PLANT AGRONOMY GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /1 EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PUPUK KASCING DAN EKSTRAK TEH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SAWI HIJAU (Brassica juncea L.) Palupi Puspitorini* dan Fery Jatmiko** *Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar **Mahasiswa Fakultas Universitas islam Balitar Abstract Green cabbage ( Brassica juncea L.) is a vegetable plant with sub-tropical climate, but able to adapt well in tropical climates. Public demand for more and more increasing mustard. With the ever increasing demand for mustard greens, one of the efforts to increase production that can be done is through good land management, adequate irrigation, fertilization and pest prevention. This study aims to determine the effect of fertilizer use kascing and tea extracts on the growth and yield of green mustard plant ( Brassica juncea L.). Location of the study was conducted in a research block of SMKN Kademangan Blitar district in May-June 2012. The study was conducted using a factorial design divided plot is the first factor with four dosage of fertilizer kascing extent that K0 (control), K1 (kascing dose of 10 g/tan), K2 (kascing dose of 20 g/tan), K3 (kascing dose of 30 g/tan ) and the second factor with four tea extract concentration level is P0 (control), P1 (tea extract concentration of 20 g/l), P2 (tea extract concentration of 30 g/l), P3 (tea extract concentration of 40 g/l), how no fertilizer kascing tea extracts on the green mustard plants spread and watered with a distance of 5 cm from the mustard plant with an adjusted dose of each treatment. Data obtained from this study were analyzed by analysis of variance (ANOVA), followed by the Smallest Real Differences test (LSD) 5%. The results of this study indicate that there are interactions on plant growth and yield of mustard greens on the use of kascing and tea extracts. Treatment with the use of kascing and tea extract at a dose of 30 g/tan and a concentration of 40 g/l (K3P3) gives the best results for plant height, leaf number and dosage of 20 g/tan and a concentration of 40 g/l (K2P3) for fresh weight green cabbage plants. Key words: Plant Green cabbage (Brassica juncea L), Tea Extract, Fertilizer , kascing
90
Embed
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PUPUK KASCING DAN …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/69/Grafting_2013.pdf · Denah penelitian dengan Rancangan Petak Terbagi (RPT) Tanaman Sawi Hijau
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /1
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PUPUK KASCING DAN EKSTRAK TEH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SAWI HIJAU (Brassica juncea L.)
Palupi Puspitorini* dan Fery Jatmiko**
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
**Mahasiswa Fakultas Universitas islam Balitar
Abstract
Green cabbage (Brassica juncea L.) is a vegetable plant with sub-tropical climate, but able to adapt well in tropical climates. Public demand for more and more increasing
mustard. With the ever increasing demand for mustard greens, one of the efforts to increase production that can be done is through good land management, adequate irrigation,
fertilization and pest prevention. This study aims to determine the effect of fertilizer use kascing and tea extracts
on the growth and yield of green mustard plant (Brassica juncea L.). Location of the study was conducted in a research block of SMKN Kademangan Blitar district in May-June 2012.
The study was conducted using a factorial design divided plot is the first factor with four dosage of fertilizer kascing extent that K0 (control), K1 (kascing dose of 10 g/tan), K2
(kascing dose of 20 g/tan), K3 (kascing dose of 30 g/tan ) and the second factor with four tea extract concentration level is P0 (control), P1 (tea extract concentration of 20 g/l), P2 (tea
extract concentration of 30 g/l), P3 (tea extract concentration of 40 g/l), how no fertilizer kascing tea extracts on the green mustard plants spread and watered with a distance of 5 cm
from the mustard plant with an adjusted dose of each treatment. Data obtained from this study were analyzed by analysis of variance
(ANOVA), followed by the Smallest Real Differences test (LSD) 5%. The results of this study indicate that there are interactions on plant growth and yield of mustard greens on the
use of kascing and tea extracts. Treatment with the use of kascing and tea extract at a dose of 30 g/tan and a concentration of 40 g/l (K3P3) gives the best results for plant height, leaf
number and dosage of 20 g/tan and a concentration of 40 g/l (K2P3) for fresh weight green cabbage plants.
Pengaruh Jarak Tanam Rasio 2 : 1 (Solid Female) dan Rasio 4 : 1Terhadap Ketepatan Waktu Penyerbukan Pada Jagung (Zea Mays L) var .8001
Oleh : Tri Kurniastuti* dan Wahyono**
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
**Mahasiswa Fakultas Universitas islam Balitar
ABSTRACT
This research proposed to to know difference and or compare influence 2 (two) method plant ratio 2:1 and ratio 4:1 to process of synchronization maize flower ( Zea Mays L) seeding of
varietas 8001. This research doing Countryside of Jatikerto District Of Unlucky Kromengan Sub-
Province, which in strarting in April 2012 and end in May 2012. This research doing by using system calculation of T Count ( Paired Samples Test) comparing 2 (two) variable. Intake of crop
sampel in to becoming 3 shares, that is each female and masculine crop in taking 5 sampel at every restating to measure length of tassel, later;then 25 crop of sampel for the altimetry of
flower phase age and crop, and last 50 crop of sample to get synchronization graph and data. From result of gathered datas and research, hence earning in concluding that
synchronization maize crop ( Zea Mays L) earn in seeing early on before flower process happened ( 40 DAP), second that distance plant also have an effect on to process growth of
flower synchronization and crop which in because competition between very high crop and storey;level of stres different between masculine crop and female crop, last from result of
perception earn in concluding that synchronization result or process at ratio 4:1 nicer in comparing with result of synchronization of ratio 4:1.
Keyword: Ratio 2:1 and Ratio 4:1, Synchronization, Maize ( Zea Mays L)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman jagung yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L. adalah salah
satu tanamn biji – bijian dari keluarga rumput – rumputan ( Graminaceae ) yang sudah
terkenal di dunia. Luas areal tanaman dan produksi jagung cenderung terus meningkat
meskipun berfluktuasi. Dari data Kementrian Pertanian, angka produksi nasional tahun 2000
tercatat 9.676.899 ton. Adapun angka impor tahun 1999 sebesar 541.056ton. Dari kedua
angka tersebut konsumsi aktul jagung nasional diperkirakan tidak kurang dari 10 juta ton/
tahun. Jika produksi rata – rata 5 ton/ tahun, maka luas pertanaman yang diperlukan sekitar
2 juta hektar. Jika kebutuhan benih
diperkirakan 30 Kg/ Ha maka kebutuhan benih per tahun adalah 60 ribu ton. Sedangkan
produksi benih jagung di Jawa Timur tahun 2005 adalah 22.181,207 ton ( BPSB, 2005 ).
Jagung sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis kedua setelah
padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan makanan pokok kedua
setelah beras. Jagung juga mempunyai arti penting dalam pengembangan industri di
Indonesia karena merupakan bahan baku untuk industri pangan maupun industri pakan
ternak khusus pakan ayam. Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan pangan di
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /13
Indonesia maka kebutuhan akan jagung akan semakin meningkat pula.
Salah satu ciri organisme hidup seperti tumbuhan adalah berkembang biak menjadi
lebih banyak atau memperbanyak diri. Ada dua cara tumbuhan dalam memperbanyak diri,
yaitu dengan cara aseksual dan seksual. Cara perkembangbiakan secara aseksual adalah
suatu cara perkembangbiakan dengan menggunakan organ vegetatif. Cara ini
banyak dilakukan oleh tanaman yang tidak mempunyai bunga atau tidak mampu
melakukan penyerbukan karena bunga tidak lengkap atau karena faktor lain yang
menghalangi terjadinya penyerbukan. Bagian tanaman yang dipakai untuk berkembang biak
adalah batang, umbi, atau mata tunas. Sedangkan cara perkembangbiakan secara
seksual adalah perkembang biakan dengan menggunakan biji. Biji berasal dari bakal biji,
yang dapat disamakan dengan makrosporangium dan terdapat di dalam
bunga. Ciri yang amat penting dalam
reproduksi seksual adalah pembuahan, yaitu penyatuan sel betina dan sel jantan, atau gamet
untuk membentuk zigot. Zigot tumbuh menjadi embrio (janin) di dalam biji. Bila
berkecambah akan menjadi tumbuhan dewasa (Tjitrosomo dkk, 1985).
Bunga merupakan salah satu alat reproduksi secara seksual pada tumbuhan.
Pada bunga yang sempurna terdapat benang sari yang merupakan alat reproduksi jantan
dan putik yang merupakan alat reproduksi betina. Dari peleburan antara benang sari dan
putik inilah nantinya akan muncul buah yang di dalamnya terdapat biji, dan biji inilah yang
nantinya dijadikan alat perkembangbiakan pada suatu tumbuhan.
Dari segi biologi bunga merupakan alat perkembangbiakan tanaman. Sebab, bunga
dapat tumbuh menjadi buah yang berisi biji,
dan dari biji dapat tumbuh menjadi tanaman yang baru. Pembungaan, penyerbukan,
pembuahan dan pembentukan buah merupakan faktor yang sangat menentukan
produktivitas tanaman. Dari keempat faktor tersebut yang terpenting adalah pembungaan,
karena tanpa pembungaan maka tidak akan terjadi penyerbukan bunga atau pembentukan
buah dan tidak akan diperoleh biji dari suatu tanaman (Darjanto dan Satifah, 1984). Bunga
juga dapat dipandang sebagai suatu batang atau cabang pendek yang berdaun dan telah
mengalami perubahan bentuk (metamorfosis) sebelum suatu tumbuhan mati. Karena
pentingnya keberadaan bunga bagi tanaman, maka perlu dipelajari lebih lanjut mengenai
karakteristik berbagai macam bunga. Sebab setiap bunga memiliki karakteristik yang
berbeda-beda pada setiap jenis tanaman yang akan menentukan tipe persilangan tanaman
tersebut. Setiap bunga terbentuk pada tangkai
khusus, yaitu tangkai bunga (pedicellus). Bagian bunga yang paling menyolok ialah
daun mahkota (petal) atau biasa disebut mahkota bunga. Kelopak dan mahkota bunga,
keduanya merupakan perhiasan bunga. Sedangakan. Putik dibentuk oleh satuan daun
buah atau carpellum, yang secara kolektif dinamai gynaecium (Tjitrosoma, 1984).
Tujuan
Penelitian ini di lakukan adalah dengan tujuan agar kita dapat mengetahui seberapa
besar perbedaan ketepatan fase penyerbukan (sinkronisasi) antara penerapan metode tanam
2:1 (Solid Female) dengan Ratsio 4:1.
Rumusan Masalah Permasalahan pada penulisan tugas
akhhir ini adalah, antara lain: 1. Bagaimana cara kita agar dapat mendeteksi
proses sebuah sinkronisasi penyerbukan pada pembenihan jagung (Zea Mays L)
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /14
2. varietas 8001 sejak awal sebelum proses penyerbukan benar-benar terjadi /
berlangsung. 3. Adanya perbedaan sinkronisasi
penyerbukan pada pembenihan jagung (Zea Mays L) varietas 8001 antara metode tanam
rasio 2:1 (Solid Female) dengan metode tanam rasio 4:1.
Kegunaan Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi mengenai ketepatan penyerbukan
(sinkronisasi) pada jagung (Zea Mays L) varietas 8001 yang di terapkan dengan
menggunakan metode tanam 2:1 (Solid Female) dan metode 4:1, agar pada saat
penanaman dengan metode yang sama di kemudian harinya di dapatkan sebuah proses
sinkronisasi penyerbukan yang lebih baik atau lebih tepat untuk mendapatkan hasil yang
maksimal.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ini di laksanakan di areal
pembenihan jagung PIONEER (PT. Du Pont Indonesia) varietas 8001 Desa Jatikerto,
Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Pelaksanaan penelitian di mulai pada
bulan April 2012 dan berakhrir pada bulan Mei 2012.
Alat, Bahan dan Fungsi Alat :
- Gunting : Untuk memotong tali rafia. - Tali rafia: Untuk penanda tanaman yang
akan di amati. - Kertas : Untuk media mencatat hasil
selama pengamatan. - Bolpion : Untuk menulis dan atau
mencatat hasil perhitungan pengamatan. - Meteran : Untuk mengukur tinggi
tanaman.
Bahan : 1. Lahan pembenihan dengan sistem rasio 2:1
(Solid Female)
Tassel di tanaman jantan :
Tetua Jantan vaietas 8001
Tongkol (Silk) di tanaman betina : Tetua Betina varietas 8001
2. Lahan pembenihan dengan sistem rasio 4:1
Tassel di tanaman jantan :
Tetua Jantan vaietas 8001
Tongkol (Silk) di tanaman betina :
Tetua Betina varietas 8001
Metode Penelitian
Penelitian akan di lakukan dengan menggunakan dua metode penanaman, antara
lain: 1. Metode Rasio 2:1 (Solid Female)
2. Metode Rasio 4:1 Jumlah tanaman yang akan di amati dari
tiap metode, antara lain:
Tabel.1 (Jumlah Tanaman Sampel)
Metode Jantan
(Male)
Betina
(Female)
Rasio 2:1 (SF) 25 25
Rasio 4:1
(RS)
25 25
Metode Tanaman Item Panjang (Cm)
Rata2
Rasio 2:1 (SF) Jantan Panjang bunga (Tassel) ...
Betina Panjang bunga (Tassel) ...
Rasio 2:1 (SF) Jantan Panjang bunga (Tassel) ...
Betina Panjang bunga (Tassel) ...
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /15
Jumlah tanaman yang akan di amati dari tiap metode disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Tanaman Sampel
Metode Jantan (Male) Betina (Female)
Rasio 2:1 (SF) 25 25
Rasio 4:1 (RS) 25 25
Penelitian ini akan menggunakan sitem T Hitung dengan terdiri dari 3 (tiga) faktor yang
mempengaruhi, antara lain:
Faktor I : Panjang (cm) bunga jantan dan bunga betina pada umur 40 HST.
Tabel.3 (Rata-rata panjang tassel 40 HST)
Faktor II : Tinggi (cm) Tanaman Jantan dan Betina pada Umur 45 HS
Tabel.3 (Rata-rata tinggi tanaman 45 HST)
Faktor III : Umur tanaman ketika bunga (tassel) jantan pecah dan ketika tongkol keluar rambut (silking).
Tabel.4 (Rata-rata umur fase pembungaan dan reseptif)
Faktor Pendukung: Grafik Nicking Observasi (Umur dan Persentase tanaman jantan dan betina
pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol betina keluar).
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Lahan Dalam persiapan lahan, yang pertama di lakukan adalah:
Metode HST Tinggi Tanaman Rata2
Jantan (Male) Betina (Female)
Rasio 2:1 (SF) 45 ... cm ...cm
Rasio 4:1 (RS) 45 ...cm ...cm
Metode Tanaman Item HST Rata2
Rasio 2:1 (SF) Jantan Tassel pecah ...
Betina Rambut (silking) tongkol ...
Rasio 2:1 (SF) Jantan Tassel pecah ...
Betina Rambut (silking) tongkol ...
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /16
a. Pembajakan (penggemburan tanah), yang mana kegiatan ini dapat kita lakukan dengan cara manual menggunakan bajak sapi ataupun dengan menggunakan traktor.
b. Pembuatan bedengan sebagai media tanam dengan ukuran sebagai berikut: Rasio 2:1
Gambar.3 (Bedengan Rasio 2:1)
Rasio 4:1
Gambar.4 (Bedengan Rasio 4:1)
Pemasangan Ajir
Pemasangan ajir adalah suatu cara untuk memberikan tanda pada tiap barisan tanaman dalam bedengan, agar dapat di bedakan mana barisan tanaman jantan (male) dan mana berisan tanaman
betina (female).
Rasio 2:1
Gambar.5 (Pemasangan Ajir Rasio 2:1)
Keterangan: Ajir II (Dua) : Barisan Jantan (Male) Ajir I (Satu) : Barisan Betina (Female)
Rasio 4:1
Gambar.6 (Pemasangan Ajir Rasio 4:1)
Keterangan: Ajir II (Dua) : Barisan Jantan (Male) Ajir I (Satu) : Barisan Betina (Female)
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /17
Tanam Dalam proses penanaman ini di lakukan
dengan cara menugal dengan kedalaman rata-rata 5 cm dengan memperhatikan tanda (ajir)
yang sudah ada, agar tidak sampai terjadi salah baris. Hal ke-2 yang harus di perhatikan
adalah penanaman harus 1 (satu) lubang 1 benih tanaman. Dan yang terakhir memastikan
benih yang tertanam sudah tertutupi dengan rapat sebelum di lakukan pengairan.
Perawatan Tanaman Pengairan
Dalam hal pengairan pada tanaman jagung, yang perlu di perhatikan adalah
metode / cara pengairan itu di lakukan. Di sini kita melakukan pengairan dengan cara resapan
(bukan lep), yang artinya pengairan tidak di lakuakan sampai dengan air benar-benar
menggenangi seluruh permukaan bedengan (media tumbuh) tanaman, melainkan cukup
mengalir lewat got jantan dan segera buang airnya jika semua got jantan sudah terisi penuh
oleh air sebelum air bergerak ke atas permukaan bedengan.
Penyiangan Gulma
Penyiangan bertujuan untuk membersih kan lahan dari tanaman pengganggu (gulma).
Penyiangan di lakukan 2 minggu sekali. Penyiangan pada tanaman jagung yang masih
muda biasanya di lakukan dengan tangan atau cangkul kecil, garpu dan lain sebagainya.
Yang penting dalam penyiangan ini tidak mengganggu perakaran tanaman yang pada
umur tersebut belum cukup kuat untuk mencengkeram tanah. Hal ini biasanya di
lakukan setelah tanaman berumur 15 HST. Sumber : www.gerbangpertanian.com
Pemupukan
Apabila tanah yang akan di tanami tidak menjamin ketersediaan hara yang cukup, maka
harus di lakukan pemupukan. Dosis pupuk yang di butuhkan tanaman sangat bergantung
pada kesuburan tanah dan di berikan secara bertahap. Adapun dosis rata-rata adalah :
Urea 200 kg/Ha dan NPK 300 kg/Ha. Adapun dosis dan cara pemupukan untuk setiap hektar:
Pemupukan dasar: 1/3 bagian pupuk Urea dan ½ bagian pupuk NPK di berikan saat tanam, di
tugal kiri dan kanan lubang tanam sedalam 5 cm lalu di tutup tanah.
Susula I : 1/3 bagian pupuk Urea dan ½ bagian pupuk NPK di berikan setelah tanaman
berumur 30 HST, di tugal kiri dan kanan lubang tanam sedalam 10 cm lalu di tutup
tanah. Susulan II : 1/3 bagian pupuk Urea di berikan
saat tanaman berumur 45 HST. Sumber : www.gerbangpertanian.com
Pengendalian Organisme Pengganggu Penggunaan pestisida hanya di
perkenankan setelah terlihat adanya hama yang dapat membahayakan proses produksi
jagung. Adapun pestisida yang di gunakan yaitu pestisida yang di pakai untuk
Keterangan: o = Tanaman sampel (Betina) x = Tanaman sampel (Jantan)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Panjang bunga (Tassel) tanaman jantan
dan tanaman betina pada umur 40 HST Dari hasil pengamatan di lapangan dapat
di lihat bahwa dengan cara mendeteksi dari awal dengan cara mengukur panjang tassel
pada tanaman jantan dan betina pada umur 40 HST dapat di simpulkan bahwa akan
terdeteksi antara tanaman jantan dan betina akan sinkron atau tidak. Hal ini hampir sama
pengertiannya dengan pendapat dari (Sujiprihati dkk., 2008) yang menerangkan
bahwa pada tetua betina waktu emaskulasi harus diperhatikan. Juga waktu penyerbukan
harus tepat ketika stigma reseptif.
Berikut adalah hasil pengukuran panjang (cm) tassel tanaman jantan dan tanaman betina di
lapangan dari 5 (lima) tanaman sampel yang di ambil pada masing-masing metode:
Tabel. 5 (Hasil pengamatan panajang tassel)
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /20
Tinggi (cm) tanaman jantan dan tanaman betina pada umur 45 HST
Dari hasil pengamatan yang ada ternyata ada pebedaan tinggi tanaman antara tanaman
jantan betina di rasio 2:1 dengan tanaman jantan betina di rasio 4:1. Langkah ini dapat
kita lakukan langsung dengan cara mengukur tinggi tanaman dari pangkal / batang tanaman
hingga daun teratas / yang termuda dengan menggunakan meteran kecil 5 Meter.
Hal ini jelas di sebabkan oleh faktor kerapatan jarak tanam pada rasio 2:1, yang mana hampir
sama dengan yang di jelaskan (Barri, 2003), bahwa sistem jarak tanam mempengaruhi
cahaya, CO₂, angin dan unsur hara yang
diperoleh tanaman sehingga akan berpengaruh pada proses fotosintesa yang pada akhirnya
memberikan pengaruh yang berbeda pada parameter pertumbuhan dan produksi jagung.
Dan indikasi jika terjadi perbedaan tinggi postur tanaman, maka kemungkinan besar
akan mempengaruhi sinkronisasi antara tanaman jantan dan betina.
Dari hasil pengukuran 25 tanaman sampel yang kita ukur tingginya antara tanaman
jantan dan tanaman betina pada masing-masing metode di lapangan, di dapatkan data
ukur sebagai berikut:
Tabel. 6 (Hasil pengamatan tinggi tanaman)
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /21
Umur (HST) tanaman jantan dan tanaman
betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol tanaman betina
keluar. Ketepatan waktu (umur) tanaman pada
fase penyerbukan adalah salah satu faktor paling penting dalam keberhasilan hibridisasi.
