159 EKSISTENSI PELACUR MUSLIMAH DALAM NOVEL TUHAN IZINKAN AKU MENJADI PELACUR KARYA MUHIDIN M. DAHLAN Gilang Nur Alfi Jauhari Universitas Airlangga [email protected]Abstrak Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari makna eksistensi pelacur yang terkandung di salam teks sastra berbentuk novel dengan judul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis melalui pembacaan mendalam pada objek penelitian yang berbentuk novel. Data-data berupa kata, frasa, dan kalimat kemudian dianalisis menggunakan teori struktur naratif dari A.J Greimas dengan kesimpulan yang diambil dengan memanfaatkan paradigma eksistensialisme Soren Kierkegard untuk menemukan makna eksistensi yang terkandung di dalam teks. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Pendekatan Strukturalisme pada karya sastra dapat dimanfaatkan bukan hanya sebagai deskripsi saja, akan tetapi juga untuk menarik makna yang tersimpan pada struktur teks sebelum melompat lebih jauh ke arah konteks; (2) Eksistensi yang ditemukan adalah eksistensi yang sesuai dengan Soren Kierkegaard bahwa manusia tak bisa lepas dari Tuhan. Melacur adalah cara pelacur untuk mencintai Tuhan dengan jalan lain; dan (3). Novel ini berisikan kritik sosial bagi kaum beragama yang belum mengetahui esensi dari beragam itu sendiri. Sehingga ketika ditanya tentang tujuan beragama, mereka tidak bisa menjawab. Kata kunci: struktur, eksistensi, Tuhan, pelacur, esensi Abstract The study was intended to look for the meaning of existence of prostitutes contained in a literary text in the form of novel with the title Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. The method used is descriptive analysis through an in-depth reading of a novel as a research object. The data in the form of words, phrases and sentences were analyzed using the narrative structure of A.J Greimas with a conclusion taken by utilizing the existentialism paradigm of Soren Kierkegard to discover the meaning of existence contained in the text. The results of this study showed that (1) the structuralism approach to literary works can be utilized not only as a description, but also to draw the meaning stored on the text structure before jumping further towards the context; (2) the existence found is an existence that corresponds to Soren Kierkegaard that human could not escape from God. Prostitution is the way the prostitute to love God by another way; and (3) this Novel contains social criticism for religious people who do not know the essence of the variety itself. So when asked about religious purposes, they could not answer. Keywords: structure, existence God, Prostitute, Essence
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
159
EKSISTENSI PELACUR MUSLIMAH DALAM NOVEL
TUHAN IZINKAN AKU MENJADI PELACUR KARYA MUHIDIN M. DAHLAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari makna eksistensi pelacur yang terkandung di salam teks sastra berbentuk novel dengan judul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis melalui pembacaan mendalam pada objek penelitian yang berbentuk novel. Data-data berupa kata, frasa, dan kalimat kemudian dianalisis menggunakan teori struktur naratif dari A.J Greimas dengan kesimpulan yang diambil dengan memanfaatkan paradigma eksistensialisme Soren Kierkegard untuk menemukan makna eksistensi yang terkandung di dalam teks. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Pendekatan Strukturalisme pada karya sastra dapat dimanfaatkan bukan hanya sebagai deskripsi saja, akan tetapi juga untuk menarik makna yang tersimpan pada struktur teks sebelum melompat lebih jauh ke arah konteks; (2) Eksistensi yang ditemukan adalah eksistensi yang sesuai dengan Soren Kierkegaard bahwa manusia tak bisa lepas dari Tuhan. Melacur adalah cara pelacur untuk mencintai Tuhan dengan jalan lain; dan (3). Novel ini berisikan kritik sosial bagi kaum beragama yang belum mengetahui esensi dari beragam itu sendiri. Sehingga ketika ditanya tentang tujuan beragama, mereka tidak bisa menjawab. Kata kunci: struktur, eksistensi, Tuhan, pelacur, esensi
Abstract
The study was intended to look for the meaning of existence of prostitutes contained in a literary text in the form of novel with the title Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. The method used is descriptive analysis through an in-depth reading of a novel as a research object. The data in the form of words, phrases and sentences were analyzed using the narrative structure of A.J Greimas with a conclusion taken by utilizing the existentialism paradigm of Soren Kierkegard to discover the meaning of existence contained in the text. The results of this study showed that (1) the structuralism approach to literary works can be utilized not only as a description, but also to draw the meaning stored on the text structure before jumping further towards the context; (2) the existence found is an existence that corresponds to Soren Kierkegaard that human could not escape from God. Prostitution is the way the prostitute to love God by another way; and (3) this Novel contains social criticism for religious people who do not know the essence of the variety itself. So when asked about religious purposes, they could not answer.
Keywords: structure, existence God, Prostitute, Essence
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 160
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
A. PENDAHULUAN
Eksistensi dan esensi dari
sebuah karya sastra tidak pernah bisa
dilepaskan dari fenoemena dan
realitas sosial yang ada di
masyarakat. Rimang (2011:2)
berpendapat bahwa karya sastra
merupakan deskripsi pengalaman
kemanusiaan baik secara individual
atau sosial kemasyarakatan. Maka
dari itu, pengalaman dan
pengetahuan secara substansial
masyarakat bagaimana seorang
pengarang mengekspresikannya
melalui gagasan-gagasan yang ditulis
secara indah dalam sebuah karya
sastra.
