Ekonomi Politik Regulasi Media A. PENDAHULUAN Berawal dari era keterbukaan Dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia, sebagai salah satu pilar demokrasi, yang penting dalam era kebebasan pers saat ini bukanlah sekedar ‘kebebasan dari’ (freedom from) absolutisme, kekuasaan otoriter, sebagaimana era Orde Baru melalui pemberlakuan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, Deppen yang indoktrinatif seperti penentuan Pemred sebuah Harian melalui fit and proper test yang mengikat, dan seterusnya. Lebih dari itu, yang perlu diupayakan bagaimana membangun ‘kebebasan untuk’ (freedom for the people) dan kebebasan manusia (freedom of the people). Kebebasan untuk dalam arti bahwa terbukanya ruang diskursus dan konsolidasi publik untuk menentukan hak-hak partisipasi politiknya. Sehingga kebebasan manusia, meminjam istilah Feurbach sebagai ‘galthung’ makhluk alamiah yang otonom sebagai penggerak roda sejarah kemanusiaanya dapat terealisir tanpa adanya hegemoni dan intervensi negara secara berlebihan. Kebebasan manusia dalam arti bahwa manusia merdeka untuk menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai hak asasi sebagai individu, kelompok, atau organisasi. Sebab, kebebasan pers yang ‘sesungguhnya’ adalah menjadi indikator bagi lahirnya perubahan sosial menuju demokratisasi, sebagaimana pengalaman-pengalaman di negara-negara maju lain yang menyebut bahwa demokrasi hanya mungkin terbentuk jika terciptanya partisipasi politik publik luas yang didorong oleh mekanisme alur informasi yang bebas.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Ekonomi Politik Regulasi Media
A. PENDAHULUAN
Berawal dari era keterbukaan
Dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia, sebagai salah satu pilar demokrasi, yang penting dalam era kebebasan pers saat ini bukanlah sekedar ‘kebebasan dari’ (freedom from) absolutisme, kekuasaan otoriter, sebagaimana era Orde Baru melalui pemberlakuan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, Deppen yang indoktrinatif seperti penentuan Pemred sebuah Harian melalui fit and proper test yang mengikat, dan seterusnya. Lebih dari itu, yang perlu diupayakan bagaimana membangun ‘kebebasan untuk’ (freedom for the people) dan kebebasan manusia (freedom of the people).
Kebebasan untuk dalam arti bahwa terbukanya ruang diskursus dan
konsolidasi publik untuk menentukan hak-hak partisipasi politiknya. Sehingga
kebebasan manusia, meminjam istilah Feurbach sebagai ‘galthung’ makhluk
alamiah yang otonom sebagai penggerak roda sejarah kemanusiaanya dapat
terealisir tanpa adanya hegemoni dan intervensi negara secara berlebihan.
Kebebasan manusia dalam arti bahwa manusia merdeka untuk menyatakan
pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai hak asasi sebagai
individu, kelompok, atau organisasi. Sebab, kebebasan pers yang ‘sesungguhnya’
adalah menjadi indikator bagi lahirnya perubahan sosial menuju demokratisasi,
sebagaimana pengalaman-pengalaman di negara-negara maju lain yang
menyebut bahwa demokrasi hanya mungkin terbentuk jika terciptanya partisipasi
politik publik luas yang didorong oleh mekanisme alur informasi yang bebas.
Dalam wilayah itu, tarik-menarik atas kontroversi RUU Penyiaran yang
dibuat oleh tim inisiatif DPR yang kini masih ‘ngendon’ di pemerintah patut
dipertanyakan. Pilihan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU tersebut bisa
menimbulkan efek yang kontra-produktif bagi jalannya proses transisi demokrasi
ini. Di satu sisi, pemerintah hendak membangun kepercayan publik (public trust)
bagi upaya recovery / pemulihan ekonomi akibat krisis.
Di sisi lain, pemerintah dihadapkan oleh situasi penolakan baik oleh para
pemilik kapital media massa yang juga di dukung melalui pemberitaan media
terhadap ‘nasib’ RUU penyiaran yang mereka sebut sebagai ‘pemasung
kebebasan pers’. Misalnya, judul pemberitaan yang dimuat oleh media cetak
tentang RUU tersebut, misalnya; RUU Penyiaran bentuk penghianatan terhadap
agenda reformasi (Kompas, 13 Maret 2001), RUU Penyiaran kekang kebebasan
(Suara pembaharuan, 24 Maret 2001), dan seterusnya.
