PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN (Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat) NANDANG MULYANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN
PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN (Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
NANDANG MULYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ii
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
tesis yang berjudul :
PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN
(Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
Adalah benar merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua
sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2009
Yang menyatakan,
Nandang Mulyana NRP. A155050151
iii
ABSTRACT
NANDANG MULYANA, Community Development as Rural Development Approach, case study at Geothermal Industry Kabandungan district region of Sukabumi Province of West Java, under supervision of ARYA HADI DHARMAWAN and SLAMET SOEDARSONO.
The existence of Gunung Salak geothermal industry at Kabandungan district, Sukabumi region which established by CHV is expected to give significant contribution especially for the local community welfare and Sukabumi societies in general. As a realization of the corporate social responsibility (CSR) to the local community development welfare, CHV has implemented the community development. In implementing the community development, CHV has limited effect with regard to economic contribution. The objectives of this research is to analyze the implementation of community development program to the local community in project areas, and find out the real contribution of community development program to the local community. The qualitative data method is used in this research. The qualitative data obtained by interviewing the concern parties whose involve in CHV community development program to obtain the factual information and respondent experience based on the information which linked to the research objective. Data analysis was conducted descriptively. Results of the research show that CHV runs the community development program by their own. The company determines community/group which received the assistance, based on community/group requirement. This is one way method, where the company has the authority to run the program and the community is the receiver. The research found the low program coordination and integration, the cooperation between CHV and local government is not running smoothly.. This condition cause the relation between community development and and regional development are relatively in minimum level.
The program tends to strengthen the degree of community depedency without a proper management, CSR is also potential to creat horizontal or vertical conflict.
Keywords: Community Development, local community, Rural development and CHV
iv
RINGKASAN
NANDANG MULYANA, Pengembangan Masyarakat sebagai pendekatan pengembangan kawasan perdesaan, (Studi kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN sebagai ketua dan SLAMET SOEDARSONO sebagai anggota komisi pembimbing.
Diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diyakini dapat membawa angin baru untuk kemajuan pembangunan wilayah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah juga dituntut untuk mengembangkan serta mengoptimalkan semua potensi wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan, cara pandang pembangunan yang berorientsi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar semata (persepektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteran sosial dan material, termasuk meningkatkan keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.
Salah satu tantangan pembangunan wilayah yang strategis dalam rangka mengatasi ketidakberdayaan yang selama ini terjadi adalah melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan
Kehadiran industri pertambangan disuatu wilayah dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan (akselerasi) pembangunan wilayah dimana perusahaan beroperasi ataupun wilayah-wilayah yang terbelakang yang diakibatkan oleh ketimpangan distribusi pembangunan. Keberadaan tambang disuatu wilayah juga secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi tersebut. Keberadaan industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah Desa Kabandungan Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi yang dikelola oleh CHV, diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility) terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan perusahaan maka perusahaan melaksanakan program pengembangan masyarakat (community development).
Tujuan kajian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi CHV Gunung Salak terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan,
v
serta menganalisis apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah.
Dalam penyusunan kajian digunakan metode kualitatif, pemilihan metode kualitatif dalam studi ini dikarenakan temuan-temuan pada studi kualitatif lebih menjawab persoalan sebenarnya daripada sekadar angka-angka. Dalam studi ilmu sosial, terlihat bahwa angka-angka yang diperoleh dalam studi belum cukup menjawab persoalan yang sebenarnya, sangat sulit melihat keadaan yang sebenarnya jika hanya menggunakan kecenderungan angka saja. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang tidak bisa dinilai melalui angka-angka, seperti faktor budaya dan faktor sosiologis.
Metode dan pendekatan studi yang digunakan untuk pengumpulan data primer adalah wawancara mendalam (indepth interview), terhadap informan kunci (key informan), serta diskusi kelompok bersama parapihak (stakeholders) yang terkait dengan program pengembangan masyarakat CHV serta telaah pustaka. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dari berbagai buku, makalah dan laporan terkait.
Hasil kajian pelaksanaan program pengembangan masyarakat CHV menunjukkan bahwa pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pihak oleh CHV antara lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat Masyarakat /kelompok penerima program ditentukan sepihak oleh perusahaan berdasarkan pengajuan proposal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pelaksanaan program pengembangan masyarakat CHV lebih banyak berupa pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat dan belum mampu memberdayakan ekonomi. Pola kerjasama bersifat searah dimana perusahaan sebagai pemilik program dan masyarakat sebagai sasaran program.
Kajian ini juga menemukan bahwa pengoordinasian dan pengintegrasian program masih rendah, kerjasama antara CHV dengan Pemerintah daerah (kecamatan Kabandungan) belum berjalan dengan baik, belum ada kelembagaan yang menjembatani hubungan keduanya. Sehingga keterkaitan program pengembangan masyarakat CHV dengan program pembangunan daerah relatif kecil. Disamping itu program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan juga menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan serta berpotensi menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah, tetapi kontribusi tersebut masih sangat rendah dan belum sesuai dengan harapan, komitmen perusahaan terhadap pengembangan masyarakat masih rendah serta program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV secara umum masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma (karitatif).
Kata kunci: Masyarakat lokal , Pengembangan Masyarakat , pengembangan wilayah perdesaan dan CHV.
vi
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN
PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN (Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
NANDANG MULYANA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Departermen Ekonomi dan Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
viii
Judul tesis : Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan
Pengembangan Wilayah Perdesaan.
(Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan
Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
nama : Nandang Mulyana
Nomor Pokok : A155050151
Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr Ir. Slamet Soedarsono,M.PP
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor Wilayah dan Perdesaan
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 4 Pebruari 2009 Tanggal lulus: …………………….2009
ix
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan judul
: “Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi
(geothermal) (Studi kasus di kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi
Propinsi Jawa Barat)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat
memperoleh gelar Magister Sain pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang
telah diberikan selama penyusunan tugtesis ini, penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr. dan Bapak Ir. Slamet
Soedarsono,M.PP. selaku Ketua Dan Anggota Komisi Pembimbing yang
dengan tulus dan ikhlas telah meluangkan waktu dan kesempatan untuk
memberikan memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada
penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
2. Bapak Dr.Ir.H. Bambang Juanda. selaku ketua Program Studi Ilmu-ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan dan kesempatan
yang diberikan selama mengikuti pendidikan .
3. Prof. Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro,MS. Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor atas kesediaannya menerima penulis untuk
mengikuti pendidikan magister di IPB.
4. Para Dosen Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas
bekal ilmu yang diberikan serta pandangan dan kekeluargaan yang terjalin
selama ini.
5. Bapak Ir. Daden Gunawan,M.Si selaku Camat Kabandungan, Bapak Iwan S.
Azof,Msc,MM. selaku manager PGPA Chevron geothermal salak,Ltd,Bapak
Drs. Willy Ekariono,MS. Selaku manager Salak community affair Serta
Bapak Ir. Asrul Maulana selaku community affair officer atas data-data dan
kesempatan untuk berdiskusi yang telah diberikan.
x
6. Orangtua tercinta, Ayahanda J.Junaedi dan Ibunda Icoh Holisoh serta Mertua
tercinta ayahanda Abdul Munir dan Ibunda Nurahmi atas do’a yang tak
pernah henti serta dukungan baik moril mapun materil, selama penulis
menjalankan studi.
7. Istriku Lili Suciati,SE atas do’a, kesabaran dan dukungannya serta anakku
tercinta Papang dan Zona yang selalu memberikan semangat setiap saat
dimana do’a dan airmatanya menjadi darah juangku.
8. Keluarga besar Nunung Aswari (Alm.) yang telah memberikan motivasi dan
inspirasi kepada penulis.
9. Rekan-rekan mahasiswa program studi PWD, atas “social capital”,
kebersamaan yang terbina selama ini dalam menuntut ilmu di kampus
tercinta khususnya angkatan 2005 : Teh Rosda Malia (komti ‘05), Mbak
Sherly Gladys Jocom, Albertus Girik Allo, Erenda, Rosa Delima, A.
Syiaruddin Hasby, Laurentius Wisnu Whardana dan M’bak Elfa.
10. Para responden dan narasumber, yang telah meluangkan waktu yang telah
menerima penulis dan memberikan informasi kepada penulis selama
penelitian berlangsung.
11. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selama
ini telah banyak memberikan bantuan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan studi ini.
Akhirnya disadari penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan yang
disebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan
kritik dan saran diharapkan dari berbagai pihak. Semoga tesis ini dapat
memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan, serta bermanfaat untuk.
semua pihak . Amin.
Bogor, Februari 2009
Nandang Mulyana
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis, Nandang Mulyana, dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada
tanggal 2 September 1973 dari ayah Jujun Junaedi dan ibu Icoh Holisoh. Penulis
merupakan putra ke-tiga dari delapan bersaudara.
Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SDN Jayanegara Sukabumi dan
tamat pada tahun 1987, pendidikan sekolah menengah pertama ditempuh pada
SMPN Kalapanunggal Sukabumi dan tamat pada tahun 1990 selanjutnya
pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas ditempuh pada Sekolah Menengah
Ekonomi Atas Jakarta I di Jakarta Barat dan tamat pada tahun 1993. Pendidikan
sarjana pada Jurusan Akutansi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ) dan tamat pada tahun 1999 dan pada tahun 2005 penulis
mengikuti pendidikan Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah pascasarjana Institut Pertanian
Bogor (IPB).
Pada tahun 2000, penulis menikah dengan Lili Suciati, SE dan telah
dikaruniai dua orang putera, yaitu: Muhammad Pandu Aria Pratama (Papang)
serta Muhammad Giri Aria Dwinugraha (Zona).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... i
DAFTAR TABEL ........................................................................................ v
DAFTAR MATRIKS ................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah............................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 9
1.4 Kegunaan Penelitian............................................................ 10
II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 11
2.1 Pengembangan Masyarakat............................................... 11
2.2 Pengembangan Wilayah...................................................... 24
2.3 Konsep Wilayah dan Pembangunan .................................. 31
2.4 Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam ....... 35
2.5 Industri Panas Bumi (geothermal) ...................................... 40
2.6 Dampak Industri Pertambangan ........................................ 43
2.7 Hubungan Industri dan Pengembangan Masyarakat........... 45
2.8 Karakteristik Lokal................................................................ 48
2.9 Partisipasi Masyarakat......................................................... 50
2.10 Kelembagaan Lokal............................................................. 55
2.11 Teori Konflik......................................................................... 56
III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 59
3.1 Kerangka Pemikiran............................................................ 59
3.2 Hipotesis. ............................................................................ 64
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................... 65
3.4 Pengumpulan Data.............................................................. 65
3.5 Penetapan informan Kunci.................................................. 66
ii
3.6 Metode Analisis Data........................................................... 67
3.7 Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Pada
Industri Panas Bumi Gunung Salak.....................................
67
3.8 Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan
Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap
Pengembangan Wilayah.................................................
67
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ............................... 69
4.1 Geografi dan Administrasi Pemerintahan............................ 69
4.2 Kependudukan.. ................................................................. 72
4.3 Infrastruktur Dasar............................................................... 73
4.4 Sistem Transportasi............................................................. 75
4.5 Sistem Ekonomi. ................................................................. 75
4.6 Sumberdaya Lokal............................................................... 78
4.7 Struktur Komunitas... .......................................................... 79
4.8 Masalah Sosial....................................................................
4.8.1. Kemiskinan..............................................................
4.8.2. Pendidikan..............................................................
4.8.3. Kesehatan...............................................................
4.8.4. MasalahLingkungan................................................
a. Krisis Air.............................................................
b. Bencana Longsor. ..............................................
79
81
82
82
83
83
83
4.9 CHV ................................................................................... 84
4.10 Ikhtisar................................................................................. 85
V. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT PADA INDUSTRI GEOTHERMAL GUNUNG
SALAK.............................................................................................
87
5.1
5.2
5.3
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang
Pendidikan...........................................................................
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang
Kesehatan............................................................................
Program pengembangan masyarakat dalam bidang
Pemberdayaan Ekonomi Lokal............................................
96
101
103
iii
5.4
5.5
5.6
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang
Lingkungan..........................................................................
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang
Infrastruktur..........................................................................
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang
Komunikasi & Hubungan Sosial Masyarakat.......................
108
109
112
5.7 Pelaksanaan Terbaik (Best Practice) Program
Pengembangan Masyarakat………………………………….
114
5.8 Ikhtisar ................................................................................
118
VI. KONTRIBUSI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT INDUSTRI PANAS BUMI GUNUNG SALAK
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH...................................
132
6.1 Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan
Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak
Terhadap Pertumbuhan Perekonomian Daerah dan
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat…………………….
134
6.2 Ketergantungan Masyarakat Terhadap Perusahaan........... 138
6.3 Pengorganisasian dan pengoordinasian program
pengembangan masyarakat dengan program lain...............
140
6.4 Jaringan Kelembagaan Lokal............................................... 142
6.5 Konflik Yang muncul dalam Masyarakat.............................. 144
6.5.1. CHV dengan masyarakat.........................................
6.5.2. CHV dengan Pemerintah Daerah............................
6.5.3. CHVdengan LSM lokal.............................................
6.5.4. Masyarakat dengan Masyarakat..............................
6.5.5. Masyarakat dengan LSM.........................................
6.5.6. LSM dengan LSM.....................................................
6.5.7. Pemerintah daerah dengan LSM.............................
146
148
149
150
151
151
153
6.6 Hubungan Program pengembangan masyarakat dan
pengembangan wilayah lokal...............................................
153
6.7 Analisis badan swasta (profit-maximizing body) dalam
pembangunan wilayah.........................................................
155
6.8 Ikhtisar ................................................................................. 156
iv
VII. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 161
7.1 Kesimpulan.......................................................................... 161
7.2 Saran....................................................................................
7.2.1. Ilmu perencanaan pembangunan wilayah dan
perdesaan………………………………………………
7.2.2. Pihak Perusahaan....................................................
7.2.3. Pihak Pemerintah Daerah Sukabumi......................
7.2.4. Pihak Desa dan kecamatan Kabandungan..............
7.2.5. Pihak Masyarakat.....................................................
162
162
163
164
164
164
DAFTAR PUSTAKA ....... ........................................................................... 165
LAMPIRAN ................................................................................................. 169
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Nama-nama Desa Kecamatan Kabandungan.................... 69
Tabel 4.2. Pemerintahan Desa Se-Kecamatan Kabandungan……… 70
Tabel 4.3. Luas Wilayah Menurut Ketinggian Tanah kecamatan
Kabandunga tahun 2005………………………………………
71
Tabel 4.4. Kondisi Tanah di Kecamatan Kabandungan……………….. 71
Tabel 4.5. Jenis Tanah di Kecamatan kecamatan Kabandungan……. 72
Tabel 4.6 Jenis Penggunaan Lahan Di Kecamatan Kabandungan….. 72
Tabel 4.7. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kecamatan
Kabandungan…………………………………………………
73
Tabel 4.8. Kondisi Jalan di Kecamtan Kabandungan (dalam Km)……. 73
Tabel 4.9. Jumlah Jembatan di Kecamatan Kabandungan…………… 74
Tabel 4.10 Jumlah Sekolah di Kecamtan Kabandungan……………… 74
Tabel 4.11. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Kabandungan... 74
Tabel 4.12. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan
Kabandungan…………………………………………………
75
Tabel 4.13. Luas Tanah Menurut Jenis Penggunaannya di kecamatan
Kabandungan (dlm Ha)......................................................
76
Tabel 4.14. Produksi Daging Menurut Jenis Ternak Dan Telur Unggas
di kecamatan Kabandungan (Kg).........................................
77
Tabel 4.15. Jumlah Pemeluk Agama di kecamatan Kabandungan…… 79
Tabel 4.16. Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan
Kabandungan Tahun 2005/2006…………………………….
80
Tabel 4.17. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) Menurut Jenisnya di kecamatan Kabandungan…
80
Tabel 4.18. Jumlah Murid Drop Out (DO) Menurut Umur Sekolah…….. 81
Tabel 4.19. Keadaan Tenaga Kependidikan Sekolah Dasar di
kecamatan Kabandungan……………………………………
82
Tabel 4.20. Jumlah SDM Bidang Kesehatan di kecamatan 82
vi
Kabandungan……………………………………………….…..
Tabel 4.21. Jumlah Kejadian Bencana Alam Menurut Jenisnya……… 83
Tabel 4.22. Jumlah Kerugian Akibat Kejadian Bencana Alam Dan
taksiran Nilai Kerugian.........................................................
83
Tabel 4.23. Luas Lahan Kritis di kecamatan Kabandungan (Ha)……… 84
Tabel 6.1. PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Sukabumi
Menurut sektor usaha tahun 2000-2005 (dalam miliar
rupiah)…………………………………………………………...
135
Tabel 6.2. Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan
Kabandungan Tahun 2005/2006…………………………….
136
Tabel 6.3. Jumlah kelompok Tani menurut kelas kelompok................. 143
vii
DAFTAR MATRIKS
Halaman
Matriks 2.1 Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan
Kontemporer……………………………………………………
19
Matriks 2.2 Definisi Nomenklatur Kewilayahan………………………… 33
Matriks 5.1 Hubungan Antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya
Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi………………
88
Matriks 5.2 Motif Perusahaan dalam Manjalankan Program
Pengembangan Masyarakat………………………………...
90
Matriks 5.3 Time line Pelaksanaan Program Pegembangan
Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak….
121
Matriks 5.4 Ikhtisar Analisis Pelaksanaan Program Pegembangan
Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak….
123
Matriks 6.1 LSM yang melakukan kegiatan di Kecamatan
Kabandungan…………………………………………………..
143
Matriks 6.2 Potensi Konflik yang Terjadi di Kecamatan Kabandungan. 145
Matriks 6.3 Bentuk konflik dan sumber konflik di Kecamatan
Kabandungan......................................................................
152
Matriks 6.4 Ikhtisar Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan
Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak
Terhadap Pengembangan Wilayah…………………………
158
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Hubungan Antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya
Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi………………
29
Gambar 2.2. Peta Distribusi Lokasi dan Wilayah Pertambangan Panas
Bumi……………………………………………………………
42
Gambar 3.1 Background……………………………………………………. 64
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Wilayah Penelitian …………………………………….………
2 Panduan Wawancara ……………………………………….………
3 Program Tahunan Community Engagement CHV……….………
4 Struktur Organisasi Community Afairs CHV………………………
5 Struktur Organisasi Community Afairs Antam……………………
6 Kronologis Pelaksanaan Program Community Development-
CHV Di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi...............
7 Glossary………………………………………………………………….
I. P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang
Paradigma baru pembangunan wilayah dengan diberlakukannya otonomi
daerah sesuai dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi
menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
diyakini dapat membawa angin baru untuk kemajuan pembangunan wilayah.
Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perudang-undangan.
Daerah juga dituntut untuk mengembangkan serta mengoptimalkan semua
potensi wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan
tingkat kemandirian yang tinggi.
Otonomi daerah sebenarnya merupakan sebuah peluang bagi daerah
otonom (Kabupaten/Kota) untuk memperbaiki fungsi pemerintah daerah dalam
melaksanakan pembangunan daerah. Sebab otonomi yang mentransfer berbagai
kewenangan akan melahirkan diskresi di tingkat lokal dalam membuat kebijakan
pembangunan daerah yang sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat di
daerah. Namun peluang tersebut tidak serta merta dapat merubah pola
pembangunan daerah menjadi semakin baik untuk masyarakat daerah.
Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat adalah
faktor operasional yang cukup signifikan membuat peluang tersebut terealisasi
secara empirik. Jika komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kapasitas
masyarakat lokal lemah maka berbagai peluang tersebut cenderung hanya
bersifat retoris yang indah dalam kata-kata dan tidak pernah terwujud dalam
kehdupan nyata. Sebaliknya apabila komitmen dan konsistensi pemerintah
daerah kuat yang terlihat dari adanya keinginan untuk mensejahterakan
masyarakat melalui pembaharuan, baik secara struktural dan kultural serta
internal dan eksternal institusi pemerintah daerah dan kehendak masyarakat
cukup antusias membangun daerahnya maka peluang itu akan menjadi “pintu
masuk” bagi kesejahteraan masyarakat lokal.
Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma
pembangunan, cara pandang pembangunan yang berorientsi pada laju
pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar
2
semata (persepektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran
pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk
mengontrol keadaan dan lingkungannya.
Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses-
proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative) yang ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteran sosial dan material, termasuk meningkatkan
keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan
serta kebebasan dan kemandirian.
Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini
telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar
dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi
dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin parah, beban dan
ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin berat adalah bukti-bukti
nyata atas kegagalan praksis pembangunan. Realitas-realitas tersebut telah
mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan wilayah yang
lebih mendorong keterlibatan masyarakat.
Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada
komunitas tersebut, secara substansial di arahkan untuk menciptakan
kemandirian dan meningkatkan kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan
mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga
kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta
secara kokoh. Di sisi lain, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin
tumbuhnya self-sustaining capacity masyarakat menuju sustainable
development.
Salah satu tantangan pembangunan wilayah yang strategis dalam rangka
mengatasi ketidakberdayaan yang selama ini terjadi adalah melalui upaya
pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat
sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang
cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan
ekonomi yang bersumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata
nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan,
kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Disaat yang
bersamaan, pendekatan pembangunan lebih bersifat sentralistik yang
mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil
melemahkan kemandirian masyarakat.
3
Hadirnya konsep pemberdayaan masyarakat merupakan respon kritis
terhadap pola pembangunan yang sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai
sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada
paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered
development). Pengalaman dilapangan menunjukkan bahwa ketidakberdayaan
masyarakat selama ini terjadi hampir di semua sektor kehidupan, di antaranya
masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumberdaya ekonomi
dan sumberdaya alam. Dalam kasus ini misalnya terbatasnya akses bagi para
petani kecil untuk mendapatkan kredit dan ketiadaan akses bagi masyarakat
untuk memanfaatkan sumberdaya alam disekitarnya karena telah dikuasai oleh
negara atau oleh perusahaan swasta. Ketidakberdayaan secara politik juga
terjadi, banyak produk kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik
tidak pro-poor, karena masyarakat tidak sanggup untuk mempengaruhi
keputusan tersebut. Juga terjadi ketidakberdayaan berprakasrsa, hal ini terjadi
karena tidak dilakukannya pengambilan keputusan secara partisipatif yaitu
prosese-proses yang melibatkan pihak-pihak yang terkena pengaruh/dampak
dari keputusan yang bersangkutan, sehingga masyarakat akhirnya menjadi tidak
mau bepartisipasi karena tidak dilibatkan dalam setiap tahapan prosesnya.
Pemberdayaan masyarakat berarti menghilangkan ketidakberdayaan
tersebut diatas dan memberdayakan masyarakat dengan membuka peluang
yang sebesar-besarnya dalam proses perencanaan pembangunan wilayah,
begitu juga dalam pelaksanaannya dan untuk menumbuhkan keberdayaan mesti
bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat.
Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan
sebagai subyek pembangunan yang potensial sehingga membentuk motivasi dan
perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat
partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan
masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya sendiri dan bersikap mandiri
dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul.
Kehadiran industri pertambangan disuatu wilayah dapat menjadi peluang
bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan (akselerasi) pembangunan
wilayah dimana perusahaan beroperasi ataupun wilayah-wilayah yang
terbelakang yang diakibatkan oleh ketimpangan distribusi pembangunan.
Keberadaan tambang disuatu wilayah juga secara langsung maupun tidak
langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi
4
tersebut. Di beberapa wilayah, sumbangan sektor pertambangan dan migas
terhadap PDRB menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja
sangat besar.
Hubungan pengembangan masyarakat dengan industri juga memberikan
arti penting bagi pemerintah daerah mengingat adanya kecendrungan
peningkatan perkembangan sektor industri merupakan potensi bagi peningkatan
PAD serta peluang untuk melakukan pembangunan wilayah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks tersebut, pemerintah
daerah tidak hanya dituntut untuk dapat menciptakan iklim bagi kelangsungan
dunia usaha, tetapi juga menciptakan ketentuan hukum yang dapat memayungi
program kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat.
Menurut Saleng (2004) dalam Hamzah (2005), dampak positif secara
langsung kehadiran perusahaan pertambangan didaerah adalah adanya
kesempatan kerja dan kesempatan usaha baru bagi masyarakat sekitar
sehingga mengurangi pengangguran dan dapat memberikan kontribusi kepada
pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas hidup para pekerja maupun
masyarakat disekitarnya. Sehingga dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi hal ini juga berarti meningkatnya pendapatan masyarakat. Dampak
positif tidak langsung adalah meningkatnya kualitas sumberdaya manusia karena
terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sebagai dampak dari
meningkatnya pendapatan, meningkatnya arus informasi yang dapat diterima
oleh masyarakat karena adanya interaksi dengan para pendatang.
Dampak negatif secara langsung adalah berupa menurunnya tingkat
kualitas lingkungan hidup karena adanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam.
Dampak negatif secara tidak langsung adalah dampak sosial yaitu adanya
pergeseran nilai sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi
dengan masyarakat luar yang lebih modern seperti misalnya masyarakat menjadi
lebih permisif terhadap hal-hal negatif yang dulu sangat dilarang seperti
perjudian, alkoholisme dan pergaulan bebas.
Kehadiran CHV1 diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pengembangan masyarakat sekitar. Hal ini diperlukan mengingat area
pengelolaan sumberdaya panas bumi berada pada wilayah perdesaan yang
1 Studi ini dlakukan di wilayah kerja perusahaan CHV, perusahaan yang bergerak dalam bidang industri
geothermal di Gunung Salak kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
5
aksesibilitas masyarakatnya rendah karena berada jauh dari pusat
Pemerintahan.
Letak yang jauh ini sering menjadi penyebab minimnya porsi
pembangunan yang diterima masyarakat sehingga tidak hanya menyebabkan
ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan
masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang, serta semakin memperbesar
disparitas antara wilayah maju dengan wilayah yang belum maju sehingga dalam
proses pembangunannya menimbulkan ketergantungan terhadap wilayah yang
sudah maju.
Oleh karena itu, suatu rancangan strategi pengembangan masyarakat
yang dilakukan selayaknya adaptif terhadap pembangunan wilayah, sehingga
perlu dibangun secara partisipatif dan berdasarkan inisiataif lokal. Diabaikannya
partisipasi warga dalam mekanisme perencanaan pembangunan, membuat
sebagian besar anggaran digunakan untuk kepentingan pemerintah, sampai
saat ini, alokasi dana yang dikucurkan ke desa masih sangat kecil. Ini
menyebabkan desa-desa sarat dengan berbagai persoalan kesejahteraan dan
pertumbuhan ekonomi yang lamban.
Program pengembangan masyarakat harus disesuaikan dengan
perkembangan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tahapan perkembangan
masyarakat yang berbeda menuntut adanya upaya pendekatan pengembangan
yang berbeda pula. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kegiatan
pengembangan masyarakat yang adaptif terhadap pembangunan wilayah dan
mendorong percepatan pembangunan wilayah menjadi penting.
1.2. Perumusan Masalah
Keberadaan industri panas bumi Gunung Salak yang dikelola oleh CHV
akan menimbulkan dampak baik bersifat positif maupun negatif, secara langsung
maupun tidak langsung. Dampak ini dapat terjadi pada aspek lingkungan, tata
ruang, lahan dan tanah, aspek fisik-kimia-biologi maupun aspek sosial-ekonomi
dan budaya.
Pengusahaan pertambangan di wilayah yang relatif terpencil atau wilayah
yang baru dibuka, seringkali masyarakat pendatang jauh lebih maju dan
sejahtera serta memiliki semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi
ketimbang masyarakat asli setempat. Perbedaan kesejahteraan dan semangat
6
bersaing ini pada akhirnya akan menjadi penyebab konflik sosial antara
masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Ketidakadilan akses dan
ketidakmerataan pembagian keuntungan ekonomi wilayah yang diterima oleh
lokalitas berpotensi memicu terjadinya konflik sosial. (Saleng 2004 dalam
Hamzah 2005 ).
Keberadaan perusahaan pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah
sering tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan
masyarakat dan pengembangan wilayah. Padahal dalam Undang-undang nomor
27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi pasal 29 huruf f diamanatkan bahwa
Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Panas Bumi wajib melaksanakan
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam program pengembangan
masyarakat menggambarkan semakin menurunnya tingkat keberdayaan
masyarakat, hal tersebut diakibatkan oleh: (1) semua pihak (stake holders) yang
melakukan program ini lebih memandang masyarakat sebagai obyek. Hal ini
diperlihatkan dengan banyaknya program yang dibuat tidak sesuai kebutuhan
(needs) masyarakat tetapi lebih disesuaikan dengan keinginan (wants) pihak
pembuat program (dalam hal ini perusahaan atau Pemda). (2) Para stakeholders
dalam melaksanakan program-programnya seringkali tidak saling berkoordinasi
sehingga bisa terjadi di satu wilayah banyak dilakukan program pemberdayaan
masyarakat, di wilayah lainnya tidak ada satu program pun yang dilakukan,
sehingga terjadi ketimpangan wilayah, juga sering terjadi program
pengembangan masyarakat yang dijalankan tidak saling mengisi dan saling
menguatkan akibatnya sering terjadi tumpang tindih program baik tempat
pelaksanaan maupun persoalan yang digarapnya, (3) program-program yang
dilakukan lebih bersifat sentralistik, tidak memperhatikan karakteristik wilayah,
akibatnya tidak semua program dapat mencapai tujuannya karena tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, (4) banyaknya program pemberdayaan
masyarakat yang dilaksanakan tidak berkesinambungan. Hal tersebut diatas
menjadi masalah, karena persoalan-persoalan pemberdayaan masyarakat
seringkali membutuhkan waktu yang lama dan tidak selalu bisa terlihat hasilnya
secara fisik, sementara disisi lain perusahaan berkeinginan hasil dari
pemberdayaan masyarakat yang mereka jalankan dapat segera dilihat/dirasakan
dalam waktu yang singkat, (5) berbagai kajian atau penelitian telah dilakukan,
7
namun pada kenyataannya tidak selalu menjadi acuan dalam membuat berbagai
kebijakan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat.
Eksistensi keberadaan industri dan interaksinya ditengah masyarakat
membawa perubahan-perubahan, industri mempengaruhi polapikir dan pola
kehidupan masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar juga mempengaruhi
pola-pola kebijakan manajemen sebuah perusahaan industri. Dalam
perjalanannya, pola hidup bersama yang saling mempengaruhi tersebut juga
menyimpan potensi konflik mengingat masing-masing pihak berangkat dari sisi
kepentingan dan persepsi yang berbeda. Oleh karena itu pola hubungan yang
dibangun oleh industri dengan masyarakat sekitar harus dapat menciptakan
sinergitas, tidak hanya sebagai upaya meredam konflik tetapi yang terpenting
adalah dalam spirit untuk mengembangkan masyarakat dan wilayah.
Dilihat dari perspektif positive social forces, kehadiran CHV dapat
memberikan manfaat tidak hanya terhadap masyarakat yang berada di sekitar
lokasi perusahaan tetapi juga terhadap pembangunan wilayah. Namun
sumberdaya alam yang melimpah tidaklah dengan sendirinya memberikan
kemakmuran bagi warga masyarakat, jika sumberdaya manusia yang ada tidak
mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi guna memanfaatkan
sumberdaya alam tersebut. Sektor pertambangan memang memberikan
kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara, namun kegiatan
pertambangan tersebut belum berpihak pada masyarkat. Hal ini ditandai dengan
besarnya penerimaan yang diterima oleh negara (pusat) melalui royalti dan pajak
yang dibayarkan oleh perusahaan pertambangan, tetapi hanya sedikit sekali dari
jumlah dana yang diterima tersebut dikembalikan lagi kepada daerah
penghasilnya.
Hubungan pengembangan masyarakat dengan insdustri juga
memberikan arti penting bagi pemerintah daerah mengingat adanya
kecendrungan peningkatan perkembangan sektor industri merupakan potensi
peningkatan PAD serta peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan pembangunan wilayah. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah tidak
hanya dituntut untuk dapat menciptakan iklim bagi kelangsungan dunia usaha,
tetapi juga menciptakan ketentuan hukum yang dapat memayungi program
kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat sehingga dampak
positif dari keberadaan perusahaan dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar,
8
diantaranya melalui pesatnya pembangunan wilayah dimana perusahaan
beroperasi.
Jika dilihat dari sisi negative social forces maka keberadaan CHV juga
dapat memberikan dampak yang besar terhadap degradasi dan kerusakan
lingkungan yang terjadi, juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya
permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal
masyarakat sekitar lokasi pertambangan.
Dampak negatif secara sosial yaitu adanya pergeseran nilai sosial dalam
masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi dengan masyarakat luar yang
lebih modern seperti misalnya masyarakat menjadi lebih permisif terhadap hal-
hal negatif yang dulu sangat dilarang seperti perjudian, alkoholisme dan
pergaulan bebas.
Keberadaan industri pertambangan disamping memberikan dampak
terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan juga berpotensi untuk tumbuh dan
berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai
budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pada umumnya lokasi
industri pertambangan terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat
pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak memiliki keahlian (skill)
tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan teknologi dan arus
informasi sehingga menyebebkan masyarakat disekitar perusahaan
pertambangan kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan pekerja-pekerja yang
berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan (skill) dan pengalaman
dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk
bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar daerah akan menimbulkan
kecemburuan sosial.
Akumulasi dari persoalan-persoalan diatas pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan (beserta
pendatang) yang akan berujung pada resistensi dan penolakan masyarakat
terhadap keberadaan perusahaan pertambangan di wilayah mereka. Untuk
menciptakan perubahan yang konstruktif dan tidak menimbulkan resistensi
masyarakat, diperlukan partisipasi dan inisiatif lokal untuk menciptakan
kesesuaian dengan karakteristik lokal .
Peningkatan partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka
mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak
9
mereka. Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari
manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh piha
lain diluar komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan
potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk
berkembang secara mandiri dan berkelanjuan.
Untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan tersebut maka program
pengembangan masyarakat menjadi suatu pilihan untuk meminimalisir dampak
negatif dari kegiatan pertambangan dengan strategi pengembangan masyarakat
yang berorientasikan pada upaya reduksi intensitas dampak, strategi netralisasi
dampak negatif, strategi remediasi atau kuratif (pengobatan).
Salah satu upaya mengatasi dampak negatif tersebut serta untuk
menjembatani ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, maka CHV melaksanakan
program pengembangan masyarakat (community development). Program ini
dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan dan keterampilan melalui bantuan teknis,
pendampingan usaha atau bantuan modal dari industri yang bersangkutan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka didalam
penelitian ini penulis merumuskan dan mengkaji:
1. Bagaimana pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak?
2. Apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap
pengembangan wilayah?.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pernyataan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap masyarakat yang
berada di sekitar lokasi perusahaan.
2. Menganalisis apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung
Salak terhadap pengembangan wilayah.
10
1.4. Kegunaan Penelitian
Laporan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dalam program pengembangan masyarakat, menjadikan masukan
referensi dalam semua kegiatan-kegiatannya dan sebagai bahan/dasar bagi
kajian lebih lanjut tentang masalah ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan masyarakat
Munculnya konsep pengembangan masyarakat (community development)
sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang
cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan
ekonomi yang besumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata
nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan,
kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Di saat yang
bersamaan, pendekatan pembangunan lebih bersifat sentralistik yang
mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil
melemahkan kemandirian masyarakat. Hadirnya konsep pemberdayaan
masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang
sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan
masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang
berorientasi pada manusi (people centered development). Berbagai ciri dari
pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara
substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan
kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan mengurangi tingkat
ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain,
melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining
capacity masyarakat menuju sustainable development.
Menurut TR. Batten dalam Surjadi (1979), seperti dikutip oleh Hamzah
(2005) pengembangan masyarakat merupakan suatu proses dimana anggota-
anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan
keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk
memenuhi keinginan mereka. Sedangkan pengembangan masyarakat menurut
Dunham dalam Rukminto (2001) adalah berbagai upaya yang terorganisir yang
dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama melalui
usaha yang kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat
perdesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuan teknis dari pemerintah
ataupun lembaga-lembaga sukarela.
12
Definisi pengembangan masyarakat yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1956, yaitu :
Community development is the processes by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrate these communities into the life of the nation and to enable them to contribute fully to national progress. This complex of processes is thus made up of two essential elements: the participation of the people themselves in efforts to improve their level of living with as much reliance as possible on their own initiative, and the provisions of technical and other service in ways which encourage initative, self-helf and mutual help and make these more effective, it is expressed in programmes designed a wide variety of specific improvements. These programmes are usually concerned with local communities because of the fact that the people living together in a locality have many and varied interests in common. Some of their interests are expressed in functional groups organized to further a more limited range of interests not primarily determined by lokality. (20th Repport to ECOSOC of the UN Administrative Communittee on Coordination, E/ 2931, annex III, New York, October 18th 1956, seperti dikutip oleh J. Bhattacharyya, 1972:4 dalam Taliziduhu Ndraha, 1987 : 72-73).
Berdasarkan definisi tersebut, pengembangan masyarakat merupakan:
(1) suatu proses baik upaya masyarakat yang bersangkutan berdasarkan
prakarsa sendiri maupun kegiatan pemerintah, jadi lebih ditekankan sebagai
suatu proses, metode dan gerakan daripada sebagai program, (2) meliputi dua
komponen utama yaitu : pertama. Partisipasi masyarakat lokal, Kedua, bantuan
dan pelayanan teknis dari pemerintah untuk mengembangkan partisipasi dan
inisiatif tersebut serta (3) bekerja pada tingkat komunitas yang diikat dengan
kepentingan yang sama sedangkan urusan yang bersifat khusus atau
kepentingan kelompok ditangani oleh kelompok fungsional karena bukan
merupakan kepentingan umum komunitas.
Menurut Budimanta (2005) secara umum pengembangan masyarakat
dapat didefinisikan sebagai kegiatan mengembangkan masyarakat yang
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-
ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan
sebelumnya, sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan menjadi lebih
mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
13
Sedangkan Marzali (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat
sebagai sebuah proses tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas
mengorganisasikan diri mereka dalam perencanaan dan tindakan, menentukan
kebutuhan dan masalah individu/bersama, membuat rencana individu/kelompok
untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan, melaksanakan
rencana dengan menyesuaikan diri secara maksimal dengan sumberdaya yang
ada dalam komunitas, dan jika diperlukan menambah sumberdaya ini dengan
jasa dan materi dari badan-badan pemerintah dan non-pemerintah yang berasal
dari luar komunitas.
Lebih lanjut Marzali (2003) mengemukakan bahwa program
pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya “felt needs” dari
komunitas tersebut. Ini bukanlah hal yang sederhana karena “felt needs” dari
komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan “felt needs” dari
anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan
komunitas. Selanjutnya “felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan
kepentingan utama komunitas. Gagal dalam menentukan “felt needs” dari
komunitas bisa berakibat kegagalan dari program pengembangan masyarakat.
Terminologi pemberdayaan dipahami oleh sebagian para ahli sebagai
proses stimulus pemberian daya (power atau kekuatan) kepada masyarakat
untuk mampu berbuat lebih dengan mengandalkan potensi dan kekuatannya
sendiri. Menurut Rees dalam Trijono (2001), esensi pemberdayaan adalah
proses perolehan kekuasaan (achieving power) dan segala perubahan sikap,
perilaku dan tindakan politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Mengacu
pendapat seperti ini maka kita tidak bisa memahami proses pemberdayaan
secara sempurna kalau kita tidak memahami dua elemen penting
pemberdayaan, yaitu kekuasaan (power) dan politik (politics). Kekuasaan disini
adalah kekuasaan dalam arti luas yaitu kapasitas untuk bertindak, untuk mampu
melakukan atau menghasilkan sesuatu. Sedangkan politik merupakan turunan
dari eleman kekuasaan karena dalam setiap upaya memperoleh kekuasaan akan
selalu membutuhkan adanya tindakan politik tertentu. Esensi politik yaitu aktivitas
yang selalu diwarnai kerjasama, konflik, keputusan diantara orang, kelompok
atau organisasi dalam alokasi dan penggunaan sumberdaya ekonomi, nilai dan
ide. Dalam konteks pemberdayaan, politik mendorong masyarakat untuk terlibat
dalam alokasi sumberdaya yang ada baik melalui kerjasama, konflik dan
memutuskannya. Dengan dua elemen ini secara operasional, pemberdayaan
14
mampu menciptakan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapi, tahu
modal untuk menyelesaikan masalah, mampu menyusun alternatif pemecahan
masalah serta akurat memilih alternatif terbaik penyelesaian masalah.
Mengacu pada pemikiran tersebut, upaya pemberdayaan menurut
(Sumodiningrat 1996 dalam Hamzah 2005), harus dilakukan melalui 3 (tiga)
pandangan mendasar, yaitu Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang
dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu
dengan mendorong, memberikan motivasi dan meningkatkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,
memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat. Dalam kerangka ini, diperlukan
langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input)
serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya memanfaatkan peluang. Ketiga, memberdayakan
mengandung pula arti melindungi. Artinya proses pemberdayaan harus
mencegah yang lemah menjadi bertambah lemah.
Pengembangan masyarakat merupakan suatu strategi dalam paradigma
pembangunan yang berpusat pada rakayat (people centered development) yang
menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian
dan kekuatan internal serta kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas
sumberdaya sosial ekonomi yang dimiliki, “ruh” pengembangan masyarakat
adalah populisme atau popularisme, yaitu menempatkan masyarakat sebagai
bagian terpenting energi pembangunan dengan keseluruhan hak dan kewajiban
serta harkat dan martabatnya.
Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar
pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people
centered development) seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Berbagai
ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut,
secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan
kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan mengurangi tingkat
ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain pula,
melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining
capacity masyarakat menuju sustainable development.
15
Pengembangan masyarakat harus didasarkan atas kekuatan-kekuatan
lokal yang bersumber dari masyarakat sebagai pilar utama dalam upaya
peningkatan taraf hidup masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh (Hellen
Miller dalam Wiryosoemarto 1977 seperti dikutip oleh Khairuddin 2006) bahwa:
“communitiy development is the term used to describe the approach wich many
government have employed to reach their village people and to make more
effective use lokal initiative and energy for increased production and better living
standards”. Menurut UNDP dalam Rustiadi et al. (2005) pembangunan dan
khususnya pembangunan manusia didefinisikan sebagai suatu proses untuk
memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s
choices). Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir
(the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagimana
yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation)
sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai
tujuan itu.
Dalam kaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat, (Glen
dalam Rukminto, 2001) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang
menjadi ciri khas pendekatan pengembangan masyarakat, yaitu :
1. Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk
mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka, menetapkan rasa
kebersamaan sebagai suatu komunitas berdasarkan ketetanggaan
(neighbourhood) dimana basis ketetanggaan merupakan salah satu bentuk
lokalitas kegiatan.
2. Proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat
ataupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Komunitas dilihat sebagai
kelompok masyarakat yang secara potensial kereatif dan kooperatif
merefleksikan idealisme sosial yang positif terhadap upaya-upaya kolaboratif
dan pembentukan identitas komunitas.
3. Praktisi yang menggunakan model intervensi ini pada umumnya
menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat yang bersifat
nondirektif, artinya lebih banyak difokuskan pada peran sebagai “pemercepat
perubahan” (enabler), ”pembangkit semangat” (encourager) dan “Pendidik”
(educator). Masyarakat lebih cenderung untuk bertindak sesuai dengan apa
yang mereka pilih, daripada apa yang telah diyakinkan oleh community
worker untuk yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi dalam kondisi tertentu
16
dapat memainkaan peran proaktif, terutama ketika individu ataupun kelompok
tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir suatu kegiatan di
masyarakat.
Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan
sebagai subjek pembangunan yang potensial sehingga mendorong
pembentukan motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan
pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction
masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya
sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul.
Menurut Rustiadi et al., (2005), Pengembangan lebih menekankan
proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa
pengembangan adalah melakukan sesuatu bukan dari “nol”, atau membuat
sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang
sebenarnya sudah ada di masyarakat tetapi kualitas dan kuantitasnya
ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat
pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki
kapasitas (bukannya tidak memiliki kapasitas sama sekali) namun perlu
ditingkatkan kapasitasnya (capacity building).
Sorotan pemberdayaan juga tidak terlepas dari peran pelaku-pelaku
(aktor) yang terlibat didalamnya. Keberhasilan upaya pemberdayaan sangat
ditentukan oleh peran pelaku-pelaku (aktor) untuk secara sungguh-sungguh
melaksanakan fungsi yang dimiliki dengan dilandasi prinsip kolaboratif. Pelaku-
pelaku dimaksud meliputi dua kelompok yaitu kelompok yang harus
diberdayakan, dalam hal ini adalah masyarakat dan kelompok yang menaruh
kepedulian seperti pemerintah, organisasi sosial masyarakat (LSM), tokoh
agama/ masyarakat serta pers.
Menurut mazhab komunitarianisme pengembangan masyarakat harus
dilaksanakan dengan pendekatan komunitas serta serba kolektivitas dalam
menangani masalah-masalah sosial-ekonomi kemasyarakatan. Mazhab ini
memandang pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan yang dirancang
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui partisipasi aktif penuh dan
berdasarkan inisiatif lokal. Menurut mazhab ini juga, keterlibatan komunitas
sangat penting dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi masyarakat,
sehingga keterlibatan masyarakat lokal menjadi suatu keharusan. Peningkatan
partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka mendekatkan
17
masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak mereka.
Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari manfaat yang
diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh pihak lain diluar
komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi
sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk berkembang
secara mandiri dan berkelanjuan.
Sedangkan mazhab institusionalisme memandang pendekatan
pengembangan masyarakat harus dilaksanakan melalui pengaturan oleh
kelembagaan dan atau organisasi sosial dalam menangani masalah sosial-
kemasyarakatan. Menurut mazhab ini, pengembangan masyarakat didekati
melalui perubahan kelembagaan (institutional change) dan penataan
kelembagaan sebagai infrastruktur pengembangan wilayah. Menurut
pendekatan ini kelembagaan menjadi kata kunci penting suatu perubahan sosio-
ekonomi regional. Model pendekatan ini melibatkan aktor pembangun (swasta,
masyarakat, dan pemerintah daerah sebagai mediator). Di tingkat masyarakat,
keberhasilan pendekatan ini akan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya
mengorganisir diri, meningkatkan proses demokratisasi, meningkatkan peran
serta (partisipatif), serta mendudukkan masyarakat sebagai subyek
pembangunan. Keberhasilan model pendekatan ini akan mampu
"memberdayakan" aset potensi daerah guna mempercepat kemampuan
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkaitan dengan pelaksanaan
Otonomi Daerah.
Oleh karena itu, dalam pengembangan masyarakat bukan hanya sekedar
membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat khususnya dalam
rangka peningkatan taraf hidupnya, tetapi terpenting adalah sebagai upaya untuk
menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi
segala permasalahan yang terjadi.
Menurut Ife (2002) terdapat enam dimensi penting dari pengembangan
masyarakat, yaitu:
1. Pengembangan Sosial, berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas
kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan
dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompok-
kelompok swadaya masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal,
organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang
berbasiskan sumberdaya setempat (resources based), serta aspek sosial
18
yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu
diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan
perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar
2. Pengembangan Ekonomi, mengoptimalkan penggalian,pemanfaatan dan
pengelolaan berbagai potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi
obyektif daerah. Memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di daerah,
memperkecil kesenjangan, pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan
masyarakat, serta menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu
kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat
3. Pengembangan Politik, memberikan peluang kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik, mengembangkan dialog
dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat. pengembangan
masyarakat sebagai upaya merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan
demokrasi di masyarakat (grassroot democracy).
4. Pengembangan Budaya, perhatiana yang lebih besar kepada nilai-nilai
budaya dan kemanusiaan, secara keseluruhan akan memperbaiki bukan
hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri
sebagai individu maupun suatu bangsa.
5. Pengembangan Lingkungan, kelestarian lingkungan yang menekankan
bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan
sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif
yang perlu dilaksanakan bersama-sama.
6. Pengembangan Pribadi/Keagamaan, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan sehingga perlu
diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa setelah operasi
perusahaan berakhir, juga pengembangan dari segi spiritualisme
masyarakat.
Lebih lanjut, menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan
untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai
manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan
saling ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi,
memiliki keteraturan mengenai kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi
serta kemampuan untuk memilih.
19
Secara historis pengembangan masyarakat dapat dilihat dari periode
pengembangan masyarakat Klasik (1950-1980) serta pengembangan
masyarakat kontemporen (1990-2000), terdapat perbedaan dari kedua periode
ini, diantaranya terletak pada prinsipnya, pendekatan utama, proses, peran aktor
dan basis sosial untuk aktivitasnya. (Matriks.2.1)
Matriks 2.1 Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan Kontemporer.
Faktor Pembeda
Pengembangan
Masyarakat Klasik
(1950-1980an)
Pengembangan Masyarakat Kontemporer
(>1990)
Prinsip-prinsip Utama
Philantropis/charitatif
(derma)
Populisme/Popularisme
Pendekatan Utama
Assistancy approach Self-help approach
Proses Top-down Bottom-up
Area of Activities
Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan (Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan)
• Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan
(Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan)
• Pendampingan dan training
(pertanian dan industri rumah tangga)
• Lingkungan hidup
Peran aktor-aktor
Peran aktor dari luar komunitas sangat dominan
Peran masyarakat lokal lebih dominan
Basis Sosial untuk setiap Aktivitas
Masyarakat yang mempunyai resiko terbesar terhadap dampak yang ditimbulkan
Masyarakat lingkar Perusahaan
(Disarikan dari berbagai sumber: ife,2002; Rustiadi et al ,2002 ;Christenson, James.A dan Robinson,JR, Jerry W. 1989)
20
Keterlibatan perusahaan dalam program pengembangan masyarakat di
latar belakangi dengan beberapa kepentingan. Setidaknya bisa di identifikasi tiga
motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi,
motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja dan motif moral untuk memberikan
pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Sebagian besar perusahaan ektraksi
berada di daerah pedalaman. Sementara fasilitas produksinya terbentang dalam
area yang sangat luas. Secara fisikal, kontrol terhadap infrastruktur tersebut tidak
mudah. Perusahaan minyak atau gas terletak di daerah terpencil dengan jaringan
pipa yang panjang dan kompleks misalnya, sangat rentan dengan kemungkinan-
kemungkinan dirusak atau disabotase oleh pihak yang merasa dirugikan oleh
keberadaan perusahaan tersebut. Sementara itu banyak kasus menunjukkan
bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut sarat konflik dengan
masyarakat lokal. Baik konflik fisik maupun konflik laten merupakan faktor
potensial untuk terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas produksi.
Tujuan pengembangan masyarakat pada industri pertambangan dan
migas menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut:
1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah daerah (Pemda)
terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi
sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik disekitar wilayah kegiatan
perusahaan.
2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat.
3. Membantu pemerintah daerah (Pemda) dalam rangka pengentasan
kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah.
4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komunitas di
sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after
mining).
Di samping itu tujuan pengembangan masyarakat juga untuk meredusir
dan meresolusi konflik yang terjadi antara peusahaan dengan masyarakat.
Konflik tersebut tidak hanya terjadi karena masalah lingkungan hidup saja namun
juga karena masalah kepemilikan tanah. Konflik mengenai masalah ini
merupakan masalah umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ektaktif.
Sejak tahun 1980an sudah terjadi pertikaian secara sporadis yang disebabkan
oleh masalah tanah misalnya adalah persengketaan yang terjadi antara
masyarakat adat suku Dayak Benuaq dan Tonyoi yang tinggal di daerah
21
Kalimantan Timur dengan PT. Kelian Equatorial Mining (KEM); suku Dayak
Siang, Murung, dan Bekumpai di propinsi Kalimantan Tengah dengan PT.
Indomuro Kencana (Aurora Gold); masyarakat tradisional Amungme di Papua
Barat dengan PT. Freeport Indonesia dan masyarakat adat di daerah Kabupaten
Pasir, Kalimantan Timur dengan PT. Kideco (Aman 2002).
Pada titik tertentu, kondisi seperti ini menimbulkan penolakan-penolakan
baik yangterjadi pada masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap
keberadaan perusahaandan terhadap kegiatan-kegiatan pengembangan
masyarakat. Penolakan-penolakan tersebut terepresentasi dari sinisme,
keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau
memprotesnya. Sikap menolak seperti itu merupakan faktor penghambat
terciptanya program yang keberlanjutan. Perusahaan dan masyarakat memiliki
kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan
sangat mungkin merugikan pihak yang lain.
Secara philantropis perusahaan seharusnya meredistribusi
keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana
masyarakat berada. Apalagi mereka dalam keadaan miskin. Ini adalah kewajiban
moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih
sebatas wacana dan belum terlihat nyata.
Menurut Suparlan (2003) model pengembangan masyarakat sebetulnya
adalah bottom up yang dalam pelaksanaan bisa dibantu oleh pemerintah atau
badan-badan non pemerintah, yang dalam hal ini adalah perusahaan tambang.
Dalam perspektif ini pengembangan masyarakat adalah sebuah proses yang
mana anggota-anggota sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam
kelompok atau kumpulan individu yang secara bersama merasakan kebutuhan-
kebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka
atasi. Kelompok ini membuat rencana kerja sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
yang mereka harus penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi, dan
berdasarkan atas itu mereka mengorganisasikan diri dalam bentuk kelompok-
kelompok atau perkumpulan-perkumpulan untuk melaksanakannya. Dalam
pelaksanaannya mereka itu tergantung pada sumberdaya yang ada dalam
komunitas, dan bila merasa kurang maka mereka akan meminta bantuan dari
pemerintah atau badan-badan pemerintah.
Lebih lanjut Suparlan (2003) mengatakan bahwa perbedaan antara model
bottom up dan top down adalah, dalam model bottom up, ide perencanaan, dan
22
pelaksanaan kegiatan berasal dari anggota komunitas itu sendiri dan untuk
kepentingan serta keuntungan mereka bersama. Sedangkan dalam model top
down ide dan perencanaan berasal dari pembuat kebijakan
(pemerintah/perusahaan), keuntungan hanya dapat diraup dan dinikmati oleh
sejumlah orang dan sejumlah orang tersebut biasanya adalah yang tergolong
sebagai tokoh atau yang berkuasa dan yang sudah kaya.
Model top-down approach, menyatakan bahwa dalam mengembangkan
suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat
dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara
serentak melainkan harus memalalui beberapa sektor unggulan (leading sector)
yang kemudian akan menjalar kepada sektor- sektor lainnya dan perekonomian
secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan kedepan
(foreward linkages) dan keterkaitan kebelakang (backwared linkages).
Sedangkan konsep bottom-up approach, yang beranggapan, bahwa
pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam “wilayah” itu sendiri
(development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi
melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut.
Model top down dapat dikatakan sebagai model chariti atau pemberian
hadiah atau sedekah dari yang kaya kepada yang lebih miskin. Perbedaan yang
mendasar dari kedua pendekatan ini adalah terletak pada asal dari ide,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Permasalahan dalam paradigma
pembangunan yang menerapkan sistem top-down approach yang telah
berlangsung lama adalah tibulnya sindroma ketergantungan, dampak ini terlihat
antara lain dari ciri-ciri masyarakat lebih senang diberi ‘ikannya’ dibandingkan
dengan ‘kailnya’. Masyarakat lebih senang kalau yang datang ke daerahnya
adalah investor bukan pendamping/fasilitator yang dianggap tidak memiliki uang
untuk mereka. Dalam konteks mentalitas seperti ini masyarakat cenderung
enggan berpartisipasi meski untuk kepentingan sendiri. Mereka kebanyakan
memiliki anggapan bahwa dana-dana yang datang kepada mereka bersifat hibah
sehingga tidak perlu di kembalikan dan dikembangkan. Permasalahan-
permasalahan ini sedikit banyak menggambarkan semakin menurunnya tingkat
keberdayaan masyarakat
Budimanta (2003) mengatakan bahwa untuk komunitas yang berada
dalam lingkar tambang, program pengembangan masyarakat dapat ditekankan
pada tiga aspek dengan perhitungan yang sesuai dengan konteks tertentu
23
terhadap komunitas asli dan komunitas pendatang. Hal ini sangat menentukan
keberhasilan program pengembangan masyarakat, ketiga aspek tersebut adalah
:
1. Community services, merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat, seperti : pembangunan fasilitas umum antara lain
pembangunan atau peningkatan sarana trasportasi/jalan, sarana kesehatan,
sarana pendidikan, sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi
lingkungan, pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan guru,
operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga para medis, obat-obatan
dan penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan pemukiman),
keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun penceramah-penceramah
agama) dan lain sebagainya.
2. Community empowering, adalah program-program yang berkaitan dengan
memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang
kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti
pengembangan dan penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat,
masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan
kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat
(resources based).
3. Community relation, yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut
pengembangan komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait
seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya.
Pandangan lain melihat pengembangan masyarakat dari sifat
operasionalisasinya di lapangan, yaitu:
1. Advokasi (pendampingan), advokasi merupakan salah satu praktek
operasional pengembangan masyarakat yang bersentuhan dengan kegiatan
politik. Melaului advokasi ini, masyarakat di bantu dan didampingi dalam
memperjuangkan hak-hak mereka. Advokasi dapat dibagi dua: advokasi
kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy). Apabila
advokasi dilakukan atas nama seorang klien secara individual, maka itu
adalah advokasi kasus. Advokasi kelas terjadi manakala klien yang
diadvokasi bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.
2. Technical Assistance (bantuan teknis/penyuluhan), dimana terbentuk pola
kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan
yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai
24
berasal dari kedua belah pihak, bantuan teknis dapat membantu masyarakat
dalam menggambarkan masalah, kebutuhan dan solusi potensial. Bantuan
teknis dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas dari para penerima untuk
meningkatkan kapasitas mereka.
3. Education (pendidikan dan penyadaran), kegiatan yang bersifat pendidikan
dan pelatihan teknis bagi masyarakat dengan maksud agar masyarakat lebih
memiliki kemampuan secara teknis dalam meningkatkan kesejahteraannya.
4. Coercion (pemaksaan), yaitu suatu partisipasi untuk ikut serta dalam suatu
kegiatan yang dianggap dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat secara
tidak sukarela tetapi melalui suatu paksaan (mobilisasi).
5. Supervision (pengawasan), pengawasan terhadap terhadap kegiatan
masyarakat dengan maksud untuk untuk memberikan supervisi yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
2.2. Pengembangan Wilayah
Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan
wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang
berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan
wilayah harus didasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing.
Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang
dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu perlu diketahui penggerak utama (prime
mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang
dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutukan front-end
invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun. Prime
mover dapat berupa (1) tambang mineral; (2) tambang minyak; (3) tambang gas;
(4) hutan industri; (5) industri perikanan dengan segala penunjangnya; (6)
industri pertanian; (7) pusat industri jasa; (8) pusat pendidikan; dan (9) pusat
penelitian dan pengembangan. Bila suatu wilayah telah memiliki prime mover,
maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas yang berputar disekitar
prime mover tersebut (Zen 2001 dalam Hamzah 2005).
Paradigma pembangunan yang dianut selama ini berdasarkan keyakinan
atas teori Simon Kusnetz, yang terkenal dengan temuan kurva-U terbalik, bahwa
untuk negara-negara yang berpendapatan rendah, pertumbuhan ekonomi harus
mengorbankan pemerataan atau dengan kata lain harus ada trade-off antara
pertumbuhan dengan pemerataan. Kenyataannya kita memilih industrialisasi
25
sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi (agregat) yang tinggi dengan harapan
terjadi penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi jika strategi investasi
besar (industrilaisasi) dilakukan secara berlebihan, sedangkan proses penetesan
ke bawah (penyebaran pembangunan) ternyata tidak terlaksana maka terjadi
ketidak seimbangan dan ketimpangan.
Dikombinasikan dengan pemikiran para ekonom Keynesian yang
melegitimasi perlunya peran (campur tangan) pemerintah dalam mengatur
perekonomian nasional, maka dalam pelaksanaannya pembangunan banyak
mengalami kegagalan (menyimpang dari tujuan semula) karena terjadi
“misleading policy” yang menyesatkan. Kebijaksanaan pembangunan ekonomi
yang terlalu mengutamakan pertumbuhan, membawa implikasi yang cukup
mendasar, antara lain terjadinya polarisasi pusat-pusat pertumbuhan (growth
pole strategy) baik secara spasial maupun sektoral, pada lokasi atau sektor yang
dianggap mempunyai keunggulan komparatif, bahkan juga terjadi polarisasi
penguasaan aset ekonomi, aset ekonomi hanya dikuasai dan dinikmati oleh
segolongan kecil penduduk yang mempunyai akses terhadap kekuasaan dan
sumberdaya. Kebijakan pembangunan demikian pada ahirnya diikuti dengan
sejumlah eksternalitas (terutama negatif) yang menimbulkan biaya sosial yang
tinggi bahkan tuntutan disintegrasi bangsa, karena terjadi berbagai ketimpangan
(Anwar dan Rustiadi 2000).
Teori pertumbuhan wilayah tidak seimbang (Imbalanced growth) yang
dikemukakn oleh Myrdal, beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja
bersama dalam pengembangan wilayah. Yakni backward effect (proses
pengurasan sumberdaya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread
effect yaitu gaya yang ditimbulkan oleh wilayah maju akan mendorong
pengembangan wilayah belakang (hinterland).
Pada wilayah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989),
mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan
yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan wilayah. Alasan
yang mendasari pembangunan tidak seimbang adalah:1). secara historis
pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang, 2). untuk
mempertnggi efisiensi penggunan sumberdaya yang tersedia, 3). pembangunan
tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottle necks) atau gangguan-
26
gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi
pembangunan selanjutnya.
Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang
terjadi antara dua periode waktu teertentu akan tampak bahwa berbagai sektor
kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti
pula pembangunan berjalan secara tidak seimbang. Perkembangan leading
sector akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak
seimbang ini juga dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan dinegara atau
wilayah berkembang karena wilayah-daera tersebut juga menghadapi masalah
kekurangan sumberdaya.
Pembangunan wilayah diarahkan utuk mencapai tujuan petumbuhan
ekonomi (growth), pemertaan (equity), dan keberlanjutan (sustainability)
ekosistem. Anwar (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi
ditentukan sejauh mana sumber-sumber yang langka yang terdiri dari
sumberdaya manusia (human capital), peralatan (manmade capital) dapat
dialokasikan untuk hasil yang maksimum, sehingga dimanfaatkan untuk
kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktifnya. Semakin tinggi
tingkat sumberdaya manusia yang digambarkan oleh tingkat kemampuan untuk
penguasaan teknologi, maka semakin besar kemampuan untuk memanfaaatkan
sumberdaya alam yang tersedia untuk mencapai pertumbuhan wilayah yang
tinggi.
Penggalian potensi sumberdaya merupakan prioritas utama
meningkatkan pendapatan wilayah sehingga akan meningkatkan kemampuan
wilayah dalam dalam pelaksanaan pembangunan. Adanya peningkatan
pembangunan dapat mempercepat perkembangan suatu wilayah. Menurut
Susanto dan Ismail (2001) dalam Hamzah (2005) dalam era otonomi daerah
sumberdaya alam merupakan modal utama dalam pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah disamping modal-modal yang
lain.
Selanjutnya pemberian otonomi yang cukup juga perlu dilakukan karena
seringkali masyarakat yang sebenarnya mempunyai kemampuan untuk
meyelesaikn suatu masalah di tingkat lokal tetapi tidak diberikan kewenangan.
Dalam kondisi ini lebih efisien apabila otonomi yang cukup diberikan kepada
masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi di komunitas
mereka. Namun pemberian otonomi ini harus dilandaskan pada capacity
27
building masyarakat yang cukup kuat agar pelaksanaannya bisa menjadi lebih
efektif dan efisien. Karena itu investasi terhadap peningkatan human capital dan
social capital menjadi prasyarat agar pembangunan di tingkat lokal bisa berhasil.
Secara etimologis social capital mempunyai pengertian modal yang
dimiliki oleh masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat. Modal ini merupakan
perpaduan antara sesuatu yang bersifat material dan non material. Material
mempunyai makna tentang kepemilikan berkaitan dengan aset-aset finansial
yang dimiliki, sedangkan nonmaterial, modal berwujud adanya mutual trust
(kepercayaan) dan gathering system (sistem kebersamaan) dalam suatu
masyarakat.
Di dalam masyarakat berkembang, modal sosial ini menjadi suatu
alternatif pembangunan masyarakat. Mengingat sebenarnya masyarakat
sangatlah komunal dan mempunyai banyak nilai-nilai yang sebenarnya sangat
mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Modal sosial
memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi
dan partisipasi sebagai pilar penting masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi
dan good governance. Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu
belajar dan mau mempercayai individu lain, sehingga mereka mau membuat
komitmen yang dapat dipertanggung jawabkan untuk mengembangkan bentuk-
bentuk hubungan yang saling menguntungkan (Putnam,1995). Pendekatan
dalam mengembangkan modal sosial perlu menerapkan sosialisasi untuk
membangun jaringan sosial dan memperkuat kohesi sosial. Kohesi sosial akan
terbangun manakala ada trust, dan trust merupakan bentuk modal sosial yang
paling penting yang perlu dibangun sebagai landasan dalam membina kemitraan
antara pemerintah dan masyarakat. Namun, trust pun tidak akan memadai
tanpa diimbangi dengan akuntabilitas dan transparansi, yang memberikan
peluang bagi stakeholders untuk mengawasi atau memverifikasi tindakan atau
keputusan yang dibuat pemerintah. Trust bersifat dinamis karena ia dapat
tumbuh dan sebaliknya dapat hilang manakala mereka yang mendapat mandat
kepercayaan ternyata tidak dapat bertanggung jawab (tidak akuntabel) terhadap
mandat yang telah diberikan.
Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan
dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena
kondisi sosial ekonomi,budaya dan geografis antara suatu wilayah dengan
wilayah lain sangat berbeda. Dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, untuk
28
menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi
masyarakat. Oleh karena itu konsep pengembangan masyarakat dapat
digunakan sebagai pendekatan utama dalam pelaksanaan pembangan wilayah.
Salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah meningkatkan kemitraan
antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan wilayah tidak semata-mata
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, tetapi juga berada di pundak
masyarakat secara keseluruhan. Salah satu wujud rasa tanggung jawab yang
dimaksud adalah sikap mendukung dari warga masyarakat terhadap
penyelenggaraan pembangunan wilayah yang ditunjukan dengan partisipasi aktif
warga masyarakatnya (Nasdian 2002 dalam Supardian 2005).
Dalam pelaksanaannya dilapangan, terdapat masalah-masalah pokok
yang paling mendesak untuk segera ditangani berkaitan dengan pelaksanaan
pembangunan melalui pendekatan pengembangan masyarakat, diantaranya
supremasi hukum yang masih lemah, sistem pemerintahan yang belum efektif,
kualitas sumberdaya manusia yang rendah, potensi sosial ekonomi yang belum
diberdayakan, kapasitas daerah dan pemberdayaan masyarakat yang belum
optimal serta masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumber
ekonomi.
Dengan demikian, perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung
melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik
wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengambangan wilayah
(Regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi
pada kepentingan wilayah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang
berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan wilayah.
Pengembangan wilayah (regional development), menurut mazhab eco-
sustainability orientasinya harus lebih bersifat jangka panjang (long term)
sehingga kelestarian sumberdaya alam akan lebih terjaga. Konsep
pengembangan wilayah tidak hanya berbicara mengenai perhitungan teknis
ekonomis, tetapi juga menyangkut pengelolaan sumberdaya alam.
Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan
upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan
antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah.
Sedangakan menurut Zen (2001) dalam Hamzah (2005), pengembangan wilayah
merupakan upaya memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu
29
wilayah untuk memanfaatakn sumberdaya alam yang terdapat disekeliling
mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan
bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi
pengembangan wilayah tidak lain dari usaha memadukan secara harmonis
sumberdaya alam, sumberdaya Manusia dan teknologi dengan
memperhitungkan daya tampung (carrying capacity) dan daya dukung
lingkungan. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (gambar 2.1).
Gambar 2.1. Hubungan antara Pengembangan wilayah, sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan teknologi (Zen 2001 dalam Hamzah 2005).
Hal ini sejalan dengan apa yang di sampaiakan oleh Suhandoyo (2002)
dalam Hamzah (2005), bahwa dalam pembangunan suatu wilayah, minimal ada
tiga pilar yang perlu diperhatikan yaitu: Sumberdaya alam,sumberdaya manusia
dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia memegang peranan sentral karena
mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai
obyek pembangunan sumberdaya manusia merupakan sasaran pembangunan
untuk disejahterakan. Kedua, seumberdaya manusia berperan sebagai subyek
(pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu wilayah
Pengemban-gan wilayah
Sumberdaya Manusia
Lingkungan hidup
Lingkungan hidup
Sumberdaya Alam
Teknologi
Lingkungan hidup
30
sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia
(people centre development), dimana sumberdaya manusia dipandang sebagai
sasaran sekaligus pelaku pembangunan.
Adapun tujuan utama pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002)
adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah,
sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang berada di dalamnya
dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan
dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat
dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial-
budaya dan dalam lingkungan alam yang berkelanjutan.
Dengan demikian arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada
prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan wilayah yang merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional (Ary 2001 dalam Wahyudin 2005).
Sedangakan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah
meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan
distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha
atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga
pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable
development) (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002 dalam Wahyudin 2005).
Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pengembangan
sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue
(permasalahan pokok) wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan
sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor
tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lain.
Namun dalam orientasinya kedua konsep tersebut salng melengkapi, dimana
pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan
sektoral. Sebaliknya, pengembangan tanpa berorientasi pada pengembangan
wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan dalam
hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan antar sektor, yang pada gilirannya
akan terjadi kontra produktif dalam pengembangan wilayah (Riyadi, 2002).
Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan
wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah
pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan terus ketingkat perkotaan, dalam
kegiatannya pengembangan wilayah (regional development) harus disertai oleh
31
pengembangan masyarakat. Selain memanfaatkan sumberdaya alam melalui
teknologi, manusianya juga harus dikembangkan.
2.3. Konsep Wilayah dan Pembangunan
Menurut Rustiadi et al.(2005), di Indonesia berbagai konsep nomenklatur
kewilayahan seperti Wilayah, kawasan, wilayah, regional, area, ruang dan istilah-
istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan
pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman
yang berbeda-beda. Ketidak konsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan
kerancuan pemahaman dan sering membingungkan.
Lebih jauh Rustiadi et al.(2005) menjelaskan, secara teoritik tidak ada
perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan. Kawasan dan wilayah.
Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region).
Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan
fungsional suatu unit wilayah.
Karena itu definisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik
hubungan dari fungsi-fungsi dan komoponen-komponen dalam suatu unit
wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional. Dengan semikian, setiap kawasan atau sub kawasan memiliki
fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu
sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
Pengertian wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-
batas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya
masalah-masalah didalamnya. (Isard 1975 dalam Rustiadi et al. 2005). Menurut
(Glasson 1990 dalam Rustiadi et al. 2005), wilayah sebagai kesatuan area
geografis yang menggambarkan hubungan ekonomi, administrasi, formulasi dan
implementasi dari pembuatan perencanaan dan kebijakan masyarakat dengan
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.
Selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang
penataan ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional.
Sedangkan pengertian kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung
dan budidaya. Sementara itu pengertian wilayah walaupun tidak disebutkan
32
secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan
aspek administratif.
Menurut Budiharsono (2001), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit
geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung
secara internal. Selanjutnya dijelaskan bahwa wilayah dapat dibagi menjadi 4
jenis yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogeneous region), adalah wilayah
yang dipandang dari satu aspek/kriteria mempunyai sifat/ciri-ciri yang relatif sama
misal dari aspek ekonomi struktur produksi dan konsumsi homogen. (2) wilayah
nodal (nodal region), adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai
ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah belakangnya (hinterland), (3)
wilayah perencanaan (planning region / programming region), adalah wilayah
yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi
dan; (4) wilayah administratif (administrative region), adalah wilayah yang batas-
batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau
politik, seperti: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan RT/RW.
Terdapat beberapa perspektif dalam memandang wilayah, pertama,
perspektif spatial-fungsionalisme yang memandang wilayah secara fungsional
berdasarkan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah. Dalam hal ini, fungsi bisa
terkait dengan fungsi sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Berbeda dengan
wilayah homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua
komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Kedua,
perspektif Kulturalisme melihat wilayah sebagai teritori yang diatasnya
terbangun komunitas yang membangun konfigurasi budaya. Dalam konteks
perspektif ini tumbuhnya aktivits sosio-ekonomi atau kehidupan secara umum
disebabkan oleh adanya interaksi antara manusia dan sumberdaya alam lokal
sepanjang waktu. Ketiga, Perspektif Pengaturan-Institutionalisme memandang
wilayah sebagai kesatuan kelembagaan pengaturan, legislasi, eksekusi, atau
manajemen pembangunan wilayah.
Berbagai konsep nomenklatur kewilayahan banyak dipergunakan dan
saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki
bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda (Matriks 2.2).
33
Matriks 2.2. Definisi Nomenklatur Kewilayahan
KONSEP DEFINISI
WILAYAH
• Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional.
• Menurut Budiharsono (2001), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal.
• Menurut Isard (1975) dalam Rustiadi et al (2005), Pengertian wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya masalah-masalah didalamnya.
• Menurut Glasson (1990) dalam Rustiadi et al (2005),, wilayah sebagai kesatuan area geografis yang menggambarkan hubungan ekonomi, administrasi, formulasi dan implementasi dari pembuatan perencanaan dan kebijakan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut
KAWASAN Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan
budidaya (Undang-undang Nomor 26 tahun 2007)
TERITORIAL Tempat yang dapat berwujud sebagai suatu Negara, Negara bagian , provinsi atau distrik dan perdesaan (Murty, 2000 dalam Rustiadi , et al. 2005)
REGIONAL/DAERAH Umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
RUANG/SPASIAL Secara geofisik: Sebagai tempat kehidupan (Biosphere): Tempat Kehidupan Alamiah geosphere (permukaan kulit bumi hingga kedalaman ± 3 m dalam tanah dan ± 200 m dpl) atmosphere (hingga kira-kira 30 m diatas permukaan tanah). Tempat kehidupan yang dibatasi teknologi manusia batas ruang dimana teknologi manusia mampu menjangkau / mengakses / mengeksplorasi batas terbawah geosphere dan batas atmosphere / luar angkasa (Rustiadi, et al, 2005)
sumber: Rustiadi, et al,( 2005), Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Pembangunan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam
rangka mengembangkan atau mengadakan perubahan-perubahan kearah
keadaan yang lebih baik. Selanjutnya di jelaskan bahwa teori pembangunan
pada awalnya adalah teori pembangunan ekonomi yang merupakan suatu
34
rangkaian usaha dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa.
Sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi dunia, teori pembangunan
ekonomi tersebut berkembang kearah pendekatan politik, sosial budaya dan
pendekatan menyeluruh pada setiap aspek kehidupan (holistik). Pembangunan
harus dipandang sebagai suatu proses multi dimensional yang mencakup
berbagai macam perubahan mendasar atas struktur sosial,sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta
pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem
sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan
keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya
untuk bergerak maju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara
material dan spiritual (Todaro, 2000). Selanjutnya dijelaskannya pula bahwa
pembangunan wilayah bertujuan untuk mencapai pertumbuhan perdapatan
perkapita yang cepat, penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, pemerataan
pendapatan, memperkecil disparitas kemakmuran antar wilayah/regional serta
mendorong transformasi perekonomian yang seimbang antara sektor pertanaian
dan industri melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarianya (sustainable).
Pemerataan pembangunan dalam suatau wilayah menjadi sangat penting
untuk menghindari hal-hal yang dapat menghambat pembangunan.
Pemerataaan pembangunan (equity) bukan berarti identik dengan persamaan
pembangunan (equality), tetapi lebih kearah adanya keseimbangan yang
proporsional antara kemajuan suatu wilayah dengan wilayah lainnya, sesuai
dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. Potensi suatu wilayah
dalam konteks regional menyangkut tingkat kandungan sumberdaya alam,
kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia sampai kepada letak geografis suatu
wilayah. Sedang kondisi suatu wilayah menyangkut keadaan infrastuktur sampai
kepada jumlah penduduk yang merupakan asset sekaligus tujuan pembangunan
agar tercapai kehidupan yang sejahtera (Hadi,2001).
Penerapan otonomi daerah sudah saatnya untuk mengembangkan
konsep pembangunan yang mampu mengurangi disparitas antara wilayah secara
lebih menyeluruh melalui pembangunan inter-regional yang berimbang hal ini
diperlukan karena perkembangan suatu wilayah sangat terkait dengan wilayah
35
lainnya. Pembangunan inter-regoional yang berimbang adalah suatu bentuk
sinergi pembangunan antar wilayah dimana interaksi antara wilayah tersebut
adalah dalam hubungan saling memperkuat dan nilai tambah yang terbentuk
dapat terbagi secara adil (Rustiadi et al., 2005)
Menurut Ditjen Bangdes (1999 dalam Supardian 2005), tujuan
pembangunan desa pada umumnnya adalah: (1) meningkatkan taraf hidup
masyarakat dengan segala aspek, baik bersifat fisik maupun mental spiritual, (2)
meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan dalam
memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia, (3) menumbuhkan swadaya
gotong royong, kemandirian dan keswasembadaan masyarakat dalam proses
pembangunan di desa sehingga tidak terlalu tergantung kepada pemerintah.
Pembangunan ekonomi perdesaan sebagai bagian dari pembangunan
ekonomi wilayah, tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan sesuatu, dalam
bentuk peningkatan taraf hidup sebahagian masyarakat desa, terealisasinya
berbagai prasarana dan sarana yang memperluas pelayanan dasar kepada
masyarakat desa. Meningkatnya taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat
ditandai dengan meningkatnya konsumsi sebagai akibat peningkatan
pendapatan dan meningkatnya pendapatan ini sebagi akibat dari meningkatnya
produksi. Proses kesejahteraan tersebut hanya dapat terwujud apabila
memenuhi asumsi-asumsi pembangunan yaitu kesempatan kerja sudah
dimanfaatkan secara penuh (full employment), semua orang mempunyai
kemampuan yang sama (equal productivity) dan setiap pelaku ekonomi bertindak
rasional (rational-efficient)
2.4. Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam
Selama lebih dari 30 tahun, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
dilakukan dengan pola yang sentralistik dan cenderung eksploitatif sehingga
menimbulkan berbagai ketidak adilan ditengah masyarakat. Semangat otonomii
daerah membawa visi baru untuk mengubah pola-pola tersebut dan berusaha
menata pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, mengingat semakin
menipisnya sumberdaya alam di Indonesia.
Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakan roda
pembangunan disuatu daerah, baik dalam konteks negara, provinsi ataupun
kabupaten. Oleh karenanya aspek pemanfaatan sumberdaya alam merupakan
36
suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat
kontribusi dalam pembentukan modal pembangunan.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan melalui pembangunan
mempunyai andil yang cuku besar dalam menggerakan roda perekonomian.
dalam menjamin kelangsungan pembangunan, maka pengelolaan sumberdaya
alam perlu dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan fakor ekologis
dalam rangka mengurangi akibat yang akan merugikan. Pengelolaan
sumberdaya alam dilakukan untuk mencapai derajat keadilan dan kesejahteraan
sosial-ekonomi yang lebih baik (better and sustainable socio-economic standard
of living), serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan
(sustainable natural resources and environmental).
Jumlah sumberdaya alam yang semakin menyusut menjadikannya
sebagai barang langka dan menjadi sumber pendapatan daerah yang penting,
oleh karena itu harus dikelola oleh pihak yang berkompeten. Penduduk lokal
dianggap tidak akan berkompeten dalam mengelola sumberdaya alam yang ada
di wilayahnya. Apalagi sumberdaya alam tersebut dianggap sangat penting
sehingga perlu pengaturan dari tingkat pusat, maka wilayah tempat dimana
sumberdaya alam itu berada seringkali terpinggirkan dan tidak mendapat
manfaat dari sumberdaya alam yang melimpah diwilayahnya, hal ini akan
mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengelola
sumberdaya alam tersebut.
Untuk mengurangi tingkat konflik yang terjadi maka pengelolaan
sumberdaya alam dalam pelaksanaannya harus bermitra dengan masyarakat
lokal. Kemitaraan merupakan upaya bersama untuk memperkuat kamampuan
membangun kemandirian. Pola kemitraan ini muncul sebagai sebuah respon
atas tuntutan kenutuhan atas manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang
menuntut lebih demokratis dan lebih mengakui perluasan akses bagi masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya alam. pengelolaan bersama sumberdaya alam
merupakan suatu pendekatan yang menyatukan sistem-sistem pengelolaan pada
tingkat lokal dan negara.
Sundawati dan Trison (2006) menyatakan, berbagai bentuk pengelolaan
bersama dapat merupakan representasi dari berbagai tingkat partisipasi, masing-
masing menyiratkan tingkatan kekuatan yang dimiliki pemerintah, masyarakat,
perusahaan atau pihak terkait lainnya. Dalam merumuskan sebuah konsep
pengelolaan bersama, ada banyak alasan yang dapat diberikan mengapa harus
37
menyertakan masyarakat karena memungkinkan: 1) merumuskan persolan
bersama lebih efektif, 2) mendapatkan informasi dan pemahaman diluar faktor
ilmiah, 3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang dapat diterima dan
mempertimbangkan kepentingan semua pihak, 4) membentuk perasaan memiliki
terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan, 5)
merumuskan persoalan dengan lebih efektif.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam maka kebijakan yang harus
dibangun untuk mengolah dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya
dengan memperhatikan hak dan kewajiban pada tingkatan individual, komuniti
dan negara atas dasar prinsip keberlanjutan (sustainability). Mengingat
keragaman yang besar dalam hal strategi pengelolaan sumberdaya alam serta
kondisi sosial-budaya komunitas-komunitas penggunanya, maka penetapan
batas-batas wilayah pengelolaan seyogianya memperhatikan kondisi ekologi
setempat dengan melibatkan partisiapasi komuniti pengguna.
Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar perlu memperhatikan
kelangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan penduduk setempat,
pembagian hasil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup yang layak
bagi kemanusiaan serta dapat meningkatkan pembangunan dan pengembangan
wilayah dimana sumberdaya alam itu berada.
Walaupun Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam
menggerakan roda pembangunan disuatu daerah, tetapi dalam pelaksanaannya
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kebijakan, ketersediaan informasi
sumberdaya alam yang akurat, tenaga kerja yang berkualitas serta modal dan
manajemen. (Susanto dan Ismail 2001 dalam Hamzah 2005).
Industri pertambangan merupakan industri yang bersifat ekstraktif, padat
modal dan padat teknologi yang didominasi oleh penanaman modal asing (PMA)
dan tergolong kedalam perusahaan-perusahaan Trans National Corporations
(TNCs). Sebagian besar investasi industri pertambangan di Indonesia adalah
penanaman modal asing (PMA).
Pembangunan ekonomi dengan berbasis industri yang bersifat ekstraktif
dan didominasi oleh investasi asing pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya
perubahan aliran baru yang menyangkut arus pendapatan dan manfaat (benefit)
kepada mayarakat lokal, regional dan bahkan sampai kepada tingkat nasional.
Namun kebanyakan proyek industri ekstraktif belum memberikan manfaat yang
38
sangat besar kepada masyarakat lokal terutama kepada mereka yang tinggal
disekitar proyek tersebut.
Sebagai akibat dari dominannya investasi asing dan kecilnya nilai royalti
yang diterima oleh negara pada sektor ini, menyebabkan keuntungan secara
ekonomi akan terangkat ke negara-negara pemilik saham. dalam hal ini berarti
telah terjadi leakages syndrome, yaitu kebocoran ekonomi lokal berupa
penghisapan rente ekonomi sumberdaya alam ke luar wilayah. Berdasarkan
hasil penelitian Price waterhouse Coopers (PwC) tentang pembelanjaan yang
dilakukan ole 12 perusahaan pertambangan besar di Indonesia sejak 1994-1998,
ternyata hampir 95,3 persen digunakan untuk pembelian lewat impor dan hanya
sekitar 4,7 persen saja yang tinggal di dalam negeri (Jatam 2004 dalam Hamzah
2005).
Berdasarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari
sumberdaya alam pada tahun 2003 diperkirakan mencapai Rp. 49,5 Triliun atau
sekitar 73,9 persen dari total PNBP. Sumbangan tersebut berasal dari
pendapatan sektor-sektor seperti minyak dan gas bumi (94,1%), pertambangan
umum (2,8%), kehutanan (2,4%) dan lain-lain (0,6%). Berdasarkan angka-angka
tersebut sebenarnya kontribusi sektor pertambangan lebih rendah dari sektor
kehutanan karena kontribusi sektor kehutanan tersebut hanyalah dari nilai guna
langsung yang hanya 5-7% dari seluruh nilai hutan (Kartodihardjo,2004).
Sebagai akibat dari dominannya investasi asing juga dapat menyebabkan
terjadinya dependency syndrome yaitu berupa ketergantungan ekonomi lokal
pada investasi asing yang menyebabkan kemiskinan makin parah akibat
industrialisme.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Todaro (1999) bahwa perusahaan-
perusahaan TNCs senantiasa mencari peluang ekonomi yang paling
menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberikan perhatian
kepada masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan lonjakan
pengangguran.
Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar.
Hal ini diperlukan mengingat area pengelolaan sumberdaya panas bumi berada
pada wilayah perdesaan yang aksesibilitas masyarakatnya rendah karena
berada jauh dari pusat Pemerintahan. Letak yang jauh ini sering menjadi
penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga
39
tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga
dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang.
Teori yang dikemukakan oleh Christaller (1930) dalam Rustiadi et.al
(2005) merupakan landasan teori yang dapat menjelaskan pembangunan
wilayah dalam hubungannya dengan lokasi industri dan pertumbuhan
perkotaan yang berkaitan dengan pelayanan perkotaan (Urban Services).
Menurut teori christaller, pertumbuhan dari kota bergantung pada
spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangakan tingkat
permintaan akan pelayanan perkotaan oleh wilayah sekitarnya akan
mementukan kecepatan pertumbuhan kota atau tempat pemusatan tersebut.
Dengan kata lain dikemukakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah perkotaan
adalah fungsi dari jumlah penduduk dan tingkat pendapatan wilayah
belakangnya (hinterland), dan laju atau tingkat pertumbuhannya tergantung pada
laju dari peningkatan permintaan wilayah belakang atas barang dan pelayanan
perkotaaan.
Von Thunen (1826) dalam Rustiadi et al. (2005) telah mengembangkan
hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola
penggunaan lahan. Menurut Von Thunen, jenis pemanfaatan lahan dipengaruhi
oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pada aksesibilitas relatif.
Weber (1929) dalam Rustiadi et.al (2005), yang pertama kali
mengembangkan teori lokasi, berpendapat bahwa lokasi dari satu perusahaan
tergantung pada rendahnya biaya transportasi dan upah buruh. Tempat dengan
biaya transportasi dan upah buruh yang minimum adalah identik dengan tempat
atau lokasi dengan keuntungan maksimum. Akibatnya, sejak perusahaan
diasumsikan memakasimumkan keuntungan, kriteria pemilihan lokasi
didasarkan pada meminimumkan biaya transportasi dan upah.
Tetapi teori lokasi Weber hanya dapat diterapkan untuk perusahaan yang
tidak berbasis sumberdaya alam. Perusahaan pertambangan atau perusahaan
berbasis sumberdaya alam tidak dapat menerapkan teori weber tersebut, hal ini
dikarenakan sifat dari sumberdaya alam yang diekploitasi tidak dapat
dipindahkan ketempat lain dan hanya dapat di ekstrak di tempat dimana
sumberdaya itu berada. Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan
pertambangan harus melakukan prosese produksinya di wilayah-wilayah yang
jauh dari pusat pemerintahan yang dianggap sebagai pusat pertumbuhan,
sehingga wilayah tersebut relatif lebih tertinggal dalam hal kualitas sumberdaya
40
manusia, tingkat kesejahteraan serta dalam ketersediaan infra struktur.
Akibatnya harapan masyarakat lokal dan pemerintah daerah menjadi lebih besar
kepada perusahaan pertambangan untuk mengatasi keterbelakangan dalam
pembangunan.
2.5. Industri Panas Bumi (geothermal)
Menurut Undang-Undang nomor 27 tahun 2003 tentang Panas bumi,
panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air
panas,uap air dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara
genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi dan
untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.
Industri panas bumi adalah industri yang bergerak dalam bidang
eksplorasi dan eksploitasi panas bumi melalui pengeboran sumur-sumur
penghasil uap panas yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan energi listrik
dan berbagai keperluan lainnya. Panas bumi berasal dari magma dalam perut
bumi yang memanasi batuan yang menyelimutinya. Ketika resapan air dari
permukaan bumi bertemu dengan batuan ini akan mengalami pemanasan
membentuk air panas yang mengalir kembali ke permukaan melalui bidang
retakan dan patahan di lapisan batuan kulit bumi. Apabila air panas dapat
muncul kepermukaan bumi dan bebas dari tekanan hidrostatis maka akan
berubah menjadi uap panas dan muncul sebagai geyser, kubangan lumpur
panas atau mata air panas. Air panas yang tidak dapat mengalir ke permukaan
bumi karena terperangkap di dalam cap rock di atas batuan panas membentuk
reservoir yang mengurung air panas dengan temperatur dan tekanan yang
sangat tinggi, maka untuk memperoleh uap panas tersebut dilakukan
pengeboran (drilling).
Potensi energi panas bumi di Indonesia yang mencapai 27 GWe sangat
erat kaitannya dengan posisi Indonesia dalam kerangka tektonik dunia. Ditinjau
dari munculnya panas bumi di permukaan per satuan luas, Indonesia menempati
urutan keempat dunia, bahkan dari segi temperatur yang tinggi, merupakan
kedua terbesar. Sebagian besar energi panas bumi yang telah dimanfaatkan di
seluruh dunia merupakan energi yang diekstrak dari sitem hidrothermal, karena
pemanfaatan dari hot-igneous system dan conduction-dominated system
memerlukan teknologi ekstraksi yang tinggi. Sistem hidrothermal erat kaitannya
dengan sistem vulkanisme dan pembentukan gunung api pada zona batas
41
lempeng yang aktif di mana terdapat aliran panas (heat flow) yang tinggi.
Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng aktif yang memungkinkan panas
bumi dari kedalaman ditransfer ke permukaan melalui sistem rekahan. Posisi
strategis ini menempatkan Indonesia sebagai negara paling kaya dengan energi
panas bumi sistem hidrothermal yang tersebar di sepanjang busur vulkanik.
Sehingga sebagian besar sumber panas bumi di Indonesia tergolong mempunyai
entalpi tinggi.
Panas bumi merupakan sumber daya energi baru terbarukan yang ramah
lingkungan (clean energy) dibandingkan dengan sumber energi fosil. Dalam
proses eksplorasi dan eksploitasinya tidak membutuhkan lahan permukaan yang
terlalu besar. Energi panas bumi bersifat tidak dapat diekspor, maka sangat
cocok untuk untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Sampai tahun
2004, sebanyak 252 area panas bumi telah di identifikasi melalui inventarisasi
dan eksplorasi. Sebagian besar dari jumlah area tersebut terletak di lingkungan
vulkanik, sisanya berada di lingkungan batuan sedimen dan metamorf. Dari
jumlah lokasi tersebut mempunyai total potensi sumber daya dan cadangan
panas bumi sebesar sekitar 27.357 MWe. Dari total potensi tersebut hanya 3%
(807 MWe) yang telah dimanfaatkan sebagai energi listrik dan menyumbangkan
sekitar 2% dalam pemakaian energi listrik nasional. (Wahyuningsih 2005).
Gambar 2.2. Peta Distribusi Lokasi dan Wilayah Pertambangan Panas Bumi
(Wahyuningsih,2005).
Sebanyak 252 lokasi panas bumi di Indonesia tersebar mengikuti jalur
pembentukan gunung api yang membentang dari Sumatra, Jawa, Nusa
42
Tenggara, Sulawesi sampai Maluku (gambar 2.2). Dengan total potensi sekitar
27 GWe, Indonesia merupakan negara dengan potensi energi panas bumi
terbesar di dunia. Sebagai energi terbarukan dan ramah lingkungan, potensi
energi panas bumi yang besar ini perlu ditingkatkan kontribusinya untuk
mencukupi kebutuhan energi domestik yang akan dapat mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi fosil yang semakin menipis.
Potensi sebesar ini diharapkan dapat memenuhi target pengembangan panas
bumi untuk membangkitkan energi listrik sebesar 6000 MW di tahun 2020.
Energi panas bumi merupakan sumber energi alternatif yang dapat
diandalkan ditengah kelangkaan energi yang bersumber dari minyak bumi dan
gas alam karena Energi panas bumi memiliki karakteristik antara lain :
1. Dapat terbarukan, artinya energi panas bumi akan tetap ada selama bumi
ada sehingga jumlahnya hampir tak terbatas;
2. Energi yang bersih dan ramah lingkungan karena dengan teknik reinjeksi air
limbah ke dalam perut bumi akan membawa manfaat ganda yaitu selain
untuk menghindari adanya pencemaran air, juga diperlukan untuk mengisi
kembali reservoir air dalam perut bumi.
3. Pada umumnya ladang-ladang panas bumi memunculkan fenomena alam yang sangat unik dan indah sehingga potensial untuk dikembangakan sebagai wilayah tujuan wisata.
Terbatasnya jumlah pasokan energi yang tersedia, mengakibatkan
gencarnya kegiatan eksplorasi sumber-sumber energi baru untuk memenuhi
kebutuhan terhadap energi tersebut, yang dalam prosesnya sering menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan. Hasil penelitian terhadap penggunaan energi
listrtik menunjukan bahwa penggunaan energi mengalami perubahan sebesar
7,3 persen pertahun. Penggunaan energi fosil masih mendominasi yaitu sebesar
95 persen. Sedangkan energi terbarukan (renewable) yaitu panas bumi masih
berkisar 5 persen. Pengelolaan energi selama 25 tahun terakhir menunjukan
tidak adanya peningkatan yang besar pada pangsa energi terbarukan, ini berarti
eksplorasi dan eksploitasi energi terbarukan di Indonesia masih berpotensi besar
untuk dikembangkan dimasa yang akan datang.
Industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah desa
Kabandungan kecamatan Kabandungan kabupaten Sukabumi dikelola oleh CHV
, CHV merupakan pemegang kontrak proyek panas bumi di Gunung Salak.
Kontrak ini ditandatangani pada tahun 1982 antara Pertamina, PLN dan Unocal
Geothermal Indonesia,Ltd. (UGI). Dari tahun 1983 –1986 dilakukan proses studi
43
rona awal lingkungan dan pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke
Pertamina. Tahun 1989 penyusunan AMDAL dan mengajukan proposal
pengembangan sebesar 110 MW ke Pertamina. Pada tahun 1994, UGI memulai
operasi secara komersial sebesar 110 MW, kemudian pada tahun yang sama
diajukan proposal pengembangan ke Pertamina sebesar 220 MW, sehingga
pada tahun 1997 UGI melakukan operasi secara komersial sebesar 330 MW.
Pada tahun 1998–2002 dilakukanlah renegosiasi kontrak dan akhirnya pada
bulan Juli 2002 kontrak diamandemen dan disetujui oleh para pihak. Kemudian
pada tahun 2002 UGI diakuisisi oleh CHV (Azof.,2002 ).
2.6. Dampak Industri Pertambangan
Setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan akan selalu membawa
dampak terhadap masyarakat baik dampak positif maupun negatif. Begitu pula di
bidang pertambangan, dampak-dampak timbul akibat industrialisasi tersebut
berupa dampak sosial,ekonomi maupun lingkungan.
Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi
yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan
pertambangan didaerah, otomatis akan membentuk komunitas baru dan
pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah
kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian
akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah.
Kontribusi perusahaan pertambangan terhadap pembangunan secara
nasional melalui penerimaan negara sangat besar, namun terhadap
pengembangan masyarakat sekitar dan pembangunan wilayah belum maksimal,
program pengembangan masyarakat dan program pembangunan lainnya belum
merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama
pasca pertambangan, tetapi masi sebatas untuk menghilangkan konflik antara
masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan.
Menurut Muhammad (2000) dampak positif dari kegiatan pertambangan
adalah:
1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional.
2. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)
3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat sekitar
4. Meningkatkan usaha mikro masyarakat sekitar
44
5. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat sekitar
6. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekitar,
Sedangka dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan adalah:
1. Terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup
2. Penurunan Kualitas hidup masyarakat lokal
3. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan
4. Terjadinya pelanggaran HAM
Saleng (2004) dalam Hamzah (2005) menyatakan bahwa pengusahaan
pertambangan di wilayah yang relatif terpencil atau wilayah yang baru dibuka,
seringkali masyarakat pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta memiliki
semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli
setempat. Perbedaan kesejahteraan dan semangat bersaing ini pada akhirnya
akan menjadi penyebab konflik sosial antara masyarakat asli dengan masyarakat
pendatang. Ketidakadilan akses dan ketidakmerataan pembagian keuntungan
ekonomi wilayah yang diterima oleh lokalitas berpotensi memicu terjadinya
konflik sosial.
Keberadaan industri pertambangan disamping memberikan dampak
terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan juga berpotensi untuk tumbuh dan
berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai
budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pada umumnya lokasi
industri pertambangan terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat
pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak memiliki keahlian (skill)
tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan teknologi dan arus
informasi sehingga menyebebkan masyarakat disekitar perusahaan
pertambangan kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan pekerja-pekerja yang
berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan (skill) dan pengalaman
dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk
bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar daerah akan menimbulkan
kecemburuan sosial.
Untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan tersebut maka program
pengembangan masyarakat menjadi suatu pilihan untuk meminimalisir dampak
negatif dari kegiatan pertambangan dengan strategi pengembangan masyarakat
yang berorientasikan pada upaya reduksi intensitas dampak, strategi netralisasi
dampak negatif, strategi remediasi atau kuratif (pengobatan).
45
2.7. Hubungan Industri dan Pengembangan Masyarakat
Menurut Parker (1992) dalam Supardian (2005) dalam arti luas industri
yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang
terlibat didalamnya sangat mempengaruhi masyarakat dimana industri itu
berada. Pengaruh tersebut dapat berupa nilai-nilai, pengaruh fisik dan usaha
industrial interest group untuk mempengaruhi masyarakat. Begitu juga dengan
industri panas bumi, kehadiran industri panas bumi dapat menimbulkan
perubahan dalam masyarakat, seperti terjadinya diversifikasi nafkah, perubahan
lingkungan dan peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat sekitar.
Sebagai nilai baru, perubahan yang muncul akan beradaptasi dengan
karakteristik lokal yang sejak lama mendasari pola interaksi kehidupan
masyarakat perdesaan yang masih kental. Agar tercipta perubahan yang
konstruktif dan tidak menimbulkan resistensi masyarakat, maka diperlukan
partisipasi dan inisiatif lokal untuk menciptakan kesesuaian dengan karakteristik
lokal hal ini dapat dilakukan melalui progrsm pengembangan masyarakat.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya
terhadap sumberdaya alam di era otonomi daerah yang selama ini dikelola oleh
perusahaan, membuat masyarakat menjadi sangat kritis dan reaktif ada hal-hal
kecil pasti dapat menjadi pemicu kereaktifan mereka, karena mereka
mengharapkan sesuatu dari Perusahaan. Sehingga dalam rangka mengamankan
operasi perusahaan dan membina hubungan dengan masyarakat lokal maka
perusahaan mulai menyadari betapa pentingnya memberdayakan masyarakat
sekitar. Banyak perusahaan yang sudah mulai menyadari bahwa tanggung
jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
insentif bukan beban.
Dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi, pasal
29 huruf f dinyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) panas
bumi memiliki kewajiban melaksanakan program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat. UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.
UU yang mengatur lebih rinci tentang pelaksanaan CSR yang kemudian
dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007
tentang petunjuk pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL),
yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR.
46
Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL)
Dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)
disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan
dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan
lingkungan (Pasal 74 ayat 1). sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan
tersebut diatas, maka industri pertambangan harus melaksanakan program
pengembangan masyarakat.
Selama ini CSR mendapatkan tiga pemaknaan atau labelling yang
berbeda-beda: (1) sebagai corporate image building, yaitu sekedar memperbaiki
citra perusahaan agar seolah-oleh pro-rakyat miskin (pro-poor), (2) sebagai
aksesories perusahaan agar mendapatkan legitimasi sosial lebih kuat di mata
masyarakat luas, (3) benar-benar ingin mewujudkan komitmen sosial dan
pemberdayaan masyarakat lokal, menempatkan CSR sebagai nilai inti dan
menganggap sebagai suatu keharusan bahkan kebutuhan dan menjadikannnya
sebagai modal sosial.
Diperlukan perubahan pendekatan pengelolaan pengembangan
masyarakat yang lebih tanggap terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan
pendekatan tersebut didasari oleh tuntutan internal perusahaan (internally driven)
yang pada akhirnya menyadari bahwa tanpa perubahan/inovasi sistem, maka
perusahaan akan terjebak dalam jejaring tuntutan jangka pendek yang sangat
tidak strategis.
Perusahaan memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sosial
sekitar yang dalam pelaksanaannya tidak hanya dimaksudkan untuk membangun
Image positif (image building) perusahaan tetapi juga untuk memberikan manfaat
terbesar baik bagi pengembangan masyarakat lokal maupun peningkatan
kualitas lingkungan sekitarnya.
Mantan Perdana Mentri Thailand, Anand Panyarachun dalam Asian
Forum on Corporate Sosial Responsibility tanggal 18 September 2003 di
Bangkok, mengemukakan bahwa CSR dipandang sebagai suatu keharusan
untuk membangun citra yang baik dan terpercaya bagi perusahaan.
Melaksanakan praktik-praktik yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan
sosial akan meningkatkan nilai pemegang saham dan berdampak pada
peningkatan prestasi keuangan serta menjamin sukses berkelanjutan bagi
perusahaan.
47
Dalam pelaksanaannya CSR menekankan pada tiga aspek utama, yaitu:
pertama, aspek sosial yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan
perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang
dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar,
kedua, aspek ekonomi yang menekankan bagaimana perusahaan dapat
membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan
taraf hidup masyarakat; ketiga, aspek kelestarian lingkungan yang menekankan
bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan
sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang
perlu dilaksanakan bersama-sama.
CSR seharusnya dijadikan nilai inti (core value) dalam menjalankan
usaha sebagai bentuk investasi jangka panjang, tidak hanya semata-mata
diartikan sebagai beban biaya perusahaan serta merupakan modal sosial yang
diperlukan oleh perusahaan untuk memperoleh citra positif dan kepercayaan
masyarakat sehingga perusahaan secara politis acceptable karena memperoleh
legitimasi dan izin operasional dari masyarakat. Kelancaran usaha tersebut akan
berimplikasi kepada peningkatan prestasi usaha dari perusahaan yang
bersangkutan.
Kehadiran industri pada suatu wilayah memberikan pengaruh terhadap
masyarakat sekitarnya. Dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi,
ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya telah sangat
mempengaruhi masyarakat. Pegaruh tersebut bisa berupa nilai-nilai, pengaruh
fisik terhadap masyarakat atau usaha industrial interest group untuk
mempengaruhi masyarakat.
Pengaruh industri terhadap masyarakat sekitar menurut Smelser dalam
Schneider (1984), seperti yang dikutip oleh Wahyudin (2005) terdapat dalam
empat proses yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu:
1. Dalam bidang teknologi, masyarakat mengalami perubahan dari penggunaan
teknik-teknik yang sederhana dan tradisional kearah penggunaan teknologi
dan pengetahuan ilmiah;
2. Dalam bidang pertanian, masyarakat sedang beralih dari pertanian untuk
penggunaan (subsisten) kearah produksi hasil pertanian untuk pasaran;
3. Dalam bidang industri, masyarakat sedang mengalami suatu peralihan dari
penggunaan tenaga manusia dan binatang ke industrialisasi yang
sebenarnya. Orang-orang bekerja untuk upah pada mesin-mesin yang yang
48
menghasilkan barang dagangan yang dijual di kalangan yang
menghasilkannya;
4. Dalam susunan ekologi perkembangan masyarakat bergerak dari
sawah/ladang dan desa ke pemusatan-pemusatan di kota (terjadi urbanisasi).
2.8. Karakteristik Lokal
Karakteristik lokal adalah karakteristik suatu masyarakat desa berupa
nilai-nilai budaya dan norma yang terbentuk sejalan dengan sejarah
perkembangan desa itu sendiri dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Pembentukan karakteristik tersebut dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang
mendasari terbentuknya suatu persekutuan masyarakat sehingga membentuk
suatu desa karena hubungan antar manusia dalam persekutuan memerlukan
tatanan nilai dan norma untuk menjaga kelestarian dan kepentingan hidup
bersama mereka. Dalam perkembangannya, nilai-nilai dan norma yang paling
dihargai dalam persekutuan karena dibutuhkan dan mampu menjadi pengikat
dalam masyarakat (As’ari 1993)
Lingkungan alami sebagai lingkungan hidup manusia yang sangat
bervariasi kondisi dan letak geografisnya juga memberi warna kepada watak
penghuninya sehingga memberikan suatu ciri khas yang lain. Mengingat
karakteristik lokal dipengaruhi oleh kondisi ekologi desa, maka karakteristik lokal
suatu desa berbeda dengan desa lainnya, karakteristik masyarakat desa
pegunungan akan berbeda dengan masyarakat desa pantai atau masyarakat
perkotaan.
Dalam lingkungan masyarakat Sunda, sejak lama dikenal nilai-nilai
budaya yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakatnya yang antara lain
diwujudkan dalam falsafah silih asah, silih asih dan silih asuh. Secara harfiah
falsafah tersebut memiliki arti saling berbagi pengetahuan saling mengasihi,
saling menjaga diantara warga masyarakat. Nilai-nilai budaya masyarakat
Sunda yang melekat juga dapat terlihat dalam berbagai ungkapan peribahasa
atau babasan seperti sabilulungan dasar gotong royong (kerjasama yang
harmonis dalam mengerjakan berbagai kegiatan pembangunan/kemasyarakatan
secara bergotong royong), sareundek saigel sabobot sapihanean (musyawarah
dalam memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan) dan nulung kanu butuh
nalang kanu susah (membantu yang memerlukan menolong yang kesusahan).
49
Potensi-potensi lokal yang terdapat dalam karakteristik lokal masyarakat, apabila
dilakukan upaya untuk menggali, membangkitkan dan mengaktualisasikan
potensi tersebut dapat menjadi gagasan-gagasan strategis yang diperlukan
dalam pengembangan masyarakat.
Karakteristik lokal merupakan aspek penting dalam pengembangan
masyarakat, karena dengan mengakomodasi karakteristik lokal sebagai
komponen dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat akan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan. Permasalahan dalam partisipasi pada
saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat
berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh
manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi.
Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku
prinsip pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak
manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan
tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.
Banyak program pemberdayaan yang berhasil dengan mengakomodasi
karakteristik lokal ini, misalnya program pemberdayaan yang diinisiasi oleh
pemerintah yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program PPK
menerapkan pola-pola gotong royong dan swadaya masyarakat pada tingkat
pelaksaan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh pada tahap
perencanaannya. PPK bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
melalui bebagai tahapan kegiatan. Menurut data dari MIS-Konsultan
Management Nasional PPK (2006), PPK hingga saat ini telah berhasil
meningkatkan akses ke pasar, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan sumber
air bersih di lebih dari 34.100 desa termiskin (lebih dari separuh jumlah desa) di
Indonesia. Prasarana desa yang di bangun melalui metode PPK terbukti sangat
hemat dalam pembiayaan, rata-rata 56% lebih murah dari pekerjaan sejenis yang
dibangun oleh pemerintah maupun kontraktor. hal ini terjadi karena adanya
partisipasi masyarakat yang besar karena mereka merasa karakterisitik lokal
yang mereka miliki sudah diakomodir oleh program ini.
2.9. Partisipasi Masyarakat
Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang
sangat penting. Keberhasilan pengembangan masyarakat akan sangat di
pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi
50
masyarakat, maka semakin tinggi keberhasilan program. Pergeseran
pembangunan yang berorientasi produksi menuju pembangunan yang
berorientasi publik, memerlukan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya.
Jnanaorta Bhattacharyya (1972) mendefinisikan partisipasi sebagai
pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi tersebut terdiri atas
dua macam, yaitu partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu
masyarakat perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi
yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron atau
antara masyarakat dengan pemerintah dinamakan partisipasi vertikal (seperti
dikutip oleh Taliziduhu Ndaraha, 1987)
Menurut derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, maka
partisipasi dapat ditemukan dalam banyak bentuk. Menurut Bass et al.,1995
dalam Hobley, 1996 seperti yang dikutip oleh Tadjudin (2000), partisipasi yang
diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau
kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat .
Lebih lanjut Tadjudin(2000) menjelaskan, menurut Bass et al.(1995)
dalam Hobley, (1996) ,terdapat beberapa tipologi partisipasi masyarakat
1. Partisipasi Manipulatif, partisipasi masyarakat ditunjukan dengan
penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil
tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki
kewenangan yang jelas.
2. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini
merupakan tindakan sepihak dari administrator ata manager proyek tanpa
menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi
atau pendapat yang dihargai oleh administrator atau manajer proyek adalah
pendapat para Profesional.
3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak
luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan
melakukan analisis. Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan. Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak
berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat.
4. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara
memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga
kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan
51
lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk
melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan.
5. Partisipasi Fungsional, partisipasi masyarakat dipandang oleh ihak luar
sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi
biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek
yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap
sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan
eksternal.
6. Partisipasi Interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis,
pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan
pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak
dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek.
7. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk
melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif
dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah
teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut
pendayagunaan sumberdaya.
Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut diatas, maka bentuk partispasi
yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri migas adalah
partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal.
Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi
partisipasi lainnya, sesuai dengan kondidi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut
adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat masyarakat untuk menjadi
agent of change-nya. Sementara kebanyakan perusahaan pertambangan
beroperasi di daerah pedalamam yang kondisi sumberdaya manusia
masyaraktnya masih rendah. Sehingga tipologo-tipolgi tersebut dapat diterapkan
secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal.
Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagaimana
dikemukakan oleh Soetrisno (1995), adalah :
Kerjasama antar rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Karena partisipasi merupakan suatu kerjasama maka dalam asumsi ini tidak diasumsikan bahwa sub sistem disubrordinasikan oleh supra sistem, dan sub sistem adalah sesuatu yang pasif dari pembangunan. Sub sistem diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program pembangunan.
52
Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan dan
keluaran. Sebagai masukan, partisipasi masyarakat dapat berfungsi dalam enam
fase proses pembangunan, yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian
tanggapan terhadap informasi, fase perencanaan pembangunan, fase
pelaksanaan pembangunan, fase penerimaan kembali hasil pembangunan dan
fase penilaian pembangunan. Partisipasi sebagai masukan berfungsi
menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri.
Sedangkan sebagai keluaran, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun serta
berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai
upaya atau program pemerintah.
Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam
pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan
menjadi (1) derajat paling rendah yaitu dimana masyarakat memberikan
konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas
suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan
informasi, dan melakukan analisis.(2) derajat menengah yaitu dimana
masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat
berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan
dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, (3) derajat paling
tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikut-
menentukan arah serta mengelola sendiri pengembangan, masyarakat
mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka
membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah
sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang
kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.
Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi
pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling
tinggi), partisipasi seperti ini akan berkembang pesat jika pemerintah dan LSM
menyediakan kerangka kerja pendukungnya. Untuk menerapkan Self-
management dalam suatu program dibutuhkan proses-proses yang melibatkan
metodologi yang multidisiplin yang membutuhkan proses pembelajaran yang
sistematik dan terstruktur. sebagai kelompok, masyarakat memegang kendali
sepenuhnya atas keputusan-keputusan lokal dan kebijakan tentang
pendayagunaan sumberdaya yang tersedia. Tetapi jika prasyarat yang
diperlukan untuk menerapkan self-management belum tersedia di masyarakat
53
lokal, maka dapat dipraktekkan konsultatif action, dimana melibatkan pihak luar
dalam merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi dan melakukan
analisis.
Pada dasarnya perbaikan kondisi masyarakat dan upaya menemukan
kebutuhan masyarakat dapat menggerakan partisipasi. Oleh karena itu dalam
perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat agar dapat
menggerakan partisipasi, maka upaya yang dilakukan harus : 1) disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt needs); 2) dijadikan stimulasi
terhahap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response)
yang dikehendaki; 3) dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi
membangkitkan tingkahlaku (behavior) yang dikehendaki secara berkelanjutan.
Menurut Marzali (2003) bahwa program pengembangan masyarakat
tergantung kepada ditemukannya ”felt needs” dari komunitas tersebut. Ini
bukanlah hal yang sederhana karena ”felt needs” dari komunitas secara
keseluruhan, belum tentu sama dengan ”felt needs” dari anggota-anggota
komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan komunitas. Selanjutnya ”felt
needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas.
Kegagalan dalam menentukan ”felt needs” dari komunitas akan berakibat
terhadap kegagalan program pengembangan masyarakat. Oleh karenanya
penentuan felt needs dalam program pengembangan masyarakt menjadi sangat
penting, karena menentukan keberhasilan dari program.
Dalam upaya menentukan felt needs tersebut , lebih lanjut Marzali (2003)
menjelaskan, terdapat empat perspektif dalam melihat ”felt needs”: (1) Penilaian
agen pembangunan tentang Community needs dari sudut pandang tujuan sang
pengembang itu sendiri, (2) Penilaian agen pembangunan tentang community
needs yang diperoleh dari pemahaman tentang tujuan komunitas itu, (3)
Penilaian komunitas yang diperoleh dari pengertian mereka tentang tujuan agen
pembangunan, (4) Konsepsi komunitas tentang needs.
Dengan dapat di identifikasikannya kebutuhan yang dirasakan oleh
masyarakat melalui program pengembangan masyarakat, akan membuat
masyarakat tergerak untuk ikut berpartisipasi secara sukarela dalam suatu
kegiatan karena dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan
dirinya sendiri. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
masyarakat tergerak untuk berpartisipasi dalam program pengembangan
54
masyarakat seperti dikemukakan oleh Goldsmith dan Blustain (dalam Taliziduhu
Ndaraha, 1987), adalah :
1. Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan.
2. Partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan.
3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.
4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan.
Sedangkan menurut Sumardjo (2001) dalam Hamzah (2005), kata kunci
yang akan mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu program
pembangunan adalah: pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi
kehidupannya. Manfaat dapat diartikan terpenuhinya kebutuhan ataupun
terbebasnya dari ancaman tertentu; kedua, komunikasi yang efektif diantara
para pelaku yang diharapkan berperan serta dalam program; dan ketiga, adanya
kesukarelaan antara para pelaku dalam berperan serta, semakin besar objek
partisipasi menimbulkan motivasi intrinsik, maka semakin besar derajat
keikutsertaan seseorang dalam program.
Terdapat kaitan yang erat antara partisipasi dan insentif (Soetrisno,1995).
Tanpa suatu insentif maka partisipasi berubah maknanya dari suatu keinginan
manusia untuk ikut secara sukarela dalam suatu kegiatan yang dianggapnya
dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri, menjadi suatu
tindakan paksaan (mobilisasi). Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini
bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi,
melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi
perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian
diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip
pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat
yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu
maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.
2.10. Kelembagaan Lokal
Karsyono (2000) mendefinisikan kelembagaan sebagai “suatu perangkat
aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat”. Sedangkan
Menurut Rustiadi et al. (2005) Kelembagaan (institution), merupakan kumpulan
aturan main (rules of game) dan organisasi yang berperan penting dalam
55
mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan
berkelanjutan (sustainable). Lebih lanjut Rustiadi et al menjelaskan Kelembagaan
berbeda dengan sekedar organisasi. Selama ini sering terjadi kesalahpahaman
bahwa kelembagaan diartikan identik atau dicampur-adukkan dengan sistem
organisasi. Dalam konsep ekonomi kelembagaan (institutional economic), maka
organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang didalamnya
diatur oleh sistem kelembagaan atau aturan main (behavior rule).
Nataatmadja (1993) dalam Hamzah (2005) mejelaskan kelembagaan dan
organisasi tidak bisa dipisahkan, karena organisasi merupakan “perangkat keras”
dan kelembagaan merupakan “perangkat lunaknya”. Demikian pula dengan
pendapat Uphoff (1974), Ia menyatakan bahwa memang antara
kelembagaan/institusi dan organisasi sering membingungkan dan bersifat
interchangeably. Karena ada institusi yang bukan organisasi, organisasi yang
dapat sekaligus dipandang sebagai institusi, dan organisasi yang bukan isntitusi.
Definisi yang dikemukakannya adalah: a). An organization is a structure of roles
formal or informal that are recognized and accepted. b). An institution is a
complex of norms and behaviours that persist over time by serving some socially
valued purposes.
Faktor kelembagaan memegang peranan yang menentukan tingkat
keberhasilan pengembangan masyarakat. Banyak terjadi kasus program
pengembangan masyarakat kurang berhasil karena tidak adanya lembaga
pengelola yang baik. Pembentukan kelembagaan dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu dengan memanfaatkan lembaga yang sudah ada atau membentuk
lembaga yang baru. Hal ini sangat ditentukan oleh dinamika masyarakat itu
sendiri. Pembentukan kelembagaan dilakukan dengan cara memanfaatkan
lembaga yang sudah ada, namun apabila lembaga yang sudah ada tidak dapat
melakukan fungsinya, maka perlu pembentukan lembaga yang baru.
Jaringan kelembagaan lokal perlu dibangun untuk melancarkan
mekanisme kerja dan memfasilitasi munculnya kemitraan dan arus informasi
dinatara lembaga-lembaga yang terkait. Dengan demikian, upaya
pengembangan masyarakat dapat tumbuh denga berbasis pada kapasitas lokal
dan dengan mengaitkannya pada peluang pasar, baik pada tingkat lokal itu
sendiri, regional, nasional maupun ekspor (Sutrisno, Fauzi dan Hariyadi, 2001).
Pengembangan jaringan kelembagaan ini juga akan berkontribusi positif
pada peningkatan kapasitas lokal dalam rangka sinkronisasi pengelolaan
56
program dan investasi yang ada (baik berupa pogram pemerintah,bantuan-
bantuan LSM, program pengembangan masyarakat perusahaan, dan
sebagainya).
2.11. Teori Konflik
Fisher (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki
sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Definisi yang sama juga
dikemukakan oleh Fraser and Hipel (1984) dalam Tadjudin (2005) yang
mendefinisikan konflik sebagai situasi dimana dua atau lebih kelompok berselisih
atas isu-isu atau sumberdaya. Selanjutnya dinyatakan bahwa konflik adalah
pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta
merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Karena itu konflik adalah
sesuatu yang tidak terelakan yang dapat bersifat positif maupun negatif.
Konflik timbul karena ketidakseimbangan antar hubungan-hubungan antar
pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, negara dan semua
bentuk hubungan manusia-sosial, ekonomi dan kekuasaan. Misalnya
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak
seimbang terhadap sumberdaya, serta kekuasaan yang tidak seimbang yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
kemiskinan, penindasan, kejahatan (Fisher 2001).
Jika dilihat dari perspektif ekonomi politik maka penyebab utama konflik
dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik sehingga upaya penyelesaian
konflik harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik, sedangkan jika
dilihat dari pendekatan institusi (Roy 1992), bahwa konflik berkembang antara
institusi birokrasi dan institusi sosial berakar dari kurangnya komunikasi diantara
mereka.
Penyebab utama terjadinya konflik adalah: 1) data, 2) kepentingan, 3)
nilai, 4) hubungan, dan 5) struktur. Konflik akibat data disebabkan oleh
keterbatasan informasi, informasi yang keliru, interpretasi yang berbeda serta
perbedaan pandangan terhadap data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya
kepentingan atau kebutuhan yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara
pihak-pihak yang bertikai. Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria
yang berbeda untuk hasil (outcome) dari suatu konflik yang disebabkan oleh
perbedaan ideologi, kepercayaan agama, pandangan hidup dan gaya hidup.
57
Disamping itu konflik dapat juga terjadi karena adanya hubungan-
hubungan yang tidak harmonis. Konflik ini sebenarnya di anggap tidak perlu
karena biasanya hanya menyangkut emosi yang kuat, komunikasi yang mandeg,
stereotype dan perilaku negatif yang terus berulang. Konflik struktural berkatian
dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran, kendala waktu dan
ruang serta ketimpangan dalam kekuatan/kekuasaan atau kontrol terhadap
sumberdaya.
Dilihat dari wujudnya, konflik dapat di bedakan kedalam tiga wujud konflik,
yaitu konflik yang bersifat tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka
(manifest). Konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak
tampak, tidak sepenuhnya berkembang atau belum terangkat ke puncak-puncak
kutub konflik. Seringkali para pihak yang terlibat tidak menyadari adanya konflik.
Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah
teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas,
tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik
terbuka merupakan konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam
perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin
pula telah mencapai jalan buntu.
Menurut Johson dan Duinker (1993) dalam Wahyudin (225) konflik adalah
sesuatu yang tidak dapat terelakkan yang dapat bersifat positif maupun negatif.
Namun demikian konflik tersebut dapat juga ditangani secara arif dan bijaksana
denga berbagai strategi tertentu yang saling memuaskan semua pihak sehingga
dapat meningkatkan kinerja kelompok atau pihak yag berkonflik. Fenomena
penyelesaian konflik seperti ini lazim diistilahkan dengan manajemen konflik.
Manajemen konflik adalah sautu penanganan proses pembentukan (kemunculan
konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masayarakat
atau organisasi.
Dalam prakteknya sering terjadi distorsi terminilogi, misalnya seorang
pemimpin sengaja menimbulkan situasi konflik, dimana sikap anggota
masyarakat terbagi dua, yaitu yang sejalan dengan pemimpin dan yang oposisi.
Yang sejalan diberi insentif dan yang oposisi disingkirkan. Tindakan pemimpin
seperti itu tidak dapat dikatakan sedang menjalankan manajemen konflik,
melainkan hanya sedang menjalakan manajemen kroni. Situasi konflik dapat saja
diciptakan, namun konflik tersebut harus ditangi secara bijaksana agar dapat
58
meningaktkan kinerja kelompok, dan fenomena ini yang dikategorikan sebagai
manajemen konflik (Anwar, 1999).
Konflik yang terkelola dengan baik dapat mengarahkan keputusan yang
lebih baik, meningkatkan kohesi sosial, merangsang inovasi dan meningkatkan
moral. Selanjutnya Mitchell et al (2000) mengungkapkan bahwa aspek positif
konflik muncul ketika konflik membantu mengindentifikasi sebuah proses
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan dengan efektif,
mempertajam gagasan autu informasi yang tidak jelas dan menjelaskan kesalah
pahaman. Tetapi konflik yang tidak terselesaikan juga akan menyebabkan
kesalah pahaman, ketidakpercayaan, serta bias. Konflik akan menjadi buruk
apabila menyebabkan semakin besarnya hambatan-hambatan untuk saling
bekerjasama antar berbagai piahak.
Menurut Fisher (2001) ada lima pendekatan dalam menangani konflik,
masing-masing tahap akan melibatkan tahap selanjutnya. Kelima tahap tersebut
adalah: 1) pencegahan konflik, yakni upaya yang bertujuan untuk mencegah
timbulnya konflik yang lebih keras, 2) penyelesaian konflik, yaitu upaya yang
mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian, 3)
pengelolaan konflik, yaitu upaya membatasi dan menghindari kekerasan dengan
mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat
konflik, 4) resolusi konflik, yaitu upaya menangani sebab-sebab konflik dan
berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompok-
kelompok yang bermusuhan, 5) transformasi konflik, yaitu upaya mengatasi
sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah
kekuatan negatif dari konflik menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
59
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
wilayah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangangan. Menurut Rustiadi et al (2004), diberlakukannya otonomi daerah
berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah
yang mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis
pengembangan wilayah dibanding pendekatan sektoral. Sehingga dalam rangka
pembangunan wilayah maka daaerah harus lebih kreatif menggali dan
mengelola potensi sumberdaya yang dimiliki.
Sumberdaya alam telah berperan dalam pembangunan daerah.
Sumberdaya alam tidak saja dapat meningkatkan PDRB, menyerap tenaga
kerja, melainkan juga telah memberikan jasa lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Namun dibalik peran besar tersebut, karena faktor
alam maupun ulah manusia baik secara individu, kelompok maupun
kelembagaan, pengelolaan dan pemanfatan sumberdaya alam untuk
pembangunan telah menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi maupun
lingkungan. Disisi lain Sumberdaya alam yang terkandung merupakan kekayaan
alam yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Menurut Saleng,
perolehan nasional dari sektor pertambangan dapat dikatakan multidimensional,
antara lain mampu menopang program industrialisasi melalului penyediaan
bahan baku industri dalam negeri, menyediakan sumber energi seperti minyak
bumi, gas, batu bara, geothermal, dan meningkatkan penerimaan negara serta
cadangan devisa, membantu peningkatan dan pemerataan pembangunan ke
berbagai wilayah, membuka kesempatan kerja, serta meningkatkan
kesejahteraan dan pendapatan penduduk sekitar lokasi pertambangan.
Pengelolaan sumberdaya alam, disamping menghasilkan Positive Social
Forces seperti yang telah dijelaskan diatas, juga mengahasilkan Negative Social
Forces seperti Penguasaan akses sumberdaya alam yang timpang, konflik
sosial, kebocoran ekonomi sumberdaya alam ke luar lokalitas (Regional
60
leakages), jurang pendapatan meningkat, kecemburuan sosial meningkat dan
sensitivitas sosial meningkat.
Keberadaan Industri panas bumi (geothermal) yang dikelola oleh CHV di
Gunung Salak Desa Kabandungan kecamatan Kabandungan kabupaten
Sukabumi, harus dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat sekitar, tetapi
sebagaimana dikemukakan diatas keberadaan industri panas bumi (geothermal)
ini pasti membawa dampak negatif terhadap masyarakat sekitar.
Kehadiran industri dapat memberi peluang kerja bagi masyarakat sekitar
meskipun disadari tidak tidak seluruhnya ditampung dalam sektor tersebut.
Seiring dengan perkembangannya, industri juga dapat menciptakan peluang
usaha baru. Berbagai jenis usaha seperti sewa rumah, berdagang barang
kelontong atau mendirikan rumah makan muncul untuk melayani kebutuhan para
pekerja industri. Dengan demikian, kehadiran industri panas bumi berpotensi
menimbulkan terjadinya diversifikasi nafkah, perubahan lingkungan dan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar serta
mempercepat pembangunan dan pengembangan wilayah, dengan adanya
diverifikasi nafkah sebagai dampak dari kehadiran industri, terlihat adanya gejala
semakin berkurangnya ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian
dan beralih ke sektor jasa dan perdagangan.
Sebagai konsekuensi perubahan aktivitas produksi dalam proses industri
dari yang bersifat padat karya dan berteknologi canggih (advance technology),
membutuhkan kualifikasi pendidikan dan keterampilan teknik yang tinggi pula.
Dengan demikian, berkaitan dengan keunggulan komparatif industri tidak hanya
menyebabkan peningkatan dalam sektor ekonomi dengan lebih terbukanya
kesempatan lapangan kerja, tetapi juga dapat memacu peningkatan kualitas
sumberdaya manusia.
Jika dilihat dari sisi Negative Social Forces maka keberadaan industri
pertambangan memberikan dampak yang besar terhadap degradasi dan
kerusakan lingkungan yang terjadi juga berpotensi untuk tumbuh dan
berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai
budaya lokal masyarakat sekitar lokasi perusahaan.
Pada umumnya lokasi industri pertambangan terletak di daerah-daerah
terpencil dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak
memiliki keahlian (skill) tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan
61
teknologi dan arus informasi sehingga menyebabkan masyarakat disekitar
perusahaan pertambangan kurang mendapatkan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan
pekerja-pekerja yang berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan
(skill) dan pengalaman dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan
masyarakat lokal untuk bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar
daerah akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Kecemburuan sosial masyarakat sekitar lokasi pertambangan karena
kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pertambangan dan dipicu lagi dengan manajemen perusahaan yang lebih
memilih vendor dari pengusaha luar daerah sehingga keberadaan perusahaan
tidak memberikan multiplier effect bagi pengembangan usaha lokal. Alasan
klasik yang selalu mendasari hal tersebut yaitu masyarakat lokal belum mampu
memenuhi standar kualitas maupun kuantitas yang yang telah ditentukan oleh
perusahaan sehingga usaha masyarakat sekitar menjadi tidak berkembang dan
pada akhirnya perekonomian masyarakat semakin terpuruk.
Akumulasi dari persoalan-persoalan diatas pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan (beserta
pendatang) yang akan berujung pada resistensi dan penolakan masyarakat
terhadap keberadaan perusahaan pertambangan di wilayah mereka. Untuk
menjembatani ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar maka perusahaan pertambangan
melakukan program pengembangan masyarakat (community development).
Keberadaan tambang disuatu wilayah, secara langsung maupun tidak
langsung memberikan kontribusi bagi pendapatan wilayah. Disamping itu,
kehadiran suatu pertambangan diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan tersebut.
Kesejahteraan di sini tidak hanya di lihat dari kebutuhan hidup secara ekonomi,
tapi juga pengakuan atas hak-hak, perlindungan dan keamanan, serta
keikutsertaan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut kepentingan
masyarakat lokal dengan prinsip perspektif kesetaraan dan kolektivitas, dimana
perusahaan dan masyarakat lokal seharusnya “duduk sama rendah, berdiri
samatinggi” karena bagaimanapun masyarakat lokal adalah “pemilik sumberdaya
alam menurut hak asal-usul adat”, dan perusahaan asing/besar mendapatkan
hak karena adanya transaksi dengan pemda atau Pemerintah pusat yang
62
sebenarnya tidak memiliki hak asal-usul atas sumberdaya alam di tingkat lokal.
Maka missi dari pengembangan masyarakat adalah memberikan jalan agar
kesempatan untuk menikmati hak atas “kue” sumberdaya alam menjadi lebih
adil dan setara.
Oleh karena itu, maka program pengembangan masyarakat yang
dilaksanakan harus merupakan solusi atas ketimpangan, konflik sosial,
ketidakadilan, dan ketidak-berdayaan masyarakat lokal yang timbul sebagai
akibat beroperasinya perusahaan di wilayah itu. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka dibutuhkan peran serta (partisipasi) dan inisiatif dari masyarakat dalam
merancang dan melaksanakan sendiri program pengembanga masyarakat yang
sesuai dengan karakteristik lokal dan rencana pengembangan wilayah.
Partisipasi dan inisiatif lokal ini juga berperan penting dalam merespon upaya
penguatan program melalui dukungan teknologi, manajemen, permodalan,
informasi dan penciptaan jejaring (network) yang efektif.
Dengan demikian, strategi pengembangan masyarakat dalam industri
panas bumi dilakukan dengan mengisi dan memperkuat partisipasi dan inisiatif
lokal secara sistematis serta mengurangi ketimpangan yang terjadi. Penguatan
partisipasi dan inisiatif lokal berimplikasi terhadap dua hal: pertama, masyarakat
mau dan mampu merancang dan melaksanakan sendiri program pengembangan
masyarakat yang sesuai dengan kerakteristik lokal sebagai respon atas program
pengembangan masyarkat yang ditawarkan oleh pihak luar komunitas; kedua,
dapat memberikan kontrol atas arah perubahan yang terjadi sebagai dampak dari
operasional industri sehingga terjadinya diversifikasi nafkah, perubahan
lingkungan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dalam
kenyataannya memberikan manfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat,
tetap sejalan dengan karakteristik lokal.
Salah satu pendekatan dalam pengembangan masyarakat adalah
pendekatan menolong diri sendiri (self help) dimana masyarakat menjadi
partisipan aktif dalam proses pembangunan dan agen-agen pembangunan
menjadi fasilitator. Komunitas memegang tanggung jawab dalam hal: 1)
memutuskan apa yang menjadi kebutuhan komunitas, 2) bagaimana memenuhi
kebutuhan itu, dan 3) bagaimana mengerjakannya. Tujuan agen pembangunan
adalah melembagakan pola pengambilan keputusan horizontal dan
implementasinya sedangkan tugas-tugas khusus ditentukan oleh komunitas. Hal
63
terpenting dari pendekatan ini adalah proses mengantar komunitas pada
kebersamaan.
Melalui pendekatan tersebut, masyarakat difasilitasi untuk merumuskan
dan melaksanakan sendiri program pengembangan masyarakat yang sesuai
sedangkan pihak luar komunitas khususnya dalam analisis ini perusahaan
pengelola industri panas bumi berperan dalam memberikan penguatan terhadap
partisipasi dan inisiatif lokal dalam pelaksanakaan program oleh masyarakat
melalui transformasi teknologi dan informasi, dukungan manajemen, permodalan
dan penciptaan jejaring (network) yang efektif.
Mengingat upaya pengembangan masyarakat perlu dilakukan secara
komprehensif dan dalam perspektif yang holistic, maka kehadiran industri panas
bumi sebagai salah satu potensi penting untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perlu terus dioptimalkan pemanfaatannya, sehingga dapat sinergis
dengan potensi dan peranan berbagai stakeholder terkait lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, backgrond kerangka kajian seperti
digambarakan pada Gambar 3.1. berikut:
64
Gambar 3.1. Background
3.2. Hipotesis Untuk mengarahkan jalannya penelitian ini, maka diajukan hipotesis
sebagai berikut : “Pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang
dilaksanakan CHV, belum memberikan kontribusi yang besar terhadap
pengembangan wilayah di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi”.
Kehadiran Industri
Geothermal di lokalitas
Menghasilkan Positive Social
Forces � Pertumbuhan Ekonomi dan
Perluasan lapangan kerja
Menghasilkan Negative
Social Forces � Penguasaan akses SDA
yg timpang, konflik sosial, kebocoran ekonomi SDA ke luar lokalitas, jurang pendapatan meningkat, kecemburuan sosial dan
sensitivitas sosial meningkat,
Community Development
Sebagai Solusi Ketimpangan, Konflik sosial,
ketidakadilan, dan ketidakberdayaan masyarakat lokal
Pertanyaannya: 1. Bagaimanakah program
Community Development yang telah di laksanaan ?
2. Apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program Community Development terhadap pengembangan wilayah?.
65
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah Desa Kabandungan Kecamatan
Kabandungan Kabupaten Sukabumi provinsi Jawa Barat. Waktu pelaksanaan
kajian berlangsung pada bulan Oktober 2007 sampai bulan Maret 2008, dimana
objek yang diteliti adalah penduduk yang berada disekitar kawasan proyek panas
bumi Gungung Salak (yang terkena dampak langsung dari kegiatan perusahaan),
yang umumnya masyarakat yang bermukim di Kecamatan Kabandungan
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.