Keindahan dari gagasan-
gagasan tersebut kemudian berfungsi
sebagai cara untuk menikmati
estetika karya sastra dan juga untuk
menemukan makna kehidupan itu
sendiri dalam sebuah figurasi yang
estetis. Endaswara (2008)
mengatakan bahwa sastra tidak lahir
dari ruang kosong. Kemunculan
sastra dinilai berangkat dari
fenomena sosiologis dalam
kehidupan sehari-hari yang
kemudian oleh pengarang
ditumpahkan dalam bentuk fiksi
untuk ikut serta memberi
sumbangsih gagasan terhadap
masalah sosial yang ada. Gagasan
sosial yang terkandung dalam sebuah
karya sastra salah satunya
terimplikasikan dalam novel karya
Muhidin M Dahlan yang berjudul
Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur.
Novel yang terbit pada tahun 2006
membawa isu sosial yang selalu
hangat untuk diperbincangkan di
tengah masyarakat yaitu hubungan
antara dunia pelacuran yang hingga
sekarang oleh sebagian masyarakat
masih dianggap tabu dan Tuhan yang
menjadi titik klimaks dari peraduan
manusia. Jika ditelaah di
pascareformasi banyak karya sastra
bermunculan yang mengangkat isu
eksploitasi tubuh perempuan. Di
antaranya adalah Perempuan Di Titik
Nol (1975), Jangan Main-Main
(Dengan Alat Kelaminmu) (2004), dan
Nyai Gowok (2014). Keseluruhan dari
ketiga karya sastra tersebut
menceritakan tentang bagaimana
tubuh perempuan dieksploitasi.
Selain itu, beberapa novel yang
membawa isu agama juga
bermunculan seperti Ayat-Ayat Cinta
(2004), Negeri 5 Menara (2009), 29
Juz Harga Wanita (2009), dan
Assalamualaikum Beijing (2013).
Novel-novel yang dikemas
dalam balutan agama bersifat
normatif dengan jalan cerita yang
lurus sehingga memperlihatkan
aspek kehidupan manusia yang
damai ketika mereka sudah berada
dalam balutan agama. Muhidin M.
Dahlan dalam karyanya mencoba
untuk mengombinasikan kedua
unsur tersebut memunculkan sudut
pandang baru terkait dengan
pelacuran dan konsep ketuhanan.
Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi
Pelacur bercerita tentang tokoh
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 161
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
utama yaitu seorang muslimah yang
bernama Nidah Kirani merasa bahwa
imannya sudah dikecewakan dan
dilukai oleh Tuhan. Sehingga ia
memutuskan untuk menjadi pelacur
sebagai bentuk protesnya pada
Tuhan.
Manusia (termasuk pelacur)
pada hakikatnya selalu mencari hal-
hal baru untuk memenuhi berbagau
kebutuhan dan keinginannya.
Fenomena dan permasalahan yang
muncul mampu memberikan
pengetahuan sebagai bagian dari
pengalaman hidup yang kemudian
membentuk suatu sudut pandang
tentang kebenaran. Kebenaran yang
seperti ini disebut dengan
subjektivitas. Sartre (dalam Yunus,
2011) mengatakan bahwa kebenaran
adalah sebuah pengalaman subjektif
tentang hidup yang konsekuensinya
adalah menentang segala bentuk
objektivitas dan impersonalitas
manusia. Sehingga manusia memiliki
kebebasan dalam bertindak
berdasarkan kebenaran subjektif
yang dimiliki. Yunus (2011)
menambahkan bahwa puncak
kebebasan dalam eksistensialisme
adalah tanggung jawab. Jika mengacu
pada deduksi rasionalistik yang
dibuat oleh Descartes tentang Cogito
Ergo Sum (saya berpikir maka saya
ada), maka ketika manusia merasa
bahwa dirinya “ada”, saat itu juga
manusia bertanggung jawab atas
segala keputusan yang dibuatnya.
Dalam novel Tuhan Izinkan Aku
Menjadi Pelacur, tokoh utama yaitu
Nidah Kiran mengambil keputusan
untuk siap bertanggung jawab dan
menanggung segala konsekuensi atas
eksistensinya sebagai seorang
pelacur. Keputusan ini diambilnya
sebagai sebuah subjektivitas
berdasarkan pada pengalaman masa
lalunya yang kecewa dengan konsep
Tuhan. Nalar dan imannya terluka
setelah pembelaannya yang sepenuh
hati kepada Tuhan melalui agama
ternyata tidak mencapai titik klimaks
dengan pemahaman yang tumpul.
Konsep ketuhanan dirasanya terlalu
absurd dan perjuangannya selama ini
menjadi sia-sia. Atas dasar tersebut ia
kemudian berbalik melawan Tuhan
dengan terjun ke ranah yang ia
percaya sebagai sebuah dosa, yaitu
menjadi pelacur.
Berdasarkan pada beberapa
penelitian sebelumnya yaitu Farouq
(2004), dan Romlah (2016), konflik
batin yang dialami oleh tokoh utama
muncul dari berbagai sumber,
diantaranya konsep ketuhanan, ide
tentang pernikahan, dan laki-laki.
Hasil dari beberapa penelitian
sebelumnya tersebut bermuara pada
sebuah kesimpulan bahwa tokoh
utama dalam novel Tuhan Izinkan
Aku Menjadi Pelacur tengah
menunjukkan eksistensinya sebagai
manusia yang bebas. Hasil penelitian
dari Mustika (2014) tentang
eksistensialisme Nidah Kirani sebagai
pelacur menerangkan bahwa
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 162
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
kebebasan yang diinginkan oleh
Kiran adalah kebebasan menjadi
dirinya sendiri tanpa ada interferensi
dari pihak manapun. Dengan
memanfaatkan teori Jean Paul Sartre,
maka kebebasan Kiran akan
bermuara pada subjektivitas diri.
