BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan telah banyak mewabah di dunia.Istilah zoonosis telah dikenal untuk menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada manusia yang ditularkan dari hewan vertebrata. Hal inilah yang dewasa ini menjadi sorotan publik dan menjadi objek berbagai studi untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan wabah tersebut yang diharapkan nantinya akan diperoleh suatu sistem terpadu untuk pemberantasan dan penanggulangannya. Kemunculan dari suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa dampak yang menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat dan veteriner. Dari sejumlah 1.415 mikroba patogen pada manusia yang diketahui, 61,6% bersumber dari hewan (Brown 2004). Sejumlah 616 mikroba patogen yang ditemukan pada hewan ternak, 77,3% diantaranya merupakan multiple spesies atau spesies yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi lebih dari satu jenis hewan. Pada karnivora domestik, dari 374 mikroba patogen, 90% diantaranya diklasifikasikan sebagai multiple spesies. Emerging zoonosis dapat dilihat secara operasional sebagai proses dua tahap. Tahap pertama adalah pemaparan suatu agen penyakit ke suatu populasi host yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan telah
banyak mewabah di dunia.Istilah zoonosis telah dikenal untuk menggambarkan suatu
kejadian penyakit infeksi pada manusia yang ditularkan dari hewan vertebrata. Hal inilah
yang dewasa ini menjadi sorotan publik dan menjadi objek berbagai studi untuk
mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan wabah tersebut yang diharapkan nantinya
akan diperoleh suatu sistem terpadu untuk pemberantasan dan penanggulangannya.
Kemunculan dari suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa
dampak yang menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang
kesehatan masyarakat dan veteriner.
Dari sejumlah 1.415 mikroba patogen pada manusia yang diketahui, 61,6%
bersumber dari hewan (Brown 2004). Sejumlah 616 mikroba patogen yang ditemukan
pada hewan ternak, 77,3% diantaranya merupakan multiple spesies atau spesies yang
memiliki kemampuan untuk menginfeksi lebih dari satu jenis hewan. Pada karnivora
domestik, dari 374 mikroba patogen, 90% diantaranya diklasifikasikan sebagai multiple
spesies. Emerging zoonosis dapat dilihat secara operasional sebagai proses dua tahap.
Tahap pertama adalah pemaparan suatu agen penyakit ke suatu populasi host yang baru.
Tahap kedua adalah proses penyebaran lebih lanjut dari agen penyakit dalam populasi
host baru tersebut. Sebagian besar dari kemunculan suatu wabah penyakit berasal dari
agen yang sudah berada di lingkungan dimana agen tersebut mendapatkan kesempatan
atau waktu dan kondisi yang tepat untuk kembali menginfeksi host atau populasi yang
baru. Beberapa contoh kasus emerging zoonosis dewasa yang menjadi sorotan dunia
antara lain antraks.
Kejadian antraks bersifat universal dimana dapat terjadi di seluruh wilayah
dunia mulai dari negara yang beriklim dingin, subtropis dan tropis, pada negara yang
miskin, negara berkembang hingga negara maju sekalipun.Kejadian antraks pada
manusia di Indonesia hampir selalu berhubungan dengan wabah penyakit antraks pada
hewan. Di Indonesia, sepanjang tahun 2001-2004, kasus antraks pada manusia
dilaporkan terjadi setiap tahun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian antraks?
2. Apa etiologi antraks?
3. Apa saja gejala antraks?
4. Bagaimana epidemiologi deskriptif antraks?
5. Bagaimana penularan antraks?
6. Bagaimana pencegahan dan pengobatan antraks?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian antraks
2. Menjelaskan etiologi antraks
3. Menjelaskan gejala antraks
4. Menjelaskan epidemiologi deskriptif antraks
5. Menjelaskan penularan antraks
6. Menjelaskan pencegahan dan pengobatan antraks
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Antraks
Antraks adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan
bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas. Antraks bermakna
"batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan
berubah hitam. Antraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah
dijinakkan.Penyakit ini bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke
manusia, namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia. Penyakit Antraks atau
disebut juga Radang Lympha, Malignant pustule, Malignant edema, Woolsorters disease,
Rag pickersdisease, Charbon.