Atau penolakan oleh lembaga semi atau quasi pemerintah seperti Dewan
Pers (yang merasa memiliki hak untuk mengatur atau lebih tepatnya mengontrol
dan bertanggung-jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pers nasional)
terhadap substansi RUU penyiaran. Ketua dewan Pers Atmakusumah Atmaja,
menyebut adanya ancaman terhadap pasal-pasal yang ‘memasung kebebasan
pers’ yang dipaksakan masuk dalam RUU penyiaran yang mengindikasikan
ketakutan-ketakutan pemerintah terhadap eksistensi kebebasan pers.
Pada saat demikian, pilihan penundaan pengesahan RUU tersebut memiliki
dua makna yang signifikant. Pertama, belum munculnya political will pemerintah
untuk benar-benar memproduksi undang-undang yang partisipatif dan akomodatif
bagi keberlangsungan hajat publik bagi terbukanya ruang publik yang terbuka,
setara, dan menjamin kepentingan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian,
penundaan itu bisa dilihat sebagai kasus dari adanya upaya negosiasi elektron
kepentingan bisnis dari kelompok-kelompok tertentu dengan pemerintah untuk
secara sadar mempengaruhi dan mengubah substansi dasar RUU penyiaran.
Menuju usaha substantif
Mengapa? Secara substantif, memang RUU penyiaran mengandung nilai-
nilai kebebasan pers (freedom for dan freedom of the people) sesungguhnya,
yang saat ini dikawatirkan akan membatasi celah-celah ekonomi-bisnis mereka
atau bisa juga menutup sama sekali ruang monopoli kepemilikan media. Di
samping itu, RUU tersebut juga memuat upaya terciptanya perubahan nilai-nilai
sosial, semisal terjadinya pluralisme masyarakat, sarana public sphere, dan
proses demokratisasi menuju terciptanya masyarakat sipil (civil society) yang
beradab.
Dan kedua, lebih lanjut, penundaan tersebut memperlihatkan praktek-
praktek relasi kekuasaan antara state di satu sisi, dengan market di sisi lain yang
membangun hubungan mutualistik-otokratik, sebagaimana dipraktekan oleh
rezim sebelumnya. Dalam wilayah ini, yang menjadi kekhawatiran publik menjadi
jelas dihadapan. Bahwa persekutuan antara state dan market tidak lebih dari
usaha mencari keuntungan dalam wilayah ekonomi, dan kehendak untuk
memberangus kesadaran politik masyarakat. Praktek ini menunjukan domain
publik yang dipinggirkan atas nama ‘kebijakan’ yang sama sekali keluar dari nilai-
nilai kebijakan itu sendiri. Pemerintah (state) sebagai decision maker kebijakan
tidak lagi mementingkan aspirasi dan kepentingan publik. Pada tahap ini
kebuntuan dan monopoli informasi publik menjadi keniscayaan. Problem ini
menjadi tanggung-jawab bersama-sama oleh setiap individu dalam masyarakat.
Makalah ini akan berusaha melihat muatan-muatan RUU Penyiaran
terhadap ‘ajaran’ civil society, yang dalam konteks ke-Indonesiaa saat ini sedang
trend dan menjadi diskursus up to date untuk menggagas perubahan dan
transformasi sosial. Juga hendak menunjukan relevansinya terhadap kesadaran
politik publik bagi konstruksi sosial baru di masyarakat. Ide-ide pemenuhan
domain publik secara luas, bebas dari intervensi, hegemoni negara, sentralisme
dan monopolisme kapital, equality (kesetaraan) dan liberty (kebebasan)
masyarakat menjadi substere untuk digagas lebih lanjut. Di sinilah letak cepat-
lambatnya gerakan sosial yang membawa risalah kesadaran kritis publik
terhadap, meminjam istilah Gramsci hegemoni negara yang dominan, untuk
menuju civil society.