3.4. Pengumpulan Data
Metode dan pendekatan studi yang digunakan adalah metode kualitatif.
Penelitian kualitatif (naturalistic inquiry) adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati, dimana data/informasi yang di peroleh
mengandalkan pandangan subyektif para informan kunci.
Pemilihan metode kualitatif dalam studi ini karena temuan-temuan pada
studi kualitatif lebih menjawab persoalan sebenarnya daripada sekadar angka-
angka. Dalam studi ilmu sosial, terlihat bahwa angka-angka yang diperoleh
dalam studi belum cukup menjawab persoalan yang sebenarnya, sangat sulit
melihat keadaan yang sebenarnya jika hanya menggunakan kecenderungan
angka saja. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang tidak bisa
dinilai melalui angka-angka, seperti faktor budaya dan faktor sosiologis.
Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena metode kualitatif dapat
memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit
diungkapkan oleh metode kuantitatif. penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis
penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau
bentuk hitungan lainnya. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan menggunakan
analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih
ditonjolkan dalam penelitian ini.
Metode dan pendekatan studi yang digunakan adalah wawancara
mendalam (indepth interview), diskusi kelompok dan telaah pustaka. Telaah
pustaka dilakukan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan
dengan penelitian. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dari
berbagai buku, makalah dan laporan terkait.
Sedangkan data primer diperoleh dengan metode sebagai berikut :
66
1. Wawancara mendalam (in depth interview), wawancara dilakukan untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami
informan yang berkaitan dengan topik yang diteliti . wawancara dilakukan
secara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan yang fleksibel
tergantng dari jawaban informan yang di wawancarai. Pilihan jawaban tertent
tudak disediakan, tetapi Informan diberikan kebebasan untuk mejawab sesuai
dengan hati, sikap dan pandangan atau pikirannya. Wawancara mendalam
dilakukan untuk memperoleh informasi dengan menggali fakta dan
pengalaman informan kunci (data yang berkaitan dengan tujuan penelitian).
2. Diskusi kelompok, dilakukan untuk menghimpun data yang berkaitan dengan
tujuan penelitian.
3. Pengamatan (observasi) secara langsung di lokasi penelitian terhadap gerak
masyarakat/aktivitas yang dilakukan dalam pelaksanaan Program
pengembangan masyarakat.
4. Studi Dokumentasi dengan mempelajari berbagai dokumen tertulis seperti
profil desa/Kecamatan, data statistik wilayah, laporan kegiatan program
pengembangan masyarakat (dokumen perusahaan).
Data sekunder diperoleh dari studi pustaka maupun data-data yang
diperoleh dari instansi-instansi terkait antara lain Pemda kabupaten Sukabumi,
Kecamatan Kabandungan, Desa Kabandungan serta perusahaan.
3.5. Penetapan Informan Kunci
Informan sebagai sumber data primer adalah informan kunci (key
informan). Jumlah informan kunci (key informan yang diwawancarai sebanyak
26 Orang, dalam penelitian kualitatif subjek penelitian tidak harus representatif
terhadap populasi (penelitian kuantitatif), melainkan representatif terhadap
informasi holistik. Rincian informan kunci yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Ketua Kelompok masyarakat penerima bantuan program pengembangan
masyarakat di Kecamatan Kabandungan 6 Orang
2. Tokoh formal (Camat, Kepala Desa, Ketua BPD) 3 Orang
3. Tokoh Informal (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda) 6 Orang
4. LSM 5 Orang
5. Pihak Perusahaan 3 Orang
6. Pihak Pemerintah Daerah (Pemda) 2 Orang
67
3.6. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, berupa analisis persepsi
key informan mengenai pelaksanaan program pengembangan masyarakat pada
industri panas bumi gunung salak serta kontribusi pelaksanaan program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi gunung
salak terhadap pengembangan wilayah.
Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis melalui:
1. Reduksi Data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dan catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan bentuk
analisis untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga
kesimpulan-kesimpulan akhir dapat diambil.
2. Penyajian Data, yaitu menyusun sekumpulan informasi yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan,
dapat dibentuk matriks, grafik, jaringan maupun bagan.
3. Penarikan kesimpulan dengan menganalisis data sesuai tujuan penelitian.
3.7. Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat pada Industri Panas
Bumi Gunung Salak
Untuk mengetahui pelaksanaan program pengembangan masyarakat
yang telah dilakukan oleh industri panas di bumi Gunung Salak dilakukan melalui
penelusuran data community development yang telah dilakukan oleh
perusahaan. Berdasarkan informasi kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan,
kemudian dilakukan pengecekan kepada masyarakat sekitar lokasi perusahaan
melalui wawancara ,diskusi dan pengamatan.
3.8. Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Yang
Dilakukan Oleh Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap
Pengembangan Wilayah
Untuk mengetahui kontribusi kegiatan pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan
wilayah dilihat melalui kontribusi kegiatan pertambangan terhadap PDRB
kabupaten Sukabumi.
68
Disamping itu, aspek yang dilihat pada responden adalah peningkatan
tarap hidup masyarakat, kesempatan kerja serta infrastruktur sebagai sarana
aktivitas masyarakat, juga ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan
serta konflik yang muncul sebagai dampak kehadiran perusahaan.
69
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4. 1. Geografi dan Administrasi Pemerintahan
Wilayah Kecamatan Kabandungan merupakan kecamatan di wilayah
utara kabupaten Sukabumi dan merupakan wilayah paling utara dari pusat
pemerintahan kabupaten Sukabumi Palabuhan Ratu dengan jarak tempuh dari
Ibu kota Kabupaten ( Palabuhan Ratu ) 74 Km, kondisi alamnya berbukit-bukit
dikelilingi oleh pegunungan diataranya gunung Salak dan gunung Halimun.
Kecamatan Kabandungan mempunyai luas wilayah 13.992,30 ha.
Kecamatan Kabandungan yang semula terdiri dari 5 (lima) desa, seiring
dengan pelaksanaan otonomi daerah serta dengan adanya perkembangan dan
kemajuan daerah dan juga adanya tuntutan aspirasi masyarakat serta dalam
rangka memperpendek rentang kendali (span of control), maka di bentuk desa
baru yaitu desa Cianaga sebagai hasil pemekaran dari desa Mekarjaya.
Disamping itu juga sedang dilakukan proses pembentukan desa Jayanegara
sebagai pemekaran dari Desa Kabandungan tetapi pada saat penelitian ini
dilakukan desa tersebut belum definitif, sehingga sampai saat ini Kecamatan
Kabandungan terdiri dari 6 (enam) desa yaitu: Desa Kabandungan, Desa
Tugubandung, Desa Mekarjaya, Desa Cipeuteuy, Desa Cihamerang dan Desa
Cianaga.
Matriks 4.1. Nama-nama Desa Kecamatan Kabandungan
No. Nama Desa 1 Kabandungan 2 Tugubandung 3 Cipeuteuy 4 Cihamerang 5 Mekarjaya 6 Cianaga
Sumber: Kabupaten Sukabumi dalam angka 2005/2006 (diolah)
Secara geografis batas-batas kecamatan Kabandungan adalah sebagai berikut:
• Sebelah utara dibatasi oleh gunung Kabel dan sungai Cikuluwung (gunung
Salak) dan berbatasan dengan kecamatan Cibungbulang, kecamatan
Pamijahan dan kecamatan Nanggung kabupaten Bogor.
• Sebelah selatan dibatasi oleh gunung Paok dan gunung Halimun serta
berbatasan dengan kecamatan Cikidang dan kecamatan Cisolok kabupaten
Sukabumi..
70
• Sebelah barat dibatasi oleh sungai Cikaniki dan berbatasan dengan
kecamatan Cisolok kabupaten Sukabumi, kecamatan Malingping kabupaten
Lebak provinsi Banten.
• Sebelah timur dibatasi oleh sungai Cibeureum dan berbatasan dengan
kecamatan Kalapanunggal kabupaten Sukabumi.
Jarak antara antara pemerintahan kecamatan Kabandungan ke pusat
pemerintahan lainnya adalah sebagai berikut:
1. ke pusat pemerintahan kabupaten Sukabumi : 74 KM
2. ke pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Bandung) : 145 KM
3. ke pusat pemerintahan pusat (Jakarta) : 125 KM
Berdasarkan data Pemerintahan desa se-kecamatan Kabandungan, di
kecamatan Kabandungan terdapat 30 kedusunan, 30 RW, 174 RT serta 10.574
KK, seperti terlihat dalam Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2. Pemerintahan Desa Se-Kecamatan Kabandungan
Jumlah No Nama Desa
Kadus RW RT KK 1 Kabandungan 6 6 37 2376 2 Mekarjaya 4 4 18 842 3 Tugubandung 8 8 35 2478 4 Cipeuteuy 4 4 31 2654 5 Cihamerang 4 4 26 2205 6 Cianaga 4 4 27 1019
Jumlah 30 30 174 10574 Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan Oktober 2007
Secara tofografi wilayah kecamatan Kabandungan terletak pada
ketinggian 600-900 Dpl dan suhu berkisar antara 180C – 250C serta kelembaban
sekitar 80%, dengan keaadaan seperti ini wilayah Kabandungan termasuk
bersuhu dingin.
Pembagian wilayah kecamatan Kabandungan berdasarkan tofografi
cukup bervariasi, namun dapt diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu
kategori ketinggian 100-500 meter dpl dimana dari kategori ini seluas 205,68 Ha,
kategori ketinggian 500-1000 meter dpl dimana dari kategori ini seluas 9.915,70
Ha dan kategori ketinggian <1000 meter dpl dimana dari kategori ini seluas
4.453,95 Ha.
71
Tabel 4.3. Luas Wilayah Menurut Ketinggian Tanah kecamatan Kabandunga tahun 2005
Ketinggian ( meter dpl) Luas wilayah
(ha) 0-25 25-100 100-500 500-1000 >1000
14.675,33 - - 205,68 9.915,70 4.453,95 Sumber: Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sukabumi 2005/2006
Jika dilihat dari kondisi tanahnya kecamatan Kabandungan dapat
dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu kategori datar (0-8%) dimana luas
kategori ini seluas 1.399,3 Ha atau sekitar 10% dari luas wilayah, kategori landai
(8-15%) dimana luas kategori ini seluas 2.798 Ha atau sekitar 20% dari luas
wilayah,kategori agak curam (15-25%) dimana luas kategori ini seluas 5.597 Ha
atau sekitar 40% dari luas wilayah, kategori curam (25-45%) dimana luas
kategori ini seluas 3.918 Ha atau sekitar 28% dari luas wilayah dan kategori
sangat curam (>45%) dimana luas kategori ini seluas 280 Ha atau sekitar 2%
dari luas wilayah.
Tabel 4.4. Kondisi Tanah di Kecamatan Kabandungan
No Kategori Luas (ha) Keterangan 1 Datar (0-8%) 1.399,3 10 % 2 Landai (8-15%) 2.798 20 % 3 Agak Curam (15-25%) 5.597 40 % 4 Curam (25-45%) 3.918 28 % 5 Sangat Curam (>45%) 280 2 %
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007.
Wilayah Kabandungan memiliki jenis tanah latosol dengan tingkat
kesuburan yang baik sehingga sangat cocok untuk lahan pertanian dan
perkebunan.
Matriks 4.2. Jenis Tanah di Kecamatan kecamatan Kabandungan
No Nama Desa Jenis
Tanah Tigkat
Kesuburan Keterangan
1 Kabandungan Latosol Cukup Baik Pertanian/Perkebunan 2 Mekarjaya Latosol Cukup Baik PertaniaPerkebunan 3 Tugubandung Latosol Cukup Baik Pertanian/Perkebunan 4 Cipeuteuy Latosol Cukup Baik Pertanian/Perkebunan 5 Cihamerang Latosol Cukup Baik Pertanian/Perkebunan 6 Cianaga Latosol Cukup Baik Pertanian/Perkebunan
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007
72
Dominasi pengunaan lahan di kecamatan Kabandungan adalah hutan
yang mencapai 54,94 % dari luas kecamatan Kabandungan. sementara
penggunaan lahan untuk pemukiman hanya mencapai 4,79 % dari luas
kecamatan Kabandungan, seperti terlihat dalam Tabel 4.6 berikut ini:
Tabel 4.6. Jenis Penggunaan Lahan Di Kecamatan Kabandungan (Ha)
Penggunaan Lahan (Ha)
Desa Hutan Sawah Kebun Semak
Belukar Pe-
mukiman Luas
Kabandungan 1.612,14 38,90 1.256,42 177,55 146,37 3.473,66 Tugubandung - 310,69 540,71 445,44 164,94 1.097,74 Cipeuteuy 2.493,34 206,46 443,02 523,40 80,37 3.746,60 Cihamerang 1.796,06 670,36 82,82 419,82 185,23 3.179,90 Mekarjaya 1.777,39 - 0,13 137,32 3,45 1.918,20 Cianaga 9,15 114,52 184,71 81,39 90,27 576,20
Jumlah 7.687,98 1.340,94 2.507,31 1.784,92 670,63 13.992,30 Sumber: RDTR kecamatan Kabandungan 2008 4.2. Kependudukan
Penduduk kecamatan Kabandungan berdasarkan data Laporan Bulanan
Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Bulan Oktober 2008 berjumlah 37.824
jiwa, terdiri atas 18.969 orang laki-laki atau sekitar 50,15% dari jumlah penduduk
dan 18.855 orang Perempuan atau sekitar 49,85% dari jumlah penduduk. Desa
dengan penduduk terbanyak adalah desa Kabandungan dengan jumlah
penduduk 8.487 orang dan desa dengan jumlah penduduk terkecil adalah desa
Mekarjaya yaitu 3.180 Orang.
Laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0,05% pertahun
dan diproyeksikan jumlah penduduk tahun 2029 berjumlah 61.262 jiwa atau naik
sebesar 62 %, rata-rata kepadatan penduduk adalah 3 jiwa/ha. Denagan
kepadatan terbesar terdapat di Desa Cianaga dan Tugubandung yaitu 8 Jiwa/ha
dan kepadatan penduduk terkecil terdapat di desa Cipeuteuy dan Cihamerang
yaitu 2 jiwa/ha.
Rasio jenis kelamin penduduk kecamatan Kabandungan adalah 1,006.
hal ini memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan, tetapi dengan perbedaan
yang tipis bahkan nyaris seimbang seperti terlihat dalam Tabel 4.7.
73
Tabel 4.7. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kecamatan Kabandungan
Jumlah Penduduk No Nama Desa
Laki-laki Perempuan Jumlah jiwa Jumlah KK 1 Kabandungan 4.278 4.209 8.487 2.376 2 Mekarjaya 1.524 1.656 3.180 842 3 Tugubandung 4.065 4.061 8.126 2.478 4 Cipeuteuy 3.425 3.351 6.776 1.654 5 Cihamerang 3.184 3.273 6.457 2.205 6 Cianaga 2.493 2.305 4.798 1.019
Jumlah 18.969 18.855 37.824 10.574 Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Bulan Oktober 2007
4.3 Infrastruktur Dasar
Sebagian besar jalan yang terdapat di kecamatan Kabandungan
merupakan jalan desa (213 Km) dengan kondisi diaspal 30%, rusak ringan
35.5% serta dalam kondisi rusak berat 34.3% sedangakan jumlah ruas jalan
kabupaten sepanjang 48 Km ,seperti terlihat dalam Tabel 4.8 berikut ini :
Tabel 4.8. Kondisi Jalan di Kecamtan Kabandungan (dalam Km)
Kondisi No Jenis Jalan Panjang
Diaspal RusakRingan Rusak Berat
1 Jalan Kabupaten 48 17 21 10 2 Jalan Desa 213 56 75 71
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Bulan Oktober 2007 (diolah)
Karena wilayah kecamatan Kabandungan terletak di kawasan
pegunungan yang berbukit-bukit, menyebabkan banyaknya aliran sungai yang
memotong ruas jalan, sehingga jumlah jembatan relatif banyak, seperti terlihat
dalam Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Jumlah Jembatan di Kecamatan Kabandungan No Nama Desa Jumlah 1 Kabandungan 6 2 Mekarjaya 6 3 Tugubandung 1 4 Cipeuteuy 9 5 Cihamerang 10 6 Cianaga 5
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan Oktober 2007
Sarana pendidikan di kecamatan Kabandungan cukup memadai mulai
dari Taman Kanak-Kanak (TK/RA), pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan
74
tingkat menengah, SMA negeri baru berdiri tahun 2005 dengan nama SMA
negeri Kabandungan 1. Jumlah sarana pendidikan di kecamatan Kabandungan
seperti terlihat dalam Tabel 4.10 berikut :
Tabel 4.10. Jumlah Sekolah di Kecamatan Kabandungan
Tingkat Sekolah No Nama Desa
TK/RA SD MD SMP MTs SMA MA
1 Kabandungan 1 6 7 1 2 1 2 Mekarjaya 1 4 1 3 Tugubandung 4 10 4 Cipeuteuy 4 6 5 Cihamerang 1 4 7 6 Cianaga 3 4 Jumlah 2 22 38 1 3 1
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007 Sarana kesehatan di kecamatan Kabandungan terdiri atas
Puskesmas,puskesmas pembantu (Pustu) serta pos yandu . Jumlah dan
penyebaran fasilitas kesehatan dikecamatan Kabandungan disajikan dalam
Tabel 4.11.
Tabel 4.11. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Kabandungan Fasilitas Kesehatan
No. Nama Desa Puskesmas Puskesmas
Pembantu Pos Yandu
1 Kabandungan 1 7 2 Mekarjaya 4 3 Tugubandung 1 8 4 Cipeuteuy 6 5 Cihamerang 1 6 6 Cianaga 5 Jumlah 1 2 36
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007 (diolah)
Rumah sakit belum tersedia di kecamatan Kabandungan,
sehingga jika ada warga masyarakat yang menderita penyakit yang serius harus
dirujuk kerumah sakit, rumah rasikt terdekat adalah rumah sakit umum daerah
(RSUD) Sekarwangi yang berjarak 37 Km.Sedangkan fasilitas tempat ibadah
tersedia dalam jumlah yang memadai dengan jumlah mesjid 54 buah dan
Mushola 54 buah ( Kandepag Kabupaten Sukabumi 2005/2006)
4.4. Sistem Transportasi
Hampir seluruh kawasan telah terhubungkan oleh jaringan jalan
walaupun dengan tingkat kualitas jalan yang bervariasi (seperti terlihat dalam
75
Tabel 10 diatas). Di kecamatan Kabandungan juga terdapat beberapa trayek
angkutan yang melintas kecamatan Kabandungan, dimana pada umumnya
merupakan trayek lokal yaitu Parungkuda-Cipeuteuy, Parungkuda-Kaladi,
Parungkuda-Nirmala, Parungkuda-Cihamerang.Juga terdapat 2(dua) subterminal
yaitu terminal Kaladi dan Terminal Cipeuteuy.
Dominasi pergerakan masyarakat yang ada di kecamatan Kabandungan
pada umumnya adalah pergerakan internal, kondisi eksisting dilapangan juga
menunjukan telah adanya pembangunan jalan yang menghubungkan Bogor-
Palabuhan Ratu melalui Desa cipeuteuy dan Cianten (kabupaten Bogor) yang
melintasi wilayah Taman nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).
4.5. Sistem Ekonomi
Kecamatan Kabandungan merupakan Kecamatan pertanian dimana
kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai buruh tani dan Petani. sebagimana
terlihat dalam Tabel 4.12 berikut:
Tabel 4.12. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Kabandungan
D e s a No Mata
Pencaharian Kaban- dungan
Tugu- bandung
Cipeu- teuy
Ciha- merang
Mekar- jaya Cianaga
Jumlah
1 Petani 1.236 2.418 1.877 1.450 484 2680 10.145 2 Peternak 43 9 14 - - - 86 3 Nelayan - - - - - - -- 4 Buruh Tani 855 3.225 3.656 810 788 3122 12.446 5 Buruh/Swasta 629 - 230 517 176 - 1.552 6 PNS 51 25 23 13 21 6 139 7 Pedagang 167 125 135 194 48 35 704 8 Pengrajin 10 20 17 117 85 10 259 9 Jasa 41 - 179 37 - 20 277
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007 Berdasar Tabel 4.12 terlihat bahwa mata pencaharian dibidang
pertanian mempunyai jumlah terbanyak. Jumlah penduduk yang bekerja di
bidang ini sebanyak 22.691 orang, terdiri dari buruh tani sebanyak 12.446 orang
dan Petani 10.145 orang, kemudian disusul dengan buruh swasta/pegawai
swasta, serta sebagian kecil bermata pencaharaian sebagai peternak,
PNS,Pedagang, Pengrajin dan bidang jasa.
Penduduk yang bekerja sebagai petani pada umumnya bercocok tanam
padi, sayur dan palawija, kegiatan beternak pada umumnya adalah
pengembangbiakan domba., ayam dan ikan. Sedangkan penduduk yang bekerja
sebagai buruh/swasta sebagai mata pencaharian pada umumnya bekerja di
76
perusahaan/pabrik yang berada disekitar kecamatan Kabandungan atau di luar
daerah dan sebagian kecil bekerja pada perkebunan dan CHV.
Tingginya jumlah penduduk dengan mata pencaharian sebagai buruh tani
disebabkan adanya kepemilkan lahan yang tidak merata di kecamatan
Kabandungan, hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah kecamatan
Kabandungan dikuasai oleh Perhutani (tanah kehutanan), tanah negara / PTP
VIII serta tanah perkebunan swasta (PT.Jayanegara dan PT. Intan Hepta),
seperti terlihat dalam Tabel 4.13 berikut:
Tabel 4.13. Luas Tanah Menurut Jenis Penggunaannya di kecamatan Kabandungan (dlm Ha)
Tanah perkebunan Tanah
darat
Tanah pesawahan
Tanah Kehutanan Swasta Negara
/PTP Jumlah
3.441 1.025,3 7.918 400 1.208 13.992,3 Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007
(diolah)
Berdasar Tabel 4.13 , maka kepemilikan lahan oleh masyarakat hanya
seluas 4.466,3 Ha atau 32% dari luas wilayah kecamatan Kabandungan
sedangkan selebihnya yaitu sebesar 9.526 Ha atau 68% dikuasai oleh negara
dan perkebunan swasta.
Ketimpangan kepemilikan lahan juga terjadidi tingkat masyarakat, dimana
ada masyarakat yang menguasai tanah pertanian yang luas dan ada juga
masyarakat yang tidak punya lahan pertanian samasekali, sehingga masyarakat
yang tidak punya lahan biasanya menjadi buruh tani pada masyarakat yang
lahannya luas, atau menggarap lahan masyarakat yang lahannya luas dengan
sistem bagi hasil tertentu.
Penduduk yang bekerja sebagai petani pada umumnya bercocok tanam
padi, sayur mayur, pisang, pepaya dan komoditas lainnya. Kegiatan beternak
umumnya adalah pengembang biakan domba, kelinci, ayam dan perikanan
darat, sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh pada umumnya bekerja
di perusahaan-perusahaan lokal kecil, perkebunan teh Jayanegara dan PTP VIII
serta sebagian kecil pada Proyek CHV. Mata pencaharian lainnya adalah
berdagang dan sebagian kecil PNS serta sisanya adalah sektor-sektor informal
lainnya.
77
Dalam sistem tata niaga input dan output hasil produksi pertanian, hasil
produksi pertanian biasanya dipasarkan dalam jumlah cukup besar ke pasar
induk Keramat jati di Jakarta atau pasar induk Bogor. Hasil produksi pertanian
pisang kabandungan sudah mempunyai pasar yang baik di Jakarta dan Bogor,
sekitar15 ton setiap hari komoditas ini diangkut ke berbagai pasar di Jakarta dan
Bogor. Tetapi komoditas tersebut di jual sebagai bahan mentah tanpa proses
produksi lebih lanjut, sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil sekali.
Hal ini terjadi karena masih rendahnya keterampilan yang dimiliki oleh
Masyarakat untuk mengolah lebih lanjut, serta kurangnya modal baik untuk
pengadaan alat-alat produksi maupun untuk pengadaan bahan baku lainnya.
Dengan kata lain kendala utama dalam pengembangan usaha rakyat di
Kabandungan adalah terbatasnya keterampilan, modal kerja dan operasional
serta Pemasaran hasil produksi.
Kabandungan juga merupakan daerah tujuan investasi untuk peternakan
terutama jenis ayam Broiler, dengan populasi peternakan terbesar adalah Ayam
Pedaging, sebagaimana dalam Tabel 4.14 berikut:
Tabel 4.14. Produksi Daging Menurut Jenis Ternak Dan Telur Unggas di kecamatan Kabandungan (Kg)
Kerbau Kambing/Domba Daging Ayam Telur Ayam 306 68.378 340.517 21.036
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi (Diolah)
sebagian besar peternakan ayam dimiliki oleh pengusaha dari luar
kecamatan Kabandungan yang menyewa lahan atau kandang di kecamatan
Kabandungan, sedangkan penduduk hanya bekerja sebagai buruh atau sering
disebut sebagai “anak kandang” pada peternakan tersebut.
4.6 Sumberdaya Lokal
Seperti terlihat pada Tabel 4.13, kepemilikan lahan oleh masyarakat
hanya seluas 4.466,3 Ha atau 32% dari luas wilayah kecamatan Kabandungan
sedangkan selebihnya yaitu sebesar 9.526 Ha atau 68% dikuasai oleh negara
dan perkebunan swasta.
Kawasan kehutanan merupakan bagian terbesar dari komposisi
penggunaan lahan (56.6%) akan tetapi akses masyarakat terhadap pengelolaan
78
hutan relatif kecil bahkan tidak dimungkinkan pada kawasan hutan lindung
,hutan konservasi dan taman nasional gunung Halimun-Salak.
Mata pencaharian masyarakat di sektor pertanian yang merupakan mata
pencaharian terbesar menunjukan masih kuatnya hubungan masyarakat dengan
sumberdaya lokal berupa lahan pertanian. Sedangkan dalam dalam sistem
penguasaan sumberdaya agrarian, lahan pertanian yang telah dikuasai secara
turun temurun biasanya diberikan kepada keturunannya melalui proses bagi
waris, sehingga penguasaan lahan oleh orang luar relatif kecil jumlahnya.
Tekanan penduduk terhadap sumberdaya untuk pemukiman relatif kecil
mengingat tingkat kepadatan agraris masih kecil, tetapi untuk pengelolaan
sumberdaya sebagai sumber mata pencaharian karena komposisi lahan terbesar
berupa kawasan hutan dan terdapat sebagian lahan pertanian yang kurang
produktif, untuk mengatasi tekanan penduduk terhadap pengelolaan
sumberdaya, masyarakat berusaha mengurangi ketergantungan terhadap
sumberdaya dengan beralih kepada sektor industri dan jasa dengan bekerja
pada perusahaan yang terdapat di wilayah kecamatan Kabandungan.
Cadangan sumberdaya alam meskipun cukup berlimpah, namun dengan
terdesaknya lahan mereka karena di konversi menjadi lahan pemukiman dan
keperluan lain, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pola lapangan kerja.
Banyak penduduk yang akhirnya menjadi buruh perkebunan, galian batu (galian
C) dan CHV bahkan pergi ke kota untuk menjadi buruh pabrik atau mencari
mata pencaharian lainnya.
4.7. Struktur Komunitas
Pelapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat Kabandungan
didasarkan faktor ketokohan kharismatik seseorang, posisi yang sedang dijabat
baik formal maupun informal, tingkat pendidikan dan kekayaan. Penghargaan
yang tinggi terhadp faktor-faktor tersebut, menempatkan orang yang memilikinya
berada pada status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Kultur masyarakat Sunda sangat terlihat dalam komunitas. Hal ini
menjadikan masyarakat di desa-desa kecamatan Kabandungan memilki ciri etnis
yang spesifik. Proses sosialisasi dalam komunitas cenderung tidak ada
hambatan dan dapat berlangsung dengan lancar mengingat sebagian besar
warga komunitas adalah penduduk asli suku Sunda yang masih memiliki garis
79
kekerabatan, memiliki kesamaan budaya dan telah lama bersosialisasi dan
berinteraksi satu sama lain.
Belum terdapat jejaring sosial komunitas yang telah melembaga dan
berjalan efektif. Organisasi-organisasi yang terbentuk cenderung organisasi
yang bersifat spontanitas dan kebutuhan sesaat. Komunikasi antar warga
biasanya dibangun dalam forum-forum terbatas yang diadakan di kantor desa
atau acara-acara keagamaan di Masjid. Pola-pola hubungan antar warga ini
berkembang secara alamiah.
Kehidupan beragama cukup baik, meskipun tidak mencerminkan
komunitas pesantren yang kental. Sebagian besar penduduk beragama Islam
dengan ciri muslim abangan. Jumlah Pemeluk agama Islam merupakan pemeluk
agama terbesar di Kecamatan Kabandungan dengan prosentase 99,96 %.
Sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.15 berikut:
Tabel 4.15. Jumlah Pemeluk Agama di kecamatan Kabandungan
Islam Kristen Hindu Budha Lainnya 36.527 16 - 8 -
Sumber : Kandepag Kabupaten Sukabumi 2005/2006 (Diolah)
4.8. Masalah Sosial
Masalah sosial yang terdapat di kecamatan Kabandungan adalah:
4.8.1. Kemiskinan
Penduduk miskin di Kecamatan Kabandungan masih cukup besar yaitu
mencapai 5.170 keluarga dari 8.467 Rumah tangga yang ada di
Kecamatan Kabandungan atau sekitar 61,06 %, dan merupakan jumlah
prensentase keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi, seperti
tecantum dalam Tabel 4.16 berikut:
Tabel 4.16. Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan Kabandungan Tahun 2005/2006
Rumah Tangga Rumah Tangga Miskin
Persentase Rumah Tangga Miskin ( %)
8.467 5.170 61.06 %
Sumber Data: BPS Kab. Sukabumi 2006 (Diolah)
Jumlah Rumah Tangga miskin penerima BLT (Bantuan Tunai Langsung
Kompensasi BBM) di Kabupaten Sukabumi tercatat sejumlah 228.370 atau
80
38.70% dari jumlah total rumah tangga di kabupaten Sukabumi.
Persentase rumah tangga miskin terbesar berada di Kecamatan
Kabandungan yaitu sebesar 61.06% dari jumlah rumah tangga yang ada di
Kecamatan tersebut.
Beberapa masalah sosial yang terdapat di kecamatan Kabandungan
sebagiamana terlihat dari Tabel 4.17 berikut:
Tabel 4.17. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Menurut Jenisnya di kecamatan Kabandungan
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 32 150 2 - 4 37 325 - 262 - 68 29 - -
Lanjutan Tabel 14
A15 A16 A17 A18 A19 A20 A21 A22 A23 A24 A25 A26 5 7 - 1.646 239 3 2 39 2 - 1 -
Sumber: Kantor Penanggulangan Masalah Sosial Kabupaten Sukabumi (Diolah) Keterangan Tabel : A1 : anak balita terlantar A2 : Anak terlantar A3 : Anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah A4 : Anak Nakal A5 : Anak Jalanan A6 : Anak Cacat A7 : Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) A8 : Wanita yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah A9 : Lanjut Usia terlantar A10 : Lanjut Usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan
salah A11 : Penyandang Cacat A12 : Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis A13 : Tuna Susila A14 : Pengemis A15 : Gelandangan A16 : Eks Narapidana A17 : Korban Penyalahgunaan NAPZA A18 : Keluarga Fakir Miskin A19 : Keluarga Berumah tidak layak huni A20 : Keluarga bermasalah Sosial psikologis A21 : Komunitas adat terpencil A22 : Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana A23 : Korban bencana Alam A24 : Korban bencana sosial A25 : Pekerja Migran A26 : HIV/AIDS
Dari tabel diatas terlihat bahwa penyandang masalah kesejahteraan sosial
yang terbanyak adalah keuarga fakir miskin diikuti oleh wanita rawan sosial
ekonomi.
81
4.8.2. Pendidikan
Dominasi tingkat pendidikan masyarakat kecamatan Kabandungan adalah
SD/Sederajat. Dalam rangka menuntaskan wajib belajar 9 tahun, beberapa
upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dengan menekan angka siswa putus
sekolah (drop out/DO). Pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa drop out
umur 7 -12 tahun di kecamatan Kabandungan adalah 86 Orang dan umur
13-15 tahun 0 orang.
Tabel 4.18. Jumlah Murid Drop Out (DO) Menurut Umur Sekolah
Sumber: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sukabumi 2005/2006 (Diolah) Tingginya angka putus sekolah untuk usia 7-12 tahun ini disebabkan
lemahnya kondisi ekonomi keluarga serta masih rendahnya tingkat
kesadaran masyarakan tentang pentingnya pendidikan. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh LSM KPP (komunitas Peduli Pendidikan) tahun 2004
rata-rata tingkat melanjutkan murid SD ke SLTP di kecamatan Kabandungan
adalah 36.91% suatu jumlah yang relatif kecil.hal ini berarti hanya 36,91 %
atau kurang dari setengah siswa lulusan SD yang melanjutkan ke tingkat
SLTP. Siswa lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah biasanya pergi ke
kota untuk mencari pekerjaan informal atau tetap tinggal untuk membantu
keluarga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh KPP tahun 2004 juga ditemukan
bahwa jumlah tenaga kependidikan sekolah dasar di kecamatan
Kabandungan sangat kurang dimana jumlah yang di butuhkan adalah
sebanyak 220 orang tetapi yang tersedia hanya 89 orang, seperti terlihat
dalam Tabel 4.19.
Tabel 4.19. Keadaan Tenaga Kependidikan Sekolah Dasar di kecamatan Kabandungan
Jabatan Jumlah diperlukan Jumlah yang ada
Kepala Sekolah 22 22 Guru Umum 132 46 Guru Agama 22 7 Guru Olahraga 22 4 Penjaga Sekolah 22 10 Jumlah 220 89
Sumber:Profil Pendidikan kecamatan Kabandungan – KPP 2004
Jumlah Mudir Drop Out (DO) KECAMATAN
Umur 7 - 12 Umur 13 - 15 Kabandungan 86 0
82
4.8.3. Kesehatan
Terbatasnya Jumlah fasilitas dan tenaga bidang kesehatan di kecamatan
Kabandungan, mengakibatkan pelayanan bidang kesehatan menjadi kurang
maksimal. Jumlah fasilitass kesehatan dikecamatan kabandungan terdiri atas
1 puskesmas, 2 puskesmas pembantu (pustu) dan 38 pos yandu
sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.11 . Jumlah fasilitas kesehatan tersebut
di layani oleh SDM bidang kesehatan yang terbatas pula seperti terdapat
dalam Tabel 4.20 berikut:
Tabel 4.20. Jumlah SDM Bidang Kesehatan di kecamatan Kabandungan
Jenis Tanaga Medis Jumlah Dokter Ahli Dokter Umum 1 Dokter Gigi Akademi Kesehatan 2 Bidan 3 Perawat 2 Perawat Gigi SPPH 1 SPAG Jumlah 9 Sumber Data: Dinas Kesehata Kabupaten Sukabumi 2005/2006 (Diolah)
4.8.4. Masalah Lingkungan
a. Krisis Air
Mengingat topografi wilayah Kecamatan Kabandungan yang terdiri dari
perbukitan/dataran tinggi sehingga kemungkinkan menggunakan air
tanah dalam menjadi sangat mahal, maka penyediaan air bersih selama
ini sangat bergantung kepada pada mata air dan aliran air dari
gunung/hutan. Pada musim kemarau debit air relatif kecil sehingga tidak
seimbang dengan tuntutan kebutuhan air masyarakat, sedangakan ketika
musim hujan air menjadi banjir, hal ini terjadi karena adanya illegal
logging dan penambangan galian C di beberapa sungai.(sungai Ciawitali,
Cibeureum, Cipanas, Ciherang, Citarik).
b. Bencana Longsor
Pada musim hujan wilayah Kecamatan Kabandungan merupakan daerah
rawan longsor, karena tingkat kemiringan lahan yang relatif tinggi.
Bencana longsor hampir terjadi setiap tahun walaupun tidak selalu
83
menimbulkan korban jiwa, tetapi kerugian materil dengan rusaknya rumah
penduduk dan prasarana jalan atau kebun cukup meresahkan
Masyarakat. Berikut ini adalah (Tabel 4.21) bencana yang terjadi selama
tahun 2005
Tabel 4.21 Jumlah Kejadian Bencana Alam Menurut Jenisnya
Kecamatan Kebakaran Angin Topan Longsor Kabandungan 3 1 24
Sumber: Kantor Penanggulangan Masalah Sosial Kabupaten Sukabumi tahun 2005 (Diolah)
Tingginya tingkat bencana longsor ini menyebabkan kerugian bagi warga
masyarakat baik kerugian jiwa maupun kerugian materi, seperti terlihat
dalam Tabel 4.22 berikut:
Tabel 4.22. Jumlah Kerugian Akibat Kejadian Bencana Alam Dan taksiran Nilai Kerugan
Kerugian Jiwa Kerugian Material Menderita Meninggal
KK Jiwa Rumah Sawah/
Darat (ha) Taksiran Kerugian (000)
3 11 24 7 15.000 Sumber: Kantor Penanggulangan Masalah Sosial Kabupaten Sukabumi tahun
2005 (Diolah)
Tingginya angka bencana longsor dipicu juga oleh pemanfaatan lahan-
lahan kritis oleh masyarakat tanpa melakukan konservasi terhadap lahan
tersebut, luas lahan kritis di Kecamatan kabandungan seluas 97,38 Ha.
Tabel 4.23. Luas Lahan Kritis di kecamatan Kabandungan (Ha)
Luas lahan kritis Awal 2005
Luas total Penghijauan
Luas lahan kritis Akhir 2005
97,38 - 97,38 Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi tahun 2005 (Diolah).
4.9. CHV.
Keberadaan CHV, Diawali dengan diketemukannya cadangan panas
bumi di daerah Awi bengkok Gunung Salak oleh perusahaan Amerika
Union,kemudian berubah menjadi Unocal kemudian perusahaan ini diakuisisi
oleh CHV dan berganti nama menjadi CHV geothermal Salak,Ltd (CHV) pada
tahun 2006.
84
CHV mulai beroperasi sejak tahun 1982, bergerak dalam bidang
eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di daerah Awi Bengkok yang merupakan
wilayah vulkanis dalam gugusan Gunung Salak melalui pengeboran sumur-
sumur produksi penghasil uap panas bumi, terdapat 65 sumur bor (35 di
kecamatan pamijahan dan 30 di kecamatan Kabandungan) dengan kedalaman
1.250 meter sampai dengan 3.211 meter.
CHV, merupakan pemegang kontrak proyek panas bumi di Gunung Salak
,Kontrak ini ditandatangani pada tahun 1982 antara Pertamina, PLN dan CHV
Dari tahun 1983 – 1986 dilakukan proses studi rona awal lingkungan dan
pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke Pertamina. Tahun 1989 penyusunan
AMDAL dan mengajukan proposal pengembangan sebesar 110 MW ke
Pertamina. Pada tahun 1994, CHV memulai operasi secara komersial sebesar
110 MW, kemudian pada tahun yang sama diajukan proposal pengembangan ke
Pertamina sebesar 220 MW, sehingga pada tahun 1997 CHV melakukan
operasi secara komersial sebesar 330 MW. Pada tahun 1998 – 2002
dilakukanlah renegosiasi kontrak dan akhirnya pada bulan Juli 2002 kontrak
diamandemen dan disetujui oleh para pihak.( Azof;Iwan. S.,2002 ).
CHV melaksanakan program pengembangan masyarakat (community
development) untuk masyarakat di sekitar wilayah operasi gunung Salak antara
lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal,
lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan
masyarakat.
4.10. Ikhtisar
Wilayah kecamatan Kabandungan merupakan kecamatan yang secara
lokasi berada di wilayah perbatasan antara Kabupaten Sukabumi dengan
Kabupaten Bogor, secara keruangan potensi yang dimiliki oleh kecamatan
Kabandungan terdiri dari kawasan hutan lindung, perkebunan, pertanian dan
parawisata. kecamatan Kabandungan juga berfungsi sebagai buffer zone
(penyangga) untuk ketersediaan dan resapan air daerah bawahnya. Kecamatan
Kabandungan mempunyai luas wilayah 13.992,30 ha. Dominasi pengunaan
lahan di kecamatan Kabandungan adalah hutan yang mencapai 54,94 % dari
luas kecamatan Kabandungan. sementara penggunaan lahan untuk pemukiman
hanya mencapai 4,79 % dari luas kecamatan Kabandungan.
85
Penduduk kecamatan Kabandungan 37.824 jiwa, terdiri atas 18.969
orang laki-laki atau sekitar 50,15% dari jumlah penduduk dan 18.855 orang
Perempuan atau sekitar 49,85% dari jumlah penduduk. Laju pertumbuhan
penduduk rata-rata sebesar 0,05% pertahun dan diproyeksikan jumlah penduduk
tahun 2029 berjumlah 61.262 jiwa atau naik sebesar 62 %, rata-rata kepadatan
penduduk adalah 3 jiwa/ha.
Kecamatan Kabandungan merupakan Kecamatan pertanian dimana
kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai buruh tani dan petani. Jumlah
penduduk yang bekerja di bidang ini sebanyak 22.691 orang, terdiri dari buruh
tani sebanyak 12.446 orang dan Petani 10.145 orang, kemudian disusul dengan
buruh swasta/pegawai swasta, serta sebagian kecil bermata pencaharaian
sebagai peternak, PNS,Pedagang, Pengrajin dan bidang jasa. Penduduk yang
bekerja sebagai petani pada umumnya bercocok tanam padi, sayur mayur,
pisang, pepaya dan komoditas lainnya. Kegiatan beternak umumnya adalah
pengembang biakan domba, kelinci, ayam dan perikanan darat. Penduduk miskin
di Kecamatan Kabandungan masih cukup besar yaitu mencapai 5.170 keluarga
dari 8.467 Rumah tangga yang ada di Kecamatan Kabandungan atau sekitar
61,06 %.
Dominasi tingkat pendidikan masyarakat kecamatan Kabandungan
adalah SD/Sederajat. Pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa drop out umur
7 -12 tahun di kecamatan Kabandungan adalah 86 Orang Tingginya angka
putus sekolah untuk usia 7-12 tahun ini disebabkan lemahnya kondisi ekonomi
keluarga, rata-rata tingkat melanjutkan murid SD ke SLTP di kecamatan
Kabandungan adalah 36.91%.
CHV merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan
eksploitasi panas bumi (geothermal) yang beroperasi di wilayah kecamatan
Kabandungan tepatnya di daerah Awi Bengkok yang merupakan wilayah vulkanis
dalam gugusan Gunung Salak melalui pengeboran sumur-sumur produksi
penghasil uap panas bumi, terdapat 65 sumur bor (35 di kecamatan pamijahan
dan 30 di kecamatan Kabandungan) dengan kedalaman 1.250 meter sampai
dengan 3.211 meter. CHV melaksanakan program pengembangan masyarakat
(community development) untuk masyarakat di sekitar wilayah operasi gunung
Salak baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik.
86
V. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PEGEMBANGAN
MASYARAKAT PADA INDUSTRI PANAS BUMI GUNUNG
SALAK
Industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah kecamatan
Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat yang dikelola oleh CHV telah
beroperasi sejak tahun 1982, bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi
panas bumi di daerah Awi Bengkok yang merupakan wilayah vulkanis dalam
gugusan Gunung Salak melalui pengeboran sumur-sumur produksi penghasil
uap panas bumi, terdapat 65 sumur bor (35 di kecamatan pamijahan dan 30 di
kecamatan Kabandungan) dengan kedalaman 1.250 meter sampai dengan 3.211
meter.
Disamping melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, CHV telah
melaksanakan program pengembangan masyarakat. Program pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh CHV dapat diartikan sebagai wujud dari
internalisasi dari biaya eksternal yang timbul sebagai akibat dari pemanfaatan
sumberdaya. Dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi,
pasal 29 huruf f dinyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP)
panas bumi memiliki kewajiban melaksanakan program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat.
Sejalan dengan Undang-undang tersebut dan semangat otonomi daerah,
maka operasionalisasi perusahaan tidak lagi bisa dipisahkan dari lingkungan
dan masyarakat sekitar lokasi perusahaan. Kegiatan pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan dimaksudkan agar masyarakat
setempat atau sekitarnya merasakan memperoleh manfaat dari adanya suatu
kegiatan perusahaan.
Hubungan antara CHV sebagai pemegang kontrak proyek panas bumi di
Gunung Salak dengan Masyarakat sekitar mengalami pasang surut, sehingga
model pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pun di
pengaruhi hubungan-hubungan tersebut.
Pelaksanaan program pengembangan masyarakat berdasarkan
hubungan antara CHV dengan Masyarakat dapat dibagi ke dalam dua periode,
dimana masing-masing periode memiliki karakteristik yang berbeda, periode
tersebut yaitu sebelum tahun 2000 dan periode setelah tahun 2000.
87
Pelaksanaan program pengembangan masyarakat di antara kedua periode
tersebut seperti terlihat dalam Matriks 5.1.