Penyakit Antraks merupakan salah satu penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah, sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501 tahun 2010.
SPORA Bacillus Anthrax tahan pada suhu panas di atas 43 derajat Celcius.Di
dalam tanah, diketahui spora mampu bertahan sampai dengan 40 tahun. Apabila
lingkungan memungkinkan, yaitu panas dan lembab maka spora dapat menjadi bentuk
bakteri biasa (vegetatif) yang mampu berkembang biak (membelah diri) dengan sangat
cepat. Itulah sebabnya, penyakit ini cenderung berjangkit pada musim kemarau.
Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang tinggi
di Benua Asia, dengan sifat serangan sporadik. Kawasan endemik antraks di Indonesia
meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu yang
diserang pada umumnya pekerja peternakan, petani, pekerja tempat pemotongan hewan,
dokter hewan, pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang
terkontaminasi oleh spora antraks, misalnya pabrik tekstil, makanan ternak, pupuk, dan
sebagainya.
Antraks adalah penyakit yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis, yang hidup di
tanah.Sel bakteri tersebut seperti spora untuk bertahan dari ganasnya kondisi.Spora
tumbuh subur secara berkoloni dalam tubuh binatang atau manusia.
Antraks terkadang menyerang hewan ternak yang jauh dari manusia, tetapi--
sebagaimana diketahui pada 2001 antraks menyerang Amerika Serikat--antraks
ditakutkan sebagai senjata biologi modern. Penularan atraks melalui daging atau kulit
binatang yang terkena antraks dimakan manusia.
B. Etiologi
Bacillus anthracis, kuman berbentuk batang ujungnya persegi dengan sudut-
sudut tersusun berderet sehingga nampak seperti ruas bambu atau susunan bata,
membentuk spora yang bersifat gram positif. Basil bentuk vegetatif bukan merupakan
organisme yang kuat, tidak tahan hidup untuk berkompetisi dengan organisme saprofit.
Basil Antraks tidak tahan terhadap oksigen, oleh karena itu apabila sudah dikeluarkan
dari badan ternak dan jatuh di tempat terbuka, kuman menjadi tidak aktif lagi, kemudian
melindungi diri dalam bentuk spora.
Apabila hewan mati karena Antraks dan suhu badannya antara 28 -30 °C, basil
antraks tidak akan didapatkan dalam waktu 3-4 hari, tetapi kalau suhu antara 5 -10 °C
pembusukan tidak terjadi, basil antraks masih ada selama 3-4 minggu. Basil Antraks
dapat keluar dari bangkai hewan dan suhu luar di atas 20°C, kelembaban tinggi basil
tersebut cepat berubah menjadi spora dan akan hidup. Bila suhu rendah maka basil
antraks akan membentuk spora secara perlahan - lahan (Christie 1983).
Bacillus antracis penyebab penyakit antraks mempunyai dua bentuk siklus hidup, yaitu
fase vegetatif dan fase spora
1. Fase Vegetatif
Berbentuk batang, berukuran panjang 1-8 mikrometer, lebar 1-1,5 mikrometer.
Jika spora antraks memasuki tubuh inang (manusia atau hewan memamah biak) atau
keadaan lingkungan yang memungkinkan spora segera berubah menjadi bentuk
vegetatif, kemudian memasuki fase berkembang biak. Sebelum inangnya mati,
sejumlah besar bentuk vegetatif bakteri antraks memenuhi darah.Bentuk vegetatif
biasa keluar dari dalam tubuh melalui pendarahan di hidung, mulut, anus, atau
pendarahan lainnya.Ketika inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi di darah
bentuk vegetatif itu memasuki fase tertidur (dorman/tidak aktif).Jika kemudian dalam
fase tertidur itu terjadi kontak dengan oksigen di udara bebas, bakteri antraks
membentuk spora (prosesnya disebut sporulasi). Pada fase ini juga dikaitkan dengan
penyebaran antraks melalui serangga, yang akan membawa bakteri dari satu inang ke
inang lainnya sehingga terjadi penularan antraks kulit, akan tetapi hal tersebut masih
harus diteliti lebih lanjut.
