis antara unsur-unsur a priori dan unsur-
unsur aposteriori. Kant tidak menentang adanya akal
murni. Ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu
terbatas. Akal murni menghasilkan pengetahuan
tanpa dasar inderawi atau independen dari alat
pancaindra. Pengetahuan inderawi tidak dapat
menjangkau hakikat objek, tidak sampai pada
kebenaran umum. Adapun kebenaran umum harus bebas
dari pengalaman, artinya harus jelas dan pasti
dnegan sendirinya.14
Perbedaan mendasar tentang rasionalisme dan
empirisme tampak dalam tabel dibawah ini:
PERBEDAANRASIONALISME EMPIRISME
13 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 116.14 Beni Ahmad Saebani. Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-
Beluk Sumber, Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, ibid, hal, 96.
10
Sumber pengetahuanadalah rasio
Sumber pengetahuanadalah pengalaman
Manusia lahir dibekaliide bawaan
Manusia lahir as whitepaper
Setiap benda memilikisubstansi
Setiap benda tidakmemiliki substansihanya ilusi
Pola pikir deduktif Pola pikir induktif
Ada kausalitas yangtetap
Hukum kausalitas tidakberlaku tetap danuniversal
Pusat pengenalanbersumber pada subjek
Pusat pengenalanbersumber pada objek
Upaya Kant adalah mendamaikan rasionalisme
dan empirisme agar berjalan lebih harmonis. Upaya
Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat
kritis. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki
kemampuan rasio dan batas-batasnya. Isi utama
dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant
tentang teori pengetahuan, etika dan estetika.
Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-
pertanyaan mendasar yang timbul pada pikiran
Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah; (a) Apa yang dapat saya ketahui?; (b) Apa
yang harus saya lakukan?; (c) apa yang boleh saya
harapkan? Langkah Kant ini dimulai dengan kritik
atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis,
dan terakhir kritik atas daya pertimbangan.
11
2. Sistem Dan Metode Ilmu Dalam Filsafat
Immanuel Kant
Filsafat Kant diarahkan untuk
mengkombinasikan pandangan Rasionalime dan
Empirisme. Pertama menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan muncul dari rasio dengan mengabaikan
pengalaman inderawi (a priori) sementara yang kedua
menyatakan sebaiknya yakni ilmu pengetahuan hanya
didapat dari pengalaman inderawi dengan
mengabaikan rasio (aposteriori). Para rasionalis
menganggap bahwa manusia bisa mendapat
pengetahuan dengan analitis apriori sementara kaum
empirisme mengatakan bahwa manusia memperoleh
pengetahuan melalui sintesis aposteriori. Namun
pemikiran Kant ialah diantara apriori dan aposteriori,
ia menawarkan adanya sintesis apriori atau
pengetahuan manusia diperoleh dengan proses
sintesis antara a priori dan apesteriori.15 Seperti
yang dijelaskan diatas
bahwa apriori adalah pengetahuan atau unsur-unsur
yang terlepas dari segala pengalaman, sementara
aposteriori adalah pengetahuan atau unsur-unsur
yang berasal dari pengalaman, baik inderawi
sendiri atau inderawi orang lain.16
15 http://eurikaalfiana.blogspot.com/2010/12/epistemologi-immanuel-kant.html, diakses pada tanggal 25 Oktober 2013.
16 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ibid, hal, 924-925
24 Beni Ahmad Saebani, ibid, hal, 97.25 Francis Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan
Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hal,130-131.
18
stence),kepastian (necessity). Kesemuanya ini
bersifat subjektif sebagaimana ruang dan
waktu.26
Kedua belas kategori tersebut sejajar
dengan dua belas putusan, yakni;27
I II III IVQuantity
UniversalParticula
rSingular
QualityAffirmativeNegativeInfinite
RelationCategoricalHypotheticalDisjunctive
ModalityPrpblemati
calAssertoricApodictica
l
Bagaimana skema tersebut bisa dipahami?
Mari kita bahas skema tersebut. Setiap
penilaian harus memiliki suatu kuantitas.