Berbeda dengan konsep
eksistensialisme pada umumnya
yang mengesampingkan wujud
Tuhan, perwujudan eksistensi yang
diperlihatkan oleh tokoh utama pada
penelitian ini justru selalu
berkesinambungan dengan Tuhan.
Bahkan semua perbuatan yang ia
lakukan untuk melawan Tuhan pada
akhirnya ia kembalikan lagi pada
Tuhan dan ia tidak memutuskan
untuk meninggalkan agama Tuhan.
Fakta berikut yang kemudian
menjadi acuan dalam penelitian ini
untuk mencari makna dari eksistensi
tokoh utama yang berprofesi sebagai
pelacur tetapi tidak pernah bisa lepas
dari bayangan tentang Tuhan dengan
cara mengidentifikasi peran-peran
yang ada dalam struktur cerita novel
TIAMP memanfaatkan teori struktur
naratif A.J Greimas.
Isu keagamaan dan pelacuran
yang ada dalam novel Tuhan Izinkan
Aku Menjadi Pelacur tak dapat
dilepaskan dari fenomena sosial yang
ada di masyarakat. Oleh sebab itu
penelitian tentang eksistensi pelacur
dalam novel Tuhan Izinkan Aku
Menjadi Pelacur ini menjadi menarik
untuk mengetahui sejauh mana
seorang muslimah yang menjadi
pelacur dapat lepas dari unsur
ketuhanan yang ada dalam batinnya.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan penekanan
kepada teks yang bersifat analisis
deskriptif. Merujuk pada Moleong
(2016: 6), yang dimaksud dengan
penelitian kualitatif adalah penelitian
dengan tujuan untuk memahami
fenomena yang dialami oleh subjek
penelitian seperti tindakan, motivasi,
perilaku, dan lain-lain. Secara holistik
dengan cara mendeskripsikannya
dalam bentuk kata dan bahasa.
Sumber data dalam penelitian ini
berbentuk novel dengan judul Tuhan
Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya
Muhidin M. Dahlan cetakan tahun
2016. Data kemudian dikumpulkan
dengan metode pembacaan secara
mendalam untuk kemudian diambil
data dari novel tersebut berupa kata,
frasa dan kalimat. Data yang berhasil
dikumpulkan kemudian dianalisis
menggunakan teori struktur naratif
dari A.J Greimas demi menjawab
rumusan masalah yang sudah
ditentukan.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Teori Naratif A. J Greimas
berawal dari asumsi bahwa terks
nafatif merupakan perwujudan dari
analogi-analogi struktural yang
berpijak pada linguistik Ferdinand de
Sassure dan teori naratif Vladimir
Propp. Greimas (1983) meringkas
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 163
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
konsep yang telah dicetuskan oleh
Propp yaitu mengenai fungsi pada
dongeng yang sebelumnya berjumlah
31 menjadi 20 fungsi. Fungsi-fungsi
tersebut kemudian dikelompokkan
menjadi 3 sintagma yaitu, perjanjian,
penyelenggaraan, dan pemutusan.
Greimas juga menawarkan konsep
three spheres of opposed yang
berfokus pada relasi dan fungsi aktan
yaitu subjek vs objek, pengirim vs
penerima, dan pembantu vs
penentang. Dari fungsi tersebut,
Greimas kemudian menghasilkan
empat poin kunci mengenai struktur
naratif yaitu struktur tekstual
(surface structure dan deep
structure), struktur sintaksis-naratif
(hubungan antar aktan), struktur
semantik-naratif (fungsi semantik
dalam cerita), dan isotopi
(mengeksplisitkan makna implisit
dalam teks melalui satuan semantik).
1. Struktur Naratif Novel Tuhan
Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Tuhan Izinkan Aku Menjadi
Pelacur bercerita tentang seorang
muslimah yang terluka imannya
karena dikecewakan oleh Tuhan.
Muslimah ini bernama Nidah Kirani,
biasa dipanggil Kiran. Diawal cerita,
diceritakan bahwa Kiran merupakan
mahasiswa dari kampus Matahari
Terbit yang tinggal di Pondok
Pesantren bersama temannya Rahmi
yang mengenalkannya tentang ajaran
Islam lebih dalam. Kiran sedang
berada pada fase memperdalam
agama ketika kemudian ia bertemu
dengan Dahiri, mahasiswa yang
tergabung dalam gerakan Daulah
Islamiyah Indonesia. Dari Dahiri
Kiran kemudian mengenal gerakan
tersebut dan menjadi aktivis di
dalamnya.
Badai kekecewaan mulai
menerpa ketika setelah sekian lama
bergabung, Kiran tidak menemukan
semangat juang dari para anggota
jamaah, baik secara ibadah ataupun
politik perjuangan. Kiran merasa
yang dilakukannya selama ini sia-sia,
dan ia memutuskan untuk kemudian
kabur dari Pos dan harus menerima
cap sebagai pengkhianat. Dalam
kesendiriannya ia selalu merenungi
kesedihan dan kekecewaan atas
jamaah tersebut, Kiran mulai
menyalahkan Tuhan. Ia menganggap
Tuhan telah menyia-nyiakan
perjuangannya dan melukai imannya.
Kiran meluapkan kekecewaan pada
kebebasan yang akhirnya
membawanya pada hal tabu, yaitu
hubungan di atas ranjang dengan
berbagai laki-laki. Dari situlah
perlawanan atas Tuhan dimulai. Ia
bersumpah untuk terus meniduri
laki-laki dari berbagai latar belakang.