2. Fase Spora
Berbentuk seperti bola golf, berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama fase ini
bakteri dalam keadaan tidak aktif (dorman), menunggu hingga dapat berubah kembali
menjadi bentuk vegetatif dan memasuki inangnya.Hal ini dapat terjadi karena daya
tahan spora antraks yang tinggi untuk melewati kondisi tak ramah--termasuk panas,
radiasi ultraviolet dan ionisasi, tekanan tinggi, dan sterilisasi dengan senyawa
kimia.Hal itu terjadi ketika spora menempel pada kulit inang yang terluka, termakan,
atau--karena ukurannya yang sangat kecil--terhirup.Begitu spora antraks memasuki
tubuh inang, spora itu berubah ke bentuk vegetatif.
C. Gejala
Gejala umum penyakit antraks terjadinya demam dengan suhu badan yang
tinggi dan hewan kehilangan nafsu makan. Sedangkan gejala yang bersifat khas:
gemetar, ngantuk, lumpuh, lelah, kejang-kejang, mulas, bercak merah pada membran
mukosa, mencret disertai darah, sulit bernapas sehingga mati lemas dan terdapat bisul
yang makin membesar berisi nanah kental berwarna kuning. Manusia yang terinfeksi dan
menderita penyakit antraks ditandai dengan gejala: suhu badan tinggi, mual-mual dan
terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar leher, dada dan ketiak.
Rata-rata masa inkubasi antraks lebih dari 7 hari, bisa juga 60 hari bahkan lebih
tergantung lamanya gejala terbentuk.
Gejala klinis antraks pada manusia dibagi menjadi 4 bentuk yaitu antraks kulit,
antraks saluran pencernaan, antraks paru dan antraks meningitis.
1. Antraks Kulit (Cutaneus Anthrax)
Kejadian antraks kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian antraks di
Indonesia. Masa inkubasi antara 1-5 hari ditandai dengan adanya papula pada
inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit, yang dalam waktu 2-3 hari membesar
menjadi vesikel berisi cairan kemerahan, kemudian haemoragik dan menjadi jaringan
nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi kerak berwarna hitam, kering yang disebut
Eschar (patognomonik). Selain itu ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan
dapat terjadi pembengkakan lunak pada kelenjar limfe regional.Apabila tidak
mendapat pengobatan, angka kematian berkisar 5-20%.
2. Antraks Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthax)
Masa inkubasi 2-5 hari.Penularan melalui makanan yang tercemar kuman atau
spora misal daging, jerohan dari hewan, sayur- sayuran dan sebagainya, yang tidak
dimasak dengan sempurna atau pekerja peternakan makan dengan tengan yang
kurang bersih yang tercemar kuman atau spora antraks.Penyakit ini dapat
berkembang menjadi tingkat yang berat dan berakhir dengan kematian dalam waktu
kurang dari 2 hari.Angka kematian tipe ini berkisar 25-75%.
Gejala antraks saluran pencernaan adalah timbulnya rasa sakit perut hebat,
mual, muntah, tidak nafsu makan, demam, konstipasi, gastroenteritis akut yang
kadang-kadang disertai darah, hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembesaran kelenjar limfe daerah inguinal (lipat paha), perut membesar dan keras,
kemudian berkembang menjadi ascites dan oedem scrotum serta sering dijumpai
pendarahan gastrointestinal.