Matriks 5.1. Pelaksanaan Pengembangan Masyarakat Yang Dilakukan Oleh Industri Panas Bumi Di Gunung Salak
Aspek Keterlibatan Masyarakat
Sebelum Tahun 2000 Setelah Tahun 2000
Latar Belakang Program
Perusahaan tidak melakukan kegiatan Pengembangan masyarakat secara khusus,program bantuan yang ada disalurkan melalui Kecamatan atau Desa, itupun setelah diminta oleh pemimpin formal (Kepala Desa dan Camat)
Masyarakat menuntut Perusahaan melalui demonstrasi untuk segera melakukan program pengembangan masyarakat secara sungguh-sungguh.
Proses Perencanaan Program
Masyarakat tidak dilibatkan, keikut sertaan masyarakat diwakili oleh pemimpin formal ( Camat, kepala desa, pejabat-pejabat pemerintah).
Masyarakat mulai dilibatkan walapun dominasi pemimpin formal masih sangat kuat Mulai muncul kelompok-kelompok pemberdayaan.
Proses Pelaksanaan Program
Dilaksanakan sendiri oleh perusahaan (kalaupun bekerjasama dengan pihak lain, pihak tersebut bukan dari masyarakat lokal). Bentuk pelaksanaan program masih bersifat charitatif.
Dilaksanakan oleh CHV bekerjasama dengan Pemerintah,organisasi dan LSM lokal. Partisipasi masyarakat lokal sudah terlihat walaupun belum maksimal.
Proses Pengawasan Program
Tidak ada pengawasan dan evaluasi oleh masyarakat terhadap program yang telah dilaksanakan
Masyarakat ikut mengawasi dan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan.
Kepedulian Masyarakat
Masyarkat tidak peduli dengan kegiatan yang dilakukan oleh CHV, selama tidak menyangkut kehidupan mereka. Komunikasi antara perusahaan dengan masyarakat sangat terbatas.
Masyarkat mulai peduli ,mulai muncul LSM, organisai-organisai kepemudaan sehingga muncul pula tokoh-tokoh Pemuda. Mulai timbul pula tuntutan-tuntutan kepada fihak CHV, baik mengenai tenaga kerja, lingkungan maupun program pengembangan masyarakat
Sumber: hasil wawancara
Dalam pelaksanaannya program pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh CHV telah mengalami pergeseran, beberapa program telah
88
berusaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di
libatkan walaupun baru diwakili oleh orang – orang tertentu saja, namun secara
umum realisasii program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
derma berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas
pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat
peribadatan. Pada konteks ini, sulit dibedakan bahwa pembangunan fasilitas
tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk
perusahaan itu sendiri. Pendirian dan perbaikan fasilitas transportasi berupa
jalan dan jembatan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk
memperlancar dan mempercepat jalannya proses produksi mereka. Dengan
demikian kalaupun fasilitas tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat lokal,
maka hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal.
Penduduk miskin di Kecamatan Kabandungan masih cukup besar yaitu
mencapai 5.170 keluarga dari 8.467 Rumah tangga yang ada di Kecamatan
Kabandungan atau sekitar 61,06 persen dari rumah tangga yang ada di
kecamatan Kabandungan. Jumlah tersebut merupakan jumlah prensentase
keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi (Data BPS Kabupaten
Sukabumi). Rumah tangga miskin tersebut menyebar di desa-desa yang ada di
kecamatan Kabandungan serta sebagian tinggal di sekitar daerah operasi CHV.
Mereka adalah masyarakat miskin yang masih memerlukan pelayanan-
pelayanan penguatan kapasitas untuk meningkatkan pendapatan, pelayanan
kesehatan, dan pelayanan pendidikan. Mereka merasa berhak mendapatkan
pelayanan-pelayanan itu karena perusahaan sudah mandapatkan banyak
keuntungan secara ekonomis sehingga sudah sewajarnya kalau perusahaan
meredistribusikan sebagaian kepada mereka. Selain itu, masyarakat merupakan
bagian yang rentan terhadap akibat-akibat pencemaran yang mungkin muncul
sehingga wajar kalau mereka mendapatkan kompensasi tersebut.
Realisasi program yang tidak didasarkan pada semangat untuk melayani
masyarakat lokal mengakibatkan perusahaan tidak melibatkan masyarakat dan
pemerintah daerah. Realisasi program cenderung dilakukan secara tertutup dan
didesain oleh perusahaan atau aktor dari luar. Sementara itu pemerintah daerah
mengharapkan program bisa diintegralisasi dengan program-programnya dalam
kerangka pembangunan regional. Di pihak lain masyarakat juga mengharapkan
bahwa program tersebut mampu memberdayakan mereka.
89
Bertemunya kepentingan-kepentingan itu menimbulkan masalah yang
cukup serius. Motif perusahaan merealisasi program turut menentukan model
realisasi program. Keterlibatan perusahaan dalam program pengembangan
masyarakat dilatar belakangi dengan beberapa kepentingan. Setidaknya bisa
diidentifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan
fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral
untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal (Mulyadi.2003).
Jika diklasifikasikan dengan menggunakan motif perusahaan dalam
menjalankan program pengembangan masyarakat, maka program yang
pengembangan masyarakat yang telah dilakukan oleh CHV di kecamatan
Kabandungan masih bermotif keamanan dan motif memenuhi kewajiban
kontrak. Hal ini bisa dilihat dari baru adanya program pengembangan
masyarakat pada tahun 2000, padahal perusahaan sudah beroperasi dari tahun
1978, itupun setelah masyarakat menuntut melalui demonstrasi. Matriks 5.2 di
bawah ini menggambarakan peta motif tersebut
Matriks 5.2. Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program Pengembangan Masyarakat
Motif Keamanan
Motif Memenuhi
Kewajiban Kontrak Komitmen Moral
• Program dilakukan setelah ada
tuntutan masyarakat yang diwujudkan melalui demonstrasi (tahun 2000)
• Program tidak dilakukan
setelah kontrak ditandatangani.Kecenderungannya program dilakukan ketika kebebasan masyaraat sipil semakin setelah otonomi daerah.
• Pertanggung jawaban program bukan pada pemerintah daerah dan masyarakat lokal tetapi pada pemerintah pusat.
• Kegiatan yang
dilaksanakan tidak berkelanjutan tetapi lebih bersifat “Project”, dan di blow-up di media masa
Perusahaan meredistribusi keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada
Sumber:diolah dari hasil wawancara, tabel diadapatasi dari Mulyadi. 2003
Semenjak tahun 2000 CHV telah menyisihkan anggaran dari
pendapatannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat setempat melalui
Program pengembangan masyarakat. Pelaksanaan program pengembangan
masyarakat ini dilaksanakan di kecamatan Kabandungan, Kalapanunggal dan
kecamatan Pamijahan. Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat
tersebut CHV melakukannya melalui pola kemitraan dan langsung ke masyarakat
setempat. Secara philantropis perusahaan meredistribusi keuntungannya setelah
90
mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi
masyarakat sekitar dalam keadaan miskin. Ini adalah kewajiban moral. Namun
motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan
belum terlihat nyata.
Keberadaan program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan
oleh perusahaan belum efektif mengurangi kemiskinan masyarakat lokal. Hal ini
terjadi karena program yang dilaksanakan direncanakan dengan tidak melibatkan
partisipasi aktif masyarakat. Jika dilihat dari sisi proses penyerapan asiprasi
masyarakatnya, nampak belum tercipta suatu mekanisme yang bersifat terbuka
bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Dari beberapa kasus yang
ditemukan, sebagian besar menunjukkan bahwa penyerapan aspirasi itu masih
terpusat dan bertumpu pada usulan elit-elit tertentu masyarakat, seperti aparat
Pemerintah dan jajarannya, sebagian tokoh masyarakat serta LSM dan belum
menyerap pada usulan seluruh lapisan masyarakat, Sehingga hasil-hasil
keputusan pembangunan itu sendiri seringkali tidak merepresentasikan aspirasi
masyarakat.
Pendekatan seperti ini tentu saja tidak memberikan kontribusi secara
signifikan bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Secara ekonomis masyarakat
tidak mengalami peningkatan pendapatan yang berarti. Secara politis mereka
tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai penerima program pasif.
Mereka tidak memiliki ruangan yang cukup untuk berpartisipasi dalam penentuan
program dan mengelolanya. Mereka belum ditempatkan pada posisi sentral
realisasi program. Hal tersebut menunjukkan bahwa program pengembangan
masyarakat yang dijalankan oleh perusahaan/swasta belum mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Agar program pengembangan masyarakat yang dijalankan oleh
perusahaan dapat berdampak terhadap masyarakat serta efektif menyelesaikan
persoalan masyarakat lokal termasuk menurunkan kemiskinan, maka program
yang dijalankan harus dirancang dengan memaksimalkan media atau ruang bagi
publik/masyarakat untuk terlibat secara aktif dan terus menerus (partisipasi
masyarakat) dalam proses perumusan kebijakan/program serta harus dirancang
secara sistematis dalam jangka waktu yang panjang dengan kejelasan raihan
yang jelas.
Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam
pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan
91
menjadi (1) derajat paling rendah yaitu dimana masyarakat memberikan
konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas
suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan
informasi, dan melakukan analisis.(2) derajat menengah yaitu dimana
masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat
berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan
dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, (3) derajat paling
tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikut-
menentukan arah serta mengelola sendiri pengembangan, masyarakat
mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka
membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah
sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang
kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.
Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi
pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling
tinggi). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedalaman
derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh CHV di kecamatan Kabandungan adalah derajat ke-1 (paling
rendah), dimana Pihak luar (baik perguruan tinggi maupun LSM) yang
merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis.
Pendekatan Program dan motif perusahaan merealisasi program
pengembangan masyarakat tidak terlepas dari substansi program serta
pendekatan yang diadopsi perusahaan dalam merealisasi program. Beberapa
program berusaha meningkatkan kapasitas masyarakat lokal namun secara
umum realisasi program lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan derma berupa
pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan,
kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan.
Dalam hal ini, kadang yang sulit dibedakan adalah bahwa pembangunan fasilitas
tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk
perusahaan itu sendiri. Pembangunan fasilitas transportasi berupa jalan
misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk mempercepat
jalannya proses produksi. Dengan demikian kalaupun bermanfaat bagi
masyarakat lokal,hal tersebut merupakan ekternalitas positif yang
menguntungkan masyarakat lokal.
92
CHV mulai merealisasi kegiatan pengembangan masyarakat pada tahun
2000an fakta menunjukkan bahwa mereka merealisasi program-program
tersebut secara lebih intensif pada tahun-tahun setelah dilakukannya otonomi
daerah. Dalam era desentralisasi kekuatan masyarakat lokal menjadi lebih besar.
Kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya manjadi lebih kuat serta
ruang untuk menyuarakan tuntutan masyarakat pada masalah pencemaran,
masalah tenaga kerja, dan masalah lainnya terhadap perusahaan pun menjadi
lebih luas.
Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang
sangat penting. Keberhasilan pengembangan masyarakat akan sangat di
pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi
masyarakat, maka semakin tinggi keberhasilan program.
Dilihat dari derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, menurut
Tadjudin (2000), partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif
dan mobilisasi swakarsa (Bass et al.,1995 dalam Hobley, 1996) atau kemitraan,
pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat (Arnstein, 1969 dalam
Fisher, 1995). Lebih lanjut Tadjudin (2000) menjelaskan, menurut Bass et
al.(1995) dalam Hobley, (1996) ,terdapat beberapa tipologi partisipasi
masyarakat:
8. Partisipasi Manipulatif, partisipasi masyarakat ditunjukan dengan
penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil
tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki
kewenangan yang jelas.
9. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini
merupakan tindakan sepihak dari administrator ata manager proyek tanpa
menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi
atau pendapat yang dihargai oleh administrator atau manajer proyek adalah
pendapat para Profesional.
10. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak
luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan
melakukan analisis. Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan. Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak
berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat.
11. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara
memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga
93
kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan
lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk
melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan.
12. Partisipasi Fungsional, partisipasi masyarakat dipandang oleh pihak luar
sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi
biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek
yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap
sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan
eksternal.
13. Partisipasi Interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis,
pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan
pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak
dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek.
14. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri
untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan
konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan
masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali
menyangkut pendayagunaan sumberdaya.
Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut diatas, maka bentuk partispasi
yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri
pertambangan adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini
adalah bentuk paling ideal. Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan
dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondisi lokal.
Mobilisasi swakarsa menuntut adanya sumberdaya manusia yang cukup
ditingkat masyarakat untuk menjadi agent of change-nya. Sementara
kebanyakan perusahaan pertambangan beroperasi di daerah pedalamam yang
kondisi sumberdaya manusia masyarakatnya masih rendah. Sehingga tipologi-
tipolgi tersebut dapat diterapkan secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tipologi partisipasi yang ada dalam
program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV adalah tipologi
partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif, sehingga keterlibatan masyarakat
dalam program pengembangan masyarakat masih kurang.
Secara keseluruhan pelaksanaan program pengembangan masyarakat
yang dilaksanakan oleh CHV belum mendorong berkembangnya inisiatif-inisiatif
94
lokal untuk pengembangan wilayah perdesaan, hal ini terjadi karena masih
terbatasnya partisipasi masyarakat, program didesain oleh perusahaan dan
kurang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Pada tahap realisasinya,
program melibatkan kedua entitas tersebut dengan intensitas yang berbeda.
Sedangkan pada tahapan evaluasi dan pelaporan terlihat bahwa tahapan itu
tidak melibatkan mereka. Akibat yang terjadi adalah bahwa koordinasi dalam
merealisasi program antara perusahaan dan pemerintah daerah (Desa
/Kecamatan) berjalan tidak baik. Idealnya program pengembangan masyarakat
dipraktekan secara integral dengan program pembangunan regional yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun kenyataan yang terjadi adalah
program pengembangan masyarakat overlap dengan program pembangunan
regional atau berjalan secara terpisah tanpa ada kerangka kerja yang jelas.
Secara ekonomis ini menimbulkan inefisiensi. Pada sisi yang lain, secara sosial-
politis hal ini akan menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam masyarakat
dan mengakibatkan hubungan pemerintah daerah (desa/kecamatan) dengan
perusahaan menjadi kurang baik. Hal yang sama juga terjadi pada tingkatan
masyarakat. Posisi tawar masyarakat relatif rendah. Sebagian besar program
direalisasi tanpa dilakukan need assessment yang melibatkan masyarakat.
Selain mengakibatkan ketidaksesuaian antara program dengan kebutuhan
masyarakat, hal ini juga menimbulkan partisipasi masyarakat pada program CSR
rendah. Padahal, partisipasi merupakan esensi mendasar dalam realisasi
programprogram community development (Ife,1996).
Oleh karena itu diperlukan perubahan kerangka berpikir baik oleh perusahaan,
elit lokal, LSM, dan Pemerintah daerah (desa/kecamatan) untuk meletakkan
kepentingan masyarakat pada posisi sentral realisasi program. Keputusan-
keputusan strategis baik pada aspek substansi maupun pilihan pendekatan harus
didasarkan pada masalah yang dihadapi masyarakat. Pada tingkatan yang lebih
operasional perusahaan, birokrat, LSM, dan Pemerintah daerah (desa
/kecamatan) perlu melibatkan masyarakat dalam setiap aspek dan tahapan
realisasi program. Selain pendekatan seperti ini akan membantu mengarahkan
substansi program sesuai dengan kebutuhan masyarakat, hal ini juga akan
memotifasi partisipasi masyarakat. Kondisi seperti ini dipercaya memberi peluang
yang besar untuk terciptanya pemberdayaan masyarakat lokal serta
pengembangan kawasan perdesaan.
95
Berdasarkan data pada laporan pelaksanaan program pengembangan
masyarakat (Salak community engagement report) yang dikeluarkan oleh CHV,
Program pengembangan masyarakat yang telah dan sedang dilaksanakan untuk
masyarakat sekitar wilayah operasi gunung Salak antara lain meliputi bidang
Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur
serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat. Secara rinci
pelaksanaan program pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang
bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan,
infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat adalah
sebagai berikut:
5.1. Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Pendidikan
Sebagai wujud nyata komitmen tehadap peningkatan kualitas
sumberdaya manusia, program community develoment CHV dalam bidang
pendidikan antara lain dalam bentuk bantuan beasiswa kepada mahasiswa di
tingkat perguruan tinggi (S-1 dan D-3), beasiswa tersebut disalurkan ke
perguruan tinggi negeri diantaranya Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Institut
Pertanian Bogor (IPB), dan sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sukabumi.
Karena rendahnya tingkat melanjutkan sekolah SD di kecamatan
Kabandungan, upaya pemberian beasiswa juga telah dilakukan oleh CHV pada
tingkat sekolah dasar,menengah dan tingkat atas, dengan tujuan membantu
menekan angka siswa putus sekolah (drop out) di kecamatan Kabandungan
yang pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa drop out umur 7 -12 tahun
sebanyak 86 Orang, jumlah yang cukup signifikan untuk ukuran Sekolah Dasar.
(data Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sukabumi 2005/2006).
Tingginya angka putus sekolah untuk usia 7-12 tahun ini disebabkan
lemahnya kondisi ekonomi keluarga serta masih rendahnya tingkat kesadaran
masyarakan tentang pentingnya pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh LSM KPP (komunitas Peduli Pendidikan) tahun 2004, rata-rata tingkat
melanjutkan murid SD ke SLTP di kecamatan Kabandungan adalah 36.91persen
jumlah yang relatif kecil, hal ini berarti hanya 36,91 persen atau kurang dari
setengah siswa lulusan SD yang melanjutkan ke tingkat SLTP. Siswa lulusan
SD yang tidak melanjutkan sekolah biasanya pergi ke kota untuk mencari
pekerjaan informal atau tetap tinggal untuk membantu keluarga, bekerja di sektor
96
informal atau bahkan menganggur. Untuk membantu mengatasi masalah-
masalah tersebut diatas serta dalam rangka mendukung program dalam
menuntaskan propgram wajib belajar 9 tahun, maka CHV memberikan beasiswa
melalui program pengembangan masyarakat dalam bidang pendidikan.
“Dalam melaksanakan program bidang pendidikan, yang kami lakukan diantaranya; Beasiswa, merupakan bentuk bantuan kepada pelajar atau generasi muda untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, program ini adalah guna mendukung program pemerintah. Dengan program beasiswa ini diharapkan dapat mengurangi murid-murid yang drop-out di tingkat sekolah dasar, menengah dan atas, dan juga membantu calon sarjana untuk menyelesaikan kuliahnya. Program ini diutamakan untuk masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi kerja CHV.” (WE, Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
Program beasiswa ini di berikan kepada siswa-siswi yang berprestasi
tetapi berasal dari keluarga kurang mampu dan diutamakan bagi masyarakat
yang berada di disekitar lokasi kerja CHV mulai dari jenjang sekolah
dasar,menengah pertama, menengah atas sampai perguruan tinggi. Tetapi
sayangnya kriteria penerima beasiswa tersebut tidak diketahui oleh masyarakat
sekitar sehingga terdapat opini di masyarakat bahwa program tersebut
dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan tidak transparan serta hanya
ditujukan untuk keluarga karyawan CHV atau orang –orang dan kelompok
tertentu saja. Disamping itu rekrutmen terhadap calon penerima beasiswa serta
nama-nama penerima beasiswa juga tidak pernah di umumkan oleh CHV,
sehingga timbul kecurigaan masyarakat terhadap hal tersebut.
“Program CHV dalam bidang pendidikan hanya ditujukan kepada sekolah atau tokoh tertentu saja, belum menjangkau seluruh masyarakat, kesempatan sangat terbatas kepada orang-orang yang dekat dengan CHV saja. Seperti dulu pernah ada program beasiswa, tetapi jatuhnya kepada orang-orang yang tidak layak dan juga tidak ada kriteria penerima beasiswa yang jelas. Dana beasiswa disimpan direkening kepala dinas pendidikan, sehingga pemberiannya tidak bisa di kontrol oleh masyarakat.” (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun)
Program beasiswa yang dijalankan selama ini cenderung dianggap tidak
transparan karena belum adanya prosedur pemberian beasiswa yang jelas yang
dimiliki oleh CHV. CHV sendiri menyadari bahwa program beasiswa yang di
berikan selama ini belum dapat memuaskan semua pihak karena perusahaan
belum memiliki prosedur yang baku dalam pemberian bantuan beasiswa ini, dan
CHV sedang mempersiapkan prosedur tersebut dimana nantinya program ini
97
akan diumumkan secara terbuka dan dalam perekrutannya akan bekerjasama
dengan LSM dan dinas terkait.
“ Memang kami selama ini belum mempunyai standar dan prosedur yang baku dalam pemberian beasiswa, itu masih melanjutkan prosedur perusahaan sebelum CHV, tetapi sekarang kami sedang berusaha menyusun sebuah prosedur yang baku dalam pemberian beasiswa, untuk itu kami meminta masukan dari masyarakat dan pemerhati pendidikan.” (WE, Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
Dalam rangka pengembangan SDM warga setempat, CHV juga telah
memberikan kesempatan kepada siswa-siswi SLTA/STM/SMK untuk dapat
magang dan sekaligus praktek di lokasi kerja CHV, Siwa-siswi tersebut diberikan
pelatihan di tempat kerja maupun di luar tempat kerja pada bidang-bidang yang
berhubungan dengan operasi panasbumi, seperti pengelasan, pengoperasian
peralatan,pekerjaan listrik dan instrumentasi serta pekerjaan clerk dan
administrasi. Diharapkan dengan pengenalan lebih awal kepada siswa-siswi
tersebut, dapat memacu mereka untuk belajar lebih jauh mengenai
pengoperasian panas bumi, sehingga nantinya dapat turut berpartisipasi di
industri panas bumi.
“CHV membantu kegiatan-kegiatan,memberi kesempatan untuk berkunjung dan magang kepada sekolah-sekolah yang jauh dari lokasi perusahaan seperti dari kota sukabumi dan jakarta. Sementara kalau sekolah-sekolah lokal sangat sulit memperoleh kesempatan itu.” (YDY, guru swasta, 35 tahun)
Dalam laporan pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang
dieluarkan oleh perusahaan disebutkan, bahwa dalam rangka Meningkatkan
ketersediaan SDM pada masyarakat di sekitar wilayah kerja perusahaan,
dilakukan CHV melalui cara-cara yang saling menguntungkan yaitu melalui
program-program pelatihan. Dalam rangka mendukung tercapainya tujuan
perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan. Program pelatihan tersebut tidak
saja menyiapkan orang-orang untuk bekerja di CHV, tetapi juga membekali
mereka dengan sejumlah keahlian dan pengalaman yang mampu meningkatkan
nilai jual mereka selaku tenaga kerja di tingkat lokal, regional maupun dunia.
Tetapi Program tersebut dinilai masih kurang cukup oleh masyarakat
sekitar, karena program tersebut masih bersifat project tidak terprogram dengan
baik dan tidak berkesinambungan, sehingga belum berdampak maksimal
98
terhadap peningkatan dan penciptaan Sumberdaya Manusia lokal. Pelatihan
yang dilakukan selama ini hanya pelatihan-pelatihan yang ditujukan untuk
mendukung program pengembangan masyarakat CHV saja dan dilaksanakan
bersama LSM-LSM dari luar, bukannya pelatihan-pelatihan yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
“Kehadiran program Comdev tidak nampak nyata dalam bidang pendidikan dan tidak banyak menciptakan SDM yang handal, program yang ada hanya bersifat kagetan dan tidak terencana dengan baik. Hanya bersifat seperti pemadam kebakaran saja” (FF, Pengusaha lokal, 40 tahun.)
Masyarakat lokal berharap CHV dapat membangun BLK di Kabandungan,
yang dapat dipergunakan sebagai pusat pelatihan secara rutin oleh masyarkat
dalam bidang-bidang yang sangat di butuhkan untuk dapat meningkatkan
kemampuan dan keterampilam agar dapat bersaing dengan pendatang.
“Keinginan masyarakat, chevron itu membangun BLK untuk memberi pelatihan kepada warga sekitar, sehingga bisa meningkatkan keterampilan warga, tetapi keinginan itu tidak pernah di realisasikan dengan berbagai alasan.” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
Sementara menurut CHV, bahwa tidak dibangunnya BLK karena
pembangunan BLK hanya akan menghabiskan budget program pengembangan
masyarakat untuk kecamatan Kabandungan saja, perusahaan menganggap tidak
perlu membangun BLK untuk pelatihan, karena untuk tempat pelatihan dapat
bekerja sama dengan BLK milik pemerintah daerah (dalam hal ini badan diklat
Kabupaten Sukabumi) dan ini akan menghemat biaya, sehingga dana yang di
pergunakan untuk membangun gedung BLK dapat di pakai untuk membiayai
lebih banyak orang yang terlibat dalam pelatihan.
Disamping itu, dengan bekerjasama dengan BLK milik pemerintah
daerah, kurikulum yang akan dilaksanakanpun dapat disesuaikan dengan
kualitas sumberdaya manusia lokal sehingga akan mampu memenuhi kebutuhan
pasr kerja.
Sebagai bagian dari upaya meningkatkan kecerdasan kehidupan
bangsa, bidang pendidikan menjadi fokus program pemberdayaan masyarakat
CHV tahun 2007. Program ini mencakup empat program utama, yaitu pemberian
99
beasiswa bagi siswa, program pembinaan guru-guru, program perbaikan
infrastruktur sarana pendidikan, seperti gedung sekolah, perpustakaan, buku
bacaan, peralatan sekolah, bantuan komputer dan sarana pendidikan lainnya.
“Dalam melaksanakan program bidang pendidikan, kami juga melaksanakan berbagi kegiatan seperti: • Renovasi sekolah dan bantuan peralatan sekolah
CHV juga membantu dalam merenovasi bangunan sekolah dan juga membantu peralatan penunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah (seperti furniture, buku, perpustakaan).
• Pemberantasan Buta huruf, membantu masyarakat dalam program membaca dan menulis.
• Program pendidikan lingkungan ke sekolah-sekolah. • Program pengenalan geothermal kepada masyarakat pelajar dan mahasiswa,
program ini disebut “Geothermal Goes to School” • Bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk program-program edukasi. (seperti
kontes bahasa Inggris). Dalam melaksanakan program ini diperlukan kerjasama atar berbagai pihak yang terkait dan konsep partisipasi aktif harus bisa dipahami oleh seluruh elemen, sehingga peran serta masing-masing pihak terukur.” (WE, Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
“Di lingkungan kami yang berdekatan dengan CHV, yang kami tau tentang bantuan CHV di bidang pendidikan hanyalah rombak sekolah dasar, itu saja.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
Dalam upaya meningkatkan sarana fisik pendidikan CHV melakukan
pembangunan ruang kelas baru di SMK Nurul Bayan di Kecamatan
Kalapanunggal, membangun 2 ruang kelas di SMP PGRI di Desa Cingenca
Kecamatan Kalapanunggal, membangun 2 ruang kelas di MTS Muhammadiyah
di desa Ciasmara, membangun 1 ruang kelas di SD Jayanegara di desa
Kabandungan kecamatan Kabandungan. Selain itu bantuan material untuk
merenovasi sekolah SDN Cingenca kecamatan Kalapanunggal, TK Mandiri
Cikidang. Memberikan bantuan meubelair (meja dan kursi) kepada SMA
Kabandungan dan SDN Cipeuteuy di kecamatan Kabandungan.
Guna membantu meningkatkan mutu pendidikan, CHV bekerjasama
dengan pemerintah daerah sukabumi dan dinas pendidikan kabupaten Sukabumi
serta LSM, memfasilitasi pelaksanaan lokakarya serta workshop mengenai
kurikulum pendidikan yang diikuti oleh guru-guru se-kabupaten Sukabumi.
100
Program Comdev di Kabandungan terlalu menitik beratkan pada bidang infrastruktur tetapi tidak semua sarana pendidikan di Kabandungan tersentuh oleh program ini, sementara pelaksanaannya dilapangan tidak transparan dengan masyarakat mengenai anggarannya, sepertinya ada kongkalingkong dari pemberi bantuan dan pelaksana, seharusnya CHV menitikberatkan bantuan kepada murid-murid yang kurang mampu.” (HND Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
“Dalam bidang pendidikan CHV telah memberikan beberapa bantuan kepada sekolah, kedepan bantuan tidak hanya berupa fisik bangunan saja, tetapi bantuan lain yang juga dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya bantuan transportasi untuk anak-anak SMP/SMA karena jarak sekolah yang jauh. Kebanyakan orang tua tidak mampu menyekolahkan kerena masalah ongkos.” (AC, anggota BPD, 33 tahun)
Program pengembangan masyarakat ini ditujukan untuk mengembangkan
masyarakat sekitar lokasi operasi perusahaan, Program ini dilaksanakan secara
bersama-sama dengan Pemerintah, Masyarakat, LSM serta Perguruan tinggi,
sehingga program ini diharapkan dapat berjalan secara optimal serta
memberikan kontribusi peningkatan kualitas hidup Masyarakat disekitar lokasi
operasi Perusahaan, baik kesejahteraan maupun sumberdaya manusia.
“Dilapangan tidak seperti apa yang seperti yang disebutkan, kenyataannya di lapangan program-program tersebut seperti dirahasiakan. Mohon di perhatikan lembaga pendidikan swasta terutama di kecamatan Kabandungan” (ARDY /YNT Tokoh Pemuda,29 tahun )
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa perusahaan telah bereran serta
dalam meningkatkan pendidikan dan keterampilan masyarakat, meskipun di nilai
masih belum maksimal oleh masyarakat serta masih membutuhkan waktu yang
panjang untuk memperoleh hasil, tetapi sebagai sebuah proses upaya-upaya
yang telah dilakukan sudah mengarah pada perbaikan tingkat pendidikan dan
keterampilan masyarakat yang dapat berimplikasi pada peningkatan kualitas
sumberdya manusia di masa yang akan datang.
5.2. Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan
Dalam bidang kesehatan CHV melakukan penyuluhan kesehatan,
penyuluhan gizi dan peningkatan jangkauan sarana kesehatan serta bekerja
sama dengan dinas kesehatan kabupaten Sukabumi menggelar Program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN), disamping itu yang telah dilakukan oleh CHV adalah
101
pengobatan massal, sunatan massal serta bantuan obat-obatan, ribuan warga
dari beberapa daerah terpencil memperoleh bantuan pengobatan ini. Di samping
itu dilakukan juga menyebarkan informasi untuk mencegah HIV/AIDS kepada
generasi muda, bekerja sama dengan Yapeka serta kantor kementrian negara
lingkungan hidup.
“Program yang kami lakukan dalam bidang kesehatan diantaranya adalah Pelayanan Kesehatan Terpadu (Posyandu), CHV juga membantu dalam meningkatakan serta membangun puskesmas dan posyandu guna mendukung program pemerintah dalam menciptakan upaya meningkatkan tingkat kesehatan ibu dan anak, terutama di daerah sekitar operasi perusahaan. Disamping itu kami juga melakukan bakti sosial, kegiatan ini juga dilakukan untuk masyarakat di sekitar lokasi kerja CHV, seperti sunatan massal, vaksinasi/immunisasi “ (WE Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
“Program kesehatan yang dilakukan oleh CHV berjalan dengan baik dan sudah meyentuh kepentingan masyarakat, diantaranya pembangunan pos yandu, makanan tambahan untuk balita serta program pengobatan masal”. (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun)
Program dalam bidang kesehatan yang selama ini dilakukan oleh CHV
dianggap masyarakat masih belum memadai, karena masih bersifat insidentil
dan dilakukan secara seremonial saja. Terbatasnya Jumlah fasilitas dan tenaga
bidang kesehatan di kecamatan Kabandungan, mengakibatkan pelayanan
bidang kesehatan menjadi kurang maksimal. Jumlah fasilitas kesehatan
dikecamatan kabandungan terdiri atas 1 puskesmas, 2 puskesmas pembantu
(pustu) dan 38 pos yandu. sehingga dalam melakukan program pengembangan
masyarakat dalam idang kesehatan ini, masyarakat mengharapkan CHV dapat
membangun sebuah rumah sakit dengan fasilitas lengkap yang dapat
dipergunakan oleh masyarakat, rumah sakit sangat diperlukan oleh masyarakat
Kabandungan, karena rumah sakit yang terdekat jaraknya adalah sekitar 34 KM
(yaitu RSUD Sekarwangi), sehingga CHV tidak lagi melaksanakan program-
program bantuan yang sifatnya bantuan sesaat.
“CHV tidak pernah membuka mata bagaimana sulitnya masyarakat mendapat pelayanan kesehatan, tidak ada dokter,tidak ada bidan dan puskesmas jauh, padahal di gunung salak ada klinik dan ada dokter tiap hari nganggur. Mestinya CHV memperbolehkan masyarakat berobat ke situ atau menyediakan bantuan ambulance untuk membantu kesehatan” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
102
“Sebagai salah saatu perusahaan multinasional yang besar dan beroperasi di daerah yang jauh dari rumah sakit, seharusnya program kesehatan CHV harus sudah dapat membangun rumah sakit yang lengkap untuk masyarakat. Program selama ini hanya bersifat insidentil dan seremonial seperti sunatan masal, pengobatan gratis 1 tahun sekali dan bantuan PMT untuk anak-anak balita, kegiatan tersebut bagus, tetapi belum menyentuh kehidupan masyarakat secara keseluruhan dan belum menjawab kebutuhan masyarakat terhadap sarana kesehatan yang memadai” (DG tokoh formal Kabandungan, 43 th)
Untuk membantu menyediakan air bersih CHV telah melaksanakan
proyek pembangunan pipanisasi bagi warga kampung Tipar desa Mekarjaya
sepanjang 1.020 meter. Penyediaan air bersih layak minum untuk 170 Kepala
keluarga di di kecamatan Kalapanunggal juga membangun 7 unit “pompa setan”
yang ditempatkan di desa-desa di kecamatan Kalapanunggal serta membangun
dam penampungan air di desa Cianten untuk digunakan sebagai irigasi
pertanian dan kebutuhan air lainnya.
Sebagai upaya penyediaan fasililitas kesehatan bagi masyarakat, CHV
bekerja sama dengan LSM setempat telah membangun pos yandu di desa
Kabandungan, bantuan obat-obatan dan peralatan medis kepada Puskesmas di
kecamatan Pamijahan, pembinaan kader-kader posyandu di kampung Babakan
desa Kabandungan, menyediakan program makanan tambahan (PMT) untuk
anak balita bekerjasama dengan puskesmas pembantu, Polindes serta kader
PKK di kecamatan Pamijahan dan alam upaya perbaikan sanitasi masyarakat
telah dibangun fasilitas MCK untuk TK Al mustofa di desa Tugubandung dan 14
unit MCK di desa Purwabakti.
5.3. Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Pemberdayaan
Ekonomi Lokal
Untuk membantu memberdayakan ekonomi kerakyatan, CHV turut aktif
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal, terutama masyarakat
petani. CHV membina kelompok-kelompok tani antara lain petani sayur-mayur,
jagung, pepaya. Bantuan yang diberikan antara lain dalam bentuk bibit,pupuk,
penyiapan lahan dan fasilitas pertanian lain seperti bedeng-bedeng tanaman,
“Masyarakat tidak tahu samasekali tentang bantuan CHV dalam bidang kesehatan, karena tidak ada transparansi baik dari CHV maupun dari dinas kesehatan, pelaksanaan program kurang menyentuh masyarakat banyak, hanya segelintir orang saja yang menikmatinya”. (HND Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
103
bangunan tempat diskusi, peralatan pertanian seperti pompa air,
cangkul,parang,alat penyemprot hama dan lain-lain. Kelompok-kelompok tani
tersebut juga mendapat binaan dari Penyuluh pertanian yang diperbantukan
CHV bekerjasama dengan Dinas Pertanian setempat.
CHV juga membantu para kelompok tani di bidang peternakan. Melalui
bantuan ini diharapkan peternak lokal akan mampu memasok kebutuhan
komoditas pertanian di daerahnya sendiri. Bantuan juga diberikan kepada
sejumlah kelompok peternak domba dan itik petelur. Bantuan yang diberikan
berupa penyediaan bibit, pakan dan sarana pemeliharaan seperti kandang,
peralatan seperti mesin inkubasi/penetas telur serta bimbingan teknis. Bantuan-
bantuan tersebut dilaksanakan secara bergulir, artinya setelah satu kelompok
berhasil mandiri, maka bantuan harus diberikan kepada kelompok lain.
Dilapangan beberapa dari program bantuan tersebut tidak sampai kepada
masyarakat sasaran dan hanya dimanfaatkan oleh segelintir Tokoh, kelompok
atau LSM, hal ini terjadi karena adanya kesalahan dalam mengidentifikasi
kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh CHV, disisi lain kesalahan juga
berada di pihak masyarakat, karena masih terdapat Tokoh, kelompok atau LSM
yang memanfaatkan bantuan-bantuan dan program dari CHV untuk kepentingan
pribadinya.
“Progrm bantuan CHV itu selalu dimanfaatkan dan disalah gunakan oleh tokoh,LSM untuk kepentingan pribadinya sehingga rakyat tidak merasa terbantu karena bantuan jarang sampai sepenuhnya, terkadang kelompok usaha yang sudah ada dan berjalan tidak mendapat bantuan karena tidak ada yang mengajukan, tetepi kelompok lain yang baru dibentuk dan belum memulai usahanya di bantu karena ada yang bawa LSM atau tokoh tertentu.” (ARDY /YNT) Tokoh Pemuda, 29 th )
“CHV tidak melihat sendiri dan langsung apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, bantuan perusahaan yang turun tergantung dari proposal atau permintaan kelompok tertentu saja yang mengatasnamakan masyarakat, dan ini seringkali disalah gunakan.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
Disamping hal tersebut diatas, di masyarakat juga masih terdapat
kelompok-kelompok pemberdayaan yang tidak mau menggulirkan bantuannya ke
kelompok lain, sehingga perguliran menjadi terhenti, atau kalaupun digulirkan,
digulirkan ke saudaranya atau kerabatnya bahkan ada yang menjual bantuan
yang seharusnya digulirkan (kasus bantuan domba bergulir di Kedusunan
Cimanggu, Babakan dan Ciawitali) dan CHV tidak pernah memberikan sanksi
104
kepada kelompok-kelompok yang melakukannya, hal ini tentunya akan
mengganggu pelaksanaan program di masa yang akan datang.
“Program pemberdayan ekonomi lokal belum berjalan dengan maksimal, karena pihak-pihak yang telibat dan mendapatkan bantuan hanya itu-itu saja dan kelompok-kelompok tertentu saja tidak merata kepada semua masyarakat. Mereka yang menerima tidak mau menggulirkan bantuan yang diperoleh, paling di gulirkan ke saudaranya walaupun bukan anggota kelompok. Contohnya bantuan domba.” (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun)
CHV juga mendukung upaya pengembangan usaha lokal untuk
memajukan pertumbuhan ekonomi setempat dalam rangka meningkatkan mutu
kehidupan dan membuka peluang bagi masyarakat sekitar. Pertumbuhan
ekonomi tempatan sangat penting untuk mencapai pembanguan ekonomi
berkelanjutan. Seiring dengan pertumbuhan dan perluasan-perluasan usaha
lokal, maka akan terjadi lebih banyak pembelanjaan, meningkatkanya
pembelanjaan ini pada akhirnya akan menciptakan pendapatan untuk
mendukung lebih banyak usaha-usaha baru, sehingga terbangun sebuah sistem
ekonomi lokal yang mampu menunjang pertumbuhan berkelanjutan serta
membuka peluang bagi generasi mendatang.
“Partnership Program untuk Small And Medium Enterprises (Usaha Kecil Menengah); merupakan program pengembangan usaha masyarakat. Program ini untuk bekerjasama dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian setempat. Program ini juga termasuk training entrepreneurship, dan penyuluhan dalam pengelolaan usaha. Besar harapan Kami, dengan adanya Program Pengembangan Usaha Masyarakat ini, secara langsung akan mendorong pertumbuhan usaha kecil menengah yang juga merupakan salah satu perhatian Chevron dengan kegiatan penguatan masyarakatnya. Dalam melaksanakan program ini, telah banyak bekerja sama dengan LSM dan lembaga, yang tujuannya untuk penguatan kelembagaan bagi lembaga UKM. Bentuk penguatan ini adalah dukungan bagi lembaga keuangan mikro, baik dari sisi operasional maupun teknis. Kegiatan selanjutnya adalah penyelenggaraan pelatihan bagi para pelaku usaha kecil dan menengah di sekitar wilayah operasional CHV. Kemudian di akhiri dengan pendirian sentra produksi dan distribusi bagi komoditas pertanian dan produk industri kecil masyarakat. Program Pengembangan Usaha Masyarakat diharapkan akan semakin menampakan hasil dan manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya para pengusaha kecil dan menengah.Program ini merupakan proses yang berjalan dari waktu ke waktu dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, namun program harus terus berjalan sesuai dengan kebutuhan.” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
Untuk mewujudkan harapan diatas, Perusahaaan memberikan bantuan
bibit dan pupuk kepada kelopok-kelompok tani diantaranya bantuan bibit pepaya
dan pupuk kepada kelompok tani IRMA di kampung Ciawitali desa Kabandungan
dan di Desa Cianten, bantuan bibit pertanian,pupuk dan obat-obatan kepada
105
kelompok tani KSM Bina sejahtera di desa Palasari Girang, bantuan bibit,pupuk
serta peralatan pertanian untuk kelompok tani Hemapta di desa Pulosari,
budidaya pertanian organik dan pembuatan kompos bekerja sama dengan
kelompok pertanian organik di desa Ciasmara dan Desa Ciasihan. Bantuan juga
diberikan kepada kelompok tani ternak ikan air tawar berupa bantuan bibit ikan
dan pakan serta tenaga instruktur di kampung Cimanggu desa Kabandungan
dan di desa Cibunian serta di desa Purwabakti
Bekerjasama dengan Pemuda Pancasila memberikan bantuan kepada
kelompok pengrajin kayu untuk peningkatan kualitas pembuatan meubelair di
desa tugu bandung serta peningkatan keahlian pemuda bekerja sama dengan
forum pemuda empat desa (FPED) kecamatan Pamijahan.
Dalam rangka membantu meningkatkan keterampilan masyarakat dan
mengurangi pengangguran, CHV bekerjasama dengan balai latihan kerja (BLK)
kabupaten Sukabumi telah memberikan pelatihan keterampilan kepada generasi
muda dengan berbagai keterampilan antara lain montir,menjahit dan pemberian
modal kerja.
“Sebetulnya dulu CHV pernah membantu pemberdayaan ekonomi warga seperti bidang peternakan kambing dan ikan serta warung kelontong di kampung Cimanggu, namun program itu tidak ada kelanjutannya dan selesai begitu saja , tidak ada pertanggungjawabannya” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
“Pemberdayaan ekonomi lokal sudah berjalan tetapi tolong di kontrol minimal 1 bulan 1 kali jangan Cuma nunggu laporan akhir diatas kertas, karena masih banyak di rekayasa hasil kenyataan dan laporan diatas kertas jauh berbeda.” (ES, ketua kelompok penerima bantuan pertanian dan perikanan, 37 tahun)
Untuk memanjukan serta memberikan kesempatan kepada para
pengusaha lokal CHV mengadakan program LBD (Local Business Development)
yaitu suatu program untuk meningkatkan kesempatan berusaha bagi Pengusaha
tempatan dengan memberikan kemudahan-kemudahan tertentu bagi para
pengusaha lokal dengan sayarat-syarat tertentu. Program ini bertujuan untuk
membantu, mendorong dan membina pengusaha kecil dan koperasi tempatan.
Program ini memiliki visi menjadikan perusahaan kecil dan koperasi tempatan
sebagai rekanan yang handal, professional dan mampu bersaing dengan
perusahaan lainnya dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan
perusahaan
106
“Program LBD itu penuh dengan muatan politis dan hanya akal-akalan saja untuk mengkerangkeng pengusaha lokal, karena sebenarnya, tidak ada kemudahan yang dijanjikan itu, kita diperlakukan sama saja dengan perusahaan-perusahaan besar.” (JHN tokoh Pemuda/Ketua LSM 40 tahun)
Walaupun CHV telah menjalankan program pengembangan masyarakat
dalam bidang pemberdayaan ekonomi lokal tetapi dalam pelaksanaannya
program tersebut dianggap masih kurang berdampak terhadap para pengusaha
lokal (local vendor), para pengusaha lokal memandang masih kurangnya
kesempatan bagi pengusaha lokal untuk meningkatkan dan mengembangkan
usaha. Kesempatan usaha yang besar cenderung jatuh kepada perusahaan
besar dari luar daerah seperti dari Jakarta dan Bandung, sementara pengusaha
loakal hanya mendapat kesempatan pekerjaan yang nilainya kecil seperti
memasok material-material alam (batu kali, pasir dan material bangunan) dan
pekerjaan-pekerjaan konstruksi yang tidak membutuhkan keahlian yang terlalu
tinggi. Terlalu timpangnya kesempatan yang diperoleh antara pengusaha lokal
yang kecil dengan pengusaha besar yang pendatang telah menimbulkan
resistensi di kalangan pengusaha lokal terhadap perusahaan.
“Omong kosong, tidak ada pemberdayaan ekonomi lokal, gaji karyawan saja masih dibawah UMK, kesempatan besar lebih banyak di berikan kepada pengusaha besar dari jakarta, pengusaha lokal hanya di beri order-order kecil yang tidak dikerjakan oleh pengusaha besar.” (FF, Pengusaha lokal, 40 tahun.)