Misalnya, penilaian tentang kucing, maka ia
pasti mengatakan tentang semua kucing,
beberapa kucing dan seekor kucing tertentu
saja. Dengan melihat kuantitasnya, suatu
penilaian bisa merupakan penilaian universal,
penilaian particular dan penilaian singular.
Disamping kuantitas, suatu penilaian pasti
mengandung kualitas. Ketika kita mengatakan
“ini adalah kucing”, maka kita sedang membuat
penilaian affirmatif. Pernyataan” ini adalah
bukan kucing” menunjukkan penilaian negative.26 Betrand Rusel, Sejarah Filsafat Barat, ibid, hal, 924.27Alim Roswantoro “Logika Transendental Kant dan Relevansinya bagi
Humanitas Kontemporer” dalam Zubaedi dkk ,Filsafat Barat, (Yogya: Arruz,2007), hal, 50.
19
Tetapi, kita mengatakan “ini adalah bukan
kucing (a not cat), maka kita telah membuat
penilaian infinite. A not cat berarti menunjukkan
kelas binatang yang tak terbatas yang tidak
termasuk ke dalam konsep kucing.28
Di dalam penilaian ada relasi-realasi
pikiran. Hubungan-hubungan struktur logis
dari penilaian itu bisa kategorikal atau
hubungan subjek-objek-predikat, hipotetrikal
atau hubungan prinsip (dasar) dengan
konsekuensinya, dan disjunctive atau hubungan di
antara bagian-bagian dari seluruh ruang suatu
kognisi; ruang masing-masing bagian adalah
komplemental terhadap ruang dari bagian-
bagian lain yang masing-masing mengkontribusi
kesatuan total dari suatu kognisi.29
Proposisi “kucing ini adalah abu-abu”
mempunyai struktur logis penilaian relasi
subjek-predikat. Kucing adalah subjek,
sedangkan abu-abu adalah predikat. Oleh
karena itu, ia adalah kategorikal. Contoh
penilaian hipotetikal adalah seperti
diberikan oleh Kant, “Jika ada keadilan
sejati, maka orang yang luar biasa jahatnya
pasti dihukum.” Dalam penilaian ini keadilan28 Zubaedi, dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga
Revolusi Sains Ala Thomas Kuhn ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal,50.
29 Zubaedi, dkk, Filsafat Barat, Op, Cit, hal, 51.
20
sejati menjadi prinsip yang konsekuensinya
adalah dihukumnya penjahat karena kejahatan
adalah lawan dari keadilan. Akhirnya, jika
kita mengatakan bahwa,” Jika dunia ada baik
melalui kebetulan belaka, atau melalui
kepastian internal, atau melalui sebab
eksternal, “ maka kita sedang membuat
penilaian disjunctive. Pernyataan itu adalah
tentang kemungkinan kita mengenai eksistensi
dunia. Jika kita katakan eksistensi dunia
melalui kebetulan belaka, maka bisa kita
katakan bahwa eksistensi dunia adalah tidak
melalui kepastian internal atau melalui sebab
eksternal. Apabila kita menyatakan bahwa
dunia ada melalui kebetulan belaka atau
melalui kepastian internal atau melalui sebab
eksternal, maka dengan begitu kita
menghilangkan kemungkinan-kemungkinan
lainnya. Eksistensi dunia tidak mungkin
melalui selain ketiganya. Dengan kata lain,
apa yang ditegaskan adalah eksistensi dunia
melalui salah satu dari ketiganya. Jika kita
tahu bahwa eksistensi duna tidak melalui
kebetulan belaka dan kepastian internal, kita
pun tahu bahwa eksistensi dunia adalah
melalui sebab eksternal.30
30 Zubaedi, dkk, Filsafat Barat ,ibid, hal, 52.
21
Yang terakhir, setiap penilaian mempunyai
suatu modalitas. Penialaian itu mungkin benar
atau benar sebagai masalah fakta, atau benar
sevara pasti. Bahwa saya akan hidup selama 80
tahun adalah suatu kemungkinan dan tidak bisa
diputuskan secara pasti. Kant menyebut
penilaian seperti ini sebagai problematik.