Hal ini di pertegas menurut Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (2006) pada
bunga jantan (malai) masa anthesisnya pada hari ke-65 setelah tanam, sedangkan pada
bunga betina (tongkol) masa reseptifnya pada hari ke-71 setelah tanam. Masa anthesis malai
ditandai dengan munculnya bulir-bulir yang
berwarna merah keunguan yang mengandung antosianin pada tangkai malai, dan pada bulir
terdapat serbuk sari (pollen) yang berwarna kuning. Masa reseptif tongkol ditandai dengan
tumbuhnya bulu-bulu rambut pada ujung tongkol yang berwarna kuning bening
kehijauan. Dari pengamatan umur pecah tassel pada
tanaman jantan dan keluarnya silking pada tanaman betina di lapangan, di dapatkan hasil /
data sebagai berikut:
Tabel. 7 (Hasil pengamatan umur tanaman saat antesis dan reseptif)
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /22
Grafik Nicking Observasi (Umur dan Persentase tanaman jantan dan tanaman betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol tanaman betina keluar).
Berikut adalah grafik dari hasil pengamatan sinkronisasi varietas 8001 yang di peroleh di
Pembahasan Panjang bunga (Tassel) tanaman jantan dan
tanaman betina pada umur 40 HST
Jika antara waktu anthesis bunga
jantan dan waktu reseptif bunga betina tidak bersamaan, maka perlu dilakukan
singkronisasi. Caranya dengan membedakan waktu penanaman antara kedua tetua,
sehingga nantinya kedua tetua akan siap dalam waktu yang bersamamaan. Dari data hasil
pengamatan di lapangan dapat kita lihat bahwa panjang tassel antara tanaman jantan dan
tanaman betina pada rasio 4:1 lebih imbang panjangnya (cm) di banding dengan rasio 2:1
yang condong tassel tanaman jantan lebih pendek di bandingkan tassel tanaman betina.
Dari sini sudah dapat kita prediksi bahwa pada rasio 4:1 potensi sinkronisasi / ketepatan
penyerbukan akan lebih bagus di bandingkan dengan rasio 2:1.
Tinggi (cm) tanaman jantan dan tanaman betina pada umur 45 HST
Dari data ukur yang di peroleh di lapangan dapat di lihat bahwa, keseragaman
tanaman jantan dengan tanaman betina pada rasio 4:1 lebih baik / bagus di bandingkan
dengan keseragaman tanaman pada rasio 2:1 yang mana tanaman jantan performanya masih
berada di bawah tanaman betina. Hal ini di sebabkan oleh:
1. Kerapatan jarak tanam yang berbeda antara rasio 2:1 rata-rata 51,7 cm dan rasio
4:1 rata-rata 70 cm. 2. Tingkat stress yang tinggi pada tanaman
jantan di rasio 2:1, di karenakan posisi tanaman jantan yang berada di tengah
bedengan dan di apit oleh kedua tanaman betina. Di tambah dengan persentase
resapan air yang kurang pada tanaman jantan di bandingkan dengan tanaman
betina yang posisinya berada di tepi got jantan.
3. Kurangnya resapan cahaya / sinar matahari pada tanaman jantan di rasio 2:1.
4. Tingginya kompetisi unsur hara antara tanaman jantan dan betina (dalam 1
bedengan ada 3 baris tanaman). Umur (HST) tanaman jantan dan tanaman
betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol tanaman betina
keluar. Dari data yang kita dapatkan dari lapangan
dapat kita lihat bahwa, pada rasio 4:1 secara kebersamaan umur saat pecah tassel tanaman
jantan dengan keluar silking pada tanaman betina jauh lebih bagus / seragam di
bandingkan dengan data yang ada pada rasio 2:1. Jika kita rata-rata umur tanaman jantan
dan betina pada tiap-tiap metode, adalah:
1. Rasio 2:1 = Tanaman jantan 60,4 HST Tanaman betina 57,2 HST
2. Rasio 4:1 = Tanaman jantan 58,2 HST Tanaman betina 59,9 HST
Dari sini sudah dapat kita lihat bahwa sinkronisasi penyerbukan pada rasio 4:1 akan
lebih bagus / tepat waktunya di bandingkan dengan rasio 2:1.
Umur dan Persentase tanaman jantan dan
tanaman betina pada saat bunga tanaman jantan pecah dan rambut (silking) tongkol
tanaman betina keluar Dari grafik hasil pengamatan
sinkronisasi (Nicking Observasi) di lapangan dapat di lihat dengan jelas, bahwa pada rasio
2:1 bunga (tassel) jantan tampak tertinggal oleh silking betina. Artinya, sinkronisasi pada
rasio 2:1 masih di katakan belum berhasil atau kurang bagus (tidak nick). Hal ini berbanding
terbalik pada rasio 4:1 yang mana antara tassel jantan pecah dan silking betina keluar bisa /
hampir bersamaan. Di sini sudah bisa di katakan bahwa sinkronisasi pada rasio 4:1
lebih pas / bagus di banding dengan sinkronisasi di rasio 2:1.
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /24
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil percobaan ini dapat di tarik
kesimpulan, bahwa: a. Dalam mendeteksi sinkronisasi jagung (Zea
Mays L) terutama dalam proses hibridisasi (pembenihan) dapat kita lakukan sejak dini,
sebelum fase pembungaan benar-benar terjadi. Hal ini dapat kita manfaatkan untuk
melakukan langkah-langkah berikutnya jika ada indikasi tanaman kita akan tidak
sinkron, agar dapat mencapai hasil yang di harapkan. Dan di simpulkan dari awal
penelitian bahwa, kemungkinan sinkronisasi pada rasio 4:1 akan lebih bagus
di bandingkan dengan rasio 2:1. b. Jarak tanam yang kurang ideal ternyata
dapat menghambat pertumbuhan tanaman, hal ini di karenakan oleh kompetisi yang
berlebihan dan kurangnya penyerapan sinar matahari oleh tanaman itu sendiri. Dan
tentunya hal berdampak buruk kepada proses sinkronisasi pada jagung (Zea Mays
L) khususnya. Di sini dapat di simpulkan bahwa, pada rasio 4:1 keseragaman
tanaman jantan dengan tanaman betina jauh lebih bagus di banding dengan rasio 2:1.
c. Pada rasio 4:1 jelas lebih bagus / tepat sinkronisasinya di banding dengan rasio
2:1, yang mana salah satu faktor utamanya adalah perbedaan metode tanam. Di mana
pada rasio 2:1 sama dengan penerapan triple row (3 baris) dalam satu (1) bedengan
dan pada rasio 4:1 sama dengan penerapan double row (2 baris) dalam satu (1)
bedengan. Dan hal ini juga sangat mempengaruhi petumbuhan (performance)
tanaman antara tanaman jantan dan tanaman betina menjadi tidak seragam
(pada rasio 2:1).
Saran 1. Pada penelitian lebih lanjut perlu di lakukan
dengan lebih mendalam, bagaimana pengaruh sinkronisasi terhadap kwalitas dan kwantitas hasil panen. Karena pada penelitian ini hanya sebatas proses sinkronisasi saja, tanpa mengetahui seberapa besar dan seberapa bagus perbedaan hasil panennya.
2. Dalam mengantisipasi kegagalan dalam
proses sinkronisasi juga perlu di lakukan penelitian lebih lanjut dengan
menggunakan tambahan hormon perangsang pembungaan ataupun
perangsang pembuahan, dengan harapan untuk mencapai hasil semaksimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Fergason, V. 1994. High amylose and waxy
corn. In: A. R. Halleuer (Ed.) Specialty Corns. CRC Press Inc.
USA.
Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth
and development. Extension Service. University of Minesota.
p.5.
Lambert, R.J. 1994. High oil corn hybrids. In:
Arnel R. Halleuer (Ed.). Specialty corns. CRC Press Inc. USA.
morphology.In:tropical aize : improvement and production. Food
and Agriculture Organization ofthe United Nations. Rome. p 13-20.
Smith, M.E., C.A. Miles, and J. van Beem. 1995. Genetic improvement of
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /25
maizefor nitrogen use efficiency. In Maize research for stress
environment.p. 39-43.
Syafruddin. 2002. Tolok ukur dan konsentrasi
Al untuk penapisan tanamanjagung terhadap kete nggangan Al. Berita
Puslitbangtan 24: 3-4.
Tracy, W. F. 1994. Sweet corn. In: A. R.
Halleuer (Ed.) Specialty corns. CRC Press Inc. USA.
Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. In: A. R. Halleuer (Ed.).
Specialtycorns. CRC Press Inc. USA.
White, P.J. 1994. Properties of corn strach. In: A. R. Halleuer (Ed.).
Specialtycorns. CRC Press Inc. USA.
Nuning Argo Subekti, Syafruddin, Roy
Efendi, dan Sri Sunarti. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan
Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros
Pima Nasution Diana, 2009. Pengaruh Sistem Jarak Tanam dan Metode
Pengendalian Gulma Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung
(Zea Mays L) Varietas DK. Skripsi Program Studi Agronomi Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. 111 hal.
Putu Budi Adnyana, Ida Bagus Putu Arnyana. 2000. Morfologi Tumbuhan. Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Singaraja
Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. 2006. Panduan Pengujian Individual
Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Jagung.
Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Allard, R.W. 1988. Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Bina Aksara. 336 halaman
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /26
Pengaruh Perbedaan Varietas dan Perlakuan Stratifikasi Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Tebu (Saccharum officinarum L.)
Oleh : Palupi Puspitorini*
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
ABSTRACT
This study aims to determine the interaction between the different varieties and treatment stratification, the effect of different varieties and the effect of treatment stratification on early
seedling growth of sugarcane (Saccharum officinarum L.). The research was carried out in the garden in the village mothers Istiqomah Kauman Blitar City in May to July 2012.
The design used was a randomized block design (RBD) with two factors namely Factor A, Variety (V) there are two levels: V1: BL sugarcane varieties and V2: sugarcane varieties Ps
864, while Factor B, Treatment Stratification (P) there are four levels: P0: without soaking, P1: Soaked with water at a temperature of 51ºC for 10 min, P2: Soaked with water at a temperature
of 51ºC for 20 min and P3: Soaked with water at a temperature of 51°C for 30 min. Parameter study: percentage grow seedlings, plant height, stem diameter, leaf number and root length.
Results: a). The existence of a real interaction that BL varieties are soaked with water at a temperature of 51ºC for 20 minutes (V1P2) on plant height at umur 20 dap and 40 dap, b).
Varieties of BL (V1) significantly affect plant height age 20 HST, but no significant effect on all parameters of observations and c). Without treatment immersion (PO) significantly affect the
percentage grow seedlings age 20 HST and immersion treatments at temperatures 51°C for 20 min (P2) significantly affect plant height age 20 dap, 30 dap and 40 dap and effect on root length
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan
paling tua dikenal oleh manusia dan memiliki peranan penting sebagai komoditas komersial,
dimana 65% kebutuhan gula dunia berasal dari tanaman tebu. Tebu dapat digunakan sebagai
bahan komponen utama industri farmasi, produk dari industri gula digunakan untuk
pakan ternak, pabrik kertas dan sumber bahan bakar.
Guna mendukung swasembada gula pada tahun 2014 salah satu faktor penting
adalah perluasan areal baik milik Perusahaan Perkebunan Nasional
(PTPN) maupun perkebunan rakyat dan penggunaan varietas tebu unggul yang
dianjurkan. Peningkatan produksi tanaman tebu dipengaruhi oleh penyediaan bibit unggul
yang bermutu antara lain memiliki rendemen gula yang tinggi, kualitas gilingan yang tinggi,
tipe kemasakan, tahan terhadap penyakit, serta dapat beradaptasi pada perubahan iklim global
(antara lain drainase yang buruk). Persoalan yang masih dihadapi industri
gula nasional khususnya yang berbasis tebu rakyat selama ini adalah persediaan bibit yang
berkualitas masih belum mencukupi, untuk
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /27
memperoleh bibit tebu berkualitas baik dan sehat dapat melalui sortasi bibit dan perlakuan
stratifikasi pada bibit yang sudah dipanen, yang berguna untuk mendapatkan
pertumbuhan awal yang baik juga berguna mencegah terbawanya penyakit pada bibit tebu
sehingga pertumbuhan tebu menjadi sehat (Dewi R.,2008).
Ketersediaan bibit tebu merupakan faktor terpenting dalam pengusahaan tebu
giling. Kualitas bibit tebu salah satu faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan
pengusahaan tanaman tebu. pemakaian bibit yang bermutu dapat meningkatkan rendemen
tebu, varietas unggul manapun tidak akan terlihat potensi yang sebenarnya apabila bibit
yang digunakan bermutu rendah. Bibit tebu yang baik adalah bibit yang berumur 5 sampai
6 bulan, murni atau tidak tercampur dengan varietas lain, bebas dari hama dan penyakit
serta tidak mengalami kerusakan fisik (Ahmad S. 1992).
Perbaikan produktifitas tanaman baru, baik yang berasal dari komponen berat tebu
maupun rendemen, sebagian besar ditentukan oleh mutu bibit, mka diperlukan bibit yang
seragam tumbuhnya dan sehat sehingga perlu adanya suatu usaha untuk menyiapkan bibit
tebu, baik dari segi mutu, jumlah, kuantitas maupun kualitas.
Rumusan Masalah
Percepatan dan keseragaman pertumbuhan bibit selama ini sangat lambat, untuk itu perlu
suatu usaha yang dikembangkan untuk mengejar ketertinggalan percepatan pengadaan
bibit yang berkualitas. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut : 1. Apakah ada interaksi antara perbedaan
varietas dan perlakuan stratifikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu?
2. Apakah varietas berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu?
3. Apakah perlakuan stratifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu?
Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui apakah ada interaksi antara perbedaan varietas dan perlakuan
stratikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu.
2. Untuk mengetahui apakah perbedaan varietas berpengaruh terhadap
pertumbuhan awal bibit tebu. 3. Untuk mengetahui apakah perlakuan
stratifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan awal bibit tebu.
Manfaat Penelitian
1. Menambah keilmuan tentang pengaruh perbedaan varietas dan perlakuan
stratifikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu.
2. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada petani tentang pengaruh varietas
dan perlakuan stratifikasi terhadap pertunbuhan awal bibit tebu.
3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain dalam pokok bahasan yang sama.
Hipotesis
1. Diduga ada interaksi antara perbedaan varietas dan perlakuan stratifikasi
terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. 2. Diduga varietas berpengaruh terhadap
pertumbuhan awal bibit tebu. 3. Diduga perlakuan stratifikasi berpengaruh
terhadap pertumbuhan awal bibit tebu.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian di laksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2012, bertempat di kebun Ibu
Istiqomah di Desa Kauman Kecamatan Kepanjenkidul Kota Blitar.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah
: bibit tebu, diperoleh dari kebun bibit PTPN X, cangkul, alat tulis, alat hitung, alat ukur,
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /28
thermometer, karung, gembor, pisau tajam, timba, panci, air.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan dua faktor
antara lain : Faktor A, Varietas Tanaman Tebu (V) ada
dua level antara lain : V1 : Varietas Tebu BL
V2 : Varietas Tebu Ps 864
Faktor B, Perlakuan Stratifikasi (P) ada empat level antara lain :
P0 : Tanpa perlakuan P1 : Direndam dengan air pada suhu 51ºC
selama 10 menit P2 : Direndam dengan air pada suhu 51ºC
selama 20 menit P3 : Direndam dengan air pada suhu 51°C
selama 30 menit
Percobaan faktorial ini untuk mengetahui Pengaruh perbedaan varietas dan perlakuan
stratifikasi terhadap pertumbuhan awal bibit tebu. Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Kelompok, penelitian ini terdiri atas delapan kombinasi perlakuan yang diulang
sebanyak tiga kali sehingga terdapat 24 satuan penelitian, setiap satuan penelitian terdiri atas
16 tanaman dengan jarak 10 cm x 10 cm dan setiap satuan penelitian terdiri dari tiga
tanaman contoh yang diamati. V1P0 : Varietas tebu BL tanpa perlakuan
V2P0 : Varietas tebu Ps 864 tanpa perlakuan V1P1 : Varietas tebu BL direndam dengan air
pada suhu 51ºC selama 10 menit V2P1 : Varietas tebu Ps 864 direndam dengan
air pada suhu 51ºC selama 10 menit V1P2 : Varietas tebu BL direndam dengan air
pada suhu 51ºC selama 20 menit V2P2 : Varietas tebu Ps 864 direndam dengan
air pada suhu 51ºC selama 20 menit V1P3 : Varietas tebu BL direndam dengan air
pada suhu 51°C selama 30 menit V2P3 : Varietas tebu Ps 864 direndam dengan
air pada suhu 51°C selama 30 menit
Gambar denah penelitian dan satuan penelitian ditunjukkan pada lampiran.
Pelaksanaan Penelitian
Teknis pelaksanaan penelitian meliputi : a. Pengolahan lahan.
Pengolahan lahan dengan menggunakan cangkul untuk membersihkan lahan dari
segala macamgulma dan akar-akar pertanaman sebelumnya, serta untuk
memudahkan perakaran tanaman berkembang dan menghilangkan tumbuhan
inang bagi hama dan penyakit, kemudian membuat petak, dengan ukuran panjang 50
cm lebar 50 cm jarak antar petak 30 cm merupakan sebagai parit.
b. Persiapan tanam 1. Melakukan penyortiran atau seleksi
bibit, pelepah daun pada batang tebu dikelupas untuk memudahkan
mengambil mata tunasnya. perkecambahan yang paling baik
ditemukan pada bagian tiga ruas dari pucuk, dimana mata tunas yang
terletak pada ruas batang bagian pucuk (± 3 ruas dari pucuk)
berkecambah lebih cepat dan lebih baik. Makin ke atas atau makin ke
bawah akan makin lama perkecambahannya, karena makin ke
atas tebu terlalu muda dan lembek sedangkan makin ke bawah makin tua
yang kemungkinannya sudah rusak. 2. Memotong batang tebu untuk
mengambil mata bibit, setelah itu dikumpulkan sesuai varietas dan
dimasukkan ke karung untuk direndam air dengan suhu dan lama
perendaman yang telah ditentukan.
c. Penanaman. Bibit di tanam dengan posisi sejajar karena
merupakan bibit bagal pada petak dengan jarak 10 cm × 10 cm, penanaman bibit
diusahakan agar mata bibit menghadap keatas, karena tunas akan muncul lebih
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /29
dulu pada permukaan tanah dari pada mata bibit yang menghadap ke bawah.
d. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman tebu dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Penyiraman, untuk menjaga kelembaban lahan yaitu dilakukan dengan
menggunakan menggunakan alat kocor atau gembor, dilakukan 1 kali sebelum
dan sesudah tanam kemudian dilanjutkan setiap 2 hari sekali atau lihat
kondisi. 2. Penyiangan gulma, penyiangan
bertujuan untuk menanggulangi kompetisi bibit dengan gulma yang
dilakukan dengan manual. 3. Pemupukan bertujuan untuk menambah
kandungan unsur hara dalam tanah yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman
tebu, pemupukan diberikan secara bertahap.
4. Pembumbunan : menaruh sedikit tanah yang diambil dari gundukan ke sekitar
pangkal tebu. Pembumbunan bertujuan untuk menutupi pupuk dan mendorong
pertumbuhan tunas dan akar. 5. Pengendalian OPT. Salah satu faktor
penghambat pertumbuhan awal tanaman tebu adalah adanya serangan hama,
penyakit dan gulma. Hama yang menyerang pada awal pertumbuhan
adalah rayap yang memakan batang tebu sehingga tanaman layu dan mati.
Peubah Penelitian
Persentase tumbuh bibit Prosentase tumbuh bibit diamati pada
umur 15 hari setelah tanam, dihitung berdasarkan jumlah bibit yang dapat
berkecambah. Penentuan jumlah perkecambahan dihitung menggunakan rumus:
Prosentase tumbuh = Jumlah bibit yang tumbuh di bagi Jumlah total bibit dikalikan
seratus persen, dengan satuan prosentase (Putra 2005).
Tinggi tanaman Tinggi tanaman diukur pada umur 20,
30, 40 hari setelah tanam, diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh teratas
menggunakan alat meteran dengan satuan cm.
Diameter batang Diameter batang diukur pada umur 20,
30, 40 hari setelah tanam, dengan cara mengukur batang paling tengah dengan
menggunakan alat jangka sorong dengan satuan cm.
Jumlah Daun
Jumlah daun dihitung pada umur 20, 30, 40 hari setelah tanam, dengan cara
menghitung semua daun yang telah membuka sempurna dan belum kering pada tiap tanaman
tebu.
Panjang akar Panjang akar diukur pada umur 40 hari
setelah tanam, dengan cara destruktif yaitu mencabut tanaman sampel diukur mulai
pangkal batang sampai titik ujung akar paling bawah dengan satuan cm.
Analisis Data
Analisis penelitian ini menggunakan sidik ragam RAK faktorial dimana jika F
hitung lebih besar dari F tabel 5% maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur dan
jika F hitung lebih kecil dari F tabel 5%, maka tidak dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Jujur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Prosentase Tumbuh Bibit Berdasarkan analisis ragam 5% pada
pengamatan umur 15 Hst menunjukkan interaksi tidak nyata antara perlakuan varietas
dan perlakuan stratifikasi pada parameter prosentase tumbuh bibit (lampiran 1).
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /30
Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil yang tidak nyata pada
parameter prosentase tumbuh bibit umur 15 hst (lampiran 1).
Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil yang sangat nyata pada
parameter prosentase tumbuh bibit umur 15 hst, data rata-rata prosentase tumbuh bibit
pada perlakuan stratifikasi umur 15 hst (lampiran 1).
Tabel 1. Hasil pengamatan prosentase tumbuh
bibit (%).
Perlakuan 15 hst
P0 87,50 d
P1 76,39 c
P2 66,66 b
P3 44,44 a
BNJ 5% 9,65
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf
yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Beda Nyata Jujur 5%
Dari hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi memberikan perbedaan sangat
nyata. Prosentase tumbuh bibit tertinggi terdapat pada tanpa perlakuan perendaman
(Po) yaitu 87,50%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan perendaman air
dengan suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 44,44%. tabel 1.