Mereka yang merasakan tubuh Kiran
adalah manusia dengan kasta sosial
tertinggi di masyarakat. Mulai dari
penyair, ustadz pesantren, aktivis
kiri, dosen, hingga anggota DPR dari
fraksi yang menginginkan tegaknya
Daulah Islamiyah di Indonesia. Hal
tersebut merupakan bentuk protes
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 164
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
Kiran pada Tuhan. Dengan tubuhnya
ia menyibak topeng kemunafikan dari
hambaNya yang mengaku bersusila,
bermoral, dan beragama. Meskipun
bagitu, Kiran terus-menerus dihantui
dengan kekecewaannya pada Tuhan.
Berdasarkan pada teks Tuhan
Izinkan Aku Menjadi pelacur, terlihat
bahwa struktur yang ada pada teks
tersebut berbentuk prosa yang mana
memiliki struktur sintaksis-naratif
tertentu sebagai dasar dari
pembangunan cerita. Struktur
tersebut saling berhubungan satu
dengan yang lainnya sehingga
memiliki fungsi-fungsi yang
kemudian bersatu dalam satuan teks.
Melalui konsep three spheres of
opposed, maka dapat diketahui
bahwa fungsi-fungsi aktan dalam teks
tersebut adalah sebagai berikut.
a) Subjek
Subjek dapat diartikan sebagai
aktan yang melakukan perjanjian
dengan pengirim. Dia beranggapan
bahwa menemukan objek adalah
bagian dari tugasnya. Untuk lebih
mempermudah mengindentifikasi
setiap subjek, dapat ditarik
pertanyaan seperti “siapa yang
berkewajiban mencari objek?”.
Dalam teks tersebut, yang menjadi
subjek adalah Kiran. Kiran yang
kecewa dengan Tuhan setelah
aksinya yang militan dalam
memperjuangkan agama Tuhan
melalui gerakan Daulah Islamiyah
berujung pada tumpulnya nalar dan
logika berpikir. Ia kemudian mencari
kebebasan dan menemukan
pelacuran sebagai jalannya
mengekspresikan kebebasan
tersebut.
“..... itu semua kutunjukkan untuk
mengabdi kepada-Mu semata, tapi
mengapa itu semua harus berujung
dengan kekecewaan”. (Dahlan, 2003:
1001)
b) Objek
Objek adalah sesuatu yang
diinginkan perwujudannya oleh
pengirim. Pada saat yang bersamaan,
objek adalah sesuatu yang dicari oleh
subjek. Dalam hal ini, pencarian objek
dapat dipermudah dengan
mengajukan pertanyaan seperti
“apakah yang menjadi keinginan dari
pengirim pada subjek?”. Dalam teks,
yang menjadi objek adalah kebebasan
dari segala aturan agama. Objek ini
muncul setelah datangnya badai
kekecewaan yang merenggut Iman
Kiran. Dari pengalamannya tersebut,
maka terbentuklah subjektifitas yang
dalam tatanan aktansial berfungsi
sebagai objek.
“..... aku adalah perempuan yang bisa
menundukkan kaummu. Lihat saja
nanti”. (Dahlan, 2016: 232)
c) Pengirim
Pengirim adalah aktan yang
berfungsi untuk meminta subjek agar
mendapatkan subjek yang
diinginkan. Karena pengirim adalah
aktan yang darinyalah cerita
bermula. Pertanyaan yang digunakan
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 165
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
untuk mencari pengirim adalah
“siapa yang memiliki keinginan untuk
mendapatkan objek?”. Berdasarkan
teks tersebut, maka yang berfungsi
sebagai pengirim adalah gerakan
Daulah Islamiyah, Daarul, dan Tuhan.
Ketiganya mengirim subjek pada
objek secara berurutan. Dari
ketertarikan Kiran dengan visi dan
misi gerakan daulah yang
disampaikan oleh Dahiri , lalu muncul
kekecewaan Kiran terhadap
lemahnya semangat anggota jamaah
gerakan Daulah Islamiyah kemudian
membawa ia pada kekosongan.
Kekosongannya ini diisi oleh Daarul
(aktivis kiri Kampus Matahari terbit)
yang kemudian merenggut
kewanitaannya. Dari dua hal tersebut
maka kebencian Kiran akan Tuhan
dan segala konsep agama mencapai
puncaknya.
“Keislaman kita di Indonesia belum
dianggap sempurna kalau belum
diatur secara total oleh syariat Islam”.
(Dahlan, 2016: 39)
“Kini laki-laki itu diutus oleh penguasa
kegelapan untuk melukai
keperempuananku”. (Dahlan, 2016:
131)
d) Penerima
Penerima merupakan aktan
yang berfungsi untuk menerima
objek. Berbeda dengan subjek,
penerima tidak memiliki keharusan
untuk mencari objek. Pertanyaan
yang bisa diutarakan untuk mencari
penerima adalah “siapakah yang
berfungsi menerima objek?”. Yang
berfungsi sebagai penerima dalam
teks tersebut adalah Kiran. Kiran
menjadi satu-satunya penerima
karena dalam narasinya, teks Tuhan
Izinkan Aku Menjadi Pelacur hanya
menampilkan Kiran sebagai
perempuan yang menginginkan
kebebasan tanpa ada tokoh lainnya.
Fungsi penerima yang disematkan
pada Kiran berdasarkan fakta cerita
bahwa yang iman dan nalarnyanya
terluka dalam hanyalah Kiran.