Bahwa Kant dilahirkan pada 1724 dan wafat
1804 adalah suatu fakta. Kant menyebut
penilaian ini assetoric. Karena saya tak
mempunyai faktor-faktor apa yang menyebabkan
ia lahir pada tanggal 22 April dan tidak 23
April, atau hal yang sama dengan kematiannya,
saya tak bisa berkata bahwa penilaian itu
benar secara pasti. Seandainya saya mempunyai
pengetahuan seperti itu, saya akan
menyebutnya penilaian yang secara pasti
benar. Inilah yang disebut apodictic
(kepastian).31
Semua kategori tersebut, jika digunakan
pada sesuatu yang tidak alami menurut Kant
kita akan terkacaukan oleh ‘antinomi’ atau
proposisi yang saling bertentangan yang
masing-masing jelas-jelas dapat dibuktikan.
Kant menyajikan empat antitomi tersebut yang
masing masing terdiri dari tesis dan
31Zubaedi, dkk, Filsafat Barat, ibid, hal 52.
22
antitesis. Pertama, tesis yang mengatakan
“dunia memiliki permulaan waktu dan juga
terbatas dalam ruang” Antitesisnya
mengatakan: “dunia memiliki permulaan waktu
dan juga terbatas dalam ruang”, ia tidak
terbatas baik ruang maupun waktunya”. Kedua,
membuktikan bahwa setiap substansi campuran
ada yang terdiri dari bagian-bagian sederhana
dan ada yang tidak. Ketiga, menyatakan ada dua
jenis kausalitas, yang pertama menurut hukum
alam dan yang kedua hukum kebebasan;
antitesisnya menyatakan bahwa hanya ada satu
yakni kausalitas hukum alam. Keempat,
membuktikan adanya entitas mutlak dan tidak
mutlak.32
Dengan adanya ke-12 kategori tersebut,
yang terpenting yaitu substansi dan
kausalitas. Jika kita umpamakan membentuk
putusan A menyebabkan B, maka sahnya putusan
itu tidak berlangsung berasal dari realitas,
melainkan kita harus memikirkan hubungan
antara data A dan data B berdasarkan kategori
kausalitas (sebab akibat). Maksud Kant
kiranya dapat diterangkan sedikit dengan
perumpamaan berikut: Jika seorang tertentu
memakai kacamata yang kacanya berwarna merah,
32 Betrand Rusel, Sejarah Filsafat Barat , ibid, hal, 925
23
maka ia melihat segala benda berwarna merah.
Tentu itu tidak berarti bahwa benda-benda itu
sendiri berwarna merah. Keadaan tersebut
karena jalan melalui mana pengalaman tersebut
dilakukan (jalan pengemnalan yang ditempuh),
memuat suatu faktor (kacamata berwarna
merah) yang karenanya (karena faktor itu) ia
terpaksa hanya bisa melihat hal-hal yang
berwarna merah. Nah demikian halnya dengan
akal budi kita. Akal budi mempunyai struktur
sedemikian rupa, sehingga dengan memikirkan
data-data inderawi sebagai substansi atau
menurut ikatan sebab akibat atau menurut
kategori lainnya.33
Menurut Kant, pada tingkat akal budi
(verstand) inilah kita bisa mendapatkan
pengetahuan yang tepat dan mutlak, seperti
ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, bagi
Kant, pengetahuan adalah pengalaman ditambah
dengan kategori-kategori akal budi. Dengan
ini Kant menolak pandangan Hume yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak
bisa mencapai kepastian, namun hanya
memberikan kemungkinan.34
3)Pengenalan pada Taraf Rasio
33 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 119.34 Simon Petrus L, Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi
Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, ibid, hal, 284.
24
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan
dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain,
rasio mengadakan ergumentasi-argumentasi.
Seperti akal budi menggabungkan data-data
inderawi dengan mengadakan putusan-putusan.
Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk
argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin
oleh tiga ide: jiwa, dunia dan Allah. Apa
yang dimaksud dengan ide menurut Kant adalah
suatu cita-cita yang menjamin kesatuan
terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis
(jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian
jasmani (dunia) dan dalam bidang segala-
galanya yang ada (Allah). Ketiga ide tersebut
mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang
pengalaman, tetapi ketika ide sendiri tidak
termasuk pengalaman kita. Karena kategori
akal budi hanya berlaku untuk pengalaman,
kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan
pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang
diusahakan oleh metafisika. Misalnya,
metafisika merupakan pembuktian bahwa Allah
adalah penyebab pertama alam semesta. Tetapi
dengan itu metafisika melewati batas-batas
yang ditentukan untuk pengenalan manusia.
Adanya Allah dan immoralitas jiwa tidak dapat
25
dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa
berusaha demikian.35
Tugas rasio ialah menggabungkan putusan-
putusan dari akal budi menjadi pengetahuan.
Jadi pengetahuan ialah hasil sintesis dari
keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh
tahap akal budi. Dari sini dihasilkan oleh
orde argumen-argumen. Pada tahap ini, unsur -
unsur apesteriori tidak diterima secara
lansung, melainkan secara tidak langsung dari
akal budi. Unsur apriori pada tahap ini
adalah ide-ide36 yang mengatur proposisi-
proposisi menjadi argumentasi. Ide-ide ini
hanyalah cita-cita yang berguna untuk
menjamin kesatuan dari segala bentuk
pengetahuan kita. Kita tidak akan puas dengan
pengetahuan yang terpisah-pisah, maka
pengetahuan yang khusus akan memberi
sumbangan dalam membentuk “gambaran” tertentu
tentang materi. Inilah pengetahuan teoritis
murni.37
b. The Critique Of Practical Reason (Pembahasan Tentang
Rasio Praktis)
35 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 120.36 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ibid, hal, 62.37 Francis Budi Hardiman, Kritik Ideologi, ibid, hal, 131-132.
26
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan,
sehingga rasio disebut rasio teoritis atau
menurut istilah Kant sendiri rasio murni. Akan
tetapi, disamping rasio murni terdapat apa yang
disebut dengan rasio praktis, yaitu rasio yang
mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau
dengan kata lain, rasio yang memberi perintah
kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa
rasio praktis memberikan perintah yang mutlak
yang disebutnya sebagai imperatif kategori.
Misalnya, bila kita meminjam barang kepunyaan
orang lain, maka kita harus mengembalikan
kepada pemiliknya.38
Kehidupan memerlukan kebenaran, kebenaran
tidak dapat seluruhnya diperoleh dengan indra
dan akal, indra dan akal itu terbatas
kemampuannya. Menurut Kant, dasar a priori itu
ada pada sains, akan tetapi, indra (sains) itu
terbatas, disinilah Critique of The Practical Reason
berbicara, Kant bertanya: Bila akal dan indra
tidak dapat diandalkan dalam mempelajari agama,
apa selanjutnya? Jawabannya adalah akal atau
indra dapat terus berkembang dan dikembangkan,
namun setelah semua itu, moral merupakan ukuran
kebenaran.
38 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 122.
27
Moral adalah suara hati, perasaan,
menentukan sesuatu itu benar atau salah. Moral
itu imperatif kategori, perintah tanpa syarat yang
ada dalam kesadaran kita. Kata hati itu
memerintah, perintah itu ialah perintah untuk
berbuat sesuai dengan keinginan tetapi dalam
batas kewajaran. Hukum kewajaran bersifat
universal. Ia merincikan moral sebagai berikut:
1.Heteronomi moral adalah sikap dimana orang
memenuhi kewajibannya bukan karena ia insaf
bahwa kewajiban itu pantas dipenuhi,
melainkan karena tertekan, takut berdosa, dan
sebagainya. Dalam tuntutan agama, moralitas
heteronom berarti bahwa orang menaati
peraturan tetapi tanpa melihat nilai dan
maknanya. Heteronomi moral ini merendahkan
pandangan terhadap seseorang, dan merupakan
penyimpangan dari sikap moral yang sebenar-
benarnya.