“Pemberdayaan ekonomi lokal CHV tidak berjalan, hal ini terlihat dari tidak adanya keterlibatan pengusaha lokal dalam tender-tender yang besar, semuanya perusahaan dari luar, mereka cenderung memberikan tender kecil-kecilan saja kepada pengusaha lokal.” (HND,Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
Program pengembangan masyarakat dalam bidang pemberdayaan
ekonomi lokal (melalui usaha pertanian dan peternakan) di beberapa tempat
(Pulosari dan Palasari) telah berhasil menggerakan perekonomian lokal, tetapi
masih dalam wilayah yang sangat kecil (baru para pelaksana program saja). Hal
ini terjadi karena belum meratanya penyebaran program ini, pelaksanaan
program cenderung terpusat di satu atau dua daerah saja. Program tersebut
sebenarnya berpotensi untuk dapat mengembangkan perekonomian lokal, tetapi
harus dilaksanakan secara menyebar dan lebih intensif.
107
5.4. Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Lingkungan
Dalam bidang lingkungan CHV berpartisipasi melakukan kegiatan
konservasi bersama masyarkat dan stakeholder yang berada dalam satu
kawasan diantaranya program penanaman kembali hutan (reboisasi) di kawasan
koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) terletak di Desa
Cipeuteuy, penyediaan bibit pohon untuk penghijauan di 4 desa. CHV juga
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pelatihan lingkungan untuk guru-guru dan
pelajar bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Dalam rangka
meningkatkan kesadaran lingkungan sejak dini, CHV bekerjasama dengan LSM
lokal mengadakan kegiatan pendidikan konservasi di untuk murid-murid sekolah
dasar.
CHV juga bekerja sama dengan PPLH-IPB (Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup-Institut Pertanian Bogor) melakukan kegiatan dalam bidang konservasi
kawasan hutan dimana perusahaan beroperasi, serta memantau kualitas air dan
udara.
Kegiatan lingkungan; juga turut Kami lakukan, diantaranya dengan • Melakukan penghijauan bersama multistakeholders di lokasi-lokasi pinggir hutan
Gunung Halimun Salak. • Pendidikan lingkungan ke murid-murid sekolah • Penelitian dan pemantauan flora fauna di lokasi hutan sekitar kerja CHV. (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
“CHV seharusnya lebih sering melakukan penghijauan, walaupun penghijauan sudah dilakukan, tetapi masih kurang dibanding dengan kerusakan hutan yang dilakukan.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
“Kekurangan air yang terjadi di wilayah kita adalah salah satu dampak dari adanya CHV, dulu musim kemarau 3 bulan air tidak surut sekarang kemarau seminggu sudah tidak ada air, hancrnya sungai-sungai di sini juga dampak tidak langsung dari adanya perusahaan, karena masyarakat mengambil batu-batu sungai untuk dijual ke proyek CHV” (FK Pengusaha/Tokoh Pemuda, 39 tahun)
“Program lingkungan yang dilakukan oleh CHV masih kurang, tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.” (ARDY/YNT) Tokoh Pemuda, 29 tahun )
108
“Kegiatan pembangunan fasilitas produksi CHV telah menimbulkan kerusakan di daerah kabandungan yaitu dengan adanya galian C untuk penambangan batu dan pasir di sepanjang sungai cipanas,ciawitali dan cibeureum untuk di jual ke CHV. Program reboisasi yang dilakukan oleh CHV hanya seremonial saja, sedangkan efek dari kegiatan pengeboran seperti mengeringnya sumber air tidak pernah tersentuh program.” (HND Karang Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
Dalam melaksanakan program pengembangan masyarakat di bidang
lingkungan ini, CHV nampaknya masih melakukannya secara seremonial,
misalnya ketika ada event-event tertentu saja misalnya ketika ada program
penghijauan yang dilakukan pemerintah atau ketika sedang memperingati hari
lingkungan hidup saja. Program reboisasi dan forestasi yang kontinyu dan
terprogram hanya dilakukan dilingkungan kerja perusahaan saja yaitu di wilayah
gunung salak (tempat CHV beropersi). Sementara yang di lakukan diluar wilayah
opersi perusahaan tidak terprogram dengan baik dan tidak dikuti dengan
pemeliharaan yang baik, sehingga banyak kayu yang ditanam mati, sehingga
tidak berdampak kepada lingkungan.
“Yang saya ketahui program lingkungan yang dilaskanakan oleh CHV ada, tetapi kegiatannya tidak bersifat rutin, hanya insidentil aja jika ada hari lingkungan hidup.” (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun)
“Ke depan Kami akan melakukan kegiatan penanaman pohon di fokuskan di sepanjang DAS yang d lingkungan operasi Kami, sehingga program ini akan lebih terarah dan bermanfaat bagi lingkungan.” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
5.5. Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Infrastruktur
Bantuan berupa pembangunan dan renovasi fasilitas umum terus
diberikan oleh CHV dan ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi
masyarakat sekitar lokasi CHV. Bantuan di berikan dalam bentuk pemberian
material/bahan bangunan, aspal dan meminjamkan alat berat. Sementara
pembangunannya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Kegiatan
pembangunan atau renovasi yang dilakukan selalu melibatkan partisipasi aktif
dari seluruh elemen masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat langsung,
diharapkan masyarakat setempat merasa memiliki dan menjaga fasilitas yang
dibangun tersebut. Selain dapat merasakan manfaat dari fasilitas yang dibangun
109
tersebut mereka juga dapat menambah pendapatan keluarga melalui padat
karya.
“Dalam kegiatan infrastruktur; CHV juga turut membantu pemerintah dalam membangun, merenovasi jembatan, jalan, saluran air bersih, MCK, dan public fasilitas lainnya. Diharapkan dengan bantuan ini menjadikan mempermudah akses sehingga nantinya lebih memudahkan dalam peningkatan perekonomian setempat, dan kebijakan perusahaan adalah selalu memberikan bantuan dalam bentuk barang.material (in kind) serta harus ada partisipasi dari masyarakat” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
“Bantuan yang diberikan seharusnya tidak hanya material saja, itupun tidak semua material yang dibutuhkan, misalnya untuk pembangunan jalan hanya diberikan bantuan asphalt-nya saja sehingga untuk membeli material lainnya diserahkan kepada masyarakat, sementara masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk itu, untuk makan aja sulit, jadi biasanya asphalt-nya di jual sebagian untuk membeli material lainnya Hal ini akan mengakibatkan rendahnya mutu jalan yang dibangun. Jadi kalau mau membantu jangan setengah-setengah.” (ARDY (YNT) Tokoh Pemuda,29 th )
Program yang telah dilakukan diantaranya partisipasi dalam renovasi
kantor desa, pengaspalan jalan protokol dari parungkuda ke gunung salak,
Pengaspalan jalan desa Pulosari, peningkatan jalan Kabandungan-Cipeuteuy,
Peningkatan jalan Cigoong-Nangerang, pembangunan shelter ojek di desa
Kabandungan, perbaikan pos Polsek Kalapanunggal, perbaikan jalan desa
Kedusunan Babakan, Cimanggu dan Ciawitali, pembangunan jembatan di
Cibeureum dan Cibojong, pembangunan bendungan untuk irigasi pertanian serta
bantuan penyediaan alat-alat berat untuk pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan alat-alat berat. CHV juga membantu pembuatan serta perbaikan
lapangan sepak bola di tiga kecamatan.
“Dalam melaksanakan program pembangunan infrastruktur koq’ kayaknya lebih banyak diberikan ke daerah yang jauh, sementara daerah yang dekat dengan CHV diabaikan, proposal yang diajukan saja tanggapannya lamban, seperti jalan Cimanggu-Malani yang cuman 1.800 m, padahal ditempat lain yang jauh yaitu di cikidang mereka membangun jalan 6 Km, hotmix lagi.!” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
“CHV terlalu mengandalkan Pemda untuk pembangunan, seharusnya mereka punya andil yang besar untuk pembangunan infrastruktur desa kami, seperti yang mereka lakukan di Kamojang.bantuan yang ada juga cuman bantuan aspal curah saja tidak dengan materialnya.” (HND Aktivis Karang taruna. 26 th)
110
“CHV tidak mau membantu pembangunan sekolah madrasah dan mesjid dengan alasan kebijakan perusahaan melarang, padahal banyak kondisi madrasah banyak yang sudah tidak layak dan membahayakan keselamatan siswa.” (YDY, guru swasta, 35 tahun)
“ Program comdev CHV dalam bidang infrastruktur Apa ya?, secara geografis kami adalah kampung yang paling berdekatan dengan perusahaan akan tetapi kepedulian mereka kepada kami sangat minim, padahal kami dengar di tempat lain yang jauh mereka membangun ini-itu. Contohnya masyarakat sini mengajukan pengaspalan jalan Cimanggu-malani sepanjang 1.800 m aja sampai sekarang tidak ada jawaban, entah kapan!, padahal kalau ada apa-apa kampung kami dulu yang kena,heran Saya!.” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
Program pengembangan masyarakat dalam bidang infrastruktur ini
merupakan program yang menyedot dana terbanyak dari sekian bidang yang
digarap, masyarakat cenderung melihat bantuan yang dibutuhkan harus dalam
bentuk infrastruktur karena memang di kecamatan Kabandungan infrastruktur
masih belum lengkap, tetapi disisi lain perusahaan memandang bahwa
infrastrukur bukanlah hal yang paling utama yang harus dibantu, dalam bidang
pendidikan misalnya, CHV lebih melihat pentingnya membantu “Software”-nya
ketimbang membantu “hardware”-nya artinya lebih membantu peningkatan
kapasitas guru, beasiswa dan hal lain dalam peningkatan kualitas SDM-nya
daripada membangun bangunan sekolahnya.
Disisi lain CHV berharap bahwa sekolah-sekolah yang sudah di bantu
pembangunan sarana fisiknya (bangunan, meubelair atau dalam bentuk lain)
dapat memberikan beasiswa kepada murid yang membutuhkan, hal ini di
mungkinkan karena sekolah yang di bantu tersebut secara tidak langsung sudah
melakukan penghematan dana untuk pembangunan karena pembangunanya di
ambil alih oleh CHV, sehingga dana pembangunan yang ada dapat di gunakan
untuk menambah dana operasional sekolah agar menjadi lebih murah atau di
gunakan untuk beasiswa murid, agar semakin banyak anak yang bisa masuk
sekolah.
Program pengembangan masyarakat dalam bidang infrastruktur adalah
program pengembangan masyarakat yang paling memungkinkan dilaksanakan
oleh CHV, karena disamping banyaknya proposal pembangunan infrastruktur
dari masyarakat juga pembangunan infrastruktur bentuknya konkret, sehingga
lebih cepat dilihat mata dan dapat dijadikan etalase pelaksanaan program
pengembangan masyarakat oleh perusahaan.
111
5.6. Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Komunikasi dan
Hubungan Sosial Masyarakat
Dalam rangka melanjutkan komitmen CHV untuk membangun dan
memelihara hubungan konstruktif dan positif dengan masyarakat setempat
khususnya masyarakat yang berada paling dekat dengan wilayah operasi, CHV
menjalin dialog yang berkesinambungan dengan para tokoh setempat. Selain itu
CHV berupaya untuk belajar lebih banyak tentang masyarakat setempat, sejarah
dan keberadaan masyarakat dalam rangka membina dan membangun tatanan
yang lebih baik bagi upaya pemberdayaan masyarakat setempat. Perusahaan
sangat menghormati masyarakat setempat dan budayanya, serta mencoba
berdialog mengenai isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari dialog-
dialog tersebut telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting bersama
masyarakat.
“Dalam kegiatan komunikasi, memang sudah dan sedang dilakukan baik formal dan informal. Namun dirasakan perlu ditingkatkan sesuai dengan perkembangan dan kondisi.” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
Dalam bidang komunikasi program yang telah dilaksanakan adalah
menjalin komunikasi baik secara formal maupun informal dengan seluruh
komponen masyarakat melalui berbagai macam kegiatan diantaranya safari
Ramadhan dan buka puasa bersama yang dilakukan secara berkeliling dari
mesjid ke mesjid bersama muspika di tiga kecamatan, peyuluhan kesehatan
bekerjasama dengan puskesmas, mengadakan sosialisasi bahaya laten komunis
(balatkom) bekerjasama dengan koramil di kecamatan Kabandungan dan
Kalapanunggal.
“CHV dalam melakukan komunikasi agar lebih terbuka dan dekat dengan masyarakat serta dikenal oleh masyarakat, maka seharusnya mengangkat karyawan dalam bagian Humas dari penduduk lokal agar mengenal daerahnya.” (AR, anggota BPD, 33 tahun)
“Seharusnya dalam hal komunikasi dan hubungan dengan masyarakat, perusahaan melibatkan kepala desa, kepala dusun, RW dan para RT serta tokoh masyarakat karena ini akan menghindarkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, yang terjadi sekarang CHV tidak melibatkan aparat setempat lebih sering menggunakan kelompok-kelompok atau tokoh-tokoh tertentu saja.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
112
Dalam berkomunikasi dengan masyarakat, CHV menghormati adat-
istiadat yang yang berlaku di sekitar daerah operasi perusahaan. CHV juga
terlibat aktif dalam perayaan peringatan hari kemerdekaan dalam bentuk
partisipasi berupa bantuan alat-alat olah raga, kaos tim, piala bagi pemenang
perlombaan serta mengirimkan karyawan perusahaan untuk mengikuti upacara
peringatan hari kemerdekaan di kecamatan.
“Mungkin dengan orang-orang atau pihak-pihak tertentu bisa terjadi hubungan yang baik, tetapi secara keseluruhan untuk masyarakat biasa sangat susah untuk berkomunikasi dengan CHV, mau masuk aja susah apalagi bertemu.” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
CHV telah berpartisipasi dalam kegitan keagamaan seperti safari
Ramadhan yaitu berkunjung untuk berbuka puasa bersama masyarakat
sekaligus bersilaturahmi di desa-desa terpencil di dekat lokasi perusahaan,
dalam kesempatan inilah terjadi proses dialog,berbagi pengalaman, sosialisasi
program pengembangan masyarakat CHV, rencana kegiatan opersi perusahaan
serta pembicaraan mengenai prioritas pembangunan di desa-desa yang mungkin
dapat di bantu oleh perusahaan.
“Komunikasi dalam arti menyerap aspirasi masyarakat jarang dilakukan oleh CHV, jangankan untuk berkomunikasi dengan masyarakat, untuk akses masyarakat ke CHV saja sangat dibatasi, orang dari humas-nya saja tidak kami kenal apalagi untuk berkomunikasi, sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat jarang diketahui oleh CHV.” (HND Ketua Karang taruna. 26 tahun)
Olahraga juga digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan
masyarakat, perusahaan memberikan bantuan alat-alat olahraga dan perbaikan
lapangan dan mensponsori kegiatan pertandingan olahraga di tingkat
kecamatan, klub bola yang memenangkan pertandingan kemudian dikirim untuk
bermain di stadion Lebak Bulus Jakarta untuk melakukan pertandingan
persahabatan dengan karyawan CHV Jakarta sambil berekreasi.
“Komunikasi dan hubungan sosial berjalan kurang baik, komunikasi baru dilakukan jika CHV sedang menghadapi masalah seperti jika mau ada demo dari masyarakat, baru CHV mengadakan komunikasi/pendekatan kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk meredam.” (YDY ,guru / ketua LSM S, 30 tahun)
“CHV menutup diri, berkomunikasi kalau sedang ada masalah dengan penduduk saja.” (DF, pengusaha,42 tahun)
113
“CHV kurang bermasyarakat, lebih banyak tertutup dan hanya orang-orang dekat dan orang-orang tertentu saja yang dapat berkomunikasi dengan perusahaan” (Ust. IR,guru madrasah,33 tahun)
“Komunikasi dengan masyarakat dirasa masih kurang dan jarang, saya sarankan tolong diadakan acara silaturahmi dengan masyarakat minimal 1 tahun sekali dalam acara hari besar Islam ataupun hari besar nasional untk mempererat hubungan dengan masyarakat sekitar.” (ES, ketua kelompok penerima bantuan pertanian dan perikanan, 37 tahun)
5.7. Pelajaran Pelaksanaan Terbaik (Best Practice) Program
Pengembangan Masyarakat
Untuk pelaksanaan terbaik (best practice) program pengembangan
masyarakat, dipilih PT Aneka Tambang, Tbk (PT. Antam,Tbk), dengan alasan
PT. Antam,Tbk di pandang sebagai perusahaan pertambangan yang memiliki
program pengembangan masyarakat yang baik, hal ini di tandai dengan telah
banyaknya penghargaan yang diperoleh oleh perusahaan baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri atas program pengembangan masyarakat yang telah
dilaksanakannya.
PT. Antam,Tbk, sebagai perusahaan pertambangan dan pengolahan
mineral yang terdiversifikasi dan terintegrasi secara vertikal menjadikan CSR
sebagai bagian dari strategi Perusahaan untuk dapat tumbuh secara
berkelanjutan. Sejak tahun 2005, PT. Antam,Tbk telah menerbitkan Laporan
Keberlanjutan (Sustainability Report) dan sejak tahun 2006 PT. Antam,Tbk telah
menggunakan format yang berpedoman pada Sustainability Reporting Guideline
(G3) yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI). Informasi yang
diungkapkan dalam laporan tersebut meliputi semua operasi unit bisnis PT.
Antam,Tbk di Indonesia, termasuk di dalamnya pertambangan nikel, emas, dan
mineral lainnya,manufaktur, perdagangan dan jasa yang terkait dengan kegiatan
usaha pertambangan. Sustainability Report berisi langkah-langkah PT.
Antam,Tbk dalam menempuh jalan keberlanjutannya serta bagaimana
meningkatkan kinerja terbaiknya untuk pilar-pilar ekonomi, lingkungan dan sosial.
Komitmen tinggi dari PT. Antam,Tbk untuk dapat melaksanakan
pengelolaan tambang yang baik dan benar untuk mencapai pertumbuhan yang
114
berkelanjutan ditunjukkan dengan tingginya komitmen PT. Antam,Tbk untuk
mengelola lingkungan dan sosial.
Komitmen yang tinggi terhadap lingkungan dan sosial itu tercermin dari
struktur organisasi perusahaan dimana pada tahun 2008, PT. Antam,Tbk
melakukan perubahan struktur organisasi untuk menangani hal-hal yang terkait
dengan isu lingkungan dan pasca tambang. Struktur organisasi pengelolaan CSR
disahkan melalui SK Direksi No. 216.K/0251/DAT/2008, Sehingga dengan
demikian maka pelaksanaan pengembangan masyarakat PT. Antam,Tbk dapat
dilaksanakan dengan lebih terorganisir dan berkelanjutan karena adanya
dukungan Perusahaan serta top management yang sangat besar untuk
menwujudkannya.
Tugas dan peran Satuan Kerja Corporate Social Responsibility PT.
Antam,Tbk adalah:
1. Menyusun strategi, kebijakan dan program CSR dan post mining perusahaan
untuk mendukung kelancaran pengelolaan perusahaan dan terciptanya citra
perusahaan yang lebih baik di mata masyarakat;
2. Mengkoordinasi dan melaksanakan program CSR dan post mining (program
kemitraan, bina lingkungan dan pengelolaan program post mining);
3. Mengendalikan dan mengevalusi kegiatan CSR dan post mining
Satuan kerja CSR ini akan mengkoordinasikan implementasi CSR di seluruh unit
bisnis PT. Antam,Tbk.
Sebagai bentuk pelaksanaan prinsip responsibility dalam praktik good
corporate governance (GCG), PT. Antam,Tbk telah menjalankan program-
program CSR. PT. Antam,Tbk telah melaporkan kegiatannya itu dalam Laporan
Berkelanjutan (Sustainability Report) sebagai laporan yang terpisah dari Laporan
Tahunan yang merupakan bentuk keterbukaan.
Secara kelembagaan komitmen tersebut ditunjukkan dengan dibentuknya
Komite Lingkungan dan Pasca Tambang sebagai bagian dari pengawasan yang
dijalankan oleh Dewan Komisaris. Tanggung jawab sosial perusahaan di PT.
Antam,Tbk dilandaskan pada nilai-nilai perusahaan,standar etika, peraturan
perundangan nasional maupun internasional yang berlaku serta diselaraskan
dengan strategi perusahaan. CSR dilakukan dengan identifikasi stakeholder,
implementasi CSR, komunikasi dan kepatuhan atas CSR di PT. Antam,Tbk.
Kegiatan CSR PT. Antam,Tbk terangkum dalam Laporan Keberlanjutan
115
(Sustainability Report) yang dibuat sebagai bagian dari praktik GCG PT.
Antam,Tbk. Program CSR PT. Antam,Tbk dilakukan pada 4 area yaitu:
1. Nature.
Dalam konsep triple bottom line, nature atau planet merupakan area yang
harus diperhatikan Perusahaan. Seperti dijelaskan di atas, kegiatan utama
PT. Antam,Tbk berhubungan langsung dengan alam sehingga tidak salah jika
PT. Antam,Tbk mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
alam dimana Perusahaan beroperasi. Bentuk CSR yang dilakukan PT.
Antam,Tbk pada area ini berhubungan dengan pengelolaan dan
pengendalian limbah, tingkat polusi, konsumsi energi, penggunaan material
yang efisien, pengembalian fungsi lahan bekas tambang (reklamasi)
dandihasilkannya produk yang bermutu dan tidak berbahaya bagi lingkungan.
2. Well being
Karyawan sebagai bagian dari stakeholder Perusahaan merupakan bagian
dari people dalam konsep triple bottom line. Tanggung jawab perusahaan
terhadap karyawannya dilaksanakan dalam bentuk standar yang tinggi pada
kesehatan dan keselamatan kerja, komitmen atas pendapatan pegawai yang
memadai (income toliving cost ratio), kepuasan pegawai, dan kegiatan
bersama keluarga pegawai.
3. Society
Dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi
keberadaan,kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga
PT. Antam,Tbk sangat berkomitmen untuk memberikan manfaat dan nilai
tambah kepada masyarakat. Bentuk kegiatan yang dilakukan PT. Antam,Tbk
sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat berkaitan dengan
pemberdayaan komunitas lokal, bantuan konsultasi kepada masyarakat dan
community development.
Contoh yang paling penting dari kegiatan ini adalah mendirikan lembaga
pendidikan dimana Infrastrktur,manajemen, sumberdaya manusia, serta
operasionalnya ditangani oleh Yayasan yang di bentuk oleh PT. Antam,Tbk,
sehingga masyarakat mendapat manfaat yang berkelanjutan dari keberadaan
lembaga tersebut. (kebanyakan yang dilakukan oleh perusahaan lain hanya
membantu dalam pembangunan infrastruktur fisik saja, sementara hal-hal
lain diluar itu tidak mendapat perhatian dan dianggap bukan merupakan
116
tanggung jawab perusahaan, sehingga berdampak kecil terhadap
pengembangan sumberdaya manusia masyarakat sekitar).
4. Economic
Fokus utama dari seluruh kegiatan usaha Perusahaan adalah profit. Inilah
bentuk tanggang jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang
saham Perusahaan. Profit pada hakikatnya merupakan tambahan
pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan
Perusahaan. Aktivitas ekonomi berhubungan dengan peningkatan
pendapatan, pengurangan biaya (cost reduction) atau peningkatan efisiensi,
pengembangan produk/pasar baru, dan penyederhanaan proses.
Pendekatan PT. Antam,Tbk terhadap pengelolaan lingkungan tertuang
dalam Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Lingkungan,
pelayanan kesehatan dan pengembangan masyarakat dimana dalam
melaksanakan kegiatannya, PT. Antam,Tbk akanmemprioritaskan K3,
memperhatikan kelestarian lingkungan, dan ikut serta dalam pengembangan
masyarakat, di dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Selain secara
kelembagaan dalam bentuk struktur organisasi, komitmen PT. Antam,Tbk juga
ditunjukkan dengan adanya peningkatan pengeluaran untuk bidang lingkungan
dari tahun ke tahun. Realisasi pengeluaran di bidang lingkungan tahun 2007
meningkat 6 persen dari tahun 2006 menjadi sebesar Rp. 42,6 miliar dan
diperkirakan meningkat menjadi Rp. 57 miliar di tahun 2008. Bentuk-bentuk CSR
dalam lingkungan hidup antara lain sistem manajemen lingkungan yang dicakup
dalam ISO 14001, pencarian sumber energi baru yang lebih efisien dengan
konversi energi dari PLTD menjadi PLTA dan PLTU, resirkulasi air kembali ke
dalam sistem sehingga mengurangi jumlah air yang diambil dari lingkungan,
pengelolaan limbah melalui pemanfaatan kembali atau daur ulang, pemantauan
limbah cair (effluent), emisi, dan limbah padat, perencanaan penutupan dan
kegiatan pasca tambang,pelestarian fauna yang dilindungi (Unit Bisnis
Pertambangan Emas Pongkor).
Jika pelaksanaan Program pengembangan masyarakat yang telah dan
sedang dilaksanakan oleh CHV dibandingkan dengan pelaksanaan terbaik (best
practice) yang dilakukan oleh perusahaan lain (PT. Antam,Tbk), maka terdapat
kelemahan dalam pelaksanaan Program pengembangan masyarakat
dilaksanakan oleh CHV yaitu dalam hal transparansi program dan keberlanjutan
program.
117
5.8. Ikhtisar
Disamping melaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi
di Gunung Salak, CHV juga telah melaksanakan program pengembangan
masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang
panas bumi, pasal 29 huruf f dinyatakan bahwa pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) panas bumi memiliki kewajiban melaksanakan program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Program pengembangan masyarakat yang telah dan sedang
dilaksanakan untuk masyarakat sekitar wilayah operasi gunung Salak antara lain
meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal,
lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan
masyarakat. Dalam pelaksanaannya, program pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh CHV telah mengalami pergeseran, beberapa program telah
berusaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di
libatkan walaupun baru diwakili oleh orang –orang tertentu saja, namun secara
umum realisasi program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
charity berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas
pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat
peribadatan lainnya.
Program pengembangan masyarakat CHV dalam bidang pendidikan
antara lain dalam bentuk bantuan beasiswa, program beasiswa ini di berikan
kepada siswa-siswi yang berprestasi tetapi berasal dari keluarga kurang mampu
dan diutamakan bagi masyarakat yang berada di disekitar lokasi kerja CHV mulai
dari jenjang sekolah dasar,menengah pertama, menengah atas sampai
perguruan tinggi. Tetapi kriteria penerima beasiswa tersebut tidak diketahui oleh
masyarakat sekitar sehingga terdapat opini di masyarakat bahwa program
tersebut dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan tidak transparan.
Dalam bidang kesehatan CHV melakukan penyuluhan kesehatan,
penyuluhan gizi dan peningkatan jangkauan sarana kesehatan serta bekerja
sama dengan dinas kesehatan kabupaten Sukabumi menggelar Program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN), disamping itu yang telah dilakukan oleh CHV adalah
pengobatan massal, sunatan massal serta bantuan obat-obatan. Di samping itu
dilakukan juga menyebarkan informasi untuk mencegah HIV/AIDS kepada
generasi muda, bekerja sama dengan Yapeka serta kantor kementrian negara
lingkungan hidup. Program dalam bidang kesehatan yang selama ini dilakukan
118
oleh CHV dianggap masyarakat masih belum memadai, karena masih bersifat
insidentil dan dilakukan secara seremonial saja.
Untuk membantu memberdayakan ekonomi, CHV turut aktif dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal, CHV membina kelompok-
kelompok tani antara lain petani sayur-mayur, jagung, pepaya. Bantuan yang
diberikan antara lain dalam bentuk bibit,pupuk, penyiapan lahan dan fasilitas
pertanian lain seperti bedeng-bedeng tanaman, bangunan tempat diskusi,
peralatan pertanian seperti pompa air, cangkul,parang,alat penyemprot hama
dan lain-lain. Tetapi di lapangan beberapa dari program bantuan tersebut tidak
sampai kepada masyarakat sasaran dan hanya dimanfaatkan oleh segelintir
Tokoh, kelompok atau LSM, hal ini terjadi karena adanya kesalahan dalam
mengidentifikasi kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh CHV, disisi lain
kesalahan juga berada di pihak masyarakat, karena masih terdapat Tokoh,
kelompok atau LSM yang memanfaatkan bantuan-bantuan dan program dari
CHV untuk kepentingan pribadinya.
Dalam bidang lingkungan CHV berpartisipasi melakukan kegiatan
konservasi bersama masyarakat dan stakeholder yang berada dalam satu
kawasan diantaranya program penanaman kembali hutan (reboisasi) di kawasan
koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), penyediaan bibit
pohon untuk penghijauan di 4 desa. CHV juga berpartisipasi dalam kegiatan-
kegiatan pelatihan lingkungan untuk guru-guru dan pelajar bekerja sama dengan
lembaga-lembaga lain. Tetapi program reboisasi dan forestasi yang kontinyu dan
terprogram hanya dilakukan dilingkungan kerja perusahaan saja yaitu di wilayah
gunung salak (tempat CHV beropersi). Sementara yang di lakukan diluar wilayah
opersi perusahaan tidak terprogram dengan baik dan tidak diikuti dengan
pemeliharaan yang baik, sehingga banyak kayu yang ditanam mati, sehingga
tidak berdampak kepada lingkungan.
Bantuan berupa pembangunan dan renovasi fasilitas umum juga
diberikan oleh CHV bagi masyarakat sekitar lokasi CHV. Bantuan di berikan
dalam bentuk pemberian material/bahan bangunan, aspal dan peminjaman alat
berat. Sementara pembangunannya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Program pengembangan masyarakat dalam bidang infrastruktur ini merupakan
program yang menyedot dana terbanyak dari sekian bidang yang digarap.
Dalam rangka membangun dan memelihara hubungan konstruktif dan
positif dengan masyarakat setempat khususnya masyarakat yang berada paling
119
dekat dengan wilayah operasi, CHV menjalin dialog yang dengan para tokoh
setempat tetapi komunikasi dalam arti menyerap aspirasi masyarakat jarang
dilakukan oleh CHV.
Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekkan dalam
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV di kecamatan
Kabandungan adalah derajat ke-1 (paling rendah), dimana Pihak luar (baik
perguruan tinggi maupun LSM) yang merumuskan permasalahan,
mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis, sedangkan masyarakat hanya
sebagai obyek dari pelaksanaan program. Jika dilihat dari derajat kedalaman
ikatan orang-orang yang terlibat dalam program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh CHV adalah partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif.
Jika pelaksanaan Program pengembangan masyarakat yang telah dan
sedang dilaksanakan oleh CHV dibandingkan dengan pelaksanaan terbaik (best
practice) oleh perusahaan lain (PT. Antam,Tbk), maka terdapat kelemahan
antara lain dalam hal transparansi dan keberlanjutan program.
120
Matriks 5.3. Time line Pelaksanaan Program Pegembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak.
No.
Keterangan
2003
2004
2005
2006
2007
1.
Pendekatan pengembangan masyarakat
Karitatif
Karitatif
Karitatif
Karitatif + Pemberdayaan
Karitatif + Pemberdayaan
2. Penekanan program • Infrastruktur • Income
generation
• Infrastruktur • Income
generation
• Infrastruktur • Pemberdayaan
ekonomi • Kesehatan
• Infrastruktur • Pemberdayaan
ekonomi masyarakat
• Infrastruktur • Local Business
Development (untuk local vendor CHV)
• Pembentukan UKM dan LKM
3. Keterlibatan masyarakat dalam program pengembangan masyarakat
Kurang Kurang Kurang Meningkat Meningkat
4. Jumlah dana
Tidak ada data Tidak ada data Rp. 4 Milyar Rp. 8,5 Milyar Rp. 8,9 Milyar (perkiraan)
5. Luas area kegiatan 2 kecamatan (Kabandungan dan Kalapanunggal , Pamijahan belum intensif)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
121
Sumber: Hasil wawancara dan www.jabar.go.id
No.
Keterangan
2003
2004
2005
2006
2007
6.
Pihak yang terlibat
• Perguruan tinggi • Kelompok-
kelompok lokal • LSM Lokal
• Kelompok-
kelompok lokal • LSM Lokal
• INRR • Kelompok-
kelompok lokal • LSM Lokal
• INRR • CI • Perguruan tinggi • Kelompok-
kelompok lokal • Desa dan Muspika • LSM Lokal
• PNM • Perguruan tinggi • Kelompok-
kelompok lokal • LSM Lokal
7. Keberhasilan Program Kurang berhasil Kurang berhasil Kurang berhasil
Kurang berhasil Kurang berhasil
8. Transparansi kegiatan Tidak Transparan Tidak Transparan Tidak Transparan Tidak Transparan Tidak Transparan
9. Driving Force Tuntutan Masyarakat
• Tuntutan Masyarakat
• Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
• Tuntutan Masyarakat
• Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
• Tuntutan Masyarakat
• Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
• Tuntutan Masyarakat
• Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
123
Matriks 5.4. Ikhtisar Analisis Pelaksanaan Program Pegembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak.
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
1
Hakikat Pembangunan
Pengembangan masyarakat merupakan suatu strategi dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakayat (people centered development) yang menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal serta kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya sosial ekonomi yang dimiliki, “ruh” pengembangan masyarakat adalah populisme atau popularisme, yaitu menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting energi pembangunan dengan keseluruhan hak dan kewajiban serta harkat dan martabatnya. Pengembangkan masyarakat seharusnya diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya,-
Realisasi program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma (karitatif) berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas infrastrukur fisik, bantuan belum dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya, misalnya dengan bantuan manajemen dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia-nya. Akibatnya masyarakat menganggap bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas apapun permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga kapasitas civil society menjadi lemah dan pada akhirnya menciptakan ketergantungan (dependency syndrome) masyarakat terhadap perusahaan
Dalam pelaksanaannya, program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV telah mengalami pergeseran, beberapa program telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di libatkan walaupun baru diwakili oleh orang –orang tertentu saja, namun secara umum realisasii program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan. Pada konteks ini, sulit dibedakan bahwa pembangunan fasilitas tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk perusahaan itu sendiri. Pendirian dan perbaikan fasilitas transportasi berupa jalan dan jembatan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk memperlancar dan mempercepat jalannya proses produksi mereka. Dengan demikian kalaupun fasilitas tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat lokal, maka hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal
Oleh karena itu, dalam pengembangan masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat-
124
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik serta menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.
khususnya dalam rangka peningkatan taraf hidupnya, tetapi terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi segala permasalahan yang terjadi.
2 Model Partisipasi Terjadi peningkatan dalam hal partisipasi, dimana masarakat melalui wakilnya (yang representatif) selalu dilibatkan dalam program pengembangan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta pengawasannya program dan partisipasi tersebut juga harus secara berkelanjutan untuk semua program. Partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat ,dengan derajat kedalaman partisipasi yang di praktekan derajat paling tinggi
Realisasi program cenderung dilakukan secara tertutup dan didesain oleh pihak atau aktor dari luar, keterlibatan / partisipasi masyarakat masih kurang. Orang / kelompok yang mewakili masyarakat belum representatif. Dilihat dari derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat dalam program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV adalah partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif serta dilihat dari derajat kedalaman partisipasi yang di praktekan dalam tingkat derajat paling rendah.
Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang sangat penting. Keberhasilan pengembangan masyarakat akan sangat di pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka semakin tinggi keberhasilan program. Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Realisasi program yang dilaksanakan oleh CHV belum didasarkan pada semangat untuk melayani masyarakat lokal sehingga perusahaan belum melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah.
125
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan menjadi 1. Derajat paling rendah, yaitu dimana
masyarakat memberikan konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis.
2. Derajat menengah yaitu dimana masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan,
3. Derajat paling tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikut-menentukan arah serta mengelola sendiri pengembangan, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.
Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling tinggi),
126
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
Dari kriteria itu maka,yang di praktekan oleh CHV masih dalam tingkat derajat paling rendah. Dilihat dari derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, menurut Bass et al.,(1995) dalam Hobley, (1996) seperti di kutip oleh Tadjudin (2000), partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat (Arnstein, 1969 dalam Fisher, 1995 dikutip oleh Tadjudin 2000). Lebih lanjut Tadjudin (2000) menjelaskan, menurut Bass et al.(1995) dalam Hobley, (1996) ,terdapat beberapa tipologi partisipasi masyarakat: 1. Partisipasi Manipulatif, partisipasi
masyarakat ditunjukan dengan penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki kewenangan yang jelas.
2. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini merupakan tindakan sepihak dari pembuat program tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi atau pendapat yang dihargai oleh pembuat program adalah pendapat para Profesional. proses pengambilan keputusan.
127
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat.
4. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan.
5. Partisipasi Fungsional, partisipas masyarakat dipandang oleh pihak luar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan eksternal.
6. Partisipasi Interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek.
128
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
7. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan
masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut maka bentuk partispasi yang ada dalam pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV adalah partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif. Menurut Tadjudin (2000) bentuk partispasi yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri migas adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal. Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondidi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat masyarakat untuk menjadi agent of change-nya. Sementara kebanyakan perusahaan pertambangan beroperasi di daerah pedalamam yang kondisi sumberdaya manusia masyaraktnya masih rendah. Sehingga tipologi-tipolgi tersebut dapat diterapkan secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal.
3 Komunikasi Komunikasi di lakukan dalam spektrum yang luas, baik dari segi luas cakupan wilayah maupun dari jumlah stakeholder yang terlibat.
Terbatas disekitar Operasi Perusahaan dan dengan orang-orang / kelompok-kelompok terrtentu saja.
Dalam program bidang komunikasi yang telah dilaksanakan oleh CHV adalah menjalin komunikasi baik secara formal maupun informal dengan seluruh komponen masyarakat melalui berbagai macam kegiatan -
129
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
Komunikasi yang intensif dilakukan hanya ketika ada gejolak dalam masyarakat (ada tuntutan dari masyarakat).
diantaranya safari Ramadhan dan buka puasa bersama yang dilakukan secara berkeliling dari mesjid ke mesjid bersama muspika di tiga kecamatan Tatapi masyarakat memandang, komunikasi dalam arti menyerap aspirasi masyarakat masih jarang dilakukan oleh CHV, kecuali atas permintaan masyarakat lokal.
4 Operasionalisasi Program
Perusahaan benar-benar mewujudkan komitmen sosial dan pemberdayaan masrakat lokal, menempatkan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan bahkan kebutuhan dan menjadikannnya sebagai modal sosial. Perusahaan menyadari bahwa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) merupakan suatu insentif dan bukan suatu beban.
Perusahaan melaksanakan program pengembangan masyarakat setelah ada dorongan dari masyarakat dan dalam rangka mengamankan operasi perusahaan sehingga belum merupakan prakarsa sendiri dari perusahaan (CHV), perusahaan masih pasif,menunggu usulan program dari masyarakat.
CHV mulai merealisasi kegiatan pengembangan masyarakat pada tahun 2000, fakta menunjukkan bahwa mereka merealisasi program-program tersebut secara lebih intensif pada tahun-tahun setelah dilakukannya otonomi daerah. Dalam era desentralisasi kekuatan masyarakat lokal menjadi lebih besar. Kebebasan mayarakat untuk menyalurkan aspirasinya manjadi lebih kuat serta ruang untuk menyuarakan tuntutan masyarakat pada masalah pencemaran, masalah tenaga kerja, dan masalah lainnya terhadap perusahaan pun menjadi lebih luas. Masyarakat mulai menuntut Perusahaan melalui demonstrasi untuk segera melakukan program Pengembangan masyarakat secara sungguh-sungguh.
5 Tata Kelola Program Pengembangan Masyarakat
Pelaksanaa program pengembangan masyarakat di laksanakan secara transparan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi, serta pihak yang terlibat maupun besaran dana yang digunakannya. .
Wakil masyarakat belum dilibatkan dalam perencanaan,pelaksanaan dan pengawasan program pengembangan masyarakat. Keterlibatan masyarakat masih terbatas, yang terlibat hanya kelompok-kelompok / orang-orang tertentu sebagai penerima program
Pengordinasian dan pengintegrasian program dengan program lain masih lemah serta perusahaan masih pasif menunggu usulan program dari masyarakat serta kurang berperan masksimal dalam upaya mengembangkan dan menjaga keberlangsungan usaha. Program pengembangan masyarakat yang dilakukan juga mempunyai pengaruh negatif yaitu terjadinya
130
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
Perusahaan menyediakan informasi yang memadai dan akurat yang dapat diakses oleh masyarakat tentang program yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan
Program yang dilaksanakan belum transparan dan tidak ada mekanisme evaluasi/audit partisipatoris. Laporan kegiatan program tidak di berikan kepada masyarakat maupun pemerintah lokal (Desa dan Kecamatan) tetapi langsung ke Pemeritah Pusat, sehingga banyak terdapat program yang tumpang tindih dengan program pemerintah.
ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan serta terdapatnya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menimbulkan konflik yang melibatkan kelompok-kelompok tersebut. Program community development CHV dalam bidang pendidikan antara lain dalam bentuk bantuan beasiswa, program beasiswa ini di berikan kepada siswa-siswi yang berprestasi tetapi berasal dari keluarga kurang mampu dan diutamakan bagi masyarakat yang berada di disekitar lokasi kerja CHV. Tetapi kriteria penerima beasiswa tersebut tidak diketahui oleh masyarakat sekitar sehingga terdapat opini di masyarakat bahwa program tersebut dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan tidak transparan serta hanya ditujukan untuk keluarga karyawan CHV atau orang –orang dan kelompok tertentu saja. Program tersebut dinilai masih kurang cukup oleh masyarakat sekitar, karena program tersebut masih bersifat project tidak terprogram dengan baik dan tidak berkesinambungan, sehingga belum berdampak maksimal terhadap peningkatan dan penciptaan Sumberdaya Manusia lokal. Evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program pengembangan masyarakat juga belum melibatkan komponen masyarakat, sehingga belum dapat meminimalisir penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan program seperti tidak tepat sasaran serta penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program.
131
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
6
Tekanan Program
Pemberdayaan masyarakat berarti menghilangkan ketidakberdayaan masyarakat dengan membuka peluang yang sebesar-besarnya dalam segala bidang, baik ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan
Program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan lebih banyak dalam bidang pembangunan Infrastruktur
Kehaadiran perusahaan akan membawa dampak positif dan negatif baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak ini dapat terjadi pada aspek aspek sosial-ekonomi dan budaya, lingkungan, tata ruang, lahan dan tanah maupun aspek fisik-kimia-biologi. Dalam pelaksanaannya program pengembangan masyarakat menekankan pada tiga aspek utama, yaitu: 1.Aspek sosial,Yang menekankan bagaimana
kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar,
2.Aspek ekonomi,yang menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat;
3.Aspek kelestarian lingkungan,yang menekankan bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama.
Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV lebih banyak dilakukan pada bidang pembangunan infrastruktur fisik saja. Sehingga bidang-bidang lain kurang mendapatkan perhatian yang besar, hal ini dilakukan CHV dengan alasan sesuai dengan permohonan masyarakat.
Sumber : Hasil Penelitian
VI. KONTRIBUSI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT INDUSTRI PANAS BUMI GUNUNG SALAK
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
Kontribusi program pengembangan masyarakat terhadap pengembangan
wilayah dapat dikaji dari berbagai aspek antara lain pertumbuhan perekonomian
daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan
masyarakat. Pengembangan wilayah akan selalu mengarah pada langkah atau
tindakan yang dapat merubah produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga
kerja, tingkat pendapatan dan nilai tambah yang diperoleh dari industri.
Perubahan tersebut juga terjadi pada pengembangan dari aspek sosial seperti
peningkatan kualitas prasarana publik, kesejahteraan dan kualitas lingkungan.
Pelaksanaan program pengembangan masyarakat dapat menjadi
penggerak bagi pengembangan wilayah, melalui pelaksanaan program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan dapat membantu
wilayah untuk berkembang. Program pengembangan masyarakat dalam bidang
infrastrukutur jalan dan jembatan misalnya, akan meningkatkan mobilitas
masyarakat dalam menjual output yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga
dapat berdampak terhadap murahnya ongkos yang harus dikeluarkan yang pada
akhirnya dapat meningkatkan keuntungan, meningkatnya keuntungan akan
meningkatkan kesejahteraan dan dengan meningkatnya kesejahteraan akan
meningkatkan daya beli masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat akan
memicu tumbuhnya produksi yang akan mengakibatkan penyerapan tenaga kerja
dan pada akhirnya akan berdampak terhadap pengembangan ekonomi wilayah.
Melalui program pengembangan masyarakat, perusahaan dapat
melakukan pengembangan dan penguatan kelompok-kelompok swadaya
masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta
peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya
setempat (resources based), serta aspek sosial yang menekankan bagaimana
kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan
dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk
membantu kehidupan masyarakat sekitar.
133
Disamping itu mengoptimalkan penggalian,pemanfaatan dan pengelolaan
berbagai potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi obyektif daerah.
Memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di daerah, memperkecil kesenjangan,
pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, serta menekankan
bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat
sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, memberikan peluang
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik,
mengembangkan dialog dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat.
Pengembangan masyarakat yang dilaksanakan juga dapat
merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan demokrasi di masyarakat
(grassroot democracy), pengembangan Lingkungan, kelestarian lingkungan
yang menekankan bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang
masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah
preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama-sama.