“Betapa mudahnya seorang manusia
disalahkan oleh sesamanya atas nama
yang diatas: TUHAN”. (Dahlan, 2016:
101)
e) Pembantu
Pembantu adalah aktan yang
berfungsi membantu tugas subjek
dalam menemukan objek. Aktan ini
dapat ditemukan dengan
memberikan pertanyaan seperti
“siapakah atau apa yang membantu
subjek dalam tugasnya menemukan
objek?”. Dari hasil pembacaan
terhadap teks, maka fungsi pembantu
diperankan oleh Pak Tomo (dosen
Kiran). Secara eksplisit, Pak Tomo
adalah germo yang menyediakan
Kiran jalan menuju pelacuran
eksklusif. Akan tetapi, jauh
sebelumnya ialah para lelaki yang
sempat naik ranjang dengan Kiran
juga merupakan pembantu. Mereka
adalah Daarul, Midas, Wandi, Yusdhi,
Fuad, Kusywo, dan Didi.
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 166
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
“Pak Tomo, terima kasih atas uluran
tanganmu. Jadilah germoku dan aku
dengan suka cita menjadi pelacurmu”.
(Dahlan, 2016: 233)
f) Penentang
Penentang bertugas untuk
menghalang-halangi subjek
menjalankan tugasnya dalam
mencari objek. Pertanyaan yang
lazim ditanyakan untuk mengatahui
penentang adalah “siapa yang
menjadi penghalang subjek dalam
mendapatkan objek?”. Menurut teks,
penentang dari tindakan subjek
untuk bisa mendapatkan objek
adalah Tuhan. Permasalahan Kiran
yang selalu menyalahkan Tuhan
secara tidak langsung membawa
Tuhan selalu ada dalam setiap
langkahnya. Dalam keterpurukan,
Tuhan selalu hadir dalam benak
Kiran meskipun hanya sebagai bahan
caci maki dan sumpah serapah.
Bahkan pada akhirnya ketika Kiran
memutuskan untuk menjadi pelacur,
masih ada diskusi batin dalam dirinya
yang masih membawa Tuhan, seperti
meminta izin dan meminta maaf pada
Tuhan. Sehingga Tuhan hadir dari
awal cerita hingga akhir cerita pada
teks tersebut.
“Aku tak punya apa-apa selain hati
yang menunggu sapa-Mu”. (Dahlan,
2016: 261)
1.1 Skema Aktansial
Tabel 1. Relasi Aktan dalam novel “Tuhan
Izinkan Aku Menjadi Pelacur”
Pengirim Objek Penerima
1. Daulah
Islamiyah
2. Daarul
3. Kekecewaan
Kiran
4. Ambisi
Kiran
Menjadi
Manusia
yang
bebas
berkuasa
atas
dirinya
sendiri
dengan
melawan
jalan
Tuhan
1. Nidah
Kirani
Pembantu
Subjek
Penentang
1. Daarul
2. Midas
3. Wandi
4. Yusdhi
5. Fuad
6. Kusywo
7. Didi
8. Pak Tomo
1. Nidah
Kirani
1. Tuhan
Dari skema aktaksial tersebut,
bisa dirumuskan bahwa (1) seorang
tokoh dapat memegang fungsi aktan
lebih dari satu. Seperti yang terjadi
pada Kiran dan Daarul. Kiran selain
berfungsi sebagai penerima, ia juga
sebagai subjek. Daarul juga berfungsi
sebagai pengirim dan pendukung; (2)
satu fungsi aktan dapat diisi lebih dari
satu tokoh. Dalam hal ini, jika melihat
pada skema aktansial yang ada maka
pengirim diisi dengan empat tokoh
dan pembantu diisi dengan delapan
tokoh; (3) peran dari fungsi aktansial
bisa diisi dengan bukan tokoh
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 167
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
manusia. Fungsi tersebut bisa berupa
sesuatu yang abstrak. Pada tabel
tersebut, kekecewaan kiran dan
ambisi kiran adalah contoh dari aktan
yang bukan manusia; (4) dalam cerita
yang panjang dan kompleks, peran
pembantu pada sekuen sebelumnya
dapat diperankan oleh tokoh yang
berbeda pada sekuen selanjutnya.
1.2 Model Fungsional
Tabel 2. Model Fungsional A.J Greimas
(1983: 85)
I II III Situasi
Awal Transfor-
masi
Situasi Akhir
Tahap
Kecakapan Tahap Utama
Tahap Kegemilangan
a) Situasi Awal
Situasi awal ditandai dengan
munculnya keinginan untuk
mendapatkan sesuatu. Hal ini
diperkuat dengan adanya panggilan,
perintah, dan persetujuan (Karnanta,
2015). Dalam teks, situasi awal
ditandai dengan munculnya Dahiri
dalam diskusi keagamaan yang
dipimpin oleh Kiran di Kampus
Matahari Terbit. Pada diskusi panjang
tersebut, Dahiri menyodorkan ide
baru yang belum pernah didengar
oleh Kiran sebelumnya. Ide tersebut
adalah mendirikan Daulah Islamiyah
Indonesia. Di tengah gelombang
keimanan yang sedang pasang, ide
tersebut terdengar sangat menarik
bagi Kiran. Bahwa jika semuanya
berjalan di bawah hukum Islam, maka
hidup akan terasa damai. Dengan
kelancaran dan kefasihan Dahiri
menggiring argumennya, Kiran pun
setuju untuk bergabung dengan
jamaah tersebut demi mendirikan
hukum syariat di Indonesia.
“..... dan kami punya rencana besar
untuk mendirikan Daulah Islamiyah
Indonesia”. (Dahlan, 2016: 41)
b) Transformasi
Tahap Kecakapan ditandai
dengan keberangkatan subjek dan
munculnya penentang serta penolong
(Karnanta, 2015). Tahap ini
merupakan tahap awal dari
pencarian objek yang sebenarnya.