2.Otonomi moral berarti bahwa manusia menaati
kewajibannya karena ia sadar diri, bukan
karena terbebani, terkekang, tuntutan, dsb.
Otonomi juga menuntut kerendahan hati untuk
menerima bahwa kita menjadi bagian dari
masyarakat dan bersedia untuk hidup sesuai
dengan aturan-aturan masyarakat yang
28
berdasarkan hukum. Hukum adalah tatanan
normatif lahiriah masyarakat.
Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang
harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal
tersebut dibuktikan, hanya dituntut. Itulah
sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio
praktis. Ketiga postulat yang dimaksud itu ialah:
1.Kebebasan berkehendak;
2.Immoralitas jiwa;
3.Adanya Allah.39
Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan
Kant sebagai glaube atau kepercayaan. Maka dari
sinilah kita bisa melihat kant sebagi filsuf
yang mengulik filsafat untuk memperteguh
keimanannya, keimanan Kristianinya.
c. Critique Of Judgement (Kritik Atas Daya Pertimbangan)
Problem-problem yang dibentangkan dalam
karya yang berjudul Critique of Judgement ini adalah
konsekuensi dari “kritik atas rasio umum dan
kritik atas rasio praktis” adalah munculnya dua
lapangan tersendiri, yaitu: lapangan keperluan
mutlak di bidang alam dan lapangan di bidang
tingkah laku manusia. Maksud dari Kritik Der
Urteilskraft ialah mengerti kedua persesuaian
39 Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 122.
29
kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan
menggunakan konsep finalitas (tujuan).
Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif.
Kalau finalitas bisa bersifat subjektif,
manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu
sendiri. Inilah yang terjadi di dalam
pengalaman estetis (seni). Pengalaman estetis
itu diselidiki dalam bukunya yang berjudul Kritik
der Astheischen Urteilskraft. Dengan finalitas yang
bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu
sama lain dari benda-benda alam. Finalitas
dalam alam itu diselidiki dalam bagian kedua,
yaitu Kritik Der Theologischen Unteilskraft.40
C. Relevansi Terhadap Ilmu Pendidikan Islam
Dengan adanya pemikiran kritis dari Immanuel
Kant tersebut, maka dapat direlevansikan bagi ilmu
pendidikan, khususnya ilmu pendidikan Islam, dimana
dalam filsafatnya, Kant berusaha menyintesiskan
rasionalisme dan empirisme.
Telah dijelaskan bahwa sumber pengetahuan
adalah rasio dan pengalaman, yang masing-masing
saling mengklaim sebagai yang paling utama. Dengan
gagasan dalam pikiran pengetahuan tanpa pengalaman
mampu dikeluarkan.41 Rasio disebut juga dengan akal.
Demikian juga dengan empirisme yang menekankan
40Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.., ibid, hal, 123.41 Beni Ahmad Saebani, Op, Cit, hal, 99
30
bahwa pengalamanlah yang merupakan sumber utama
pengetahuan.
Akal berfungsi untuk melakukan penalaran
terhadap berbagai kejadian, dari pengalaman dan
pengetahuan inderawinya, penalaran yang valid
adalah wahyu yang ditransmisikan oleh akal sehingga
akal sesuai dengan wahyu. Kesahihan transmisi data
otoritatif melahirkan ilmu pengetahuan yang
kemudian menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya.
Islam merupakan agama yang rasional, agama yang
sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan
atas akal. Sebagaimana Muhammad Abduh berpendapat
bahwa “Iman seseorang belum sempurna jika tidak
didasarkan pada akal; keimanan harus berdasarkan
pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akallah
yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu
serta kemahakuasaan-Nya dan pada Rasul.42
Keharusan manusia menggunakan akalnya, bukanlah
hanya merupakan ilham yang terdapat pada dirinya,
tetapi juga ajaran yang termuat dalam wahyu. Kitab
suci al-Quran memerintahkan manusia untuk berpikir
dan mempergunakan akal dan melarang bersikap
taklid. Tuhan tidak semata-mata memberi perintah,
tetapi juga memotivasi manusia untuk berpikir.
