77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF ISLAM NALAR BURHANI MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A. Keunggulan Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Filsafat Modern Perkembangan sains, sebagian terbesar adalah hasil peradaban Barat pada periode modern dan merupakan satu dari keberhasilan-keberhasilan yang terbesar dari akal manusia. Satu permasalahan yang muncul pada filsafat abad modern khususnya abad ke-17 dan 18 adalah masalah epistemologi. Satu diskursus yang sedang dikaji oleh penulis sekarang adalah bagaimana Epsitemologi Kritisisme Imamnuel Kant dapat dipresentasikan. Epistemologi Kritisisme yang dimaksd dalam hal ini adalah gagasan Immanuel Kant secara substansial yang mengkritik validitas ilmu pengetahuan, menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu pengetahuan itu sendiri. Pemikiran seorang tokoh filsuf Eropa modern dapat dipahami, apabila menengok kembali kepada segi historisnya. Karena dari sanalah memang lahir filsafat untuk pertama kalinya. Filsafat modern merupakan kelanjutan dari filsafat Yunani. Pokok pemikiran yang muncul pada filsafat modern, sebenarnya merupakan kelanjutan dan berdasarkan pemikir-pemikir Yunani Kuno. Lebih jelasnya, penulis akan mencoba menelusuri dari pendekatan historis. Secara konvensional orang mengadakan periodesasi filsafat sebagai berikut : 1. Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM sampai dengan akhir abad ke-3 SM) 2. Mmasa abad pertengahan (akhir abad ke-3 SM sampai dengan awal abad ke-15) 3. Masa modern (akhir abad ke-15 sampai dengan abad ke-19) 4. Masa dewasa ini (filsafat kontemporer) abad 20 M.
21
Embed
BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
77
BAB IV
ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT
DALAM PERSPEKTIF ISLAM NALAR BURHANI MUHAMMAD
ABED AL-JABIRI
A. Keunggulan Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Filsafat
Modern
Perkembangan sains, sebagian terbesar adalah hasil peradaban Barat
pada periode modern dan merupakan satu dari keberhasilan-keberhasilan yang
terbesar dari akal manusia. Satu permasalahan yang muncul pada filsafat abad
modern khususnya abad ke-17 dan 18 adalah masalah epistemologi.
Satu diskursus yang sedang dikaji oleh penulis sekarang adalah
bagaimana Epsitemologi Kritisisme Imamnuel Kant dapat dipresentasikan.
Epistemologi Kritisisme yang dimaksd dalam hal ini adalah gagasan
Immanuel Kant secara substansial yang mengkritik validitas ilmu
pengetahuan, menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Pemikiran seorang tokoh filsuf Eropa modern dapat dipahami, apabila
menengok kembali kepada segi historisnya. Karena dari sanalah memang lahir
filsafat untuk pertama kalinya. Filsafat modern merupakan kelanjutan dari
filsafat Yunani. Pokok pemikiran yang muncul pada filsafat modern,
sebenarnya merupakan kelanjutan dan berdasarkan pemikir-pemikir Yunani
Kuno.
Lebih jelasnya, penulis akan mencoba menelusuri dari pendekatan
historis. Secara konvensional orang mengadakan periodesasi filsafat sebagai
berikut :
1. Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM sampai dengan akhir abad ke-3 SM)
2. Mmasa abad pertengahan (akhir abad ke-3 SM sampai dengan awal abad
ke-15)