Uraian diatas menunjukan bahwa program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh perusahaan dapat mendorong pengembangan wilayah
dimana perusahaan beroperasi, oleh karena itu, dalam pengembangan
masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi
masyarakat, tetapi yang terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan
kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi segala
permasalahan yang terjadi dalam upaya pengembangan wilayah.
Untuk mengetahui kontribusi program pengembangan masyarakat
terhadap pengembangan wilayah, tidak hanya di pandang dari satu aspek tetapi
dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain pembangunan daerah,
pembangunan manusia serta kebijakan-kebijakan yang mendukung pelaksanaan
kegiatan industri panas bumi itu sendiri.
Dalam implementasi program pengembangan masyarakat juga dianalisis
mengenai kelemahan dan pengaruh negatif yang timbul dari pelaksanaan
program pengembangan masyarakat seperti adanya kelemahan dalam
pengordinasian dan pengintegrasian program, lemahnya evaluasi dan
pengawasan terhadap program serta munculnya ketergantungan masyarakat
terhadap perusahaan juga adanya potensi konflik yang ditimbulkan.
134
6.1. Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pertumbuhan Perekonomian Daerah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
PDRB Kabupaten Sukabumi menunjukan peningkatan dari tahun ke
tahun. Namun PDRB tanpa migas menunjukan peningkatan yang ralatif lebih
tinggi dibandingkan dengan PDRB dengan migas. Hal ini menunjukan bahwa
sektor perekonomian Kabupaten Sukabumi tidak di pengaruhi oleh subsektor
migas.
PDRB atas dasar harga berlaku untuk Kabupaten Sukabumi secara
umum dari tahun 2000 – 2005 meningkat 5.9 trilyun rupiah, pada tahun 2000,
6,8 trilyun rupiah pada tahun 2001, menjadi 7,7 trilyun rupiah pada tahun 2002,
dan melonjak pada tahun 2003 menjadi 8.4 trilyun rupiah serta pada tahun 2004,
menjadi 9,5 trilyun rupiah terakhir tahun 2005, meningkat menjadi 11,3 trilyun
rupiah. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 18.95
persen dan terkecil pada tahun 2003 yaitu hanya sebesar 9.09 persen.
Dengan mengelompokan sembilan sektor ekonomi menjadi tiga sektor
yaitu sektor primer, sekunder dan tersier tampak bahwa kelompok sektor primer
yaitu sektor pertanian dan pertambangan dan penggalian masih mendominasi
dalam penciptaan nilai tambah di Kabupaten Sukabumi. Tahun 2005 sumbangan
sektor primer terutama pertanian terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi
mencapai 4.687 miliar rupiah atau 41.3 persen dari total PDRB Kabupaten
Sukabumi.
Pada Tabel 6.1 terlihat bahwa struktur perekonomian Kabupaten
Sukabumi menurut kelompok sektor terlihat sektor pertanian mempunyai peranan
yang sangat besar dibandingkan dengan sektor yang lainnya dalam
perekonomian Kabupaten Sukabumi yaitu sebesar 35.98 persen pada tahun
2005. Jika di telaah lebih lanjut di sektor pertanian ini, dari tahun ke tahun
didominasi oleh sub sektor pertanian tanaman pangan yang memiliki peranan
yang sangat besar. Ditinjau dari peran masing-masing sektor ternyata ada empat
sektor yang peranannya kurang dari lima persen yaitu sektor Listrik, gas & air
minum yaitu hanya 1.32 persen; sektor bangunan & konstruksi 3.34 persen;
sektor keuangan, persewaan & jasa perusahaan 3.25 persen; dan sektor
Pertambangan dan Penggalian 3.36 persen.
135
Tabel 6.1. PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Sukabumi Menurut sektor
usaha tahun 2000-2005 (dalam miliar rupiah)
Sektor
2000
2001
2002
2003
2004
2005
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) I. Primer 2.552,2 2.961.2 3.394.2 3.740.4 4.105.7 4.687.1
1. Pertanian 2.250,2 2.596.3 2.998.6 3.311.6 3.631.5 4.079.3 2. Pertamb & Penggalian 302,5 365.0 395.6 428.8 474.2 607.8
II. Sekunder 1.124,1 1.352.5 1.578.3 1.812.3 2.069.0 2.471.3 3. Industri Pengolahan 989.2 1.193.1 1.393.9 1.521.0 10642.5 1.942.8 4. Listrik, Gas & air bersih 52.6 64.4 72.6 1001.1 130.8 150.1 5. Bangunan 82.3 95.0 111.8 190.2 295.6 378.4
III. Tersier 2.202.9 2.477.4 2.687.2 2.886.8 3.314.4 4.179.4 6. Perdag,Hotel & Rest 1.018.9 1.142.7 1.237.6 1.317.4 1.513.4 1.969.0 7. Pengangk & Kom 311.8 377.3 424.6 470.5 627.8 906.6 8. Keu,perswn & jasa Perh. 212.5 241.5 267.6 292.3 312.2 368.0 9. Jasa-jasa 659.6 715.9 757.4 806.6 860.7 935.8
PDRB 5.879.6 6.791.1 7.659.7 8.439.5 9.488.7 11.337.8 Sumber: PDRB Kabupaten Sukabumi, BPS Kabupaten Sukabumi
Semakin besar presentase suatu sektor dalam PDRB, maka semakin
besar pula pengaruh sektor tersebut di dalam perkembangan ekonomi suatu
daerah. Jadi besarnya persentase sumbangan sektor pertanian jika di
bandingakan dengan sektor lain terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi
menandakan bahwa sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting
di dalam perkembangan ekonomi Kabupaten Sukabumi dibandingkan dengan
sektor-sektor yang lain. Hal ini juga menunjukan bahwa perekonomian
Kabupaten Sukabumi tidak tergantung pada subsektor migas, sektor migas
hanya berperan kurang dari lima persen saja dalam perekonomian Kabupaten
Sukabumi.
Berdasarkan Tabel 6.1 diatas, jika dilihat dari sumbangan sektor-sektor
perekonomian terhadap PDRB, maka kehadiran industri panas bumi belum
memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian Kabupaten
Sukabumi, hal ini terlihat dari rendahnya sumbangan sektor ini terhadap PDRB
Kabupaten Sukabumi. Rendahnya sumbangan terhadap PDRB, menyebabkan
rendah pula sumbangan perusahaan terhadap kemajuan perekonomian wilayah.
Hal ini mengindikasikan telah terjadinya leakages syndrome, yaitu kebocoran
ekonomi lokal berupa penghisapan rente ekonomi sumberdaya alam ke luar
wilayah. Aliran arus pendapatan dan manfaat (benefit) terjadi pada tingkat
nasional. Namun belum memberikan manfaat yang sangat besar kepada
masyarakat lokal terutama kepada mereka yang tinggal disekitar proyek
136
tersebut. Meskipun keberadaan industri geothermal memberikan kesempatan
kerja kepada masyarakat setempat, namun masih dalam jumlah yang relatif
kecil. Hal ini disebabbkan sebagian besar karyawan perusahaan berasal dari
luar daerah Kecamatan Kabandungan.
Oleh karena itu jika dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB, maka
kontribusi perusahaan terhadap pengembangan wilayah terutama dalam
pengembangan ekonomi wilayah masih sangat rendah. Program pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pun belum mengarah pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, hal ini terlihat dari jenis program
pengembangan masyarakat yang dijalankan oleh perusahaan yang didominasi
oleh kegiatan yang masih berbentuk karitatif.
Disamping itu, kehadiran industri panas bumi belum banyak memberikan
perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar
perusahaan. Hal ini disebabkan karena program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh perusahaan lebih banyak di tujukan kepada pembangunan
infrastruktur secara fisik, sedangkan sumberdaya manusia sebagai bagian
penting dari kegiatan pembangunan belum mendapatkan porsi yang memadai.
Meskipun perusahaan telah melakukan program pengembangan
masyarakat, namun belum memberikan perubahan terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan. Ini terlihat dari masih
banyaknya jumlah keluarga miskin di Kecamatan Kabandungan seperti terlihat
dalam tabel berikut:
Tabel 6.2. Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan Kabandungan Tahun 2005/2006
Rumah Tangga Rumah Tangga Miskin
Persentase Rumah Tangga Miskin
( persen) 8.467 5.170 61.06 persen
Sumber Data: BPS Kab. Sukabumi 2006 (diolah)
Seperti terlihat dalam Tabel diatas, Penduduk miskin di Kecamatan
Kabandungan masih cukup besar yaitu mencapai 5.170 keluarga dari 8.467
Rumah tangga yang ada di Kecamatan Kabandungan atau sekitar 61,06 persen,
dan merupakan jumlah prensentase keluarga miskin terbesar se-Kabupaten
Sukabumi.
137
Hal ini mendukung hasil penelitian yang terdahulu yang dilakukan oleh
Saleng (2004) yang menyatakan bahwa kontribusi perusahaan pertambangan
terhadap masyarakat sekitar baik melalui program community development
maupun program pembangunan lainnya belum merupakan jaminan
kesejahteraan sosial–ekonomi mayarakat setempat, tetapi masih sebatas untuk
menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan.
Penyebab rendahnya pengaruh kehadiran perusahaan terhadap
masyarakat lokal yang berada disekitar perusahaan antara lain karena program
pengembangan masyarakat yang dilakukan perusahaan masih bersifat top-down.
Hal ini tercermin dari bentuk pelaksanaan program pengembangan masyarakat
yang umumnya bersifat proyek dan masyarakat hanya sebagai penerima atau
objek. Selama ini Jenis dan bentuk program Pengembangan masyarakat
ditentukan oleh CHV sehingga masyarakat bersifat sebagai obyek dari
pelaksanaan program. Bentuk kegiatan pengembangan masyarakat seperti ini
lebih dikenal dengan istilah development for community karena berbagai inisiatif,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor
dari luar.
Kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan perusahaan belum
mampu menyelesaikan permasalahan utama kemiskinan, kesehatan, pendidikan
dan lingkungan yang dihadapi masyarakat lokal. Padahal esensi pengembangan
masyarakat mestinya mampu menyelesaikan masalah tersebut. Disamping itu
program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan belum
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan hanya menyentuh sebagaian
masyarakat saja, yaitu masyarakat yang berada pada lapisan atas (elite) saja.
Hal ini disebabkan karena perencanaan program belum melibatkan masyarakat,
sehingga aspirasi masyarakat tidak tertampung dalam program-program
tersebut.
Program kemitraan (partnership program) untuk small and medium
enterprises (usaha kecil menengah) yang merupakan program pengembangan
usaha masyarakat dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian setempat,
belum berjalan sesuai dengan harapan, sehingga program tersebut belum
berdampak bagi para pelaku usaha kecil dan menengah di sekitar wilayah
operasional CHV.
Dalam bidang infrastruktur terjadi peningkatan pembangunan sarana
umum yang dibangun atas bantuan dari perusahaan, tetapi hanya sedikit saja
138
yang dibangun secara langsung oleh perusahaan (kurang dari 10 Bangunan),
selebihya hanya bantuan materialnya saja sehingga kualitas sarana yang di
bangun menjadi di bawah standar.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa kegiatan industri panas bumi di
gunung Salak belum memberikan dampak yang signifikan terhadap
pengembangan wilayah Kecamatan Kabandungan. Hal ini tercermin dari: 1).
Masih rendahnya sumbangan industri panasbumi terhadap PDRB Kabupaten
Sukabumi, 2). Kesejahteraan masyarakat masih rendah, 3). Rendahnya
penyerapan tenaga kerja lokal dan belum meratanya pelaksanaan program
pengembangan masyarakat.
6.2. Ketergantungan Masyarakat Terhadap Perusahaan
Kecamatan Kabandungan yang relatif jauh dari pusat pemerintahan
kabupaten Sukabumi serta relatif sulit dijangkau oleh sarana transportasi dan
komunikasi. Sulitnya medan sering menjadi penyebab minimnya porsi
pembangunan yang diterima masyarakat sehinga tidak hanya menyebabkan
ketertinggalan perkembangan fisik wilayah, tetapi juga menciptakam masyarakat
marginal yang sulit untuk berkembang. Dalam kondisi masyarakat seperti ini,
maka kehadiran industri panas bumi gunung Salak yang dikelola oleh CHV
merupakan potensi penting untuk mempercepat perkembangan masyarakat dan
pembangunan fisik wilayah di tengah keterbatasan kemampuan yang dimiliki
pemerintah daerah melalui pelaksanaan program pengembangan masyarakat.
Tingginya tingkat harapan masyarakat terhadap perusahaan ditandai
dengan besarnya permohonan bantuan kepada perusahaan, baik berupa
bantuan pembangunan dan perbaikan sarana umum maupun bantuan modal
usaha. Pemenuhan terhadap permohonan bantuan tersebut selama ini
dilakukan oleh perusahaan melalui program pengembangan masyarakat yang
mereka laksanakan. Program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan
perusahaan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang menerima
program,sehingga semakin memperbesar keyakinan masyarakat akan
pentingnya kehadiran perusahaan, tetapi disisi lain semakin mempertegas posisi
antara “pemberi” dan “penerima” bantuan. Sandaran sosio economic security
yang ada pada ikatan-ikatan sosial horizontal berganti ke arah vertikal yaitu
perusahaan. Akibatnya masyarakat menganggap bahwa perusahaan harus
bertanggung jawab atas apapun permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
139
sehingga kapasitas civil society menjadi lemah dan pada akhirnya menciptakan
ketergantungan (dependency syndrome) masyarakat terhadap perusahaan.
Ketergantungan masyarakat ini merupakan ekses negatif dari
pelaksanaan program pengembangan masyarakat, karena rendahnya
pemahaman para pelaksana program terhadap program yang dilaksanakan,
atau karena tidak diikutsertakannya masyarakat penerima bantuan dalam
merencanakan kegiatan.
Ketergantungan terhadap perusahaan antara lain terlihat dalam
pendanaan untuk pembangunan sarana infrastruktur seperti pembangunan
mesjid, mushola dan madrasah, perbaikan jalan, jembatan serta peringatan hari
besar agama dan nasional yang pada awalnya dapat dilakukan dari dana yang
bersumber dari swadaya masyarakat dan gotong royong, kini sebagian besar
merupakan bantuan perusahaan. Pada dasarnya selama bantuan-bantuan
tersebut dapat dijadikan sebagai stimulan untuk meningkatkan partisipasi dan
inisiatif lokal merupakan hal yang positif, namun apabila bantuan perusahaan
justru dijadikan pilar utama dalam pengembangan usaha maupun dalam
pembiyaan pembangunan sarana umum sehingga memperkecil partisipasi dan
swadaya masyarakat dan memperbesar ketergantungan terhadap perusahaan
justru menjadi sesuatu yang kontra produktif. Hal ini menyebabkan masyarakat
menjadi tidak mampu untuk mandiri dalam melaksanakan berbagai kegiatan
kemasyarakatan, jika sudah menyangkut kegiatan yang memerlukan dana
secara otomatis yang ada dalam benak para pelaksana adalah mengajukan
proposal permohonan bantuan dana kepada perusahaan tanpa terlebih dahulu
melakukan usaha-usaha sendiri. Masyarakat lebih memilih tidak meneruskan
/tidak jadi membangun jika tidak menerima bantuan dari perusahaan.
Walaupun tujuan dari pelaksanaan pengembangan masyarakat adalah
untuk memberdayakan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya justru
menumbuhkan ketidak-mandirian masyarakat, hal ini dikarenakan kedua belah
pihak memiliki persepsi yang berbeda tentang program pengembangan
masyarakat, disamping itu tidak terjalinnya komunikasi. Komunikasi mengenai
program yang diusulkan terjadi hanya melalui proposal atau surat menyurat,
sehingga bisa jadi perusahaan merealisasikan program yang di propose-kan
dengan motif untuk keamanan bukan pemberdayaan, sementara pemohon
mengajukan program dengan motif untuk meminta “jatah” sehingga proposal
hanya formalitas untuk menjadi alat agar “jatah” tersebut dapat diterima.
140
6.3. Pengordinasian Dan Pengintegrasian Program Pengembangan
Masyarakat Dengan Program Lain
Dalam implementasi program pengembangan masyarakat perusahaan
masih bersifat menunggu usulan dari masyarakat, serta masih kurang maksimal
dalam upaya mengembangkan dan menjaga keberlangsungan usaha
masyarakat. Pelaksanaan program pengambangan masyarakat yang
dilaksanakan oleh perusahaan porsinya masih relatif kecil, dan cenderung
tumpang tindih dengan program yang sedang dilaksanakan oleh CHV sendiri
atau dengan program yang di laksanakan pemerintah, misalnya tumpang tindih
antara program pengembangan masyarakat CHV dengan program PNPM
(program nasional pengembangan masyarakat) yang dikelola oleh pemerintah
Kecamatan Kabandungan. Padahal antara kedua program ini dapat di padukan
antara satu dengan yang lain dan dapat saling menopang, karena bidang
garapan dari program ini relatif sama yaitu bidang pendidikan dan kesehatan.
Padahal jika program yang memiliki bidang garapan yang sama itu di padukan
akan meningkatkan efektifitas program serta dapat lebih meningkatkan jumlah
masyarakat yang dapat di bantu, hal ini pernah dilakukan oleh CHV dengan
Pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi dalam pelaksanaan program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2006, dan berhasil meningkatkan keikutsertaan
masyarakat dalam program ini dan keberhasilannya mencapai 100,8 persen
pada putaran ke–enam, akan tetapi sayang program kolaborasi yang baik ini
tidak diukuti oleh program-program lainnya.
Apabila dikaji pada tingkatan yang lebih makro, program yang dilakukan
terlihat tidak dirancang secara sistematis untuk jangka waktu yang panjang
dengan goal yang jelas. Beberapa program terlihat diimplementasikan secara
parsial, terpisah satu sama lain. Beberapa program pengembangan masyarakat
yang dilakukan CHV, dilaksanakan secara insidentil, menunggu pengajuan
masyarakat tanpa ada kerangka berpikir yang tersusun secara terencana. Pada
kasus yang lain, suatu program terlihat didesain cukup sistematis seperti
program dalam bidang pertanian yang direalisasi oleh CHV misalnya, dalam
prakteknya terlihat belum terintegrasi antara sub-program yang satu dengan
yang lain. Dalam tahapan peningkatan hasil produksi pertanian program tersebut
mampu melakukannya dengan baik. Namun keberhasilan ini tidak diikuti dengan
penyiapan pasar untuk menjual hasil produksi sehingga yang terjadi adalah
ketika terjadi produksi yang besar, pasar lokal tidak mampu menampung hasil
141
pertanian tersebut. Sementara Perusahaan belum menyiapakan alternatif tempat
penjualan. Akibatnya merugikan petani. Pendekatan seperti ini tentu saja tidak
memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi rumah
tangga. Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan
yang berarti. Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat
sebagai penerima program pasif. Mereka tidak memiliki ruangan yang cukup
untuk berpartisipasi dalam penentuan program dan mengelolanya. Mereka belum
ditempatkan pada posisi sentral realisasi program.
Hal tersebut diatas menunjukan masih rendahnya pengoordinasian dan
pengintegrasian pelaksanaan program pengembangan masyarakat dengan
program lain. Padahal pengintegrasian program pengembangan masyarakat
perusahaan dengan program pemerintah akan menghindari inefesiensi dan
inefektif, tidak tepat sasaran atau bertabrakan dengan program lainnya., serta
dapat mengisi kekosongan pembangunan, Sekalipun pada umumnya
pengucuran dana bantuan untuk pembangunan sarana dan prasarana
berdasarkan pengajuan dan permohonan masyarakat, tetapi dengan dana yang
terbatas maka akan sulit bagi perusahaan untuk memenuhi seluruh pengajuan
bantuan dari masyarakat yang tentu jumlahnya akan banyak, untuk menghindari
inefesiensi, tidak tepat sasaran atau bertabrakan dengan program lainnya seperti
tersebut diatas, maka dalam mengalokasikan dana dan memilih program yang
akan dibantu perlu mempertimbangkan rasa keadilan dalam arti siapakah pihak
yang paling membutuhkan dan cakupan manfaat yang akan ditimbulkannya
paling besar serta memperhatikan pula perencanaan makro pembangunan
wilayah agar tidak bertabrakan dengan program lain yang dilaksanakan oleh
pemerintah.
Untuk meningkatkan efektifitas dari program, maka penentuan jenis
kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai pilihan program pengembangan
masyarakat oleh perusahaan yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan,
alokasi dana untuk peningakatan pendidikan dan keterampilan serta upaya
pengembangan usaha dan penciptaan prospek pasar sebaiknya dilakukan
melalui mekanisme perencanaan yang sistematis dan terpadu dengan
melibatkan berbagai stakeholders yang ada dalam masyarakat sehingga dapat
memadukan potensi dan menciptakan sinergitas.
Hal tersebut diatas perlu dilakukan karena pengembangan masyarakat
bukan hanya tanggung jawab perusahaan saja, melainkan tanggung jawab
142
bersama stakeholders, maka keterpaduan dengan program-program lain yang
dilaksanakan oleh stakeholders tersebut sangat diperlukan dalam rangka
memberikan penguatan terhadap aktivitas program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu
mekanisme tidak hanya menciptakan keterpaduan proses (mulai dari
perencanaan program, pelaksanaan dan pengawasan serta evaluasi terhadap
program) tetapi juga dapat mengatur dan memberi kesejajaran tempat bagi
stakeholders untuk turut berperan serta dalam program pengembangan
masyarakat, sehingga diperlukan pelembagaan pola hubungan antara
stakeholder terkait (masyarakat,Pemda,Perusahaan serta LSM) baik dalam
perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi program. Jika dilihat dari sudut
pengoordinasian dan pengintegrasian program, maka program pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan terlihat masih rendah.
Dari hasil pengamatan dilapangan, Pelaksanaan program pengambangan
masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan belum dapat mengisi
kekosongan pembangunan di wilayah Kecamatan Kabandungan, hal ini terlihat
dari rendahnya pengoordinasian program seperti di jelaskan sebelumnya.
Pelaksanaa program pengembangan masyarakat cenderung terpusat pada
daerah-daerah atau kelompok-kelompok tertentu saja yang di pilih oleh
perusahaan sendiri. Rendahnya tingkat koordinasi dengan pihak pemerintah (
dalam hal ini Kecamatan Kabandungan) mengakibatkan tumpang tindihnya
program yang digarap, dan ada program-program tertentu yang pihak
Kecamatan Kabandungan tidak me-recognize, sehingga pihak Kecamatan
Kabandungan Kabandungan cenderung tidak mendukung program yang sedang
dilaksanakan.
6.4. Jaringan Kelembagaan Lokal
Selain lembaga formal yang sudah ada seperti Pemerintah Desa, BPD,
MUI, PKK, KNPI dan Karang taruna juga terdapat lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang di bentuk oleh masyarakat seperti berbagai kelompok
organisasi kepemudaan,remaja mesjid, kelompok pengajian/majlis ta’lim,
,kelompok olah raga, organisai pecinta Alam, organisasi underbow partai politik
dan juga LSM yang dibentuk untuk tujuan mengadvokasi masyarakat dalam
bidang pemberdayaan ekonomi, lingkungan hidup serta pendidikan baik tingkat
desa maupun tingkat Kecamatan. Kelompok tersebut adalah LSM sorak, LSM
143
Barak, LSM KPP, LSM Forum Guru untuk Lingkungan,LSM P3LH, LSM absolute,
Aspak 213, kelompok-kelompok tersebut memiliki bidang garapan yang berbeda
tetapi ada juga yang memiliki bidang garapan yang sama. Disamping LSM lokal
terdapat juga LSM-LSM dari luar Kecamatan Kabandungan seperti dari Bogor
dan Jakarta yang bekerja di Kecamatan Kabandungan diantaranya Yapeka, CI,
Telapak, Peka dan JK3GS. seperti terlihat dalam Matriks 6.1. berikut
Matriks 6.1. LSM yang melakukan kegiatan di Kecamatan Kabandungan
No Nama LSM Asal LSM Bidang Garapan 1 Absolute Cipeuteuy Lingkungan hidup 2 Aspak 213 Jayanegara Olah Raga 3 Barak Cipanas Tenaga kerja, pemberdayaan
masyarakat 4 CI Indonesia Jakarta Lingkungan dan pendidikan 5 Forum Guru Untuk
Lingkungan Tugubandung Lingkungan dan pendidikan
6 JK3GS Bogor Lingkungan Hidup 7 Komunitas Peduli
Pendidikan (KPP) Kabandungan Pendidikan, lingkungan hidup dan
pengembangan masyarakat 8 P3LH Kabandungan Lingkungan hidup 9 Peka Bogor Pemberdayaan masyarakat 10 Sorak Kabandungan Tenaga kerja, pemberdayaan
masyarakat 11 Yapeka Bogor Pendidikan lingkungan hidup
Sumber : Hasil Wawancara
Disamping itu terdapat juga kelompok-kelompok tani yang tersebar di
desa-desa Kecamatan Kabandungan, sebagaimana terlihat dalam Tabel 6.3
berikut:
Tabel 6.3. Jumlah Kelompok Tani Menurut Kelas Kelompok
Kelas kelompok Pemula Lanjut Madya Utama
Jumlah
Anggota
- 8 - - 8 1.827 Sumber: kantor Penyuluhan Pertanaian Kabupaten Sukabumi
LSM-LSM tersebut melaksanakan program-program pemberdayaan
bekerjasama dengan CHV secara sendiri-sendiri sehingga sering terjadi
persaingan antara LSM-LSM lokal untuk mendapatkan program dari CHV. Hal
ini mengakibatkan pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang
dilakukan kurang mendapatkan dukungan dari masyarakat, karena masyarakat
menganggap bahwa apa yang diusulkan oleh LSM-LSM tersebut bukan
merupakan kebutuhan masyarakat.
144
Oleh karena itu dibutuhkan suatu kelembagaan kolektif yang dapat
menjembatani antara masyarakat dengan perusahaan, sehingga apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat dapat tersampaikan dengan jelas. Disamping itu
juga agar perusahaan tidak kesulitan dalam memilih “partner” dalam
pelaksanaan program yang benar-benar merepresentasikan masyarakat dan
diakui oleh masyarakat sebagai wakil dari masyarakat.
6.5. Konflik Yang Muncul Dalam Masyarakat
Pembangunan pada dasarnya merupakan usaha-usaha yang dilakukan
secara sistematis dan terarah dalam melakukan perubahan yang mengarah
kepada perbaikan dalam kehidupan kesejahtraan masyarakat. Tetapi disamping
tujuan untuk melakukan perubahan yang mengarah kepada perbaikan dalam
kehidupan kesejahtraaan masyarakat, usaha-usaha tersebut juga memicu
konflik-konflik, dimana melibatkan pertarungan antara dua pihak kelompok atau
lebih yang menyangkut soal-soal perbedaan nilai, baik soal status, wewenang,
kekuasaan dan perebutan hak-hak akses terhadap sumberdaya yang bersifat
langka. Konflik ini juga dapat terjadi baik secara vertikal maupun horizontal dan
baik dalam sifat konflik terbuka maupun bersifat laten. Tetapi konflik-konflik ini
bisa saja tidak terjadi jika dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian
program di laksanakan secara bersama-sama oleh seluruh stakeholder,
sehingga konflik dapat di hindari.
Terdapatnya kelompok-kelompok masyarakat yang berada di Kecamatan
Kabandungan juga membawa konflik-konflik yang melibatkan kelompok-
kelompok, kelompok-kelompok itu secara garis besar dapat dikelompokan
menjadi beberapa kelompok besar yaitu: CHV, Pemerintah Daerah, masyarakat
serta LSM. Isu-isu yang menjadi konflik, seperti terlihat dalam Matriks 6. 2.
145
Matriks 6. 2. Potensi Konflik yang Terjadi di Kecamatan Kabandungan
CHV
Pemerintah Daerah Masyarakat LSM
CHV
Kurangnya dukungan terhadap program pembangunan regional dan Penyelesaian permasalahan sosial
• Tuntutan pemberdayaan
• Kesempatan kerja
• Pemberdayaan • Lingkungan • Kemiskinan • Kesempatan kerja
Pemerintah Daerah
Kurangnya dukungan terhadap program pembangunan regional dan Penyelesaian permasalahan sosial
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak memihak rakyat
Masyarakat
• Tuntutan pemberdayaan
• Kesempatan kerja
ketimpangan dalam akses dan kontrol terhadap sumberdaya air
Keterwakilan masyarakat oleh LSM
LSM
• Pemberdayaan • Lingkungan • Kemiskinan • Kesempatan kerja
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak memihak rakyat
Keterwakilan masyarakat oleh LSM
• Persaingan program
• Tumpang tindih program & lokasi pember dayaan
Sumber: Diolah dari hasil Wawancara
Sebagaimana dinyatakan oleh (Dinitto 1987 dan Hill 1996 dalam Pawoko
2008) bahwa stakeholder dalam pelayanan sosial adalah negara, sektor privat,
Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program
CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Apabila diurai
dengan lebih rinci, peta permasalahan yang terjadi dapat di kelompokan dalam
Jalinan simpul-simpul yang menjalin konflik yang relatif rumit. Hal ini karena
stakeholders yang terlibat dalam pelayanan-pelayanan sosial yang dilakukan
cukup kompleks. Sementara mereka memiliki kepentingan berbeda-beda yang
satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak
yang lain.
Konflk yang terjadi diantara stakeholder di Kabandungan jika dilihat dari
derajat konflik belum merupakan suatu konflik yang terbuka yang melibatkan
seluruh anggota masyarakat dengan kekerasan fisik dan penghancuran asset
milik pihak yang berkonflik, tetapi masih konflik yang bersifaat laten. Konflik
laten di cirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak, tidak
sepenuhnya berkembang atau belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik,
bahkan salaj satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik.
Konflik yang timbul dalam masyarkat dapat saja sengaja diciptakan oleh
pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil manfaat dari bergejolaknya konflik
tersebut. Dengan menyadari bahwa akibat buruk dari merebaknya suatu konflik
146
yang tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka pengelolaan konflik yang
terbaik adalah mencegah munculnya konflik itu.
Dalam kegiatan pengembangan masyarakat, mencegah munculnya
konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga, kebijakan, dan programnya
lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, bukan saja
masyarkat yang terlibat langsung, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang
diperkirakan mempunyai kepentingan terhadap usaha-usaha pembangunan yang
akan dilaksanakan. Secara lebih rinci permasalahan potensi konflik antar
masyarkat yang terlibat langsung, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang
diperkirakan mempunyai kepentingan terhadap usaha-usaha pembangunan yang
akan dilaksanakan. Secara lebih rinci permasalahan potensi konflik antar
stakeholder yang ada di Kecamatan Kabandungan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
6.5.1. CHV dengan Masyarakat
Sumber konflik antara masyarakat dengan CHV diantaranya adalah
tuntutan pembangunan sarana (infrastruktur) pedesaan dalam program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV yang di rasa masih
kurang oleh masyarakat. Program pengembangan masyarakat yang selama ini
dilaksanakan oleh CHV dianggap masih kurang dan tidak menyentuh kebutuhan-
kebutuhan mendasar dari masyarakat, disamping distribusi bantuan dan
pelaksanaan program yang tidak merata.
Oleh karena itu, dalam pengalokasian bantuan idealnya tidak didasarkan
atas pertimbangan lokalitas area dan kemudahan dalam pemberian bantuan,
tetapi harus berdasarkan pertimbangan yang objektif atas usulan permohonan
masyarakt dengan memperhatikan aspek efesiensi, ketepatan sasaran dan
pemenuhan rasa keadilan dalam arti diberikan kepada yang paling membutuhkan
dan yang dapat memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Disamping masalah tersebut diatas, yang menjadi sumber konflik adalah
tuntutan untuk bekerja pada perusahaan, kesempatan kerja bagi masyarakat
dinilai masih kurang serta masalah-masalah lingkungan seperti berkurangnya
sumber air dan pencemaran air yang dianggap oleh masyarakat disebabkan oleh
operasi CHV. Aksi demonstrasi sudah beberapa kali di lakukan oleh masyarakat
terhadap CHV untuk menuntut perhatian yang lebih banyak terhadap hal-hal
tersebut diatas. Tetapi aksi-aksi tersebut berjalan dengan damai dan tidak terjadi
147
kekerasan dan sebagian dapat diredam oleh CHV dengan melibatkan tokoh-
tokoh masyarakat dengan janji akan memberikan bantuan-bantuan.
Masyarakat juga menilai adanya kecenderungan mark-up terhadap biaya
yang digunakan untuk merealisasi program pengembangan masyarakat.
Masyarakat merasa bahwa realisasi program tidak menggunakan biaya sebesar
seperti yang tertulis pada laporan-laporan yang di keluarkan oleh CHV. Tetapi
menurut hasil wawancara dengan pihak CHV, bahwa perbedaan biaya yang
terjadi antara yang tertulis pada laporan dengan pelaksanaan, bukanlah mark-up,
jumlah biaya yang ditulis dalam laporan adalah biaya yang sebenarnya
dikeluarkan oleh CGS untuk pelaksanaan program pengembangan masyarakat,
tetapi dalam pelaksanaanya pengadaan barang-barang yang dipergunakan
untuk pelaksanaan program tersebut di sediakan oleh vendor sehingga terdapat
pebedaan antara nilai barang yang diterima dengan jumlah uang yang
dikeluarkan oleh CHV, hal ini disebabkan karena adanya margin yang di peroleh
oleh vendor sebagai suplayer.
Konflik yang terjadi antara CHV dengan masyarakat dapat di kelompokan
ke dalam Konflik kepentingan. Menurut Anwar (1998), Konflik Kepentingan,
disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata
memang tidak bersesuai dengan yag diinginkan seseorang atau kelompok.
Konflik kepentingan dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih menyakini bahwa
untuk memuaskan kebutuhannya, maka pihak lain diharapkan harus mau
berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini terjadi karena masalah
yang mendasar (karena uang, sumberdaya fisik, waktu, dll), atau menyangkut
masalah tata-cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau masalah
psikologis (presepsi atau rasa percaya diri, mempertahankan keadilan, rasa
hormat, dll).
Disamping hal tersebut diatas, penyebab tidak harmonisnya relasi sosial
antara masyarakat dengan perusahaan disebabkan juga oleh beberapa hal
berikut dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat yaitu:1) Dalam
hubungan Masyarakat dengan Perusahaan, masyarakat terus menerus menuntut
apa yang mereka anggap sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Akan
tetapi apa yang disebut sebagai masyarakat hanya merupakan sekumpulan
individu atau kelopmpok yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan
Masyarakat. Apa yang mereka tuntut juga seringkali tidak ada hubungannya
dengan kepentingan masyarakat banyak melainkan kepentingan pribadi maupun
148
kelompok, 2). Perusahaan menerjemahkan tanggung jawab sosial mereka
kedalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bersifat reaktif, untuk meredam tuntutan
warga kepada perusahaan, dimana yang disebut warga tersebut tidak lebih dari
individu atau kelompok yang membawa kepentingannya. 3). Perusahaan
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh kebijakan Perusahaan
sendiri tanpa melakukan komunikasi dan kesepakatan dengan Masyarakat.
6.5.2. CHV dengan Pemerintah Daerah
Konflik yang terjadi antara CHV dengan Pemerintah daerah dalam hal ini
dengan Kecamatan Kabandungan masih bersifat laten artinya konflik ini belum
muncul secara terbuka kepermukaan.
“Kecamatan tidak mau memberikan tanda tangan pada proposal yang di ajukan oleh masyarakat, karena mereka merasa hanya di jadikan sebagai tukang stempel saja” (IW, 53 Tahun, Ketua kelompok Pertanian)
Konflik ini di sebabkan oleh tidak transparannya CHV dalam
melaksanakan program pengembangan masyarakat serta tidak dilibatkannya
pihak Kecamatan dalam perencanaan dan penentuan kelompok-kelompok yang
akan memerima bantuan.
Disamping itu CHV juga tidak pernah melaporkan program-program yang
telah dilaksanakan kepada pihak Kecamatan, sedangkan disisi lain pihak
kecamatan merasa berhak tahu, karena proposal yang diajukan oleh kelompok-
kelompok masyarakat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Muspika.
Hal ini ditunjukan dengan kenyataan bahwa perusahaan lebih merasa
bertanggung jawab kepada pemerintah pusat dibanding kepada pemerintah
daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah tidak mendapatkan laporan tertulis
secara rinci mengenai realisasi program pengembangan masyarakat. Kontrak
kerjasama berlangsung antara pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan
Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) di bawah payung Departemen
Pertambangan dan Energi. Penandatanganan itu tidak melibatkan pemerintah
daerah dan masyarakat walaupun merekalah yang merasakan langsung
konsekuensi-konsekuensi buruk proses ekstraksi yang dilakukan oleh
perusahaan. Untuk menunjukkan bahwa perusahaan sudah melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut maka perusahaan menyatakan hal tersebut pada publik
dengan mempropagandakannya lewat media massa
149
Keadaan yang seperti itu berdampak tidak diakuinya pelaksanaan
program pengembangan masyarakat oleh pemerintah Kecamatan Kabandungan
dan di anggap bukan merupakan bagian dari pembangunan wilayah yang di
laukan oleh pemerintah. Disisi lain CHV membuthkan pengakuan dari
pemerintah daerah terhadap program pengembangan masyarakat yang telah
dilkukannya, sebagai laporan dari pelaksanaan pengembangan masyarakat ke
Pertamina atau pemerintah pusat.
6.5.3. CHV dengan LSM Lokal
Sebenarnya apa yang menjadi sumber konflik antara masyarakat dengan
CHV, juga merupakan sumber konflik bagi CHV dengan LSM Lokal. Tetapi
secara spesifik konflik dengan LSM lebih bersifat terbuka, hal ini bisa dilihat dari
pernyataan-pernyataan LSM tentang kebijakan pengembangan masyarakat yang
sudah dilakukan oleh CHV, dimana sebagaian besar menganggap bahwa CHV
masih kurang peduli. Hal tersebut terepresentasi dari adanya sinisme,
keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau
bahkan memprotesnya.
Konflik yang terjadi bisanya bermula dari tidak di penuhinya proposal
yang diajukan oleh LSM kepada CHV, Alokasi dana yang terbatas serta adanya
seleksi dan prioritas terhadap berbagai permohonan bantuan yang diajukan
menyebakan tidak seluruh permohonan dapat dikabulkan. Ketidakpuasan yang
muncul karena adanya penolakan terhadap permohonan yang diajukan dimana
pengharapan yang meningkat menyebabkan terjadinya berbagai reaksi.
Pihak LSM memandang bahwa perusahaan kurang akomodatif, kurang
membuka diri dengan pihak-pihak luar dan cenderung defensif. Hal ini dapat
ditunjukan dari kerapkali pihak perusahaan tidak hadir dalam pertemuan-
pertemuan LSM atau tidak menjawab surat permohonan audiensi dari LSM,
kalaupun pihak perusahaan hadir, wakil perusahaan yang menghadiri tidak
punya wewenang dalam mengambil keputusan di pertemuan. Keadaan tersebut
terepresentasi dari sinisme, keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV, atau bahkan
memprotesnya. LSM juga menilai adanya kebijakan perusahaan untuk sengaja
menimbulkan situasi konflik, dimana akhirnya LSM menjadi terbagi dua, yaitu
yang sejalan dengan perusahaan dan yang oposisi. Yang sejalan diberi insentif
dan yang oposisi disingkirkan.
150
Sementara dari sisi perusahaan, CHV menganggap bahwa konflik yang
terjadi tidak pernah sengaja diciptakan oleh perusahaan, konflik yang ada terjadi
karena kurangnya komunikasi diantara LSM-LSM itu sendiri sehingga saling
mencurigai. Menurut CHV, dalam pelaksanaan program pengembangan
masyarakat, perusahaan lebih menilai bobot serta manfaat program yang
diusulkan oleh LSM ketimbang LSM-nya sendiri.
Jika di kelompokan, maka konflik yang terjadi antara CHV dengan LSM
Lokal dapat di kelompokan ke dalam Konflik kepentingan. Menurut Anwar
(Anwar.1999). ,Konflik struktural, terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk
melakukan akses dan kontrol terhadp sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan
memiliki wewenang formal untuk menentukan dan menetapkan kebijakan umum,
biasanya memilki peluang dalam menguasai akses dan melakukan kontrol
sepihak terhadap pihak lain. Pada sisi lain, faktor geografis dan sejarah seringkali
menjadi alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan
yang hanya menguntungkan suatu pihak.
6.5.4. Masyarakat dengan Masyarakat
Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat disebabkan
oleh ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya
terutama air. Semakin langkanya sumberdaya air menimbulkan konflik dalam
masyarakat, air yang tadinya tidak menjadi masalah bagi warga masyarakat, kini
menjadi rebutan. Berkurangnya sumber air ini terjadi sebagai akibat maraknya
penebangan liar di sekitar kawasan hutan yang ada di Kecamatan Kabandungan,
kemudian yang dianggap penyebab lainnya oleh sebagain masyarakat adalah
akibat dari beroperasinya CHV di Kecamatan Kabandungan.
Konflik yang terjadi antara masyarakat misalnya konflik antara secagian
penduduk desa Kabandungan dan desa Cipeuteuy yang tanahnya di lalui oleh
aliran sungai buatan yang di bangun oleh kelompok masyarakat dari desa
Tugubandung. Konflik tersebut sebagai akibat dari rusaknya tanah (erosi) milik
warga masyarakat di sepanjang aliran sungai.
Konflik juga terjadi antara masyarakat kedusunan kampung Babakan
dengan masyarakat kedusunan kampung Cimanggu di desa Kabandungan.
Penyebab konfliknya adalah perebutan dalam penggunaan air pada musim
kemarau.
151
CHV melakukan bantuan pipanisasi air untuk membantu masyarakat di Kedusunan Kampung Babakan dan kedusunan Kampung Cimanggu. Sebelumnya kedua dusun tersebut mempunyai sumber mata air yang berbeda , tetapi karena alasan teknik (untuk mencari gravitasi, agar air mempunyai tekanan yang besar dan dapat mengalir ke sumua tempat di dua kedusunan) maka sumber mata air untuk kedua kedusunan tersebut akhirnya di gabungkan yaitu dengan memakai sumber air yang biasa di pakai oleh kampung Babakan. Tetapi karena sumber mata airnya terbatas, maka pada musim kemarau sering terjadi saling sabotase antara kedua kedusunan ini dengan cara menutup jalur air ke saluran masing-masing kedusunan dengan sampah atau batu agar aliran ke pelaku penutupan menjadi besar. Kondisi ini menimbulkan ketegangan masyarakat antara kedua kedusunan. (Hasil wawancara dengan beberapa Tokoh Masyarakat Babakan dan Cimanggu)
Disamping itu potensi konflik juga muncul karena adanya perbedaan
antara desa yang mendapat alokasi bantuan dari perusahaan dengan porsi yang
lebih besar di banding dengan desa lainnya. Lokasi CHV yang berada di
Kecamatan Kabandungan dengan desa terdekat adalah desa Kabandungan dan
Desa Cipeuteuy serta desa Pulosari di Kecamatan Kalapanunggal mendapat
porsi alokasi bantuan yang lebih besar ketimbang desa-desa lainnya. Kondisi ini
menyebabkan kecemburuan masyarakat desa lainnya.
6.5.5. Masyarakat dengan LSM
Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan LSM disebabkan oleh
adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap LSM-LSM yang meng-atasnamakan
masyarakat untuk meminta pendanaan program kepada CHV, tetapi setelah
bantuan program diturunkan bantuan itu tidak sampai kepada masyarakat.
Hal tersebut menimbulkan protes dari masyarakat, Ini terjadi karena
beberapa LSM menggunakan posisinya untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini
tidak mengherankan karena realisasi program pengembangan masyarakat
melibatkan dana yang relatif besar sehingga stakeholder yang terlibat berusaha
mendapatkan keuntungan-keuntungan dari program ini.
6.5.6 LSM dengan LSM
Konflik yang terjadi antara LSM dengan LSM disebabkan oleh adanya
perbedaankepentingan, persaingan baik dalam program maupun lokasi
pelaksanaan program. Pada sisi yang lain LSM, terutama LSM lokal melakukan
dua peranan. Peranan yang pertama adalah mengontrol akibat-akibat buruk yang
ditimbulkan dari proses produksi yang dilakukan perusahaan dan realisasi
program pengembangan masyarakat. Sedangkan peranan yang kedua adalah
menjadi partner perusahaan untuk menjalankan program-program
152
pengembangan masyarakat, akan tetapi terkadang dua peran ini dilakukan oleh
LSM yang berbeda, dan saling berhadapan sebagai LSM yang pro dan kontra.
LSM yang mengontrol akibat-akibat buruk yang ditimbulkan dari proses produksi
perusahaan biasanya dinggap sebagai LSM yang kontra perusahaan, sedangkan
LSM yang menjadi partner perusahaan untuk menjalankan program-program
pengembangan masyarakat dianggap sebagai LSM yang pro.
Di Kecamatan Kabandungan konflik antar LSM lebih disebabkan oleh
adanya konflik pribadi antara tokoh-tokoh pemuda yang rata-rata menjadi ketua
LSM, sehingga konflik pribadinya mewarnai gerakan LSM yang di pimpinnya.