Menurut Abul ‘Ala Al-Maududi, ada pengetahuan
yang empirik dan ada yang metafisik. Pengetahuan
42 Beni Ahmad Saebani, ibid, hal, 101
31
empirik sebagai pengetahuan yang telah terbukti,
sebagai “ilm al-yaqin”; kedua, ilmu inderawi yang
memperkuat pengetahuan hasil pembuktian dengan
kalimat ”ain al-yaqin”, artinya dengan terlihat oleh
tersebut semakin mempertegas bahwa ilmu pengetahuan
senantiasa berdasarkan kepada akal dan pengalaman.43
Pengetahuan rasional yang hanya mengandalkan
kekuatan indrawi terjebak dalam kenisbian, sehingga
ilmu yang didapatkan kebenarannya realatif dan
senantiasa berubah-ubah. Seolah-olah indra sebagai
alat mencari pengetahuan bergantung pada situasi
dan kondisi. Hasil dari pancaindra terbatas oleh
ruang dan waktu dan tidak mencirikan sebagai
hakikat ilmu.
Untuk memperdalam ilmu atau memperoleh ilmu
pengetahuan, akal bekerja sama dengan hati karena
hati mempunyai kedudukan yang penting dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu yang digeluti
oleh hati atau kalbu dapat mendekati hakikatnya
sehingga kalbu yang potensial dapat menangkap
ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan
ilham diperoleh dengan ‘aql al-mustafad. Dalam hal ini
Al-Ghazali menyatakan bahwa kemuliaan akal bagi
manusia membedakan dirinya dengan binatang, tetapi
43 Beni Ahmad Saebani, Op,Cit, hal, 102
32
akal tanpa hati adalah juga binatang, meskipun
binatang tidak berakal.
Akal diasah pengembangannya melalui bebagai
cara berpikir, sedangkan hati diasah melalui cara
merasa. Cara pengembangan berpikir akal menekankan
pendekatan-pendekatan analogis dan kausalitas (al-
qiyas dan sabab musabab) sedangkan pengembangan
kekuatan hati dengan cara “merasa disebut al-wijdan”.
Al-qiyas menggunakan al-mutakhayyilat, sedangkan al-
wijdan menggunakan al-iradat. Otak berhubungan dengan
akal, dan qalb berhubungan dengan dzawq.44
Dalam hal ini, agama Islam menempatkan manusia
sebagai manusia yang mempunyai potensi akal, dan
hati yang dapat dididik untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Sebagai makhluk Allah yang bertugas
memakmurkan bumi, manusia diberi kelebihan dan juga
keistimewaan, yakni kecerdasan akal dan kepekaan
hati yang mampu berpikir rasional dan merasakan
sesuatu di balik materi dan perbuatan. Keutamaan
yang diberikan Allah kepada manusia yang lain
adalah fitrah, yakni potensi manusia yang educable.
Dengan bekal itulah memungkinkan bagi manusia untuk
mencapai taraf kehidupan yang amat tinggi dalam
aspek peradaban dan kedekatan dengan Allah.
Secara lebih detail, potensi yang dimiliki
manusia bersifat kompleks yang terdiri atas: ruh
44 Beni Ahmad Saebani, ibid, hal, 103.
33
(roh), qalb (hati), ‘aql (akal), dan nafs (jiwa).
Potensi-potensi tersebut bersifat ruhaniyah atau
mental-psikis. Selain itu, manusia juga dibekali
potensi fisik-sensual berupa seperangkat pancaindra
yang berfungsi sebagai instrumen untuk memahami
alam luar dan berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungannya. Semua potensi tersebut bersifat
educable, dapat dan harus dididik agar berkembang
secara aktual. Jika semua potensi tersebut dididik
dengan baik maka akan memungkinkan manusia mencapai
tingkat kemampuan yang luar biasa.45
Allah pun telah menganugerahi manusia dengan
berbagai sarana untuk belajar, yaitu seperangkat
pancaindra. Sebagaimana firman Allah berikut:
”...., dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan
hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78).