4.1.2. Tinggi Tanaman
Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 20 hst dan 40 hst perlakuan
interaksi antara perlakuan varietas dan perlakuan stratifikasi menunjukkan pengaruh
nyata terhadap tinggi tanaman (lampiran 2 dan 4), namun menunjukkan hasil tidak nyata
umur 30 hst terhadap tinggi tanaman (lampiran 3).
Pada pengamatan umur 20 hst perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil yang nyata
terhadap tinggi tanaman (lampiran 2), namun menunjukkan hasil tidak nyata umur 30 hst
dan 40 hst terhadap tinggi tanaman (lampiran 3 dan 4).
Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil sangat nyata terhadap
tinggi tanaman umur 20 hst dan 40 hst (lampiran2 dan 4), namun pada umur 30 hst
menunjukkan hasil nyata terhadap tinggi tanaman (lampiran 3) .
Tabel 2. Hasil interaksi kombinasi perlakuan terhadap tinggi tanaman (cm)
Perlakuan 20 hst 40 hst
V1P0 3,87 d 13,60 a
V1P2 3,93 d 15,33 bc
V1P2 3,50 bc 15,58 c
V1P3 3,10 a 13,27 a
V2P0 3,73 cd 14,13 a
V2P1 3,93 d 13,83 a
V2P2 3,60 cd 14,57 ab
V2P3 3,57 cd 14,03 a
BNJ 5% 0,33 1,03
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /31
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Beda nyata jujur 5%.
Dari hasil uji BNJ 5% pada
pengamatan umur 20 hst menunjukkan interaksi antara perlakuan stratifikasi dan
perlakuan varietas berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, parameter tinggi
tanaman tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan V1P1 dan V2P1 yaitu 3,93 cm
sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan V1P3 yaitu 3,10 cm (tabel 2).
Pada pengamatan umur 40 hst menunjukkan interaksi antara perlakuan
stratifikasi dan perlakuan varietas berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, peubah tinggi
tanaman tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan V1P2 yaitu 15,58 cm sedangkan
terendah pada kombinasi perlakuan V1P3 yaitu 13,27 cm, (Tabel 2).
4.1.3. Diameter Batang Berdasarkan analisis ragam 5% pada
pengamatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst menunjukkan interaksi antara perlakuan
stratifikasi dan perlakuan varietas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
diameter batang (lampiran5-7). Pada perlakuan varietas (V)
menunjukkan hasil tidak nyata terhadap diameter batang pada umur 20 hst,30 hst dan
40 hst (lampiran5-7). Pada perlakuan stratifikasi (P)
menunjukkan hasil tidak nyata terhadap diameter batang pada umur 20 hst, 30 hst dan
40 hst (lampiran 5-7).
Tabel 3. Hasil pengamatan diameter batang (cm).
Keterangan : t.n = tidak nyata
4.1.4. Jumlah Daun Berdasarkan analisis ragam 5%pada pengmatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst
menunjukkan interaksi tidak nyata antara perlakuan stratikasi dan perlakuan varietas terhadap jumlah daun. Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil tidak nyata terhadap jumlah daun
umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst . Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil tidak nyata terhadap jumlah daun umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst.
Perlakuan umur 20 hst umur 30 hst umur 40 hst
V1P0 0,37 0,43 0,47
V1P1 0,39 0,42 0,48
V1P2 0,38 0,43 0,5
V1P3 0,3 0,39 0,49
V2P0 0,33 0,37 0,49
V2P1 0,35 0,4 0,51
V2P2 0,41 0,44 0,52
V2P3 0,35 0,39 0,52
BNJ 5% t.n t.n t.n
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /32
Tabel 4. Hasil pengamatan jumlah daun
Perlakuan 20 hst 30 hst 40 hst
V1P0 1,33 2,33 4,33
V1P1 1,33 2,67 5,00
V1P2 2,00 2,33 5,33
V1P3 1,67 2,67 4,33
V2P0 1,67 2,67 5,00
V2P1 2,00 3,00 5,00
V2P2 1,33 2,67 5,67
V2P3 1,67 2,67 4,67
BNJ 5% t.n t.n t.n
Keterangan : t.n = tidak nyata
4.1.5. Panjang Akar Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 40 hst menunjukkan interaksi
tidak berbeda nyata antara perlakuan stratifikasi dan perlakuan varietas terhadap panjang akar. Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap panjang
akar umur 40 hst (lampiran 11). Pada perlakuan stratifikasi (P) menunjukkan hasil berbeda nyata terhadap panjang akar
umur 40 hst, data-data panjang akar pada perlakuan stratifikasi umur 40 hst, (lampiran 11).
Tabel 5. Hasil pengamatan panjang akar umur 40 Hst (cm)
Perlakuan Umur 40 hst
P0 20,24 a
P1 21,74 a
P2 22,70 ab
P3 20,13 a
BNJ 5% 2,47
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji Beda nyata jujur 5%.
Dari hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi menunjukkan hasil nyata pada umur 40 hst (table 5), hasil pengamatan panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman pada
suhu 51°C selama 20 menit (P2) yaitu 22,70 cm dan terendah terdapat pada perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 20,13 cm (tabel 5).
4.2. Pembahasan
4.2.1. Persentase Tumbuh Bibit
Berdasarkan analisis ragam 5% pada
pengamatan umur 15 Hst menunjukkan interaksi tidak berbeda nyata antara perbedaan
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /33
varietas dan perlakuan stratifikasi pada parameter prosentase tumbuh bibit (lampiran
1). Perlakuan air panas pada suhu 50 derajat Celcius selama 1 jam dapat berpengaruh
terhadap penurunan prosentase perkecambahan bibit tebu, penurunan daya
tumbuh bibit tebu ini 10%-40%, tetapi dapat meminimalisir terserangnya penyakit pada
bibit dan bibit tebu diberi perlakuan perendaman dengan air selama 12-24 jam
dapat meningkatkan daya tumbuh bibit sampai 50% (Putra 2005).
Berdasarkan hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi menunjukkan hasil
berbeda nyata. Prosentase tumbuh bibit tertinggi terdapat pada tanpa perlakuan (P0)
yaitu 87,50%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan perendaman air
dengan suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 44,44%. tabel 1.
Hal ini diduga selama perlakuan stratifikasi terjadi sejumlah perubahan dalam bibit yang
berakibat menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadi
pembentukan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan (Lita S.,2010).
Pada perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil yang tidak nyata pada parameter
prosentase tumbuh bibit umur 15 hst (lampiran 1), dikarenakan varietas hanya nampak pada
hasil produksi, setiap varietas memiliki karakter dan cadangan nutrisi yang berbeda-
beda didalam batangnya (Eka S.,2008).
4.2.2. Tinggi Tanaman Berdasarkan analisis ragam 5% pada
pengamatan umur 20 hst dan 40 hst perlakuan interaksi antara perbedaan varietas dan
perlakuan stratifikasi menunjukkan pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi tanaman
(lampiran 2 dan 4), namun menunjukkan hasil tidak berbeda nyata umur 30 hst terhadap
tinggi tanaman (lampiran 3). Dari hasil uji BNJ 5% pada pengamatan umur 20 hst
parameter tinggi tanaman tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan V1P1 dan V2P1
yaitu 3,93 cm sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan V1P3 yaitu 3,10 cm
(tabel 2), pada pengamatan umur 40 hst parameter tinggi tanaman tertinggi terdapat
pada kombinasi perlakuan V1P2 yaitu 15,58 cm sedangkan terendah pada kombinasi
perlakuan V1P3 yaitu 13,27 cm, (tabel 2). Hal ini diduga selama perlakuan stratifikasi terjadi
sejumlah perubahan dalam bibit yang berakibat menghilangnya bahan-bahan
penghambat pertumbuhan sehingga dapat merangsang pertumbuhan selanjutnya (Lita
S.,2010). Perlakuan varietas (V) menunjukkan hasil
nyata umur 20 hst, dikarenakan setiap varietas memiliki respon yang berbeda-beda sehingga
mempengaruhi terhadap tinggi tanaman namun varietas BL memerlukan lahan yang
cukup air dan drainase yang baik, lahan ringan sampai geluhan atau liat berpasir disukai oleh
varietas ini dari pada lahan berat (Sugiyarta, 2007).
4.2.3. Diameter Batang
Berdasarkan analisis ragam 5% pada pengamatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst
menunjukkan interaksi antara perlakuan stratifikasi dan perbedaan varietas
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap diameter batang (lampiran 5-7).
karena setiap varietas mempunyai karakter yang sama dalam pertumbuhannya, tebu
merupakan tanaman berbiji tunggal tanaman tebu memilki batang dalam pertumbuhannya
hampir tidak bertambah besar, namun hanya bertambah tinggi dan merupakan tanman
perkebunan semusim sehingga untunk perkembangan pada batang memerlukan
waktu yang lama (Hasan BJ. 2002), Berdasrkan analisis ragam 5% pada
pengamatan umur 20 hst,30 hst dan 40 hst menunjukkan perbedaan varietas tidak
berpengaruh nyata karena setiap varietas mempunyai karakter yang berbeda–beda
dalam pertumbuhannya tergantung dari
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /34
kerjasama antara varietas dan lingkungannya (Dewi R.,2008).
4.2.4. Jumlah Daun
Berdasarkan analisis ragam 5%pada pengmatan umur 20 hst, 30 hst dan 40 hst
menunjukkan interaksi tidak berbeda nyata antara perlakuan stratikasi dan perbedaan
varietas terhadap jumlah daun (lampiran 8-10).
Berhubungan dengan parameter tinggi tanaman yang menunjukkan hasil berbeda
nyata maka pada masa pertumbuhan dengan bertambah panjang batang akan dikuti oleh
jumlah daun, namun dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
terhadap jumlah daun, hal ini diduga pada waktu penghitungan jumlah daun terdapat
daun yang telah mengering atau belum terbuka sempurna sehingga tidak termasuk hitungan
pengamatan (Edi S. 2002). Ciri-ciri yang khas pada jenis suatu tanaman
yang sedang tumbuh tampak pada perubahan tinggi, membesarnya batang, tumbuhnya daun
dan meningkatnya jumlah daun, namun proses ini berlangsung mulai tebu umur 5 minggu
(Hasan B.J. 2002).
4.2.5. Panjang Akar Berdasarkan analisis ragam 5% pada
pengamatan umur 40 hst menunjukkan interaksi tidak berbeda nyata antara perlakuan
stratifikasi dan perbedaan varietas terhadap panjang akar (lampiran 11). Hal ini diduga
dipengaruhi oleh faktor genetik, karena tanaman tebu merupakan tanaman jenis
rumput-rumputan yang memiliki sistem perakaran serabut yang peredarannya
menyebar dangkal dipermukaan tanah.
Dari hasil uji BNJ 5% pada perlakuan stratifikasi menunjukkan hasil berbeda nyata
pada umur 40 hst (tabel 5), hasil pengamatan panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan
perendaman pada suhu 51°C selama 20 menit (P2) yaitu 22,70 cm dan terendah terdapat
pada perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 30 menit (P3) yaitu 20,13 cm (tabel 5),
karena didalam bibit sudah tercukupinya air yang berfungsi untuk membantu proses
metabolisme didalam bibit yang dapat mempengaruhi perkembangan akar (Lita
S,2010)
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan maka disimpulkan: 1. Adanya interaksi yang nyata (V1P2)
terhadap tinggi tanaman pada umur 20 hst dan 40 hst.
2. Varietas BL (V1) berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 20 hst,
namun tidak berpengaruh nyata terhadap semua pengamatan.
3. Tanpa perlakuan perendaman (PO) berpengaruh nyata terhadap prosentase
tumbuh bibit umur 20 hst dan perlakuan perendaman pada suhu 51°C selama 20
menit (P2) berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 20 hst, 30 hst dan 40
hst dan terhadap panjang akar umur 40 hst.
5.2. Saran Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan maka disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari
kombinasi perlakuan, sehingga diharapkan bisa mendapatkan kombinasi perlakuan yang
dapat menghasilkan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan awal bibit tebu.
Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Putih (Brassica juncea L)
Terhadap Konsentrasi dan Waktu Pemberian Pupuk AnOrganik Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Putih (Brassica juncea L)
Oleh : Tri Kurniastuti
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
Abstracs :
Public demand for chicory progressively increased, the optimal cultivation of Chinese cabbage in the highlands, requires soil texture and nutrient content of the maximum.
Therefore, in the cultivation of Chinese cabbage in the highlands of sustainable farming systems applied.
The research was conducted on Pebruari, 2012 until April, 2012 in the Green House of Agriculture Faculty Universitas Islam Balitar Blitar, East Java Province. The study design
used was Randomized Complete factorial design is the first factor with four urea concentration level that is N0 (control), N1 (urea 15 g / L), N2 (urea 30 g / L), N3 (urea 45 g / L) and the second
factor with four times the level of fertilizer application is W0 (control/0 week), W1 (week 1), W2 (week 2), W3 (week 3)
Data obtained from this study were analyzed by analysis of variance (ANOVA), followed by the Smallest Real Differences test (LSD) 5%. Theresults of this study indicate that
there is a significant effect of time of fertilizer urea fertilizer. Treatment with urea at week 3 with a dose of 30 g / l at week-3 gives the optimum results on the growth and yield of white mustard
plant (Brassica juncea L). The study is expected to give useful advice about the possibility of cultivation in
order chicory chicory plant expansion.
Key words: white mustard (Brassica juncea L), urea fertilizer, week-3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sawi putih (Brassica juncea L)
merupakan komoditas sayuran yang penting
dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Komoditas ini memiliki keragaman yang luas
dan berperan sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi.
Tanaman sawi putih merupakan sayuran daun yang sering dibudidayakan oleh
petani Indonesia karena banyak permintaan selain karena harganya terjangkau oleh
masyarakat di Indonesia, sawi putih mudah di budidayakan di pot atau di poli bag sebagai
upaya untuk menyiasati lahan-lahan sempit secara efisien. Mengingat usahatani sayuran
sawi putih makin meningkat sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan
kesadaran masyarakat terhadap mutu gizi sayuran, mendorong peningkatan produksi.
Teknologi produksi yang tepat pada budidaya tanaman sawi diperlukan untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas hasil, sehingga dapat
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /37
memenuhi kebutuhan konsumsi dan permintaan pasar.
Sawi putih dikonsumsi daunnya sehingga lebih banyak membutuhkan unsure N
Umumnya jenis pupuk yang diberikan mengandung unsur N yang tinggi seperti
pupuk urea. Pupuk urea merupakan pupuk tunggal yang sering diaplikasikan lewat daun.
Pemupukan lewat daun ini dilakukan dengan cara melarutkan pupuk tersebut kedalam air
lalu disemprotkan ke permukaan daun. Hal ini karena pupuk urea bersifat higroskopis, mudah
larut dalam air, bereaksi cepat dan mudah menguap dalam bentuk amoniak. N
merupakan unsur penyusun klorofil yang berpengaruh terhadap mutu sayuran daun.
Pemberian N pada tanaman akan mendorong pertumbuhan organ – organ yang berkaitan
dengan fotosintesis yaitu daun. Tanaman yang cukup mendapat suplai N akan membentuk
daun yang memiliki helaian lebih luas dengan kandungan klorofil yang lebih tinggi, sehingga
tanaman mampu menghasilkan karbohidrat dalam jumlah yang cukup untuk menopang
pertumbuhan vegetatif (Wijaya.K.A, 2008).
Unsur N mempengaruhi pertumbuhan
tanaman, penampilan, warna dan hasil tanaman. N merupakan komponen penyusun
banyak senyawa organik penting di dalam tanaman ( protein, enzim, vitamin B complex,
hormon, klorofil ). Pemberian N pada tanaman akan mendorong pertumbuhan organ – organ yang berkaitan dengan fotosintesis yaitu daun.
Tanaman yang cukup mendapat suplai N akan membentuk daun yang memiliki
helaian yang lebih luas dengan kandungan klorofil yang lebih tinggi, sehingga tanaman
mampu membentuk karbohidrat/asimilat dalam jumlah yang cukup untuk menopang
pertumbuhan vegetatif. Pupuk urea sebagai sumber hara N dapat memperbaiki
pertumbuhan vegetatif tanaman, dimana tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup
N, berwarna lebih hijau (Hardjowigeno, 1987).
Pupuk urea merupakan pupuk tunggal yang mengandung unsur N 46%. Pemupukan
dengan urea dilakukan dengan cara melarutkan 30 gr pupuk tersebut ke dalam air
lalu larutan pupuk disemprotkan ke permukaan daun pada minggu ke-3. Hal ini
karena urea bersifat higrokopis yaitu mudah menarik uap air, mudah larut dalam air dan mudah diserap tanaman.
Perumusan Masalah
1. Apakah terjadi interaksi antar konsentrasi
pupuk urea (N) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih.
2. Bagaimana pengaruh konsentrasi pupuk Urea (N) pada pertumbuhan dan hasil
tanaman sawi putih. 3. Kapan pemberian pupuk Urea (N) yang
tepat pada pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih.
Tujuan
1. Untuk mengetahui interaksi konsentrasi
pupuk anorganik Nitrogen (Urea) yang tertinggi untuk pertumbuhan dan hasil
tanaman sawi putih. 2. Untuk mengetahui konsentrasi pupuk
anorganik Nitrogen ( Urea) yang terbaik l untuk pertumbuhan dan hasil tanaman
sawi putih. 3. Untuk mengetahui waktu pemberian
pupuk anorganik Nitrogen (Urea) yang terbaikl untuk pertumbuhan dan hasil
tanaman sawi putih.
Manfaat :
1. Sebagai masukan bagi petani untuk menerapkan dosis pupuk Anorganik
Nitrogen dan waktu aplikasi yang tepat agarhasil tanaman sawi meningkat.
2. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /38
Hipotesis
1. Diduga terjadi interaksi konsentrasi dan
waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman sawi putih. 2. Diduga pemberian konsentrasi pupuk
anorganik Nitrogen (Urea) yang berbeda dapat menhasilkan tanaman sawi putih
yang berbeda. 3. Diduga pemberian pupuk anorganik
Nitrogen (Urea) pada waktu yang berbeda dapat menghasilkam tanaman
sawi putih yang berbeda.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
Pebruari 2012 sampai Bulan April 2012 di Green Houe Fakultas Pertanian Unisba Blitar.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah polybag, botol 1,5 l, pengaduk, alat tulis, penggaris, timbangan, ember, alat,
hitung, gelas ukur, baki. Bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah tanah, pasir, benih sawi putih, pupuk an-organik urea, air, label dan polibag.
Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitinan Penelitian ini dilakukan dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun dengan 2 faktor yaitu :
Faktor 1 : Konsentrasi pupuk urea, dengan 4 taraf
yaitu 0 g/L (N0), 15 g/L (N1), 30 g/L (N2), dan 45 g/L (N3) ,( Firlana,2010 ).
Faktor 2 : Waktu pemberian pupuk urea (W) pada
saat umur tanaman sawi putih 0 MST, 1 MST, 2 MST ,3 MST
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Persemaian benih
Persemaian benih dilakukan dengan menggunakan media tanah dan pasir.
Jarak tanam benih 1 cm x 3 cm. Benih yang ditanam kemudian ditutup dengan
arang sekam tipis. b. Membuat media tanam
Media yang digunakan tanah topsoil, pasir halus, pupuk kandang, kompos
dengan perbandingan 2 : 1 : 1 : 1. Media tanam tersebut dicampur hingga merata,
kemudian dimasukkan dalam polibag dengan ukuran 30 x 35 cm.
c. Penanaman bibit Bibit yang telah berumur 2 minggu
(berdaun 4 helai) dipindahkan ke media tanam dalam polibag dengan ukuran 30
cm x 35 cm. Bibit yang dipilih adalah bibit yang sehat, baik dan seragam.
d. Pemberian pupuk urea Pupuk urea dicairkan dalam air dengan
konsentrasi sesuai perlakuan. Pupuk urea siap untuk diaplikasikan pada
tanaman. e. Pemeliharaan tanaman
Penyiraman dilakukan setiap hari sekali yaitu pada pagi hari atau sore hari jika
tanaman menunjukkan tanda-tanda kekurangan air.
f. Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit yang mati 3 -7 hari setelah tanam.
Penyulaman tidak dilakukan karena tanaman sawi tumbuh semua.
g. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma secara hati-hati agar
tidak merusak tanaman. h. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanik dan secara
hayati menggunakan ekstrak daun mimba.
i. Pemanenan Pemanenan dilakukan setelah sawi putih
berumur 42 HST. Kriteria panen sawi putih ketika daun paling bawah
menunjukkan warna kuning dan belum berbunga.
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /39
j. Aplikasi pupuk urea Pupuk urea yang telah siap disiramkan
ke tanaman dengan menggunakan gelas air mineral. Aplikasi pemupukan urea
dilakukan b. Pemberian pupuk Nitrogen sesuai dengan perlakuan yaitu
konsentrasi : 0 g/l, 15 g/l, g/l, 30 g/l , 45 g/l . Sedangkan waktu pemberian
yaitu: 0 MST, 1 MST, 2 MST dan 3 MST.
3. Peubah Penelitian
a. Tinggi tanaman Tinggi tanaman diukur mulai dari
permukaan tanah pangkal batang sampai titik tumbuh. Tinggi tanaman
diamati pada umur 7 HST 14 HST, HST, 21 HST, 28 HST, 35 HST.
b. Jumlah daun Jumlah daun dihitung dengan
menghitung jumlah daun tanaman. Daun yang dihitung yaitu daun yang sudah
terbentuk sempurna.
c. Luas daun (
Dilakukan dengan faktor koreksi, yaitu : mengukur panjang dan lebar daun
sampel, sampel setelah itu dilihat dengan menggunakan rumus.