3. Antraks Paru-paru (Pulmonary Anthrax)
Masa inkubasi : 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Gejala klinis antraks paru-paru
sesuai dengan tanda-tanda bronchitis.Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin
berkembang dengan gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispneu, stridor,
keringat berlebihan, detak jantung meningkat, nadi lemah dan cepat.Kematian
biasanya terjadi 2-3 hari setelah gejala klinis timbul.
4. Antraks Meningitis (Meningitis Anthrax)
Terjadi karena komplikasi bentuk antraks yang lain, dimulai dengan adanya
lesi primer yang berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematian dapat
terjadi antara 1-6 hari. Gambaran klinisnya mirip dengan meningitis purulenta akut
yaitu demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang umum, penurunan kesadaran dan
kaku kuduk.
D. Epidemiologi Deskriptif Antraks
1. Variabel Distribusi Kejadian
Meskipun Bacillus anthracis dapat ditemukan di seluruh dunia, kasus antraks
biasanya terjadi hanya di daerah geografis terbatas. Wabah yang paling umum di
daerah ditandai dengan tanah basa, tanah berkapur, lingkungan yang hangat, dan
kejadian banjir. Antraks sangat umum di bagian Afrika, Asia dan Timur Tengah. Di
Amerika Serikat, penyakit ini telah dilaporkan dari sebagian besar negara, tetapi
terjadi paling sering di Eropa tengah dan Barat.
Di Indonesia, anthrax pertama kali diberitakan oleh Javasche Courant terjadi
pada kerbau di Teluk betung ( Sumatra ) tahun 1884. Berikutnya Koran Kolonial
Verslag memberitakan anthrax di Buleleng ( Bali ), Rawas (Palembang) dan lampung
pada tahun 1885. Pada tahun 1886, Koran yang sama memuat berita bahwa wabah
penyakit anthrax di Banten, Padang-darat, Kalimantan Barat dan Timur dan Pulau
Rote (NTT).
2. Variabel Orang
a. Jenis kelamin
Berikut adalah distribusi antraks di jawa tengah pada tahun 2011
Penderita antraks kebanyakan terjadi pada laki-laki. Kelompok laki-laki
dapat terkena kasus antraks terkait dengan aktivitas pekerjaannya. Sementara
pada kelompok wanita kasus juga banyak terjadi akibat aktivitasnya dalam
mengolah daging sebagai ibu rumah tangga. Pada sebuah Penelitian yang
dilakukan oleh Wood eta/./ (2004) di Kazakhtan menyebutkan 67% dari penderita
antraks terjadi pada laki-laki yang terkait dengan pekerjaannya yang lebih banyak
kontak dengan hewan. Menurut Hadisaputro (1990) dalam hubungan jenis
kelamin pada manusia tampak bahwa penderita laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan penderita perempuan.
b. Umur
Pada penelitian kasus antraks di Bogor tahun 2008. Pesentase
masyarakat yang terkena kasus penyakit antraks tipe kulit dengan yang tidak
terkena penyakit pada kelompok masyarakat berusia lebih dari 36 tahun di
Kabupaten Bogor sama besarnya yaitu sebesar 47,1 %. Hal ini menunjukkan
antara kelompok usia muda ( <36 tahun) dengan kelompok yang lebih tua (>36
tahun) memiliki risiko yang hampir sama untuk terkena penyakit antraks tipe
kulit. Kelompok umur lebih muda ( <36 tahun) biasanya merupakan kelompok
usia produktif yang masih melakukan kegiatan pekerjaan untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Wilayah Kabupaten Bogor yang letaknya berada di sekitar
Kota Jakarta menyebabkan kelompok usia muda lebih menyukai bekerja di sektor
industri seperti pabrik atau garmen. Sementara pekerjaan berisiko terkena antraks
seperti peternak atau petani banyak dilakukan oleh kelompok umur yang lebih tua
(~36 tahun).