Pendengaran merupakan pemeliharaan pengetahuan yang
diperoleh dari orang lain. Penglihatan merupakan
pengembangan pengetahuan dengan hasil observasi dan
penelitian yang berkaitan dengannya. Hati merupakan
sarana membersihkan ilmu pengetahuan dari kotoran
dan noda sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang
murni.46
45 Moh.Roqib. Ilmu Pendidikan Islam:Pengembangan Pendidikan Integratif diSekolah, Keluarga dan Masyarakat (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal, 59-60.
46 Moh. Roqib dan Nurfuadi. Kepribadian Guru: Upaya MengembangkanKepribadian Guru yang Sehat Di Masa Depan (Purwokerto: STAIN PurwokertoPress bekerja sama dengan Grafindo Litera Media, 2009), hal, 41.
34
Mengacu pada pembahasan dia atas, para pakar
pendidikan membangun berbagai teori tentang
perkembangan manusia yang masing-masing mempunyai
fokus yang berbeda. Teori tersebut ialah: nativisme,
empirisme, dan konvergensi. Nativisme menyatakan bahwa
perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor
pembawaan, Empirisme menyatakan bahwa perkembangan
manusia dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan
konvergensi menyatakan bahwa perkembangan manusia
dipengaruhi oleh keduanya yaitu pembawaan sejak
lahir (fitrah: dalam bahasa Islam) dan lingkungan.
Potensi fitrah yang dibawa sejak lahir ini
memerlukan upaya-upaya manusia untuk tumbuh menjadi
aktual dan faktual. Islam memberikan prinsip-
prinsip dasarnya berupa nilai-nilai Islami sehingga
pertumbuhan potensi manusia tersebut terbimbing dan
terarah. Dalam proses inilah, lingkungan belajar
sangat besar peranannya, bahkan dapat menentukan
bentuk dan corak kepribadian seseorang. Oleh karena
itu, filsafat Immanuel Kant, yang menggabungkan
rasionalisme dan empirisme berkembang dalam teori
konvergensi, dimana peserta didik yang mempunyai
potensi fitrah yang dilengkapi dengan seperangkat
pancaindra dapat dididik dan dikembangkan melalui
lingkungan yang mendorongnya untuk memahami alam
sekitar.
35
Dengan adanya potensi manusia tersebut, metode
pembelajaran yang dapat diterapkan ialah “discovery
learning”. Kenaikan dari potensi intelektual
menimbulkan harapan peserta didik untuk sukses.
Dengan menekankan pada metode pembelajaran discovery
learning, peserta didik akan belajar mengorganisasi
problem-problem yang terjadi di lingkungannya
daripada menghadapi problem-problem itu sendiri.
Ganjaran eksternal akan menghasilkan rote learning
dengan sedikit pengertian atau penguasaan daripada
lingkungan. Discovery learning lebih mengarah pada self
reward. Dengan pembelajaran ini, peserta didik akan
mencapai kepuasan karena telah menemukan pemecahan
problemnya sendiri. Peserta didik yang telah
terlatih dengan discovery learning akan mempunyai skill
dan teknik dalam pekerjaannya lewat problem-problem
riil di dalam lingkungannya. Aspek penting di dalam
memory ialah retrival, dan memory yang telah
diperbaiki akan memperbaiki susunan daripada
pengetahuan. Peserta didik akan lebih mudah
menemukan kembali (retrive) pengetahuan peserta didik
untuk memperbaiki pengajaran yang selama ini hanya
menghafal fakta-fakta saja, tidak memberikan kepada
peserta didik pengertian tentang konsep-konsep atau
prinsip-prinsip di dalam pembelajaran.
37
BAB III
PENUTUP
Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filosof
besar yang muncul dalam pentas pemikiran filosofis
zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18.
Kehidupannya sebagai filsuf dibagi menjadi dua periode
yaitu zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman
pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang
dilancarkan oleh Wolff, dkk. Tetapi karena terpengaruh
oleh Hume, berangsur-angsur Kant meninggalkan
rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah
yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman
kritisnya, Kant merubah wajah filsafatnya secara
radikal. Ia menanamkan filsafatnya sekaligus
mempertanggungjawabkannya dengan dogmatismenya.