LD = p x l x fk x jumlah daun
fk = x l
Dimana : LD = Luas Daun
p = panjang daun l = lebar daun
A = bobot kertas yang dipotong B = bobot kertas
C = luas kertas keseluruhan Fk = faktor koreksi, dilakukan
pada saat panen. d. Bobot segar sawi putih
Bobot sawi putih diperoleh dengan cara menimbang dengan menggunakan
timbangan analitik dengan kapasitas 5 kg. Sawi putih dicuci bersih sebelum
ditimbang setelah panen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam (ANOVA) 5%
menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk urea (N) dan waktu pemberian
pupuk (W) pada pengamatan ke 7 HST ke14, dan 21 HST (Hari Setelah Tanam)
tidak memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada peubah tinggi tanaman. Namun
pengaruh pemberian N pada umur 14 dan 21 HST memberikan pengaruh yang nyata
dimana perlakuan pemberian N dengan konsentrasi 30 g/tanaman (N2) dan 45
g/tanaman (N3) adalah yang terbaik. Pada pengamatan ke 28 dan 35 dan HST (hari
setelah tanam) menunjukkan interaksi yang nyata pada peubah tinggi tanaman,
Perlakuan yang terbaik terdapat pada kombinasi perlakuan N2W2 ( N 30 g/l dan
pemberian pupuk pada (W1) 2 MST) dan (N2W3) pemberian pupuk N 30 g/ltd an
pemberian pupuk pada (W2) 3 MST adalah yang terbaik dan berbeda nyata.
Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan
pupuk urea (N) dan perlakuan waktu pemberian pupuk (W) untuk peubah tinggi
tanaman pada umur 7 HST, 14 dan 21 HST dan 28 HST disajikan pada Tabel 1 dan
Tabel 2.
Tabel 1. Rerata tinggi tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk anorganik
Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea )pada umur 7 , 14
dan 21 hst
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /40
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama
berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam
Tinggi tanaman pada pengamatan
ke 28 HST dan ke 35 HST terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan N
2W3 dengan rata-rata 75,21 cm pada umur 28 HST dan . Perlakuan
N 2W3 menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lainnya rata-rata tinggi
tanaman 89,91 cm pada pengamatan ke 35 HSTT (Tabel 2).
Perlakuan N2W3 menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lainnya .
Tabel 1 menunjukkan bahwa pengamatan ke 7 HST, 14 HST dan 21 HST
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada perlakuan waktu pemberian N.
Tabel 2 : Rerata tinggi tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk anorganik
Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk anorganik N (Urea )pada umur 28
dan 35 HST
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama
berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam
Jumlah Daun
Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi
yang nyata pada perlakuan pemberian pupuk urea (N) dan waktu pemberian pupuk (W)
pada pengamatan ke 14, 28 sampai ke 35 HST pada peubah jumlah daun . Namun pada
pengamatan ke 21 menunjukkan interaksi yang nyata
Pad tabel 3. menunjukkan pelakuan kombinasi N2W2 merupakan kombinasi yang
paling baik untuk peubah jumlah daun dimana didapatkan rerata jumlah daun sebesar 9..32..
.
PERLA
KUAN 7 HST 14 HST 21 HST
N0 23.97 a 36.06 a 45.10 a
N1 25.12 a 35.04 a 45.92 a
N2 24.50 b 39.606 b 51.12 b
N3 25.23 b 40.79 b 51.02 b
W0 24.02 a 31.37 a 46.39 a
W1 25.12 a 33.09 a 48.61 a
W2 25.90 a 34.12 a 48.27 a
W3 26.88 a 35.45 a 49.54 a
NO PERLA
KUAN 28 HST 35 HST
1 N0W0 69.21 a 73.04 A
2 N0W1 60.32 a 73.55 A
3 N0W2 66.53 a 74.29 A
4 N0W3 61.55 a 76.72 A
5 N1W0 64.34 a 79.14 A
6 N1W1 66.09 a 81.14 A
7 N1W2 65.74 a 81.48 A
8 N1W3 66.43 a 82.38 A
9 N2W0 68.32 a 83.31 a
10 N2W1 67.36 a 74.19 a
11 N2W2 75.21 ab 87.32 ab
12 N2W3 78.67 b 89.91 b
13 N3W0 61.43 a 75.47 a
14 N3W1 61.35 a 75.26 a
15 N3W2 61.39 a 75.98 A
16 N3W3 62.27 a 76.83 a
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /41
Tabel 3. Rerata jumlah daun tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk N
(urea) dan waktu pemberian pupuk N (Urea) pada umur 21 hst
NO PERLAKUAN 21 HST
1 N0W0 6.32 a
2 N0W1 7.08 a
3 N0W2 7.67 a
4 N0W3 7.45 a
5 N1W0 7.56 a
6 N1W1 7.81 a
7 N1W2 7.90 a
8 N1W3 7.21 a
9 N2W0 7.32 a
10 N2W1 8.50 ab
11 N2W2 9.32 b
12 N2W3 8.30 ab
13 N3W0 7.16b a
14 N3W1 8.78 ab
15 N3W2 8.24 ab
16 N3W3 8,56 ab
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama
berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam
Berdasarkan analisis ragam
pengamatan jumlah daun pada pengamatan ke 14 HST, 28 HST, 35 HST dan 42 HST
menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata pada perlakuan pemberian
konsentrasi pupuk dan waktu pemberian pupuk N (Urea) .
Pada table 4 ditunjukkan bahwa jumlah daun pada pengamatan pada saat
panen diperoleh bahwa pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) a
berbeda nyata pada pemberian konsentrasi 30 g/lt (N 2 (table 4) dan didapatkan jumlah
daun tertinggi yaitu 2.56 helai. Sedangkan waktu pemberian pupuk anorganik
Nitrogen (urea) yang terbaik adalah pada 2 MST.
Tabel 4.: Rerata jumlah daun tanaman sawi putih pada perlakuan pemberian pupuk Anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk Organik Nitrogen (Urea) pada
umur 7 HST, 1 HST, 28 HST dan 35 HST
PERLAKUAN
14 HST
28 HST
35 HST
42 HST
N0 4.32 a 9.13 a 10.23 a 20.34 a
N1 5.303 b 9.08 a 12.67 a 20.21 a
N2 7.77 b 9.21 b 12.21 a 24.56 b
N3 5.22 b 8.22 a 13.53 ab 21.87 a
W0 7.73 a 9.56 a 12.57 a 21.32 a
W1 7.93 a 12.07 b 12.37 a 2340 ab
W2 8.67 a 10.33 a 13.90 b 24.56 b
W3 7.46 a 11.53 b 12.17 a 23.30 ab
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang tidak sama berbeda nyata pada uji BNT 5 %.
HST = hari setelah tanam
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /42
Dari hasil analisis statistic didapatkan hasil bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata
antara perlakuan pemberian pupuk Anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu
pemberian pupuk Organik Nitrogen (Urea) pada umur 14 HST, 28 HST, 35
HST dan 42 HST.
Pada tabel 4 ditunjukkan bahwa pada pengamatan ke 14 HST, 28dan 35
terdapat hasil yang berbeda nyata pada perlakuan pemberian pupuk anorganik
Nitrogen (urea) dengan konsentrasi 30 g/l (N2) dibandingkan dengan perlakuan yang
lain yaitu pada N0 dan N1 , dan pada perlakuan N3. Pada perlakuan konsentrasi
pemberian N (Urea) ( N2) rerata jumlah daun sebesar 9,21 pada pengamatan ke 28
HST, dan 24.56 pada pengamatan ke 42 HST lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan yang lainnya. Demikian juga pada perlakuan waktu pemberian pupuk N
(Urea). Pada perlakuan waktu pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) diperoleh
hasil bahwa perlakuan W2 (pemberian pupuk anorganik Nitrogen pada minggu ke
2 ) berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lainnya.
Pada perlakuan W 2 diperoleh jumlah daun terbanyak pada pengamatan ke
42 HST yaitu sebesar 24.56 . Pada perlakuam W1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan W 0 artinya bahwa waktu pemberian pada minggu ke 1 sama hasilnya
dengan perlakuan pemberian pupuk anorganik Nitrogen (Urea) pada minggu ke
3. Namun kedua perlakuan tersebut mendapatkan jumlah daun yang lebih
rendah dibandinagn dengan perlakuan W2
(Tabel 4).
Luas Daun
Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa perlakuan pemberian
pupuk anorganik Nitrogen (Urea) dan waktu pemberian pupuk (W) pada
pengamatan ke 42 HST memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada peubah
luas daun. Pada pengamatan ke 42 HST
perlakuan N 3W2 dengan rerata 220,25 cm² menunjukkan hasil yang terbaik dibanding
perlakuan lainnya (Tabel 5). Tabel 5. Rerata Luas Daun Pengaruh
Pemberian Pupuk anorganik Nitrogen (Urea) Dan Waktu
Pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) pada 42 (HST)
N
O
PERLAKUA
N 42 HST
NOTAS
I
1 N0W0 103.32 a
2 N0W1 111.23 a
3 N0W2 121.32 a
4 N0W3 126.21 a
5 N1W0 125.27 a
6 N1W1 133.98 ab
7 N1W2 141.53 b
8 N1W3 146.06 b
9 N2W0 132.29 ab
10 N2W1 140.72 b
11 N2W2 151.94 bc
12 N2W3 220.25 d
13 N3W0 196.30 cd
14 N3W1 201.31 cd
15 N3W2 170.34 c
16 N3W3 177.30 cd
Keterangan: Angka-angka yang
didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST =
hari setelah tanam
Hasil analisis ragam (ANOVA) 5% menunjukkan bahwa perlakuan pemberian
pupuk urea (N) dan waktu pemberian pupuk N ( urea) tidak memberikan
pengaruh interaksi yang nyata pada peubah luas daun pada pemnagamatan ke 7 HST,
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /43
14 HST, 21 HST, 28 HST dan 35 HST demikian juga pada masing-masing
perlakuan baik pada perlakuan pemberian konsentrasi pupuk N (Urea)maupun waktu
pemberian pupuk N (Urea) . Pada table 5 ditunjukkan bahwa
perlakuan N2W3 berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya
dan menunjukkan hasil luas daun yang
terbaik dibanding perlakuan lainnya yaitu sebesar 220.25 .
Tabel 6. Rerata Berat Segar Tanaman sawi
putih Pengaruh Pemberian Pupuk anorganikitrogen N (Urea) Dan
Waktu Pemberian Terhadap Berat Segar Tanaman Sawi Putih
(g) panen
NO PERLA
KUAN RERATA NOTASI
1 N0W0 530 a
2 N0W1 581 a
3 N0W2 672 a
4 N0W3 680 a
5 N1W0 632 a
6 N1W1 671 a
7 N1W2 681 a
8 N1W3 656 a
9 N2W0 690 a
10 N2W1 702 ab
11 N2W2 865 ab
12 N2W3 1089 b
13 N3W0 821 ab
14 N3W1 706 ab
15 N3W2 720 ab
16 N3W3 885 B
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam
Berat kering tanaman
Pada table 7 tersebut ditunjukkan bahwa Berat segar tanaman pada pengamatan
panen pada perlakuan N2W3 berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada
perlakuan N 2W3 menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lainnya..
Tabel 7. Rerata Pengaruh Pemberian
Pupuk anorganik Nitrogen (Urea) Dan Waktu Pemberian Terhadap
berat segar Tanaman Sawi Putih (panen)
N
O
PERLAKUA
N
RERAT
A
NOTAS
I
1 N0W0 402.32 a
2 N0W1 419.27 a
3 N0W2 433.25 a
4 N0W3 470.40 a
5 N1W0 393.60 a
6 N1W1 395.74 a
7 N1W2 395.20 a
8 N1W3 650.79 b
9 N2W0 668.54 b
10 N2W1 673.19 b
11 N2W2 873.91 bc
12 N2W3 980.85 d
13 N3W0 856.52 bc
14 N3W1 883.72 bc
15 N3W2 784.90 b
16 N3W3 900.76 cd
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5 %. HST = hari setelah tanam
Pada table 7 didapatkan hasil bahwa Rerata nilai terendah berat segar tanaman
pada pemberian pupuk N (urea) dengan konsentrasi 0 g/L dan waktu pemberian 0
MST sebesar 40.23 g sedangkan tertinggi
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /44
pada perlakuan pupuk urea 30 g pada 3 MST ((N2W3) sebesar 980.85 gr
PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam (ANOVA) 5%
menunjukkan bahwa pengaruh pemberian N (Urea) pada umur 7 HST 14 HST dan 21 HST
memberikan pengaruh yang tidak nyata dimana pada perlakuan pemberian N dengan
konsentrasi 30 g/tanaman (N2) dan 45 g/tanaman (N3) adalah yang terbaik
Perlakuan yang terbaik terdapat pada perlakuan N2 tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan N3 Pada perlakuan pemberian pupuk N
(urea) tidak memberikan perbedaan yang nyata, hal ini menunjukkan bahwa pemberian
konsentrasi 30 g/l merupakan konsentrasi yang tepat Pada prinsipnya tanaman sawi akan
tumbuh dengan baik jika kebutuhan semua unsurnya terpenuhi hal ini ditandai dengan
tanaman yang tumbuh dengan normal. Jika konsentrasi pupuk yang diberikan tepat maka
kebutuhan N oleh tanaman semakin terpenuhi, nitrogen sangat penting bagi pertumbuhan
tanaman yaitu untuk pembentukan dan pembelahan sel baik dalam daun, batang dan
akar. Fotosintesis meningkat dengan tersedianya unsur hara dan kandungan unsur N
yang tinggi akan membuat C/N menjadi rendah sehingga dapat merangsang
pertumbuhan vegetatif secara normal. Pengamatan ke, 28 dan 35 HST
menunjukkan interaksi yang nyata antar konsentrasi pupuk urea (N) dengan waktu
pemberian pupuk urea (W). Kombinasi perlakuan yang paling baik adalah perlakuan
pemberian konsentrasi 30 g/l dan diberikan pada umur 3 MST. Hal ini diduga karena
pemberian konsentrasi 30 g/l dan diberikan pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah
tanaman merupakan konsentrasi dan waktu yang tepat dimana pada saat tersebut tanaman
sedang membutuhkan unsure nitrogen untuk menambah tinggi ukuran tanamannya Hal ini
sesuai dengan pendapat Fahrudin F (2009)
menyatakan semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kebutuhan N oleh tanaman
semakin terpenuhi. Nitrogen sangat penting bagi pertumbuhan tanaman yaitu untuk
pembentukan dan pembelahan sel baik dalam daun, batang dan akar.
Upaya peningkatan efisiensi penggunaan pupuk dapat ditempuh melalui prinsip tepat
jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu aplikasi, dan berimbang sesuai kebutuhan
tanaman (Sutojo Mul Mulyani, 2002). Analisis ragam menunjukkan bahwa
pada peubah jumlah daun terdapat interaksi yang nyata perlakuan pemberian pupuk N
(urea) pengamatan ke 21 HST . Rerata jumlah daun tertinggi terendah adalah pada perlakuan
pupuk urea 0 g/L( N0W0) yaitu rerata sebesar 16,11 helai daun, sedangkan rerata jumlah
daun tertinggi pada perlakuan 30g/L (N2W2) yaitu 13.32 helai daun. Hal ini diduga bahwa
konsentrasi pupuk N (Urea) dan waktu yang diberikan sudah tepat untuk menyokong
pertumbuhan jumlah daun. Selain itu kondisi di Green House dengan sinar matahari yang
cukup , air yang cukup dan udara yang sejuk turut membantu proses pertumbuhan tanaman.
Hal ini sesuai dengan pendapat Haryanto dkk (1994) dalam Fahrudin (2009) yang
mengemukakan bahwa tanaman sawi memerlukan udara yang sejuk, maka tanaman
sawi akan lebih cepat berkembang jika ditanam pada daerah yang kelembabannya
tinggi, tetapi tanaman sawi juga tidak menyukai air yang menggenang, sehingga
tanaman sawi cocok ditanam pada akhir musim penghujan.
Urea berpengaruh meningkatkan jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
tinggi tanaman yang hampir sama terdapat jumlah daun yang berbeda karena terdapat
perbedaan ruas pada batang sawi putih. Ruas yang pendek memungkinkan jumlah daun
yang lebih banyak. Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan N3 (pupuk urea 30
g/L).
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /45
Daun memiliki klorofil yang berperan dalam melakukan fotosintesis. Semakin
banyak jumlah daun, maka tempat untuk melakukan proses fotosisntesis lebih banyak
sehingga hasilnya lebih banyak. Hal ini juga dipengaruhi tersedianya unsur yang ada dalam
tanah. Nitrogen adalah unsur makro primer
yang merupakan komponen utama berbagai senyawa dalam tubuh tanaman. Tanaman yang
tumbuh harus mengandung N dalam membentuk sel-sel baru. Fotosintesis
menghasilkan karbohidrat, O2, dan H2O; namun proses tersebut tidak dapat berlangsung
untuk menghasilkan protein dan asam nukleat bilamana N tidak tersedia. Nitrogen yang
tersedia bagi tanaman dapat mempengaruhi pembentukan protein, dan disamping itu juga
merupakan bagian integral dari khlorofil (Nyakpa et al., 1988). Dengan adanya
pemupukan, yaitu semakin meningkatnya dosis urea pada perlakuan N2 dan N3 juga
semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Howard dan Tiller (1989)
yang menyatakan bahwa takaran nitrogen tinggi nyata meningkatkan hasil biji jagung.
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara peubah
penelitian dengan berbagai kondisi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman sawi .
Jumlah daun tanaman sawi berhubungan atau dipengaruhi dengan tinggi tanaman sawi. Hal
ini karena daun merupakan organ yang terletak pada buku batang sawi . Semakin
tinggi tanaman maka jumlah daun yang terbentuk juga semakin banyak.
Data analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk urea
terhadap sawi putih berpengaruh nyata terhadap luas daun sawi putih pada
pengamatan ke- 42 HST. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian pupuk sesuai
dengan kebutuhan tanaman, sehingga dapat mempengaruhi luas daun sawi putih.
Luas daun tersebut berperan dalam meningkatkan proses fotosintesis tanaman.
Semakin luas daun pada sawi dan semakin banyak jumlah klorofil maka fotosisntesis
akan berjalan lancar dengan adanya cahaya matahari yang mendukung. Kualitas hidup
tanaman juga sangat bergantung dari ketercukupan hara dari lingkungannya, selain
ditentukan oleh kemampuan tanaman dalam menyerap, perolehan hara juga tergantung dari
tingkat ketersediaan hara di tanah. Pemberian urea mampu menambah
unsur hara dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman meningkat karena
fotosintesis meningkat dengan tersedianya unsur hara. Jumlah dan ukuran luas daun
dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Urea mampu meningkatkan ketersediaan hara
N tanah disekitarnya. Daun merupakan organ penting tanaman yang berperan dalam proses
fotosintesis karena terdapat klorofil. Luas daun dan jumlah klorofil yang tinggi akan
menyebabkan proses fotosintesis berjalan dengan baik. Semakin besar luas daun
tanaman maka penerimaan cahaya matahari akan juga lebih besar. Cahaya merupakan
sumber energi yang digunakan untuk melakukan pembentukan fotosintat. Luas daun
yang tinggi, maka cahaya akan dapat lebih mudah diterima oleh daun dengan baik
(Fahrudin, 2009) Hasil analisis ragam (ANOVA) 5%
menunjukkan bahwa perlakuan pupuk urea (N) dan waktu pemberian pupuk (W) pada
pengamatan ke-42 HST memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada peubah
berat segar tanaman. Pengaruh perlakuan pupuk urea (N)
pada saat panen memberikan pengaruh nyata pada peubah berat segar tanaman, demikian
juga perlakuan waktu pemberian pupuk (W) juga memberikan pengaruh nyata. Anova
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5%
untuk mengetahui pengaruh perlakuan pupuk urea (N) dan perlakuan waktu pemberian
pupuk (W) untuk peubah berat segar tanaman pada umur 42 HST disajikan pada Tabel 8.
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /46
Perlakuan konsentrasi urea 30 g/L, memberikan berat segar tanaman tertinggi
yaitu 900.76 g. Meningkatnya berat segar tanaman selain tinggi dan jumlah daun, juga
karena luas daun. Luas daun tersebut berperan dalam meningkatkan proses fotosintesis
tanaman. Semakin luas daun sawi putih dan semakin banyak jumlah klorofil maka
fotosintesis akan berjalan lancar dengan adanya cahaya matahari yang mendukung.
Luas daun menunjukkan berbeda nyata, berat segar tanaman ini dipengaruhi oleh keadaan
hara yang tersedia dalam media. Tinggi tanaman dan jumlah daun
berpengaruh pada berat segar tanaman. Semakin besar tinggi tanaman dan semakin
banyak jumlah daun, maka berat segar tanaman akan meningkat.
Berat segar tanaman dapat dipengaruhi oleh besar tinggi tanaman dan
semakin banyak jumlah daun, maka berat kering tanaman akan meningkat. Penelitian ini
menunjukkan bahwa berat segar tanaman meningkat dengan penggunaan pupuk urea.
Meningkatnya berat segar tanaman selain tinggi dan jumlah daun, juga karena luas daun
yang mempengaruhi berat segar tanaman sawi putih. Luas daun tersebut berperan dalam
meningkatkan proses fotosintesis tanaman. Jumlah daun tanaman sawi
dipengaruhi dengan tinggi tanaman sawi. Hal ini karena daun merupakan organ yang
terletak pada buku batang sawi. Diduga semakin tinggi tanaman maka jumlah daun
yang terbentuk juga semakin banyak, selain itu tinggi tanaman. Jumlah daun dan luas daun
diduga berpengaruh terhadap hasil panen yaitu berat segar tanaman dan berat kering tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Adapun kesimpulan penelitian ini adalah
sebagai berikut : Agar tanaman mempunyai pertumbuhan
dan hasil yang tebaik maka pemberian pupuk anorganik Nitrogen ( urea ) sebesar 30 g/l dan
waktu aplikasi pemberian pupuk anorganik Nitrogen (urea) yang tepat pada 3 MST yaitu
pada perlakuan N 2W3.