Dalam narasi yang ada pada teks,
tahap ini diindentifikasi dengan
sahnya Kiran sebagai anggota jamaah
yang berkewajiban untuk berdakwah
dengan konsekuensi bahwa dirinya
akan mendapatkan banyak
penolakan dari masyarakat. Dengan
gigihnya Kiran menyebarkan
ajarannya, sampai ketika penolakan
datang dari teman pondoknya, Kiran
memutuskan untuk pulang ke
Kampung dan menyebarkan
ajarannya pada keluarga dan teman-
temannya di kampung.
“Pikirku ini kesempatan emas. Kapan
lagi kalau bukan sekarang meng-
Islam-kan kembali kampung yang
sudah kafir ini”. (Dahlan, 2016: 73)
Tahap utama yaitu keberhasilan
subjek dalam mengatasi setiap
tantangannya dan melanjutkan
kembali perjalanannya (Karnanta,
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 168
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
2015). Tahap ini dalam teks terlihat
ketika Kiran berhasil meyakinkan
keluarganya untuk bergabung masuk
jamaah. Selain itu, Kiran juga berhasil
merekrut beberapa kader lainnya
yang berasal dari kampungnya. Kiran
mengadakan pengajian di masjidnya
untuk kemudian menyebarkan ajaran
agamanya. Hasilnya beberapa
pemuda kampung berhasil diajaknya
untuk bergabung dengan jamaah.
Setelah itu, praktis pekerjaan Kiran
adalah pulang pergi Jogja-Wonosari
untuk kegiatan dakwah.
“Maka Tugasku kini adalah bolak-balik
Kota Yogya-Wonosari untuk mengurusi
prosesi pembaiatan”. (Dahlan, 2016:
79)
Tahap Kegemilangan, Karnanta
(2015) menjelaskan bahwa tahap ini
ditandai dengan munculnya
pahlawan asli. Kemunculan pahlawan
asli secara otomatis telah menggeser
predikat pahlawan yang disematkan
pada tahap sebelumnya. Eksisnya
pahlawan asli di sini juga bermakna
pembongkaran kepalsuan atas apa
yang dibawa oleh pahlawan
sebelumnya. Dalam teks, pahlawan
yang sebelumnya adalah Kiran. Akan
tetapi Kiran dengan ideologi Daulah
Islamiyah yang ingin mendirikan
hukum syariat di Indonesia. Kiran
yang demikian dipatahkan dengan
pahlawan asli yaitu Kiran yang
menghendaki kebebasan. Karena
pada akhirnya ide lama yang terpapar
dalam tahap kecakapan tidak
memiliki konsep yang kongkrit.
Sehingga tidak bisa diterima oleh
nalar. Setelah sadar Kiran sebagai
pahlawan asli mereduksi pemikiran
tersebut dengan mengkonsumsi ide
kebebasan.
Atas gagalnya ide palsu
tersebut, menurut Karnanta (2015),
akan muncul hukuman bagi
pahlawan palsu. Dalam hal ini, Kiran
menghukum dirinya yang dulu
dengan merubah cara pandangnya
tentang kehidupan dan memilih
untuk tidak lagi mempercayai Tuhan.
Bahkan sebagai hukuman atas
konsep agama yang dirasanya terlalu
absurd, Kiran memutuskan untuk
melawan Tuhan.
“Sungguh, aku sangat kecewa—tidak
hanya kecewa, tapi patah hati. Patah
hati pada kuasa Tuhan yang
mempermainkanku”. (Dahlan, 2016:
101)
c) Situasi Akhir
Situasi akhir menurut Karnanta
(2015) adalah pencapaian subjek atas
objek yang selama ini dicari. Objek
tersebut sudah diterima oleh
penerima. Cerita kemudian berakhir
seiring dengan berakhirnya pula
keinginan atas objek. Dalam narasi
teks di atas, maka situasi akhir ini
ditandai dengan Kiran yang berhasil
mencapai kebebasannya dengan
menjadi pelacur. Kiran juga berhasil
menghukum ide lamanya dengan
menyingkap topeng kepalsuan dari
para lelaki kasta tertinggi dalam
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 169
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
masyarakat seperti ustadz, aktivis,
dosen, dan anggota DPR yang secara
bergantian dan dengan sadar
menikmati keindahan tubuh dari
seorang Nidah Kirani.
“Oh Tuhan, izinkan aku mencintaimu
dengan cara lain, menerima kehidupan
dengan sepenuh kejujuran”. (Dahlan,
2016: 261)
“.... akan terus mengganggu, menyobek-
nyobek, dan membakar topeng-topeng
kemunafikan hidupmu”. (Dahlan,
2016: 262)
1.3 Isotopi dan Empat Terma Homologi
Greimas (dalam Karnanta,
2015) mendefinisakan isotopi
sebagai wilayah makna yang terpapar
sepanjang cerita. Dengan kata lain,
isotopi adalah kumpulan dari
semantik yang memungkinkan
terjadinya pemabacaan secara
searah. Tema pada sebuah cerita
dapat dirumuskan melalui makna
yang terlihat dari kumpulan motif-
motif. Kumpulan motif tersebut
didapatkan dari bentukan isotopi
yang menyimpulkan sebuah tema.
Lebih lanjut, Greimas juga
menjelaskan bahwa isotopi tidak
lepas dari konsep empat semantik
yang disebut dengan Four Terms
Homology atau juga bisa disebut
dengan empat terma homologi.