Melalui karyanya ia melakukan kritik terhadap
filsafat rasionalisme dan empirisme yang pada saat itu
saling bertentangan. Kant berupaya untuk menyintesiskan
keduanya. Karyanya yang terkenal dan menampakkan
kritisismenya ialah Kritik Der Reinen Vernuft Reason dan Critique
Of Pure Reason yang membicarakan tentang reason dan the
knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun.
Dalam literatur bahasa Indonesia biasanya disebut
“kritik atas rasio praktis”. Buku kedua adalah Kritik Der
38
Practischen Vernuft (1781) atau biasa disebut Critique Of
Partical Reason atau kritik atas rasio praktis yang
menjelaskan filsafat moralnya. Ketiga, buku Kritik Der
Arteilskraft (1970) atau Critique Of Judgement atau kritik atas
daya pertimbangan.
Logika Kant merupakan usahanya untuk membenarkan
kemungkinan pengetahuan sintesis a priori, dari tindakan
pemahaman menemukan konsep-konsep murni pemahaman
(kategori-kategori) hingga sampai pada pengandaian akal
akan ide-ide noumenal dari realitas.
Dengan demikian, relevansi filsafat Kant sangat
jelas. Dengan filsafat kritiknya, Kant mengajak kita
untuk selalu menyadari bahwa pengetahuan yang kita
peroleh hanyalah sekedar sintesis dari kesan-kesan
inderawi (data-data dan informasi-informasi) yang bisa
kita tangkap dan jumlahnya tak terbatas. Relevansi
filsafat Kant dengan ilmu pendidikan Islam yaitu dalam
konsep manusia, Allah membekali manusia dengan potensi
fitrah, dimana manusia sejak lahir telah dianugerahi oleh
Allah dengan potensi untuk dididik dengan prinsip-
prinsip Islami. Hal ini sejalan dengan agama Islam yang
merupakan agama yang berlandaskan akal (rasio). Peserta
didik masing-masing mempunyai bekal potensi fitrah yang
dilengkapi dengan seperangkat pancaindra dalam dirinya,
yang dapat dididik melalui alam sekitar. Dalam hal ini
disebut dengan teori konvergensi.
39
Implikasi metode pembelajarannya adalah dengan
menerapkan metode discovery learning. Metode discovery learning
adalah metode pembelajaran yang berusaha menghubungkan
dengan pengetahuan sebelumnya untuk memecahkan dan
mengorganisir problem-problem riil yang terjadi di
lingkungan peserta didik.
40
DAFTAR PUSTAKA
Aholiab Watoly. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan:Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural. Yogyakarta:Kanisius
Beni Ahmad Saebani. 2009. Filsafat Ilmu : Kontemplasi FilosofisTentang Seluk-Beluk Sumber, Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan.Bandung: CV. Pustaka Setia
Francis Budi Hardiman. 2004. Kritik Ideologi: MenyikapKepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas.Yogyakarta: Buku Baik
J. Sudarminta. 2002. Epistemologi Dasar: Pengantar FilsafatPengetahuan. Yogyakarta: Kanisius
Juhaya S. Praja. 2003. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika.Jakarta: Kencana
K. Bertens. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta:Kanisius. cet. 15
Mohammad Muslih. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.Cet. 6
Moh.Roqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan PendidikanIntegratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta:LkiS
Moh. Roqib dan Nurfuadi. 2009. Kepribadian Guru: UpayaMengembangkan Kepribadian Guru yang Sehat Di Masa Depan.Purwokerto: STAIN Purwokerto Press bekerja samadengan Grafindo Litera Media
Rizal Mustansyi. 2001. Filsafat Analitik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
41
Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari, Ed, 2011.Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana
Simon Petrus L, Tjahjadi. 2008. Petualangan Intelektual:Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga ZamanModern. Yogyakarta: Kanisius