Berbeda dengan hasil ini, penelitian yang telah dilakukan oleh
Kaufmann dan Dannenberg (2002) dengan melihat data kasus antraks di Haiti
tahun 1973-1974 menunjukkan bahwa 36,9% dari kasus antraks bentuk kulit
(36,9%) terjadi pada penduduk yang berumur 15-44 tahun karena banyak yang
bekerja membuat kerajinan yang berhubungan dengan sumber infeksi seperti
kulit dan produk lainnya yang diambil dari hewan yang terinfeksi antraks.
c. Ras
Tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian antraks dengan ras
tertentu. Kejadian antraks ini pernah terjadi pada 17 propinsi Indonesia, antara
lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan
Nusa Tenggara Barat (ADJID dan SANI, 2005).
Bahkan pernah terjadi di beberapa negara di Afrika dan Asia, beberapa
negara di Eropa, beberapa negara bagian Amerika, dan beberapa negara di
Australian (OIE, 2000).
Penyakit antraks tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan ras,
karena hampir semua ras di dunia pernah terjadi kejadian antraks
d. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan pengetahuan sikap dan
perilaku. Menurut Soeharsono penyakit antraks mempunyai potensi besar untuk
menular dari hewan kemanusia terutama pada daerah yang kurang subur dan
tingkat pendidikan masyarakat yang tergolong rendah. Responden Tingkat
pendidikan yang rendah merupakan salah satu hambatan sosial dalam
masyarakat, selain itu masih terdapat praktek masyarakat yang bertentangan
dengan nilai-nilai kesehatan, seperti kebiasaan menjual ternak yang sakit dan
kebiasaan memotong dan mengkonsumsi daging ternak yang mati. Pola
pemeliharaan ternak secara pengembalaan yang berlebihan berpeluang untuk
penularan antraks Penelitian ini bertejuan untuk mengetahui faktor lingkungan sat
pH, kandungan bahan organik dan suhu pada tempat kejadian antraks serta
pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat tentang antraks.
e. Jenis Pekerjaan
Pada kejadian antraks di bogor tahun 2008, penderita antraks lebih besar
terjadi pada masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai petani peternak
(39,2%) dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai
bukan petani/ peternak pada kelompok kontrol (17,6%). Hal ini berarti orang
yang bekerja sebagai petani peternak memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
terkena penyakit antraks dibandingkan yang bekerja bukan sebagai petani
peternak. Kelompok yang bekerja sebagai petani atau peternak tentu memiliki
risiko yang lebih besar untuk terkena penyakit antraks. Pada kelompok yang
bekerja sebagai petani, infeksi antraks pada kulit dapat diperoleh dari kegiatan
bertani yang memang banyak berkontak dengan tanah atau mungkin infeksi
didapat dari kontak dari hewan rentan pada saat membajak sawah. Pada
kelompok yang bekerja sebagai peternak infeksi dapat diperoleh akibat
aktivitasnya yang memiliki riwayat kontak yang erat dengan hewan rentan
antraks.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irmak
(2003) pada penderita antraks tipe kulit di Anatolia Turki, yaitu bahwa 35,9%
dari kasus yang diteliti memiliki pekerjaan sebagai peternak dan 23% lainnya
memiliki pekerjaan sebagai petani. Kasus banyak terjadi pada peternak karena
para peternak ini memiliki riwayat kontak yang cukup erat dengan ternak rentan
yang mungkin terinfeksi. Kasus pada petani juga cukup banyak terjadi yang
mungkin diakibatkan oleh aktivitas yang berkaitan erat dengan tanah yang
terkontaminasi atau penggunaan ternak rentan dalam melaksanakan kegiatan
pekerjaanya.
Penelitian oleh Arifin (1990) tentang KLB antraks di Kabupaten
Boyolali, Semarang dan Demak menyebutkan penderita antraks pada pekerja PIR
susu mencapai 56,25% sedangkan yang pekerjaannya bertani mencapai 25%.