B. PEMBAHASAN
Pendekatan politik ekonomi media massa
Konseptualisasi
Konsepsi politik ekonomi pada awalnya bermula dari upaya dukungan
terhadap akselerasi kapitalis yang menolak sistem politik merkantilis yang
dianggap tidak efektif dan efesien pada abad ke-18. Secara historis, The New
Palgrave,1 membuat definisi politik ekonomi sebagai studi tentang kesejahteraan
dan usaha manusia untuk memenuhi nafsu perolehan (penawaran dan
pemenuhan hasrat).
Tidak mengherankan kemudian, Adam Smith dalam Theory of Moral
Sentiment dan The Wealth of Nations, melihat fenomena itu sebagai sebuah
karakteristik yang berguna namun tidak dipuji, yang berakibat pada pengejaran
nilai kebendaan, yang bila dipandang dari sudut filsafat yang tidak memihak,
tampak ‘menjijikan dan remeh’ atau bisa disebut ‘vulgar’. Bahwa hasrat atas
nafsu perolehan memiliki konsekwensi-konsekwensi yang banyak dikecam karena
menimbulkan perilaku-perilaku kekikiran atau nafsu tamak. Dengan demikian,
dorongan bagi pemenuhan kekayaan bisa berpengaruh pada interaksi hubungan
produksi komersial ke dalam masyarakat.
Bagi William dalam Etimologi Sosial, sebelum menjadi disiplin ilmu, politik
ekonomi didefinisikan sebagai tradisi sosial (social custom), praxis, dan
pengetahuan untuk mengatur rumah-tangga, surat-menyurat dan komunitas.
Konsep politik ekonomi merupakan derivasi dari bahasa Yunani, ekonomi (oikos
dan nomos) terkait pada tata atur rumah tangga, politik (polis) berdimensi kota-
negara (city-state). Ini menjadi embrio bagi lahirnya konsepsi politik ekonomi
Pada sisi ini, media bisa menempatkan diri secara independen, otonom yang
membuka jalan bagi terciptanya perdebatan publik secara dewasa, bukan
memihak apalagi memanipulasi informasi yang berdampak pada manipulasi
publik secara vulgar.
Praktek-praktek wacana bebas, jika menggunakan pendekatan kultural
‘aseli’ Indonesia (biasanya kita menengok pada model coffe house Inggeris, salon
Perancis, dan tichgesllchaften Jerman, menurut Habermas) bisa dilihat pada
model diskursus yang ada pada masyarakat Minang Sumatera Barat. Model
‘Lapau’ dan Balai desa ala Minang juga mempunyai kemiripan dengan konsep
‘wacana hidup’ sebagaimana yang disebut oleh Habermas. Pada Lapau, secara
tradisi warga berkumpul di warung-warung untuk mencoba menggagas realitas
kultural di satu sisi, biasanya bermula dari obrolan tentang masalah perdagangan,
keluarga, adat dst. Pada sisi lain, obrolan tersebut justru menjadi arena publik
untuk menciptakan diskursus masalah-masalah negara, seperti; kejadian
ekonomi, politik, sosial, budaya, dst.
Oleh karena itu, yang utama harus dimengerti bahwa ruang publik adalah
sebagai sebuah proses sosiologis yang bisa saja berbeda oleh karena faktor
geografis dan kultural yang berbeda. tetapi secara substantif mempunyai ide
dasar yang serupa. lebih dari itu, ia juga bisa mengalami pasang surut, kemajuan
dan kemunduran, serta kelemahan dan kekurangan seiring perkembangan
sejarah.
Sebagai sebuah ruang publik, media adalah suatu sarana yang menjamin
berlangsungnya perilaku, tindakan, sikap, dan refleksi diri, cita-cita diri warga
negara. Pada space ini, terjadi pertemuan fungsi ideal media dengan pemaknaan
dari civil society, jika kita menggunakan konseptualisasi ala Tocqueville, yang
menyebut civil society, disebut oleh Hikam, sebagai wilayah-wilayah kehidupan
sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain; kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting)
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-
norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warga negaranya.
Pada dataran ini, terlihat bahwa ada pembagian yang tegas antara warga
negara dengan negara sendiri. Dengan demikian, negara sebagai pembuat
produk undang-undang di satu sisi dapat menciptakan konstruksi sosial di warga
negara dengan produknya. Di sisi lain, warga negara bisa mendorong kontrol
yang kuat bagi negara. Bagaimana dengan RUU penyiaran?