Dalam struktur teks Tuhan
Izinkan Aku Menjadi Pelacur, terdapat
empat terma homologi yang terkait
dengan makna teks yang terkandung
dalam deep structure sebagai relasi
kontradiksi dan oposisional. Berikut
empat terma homologi yang ada
dalam teks.
1. Kritis : Apatis :: Tidak Kritis :
Tidak Apatis
2. Beriman : Skeptis :: Tidak
Beriman : Tidak Skeptis
3. Berani : Takut :: Tidak Berani :
Tidak Takut
4. Berjuang : Menyerah :: Tidak
Berjuang : Tidak Menyerah
5. Tunduk : Melawan :: Tidak
Tunduk : Tidak Melawan
6. Bertuhan : Ateis :: Tidak
bertuhan : Tidak Ateis
7. Kecewa : Bangga :: Tidak
Kecewa : Tidak Bangga
8. Mati : Hidup :: Tidak Mati : Tidak
Hidup
9. Terluka : Terobati :: Tidak
Terluka : Tidak Terobati
10. Tabu : Diterima :: Tidak Tabu ::
Tidak Diterima
11. Nafsu : Murni :: Tidak Nafsu ::
Tidak Murni
12. Munafik : Asli :: Tidak Munafik ::
Tidak Asli
13. Gelap : Terang :: Tidak Gelap :
Tidak Terang
14. Bebas : Terbebani :: Tidak
Bebas : Tidak Terbebani
15. Mencintai : Membenci :: Tidak
Mencintai : Tidak Membenci
Berdasarkan empat terma
homologi tersebut, maka dapat
diketahui bahwa surface structure
dari teks ini adalah eksistensi
perempuan. Kiran sebagai muslimah
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 170
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
yang awalnya adalah aktivis gerakan
Daulah Islamiyah memiliki latar
belakang yang kritis. Sebagai
mahasiswa yang haus akan diskusi,
nalar dan logika adalah senjata utama
bagi Kiran untuk melahap topik-topik
pembahasan yang dinilainya
menarik. Rasa ingin tahu yang tinggi
tersebut yang kemudian membawa
Kiran tertarik dengan ide pendirian
Daulah Islamiyah Indonesia. Dengan
visi yang jelas yaitu untuk beragama
secara kaffah, ide menegakkan
hukum syariat di Indonesia
merupakan sebuah terobosan yang
menarik dan tentunya mulia di mata
agama.
Berayun dari kegigihannya
dalam berdakwah, maka nalar dan
logikanya pula yang membawa Kiran
terjun dalam sebuah ranah yang
disebut dengan kebebasan. Kiran
tidak bisa menerima ketika teori
tentang Daulah Islamiyah bertolak
belakang dengan praktiknya di
lapangan. Di mana ia melihat bahwa
agama yang dijadikan dasar
pergerakan sama sekali tidak
tercermin dari perilaku jamaahnya.
Ditambah lagi dengan jamaah yang
acuh atau tidak kritis dengan arah
perjuangan yang absurd dan tidak
jelas.
Berdasarkan fakta tersebut,
maka Kiran memilih jalan lain untuk
menunjukkan eksistensinya.
Berbekal dengan pengalaman yang ia
dapat selama menjadi aktivis jamaah,
ia kemudian membandingkannya
dengan praktek jamaahnya di
lapangan. Hasilnya adalah bahwa
kebanyakan mereka yang berada di
garis terdepan perjuangan agama,
nyatanya itu hanya slogan dan
topeng. Di balik itu semua, mereka
tidak lebih dari manusia yang
bermuka dua, atau dalam agama
disebut dengan munafik. Maka Kiran
dengan eksistensinya berusaha
membongkar semua kepatuhan
manusia pada Tuhan yang
tergambarkan melalui topeng norma,
susila, dan agama dengan jalan
melawan tabu Tuhan. Ia
menggunakan tubuhnya untuk
menguji dan menelanjangi manusia-
manusia yang mengaku beragama
dan bermoral. Kiran dengan bebas
melakukan semua yang ia inginkan.
Atas dasar kekecewaan pada Tuhan,
Kiran memutuskan untuk
menunjukkan eksistensinya untuk
melawan segala aturan Tuhan
dengan jalan pelacuran atas nama
perempuan yang terluka.
2. EKSISTENSI PELACUR
MUSLIMAH
Kierkegaard (dalam Armawi,
2011) mengatakan menunjukkan
keberadaan diri atau biasa disebut
dengan eksistensi adalah hal yang
penting bagi manusia. Eksistensi
pada dasarnya tidaklah bersifat
statis, ia bergerak dalam dinamika
perkembangan manusia sesuai
dengan keberadaan manusia itu
sendiri. Dengan demikian, dapat
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 171
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
dikatakan bahwa eksistensi selalu
bergerak bebas menurut apa yang
diinginkan oleh manusia. Dalam
kehidupan, manusia kerap kali
dipertemukan pada sebuah pilihan,
memilih dalam konteks ini adalah
bagian dari eksistensi manusia.
Karena memilih lazimnya berangkat
dari kemauan diri sendiri, bukan dari
paksaan di luar diri manusia tersebut.
Dalam hal memilih, manusia tentu
membutuhkan sebuah keberanian,
karena ketika manusia berani untuk
memilih, maka pada saat yang
bersamaan manusia tersebut juga
siap bertanggung jawab atas
pilihannya.