2. Saran 1) Pemberian pupuk anorganik harus hati-
hati jangan mengenai daun tanaman karena dapat memberikan efek terbakar
pada daun tanaman sawi. 2) Konsentrasi 30 g/l dan waktu 3 MST
adalah tepat agar budidaya tanaman sawi putih .
3) Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap pemberian pupuk urea
terhadap waktu aplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Cholil, M. 2008. Pengaruh dosis pupuk bokasi dan urea terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman sawi. Blitar : Skripsi Agronomi Universitas Islam Balitar
Fahrudin F. 2009. Budidaya Caisim (Brassica juncea L.) Menggunakan Ekstrak Teh
Dan Pupuk Kascing. Surakarta. Skripsi Universitas Sebelas Maret.
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Medyatama sarana Perkasa. Jakarta.
Hlm. : 73-76.
Hardjowigeno. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta :
Akademika Presindo. Hal 54 -123
Haryanto, E., T. Suhartini, E. Rahayu, dan
H.H. Sunarjono. 2006. Sawi dan Selada. Jakarta: Penebar Swadaya.
Http://free.vlsm.org/v12/artikel. Brassica juncea (L.) 9 November 2011
Http://zuldesains.wordpress.com. Budidaya Tanaman Sawi.10 November 2011
Jumin Hasan Basri. 2002. Agronomi. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada. Hal 98 – 124
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /47
Kasno. A. 2009. Jenis dan Sifat Pupuk Anorganik. Jakarta: Balai Penelitian Tanah
Lingga Pinus & Marsono. 2007. Petunjuk Pengunaan Pupuk. Jakarta Penebar
Swadaya.
Niviza. 2007. Petunjuk Pemupukan Yang
Efektif. Jakarta : PT Agromedia Puataka.
Nyakpa, Y.M., A.A. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, Go Ban
Hong dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Unila, Lampung.
Pradani Aida dan Hariastuti Evi Muftiviani. 2009. Pemanfaatan Fraksi Cair Isolat
Pati Ketela Pohon Sebagai Media Fermentasi Pengganti Air Tajin Pada
Pembuatan Sayur Asin. Semarang: Universitas Diponegoro Semarang.
Prasetyo B. 2009. Pengaruh dosis dan frekuensi pupuk cair terhadap serapan
n dan pertumbuhan sawi (brassica juncea l.) Pada entisol. Malang. Jurnal
Ilmu Tanah Universitas Brawijaya
Prihmantoro Heru. 2005. Memupuk Tanaman
Sayur. Jakarta : Penebar Swadaya.
Rukmana, R. 2002. Bertanam Petsai dan
Sawi. Yogyakarta: Kanisius
Sunarjono, H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur.
Jakarta: Penebar Swadaya
Sunarjono, H. 2006. Bertanam 30 Jenis Sayur.
Jakarta: Penebar Swadaya
Sanchez, A.P. 1976. Sifat dan Pengelolaan
Tanah Tropika. Jilid I. Diterjemahkan oleh J.T. Jayadinata. Bandung:
Penerbit ITB
Sutejo Mul Mulyani.2002. Pupuk Dan Cara
Pemupukan. Jakarta : Rineka Cita. Hal 14- 169.
Suwandi dan A. Azirin. 1986. Penelitian Pemupukan Berimbang dalam
Meningkatkan Produksi dan Mutu Hasil Hortikultura (Sayuran).
Prosiding lokakarya Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 6-7
Agustus 1986. PPT, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian, pp.
Suyitno Al dan Sudarsono. 2004. Pengaruh
Jenis dan Dosis Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan Kangkung
Darat (Ipomoea sp) dan Caisim (Brassica juncea) pada Tanah Pasir
Kawasan Pantai Samas, Bantul. Yogyakarta
Syukur. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap Sifat-Sifat Tanah
dan Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir Pantai. Karanganyar: Jurnal
Ilmu Tanah Dan Lingkungan
Wijaya K.A. 2008. Nutrisi tanaman. Jakarta :
Prestasi Pustaka. Hal 17-33
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /48
Pengaruh Penggunaan Pupuk Petroganik Dan Seed Treatment Fungisida Berbahan Aktif Metalaksil Terhadap Pertumbuhan Vegetatif
Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Oleh : Jeka Widiatmanta
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of fertilizer use and determine Made Active Petroganik and fungicides metalaxyl proper plant growth corn (Zea mays L.). research was
conducted in the village Karanganom, District Nglegok, Blitar, with height 90 meters above sea level, in May to July 2012. The study was conducted using a randomized block design (RBD)
Contrast Orthogonal factorial with two factors. The first factor is Petroganik fertilizer dose of 100 grams/plant (P1), 200 grams/plant (P2), 300 grams/plant (P3) and the second factor is the
Based on the analysis of diversity and BNT 5% Petroganik fertilizer effect on plant growth (plant height and leaf area). Petroganik 300 grams of fertilizer planting showed the best
growth. Interaction between fertilizer Petroganik with fungicide Metalaxyl on the parameters of
plant height, P3M3 combination gives relatively better results compared with other treatments. Overall Metalaxyl fungicide dose did not significantly affect all plant vegetative growth
parameters corn (Zea mays L.)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) sampai saat ini
masih merupakan komoditi strategis kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung
masih merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Di beberpa daerah di
Indonesia jagung merupakan makanan pokok dan juga sebagai bahan baku untuk pakan
ternak dan bahan baku industri. Dari tahun ketahun kebutuhan akan jagung terus
mengalami peningkatan, memacu para petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Dengan
semakain berkembangnya industri pengolahan pangan dan taraf hidup ekonomi masyarakat,
maka kebutuhan akan jagung juga semakain
menigkat pula. Penyakit adalah salah satu penghabat
keberhasilan petani jagung karena kerugian yang diakibatkan sangat besar. Salah satu
factor pembatas produksi dan kualitas hasil jaganung di Indonesia adalah penyakit, di
samping tingkat kesuburan tanah yang rendah dan kekeringan (R. Neny Iriani et al. 2003).
Penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah penyakit bulai (donwny mildew), penyakit
bercak daun ( Leaf bligh), penyakit karat daun (Rust), penyakit tongkol bengkak (corn
smut/boil smut), penyakit busuk biji dan busuk tongkol tahun.
Pengendalian yang selama ini dilakukan masih mengalami berbagai
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /49
kesulitan terutama mengenai teknologi yang digunakan. Dengan teknik pengendalian yang
benar dan tepat, makan penurunann produksi jagung akibat penyakit bulai tersebut dapat
dikendalikan. Pengendalian yang efektif untuk menekan penyakit tanaman jagung pada saat
ini masih menggunakan fungisida. Hal ini mengakibatkan kecenderungan petani
menggunakan fungisida semakin meningkat. Cara pengendalian penyakit bulai pada
tanaman jagung, dilakukan dengan cara mencampur fungisida sistemik pada biji
jagung (seed treatment). Fungisida sistemik dengah bahan aktif
Metalaksil diharapkan dapat menekan intensitas serangan penyakit bulai pada
khususnya dan penyakit-penyakit lainya pada tanaman jagung. Pengujian tersebut dilakukan
untuk mengetahui level dosis efektif yang dapat mengendalikan penyakit bulai.
1.2 Perumusan Masalah
Kebutuhan jagung di Indonesia saat ini semakain meningkat, namun saat ini budidaya
tanaman jagung mengalami kendala dengan mewabahnya penyakit bulai (donwny mildew)
Untuk itu perlu adanya upaya untuk melalakukan antisipasi atau pengendalian
yang efektif. 1. Bagaimanakah penggaruh interaksi
penggunaan kombinasi pupuk Petroganik dengan Metalaksil terhadap tingkat
serangan penyakit Bulai dan pertumbuhan vegetatif tanaman jagung hibrida.
2. Bagaimanakah pengaruh pupuk petroganik terhadap pertumbuhan
vegetatif tanaman jagung hibrida. 3. Bagaimanakah penggaruh fungisida
berbahan aktif Metalaksil terhadap tingkat serangan penyakit Bulai pada tanaman
jagung hibrida.
1.3 Tujuan Tujuan dari pada penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk Petroganik dan fungisida berbahan
aktif Metalaksil terhadap serangan Bulai (donwny mildew) dan terhadap
pertumbuhan vegetatif tanaman jagung hibrida.
2. Untuk mengetahui pengaruh pupuk Petroganik terhadap pertubuhan vegetatif
tanaman jagung hibrida. 3. Untuk mengetahui pengaruh seed
treatment Metalaksil terhadap pengendalian penyakit bulai.
1.3 Hipotesis
1. Diduga ada interaksi antara pemberianpupuk Petroganik dan fungisida
Metalaksil terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung hibrida.
2. Diduga dosis pupuk Petroganik tertentu memberikan pertubuhan vegetatif
tanaman jagung yang baik dan seragam. 3. Diduga dosis fungisida berbahan aktif
Metalaksil mampu mengendalikan serangan penyakit bulai (Downy mildew)
pada tanaman jagung hibrida.
BAB III METODOLOGI
3.1 Tempat dan waktu Penelitian ini dilakukan di desa
Karanganom, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar dengan ketinggian tempat 90 m dpl.
Pelaksanaan sekripsi pada bulan Mei sampai Juli 2012.
1.2 Alat dan Bahan
1.2.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah timbangan analitik, meteran, tali rapia, cangkul, ajir, sabit, sarung
tangan dan alat tulis.
1.2.2 Bahan Sedangkan bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung varietas Hibrida, fungisida sistemik
berbahan aktif metalaksil 35% (Redomil 35 SD) dan pupuk Petroganik dan air.
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /50
1.3 Metode Penelitian Metode penelitian ini merupakan
percobaan Faktorial yang di susun dalam Rancangan Acak Kelompok ( RAK ) yang
terdiri dari dua faktor dan di ulang tiga kali adapun faktor kedua tersebut adalah :
Faktor I : Dosis pupuk Petroganik yang terdiri dari empat taraf yaitu :
P0 : Tanpa pupuk Petroganik. P1 : Dosis pupuk Petroganik 100 gr
per tanaman. P2 : Dosis pupuk Petroganik 200 gr per
tanaman. P3 : Dosis pupuk Petroganik 300 gr per
tanaman. Faktor II : Dosis fungisida Metalaksil yang
terdiri dari empat taraf yaitu : Mo : Dosis fungisida Metalaksil 5 gr
per 1 kg benih M1 : Dosis fungisida Metalaksil 10 gr
per 1 kg benih M2 : Dosis fungisida Metalaksil 15 gr
per 1 kg benih M3 : Dosis fungisida Metalaksil 20 gr
per 1 kg benih Dengan demikian akan di peroleh 14
kombinasi yaitu : P0 M0 I ; P0 M1 II ; P0 M2 III
P1 M0 I ; P1 M1 II ; P1 M2 III P2 M0 I ; P2 M1 II ; P2 M2 III
P3 M0 I ; P3 M1 II ; P3 M2 III Kombinasi antara perlakuan di atas sebanyak
tiga kali sehingga di peroleh 48 petak perlakuan. Penempatan 12 kombinasi
perlakuan pada masing-masing ulangan di lakukan secara acak.
1.4 Pelaksanaan Penelitian
1.4.1 Tahap Persiapan a. Benih
Benih jagung yang dipersiapkan yaitu jagung varietas Hibrida.
b. Pengolahan tanah
Tanah diolah/dibajak dengan kedalaman 30 cm. Sebelum dilakukan
pemgemburan lahan, gulma terlebih dahulu dibersihkan dengan cara disemprot herbisida
Gramogson 1 minggu sebelumnya.
1.4.2 Tahap Pelaksanaan 1.4.2.1 Cara Aplikasi
Sebelum ditanam benih jagung dicampur dengan fungisida berbahan aktif
metalaksil 35%, sesuai perlakuan sedangkan tanaman kontrol tanpa perlakuan fungisida.
Setelah didiamkan selama satu malam sesuai perlakua.
1.4.2.2 Penanaman dan pemeliharaan
Benih jagung ditanam dengan cara di tugal sedalam 5 cm, 1 biji perlubang tanam
dengan jarak tanam 70 x 20 cm, kemudian diuruk pupuk petroganik sesuai perlakuan dan
ditutup tanah. Pemeliharaan dilakukan dengan pengairan sesuai kebutuhan dan pemberiaan
pupuk sesuai kebiasaan petani setempat.
1.5 Parameter Pengamatan Pengamatan dilakukan sampai tanaman
jagung berumur 35 hari, yaitu dimulai pada saat tanaman berumur 15 hst sampai 35 hst
dengan interval 5 hari. Pengamatan tersebut meliputi:
1. Tinggi tanaman di ukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh
2. Jumlah daun di hitung dari jumlah daun yang telah membuka sempurna dan masih
hijau dari pangkal batang. 3. Luas daun (cm) dengan menggunakan
metode factor koreksi dengan rumus: LD = P x L x FK ( Dimana LD : Luas
Daun, P : Panjang daun maksimum, L : Lebar Daun maksimum, FK : 0,67
(Maftuchan dan Idiyah, 1994) 4. Prosentase tingkat serangan penyakit
bulai
1.6 Analisa Data Data yang di peroleh dianalisis
keragamannya dengan uji F, untuk mengetahui
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /51
perbedaan diantara perlakuan digunakan uji BNT 5%.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Tinggi Tanaman
Secara terpisah perlakuan dosis pupuk Petroganik memberikan pengaruh yang nyata
terhadap tinggi tanaman pada umur 20 hari setelah tanam dan berpengaruh sangat nyata
pada umur 30 hari setelah tanam. Sedangkan fungisida Metalaksil tidak menunjukan
pengaruh yang nyata. Hasil uji rata-rata tinggi tanaman dari berbagai umur pengamatan
menyangkut perlakuan pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil yang diberikan secara
terpisah disajikan pada Tabel 3:
Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman ( cm ) pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan
Rata-rata Tinggi Tanaman (cm)
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0 26.79 a 31.42 a 42.33 a 53.21 a 129.50 a
P1 26.92 a 31.79 a 42.54 a 53.58 b 130.25 a
P2 27.13 a 32.21 b 42.71 a 53.75 bc 130.92 a
P3 27.17 a 32.25 b 43.96 a 53.67 c 131.71 a
BNT 5% tn n tn n tn
M0 26.63 a 31.67 a 42.54 a 53.42 a 129.58 a
M1 27.08 a 31.79 a 43.38 a 53.58 a 130.46 a
M2 27.21 a 32.04 a 42.54 a 53.58 a 131.21 a
M3 27.08 a 32.17 a 43.08 a 53.63 a 131.13 a
BNT 5% tn tn tn tn tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tidak
terjadi interaksi yang nyata antara dosis pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil
terhadap tinggi tanaman pada umur 15 hari setelah tanam sampai umur 30 hari setelah
tanam. Namun terjadi interaksi yang nyata pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksi
terhadap tinggi tanaman pada umur 35 hari
setelah tanam (lampiran 15). Hasil uji rata-rata tinggi tanaman pada berbagai umur
pengamatan menyangkut interaksi pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan
Rata-rata Tinggi Tanaman (cm)
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0M0 26.67 a 31.17 a 42.83 a 53 a 129.33 a
P0M1 26.83 a 31.33 a 42.5 a 53.33 a 130 a
P0M2 26.67 a 31.67 a 42.33 a 53.17 a 129.33 a
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /52
P0M3 27 a 31.5 a 41.67 a 53.33 a 129.33 a
P1M0 26.5 a 31 a 41.67 a 53.33 a 129 a
P1M1 26.67 a 31.67 a 42.5 a 53.5 a 129.17 a
P1M2 27.33 a 32 a 42.67 a 53.83 a 131.5 b
P1M3 27.17 a 32.5 a 43.33 a 53.67 a 131.33 b
P2M0 27 a 32.17 a 42.83 a 53.83 a 130.33 a
P2M1 27.5 a 32 a 42.83 a 53.83 a 130.33 a
P2M2 27.17 a 32.33 a 42.17 a 53.5 a 131.33 b
P2M3 26.83 a 32.33 a 43 a 53.83 a 131.67 b
P3M0 26.33 a 32.33 a 42.83 a 53.5 a 129.67 a
P3M1 27.33 a 32.17 a 45.67 a 53.67 a 132.33 c
P3M2 27.67 a 32.17 a 43 a 53.83 a 132.67 c
P3M3 27.33 a 32.33 a 44.33 a 53.67 a 132.17 c
BNT 5% tn tn tn tn n
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n =
nyata
Tabel 4 menunjukan bahwa perberian
perlakuan berbeda nyata dengan kontrol hanya pada umur 35 hari setelah tanam. Sedangkan
pada tabel 4 menunjukan pemberian pupuk Petroganik 300 gram pertanaman
menghasilkan rata-rata tinggi tanaman relatif lebih tinggi pada berbagai umur pengamatan
meskipun berbeda nyata hanya pada umur 20 hari setelah tanam dan pada umur 30 hari
setelah tanam. Dari hasil pengamatan terlihat perlakuan P3 menunjukkan tinggi tanaman
yang relative lebih baik dan menunjukkan beda nyata terhadap tinnggi tanaman.
Sedangkan fungisida Metalaksil tidak berbada
nyata terhadap tinggi tanaman.
4.1.2. Jumlah Daun
Hasil analisis ragam menujukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata antara
pemberian dosis pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil terhadap jumlah daun
pada berbagai umur pengamatan (lampiran 18, 21, 24 27 dan 30). Hasil uji rata-rata jumlah
daun akibat pengaruh pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata jumlah daun tanaman pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan
Rata-rata Jumlah Daun
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0 7.00 a 8.83 a 11.25 a 13.33 a 15.25 a
P1 7.08 a 8.75 a 11.42 a 13.67 a 15.25 a
P2 7.25 a 9.08 a 11.08 a 13.42 a 15.25 a
P3 7.33 a 9.08 a 11.58 a 13.50 a 14.42 a
BNT 5% tn tn tn tn tn
M0 7.00 a 8.83 a 11.17 a 13.17 a 15.00 a
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /53
M1 7.17 a 8.83 a 11.08 a 13.33 a 15.00 a
M2 7.17 a 8.92 a 11.58 b 13.42 a 14.50 a
M3 7.33 a 9.17 b 11.50 b 14.00 a 15.67 a
BNT 5% tn tn tn tn tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
Dari hasil analisis ragam menujukkan
bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara pupuk Petroganik dengan fungisida
Metalaksil terhadap jumlah daun pada berbagai pengamatan (lampiran 18,21,24 27
dan 30). Kombinasi P1M3 dan P3M3
menunjukkan nilai rata-rata tertinggi, namun
tidakt terlihat berbeda nyata dengan perlakuan yang berbeda. Rata-rata jumlah daun tanaman
pada berbagai umur pengamata disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata jumlah daun tanaman pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan
Rata-rata Jumlah Daun
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0M0 7 a 8.67 a 11 a 13 a 15 a
P0M1 7 a 8.67 a 11 a 13 a 15 a
P0M2 7 a 9 a 11.33 a 13.33 a 15.33 a
P0M3 7 a 9 a 11.67 a 14 a 15.67 a
P1M0 7 a 8.67 a 11 a 13 a 15 a
P1M1 7 a 8.67 a 11.33 a 13.67 a 15 a
P1M2 7 a 8.67 a 11.67 a 13.67 a 15.33 a
P1M3 7.33 a 9 a 11.67 a 14.33 a 15.67 a
P2M0 7 a 9 a 11 a 13.33 a 15 a
P2M1 7.33 a 9 a 11 a 13.67 a 15 a
P2M2 7.33 a 9 a 11.33 a 13.33 a 15.33 a
P2M3 7.33 a 9.33 a 11 a 13.33 a 15.67 a
P3M0 7 a 9 a 11.67 a 13.33 a 15 a
P3M1 7.33 a 9 a 11 a 13 a 15 a
P3M2 7.33 a 9 a 12 a 13.33 a 12 a
P3M3 7.67 a 9.33 a 11.67 a 14.33 a 15.67 a
BNT 5% tn tn tn tn tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /54
4.1.3. Luas Daun Tabel 7. Rata-rata luas daun pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan
Rata-rata luas daun (cm)
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0M0 9.62 43.49 122.83 207.70 339.60
P0M1 11.40 45.72 128.42 221.07 328.55
P0M2 12.34 134.00 134.00 214.37 328.75
P0M3 11.56 44.67 145.17 227.73 366.27
P1M0 11.56 47.95 145.17 227.37 335.89
P1M1 10.95 48.02 150.75 240.73 330.50
P1M2 13.45 49.13 150.75 226.08 330.50
P1M3 10.73 50.19 145.17 227.77 328.35
P2M0 12.80 50.25 150.75 220.67 335.89
P2M1 11.95 47.95 139.58 230.98 366.27
P2M2 13.31 51.37 161.92 242.83 355.55
P2M3 13.79 50.80 145.17 236.53 373.41
P3M0 12.59 53.47 139.58 243.23 346.41
P3M1 13.00 46.90 161.92 240.33 346.41
P3M2 14.39 50.80 150.75 240.87 375.20
P3M3 15.39 58.07 150.75 262.50 382.35
BNT 5% tn tn tn tn tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n =
nyata
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara dosis
pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil terhadap luas daun pada semua umur
pengamatan (lampiran 33, 36, 39, 42 dan 45). Dari kombinasi pupuk Ptroganik dengan
fungisida Metalaksil pada Tabel 7 : terlihat, P3M3 menunjukkan rata-rata luas daun yang
relative lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi yang lain.