3. Masa modern (akhir abad ke-15 sampai dengan abad ke-19)
4. Masa dewasa ini (filsafat kontemporer) abad 20 M.
58
Wajah filsafat pada awal kelahirannya (abad ke-6 SM sampai dengan
ke-3 SM) menampilkan diri sebagai “mitologi”, dongeng-dongeng, takhayul,
novel-novel, sajak-sajak dan nyanyian-nyanyian yang menggambarkan para
dewa dan asal-usul terjadinya alam semesta. Hal ini berlangsung lebih kurang
tiga abad. Karena manusia tidak lagi merasa puas atas dongeng-dongeng dan
takhayul para dewa kemudian manusia mulai mencoba mencari jawaban
secara aqliah. Di sini filsafat lari dari mitos ke logos dengan tokoh-tokoh
terkenal yaitu Thales (624-548), Anaximandros (610-540), Pytagoras (580-
500), Demokritos (460-370), Anaximenes dan lain-lain yang dikenal sebagai
filsuf alam “kosmologi”.1
Dengan tinggal landasnya para filsuf alam semesta, filsafat Yunani
Kuno mencapai puncak keagungannya pada diri Socrates (469-399 SM),
Plato (427-347) dan Aristoteles (384-322 SM). Di sinilah perkembangan
filsafat Yunani Kuno yang semula lahir menampakkan dirinya sebagai
mitologi, kemudian berkembang menjadi kosmologi kemudian menjadi etika
dan akhirnya kembali lagi menjadi sesuatu yang bersifat mistik pada akhir
abad ke-13, diajarkan oleh Plotinus yang menamakan dirinya sebagai aliran
Neo-Platonisme. Sekitar abad ke-7 sampai dengan ke-9, filsafat sudah berubah
wajahnya untuk mengabdi pada dogma-dogma agama Kristen. Filsafat pada
masa ini dikenal sebagai abad kegelapan, filsafat abad pertengahan. Tokoh
yang tampil pada abad pertengahan adalah Agustinus (354-430) dan Thomas
Aquinas (1225-1274). Merekalah yang dapat memadukan ajaran agama
Kristen dengan filsafat, sehingga kehadiran filsafat Yunani Kuno tidak perlu
dilarang bahkan filsafat Yunani Kuno diinterpretasikan sedemikian rupa untuk
memberikan justifikasi atau pembenaran bagi dogma-dogma gereja.
Dalam perkembangan sejarah menuju abad ke-16 di Eropa muncul
suatu gerakan Renaissance (kelahiran kembali), manusia seakan-akan lahir
kembali dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan
dari suatu keadaan statis menuju manusia bebas yaitu manusia yang tidak lagi
1 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 9-10
59
terikat oleh otoritas selain atoritas individu masing-masing. Inilah jembatan
antara abad pertengahan dan zaman modern. Abad Renaissance kemudian
disusul oleh zaman Aufklarung di abad ke-18. Aufklarung merupakan suatu
gerakan (zaman) yang didukung oleh suatu kepercayaan bahwa akal manusia
merupakan segala-galanya.2
Zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan
terhadap alam pikir abad pertengahan. Renaissance yang menghidupkan
kembali kebudayaan Yunani-Romawi sebagai alternatif terhadap kebudayaan
Kristiani, bukan hanya merupakan pemberontakan di bidang nilai-nilai
kultural, melainkan juga menyongsong zaman baru dengan krisis abad
pertengahan itu. Penemuan-penemuan penting di bidang ilmu pengetahuan
juga kunci fajar zaman baru itu yang meninggalkan alam pikir abad
pertengahan. Seperti halnya : Copernicus dan Galileo-Galilei sebagai pemikir-
pemikir unggul yang telah menemukan bahwa bumi mengitari matahari dan
bukan sebaliknya.
a. Sumber Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant
Sosok Immanuel Kant (1724-1804) adalah sosok seorang filsuf
terbesar yang sangat populer diantara para filosuf modern.
Kepopulerannya tidaklah terlepas dari 3 karya terbesarnya yang diawali
dengan kata Critique yakni Critique of Pure Reason (1781), Critique of
Practical Reason (1787) dan Critique of Judgement (1790). Oleh sebab
adanya awalan Critique dalam 3 karya terbesar tersebut, maka filsafatnya
disebut Kritisisme yang berisi gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran
Immanuel Kant secara berurutan yakni epistemologi, etika dan estetika.
Melalui ketiga karya tersebut, pemikiran dan pola pikir Immanuel Kant
banyak dituangkan. Dia termasuk filosuf abad ke-18 yang lebih dikenal
dengan nama abad pencerahan atau Aufklarung. Di mana pencerahan
(dengan hal cerah atau cahaya) dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan
eksak dan eksperimental lebih dipentingkan daripada inspirasi filsafat dan
agama. Seperti halnya Immanuel Kant mengatakan bahwa manusia harus
2 Ibid., hlm. 12-18
60
berani membiarkan dirinya dipimpin oleh cahaya akal. Dan Hegel melihat
dalam filsafat pencerahan adanya suatu penerimaan akal dan penolakan
wahyu agama. Sangatlah sukar bila membatasi gejala filsafat pencerahan
dari sudut daerah dan zaman. Contoh gejala umum filsafat pencerahan dari
sudut daerah dan zaman seperti Tolland di Eropa, Hume di Inggris, Wolf
dan Lessing di Jerman, Montesqieu, Voltaire dan Diderot di Perancis.3
Mengenai sumber pengetahuan, pertama-tama para filsuf modern
menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kekuasaan feodal,
melainkan dari diri manusia itu sendiri. Tentang aspek mana yang ambil
peranan dalam perolehan pengetahuan itu mereka berbeda pendapat.