Muatan RUU
bagi masa depan civil society
Selanjutnya, jika dilihat dengan kacamata penjelasan di atas, dapat
dikatakan bahwa secara garis besar muatan-muatan yang ada dalam RUU
penyiaran hasil inisiatif DPR membuka jalan bagi terciptanya penguatan gerakan
civil society di Indonesia. Peryataan ini bisa dilihat melalui pasal-pasal yang
mengatur model penyiaran baik televisi atau radio bagi warga negara. Substansi
dasar yang menjadi argumentasi penguatan civil society melalui RUU penyiaran
adalah sebagai berikut;
Pertama, diakuinya spektrum gelombang elegtromagnetik yang
dipergunakan dalam media penyiaran sebagai ranah publik dan sumber daya
alam terbatas. Lihat bab 1 pasal 1 ayat 6, dan bab 3 pasal 6 ayat 2. ini berarti,
spektrum gelombang dikuasai oleh negara bagi kepentingan dan kesejahteraan
publik. Sebab, wilayah udara adalah domain publik yang tidak bisa secara sengaja
dimiliki oleh swasta.
Kedua, diterimanya lembaga penyiaran publik dan penyiaran komunitas.
Lihat bab bab 1 pasal 7, bab 3 pasal 12 dan 13 (penyiaran publik), bab 3 pasal 18
(penyiaran komunitas). Melalui media komunitas ini, warga negara mampu secara
langsung melakukan kontrol bagi negara dan pasar. Sebab, aspirasi komunitas di
setiap level warga dapat tertampung secara langsung di penyiaran komunitas.
Dalam konteks ini, munculnya penyiaran komunitas dapat memperkuat potensi
warga. Dengan demikian, setiap daerah bisa membuat media penyiaran yang
mengakar pada tradisi daerahnya sendiri.
Ketiga, dihilangkannya peran penyuluhan, pembimbing, pengaturan oleh
lembaga pemerintah, semisal Departemen pemerintah untuk mengkontrol media
penyiaran. Dengan dialihkan melalui pembentukan komisi penyiaran Indonesia,
baik di tingkat pusat dan daerah. Lihat bab 1 pasal 1 ayat 11, bab 3 pasal 7, 8, 9,
dan 10. komisi ini membuka jalan bagi terciptanya perwakilan publik yang
menjadi fasilitasi terhadap pengaturan media penyiaran.
Selain, metode pemilihan anggota komisi yang ditentukan oleh DPR RI
untuk KPI pusat, dan DPRD untuk KPI daerah dengan prosedur fit and proper test,
setidaknya menjanjikan personal-personal independen, dan imparsial yang
mampu mengejawantahkan nilai-nilai penguatan civil society. Pada tahap ini,
keberadaan KPI menjadi vital. Dalam arti, KPI harus memposisikan diri sebagai
katalisator bagi usaha penciptaan kesadran kritis publik melalui pengaturn media
penyiaran yang akuntable.
Keempat, kembalinya fungsi penyiaran sebagai fungsi budaya. Lihat bab 2
pasal 4 ayat 1. Dengan berlatar pada keberagaman budaya yang ada, nilai-nilai
pluralisme bisa diwujudkan. Bersentuhan dengan budaya berarti menempatkan
diri sebagai warga negara yang bersikap toleran, anti kekerasan, dan humanis
terhadap sesama warga negara. Budaya adalah seni interaksi sosial.
Kelima, pelarangan terhadap kepemilikan silang (monopoli kepemilikan)
dan mendorong persaingan sehat dibidang penyiaran. Lihat bab 2 pasal 5 point g.
monopoli kepemilikan mediadi satu sisi hanya menguntungkn pihak pemilik
media. Di sisi lain menciptakan monopoli informasi publik, yang itu berarti
mematikan kreativitas dan potensi warga negara. Dan menyebabkan adanya
keseragaman berita yang ditayangkan. Monopoli kpemilikan bis dilihat pada kasus
kepemilikan surat kabar, televisi, dan radio. Sebut saja, Kompas + Global TV,
Media Indonesia + Metro TV, atau Indosiar + Indofood, dst.