Dalam penerapannya terhadap
fenomena yang terjadi pada Kiran
selaku tokoh utama dalam teks,
eksistensi kebebasan Kiran kiranya
sudah bisa dilihat melalui hasil
analisis isotopi yang menggunakan
empat terma homologi. Akan tetapi,
jika ditelaah lebih lanjut terkait
dengan fungsi dari relasi aktan,
penetang subjek dalam
pencapaiannya terhadap objek
adalah Tuhan. Yang menarik untuk
dibahas lebih lanjut adalah bahwa
Tuhan merupakan bentuk substitusi
dari agama yang erat dengan
kehidupan manusia. Tuhan selalu
dinarasikan sebagai zat yang absolut
dan tak pernah bisa disamakan
dengan manusia, kemudian dalam
teks “Tuhan Izinkan Aku Menjadi
Pelacur”, Tuhan bisa dilawan oleh
manusia itu sendiri. Hal tersebut yang
kemudian mendasari pemanfaatan
ide dari gagasan eksistensialisme
Kierkeegaard yang menempatkan
religiusitas pada tahap akhir dari tiga
tingkatan eksistensi manusia yaitu
estetis, etis, dan religius.
Warnoto (2010) menjelaskan
dalam skripsinya bahwa tingkat
estetis memiliki ciri yaitu pemenuhan
keinginan secara langsung dan
spontan. Hal ini kemudian terlihat
dalam teks bahwa penyerahan tubuh
pertama yang dilakukan Kiran pada
Daarul bersifat spontanitas untuk
melampiaskan kekecewaannya.
“Teruskan... teruskan... tuntaskan...,
batinku, biar sekalian saja”. (Dahlan,
2016: 124)
Sedangkan tingkat etis memiliki
ciri bahwa setiap tindakan yang
diambil berdasarkan dari sebuah
perhitungan yang matang. Sehingga
manusia sadar akan setiap keputusan
yang diambil dan mampu
bertanggung jawab atas hal tersebut.
Di dalam teks, tingkatan ini terlihat
ketika Kiran dengan sadarnya
memilih jalan pelacuran sebagai jalan
yang ditempuhnya untuk
menunjukkan eksistensinya pada
Tuhan.
“... aku dengan suka cita menjadi
pelacurmu. Pelacur yang menahlukkan
banyak sekali kaummu. Dan jangan
marah lelaki, bukankah gagasan
penahlukkan ini juga kalian yang
mengajarkannya?”. (Dahlan, 2016:
233)
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 172
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020
Tingkatan religius adalah
tingkatan akhir dalam
eksistensialisme Kierkegaard.
Tingkatan ini memiliki ciri bahwa
manusia memiliki komitmen pada
Tuhan. Warnoto (2010)
menambahkan bahwa tingkat ini juga
ditandai dengan pegakuan diri akan
Tuhan dan pengakuan diri sebagai
pendosa. Dari relasi aktan, terlihat
bahwa Tuhan adalah oposisi abadi
dari pencarian Kiran terhadap objek.
Dan keputusan untuk menjadi
pelacur dilakukannya secara sadar
tanpa memungkiri bahwa dirinya
adalah pendosa.
“Oh Tuhan, izinkan Aku Mencintaimu
dengan cara lain.... sayangi aku dalam
pekat anugerahMu. Aku tak punya apa-
apa selain hati yang selalu menunggu
sapaMu”. (Dahlan, 2016: 261)
Berdasarkan pemaparan teks
tersebut, dapat diidentifikasi bahwa
keputusannya menjadi pelacur
adalah bentuk cintannya pada Tuhan
dengan cara lain. Ia menginginkan
esensi agama dijalankan dengan jujur
tanpa ada topeng kemunafikan.
Karena baginya kemunafikan adalah
tanda bahwa manusia tersebut
tidaklah pantas untuk beragama. Dan
Kiran meminta izin kepada Tuhan
untuk menjadi pelacur, demi
menguak setiap topeng-topeng
kemunafikan tersebut. Begitulah cara
ia menunjukkan eksistensinya dalam
mencintai Tuhannya.
D. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penemuan dan
pembahasan, penelitian ini bermuara
pada beberapa kesimpulan, yaitu (1)
Pendekatan Strukturalisme pada
karya sastra dapat dimanfaatkan
bukan hanya sebagai deskripsi saja,
akan tetapi juga untuk menarik
makna yang tersimpan pada struktur
teks sebelum melompat lebih jauh ke
arah konteks; (2) Sebagai seorang
pelacur, tokoh utama yaitu Kiran
mendapatkan kebebasan melalui
eksistensi yang ditunjukkannya. Akan
tetapi kebebasan tersebut terbatas
hanya pada sosok lahiriah saja. Sisi
batinnya tetap terpaku pada Tuhan.
hal ini disebabkan oleh lingkungan
Kiran yang sudah membentuknya
sebagai manusia bertuhan. Berger
(dalam Manuaba, 2008) mengatakan
bahwa agama adalah legitimasi
terkuat dalam sosial manusia. Oleh
karenanya, eksistensi Kiran tidak bisa
lepas dari Tuhan, dengan bagitu ia
mengakui bahwa menjadi pelacur
adalah cara dia mencinta Tuhan
dengan jalan lain; dan (3) Secara
kesuluruhan, novel ini mengandung
kritik sosial bagi masyarakat yang
menjalankan agama tanpa tau
esistensinya. Mereka bagaikan robot
yang bisa diarahkan kemanapun oleh
yang memiliki kekuasaan. Tak heran
dalam konteks sosial, agama kerap
digunakan sebagai kendaraan untuk
mendapatkan legitimasi demi
tercapainya maksud tertentu. Dengan
Eksistensi Pelacur Muslimah – Gilang Nur Alfi Jauhari, Universitas Airlangga 173
Diglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Majalengka Vol. 4, No. 2, Agustus 2020