Secara terpisah pemberian pupuk Petroganik berpengaruh nyata terhadap luas
daun pada umur 15 hari setelah tanaman sampai pengamatan umur 35 hari setelah
tanam. Sedangkan pemberian pemberian sfungisida Metalaksil tidak berpengaruh nyata
terhadap luas daun (lampiran 33, 36, 39, 42 dan 45).
Tabel 8. Rata-rata luas daun pada berbagai umur pengamatan
Perlakuan
Rata-rata luas daun (cm)
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0 11.10 a 11.64 a 44.64 a 139.58 a 340.79 b
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /55
P1 11.68 b 11.82 b 48.82 b 143.77b 332.66 a
P2 12.96 ab 13.37 ab 50.76 c 149.35 b 360.46 ab
P3 13.84 c 12.74 b 51.78 c 146.56 ab 362.59 c
BNT 5% N n n n n
M0 11.64 a 47.15 a 132.60 a 224.74a a 342.1 3 a
M1 11.82 a 48.26 a 146.56 a 233.28 a 342.93 a
M2 13.37 a 48.99 a 149.35 a 231.04 a 346.96 ba
M3 12.74 a 51.60 a 150.75 a 238.63 ba 364.48 a
BNT 5% tn tn tn tn tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n =
nyata
4.1.4. Serangan Penyakit Bulai (downy
mildew L.)
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara
dosis pupuk Petroganik dengan fungisida Metalaksil terhadap serangan penyakit bulai
(downy mildew L.) pada semua umur pengamatan lampiran 48, 52, 55, 58 dan 61.
Perlakuan P3M3 menunjukkan prosentase
serangan penyakit bulai yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pemberian
pelakuan yng lainnya. Ini dapat dilihat dari hasil rata-rata prosentase serangan penyakit
bulai pada berbagai umur pengamatan pada Tabel 9:
Tabel 9. Rata-rata prosentase tingkat serangan penyakit Bulai (%)
Perlakuan
Rata-rata Serangan Penyakit Bulai (%)
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0M0 1 1 3 3 1
P0M1 1 1 2 2 1
P0M2 1 1 2 2 0
P0M3 0 0 0 0 1
P1M0 2 2 3 3 0
P1M1 1 1 2 2 1
P1M2 1 1 2 2 0
P1M3 0 0 0 0 0
P2M0 1 1 2 2 1
P2M1 1 1 2 2 0
P2M2 2 2 2 2 0
P2M3 1 1 1 1 0
P3M0 1 1 1 1 0
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /56
P3M1 1 1 1 1 0
P3M2 0 0 0 0 0
P3M3 0 0 0 0 0
BNT 5% tn tn tn tn tn
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
Secara terpisah pula pemberian
fungisida Metalaksil juga tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan penyakit
bulai (downy mildew L.) pada setiap pengamatan, demikian juga pemberian
pupuk Petroganik. Dari perlakuan P3 dan M3
menunjukkan tingkat serangan penyakit Bulai
yang relatif lebih kecil di bandingkan dengan perlakuan yang lain. Rata-rata prosentase
serangan penyakit bulai disajikan pada Tabel 10 :
Keterangan : angka-angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNT 5%. tn = tidak nyata, n = nyata
4.2. Pembahasan 4.2.1. Pengaruh penggunaan pupuk petroganik
dan Seed Treatment fungisida berbahan aktif metalaksil terhadap
pertumbuhan Vegetatif tanaman jagung (Zea mays L.)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara dosis
pupuk Petroganik dengan fungisida Metelaksil terhdap tinggi tanaman, jumlah daun dan
panjang daun serta tingkat serangan penyakit bulai. namun telihat berbeda nyata terhadap
tinggi tanaman pada umur 35 hari setelah
Perlakuan
Prosentase Tingkat Serangan Penyakit Bulai (%)
15 hst 20 hst 25 hst 30 hst 35 hst
P0 0.75 a 0.75 a 1.75 a 1.50 a 0.75 a
P1 1.00 a 1.00 a 1.50 a 1.50 a 0.25 a
P2 1.25 1.25 a 1.75 a 1.75 a 0.25 a
P3 0.50 a 0.50 a 0.50 a 0.50 a 0.00 a
BNT 5% tn tn tn tn tn
M0 1.25 a 1.25 a 1.75 a 1.75 a 0.5 a
M1 1 a 1 a 1.75 a 1.75 a 0.5 a
M2 0.75 a 1 a 1.50 a 1.5 a 0 a
M3 0.25 a 0.25 a 0.50 a 0.25 a 0.25 a
BNT 5% tn tn tn tn tn
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /57
tanam. Hal ini diduga unsur-unsur Nitrogen pada pupuk Petroganik baru bisa diserap oleh
tanaman pada umur 35 hari setelah tanam. Perlakuan pupuk Petroganik P3M3
Menunjukkan interaksi yang bebeda nyata dengan perlakuan yang lain hal ini diduga
pada umur 35 hari setelah tanam, unsur Metalaksil yang tersimpan masih banyak
sehingga perkembangan jamur bulai terhambat. Demikian juga dengan dosis pupuk
petroganik 300 gram pertanaman diduga lebih banyak menyediakan unsure C organik dan
Nitrogen yang cukup. karena tidak ada perbedaan panjang batang atau tinggi
tanaman, jumlah daun dan luas daun pada jagung yang diberi pupuk Petroganik dengan
perlakuan berbeda dengan fungisida Metalaksil dengan perlakuan berbeda pula.
Syarief (1988) menyatakan bahwa perlakuan pupuk kandang akan mengakibatkan
persenyawaan Nitrogen yang terdapat dalam bahan dalam keadaan aerop. Ammonium yang
terbentuk akan dioksidasi oleh jasad renik (Nitrosomonas dan Nitrosococcus) menjadi
Nitrit dan akan diubah menjadi Nitrat oleh Nitrobacter yang kemudian dimanfaatkan
oleha tanaman. Pemberian pupuk organik juga mampu meningkatkan kehidupan jasat renik,
terutama dalam perombakan Phospat an organik, selanjutnya jasad renik akan
melepaskan asam sehingga dapat melarutkan persenyawaan Phospat yang mudah diserap
oleh tanaman. Selain itu, perlapukan dan perombakan bahan organik mempunyai
peranan yang penting dalam pembentukan tanah remah.
Secara terpisah pemberian dosis pupuk Petroganik dengan dosis 300 gram pertanaman
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuan tanaman tinggi tanaman dan luas
daun . Diduga terjadi perbaikan setruktur tanah yang berakibat perakaran tanaman
jagung berkembang dengan baik sehingga dapat menyerap unsur hara tanah secara
optimal. Sesuai pendapat Syarief (1988) bahwa pelapukan pupuk kandang akan
mengakibatkan persenyawaan Nitrogen yang terdapat dalam bahan dalan keadaan aerop,
Ammonium yang terbentuk akan dioksidasi oleh jasad renik (Nitrosomonas dan
Nitrosococcus) menjadi Nitrit dan akan diubah menjadi Nitrat oleh Nitrobacter yang
kemudian dimanfaatkan oleh tanaman. Pemberian pupuk organik juga mampu
meningkatkan kehidupan jasad renik, terutama dalam perombakan Phospat an organik,
selanjutnya jasad renik akan melepaskan asam sehingga dapat melarutkan spersenyawaan
Phospat yang mudah diserap oleh tanaman. Selain itu, pelapukan dan perombakan bahan
organik mempunyai peran penting dalam pembentukan tanah remah.
Dari hasil penelitan ini terlihat bahwa perlakuan pupuk Petroganik dan fungisida
Metalaksil dengan dosis 300 gram per tanaman dan 20 gram 1 kg benih menunjukan
tingkat luas daun atau tinggi tanaman yang relatif lebih baik dibandingkan dengan
perlakuaan kombinasi pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksi yang lain.
Hasil analisa data rata-rata luas daun telihat bahwa penggunaan pupuk Petroganik
dengan dosis 300 gram pertanaman menunjukkan tingkat perbedaan yang nyata.
Hal ini diduga kandungan Nitrogen, Photspor dan C/N organik pada Petroganik mencukupi
kebutuhan tanaman. Disamping itu diduga juga dengan pupuk organik yang melimpah
setruktur tanah menjadi lebih remah dan gembur, sehingga daya serap akar tanaman
lebih leluasa dan efektif dalam menyerap unsur-unsur hara pada tanah. Bahan organik
tanah merupakan bagian dari tanah dan mempunyai fungsi yaitu : meningkatkan
kesuburan tanah dan menyediakan mikro hara dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang
biasanya tidak disediakan oleh pupuk kimia (anorganik). Tanah dengan bahan organik
yang rendah, mempunyai daya sangga hara yang rendah, sehingga pemupukan kurang
efisien. Tanah yang subur mengandung bahan organik sekitar 3-5%. Dengan penggunaan
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /58
pupuk organik atau pengembalian bahan organik kedalam tanah akan berpengaruh pada
kesuburan tanah, sehingga terjadi peningkatan produksi hasil pertanian, efisiensi penggunaan
pupuk dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.(Rizqi, 20012)
Hasil penelitian Hendayani (2005) menunjukan bahwa Perlakuan pupuk organik
kotoran yam memberikan hasil terbaik pada tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah dan
kering tanaman, bobot basah dan kering akar. Dosis pupuk organik kotoran ayam 4kg/petak
memberikan hasil terbaik pada jumlah cabang, jumlah polong total, jumlah biji total dan
jumlah bintil akar pada tanaman kacang hijau. Pupuk kandang jenis kotoran ayam yang
kering mengandung kadar air kurang dari 15 persen, hal ini akan mengurangi kekurangan
ammonia dan akan menghasilkan pupuk kandang yang baik dan tidak terlalu bau,
sehingga mudah ditangani dalam pendistribusiannya. Berat pupuk kotoran ayam
ini lebih ringan dari pupuk kandang lainnya, tapi kandungan
haranya lebih tinggi yakni 24 kg N/ton, 20 kg P2O5/ton dan 15 kg K2O/ton (Simpson,
1986). Setiap jenis hewan khususnya kotoran unggas misalnya ayam, termasuk pupuk
kandang yang bernilai tinggi, karena pada umumnya unggas pemakan tanaman atau
bagian-bagian tanaman utama. Kandungan unsur hara pada pupuk kandang ayam adalah
N, P, K dan Ca berturut-turut adalah 1,63% Urea; 1,84% P2O5; 0,85% K2O dan 1,07%
CaO dalam bahan kering 44,00 % (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988).
Hasil penelitian Mustari (2004) menunjukan bahwa pupuk bokashi dapat
diguanakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman jagung. Hal ini berarti
bahwa pupuk bokashi dapat digunakan dalam pengembangan usaha tani ramah lingkungan,
karena selain tidak menyebabkan pencemaran, bahan tanaman juga dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk. Hasil penelitian terhadap tanaman jagung manis varietas Hawaii Super-
sweet dengan menggunakan bokashi kayambang pada takaran 11,82 t h-1
memberikan hasil jagung tanpa kelobot sebesar 11,03 t h-1, sedangkan pemberian
pupuk anorganik sesuai anjuran hanya memberikan hasil jagung manis sebesar 7,90 t
h-1. Hasil penelitian Mustari (2004)
menunjukan bahwa pupuk bokashi dapat diguanakan untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas tanaman jagung. Hal ini berarti bahwa pupuk bokashi dapat digunakan dalam
pengembangan usaha tani ramah lingkungan, karena selain tidak menyebabkan pencemaran,
bahan tanaman juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Hasil penelitian terhadap
tanaman jagung manis varietas Hawaii Super-sweet dengan menggunakan bokashi
kayambang pada takaran 11,82 t h-1 memberikan hasil jagung tanpa kelobot
sebesar 11,03 t h-1, sedangkan pemberian pupuk anorganik sesuai anjuran hanya
memberikan hasil jagung manis sebesar 7,90 t h-1.
Menurut Fisher dan Goldsworthy (1985), Pemberian pupuk dari bahan organik
yang diberikan memacu perkembangan luas daun. Meningkatnya luas daun berarti
kemampuan daun untuk menerima dan menyerap cahaya matahari akan lebih tinggi
sehingga fotosintat dan akumulasi bahan kering akan lebih tinggi pula. Ratna (2002),
mengemukakan bahwa apabila unsur hara tersedia dalam keadaan seimbang dapat
meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan bobot kering tanaman, akan tetapi apabila
keadaan unsur hara dalam kondisi yang kurang atau tinggi akan menghasilkan bobot
kering yang rendah. Hasil penelitian juga menunjukan
bahwa tidak ada perbedaan tingkat serangan penyakit bulai antara yang diberi pupuk
Petroganik dan fungisida Metalaksil. Hal ini diduga karena telah mewabahnya penyakit
pada musim panen yang menyeluruh pada tananam, Dan wilayah tersebut merupakan
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /59
lahan endemik penyakit bulai,sehingga perlu ditingkatkan intensitas pemberian pupuk
organik dan dosis fungisida, selain itu
diperlukan kajian-kajian terhadap faktor lain selain pupuk organik dan fungsida.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Dengan penggunaan pupuk Petroganik dan fungisida Metalaksil terjadi interaksi yang
nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 35 hari setelah tanam. Sedangkan
parameter jumlah daun, luas daun dan sengangan penyakit bulai tidak terjadi
interaksi. Perlakuan dosis pupuk petroganik 300 gram per tanaman dan
fungisida 20 grm/kg memberikan hasil paling baik pada parameter jumlah daun,
luas daun dan tingkat serangan penyakit bulai.
2. Perlakuan dosis pupuk Petroganik berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman
dan berpengaruh sangat nyatat terhadap luas daun dan tidak berpengaru nyata
terhadap jumlah daun dan tingkat serangan penyakit bulai. Perlakuan pupuk
Petroganik 300 gram pertanaman memberikan hasil paling baik pada
berbagai parameter. 3. Perlakuan fungisida Metalaksil tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tenaman jagung dan tidak berpengaruh
nyata terhadap tingkat serangan penyakit bulai pada tanaman jagung.
5.2. Saran
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat serangan
penyakit bulai antara yang diberi pupuk dan fungisida. Hal ini terjadi dikarenakan
mewabahnya hama pada musim panen yang menyeluruh pada tananam di wilayah tersebut,
sehingga perlu ditingkatkan intensitas pemberian pupuk organik dan dosis fungisida,
selain itu diperlukan kajian-kajian terhadap faktor lain selain pupuk organik dan fungsida.
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius. Yogyakarta.
Anonim. 1996. Pesticed Information Profiles; Metalaxyl.
http://extoxnet.orst.edu/pips/reflist10.htm. diferifikasit tanggal 16 september
metalaxyl.htm. Diferifikasi tanggal 16 September 2008.
Analisa Usaha Tani Mina Padi Pertanian Organik ( Studi Kusus di Desa Jabung Kecamatan
Talun Kabupaten Blitar)
Oleh : Luhur Aditya Prayudhi
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
Ringkasan Mina padi merupakan sistem pola pemeliharaan yang di lakukan secara bersamaan dengan
tanaman padi di lahan pertanian. Budidaya ikan dan padi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani.
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui praktek, seperti mendaur ulang unsur hara dari bahan-bahan organik (seperti kompos dan
sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan yang tepat dan menghindari pupuk pestisida secara bertahap.
Berdasarkan uraian diatas di rumuskan beberapa permasalahan yaitu : Berapa besar tingkat biaya produksi, penerimaan, pendapatan dan efisiensi usaha tani mina padi
pertanian organik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa tingkat biaya produksi, penerimaan, pendapatan
dan tingkat efisiensi pada usaha tani mina padi pertanian organik. Hipotesis yang di ajukan pada penelitian ini adalah diduga usaha tani mina padi pertanian
organik dapat memberikan keuntungan bagi petani dan telah mencapai tingkat efisiensi. Lokasi penelitian di tentukan secara purposive. Responden petani mina padi di tentukan
secara Proportionate Stratifred Random Sampling. Dari jumlah populasi jumlah 77, yang terdiri 51 petani yang mengusahakan Pola I (padi- ikan-padi) dan 26 petani yang mengusahakan Pola II
(padi-ikan). Metode data yang di pergunakan adalah kuantitatif yang meliputi (a) perhitungan biaya,
penerimaan, pendapatan dan efisiensi. (b) analisa rata-rata biaya penerimaan, pendapatan dan efisiensi. (c) perhitungan B/C Ratio.
Hasil dari penelitian ini adalah : rata-rata total biaya produksi yang di keluarkan pada pola I Rp 11.346.982, sedang pola II Rp 9.313.160, rata-rata penerimaan pada pola I Rp 32.440.000,
dan pola II Rp 27.700.000, dan pendapatan pada pola I Rp 20.233.018, dan pola II Rp 17.526.840
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /62
Dari Analisa hubungan antara hasil yang diterima dengan pemilihan pengusahaan usaha tani mina padi untuk Chi kuadrat diperoleh X² hit (3,89) > X² 0,05(1) (3,84), yang berarti ada
hubungan hasil yang diterima dengan pemilihan pengusahaan usaha tani mina padi. Hasil analisa koefisiensi kontigensi di peroleh C= 0,219 secara signifikan berbeda dengan 0 ,
maka yang di observasikan bukan hasil kebetulan, melainkan mewakili hubungan yang sungguh-sungguh terdapat di dalam populasinya.
Dari hasil B/C Ratio di peroleh nilai (2,33) > 1 Sedangkan dari hasil tingkat efisien R/C Ratio pada pola I (2,96) pola II (2,97) > 1
Saran yang perlu di perhatikan adalah (1) Dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan pada usaha tani mina padi di Desa Jabung, perlu kiranya tidak ada perubahan di antara ke dua pola
tersebut. (2) Perlu kiranya perluasan usaha untuk mengembangkan usaha tani mina padi, mengingat usaha tani mina padi belum banyak di kembangkan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Untuk meningkatkan produksi
pertanian, khususnya tanaman bahan pangan, menurut Mubrianto, (1997) dan Teken (1974)
antara lain dapat ditempuh dengan jalan diversivikasi salah satu pertimbangan utama
dari usaha diversivikasi adalah stabilitasi dalam pendapatan pertanian dan
menghindarkan ketergantungan pada salah satu jenis komoditi. Dimana salah satu bentuk
dari diversivikasi, yaitu dengan cara mengusahakan perpaduan antara usaha tani
bahan pangan dengan cabang usaha tani yang lainnya.
Penggunaan pestisida yang berlebihan dan terus-menerus dalam jangka yang panjang
akan berakibat rusak ekosistem dalam air serta polutan dalam air tanah, hal tersebut seperti
yang dikemukakan oleh Herawati, (1997). Hal tersebut sangatlah beralasan karena secara
otomatis binatang-binatang kecil baik itu hama maupun agen hayati akan mati karena
pemberian pestisida yang terlebih. Secara tidak langsung hal tersebut akan merugikan
petani itu sendiri dan generasi yang akan dating.
Dengan terbentuknya usaha tani mina padi tersebut, maka daerah Talun dapat
memanfaatkan ketersediaan air secara
maksimal dan lebih hemat dalam penggunaan
pupuk dan pestisida. Diharapkan pelaksanaan usaha tani
mina padi yang bebas residu pestisida ini akan mampu memberikan nilai tambah nilai jual
terhadap produksi padi yang bebas pestisida. Sementasi penjualan padi mengarah kepada
kalangan konsumen menengah keatas, yang mana jenis padi yang diusahakan pada usaha
tani yang bebas pestisida lebih aman untuk dikonsumsi.
Dengan demikian, pelaksanaan usaha tani mina padi akan mampu menerapkan
kesinambungan pertanian yang berkelanjutan. Sistem perikanan terpadu, ini
adalah suatu metode budidaya ikan yang dipadukan dengan usaha pertanian didalam
lahan yang sama yang harus mengarah kepada peningkatan efisiensi penggunaan lahan,
karena berbagai jenis usaha diterapkan. Budidaya ikan mendatangkan hasil
atau panen setelah pemeliharaan selama kurang lebih 2-3 bulan. Selama itu petani
kurang mendapatkan pemasukan sehingga berakibat terjerat hutang. Peristiwa semacam
ini dapat dihindarkan dengan pelaksanaan metode budidaya secara terpadu, karena
sumber masukan tidak hanya berasal dari perikanan atau padi saja tetapi dari sumber-
sumber lain yang mempunyai masa pemeliharaan yang lebih singkat, sehingga
mengurangi tanah yang kosong. Usaha mina padi ini juga dapat memperkecil resiko
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /63
kehilangan sumber-sumber penghasilan, karena tidak hanya mengandalkan salah satu
jenis usaha yang dapat digantikan (subtitusi) dengan usaha jenis lain.
Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pemilihan tentang pola-pola
pengusahaan usaha yang akan dilakukan antara lain: tingkat pendidikan petani, luas
lahan yang dimiliki petani dan umur petani. Petani memilih pola pengusahaan
tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga untuk
memperoleh pendapatan tunai, meratakan penyebaran tenaga kerja, mengurangi resiko
kegagalan, serta penghematan terhadap biaya produksi.
Tidak itu saja, menjalani berbagai aktivitas usaha tani yang dilakukan harus
dapat mengalokasikan sumber daya yang sama dengan tujuan yang hendak dicapai. Banyak
keinginan untuk mencapai tujuan yang bermacam-macam, hal ini terlihat pada pola-
pola pengusahaan yang beragam. 1.2. Perumusan Masalah
Usaha tani mina padi pertanian organik yang bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan petani, diperlukan suatu analisis yang akurat sehingga usaha yang dijalankan
menjadi ekonomis dan efisien. Beras organik merupakan komoditi pangan yang berkualitas
tinggi dan residu pestisida yang membahayakan kesehatan manusia
memerlukan teknis budidaya yang cukup besar resikonya, namun dengan imbalan harga yang
cukup tinggi nilainya. Mengusakan pertanian organik khususnya padi dan ikan berarti ikut
menyelamatkan lingkungan dari pencemaran pupuk dan pestisida buatan. Dengan
mengidentifikasi permasalahan dari beberapa aspek usaha tani mina padi dan hubungan
dengan faktor-faktor sosial ekonomi yang ada hubungan dengan pemilihan pola yang
diusahakan dalam kegiatan usaha tani mina padi pertanian organik.