Keenam, adanya pembatasan jangkauan wilayah siaran setiap televisi dan
radio (menjadi bersifat lokal, dan bila dimungkinkan untuk menjangkau secara
nasional, diperlukan sistem jaringan yang melibatkan stasiun televisi
lokal/daerah). Lihat bab 3 pasal 20 dan 21. ini berarti membuka peluang
terciptanya keberagaman informasi di masyarakat. Dan ini mendorong pluralisme
informasi yang bisa diakses oleh setiap warga negara.
Ketujuh, hilangnya kewajiban relay terhadap stasian pemerintah. Lihat bab
4 pasal 27-28. bahkan dalam RUU ini jelas-jelas menghilangkan konsep televisi
pemerintah. Sehingga, citra keberpihakan pada publik dan usaha mendorong
penguatan warga masyarakat dapat diderivasikan secara langsung. Misalnya,
kewajiban relay acara TVRI Laporan Khusus pada televisi swasta, pukul 21.30
WIB.
Kedelapan, terdapat pembatasan porsi iklan yang bisa ditayangkan dalam
keseluruhan jam siaran. Lihat bab 4 pasal 33. kesembilan, dibukanya ruang peran
serta masyarakat dalam usaha pengembangan media penyiaran. Lihat bab 5
pasal 37. Peran serta dan partisipasi warga diberi tempat secara terbuka. Hal ini
bisa mempercepat keterlibatan publik dalam memantau sepak terjang negara dan
pasar.
Dan kesepuluh, adanya sangsi pidana bagi mereka yang secara sadar dan
langsung melanggar atuyran dan kode etik penyiaran, sebagaimana yang
dijelaskan dalam pasal-pasal sebelumnya. Lihat bab 7 pasal 40 sampai 60.
C. PENUTUP
Regulasi media penyiaran yang dijelaskan melalui pembuatan RUU
penyiaran tahun 2001—jika dicermati secara seksama mencerminkan penguatan-
penguatan kekuatan civil society, yang pada masa orde baru mengalami tekanan
sedemikian rupa. Sebagai, salah satu pilar pembentuk demokrasi, maka media
penyiaran sudah saatnya memuat prinsip-prinsip civil society untuk mendukung
transformasi sosial pada perubahan sikap, nilai, dan kesadaran kritis warga
negara. Dengan demikian, setelah melalui analisa ‘sejenak’ pada RUU penyiaran,
paling tidak ada tiga hal mendasar yang menarik;
Pertama, bahwa RUU penyiaran mendorong terciptanya public sphere
yang luas. Diskursus di antara sesama warga dan akses setara dalam
pemerolehan informasi membuka ruang publik yang terbuka untuk menentukan
pilihan dan sikap hidupnya sebagai warga.
Kedua, mendorong terbangunnya nilai pluralisme di warga negara.
Pluralisme bisa juga disebut sebagai penguatan nilai-nlai komunitarianisme.
Berasal dari komunitas, ruang cerdas yang berakar pada kekuatan-kekuatan
warga pada level komunitas. Lawan dari puritanisme.
Dan ketiga, membuka celah desentralisasi media penyiaran. Sebagai
sebuah kebijakan, minimal bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk melihat sejauh
mana kerelaan negara pusat untuk melakukan desentralisasi kebijakan ke
daerah-daerah.
Kandungan pada tiga hal mendasar tersebut sesungguhnya yang menjadi
pra-syarat bagi terbangunnya kekuatan civil society yang mapan di Indonesia.
Catatan, 1) KPI masih berfungsi administratif, masih terkesan ada campur tangan
negara pada level penentu kebijakan, dan 2) bab 4 pasal 29, jurnalistik, tunduk
pada ruu dan uu pers.
Daftar bacaan;
Gibbons, Thomas, ‘Regulating The Media’ second edition, (1998), London; Sweet 7 Maxwell.
Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, 1999, Jakarta; LP3ES
Jacob, T, membongkar Mitos Masyarakat Madani, 2000, Yogyakarta; Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).
Keraf, A. Sony, Pasar bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, 1996, Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
Lichtenberg, Judith, ‘Democracy and Mass Media’ (1990), New York; Combridge University Press.
Mosco, Vincent, ‘The Political Economy o Communiction’ (1996), London; SAGE Publication.
Rodee, Carlton Clymer, Pengantar Ilmu Politik, 1988, Jakarta; Rajawali Press.
Wahyuni, Hermin Indah, Televisi dan Intervensi negara, Konteks Politik kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi, 2000, Yogyakarta; Media Pressindo.