Temuan ini terkait karena para pekerja di PIR susu memiliki peluang yang lebih
besar untuk kontak dengan hewan yang terinfeksi antraks dibandingkan dengan
yang bekerja sebagai petani. Sebaliknya, penelitian ter-hadap penyakit antraks di
Kabupaten Bogor tahun 2001-2003 menyebutkan pekerjaan buruh dan ibu rumah
tangga merupakan penderita terbesar kasus antraks masing-masing 28,1%
sedangkan yang pekerjaannya petani mencapai 17,5%. Tingginya jumlah kasus
pada ibu rumah tangga diduga terjadi karena peranannya dalam menangani dan
memotong daging dari hewan sakit akibat antraks (Mulyana,2004)
3. Variabel Tempat
Kejadian antraks di indonesia bersifat endemis. Daerah endemis anthrax
di Indonesia tercatat ada 11 propinsi yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, NTB, NTT, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan dan Papua (DEPKES RI, 2004). Pada tahun 2002 di Indonesia kasus anthrax
terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Barat, Sumbawa NTB dan Kabupaten Bima. Tahun
2001 sampai tahun 2002 terjadi peningkatan CFR yang cukup tinggi yaitu dari 6,45%
(tahun 2001) menjadi 27,6% (tahun 2002). Tahun 2004 kasus anthrax berulang
kembali di Jawa Barat. Tahun 2001 sampai tahun 2002 terjadi peningkatan CFR yang
cukup tinggi yaitu dari 6,45% (tahun, 2001) menjadi 27,6% (tahun 2002).
4. Variabel Waktu
Pada umumnya ledakan anthrax di Indonesia terjadi pada peralihan
musim yaitu dari musim kemarau ke penghujan, seperti yang dilaporkan DINAS
KESEHATAN KABUPATEN BOGOR (2005) bahwa kejadian anthrax dari tahun
2001-2004 yang paling tinggi kasusnya terjadi pada bulan-bulan Oktober, dimana
pada bulan tersebut merupakan awal bulan penghujan
E. Cara Penularan
Sumber penyakit antraks adalah hewan ternak herbivora.Manusia terinfeksi
antraks melalui kontak dengan tanah, hewan, produk hewan yang tercemar spora
antraks.Penularan juga bisa terjadi bila menghirup spora dari produk hewan yang sakit
seperti kulit dan bulu.
Pada hewan-hewan pemakan rumput, lapangan penggembalaan yang tercemar
Bacillus Anthrax (B.a) merupakan media penyaluran penyakit yang paling efektif.B.a.
masuk ke dalam tubuh lewat pakan atau air minum melalui mulut. Nanah yang keluar
dari bisul pecah banyak mengandung B.a. dapat mencemari lingkungan sekitarnya.
Darah ternak yang positif sakit antraks banyak mengandung B.a. sehingga melakukan
penyembelihan memungkinkan darah menyebar dan merupakan sumber penularan
penyakit.
Penularan penyakit antraks pada manusia pada umumnya karena manusia mengonsumsi
daging yang berasal dari ternak yang mengidap penyakit tersebut. Meskipun hanya
mengonsumsi dalam jumlah kecil, B.a. mempunyai daya menimbulkan penyakit sangat
tinggi. Terlebih pada saat pertahanan tubuh manusia menjadi rendah akibat: kelaparan,
defisiensi vitamin A, keracunan (alkohol), kepayahan, iklim yang jelek (sangat
dingin/panas) dan cekaman (stres).
Disamping itu penularan pada manusia dapat melalui luka.Seyogianya
peternak yang memiliki luka pada bagian tubuhnya tidak masuk kandang ternak atau
merawat ternak yang diduga terserang penyakit antraks.Penularan penyakit dari manusia
ke manusia jarang terjadi meskipun ada kontak langsung dengan penderita.
Antraks atau dikenal dengan radang limpa pada hewan dapat menyerang