Aliran Rasional dengan tokohnya Descartes berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio. Kebenaran yang pasti berasal dari rasio.
Selanjutnya Aliran Rasional dan ajarannya dikembangkan oleh tokoh
G.W. Leibniz (1846-1716), Wolf di Jerman. Sedang Aliran Empiris
dengan tokoh David Hume, sebaliknya meyakini bahwa pengalamanlah
sebagai sumber pengetahuan baik pengalaman batin maupun inderawi. Di
mana Plato dan Aristoteles-lah yang dianggap sebagai cikal bakal Aliran
Rasionalisme dan Empirisme. Dari sinilah timbul Kritisisme Immanuel
Kant yang berusaha mengkritik kedua aliran tersebut untuk mencapai
sumber pengetahuan yang benar.4 Yakni, pengetahuan manusia berasal
dari luar maupun dari jiwa manusia itu sendiri.5
Immanuel Kant merupakan orang yang seakan-akan telah
menyempurnakan pencerahan dengan tiba-tiba. Dengan munculnya Kant
sekaligus dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu
gagasan baru yang memberi acuan mengenai apa yang akan dipikirkan
secara kefilsafatan di zaman yang lebih kemudian. Dan ia sendiri merasa
bahwa ia meneruskan pencerahan.
3 Brouwer dan Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung :
Alumni, 1986), hlm. 75 4 Yusriah, “Pengaruh Kritisisme Kant Terhadap Filsafat Modern dalam Jurnal Teologia,”
(Semarang : Media Komunikasi Informasi Keilmuan, 1989), hlm. 9 5 Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam – Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang : UMM Press,
2003), hlm. 12
61
Benarlah bahwa gagasan-gagasan Immanuel Kant ini dimunculkan
oleh bentrokan Epistemologi yang timbul dari pemikiran Rasionalisme di
Jerman sebagaimana dikembangkan oleh Leibniz-Wolf dengan Empirisme
Inggris yang kemudian bermuara dalam pemikiran Hume. Kant mencoba
untuk mengatasi bentrokan tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur
mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-
unsur mana yang terdapat dalam akal manusia.
b. Validitas Ilmu
Persoalan yang diperdebatkan pada waktu itu salah satunya adalah
soal “objektivitas pengetahuan”. Apakah pengetahuan yang sungguh-
sungguh objektif itu berasal dari akal ataukah dari pengalaman. Descartes
berpendapat, bahwa dalil Cogito Ergo Sum adalah dasar dari segala
pengetahuan. Kenyataan bahwa “saya ada” adalah kenyataan objektif,
kenyataan tentang dunia bukan sekedar persepsi seseorang. Oleh karena
itu dalil Cogito Ergo Sum adalah dasar objektivitas pengetahuan.
Sedangkan Leibniz yakin bahwa dalam pemahaman itu sendiri sudah
terdapat prinsip-prinsip innate yang kebenarannya diketahui secara intuitif,
tidak tergantung pada pengalaman dan dari sinilah penjelasan tentang
dunia diderivasikan secara utuh, objek dasar yang paling dasar dalam
dunia adalah substansi atau metode. Dalam diri setiap substansi sudah
tercakup subjek dan predikat yang tidak terbatas dan sempurna. Setiap
metode memiliki kemampuan untuk mendapatkan gagasan (perceptio)
yang baru dan jelas, sehingga tercapailah gagasan yang jelas dan disadari
(apperceptio). Pengalaman adalah tingkat pertama pengetahuan akal, jadi
bukan merupakan sumber pengetahuan. Sebaliknya, Hume menolak
pendapat dioperasikan tanpa ide, dan ide hanya dicari melalui pengamatan.
Menurut Hume, isi pemikiran harus merupakan suatu analisis akhir yang
didasarkan atas pengalaman yang terdiri dari impresi-impresi.6
6 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat dari Aristoteles Sampai Derrida,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 60
62
Nampaknya bila ditelusuri lebih detail dan valid, maka filsafat
Kant lebih berusaha untuk mengumpulkan dan mengatasi kedua aliran
tersebut. Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa sekalipun
inspirasi filsafat Kant muncul dari dua aliran yang berbeda yakni
Rasionalisme dan Empirisme, namun Kant tidak begitu saja langsung
memadukan dua pemikiran tersebut menjadi satu sistem.
Sebab, mengikuti salah satu aliran di atas tidak akan