Jadi secara substansial sebetulnya antara LSM-LSM tersebut tidak saling
bertentangan, tetapi adanya masalah pribadi pemimpin yang di bawa masuk ke
dalam organisasi yang membuat konflik terjadi.
Contoh dari kasus seperti itu misalnya LSM SRK yang pengurusnya
terlibat dalam konflik, dan pengurus yang dianggap bersalah di keluarkan dari
organisasi, kemudian pengurus yang di pecat tersebut dengan dukungan tokoh
pemuda lain yang sebelumnya tidak terakomodir dalam LSM SRK mendirikan
LSM baru yaitu BRK dengan maksud untuk menjegal dan menyaingi LSM yang
memecatnya dengan melaksanakan program yang sama dalam bidang yang
sama. Akhirnya masing-masing LSM berlomba secara tidak sehat (dengan
saling menjatuhkan) serta membuat program untuk mendapatkan dukungan dari
CHV, jika salah satu LSM berhasil, maka LSM lain membuat program tandingan,
kondisi seperti ini akhirnya berujung pada konflik terbuka yang melibatkan
kekerasan fisik. Dilain pihak kondisi ini mendatangkan tudingan dari kalangan
LSM kepada pihak CHV, bahwa pihak CHV telah melakukan politik adu-domba
terhadap LSM-LSM lokal. Bentuk konflik dan sumber konflik yang terjadi antar
LSM di Kecamatan Kabandungan seperti terlihat dalam Matriks 6. 3. berikut
Matriks 6. 3. Bentuk konflik dan sumber konflik di Kecamatan Kabandungan
Pelaku konflik Bentuk konflik Sumber konflik
LSM Barak dengan LSM Sorak
Pemukulan fisik oleh anggota LSM Sorak terhadap anggota LSM Sorak
LSM Barak menganggap LSM Sorak menghalangi program mereka
LSM KPP dengan LSM Sorak
Intimidasi oleh LSM Sorak kepada KPP
LSM Sorak merasa CHV terlalu memperhatikan LSM KPP
Sumber data : Diolah dari hasil wawancara
153
6.5.7. Pemerintah Daerah dengan LSM
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak memihak rakyat menjadi salah
satu penyebab konflik, dalam pengelolaan sumberdaya alam misalnya, LSM
sebagai salah satu kekuatan kontrol sosial memandang kepentingan ekonomi
masyarakat setempat dalam kepentingan konservasi (ekologi) kawasan tidak di
akomodir oleh pemerintah, akhirnya menimbulkan tekanan dan ancaman
terhadap sumberdaya alami kawasan. Kondisi ini terjadi karena tidak ada
partisipasi dari masyarakat serta LSM lokal sebagai akibat dari tersentralisasinya
sistem pengelolaan kawasan di tangan pemerintah (dephut/Perhutani/Pemda).
Kebijakan otonomi daerah juga menjadi salah satu penyebab adanya
konflik antara LSM dengan pemerintah, lahirnya Undang-undang Otonomi
Daerah memberi ruang yang lebih besar kepada pemerintah daerah terutama
pemerintah daerah Kabupaten untuk mengelola sumberdaya alam di
wilayahnya, sehingga terjadi tarik menarik kepentingan antara berbagai pihak
(stakeholders) seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, BTNGH,pihak
swasta, LSM serta Masyarakat.
Dalam bidang pembangunan wilayah, LSM juga menyuarakan
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pembangunan misalnya
rusaknya kondisi jembatan jalan di Kecamatan Kabandungan, disamping itu juga
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan progrtam-program yang
dilakukan oleh pemerintah di Kecamatan Kabandungan seperti pelaksanaan
program Program BOS,PNPM, Program BLT dan program pemberdayaan
lainnya. Pengawasan yang dilakukan kadang-kadang membuat institusi yang
melaksanakan program merasa risih dan menolak kehadiran LSM sehingga
berujung konflik.
Disisi lain penolakan Institusi pelaksana program ini juga disebabkan
karena adanya oknum LSM yang ”memeras” mereka dengan memanfaatkan
kesalahan-kesalahan yang ada, sehingga mereka beranggapan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh LSM hanyalah mencari-cari jalan untuk
”memeras” pelaksana program.
6.6. Hubungan Program Pengembangan Masyarakat dan Pengembangan
Wilayah Lokal
Karaktaeristik wilayah Kecamatan Kabandungan jika ditinjau dari aspek
kemajuannya termasuk wilayah yang belum berkembang, hal ini dicirikan oleh
154
tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut maupun secara
secara relatif, serta kualitas sumber daya manusia rendah (SD / sederajat),
namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau
dimanfaatkan. Dari jumlah penduduk yang mendiami juga masih rendah dimana
tingkat kepadatan penduduk rata-rata adalah tiga jiwa/ha, selain itu juga wilayah
Kecamatan Kabandungan belum memiliki asksesibilitas yang baik, baik antar
wilayah dalam Kecamatan Kabandungan maupun dengan wilayah lainnya.
Struktur ekonomi wilayah Kecamatan Kabandungan juga masih di dominasi oleh
sektor primer dengan tingkat pendapatan yang rendah seingga belum mampu
membiayai pembangunan secara mandiri.
CHV sebagai salah satu perusahaan yang beroperasi di wilayah
Kecamatan Kabandungan melalui program pengembangan masyarakat yang
dilaksanakannya juga telah memberikan bantuan dalam usaha peningkatan
aksesibilitas yang diperlukan oleh masyarakat yaitu dengan membantu
pengembangan/peningkatan prasarana perhubungan seperti memberikan
bantuan aspal untuk pengaspalan jalan desa, bantuan material untuk
pembangunan MCK serta Sekolah. Tetapi karena bantuan yang diberikan hanya
berupa material saja mengakibatkan kualitas sarana yang dibangun tersebut
tidak sesuai sengan standar sehingga cepat rusak. Berdasarkan hasil
wawancara dengan panitia pelaksana pembangunan, dalam beberapa kasus
panitia menjual sebagian material bantuan dari CHV untuk membeli material lain
yang di perlukan serta untuk membayar upah pekerja, sehingga material yang
terpasang menjadi sangat sedikit dan dipaksakan untuk mencukupi.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa sebetulnya sudah ada upaya dari pihak
CHV untuk berperan serta dalam usaha pengembangan wilayah, meskipun
bantuan yang diberikan masih bersifat insidentil dan tidak terprogram.
Kehadiran CHV di Kecamatan Kabandungan belum meberikan
perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar
perusahaan, hal ini terlihat dari masih terdapatnya daerah kantong-kantong
kemiskinan di selitar lokasi perusahaan, rendanya penyerapan tenaga kerja lokal,
program pengembangan masyarakat belum menyentuh semua lapisan
masyarakat.
155
6.7. Analisis Badan Swasta (frofit-maximizing body) Dalam Pembangunan Wilayah
Keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan merupakan suatu
keharusan, karena badan swasta (frofit-maximizing body) merupakan salah satu
pilar utama pembangunan disamping Pemerintah dan masyarakat, sesuai
dengan konsepsi good governance yaitu State, society dan private sector.
Program Pengembangan masyarakat adalah instrumen swasta untuk memasuki
”wilayah” pembangunan yang selama ini ”wilayah” tersebut menjadi domain
negara/pemerintah.
Pihak swasta harus menyadari tanggungjawab sosial perusahaan
(corporate social Responsibility / CSR) merupakan insentif bukan beban. Oleh
karena itu pihak swasta perlu menjadi stakeholder yang potensial untuk
melakukan kolaborasi dengan pihak pemerintah dan masyarakat dalam
melaksanakan pembangunan wilayah dimana persahaan beroperasi.
Ditengah keterbatasan pembangunan prasarana yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, CHV sebagai perusahaan yang beroperasi di wilayah
Kecamatan Kabandungan seharusnya dapat mengisi kekosongan
pembangunan, sehingga dapat berperan serta dalam pengembangan wilayah.
Suatu unit usaha, terlepas dari besar atau kecilnya, maupun jenis dan
bidang usaha yang digelutinya, tidaklah dapat dipisahkan dari pihak yang
berkepentingan (stakeholder) yang lainnya terutama Masyarakat disekitar daerah
Operasi Perusahaan, karena hubungan yang baik dan harmonis antara
Masyarakat sekitar dengan Perusahaan akan sangat berperan terhadap
kelangsungan hidup serta kemajuan Perusahaan.
Hubungan yang baik dan harmonis ini tentu saja tidak dapat diharapkan
akan terjadi dengan sendirinya, tetapi hubungan yang baik dan harmonis ini
harus didorong dan diciptakan oleh para pihak yang berkepentingan. Agar terjadi
hubungan yang harmonis, maka harus diciptakan suatu hubungan timbal balik
yang mempunyai nilai ekonomis dan dilandasi oleh kesetaraan antara
perusahaan dengan Masyarakat sekitar, sehingga semua stakeholder dapat
tumbuh dan berkembang secara bersama-sama.
Suatu Unit usaha dimanapun ia beroperasi harus dapat memberikan
kontribusi kepada pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas hidup para
pekerja maupun Masyarakat disekitarnya serta mempunyai kepedulian terhadap
pelestarian alam dan pemeliharaan lingkungan.
156
Program community development yang dijalankan oleh perusahaan tidak
dengan sendirinya akan diterima atau ditolak oleh masyarakat secara
keseluruhan. Program yang sedang dijalankan tersebut akan mendapat respon
dan tanggapan yang berbeda-beda dari anggota masyarakat sesuai dengan
sikap dan persepsi masing-masing dalam menilai program community
development yang sedang dijalankan oleh perusahaan, apakah sesuai dengan
kebutuhan masayarakat atau tidak.
6.8. Ikhtisar
Struktur perekonomian Kabupaten Sukabumi menurut kelompok sektor
terlihat sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat besar dalam
perekonomian Kabupaten Sukabumi yaitu sebesar 35.98 persen. Sektor
pertanian didominasi oleh sub sektor pertanian tanaman. Sektor yang
peranannya kurang dari lima persen yaitu sektor Listrik, gas & air minum yaitu
hanya 1.32persen; sektor bangunan & konstruksi 3.34 persen; sektor keuangan,
persewaan & jasa perusahaan 3.25 persen; dan sektor Pertambangan dan
Penggalian 3.36 persen.
Semakin besar sumbangan suatu sektor terhadap PDRB, maka semakin
besar pula pengaruh sektor tersebut di dalam perkembangan ekonomi suatu
daerah. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi
sangat besar, sehingga pertanian memegang peranan yang sangat penting di
dalam perkembangan ekonomi Kabupaten Sukabumi dibandingkan dengan
sektor-sektor yang lainnya.
Dilihat dari sumbangan sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB,
maka kehadiran industri panas bumi belum memberikan dampak yang besar
terhadap perekonomiam Kabupaten Sukabumi, hal ini terlihat dari rendahnya
sumbangan sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi. Disamping itu
kehadiran industri geothermal di Kecamatan Kabandungan belum banyak
memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada
di lingkar perusahaan hal ini terlihat dari banyakanya penduduk miskin di
kecamatan Kabandungan (61,06 persen). Meskipun keberadaan industri
geothermal memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat setempat,
namun masih dalam jumlah yang relatif kecil, karena sebagaian pekerja dari luar
kecamatan Kabandungan (kurang dari 20 persen).
157
Kehadiran industri panas bumi belum banyak memberikan perubahan
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan.
Hal ini disebabkan karena program pengembangan masyarakat yang dilakukan
oleh perusahaan lebih banyak di tujukan kepada pembangunan infrastruktur
secara fisik, sedangkan sumberdaya manusia sebagai bagian penting dari
kegiatan pembangunan belum mendapatkan porsi yang memadai.
Tingginya tingkat harapan masyarakat terhadap perusahaan ditandai
dengan besarnya permohonan bantuan kepada perusahaan, masyarakat
menganggap bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas apapun
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga pada akhirnya
menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan. Ketergantungan
masyarakat ini merupakan dampak negatif dari pelaksanaan program
pengembangan masyarakat.
Pelaksanaan program pengambangan masyarakat yang dilaksanakan
oleh perusahaan porsinya masih relatif kecil, dan cenderung tumpang tindih
dengan program yang sedang dilaksanakan oleh CHV sendiri atau dengan
program yang di laksanakan pemerintah. Hal tersebut diatas menunjukan masih
rendahnya pengoordinasian dan pengintegrasian pelaksanaan program
pengembangan masyarakat dengan program lain. Pelaksanaan program
pengembangan masyarakat juga memicu konflik baik vertikal maupun horizontal.
158
Matriks 6.4. Ikhtisar Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pengembangan Wilayah
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
1
Ekonomi lokal
Terjadi pergeseran perekonomi lokal dan diversifikasi nafkah bagi masyarakat lokal serta memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan. Sehingga dapat meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat
Hanya beberapa orang/Kelompok yang mendapat keuntungan dari program yang dilaksanakan oleh perusahaan, terutama dalam bidang pertanian dan bantuan bergulir. Pemberian bantuan belum merata, masih terkonsentrasi didaerah-daerah tertentu
Kehadiran industri geothermal di Kecamatan Kabandungan belum menyebabkan terjadinya diversifikasi nafkah dalam masyarakat, secara keseluruhan belum banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar perusahaan, hal ini terlihat dari masih banyaknya keluarga miskin yang ada di Kecamatan Kabandungan yaitu sekitar 61,06 persen, dan merupakan jumlah prensentase keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi. Meskipun keberadaan industri geothermal memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat setempat, namun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini disebabkan sebagian besar karyawan perusahaan berasal dari luar daerah Kecamatan Kabandungan. Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat, terdapat beberapa program bantuan yang tidak sampai kepada masyarakat sasaran, bantuan hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang, Tokoh, kelompok atau LSM, hal ini terjadi karena adanya kesalahan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh CHV, disisi lain kesalahan juga berada di pihak masyarakat, karena masih terdapat Tokoh, kelompok atau LSM yang memanfaatkan bantuan-bantuan dan program dari CHV untuk kepentingan pribadinya.
159
2 Pengembangan infrastruktur kawasan
Meningkatnya pembangunan infrastrukutr wilayah sehingga dapat membantu berkembangnya potensi wilayah karena tersedianya infrastruktur yang memadai.
Sulit dibedakan bahwa pembangunan fasilitas infrastruktur kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal semata namun untuk perusahaan sendiri. Pendirian dan perbaikan infrastrukutur transportasi jalan dan jembatan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk memperlancar dan mempercepat jalannya lalulintas dan proses produksi perusahaan. Dengan demikian kalaupun fasilitas tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat lokal, maka hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal
Kebanyakan Industri yang berhubungan dengan sumberdaya alam terletak di daerah pedalaman (hinterland),Letak yang jauh ini sering menjadi penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang, serta semakin memperbesar disparitas antara wilayah maju dengan wilayah yang belum maju sehingga dalam proses pembangunannya menimbulkan ketergantungan terhadap wilayah yang sudah maju. Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi,budaya dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lain sangat berbeda. Dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, untuk menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu konsep pengembangan masyarakat dapat digunakan sebagai pendekatan utama dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. Salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah meningkatkan kemitraan antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan wilayah tidak semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, tetapi juga berada di pundak masyarakat secara keseluruhan. Salah satu wujud rasa tanggung jawab yang dimaksud adalah sikap mendukung dari warga masyarakat terhadap penyelenggaraan pembangunan wilayah yang ditunjukkan dengan partisipasi aktif warga masyarakatnya dalam pengembangan masyarakat (Nasdian, 2002 dalam Wahyudin 2005).
160
No. Item Harapan Kenyataan Penjelasan
3 Keberlanjutan usaha ekonomi rakyat dari program pengembangan masyarakat
Berlanjut dan berkembang sesuai dengan kapasitas masyarakat.
Tidak berkelanjutan karena kedua belah pihak tidak amanah (committed) terhadap program yang di laksanakan.
Menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan mengenai kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi serta kemampuan untuk memilih. Agar program dapat berhasil maka harus ada komitmen baik dari masyarakat mapun perusahaan untuk melaksanakan program tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di temukan baynak program yang dilaksanakan berhenti di tengah jalan atau tidak ada kelanjutannya, hal ini disebabkan diantaranya karena perusahaan menarik kembali komitmennya atau kelompok/orang yang mengelola program tidak amanah.
4 Ekonomi regional
Dapat menyumbang secara Signifikan terhadap perekonomian regional, menyerap tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan.
Sumbangan terhadap ekonomi regional masih kurang
Kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah masih relatif rendah. Hal ini terlihat dari Struktur perekonomian Kabupaten Sukabumi dimana sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian kabupaten Sukabumi. Serta rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat hal ini terlihat dari masih banyaknya keluarga miskin yang ada di Kecamatan Kabandungan yang merupakan populasi orang miskin terbesar se Kabupaten Sukabumi dan rendahnya kesempatan kerja untuk masyarakat lokal, karena sebagian besar pekerja berasal dari luar daerah.
Sumber : Hasil Penelitian
161
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh CHV antara
lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal,
lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan
masyarakat. Dalam pelaksanaannya, program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh CHV dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode
sebelum tahun 2000 dan periode setelah tahun 2000. Program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV telah mengalami
pergeseran, beberapa program telah berusaha untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di libatkan walaupun baru
diwakili oleh orang–orang tertentu saja, namun secara umum realisasi
program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma
(karitatif). Hasil analisis menunjukan bahwa pelaksanaan program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV belum sesuai dengan
best practice dalam pengembangan masyarakat, komitmen perusahaan
terhadap pengembangan masyarakat masih rendah, Komitmen yang rendah
itu tercermin dari:
a. Struktur organisasi perusahaan, dimana bagian yang bertanggung jawab
terhadap perencanaan dan pelaksanaan program pengembangan
masyarakat hanya setingkat manager.
b. Pelaksanaan program bersifat tidak berkelanjutan, bantuan yang
diberikan kebanyakan berupa pembangunan fisik/infrastruktur.
c. Laporan pelaksanaan program pengembangan yang di buat tidak
transparan, sehingga sulit untuk mengukur peningkatan pelaksanaan
program pengembangan masyarakat dari tahun ketahun.
2. Pelaksanaan program pengembangan masyarakat dapat menjadi penggerak
bagi pengembangan wilayah, melalui pelaksanaan program pengembangan
masyarakat, perusahaan dapat membantu wilayah untuk berkembang.
Terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap
pengembangan wilayah, tetapi kontribusi tersebut masih sangat rendah dan
belum sesuai dengan harapan, hal ini terjadi karena adanya kendala-kendala
162
dalam pelaksanaan program (lihat matriks 5.4 dan matriks 6.4). Kontribusi
yang masih rendah terhadap pengembangan wilayah ini terlihat dari Struktur
perekonomian Kabupaten Sukabumi, dimana sektor pertanian mempunyai
peranan yang sangat besar dalam perekonomian di bandingkan dengan
sektor-sektor lainnya. Disamping itu kehadiran industri geothermal di
Kecamatan Kabandungan belum banyak memberikan perubahan terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar perusahaan hal ini
terlihat dari masih banyaknya keluarga miskin yang ada di Kecamatan
Kabandungan yang mencapai 61,06 %, dan merupakan jumlah presentase
keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi. Meskipun keberadaan
industri geothermal memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat
setempat, namun masih dalam jumlah yang kecil (kurang dari 20%),
sebagian besar karyawan perusahaan berasal dari luar daerah.
3. Pengordinasian dan pengintegrasian program dengan program lain masih
lemah serta perusahaan masih pasif menunggu usulan program dari
masyarakat. Program pengembangan masyarakat yang dilakukan juga
mempunyai dampak negatif yaitu terjadinya ketergantungan masyarakat
terhadap perusahaan serta terdapatnya kelompok-kelompok dalam
masyarakat dan menimbulkan konflik yang melibatkan kelompok-kelompok
tersebut.
4. Program pengembangan masyarakat hanya dilakukan di daerah tertentu
saja yang dekat dengan lokasi perusahaan dan pelaksanaannya belum
merata., Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Christaller
(1930) dalam Rustiadi et.al (2005) tentang pembangunan wilayah dalam
hubungannya dengan lokasi industri dan pertumbuhan perkotaan.
7.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, perlu di perhatikan
hal-hal sebagai berikut:
7.2.1. Untuk Pengembangan Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
Dan Perdesaan
Pelaksanaan program pengembangan masyarakat sangat di pengeruhi
oleh kondisi dari sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dimana program
tersebut dijalankan, sehingga dalam pelaksanaan program pengembangan
163
masyarakat tidak hanya dititik beratkan pada programnya saja tetapi harus ada
komunikasi yang baik dengan masyarakat. Program yang berhasil di suatu
daerah belum tentu berhasil jika di terapkan di tempat lain,sehingga pola
penanganan program pengembangan masyarakat di setiap daerah juga
berbeda-beda.
7.2.2. Pihak Perusahaan
1. Perusahaan harus meningkatkan lagi komitmen-nya terhadap
pengembangan masyarakat dan pengembangan wilayah di mana
perusahaan beroperasi.
2. Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat, perusahaan harus
melibatkan partisipasi Masyarakat dan stakeholders lain dalam, penyusunan,
pelaksanaan serta pengawasan program, sehingga program yang dijalankan
benar-benar merupakan kebutuhan dan keinginan masyarakat serta untuk
menghindari konflik dan benturan kepentingan.
3. Perlu di bentuk sebuah lembaga yang berfungsi menjembatani kepentingan
perusahaan dan masyarakat dimana di dalamnya terdapat wakil-wakil
masyarakat, LSM, pemerintah serta perusahaan sehingga dapat
menyatukan seluruh potensi yang ada dan juga dapat berfungsi sebagai
media untuk saling berkomunikasi antar stakeholders, agar terdapat
keterpaduan antar stakeholder serta keterpaduan proses mulai dari
identifikasi kebutuhan, perencanaan program, pelaksanaan dan
pengembangan sampai kepada membangun jejaring yang efektif.
4. Perusahaan harus menyelaraskan serta mengintegrasikan program
pengembangan masyarakat yang dilakukannya dengan program-program
pembangunan dilaksanakan di kecamatan Kabandungan, baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga lainnya.
Sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan program lainnya, disamping itu
untuk mendapatkan pengakuan dari masyarkat serta pemerintah setempat.
Dalam hal ini perusahaan dapat menggunakan kegiatan musrenbang
(musyawarah perencanaan pembangunan) baik di tingkat desa maupun di
tingkat kecamatan sebagai media untuk mengordinasikan program dan
menjaring aspirasi masyarakat mengenai program-program yang dibutuhkan.
5. Evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program pengembangan
masyarakat harus lebih ditingkatkan dengan melibatkan komponen-
164
komponen masyarakat, sehingga program yang dilaksanakan tepat sasaran
dan berdampak sesuai dengan harapan, serta dapat meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan program.
7.2.3. Pihak Pemerintah Daerah Sukabumi
1. Menciptakan payung hukum (perda tentang pengembangan masyarakat)
yang dapat memayungi program kemitraan antara pemerintah daerah,
industri dan masyarakat.
2. Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program
pengembangan masyarakat oleh perusahaan dengan melibatkan
masyarakat, sehingga program yang dilaksanakan berdampak sesuai
dengan harapan, serta selaras dengan program pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan wilayah.
7.2.4. Pihak Desa dan Kecamatan Kabandungan
Mensinergikan antara program pembangunan pemerintah dengan
program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga
program yang dilaksanakan dapat saling mendukung dan menguatkan.
7.2.5. Pihak Masyarakat
1. Menciptakan iklim yang baik bagi kelangsungan dunia usaha melalui
kerjasama dengan perusahaan dalam usaha peningkatan kesejahteraan
dan pengembangan wilayah.
2. Membentuk sikap mental mandiri dan tangguh untuk menolong diri sendiri
(self help) karena perusahaan bukanlah satu-satunya sumber, upaya
pengembangan masyarakat bukan hanya tanggung jawab perusahaan saja,
melaikan merupakan tanggung jawab bersama. Bertindak amanah
(committed) serta tidak memanfaatkan program-program bantuan untuk
kepentingan pribadi/kelompok dengan mengatasnamakan masyarakat.
3. Bersama stakeholder lain melakukan Evaluasi dan monitoring terhadap
pelaksanaan program pengembangan masyarakat sehingga program yang
dilaksanakan berdampak sesuai dengan harapan, serta dapat meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan
program.
165
DAFTAR PUSTAKA
Aman. 2002.Masyarakat Adat dan Pertambangan: Jalan Sesat Menuju
Penyerahan Kedaulatan. Makalah Diskusi Panel Nasional: Memahami
Persepsi Community Development di Sektor Pertambangan dan Migas
Ditinjau dari Perspektif Otonomi Daerah May 14 2002. Yogyakarta,
Azof. Iwan.S. 2002. Program Pengembangan Masyarakat Unocal Geothermal Of
Indonesia,Ltd Di Daerah Gunung Salak. Makalah Diskusi Panel Nasional:
Memahami Persepsi Community Development di Sektor Pertambangan
dan Migas Ditinjau dari Perspektif Otonomi Daerah. , May 14 2002..
Yogyakarta
Anonimous, 2003, Undang-undang RI Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas
Bumi
Anonimous, 2004, Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Anonimous, 2007, Undang-Undang RI nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang
Adi. Isbandi Rukminto. 2001, Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan
Intervensi Komunitas: Pengantar pada pemikiran Masyarakat dan
Pendekatan Praktis, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI
Adisasmita. Rahardjo.H. 2005. Dasar – dasar Ekonomi Wilayah, Yogyakarta:
Graha Ilmu
Anwar. A. 2001. Kerangka Ekonomi Fundamental Dalam Menghadapi Masalah
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Makalah Bahan Kuliah Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
Anwar A, Rustiadi E. 2001. Pembangunan Tata Ruang Wilayah Pedesaan
Dalam Pembangunan Regional. Bahan Kuliah Perencanaan Sistem
Ekonomi Tata Ruang, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pedesaan, Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Asy’ari.Sapari Imam. 1993. Sosiologi Kota dan Desa, Surabaya: Usaha
Nasional.
Bungin. Burhan 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Metode Aplikasi. Jakarta: Raja
Grafindo.
166
Chevron Geothermal Salak,Ltd. 2006. Laporan dan Program Community
Development dan Relation Chevron Geothermal Salak,Ltd .2005-2006.
Christenson. James A ,Robinson JR, Jerry W. 1989. Community Development
in Perspective, Ames: Iowa State University Press.
BPS Kabupaten Sukabumi .2006. Sukabumi Dalam Angka.
Budiharsono. S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita
Budimanta A. 2003. Prinsip Pengelolaan Community Developoment di Dunia
Pertambangan. Indonesia. Jakarta: Center fot Sustainable Development
(ICSD). Pustaka Sinar Harapan. IKAPI.
Dawkins C.J. 2003. Regional Development Theory: Conseptual Foundations,
Classic Works, and Recent Developments. Journal of Planning Literature.
Vol. 18/2. pp. 131-172. Sage Publications.
Ellis F .2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford:
Oxford University Press.
Fisher RJ, Durst PB. Enters T ,M. Victor. 2001. Overview of the issues in
devolution and decentralization of forest management in Asia and the
facific, B angkok: RAP publication.
Haeruman H,Eriyanto. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal,
Bogor :Yayasan Mitra Pengembangan Desa-Kota dan Business Inovation
Centre of Indonesia..
Hamzah, Hasnawati. 2005. Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap
Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
timur Provinsi Kalimantan Timur. tesis Pasca Sarjana IPB.Bogor.
Hikmat Harry. 2004, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora
Utama.
Hendrapawoko Kunto. 2008. Perlunya Peningkatan Peran Internal Audit Dalam
Good Corporate Governance (GCG) Melalui Evaluasi Implementasi
Corporate Sosial Responsibility (CSR) di PT. ANTAM Tbk. Makalah
seminar. Tidak dipublikasikan.
Ife Jim. 2002. Community Development: Community Based Alternatives In An
Age Of Globalization, Australia: Pearson Education.
Karsyono, F dan N. Syafaat. 2000. Strategi Pembagunan Pertanian yang
Berorientasi Pemerataan di Tingkat Petani, Sektoral dan Wilayah.
Prosiding Persfektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam
167
Otonomi Daerah. , Bogor :Badan Litbang. Departemen Pertanian dan
Kehutanan.
Kartodiharjo H, H Jhamtani. 2006 . Politik Lingkungan Dan Kekuasaan Di
Indonesia. Jakarta.
PT. Equinox Publishing Indonesia. Khairuddin. 2000. Pembangunan
Masyarakat, Yogyakarta: Liberty
Marzali A. 2003. Teknik Identifikasi Kebutuhan dalam Community Development
Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD). Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. IKAPI.
Mitchell, B.,B. Setiawan dan D.H. rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.
Muhammad. Cholid. 2000. Reformasi Kebijakan Pertambangan Indonesia Suatu
Kebutuhan Mendesak.
Ndraha Taliziduhu. 1987, Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, Iwan. dan Dahuri, Rokhmin 1999. Pembangunan Wilayah: Perspektif
Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Parker, SR. et Al. 1992. Sosiologi Industri, Jakarta; Rineka Cipta
Putnam, Robert. 1995. Tuning In, Tuning Out : The Strange Disappearance of
Social Capital in America. Political Studies Vol. 4 No. 28.
Ross. Murray G. 1955. Community Organization. H New York harper and
Brother..
Roy, S.B. 1992. Bilateral Matching Institution: an Illustration in forest
conservation. J. Indian Anthrop. Soc. 27:253-262.
Riyadi dan Bratakusumah ,DS. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah :
Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta :
PT Gramedia PustakaUtama.
Rukminto, Isbandi. 2001. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan
Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis.
Jakarta. Lembaga Penerbitan FE-UI.
Rustiadi, et.al. 2005, Perencanaan dan pengembangan wilayah. Bahan kuliah
tata ruang program studi PWD, Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Soesilo, Nining I. 2002, Manajemen Strategik di Sektor Publik (Pendekatan
Praktis) Buku III, Jakarta : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi UI.
168
Soetrisno, Loekman.1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta:
Kanisius.
Sundawati, L dan Trison,Soni. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis
Kemitraan Untuk Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa. Bogor :
LPPM-IPB bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in
Indonesia-UNDP.
Sumodiningrat, Gunawan. 1996. Pembangunan Daerah Dan Pemberdayaan
Masyarakat. Jakarta :Bina Rena Pariwara.
Suparlan, P., 2003. Manajemen Konflik dalam pengelolaan Community
Development. Jakarta.Indonesia Center for Sustainable Development
(ICSD). Pustaka Sinar Harapan. IKAPI. Jakarta.
Supardian. 2005,Pengembangan Masyarakat Dalam Industri Geothermal, tesis
Pasca Sarjana IPB.Bogor.
Sutrisno Anas M. Fauzi dan Purwiyanto Hariyadi. 2001. Kelembagaan
kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Yayasan Mitra
Pengembangan Desa-Kota dan Business Inovation Centre of Indonesia.
Bunga Rampai.
Tadjudin, Djuhendi, 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor.:Pustaka Latin,
Todaro, Michael P. and Smith,Stephen C.2004, Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga,Jakarta; Erlangga.
Trijono, Lambang. 2001: “Strategi Pemberdayaan Komunitas Lokal : Menuju
Kemandirian Daerah”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol 5
No 2 Nopember 2001.
Uphoff, Norman T. and Milton J. Esman. 1974. Local organizaation for rural
development: Analysis Of Asian Experience. Special Series On Rural
Local Government. Ithaca: Cornel University.
Wahyuningsih, Rina,Potensi Dan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi di
Indonesia, Kolokium Hasil Lapangan , 2005
Wahyudin, 2005. Strategi Mensinergikan Program-program Pengembangan
Masyarakat dan Pengembangan Wilayah, tesis Pasca Sarjana IPB.Bogor.
www.jabar.go.id (Kominfo-Newsroom). Chevron geothermal Salak digandeng
menggali panas bumi. 28 Juni 2007
Lampiran 1
Kab.Lebak
Kab. Bogor
Cisolok
Chevron Geothermal Salak,Ltd.
Sukabumi
Kecamatan
PROPINSI JAWA BARAT
Peta Wilayah Penelitian
170
Lampiran 2. Quesioner untuk responden mengenai Pelaksanaan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV
Nama : Umur : Instansi : Jabatan : Menurut pendapat anda bagaimanakah pelaksanaan program community development yang telah dilakukan oleh Chevron dalam bidang: 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Pemberdayaan Ekonomi Lokal 4. Lingkungan
171
5. Infrastruktur 6. Komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat
...............................,..................................
..................................................................
172
Lampiran 3. Program Tahunan Community Engagement CGS
No
CE Group
Judul Program
Deskripsi Program
1 Pendidikan Beasiswa untuk murid
SMA dan Universitas CGS akan membantu beasiswa untuk 10 murid SMA dan 4 mahasiswa universitas, beasiswa akan diberikan sampai mereka lulus sekolah
Banatuan fasilitas sekolah (meja,bangku/ meubelair ,papan tulis dan sebagainya)
CGS akan membantu untuk renovasi 2 SD dan membantu pembangunan 2 ruang kelas baru SMA di dua kecamatan
Kursus bagi pengajar untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan
Membantu persiapan kursus dengan mengundang instruktur professional untuk pembelajaran yang lebih spesifik
Bauku-buku baru untuk perpusatakaan umum
CGS akan membantu untuk memberikan 3.000 buku untuk 3 perpustakaan
Renovasi sekolah/bangunan baru
CGS akan membantu untuk merenovasi 2 SD dan membantu pembangunan 2 kelas baru SMA di 2 Kecamatan
Kontes pidato dalam bahasa Inggris
Untuk meningkatkan pengetahuan yang lebih baik dalam bahasa Inggris. CGS akan membantu melaksanakan kontes pidato dalam bahasa Inggris
2 Kesehatan Pelayanan bantuan kesehatan umum
Program bantuan kesehatan di dua kecamatan yaitu berupa pelayanan pemerikasaan gigi dan opersi kecil
Bantuan fasilitas kesehatan dan obat-obatan untuk masyarakat
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan menyediakan peralatan kesehatan dan obat-obatan
Training untuk perawat dan sukarelawan (kader kesehatan)
Untuk mengurangi tingkat kematian ibu dan anak karena pertolongan dukun bayi. Diharapkan dengan training dapat meningkatkan kedewasaan (improve maturity)
173
Kampanye kesehatan Untuk mengurangi peyekit kulit yang mewabah akibat kondisi lingkungan yang kurang sehat
Renovasi Puskesmas/Posyandu
Beberpa pusat pelayanan kesehatan masyarakatkan kondisinya sudah tidak layak dan memerlukan renovasi
Menyediakan MCK umum
Menyediakan bantuan untuk masyarakat lokal untuk meningkatkan sanitasi lingkungan dan peningkatan kualitas MCK tradisional
3 Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Training untuk meningkatkan kemampuan
CGS bekerjasama dengan pusat pelatihan setempat (pemda) mengadakan pelatihan/kursus yang tepat untuk masyarakat yang dibutuhkan oleh pasar
Program pengembangan usaha kecil dan mikro(UKM), lembaga Keuangan mikro (LKM)
Menbantu meningkatkan dan memudahkan produksi dan pemasaran produk yang dihasilkan oleh masyarakat serta akses modal untuk mendukung pengembangan ekonomi masyarakat
Pengembangan kegiatan yang menguntungkan melalui kolaborasi dari berbagai stakeholder (partisipasi aktif)
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap CGS serta meningkatkan rasa memiliki masyarakat pada program/proyek yang mereka kerjakan
Lingkungan Reforestasi kawasan sekitar operasi perusahaan
CGS mengimplemntasikan program pengijauan dengan menyediakan bantuan bibit tanaman penghijauan dan keperluan lainnya kepada masyarakat sekitar operasii perusahaan
Menyediakan bibit tanaman untuk mendukung kegiatan reforestasi setempat
Dalam rangka Kepedulian terhadap hutan lindung, CGS menyediakan bantuan bibit tanaman kepada masyarakat setempat dalam rangka mendukung reforestasi
Promosi health,environmental and safety (HES) kepada masyarakat
Mempromosikan dan menyebarkan informasi tentang kesehatan, keselamatan kerja dan lindung lingkungan kepada masyarakat setempat.
174
Mendukung program forum peduli lingkungan
CGS mendukung program lingkungan melalui program peduli lingkungan
Mendukung program biodiversity
CGS memberikan bantuan untuk mendukung program biodiversity
Infrastruktur Renovasi fasilitas umum Menyediakan bantuan material untuk membangun/merenovasi fasilitas umum
Pembangunan irigasi/saluran air
Bekerjasama dengan masyarakat dalam penyediaan air bersih, pengelolaan sumber air dan pemanfaatannya
Perbaikan jalan Membantu material untuk peningkatan/perbaikan jalan di desa sekitar untuk meningkatkan akses.
Pembuatan/perbaikan jembatan
Membantu material untuk peningkatan/perbaikan jalan di desa sekitar untuk meningkatkan akses.
Bantuan terhadap korban bencana alam
Memberikan bantuan kepada korban bencana alam
Komunikasi Pertemuan formal dan informal
Pertemuan di maksudkan untuk menyampaikan informasi-informasi yana up to date dan untuk meningkatkan hubungan yang baik dengan masyarakat
Kunjungan ke lapangan tempat operasi perusahaan atau ke tempat lain
Untuk mempromosikan serta meningkatkan hubungan yang lebih baik antara perusahaan dengan pihak-pihak lain(pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat dan lain-lain)
Pertandingan persahabatan
Meningkatkan persahabatan dan kerja sama dengan masyarakat melalui sarana olah raga
Sumber: Salak Community Engagement Report CVR,Ltd.
175
Lampiran 4.
Struktur Organisasi Community Affairs CHV
Sumber: Laporan dan Program Community Development dan Relation Chevron
Geothermal Salak,Ltd .2005-2006.
Presiden
GM Operations
Salak Geothermal Manager
Comunity Affairs Manager
Jakarta
Gunung Salak
176
Lampiran. 5
Struktur organisasi pengelolaan CSR PT. Antam, Tbk
Sumber: Hendrapawoko,2008
Director General Affairs and
Corporate Social Responsibility
Senior Manager Corporate Social
Responsibility
Senior Manager General Affairs and External Relation
ASM Community Development
ASM
Post Mining
ASM
General Affairs
ASM
External Relations
177
PENGEMBANGAN PROYEK
PERIODE KEGIATAN MASALAH YANG
MUNCUL
PROGRAM CD YANG
DILAKSANAKAN
PIHAK YANG TERLIBAT DAMPAK JUMLAH
DANA MEKANISME PROGRAM
<1979 Eksplorasi
1980-1989 • 1982 Ditandatangani Kontrak antara Pertamina, PLN dan Union
1983 – 1986 Proses studi rona awal lingkungan dan pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke Pertamina
• 1989 Penyusunan AMDAL dan mengajukan proposal pengembangan sebesar 110 MW ke Pertamina
• Pencemaran air sungai yang digunakan oleh penduduk untuk usaha perikanan
• Penduduk menuntut ganti rugi
Ganti rugi kepada para pemilk kolam
• Tokoh-tokoh formal • Para pemilik kolam
Masyarakat merasa senang
Kepala desa menghitung jumlah kerugian yang diderita oleh masyarakat, kemudian mengajukan penggantian lepada preusan
1990-1999 • 1994 Unocal memulai operasi secara komersial sebesar 110 MW
Program-program masih bersifat charitatif
Para pemimpin formal (Kepala Desa,Camat)
Memberikan bantuan acara-acara keagamaan dan perayaan hari besar nasional
• 1994 Diajukan proposal pengembangan ke Pertamina sebesar 220 MW
Mulai diadakan program yang mengarah ke pemberdayaan kelompok
Para pemimpin formal (Kepala Desa,Camat), Tokoh Masyarakat serta tokoh Pemuda.
Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat, tetapi masih terbatas didaerah-daerah terdekat dengan
Lampiran 6. Kronologis Pelaksanaan Program Community Development CVR Di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi
178
lokasi peusahaan • 1997
Unocal geothermal Indonesia,Ltd. (UGI) melakukan operasi secara komersial sebesar 330 MW.
• 1998 Renegosiasi Kontrak
2000-2007 • 2002 kontrak diamandemen dan disetujui oleh para pihak
Muncul tuntutan dari LSM lokal, dengan tuntutan: 1. Perekrutan
tenaga kerja lokal
2. pemberdayaan masyarakat lokal
3. adanya tanggung jawab lingkungan dari Unocal
4. penyediaan fasilitas BLK untuk meningkatkan keterampilan/skill masyarakat lokal
• Pengembangan Usaha pertanian
• Usaha-usaha penghijauan
• Pembangunan dalam bidang infrastruktur (pos yandu, perbaikan jalan dan jembatan)
• Pembetukan kelompok-kelompok pemberdayaan
• Dombanisasi • Bantuan gen-set
untuk para pemulung bangbung(kumbang)
• Pembangunan Lapangan Olah raga
• LSM FORIDA • Tokoh masyarakat • Kelompok tani • Kelompok Pemuda • PPLH-IPB • INRR
• Dengan Munculnya LSM FORIDA, mendorong munculnya LSM-LSM lokal lain yang mengadvokasi masyarakat
• Munculnya kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat
Masing-masing kelompok mengajukan proposal kegiatan sendiri-sendiri.
• 2005 Muncul kembali tuntutan yang
• Bantuan • Ketua kelompok Belum berdampak
Masing-masing kelompok
179
Sumber: Hasil wawancara dengan responden
Diakuisisi oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) menjadi Chevron Geohermal Salak,Ltd.
disuarakan oleh LSM lokal mengenai issu-issu seputar: 1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan
Masyarakat 3. Peningkatan
kesejahteraan dan ekonomi
4. Lingkungan 5. peningkatan
kesempatan berusaha
pembangunan infra struktur
• Bantuan untuk kelompok tani
• LSM • Ketua Pemuda
terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
mengajukan proposal kegiatan sendiri-sendiri.
• 2007 Muncul kembali tuntutan yang disuarakan oleh LSM lokal mengenai issu-issu seputar: 1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan
Masyarakat 3. Peningkatan
kesejahteraan dan ekonomi
4. Pingkungan 5. peningkatan
kesempatan berusaha
• Bantuan pembangunan infra struktur
• Bantuan untuk kelompok tani
• Pembentukan UKM dan LKM
• LSM KPP • KKMD • PNM • CGS
Belum berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat
Diperkirakan Rp. 5 M
Proposal harus disetujui oleh kepala desa dan camat
180
Lampiran 7
GLOSSARY
AMDAL : Analisis mengenai dampak lingkungan Antam : Aneka Tambang, Tbk Aspak 213 : Asosiasi pemuda antar kedusunan 1, 2 dan 3 (LSM) Barak : Barisan Rakyat Kecamatan Kabandungan (LSM) BBM : Bahan bakar minyak BUMN : Badan usaha milik negara BLK : Balai latihan kerja BLT : Bantuan langsung tunai BOS : Bantuan operasional sekolah BPD : Badan permusyawaratan desa BP Migas : Badan Pelaksana minyak dan gas BPN : Badan pertanahan nasional BPS : Badan pusat statistik 0C : Derajat celcius CGS : Chevron geothermal salak, Ltd. CHV : Chevron geothermal salak, Ltd. CI : Concervation international CSR : Corporate social resposibility Dephut : Departemen kehutanan DO : Drop out dpl : Diatas permukaan laut ECOSOC : Economic social council (UN) GCG : Good corporate governance GRI : Global reporting initiative GWe : Giga watt electric Ha : hektar HAM : Hak azasi manusia HIV/AIDS : Human imuno defeciency virus/acquired imuno defeciency syndrom IUP : Izin usaha penambangan JK3GS : Jaringan kerjasama konservasi kawasan gunung Salak K3 : Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kadus : Kepala dusun Kandepag : Kantor departemen agama Kg : Kilogram KM : Kilometer KK : Kepala keluarga KPP : Komunitas peduli pendidikan (LSM) LSM : Lembaga swadaya masyarakat LBD : Local business development MWe : Mega watt electric NAPZA : Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya PAD : Pendapatan asli daerah PDRB : Product domestic regional brutto Pemda : Pemerintah daerah Perda : Peraturan daerah PIN : Pekan imunisasi nasional
181
PKBL : Program kemitraan dan bina lingkungan P3LH : Pemuda peduli pelestarian lingkunganhidup (LSM) PLTA : Pembangkit listrik tenaga air PLTD : Pembangkit listrik tenaga diesel PLTU : Pembangkit listrik tenaga uap PMA : Penanaman modal asing PMKS : Penyandang masalah kesejahteraan sosial PMT : Program makanan tambahan PNBP : Penerimaan negara bukan pajak PNPM : Program nasional pemberdayaan masyarakat PNS : Pegawai negeri sipil FPED : Forum pemuda empat desa (LSM) PT : Perseroan terbatas PTP VIII : Perseroan terbatas Perkebunan wilayah 8 (BUMN) Pustu : Pusat kesehatan masyarakat pembantu PwC : Price water house coopers RSUD : Rumah sakit umum daerah RT : Rukun tetangga RW : Rukun warga RT/RW : Rencana tata ruang dan tata wilayah SDM : Sumberdaya manusia Sorak : Solidaritas rakyat kecamatam Kabanungan (LSM) TNCs : Trans national corporations TNGHS : Taman nasional gunung Halimun-Salak UGI : Unocal geothermal of Indonesia,Ltd UN : United nataions UU : Undang-undang :