Penjelasan tentang pertanian organik diatas menimbulkan permasalahan pertanian
yang dapat di rumuskan menjadi sebagai pertanyaan peneliti berikut:
Berapa besarnya tingkat biaya produksi, penerimaan, pendapatan dan efisiensi
usaha tani mina padi pertanian organik pada dua pola usaha.
1.3. Tujuan dan Kegunaan
1.3.1. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisa tingkat biaya produksi,
dan pendapatan pada usaha mina padi pertanian organik.
2. Mengetahui hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi dengan
pemilihan pola pengusahaan usaha tani mina padi.
1.3.2. Kegunaan dari penelitian adalah : 1. Sebagai media informasi dalam usaha
pengembangan usaha tani mina padi. 2. Rekomendasi untuk pengembangan
usaha tani mina padi organik bagi petani organik.
1.4. Kerangka Pemikiran
Usaha tani yang dimaksudkan adalah kombinasi dalam penggunaan dari perpaduan
faktor-faktor, tenaga kerja, modal dan mempelajari cara-cara dari pada penelitian
dari pada jenis dan jumlah cabang-cabang usaha tani baik cabang pertenakan, perikanan
ataupn pertanian yang akan memberikan masukan pendapatan yang relative tinggi dan
kontinyu. Usaha tani mina padi adalah suatu tipe
usaha tani campuran (mixed farming) dengan sistem tumpang sari. Menurut Toher (1975),
adfalah sistem bercocok tanam selama satu tahun, pada sebidang tanah yang terdiri dari
beberapa jenis komoditi secara bergilir, bersisip, atau bertumpang sari untuk
meningkatkan produksi tanaman pangan dan pendapatan petani per satuan serta per satuan
waktu. Hasil tambah yang beupa ikan,
produksi padi juga akan meningkatkan bila di
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /64
bandingkan produksi di sawah atau tidak sekali ditebari ikan, hal ini karena :
1. Ikan memakan tumbuh-tumbuhan kecil (gulma) dan plankton yang sering bersaing
dengan tanaman padi dalam mendapatkan makanan. Jadi hal ini akan berakibat pada
pertumbuhan padi yang menjadi lebih baik. 2. Ikan akan menghasilkan kotoran dari sisa-
sisa metabolisme yang berfungsi sebagai pupuk untuk mempercepat pertumbuhan
padi, sehingga akan meningkatkan jumlah produksi padi.
3. Ikan juga memakan jentik-jentik, serangga’ dan binatang air yang sering menjadi hama
bagi tanaman padi. Hal ini akan menguntungkan petani karena dapat
menekan penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama tanaman padi.
4. Dalam mencari makan ikan (terutama ikan mas dan ikan majalaya) akan membolak-
balikkan lumpur sawah, sehingga berdampak yang baik bagi tanah yaitu
memperbaiki struktur tanah. Pada prinsipnya dalam usaha tani
bermotivasi untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh keluarga, yaitu dengan
memenuhi kewajiban sosialnya untuk mempertahankan dan meningkatkan statusnya
serta berproduksi untuk mencapai efisiensi ekonomi setinggi-tingginya dari penggunaan
sumber-sumber produktif yang dimiliki. Untuk menghitung efisiensi dalam unit
ekonomi yaitu perbandingan antara penerimaan yang diperoleh dengan modal
yang tanaman dalam suatu usaha. Bagi suatu usaha masalah efisiensi adalah lebih penting
dibandingkan dari pada pendapatan, karena pendapatan yang besar belum bisa dipakai
suatu ukuran bahwa suatu unit usaha tersebut telah berjalan secara efisiensi. Sedangkan
efisiensi baru dapat diketahui dengan membandingkan penerimaan yang diperoleh
dengan modal yang menghasilkan penerimaan tersebut (Anonymoun, 1982).
Sehubungan dengan masalah efisiensi, Soekarjo (1976) berpendapat, bahwa efisiensi
adalah hubungan rata-rata input dan output baik dalam satuan fisik maupun kombinasi
dari keduanya adalah kekhususan dalam memperhitungkan keuntungan maksimal
tentang pertambahan input yang dihubungkan dengan harga masing-masing dalam usaha
mencapai keuntungan. Dengan diketahuinya secara jelas dan
nyata maka nilai efisiensi usaha taninya, dengan begitu maka diharapkan dapat
merupakan salah satu factor yang menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil
keputusan bagi petani dalam menjalankan usaha taninya.
Petani dalam mengambil keputusan dan kebiksanaan mengenai usaha taninya
selalu mempertimbangkan resiko yang akan diterimanya. Kemampuan petani dalam
menerima resiko berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Petani sebagai pengusaha sudah barang tantu akan mempertimbangkan agar
mendapatkan manfaat usaha taninya sehingga keuntungan dari usaha taninya selalu
diharapkan oleh petani, dimana perbandingan nilai hasil produksi dalam usaha tani selalu
dipertimbangkan. Dalam suatu kegiatan usaha tani adalah
mengadakan perhitungan biaya produksi dan pendapatan usaha tani. Sedangkan pendapatan
usaha tani yang diterima petani dipengaruhi oleh tingkat hasil, harga biaya usaha tani itu
sendiri. Dengan demikian pendapatan petani selalu dipengaruhi oleh besar kecilnya dari
usaha taninya. Walaupun produksi yang diperoleh
tinggi penting artinya bagi petani, tetapi ditinjau dari segi ekonominya petani lebih
tertarik kepada hubungan-hubungan antara biaya produksi dan penerimaan produksinya.
Dimana hubungan biaya produksi tersebut pada dasarnya untuk mengetahui tingkat
pendapatan usaha tani yang bersangkutan. Seharusnya petani dalam melaksanakan usaha
taninya lebih memperhatikan dan memperhitungkan nilai ekonominya.
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /65
Adanya berbagi tingkat pendidikan dapat mempengaruhi usaha tani dalam
mengelola usaha tanimya, terutama dalam pemilihan pola-pola pengusahaan yang akan
diusahakan serta dalam mengadopsi teknologi yang inovatif. Makin tinggi tingkat pendidikan
semakin dinamis sikapnya terhadap hal-hal yang sifat baru dan pola pemikirannya pun
semakin rasional. Sehingga dalam mengambil keputusan tentang pola-pola pengusahaannya
akan tepat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai serta dapat memberikan
efisiensi yang lebih menguntungkan. Luas lahan garapan juga mempunyai
pengaruh terhadap pengambilan keputusa terhadap pola-pola pengusahaannya serta
dalam penggunaan inovasi-inovasi baru. Dengan lahan yang luas maka mempunyai
pola pengusahaannya lebih beraneka ragam dan lebih bebas dalam menilai jenis komoditi
yang dapat memberikan keuntungan secara maksimal.
Selain itu juga umur petani mempunyai pengaruh terhadap kemampuan fisik petani
dalam mengelola usaha taninya. Hal ini juga pengaruh terhadap pengambilan kepuasan
terhadap pola-pola pengusahaan dan penggunaan inovasi
Komponen kedua yang diperlukan dalam analisa pendapatan dan efisiensi usaha
tani adalah alokasi dan besarnya biaya produksi. Biaya produksi di dalam usaha tani.
Pola-pola pengusahaan yang beragam akan memberikan biaya, penerimaan dan tingkat
efisiensi yang berbeda-beda pula. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka
dapat dibandingkan dan ditentukan pola yang lebih menguntungkan untuk di usahakan. Pola
pengusahaan dengan pendapatan dan tingkat efisiensi yang tinggi adalah pola yang menjadi
idaman petani.
1.5. Hipotesis Hipotesis dapat diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Diduga usaha tani mina padi organik dapat memberikan keuntungan bagi
petani. b. Diduga usaha tani mina padi organik
telah mencapai tingkat efisiensinya.
1.6. Pembatasan masalah dan pengukuran Variabel
1. Usaha Tani: adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja, modal yang ditujukan
pada produksi di lapangan pertanian atau ketatalaksanaan organisasi itu sendiri di
usahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang. Dalam penelitian ini usaha yang
diteliti adalah usaha tani mina padi. 2. Mina Padi: adalah suatu sistem
pemeliharaan ikan yang dilaksanakan bersama padi di sawah. Dalam pelitian ini
usaha tani mina padi dilakukan di sawah yang telah dimodifikasikan menjadi
kolam. 3. Pendapatan Petani mina padi: adalah nilai
bersih dari penerimaan usaha tani mina padi yang merupakan selisih antara total
penerimaan total biaya produksi yang di nyatakan dengan uang. Pendapatan atau
hasil diluar dari usaha mina padi tidak dianalisis dan usaha tani tersebut
diperhitungkan secara perumusan. 4. Pertanian Organik: Sistem pertanian yang
memperdayakan dan mempertahankan ekosistem secara berkelanjutan. Sistem ini
hanya sedikit mengandalkan unsur kimia dalam meningkatkan produksi.
Untuk kegiatan usaha taninya dilaksanakan pada musim tanam tahun 2010/2011 sampai
musim tanam 2011, dengan pengusahaan sebagai berikut:
Pola I : Padi-ikan-padi Pola II : Padi-ikan
1.6.2. Pengukuran Variabel
1. Biaya Produksi: adalah semua pengeluaran yang di nyatakan dengan uang yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu produk.
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /66
2. Biaya Tenaga Kerja: adalah suatu biaya yang dikeluarkan untuk sejumlah tenaga
kerja yang digunakan dalam suatu usaha tani. Tenaga kerja yang diperlukan dalam
usaha tani mina padi meliputi; tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar
keluarga yang terdiri dari tenaga kerja pria dan wanita. Tenaga kerja diukur dari
Satuan Harian Kerja Setara Pria (HKSP) dan berdasarkan upah yang berlaku pada
waktu itu. Tenaga kerja wanita disamakan dalam satuan HKSP berdasarkan tingkat
upah yang berlaku di daerah itu. Sedangkan tenaga kerja anggota keluarga petani
didasarkan upah yang berlaku untuk jenis pekerjaan yang sama. Biaya tenaga kerja
merupakan perkalian antara jumlah penggunaan tenega kerja (HKSP) dengan
nilai satuan HKSP. 3. Biaya Sarana Produksi; adalah biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh sarana produksi yang digunakan dalam suatu
usaha tani. Biaya saprodi yang di gunakan dalam usaha tani mina padi adalah biya
pembelian bibit padi, pupuk dan bibit ikan. Semua sarana produksi di pergunakan yang
dihitung sebagai biaya. Sarana produksi yang dimiliki sendiri dinilai berdasarkan
harga yang berlaku saat penggunaan Besarnya biaya saprodi di hitung dari
jumlah fisik penggunaan dan harga pembelian per satuan berat fisik.
4. Biaya sewa lahan: merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menyewa lahan yang
dipergunakan untuk proses produksi. Ditinjau dari segi perusahaan maka dalam
usaha tani tidaklah berbeda antara lahan milik sendiri dan lahan sewa. Karena lahan
milik sendiri dianggap sewa. Petani hendaklah memberikan balas jasa terhadap
penyediaan dan penggunaan lahan milik sendiri yang besarnya sama dengan
penerimaan petani seandai kata lahan tersebut disewakan.
5. Bunga modal: dalam perhitungan usaha tani rente atau bunga modal diperhitungkan
juga sebagai pengeluaran. Besarnya bunga modal usaha tani ditentukan besar kecilnya
bunga uang yang di pinjam, yang dipergunakan dalam usaha taninya.
Besarnya modal di tentukan oleh besarnya modal yang dipergunakan, jumlah waktu
proses produksi dantingkat bunga yang dikeluarkan dalam usaha taninya. Dalam
penelitian ini bunga modal dihitung dengan mengalikan jumlah penggunaan uang
selama satu tahun dengan presentase bunga bank yaitu sebesar 1,5% setahun.
6. Produksi usaha tani: total pengeluaran dari usaha tani tersebut. Dalam penelitian ini
produksi usaha taninya adalah padi dan ikan. Besarnya produksi tiap hektar di
nyatakandengan satuan kwintal (kw) yang di perhitungkan dengan jalan membagi
produksi fisik dan area usaha taninya. 7. Penerimaan usaha tani; adalah nilai
produksi yang merupakan hasil kali produk yang diperoleh dengan tingkat harga yang
berlaku, pada saat penelitian dinilai dengan uang.
8. Pendapatan usaha tani; adalah nilai bersih dari penerimaan usaha tani mina padi, yaitu
merupakan selisih antara total penerimaan usaha tani dengan total biaya produksi,
yang di nyatakan dengan uang dalam waktu satu tahun.
9. Koefisien Kontigensi: suatu ukuran keadaan asosiasi atau relasi antara dua himpunan
artibur yang digunakan untuk memberikan petunjuk tentang tingkat hubungan antara
dua himpunan atribut.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode ini dilakukan dengan metode
survei, karena dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini akan diambil dari sebagaian
populasi yang representative yang mewakili anggota populasi.
Pengambilan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja berdasarkan studi
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /67
lapang yang dilakukan untuk melihat kesesuaian daerah penelitian dengan tujuan
yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan pada keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.
3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian
Penentuan penelitian yang dilakukan dengan sengaja. Dalam hal ini ditetapkan di
desa Jabung kecamatan Talun kabupaten Blitar. Penetuan di desa Jabung sebagai daerah
penelitian atas dasar pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang
berpotensi dalam usaha mina padi, yang mempunyai pola pengusahaan sebagai berikut:
1) Pola I : padi-ikan-padi 2) Pola II: padi-ikan
Disamping itu desa Jabung juga mempunyai areal yang cukup luas yang
dipergunakan untuk usaha mina padi, dan produksi yang dihasilkan per ha relative
tinggi. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan
pada awal musim penghujan tahun 2010 sampai musim kemarau tahun 2011.
3.2. Metode Penelitian Petani Contoh
Petani contoh adalah petani yang mengusahakan usaha tani mina padi pada
lahan yang diusahakan. Penentuan petani contoh dilakukan dengan menggunakan
metode “Pengambilan Sampel Acak terstrata” secara berimbang (Proportionate Stratifred
Random Sampling). Pengambilan ini didasarkan pada pertimbangan keadaan
populasi yang tidak homogen. Dengan demikian populasi petani didaerah penelitian
akan terwakili dan tidak menumpuk pada salah satu strata tertentu. Sedangkan strata
yang dipergunakan adalah berdasarkan pola pengusahaan, yaitu :
1. Strata I : Pola I (padi-ikan-padi) 2. strata II : Pola II (padi-ikan)
Berdasarkan tujuan dilapang diperoleh besarnya populasi petani dengan jumlah 77,
yang terdiri 51 petani yang mengusahakan pola I dan 26 petani yang mengusakan pola II.
Dari besarnya populasi di atas baik petani yang mengusahakan pola I atau pola II, maka
penentuan jumlah sampel ditentukan sejumlah 40 % dari masing-masing populasi. Adapun
respondan dari masing-masing strata adalah sebagai berikut :
Untuk pola I : 25 responden dari 51 petani. Untuk pola II : 20 responden dari 26 petani.
Tidak ada aturan tegas tentang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu
penelitian dari populasi yang tersedia. Namun mengenai jumlah sampel yang disebut adalah
aturan sepersepuluh,dengan arti minimal pengmbilan sampel lebih dari sepuluh persen
dari jumlah populasi. Dengan mengacu pada hal tersebut, maka jumlah sampel pada kedua
pola yang diusahakan sudah memenuhi syarat.
3.3. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer
yang diperoleh langsung dari petani. Wawancara juga dilakukan kepada pihak-
pihak yang mengetahui permasalahan usaha mina padi, PPL dan Aparat desa.
Untuk mendukung kelengkapan data dari petani , dikumpulkan juga data sekunder yaitu
data yang diambil dari laporan laporan baik dari instansi-instansi pemerintahan yang
terkait dengan penelitian ini maupun hasil-hasil penelitian yang terdahulu yang dianggap
cukup relevan.
3.4. Metode Analisa Data 3.4.1.Perhitungan biaya penerimaan,
pendapatan dan efisiensi. 1. Perhitungan Biaya
Perhitungan yang dilakukan secara perusahaan yaitu meliputi; biaya sewa lahan, bunga
modal, biaya saprodi, biaya tenaga kerja. Besarnya biaya produksi dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut : TC=TFC+TVC
Dimana : TC : Total Biaya (Rp)
TFC : Total Biaya Tetap (Rp) TVC : Total Biaya Variabel (Rp)
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /68
2. Perhitungan Penerimaan Untuk menghitung besarnya pendapatan
kotor atau penerimaan dapat digunakan rumus sebagai berikut :
TR=PxQ Dimana :
TR : Total Penerimaan (Rp) P : Harga Persatuan Produksi (Rp/kw)
Q : Jumlah Produksi (kw)
3. Perhitungan pendapatan Pendapatan/keuntungan usaha tani
merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya, maka di rumuskan :
π = TR-TC Dimana :
R : Pendapatan/keuntungan (Rp) TR : Total Penerimaan (Rp)
TC : Total Biaya (Rp)
4. Perhitungan Efisiensi Efisiensi merupakan perbandingan antara
total penerimaan dan total biaya, yang di rumuskan :
TR R/C Ratio =
TC Dimana :
R/C Ratio : Tingkat Efisiensi TR : Total Penerimaan
TC : Total Biaya Kreteria suatu usaha tani efisiensi, impas
atau tidak efisien adalah sebagai berikut :
1. Bila R/C Ratio < 1, maka usaha tani dapat dikatakan tidak efisien/merugi.
2. Bila R/C Ratio = 0, maka usaha tani dapat dikatakan impas.
3. Bila R/C Ratio > 1, maka usaha tani dapat dikatakan efisien
(menguntungkan). Perhitungan Keuntungan Cost Ratio (B/C
Ratio) B/C Ratio perupakan perbandingan antara
nilai tambah penerimaan dengan nilai tambah biaya, yang dirumuskan sebagai berikut :
Selisih penerimaan usaha tani
B/C Ratio= Selisih usaha tani
Dengan kreteria sebagai berikut :
1. Bila B/C Ratio < 1, maka ada penerununan pendapatan
2. Bila B/C Ratio ≠ 0, maka tidak ada peningkatan pendapatan
3. Bila B/C Ratio > 1, maka ada peningkatan
Untuk mengetahui terhadap pemilihan pola pengusahaan usaha tani mina padi di
gunakan uji statistic chi kuadrat dan tabulasi.
Cara pengujian untuk analisis chi kuadrat
adalah dengan terlebih dahulu membuat tabel-tabel arah, sehingga akan diperoleh tabel
sebagai berikut
Tabel 1. Tabel dua arah dalam analisis chi kuadrat ( χ2 ).
Variabel Bebas
Variabel tidak bebas
Pola pengusahaan Jumlah
< 20 Juta >20 Juta
Pola I 9 (11,7) 45 (58,4) 54(70,1)
Pola II 6 (7,8) 17(22,1) 23(29,9)
Total 15(19,5) 62(80,5) 77(100)
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /69
Selanjutnya chi kuadrat dari tabel 2X2 diatas dirumuskan sebagai berikut:
N{|(ad – bc ) | - N / 2}2
X2 : (a + b)(c + d)(a + c)(b + d)
Dimana;
A,B,C,D : jumlah frekuensi kejadian
N=a+b+c+d : jumlah frekuensi keseluruhan kejadian
(a+b), (c+d) : jumlah frekuensi kejadian dalam baris
(a+c), (b+d) : jumlah frekuensi kejadian dalam kolom
Hipotesis yang di ajukan;
H0 : Tidak ada hubungan antara pemilihan
pola pengusahaan usaha tani mina padi.
Hi : Ada hubungan antara pemilihan pola
pengusahaan usaha tani mina padi.
Kreteria uji; Jika X2 hit ≤ X2 α (1), terima H0 dengan taraf
kepercayaan α = 0,05
Jika X2 hit > X2 α(1), terima Hi dengan taraf
kepercayaan α = 0,05. Untuk mengetahui tingkat korelasi, dilanjutkan dengan uji
koefisien kontigaensi dengan menggunakan rumus sebagai berikut;
√X2
C:
N+X2 Dimana :
C : Koefisien kontigensi X2 : chi kuadrat
N : Jumlah responden Kreteria uji;
1. Jika ada asosiasi tidak terdapat nol sama sekali, koefisien harus sama dengan nol.
2. Jika korelasi sempurna, koefisien itu harus sama dengan nol.
4.2. Pembahasan
4.2.1.Analisa Biaya Produksi, Penerimaan, Pendapatan dan Efisiensi Usaha Tani
Mina Padi. Dalam melaksanakan usaha tani maka
tidak terlepas dari masalah biaya dan pendapatan. Angka dimaksut dengan biaya
dalam hal ini adalah semua nilai korbanan dari berbagai input produksi selama proses
berlangsung, selisih anrata hasil yang diterima dengan biaya yang di keluarkan di sebut
pendapatan usaha tani.
4.2.2. Biaya Produksi Dalam setiap kegiatan usaha di bidang
pertanian pada akhirnya akan dinilai hasil yang akan diperoleh dari biaya yang di
keluarkan selama proses produksi berlangsung.
Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dinyatakan dalm bentuk uang selama
selama proses produksi berlangsung untuk menghasilkan sesuatu produk. Dalam analisis
ini biaya produksi ditinjau dari sudut perusahaan, yaitu pengeluaran haruslah
diperhitungkan sebagai biaya. Menurut sifatnya biaya usaha tani di
golongkan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap(variabel). Yang termasuk biaya variabel
adalah bibit padi, bibit ikan dan biaya tenaga kerja. Dalam penelitian ini tidak ada biaya
untuk membeli obat-obatan. Sedangkan biaya tetapnya meliputi biaya sewa tanah, bunga
modal dan biaya lain-lain. 4.2.2.1. Biaya variabel.
Biaya variabel adalah biaya yang dapat mempengaruhi maupun menentukan besar
kecilnya nilai produksi, yang meliputi biaya:
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /70
A. Biaya Sarana Produksi. Biaya sarana produksi adalah biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh sarana produksi yang digunakan dalam suatu usaha
tani. Biaya sarana produksi yang di gunakan untuk
usaha mina padi meliputi biaya pembelian bibit padi, pupuk dan bibit ikan. Rata-rata
penggunaan tambahan biaya sarana produksi usaha mina padi per hektare yang di keluarkan
oleh petani dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6. Rata-rata penggunaan dan tambahan
biaya srana produksi per hektare pada masing-masing pola pengusahaan usaha mina
padi.
Jenis Biaya Sarana
Produksi
Pola Pengusahaan Mina Padi
Pola I Pola II
Fisik
(kg)
Nilai (Rp) Fisik (kg) Nilai (Rp)
Bibit Padi (kg) 60 300.000 30 150.000
Pupuk Kandang (kw) 9 ton 1.902.700 6,5 ton 1.287.000
Bibit Ikan (rean)
Koi
Majalaya
3 2
1.500.000 200.000
2 2
1.000.000 200.000
Jumlah 3.902.700 2.637.000
Harga untuk bibit padi Rp 5000,-/kg, harga
pupuk kandang Rp 21.000,-/kw dan harga masing-masing untuk bibit ikan koi Rp
500.000,-/rean, bibit ikan majalaya Rp 100.000,-/rean.
Dari tabel 6. terlihat bahwa adanya perbedaan dalam penggunaan bibit padi antara
pola I dan pola II tersebut. Pada pola I rata-arta penggunaan bibit padi
sebesar 60 kg/ha dan pola II sebesar 40 kg/ha. Penggunaan bibit padi pada pola I lebih besar.
Hal ini disebabkan karena dalam pola II penanaman padi tidak terlalu banyak.
Pada pola I rata-rata penggunaan pupuk kandang masing-masing sebesar 9 ton/ha.
Sedangkan pada pola II rata-rata penggunaan pupuk kandang 6.5 ton/ha. Penggunaan pupuk
pada kedua pola tersebut juga menunjukkan perbedaan. Hal ini di samping karena
penggunaan bibit yang berbeda juga disebabkan karena dosis pemupukan yang
berbeda. Dalam penggunaan bibit ikan ini sangat
bervariasi, sesuai dengan keinginan petani
sendiri. Yang dianggap paling menguntungkan
bagi usaha taninya, sehingga penggunaan bibit ikan menunjukkan adanya pebedaan antara
kedua pola tersebut. Rata-rata penggunaan bibit ikan pada pola I masing-masing untuk
koi dan majalaya adalah sebesar 3 rean/ha dan 2 rean/ha.
Sedangkan pada pola II masing-masing ikan koi dan majalaya adalah sebesar 2 rean/ha dan
2 rean/ha. Dengan adanya perbedaan dalam penggunaan saran produksi, maka biaya
sarana produksinya akan menunjukkan perbedaan juga antara pola I dan pola II.
B. Biaya Tenaga Kerja. Biaya tenaga kerja adalah biaya yang di
keluarkan untuk sejumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani. Tenaga kerja
yang digunakan dalm usaha tani meliputi tenaga dalam keluarga dan tenaga luar
keluarga yang terdiri dari pria dan wanita. Tenaga kerja dalam keluarga juga
diperhitungkan sebagai tenaga kerja. Di daerah penelitian sekripsi upah untuk tenaga
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /71
kerja pria Rp 30.000,- dan tenaga kerja wanita sebesar Rp 17.000,-
Untuk tenaga kerja wanita di sesuaikan menurut tingkat upah dengan Satuan Hari
Kerja Pria (SHKP). Suatu SHKP sama dengan
lama jam kerja mulai pukul 07.00-11.00 dan 12.30-16.30 dengan nilai Rp 30.000,- Rata-
rata penggunaan dan biaya tenaga keja yang di keluarkan petani dapat dilihat dalam table
berikut. Tabel 7. Rata-rata biaya tenaga kerja per hektar pada masing-masing pola pengusahaan
Usaha mina padi.
Jenis pekerjaaan Biaya Pola Pengusahaan Mina Padi
Pola I Pola II
Kegiatan Fisik
(HKPS) Nilai (Rp)
Fisik (HKPS)
Nilai (Rp)
Pengolahan Tanah 15 450.000 12 360.000
Persemaian 2 60.000 1 30.000
Penanaman Padi 36 612.000 17 289.000
Penebaran bibit ikan 1 20.000 1 20.000
Pemupukan 2 60.000 2 60.000
Panen 20 600.000 13 390.000
Jumlah 76 1.802.000 46 1.149.000
Dalam kegiatan usaha tani memerlukan tenaga
kerja meliputi hamper seluruh proses produksinya. Keperluan akan tenaga kerja
sekaligus akan mendorong timbul biaya untuk mengupah tenaga kerja yang digunakan, jika
tenaga kerja kurang mencukupi. Dalam table 7. menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan, baik pada penggunaan maupun biaya tenaga kerjanya. Rata-rata penggunaan
tenaga kerja pada pola I lebih besar yaitu 76 HKSP per hektare. Sedang pola II sebesar 46
HKSP per hectare. Hal ini disebabkan karena
pola I terdapat tambahan aktivitas kerja yaitu
penanaman padi sebanyak dua kali, maka tenaga kerja antara kedua pola tersebut akan
berbeda. C. Biaya Total Variabel
Biaya total variabel adalah usaha mina padi adalah jumlah biaya variable yang
digunakan dalam usaha mina padi. Biaya total variabel merupakan jumlah biaya tenaga kerja,
rata-rata total variabel yang di keluarkan oleh petani di sajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 8. Rata-rata total biaya variabel per hektare pada masing-masing pengusahaan
Usaha mina padi.
Jenis Biaya Biaya Pola Pengusahaan Mina Padi
Pola I (Rp) Pola II (Rp)
Sarana Produksi 3.902.700 2.637.000
Tenaga Kerja 1.802.000 1.149.000
Jumlah 5.704.700 3.786.000
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /72
Dari tabel 8. menunjukkan bahwa rata-rata total biaya variabel pada pola I lebih besar
yaitu Rp 5.704.700,- perhektar. Karena berbagai biaya variabel yang dikeluarkan oleh
pola I selama proses produksi juga lebih besar. Sedangkan pada pola II sebesar Rp
3.786.000,- per ha, karena adanya perbedaan antara kedua pola tersebut, maka total biaya
variabelnya juga akan menunjukkan perbedaan ini.
4.2.2.2. Biaya Tetap Biaya tatap adalah jenis biaya yang tidak
mempengaruhi atau menentukan besar kecilnya nilai produksi yang dimaksud dengan
biaya tetap pada usaha mina padi ini adalah biaya sewa lahan, bunga modal dan lain-lain.
a) Biaya sewa lahan Di lokasi penelitian pada umumnya petani
memiliki lahan sendiri karena petaniu contoh status pengusahaan lahanya adalah milik,
maka penentuan nilai sewa lahan bervariasi tergantung dari letak dan kondisi lahan
tersebut, yaitu dalam kurun waktu satu tahun sebesar Rp 14.000.000 : 3 = 4.700.000,- per
ha. b) Bunga Modal (biaya atas modal)
Bunga modal pada usaha tani mina padi adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani
baik uang milik orang lain maupun milik sendiri yang digunakan dalam usaha mina
padi. Biaya bunga modal dihitung berdasarkan jumlah uang yang di keluarkan selama
berlangsungnya usaha mina padi tersebut. Dalam penelitian ini dinilai bunga modal di
hitung dengan mengalikan jumlah penggunaan uang selama empat bulan dengan persentase
yaitu 1,5 %. Dari hasil perhitungan di peroleh rata-rata
nilai bunga modal untuk pola I sebesar Rp 342.282,- per ha dan pola II sebesar Rp
227.160,- per ha. Nilai bunga modal menunjukkan perbedaan, karena biaya yang di
keluarkan oleh masing-masing pola tersebut juga berbeda.
c) Biaya lain-lain. Selain biaya sarana produksi, biaya tenaga
kerja, sewa lahan dan bunga modal masih ada biaya lain-lain yang dikeluarkan oleh petani
dalam kegiatan usaha taninya, yang termasuk biaya lain-lain diantaranya sewa diesel dan
lain-lain. Biaya lain-lain antara pola I dan pola II sama ,sebesar Rp 600.000,- per ha untuk
sewa diesel. d) Total Biaya Tetap
Total biaya tetap usaha mina padi adlah jumlah biaya tetap yang digynakan dalam
usaha mina padi. Total biaya tetap merupakan jumlah biaya sewa lahan, dikeluarkan perani
di sajikan pada table berikut.
Tabel 9. Rata-rata total biaya tetap per ha pada masing-masing pola pengusahaan usaha mina padi.
Jenis Biaya Biaya pola pengolahan mina padi
Pola I (Rp) Pola II (Rp)
Sewa lahan 4.700.000 4.700.000
Bunga modal 342.282 227.160
Biaya lain-lain 600.000 600.000
Jumlah 5.642.282 5.527.160
Karena pada berbagai biaya tetap yang dikeluarkan selama proses produksi antara
kedua pola tersebut sudah berbeda, maka total biaya tetap juga akan menunjukkan perbedaan.
Pada pola I rata-rata sebesar Rp 5.642.282,- per ha, nilainya lebih besar bila dibandingkan
pada pola II yaitu rata-rata sebesar Rp 5.527.160,- per ha.
4.2.2.3. Total Biaya Produksi Total biaya produksi pada usaha mina padi
merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk usaha mina padi yaitu penjumlahan dari biaya
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /73
sarana produksi, tenaga kerja, sewa lahan, biaya modal dan lain-lain.
Rata-rata total biaya produksi yang dikeluarkan petani di sajikan pada tabel
berikut ini. Tabel 10. Rata-rata total biaya produksi per hektare pada masing-masing pola pengusahaa
usaha mina padi.
Jenis Biaya Biaya pola Pengusahaan Mina Padi
Pola I (Rp) Pola II (Rp)
Saprodi 3.902.700 2.637.000
Tenaga kerja 1.802.000 1.149.000
Sewa lahan 4.700.000 4.700.000
Bunga modal 342.282 227.160
Biaya lain-lain 600.000 600.000
Jumlah 11.346.982 9.313.160
Dari tabel 10, diatas tampak bahwa rata-rata
total biaya produksi menunjukkan perbedaan nyata antara pola I dan pola II.
Perbedaan pada nilai rata-rata total biaya produksi ini, karena di sebabkan oleh alokasi
serta besar biaya variabel dan biaya tetap yang berbeda antara pola I dan pola II.
4.2.3. Penerimaan
Penerimaan adalah besarnya uang yang
diterima petani dari hasil penjualan produksi yang diperoleh. Jadi penerimaan merupakan
hasil kali total produksi dengan harga satuannya. Produksi adalah total hasil dari
usaha tani yang di nyatakan dalam bentuk fisik. Rata-rata produksi dan total penerimaan
yang diterima petani di sajikan pada table berikut ini.
Tabel 11. Rata-rata produksi dan total penerimaan per hectare pada masing-masing pola
pengusahaan usaha mina padi.
Produksi Pola Pengusahaan Mina Padi
Pola I Pola II
Nilai (kw)
Nilai (Rp)
Nilai (kw)
Nilai (Rp)
Majalaya 2 2.800.000 1,5 2.100.000
Koi A B
C
200 550
450
3.000.000 4.950.000
2.250,000
350 170
380
5.250.000 1.530.000
1.900.000
Padi 54 19.440.000 47 16.920.000
Jumlah 32.440.000 27.700.000
Harga komoditi majalaya Rp 1.400.000 per
kwintal, ikan koi A Rp 15.000, B Rp 9.000 dan C Rp 5.000 per biji dan komoditi padi Rp
360.000 per kwintal.
Dari table 11 tersebut tampak bahwa rata-rata
total penerimaan menunjukkan perbedaan nyata antara pola I dan pola II.
Perbedaan pada nilai rata-rata total penerimaan ini, disebabkan karena adanya
perbedaan produksi yang dihasilkan, dan
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /74
produksi ini di pengaruhi oleh sarana produksi yang digunakan yaitu perbedaan antara pola I
dan pola II (pada tabel II).
4.2.4. Pendapatan
Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya produksi yang
telah dikeluarkan selama berlangsungnya proses produksi dari usaha mina padi tersebut.
Tabel 12. Rata-rata pendapatan yang diterima petani disajikan pada tabel berikut.
Pola pengusahaan mina padi Rata-rata pendapatan (Rp)
Pola I 20.233.018
Pola II 17.526.840
Dari tabel tesebut menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan menunjukkan perbedaan nyata
antara pola I dan pola II. Efisiensi antara kedua pola tersebut, karena belum adanya pedoman yang tepat dan efisien dalam
kombinasi penggunaan bibit ikan dan pupuk yang optimal bagi komoditi ikan. Meskipun tidak ter dapat perbedaan pada nilai rata-rata efisiensi antara kedua pola tersebut. Namun dari analisis
B/C Ratio (2,33)> 1. Sedangkan dari hasil R/C Ratio pada pola I (2,96)> 1 pada pola II (2,97)>1.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari hasil-hasil kesimpulan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Rata-rata total biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani yang mengusahakan pola I adalah sebesar Rp 11.346.982 per ha, sedangkan pola II adalah sebesar Rp 9.313.160 per ha.
2. Rata-rata total penerimaan yang diterima oleh petani yang mengusahakan pola I adalah sebesar Rp 32.440.000 per ha, sedangkan pola II sebesar Rp 27.700.000 per ha.
3. Rata-rata pedapatan yang diterima oleh petani yang mengusahakan pola I adalah sebesar Rp 20.233.018 per ha,sedang pola II sebesar Rp 17.526.840 per ha.Dari hasil R/C Ratio
diperoleh nilai pada pola I (2.96)>1, sedangkan pola II (2.97)>1. Maka usaha tani mina padi pertanian organik dapat dikatakan efisiensi antara kedua pola tersebut.
Dari hasil B/C Ratio di peroleh nilai (2,33)>1, maka ada peningkatan dalam pengusahaan usaha tani mina padi pertanian organik.
4. Dari hasil uji chi kuadrat diperoleh X2 hit (3,89)>X20.05(1)(3.84),yang berarti ada hubungan
antara hubungan antara hasil yang diterima dengan pemilihan pengusahaan usaha tani mina
padi. Korelasi di nyatakan oleh suatu koefisien kontigensi antara hasil yang diterima dengan pemilihan kedua pola adalah C = 0,22.
5.2.Saran-saran
1. Dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan pada usaha tani mina padi di Desa Jabung, perlu kiranya untuk memilih di antara pola I atau pola II.
2. Untuk memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi, perlu kiranya di laksanakan penelitian lebih lanjut.
3. Perlu kiranya usaha untuk mengembangkan usaha mina padi, mengingat usaha tani mina padi belum banyak berkembang. Hal ini perlu di lakukan karena dalam usaha tani mina padi dapat
meningkatkan pendapatan, memperluas atau dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, pemanfaatan limbah lebih optimal serta dapat meningkatkan frekuensi pengawasan atau
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /75
pengembangan lahan oleh petani. Sehubungan dengan usaha pengembangan usaha tani mina padi di atas maka di harapkan pihak-pihak terkait dalam usaha pengembangan tersebut, dapat
mempertimbangkan faktor-faktor sosial ekonomi dimana usaha tersebut akan dikembangkan.
Pengaruh Konsentrasi Pupuk Daun dan Jenis Media Tanam Pada Pertumbuhan dan Hasil Jamur
Kuping (Auricularia politricha)
Oleh : Agung Setya W*
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas islam Balitar
Ringkasan
Perkembangan budidaya jamur kuping di Indonesia semakin pesat. Besarnya permintaan
pasar dan manfaat jamur kuping, maka perlu adanya peningkatan dalam produktivitas jamur kuping. Usaha peningkatan hasil budidaya jamur kuping ini salah satunya adalah dengan
pemberian pupuk daun sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan hara pada pertumbuhan jamur kuping. Media tanam juga berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur kuping karena unsur dan
teskstur yang berbeda sehingga pertumbuhan jamur kuping juga berbeda. Kandungan hara yang cukup dan tekstur yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak mendukung pertumbuhan dan
hasil jamur kuping. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun
secara faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama 2 level perlakuan faktor kedua 5 level, ulangan 3 kali sehingga kombinasi perlakuan dalam penelitian ini ada 30 kombinasi.
Terdapat interaksi pada pemberian pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter dengan media tanam pada pertumbuhan misilium umur 7, 14, 21, dan 28 (HSI). Hasil penelitian menunjukn adanya
interaksi pada pemberian pupuk daun Bayfolan 40 ml / liter dengan media tanam pada waktu muncul jamur pertama kali (HSI) jumlah jamur pada saat mucul pertama waktu panen pertama
(HSI) berat basah jamur (gram). Berdasarkan hasil analisis ragam parameter yang ada interaksi yang berbeda nyata dimana data F hitung lebih besar dari data F tabel 5 % meliputi panjang
misilium , panjang misilium (cm), waktu muncul jamur pertama kali (HSI), jumlah jamur pada saat mucul pertama, waktu panen pertama (HSI) berat basah jamur (gram). Hipotesis atau
dugaan sementara yang terbukti dalam penelitian ini adalah H1 atau antara media tanam dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan terdapat interaksi yang nyata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan M1B4 atau media cocopeat dengan konsentrasi pupuk daun Bayfolan 40 ml/liter air merupakan kombinasi terbaik untuk
peubah panjang misilium 7 hari mencapai 5,95 cm, panjang misilium 14 hari mencapai 8,98 cm, panjang misilium 21 hari mencapai 15,83 cm, panjang misilium 28 hari mencapai 30,64 cm.
Waktu muncul jamur pertama kali mencapai 33 hari setelah inokulasi, jumlah jamur pada saat mucul pertama mencapai 8, waktu panen pertama mencapai 36 hari setelah inokulasi, bobot
basah jamur 56,2 gram.
kata kunci : jamur kuping, pupuk daun, bayfolan
PLANT AGRONOMY
GRAFTING JOURNAL 2013 EDITION /76
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang. Perkembangan budidaya jamur kuping
di Indonesia semakin pesat, sehingga saat ini budidaya jamur kuping sangat merebak di
berbagai daerah. Permintaan pasar yang tinggi dan besarnya manfaat jamur kuping maka
perlu adanya peningkatan dalam produktivitas jamur kuping. Jamur kuping merupakan
tanaman yang dapat hidup dimana saja, mulai dari kawasan hutan, pantai sampai dengan
pegunungan tinggi dengan persyaratan tempat yang cukup lembab.
Untuk meningkatkan hasil produksi jamur kuping ini adalah dengan pemberian
unsur-unsur hara seperti pemberian konsentrasi pupuk daun merk Bayfolan.
Kandungan pupuk daun Bayfolan dapat mempengaruhi membran sel yang dapat
merangsang pertumbuhan sel dan sintesis protein sampai terjadinya proses pembelahan
dan pemanjangan sel terutama pada bagian tanaman yang sedang berkembang seperti
jaringan meristem. Jamur kuping digolongkan pada
kelompok cendawan sejati. Menurut Darnetty (2006), jamur merupakan organisme yang
tidak mempunyai klorofil, sehingga dia tidak mempunyai kemampuan untuk memproduksi
makanan sendiri atau dengan kata lain jamur tidak bisa memanfaatkan karbondioksida
sebagai sumber karbonnya. Jamur kuping hidup dan memperoleh makanan dari bahan
organic mati seperti sisa- sisa hewan dan tumbuhan, sehingga dinamakan jamur
saprofit. Sumber makanan jamur berupa unsur-unsur hara diantaranya C, N, P, K dan
Ca, yang dapat diperoleh pupuk dan bekatul. Jamur mencerna dan menyerap makanan di
luar tubuh. Budidaya jamur ini pada umumnya
menggunakan media serbuk gergaji kayu. Jamur kuping dapat menyerap dan
memanfaatkan kandungan hara yang terdapat pada serbuk gergaji untuk tumbuh dan
berkenbabg. Cocopeat merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan
sebagai media tanam. Cocopeat digunakan sebagai media tanam karena karakteristiknya
yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat, sesuai untuk daerah panas.
1.2 Tujuan.
Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian
konsentrasi pupuk daun Bayfolan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jamur
kuping. 2. Untuk mengetahui pengaruh jenis media
tanam yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jamur kuping.
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk daun Bayfolan dan jenis media
tanam yang tepat terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jamur kuping.
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Botani Jamur kuping (Auricularia politricha)
merupakan salah satu kelompok jelly fungi yang masuk ke dalam kelas Basidiomycota
dan mempunyai tekstur jelly yang unik. Fungi yang masuk ke dalam kelas ini umumnya
mudah dilihat dengan mata telanjang. Misiliumnya bersekat dan dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu misilium primer yang sel-selnya berinti satu, umumnya berasal
dari perkembangan basidiospora dan misilium sekunder yang sel penyusunnya berinti dua,
misilium ini merupakan hasil konjugasi dua misilium primer atau persatuan dua
basidiospora. Jamur ini disebut jamur kuping karena bentuk tubuh buahnya melebar seperti
daun telinga manusia atau kuping. Karakteristik dari jamur kuping ini adalah
memiliki tubuh buah yang kenyal jika dalam keadaan segar (Agus, 2002).
Ada tiga jenis jamur kuping yang sering di jumpai yaitu jamur kuping putih
yaitu tubuh buahnya seperti rumbai-rumbai tidak beraturan, berwarna putih dan sangat